HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Seleksi Bakteri Agarolitik Isolasi bakteri agarolitik dilakukan untuk memisahkan kelompok bakteri ini dari mikoorganisme lain yang umum dijumpai dalam habitatnya, kemudian ditumbuhkan menjadi biakan murni. Selanjutnya biakan murni bakteri agarolitik diseleksi berdasarkan sejumlah kriteria, diantaranya adalah kerentanan terhadap antibiotik, patogenisitas terhadap inang, ketahanan terhadap asam lambung, kemampuannya dalam menghidrolisis agar-agar, laju pertumbuhan, dan kemampuannya untuk ber-koagregasi dan menempel pada lempeng baja stainless. Isolasi Bakteri Agarolitik Suatu probiotik yang baik seharusnya diisolasi dari hewan inang, habitat atau pakannya sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan maupun saluran pencernaan inang. Isolat bakteri agarolitik yang diperoleh dari penelitian ini berasal dari berbagai sumber, meliputi air laut, abalon hasil tangkapan nelayan dari pantai Kuta dan alga merah yang diambil dari pantai Kuta, pantai Gerupuk dan Tanjung An, Kabupaten Lombok Tengah. Hasil isolasi diperoleh 14 isolat bakteri agarolitik. Sebanyak 11 isolat berasosiasi dengan alga merah yaitu 6 isolat dari Pantai Kuta, 3 isolat dari Tanjung An dan 2 isolat dari Pantai Gerupuk. Tiga isolat lainnya diisolasi dari saluran pencernaan abalon asal Pantai Kuta (Tabel 4).
Penelahaan ciri-ciri
kultural, morfologi koloni dan sel menunjukkan bahwa ke-14
isolat bakteri
agarolitik tersebut memiliki karakter morfologi koloni dan sel yang beragam. Sebanyak 9 isolat berbentuk batang (64%), 2 isolat berbentuk batang pendek dan 3 isolat berbentuk
kokus.
Warna
koloni berkisar
putih, krem, kuning,
kecoklatan, dan pink. Tepian koloni ada yang tak beraturan, licin, bundar dengan tepian timbul dan bercabang. (Lampiran 6).
40
Tabel 4. Data lokasi, bahan sumber isolat, jumlah sampel, jumlah isolat dan kode isolat bakteri agarolitik No. 1.
Lokasi
Bahan sumber isolat
Pantai Kuta, 3 jenis alga merah Lombok Tengah 3 sampel komposit saluran pencernaan abalon
Jumlah sampel
Jumlah isolat
Kode isolat
9 buah
6
Alg2.1, Alg2.2, Alg3.1, Alg5.1, Alg5.2, Alg5.3
20 ekor
3
Abn1.1, Abn1.2 Abn1.3
2.
Tanjung An, 2 jenis alga merah Lombok Tengah
6 buah
3
Alg4.1, Alg4.2, Alg6
3.
Pantai Gerupuk, 1 jenis alga merah Lombok Tengah
3 buah
2
Alg1.1, Alg1.3
Total Hasil verifikasi aktivitas
14 agarolitik dari ke-empatbelas isolat bakteri
setelah dideteksi dengan indikator Lugol’s iodin menunjukkan bahwa semua isolat mampu membentuk zona terang kekuningan di sekitar latar gelap coklat (Gambar 5A, 5B). Zona terang yang terbentuk pada gel agar-agar setelah dituangkan iodin disebabkan oleh rusaknya struktur utas ganda akibat terputusnya ikatan hidrogen oleh aksi enzim agarase tanpa menyebabkan kerusakan pada polimer agar-agar (Agbo dan Moss 1979).
Beberapa isolat mampu membentuk
lubang atau mendangkalkan agar-agar pada 3-7 hari inkubasi (Gambar 5C) dan isolat Alg3.1 dapat mencairkan agar-agar separuh atau seluruhnya setelah 7-15 hari inkubasi (Gambar 5D). Agbo dan Moss (1979) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis aksi enzim agarase dalam mendegradasi agar-agar pada media cawan, yaitu melunakkan agar-agar (agar softening), membentuk lubang hingga kawah (pitting dan crater) dan pencairan agar-agar (agar liquefying). Bakteri yang mampu mendangkalkan ataupun mencairkan agar-agar adalah bakteri yang dapat menghasilkan enzim -agarase yang memotong ikatan α-1,3 dari agar-agar dan bakteri yang memproduksi enzim β-agarase yang memotong ikatan β-1,4 dari agar-agar.
41
5A
5B
5D
5D
Gambar 5. Koloni bakteri agarolitik menyebar tipis pada permukaan medium A dengan 1.8% agar-agar (A), zona bening yang terbentuk dari supernatan yang diproduksi pada kultur cair MB umur 24 jam (B), pembentukan kawah atau pendangkalan agar-agar setelah 3-5 hari inkubasi (C), dan pencairan agar-agar separuh atau seluruhnya setelah 15 hari inkubasi (D). Koloni isolat bakteri agarolitik pada media agar-agar Sea Water Medium (SWM) ada yang bersifat mengumpul dan ada koloni yang menyebar tipis di permukaan agar-agar. Mengumpul atau menyebarnya koloni bakteri di permukaan agar-agar berhubungan dengan motilitas isolat. Isolat yang motil cenderung menyebar dipermukaan agar-agar karena terbentuknya cairan pada permukaan agar-agar sebagai hasil dari likuifikasi agar-agar.
Kemampuan tiap isolat
agarolitik membentuk zona bening pada media padat berbeda-beda (Tabel 5).
42 Tabel 5. Aktivitas agarolitik berdasarkan ukuran diameter zona bening (mm) yang terbentuk pada media agar-agar setelah dituangkan Lugol’s iodine No
Isolat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Abn1.1 Abn1.2 Abn1.3 Alg1.1 Alg1.3 Alg2.1 Alg2.2 Alg3.1 Alg4.1 Alg4.2 Alg5.1 Alg5.2 Alg5.3 Alg6.3
Diameter koloni + zona bening (mm) 31.0 20.3 18.3 14.0 19.3 23.3 33.3 54.3 19.3 60.7 24.7 31.3 21.7 23.3
Diameter zona bening supernatan (mm) 34.0 23.5 21.5 17.0 24.0 19.0 36.5 42.5 24.0 49.5 22.0 36.0 20.5 22.0
Ke-empatbelas isolat menampilkan aktivitas agarolitik yang berbeda-beda berdasarkan ukuran diameter zona bening yang dibentuk, paling kecil dicapai oleh isolat Alg1.1. dan paling besar dihasilkan Alg4.2.
Tabel 5 juga
memperlihatkan bahwa aktivitas agarolitik, baik itu menggunakan supernatan maupun kultur sel secara konsisten menunjukkan ukuran diameter zona bening yang hampir sama. Sebanyak 5 isolat menunjukkan derajat agarolitik yang tinggi dengan ukuran diameter zona bening lebih dari 30 mm yaitu Abn1.1, Alg3.1, Alg4.2, Alg2.2 dan Alg5.2. Perbedaan ukuran diameter zona bening ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan isolat dalam memproduksi enzim agarase, kelengkapan jenis enzim agarase yang dihasilkan dan juga oleh ukuran molekul enzim agarase yang berbeda-beda. Vera et al. (1998) membagi bakteri agarolitik kedalam 3 kelompok berdasarkan ukuran berat molekul enzim dan hubungannya dengan aktivitas degradasi gel agar-agar. Kelompok I dengan berat molekul 30-35 kDa,
terdiri atas Pseudoalteromonas atlantica ATCC 19291,
P.antartica N-1, Streptomyces coelicolor dan Pseudomonas sp. galur PT-5; kelompok II dengan berat molekul 50-59 kDa, terdiri atas Alteromonas sp. galur C-1, Pseudomonas sp. galur W-7 dan P.atlantica t6c; dan kelompok III dengan berat molekul lebih dari 100 kDa yang terdiri atas spesies-spesies Vibrio. Kelompok I dan II dikenal memiliki kemampuan yang tinggi dalam melunakkan
43
dan mendangkalkan agar-agar karena memiliki berat molekul agarase rendah yang dapat berdifusi melalu pori-pori gel agar-agar. Kelompok III umumnya memiliki kemampuan degradasi gel agar-agar yang relatif rendah karena memiliki berat molekul yang relatif besar. Seleksi Isolat Bakteri Agarolitik Sebagai Probiotik Galur bakteri kandidat probiotik yang diharapkan bekerja pada saluran pencernaan inang diseleksi berdasarkan sejumlah kriteria untuk memaksimalkan perannya dalam membantu fungsi fisiologis sistem pencernaan inang dan memenuhi prinsip food additive yang bersifat aman dan ramah lingkungan. Resistensi Terhadap Antibiotik Saat ini kriteria introduksi untuk galur probiotik atau competitive exclusion baru adalah kerentanannya terhadap satu atau lebih antibiotik yang
umum
digunakan pada manusia dan hewan akuatik. Pada penelitian ini dilakukan uji resistensi dan sensitifitas berdasarkan prosedur uji dan standar resistensi antibiotik menurut Johnson dan Case (2007). Uji resistensi isolat dilakukan terhadap beberapa antibiotik yang memiliki mekanisme aksi yang berbeda. Antibiotik yang digunakan adalah rifampisin, tetrasiklin, ampisilin dan vankomisin. Rifampisin merupakan inhibitor RNA polimerase melalui pengikatan kuat pada subunit-β dan memblok masuknya nukleotida pertama yang dibutuhkan untuk aktivasi polimerase sehingga menghambat laju transkripsi, tetrasiklin terikat pada subunit 30S dari ribosom bakteri sehingga menghambat sintesis protein dengan menghalangi penambahan asam amino baru pada rantai peptida yang baru terbentuk, ampisilin merupakan antibiotik turunan β-laktam yang mekanisme kerjanya merusak sintesis peptidoglikan, dan vankomisin merupakan antibiotik golongan glikopeptida yang menghambat sintesis dinding sel. Data uji resistensi terhadap antibiotik rifampisin, tetrasiklin, ampisilin dan vankomisin disajikan pada Tabel 2.
44 Tabel 6. Data resistensi isolat terhadap 4 jenis antibiotik berdasarkan diameter zona hambat (mm) yang terbentuk No
Kode isolat
Jenis antibiotik* Tetrasiklin
Rifampisin
Ø Status
Isolat
Ampisilin
Ø Status
Vankomisin
Ø Status
Terpilih
Ø Status
1
Abn1.1
34.5
S
20.3
S
18.0
S
13.8
S
2
Abn1.2
26.5
S
24.8
S
20.0
S
Abn1.3
S
17.8
I
-
-
23.8 -
S
3
-
-
4
Alg1.1
13.0
R
-
-
-
-
-
-
-
5
Alg1.3
16.3
I
-
-
-
-
-
-
-
6
Alg2.1
16.5
I
-
-
-
-
-
-
7
Alg2.2
29.5
S
22.5
S
18.3
S
16.3
S
8
Alg3.1
27.0
S
26.3
34.0
27.5
S
18.8
S I
-
S -
14.0 -
S -
S
21.8
S
19.5
S
22.5
S
S
20.5
S
15.3
S
31.0
9
Alg4.1
10
Alg4.2
11
Alg5.1
32.5
S
25.5
12
Alg5.2
34.0
S
21.3
S
16.5
-
S -
19.8 -
S -
Alg5.3
S R
24.5
13 14
Alg6.3
I
-
-
-
-
-
-
-
30.8
31.0 15.5
-
Keterangan: * standar resistensi tetrasiklin (30 µg): <14 mm resisten, 15-18 mm intermediet, >19 peka; rifampisin (5 µg): <16 mm resisten, 17-19 mm intermediet, >20 peka; ampisilin (10 µg): <13 mm resisten, 14-16 mm intermediet, >17 peka; vankomisin (30 µg), <9 mm resisten, 10-11 mm intermediet, >12 peka ** (-) tidak diuji, S = peka, I = intermediet dan R = resisten Data hasil penelitian (Tabel 6 dan Lampiran 7) menunjukkan bahwa 7 isolat (50%) bersifat intermediet atau resisten terhadap antibiotik. Resistensi terhadap tetrasiklin ditunjukkan oleh 3 isolat yaitu Alg1.3, Alg2.1, dan Alg6.3 yang bersifat intermediet dan 1 isolat bersifat resisten, yaitu Alg1.1. Dua
isolat
yaitu Abn1.3 dan Alg4.1 bersifat intermediet dan 1 isolat yaitu Alg5.3 resisten terhadap antibiotik rifampisin, sehingga secara langsung dieliminasi sebagai kandidat probiotik. Eliminasi terhadap ke-7 isolat tersebut disebabkan kemampuan bakteri mengembangkan resistensi terhadap agen antimikrobial hingga hal ini dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia. Brashear et al. (2003) melaporkan bahwa dari 55 isolat kandidat probiotik yang diuji kerentanannya terhadap 6 jenis antibiotik (eritromisin, ampisilin, tetrasiklin, trimethoprim-sulfamethoxazole, grepafloxacin, hanya diperoleh 19 isolat yang bersifat rentan.
dan levofloxacin)
45
Resistensi pada bakteri disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adanya gen resistensi pada kromosom atau plasmid dan dapat
juga karena
terjadinya perubahan materi genetik baik disebabkan metilasi, insersi maupun rekombinasi, modifikasi senyawa yang menjadi target antibiotik, dan bakteri mengembangkan jalur metabolisme lain yang memintas reaksi yang yang dihambat oleh antibiotik. Kemunculan bakteri resisten dapat menjadi salah satu petunjuk penting dari tersebarluasnya resistensi antibiotik dari patogen oportunistik. Bakteri resisten tersebut dapat meningkatkan potensi ancaman melalui transfer gen resistensi kepada patogen manusia lewat saluran gastrointestinal atau lingkungan. Isolat-isolat yang peka antibiotik diseleksi lebih lanjut. Pertumbuhan Isolat Kurva pertumbuhan yang menghubungkan antara jumlah sel dengan periode inkubasi disajikan pada Gambar 6 (Lampiran 7). Selama 24 jam pengamatan pada marine borth, semua isolat memperlihatkan pola pertumbuhan yang diawali oleh tahapan atau fase lag, lalu diikuti dengan fase eksponensial, fase statis dan fase kematian pada beberapa isolat.
Jumlah sel (log10 cfu/ml)
8.5 8.0 Abn1.2 Abn1.1 Alg2.2 Alg3.1 Alg4.2 Alg5.1 Alg5.2
7.5 7.0 6.5 6.0 0
4
8
12
16
20
24
Waktu (jam) Gambar 6. Kurva pertumbuhan isolat bakteri agarolitik berdasarkan jumlah koloni (log10 cfu/mL) selama periode inkubasi 24 jam pada 29 oC
46 Semua isolat memperlihatkan laju pertumbuhan yang beragam. Empat isolat yaitu Abn1.2, Alg3.1, Alg4.2 dan Alg5.1 memperlihatkan
laju
pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Abn1.1, Alg2.2 dan Alg5.1. Perbedaan laju pertumbuhan isolat ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan enzim dan kelengkapan enzim dalam menyediakan substrat untuk pertumbuhan. Fase pertumbuhan awal atau fase lag atau fase adaptasi beberapa isolat agarolitik terjadi antara 0 dan 2 jam
(yaitu isolat Abn1.2, Alg3.1, Alg4.2 dan
Alg5.1), sedangkan isolat lainnya (Abn1.1, Alg2.2 dan Alg5.2) terjadi antara jam 0 dan 6 jam. Lama atau cepatnya fase adaptasi ini memberi konsekuensi pada pencapaian fase logaritmik atau fase eksponensial dan laju pertumbuhan bakteri. Fase logaritmik dimulai pada jam dan dengan kisaran waktu yang berbedabeda antar isolat. Pada isolat Abn1.1 fase logaritmik terjadi antara jam 6 hingga jam ke-20, isolat Abn1.2, Alg4.2 dan Alg5.1 terjadi jam 2 hingga jam 12, Alg2.2 pada jam 6 hingga 16, dan jam 2 hingga jam 16 pada isolat Alg3.1. Panjang periode fase logaritmik berkisar antara 10 – 14 jam. Lama waktu fase logaritmik untuk isolat Abn1.1, Alg3.1 dan Alg5.2 yaitu sekitar 14 jam, sedangkan isolat Alg2.2, Abn1.2, Alg4.2 dan Alg5.1 menyatakan
bahwa
sebagian
yaitu 10 jam. Madigan et al. (2009)
besar
mikroorganisme
uniseluler
tumbuh
eksponensial namun dengan laju yang bervariasi karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu, komposisi kimia dan ciri genetika mikroorganisme sendiri. Perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk memulai fase logaritmik dan panjang periode fase logaritmik menggambarkan keberagaman isolat serta laju metabolismenya dalam memanfaatkan nutrisi yang tersedia. Laju pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda dapat dievaluasi berdasarkan waktu generasi (g) dan
laju pertumbuhan spesifik (k) (Madigan et
al. 2009). Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk melipatgandakan populasi, sedangkan laju pertumbuhan spesifik merujuk pada jumlah generasi yang terbentuk per satuan
waktu sepanjang pertumbuhan
eksponensial. Hasil perhitungan waktu generasi dan laju pertumbuhan spesifik pada Tabel 7.
47
Tabel 7. Waktu generasi dan laju pertumbuhan spesifik isolat bakteri agarolitik yang ditumbuhkan pada medium Marine Broth pada 29 oC selama 24 jam Isolat Abn1.1 Abn1.2 Alg2.2 Alg3.1 Alg4.2 Alg5.1 Alg5.2
Waktu generasi (jam) 3.72 1.88 2.37 2.44 1.70 1.94 3.18
Laju pertumbuhan spesifik (jam-1) 0.081 0.160 0.127 0.123 0.177 0.155 0.095
Data hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ke-7 isolat menunjukkan laju pertumbuhan yang beragam berdasarkan nilai waktu generasi dan laju pertumbuhan spesifik. Laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh isolat Alg4.2 dan yang terendah adalah isolat Abn1.1. Waktu generasi bervariasi bergantung pada mikrooorganisme, media pertumbuhan dan kondisi inkubasi. Sebagian besar bakteri menunjukkan waktu generasi antara 1-3 jam pada kondisi pertumbuhan optimum (Madigan et al. 2009) Isolat kandidat probiotik yang baik adalah isolat yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi yang memungkinkan isolat berkompetisi dengan bakteri lain untuk menempel pada situs permukaan saluran pencernaan inang. Kurva pertumbuhan bakteri selain mengindikasikan laju pertumbuhan bakteri, juga dapat digunakan sebagai dasar untuk penentuan konsentrasi inokulum. Kekuatan Pencairan Agar-Agar dan Kombinasi Terbaik Aplikasi probiotik ditujukan untuk kepentingan berbeda-beda dan dengan fungsi yang berbeda pula, sehingga menuntut adanya proses pengujian yang selektif sesuai dengan fungsi probiotik yang diinginkan. Pada penelitian ini, dilakukan seleksi bakteri probiotik yang dapat menghasilkan enzim pencernaan eksogen, dalam hal ini adalah enzim agarase. Oleh karena itu, terhadap ke-8 isolat dilakukan uji kemampuannya dalam mencairkan agar-agar pada media agar-agar SWM dalam tabung reaksi. Kekuatan pencairan diukur berdasarkan kedalaman pencairan dalam millimeter (Tabel 8).
48 Tabel 8. Kekuatan likuifikasi agar-agar 7 isolat bakteri agarolitik pada media agar-agar SWM selama 7 hari dan diinkubasi pada 29 oC No 1 2 3 4 5 6 7
Kode isolat Abn1.1 Abn1.2 Alg2.2 Alg3.1 Alg4.2 Alg5.1 Alg5.2
Laju pencairan/pendangkalan (mm/7hr) <1.0 1.4 <1.0 10.0 7.5 3.5 1.3
Pendangkalan Pendangkalan Pendangkalan Pencairan Pencairan Pencairan Pendangkalan
Dua isolat memiliki kemampuan tinggi dalam mencairkan agar-agar, yaitu Alg3.1 dan Alg4.2
masing-masing
sebesar 10 dan 7.5 mm selama 7 hari
inkubasi. Sebaliknya semua isolat yang berasal saluran pencernaan abalon mampu mendangkalkan agar-agar atau membentuk lubang kecil disekitar koloni. Kemampuan mendangkalkan atau mencairkan agar-agar berbeda-beda pada tiap galur bakteri agarolitik, bergantung pada jenis enzim agarase yang dihasilkan oleh isolat tersebut dan derajat ekspresi gen penyandi enzim agarase yang dapat diukur berdasarkan jumlah protein enzim yang diproduksi.
Semakin lengkap
perangkat enzim agarase yang dimiliki semakin sempurna hidrolisis agar-agar dan semakin tinggi konsentrasi monomer yang dihasilkan. Demikian pula, isolat yang dapat memproduksi enzim agarase dengan
konsentrasi yang tinggi akan
menghasilkan derajat hidrolisis agar-agar yang tinggi pula.
Kasus
pada
Alteromonas sp. galur C-1 menunjukkan bahwa galur ini dapat mencairkan agaragar meskipun ukuran molekul enzimnya besar (59 kDa) karena galur C-1 mampu menghasilkan enzim agarase dalam konsentrasi yang tinggi (Vera et al. 1998) Adanya perbedaan produk hasil hidrolisis enzim agarase ini memberi isyarat pentingnya dilakukan uji kombinasi antar isolat, selain karena di alam bakteri umumnya hidup dalam bentuk campuran juga untuk mendapatkan kombinasi aktivitas agarase terbaik. Uji ini dilakukan dengan menggunakan supernatan bebas sel yang mengandung ekstrak kasar enzim agarase dan diaplikasi pada media agar-agar 1.2% dengan metode sumuran (Gambar 7, Lampiran 8).
49
35 30 25 20 15 10 5 0 1 1+2 1+3 1+4 1+5 1+6 1+7 2 2+3 2+4 2+5 2+6 2+7 3 3+4 3+5 3+6 3+7 4 4+5 4+6 4+7 5 5+6 5+7 6 6+7 7
Aktivitas agarolitik (zona bening, mm)
40
Kombinasi ekstrak kasar enzim isolat Gambar 7. Aktivitas agarolitik kultur campuran berdasarkan diameter zona bening yang dihasilkan ekstrak enzim kasar pada media agar-agar yang diinkubasi pada 29 oC selama 4 jam. 1 Abn1.2, 2 Abn1.1, 3 Alg2.2, 4 Alg3.1, 5 Alg4.2, 6 Alg5.1 dan 7 Alg5.2. Data disajikan sebagai ratarata dari 3 ulangan (±S.E) Ukuran zona bening terbesar untuk kultur tunggal dimiliki oleh isolat Alg4.2 dan Alg3.1 dengan diameter 26.83 dan 25.5 mm, sedangkan yang terkecil ditunjukkan oleh isolat Alg2.2. Aktivitas agarolitik kombinasi antara isolat Abn1.2 dengan Alg3.1 dan Abn1.2 dengan Alg4.2 memberikan hasil terbaik dengan ukuran zona bening berturut-turut 32.50 dan 32.83 mm. Hasil analisis dengan uji t menunjukkan bahwa kombinasi isolat Abn1.2 dengan Alg3.1 dan Abn1.2 dengan Alg4.2 berbeda nyata (P<0.05) dengan kombinasi yang lainnya. Kultur campuran antara isolat Abn1.2 dengan Alg3.1 maupun antara Abn1.2 dengan Alg4.2 merupakan kombinasi yang menarik karena merupakan gabungan antara isolat yang bersifat mendangkalkan agar-agar dengan yang mencairkan agar-agar. Berdasarkan laju pertumbuhan, kekuatan pencairan agar-agar dan aktivitas agarolitik dari kultur campuran diperoleh tiga isolat yang paling potensial sebagai probiotik penghasil enzim eksogen agarase untuk abalon, yaitu
isolat Abn1.2,
Alg3.1 dan Alg4.2, maka seleksi selanjutnya dilakukan terhadap ke-tiga isolat tersebut.
50 Patogenisitas Isolat Kandidat Probiotik Sebelum dinyatakan sebagai kandidat probiotik, ke-tiga isolat diuji patogenisitasnya terhadap
spat atau fase juvenil awal abalon dan terhadap
Gracilaria sp. Perlakuan dalam uji patogenisitas terhadap abalon dilakukan dengan berbagai tingkat konsentrasi sel isolat bakteri agarolitik. Tabel 9. Rataan mortalitas spat abalon (ukuran 0.5-0.7 cm) yang diberi isolat bakteri agarolitik pada konsentrasi berbeda selama 6 hari pengamatan Konsentrasi inokulum (cfu/ml) 0 105 106 107
Abn1.2 0 0 0 0
Mortalitas (%) Alg3.1 1.65 0 1.65 0
Alg4.2 0 0 0 1.65
Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa semua isolat bakteri agarolitik kandidat probiotik yang diuji tidak bersifat patogen terhadap spat. Hal ini dapat terlihat rataan mortalitas spat abalon yang rendah (berkisar 0-1.65%). Kematian yang terjadi pada spat baik pada kontrol maupun perlakuan lebih disebabkan oleh kekuranghatian pada saat pemindahan spat
dari feeder plate
(substrat tempat spat abalon menempel) pada bak pemeliharaan larva ke wadah uji. Cai et al. (2006) menggunakan konsentrasi 103-106 cfu/ml untuk menguji patogenisitas V. haemolyticus terhadap juvenil abalon. Suatu galur bakteri disebut patogen atau virulen bila memiliki LD50 pada 104-105 cfu/ml, dan suatu galur bakteri dipertimbangkan tidak virulen bila memiliki LD50 pada >108 cfu/ml. Selanjutnya ke-tiga isolat diuji patogenisitasnya terhadap Gracilaria sp. (Tabel 10). Tabel 10. Patogenisitas isolat terhadap Gracilaria sp. selama 6 hari pengamatan Pemutihan ujung talus (white tip) No 1 2 3
Kode isolat Abn1.2 Alg3.1 Alg4.2
Kontrol Air steril -
Ekstrak enzim kasar 100 µl -
500 µl -
Suspensi sel (107cfu/ml) 0.5% (v/v) -
1% (v/v) -
Keterangan Negatif Negatif Negatif
51
Hasil pada Tabel 10 menunjukkan bahwa ke-tiga isolat tidak bersifat patogen terhadap Gracilaria sp. baik dalam bentuk ekstrak enzim kasar maupun suspensi selnya. Data ini menunjukkan bahwa ke-tiga isolat aman digunakan sebagai kandidat probiotik abalon. Selama ini eksplorasi bakteri kandidat probiotik akuakultur lebih ditujukan pada bakteri asam laktat yang telah dikenal luas aman bagi manusia, seperti Lactobacillus sp., Carnobacterium sp., dan Bifidobacterium sp. (Gatesoupe 2008; Suzer et al. 2008).
Namun demikian,
golongan bakteri ini bukan merupakan mikrobiota normal pada moluska laut sehingga jarang ditemukan pada saluran pencernaannya, akibatnya seleksi probiotik lebih diarahkan pada bakteri yang dominan pada saluran pencernaan moluska seperti Vibrio, Pseudomonas, Aeromonas dan Bacillus (Zhou et al. 2012; Prado et al. 2010; Tanaka et al. 2004). Berdasarkan hasil uji patogensitas isolat terhadap abalon maupun pakan alaminya, ke-tiga isolat dapat dinyatakan aman digunakan sebagai probiotik. Viabilitas Sel pada Air Laut Kemampuan bakteri untuk tetap survive atau viable pada lingkungan tempat isolat bakteri akan diintroduksi merupakan salah satu persyaratan probiotik. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan bakteri pada air laut steril dan hanya diberi substrat berupa agar-agar. Pengamatan dan penghitungan populasi bakteri dihitung tiap 12 jam selama 48 jam. Tabel 11. Viabilitas sel pada air laut steril yang diberi substrat agar-agar Jam ke-
Konsentrasi sel (cfu/ml) Alg3.1
Abn1.2
Alg4.2
12 24
4.8 x 107 4.2 x 107
2.4 x 107 2.0 x 107
5.2 x 107 3.9 x 107
48
1.9 x 107
9.8 x 106
1.2 x 107
Populasi bakteri (Tabel 4) cenderung menurun setiap jam pengamatan. Setelah 24 jam inkubasi jumlah sel mulai berkurang dan pada 48 jam pengamatan jumlah sel bakteri pada air laut tersisa kurang dari setengah populasi sel pada 12 jam pengamatan. Hal ini dapat terjadi karena sel bakteri telah memasuki fase
52 kematian. Data laju pertumbuhan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa ketiga isolat mulai memasuki fase kematian pada jam ke-20 setelah inkubasi. Selain itu, diketahui bahwa air laut sangat miskin nutrisi esensial dan pemberian sumber karbon berupa agar-agar tanpa disertai dengan faktor tumbuh
seperti asam
amino, lemak, dan vitamin tidak dapat menunjang pertumbuhan bakteri dengan baik, sehingga sel bakteri dapat dengan segera memasuki fase kematian. Data ini memberi petunjuk penting mengenai jangka waktu pemberian probiotik. Oleh karena populasi bakteri kandidat probiotik tersisa separuhnya setelah 48 jam maka pemberian probiotik sebaiknya dilakukan setiap 48 jam sekali sampai membentuk populasi yang stabil dalam saluran pencernaan abalon. Hasil penelitian ini sejalan dengan Macey dan Coyne (2006) yang menyarankan pemberian probiotik Pediococcus sp. Ab1 dilakukan setiap 48 jam selama 2 minggu untuk memaksimalkan manfaatnya bagi inang. Sementara Iehata et al. (2009) melaporkan bahwa
pemberian probiotik Lactobacillus sp. galur a3
menunjukkan populasi yang stabil pada saluran pencernaan abalon setelah pemberian selama 3 minggu. Ketahanan Terhadap pH Asam dan Basa Oleh karena tembolok dan lambung abalon bersifat asam maka isolat bakteri kandidat probiotik
yang diharapkan berkontribusi dalam penyediaan
enzim pencernaan abalon harus memiliki kemampuan untuk dapat bertahan hidup pada kondisi asam. Ketahanan isolat terhadap asam lambung direfleksikan dengan kemampuannya bertahan dalam media cair asam, yang dinyatakan sebagai selisih log jumlah bakteri pada media kontrol dengan media perlakuan selama periode inkubasi. Semakin kecil selisih antara kontrol dengan perlakuan maka semakin tahan isolat terhadap asam lambung. Hasil pengujian ketahanan terhadap kondisi asam lambung (media MB pH 2.5 dan pH 4.5), usus (pH 6.5) dan kolom air (pH 7.5) disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 8.
53
Tabel 12. Selisih log (cfu/mL) antara jumlah isolat dalam media pH 2.5, pH 4.5, pH 6.5 dan pH 7.5 dengan kontrol (pH 7.0) pada periode 8 dan 24 jam inkubasi
Isolat
log K0*
Abn1.2 Alg3.1 Alg4.2
7.65 7.56 7.80
Abn1.2 Alg3.1 Alg4.2
7.65 7.56 7.80
Abn1.2 Alg3.1 Alg4.2
7.65 7.56 7.80
Abn1.2 Alg3.1 Alg4.2
7.65 7.56 7.80
Waktu pengamatan pada 8 jam pada 24 jam log Pt** log K0– logPt log K0* log Pt** log K0 - log Pt Kondisi asam pH 2.5 5.88 1.77 8.22 4.05 4.17 5.54 2.02 8.12 0.00 8.12 5.65 2.15 8.06 4.09 3.97 Kondisi asam pH 4.5 7.31 0.338 8.22 7.98 0.237 7.03 0.533 8.12 7.55 0.573 7.25 0.554 8.06 7.85 0.206 Kondisi asam pH 6.5 7.62 0.025 8.22 8.20 0.013 7.52 0.044 8.12 8.08 0.033 7.77 0.034 8.06 8.03 0.027 Kondisi basa pH 7.5 7.71 -0.056 8.22 8.29 -0.068 7.65 -0.085 8.12 8.14 -0.020 7.84 -0.041 8.06 8.12 -0.057
*log jumlah sel (cfu/ml) pada kontrol **log jumlah sel (cfu/ml) pada perlakuan *** tanda (-) menunjukkan log jumlah sel kontrol lebih kecil dari perlakuan Kemampuan isolat untuk bertahan dalam media pada pH asam sangat bervariasi, akan tetapi ketiga isolat mengalami penurunan jumlah sel yang besar pada media pH 2.5 selama 8 dan 24 jam inkubasi. Selisih log jumlah bakteri antara kontrol dengan perlakuan pH 2.5 yang besar menunjukkan rendahnya jumlah sel bakteri yang mampu tumbuh.
Media dengan pH 2.5 memiliki
pengaruh yang merusak pada semua isolat yang diuji, bahkan isolat Alg3.1 tidak mampu bertahan hidup setelah 24 jam masa inkubasi. Hal yang sama dilaporkan oleh Jacobsen et al. (1999) yang hanya mendapatkan 29 galur bakteri asam laktat yang mampu bertahan hidup pada pH 2.5 dari 49 galur yang diuji dan tidak satupun galur tersebut yang mampu tumbuh setelah 4 jam inkubasi. Asam pH 2.5 bersifat menghambat pertumbuhan dan atau membunuh sel melalui efek denaturasi enzim-enzim pada permukaan sel, kerusakan lipopolisakarida dan membran luar.
54
9.5
Log jumlah sel (cfu/ml)
8.5 7.5
Abn1.2
Alg3.1
Alg4.2
6.5 5.5 4.5 3.5 2.5 1.5 0.5 -0.5
8 jam
24 jam
pH 2.5
8 jam
24 jam
pH 4.5
8 jam
24 jam
pH 6.5
8 jam
24 jam
pH 7.5
Gambar 8. Selisih log (cfu/mL) antara jumlah isolat dalam media pH 2.5, pH 4.5, pH 6.5 dan pH 7.5 dengan kontrol (pH 7.0) pada periode 8 dan 24 jam inkubasi Media pH 4.5 yang merefleksikan kondisi lambung sedikit memberikan pengaruh terhadap ketahanan isolat, yang ditandai dengan sangat kecilnya selisih jumlah populasi bakteri kontrol dengan perlakuan. Selisih log antara jumlah isolat dalam media pH 6.5 dengan kontrol (pH 7.0) mendekati nol. Ini berarti bahwa jumlah populasi bakteri pada pH 6.5 hampir sama dengan kontrol, dengan demikian pH 6.5 tidak memberikan pengaruh terhadap ketahanan isolat bakteri agarolitik. Ke-tiga isolat bakteri agarolitik tersebut pada media pH basa (pH 7.5) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kontrol. Nilai negatif berarti jumlah populasi bakteri perlakuan lebih tinggi dari populasi bakteri pada kontrol. Hal ini dapat terjadi karena air laut bersifat alkalis dengan pH berkisar 78 dan dengan demikian bakteri-bakteri laut sudah beradaptasi dengan lingkungan yang bersifat basa. Bagi kandidat probiotik yang bekerja pada saluran pencernaan, toleransi terhadap asam lambung dan garam empedu merupakan salah satu kriteria terpenting karena tekanan pertama yang dihadapi ketika melewati saluran pencernaan adalah asam lambung yang bersifat mematikan bagi sebagian besar bakteri. Berikutnya setelah melewati lambung, sel bakteri akan berhadapan dengan garam empedu yang bersifat basa di usus halus. Kemampuan bertahan dan
55
berkolonisasi pada usus menjadi kunci sukses bagi probiotik untuk memberikan manfaat bagi inangnya. Persentase Hidrofobisitas Sifat hidrofobisitas diujikan sebagai pendekatan terhadap kemampuan isolat bakteri agarolitik kandidat probiotik untuk menempel pada substrat padat (dinding saluran pencernaan), sehingga tidak mudah tercuci akibat pergerakan usus.
Hasil uji hidrofobisitas pada Gambar 9 (Lampiran 9) memperlihatkan
bahwa persentase hidrofobisitas paling tinggi dicapai oleh isolat Abn1.2 yaitu sebesar 23.91, diikuti oleh Alg4.2 sebesar 22.98 persen dan Alg3.1 sebesar 11.84 persen. Isolat Alg4.2 dan Abn1.2 dengan nilai lebih dari 20% tergolong hidrofobik moderat berdasarkan kriteria Santos et al. (1990) Hidrofobisitas (%)
25 20 15 10 5 0 Alg3.1
Abn1.2
Alg4.2
Gambar 9. Persentase hidrofobisitas isolat bakteri agarolitik Sifat hidrofobisitas bakteri berhubungan dengan komponen dinding sel seperti fosfolipid, lipopolisakarida, dan komponen luar sel seperti fimbrae, dan kapsul atau lapisan lendir (slime layer). Komponen ini mempunyai fungsi penempelan pada sel inang yang membentuk interaksi hidrofobik (Finlay dan Falkow 1996). Lapisan lipopolisakarida pada kapsul membantu bakteri dalam menempel atau melekat pada komponen permukaan jaringan inang atau pada permukaan padat di alam (Madigan et al. 2009). Abdallah et al. (2009) menguji hubungan antara produksi lapisan lendir dengan kemampuan koagregasi dan penempelan bakteri Vibrio alginolyticus dan V. parahaemolyticus.
Produksi lapisan lendir yang lebih tinggi pada V.
56 alginolyticus secara signifikan memiliki kemampuan koagregasi dan penempelan yang lebih tinggi pada sel vero dibandingkan V. parahaemolyticus. Komposisi kimiawi kapsul berbeda-beda menurut organismenya. Ada yang berupa polimer glukosa pada Leuconostoc mesentroides, polimer gula-amino pada Staphylococcus, polimer asam glutamate pada Bacillus anthracis atau kompleks polisakarida-protein pada B. disentriae (Hadioetomo 1993). Keragaman komponen yang memberikan fungsi pada hidrofobisitas bakteri ini menyebabkan setiap spesies mengekspresikan hidrofobisitas yang berbeda-beda. Derajat Koagregasi Kemampuan interaksi antar kultur bakteri untuk saling menempel pada saluran pencernaan dapat ditentukan berdasarkan derajat koagregasi kultur. Pasangan bakteri yang mampu berkoagregasi dengan baik akan mampu menempel dan berkolonisasi dalam saluran pencernaan sehingga tidak mudah keluar karena pergerakan lambung dan usus. Hasil uji koagregasi (Tabel 13 dan Lampiran 10) menunjukkan bahwa ketiga isolat mampu beragregasi satu dengan lainnya. Tiap isolat memperlihatkan kecenderungan yang berbeda untuk membentuk agregat dengan isolat lainnya. Persentase koagregasi tertinggi dicapai oleh pasangan Abn1.2 dengan Alg3.1 sebesar 8.79 persen dan yang terendah adalah pasangan Abn1.2 dengan Alg4.2 sebesar 6.85 persen. Tabel 13. Persentase koagregasi isolat bakteri agarolitik yang saling dipasangkan Kombinasi isolat
Alg3.1
Abn1.2
Alg4.2
Alg3.1
-
8.79
7.19
Abn1.2
8.79
-
6.85
Alg4.2
7.19
6.85
-
Persentase koagregasi antar isolat bakteri agarolitik ini lebih tinggi (6.858.79%) bila dibandingkan dengan koagregasi antar galur Lactobacillus yang dilaporkan oleh Wirawati (2002) yang berkisar antara 0.18 – 3.3%. Perbedaan tingkat koagreagasi antar isolat ini terjadi karena reaksi koagregasi sangat bergantung pada karakteristik struktur permukaan sel pasangan (Malik et al. 2003). Struktur
permukaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi
57
lingkungan terutama suhu, konsentrasi garam (Vandevoorde et al. 1992), fase pertumbuhan dan media tumbuh (Ramos-vivas et al. 2008). Pada pH rendah dan konsentrasi garam yang tinggi (0.1 mol/L) pada saat pengujian dapat meningkatkan
persentase
koagregasi
bakteri
asam
laktat
hingga
85%
(Vandevoorde et al. 1992). Penempelan Pada Lempeng Baja Stainless Uji penempelan pada lempeng baja stainless dilakukan sebagai model pendekatan penempelan bakteri pada dinding saluran pencernaan. Uji ini didasarkan atas kemampuan bakteri membentuk biofilm, bakteri yang mampu menempel dengan baik akan memiliki kemampuan membentuk biofilm yang baik pula.
Hasil uji penempelan pada lempeng baja stainless (Gambar 10 dan
Lampiran 11) menunjukkan bahwa peningkatan laju pertumbuhan sel planktonik diikuti oleh pertambahan jumlah sel pada lempeng baja. 9.5
Abn1.2
Alg3.1
Alg4.2
Jumlah sel (log cfu)
9.0 8.5 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 swab
planktonik 24 jam
swab
planktonik 48 jam
Gambar 10. Jumlah sel bakteri agarolitik (log cfu/cm2) yang menempel pada lempeng baja stainless (swab) dan yang melayang (planktonik) pada fase cair (log cfu/ml) selama 24 dan 48 jam pada 28 oC dan diagitasi 120 putaran permenit Pertumbuhan sel planktonik ke-tiga isolat berlangsung cepat pada 24 jam inkubasi dan mulai melambat pada 48 jam inkubasi. Sebaliknya laju penempelan meningkat pesat dalam 48 jam inkubasi. Laju pertumbuhan yang tinggi pada ketiga isolat ini menyebabkan nutrisi pada fase cairan berkurang dengan sangat
58 cepat, akibatnya sel-sel mengalami kelaparan dan membentuk biofilm pada permukaan
lempeng baja stainles.
Kejadian ini sejalan dengan penelitian
Dewanti and Wong (1995) yang melaporkan bahwa E.coli O157:H7 yang hidup pada nutrisi terbatas juga meningkat sifat hidrofobiknya dan menempel lebih baik serta membentuk biofilm yang lebih stabil pada lempeng baja stainles. Menurut Dewanti-Hariadi
(1997), dalam kondisi miskin nutrisi di
lingkungan hidupnya, bakteri cenderung menempel pada permukaan benda padat, beragregasi
untuk membentuk biofilm. Formasi
biofilm ini memungkinkan
bakteri dapat melakukan penggunaan bersama sumberdaya intra maupun interspesies, sehingga memungkinkan kelompok bakteri tersebut dapat bertahan hidup. Sebaliknya bila di lingkungannya kaya nutrisi, bakteri akan terlepas dari biofilm dan berpindah ke fase cairan.
Identifikasi Bakteri Agarolitik Tiga isolat hasil seleksi yaitu Abn1.2, Alg3.1 dan Alg4.2 diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologi koloni (Lampiran 6),
fisiologis seperti
fermentasi gula, produksi katalase, reduksi nitrat, hidrolisis gelatin, pertumbuhan pada berbagai suhu, konsentrasi garam dan lain-lain (Tabel 14). Selain itu juga dilakukan identifikasi secara molekuler berdasarkan sekuen gen 16S rRNA. Fisiologi dan biokimia Hasil pengujian karakteristik fisiologi dan biokimia disajikan pada tabel 14. Berdasarkan Analisis profile matching menggunakan software identifikasi APIwebR1.2.1 (API 20E) menunjukkan bahwa
galur
Abn1.2, Alg3.1 dan
Alg4.2 tergolong sebagai Vibrio. Isolat Abn1.2, Alg3.1 dan Alg4.2 merupakan bakteri Gram-negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif, tumbuh dengan baik pada pH dan temperatur 7.5 dan 25-29 oC, sensitif terhadap ampisilin (10 dan 30µg), tetrasiklin (10µg), vankomisin (30µg), dan rifampisin (5µg). Ketiga isolat memiliki keragaman dalam memanfaatkan berbagai jenis gula. Semua isolat dapat menggunakan berbagai jenis gula kecuali arabinosa pada Abn1.2, glukosa, arabinosa, N-asetil glukosamin, manosa dan maltosa pada Alg3.1, dan N-
59
asetil glukosamin dan maltosa pada Alg4.2. Ke-tiga isolat tidak dapat memanfaatkan asam kaprat, fenilasetat, trisodium sitrat dan hanya isolat Alg4.2 yang dapat menggunakan asam adipat. Dalam Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Vibrio (famili Vibrionaceae) termasuk kedalam kelompok -proteobacteria merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang motil, mesofilik kemoorganotrof, metabolisme bersifat fermentasi fakultatif, habitat utamanya di perairan serta dalam bentuk asosiasi dengan eukariota. Secara umum mereka dapat tumbuh pada marine agar dan thiosulfate-citrate-bilesalt-sucrose agar (TCBS) dan kebanyakan bersifat oksidase positif (Thompson et al. 2004). Identifikasi Vibrionaceae
pada tingkat genus maupun spesies berbasis
fenotipik klasik seringkali bersifat problematik karena luasnya keragaman karakter fenotip yang ada. Sebagai contoh, karakter paling penting bagi suatu isolat dinyatakan tergolong kedalam genus Vibrio adalah bila mampu tumbuh pada medium TCBS, oksidase positif dan motil. Sekarang diketahui bahwa Staphylococcus, Flavobacterium, Pseudoalteromonas, dan Shewanella dapat tumbuh pada medium TCBS, kelompok V. halioticoli tidak memiliki flagella dan V. metschnikovii dan V. gazogenes bersifat oksidase negatif (Thompson et al. 2004). Luasnya keragaman karakter Vibrio menyebabkan sejumlah karakter esensial seperti oksidase, motilitas,
arginin dihidrolase, lisin dan ornitin
dekarboksilase berubah menjadi tidak esensial dan dengan demikian dibutuhkan teknik identifikasi yang lain untuk menguatkan dugaan.
60 Tabel 14. Karakteristik fenotipik isolat Karakteristik Reaksi Gram Motilitas Oksidase Reduksi nitrat Produksi indol D-glukosa (1.92 mg) Arginin dihidrolase (ADH) Urease Eskulin Gelatinase PNPG Pertumbuhan di TCBS Pemanfaatan : Trisodium sitrat Asam kaprat Asam adipat Asam malat Asam fenilasetat Produksi asam dari : D-glukosa (1.56mg) Arabinosa D-manosa D-manitol N-asetil glukosamin D-maltosa Potassium glukonat Pertumbuhan pada : 8 oC 25oC 37oC 42oC Pertumbuhan dalam : 0% NaCl 3% NaCl 6% NaCl
Abn1.2 + + + + + + + +
Alg3.1 + + + + + + + + +
Alg4.2 + + + + + + + +
+ -
+ -
+ + -
+ + + + + +
+ +
+ + + + +
+ + +
+ + -
+ + -
+ +
+ +
+ +
Analisis Molekuler gen 16S rRNA Sekuen gen 16S rRNA dari isolat Abn1.2 (1206 bp), Alg3.1 (1230 bp) dan Alg4.2 (1230 bp) digunakan untuk identifikasi taksonomi. Penjajaran sekuen nukleotida 16S rDNA dengan sekuen pada database GenBank menunjukkan bahwa ke-tiga isolat memiliki kemiripan yang tinggi dengan spesies Vibrio
61
natriegens galur ATCC 14048 (Tabel 15). Derajat kemiripan isolat dengan V. natriegens galur ATCC 14048 berturut-turut turut adalah 99%, 97% dan 98% untuk Abn1.2, Alg3.1 dan Alg4.2. Tabel 15 Takson dalam pusat data GenBank dengan sekuen gen 16S rRNA yang paling mirip dengan sekuen parsial masing masing-masing isolat Isolat Kedekatan Kemiripan (%) No Akses Abn1.2 Vibrio natriegens galur ATCC 14048 NR026124.1 99 NR026124.1 Alg3.1 Vibrio natriegens galur ATCC 14048 97 Alg4.2 Vibrio natriegens galur ATCC 14048 98 NR026124.1 Selanjutnya
berdasarkan
sekuen
16S
rRNA
kelompok
bakteri
Vibrionaceae yang diperoleh dari database GenBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) maka dibuat konstruksi pohon filogenetik menggunakan program MEGA4 (Gambar 11).
Gambar 11.. Pohon filogenetik berdasarkan ssekuen ekuen 16S rDNA yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara Abn1.2, Alg3.1 dan Alg4.2 dengan kelompok bakteri Vibrio yang lain. Berdasarkan persen kemiripan sekuen 16S rDNA isolat Alg3.1 dan Alg4.2 dengan V. natriegens natriegens, terdapat kemungkinan bahwa kedua isolat berbeda
62 spesies dengan V. natriegens, sebab menurut Drancourt et al. (2000) bahwa suatu isolat disebut sama genus bila memiliki kemiripan ≥97% dan ≥99% sama spesies.
Meskipun
demikian,
untuk
membedakan
spesies-spesies
yang
berhubungan dekat atau untuk menentukan spesies baru diperlukan sekuen lengkap dari gen 16S rRNA (Drancourt et al. 2000). Spesies Vibrio telah lama dilaporkan sebagai salah satu kelompok bakteri pendegradasi agar-agar (Swarzt dan Gordon 1958), diantaranya adalah Vibrio sp. galur JT0107 (Sugano et al. 1993), Vibrio sp. galur PO-303 ((Dong et al. 2006), V. agarivorans galur 289 (Macian et al. 2001), dan Vibrio sp. galur V134 (Zhang dan Sun 2007). Vibrio ditemukan sangat melimpah pada lingkungan akuatik, termasuk estuaria, sedimen dan air laut, serta lingkungan budidaya perairan secara luas. Kelompok bakteri ini menunjukkan kepadatan yang tinggi pada organisme laut seperti karang, ikan, moluska, rumput laut, spong, udang dan zooplankton (Thompson et al. 2003; 2004). Verschuere et al. (2000) menyebutkan sejumlah galur Vibrio yang telah diaplikasikan sebagai probiotik akuakultur, diantaranya suatu galur V. alginolyticus yang diisolasi dari Lautan Pasifik lalu diaplikasikan pada tangki pembesaran larva udang L. vannamei dapat meningkatkan kelulushidupan dan berat badan postlarva serta dapat mereduksi populasi V. parahaemolyticus. Galur lain V. alginolyticus digunakan sebagai probiotik dan dikomersialkan pada pembenihan udang di Ekuador, dan aplikasinya pada ikan salmon Atlantik dapat menurunkan mortalitas ikan salmon setelah ditantang dengan Aeromonas salmonicida. Vibrio memainkan peranan penting dalam siklus nutrisi di lingkungan perairan melalui pemecahan bahan organik. Vibrio menyediakan asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acids) esensial bagi rantai makanan akuatik, yang mana banyak diantara organisme akuatik tidak mampu memproduksinya (Nichols 2003). Vibrio juga dapat mendegradasi kitin, sebuah homopolimer N-asetil glukosamin, yang merupakan salah satu pool terbesar gula amino dilautan (Rieman and Azam 2002). Selain itu, spesies tertentu dari bakteri ini digunakan untuk produksi vaksin dan probiotik, dan dapat melakukan bioremediasi hidrokarbon poliaromatik (Thompson et al. 2004).