5
4. 5.
6.
HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Data
November 2006 tingkat inflasi cenderung stabil dan mengalami kenaikan kembali pada pertengahan tahun 2008. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena tingkat inflasi kembali turun pada awal tahun 2009. 13
Tingkat Suku Bunga BI
12 11 10 9 8 7 6 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 2 Plot Deret Input Tingkat Suku Bunga BI Tingkat suku bunga BI awalnya mengalami penurunan sampai pertengahan tahun 2004 (Gambar 2). Kemudian mengalami kenaikan sampai dengan April 2006, yang merupakan titik tertinggi. Setelah itu mengalami penurunan dan kenaikan kembali pada tahun 2008 hingga tahun 2009. 12000 Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
3.
korelasi diri, dan plot korelasi diri parsial serta uji Augmented DickeyFuller b. Identifikasi Model ARIMA dengan metode Box-Jenkins c. Pemutihan deret input d. Pemutihan deret output berdasarkan hasil pemutihan deret input Pembentukan model fungsi transfer, meliputi: a. Perhitungan fungsi korelasi silang (CCF) masing-masing deret input dengan deret output b. Penetapan (r, s, b) pada masing-masing input c. Identifikasi model awal fungsi transfer input ganda d. Identifikasi model ARIMA untuk deret sisaan dengan melihat plot korelasi diri sisaan dan plot korelasi diri parsial sisaan dari model awal fungsi transfer input ganda Pendugaan parameter model fungsi transfer Pemeriksaan diagnostik model fungsi transfer a. Pemeriksaan autokorelasi untuk sisaan model b. Pemeriksaan korelasi silang antara sisaan deret noise (at ) dan deret input yang telah diputihkan ( ), i=1, 2, 3. Meramalkan tingkat inflasi
11000
10000
9000
8000 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
20
Gambar 3 Plot Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD
Tingkat Inflasi
15
10
5
1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 1 Plot Deret Output Tingkat Inflasi Pada Gambar 1 terlihat data tingkat inflasi menunjukkan pola yang cenderung stabil dari Januari 2003 sampai September 2005. Kemudian mengalami kenaikan tajam mencapai 18% pada Oktober 2005. Inflasi tertinggi terjadi pada September 2005 yaitu sebesar 18.38%. Tingginya inflasi ini terus terjadi pada tiap periode hingga menurun tajam pada bulan Oktober 2006. Mulai
Gambar 3 memperlihatkan pola data nilai tukar rupiah terhadap USD. Dari awal tahun 2003 sampai dengan pertengahan tahun 2008, terlihat data yang berfluktuasi. Kemudian pada Oktober 2008 mengalami kenaikan tajam hingga mencapai angka Rp.10.995 per dollar Amerika. Pada November 2008 nilai tukar rupiah terhadap USD mencapai Rp.12.151 per dollar Amerika. Nilai ini merupakan nilai tertinggi selama 7 tahun sejak tahun 2003 hingga tahun 2009. Tingginya nilai tukar ini terus terjadi dan mengalami penurunan pada pertengahan tahun 2009 hingga akhir tahun 2009. Perubahan jumlah uang beredar berfluktuasi setiap bulannya (Gambar 4). Memiliki nilai tertinggi pada Maret 2009 dan nilai terendah pada Januari 2003.
6
Tingkat Suku Bunga BI Setelah Pembedaan
1.5
Perubahan Jumlah Uang Beredar
20.0 17.5 15.0 12.5 10.0 7.5 5.0
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 5 Plot Deret Input Tingkat Suku Bunga BI Setelah Pembedaan
Nilai korelasi antara tingkat suku bunga BI dan nilai tukar rupiah terhadap USD adalah sebesar -0.1017, nilai korelasi tingkat suku bunga BI dengan perubahan jumlah uang beredar sebesar 0.1344. Sedangkan nilai korelasi antara nilai tukar rupiah terhadap USD dengan perubahan jumlah uang beredar sebesar 0.5873. Hal ini menunjukkan adanya korelasi di antara keduanya. Oleh karena itu digunakan simultaneous reestimation parameter. Simultaneous reestimation adalah metode untuk memperoleh model terbaik pada model fungsi transfer input ganda pada saat antar deret inputnya terdapat korelasi.
Peubah Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Pada Gambar 3 terlihat input nilai tukar rupiah terhadap USD tidak stasioner. Plot ACF juga memperlihatkan data tidak stasioner karena polanya turun secara perlahan-lahan (Lampiran 5). Demikian juga dari hasil uji Augmented Dickey-Fuller pada Lampiran 6 yang memperlihatkan nilai-p yang lebih besar dari 0.05. Oleh karena itu dilakukan pembedaan untuk mengatasi ketidakstasioneran.
Uji Kestasioneran Deret Input dan Deret Output Data deret waktu memerlukan transformasi dan pembedaan untuk mencapai kestasioneran data. Transformasi diperlukan agar deret waktu stasioner dalam ragam. Sedangkan pembedaan diperlukan agar deret waktu stasioner dalam rataan. Peubah Input Tingkat Suku Bunga BI Dari Gambar 2 terlihat bahwa peubah input tingkat suku bunga BI tidak stasioner dalam rataan. Selain dari plot data, ketidakstasioneran dapat juga terlihat dari plot ACF yang turun secara perlahan-lahan (Lampiran 1). Pengujian Augmented DickeyFuller juga dilakukan untuk menguji kestasioneran data. Pada Lampiran 2 terlihat bahwa data tidak stasioner karena pada pengujian dihasilkan nilai-p yang lebih besar dari 0.05. Untuk mengatasinya dilakukan pembedaan. Gambar 5 memperlihatkan data tingkat suku bunga BI setelah pembedaan lebih stasioner dalam nilai tengah. Dari plot ACF dan plot PACF (Lampiran 3) dan uji Augmented Dickey-Fuller (Lampiran 4) terlihat bahwa data sudah stasioner setelah dilakukan pembedaan.
Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD Setelah Pembedaan
Gambar 4 Plot Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar
2000 1500 1000 500 0 -500 -1000
1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 6 Plot Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Setelah Pembedaan Plot data yang telah melalui pembedaan terlihat pada Gambar 6. Pada gambar tersebut terlihat data telah stasioner, hal ini juga dapat dilihat pada plot ACF dan plot PACF (Lampiran 7) dan hasil uji Augmented DickeyFuller pada Lampiran 8 yang memperlihatkan nilai-p yang lebih kecil dari 0.05. Peubah Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Gambar 4 memperlihatkan perubahan jumlah uang beredar memiliki pola yang berfluktuasi pada setiap bulannya, dari plot ACF (Lampiran 9) juga terlihat pola plot yang turun secara perlahan-lahan, hal ini mengindikasikan data tidak stasioner. Hasil uji Augmented Dickey-Fuller (Lampiran 10)
7
Perubahan Jumlah Uang Beredar Setelah Pembedaan
juga memperlihatkan ketidakstasioneran dengan nilai-p yang lebih besar dari 0.05. Untuk mengatasi ketidakstasioneran dilakukan pembedaan, Gambar 7 memperlihatkan plot data yang sudah mengalami pembedaan. Plot data terlihat telah stasioner, hal ini juga dapat dilihat dari plot ACF dan plot PACF (Lampiran 11) dan hasil uji Augmented Dickey-Fuller pada Lampiran 12 yang memperlihatkan nilai-p yang lebih kecil dari 0.05. 5.0
2.5
0.0
Identifikasi Model ARIMA Identifikasi model ARIMA dilakukan dengan memperhatikan beberapa nilai awal dari korelasi diri dan korelasi diri parsialnya yang berbeda nyata dengan nol, serta pola dari plot ACF dan plot PACF. Peubah Input Tingkat Suku Bunga BI Pada Lampiran 3 terlihat plot ACF dari deret input tingkat suku bunga BI terlihat nyata sampai lag ke-3 dan plot PACF nyata hanya pada lag pertama. Sehingga model sementaranya adalah ARIMA (1,1,0), ARIMA(0,1,3), dan ARIMA (1,1,3). Tabel 1 Nilai Dugaan Parameter ModelModel Sementara Deret Input Tingkat Suku Bunga BI
-2.5
-5.0 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 7 Plot Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Setelah Pembedaan Peubah Output Tingkat Inflasi Dari Gambar 1 terlihat bahwa deret peubah output tingkat inflasi tidak stasioner dalam rataan. Selain dari plot data, ketidakstasioneran dapat juga terlihat dari plot ACF yang turun secara perlahan-lahan (Lampiran 13). Pengujian Augmented DickeyFuller juga dilakukan untuk menguji kestasioneran data, hal ini terlihat pada Lampiran 14 dan terlihat bahwa data tidak stasioner karena dihasilkan nilai-p yang lebih besar dari 0.05. Untuk mengatasi ketidakstasioneran tersebut maka dilakukan pembedaan. 10 Tingkat Inflasi Setelah Pembedaan
memperlihatkan nilai-p yang lebih kecil dari 0.05.
5
Model ARIMA (1,1,0) ARIMA (0,1,3) ARIMA (1,1,3)
Tipe AR 1
Koefisien 0.7722
Nilai-p <0.0001
MA 1 MA 2 MA3 MA 1 MA2 MA 3 AR 1
-0.5643 -0.3826 -0.4371 -0.0223 -0.0413 -0.2821 0.6954
<0.0001 0.0009 <0.0001 0.8888 0.7606 0.0256 <0.0001
Pada Tabel 1 terlihat bahwa model yang koefisiennya nyata pada taraf 5% adalah ARIMA (1,1,0) dan ARIMA (0,1,3). Modelmodel ini akan diikutsertakan pada proses diagnostik model. Pengecekan diagnostik model dari hasil uji Ljung-Box pada Tabel 2 menunjukkan hanya ARIMA (1,1,0) yang memiliki nilai-nilai tidak signifikan pada taraf 5% untuk lag 6, 12, 18, dan 24. Hal ini berarti hanya ARIMA (1,1,0) yang tidak ada autokorelasi antar sisaan pada model. Tabel 2 Hasil Uji Ljung-Box Sisaan pada Pemodelan ARIMA Deret Input Tingkat Suku Bunga BI
0
-5
-10 1
8
16
24
32
40 48 Index
56
64
72
80
Gambar 8 Plot Deret Output Tingkat Inflasi Setelah Pembedaan Plot data yang telah melalui pembedaan terlihat pada Gambar 8. Plot data terlihat telah stasioner, hal ini juga dapat dilihat dari plot ACF dan plot PACF (Lampiran 15) dan hasil uji Augmented Dickey-Fuller di Lampiran 16
Model ARIMA (1,1,0)
ARIMA (0,1,3)
Nilai-p Ljung-Box (lag) 0.0753(6) 0.0704(12) 0.1684(18) 0.0686(24) 0.0004(6) 0.0050(12) 0.0188(18) 0.0099(24)
Hasil uji kebebasan Ljung-Box pada sisaan model ARIMA (1,1,0) didukung oleh
8
plot ACF sisaan dan plot PACF sisaan yang tidak nyata pada semua lag (Lampiran 17). Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa sisaan saling bebas. Pengecekan kenormalan sisaan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada Lampiran 18 menunjukkan nilai-p yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini berarti sisaan tidak menyebar normal. Sisaan yang tidak menyebar normal dapat ditoleransi karena mengingat teorema dalil limit pusat yang menyatakan bahwa suatu sebaran dapat didekati dengan sebaran normal ketika ukuran contohnya besar. Pada penelitian ini ukuran contoh yang digunakan sebesar 84, dengan demikian ARIMA (1,1,0) dapat dikatakan memenuhi asumsi sebaran normal. Model ARIMA (1,1,0) selanjutnya akan dilakukan overfitting dengan model ARIMA (2,1,0) dan ARIMA (1,1,1). Hasil pendugaan parameter untuk kedua model tersebut menunjukkan hasil yang tidak nyata pada taraf 5%. Dengan demikian model ARIMA (1,1,0) ditetapkan sebagai model terbaik untuk deret input tingkat suku bunga BI. Hasil pendugaan parameter dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai Dugaan Parameter Model Deret Input Tingkat Suku Bunga BI Model ARIMA (1,1,0)
Tipe
Koefisien
Nilai-p
AR 1
0.7722
<0.0001
Dengan demikian model ARIMA untuk deret input tingkat suku bunga BI adalah sebagai berikut:
(1 − 0.7722 )∇
1
=
1
dimana 1 adalah tingkat suku bunga BI pada waktu ke-t, jika 1 = ∇ 1 , maka:
(1 − 0.7722 )
1
=
1
Peubah Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Pada plot ACF deret nilai tukar rupiah terhadap USD setelah pembedaan (Lampiran 7) nyata pada lag ke dua dan plot PACFnya nyata sampai lag ke tiga. Sehingga model sementara yang diperoleh adalah ARIMA (3,1,0), ARIMA (0,1,2), dan ARIMA (3,1,2). Tabel 4 memperlihatkan bahwa model ARIMA (3,1,0) dan ARIMA (0,1,2) memiliki parameter dugaan yang nyata pada taraf 5%. Pengecekan diagnostik model dari hasil uji Ljung-Box pada Tabel 5 menunjukkan kedua model memiliki nilai-nilai tidak signifikan pada taraf 5% untuk lag ke-6, 12, 18, dan 24.
Hal ini berarti bahwa kedua model ini tidak ada autokorelasi antar sisaan pada model. Tabel 4 Nilai Dugaan Parameter ModelModel Sementara Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Model ARIMA (3,1,0) ARIMA (0,1,2) ARIMA (3,1,2)
Tipe AR 1 AR 2 AR 3 MA 1 MA 2 MA 1 MA 2 AR 1 AR 2 AR 3
Koefisien 0.2427 -0.3237 0.2475 -0.2803 0.2893 -0.0466 -0.0368 0.1967 -0.3475 0.1926
Nilai-p 0.0279 0.0030 0.0252 0.0101 0.0085 0.9464 0.9368 0.7736 0.3039 0.2178
Tabel 5 Hasil Uji Ljung-Box Sisaan pada Pemodelan ARIMA Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Model ARIMA (3,1,0)
ARIMA (0,1,2)
Nilai-p Ljung-Box (lag) 0.4949(6) 0.5801(12) 0.5801(18) 0.6961(24) 0.3823(6) 0.5956(12) 0.6403(18) 0.7788(24)
Hasil uji kebebasan Ljung-Box pada sisaan model ARIMA (3,1,0) dan ARIMA (0,1,2) didukung oleh plot ACF sisaan dan plot PACF sisaannya pada Lampiran 19 dan Lampiran 20 tidak nyata pada semua lag. Hal ini berarti sisaan saling bebas. Hasil uji kenormalan sisaan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan sisaan tidak menyebar normal untuk kedua model tersebut (Tabel 6). Ketidaknormalan sisaan ini dapat ditoleransi seperti pada pemodelan tingkat suku bunga BI. Dengan demikian kedua model tersebut dapat dikatakan memenuhi diagnostik model. Tabel 6 Hasil Uji Kolmogorov- Smirnov Sisaan Model Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Model ARIMA (3,1,0) ARIMA (0,1,2)
Statistik KS 0.139 0.139
Nilai-p <0.010 <0.010
Selanjutnya akan dilakukan overfitting. Hasil pendugaan parameter untuk semua model overfitting pada Lampiran 21 menunjukkan hasil yang tidak nyata pada taraf 5%.
9
Tabel 7 Nilai AIC dan SBC Kandidat Model ARIMA Deret Input Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Model ARIMA (0,1,2) ARIMA (3,1,0)
AIC
SBC
1196.823
1201.66
1196.815
1204.071
Dari model-model yang memenuhi kriteria, model ARIMA (0,1,2) ditetapkan sebagai model terbaik untuk deret input nilai tukar rupiah terhadap USD karena pada Tabel 7 terlihat ARIMA (0,1,2) memilki nilai SBC lebih kecil dibandingkan ARIMA (3,1,0). Dengan demikian model ARIMA untuk deret input nilai tukar rupiah terhadap USD adalah sebagai berikut: ∇ (1 + 0.2803
2
− 0.2893
2
)
=
2
dimana 2 adalah nilai tukar rupiah terhadap USD pada waktu ke-t, jika ∇ = , maka: 2
(1 + 0.2803
− 0.2893
2
)
=
2
Peubah Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Pada Lampiran 11 terlihat plot ACF nyata pada lag ke dua belas sama halnya dengan plot PACF nyata pada lag ke dua belas. Sehingga model sementara yang diperoleh adalah ARIMA (0,1,0), ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12, dan ARIMA (0,1,0)(0,0,1)12. Tabel 8 Nilai Dugaan Parameter ModelModel Sementara Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Model ARIMA (0,1,0) ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 ARIMA (0,1,0)(0,0,1)12
Tipe -
Koefisien -
Nilai-p -
AR 12 MA 12
-0.5862
<0.0001
0.6439
<0.0001
Terlihat bahwa model ARIMA (0,1,0), ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 dan ARIMA (0,1,0) (0,0,1)12 memiliki parameter dugaan yang nyata pada taraf 5% (Tabel 8). Hasil uji Ljung-Box pada Tabel 9 menunjukkan bahwa hanya ARIMA (0,1,0) yang memiliki nilainilai signifikan pada taraf 5%, yaitu untuk lag ke-12, 18, dan 24. Hal ini berarti hanya ARIMA (1,1,0) yang memiliki autokorelasi antar sisaan pada model.
Tabel 9 Hasil Uji Ljung-Box Sisaan pada Pemodelan ARIMA Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Model ARIMA (0,1,0)
ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 ARIMA (0,1,0)(0,0,1)12
Nilai-p Ljung-Box (lag) 0.2106(6) 0.0006(12) 0.0018(18) 0.0038(24) 0.2706(6) 0.4814(12) 0.7370(18) 0.7032(24) 0.1469(6) 0.2723(12) 0.3713(18) 0.3739(24)
Pengecekan kebebasan sisaan untuk masing-masing model dapat dilihat secara eksploratif pada plot ACF sisaan dan plot PACF sisaannya. Plot ACF dan plot PACF untuk sisaan model ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 menunjukkan nilai-nilai yang tidak nyata pada semua lag (Lampiran 22). Sedangkan untuk model ARIMA (0,1,0)(0,0,1)12 terlihat pada korelasi diri parsialnya nyata pada lag ke-5, dan ke-6 (Lampiran 23). Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa hanya sisaan model ARIMA (0,1,0)(1,0,0) yang saling bebas. Hasil uji kenormalan sisaan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada Tabel 10 menunjukkan sisaan menyebar normal karena memiliki nilai-p yang lebih besar dari 0.05. Oleh karena itu ARIMA (0,1,0)(1,0,0) dikatakan memenuhi asumsi model. Tabel 10 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Sisaan Model Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Model ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 ARIMA (0,1,0)(0,0,1)12
Statistik KS
Nilai-p
0.058
>0.150
0.061
>0.150
Model ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 selanjutnya akan dilakukan overfitting dengan model ARIMA (0,1,0)(2,0,0)12 dan ARIMA (0,1,0) (1,0,1)12. Hasil overfitting model terlihat pada Lampiran 24. Dari model-model yang memenuhi kriteria, model ARIMA (0,1,0)(2,0,0)12 terpilih sebagai model terbaik untuk deret input perubahan jumlah uang beredar karena memilki nilai SBC dan AIC lebih kecil dibandigkan ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12(Tabel 11).
10
Tabel 11 Nilai AIC dan SBC Kandidat Model ARIMA Deret Input Perubahan Jumlah Uang Beredar Model ARIMA (0,1,0)(1,0,0)12 ARIMA (0,1,0)(2,0,0)12
AIC 311.4976
SBC 313.9164
305.2231
310.0608
Model ARIMA untuk deret perubahan jumlah uang beredar adalah sebagai berikut: (1 + 0.78276 + 0.42369 )∇ = dimana 3 adalah perubahan jumlah uang beredar pada waktu ke-t, jika ∇ = , maka: (1 + 0.78276
+ 0.42369
)
=
Pemutihan Deret Input dan Deret Output Tahap pemutihan dilakukan berdasarkan model ARIMA pada masing-masing deret input. Dalam tahap ini digunakan unsur white noise model tersebut. Model pemutihan dari deret input tingkat suku bunga BI adalah sebagai berikut: = (1 − 0.7722 ) Dengan cara yang sama, model pemutihan dari deret input nilai tukar rupiah terhadap USD adalah sebagai berikut: =
(1 + 0.2803
− 0.2893
)
Sedangkan untuk deret input perubahan jumlah uang beredar adalah sebagai berikut: = (1 + 0.78276
+ 0.42369
)
Pemutihan deret output dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana pemutihan deret input. Sehingga pemutihan deret output tingkat inflasi berdasarkan peubah input tingkat suku bunga BI menghasilkan persamaan: = (1 − 0.7722 ) Pemutihan deret output berdasarkan peubah input nilai tukar rupiah terhadap USD didapat model dengan persamaan: =
(1 + 0.2803
− 0.2893
)
Sedangkan pemutihan deret output berdasarkan peubah input perubahan jumlah uang beredar menghasilkan persamaan: = (1 + 0.78276
+ 0.42369
)
Perhitungan Fungsi Korelasi Silang dan Penentuan Nilai b, s, dan r pada Model Fungsi Transfer Penentuan nilai b, s dan r untuk menduga model fungsi transfer dilihat dari plot korelasi silang antara deret output dengan deret inputnya yang telah melalui pemutihan yaitu tingkat inflasi ( ) dengan tingkat suku bunga BI ( ), tingkat inflasi ( ) dengan nilai tukar rupiah terhadap USD ( ) dan tingkat inflasi ( ) dengan perubahan jumlah uang beredar ( ). Plot korelasi silang antara 1 dan pada Lampiran 25 menunjukkan nilai yang signifikan pada lag ke-1 yang berarti bahwa nilai b=1. Nilai s dilihat dari banyaknya lag korelasi silang yang berbeda nyata dengan nol setelah lag ke b, dari Lampiran 25 diperoleh s=1 sedangkan nilai r dapat dilihat berdasarkan banyaknya lag korelasi diri output yang berbeda nyata dengan nol setelah nyata yang pertama dan diperoleh r=0. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka dilakukan overfitting model. Hasil dari kandidat model beserta nilai SBC dan AICnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil Identifikasi Awal Korelasi Silang 1 dan Konstanta AIC SBC b=1 s=0 r=0 296.8014 299.2081 b=1 s=1 r=0* 291.9846 296.7735 b=1 s=0 r=1* 295.2253 300.0142 b=1 s=0 r=2 291.4717 296.2358 b=1 s=0 r=3* 288.9032 293.6421 b=2 s=0 r=0 290.0027 292.3972 b=2 s=1 r=0* 285.1656 289.9297 b=2 s=2 r=0 280.6729 285.4118 b=2 s=0 r=1* 287.3856 292.1497 b=2 s=0 r=2 281.8042 286.5431 b=2 s=1 r=1 284.4214 291.5675 b=3 s=0 r=0* 295.0667 297.4487 Ket : (*) salah satu parameter tidak nyata Tabel 12 memperlihatkan bahwa model fungsi transfer dengan nilai b=2, s=2 dan r=0 merupakan model terbaik dari peubah input tingkat suku bunga BI karena memiliki nilai statistik AIC dan SBC terkecil. Hasil selengkapnya dari model ini dapat dilihat pada Lampiran 26. Model umum dari model fungsi transfer adalah : (1 − =(
− ⋯− −
) − ⋯−
)
(
)
11
Sehingga model awal untuk tingkat suku bunga BI adalah: = (2.35853 − 1.30411
)
(
)
Identifikasi model awal untuk peubah input nilai tukar rupiah terhadap USD didapatkan dengan cara yang sama dengan peubah input tingkat suku bunga BI. Plot korelasi silang antara 2 dan pada Lampiran 27 menunjukkan nilai yang signifikan pada lag ke-5 yang berarti bahwa nilai b=5, nilai s=0 dan nilai r=0. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan overfitting. Hasil dari kandidat model yang dicobakan beserta statistik SBC dan AIC dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil Identifikasi Awal Korelasi Silang 2 dan Konstanta AIC SBC b=1 s=0 r=0* 301.3526 303.7593 b=2 s=0 r=0* 298.4727 300.8671 b=3 s=0 r=0* 296.5693 298.9513 b=4 s=0 r=0* 293.4660 295.8355 b=5 s=0 r=0* 289.4055 291.7622 b=5 s=1 r=0* 287.4637 292.1513 b=5 s=2 r=0* 297.6408 302.4049 b=5 s=0 r=1* 287.7554 292.443 b=5 s=0 r=2 280.6934 287.6856 b=5 s=0 r=3* 279.7938 289.0638 b=5 s=1 r=1* 289.4590 296.4904 b=5 s=1 r=2* 282.4893 291.8123 b=5 s=2 r=1* 286.7499 293.7421 b=5 s=0 r=12 248.6109 252.9902 Ket : (*) salah satu parameter tidak nyata
)
= −0.0010341
(
Tabel 14 Hasil Identifikasi Awal Korelasi Silang 3 dan Konstanta AIC SBC b=1 s=0 r=0 296.5518 298.9585 b=1 s=1 r=0* 294.9251 299.7140 b=1 s=0 r=1 293.5677 298.3566 b=1 s=0 r=2* 292.5801 297.3441 b=1 s=1 r=1* 295.5500 302.7334 b=2 s=0 r=0* 299.0964 301.4909 b=2 s=1 r=0* 297.6180 302.3820 b=2 s=0 r=2* 294.5441 299.2830 Ket : (*) salah satu parameter tidak nyata Pendugaan model awal untuk perubahan jumlah uang beredar adalah: (1 + 24936 )
= 0.24937
(
)
Setelah memperoleh nilai b, r,dan s untuk masing-masing input, langkah selanjutnya adalah menggabungkan model dan reestimate parameter. Parameter δ31 tidak signifikan pada model yang telah dikombinasikan (Lampiran 31). Model awal dengan semua parameternya nyata diperoleh saat nilai b=2, s=2 dan r=0 untuk peubah tingkat suku bunga BI, b=5, s=0, dan r=12 untuk peubah nilai tukar rupiah terhadap USD, serta b=1, s=0 dan r=0 untuk peubah perubahan jumlah uang beredar. Sehingga diperoleh model awal sebagai berikut: =( −
Model awal untuk peubah input nilai tukar rupiah terhadap USD dengan nilai b=5, s=0 dan r=12 adalah model terbaik karena memiliki nilai AIC dan SBC terkecil (Tabel 13). Hasil selengkapnya untuk model ini disajikan pada Lampiran 28. Pendugaan model awal untuk nilai tukar rupiah terhadap USD adalah: (1 + 0.93887
SBC terkecil. Hasil selengkapnya untuk model ini disajikan pada Lampiran 30.
)
Untuk plot korelasi silang 3 dan pada Lampiran 29 diperoleh nilai b=1, nilai s=0 dan nilai r=1. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan overfitting. Hasil dari kandidat model yang dicobakan beserta statistik SBC dan AIC dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa model awal untuk peubah input perubahan jumlah uang beredar dengan nilai b=1, s=0 dan r=1 adalah model terbaik karena memiliki nilai AIC dan
0.1
(1
2 ) 1( −2) 2.1 0.2 2( −5) − 0.3 − 12.2 12 )
−
3( −1)
+
Identifikasi Model ARIMA untuk Deret Sisaan (pn,qn) Pendugaan model ARIMA untuk deret noise (pn , qn) dilakukan dengan memeriksa plot ACF sisaan dan plot PACF sisaan fungsi transfer awal. Lampiran 32 memperlihatkan bahwa tidak ada lag yang nyata baik pada ACF maupun PACF sisaan fungsi transfer awal sehingga diperoleh = . Pendugaan Akhir Model Fungsi Transfer Model fungsi transfer diperoleh dengan mengkombinasikan model awal dengan model sisaannya. Sehingga diperoleh model sebagai berikut: = (2.86208 − 1.91244 2 ) 1( −2) 0.0009088 2( −5) − + 0.37551 (1 + 1.04963 12 ) +
3( −1)
12
Hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 33 yang memperlihatkan semua parameternya nyata. Pemeriksaan Diagnostik Model Fungsi Transfer Kebebasan sisaan dapat dilihat dari plot ACF dan plot PACF yang tidak berbeda nyata dengan nol dan uji Box-Pierce (Lampiran 34) memperlihatkan nilai-p yang lebih besar dari 0.05 sehingga mengindikasikan sisaan saling bebas pada taraf nyata 5%. Diagnostik model juga dilakukan untuk melihat adanya korelasi silang antara sisaan dengan masing-masing input. Pada Lampiran 34 terlihat bahwa untuk semua input diperoleh nilai-p yang lebih besar dari 0.05 yang menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi silang antara sisaan dengan masing-masing input. Berdasarkan hasil analisa bahwa penduga parameter yang nyata, sisaan saling bebas, dan tidak adanya korelasi antara sisaan dengan deret input, maka model tersebut ditetapkan sebagai model akhir fungsi transfer. Peramalan Setelah model fungsi transfer diperoleh, selanjutnya digunakan untuk meramalkan tingkat inflasi berdasarkan model fungsi transfer yang diperoleh. Untuk mendapatkan peramalan model fungsi transfer kita mengatur kembali secara sederhana model yang diperoleh. Karena 1 = ∇ 1 , 2 = ∇ 2 , 3 = ∇ 3 , dan = ∇ maka model fungsi transfer dapat dituliskan: =
− 1.0496 + 2.8621 ( − 1.9124 ( + 3.0041 ( − 2.0074 ( − 0.0009 ( + 0.3755 ( + 0.39415 ( +
+ 1.0496 − 2.8621 ) ( ) + 1.9124 ( ) − 3.0041 ( ) + 2.0074 ( ) + 0.0009 ( ) − 0.3755 ( ) − 0.39415
Model yang diperoleh digunakan untuk meramalkan tingkat inflasi tahun 2010 (Tabel 15). Nilai MAPE dan MAD hasil peramalan dengan model fungsi transfer masing-masing sebesar 15.69% dan 0.81. Sedangkan nilai MAPE dan MAD data keseluruhan dari model fungsi transfer masing-masing sebesar 16.94% dan 1.15. Selain itu plot bersama antara data aktual dan model fungsi transfer yang terlihat pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pola data aktual mirip dengan pola model fungsi transfernya. Tabel 15 Perbandingan Hasil Peramalan Fungsi Transfer dan Data Aktual Ŷ 3.75 3.75 2.28 3.22 3.72 6.25 7.65 7.81 8.05 6.17 6.71 6.78 15.69% 0.81
Bulan Januari 2010 Februari 2010 Maret 2010 April 2010 Mei 2010 Juni 2010 Juli 2010 Agustus 2010 September 2010 Oktober 2010 November 2010 Desember 2010 MAPE MAD
Y 3.72 3.81 3.43 3.91 4.16 5.05 6.22 6.44 5.80 5.67 6.33 6.96
Gambar 9 Plot Bersama Data Aktual dan Model Fungsi Transfer 20
15
10
) )
5
) 0
)
0
) ) (
20 Variable Aktual Fungsi Transfer
40
60
80
100
)
Model fungsi transfer ini dapat diartikan bahwa tingkat inflasi pada waktu ke-t dipengaruhi oleh (1) tingkat inflasi satu bulan, dua belas bulan, dan tiga belas bulan sebelumnya, (2) tingkat suku bungan BI dua sampai lima bulan sebelumnya serta empat belas sampai tujuh bulan sebelumnya, (3) nilai tukar rupiah terhadap USD satu bulan dan dua bulan sebelumnya, serta (4) perubahan jumlah uang beredar tiga belas bulan dan empat belas bulan sebelumnya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Data deret waktu dengan input ganda dapat dimodelkan dengan model fungsi transfer. Model fungsi transfer yang diperoleh dihitung dengan menggabungkan model fungsi transfer untuk input pertama, kedua dan ketiga. Setelah itu dilakukan reestimation parameter karena antar deret inputnya terdapat korelasi. Dari model yang diperoleh dapat disimpulkan tingkat inflasi pada waktu ke-t