.:: Sinopsis :.. Sandi adalah anak yang pendiam. Tapi dia selalu ditemani oleh sahabatnya, Risma. Mereka sering bermain bersama sedari balita. Bersama teman yang lain, Nana, mereka kadang diganggu oleh Bucal anak kelas enam. Namun rupanya mereka dipersatukan berkat seorang bocah yang bernama Suril. Bagaimanakah hari-hari mereka? Lalu ada permasalahan apa yang menimpa Desa Bantar yang berimbas kepada Pak Kades, seluruh warga desa dan semua karakter yang lainnya? Juga bagaimana Sandi bisa jadi anak yang pendiam? Simak kisah selengkapnya dalam buku ini.
Hasan Danakum
.:: Capung ::. Waktu subuh merupakan waktu terbaik untuk bangun. Bukan hanya bangun, tetapi juga harus melaksanakan salah satu perintah-Nya. Namun banyak dari kita yang lalai. Dinginnya udara subuh yang menyelimuti tubuh membuat seseorang malas untuk bangun. Bukan hanya menyelimuti tubuh, tapi juga menyelimuti berbagai sudut di desa ini. Jalanan desa yang gelap berselimutkan kabut tebal sangat mengganggu pemandangan. Orang-orang mulai bersiap-siap memulai aktifitasnya. Ada yang baru bangun, ada juga yang baru pulang Sholat Subuh dari Mushola. Bahkan ada yang tidak bangun samasekali dan masih terlelap tidur sambil bermimpi. Burung-burung berkicauan merdu seolah mereka sedang mengucapkan ‘Selamat pagi’ kepada dunia. Beberapa Warga memulai aktifitasnya dengan menimba air di sumur. Mereka sengaja membangun sumur walaupun rata-rata setiap rumah mempunyai pompa air. Ini dikarenakan untuk antisipasi jika terjadi kemarau berkepanjangan. Walaupun sumur juga tidak banyak membantu, setidaknya ada sedikit air yang masih bisa dipakai. Sementara ibu-ibu sibuk mencuci pakaian. Sebagian ibu-ibu yang memiliki pompa air mencuci pakaian di rumah. Sementara bagi ibu-ibu yang tidak memiliki pompa air, mau tidak mau harus antre di sumur untuk mencuci pakaian. Terutama bagi mereka yang tinggal di sisi gundukan sampah yang tidak mempunyai pompa air. Rumah warga yang berada di sisi gundukan sampah adalah rumah semi permanen. Rumah sederhana seperti tenda yang hanya dibuat dari kayu dan kardus yang mereka ambil dari gundukan sampah sudah menyerupai gunung. Kebanyakan adalah warga yang menetap dan belum menjadi warga Desa Bantar. Sementara warga yang rumahnya agak jauh dari gundukan sampah, adalah warga yang sudah jadi warga resmi desa ini. Rata-rata yang sudah jadi warga Desa Bantar mereka yang sudah puluhan tahun tinggal di Desa Bantar. Semua warga di Desa ini begitu semangat bekerja. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, juga memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih sekolah. Mereka hanya beristirahat total saat hari mulai gelap. Begitulah rutinitas pagi hari di Desa Bantar. Desa yang penuh dengan sampah. Hampir seluruh warga Desa Bantar berprofesi sebagai pemulung. Sebenarnya desa ini menjadi Tempat Pembuangan Akhir Sampah sejak dulu. Beberapa orang tertarik untuk menjemput rezeki di sini. Bahkan tak sedikit yang menetap dan membuat rumah di sini. Ada yang sudah menjadi warga Desa Bantar, ada juga yang berstatus pendatang dan masih memiliki KTP kampung halamannya. 2~
Tangan Kosong
Seluruh warga Desa Bantar berekonomi pas-pasan. Hanya seorang pengepul sampah saja yang ekonominya lumayan. Tanah pembuangan ini sebenarnya milik pemerintah DKI Jakarta. Namun, atas inisiatif Kepala Desa, desa mengurus hal-hal yang tidak diperhatikan oleh Pemerintah DKI seperti pembuatan sebuah tanggul yang jadi pembatas antara gundukan sampah dan dataran rendah. Warga desa sering menyebutnya jurang karena memang jarak dari sisi gundukan sampah dan dataran rendah yang lumayan dalam. Hidup mereka sangat sederhana juga ramah. Setiap ada tamu desa yang datang, mereka akan melayani dengan segenap hati. Walaupun mereka hidup bertemankan sampah, bukan berarti hidup mereka jorok. Mereka selalu memprioritaskan kebersihan. Kecuali warga yang tinggal di sisi gundukan sampah. Jorok sih tidak, tapi mau bagaimana lagi, namanya juga dekat dengan gundukan sampah, walaupun dibersihkan pasti akan kotor lagi. Dua tahun yang lalu pemerintah pusat mengucurkan dana untuk membangun sebuah lapangan hijau untuk hewan ternak dan untuk bermain anak-anak. Sekarang lapangan sudah jadi. Lapangan tempat bermain untuk santai-santai di hari minggu. Bahkan sudah dipenuhi rerumputan yang hijau. Juga sudah terbentuk Sekolah Sepak Bola yang sering menggunakan lapangan untuk berlatih setiap akhir pekan. Kadang kepala desa membuat perlombaan setiap Agustusan. Walaupun hidup miskin, tetapi mereka tetap bahagia. Matahari sudah menerangi jalanan di Desa Bantar. Langit di ufuk timur sudah terang oleh matahari. Dedaunan yang basah oleh embun menyambut datangnya sang matahari. Semua warga sudah keluar untuk bekerja. Tidak semua warga bekerja menjadi pemulung. Ada juga yang bekerja di pabrik yang tak jauh dari Desa. Sampah sudah menjadi teman sejati bagi warga Desa Bantar. Bau busuk sampah sudah biasa dan jadi angin segar di pagi hari. Baik orang tua, remaja, bahkan anak-anak. Mereka semua akan gesit dan sigap jika ada truk pengangkut sampah yang datang dari Jakarta. Kadang sebelum sampah diturunkan dari truk, mereka nekat memanjat truk untuk mencari sampah yang masih bisa dijual. Mereka hanya bermodalkan sepatu bot, keranjang yang digendong di belakang punggung, dan besi yang ujungnya di bengkokan untuk mengait sampah. Truk-truk besar itu selalu datang dan pergi setiap harinya membawa sampah. Sebagian besar truk-truk itu datang dan pergi pada sore terutama malam hari. Di atas gundukan sampah juga banyak warga yang mengais rezeki. Jengkal demi jengkal, langkah demi langkah mereka perhatikan untuk mencari sesuatu yang masih bisa dijual. Mereka juga harus berhati-hati dengan alat berat Excavator yang setiap hari beroperasi untuk mengaduk sampah. Salah fokus, bisa-bisa mereka terkena hempasan alat berat itu. Seperti nama desanya, Bantar. Yang berarti Menolak. Mereka ~3
Hasan Danakum
seolah sudah kebal dan menolak penyakit yang mungkin bisa tertular dari sampah yang membusuk. Mungkin itu karena sudah terbiasa. Jika ada pendatang baru dan sistem kekebalan tubuhnya kurang baik, dia mungkin akan terkena berbagai macam penyakit yang berasal dari sampah. *** Sinar matahari sudah mulai menyinari halaman kecil depan sebuah rumah. Rumah ini berada di sisi Desa. Rumahnya jauh dari sampah. Karena rumah ini dekat dengan lapangan yang memang dibuat agar bersih dari sampah supaya terlihat lebih alami. Rumah ini sangat sederhana. Terbuat dari bilik bambu dan dinding bawah yang terbuat dari tembok. Gentengnya sudah berubah warna menjadi coklat tua karena sudah bertahun-tahun terkena sinar matahari. Beberapa jendela hampir mau copot. Kacanya juga sudah banyak yang retak dan pecah. Hanya jendela kayu jati yang masih utuh. Penghuninya hanya menambal kaca yang bolong dengan koran dan kertas. Dan mengikat jendela yang mau copot dengan tali plastik. Tidak ada barang elektronik yang mewah. Hanya televisi yang jarang disetel dan radio jadul yang jadi satu-satunya hiburan. Setiap malam penghuninya selalu mendengarkan Radio. Berbagai saluran dia dengar bahkan sampai dia ketiduran. Ranjang besi tua yang sudah reyot masih tetap dia pakai. Rumah yang kecil hanya satu tempat tidur, satu ruang tamu dan dapur. Dibelakang ruamahanya ada kandang kambing. Setiap hari minggu dia mengembala kambing di lapangan Desa. Hari-hari biasa dia hanya mencari rumput untuk pakan kambingnya. Kambingnya ada tiga ekor, satu anak kambing, dan yang dua adalah jantan dan betina yang tak lain dan tak bukan adalah orang tua si anak kambing. Pukul tujuh pagi, penghuni rumah sudah bangun. Dia seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Badannya kurus, dagunya agak tirus, rambutnya pendek dan matanya agak besar. Dia keluar dari kamarnya menuju dapur. Dia membuka baju dan menimba air di sumur. Sumurnya memang menyatu dengan dapur. Dia merendam bajunya. Setelah bak berukuran sedang terisi penuh, dia langsung mandi. Memakai sabun yang sudah habis yang bentuknya mengecil, juga sikat gigi yang sudah jelek. Selesai mandi, dia bergegas ke kamar untuk ganti baju. Dia membuka lemari pakaian. Kaos putih polos dan celana sontog hitam dia pakai. Selesai ganti baju dia ambil tas selempang yang tergantung di dinding bilik bambu lalu memakainya. Tas yang terbuat dari kantung terigu itulah yang menemani hari-harinya. Dia juga mengambil sabit berukuran sedang lalu dia memasukkannya kedalam tas. Dia membuka gorden yang berfungsi sebagai pintu kamar. Lalu dia duduk di meja makan. Satu porsi sarapan beserta 4~
Tangan Kosong
bekalnya dan sebotol air mineral telah siap. Dia memasukkan bekal dan air mineral kedalam tasnya. Dia diam sejenak memperhatikan makanan itu. Tiba-tiba seorang ibu berambut panjang dan memakai daster sederhana keluar dari dapur. Dia duduk didekat anak itu. “Mau cari rumput buat kambing?” Tanya Ibu itu tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Anak itu hanya mengangguk. “Kalau sudah cari rumputnya, segera pulang, ya? Jangan main dulu.” Sekali lagi anak itu mengangguk. Anak itu langsung menghabiskan sarapannya. Dengan lahapnya dia makan. Makan nasi kuning buatan Mbok Dharmi yang sering jualan setiap pagi di perempatan jalan desa. Nasi kuningnya memang enak bahkan paling enak di Desa Bantar. Selesai makan dia ke dapur untuk mengambil rendaman baju lalu membawanya keluar dan menjemurnya di halaman samping rumah. Selesai menjemur, dia mengunci pintu lalu berjalan melewati halaman depan dan sampai di jalan lalu berbelok ke kiri. Di belakang, seorang gadis kecil berambut sebahu, pipinya agak tembem dan matanya yang bulat menghamprinya. Langkahnya penuh dengan enerjik. Berjingkrak-jingkrak seperti seorang penari. Gadis ini memang periang. Dia juga seumuran dengan anak itu. Gadis itu mengejar anak itu lalu dia berlari-lari kecil di samping anak itu. “Mau cari rumput?” Tanya gadis itu “Habis itu kita main, yuk?” Ajaknya. Anak itu hanya diam saja. “Aku temenin cari rumput.” Gadis kecil itu terus mengikuti anak itu. Dia terus-terusan bernyanyi “Nanananana” dengan riangnya. Mereka melewati pematang jalan yang besar lalu turun ke kiri dan sampailah di lapangan. Sedangkan jika berbelok ke kanan, hanya akan menemui kebun milik warga. Anak itu duduk di pohon mangga yang rindang daunnya. Dia menurunkan tas selempangnya dan mengeluarkan bekal air mineral dan sabitnya. Dia langsung memotong rumput yang agak panjang di sisi lapangan dengan sabit. Gadis itu tetap berjingkrak-jingkrak dan bernyanyi sambil berlari-lari kecil. Dia mengejar capung yang berterbangan kesana kemari. Salah seekor capung hinggap di dahan pohon yang rendah. Gadis itu mendekat. Perlahan namun pasti dia terus mendekati capung yang ~5
Hasan Danakum
hinggap itu tanpa menimbulkan suara. Jari telunjuk dan jempolnya perlahan-lahan mendekati ekor capung itu. Dia tersenyum dan, Tap! dia berhasil menangkapnya. Capung itu meronta-ronta. Gadis itu tersenyum lebar. Di pematang jalan, seorang pria paruh baya yang membawa sepeda ontel melintas. “Risma lagi main?” Tanya Pria itu. “Iya.” Jawabnya dengan senyuman yang lebar. Pria paruh baya itu tersenyum lalu pergi dengan sepeda ontelnya. Risma (Gadis itu) berbalik badan dan berteriak “Sandi....lihat aku dapat capung lho.” Sandi (Anak itu) menengok ke arah Risma. Dia hanya senyum sedikit lalu kembali memotong rumput. Dia memasukkan rumput yang sudah terkumpul banyak kedalam tas selempangnya. Lalu dia kembali mencari rumput lagi. Risma terus bermain-main sendirian. Dia kadang Anteng1 bermain sendirian walaupun tidak ada teman. Pukul sepuluh Sandi selesai mencari rumput. Dia kembali ke pohon mangga yang rindang itu. Lalu dia simpan tas selempang yang sudah penuh dengan rumput dekat pohon. Sandi mengambil air mineral lalu meminumnya. Cuaca memang sangat panas. Risma mendekat dan duduk bersama Sandi. “Sandi, kita main yuk? Main tangkap capung.” Sandi diam lalu menatap Risma dengan sedikit senyuman. Mereka berdua bermain bersama. Mereka bermain menangkap capung. Siapa yang bisa menangkap capung paling besar, dialah pemenangnya. Lapangan selalu dipenuhi oleh capung yang beterbangan. Terutama pada sore hari. Karena sore hari adalah puncaknya capung berkumpul di lapangan. Risma terus berlari-lari dengan riang. Sementara Sandi terlihat tenang. Mereka sangat menikmati asyiknya bermain. Risma menjauh untuk mencari capung yang besar. Sandi mnyusuri sisi lapangan dengan tenang. Sesekali dia jongkok untuk menangkap capung. Namun untuk menangkap capung memang susah-susah gampang. Perlu ketenangan dan kesabaran untuk menangkapnya. Risma hampir menangkap capung yang besar. Namun sayang capungnya malah pergi menjauh. Semua capung yang terlihat berukuran sama. Risma memandang Sandi sebentar. Dia mendekat ke pohon mangga dan mengambil air mineral milik Sandi.
1 Tenang atau Diam.
6~
Tangan Kosong
Risma menggenggam botol air mineral dan mengangkatnya lalu berteriak “Sandi...!! minta airnya, ya? Aku haus nih.” Sandi menengok kearah Risma lalu mengangguk. Seketika Risma langsung menenggak air mineralnya. Rasa dingin dan segar segera mengalir di tenggorokannya setelah beberapa saat tenggorokannya kering. Habis itu Risma melanjutkan lagi mencari capung. Selama satu jam lebih mereka bermain dan tidak mendapat capung yang besar samasekali. Sandi kembali ke pohon mangga. Begitupun dengan Risma. Mereka duduk berduaan. “Capungnya susah ditangkap, ya?” Ucap Risma. Sandi mengangguk dan berkata secara perlahan “Mereka susah ditangkap.” Risma tersenyum lebar. Dia terlihat senang mendengar ucapan Sandi. Sandi memang jarang bicara. Bukan berarti dia tidak bisa bicara. Dia hanya bicara kepada orang yang dia kenal atau dia anggap teman saja seperti Risma. Risma dan Sandi adalah sahabat sejak balita. Mereka selalu bermain bersama. Bahkan Risma sudah menganggap Sandi seperti keluarganya sendiri. Hari sudah semakin siang dan perut Sandi sudah mulai kelaparan. Dia membuka bekal yang dia bawa dari rumah. Dia menawarkan Risma untuk makan bareng dengannya. Tentu saja Risma menerimanya dengan senang. Seperti biasa, Risma tersenyum lebar saat Sandi menawarkannya makan. Mereka makan bersama ditemani hembusan angin yang lembut dan hamparan rumput yang hijau. Selesai makan mereka pulang. Sandi memasukkan kotak nasi yang sudah kosong dan sabit ke tas selempangnya. Air mineral sudah habis. Tapi botolnya Risma bawa untuk dikumpulkan. Mereka lalu berjalan bersama. Sesampainya di depan rumah Sandi, Risma pamit. “Aku pulang dulu, ya? Besok main lagi.” Katanya. Risma lalu berlari-lari kecil lagi sambil bernyanyi “Nananana.” dengan riangnya. Sandi masuk ke dalam rumah. Dilihatnya meja makan sudah bersih. Lalu dia masuk ke kamar. Meletakkan sabit di dinding bilik lalu ke dapur. Dia simpan kotak nasi di sumur. Dia memandang ke langit-langit dapur dan sekelilingnya. Nampak dapurnya baru direnovasi. Itu terlihat dari kayunya yang masih berwarna cerah yang kontras dengan kayu yang lainnya yang berwarna gelap. Lalu dia membuka pintu belakang. Suara kambing terdengar. Mereka seperti berteriak meminta makan. Sandi langsung membuka isi tas selempangnya dan menaburkan rumput ~7
Hasan Danakum
di kandang supaya ke tiga kambingnya terbagi rata. Sandi duduk sejenak melihat kambingnya makan dengan lahap. Dia tidak mengembala kambingnya. Walaupun hari ini hari minggu. Mungkin dia sedang malas mengembala kambing-kambingnya. Sandi bangkit dan kembali untuk membuka pintu belakang. Saat dia membuka pintu belakang, ibunya menyapanya. “Baru pulang? Kamu istirahat dulu sana. Ibu mau lihat kambing dulu.” Katanya. Sandi hanya diam lalu bergegas pergi. Setelah sampai di meja makan, Sandi melihat sosok laki-laki sedang duduk sambil makan. “Ayah baru pulang dari pabrik. Ayah tidak enak badan. Kamu bagaimana hari ini? Sudah beri makan kambing-kambingmu itu?” Tanya Ayahnya. Sandi mengangguk dan masuk ke kamar. Lalu dia gantungkan tas selempangnya dan menghidupkan radio. Dia memutar-mutar fine tuning radio mencari saluran favoritnya. Setelah dapat, dia menaikkan volumenya agak keras. Sandi langsung berbaring di ranjang dan tertidur pulas hingga dia terbangun hampir bedug Maghrib. Dia mengusap-ngusap matanya dan turun dari ranjang reyot lalu mematikan radio dan berjalan keluar rumah. Saat hendak membuka pintu, entah kenapa dia mendengar sesuatu yang membuatnya ketakutan. Sebuah suara api dan potongan kayu yang terbakar terdengar di dapur. Sandi menengok dan tidak ada suara atau kayu terbakar. Samar-samar dia mendegar sebuah teriakan memanggil namanya. Namun entah kenapa hal itu membuatnya ketakutan dan hampir berteriak. Tapi Sandi tidak bisa berteriak seolah ada yang menutup mulutnya secara gaib. Sandi memejamkan mata. Semakin lama dia memejamkan mata, suara api, dedas kayu yang terbakar, dan suara teriakan itu semakin jelas terdengar di telinganya. Dia lalu menutup telinganya dengan kedua tangannya hingga suara Adzan terdengar dan teriakan yang mengganggu itu langsung hilang. Sandi sering mengalami hal seperti ini. Walaupun jarang sekali, tapi tetap saja itu sangat mengganggu mentalnya. Tapi untunglah dia sudah mulai terbiasa dan bisa mengatasinya sendiri. Sandi ke luar rumah untuk mengambil jemuran yang sudah kering. Dia membawanya ke kamar lalu melipatnya dan menyimpannya di lemari pakian. Sandi duduk di ranjang besi reyotnya dan menghidupkan lagi radio jadulnya yang tergantung di dinding bilik bambu. Sandi tiduran sambil menikmati lagu yang diputar oleh sang penyiar radio. 8~