BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pagi itu, di Perairan Wendit, Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, beterbangan capung berwarna merah, biru, oranye, kuning dan hijau. Capung-capung kecil yang disebut dengan capung jarum terbang lebih tenang dan cenderung menghindari sinar matahari yang semakin siang semakin hangat. Berbeda dengan Crocothemis servillia (Drury, 1770) atau Capungsambar merah. Seiring dengan sinar matahari yang semakin hangat, capung ini tidak berhenti terbang, hinggap hanya beberapa detik di ranting lalu terbang lagi. Saya yang pada saat itu masih duduk di bangku SMA merasa penasaran bagaimana caranya untuk mendapatkan gambar yang bagus dari capung yang gesit dan lincah ini. Dari pengalaman memotret, saya dan teman-teman hampir setiap minggu nyemplung di Perairan Wendit untuk belajar bagaimana tingkah laku dan kebiasaan capung hingga akhirnya mulai mengerti kapan dan bagaimana sebaiknya mengambil gambar seekor capung. Pada awalnya saya hanya bisa membedakan capung dari warnanya dan memberi sebutan si merah, si biru dan lain-lain. Ketika ingin mengetahui scientific name dari capung saya mengalami pengalaman unik. Pada saat saya mengetik “dragonfly indonesia“ kotak pencari Google, yang muncul paling atas dari situs pencari Google adalah “dragonfly night club” yang ada di Jakarta. Dari situ saya menyadari bahwa capung tak setenar kupu-kupu. Maklum, selama ini capung dikenal 1
tak lebih dari obat menghentikan ngompol. Bukan sesuatu yang bernilai ekonomi sehingga kerap dianggap tidak berguna atau tidak diperhatikan. Tiga tahun dari pengalaman tersebut saya menemui diri saya menjadi salah satu peserta kongres International Congress of Odonatolgy1 (ICO) 2012. Kongres capung dunia adalah sebuah kongres yang diselenggarakan oleh Worldwide Dragonfly Association (WDA) untuk memfasilitasi pemerhati dan peneliti capung di dari seluruh dunia untuk mengadakan pembicaraan tentang capung. International Congress of Odonatology diadakan setiap dua tahun sekali secara bergantian dari satu benua ke benua lainnya. Pada tanggal 28 Juli – 02 Agustus 2012, kongres diadakan di Odawara, Jepang tepatnya di Kanagawa Prefectural Museum of Natural History dengan tema “Dragonflies in The Changing World”. Selama 6 hari, peneliti dan pemerhati capung mempresentasikan hasil penelitiannya dalam bentuk poster dan juga segala topik yang berhubungan dengan capaung dibahas dan dipresentasikan oleh para ahli capung dunia.
Pembicaraan
tentang capung dirangkai dalam beberapa sub-tema meliputi tingkah laku, ekologi, keanekaragaman, taksonomi, dan aksi konservasi. Walaupun saya waktu itu dapat dikatakan masih buta dengan dunia capung, peserta yang lain sangat mendukung dan memotivasi. Hari terakhir kongres, ketika peserta saling berpamitan saya bertemu dengan Presiden Worldwide Dragonfly Association, Dr. Goran Sahlen (Swedia), dan ia menitipkan pesan untuk terus melanjutkan studi tentang capung di Indonesia agar
Odonatology adalah ilmu yang mempelajari capung, berasal dari kata “Odonata” yang merupakan ordo dari capung. 1
2
memberikan kontribusi penting bagi referensi capung kawasan tropis yang selama ini masih sangat minim datanya. Pengalaman mengikuti kongres tersebut membuat saya sedikit terheran akan perhatian dunia terhadap capung hingga diadakan kongres yang khusus membicarakan capung. Hal ini jauh berbeda keadaannya dengan yang kenyataan yang ada di Indonesia. Jika melihat dari ketersediaan data keanekaragaman hayati capung di Indonesia maka yang terpikir adalah masih banyak yang harus dikerjakan. Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan jenis capung hampir 15 % dari sekitar 5680 jenis di dunia (Baskoro, 2013) namun perkembangan pengetahuan capung masih memerlukan usaha yang keras. Kenyataannya saat ini, kita belum tahu pasti berapa jumlah capung di Indonesia, hanya perkiraan sekitar 900 jenis. Sedangkan burung, misalnya sudah hampir bisa dipastikan jumlahnya ada 1598 spesies (Baskoro, 2013). Selain itu, belum ada peneliti capung yang berasal dari Indonesia. Peneliti capung bagian Indonesia semuanya dari luar negeri yang telah menerbitkan beberapa belasan judul publikasi yang tidak mudah untuk didapatkan. Sampai saat ini, baru ada satu buku panduan identifikasi capung yang ditulis oleh Lembaga Indonesia Dragonfly Society2 (IDS) berjudul Naga Terbang Wendit, terbit pada tahun 2013. Terdorong oleh keprihatinan akan kurangnya informasi tentang keanekaragaman hayati, maka IDS selama empat tahun terakhir mencoba bertekun dalam pendataan dan penelitian,
2
Indonesia Dragonfly Society (IDS) adalah sebuah lembaga yang memberi perhatian terhadap capung. Terbentuk pada tanggal 15 September 2010. Kegiatan utamanya meliputi penelitian, edukasi dan kampanye.
3
edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan peran capung serta melakukan kampanye untuk mencintai capung seperti melalui Festival Capung yang diselenggarakan pada Juni 2012 silam. Beberapa tahun terakhir, IDS berkeliling pulau Jawa untuk mendata dan mengobservasi jenis-jenis capung. Malang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bogor adalah contoh beberapa kota yang seringkali menjadi tujuan observasi. Saat melakukan pendataan jenis-jenis capung saya kerap mencatat nama-nama sebutan masyarakat bagi capung. Misalnya, di provinsi Jawa Timur umumnya masyarakat mengenal capung dengan sebutan gantrung, kutrik, semprang, dodo’erok. Sedangkan masyrakat Sunda mengenalnya dengan nama papatong. Wilayah Jawa Tengah menyebutnya dengan kinjeng, kinjeng dom, bandempo dan lain-lain. Seiringan dengan lontaran informasi itu selalu ada cerita yang menyusul. Setelah saya amat-amati, jika saya mengobrol tentang capung dengan orang yang berumur 35 tahun ke atas saya akan mendapatkan cerita yang hampir serupa seperti, “Capung? Oh dulu waktu kecil saya suka sekali menangkap capung. Ada yang kuning, biru merah..” atau, “Waktu kecil saya takut sama capung soalnya dulu suka mengompol dan supaya kebiasaan itu berhenti, harus digigit capung di pusar kata orang tua.” Saya juga pernah mendapat cerita mitos bahwa jika ada capung masuk ke rumah artinya akan ada anggota keluarga yang meninggal. Lain halnya jika yang merespon adalah pemuda seusia saya atau anakanak yang lebih muda, terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Ungkapan yang terucap kira-kira seperti ini, “Capung yang warnanya hijau itu bukan? Sudah jarang 4
sekali lihat capung.” Capung berwarna hijau yang dimaksud adalah Orthetrum sabina (Drury, 1770). Jenis capung ini memang sifatnya sangat toleran terhadap perubahan lingkungan, sehingga di lingkungan perkotaan pun masih sering dijumpai. Sedangkan capung yang berwarna-warni mulai dari kuning, biru, emas, merah muda, hitam, ungu biasanya akan lebih memilih habitat yang masih baik seperti Vestalis luctuosa (Burmeister, 1839) yang seluruh tubuhnya berwarna biru metalik dan berkilauan saat terkena sinar matahari. Ia hanya dapat ditemui pada sungai-sungai pegunungan yang masih bersih. Sejak mengumpulkan nama-nama lokal capung, mulai tumbuh ketertarikan untuk melihat kedekatan manusia dengan capung. Keyakinan saya untuk meneliti topik berkaitan dengan manusia dan capung juga terinspirasi dari seorang kawan yang saya kenal di media sosial Facebook bernama Jacki Morrison. Ia mengelola kelompok “Minnesota Dragonflies”, yang beranggotakan para pemerhati capung dari Minnesota, negara bagian Amerika Serikat. Kelompok ini lebih menitikberatkan pada sisi pengetahuan kultural dengan pemikiran bahwa, “Dragonfly education and conservation awareness via relationship and inspiration of science and art. Cultural Odonatology. It's a thing.” Lalu, sekitar tahun 2013, saya dan IDS memulai jejak pendataan capung di bumi Blambangan yaitu Banyuwangi dengan asumsi dasar bahwa Banyuwangi merupakan daerah yang alamnya masih terjaga. Terlihat dari letak geografis Banyuwangi yang memungkinkannya memiliki tiga Taman Nasional yaitu Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Merubetiri dan Taman Nasional Alas Purwo. 5
Khusus untuk mendata jenis-jenis capung IDS berkeliling Banyuwangi dan menemui banyak daerah yang kondisi habitatnya sangat baik sehingga dapat menyediakan kekayaan jenis capung seperti Perairan Kalibendo, Perairan Kalongan, Sungai Kampungnyar, area tambak dan masih banyak tempat menarik lainnya. Ketika beberapa kawan yang saya temui mengetahui ketertarikan saya terhadap capung, sebagian besar langsung menyanyikan satu baris lagu berjudul “Untring-untring”, lagu ini ternyata menceritakan tentang perilaku capung dan di dalamnya terdapat berbagai sebutan nama capung dalam bahasa Using. Dahulu, lagu ini dinyanyikan pada saat anak-anak bermain menangkap capung di sawah. Lagu ini yang memunculkan rasa keingintahuan saya yaitu, bagaimana masyarakat Using memandang capung? dan apakah pengetahuan masyarakat Using mengenai capung juga mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap habitatnya?
Berdasarkan
keingintahuan tersebut kemudian saya melakukan penelitian mengenai capung dari sudut pandang masyarakat Using dengan dan melihat keterlibatan masyarakat dalam melestarikan capung.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan apa yang telah disampaikan di latar belakang, saya menaruh ketertarikan untuk meneliti masyarakat Using dan kebudayaannya yang berhubungan dengan capung. Berkaitan dengan hal tersebut, satu pertanyaan yang perlu dibahas adalah, Bagaimana pengetahuan masyarakat Using terhadap capung? Untuk lebih mendalaminya, pertanyaan-pertanyaan khusus juga perlu dikaji yakni : Bagaimana 6
pandangan masyarakat terhadap capung yang tercermin dari tradisi dan keseninannya? Lantas bagaimana perilaku masyarakat terhadap capung dan keterlibatan dalam usaha-usaha pelestarian capung?
C. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pertama, adalah untuk menambah pengetahuan capung di Indonesia yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan-tindakan pelestarian. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk lebih mengenal dan memahami bagaimana masyarakat Using melukiskan pengetahuannya. Terutama dalam hal ini adalah hubungan manusia Using dengan capung yang notabene adalah makhluk yang seiring diabaikan namun mempunyai arti tersendiri bagi kehidupan masyarakat Using. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemantik bagi penelitian-penelitian berikutnya yang melihat bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dan mengambil simbol-simbolnya dalam kebudayaan. Ketiga, adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan capung yang juga mempunyai peran yang harus dijaga untuk pelestarian lingkungan. Hal ini didasari kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat belum menyadari akan peran capung bagi lingkungan serta bahwa capung saat ini sudah semakin jarang ditemui akibat habitatnya semakin lama semakin tidak mendukung kehidupan capung. Penting untuk menyadari bahwa seluruh makhluk hidup saling berkaitan sehingga serangga kecil seperti capung pun layak untuk diberi perhatian. Sehingga pada 7
akhirnya diharapan dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan kesadaran baru dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan.
D. Kerangka Pemikiran Pemikiran-pemikiran yang mencoba menguraikan hubungan manusia dengan lingkungan terus berkembang dalam waktu dan hadir dalam berbagai istilah. Ketika mempelajari tentang lingkungan tidak bisa pula dilepaskan dari apa yang manusia lakukan terhadap lingkungan. Setiap kelompok masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda-beda dan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Pengetahuan, ritual, mitos, budaya, dan pendapat antar masyarakat bisa sangat berbeda atau bisa juga mempunyai nilainilai yang serupa. Penting untuk melihat dari sudut pandang masyarakat yang bersangkutan agar nantinya lebih memahami apa yang mendasari tindakan manusia yang berdampak pada lingkungan. Etnoekologi adalah sebuah pendekatan yang bertujuan mempelajari tentang interaksi manusia dengan lingkungan dari perspektif orang-orang yang diteliti. Pendekatan ini berasal dari pemikiran etnosains (ethnoscience) yang asal katanya dari ethnos (Yunani) berarti bangsa, dan scientia (Latin) berarti pengetahuan (Werner dan Fenton dalam Ahimsa-Putra, 1985:110). Etnosains dikatakan sebagai "system of knowledge and cognition typical of given culture" atau dapat juga diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh bangsa atau masyarakat dalam lingkup kecilnya (Sturtevant dalam Ahimsa-Putra, 1985:110). Secara sederhana, tujuan etnosains pada 8
dasarnya adalah untuk melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Pemikiran etnosains didasari oleh asumsi bahwa lingkungan bersifat kultural sehingga dalam lingkungan yang sama dapat dipahami secara berbeda oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Lingkungan yang telah dipahami
disebut
dengan
"lingkungan
budaya
(cultural
environment),
"ethnoenvironment" atau "cognized environment". Artinya, pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya adalah bagian dari sistem kebudayaan masyarakat itu sendiri yang tersusun dan terklasifikasi dalam bahasa. Sistem pengetahuan masyarakat terhadap lingkungannya ini terwujud dalam klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi unsur-unsur lingkungan (Ahimsa-Putra, 1997:55). Bahasa dalam hal ini menjadi unsur penting dalam penelitian sebagai alat untuk mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat. Dengan menggunakan bahasa mereka sendiri mereka memberikan nama dan istilah bagi kondisi yang ada di sekitarnya. Pemberian istilah ini adalah wujud dari proses manusia untuk membentuk sebuah keteraturan atas penilaian mereka terhadap kondisi di sekitarnya. Akan terungkap pula apa yang dianggap penting oleh masyarakat dalam kehidupannya, serta dasar apa yang dipakai dalam membuat klasifikasi hingga dapat diketahui "pandangan hidup" mereka (Ahimsa-Putra, 1985 :107). Etnoekologi sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Conklin (1954) serta didukung oleh Frake yang membawakan paper berjudul "Cultural Ecology" pada sebuah simposium berujudul "Ecology dan Anthropology" di tahun 1960 (Ahimsa Putra, 1999:16). Menurut pencetus etnoekologi, tujuan yang terkandung di dalamnya 9
adalah
untuk
melukiskan
perilaku
budaya
(cultura
behaviour)
dengan
memformulasikan "apa yang harus diketahui seseeorang agar dapat memberikan tanggapan secara kultural tepat dalam suatu konteks sosio-ekologis" (Frake dalam Ahimsa-Putra, 1999: 18). Harapannya, pendekatan etnoekologi dapat membantu kita melihat perilaku orang yang berkaitan dengan aktivitas lingkungan. Bagi studi lingkungan, informasi tersebut relevan dengan pendapat bahwa pandangan orang (people's cognition) adalah bagian dari mekanisme yang menghasilkan perilaku fisik yang nyata di mana orang secara langsung menciptakan perubahan dalam lingkungan fisik mereka (Vayda and Rappaport dalam Ahimsa Putra 1999:17). Satu hal yang selama ini ditekankan dari etnoekologi adalah bahwa hasil akhir dari penelitian etnoekologi adalah pelukisan sistem pengetahuan dan bukan pola tingkah laku. Pelukisan sistem pengetahuan akan menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat mengenal lingkungan sekitarnya (benda-benda, hewan, tumbuhan, cuaca, dan lain-lain) serta apa yang melandasi pengetahuan tersebut. Selain etnoekologi banyak lagi istilah lain yang lebih spesifik semisal etnobotani, etnozoologi dan lain-lain. Berawal dari abad ke-19, peneliti mulai melihat bahwa traditional biological knowledge merupakan kajian yang terpisah. Oleh karena itu, John W Harshberger, seorang professor biologi kemudian menginisiasi penggunaan awalan “ethno” untuk mengindikasikan bahwa studi yang dilakukan adalah tentang pengetahuan lokal terhadap lingkungan. Ia mempublikasi istilah ethnobotany pada tahun 1896, menggantikan istilah “aboriginal botany” dan “botanical 10
ethnography” yang sebelumnya pernah dipakai beberapa ahli. Menanggapi hal ini, Richard For (1978) mengatakan bahwa akhirnya ada pengakuan dan nama untuk “the study of other people’s interaction with nature”. Setelah itu kemudian banyak muncul studi yang lebih spesifik hubungannya dengan pengetahuan lokal manusia dan lingkungan. Kemunculan etnobotani, etnozoologi, dan studi-studi terkait bertepatan dengan perkembangan penting dalam ilmu sosial dan lingkungan sampai akhir abad ke-19. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa pengetahuan merupakan bagian dari mekanisme yang dapat menghasilkan perilaku. Selain pengetahuan, nilai-nilai dalam masyarakat juga turut berperan dalam terwujudnya perilaku dan perubahan. Perilaku dan perubahan yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah dalam konteks pelestarian lingkungan. Dalam suatu kebudayaan kita kerap menemui hewan, tumbuhan atau unsur-unsur alam dijadikan simbol yang mengandung nilai-nilai bagi masyarakat. Simbol-simbol tersebut berbeda-beda kesannya. Sehingga sering pula kita mendengar satu hal dapat memberikan kesan positif di satu tempat sedangkan di tempat lain tabu dibicarakan atau tidak pernah dianggap penting. Ketika manusia dapat mengambil suatu nilai dari simbol-simbol tersebut maka dapat dikatakan ada kedekatan di dalamnya. Dalam konteks capung, simbolisasinya pun beragam di seluruh dunia. Berbicara tentang pelestarian lingkungan, pengetahuan dan nilai-nilai yang teritengrasi dapat berkontribusi besar pada terwujudnya tindakan-tindakan pelestarian dan peneliharaan lingkungan. Selain
11
itu, setiap masyarakat pasti memiliki tradisi dalam kebudayaannya yang telah turun temurun dilakukan dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan. Ketika berbicara pelestarian ada unsur yang sangat penting di dalamnya yaitu keberlangsungan. Bagaimana caranya dari generasi ke generasi, masa ke masa sesuatu dapat tetap dipertahankan. Hal ini menjadi ciri khas dari tradisi, karena menurut Edward Shils, definisi tradisi adalah semua bentuk kebudayaan yang ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Dengan demkian, tradisi dapat terwujud dalam bermacam hal, seperti barang material, kepercayaan, bayangan atau pengalaman akan manusia lain, praktek-praktek sosial, maupun intuisi. Sedangkan, menurut Thomas A Green (1997) tradisi dapat dipahami sebagai kebiasaan, kepercayaan, atau adat yang diturunkan secara turun temurun dan berulang-ulang. Adanya tradisi menjadi representasi dari kontinuitas yang berjalan seiring dengan waktu dan juga inovasi dalam beberapa pertunjukkan yang dianggap khas atau spesial. Adanya proses pewarisan itulah yang menyebabkan tradisi tetap hidup dalam masyarakat. Satu hal yang menjadi unsur penting dalam tradisi adalah adanya penerus. Bagaimanapun perubahan adalah hal yang selalu ada sehingga keadaan sekarang dengan keadaan saat tradisi itu tercipta akan sangat berbeda. Transmisi yang dilakukan oleh penerus-penerus akan sangat berperan bagi langgengnya sebuah tradisi. Akhirnya, tradisi tidak mampu membiakkan atau mengembangkan dirinya sendiri. “Hanya manusia-manusia masa kini yang hidup, mengetahui, dan menginginkannya sajalah yang dapat menghidupkan dan menyesuaikan tradisi dengan kondisi yang hidup di masa kini, sebagaimana dinyatakan Edward Shils bahwa setiap tradisi harus berubah 12
agar tetap hidup, sesuai perubahan yang terjadi pada para pendukungnya sendiri. Tradisi dapat rusak atau hancur bila pewarisnya tidak lagi melakukannya, menggelarnya, karena hanya dengan dipraktikkan maka tradisi itu diberi kehidupannya di masa kini” (Simatupang, 2013:164).
E. Metode Penelitian Sebagaimana sudah diutarakan di latar belakang, untuk penelitian ini saya memilih Kabupaten Banyuwangi sebagai lokasi penelitian. Saya melakukan penelitian di beberapa desa dengan tujuan agar mendapatkan lebih banyak perspektif. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian diantaranya Desa Tamansari, Desa Pesucen, Desa Olihsari, Desa Kemiren serta Kota Banyuwangi sendiri. Walaupun begitu penelitian lebih banyak dipusatkan di Desa Kemiren. Desa Kemiren adalah desa yang merepresentasikan
kebudayaan
masyarakat
Using
sebagai
masyarakat
asli
Banyuwangi. Desa Kemiren sampai sekarang masih menjaga nilai-nilai tradisi Using. Walaupun Banyuwangi semakin populer sebagai destinasi wisata, masyarakat Kemiren masih tetap mempertahankan tradisi-tradisinya. Selama satu tahun saya beberapa kali tinggal di Desa Kemiren dalam rangka melakukan observasi partisipan. Saya belajar mengidentifikasi nama-nama lokal capung dalam bahasa Using dan mencari ekspresiekspresi masyarakat Using yang berkaitan dengan capung. Wawancara mendalam dengan panduan yang sudah dipersiapkan sebelumnya saya lakukan dengan Bapak Ahmad (warga Desa Kemiren), Bapak Nidom (petani di Desa Kemiren), Bapak Budi Setianto (wartawan Banyuwangi), Bapak Nelis 13
(pemerhati lingkungan Banyuwangi), Bapak Timbul (sesepuh Desa Kemiren), Ibu Siti (pemerhati budaya Desa Olihsari), Bapak Aikanu (kepada Dinas Pariwisata Banyuwangi), Bapak Andang (pencipta lagu Untring-untring), Bayu Catur Pamungkas (fotografer), serta beberapa warga Banyuwangi untuk lebih memahami kedekatan masyarakat Using dengan lingkungan khususnya capung. Studi tentang capung sendiri saya lakukan bersama lembaga Indonesia Dragonfly Society untuk mengobservasi dan mendata jenis capung apa saja yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Saya mencatat jenis-jenis capung dan mengambil gambarnya sebelum kemudian diidentifikasi nama latinnya. Gambar-gambar capung yang ada di Banyuwangi kemudian saya tampilkan kepada semua informan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi nama-nama lokal sesuai dengan yang diketahui oleh informan. Saya mewawancari petani pada khususnya untuk mengetahui pengetahuan mereka tentang peran dan manfaat capung di lingkungan persawahan. Untuk melengkapi data primer dari lapangan, data sekunder didapatkan dari beberapa artikel di koran dan internet. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Selain studi lapangan, studi literatur juga dilaksanakan dengan menganalisis buku-buku dan artikel yang membahas topik-topik berkaitan dengan lingkungan seperti masyarakat pertanian, kearifan lokal, serangga pada umumnya, etnobiologi dan sejarah Blambangan.
14