TESIS
HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
AYU PUTRI SURYANINGRAT
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
AYU PUTRI SURYANINGRAT NIM 1190161023
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Linguistik-Wacana Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana
AYU PUTRI SURYANINGRAT NIM 1190161023
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI Tanggal 2 Juli 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S. NIP 19570618 198303 1 001
Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum. NIP 19621214 199010 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa,M.Hum NIP 19620310 198503 1 005
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K). NIP 19590215 198510 2 001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 2 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor: 2056/UN14.4/HK/2014,Tanggal 2 Juli 2014
Ketua
: Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma, M.S.
Anggota: 1. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum. 2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. 3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum. 4. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ayu Putri Suryaningrat
NIM
: 1190161023
Program studi
: Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
Judul Tesis
: Harmonisasi Alam dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila pada di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 2 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,
Ayu Putri Suryaningrat
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia berupa kesehatan dan tuntunan-Nya sehingga tesis yang berjudul "Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya" dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat membimbing penulis. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing II, terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing dan saran-saran yang diberikan untuk kemajuan tesis ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Demikian juga kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.I Wayan Cika, M.S. terima kasih atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum., Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada para dosen di Program Studi Magister Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu memberikan dukungan dan ilmu tanpa pamrih, juga kepada para staf administrasi I Ketut Ebuh, S.Sos., Nyoman Adi Triani, S.E., dan I Nyoman Sadra, S. S. yang selalu dengan sabar memberikan pelayanan setiap kali penulis mengurus administrasi. Terima kasih pada perpustakaan Program Magister/Doktor Studi Linguistik dan para stafnya, yang selalu membantu penulis dengan penuh kebaikan dan keramahan.
Kepada ayah (I Wayan Mendra) dan ibu (Ida Ayu Putu Sasih) yang selalu memberikan dukungan baik moral maupun materi selaku orang tua, terima kasih telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan studi S2. Kakak tercinta (Putu Ayu Ningrat, SP) yang juga selalu memberikan bantuan dan dukungan baik moral maupun materi, adik (Ayu Diah Lemantari) dan anaknya (Bagus Diahana Dwipa) yang setia menemani penulis. Kepada I Gde Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn. yang sering membantu memberi ide untuk penelitian ini. Kepada teman seperjuangan Wacana Sastra 2011 (Ari, Widhi, Wida, Dian, Alit, Gus Suputra, Widana, Suana, Ngurah, Artayasa, Supertama) yang selalu memberikan masukan-masukan dan dukungan selama ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih karena selalu memberikan dukungan. Terakhir, kepada seluruh saudara, teman dan pihak yang tidak bisa disebutkan semuanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat untuk pembaca.
Denpasar, 2 Juli 2014 Penulis
ABSTRAK Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali dalam bentuk kidung dengan metrum jerum yang beberapa baitnya masih sering dinyanyikan oleh masyarakat Bali dalam upacara tertentu khususnya yang berkaitan dengan upacara Bhuta Yadnya. Bhuta Yadnya adalah upacara yadnya (persembahan) terhadap lingkungan atau alam semesta yang dikenal dengan upacara bhuta yadnya. Kidung Jerum Kundangdya menceritakan kehidupan Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub yang tidak lepas dari peran para Dewa. Sumber data penelitian ini adalah teks Kidung Jerum Kundangdya dari lontar yang ada di Gedung Kertya yang telah ditransliterasi. Fokus penelitian ini adalah mengenai bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya. Teori yang digunakan adalah teori Semiotik dari Riffaterre. Dalam penelitian ini, digunakan metode deskriptif-analitik yang dibantu dengan teknik pencatatan kemudian menggunakan metode informal dalam tahap penyajian. Hasil yang diperoleh dari analisis ini adalah mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan keberadaan alam beserta isinya sehingga diciptakanlah keseimbangan yang menjadikan harmonis. Mengenai fungsinya adalah landasan cinta yang mampu sebagai penyeimbang alam semesta sekaligus penetralisasi dan kebahagiaan kehidupan. Selanjutnya, maknanya adalah harmonisasi ajaran Hindu, Budha, Siwa Budha dan pencerahan Siwa-Budha Tantra.
Kata kunci : Wacana, Harmonisasi Alam, Kidung Jerum Kundangdya dan Bhuta Yadnya.
ABSTRACT
This research analyzed the text of Kidung Jerum Kundangdya. Kidung Jerum Kundangdya is one of literature in the form of Kidung which is still being sung by the society in certain ceremony, especially which has strong relationship with Bhuta Yadnya ceremony. Bhuta Yadnya is a ceremony which is related with the nature neutralization to harmonious. Kidung Jerum Kundangdya tells about Jerum's life Kundangdya and Liman Tarub who has strong relationship with the Gods. The resources of this research is a tekst and story of Kidung Jerum Kundangdya which is compiled by the manuscript printing of Balinese Classical Letters. The focus of this research shows the function of Nature Harmonic in Kidung Jerum Kundangdya. The teory of this research to analyze the meaning of Kidung Jerum Kundangdya is semiotic theory from Riffaterre. The method in analyzing data is analytical descriptive which has been helped by note taking technique and use informal method in the presentation stages.Product from analyzing data is we know from about nature harmony in Kidung Jerum Kundangdya link to cretaed universe and contents the same until a composition balancing make harmony. About fungtion is love can make balanced harmony, netralization, and love happy is life. Next, meaning is harmonization study of Hindu, Budha, Siwa Budha and enlightenment Siwa-Budha Tantra.
Key word : Discourse, Nature Harmony, Kidung Jerum Kundangdya and Bhuta Yadnya
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat Bali adalah masyarakat yang dikenal memiliki nilai-nilai budaya bersifat religius. Salah satu di antaranya berupa upacara keagamaan. Masyarakat Bali tidak pernah bisa dilepaskan dari unsur adat dan budaya yang bersifat religius. Setiap ritual keagamaan di Bali tidak jauh dari pengaruh sastra. Salah satu di antaranya sastra kidung. Upacara agama Hindu di Bali dan sastra kidung menjadi sebuah kesatuan. Sastra kidung selalu hadir sebagai pengiring upacara keagamaan. Hal itu terjadi karena dalam agama Hindu di Bali dikenal adanya panca nada yang berarti lima nada yang terdiri atas suara mantra, genta, gamelan, kulkul, dan kidung. Kidung menjadi salah satu nada atau suara yang wajib hadir setiap kali umat Hindu di Bali menjalankan ritual keagamaannya. Sastra kidung dikenal masyarakat Jawa sebagai karya sastra berbentuk puisi. Bentuk puisi kidung merupakan puisi asli Jawa dan bahan kisahnya juga diambil dari Jawa (Sukesi, 1999:93). Keberadaan dan perkembangan karya sastra kidung tidak hanya sebatas di pulau Jawa, tetapi juga tumbuh dan berkembang di Bali bersamaan dengan karya sastra lainnya, seperti kakawin dan geguritan. Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali. Sastra kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur yang kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua Sastra Jawa Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan
bahwa sastra kidung tidak lahir di Bali, kidung telah dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33). Penelitian kidung sesungguhnya telah dilakukan sejak lama. Dimulai dari tahun 1925 Callenfels menganalisis Kidung Sudamala. Muncul Berg yang meneliti Kidung Sunda (1927), Kidung Ranggalawe (1930), dan Kidung Harsawijaya (1931). Pada tahun 1938 Prijono meneliti Kidung Sri Tanjung dan tahun 1940 Poerbatjaraka meneliti Kidung Dewa Ruci. Pada tahun 1971 Robson meneliti Kidung Wangbang Wideya. Pada tahun 1989 Ambara meneliti Kidung Jerum Kundangdya dan pada tahun 1992 kembali muncul sebuah penelitian Kidung Bima Swarga oleh Nuarca. Hingga akhirnya pada era tahun 2000-an muncullah Vickers yang meneliti Kidung Malat (Suarka, 2007: 126--130). Terakhir pada tahun 2007 muncullah Suarka yang meneliti Kidung Tantri Pisacarana. Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu teks kidung yang dinyanyikan dengan metrum Jerum. Metrum Jerum merupakan metrum kidung yang umumnya dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara bhuta yadnya. Dari sekian kidung yang dikenal dan tersebar luas di masyarakat, metrum Jerum hanya ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Lestarinya Kidung Jerum Kundangdya diketahui dari pembacanya yang relatif sering ditemukan di lingkungan masyarakat Bali hingga kini. Permasalahan cinta merupakan salah satu topik yang diceritakan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Layaknya kisah percintaan pada umumnya dalam teks ini juga ditemukan adanya penolakan terhadap cinta melalui pertengkaran dan dendam. Teks Kidung Jerum
Kundangdya tersimpan dalam bentuk lontar di Gedong Kirtya Singaraja dan Unit Pelayanan Teknis Perpustakaan Lontar Universitas Udayana. Teks Kidung Jerum Kundangdya telah ditranskripsi, diterjemahkan, dan dicetak dalam sebuah buku yang telah diterbitkan oleh Proyek Percetakan Naskah Sastra pada tahun 1985/1986. Dari hasil pengamatan di lingkungan Kota Denpasar, diketahui bahwa Kidung Jerum Kundangdya bahkan menjadi salah satu kidung yang bisa dikatakan rutin dinyanyikan sebagai pengiring upacara bhuta yajnya. Umumnya hanya ada beberapa bait di awal yang umum dinyanyikan, ini bisa disebabkan karena durasi berlangsungnya upacara bhuta yadnya memang tidaklah lama. Teks Kidung Jerum Kundangdya secara keseluruhan memang belum begitu di kenal masyarakat, namum metrum Jerum sudah umum diketahui dilingkungan masyarakat Hindu di Bali. Dikenalnya metrum Jerum dengan membawa beberapa bait dari teks Kidung Jerum Kundangdya memunculkan sebuah pemikiran bahwa Kidung Jerum Kundangdya yang dinyanyikan dengan metrum Jerum menyimpan sebuah makna yang menjadikannya diterima sebagai kidung pengiring upacara bhuta yajnya. Makna apa yang ada di balik cerita Kidung Jerum Kundangdya inilah yang diungkap dalam penelitian ini. Kidung Jerum Kundangdya sebagai sebuah objek dalam penelitian ini merupakan sebuah naskah kidung yang mengangkat permasalahan mengenai cinta antara Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub. Cerita cinta tersebut dilatarbelakangi perselingkuhan. Dilihat dari urat kata dari judul Jerum Kundangdya dapat diartikan bahwa Jerum berasal dari urat kata jih kemudian menjadi jyu yang berarti jiwa yang kemudian ditambah dengan kata
rum yang berarti harum atau indah. Arti urat kata tersebut seakan sesuai dengan tokoh Jerum yang digambarkan sebagai sosok wanita cantik yang memiliki kepribadian menarik dan mampu menampilkan pesonanya hingga di surga. Menurut I Gde Anom Ranuara (praktisi dalang), Kundangdya secara garis besar dapat diartikan dia yang mempunyai harapan utama. Dari penjabaran urat kata judul Kundangdya telah memberikan sebuah gambaran mengenai Kidung Jerum Kundangdya yang secara singkat menceritakan seluk-beluk percintaan antara Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub. Diawali dengan pernikahan Jerum dengan Liman Tarub hingga akhirnya terjadi perselingkuhan antara Jerum dan Kundangdya. Tidak dapat dihindari perselisihan antara Kundangdya dan Liman Tarub, bahkan dendam itu berlarut-larut hingga para Dewa ikut turun tangan membantu melerai dan menasihati mereka berdua. Kidung Jerum Kundangdya secara garis besar mengandung cerita antara dua perbedaan, yaitu antara cinta dan dendam yang berasal dari kebencian. Cerita tersebut secara implisit membuat perasaan pembaca bergejolak antara rasa menarik dan menentang. Menarik karena terhanyut dengan ungkapan-ungkapan cintanya dan menentang karena kemunculan latar belakang cinta berupa perselingkuhan. Dalam ajaran Hindu di Bali, cinta dan benci dapat dikaitkan dengan sifat rwa bhinēda1. Rwa Bhinēda dikenal sebagai kata-kata yang selalu mengajarkan manusia untuk sadar dengan perbedaan, lawan, dan hal yang bertolak belakang. Penyajian Kidung Jerum Kundangdya yang mengandung konsep rwa bhinēda tentu memiliki sebuah alasan yang harus ditafsirkan. 1
Kata rwa bhinēda berasal dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu rwa dan bhinēda. Rwa „dua‟ dan bhinēda „membagi, memisahkan, memecah belah‟. Rwa bhinēda adalah dua yang terbagi, terpisah, terpecah belah atau dengan kata lain dua yang berbeda (Zoetmulder, 1994: 122 dan 967).
Dilihat dari segi jumlah baitnya, Kidung Jerum Kundangdya terdiri atas 325 bait yang seluruhnya diikat oleh metrum macapat. Oleh karena itu, setiap bait pupuhnya memiliki jumlah suku kata yang sama dalam setiap baris dan bunyi akhir yang sama dalam setiap baris. Munculnya sebuah perbedaan tentu memunculkan niat membentuk persamaan. Demikian halnya dengan rwa bhinēda yang memunculkan konsep nyomia2 yang bertujuan untuk menyeimbangkan makrokosmos dan mikrokosmos. Pelaksanaannya sebagai sarana penetralisasi energi alam yang bersifat buruk atau negatif menjadi sifat-sifat positif atau kebajikan. Dalam ajaran Hindu di Bali konsep nyomia dilakukan melalui sebuah upacara yang bernama bhuta yadnya. Nyomia dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk penetralisasian alam yang dipenuhi oleh kekuatan negatif dan positif sehingga menciptakan keharmonisan alam. Mengharmoniskan dua kutub 3 yang berbeda antara positif dan negatif adalah tradisi Bali yang merupakan bagian dari ajaran Hindu. Kekuatan negatif yang pada akhirnya menjadi kekuatan positif tergambar dari cerita pertentangan antara Kundangdya dan Liman Tarub. Kesabaran dan rasa cintanya yang tulus terhadap Jerum menjadikan Kundangdya mampu memperoleh kemenangannya dan berhasil hidup bahagia dengan Jerum, seperti yang tergambar dalam Kidung Jerum Kundangdya. Alam pun dapat dibayangkan seperti demikian. Disharmoni yang menjadi harmoni, kekacauan pada alam yang dinetralisasi hingga menjadi harmonis kembali. Penetralisasian alam inilah di Bali 2
Nyomia berasal dari kata somia „tenang, tenteram‟(KBI, 2008: 675). Adanya awalan nasal ny-, memberikan arti melakukan agar menjadi tenang, tentram. Dapat diartikan sebagai sebuah penetralisasian. 3 Kuliah umum Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., tahun 2012
khususnya pada ajaran Hindu dikenal dengan upacara bhuta yadnya. Kesabaran dan cinta adalah hal yang mampu mengalahkan permusuhan serta dendam. Sama halnya seperti dasar seseorang melakukan yadnya juga disebabkan oleh adanya cinta kasih dan keikhlasan. Kemunculan Kidung Jerum Kundangdya sebagai sebuah nyanyian pengiring dalam upacara bhuta yadnya tentu menimbulkan permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut. Hipotesis awal bahwa Kidung Jerum Kundangdya sebagai kidung bertema cinta memiliki kesamaan dan keterkaitan dengan harmonisasi alam. Perjuangan yang dilakukan Kundangdya hingga akhirnya mampu meraih keharmonisan dengan Jerum karena cinta, tampak sebagai cerminan bahwa cinta jugalah yang mampu menetralisasi keadaan alam dari yang disharmoni menjadi harmoni. Sejak lama peneliti sastra Bali tradisional sudah berkeinginan untuk mengungkap keberadaan Kidung Jerum Kundangdya. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1989 oleh I Gusti Ngurah Putu Ambara. Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”. Penelitiannya diawali dengan penelitian filologi terhadap teks Kidung Jerum Kundangdya dengan kesimpulan teks Kidung Jerum Kundangdya yang berada di Gedong Kirtya Singaraja menjadi naskah yang paling baik dan lengkap. Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi. Dalam analisis fungsi, Ambara hanya mengungkapkan bahwa Kidung Jerum Kundangdya dihadirkan dalam upacara bhuta yadnya dengan alasan upacara keagamaan Hindu di Bali
memerlukan adanya nyanyian-nyanyian suci sebagai pengiring persembahan. Dalam penelitian tersebut belum disinggung tentang keterkaitan Kidung Jerum Kundangdya dengan harmonisasi alam. Demikianlah gambaran ringkas penelitian yang pernah dilakukan terhadap Kidung Jerum Kundangdya pada tahun 1989 dan hingga kini belum pernah ada penelitian kembali terhadap kidung ini. Oleh karena itu, Kidung Jerum Kundangdya memang layak diteliti kembali. Salah satu di antaranya dengan meneliti dan mengungkap hubungan cinta yang berlatar belakang perselingkuhan dalam Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya dengan hamonisasi alam.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
bentuk
harmonisasi
alam
dalam
Kidung
Jerum
Kundangdya? 2. Bagaimanakah fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi masyarakat Bali? 3. Bagaimanakah
makna
harmonisasi
Kundangdya bagi masyarakat Bali?
alam
dalam
Kidung
Jerum
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Penelitian ini memiliki tujuan umum menggali dan mengungkap keberadaan naskah-naskah karya sastra tradisional berupa kidung dengan harapan mampu memunculkan manfaat lebih bagi masyarakat luas. Selain sebagai salah satu bentuk pelestarian terhadap karya-karya sastra lama, kidung juga salah satu naskah karya sastra tradisional berbentuk nyanyian yang dikenal sebagai salah satu budaya leluhur yang dahulu tersebar luas di Nusantara. Sebagai sebuah warisan budaya Nusantara, pelestarian melalui sebuah penelitian mampu menjadi sebuah cara yang tepat untuk mejaga kelestarian dan bahkan mampu memunculkan minat masyarakat nusantara untuk tetap membaca kidung.
1.3.2 Tujuan khusus Secara khusus penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya. 2. Mengetahui fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi masyarakat Bali. 3. Mengetahui makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi masyarakat Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan sumber informasi untuk penelitian berikutnya yang sejenis. Selain itu untuk menambah khazanah bahan bacaan hasil penelitian kesusastraan Bali, khususnya yang berkaitan dengan karya sastra kidung. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis ada manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperkenalkan kepada masyarakat bahwa beberapa bait kidung yang umumnya dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara agama sesungguhnya memiliki sebuah bangun karya yang utuh, di mana di dalamnya terjalin sebuah cerita yang sarat akan makna kehidupan. Salah satu di antaranya adalah kidung Jerum Kundangdya. Selain itu, mampu pula memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat mengenai keterkaitan antara karya sastra kidung Jerum Kundangdya yang bertema cinta dan harmonisasi alam.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kidung Jerum Kundangdya merupakan sebuah naskah yang sebelumnya sudah pernah diteliti oleh I Gusti Ngurah Putu Ambara pada tahun 1989. Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”. Penelitian tersebut membahas dua masalah, yaitu struktur dan fungsi Kidung Jerum Kundangdya. Diawali dengan peneltian filologi yang menyimpulkan naskah Kidung Jerum Kundangdya di Gedong Kertya Singaraja menjadi naskah yang paling baik dan lengkap. Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi. Analisis fungsi dalam penelitian Ambara lebih kepada fungsi kewacanaan dalam Kidung Jerum Kundangdya, dimana dibagi kembali menjadi fungsi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Dengan penelitian fungsi yang lebih mengarah pada fungsi sosial, pendidikan dan keagamaan tentu membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya telah pernah dilakukan Ambara. Penelitian terbaru terhadap kidung dilakukan oleh I Nyoman Suarka (2007) dalam sebuah disertasi dengan judul Kidung Tantri Pisacarana. Penelitian tersebut mengangkat empat permasalahan, yaitu: (1) penerimaan dan tanggapan masyarakat Bali terhadap teks Tantri Kamandaka, (2) Tantri Pisacarana dengan konvensinya dalam tradisi Bali, (3) keterbacaan teks Kidung Tantri Pisacarana
dalam suntingan dan terjemahan, dan (4) Kidung Tantri Pisacarana sebagai satu fenomena semiotik. Dari keempat permasalahan tersebut dihasilkanlah sebuah pemahaman yang kompleks mengenai Kidung Tantri Pisacarana, mulai dari naskah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hingga makna yang terkandung dalam Kidung Tantri Pisacarana. Hasil penelitian kidung ini dapat dijadikan sumber inspirasi untuk meneliti naskah-naskah kidung mengingat adanya kesamaan dari segi permasalahan yang diangkat, yaitu mencari makna yang terkandung dalam naskah yang dibedah dengan teori semiotik. Penelitian mengenai harmonisasi alam yang disertai dengan pelestarian alam pernah dilakukan oleh Alit Udayana dalam sebuah penelitian yang berjudul “Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak”. Dalam penelitian tersebut, Alit Udayana menyampaikan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan jagat beserta isinya. Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep tentang harmonisasi yang dikenal oleh masyarakat Bali. Keseimbangan dan keharmonisan dikaitkan dengan aktivitas masyarakat Bali itu sendiri. Salah satu diantaranya melalui upacara bhuta yadnya seperti perayaan Tumpek Kandang (Alit Udayana, 2008: 79--80). Kajian pustaka-pustaka di atas dapat memberikan suatu gambaran dan pemahaman kepada peneliti mengenai analisis karya sastra kidung kendatipun analisis yang akan dilakukan pada naskah kidung dengan judul dan permasalahan yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti menganalisis Kidung Jerum Kundangdya
dilihat dari keterkaitan isi naskah dan wacana harmonisasi alam, hal itu dilakukan karena keberadaan Kidung Jerum Kundangdya ini sebagai kidung pengiring upacara bhuta yadnya yang merupakan upacara yang bertujuan sebagai pengharmonis alam. Cerita yang secara eksplisit menceritakan cerita cinta ternyata mengandung sebuah bahasan yang berkaitan dengan sebuah upacara yang bertujuan untuk menetralisasi alam sehingga menjadi harmonis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah gambaran keterkaitan upacara bhuta yadnya dengan isi cerita Kidung Jerum Kundangdya, lebih tepatnya alasan mengapa kidung ini dianggap pantas sebagai pengiring upacara untuk pengharmonisan alam.
2.2 Konsep Dalam penelitian ini dijelaskan dua konsep yang dianggap penting, yakni terbatas pada konsep-konsep kontekstual yang benar-benar bermanfaaat untuk memahami makna dari Kidung Jerum Kundangdya. Konsep-konsep yang perlu dibahas di dalam tulisan ini adalah konsep kidung dan konsep harmonisasi alam.
2.2.1 Konsep Kidung Jerum Kundangdya Kidung merupakan salah satu bentuk karya sastra Bali tradisional yang diakui keberadaannya di samping kakawin, geguritan, dan palawakya. Istilah kidung mempunyai dua pengertian, yaitu (1) kidung berarti nyanyian dan (2) kidung adalah karya sastra yang menggunakan metrum berbeda dengan metrum kakawin ataupun metrum macapat (Zoetmulder dkk,1995:498). Sebagai sebuah
bagian dari sastra, ada pandangan bahwa sastra kidung merupakan bentuk puisi yang menggunakan matra Jawa Tengahan dan bentuk ini dinamakan pula Sekar Tengahan (Sekar Madya) (Wicaksana dan Marhaeni, 2004: 14). Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa kidung merupakan bentuk puisi yang mampu dinyanyikan sesuai dengan metrumnya. Kidung telah dikenal sejak zaman pra-Hindu dengan munculnya istilah “mangidung” yang dipakai di Bali untuk menyebutkan suatu bentuk nyanyian atau sekelompok orang yang sedang menyanyi. Suastika (1997: 305--307) menjelaskan bahwa setelah masuknya pengaruh Jawa di Bali, sejak masa pendudukan Majapahit pada tahun 1343, kegiatan sastra mengalami masa keemasannya, khususnya pada zaman Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Klungkung. Pada zaman Kerajaan Gelgel lahir berbagai genre sastra. Salah satu diantaranya adalah karya sastra kidung yang menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada masa Bali Kuno di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending. Pada masa Jawa Kuno di Jawa bentuk nyanyian itu dinamakan kidung. Dapat dikatakan bahwa tradisi mangidung di Jawa yang di Bali diperkirakan sama dengan tradisi magending telah ada jauh sebelum kemunculan kidung dalam bentuk naskah (Soedarsono, 1997). Berdasarkan bahasa yang digunakan, sastra kidung dalam tradisi Bali dapat dibedakan menjadi sastra kidung yang menggunakan bahasa Tengahan, bahasa Bali dan sastra kidung yang menggunakan bahasa Sasak (Suarka, 2007: 135). Jika ditelusuri berdasarkan temanya, Zoetmulder (1985: 512--545) membagi sastra kidung menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung historis, (2) kidung panji, dan (3)
kidung yang bersifat kerakyatan. Berbeda dengan pandangan Tim Pusat Bahasa yang membedakan kidung berdasarkan temanya menjadi tiga yang terdiri atas (1) kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat dan penyucian diri. Kidung bersifat kerakyatan yang diungkapkan oleh Zoetmulder kiranya dapat disamakan dengan kidung ruwat dan penyucian diri. Dilihat dari metrumnya, sastra kidung dapat dibedakan atas kidung bermetrum macapat dan kidung bermetrum tengahan. Metrum macapat yang digunakan dalam kidung memiliki prosodi, antara lain terikat oleh jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan bunyi akhir pada setiap baris. Prosodi metrum kidung lebih banyak ditentukan oleh jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap bait daripada jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap larik atau baris. Dalam hal metrum, sebenarnya kidung tidak hanya mengadopsi metrum macapat yang biasa digunakan dalam sastra geguritan atau peparikan tetapi juga mengadopsi wirama dalam sastra kakawin. Di samping menggunakan metrum macapat, ada pula jenis sastra kidung menggunakan metrum tengahan. Di Bali metrum tengahan disebut sekar madia. Di Jawa dikenal istilah tembang tengahan atau sekar madia. Sekar madia atau tembang tengahan sebagai jenis metrum yang digunakan dalam karya sastra kidung mempunyai prosodi, terdiri atas (1) jumlah suku kata dan bunyi akhir dihitung dalam bait, bukan setiap baris sebagaimana dalam metrum macapat (Suarka, 2007: 133--134). Sastra kidung sangat fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya dalam bidang keagamaan. Pelaksanaan suatu upacara agama di Bali tidak lepas dari kidung atau gita. Ada lima jenis upacara agama di Bali yang
disebut panca yajnya, yaitu upacara dewa yajnya, manusa yajnya, rsi yajnya, bhuta yajnya dan pitra yajnya. Kidung yang dikategorikan kidung dewa yajnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan praktik pemujaan kepada Dewa sebagai manifestasi Tuhan dengan berbagai gelar dan atributnya. Kidung yang dikategorikan sebagai kidung pitra yajnya berisi doa-doa yang ditujukan untuk keselamatan roh mendiang agar mendapat tempat yang baik sesuai dengan karmanya. Kidung manusa yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara manusa yajnya. Kidung rsi yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara rsi yajnya, Kidung bhuta yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara bhuta yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau alam beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala yang dianggap lebih rendah daripada manusia (Suarka, 2007: 139--140). Kata Jerum Kundangdya merupakan dua kata yang diambil dari nama tokoh, yaitu Jerum dan Kundangdya. Berdasarkan Kamus Bahasa Bali yang disusun oleh Balai Bahasa Denpasar dan di bantu dengan Kamus Jawa Kuno karya Zoetmulder dkk, dapatlah terungkap mengenai makna dari urat kata Jerum dan Kundangdya. Jerum berasal dari urat kata bahasa Jawa Kuno jih dan rum. jih yang berarti benih atau jiwa dan rum berarti harum. Jadi jerum dilihat dari arti katanya dapat diartikan sebagai jiwa yang harum. Sedangkan berdasarkan Kamus Bahasa Bali, Jerum adalah nama tempat tempat tidur/ peraduan dan nama salah satu metrum kidung. Seperti yang digambarkan dalam Kidung Jerum Kundangdya, tokoh Jerum merupakan sosok seorang wanita cantik dengan fisik sempurna yang akhirnya memikat dua orang pria hingga tergila-gila dengannya.
Namun tidak lepas dari arti tempat tidur yang menyebabkan kehidupan Jerum berubah. Kematian sekaligus kebahagiaannya berawal dari tempat tidur, yaitu saat Kundangdya meniduri Jerum. Selain dikenal sebagai judul dari kekidungan dalam Kidung Jerum Kundangdya, Jerum juga merupakan salah satu nama metrum kidung dari prosodi metrum macapat yang memang digunakan hanya untuk menyanyikan setiap bait kidung Jerum Kundangdya itu sendiri. Sedangkang kata Kundangdya berasal dari kata kundang yang artinya gadis/ gadis pilihan dan dia yang artinya rarē 'anak / anak kecil'. Kundangdya dapat berarti anak gadis pilihan. Demikianlah seperti yang digambarkan dalam cerita bahwa Tokoh Kundangdya memeperjuangkan untuk dapat bersatu dengan gadis pilihannya yaitu Jerum. Kidung Jerum Kundangdya merupakan kidung yang sering dinyanyikan dalam upacara bhuta yadnya. Hingga kini masyarakat di Bali umumnya hanya melantunkan satu sampai lima bait terdepan dari Kidung Jerum Kundangdya. Didukung dengan terbitnya buku-buku Kidung Panca Yadnya yang hanya memuat satu sampai lima bait Kidung Jerum Kundangdya dan hanya dikenal dengan sebutan Kidung Jerum. Cerita dalam bait satu hingga lima hanya merupakan sebuah pembukaan yang menghadirkan kata-kata awal pengarang yang merendahkan dirinya karena telah berani membuat sebuah karangan hingga pengenalan tokoh Kundangdya yang akan dijodohkan dengan Jerum oleh ibunya. Dalam realitasnya sekarang, belum banyak masyarakat Bali yang mengenal Kidung Jerum Kundangdya secara utuh dan keseluruhan namun sangat mengenal metrum Jerum. Kidung Jerum lebih terkenal dengan bait-bait terdepan tersebut
yang memang lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan khususnya dalam upacara bhuta yadnya. Sesungguhnya justru ada cerita menarik dan penuh makna yang dimiliki Kidung Jerum Kundangdya dalam naskahnya yang utuh.
2.2.2 Konsep Harmonisasi Alam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 390) harmonisasi mengandung pengertian pengharmonisan; upaya mencari keselarasan dan alam berarti segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan). Alam merupakan tempat makhluk hidup melangsungkan kehidupannya. Makhluk hidup dan alam menjadi dua unsur yang saling membutuhkan. Alam memberikan apa yang dibutuhkan makhluk hidup dan makhluk hidup pun berkewajiban menjaga alam tersebut agar tidak rusak sehingga terciptalah hubungan harmonis antara makhluk hidup dan alam. Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini disebut bhuwana agung, sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Alam besar disebut bhuwana agung atau macrocosmos dan alam kecil disebut bhuwana alit atau microcosmos. Tuhanlah yang menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari kedua alam tersebut. Unsur yang membentuk macrocosmos dan microcosmos adalah unsur dasar yang sama yaitu yang disebut panca maha bhuta. Unsur panca maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah ( unsur cair), bayu (udara), teja (unsur panas), dan akasa (eter). Itulah bahan dasar yang membentuk alam semesta dan semua makhluk hidup yang menghuni alam semesta ini.
Alam dan isinya ini akan selalu berhubungan, saling ketergantungan, dan merupakan suatu ekosistem. Diperlukan kebajikan manusia agar mampu mempertahankan keharmonisan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam kitab Manava Dharmasastra Bab I. 5-19 dijelaskan mengenai penciptaan alam sebagai berikut. "Ketahuilah, mula pertama alam semesta ini gelap, tidak diketahui tanpa ciri-cirinya, demikian pula tidak terpikirkan oleh daya akal, tidak diketahui, sebagai halnya dengan orang yang tidur lelap. Kemudian dengan kekuatan tapa-Nya, Ia Tuhan Yang Mahaada menciptakan ini disebut maha bhuta (unsur alam semesta) dan lainnya, nyata terlihat melenyapkan kegelapan. Ia hanya terlihat oleh pikiran, suksma (= gaib), tak terbagikan, kekal, citta (bersifat berpikir), dari pada-Nya-lah semua ciptaannya ini, yang tak terkirakan banyaknya memancar laksana kemauan sendiri. Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadi dari diri-Nya sendiri, diciptakannya makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan memikirkannya, diciptakannya air dan meletakkan benih di dalamnya. Benih menjadi telur alam semesta yang mahasuci, cemerlang laksana jutaan sinar; dari dalam telur itu, ia dijadikan menjadi brahman, pencipta cikal bakal alam semesta. Air, Nara namanya, karena sesungguhnya air itu dari Nara dan sebagai delapan tempat (ayana) dari yang pertama, karena itu Ia digelari Narayana. Dari asal itu, ia yang tak nyata, kekal dan nyata tak nyata, Ia menciptakan Purusa. Dikenal di dunia dengan gelar Brahma. Di dalam telur itu, Ia Bhagawan, telah tinggal, selama setahun, kemudian melalui daya pikirnya sendiri, Ia bagi dirinya menjadi dua bagian. Dari dua bagian itu ia ciptakan langit dan bumi. Di tengah-tengahnya Wyoma (atmosfer) delapan penjuru mata angin dan tempat abadi untuk air. Ia juga ciptakan manah (akal budi) dari dirinya dengan sifatnya yang tak nyata, demikian selanjutnya dari akal budi diciptakannya ahamkara yang menguasai kesadaran. Laksana Yang Mahaagung, demikian pula atman dan ciptaan-Nya dipengaruhi oleh tri guna, dan menurut sifatnya panca indria mengenal bendabenda lahiriah itu. Dengan menggabung-gabungkan unsur-unsur yang enam dengan unsur lain dari diri-Nya sendiri yang mempunyai kekuatan yang tak terkirakan, Ia ciptaan makhluk seisi alam semesta. Karena bentuk ciptaan itu bersifat gaib (sukma), menjiwai (a-sri) serba ada (saat) ini, tak termusnahkan (siryate), orang bijaksana menamakan bentuk sarira (badan).
Bhuta-bhuta dengan fungsi mereka bersama dan pikiran, ia jadikan badanbadan gaib yang abadi menjadi sarwa bhuta (semua makhluk hidup). Dari ketujuh unsur itu, Purusa Yang Mahasakti, terjadilah alam semesta ini dari yang termusnahkan menjadi termusnahkan" (Pudja dan Sudharta, 2002: 28-42). Planet
bumi
tempat
semua
makhluk
hidup
menyelenggarakan
kehidupannya ini dibangun oleh lima unsur yang disebut panca maha bhuta dalam ajaran agama Hindu. Panca maha bhuta itu terdiri atas unsur padat seperti tanah yang disebut prthivi. Unsur cair seperti air yang disebut apah, unsur panas yang disebut teja, unsur udara yang disebut bayu, dan unsur eter yang disebut akasa. Semua unsur alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi memberikan kontribusi pada kehidupan makhluk lain isi alam ini. Angin berembus dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sifat api membakar, sifat air membasahi dst. Semua gerak laku alam itu memiliki makna bagi kehidupan makhluk hidup isi alam ini (Wiana, 2007: 155). Eksistensi fungsi unsur alam tersebut tentunya akan berjalan lancar kalau aspek asasi dari unsur alam itu tidak terganggu. Unsur-unsur alam itu akan tidak dapat berfungsi sesuai dengan hukum alam apabila unsur alam tersebut diganggu asasinya. Jika keberadaan alam itu dilindungi dengan sebaik-baiknya, maka semua bentuk dan kontribusi alam itu akan memberikan kontribusi pada kehidupan semua makhluk hidup di dunia ini. Demikianlah penciptaan alam semesta yang diuraikan dalam kitab Manava Dharmasastra dan manusia menjadi makhluk yang mengisi alam semesta yang berkewajiban menjaga keharmonisan alam semesta tersebut karena di antara makhluk hidup yang lain hanya manusia yang memiliki "idep" atau kecerdasan
spiritual dan kecerdasan intelektual. Banyak hal dapat dilakukan manusia untuk menjaga keharmonisan alam salah satunya dimulai dengan menjaga keharmonisan diri. Di lingkungan masyarakat Hindu di Bali dikenal sebuah upacara yang bertujuan untuk mengharmoniskan kekuatan alam. Upacara tersebut disebut bhuta yadnya. Bhuta yadnya di kalangan umat Hindu di Bali masih dianggap sebagai persembahan
yang disuguhkan kepada bhuta kala, agar bhuta kala tersebut
menyantapnya dan dibayangkan rupa bhuta kala sangat mengerikan. Pandangan demikian dianggap keliru oleh I.B. Sudarsana melalui bukunya yang berjudul Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya. Menurut pandangan beliau, kata bhuta berasal dari suku kata “bhu” yang artinya menjadi, ada, gelap, berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “bhuta” yang artinya telah dijadikan atau diwujudkan. Kata “kala” artinya energi, waktu. Bhuta kala berarti: energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan (Sudarsana, 2001: 19). Umat Hindu di Bali meyakini bahwa bhuta kala sebagai kekuatankekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana. Dengan melakukan upacara bhuta yajnya, maka kekuatan-kekuatan tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia. Butha yajnya bermakna upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas, dengan makhlukmakhluk yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian, dan keselarasan antara jagat raya ini dan diri kita. Hal yang dapat memunculkan keseimbangan alam disebabkan oleh adanya cinta kasih. Dari cinta menjadikan seimbang, lestari, dan selarasnya
hubungan antara alam atau jagat raya ini dan makhluk hidup, tentu memunculkan sebuah keharmonisan yang pada akhirnya menciptakan kedamaian dunia. Dalam teks Siwagama termuat bahwa upacara yadnya wajib dilakukan oleh penganut ajaran karma sanyasa yang berpandangan bahwa upacara yadnya sangat penting dilaksanakan untuk menyucikan alam semesta. Jika alam semesta tidak dibuatkan upacara yajnya, maka segalanya akan menjadi kotor, dunia bagaikan tanpa kekuatan spiritual, tanah akan menjadi tandus dan gersang, hasil bumi menjadi tidak suci dan tidak mempunyai rasa. Agama Hindu mengajarkan keseimbangan. Untuk itu, dilakukan upacara yajnya sebagai salah satu cara memelihara keseimbangan (Suarka dkk, 2005: 318--320). Wiana (2004 : 153--154) dalam bukunya yang berjudul Mengapa Bali disebut Bali? menulis bahwa makna upacara bhuta yadnya menanamkan nilainilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran ini melakukan upaya untuk melestarikan kesejahteraan alam. Upacara bhuta yadnya di Bali sering diterjemahkan sebagai yadnya dengan persembahan berupa binatang. Masyarakat di Bali mengenal sebuah kepercayaan bahwa tumbuhtumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya akan mengalami peningkatan pada reinkarnasi kehidupan berikutnya. Oleh karena itu, tumbuhan dan binatang sering kali digunakan sebagai sarana upacara yadnya di Bali sebagai salah satu wujud tolong-menolong dan saling mencintai antara manusia dan lingkungan (termasuk di dalamnya tumbuhan dan binatang) sehingga pada akhirnya menciptakan keharmonisan alam. Dalam upacara bhuta yadnya, binatang bahkan menjadi persembahan pokok yang bertujuan untuk meningkatkan
sitat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan hingga akhirnya meningkat menuju sifat-sifat kedewaan. Bhuta yadnya jika dimaknai lebih dalam tidak hanya sebatas persembahan kepada bhuta kala, tetapi merupakan salah satu wujud manusia memperbaiki dan introspeksi diri untuk berusaha menghilangkan sifat-sifat bhuta layaknya sifat binatang yang dikorbankan hingga akhirnya sang manusia mampu menciptakan sebuah keharmonisan. Dalam Konsep Hindu di Bali mengenal Tri Hita Karana membahas tentang cara menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan baik antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik antara manusia dengan alam sekitar (Palemahan). Tri Hita Karana adalah filosofi hidup yang menjadi bagian dari hidup manusia. Ketika sikap hidup dibentuk karena pola pikir menerapkan Tri Hita Karana, disitulah keharmonisan akan selalu terjaga.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan semiotik sebagai teori utama untuk menganalisis Kidung Jerum Kundangdya. Semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan
sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Dengan demikian, manusia adalah homo semioticu (Ratna, 2004: 97). Dalam konteks semiotik, tanda mempunyai dua aspek, yakni aspek penanda signifian/signified dan aspek petanda atau signifie (Sudjiman dan Zoest, 1992: 59). Lebih lanjut Sudjiman dan Zoest menjelaskan berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda maka tanda dapat dipilih menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya keserupaan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Keserupaan itu adalah hubungan persamaan. Misalnya gambar kuda sebagai penanda, menandai kuda sebagai petanda atau artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab akibat antara penanda dengan petandanya. Misalnya adanya asap menandai api, penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah kesepakatan atau konvensi umum tentang tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungannya bersifat arbitrer atau semau-maunya. Dalam hal ini arti tanda sangat diperlukan oleh konvensi. Misalnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh masyarakat Indonesia, orang Inggris menyebutnya mother (Sudjiman dan Zoest, 1992:59--60). Karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang secara tidak langsung bersifat hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan suatu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of
meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tandatanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain sebagai metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsens. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh suatu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik (Riffaterre, 1978: 1--2). Dalam penelitian ini, pemilihan teori semiotik akan lebih mengacu pada pendapat Riffaterre mengingat kidung juga merupakan salah satu bentuk puisi tradisional. Penelitian mengenai representasi cinta dalam kidung Jerum Kundangdya memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretsikan. Interpretasi tandatanda dapat mengarahkan pada suatu pemahaman yang kompleks mengenai isi karya. Dalam konteks penelitian ini, teori semiotik digunakan untuk mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam kidung Jerum Kundangdya.
2.4. Model Penelitian
MAKROKOSMOS DAN MIKROKOSMOS
Bentuk Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
Fungsi Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
TEORI SEMIOTIK
Makna Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya
Keterangan Model Penelitian
= Merupakan Objek Penelitian = Merupakan teori yang dipakai dalam penelitian
= Merupakan hasil penelitian = Merupakan garis penghubung antara sesama objek, dari teori ke objek, dan dari objek ke hasil penelitian.
Penjelasan Model Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dikaji dengan teori semiotika. Teori semiotik digunakan untuk menemukan keterkaitan makrokosmos yaitu alam semesta dan isinya yaitu mikrokosmos dengan wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya. Pada akhirnya penelitian ini memiliki hasil akhir berupa pemahaman mengenai harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya, baik dari segi bentuk, fungsi maupun makna.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian memiliki empat tahapan penting. Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap penyajian hasil analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan judul, studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan metode penelitian, dan penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan terlebih dahulu membaca kidung Jerum Kundangdya. Setelah membaca dan memahami isinya dilanjutkan dengan mencari suatu permasalahan yang menjadi titik kemenarikan dari karya tersebut. Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang proses penelitian. Pemilihan dan pengumpulan bahan-bahan serta literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan masalah serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Perumusan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pola pemikiran yang diutarakan oleh Marzuki (1989:26), yaitu manageable (topik penelitian terjangkau oleh peneliti), ontainable (permasalahan dirumuskan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan-bahan pustaka), significance (masalah yang digarap cukup penting untuk diteliti), dan interest (masalah yang diangkat mengaktifkan niat).
Selanjutnya adalah tahapan analisis yang meliputi editing dan coding. Tahapan editing bertujuan untuk melihat keakuratan dan reliabilitas data dengan permasalahan yang hendak dipecahkan. Coding merupakan tahap memberikan tanda pada data-data yang telah ditemukan untuk selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian. Kemudian, tahap terakhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data.
3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan data primer berupa teks Kidung Jerum Kundangdya yang telah melalui proses transliterasi dari naskah asli yang masih berbetuk lontar yang disimpan di Gedong Kirtya Singaraja. Didukung juga dengan naskah Kidung Jerum Kundangdya yang disusun oleh Proyek Percetakan Naskah Sastra Klasik Daerah Bali dan dari Perpustakaan Lontar milik Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Selain dari teks Kidung Jerum Kundangdya, sumber data juga diperoleh dari informan yang mengetahui Kidung Jerum Kundangdya dalam posisinya sebagai kidung pengiring upacara bhuta yajnya.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data paling berperan untuk berhasil tidaknya suatu penelitian. Kesalahan dalam penggunaan metode pengumpulan data berakibat fatal terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan teks. Pembacaan teks
yang dilakukan bertujuan untuk pemaknaan terhadap karya sastra Kidung Jerum Kundangdya. Dengan kata lain, peneliti berusaha untuk menemukan sumbersumber atau bahan bacaan yang ada relevansinya dengan topik penelitian.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam tahap analisis data adalah deskriptifanalitik. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu untuk menemukan unsur-unsurnya yang kemudian dilanjutkan dengan analisis, tentunya juga dengan bantuan teknik pencatatan. Dalam penelitian ini, data yang telah ditemukan dideskripsikan kemudian dianalisis dengan teori semiotik untuk mengungkap makna yang terkadung dalam kidung yang kemudian dikaitkan dengan harmonisasi alam. Dengan munculnya keterkaitan Kidung Jerum Kundangdya dengan harmonisasi alam di Bali menjadikan metode hermeneutik tidak bisa dilepaskan dari penelitian ini mengingat perlunya sebuah penafsiran dan interpretasi, baik untuk karya maupun dalam kaitannya dengan harmonisasi alam di Bali. Untuk mendapatkan data tambahan untuk melengkapi penelitian, dilakukan juga metode wawancara yang dibantu dengan teknik catat dan perekaman dengan bantuan alat perekam.
3.5 Penyajian Hasil Penelitian Tahap terakhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahapan ini metode yang digunakan adalah metode informal, yaitu cara penyajian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam penelitian ini penyajian akan dilakukan dengan menggunakan kalimat dan katakata dalam bahasa Indonesia.
BAB IV BENTUK WACANA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM KUNDANGDYA
4.1 Deskripsi Teks Kidung Jerum Kundangdya Teks Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sebuah naskah yang telah berbentuk buku dengan tulisan Latin. Berikut identifikasi naskah Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam penelitian ini : 1.
Judul
: Kidung Jerum Kundang Dia
2.
Jumlah bait
: 325 bait
3.
Jumlah hal. buku
: 105 halaman
4.
Kalimat awal
: Om awignam astu nama sidam. Tangeh ana munturida........
5.
Kalimat akhir
: ......genep muang Paduka matur
6.
Tahun ditranskripsi
: 1985/ 1986
7.
Pentranskripsi
: dikerjakan dalam sebuah proyek Percetakan Naskah Sastra Klasik Daerah Bali
Buku yang berjudul Kidung Jerum Kundang Dia ini merupakan hasil transkripsi dari lontar milik Gedong Kirtya di Singaraja no. 845, yang aslinya berasal dari milik Nang Rembun, Desa Lenganan, Kecamatan Bajra dan disalin oleh Ketut Rumiasta asal Banjar Paketan, Singaraja. Pentranskripsian lontar ini dikerjakan pada tahun 1985/1986 dalam sebuah proyek percetakan naskah sastra klasik daerah Bali. Dalam kata pengantar buku tersebut, telah disinggung
bagaimana kepopuleran Kidung Jerum Kundangdya di masyarakat pada era tahun 1920-an hingga 1930-an. Ketika itu kidung ini banyak dinyanyikan oleh kelompok-kelompok atau sekaa-sekaa. Kidung ini umumnya diiringi oleh rebab, suling, dan kadang juga gēnggong. Ada beberapa sekaa yang terkenal dari daerah Kabupaten Buleleng, seperti sekaa dari Desa Pengelatan, Padangbulia, Nagasepeha, dan Kubutambahan. "Kidung Jerum Kundangdya". Judul kidung ini diambil dari dua orang nama tokoh utama. Ini sesuai dengan isi cerita yang sebagian besar menceritakan kehidupan dua tokoh dalam judul tersebut, yaitu Jerum dan Kundangdya. Cinta menjadi permasalahan yang mendominasi diceritakan dalam teks, dimulai dari penolakan sebuah perjodohan Kundangdya terhadap Jerum lalu munculnya rasa cinta Kundangdya terhadap Jerum hingga membuat Kundangdya nekat meniduri Jerum yang ketika itu telah sah menjadi saudara sepupunya, yaitu Liman Tarub. Perjuangan Kundangdya untuk dapat bersatu dengan Jerum yang disertai dengan dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menjadi sebuah jalinan cerita menarik. Cinta dan dendam menjadi hal yang paling berperan menghidupkan cerita dari teks ini. Kemunculan tokoh para Dewa dan adanya cerita mengenai reinkarnasi menjadi sebuah pendukung cerita yang menambahkan sisi menarik di dalam teks. Kidung Jerum Kundangdya dalam kesehariannya lebih dikenal sebagai kekidungan atau nyanyian pengiring upacara Bhuta Yadnya. Di Bali, upacara bhuta yadnya merupakan salah satu upacara keagamaan yang berkaitan dengan sebuah persembahan terhadap bhuta. Bhuta diidentikkan dengan kekuatan waktu
yang mampu memberikan pengaruh terhadap keharmonisan alam semesta. Oleh karena itu, masyarakat Hindu di Bali memiliki sebuah kepercayaan untuk melakukan sebuah ritual persembahan terhadap bhuta dengan diiringi oleh Kidung Jerum Kundangdya. Seperti yang disampaikan dalam Suarka (2007: 139--140), Kidung Bhuta Yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara bhuta yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau alam beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala yang dianggap lebih rendah daripada manusia.
4.2 Sinopsis Kidung Jerum Kundangdya yang diambil dari buku dapat diceritakan sebagai berikut. Bait 12 Permulaan yang diawali dengan latar belakang pengarang hingga akhirnya menggubah sebuah kidung yang mengangkat asmara Bait 35 Kundangdya akan dijodohkan dengan Nini Jerum oleh ibunya. Dalam bait ini disampaikan bagaimana kecantikan paras Nini Jerum. Niat ibunya ditolak begitu saja oleh Kundangdya dengan alasan nama Nini Jerum yang buruk tentu akan berpengaruh dengan parasnya. Bait 616 Di tempat lain diceritakan saudara sepupu Kundangdya yang bernama Liman Tarub ingin menikahi Nini Jerum. Dilanjutkan dengan cerita persiapan
untuk melangsungkan pernikahan yang begitu mewah. Dari makanan, tamu, hiburan hingga keindahan pakaian diceritakan dengan lengkap. Semua undangan terpana dan bahagia melihat pernikahan Liman Tarub dan Nini Jerum. Pesta pernikahan benar-benar meriah. Bait 17 Diceritakan Kundangdya hingga pingsan melihat kecantikan Nini Jerum dan melihat Nini Jerum menjadi milik Liman Tarub. Ketidakrelaannya melihat hal itu membuat ia kehilangan tenaga hingga jatuh pingsan. Bait 1823 Mulai diceritakan Liman Tarub telah di peraduan bersama Nini Jerum. Siang malam bermesraan dan saling memberikan rayuan. Bait 2428 Kembali diceritakan Kundangdya yang akhirnya siuman dan berkeinginan pulang. Dia benar-benar merasa lesu dan kehilangan semangat karena tidak bisa mendapatkan Nini Jerum. Bait 2935 Diceritakan Liman Tarub mohon izin pada Nini Jerum untuk pergi ke Jimur untuk mengambil perhiasan dan kain sutra. Mimpi buruk yang dialami oleh Nini Jerum membuat ia melarang suaminya untuk pergi. Namun, larangan itu tidak diindahkan oleh Liman Tarub dan ia akhirnya pergi meninggalkan istrinya dalam keadaan menangis karena tidak rela ditinggalkan.
Bait 3653 Kundangdya diceritakan sudah pulang ke rumah dengan wajah murung karena sakit asmara. Banyak kata kiasan yang melukiskan sakitnya perasaan Kundangdya karena tidak mampu mendapatkan Ni Jerum. Hingga akhirnya ibunya berusaha menenangkan Kundangdya dengan menyarankan untuk menikah dengan wanita cantik lainnya, hal itu ditolaknya dan bersikeras untuk tetap mendapatkan Nini Jerum. Siang malam Kundangdya menyebut-nyebut nama Jerum karena kerinduannya. Ibunya pun menjadi semakin pusing menghadapi tingkah anaknya yang sedang terkena sakit asmara karena Ni Jerum Bait 5481 Diceritakan Kundangdya nekat mendatangi Nini Jerum. Ia meloncati tembok dan memasuki kamar tidur Jerum. Kerinduannya pada Nini Jerum membuat ia lupa diri hingga berani menggagahi dan meniduri Jerum. Diceritakan bagaimana keindahan tubuh Jerum yang membuat Kundangdya semakin tergilagila. Ketika Jerum tersadar didatangi oleh Kundangdya, ia mulai takut dan meyuruh Kundangdya untuk segera pergi sebelum ada yang mengetahui keberadaannya. Kata-kata cinta yang disampaikan oleh Kundangdya pada Jerum membuatnya benar-benar terpesona hingga akhirnya mereka berjanji untuk selalu bersama, dalam keadaan mati sekalipun. Mereka berdua seakan yakin akan mati bersama karena kesalahannya. Bait 82114 Ni Jerum bersiap-siap akan menyambut kedatangan suaminya. Dengan penuh hormat Jerum menyambut dan melayani suaminya hingga akhirnya pada
saat makan, Jerum disuruh untuk memanggil adik Liman Tarub, yaitu Ki Panamun. Saat itu Ki Panamun menceritakan kedatangan seseorang yang mendatangi Jerum. Ni Jerum akhirnya menceritakan semuanya bahwa Kundangdya telah datang menginap. Liman tarub menjadi sangat marah dan memburu istrinya, keris pun segera digerinda dan ia pun datang ke rumah Kundangdya dan membunuhnya. Nini Jerum yang mendengar kabar Kundangdya telah dibunuh oleh Liman Tarub akhirnya bergegas untuk berdandan. Ia berdandan layaknya akan menikah dan akan memenuhi janjinya untuk bertemu dengan lelaki tampan, yaitu Kundangdya. Ki Liman Tarub akhirnya menikam Nini Jerum karena telah berani berbuat serong. Setelah keduanya meninggal, Liman Tarub masih menahan marah hingga ia menyumpah dan mengutuk istrinya. Bait 115149 Liman Tarub memutuskan pergi ke gunung, berjalan dengan wajah sendu. Diceritakan keindahan alam yang dilalui oleh Liman Tarub. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Hyang Batur. Dengan rambut dipotong dan menggenakan sinjang Ki Liman Tarub berganti nama menjadi Ki Sarayuda. Bait 150167 Diceritakan roh Kundangdya akhirnya bertemu dengan roh Nini Jerum. Mereka benar-benar saling menepati janji. Mereka disambut oleh Hyang Indra dan ditujukan menuju sebuah wisma kosong yang berhiaskan emas.
Bait 168213
Ki Sarayuda diutus oleh Hyang Guru melaksnakan upacara besar. Hyang Guru bersabda mengenai keterkaitan alam dengan tubuh manusia (hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit) dan ajaran dharma. Ki Sarayuda akhirnya berangkat menuju surga dan tanpa sengaja bertemulah ia dengan Kundangdya dan Jerum yang sedang berjualan. Ki Sarayuda mengamuk dan datanglah Sri Bhagawan yang memegangnya hingga akhirnya ia diinterogasi dan menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Singkat cerita Sarayuda dinobatkan menjadi Dewa karena dianggap telah melewati tapanya di gunung. Bait 214254 Kundangdya dan Jerum menghadap Bhatara Wisnu. Bhatara Wisnu kembali menghidupkan mereka. Mereka pun mendatangi badan kasarnya. Hyang Narada menyuruh mereka memasuki badan kasarnya dan diperciki air suci, kemudian mereka hidup kembali. Kundangdya bergegas menemui ibunya yang selama ini sangat tersiksa karena ditinggalkan olehnya. Setelah kembali bersama, ketiganya diceritakan merasakan kebahagiaan Bait 255325 Ki Sarayuda sudah mendengar kabar bahwa Kundangdya dan Jerum telah kembali ke dunia. Ia pun diam-diam turun ke dunia berniat mencari musuhnya. Terjadilah pertempuran antara Ki Sarayuda dan Kundangdya. Wibawa perang antara mereka berdua tidak ada yang kalah menyebabkan Bhatara Narada tergesagesa turun ke dunia. Sarayuda diborgol dan tidak diizinkan menghadap ke surga karena telah berbuat salah. Hyang Guru akhirnya datang memberikan Ki Sarayuda sabda untuk menaati ajaran kependetaan dan Ki Sarayuda pun akhirnya diajak
kembali ke gunung. Sebaliknya Kundangdya dan Jerum hidup bahagia menjadi raja dan ratu yang sangat arif dan bijaksana. Dilihat dari penggunaan bahasanya, Kidung Jerum Kundangdya menggunakan bahasa Bali yang banyak mendapat pengaruh bahasa Kawi Bali. Unsur kata nira 'aku' dan ngawe 'membuat' yang merupakan unsur bahasa tengahan juga tampak dalam tampak. Tindakan memasukkan unsur bahasa yang dianggap lebih tua daripada bahasa Bali disebut ngwayahang basa bertujuan membuat sesuatu agar terkesan lebih arkais (Suarka, 2007: 136). Zoetmulder (1985 : 512-545) membagi sastra kidung berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung-kidung historis, (2) kidung panji, dan (3) kidung yang bersifat kerakyatan. Sementara itu, Tim Pusat Bahasa (2001: 270273) juga membagi sastra kidung berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat dan penyucian diri. Istilah kidung ruwat dan penyucian diri tampak dipakai menggantikan istilah sastra kidung yang bersifat kerakyatan menurut Zoetmulder (1985) (dalam Suarka, 2007 :136).
4.3 Bahasa dan Gaya (Estetika) dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya Penciptaan karya-karya sastra dalam tradisi Bali secara dinamik memperlihatkan adanya saling keterkaitan antar unsur, seperti unsur pengarang, unsur kepada siapa karya itu diciptakan, unsur materi cerita, unsur pilihan genre dan tematik yang diangkat. Unsur-unsur tersebut terjalin dalam suatu sistem yang "mapan". Proses Kreatif dan penciptaan itu secara esensial berorientasi kepada
suatu nilai penciptaan yang menganut prinsip-prinsip: (a) ibadat kepada keindahan; (b) karya sastra sebagai persembahan; dan (c) karya sastra sebagai bagian integral (fungsional) dalam sistem religius atau karya sebagai bagian dari tindak kebaktian dan adat (Pusat Bahasa, 2001: 35). Setiap karya sastra sudah tentu mengandung nilai estetika termasuk karya sastra kidung. Zoetmulder (1985: 203-218) menjelaskan bahwa sang kawi memulai karya kakawinnya dengan menyembah dewa pilihan atau istadewata, yang dipuja sebagai dewa keindahan. Sang kawi memohon bantuan dan mencoba mempersatukan diri degan dewa pilihannya. Persatuan dengan dewa pilihannya sebagai dewa keindahan merupakan sarana dan sekaligus tujuan sang kawi. Sebagai sarana, persatuan itu menyebabkan sang kawi "bertunas keindahan" sehingga ia berhasil menggubah kakawin. Sebagai tujuan, persatuan dengan dewa pilihan itu sang kawi berharap dapat mencapai kelepasan. Pada tataran ini dapat dikatakan bahwa penciptaan kakawin adalah dalam rangka ibadat keindahan. Kakawin menjadi candi atau tempat semayam dewa keindahan dan silunglung atau bekal kematian sang kawi. Persatuan dengan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas sebagai sang kawi, yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan sebagai Yang Mutlak dalam alam transenden, berkat semadi sang kawi berkenan turun dan bersemayam di atas padma di dalam hati atau jiwa sang kawi sebagai alam imanen-transenden. Karena itu, sang kawi berharap mampu melihat dewa keindahan menjelma di alam imanen melalui pengembaraan dan sekaligus perburuannya ke tengah hutan, pegunungan, pantai, desa-desa, medan
pertempuran ataupun dalam kecantikan wanita, dalam percintaan, dan dalam bunga itu sendiri. Penciptaan karya sastra kidung pun tidak jauh berbeda dengan penciptaan kekawin. Bahasa Kawi Bali adalah bahasanya kidung, diketahui diberi nama Kawi Bali dikarenakan itu merupakan bahasanya para pengawi atau pengarang. Mengingat Kidung adalah karya sastra puisi, jika dilihat dari unsurunsurnya, puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi sering pula disebut dengan hakikat puisi, yang meliputi Tema/ makna, Rasa (feeling), Nada (tone), dan Amanat/ tujuan/ maksud (itention)
(http://riniintama.wordpress.com).
Tataran
bahasa
sudah
tentu
berhubungan dengan makna. Sudah tentu puisi juga memiliki makna, baik makna tiap kata, baris, bait maupun makna keseluruhan. Seperti halnya dalam Kidung Jerum Kundangdya, yang masing-masing kata, baris, bait maupun keseluruhan katanya yang dalam bahasa Kawi juga mengandung makna. Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu puisi tradisional. Bahasa puisi adalah bahasa yang melewati batas-batas maknanya yang lazim. Melewati maknanya yang harfiah. Dengan makna yang konotatif itu ingin dibentuk suatu imaji atau citra tertentu di dalam sebuah puisi (Esten, 1992: 37). Pembicaraan tentang denotasi dan konotasi tidak bisa dilepaskan dari puisi. Sebuah kata memiliki dua aspek arti yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu sedangkan konotasi adalah arti tambahannya (Pradopo, 1987: 58). Dalam Kidung Jerum Kundagdya, jika dilihat dari alur cerita keseluruhan secara makna denotatif akan tampak sebagai cerita
yang bertemakan cinta yang lengkap dengan konflik perselingkuhan. Jika lebih mendalami lagi barulah tampak bahwa dalam Kidung Jerum Kundangdya ada sebuah makna untuk sebuah penyadaran pentingnya menjaga keharmonisan. Sebelum masuk ke dalam makna secara keseluruhan yang dimunculkan dalam Kidung Jerum Kundangdya, dapat ditemukan beberapa makna denotatif maupun konotatif dalam beberapa bait atau pada berikut yang akhirnya mendukung munculnya makna keseluruhan. "Siwa Madia manca warna, tumpuking ati nggon ipun, sami mangke ingitung!" Sarayuda mojar alon : "Kamoksan lan kalepasan, darma muang ta pujan ipun, trusakena alon ala, amerih pinegating laku".
"Siwa di tengah beraneka warna, berada di hati, semua sudah disebut!" Sarayuda berkata perlahan : "Kamoksan dan Kalepasan, Dharma dan mantra pujaannya, diteruskanlah, sebagai tali ikatan tingkah laku".
pada ke- 174 Hyang Guru lingniangucap : "Sarayuda anak ingsun, tan akeh darma iku, tindak tanduk eling mangko, lintang kena ginamelan, agung tan kena pinanduk". "Ewuh kaki sang atapa, unggwanira Sang Hyang Ayu".
Hyang Guru lalu bersabda: "Sarayuda anakku, dharma itu tidak banyak, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk, diabaikan untuk di terapkan, besar namun tidak kena perhatian". "Karena itu sulit bagi seorang pertapa, menuju tempatnya Sang Hyang Ayu".
pada ke-175 Dari keseluruhan bait Kidung Jerum Kundangdya, bagian di atas merupakan bait yang menceritakan ketika Liman Tarub telah diberi nama Sarayuda dan ia mulai memilih untuk menjadi orang suci. Dalam bait di atas ada baris yang berbunyi Siwa Madia manca warna yang artinya 'Siwa di tengah beraneka warna'. Dalam ajaran Hindu di Bali, ada sebuah pandangan bahwa masing-masing Dewa memiliki arah dan warnanya masing-masing yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tempat dan menjaga kerharmonisannya, sedangkan
Siwa berada di tengah-tengah dengan aneka warna. Dari sekian bait yang menceritakan tentang percintaan dan keindahan Jerum sebagai wanita paling cantik dalam cerita, ada bait-bait seperti yang di kutip di atas yang mengajarkan akan pentingnya sebuah ajaran kebaikan (dharma). Ajaran dharma yang sangat sederhana, hanya dengan kesadaran tindak tanduk. Dari bait-bait ini mengandung makna yang juga menyumbangkan makna bagi teks Kidung Jerum Kundangdya secara keseluruhan, yaitu mengenai ajaran kebenaran untuk bertindak selalu dalam kesadaran hingga mampu menciptakan lingkungan harmonis. Kesadaran tindak tanduk yang yanng diucapkan dengan mudah namun susah untuk diterapkan, untuk itu diperlukan keyakinan diri untuk tetap mampu menjaga setiap tindak tanduk agar selalu melangkah di jalan yang benar. Dua bait di atas seakan mampu mewakilkan isi teks yang tidak hanya mengangkat tema cinta, tetapi lebih kepada bagaimana menjaga cinta tersebut agar mampu menjadikan seseorang selalu menjaga hubungan baik dengan siapapun dan mampu menciptakan alam yang harmonis. Selain tema, juga ada rasa. Pengungkapan rasa (feeling) dalam puisi erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair. Kidung Jerum Kundagdya merupakan karya anonim, hingga kini tidak diketahui siapa yang mengarang Kidung Jerum Kundangdya. Oleh karena itu, cukup sulit menemukan latar belakang atau psikologi penyair layaknya karya-karya puisi modern. Namun di bait awal tampak bahwa sang pengarang tidak ingin menonjolkan dirinya dalam karya. Ungkapan-ungkapan kerendahan hati ia selipkan di bait-bait awal, seperti dalam bait pertama berikut :
Tangeh anamun turida, salimur tan kasalimur, prakerti ya bayeng dangu, tumuwuh anadi wong, rasa tan kadi ageman,
Banyak kejadian kalau ditimpa asmara, dihibur tak terhibur, janji lahir semenjak dahulu, hidup sebagai manusia, seperti memang bukan pegangan,
marmanira misreng kidung, tan atuting pupuh basa, pinahēwa dē Sang Wiku.
makanya menggubah kidung, tak sepadan antara lagu dan bahasa, menimbulkan gusar Sang Pendeta.
pada ke-1 Dari bait tersebut tampak pengarang ingin menggubah sebuah kidung yang menceritakan tentang perasaan yang sedang tertimpa asmara, namun dengan segala kerendahan hatinya ia mengatakan bahwa karyanya tidaklah sepadan antara lagu dan bahasa yang bisa kita simpulkan bahwa karyanya menurut dia belumlah baik sehingga dianggap menimbulkan kegusaran para pendeta yaitu orang-orang suci yang juga pintar. Dengan melihat isi karyanya, dapat dijelaskan bahwa pengarang memahami ajaran agama Hindu dengan baik, ini dibuktikan dengan ditemukannya konsep ajaran-ajaran Hindu yang disampaikan secara implisit melalui percakapan tokoh seperti dalam kutipan berikut: "Siwa Madia manca warna, tumpuking ati nggon ipun,
"Siwa di tengah beraneka warna, berada di hati,
sami mangke ingitung!" Sarayuda mojar alon : "Kamoksan lan kalepasan, darma muang ta pujan ipun, trusakena alon ala, amerih pinegating laku".
semua sudah disebut!" Sarayuda berkata perlahan : "Kamoksan dan Kalepasan, Dharma dan mantra pujaannya, diteruskanlah, sebagai tali ikatan tingkah laku".
Pada ke- 174 Pengarang membahas tentang ajaran moksa dan kalepasan, yaitu ajaran mengenai perjalanan
arwah
ketika
telah
lepas
dari
badannya.
Dengan
mampu
menyampaikan hal itu melalui karyanya, menandakan pengarang paham mengenai
ajaran tersebut dan tidaklah serendah seperti ia merendahkan dirinya seperti dalam bait di awal. Selain Rasa (feeling), ada Nada (tone) adalah sikap peyair terhadap pembacanya. Nada berhubungan dengan tema dan rasa. Berbicara nada dikaitkan dengan Kidung yang merupakan bagian dari puisi tradisional, tentu ada yang berbeda. Nada yang dalam puisi modern akan berkaitan dengan intonasi yang disampaikan penyair dalam karyanya, sedangkan dalam nada Kidung khususnya Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan gending atau nyanyian. Jika pada masa Bali Kuna di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending maka pada masa Jawa Kuna di Jawa bentuk nyanyian ini dinamakan kidung (Suarka, 2007: 128).
Menurut lontar Prakempa, dalam instrumen dan nyanyian Bali
tradisional dikenal nada-nada, terdiri atas nada dasar, yaitu dong, deng, dung, dang, ding atau ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Nada-nada tersebut menempati penjur alam, yaitu nada dong bersama ndong berada di tengah, nada deng berada di barat, nada ndeng berada di barat laut, nada dung berada di utara, nada ndung berada di timur laut, nada dang berada di timur, nada ndang berada di tenggara, nada ding berada di selatan, dan nding berada di barat daya (Bandem, 1986: 42--43). Sesungguhnya kidung diesensikan oleh bunyi-bunyi o, e, u, a, i. Dalam bahasa Bali, bunyi o, e, u, a, i dinamakan aksara suara atau bunyi vokal. Untuk bisa menjadi nada, maka suara o, e, u, a, i,harus disusun secara beraturan menurut tinggi rendah bunyi-bunyi tersebut. Dengan demikian, prinsip dasar penyusunan metrum kidung menurut Kidung Rangsang, adalah dimulai dengan menyusun bunyi-bunyi itu secara teratur, lalu menghitung jumlah suku kata
menurut melodi, dan menyusun kembali pada baris berikutnya (Suarka, 2007: 129). Jadi, jika berbicara tentang nada dari Kidung Jerum Kundangdya akan berkaitan dengan nada-nada lagu dengan suara o, e, u, a, i. Setelah nada, ada Amanat/ tujuan/ maksud (itention) yaitu berkaitan tujuan penyair menciptakan puisi. Kidung Jerum Kundangdya memanglah merupakan kidung yang menceritakan tentang cerita asmara antara Kundangdya, Jerum dan Liman Tarub. Dari cinta yang terjalin dalam sebuah pernikahan hingga akhirnya muncul pihak ketiga dan mengalami perselingkuhan. Secara garis besar, hal itu yang dapat diketahui, namun berbeda ketika setelah mendalami dan memahaminya. Dalam teks Kidung Jerum Kundangdya banyak muncul ajaran-ajaran keagamaan yang menyadarkan pembacanya untuk menjadi seseorang yang selalu dalam kesadaran hingga mampu tetap di jalan yang benar. Dengan sadar akan setiap tindak tanduk itu, barulah seseorang mampu menemukan tempat yang indah. Sebuah sikap yang yang dituntut untuk melihat keindahan itu adalah awal terciptanya keharmonisan alam. Jika melihat dari struktur fisiknya, yang disebut pula metode puisi, ada sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi seperti Perwajahan Puisi, Diksi, Imaji, Kata Kongkret, dan Bahasa Figuratif. Dari keseluruhan unsur-unsur ini tidak semuanya digunakan dalam Kidung Jerum Kundangdya karena mengingat Kidung merupakan puisi tradisional. Dalam karya sastra termasuk puisi tradisional, alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata dan segala kemungkinan di luar kata tak dapat
dipergunakan (Slametmuljana, 1956: 7). Ada pemilihan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan setiap keindahan objek yang hidup maupun tidak hidup di dalam karya sastra. Sebagai sebuah karya yang berbentuk puisi, Kidung Jerum Kundangdya juga tetap mengenal diksi atau pilihan kata. Menurut Gorys Keraf, ada tiga kesimpulan mengenai pilihan kata yang tepat atau diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa (Keraf, 2008: 24). Sesuai degan pengertian diksi di atas, dalam Kidung Jerum Kundangdya ada penggunaan diksi yang digunakan untuk mengungkapkan keindahan sekaligus juga merupakan wujud harmonisasi alam. Harmonis sudah tentu memiliki keserasian, ketika mata mampu memandang suatu objek yang dapat dianggap serasi muncul kedamaian. Sebuah kepiawaian pengarang untuk memilih dan merangkai kata sehingga maksud yang dituju tidak hanya tersampaikan begitu saja, tapi melainkan didukung dengan ungkapan tertentu untuk lebih meyakinkan
dan memperindah kata ketika dibaca. Dalam naskah tampak ketika Pernikahan Jerum dan Liman Tarub. Jerum yang cantik bersanding dengan Liman Tarub yang tampan, yang akhirnya membuat orang-orang yang melihat ikut bahagia. seperti dalam kutipan berikut: Lalampahan silih-asih, ujar ikang wong andulu, kepenetan tingal ipun : "I Panganten pekik anom, rupane tinimbang worat, pekike masanding ayu, sama ya panuwuhira", sami ya masahur manuk.
Lakon bernama silih-asih, kata orang melihat, terpesona matanya : "Si pengantin muda dan tampan, rupa tampak sepadan, tampan bersanding ayu, usianya sama-sama bersesuaian", mereka berkata sahut menyahut.
pada ke- 12 Sakwehing wong kalulutan, sami ya suka andulu, sakweh pada wong gumuyu, bingar pada anonton, semunē karagan-ragan, kasmaran kandehan lulut, kuneng sira si pangantian, munggah kapasilih sampun.
Banyak orang jadi terpana, sama-sama suka melihat, orang-orang pada tertawa, semua gembira yang menonton, air muka merasakan cinta, kasmaran menahan kasih sayang, tersebutlah kini sang pengantin , sudah berada di balai upacara.
pada ke- 13 Keserasian antara wajah pengantin pria dan wanita, antara Liman Tarub dan Jerum adalah sesuatu yang indah di lihat orang. Ketika itu seseorang menganggap itu adalah keharmonisan. Keharmonisan terkadang sesuatu yang sederhana yang membuat nyaman yang melihat. Ketika sesuatu itu dipandang baik, orang yang melihat juga menjadi senang maka disitulah letaknya harmonis. Keharmonisan mampu menciptakan kebahagiaan. Dilihat dari segi bahasanya, dalam kutipan di atas ada pemilihan bahasa dalam bahasa kawi yang memang sengaja ditambahkan pengarang untuk menggambarkan begitu serasinya pengantin pria dan pengantin wanita ketika bersanding. Tidak hanya ungkapan keserasian dari wajah cantik pengantin wanita
yang serasi dengan ketampanan pengantin pria, namun ditambahkan bagaimana orang-orang yang melihat menjadi terpesona dan ikut merasakan cinta. Di situ seakan keserasian pengantin ikut juga memeberi kebahagiaan bagi yang melihat. Pilihan kata di pada ke-13 hanya untuk lebih meyakinkan pembaca bahwa pengantin tersebut sangatlah serasi hingga yang melihatpun ikut bahagia dan merasakan cinta. Selain tersebut di atas, umumnya karya sastra tradisional selain membahas cinta, perempuan merupakan salah satu objek yang sangat dikagumi dalam sastra. Para pengawi seringkali mengungkapkan keindahan seorang wanita dengan bahasa yang sempurna yang membuat pembaca ikut berfantasi membayangkan kecantikan wanita yang hanya disampaikan berbentuk tulisan dalam bait-bait kidung, seperti dalam Kidung Jerum Kundangdya terdapat dalam kutipan berikut : Sampun kēsah paduning sinjang, sinimpenan sinjang kampuh, arsania apulang lulut, sundarin sang ari mangko, dēnira Ki Kundangdya, katon ayu rupanipun, rupa kaya Dēwi Kēndran, tuhu guruning wong ayu.
Setelah lepas paduan kain dalam, bersama kain sudah disimpan, dengan senang melampiaskan asmara, si adik lalu diliat lewat lampu penerang, oleh Ki Kundangdya nampak cantik rupanya, wajah seperti Dewi Keindran, benar-benar gurunya wanita ayu.
pada ke- 60 Rahinane mulan purnama, rambutē gempuk mabelun, alisē tajep nyalikur, luir sasangka tanggal pindo, susu nyangkih bunter nyalang, raga lempung luir mas tabur, madianē meros anglunggang sumangkin mahimbuh ayu.
Wajah bak bulan purnama, rambutnya tebal dan empuk, alisnya lancip melengkung, bagaikan bulan sabit, susu ramping bulat terang, tubuhnya padat berisi bagaikan emas urai, pinggang ramping elok gemulai, makin bertambah-tambah ayu.
pada ke- 61 Sarira angwlaseng cita, pupu lempung gading lumlum, warnanen mingsoring pupu, luir pudak cinaga karo,
Tubuhnya membuat hati terpesona, paha montok indah kekuning-kuningan, tersebutlah di bawah paha, bagaikan dua buah bunga pudak,
tan ilang takonakena, Kundangdya tan pangitung, garegetan magaras-aras, Ni Jerum nora awungu.
yang tak tersurat rasakan sendiri, Kundagdya tak terkatakan, mencium-cium dengan bernafsu, Ni Jerum tak terjaga.
pada ke- 62 Dalam untaian pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan kecantikan Jerum, pengarang mulai menggunakan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan. membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut (Keraf, 2008: 136). Jika ditemukan yang lebih spesifik lagi dari penggunaan gaya bahasa kiasan di atas, gaya bahasa persamaan atau simile menjadi pilihan utama. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2008: 138). Wajah ayunya diandaikan seperti Dewi Keindran yaitu dewi cantik yang tinggal di keindran atau surga dengan bentuk wajah seperti bulan purnama yang tampak cerah dan bersinar. Rambut yang tebal dan empuk yang menandakan rambutnya sehat dan indah. Alis yang lancip melengkung seperti bulan tanggal dua yaitu bulan sabit dengan lengkungan yang indah. Susu atau payudara yang bulat dengan warna yang cerah menandakan payudaranya indah dan montok. Badan yang ramping elok gemulai yang memesona. Keindahan badan Jerum itu yang membuat Kundangdya tertarik dan semakin bernafsu. Keindahan Jerum yang ditatap oleh Kundangdya dari lampu penerang digambarkan dengan sempurna. Seorang wanita dengan paras ayu tanpa satu bagian pun yang kurang. Dari wajah,
rambut, payudara, pinggang hingga paha semuanya digambarkan dengan pengandaian yang pas. Demikian lengkapnya pengarang menggambarkan kecantikan seorang wanita seperti Jerum. Kecantikan merupakan sesuatu yang indah, dan dalam kodratnya manusia akan selalu tertarik dengan keindahan. Dari hanya menatap keindahan manusia mampu bahagia, karena keindahan mampu menjadikan pikiran seseorang harmonis. Lepas dari perselingkuhan yang dilakukan Kundangdya terhadap Jerum, pada mulanya Kundangdya tertarik pada Jerum dikarenakan kecantikan Jerum. Kecantikan yang memesona hingga ketertarikan itu menjadikan perasaan nyaman dan bahagia yang menimbulkan keharmonisan. Terlepas dari pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan wanita, pengarang juga menggambarkan panorama alam dengan segala keasriannya. seperti yang tampak dalam kutipan berikut : manuknia keh asawuran, muni ring luhur ikang kayu, kasidan adulur-dulur, ramē pada ngrebut anggon, angrak suarania sawuran, lanang wadon samadulur, wanciran anjrit ring jurang, pada ngrebut buktinipun.
banyak burung-burung bersahut-sahutan, berbunyi di atas pohon kayu, bisa datang berbondong-bondong, ramai pada berebut tempat, suaranya menjerit hingar bingar, bersama datang betina dan jantan, wancira menjerit di dalam jurang, sama-sama merebut makanan.
pada ke- 125 Kungkang muni asahuran, aganti muani umung, umuni Lor ana Kidul, karungu suarane alon, ana ta mangkē pangagan, ana jenar ana biru, tales ring pinggiring marga, adas panyelag tan kantun.
Kungkang berbunyi bersahut-sahutan, bergantian bersuara ramai, di Utara dan di Selatan, terdengar bunyinya perlahan, dan kini ada tegal-tegal pesawahan, ada yang kuning ada yang biru, pohon talas di pinggir jalan, tak ketinggalan menyela pohon adas.
pada ke- 128
Pilihan
kata
yang
digunakan
untuk
mengajak
pembaca
ikut
membayangkan situasi latar cerita. Kicauan suara burung dan indahnya tetanaman digambarkan ketika Liman Tarub dalam keadaan bersedih sedang menyusuri jalanan hutan mau menuju gunung. Pengarang dengan lengkap menggambarkan panorama hutan sepanjang perjalanan Liman Tarub, dari kicauan para burung yang saling bersahutan, binatang-binatang yang sedang berebut makanan, indahnya tegal-tegal persawahan hingga tanaman-tanaman yang tumbuh dipinggir jalan. Diksi demikian menjadikan pembaca ikut berimajinasi tentang keadaan alam yang digambarkan pengarang dalam karya. Berbicara tentang imaji bisa mengungkapkan pengalaman indrawi seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Jadi ada sebuah kesan yang ditangkap pembaca, baik itu dari suara, penglihatan maupun dari sentuhan. Imajinasi yang muncul dari suara dapat ditemukan dalam bait berikut: Kendang gong muniasawuran, sangka parērēt ambarung, tuwek dadap supenuh, pajeng kober pajeng ijo, umiang suaraning Gandarwa, asurak-surak gumuruh, ring tengah jempana emas, gagrantangan abra murub.
Suara gong dan gendang bersahut-sahutan, sangka kerang dan terompet beradu tenaga, perisai dan tombak penuh berjajar, payung bendera payung hijau, para Gandarwa riuh rendah, gemuruh sorak sorai, di dalam usungan emas. gagrantangan bercahaya gemerlap.
pada ke-164 Dengan apik pengarang menggambarkan suara gong dan gendang yang bersahut-sahutan di surga ketika arwah Jerum dan arwah Kundangdya bertemu. Ini mengantarkan pembaca ikut berada dalam kondisi itu. Selain dari segi suara, muncul pula imaji yang ditangkap dari penglihatan, seperti dalam kutipan berikut: Tuhu asri papajangan, pamreman asri dinulu, gagandania mrebuk arum,
Perhiasan sangat indahnya, tempat tidur sangat asri dilihat, wangi-wangian harum semerbak,
pamreman aris kang Lor, wus sinrung binalungbang, tinanem tunjung biru, langsēnē malalampahan, mapinda wedus katempur
balai-balai sebelah utara, di sekelilingnya dihiasi dengan membuat telaga, dan tanaman teratai biru, rentangan kain dengan lakon, menggambarkan domba bertarung.
pada ke-9 Sarira angwlaseng cita, pupu lempung gading lumlum, warnanen mingsoring pupu, luir pudak cinaga karo, tan ilang takonakena, Kundangdya tan pangitung, garegetan mangaras-aras, Ni Jerum nora awungu.
Tubuhnya membuat hati terpesona, paha montok indah kekuning-kuningan, tersebutlah di bawah paha, bagaikan dua buah bunga pudak, yang tak tersurat rasakan sendiri, Kundangdya tak terkatakan, mencium dengan bernafsu, Ni Jerum tak terjaga.
pada ke- 62 Dalam kutipan di atas ampak di mata pembaca bagaimana pengarang menggambarkan keindahan tempat tidur pengantin yang sangat indah sehingga pembaca ikut berimajinasi seakan berada dalam ruangan tersebut. Demikian juga dalam bait berikutnya ketika Kundangdya diam-diam masuk ke kamar Jerum dan melihat kemolekan tubuh Jerum. Pembaca seakan membayangkan bagaimana kemolekan Jerum hingga akhirnya Kundangdya hingga bernafsu untuk memeluk dan mencium Jerum. Pelukan dan Ciuman tentu merupakan kontak fisik berupa sentuhan. Di situ pembaca berimaji dalam sentuhan. Demikianlah kepiawaian pengarang untuk mengajak pembaca terhanyut dalam cerita karya, dan semua itu hanya disampaikan dalam betuk rangkaian bahasa. Dari bahasa mampu menjadikan pembaca seperti ikut melihat, mendengar dan merasakan sentuhan. Mendukung munculnya imaji, ada yang disebut kata kongkret, kata yang berhubungan dengan kiasan atau lambang yang akhirnya memunculkan imaji. Dalam Kidung Jerum Kundangdya misalnya ditemukan ada kata sorga smaralaya 'surga dengan penuh cinta' dalam pada ke-28. Harapan Kundangdya untuk dapat
bersama Jerum di sorga smaralaya, bayangannya adalah sebuah tempat di surga yang tentunya penuh dengan keindahan ditambah dengan mampu bersama dengan orang yang dicintai. Demikian juga dalam kata sumengkēng gunung 'naik gunung' dalam pada ke-161. Liman Tarub yang diceritakan menaiki gunung dan meninggalkan kerajaannya, ketika itu gunung merupakan tempat untuk menyucikan diri. Liman Tarub yang menuju gunung menandakan ia ingin melepas sifat keduniawiannya. Dalam kata Tirta Kamandalu 'air suci kehidupan' dalam pada ke-218. Ketika Hyang Narada ingin menghidupkan kembali Jerum dan Kundangdya, ia membawa tirta kamandalu yaitu air suci yang dipercaya mampu menghidupkan kembali makhluk hidup yang telah mati. Demikianlah contohcontoh kata konkret yang ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Seluruh bahasa maupun gaya merupakan sebuah estetika karya. Dengan keindahan penikmat akan mampu mencerna karya dengan baik sehingga dengan mudah mampu menerima ajaran-ajaran positif yang menjadi tujuan pengarang membuat karya. Keindahan yang mampu terjaga dan dapat dinikmati sewajarnya, disitulah muncul kebahagiaan yang merupakan bentuk dari harmonis itu sendiri. Di dalam alam terdapat bhuana alit seperti manusia, hewan maupun tumbuhan. Ketika ini semua mampu hidup berdampingan dengan penuh kedamaian, disitulah letak keharmonisan. Harmonis mampu berawal dari sebuah keindahan yang akhirnya menciptakan kedamaian.
Salah satunya saja, dengan mengajak pembaca
berimajinasi dengan keindahan alam yang masih asri dengan tetanaman dan hewan-hewan yang masih hidup bebas di alam terbuka, tentu meninggalkan kesan
bahagia di hati pembaca. Dengan harapan manusia itu haruslah mampu menjaga alam sekitarnya sehingga keharmonisan itu terwujud.
4.4 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit Alam dalam konsep Hindu dapat dibagi menjadi 2 yaitu Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Bhuwana Alit sebutan badan jasmani dan Bhuwana Agung sebutan alam semesta. Tantra mengajarkan segala yang ada di Bhuwana Agung juga ada di Bhuwana Alit, dan sebaliknya. Apa yang ada di sini ada juga di tempat lain, apa yang tidak ada di sini tidak ada di tempat lain. Segala jenis air di dalam Bhuwana Alit dianggap samudra di dalam Bhuwana Agung. Semua pembuluhnadi di Bhuwana Alit dipandang sebagai sungai di Bhuwana Agung. Substansi Bhuwana Alit seperti daging, darah, kulit, lemak dipandang sebagai tujuh pulau di Bhuwana Agung. Jiwa yang menghidupkan Bhuwana Alit disebut jiwatma, dan jiwa yang menghidupkan bhuwana semesta raya adalah paramatma (Palguna, 2008: 17). Bhuwana Agung dibagi menjadi tiga lapisan alam semesta yang disebut Tri Loka, yakni Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka. Bhur Loka sering diistilahkan sebagai alam kegelapan atau alam bawah. Disebut alam kegelapan karena suasana alam ini memang cukup remang-remang atau bahkan gelap. Disebut alam bawah bukan karena lokasinya di bawah, tapi karena tingkat kesadaran jiwa-jiwa di alam ini rendah atau lebih di bawah. Bhur loka adalah alam yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang bathinnya dalam avidya dan hidupnya penuh adharma atau mereka yang menyalahgunakan kesaktian semasa hidupnya.
umumnya kita menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk alam bawah (Bhuta Kala). Bwah Loka sering diistilahkan sebagai alam tengah, disebut alam tengah bukan karena lokasinya di tengah, tapi karena tingkat spiritual jiwa-jiwa di alam ini terletak di tengah, bisa buruk yang dianggap turun ataupun baik yang dianggap naik. Bwah Loka adalah alam siklus samsara, siklus kehidupan dan kematian. Swah Loka sering diistilahkan sebagai alam terang alam cahaya atau alam atas. Disebut alam terang karena suasana alam ini memang terang dengan cahaya yang indah dan damai. Disebut alam atas bukan karena lokasinya di atas, tapi karena tingkat kesadaran jiwa-jiwa di alam ini tinggi atau lebih di atas. Jadi alam atas adalah alam yang dihuni oleh mereka yang tingkat kesadaran dan tingkat kebijaksanaannya paling tinggi. Swah Loka adalah alam yang di huni oleh jiwajiwa yang batinnya bersih, serta hidupnya penuh welas asih dan kebaikan, sampai pada yang kesadarannya sudah luas. Umumnya kita menyebut mereka sebagai Pitara, Bidadari, Bhatara atau Dewa. Dengan makhluk-makhluk alam atas sudah selayaknya kita memiliki rasa hormat dan sopan santun. Banyak kitab-kitab Hindu yang menerangkan bagaimana cara menghormati para Dewa yang kita kenal dengan Dewa Yadnya. Bhuwana Alit yang merupakan perwujudan diri manusia memiliki unsurunsur pembentuknya yang di sebut Panca Maha Bhuta. Unsur-unsur pembentuk tubuh manusia ini juga terdapat dalam Bhuwana Agung. Panca Maha Bhuta terdiri dari akasa adalah udara, bayu adalah angin, teja adalah sinar, apah adalah air, dan pertiwi adalah tanah. Konsep harmonisasi alam di Bali bertujuan untuk
menyelaraskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Upaya harmonisasi alam yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali melalui upacara dan upakara. Dalam lontar Tutur Andhabhuwana, dikatakan bahwa Panca Maha Bhuta telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia, sehingga isi alam dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan suatu ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itu diperlukan pemeliharaan agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan, hal inilah yang membutuhkan
upacara atau yadnya dari manusia (Dhaksa
Darmita, 2011: 111). Upacara dalam kamus bahasa Bali-Indonesia, kata upacara yang dikaitkan dengan upakara berarti sesajen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna kata upacara seringkali disamakan dengan upakara berarti keperluan, yang dibutuhkan,
barang
tambahan,
perhiasan
atau
dandanan
yang
pantas,
perlengkapan, peralatan, lencana, tingkah laku atau kelakuan yang pantas atau patut, tata cara, etiket (Zoetmulder, 2004: 1336). Upacara agama adalah salah satu bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Dalam agama Hindu mengenal adanya lima macam yadnya yang disebut panca yadnya. Panca Yadnya adalah lima macam korban suci yang terdiri dari: 1) Dewa Yadnya yaitu korban suci kepada Ida Sang Hyang Widhi, 2) Pitra Yadnya yaitu korban suci kepada para leluhur, 3) Rsi Yadnya yaitu korban suci kepada para Rsi yang mengamalkan Ilmu Pengetahuan yang diberikannya, 4) Manusa Yadnya yaitu korban suci yang dilakukan oleh manusia seperti ngotonin, potong gigi dan sebagainya, 5) Bhuta Yadnya yaitu korban suci kepada makhluk rendahan seperti ngejot selesai memasak, mecaru dan lain sebagainya (Bali Aga, 2006: 77).
Melalui upacara Panca Yadnya, masyarakat Hindu di Bali melakukan pengharmonisan alam. Upacara panca yadnya ini juga sejalan dengan konsep Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana membahas tentang cara menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan baik antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik antara manusia dengan alam sekitar (Palemahan). Sebuah upacara yadnya tidak akan lepas dari upakara. Upakara menurut kamus bahasa Bali berarti sesajen (2008: 802). Upakara disebut juga sesajen, banten, dan yadnya yaitu berupa persembahan yang akan dikurbankan, yang terdiri dari beberapa bahan matang dan mentah. Bahan upakara yang digunakan dalam upacara yadnya bersumber dari tumbuhan dan hewan. Digunakannya tumbuhan maupun hewan langka sebagai sarana yadnya, hal ini menuntut manusia untuk menjaga dan melestarikan bahan-bahan yadnya tersebut. Ini menjadi salah satu bentuk pelestarian alam melalui yadnya. Selain pemanfaatan unsur-unsur alam, dalam pelaksanaan upacara dan upakara juga tidak terlepas dari unsur bunyi-bunyian yang dikenal dengan nama Panca Gita. Panca Gita adalah lima unsur bunyi-bunyian yang mengiringi jalannya sebuah upacara, yang terdiri dari bunyi genta seorang pendeta, bunyi mantra yang diucapkan oleh pendeta, bunyi dari kidung atau nyanyian-nyanyian suci, bunyi gong atau alat musik pengiring yadnya dan bunyi kentongan (kulkul). Kidung menjadi salah satu unsur bunyi yang memiliki peran penting dalam upacara keagamaan di Bali. Makidung di dalam tradisi umat Hindu telah berlangsung cukup lama.
Dalam lontar Wrhaspatitattwa terdapat dialog seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati yang membahas tentang unsur kesadaran yang disebut cetana dan unsur ketidaksadaran atau disebut acetana. Kedua unsur cetana dan acetana ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada (Tim Penyusun, 2003: 7). Ketika seseorang mampu berbuat baik ia dianggap berada di pihak positif dengan tindakan dalam tingkat sadar, namun apabila seseorang telah berbuat sebah kesalahan maupun kejahatan, itu dianggap sebagai unsur dari kekuatan negatif yang menandakan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar. Dalam Kidung Jerum Kundangdya Tokoh Kundangdya dan Ki Liman Tarub merupakan dua tokoh yang saling berseteru. Di dalam diri merekapun dilingkupi oleh unsur positif dan negatif. Kundangdya adalah sosok welas asih, pintar mencintai pasangan, dan sangat menghormati ibunya, tetapi ketika ia dilingkupi oleh perasaan emosi dan dikendalikan oleh perasaan cintanya terhadap Jerum yang tidak mampu ia kendalikan menyebabkan ia melakukan sebuah tindakan di luar kesadarannya. Kundangdya hingga bertandang ke rumah Nini Jerum yang ketika itu telah menjadi istri Liman Tarub adalah sebuah kesalahan yang dilakukan karena dorongan rasa rindunya terhadap Jerum yang tidak mampu ia kendalikan. Sebuah ketidaksadaran ini memunculkan tindakan negatif yaitu perselingkuhan yang akhirnya menggiring Kundangdya pada musibah. Ia akhirnya dibunuh oleh Liman Tarub karena telah lancang mendatangi dan meniduri Nini Jerum. Demikian juga dengan Ki Liman Tarub, ia digambarkan sebagai sosok seorang suami yang berusaha menyayangi istrinya dengan harta benda namun
kurang memperhatikan perasaan istrinya. Hingga akhirnya istrinya ditiduri oleh Kundangdya, disitu barulah ia merasa sangat marah dan dalam kondisi marah ia membunuh Kundangdya dan Istrinya. Kesedihannya membuat ia memutuskan untuk mengembara dan belajar untuk tidak terikat dengan keduniawian. Ki Liman Tarub akhirnya bertemu dengan Bhatara Batur hingga akhirnya ia diijinkan untuk menjaga Surga oleh Bhatara Guru, namun ketika dalam keadaan suci itupun ia ternyata masih menyimpan dendam. Setelah melihat Kundangdya dan Jerum berada di Surga, Ki Liman Tarub yang ketika itu telah berubah nama menjadi Ki Sarayuda akhirnya mengejar-ngejar Kundangdya dan Jerum karena ingin membunuhnya kembali. Hingga akhirnya muncullah pertempuran antara Kundangdya dan Ki Liman Tarub yang akhirnya dilerai oleh Bhatara Guru. Dendam yang dirasakan oleh Ki Liman Tarub adalah bentuk sebuah ketidaksadaran hingga akhirnya ia mendapat teguran oleh Bhatara Guru. Seorang yang awalnya sudah menyucikan diri hingga mampu diangkat sebagai Dewa akhirnya dalam keadaan tidak sadar melampiaskan dendamnya pada Kundangdya. Ketidaksadaran merupakan sebuah kekuatan negatif yang menggiring seseorang pada hal-hal yang kurang baik. Baik dan tidak baik, positif dan negatif, sadar dan tidak sadar menjadi unsur yang selalu ada dalam bhuwana agung yaitu alam semesta ini dan juga pada bhuwana alit yaitu unsur-unsur yang memenuhi alam semesta ini. Welas asih, kasih dan cinta menjadi unsur positif dan bagian dari tindakan sadar berbanding terbalik dengan kemarahan, dendam dan emosi menjadi unsur kekuatan negatif dan bagian dari tidakan di luar kesadaran atau tidak sadar.
Tradisi kidung sebenarnya sudah dimulai zaman Regveda. Pustaka suci ini berasal dari urat kata rks yang berarti 'nyanyian pujaan'. Di dalam Regveda banyak sekali petunjuk bahwa para penyembah atau bakta memuliakan dan memuja Tuhan dalam bentuk mengidungkan sloka. Di dalam Regveda ditunjukkan bahwa para bakta sebaiknya bernyanyi atau makidung dalam melaksanakan persembahyangan. Di dalam Regveda, banyak sekali sloka yang mendukung dan menguatkan bahwa di dalam persembahyangan sebaiknya disertai dengan bernyanyi. Di bawah ini akan dikutip salah satu sloka Regveda yang mengharapkan agar bakta bernyanyi bila memuja Tuhan. Regveda VIII.69.9 menyatakan sebagai berikut: Nyanyikanlah, nyanyikanlah lagumu Oh Priyambadha, nyanyikanlah Pujalah Dia laksana istana yang kokoh Sloka-sloka itu memberi bukti betapa kuat harapan para rsi yang menerima wahyu itu untuk memuliakan Tuhan dengan cara bernyanyi atau makidung. Anjuran dan harapan itu dianggap belum kuat sehingga berulang-ulang dipertegas dalam pustaka suci yang muncul setelah zaman Veda (Jendra, 1998: 55-56). Menurut Zoetmulder, jenis sastra kidung di bagi menurut temanya menjadi tiga jenis, yaitu 1) kidung-kidung historis, 2) kidung panji, dan 3) kidung yang bersifat kerakyatan. Sementara itu tim pusat bahasa juga membagi sastra kidung berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu: 1) kidung sejarah atau kidung legenda, 2) kidung bertema panji, dan 3) kidung ruwat dan penyucian diri. Sastra kidung yang dogolongkan ke dalam kidung historis adalah sastra kidung yang mengambil bahan cerita dari tradisi sejarah kerajaan. Kidung yang bertemakan
panji dapat dikenal melalui ciri-cirinya memiliki unsur-unsur romantik dicampur dengan legenda yang tidak masuk akal dan deskripsi-deskripsi realistis mengenai dunia orang jawa karena semua cerita panji terjadi di pulau jawa. Sementara itu kidung-kidung yang digolongkan ke dalam jenis kidung-kidung ruwat dan penyucian antara lain kidung sudamala dan kidung Sri Tanjung. Sedangkan jenis kidung yang bertemakan keagamaan atau religius seperti kidung Wargasari, kidung Jerum dan kidung Tantri Pitra Yadnya (dalam Suarka, 2007: 136-138). Sebagai sebuah nyanyian pengiring yadnya, kekidungan di Bali juga di golongkan kembali berdasarkan kegunaanya. Seperti kidung Wargasari yang umumnya dinyanyikan untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya, dan kidung Jerum dinyanyikan untuk mengiringi upacara Bhuta Yadnya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mengenai Konsep Harmonisasi Alam sebagai berikut:
ALAM
BHUWANA AGUNG
HARMONISASI UPACARA UPAKARA PANCA GITA
BHUWANA ALIT
Dapat diterangkan bahwa alam ini memang terdiri dari bhuwana agung atau nama lain dari alam semesta ini, sedangkan bhuwana alit adalah isi dari alam semesta ini dari tumbuhan, hewan hingga manusia. Apapun yang diajak hidup berdampingan harus menciptakan keharmonisan demi terciptanya kenyamanan dan kedamaian, demikian juga antara bhuwana agung dan bhuwana alit harus tercipta sebuah keharmonisan untuk mampu menciptakan kedamaian. Dalam kepercayaan Hindu di Bali, Keharmonisan antara bhuwana agung dan bhuwana alit dapat diciptakan melalui upacara, upakara dan panca gita selain juga menumbuhkan rasa kecintaan dan keinginan menciptakan keharmonisan tersebut dimulai dari diri sendiri.
4.5 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan Konsep Ketuhanan Terciptanya keharmonisan alam semesta beserta isinya tentu diawali dari keharmonisan tiap individunya (manusia), sama halnya dengan keharmonisan bhuwana agung yang tentunya juga bersumber dari keharmonisan bhuwana alit. Seperti yang telah lumrah diketahui bahwa alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya. Semua ciptaan-Nya merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal karena dapat mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu akan kembali kepada-Nya karena itu adalah asal dan tujuan. Tingkatan-tingkatan alam dalam bhuwana agung bila dihubungkan dengan tubuh manusia (bhuwana alit) akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh manusia dari alam yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi, yaitu alam
kamoksan. Pada setiap bagian yang merupakan simbol alam dalam tubuh manusia berstana dewa-dewa, di mana Sanghyang Parama Nirbana Siwa adalah dewa yang tertinggi yang harus dijadikan objek dalam kamoksan. Pada dasarnya tubuh ini terbentuk dari unsur-unsur panca maha bhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana alit, alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam besar. Bhuwana alit merupakan refleksi dari tubuh ini, sedangkan alam semesta merupakan perwujudan bhuwana agung, begitu halnya dengan unsur-unsur panca maha bhuta terdapat pada dua alam ini. Sungai-sungai dalam bhuwana agung diwujudkan dengan nadi dalam tubuh yang jumlahnya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga penggerak tubuh (Pemerintah Tim Penyusun, 2003: 5--6). Antara unsur-unsur dalam badan berkaitan dengan alam atau bhuwana agung dan keterkaitannya dengan dewa penguasa alam semesta yang menempati setiap penjuru mata angin. Dalam kepercayaan Hindu di Bali ada sembilan dewa utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin yang biasa disebut Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa utama dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan penjuru mata angin adalah sebagai berikut. 1. Dewa Iswara penguasa arah timur 2. Dewa Wisnu penguasa arah utara 3. Dewa Rudra penguasa arah barat daya 4. Dewa Mahadewa penguasa arah barat 5. Dewa Maheswara penguasa arah tenggara
6. Dewa Sambu penguasa arah timur laut 7. Dewa Sangkara penguasa arah barat laut 8. Dewa Brahma penguasa arah selatan 9. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di tengah (Gus Japa dkk, 2008: 26-27). Selain Kesembilan dewa tersebut menguasai arah mata angin, dewa dan unsur-unsur dalam alam semesta ini pun memiliki keterkaitan dengan organ tubuh seperti yang tampak dalam bagan berikut. No
Cakra
Lokasi
Petal/
Dewa
Lembar
Pelindung
Fungsi
Warna
Kelenjar
Elemen
Merah
-
Tanah
Orange
Ovari/
Api
(kekuatan) 1
Dasar
tulang
4
ekor
Ganesa
pusat
(Dakini)
pertahanan, energi bumi, materi, tubuh fisik
2
Sex
tulang
6
pelvis
Wisnu (Rakini)
Kreativitas rendah tertarik
Testes
antar manusia, perjalanan astral 3
Pusar
pusar
10
Rudpa
Pusat
(Lakini
Kekuatan, ego,
Sakti)
identitas,
Kuning
Andrenalin,
Air
Ginjal
kepercayaan diri 4
5
Jantung
tengah
Tenggor
Tenggo
okan
rokan
12
16
Jagadamba
Cinta kasih
Hijau/
(Kakini
dan perasaan
Merah
Sakti)
halus lainnya
Muda
Sadasiva
Komunikasi,
Biru
(Arawanari swara)
kreativitas
Timus
Udara
Tiroid,
Eter
Paratiroid
tinggi intelektual, bahasa
6
Mata Ketiga
Antaralis
2
Paramesiwa (Hakini/ Sudhakali)
Pusat persepsi, jendela jiwa
Ungu
Pituitary
Cahaya
7
Mahkota
Puncak
1000+12
Kepala
Kalki
Pintu
Putih/
hubungan ke
Ungu
Ilahian
Pineal
-
elektrik
(Effendi, 2011: 93) Keterkaitan letak kesembilan dewa dalam Dewata Nawa Sanga dengan unsur bhuwana alit, yaitu organ tubuh manusia tergambar secara jelas dalam Kidung Jerum Kundangdya, tepatnya ketika Hyang Guru memberikan sabdanya kepada Sarayuda yang ketika itu sedang belajar kedharman, seperti tampak dalam kutipan berikut. Hyang Guru lingirangucap : "Sarayuda anakingsun, rungunen wuwus ingsun, wangsitira Hyang tan katon, jaba jro Hyang Pramana, angga nunggal soring luhur, kalangkahan kasurupan, tan ana wētan muwang Kidul
Hyang Guru bersabda: "Sarayuda anakku, dengarlah ucapanku, sabda Hyang yang tak nampak, luar dan dalam Hyang Pramana, tubuh menunggal atas dan bawah, terlangkahi dan dirasuki, tidak ada timur dan selatan.
pada ke- 171 "Putih Purwa Hyang Iswara, pupusuh mangkē nggonipun, Kidul abang puniku, Hyang Brahma ring ati mangko, Kuning kulon ring ungsilan, Hyang Mahadēwa puniku, Lor ireng rupanira, Wisnu ring ampru nggonipun.
"Putih di Timur Hyang Iswara, berada di jantung, Selatan berwarna merah, Hyang Brahma berada di hati, Barat berwarna kuning adalah ungsilan, di situlah Hyang Mahadewa, Utara berwarna hitam, Bhatara Wisnu berada di empedu.
pada ke- 172 "Geneyan dadu rupanira, Mahisora paparu nggonipun, Naritiya jingga iku, Rudra ring usus gung mangko, ijo limpa ring Wayabia, Hyang Sangkara dewan ipun, biru Ersania ineban, Bhatara Sambu puniku.
"Tenggara berwarna dadu, Dewa Mahisora berada di paru-paru, Barat daya berwarna jingga, Dewa Rudra berada di perut besar, Warna hijau pada limpa arah barat laut, Dewatanya Hyang Sangkara, Biru timur laut ineban, Dewatanya Bhatara Sambu.
pada ke-173 "Siwa Madia manca-warna, tumpuking ati nggonipun, sami mangkē ingitung!"
"Siwa di tengah beraneka warna, berada di tumpuking hati, semua sudah disebut!"
Sarayuda mojar alon : "Kamoksan lan kalepasan, darma muang ta pujan ipun, trusakena alon ala, amerih pinegating laku"
Sarayuda berkata perlahan : "Kamoksan dan kalepasan, Dharma dan mantra pujaannya, teruskanlah diwejangkan, sebagai tali ikatan tingkah laku"
pada ke- 174 Kepercayaan agama Hindu Bali bahwa Hyang Guru atau Bhatara Guru adalah dewa tertinggi. Hyang Guru dalam Kidung Jerum Kundangdia diwujudkan sebagai dewa tertinggi yang memberikan sabda kepada Sarayuda mengenai unsurunsur organ tubuh manusia dalam kaitannya dengan dewata nawa sanga. Melalui kidung Jerum Kundangdya terkandung sebuah bentuk penyadaran terhadap keterkaitan bhuwana alit (unsur organ tubuh manusia) dengan bhuwana agung (alam semesta). Ada hubungannya yang sempurna dalam tubuh manusia dengan alam semesta. Dari pinggang ke bawah melambangkan alam bawah tanah dan di bagian atas pinggang melambangkan alam atas bumi. Ujung jari kaki melambangkan alam tala, tumit melambangkan alam tatala, paha melambangkan rasatala dan pinggul melambangkan alam patala. Pusar melambangkan alam bhurloka, hati melambangkan svahloka, kerongkongan melambangkan alam mahaloka, wajah melambangkan janaloka, dahi melambangkan tapaloka, dan pucak kepala adalah satyaloka (Watra, 2006: 84--85). Para dewa ber-stana sesuai dengan unsur-unsur organ tubuh tersebut. Dengan mengaitkan keberadaan para dewa dengan organ-organ tubuh ini merupakan salah satu bagian dari penyadaran agar manusia mencintai dirinya sendiri. Badan merupakan salah satu anugerah yang diberikan agar atma mampu menjalani kehidupan sebagai manusia, sebagai bentuk rasa terima kasihnya sudah seharusnya ia menjaga dan menghormati setiap unsur anggota badannya dengan jalan mencintai tubuhnya sendiri. Ketika
seseorang berusaha mencintai tubuhnya, ia akan berusaha menjaga kesehatan badan, baik dengan cara makan-makanan yang sehat, olahraga, maupun menciptakan pikiran yang sehat. Pikiran yang sehat tentu terbebas dari pikiran negatif, yang mampu menciptakan pikiran harmonis. Liman Tarub ketika terbelenggu dalam masalah kehancuran rumah tangganya akhirnya memilih untuk mengasingkan diri ke gunung untuk berusaha menenangkan diri hingga akhirnya ia mampu bertemu dengan Hyang Guru yang memberikan sabda mengenai keterkaitan letak para dewa dalam tubuh manusia tanpa melupakan untuk selalu menerapkan ajaran dharma. "Dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat". Slogan yang umum didengar di lingkungan masyarakat Indonesia ini memang ada benarnya. Ketika seseorang dalam keadaan sehat tentu ia mampu belajar untuk berpikir yang sehat dan positif. Pikiran positiflah yang membentuk lingkungan sehat dan positif. Inilah keterkaitan bhuwana alit dan bhuwana agung. Ketika diri telah harmonis, maka akan berimbas pada keharmonisan lingkungan yang pada akhirnya menciptakan keharmonisan alam semesta. Pembentuk keharmonisan alam sesungguhnya berawal dari harmonisnya unsur-unsur dalam diri. Salah satu cara tercapainya keharmonisan diri itu adalah tapa brata seperti yang dilakukan oleh Liman Tarub. Ia berusaha menjaga kesehatan organ badan dan kesehatan pikiran yang pada akhirnya mencapai kamoksan dan kalepasan. Keharmonisan sangatlah dijunjung dalam kehidupan masyarakat Bali. Hingga banyak beranggapan bahwa di Bali unsur baik dan buruk itu mampu berdampingan. Bhuwana agung atau dengan kata lain alam semesta merupakan tempat makhluk hidup dan yang lainnya melangsungkan kehidupan. Tanpa alam
makhluk hidup tidak bisa hidup, tanpa makhluk hidup pun alam tidak akan ada gunanya. Keterkaitan saling membutuhkan ini menuntut makhluk hidup seperti manusia, yang diberikan kelebihan untuk mampu merasakan dan berpikir seharusnya berkewajiban memeliharan keharmonisan keduanya, baik bhuwana agung maupun bhuwana alit. Bentuk pemeliharaan bhuwana agung di Bali yaitu melalui upacara yadnya. Sekian upacara-upacara yadnya yang ada di Bali. Upacara bhuta yadnya merupakan upacara yang memang bertujuan untuk mengharmoniskan kekuatan baik dan buruk dengan harapan mampu menciptakan keharmonisan alam. Upacara bhuta yadnya memiliki dua bagian. Pertama, upacara caru yang merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya yang memiliki kuantitas nista, madia, utama tergantung dari keperluan dan kemampuan. Adapun kualitasnya sama sesuai dengan macam dan fungsi caru. Pelaksanaan upacara pecaruan ini biasanya bersifat berkala. Kedua, upakara/ yadnya sesa (palelabanan) yang merupakan bagian dari bhuta yadnya hanya materialnya lebih sedikit. Namun, pelaksanaan upakara palelaban ini, ada yang bersifat berkala dan ada juga yang bersifat rutin setiap hari (Sudarsana, 2001: 5-6). Berbicara tentang keharmonisan di lingkungan alam di Bali, tidak terlepas dari konsep tri hita karana. Secara leksikal tri hita karana berarti tiga penyebab kesejahteraan (tri = tiga, hita = sejahtera, karana = penyebab). Pada hakikatnya tri hita karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara (1) manusia dan Tuhan, (2) manusia dan alam lingkungannya, (3) manusia dan sesamanya. Penerapan tri hita karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut.
a. Hubungan antara manusia dan Tuhan diwujudkan dengan dewa yadnya. b. Hubungan antara manusia dan alam lingkungannya diwujudkan dengan bhuta yadnya. c. Hubungan antara manusia dan sesamanya diwujudkan dengan pitra, resi, manusa yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78). Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung, ajaran tri hita karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran
ini
menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini, kala adalah energi atau kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). Kekuatan alam itu bisa merusak apabila diganggu, ia pun menyejahterakan apabila didamaikan. Kekuatan alam ini dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19--20). Berkaitan dengan konsep tri hita
karana,
upacara
bhuta
yadnya
menjadi
salah
satu
cara
untuk
mengharmoniskan alam beserta isinya. Upacara bhuta yadnya lebih pada yadnya yang bertujuan untuk menetralisir alam, menyeimbangkan kekuatan negatif dan positif. Digunakannya kidung Jerum Kundangdya sebagai pengiring upacara bhuta yadnya memiliki sebuah alasan karena ceritanya yang mengandung sebuah unsur keterkaitan dengan kekuatan negatif dan positif. Dalam kidung Jerum
Kundangdya muncullah dua orang tokoh pria yang saling menaruh dendam dengan dihadiri seorang tokoh wanita yang sama-sama sangat dicintai oleh kedua pria tersebut. Setiap unsur dalam alam semesta selalu tercipta berpasangan, termasuk juga kekuatan positif dan negatif yang memenuhi alam semesta juga memenuhi diri manusia. Kekuatan positif dan negatif menandakan adanya unsur kesadaran dan ketidaksadaran. Macam-macam upacara bhuta yadnya ada banyak, dari yang sederhana hingga tingkat utama. Seluruh rangkaian upacara baik dari yang kecil hingga utama inipun tidak lepas dari tujuan harmonisasi. Selain rangkaian upacara bhuta yadnya yang memang diperuntukkan untuk pengharmonisan alam, tradisi Hindu di Bali juga memiliki rangkaian upacara keagamaan yang memang muncul guna sebagai bentuk penyelarasan terhadap alam, yaitu upacara tumpek. Tumpek merupakan salah satu dari sekian banyak hari raya agama Hindu berdasarkan pawukon (wuku). Berdasarkan pergantian dari wuku-wukunya itu, maka dalam kurun waktu selama enam bulan akan terjadi perayaan tumpek selama enam kali, yang masing-masing berbeda nama, jenis,
dan tujuannya. Hari raya tumpek,
merupakan saat turunnya Hyang Widhi menciptakan Sang Hyang Dharma dan tattwa-tattwa atau ilmu pengetahuan. Pelaksanaan upacaranya diwajibkan kepada manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna untuk mengatur keadaan hidup di dunia secara lahirnya agar tetap terjaga keserasian dan kelestarian lingkungan hidupnya. Jenis-jenis tumpek ada enam. Pertama, tumpek landep yaitu upacara yang diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan kehadapan Tuhan dalam manifestasinya yang disebut sebagai dewanya senjata
(alat peperangan yang dibuat dari besi, logam, perak, emas dan lain sejenisnya) yang dipergunakan oleh manusia dalam kehidupannya. Kedua, tumpek wariga, yaitu memohon keselamatan melalui upacara ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai dewa tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Ketiga, tumpek kuningan, yang diselenggarakan manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan para leluhur termasuk dewa dan pitaranya. Keempat, tumpek krulut, yang diselenggarakan manusia untuk memohon keselamatan kehadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai dewa rasa senang yang luar biasa. Kelima, tumpek uye, yang diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai dewa para binatang yang hidupnya dikandangkan dan digunakan oleh manusia sebagai teman hidup yang ikut membantu bekerja dan memenuhi sarana keperluannya. Keenam, tumpek wayang, diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan dalam manifestasiNya sebagai dewa segala jenis tetabuhan dan wayang, yang digunakan oleh manusia (Arwati, 1992: 5--8). Wujud perayaan tumpek memberikan gambaran mengenai usaha manusia untuk selalu harmonis dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Perayaan Tumpek Wariga mampu menjadi salah satu contoh bentuk usaha untuk mencapai keharmonisan dengan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan merupakan saudara manusia sesama ciptaan Tuhan yang selalu membantu kehidupan manusia khususnya di bidang pangan. Selain itu, tumbuh-tumbuhan juga kembali digunakan untuk sarana persembahan atau banten dalam sebuah upacara yang
kembali diperuntukkan untuk Tuhan. Ketika perayaan Tumpek Wariga, tumbuhtumbuhan disucikan dengan berbagai upakara dan ketika itu manusia memohonkan agar tumbuhan mampu hidup dengan baik, menghasilkan buah dan bunga yang baik yang dapat membantu hidup manusia. Di sini muncul wujud syukur dan rasa terima kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan. Ketika Tumpek Wariga manusia dilarang memetik, bahkan menebang pohon. Muncul sebuah pengembangan cinta manusia terhadap tumbuh-tumbuhan yang selama hidupnya telah setia membantu manusia. Harapan manusia ketika tumbuhtumbuhan mampu tumbuh subur, baik melalui upacara keagamaan (secara niskala) maupun melalui sebuah perawatan (secara niskala) maka kehidupan manusia akan lebih bahagia. Manusia tidak akan mampu hidup tanpa tumbuhan, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai manusia yang terlahir sempurna tentu menjadi sebuah kewajiban untuk menciptakan keharmonisan alam. Salah satu caranya adalah dengan memelihara kehidupan tumbuhtumbuhan. Demikian juga halnya dengan perayaan tumpek yang lainnya yang telah memiliki tujuannya masing-masing yang sama-sama untuk sebuah harmonisasi. Inilah sebagai bentuk harmonisasi bhuwana agung. Keharmonisan mampu tercipta apabila ada keseimbangan antara kekuatan negatif dan positif, bagaimana mengubah kekuatan yang bersifat keburukan menjadi bersifat kebajikan dan di sinilah diperlukan upacara bhuta yadnya. Konsep harmonisasi sesungguhnya telah dimunculkan dalam Kidung Jerum Kundangdya, itu menjadi alasan kuat mengapa Kidung Jerum Kundangdya diterima sebagai salah satu kidung pengiring jalannya upacara bhuta yadnya.
Berawal dari Kundangdya, karena kebutaannya melihat kecantikan Jerum, ia menjadi lupa diri. Ia dibutakan oleh cintanya terhadap Jerum. Rasa cinta dan ketertarikannya yang berlebihan ini memeunculkan nafsu, ketika nafsu sudah tidak mampu dikendalikan maka muncullah keinginannya untuk melakukan perbuatan di luar kebajikan, yaitu pemerkosaan. Kundangdya nekat meniduri Jerum merupakan sebuah kesalahan karena ketika itu Jerum telah terikat pernikahan dengan Liman Tarub. Tindakan Kundangdya dianggap sebuah tindakan perselingkuhan karena mengambil orang lain yang bukan pasangannya. Selanjutya Jerum, Jerum menikah dengan Liman Tarub dan telah berjanji saling mencintai. Namun, kekecewaan Jerum muncul ketika sarannya tidak digubris oleh suaminya. Bersamaan dengan itu datanglah Kundangdya yang diamdiam masuk ke kamarnya dan merayunya dengan segenap kata-kata cinta. Rayuan dan keterpesonaan Jerum melihat manis dan tampannya Kundangdya membuat ia terhanyut dan berjanji akan selalau bersama, baik hidup maupun mati. Janji dengan pria lain yang bukan suami sendiri juga merupakan sebuah kesalahan sehingga dianggap tindakan perselingkuhan. Janji terhadap Kundangdya membuat Jerum pasrah jikalau akhirnya tindakan tersebut diketahui oleh suaminya. Akhirnya Jerum dibunuh oleh suaminya sendiri karena dianggap telah berkhianat. Dalam masyarakat Bali perselingkuhan yang dilakukan
oleh Jerum dan
Kundangdya dianggap sebagai sebah kesalahan yang mampu mengotori lingkungan, biasa disebut ngaletehin gumi. Liman Tarub, ia menjadi suami yang baik. Namun, ia tidak mampu dan kurang mau memberikan perhatian terhadap istrinya. Hal itu dibuktikan dari
tindakannya yang tidak peduli dengan permohonan Jerum untuk tidak meninggalkannya. Cinta terhadap istrinya, tetapi tidak mampu memberikan perhatian. Perhatian dengan hadiah berupa harta dianggap utama oleh Liman Tarub. Perselingkuhan Jerum dengan Kundangdya membuat Liman Tarub gelap mata dan membunuh mereka berdua. Pembunuhan merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan sekalipun yang bersangkutan melakukan kesalahan. Demikianlah dalam kehidupan tentu dipenuhi dengan hal positif maupun negatif. Kejahatan dan kebaikan akan selalu berdampingan, dan manusialah yang dituntut untuk tetap sadar sehingga mampu memilah dan memilih tindakan yang tepat untuk dilakukan. Ada saatnya manusia salah bertindak ketika hilang kesadaran, dan ketika itulah diperlukan unsur-unsur lain untuk dapat menetralisirnya kembali untuk dapat menjadi baik. Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya, ketika makhluk-makhluk yang mengisi alam ini melakukan kesalahan, tentu itu berdampak pula pada keharmonisan alam semesta. Alam akan ikut menjadi kotor ketika makhluk-makhluk dalam alam itu melakukan tindakan kotor, untuk itu muncullah tindakan-tindakan yang dilakukan manusia untuk menetralisir keberadaan alam tersebut untuk mampu kembali menjadi harmonis. Upacara dan upakara merupakan salah satu cara untuk menetralisir alam agar kekuatan positif dan negatif di alam mampu harmonis kembali. Sama halnya dalam Kidung Jerum Kundangdya, ketika Kundandya dan Jerum melakukan kesalahan maka ia dengan kerelaan dan kesadarannya ia menyerahkan diri untuk dibunuh dan mampu lepas dari ikatan dunia. Sedangkan Liman Tarub yang telah
melakukan tindak pembunuhan, dengan kesadarannya ia melakukan tapa semedi untuk membayar kesalahannya dan mampu menjadi lebih baik. Kesalahan terjadi ketika
manusia
kurang
menyadari
tindak
dan
tanduknya,
dan
untuk
mengembalikan semuanya maka manusia tersebut harus kembali sadar akan dirinya. Kesadaran diri untuk melakukan tindakan yang patut merupakan awal terciptanya keharmonisan alam.
BAB V FUNGSI HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI
5.1 Landasan Cinta Cinta dan keharmonisan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Di mana ada keharmonisan sudah tentu ada cinta, tetapi di mana ada cinta belum tentu menimbulkan keharmonisan. Pada umumnya cinta memang selalu memberikan kebahagiaan, tetapi pernyataan ini perlu digarisbawahi hanya untuk cinta yang bersifat tulus ikhlas. Cinta yang hanya mengharapkan balasan sering kali hanya menimbulkan sebuah keterikatan yang berakhir pada rasa cemburu yang menghancurkan. Oleh karena itulah, cinta belum tentu menimbulkan keharmonisan, tetapi keharmonisan pasti dibentuk oleh cinta. Tidak ada hubungan harmonis yang tidak berlandaskan cinta. Keharmonisan pun pasti diwujudkan karena adanya cinta yang tulus. Apabila keharmonisan dan kerukunan sesama umat ciptaan Tuhan di usahakan dan diupayakan secara terus-menerus dengan segala kemampuan yang dimiliki serta berpedoman pada sastra agama, maka kedamaian yang menjadi dambaan akan dapat diciptakan dan dengan kedamaian kebahagiaan akan dapat dirasakan. Kedamaian dan ketenteraman batin merupakan dambaan setiap makhluk, tidak hanya untuk umat manusia, tetapi juga untuk tumbuhan atau tanaman dan binatang. Tanggung jawab manusia adalah menjaga harmonisasi
alam dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Wujud harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat terlukiskan dalam kisah cinta antara Jerum dan Kundangdya. Cinta merupakan salah satu bentuk Representatif Harmonisasi Alam, Dengan kata lain wujud harmonisasi alam dapat terealisasikan dalam wujud cinta . Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwa Darminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih artinya perasaan sayang atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan, dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehingga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasih. Walaupun cinta kasih memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan yang erat dimasyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintahNya, dan berpegang teguh pada ajaran-Nya. Cinta merupakan salah satu hal yang menjadi bagian dari keberadaan makhluk hidup. Cinta seringkali menjadi pembahasan menarik yang tidak pernah habis untuk ditelusuri dan dipahami. Bahkan pada tahun 416 SM, cinta menjadi salah satu topik pembahasan menarik bagi sebagian ilmuwan. Ketika itu, Sokrates
pernah melakukan dialog yang khusus membahas cinta pada sebuah acara jamuan makan malam dan pesta yang direkam oleh Plato muridnya. Dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh Sokrates dan kawankawannya memunculkan banyak pemikiran dan pandangan mengenai cinta. Ada beberapa hasil dialog tersebut yang terekam oleh seorang muridnya, yaitu Plato. Dalam dialog tersebut, Phaidros mengatakan bahwa cinta adalah Dewi Agung serta indah di bumi dan di surga. Cinta adalah sumber segalanya, hanya cinta yang menjadi tuntunan kehidupan kalau ia ingin hidup yang lebih baik. Bukan darah bangsawan, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya, melainkan hanya semata-mata cinta yang bisa menanamkan kebaikan lebih daripada apa pun. Karena itu, tanpa cinta, maka mustahil manusia ataupun negara bisa menghasilkan keindahan dan keagungan dalam karya mereka (Plato, 1986: 5--6). Sokrates beranggapan, bahwa dalam pengertian umun cinta berarti semua keinginan akan hal-hal yang baik dan kebahagiaan dengan simpulan bahwa cinta sesungguhnya berarti selalu senang memiliki yang baik untuk diri sendiri. Jalan memburunya atau tindakan ketulusan yang diungkapkannya agar bisa disebut cinta tak lain adalah dengan asuhan dalam keindahan, baik jasmani maupun rohani. Indah berarti harmonis (Plato, 1986: 31-32). Dari kutipan beberapa isi dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh Sokrates mampu meyakinkan bahwa kehidupan yang indah atau harmonis tidak mampu dilepaskan dari keberadaan cinta. Cinta menjadi sebuah kekuatan yang memunculkan ketulusan dan sikap positif yang menciptakan kehidupan harmonis.
Menurut Wijayananda, pada aspek tertentu wujud cinta dapat pula disebut dengan bhakti. Bhakti berarti cinta kasih yang tulus. Istilah bhakti ini digunakan untuk pernyataan cinta kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan), cinta kepada negara ataupun pribadi-pribadi yang disayangi atau dihormati. Bhakti dapat dibagi atas dua tingkatan, yaitu apara bhakti dan parabhakti. Apara bhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi. Sebaliknya parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat (Wijayananda, 2004: 25). Bakti atau cinta akan menimbulkan suatu keikhlasan untuk berbuat dan berkorban. Kerelaan berkorban tentu memunculkan rasa pengertian dan saling memaafkan hingga mampu menghasilkan kedamaian. Cinta seakan selalu diibaratkan sebagai sumber keindahan dan kebahagiaan. Cinta adalah kekuatan terbesar dalam hidup yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Ungkapan tersebut terungkap dan terlontar secara alami serta terlukis secara amat puitis (Khalil Gibran dalam Antono, 2008: 7). Pembahasan mengenai cinta masih sering menjadi perbincangan karena keingintahuan manusia sekalipun telah diketahui bahwa semua makhluk hidup mengenal cinta. Untuk itu cinta tidak perlu dipelajari. Cinta datang pada saatnya dan sudah ada dalam diri setiap makhluk. Cinta memenuhi alam semesta dan mampu melahirkan simbol-simbol dan kias-kias yang menyebabkan imajinasi berkembang dan lahirlah seni (Putra: 15--19). Seni adalah sebuah keindahan dan itu dianggap bersumber dari cinta. Kekuatan cinta inilah yang mampu
menciptakan keindahan dan keharmonisan alam. Cinta dapat dianggap sebagai landasan munculnya keharmonisan. Tidak ada sebuah keharmonisan tanpa cinta. Kidung Jerum Kundangdya sebagai salah satu kidung pengharmonis alam yang menggambarkan kehidupan dengan segala permasalahan yang bersumber dari cinta. Secara eksplisit, setiap permasalahan yang muncul dalam kidung berawal dari masalah cinta. Cinta dalam kaitannya dengan harmonisasi alam dapat dilihat dari dua sisi yang saling berbeda. Satu sisi cinta selalu menimbulkan kebahagiaan dan sudah tentu bahagia itu juga berarti harmonis. Sebaliknya, di sisi lain cinta mampu menimbulkan keterikatan yang berujung pada rasa cemburu dan kemarahan yang berakhir pada kehancuran. Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal adanya Tri Hita Karana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dasar pengertian Tri Hita Karana adalah tiga unsur asal kebahagiaan, yaitu atman, manusia, dan alam. Ini bermakna agar manusia dapat hidup penuh kebahagiaan dan kedamaian, maka harus dibangun tiga wilayah, yaitu parhyangan untuk tempat memuja Tuhan sebagai asal dari atman manusia, pawongan tempat untuk hidup bermasyarakat dan palemahan tempat untuk penunjang kehidupan (Nala dkk., 2012: 156--157). Baranowski menemukan kunci untuk hidup bahagia, yaitu empat huruf "love" yang berarti cinta. Hidup sukses akan terwujud sepanjang dasarnya adalah "love" atau cinta kasih yang murni tanpa pamrih (Wiana, 2012: 40). Sebagai pengharmonis alam demi kebahagiaan setiap makhluk maka dalam ajaran Hindu di Bali dikenal upacara bhuta yadnya. Yang dimaksud dengan bhuta adalah unsur-unsur dari panca maha bhuta yang terdiri atas udara (bayu), air (apah), api (teja), tanah (pertiwi) dan
ruang (akasa). Bhuta dapat bersifat baik dan buruk. Kroda dari bhuta inilah yang harus dikendalikan oleh manusia agar dunia aman dan sejahtera. Manusia harus berani berkorban untuk mengendalikan bhuta agar tetap baik dan tidak berubah menjadi ganas dan kroda. Bila terjadi pencemaran atau keseimbangannya berubah, tentu akan menimbulkan bahaya. Manusia yang tidak tahu ilmu pengetahuan, merusak keseimbangan alam mengakibatkan bhuta menjadi marah dan menghancurkan manusia itu sendiri (Nala dkk., 2012: 267). Seperti yang terdapat dalam Kidung Jerum Kundangdya, cinta yang mampu menciptakan kebahagiaan dan kemarahan dan dendam menimbulkan sebuah malapetaka. Walaupun dianggap sebagai hubungan terlarang, cinta yang dimiliki Kundangdya terhadap Jerum begitu tulus dan murni. Cinta kasih yang tulus inilah yang menciptakan kebahagiaan antara Kundangdya dan Jerum hingga bahaya yang akan menimpa mereka pun tidak dapat membuat mereka takut, seperti dalam kutipan berikut. Liman Tarub gagēpēran, ginamelan Ni Jerum, tumuli angunus duhung: "Masa ko urip dēningong, lakinko Ki Kundang-Dia", Tur sinuduk Ni Jerum pindo:, "Ana ingsun kaka suarga, mati satia lan wong bagus"
Liman Tarub gemetaran, Ni Jerum dipegang, sambil menghunus keris: "Masak kau hidup denganku, laki-lakimu Ki Kundang-Dia", Ni Jerum ditikam dua kali: "Kakak aku akan masuk surga, setia dan mati bersama lelaki tampan".
pada ke-108 Dalam kutipan diceritakan bahwa Jerum merasa sangat tidak menyesal mengenal Kundangdya. Jerum dengan rela dibunuh oleh suaminya sendiri dengan keyakinan ia akan akan masuk surga dan bertemu dan setia dengan lelaki tampan, yaitu Kundangdya. Kemesraan antara Kundangdya dan Jerum dapat ditemukan dalam beberapa bait Kidung Jerum Kundangdya hingga pada bagian akhir. Ini
sebagai bukti bagaimana cinta yang dijaga melalui hubungan kemesraan ini mampu menciptakan kebahagiaan. Mesra adalah wujud keharmonisan, dan keharmonisan adalah hal yang diciptakan oleh cinta. Kemesraan hubungan antara Kundangdya dan Jerum berulang-ulang kali disebutkan dalam beberapa pada. Salah satu di antaranya adalah sebagai berikut. Sumrik gandaning kusuma, jebad kasturi arum, enti suka Nini Jerum, rasa tan mintara mangko, kasrepan dēning kasukan, lewih asatiyēng wong bagus, lewih sukaning sampura, sasangi tan koneneng itung.
Sangat harum aroma bunga-bunga jebad kasturi harum, betapa gembiranya Nini Jerum, ingin tak beranjak dari situ, terlena oleh kesenangan, terlebih setia pada lelaki tampan, seperti lulus dari segala ampunan, bagai kaul yang tidak bisa dihitung
pada ke- 245 Terlena dengan kesenangan membuat Nini Jerum tidak sedikit pun berniat beranjak meninggalkan Kundangdya. Kundangdya yang digambarkan sebagai sosok pria yang amat tampan dengan kesetiaan yang sudah terbukti, tentu memunculkan daya tarik bagi para wanita. Sebaliknya, Nini jerum yang juga amat cantik dengan tubuh yang sangat sempurna juga menjadikan setiap pria tertarik. Keindahan merupakan sesuatu yang patut dikagumi. Setiap individu pasti dilahirkan memiliki sifat mengagumi keindahan, hanya keindahan di dalam benak tiap-tiap orang itu yang sifatnya relatif. Kagum memiliki makna yang hampir sama dengan tertarik. Ketertarikan sudah tentu memunculkan rasa suka yang lama-lama menjadi cinta. Ketika cinta mampu hadir secara tulus dan mampu diterima dengan baik, ketika itulah muncul kebahagiaan yang secara langsung telah menciptakan keharmonisan, seperti yang dilakukan Kundangdya dan Jerum. Karena mereka saling mencintai, mereka saling memberikan perhatian dan pelayanan hingga mampu saling memberikan kebahagiaan.
Jika rasa cinta ini dikembangkan di mana saja, tentu itu akan menimbulkan kebahagiaan di manapun kita tinggal. Tanpa disadari cinta itu juga memiliki hukum timbal balik. Ketika kita mampu memberikan cinta dan objek yang kita berikan cinta juga membalas memberikan cinta, maka ketika itulah terwujud keharmonisan. Dalam kehidupan, manusia tidak hanya hidup dengan pasangan yang dicintai saja. Jadi sudah menjadi kewajiban jika manusia juga harus mencintai makhluk lain. Pada jaman sekarang, munculnya kasus orang yang depresi karena merasa tidak ada yang mencintai sudah sangat sering terjadi. Hal itu bisa disebabkan oleh tingkah lakunya yang memang membuat orang lain enggan mencintainya atau bisa juga pola pikirnya saja yang beranggapan demikian. Sesungguhnya ketika cinta yang tulus mampu diciptakan maka seseorang akan mampu menerima setiap keadaan dengan bijaksana dan kebahagiaan pun pasti akan diperoleh. Oleh karena itulah, kebahagiaan dan keharmonisan alam harus diciptakan dengan selalu menciptakan cinta yang tulus, baik cinta diperuntukkan untuk Tuhan, sesama manusia, maupun alam sekitar lainnya.
5.2 Penyeimbang Alam Semesta Ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan tiga aktivitas utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan. Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya disebut Tri Murti, tiga wujud utama (Dharmita, 2011: 105).
Sesungguhnya Tuhan hanya satu, hanya umat Hindu di Indonesia memberikan gelar Sang Hyang Wisdhi Wasa. Widhi artinya takdir dan Wasa yang Mahakuasa. Widhi Wasa berarti Yang Mahakuasa yang menakdirkan segala yang ada. Sebagai pencipta beliau bergelar Brahma (utpatti) di dalam aksara ia disimbolkan dengan huruf "A". Sebagai pemelihara dan pelindung (sthiti) ia disebut Wisnu, sebagai simbolnya ialah huruf "U", dan sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada sumber asalnya (pralina) beliau bernama Siwa Rudra. Siwa Rudra sering disebut Iswara, simbolnya dalam aksara ialah "M". Dalam perwujudannya sebagai Brahma pencipta, Wisnu pemelihara, dan Siwa Rudra pengembali ke asalnya Beliau disebut tri murti. Tri murti adalah tiga perwujudan dari tiga kemahakuasaan Tuhan Siwa Yang Mahatunggal yang disebut trisakti yaitu utpatti (mencipta), sthiti (memelihara), dan pralina (mengembalikan keasalnya). Tuhan Siwa Mahadewa, Yang Maha Esa dan Mahakuasa disimbolkan dengan aksara "OM" (AUM) yang disebut juga Omkara. Oleh karena itulah, tiap-tiap mantra harus dimulai dengan suara OM, sebagai inti kekuatan doa mantra itu, hendaknya juga dapat menggetarkan dan menggerakkan alam semesta (Punyatmaja, 1992: 37--38). Setiap kali umat Hindu melantunkan doa. Tiap kali itu pula diawali dengan kata "OM". Secara tidak langsung menyadarkan manusia dengan keberadaan alam yang diciptakan, dipelihara, dan akan dilebur oleh Sang Hyang Tri Murti. Lantunan doa sebagai bentuk ingatan terhadap Sang Hyang Tri Murti dan wujud terima kasih karena telah diciptakan, dipelihara, dan pada akhirnya akan dilebur kembali, dari ada, berlangsung, dan kembali tiada. Demikianlah setiap kehidupan
itu berlalu dengan seimbangnya ketiga proses ini. Ketika salah satu dari unsur ini menimbulkan ketidakseimbangan maka mustahil akan tercipta keharmonisan. Andai dalam proses kehidupan kelahiran atau penciptaan sangat jarang terjadi, bisa dibayangkan di dunia akan sepi karena kekurangan isi, demikian juga jika peleburan jarang terjadi, maka dunia pun akan kepenuhan. Demikian halnya dengan pemeliharaan, apabila dunia tercipta, tetapi tanpa dipelihara maka kehancuran akan lebih cepat terjadi. Inilah bentuk keseimbangan alam. Keseimbangan ini mampu terjaga apabila manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya mampu berterima kasih dengan cara berdoa. Di samping itu, juga menjaga setiap hasil ciptaan beliau hingga akhirnya hasil ciptaan tersebut dilebur dengan cara yang wajar. Konsep Tri Murti ini juga dikenalkan melalui Kidung Jerum Kundangdya. Dewa Brahma sebagai dewa pencipta juga disampaikan secara jelas ketika Ki Jaksa memberikan wejangan pada Sarayuda, seperti dalam kutipan berikut. Tan panut kramaning jagat, tuara tutut tigang wegung, wenang bencana rawuh, tan panuta kramaningong, tan yogia brahma muaha, wus pejah akalihan sampun, apan sitohana jiwa, dēnē Kundangdya sampun
Tak sesuai dengan kehendak dunia, belum sampai tiga bulan, sudah waktunya bencana datang tidak sebagaimana mestinya, Dewa Brahma tidak akan menciptakan kembali berdua sudah meninggal dunia, karena mempertaruhkan jiwa, oleh Kundangdya.
pada ke-198 Dari kutipan di atas ada sebuah pengakuan bahwa Dewa Brahma memang dianggap sebagai pencipta. Dewa Brahma dianggap tidak akan menciptakan kembali orang yang telah meninggal yang dalam cerita yang dimaksud adalah
Kundangdya dan Jerum yang ingin dibunuh kembali oleh Sarayuda. Hal itu menjadi mustahil karena menurut Ki Jaksa, orang yang meninggal tidak akan dapat hidup kembali karena tidak mungkin Dewa Brahma menciptakan kembali orang yang telah meninggal. Jika dikaitkan dengan hukum keseimbangan dalam kosep Tri Murti, ketika seseorang telah meninggal kembali dihidupkan oleh Dewa Brahma, maka suatu kesalahan telah dilakukan oleh Dewa Brahma terhadap Dewa Siwa Rudra. Melebur, membunuh, menghancurkan, dan meniadakan adalah wewenang Dewa Siwa Rudra. Apabila Dewa Brahma kembali menghidupkan yang telah dilebur oleh Dewa Siwa Rudra, itu menjadi sebuah kesalahan karena mengambil wewenang yang salah. Jerum adalah istri Liman Tarub, karena kenekatan Kundangdya meniduri Jerum itu menjadi sebuah kesalahan yang besar, maka mereka pun akhirnya mati dibunuh karena kemarahan Liman Tarub. Selain Brahma, Dewa Wisnu juga tidak lepas dari bagian cerita Kidung Jerum Kundangdya, seperti yang tampak dalam kutipan berikut: Bhatara Wisnu angandika : Kundangdya sira mantuk, kalawan Nini Jerum, ring Mrecapada mangko, durung teka ring samaya, moga mu amukti ratu, pangabaktianing buwana, Narēswari Nini Jerum.
Bhatara Wisnu bersabda: Pulanglah kau Kundangdya, bersama Nini Jerum, pulang ke Mrecapada, belum sampai pada janji, semoga kau berdua dapat mengenyam pemerintahan, disembah oleh anak negeri, dengan Permaisuri Nini Jerum.
pada ke- 215 Dewa Wisnu dalam wewenangnya adalah sebagai pemelihara, tetapi dalam kaitan cerita Kidung Jerum Kundangdya yang dikutip di atas, Dewa Wisnu dianggap menghidupkan Ni Jerum dan Kundangdya. Dewa Wisnu yang menyuruh Nini Jerum dan Kundangdya pulang atau kembali ke mrecapada atau dunia tempat kita
tinggal tidak berperan sebagai pencipta. Namun, berposisi sebagai pemelihara roh Ni Jerum dan Kundangdya yang ketika itu harus meninggal karena di bunuh oleh Liman Tarub. Kewajiban-kewajiban yang mengharuskan Ni Jerum dan Kundangdya kembali ke dunia menjadi alasan kuat mengapa ia dapat hidup kembali. Sebagai dewa pemelihara, Dewa Wisnu senantiasa memelihara setiap hal yang mampu menciptakan kedamaian dunia. Kundangdya dan Jerum adalah dua orang yang saling mencintai. Walaupun pasangan ini tidak diikat pernikahan, mereka berjanji hidup setia saling mencintai, baik di dunia maupun di akhirat. Cinta dapat diselaraskan dengan titik awal sebuah kebahagiaan, kesuburan, kemakmuran, dan tentunya keharmonisan. Anak-anak mampu tumbuh dengan baik disebabkan oleh cinta. Tumbuhan dapat tumbuh subur juga karena cinta. Seluruh alam semesta ini dapat harmonis karena berdasarkan cinta. Selain sebagai pemelihara, Dewa Wisnu juga dikenal sebagai dewa air dengan saktinya Dewi Sri yang dikenal dengan Dewi Padi atau Dewi kesuburan. Padi dapat tumbuh ketika disiram oleh air. Padi yang tumbuh dengan baik akan menghasilkan beras yang menjadi bahan makanan makhluk hidup di dunia. Demikian kiranya dapat digambarkan peran cinta bagi keharmonisan alam yang digambarkan dengan Cinta Kundangdya terhadap Jerum dan juga sebaliknya. Keharmonisan Kundangdya dan Jerum inilah dianggap mampu menciptakan dunia yang penuh cinta. Oleh karena itu, selayaknya air yang akan selalu turun ke tempat yang lebih rendah dengan selalu membawa kesuburan, maka diturunkanlah Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia oleh Dewa Wisnu. Orang-orang dengan penuh cintalah yang mampu memelihara keharmonisan dunia.
Sebagai pelebur, penghancur, atau yang melenyapkan muncullah Dewa Siwa Rudra. Beliau memiliki banyak sebutan. Beliau disebut juga Bhatara Siwa pelindung yang termulia. Diberi gelar Sang Hyang Mahadewa, Dewa yang tertinggi. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, Dewa Siwa Rudra disebut dengan nama Hyang Guru yang menjadi seorang penuntun ajaran kebenaran. Hyang Guru berulang-ulang kali hadir dan mewariskan ajaran-ajaran kebenaran kepada Liman Tarub yang diubah namanya menjadi Ki Sarayuda, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut: Hyang Guru lingniangucap, Anak ingsun Liman Tarub, sun parabakena tengsun, Sarayuda arane mangko, Liman Tarub lingniangucap, angabakti ring Hyang Guru: "Sandika yan pakanira, kawula mangkē anuhun".
Hyang Guru bersabda, Anakku Liman Tarub, aku ganti namamu, dengan nama Sarayuda, Liman Tarub berdatang sembah, menghaturkan bakti kepada Hyang Guru: Segala titah, hamba junjung"
pada ke- 147 Kutipan di atas diawali dari cerita Liman Tarub yang putus asa karena merasa dikhianati oleh istrinya kemudian memilih untuk menyucikan diri ke dalam hutan. Akhirnya ia bertemu dengan Hyang Guru. Hyang Gurulah yang mengajarkan cara menjalani kehidupan dengan penuh kebenaran hingga mencapai kebahagiaan yang sempurna, seperti yang disampaikan dalam kutipan berikut. Hyang Guru lingniangucap: Sarayuda anakingsun, tan akēh darma iku, tindak tanduk ēling mangko, lintang kena ginamelan, agung tan kena pinanduk, ewuh kaki sang atapa, ungguanira Sang Hyang Ayu.
Hyang Guru lalu bersabda: Sarayuda anakku, dharma itu tidak banyak, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk, diabaikan untuk di terapkan, besar namun tidak kena perhatian. "karena itu sulit bagi seorang pertapa, menuju tempatnya Sang Hyang Ayu.
pada ke-175
Seperti seorang guru yang memberikan sebuah ajaran dan pemahaman kepada muridnya, demikianlah Hyang Guru memberikan wejangannya kepada Ki Sarayuda. Ajaran dharma atau kebenaran itu tidaklah banyak, hanya sebuah kesadaran tindak dan tanduk hingga akhirnya dapat mencapai tempat Sang Hyang Ayu, yaitu tempat terindah atau surga. Hyang Guru yang digambarkan memberikan ajaran kebajikan ini tidak terlepas dari peran beliau sebagai penghancur atau pelebur. Menghancurkan tidak semata-mata melenyapkan setiap hal yang bisa dilenyapkan, tetapi sebagai asal mula setiap isi alam semesta ini, beliau juga berhak mengajarkan makhluk mengenai kebenaran hingga ketika badan kasar dilebur, sang atma yang tidak pernah mati itu mampu mendapat tempat yang layak, seperti ketika Sarayuda salah bertindak. Ketika Sarayuda telah menjadi seseorang yang dianggap suci, justru diam-diam ia masih menaruh dendam terhadap Kundangdya. Ia diam-diam menyusul Kundangdya ke dunia hingga melakukan peperangan. Ini membuat Hyang Narada marah dan tergesagesa melerai mereka. Ketika itulah layaknya seorang guru, Hyang Guru kembali hadir untuk mengingatkan dan menasihati Liman Tarub, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut: Hyang Guru lingirangucap: Sarayuda anak ingsun, yan sira ngidepana wuwus, anganggo darma kawikon, idepen ta ujar inguang, tan panirnaken laku, katemuha ri niskala, awalia andadi luhung.
Hyang Guru bersabda: Sarayuda anakku, kalau engkau mendengarkan kata-kataku, menggunakan ajaran kependetaan, camkanlah perkataanku, jangan melakukan perbuatan sia-sia, bertemu di alam rohani, kembali menjadi mulia.
pada ke- 285 Demikianlah keberadaan Tri Murti yang tersampaikan melalui karya Kidung Jerum Kundangdya. Pemahaman mengenai keberadaan Tri Murti tidak
bisa dilepaskan dari unsur keseimbangan alam. Ada berlangsung hingga hilangnya alam ini karena beliau. Ketiga unsur yang terdiri atas mencipta, memelihara, dan melebur telah menjadi sebuah jalinan yang harus berlangsung seimbang. Menyeimbangkan ketiga unsur tersebut tidak lepas dari sifat dan perbuatan manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia yang memiliki pikiran, tentu dapat berusaha melakukan sesuatu yang baik untuk menjaga alam ini. Banyak cara dilakukan manusia untuk menyadarkan manusia agar selalu mengambil tindakan yang benar. Salah satu diantaranya adalah melalui karya sastra seperti Kidung Jerum Kundangdya ini. Peran Tri Murti dalam kehidupan makhluk di bumi telah tersampaikan dalam karya.
5.3 Penetralisasi Alam Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali. Sastra kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur yang kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua sastra Jawa Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan bahwa sastra kidung tidak lahir di bali, tetapi kidung telah dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33). Begitu mendengar kata kidung, umumnya yang terlintas dalam benak pendengar adalah lantunan nada-nada indah yang bernuansa tradisi dan religius. Demikianlah istilah kidung yang umum dikenal di Nusantara, Bali khususnya. Di Bali kidung akan selalu diidentikkan dengan upacara keagamaan utamanya kegiatan ber-yadnya. Dari lima
macam yadnya yang dikenal dalam tradisi Hindu di Bali hampir kelimanya memiliki kekidungan yang berbeda-beda. Itulah salah satu ciri kekayaan karya sastra di Bali. Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Adiwimarta di atas, bahwa kidung memang bukanlah karya sastra yang menggunakan bahasa Bali lumrah layaknya bahasa Bali yang umum digunakan saat ini. Kidung menggunakan bahasa Kawi Bali. Dalam sejarah perkembangan bahasa Bali di Bali, bahasa Kawi Bali atau sering juga disebut bahasa Bali Tengahan muncul ketika peralihan bahasa Bali Kuno menuju bahasa Bali Lumrah, di antaranya ada bahasa Bali Tengahan yang dianggap sebagai bahasa yang sering digunakan untuk karya-karya sastra, seperti kidung, babad, wariga, usada, usana, niti, dan sebagainya (Suarjana, 2011: 44). Bahasa Kawi Bali digunakan dalam kekidungan dapat menambah nilai kesakralan karya tersebut walaupun tidak banyak pendengar dan penyanyi yang melantunkan kekidungan yang memahami isi dan arti kidung yang dikidungkan. Mereka cenderung hormat karena kepercayaan mereka terhadap kidung sebagai nyanyian keagamaan yang umumnya disakralkan. Di Bali, tidak disetiap tempat seseorang boleh melantunkan kekidungan apalagi dengan isi yang berkaitan dengan ketuhanan. Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra kidung berbahasa Bali Kawi yang lestari dan cukup dikenal di Bali. Di Bali Kidung Jerum Kundangdya dikenal sebagai nyanyian pengiring ketika berlangsungnya upacara bhuta yajnya. Ketika upacara penetralisasian alam melalui upacara bhuta yajnya dilaksanakan, ketika itu diangkatlah Kidung Jerum Kundangdya sebagai nyanyian pengiringnya. Budaya Hindu di Bali memang sangat mengutamakan
makna keharmonisan. Indah dan damai adalah salah satu wujud keharmonisan. Layaknya nyanyian, kidung termasuk Kidung Jerum Kundangdya disusun oleh kumpulan-kumpulan nada yang akan indah didengar ketika dilagukan. Harmonisnya nada-nada itu menciptakan kekidungan yang enak didengar ketika berlangsungnya upacara bhuta yajnya. Selain dipandang harmonis dari segi nada dan lagunya ketika dilantunkan, makna utama yang dimunculkan dari Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya sebagai penetralisasian alam adalah ketika Jerum menjadi salah satu titik tolak yang menciptakan kekacauan dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh Liman Tarub terletak pada Jerum begitu pula kebahagiaan bagi Kundangdya ada hanya ketika ia mampu bersama Jerum. Jerum adalah seorang tokoh wanita yang digambarkan cantik dan sempurna. Cantik sudah tentu memiliki unsur keindahan. Tidak seorang manusia pun tidak tertarik kepada sesuatu yang indah. Keindahan yang dimiliki oleh Jerum sudah tentu menjadi daya tarik bagi Kundangdya dan Liman Tarub. Ketika daya tarik dalam diri tersebut sudah tidak dapat lagi dikendalikan, hal itu justru menjadi hal yang buruk dan tidak lagi bersifat indah. Tokoh Jerum, Kundangdya, dan Ki Liman Tarub dalam kidung sesungguhnya menggambarkan kekuatan bhuta yang ada di dalam diri. Dalam tubuh terdapat kekuatan positif dan negatif. Kekuatan negatif ini yang bisa disebut juga dengan kekuatan bhuta. Bhuta diidentikkan dengan sesuatu yang bersifat jahat, lupa, gelap, atau buta. Kehancuran dan kekacauan hidup Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub berawal dari menangnya kekuatan negatif dan kegelapan atau kebutaan batin. Terbunuhnya Kundangdya oleh Liman Tarub itu
berawal dari Kundangdya yang dibutakan oleh kecantikan Jerum sehingga ia berani berbuat nekat meniduri Jerum yang telah menjadi istri Liman Tarub. Jerum pun terbunuh karena dibutakan oleh rayuan cinta dan ketampanan Kundangdya. Sedangkan di pihak lain Liman Tarub nekat membunuh Jerum dan Kundangdya juga karena dibutakan oleh rasa cinta dan terikatnya terhadap Jerum. Penyebab kekacauan hidup ketiga tokoh tersebut adalah cinta. Cinta terkadang menciptakan keterikatan, dan keterikatan inilah yang rawan memunculkan perselisihan penyebab marah dan dendam. Dendam yang dirasakan Liman Tarub terhadap Jerum dan Kundangdya merupakan salah satu bukti dari dampak keterikatan terhadap cinta. Rasa dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menyebabkan ia bersikeras membunuh Kundangdya untuk kesekian kalinya. Berawal dari dendam akhirnya muncul perang antara mereka berdua hingga akhirnya para Dewa ikut melerai mereka. Sebuah keharmonisan diri sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap keharmonisan alam. Ketika seseorang mencintai badannya sendiri, ia berusaha menjaga diri untuk tetap sehat dan berpikir sehat. Orang yang demikian tentu tidak akan melukai badan dan perasaannya dengan cara menyiksa diri dan orang lain yang akhirnya merusak keharmonisan alam sekitarnya. Pada hakikatnya setiap hal tercipta berpasangan, ada baik ada buruk, ada kanan ada kiri, ada positif ada negatif, demikian pula ada atas ada bawah. Dua hal yang berbeda ini dalam konsep Hindu di Bali sering diberi nama rwa bhineda. Beragamanya pasangan yang saling berbeda ini tentu harus diciptakan sebuah keseimbangan hingga mampu menjadi harmonis. Termasuk setiap elemen kehidupan di dunia terdiri atas beragam perbedaan yang harus diseimbangkan
hingga memunculkan keharmonisan. Di Bali terutama dalam budaya yang dimiliki oleh agama Hindu terdapat sebuah upacara keagamaan yang bertujuan untuk mengharmoniskan alam semesta ini, yaitu upacara bhuta yadnya. Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini disebut bhuwana agung sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Kedua-duanya menurut keyakinan Hindu adalah ciptaan Tuhan. Di samping itu, Tuhanlah yang menjadi jiwa bhuwana agung dan bhuwana alit itu. Tuhan yang menjadi jiwa bhuwana agung disebut brahman, sedangkan Tuhan yang menjadi jiwa bhuwana alit disebut atman. Jadi atman adalah bagian dari brahman. Jiwa dalam alam besar dan alam kecil adalah Tuhan itu sendiri. Alam besar yang disebut bhuwana agung atau
macrocosmos dan alam kecil yang disebut bhuwana alit atau
microcosmos. Tuhan menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari kedua alam tersebut. Demikianlah unsur dasar yang membentuk macrocosmos dan microcosmos adalah unsur dasar yang sama, yaitu panca maha bhuta. Unsur panca maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah (unsur cair), bayu (udara), teja (unsur panas), dan akasa (ether). Bahan dasar alam semesta ini adalah panca maha bhuta, demikian juga degan semua makhluk hidup yang menghuni alam semesta juga dibentuk dari unsur yang disebut panca maha bhuta. Kelima unsur ini memiliki hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi memberikan kontribusi pada kehidupan makhluk lain isi alam ini. Kidung Jerum Kundangdya dapat dikaitkan langsung dengan keberadaan konsep panca maha bhuta. Liman Tarub adalah unsur teja (panas) yang diibaratkan seperti api. Kemarahan dan dendam menjadi unsur yang tidak bisa
dilepaskan dari karakter diri seorang Liman Tarub. Semenjak berseteru dengan Kundangdya, bahkan ia menyimpan dendam itu selamanya sekalipun ketika itu ia telah melewati masa penyucian diri hingga diberikan nama Sarayuda. Jerum yang pernah menjadi seseorang yang sangat dicintainya pun dibenci karena kesalahannya. Dendam dan kemarahan terlalu menguasai Liman Larub, seperti dalam kutipan berikut: Liman Tarub lingniangucap, manemahin rabiningsun: "Tulah manuh Nini Jerum, wastu iba tan pahenggon, wastu sira tan pajanma, munggah tumurun tan patut, ping sapta andadi janma, tan kapanggih lawan ingsun.
Liman Tarub berkata, menyumpah dan mengutuk istrinya: "Manusia laknat Nini Jerum, Semoga kamu tak punya tempat, semoga tak menjelma manusia, naik dan turun tiada patut, tujuh kali menjelma menjadi manusia, tak bertemu dengan diriku.
pada ke- 112 "Yan kita andadi sega, tan kena pangan ingsun, yan sira andadi banyu, tan kena inum dēningong, yan sira andadi wastra, tan kena anggonen tēngsun, sakuehing panadian kita, tan kapanggiha dēningsun".
"kalau kamu jadi nasi, aku tak sudi memakanmu", "kalau kau jadi air, aku tak sudi meminummu", kalau kau jadi kain, aku tak mau memakaimu", "semua jelmaan kamu, tak akan bertemu denganku".
pada ke- 113 Dalam kutipan di atas tampak bagaimana dendam Liman Tarub terhadap istrinya. Kebencian dan kemarahannya seakan melenyapkan besarnya rasa cinta yang pernah dimiliki terhadap Jerum. Demikianlah sebuah kemarahan yang membuat seorang lupa akan cinta dan kasih sayang, layaknya api yang mampu membakar setiap hal yang ada di hadapannya. Sosok tokoh Liman Tarub dapat disamakan dengan unsur panas yang menciptakan dunia. Di sisi lain Kundangdya adalah unsur apah (cair). Umumnya air selalu membawa sifat menyejukkan sekalipun dalam keadaan terdesak dan diliputi
kemarahan. Demikian jugalah karakter Kundangdya yang digambarkan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Dalam keadaan terdesak ketika ia telah diketahui dengan berani meniduri istri orang lain, Kundangdya tetap dalam keadaan tenang menghadapi kemarahan Liman Tarub karena ia siap untuk mati. Kundangdya sampun wikan, karepe Ki Liman Tarub, adulura Ki Panamun: "Nora dudu satrun ingong, rupa rasa mawēh dana, kadi anggawa Nini Jerum, maka tambaning kasmaran", anolih asemu guyu.
Kundangdya sudah tahu, akan maksud Ki Liman Tarub, bersama Ki Panamun: "Tidak lain inilah musuhku, rupa-rupanya sedang membawa sedekah, seperti membawa Nini Jerum, untuk obat asmara", menoleh menyeringai.
pada ke- 96 Kundangdya lingniangucap: "Lah bagēya kakang ingsun, napi wenten karyaningsun, ulat ana karya mangko", Wenten yayi karyan inguang, ingsun amalampah sawung, wiring kuning rambang tingal, punika katujuningsun".
Berkata Kundagdya : "Sungguh bahagia saudaraku, ada yang bisa saya bantu, rupa-rupanya sedang ada pekerjaan?" "Ada pekerjaanku dik, aku sedang mencari ayam kinantan, wiring kuning mata rambang, itulah yang aku cari".
pada ke- 97 Ketika Liman Tarub datang mencari Kundangdya untuk membunuhnya, ketika itu ia dengan tenang menghadapi Liman Tarub, bahkan kedatangan Liman Tarub seperti membawa Jerum sebagai obat asmaranya. Dengan keyakinan dan bersahabat Kundangdya menanyakan hal apa yang bisa dibantu untuk Liman Tarub, sekalipun ketika itu ia telah mengetahui bahwa maksud kedatangan Liman tarub adalah untuk membunuhnya. Seperti itu kiranya sifat air yang selalu tenang, tetapi dapat menghanyutkan. Demikan juga ketika niatnya untuk memiliki Jerum yang berakhir pada sikap nekatnya mendatangi rumah Jerum dan menidurinya. Dengan tenang ia menyusup ke kamar Jerum dan melampiaskan kerinduannya terhadap Jerum dan ketika Jerum terbangun pun tak mampu berbuat apa.
Kelembutan dan kata-kata manis yang disampaikan Kundangdya membuat Jerum luluh terpesona dan hanyut dalam suasana, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. Mangkē tan pangelong larane, Kundangdya mangkiaturu, tangania angimur-imur, tur angaras pipi alon, tur anesep payodara, Ni Jerum ēnak aturu, Kundangdya ngaras-aras, aris anglukarin kampuh.
Kini tak bisa diredakan rindunya, Si Kundangdya tidur bersama, tangannya meremas-remas, seraya mencium pipi perlahan-lahan, Menyedot puting susu, Ni Jerum enak saja tertidur, Si Kundangdya memeluk cium, seraya melukar kain.
pada ke- 59 Alengeng pangucapira, sor kang gendis mawor madu, pangucapnia dres alus: "Paran ana karep ingong, tur laksana luir purusa, sira angraksa iringsun, apan sira amisanan, kalawan Ki Liman Tarub.
Sangat tenang suaranya, mengalahkan gula bercampur madu, kata-katanya gencar tetapi halus : "ada yang aku inginkan, serupa perbuatan jantan, engkau memelihara diriku, karena aku saudara misan, oleh Ki Liman Tarub.
pada ke- 65 Kerinduan Kundangdya terhadap Jerum membuat ia tidak mampu mengendalikan dirinya hingga nekat untuk mendatangi rumah Jerum walaupun ia mengetahui Jerum telah menikah dengan saudara sepupunya yaitu Liman Tarub. Tenang, tetapi menghanyutkan, dengan pasti malam-malam ia melangkah menuju rumah Jerum dan masuk ke kamarnya hingga akhirnya meniduri Jerum. Kata-kata yang halus dan penuh rayuan membuat Jerum pun terlena dalam pelukan Kundangdya hingga akhirnya pagi tiba dengan tenang pula ia pulang ke rumahnya. Tokoh Jerum dapat disamakan dengan unsur prtiwi (zat padat) yang dalam unsur alam diidentikkan dengan tanah. Ibu Pertiwi atau lebih dikenal dengan Bhumi Pertiwi memiliki sifat bijaksana, pemberani, mengayomi dan melindungi.
Kurang lebihnya seperti demikian jugalah gambaran sifat yang dimiliki oleh Jerum. Metu saking jro kmamasan, bēla aran I Mbok Jerum, akuēh sanaknia ngrubung, Liman Tarub prapta mangko: "Kalianganē ko tan tresna, laki lawan awak ingsun" Ni Jerum alon angucap : "Pajaraken utangingsun".
Keluar dari kamar keemasan, yang bersedia mati bernama Ni Mbok Jerum, sanak keluarga datang menyongsong, Maka datanglah Liman Tarub : "Apalagi kamu berlaku serong, bersuamikan diriku", Ni Jerum berkata perlahan : "Katakanlah utang karmaku".
pada ke- 107 Sekalipun dalam perwujudan wanita, Jerum adalah sosok seorang pemberani yang berani mengakui kesalahannya. Dia bersedia dibunuh suaminya karena telah berani tidur bersama Kundangdya. Memenuhi janjinya terhadap Kundangdya untuk mampu saling mencintai sehidup semati dan akan bertemu pula di surga. Hal itu pun akhirnya mampu terwujud setelah Liman Tarub membunuh Kundangdya dan Jerum. Kesungguhan mereka untuk menepati janji akhirnya membuat arwah Kundangdya dan Jerum bertemu kembali di surga. Keberanian Jerum mencerminkan sebuah kekuatan seperti halnya bumi pertiwi yang kuat dan selalu menjadi pelindung, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut. Mangkin srengen I Sarayuda, dēnira angrenga wuwus, dres lakunia tumedun, gēgēr malayu wonging jero, Ni Jerum anambut pedang: "Ingsun matia sadulur, masa molih labda karya". Sarayuda ngunus duwung.
Kini Sarayuda beringas, mendengarkan kata-katanya, langkahnya menderas turun, Orang istana berlari geger, Ni Jerum menghunus pedang: "Aku mau mati bersama, kalau tidak bisa membunuhmu". Sarayuda menghunus keris.
pada ke-265 Jerum hingga berani menghunus pedang di hadapan Liman Tarub yang ketika itu telah bernama Sarayuda, yaitu seseorang yang telah membunuhnya dan
membunuh Kundangdya. Keberaniannya itu karena Jerum tidak ingin tampak lemah di hadapan Liman Tarub yang telah menjadi musuhnya. Demikianlah gambaran ketiga tokoh dalam Kidung Jerum Kundangdya jika dikaitkan dengan unsur-unsur penciptaan alam semesta ini. Liman Tarub yang akhirnya dikenal juga dengan sebutan Sarayuda merupakan perwujudan api, Kundangdya perwujudan air, dan Jerum perwujudan tanah. Air, tanah, dan api tidak bisa dilepaskan dari unsur bawah, tengah, dan atas. Pada kenyataannya air dan api tidak pernah bersahabat, api dapat dipadamkan oleh air, air pun akan dapat menguap jika ada panas (api). Air akan selalu memunculkan kesejukan, sedangkan api akan selalu memunculkan panas. Demikian jugalah sifat tokoh yang dilukiskan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hingga habis masanya Liman Tarub tetap menyimpan panas hati atau kemarahan terhadap Jerum, sedangkan Kundangdya hingga berakhir pun tetap menjadi sosok yang tenang dan menyejukkan. Oleh karena itulah, para Dewa akhirnya memisahkan Liman Tarub dan Kundangdya. Niatnya untuk menjadi orang yang mampu lepas dari ikatan keduniawian membuat Liman tarub atau dikenal juga dengan nama Sarayuda memilih untuk bertapa di gunung hingga akhirnya ia mendapat kepercayaan memasuki surga. Sarayuda apengingan, angastuti maring gunung, amoring awun-awun, munggah nuhut kukus mangko, jeg tumurun maring ungguan, sakti tan pamangan sekul, Sarayuda kang kinucap, dahat kasaktinipun.
Sarayuda mengheningkan pikiran, bertapa di gunung, seakan bersatu dengan awan, naik mengikuti asap konon, tiba-tiba sampai di tempat tujuan, menjadi sakti karena tidak memakan nasi, Sarayuda dikatakan sangat tersohor tersohor karena kesaktiannya.
pada ke- 178
Tekad Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama Sarayuda memang patut dijadikan contoh. Setelah membunuh Kundangdya dan Jerum, Liman Tarub merasa kesepian. Hal itu menjadi alasan ia memilih mengasingkan diri untuk bertapa di gunung. Akhirnya harapannya untuk lepas dari keduniawian memang menjadi kenyataan. Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Liman Tarub atau Sarayuda akhirnya memeroleh kesaktian karena mampu menahan diri. Salah satu diantaranya adalah dengan tidak memakan nasi. Kesaktian yang akhirnya dimiliki oleh Sarayuda inilah akhirnya mengizinkan ia memasuki surga. Ternyata di balik ketulusan dan tekadnya menjadi orang suci, ia masih menyimpan dendam terhadap Kundangdya dan Jerum. Setibanya ia di Surga dan melihat Jerum dan Kundangdya sedang bermesraan, kembali muncul niatnya untuk membunuh Kundangdya dan Jerum. Setelah dilerai dan ditenangkan, diputuskanlah oleh Bhatara Wisnu agar Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia. Bhatara Wisnu angandika : Kundangdya sira mantuk, kalawan Nini Jerum, ring mrecapada mangko, durung teka ring samaya, moga mu amukti ratu, pangabaktianing buwana, Narēsuari Nini Jerum
Bhatara Wisnu bersabda : "Pulanglah kau Kundangdya, bersama Nini jerum, pulang ke Mercapada, belum sampai pada janji, semoga kau berdua dapat mengenyam pemerintahan, disembah oleh anak negeri, dengan permaisuri Nini Jerum.
pada ke- 215 Kundangdya dan Nini Jerum kembali dihidupkan dan dipulangkan ke dunia oleh Bhatara Wisnu untuk menjadi seorang raja dan ratu yang nantinya dapat mengenyam pemerintahan yang baik yang bisa disembah dan dijunjung oleh masyarakatnya. Di pihak lain, kembalinya Kundangdya dan Jerum ke dunia membuat Liman Tarub merasa tidak tenang. Dendamnya terhadap Kundangdya
dan Jerum membuat Liman Tarub atau disebut juga dengan Sarayuda memutuskan kembali ingin mencoba membunuh Kundangdya dan Jerum. Hal ini diketahui oleh Bhatara Narada yang membuat beliau marah hingga tidak mengizinkan Sarayuda kembali ke surga. Hingga datanglah Hyang Guru dan bersabda pada Sarayuda agar kembali ke ajaran kependetaan dan menjadi mulia. Semenjak itulah Sarayuda memilih kembali ke gunung. Sarayuda anut wacana, winuwusan tatalēnipun, anembah maring Hyang Guru : "Kawula anuhut mangko, mati urip ring ancala, anungkeming jeng Hyang Guru, awirang tumoning jagat, tembē ya dumadi ratu".
Sarayuda menaati wejangan, ikatannya dilepas, lalu menyembah Hyang Guru : "Dengan rela hamba melaksanakan, hidup mati di gunung, sujud di hadapan Hyang Guru, hati dendam melihat dunia, karena tumben menjadi orang utama".
pada ke- 286 Mangkana Ki Sarayuda, anjeneng sira ring gunung, tinut tingkahing guru, abresih ing Batur mangko, ambeciking tatanduran, pangajaran pinahayu, panggagan lan pakubuan, tan adoh lawan Hyang Guru.
Demikianlah Ki Sarayuda, berada di gunung, menuruti tingkah laku gurunya, menyucikan diri di pertapaan Batur, memelihara tanaman, pelajaran yang utama, menanam padi tegalan, tidak jauh dengan Hyang Guru
pada ke- 287 Sejak itu keseharian Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama Sarayuda hanyalah menyucikan diri di pertapaan yang terletak di gunung yang juga dikatakan dekat dengan keberadaan Hyang Guru. Hyang Guru tidak lain adalah sebutan untuk Dewa Siwa. Seperti yang umum dikenal dalam kepercayaan Hindu, Dewa Siwa diidentikkan tinggal di pegunungan. Gunung merupakan tempat yang tinggi yang ketika pada zamannya, gunung pernah dianggap sebagai tempat yang suci atau atas. Kembali dalam kaitan tokoh Liman Tarub yang diibaratkan seperti api yang dalam hakikatnya akan selalu menerjang ke atas dan
mencari ketinggian sama halnya gunung yang dianggap bagian bumi yang paling tinggi. Berbeda dengan Kundangdya yang akhirnya kembali dikirim ke dunia oleh Bhatara Wisnu. Kundangdya yang ketika itu telah dengan setia ditemani oleh Jerum akhirnya dinobatkan menjadi raja dan ratu. Konotasi dunia dilihat dari surga tempat Kundangdya dan Jerum sebelumnya tentu dianggap sebagai alam yang lebih di bawah. Kembali dalam pengandaian Kundangdya yang disamakan seperti air yang memang akan selalu meresap ke tempat yang lebih rendah dan selalu memberikan kesejukan. Demikian juga dengan Jerum yang diandaikan layaknya ibu pertiwi atau tanah. Air dalam kodratnya akan selalu dapat meresap dan bersatu dengan tanah. Ketika air bersatu dengan tanah maka muncullah kehidupan dan kesuburan. Bersatunya Kundangdya dan Jerum akhirnya memunculkan kebahagiaan, baik bagi dirinya, raja-raja lain, maupun semua penduduk. Makasembahaning jagat, kinasihan pararatu, miwah sang parasadu, anungsunging sira mangko, ilangana pamuktianira, Narēswari Nini Jerum, kadi Surya lawan Ulan, Anuluhin jagat kasub.
Dipuji dan disembah di dunia, disayangi para raja-raja, demikianlah juga oleh orang yang arif dan bijaksana, semua memuji-muji beliau, tercapai segala keinginannya, Permaisuri Nini Jerum, bagaikan Matahari dan Bulan, menerangi dunia tiada tara.
pada ke- 324 Demikianlah akhirnya Kundangdya dan Jerum menjadi raja dan ratu yang benar-benar dikagumi oleh raja-raja lain juga masyarakatnya. Diibaratkan seperti matahari dan bulan yang mampu menerangi dengan sempurna. Bersatunya
Kundangdya dan Jerum di dunia dalam sebuah kepepemimpinan menjadikan dunia digambarkan penuh kebahagiaan dan kemakmuran. Gambaran bersatunya air dan tanah yang memunculkan kesuburan tidak berbeda dengan bersatunya Kundangdya dan Jerum yang memunculkan kebahagiaan. Ketika Kundangdya meninggalkan ibunya, diceritakan bahwa ibunya menahan kesedihan dan kerinduan karena ditinggalkan oleh Kundangdya. Kesedihannya itu membuat ibunya sepanjang waktu menunggu kedatangan anaknya, hingga akhirnya ia memilih untuk tiduran di tanah sambil memohon dengan puja-pujaan. "babu endi tan katona?" Pawongan anembah matur: "Aneng taman pukulun, aturu ring lemah mangko, angistia puja barata, adoha kenēng tadah inum, yan tan kapanggihan sira, kinēsti rahina dalu.
"Di mana ibu tak kelihatan?" Para inang berdatang sembah, "Tuan hamba ada di taman, tiduran di tanah, memohon dengan puja dan tapa, menjauhkan makan dan minum, karena ingin bertemu tuanku, berdoa siang dan malam.
pada ke-232 Keinginan untuk bertemu dengan Kundangdya menjadikan ibunya memilih untuk menjauhkan makanan dan minuman, berdoa siang malam dan tidur di tanah. Menghindari makanan dan minuman sebagai salah satu cara menekan hawa nafsu dengan harapan akan mampu lebih dekat dengan Tuhan. Keinginannya untuk tidur di tanah pun bermakna agar lebih dekat dengan Tuhan. Ketika seseorang mengalami kematian maka semua unsur dalam badan kasar akan dilebur dalam tanah. Tanah diandaikan sebagai ibu pertiwi atau kekuatan dunia. Adannya tanah menyebabkan makhluk hidup mampu berpijak, mampu hidup dan melangsungkan kehidupannya hingga akhirnya tanah jugalah yang melebur makhluk yang telah mengalami kematian. Air dan tanah akan senantiasa mampu
bersatu jika dipertemukan. Demikianlah pengandaian terhadap Kundangdya dan Jerum yang dinanti-nanti kedatangannya oleh ibunya. Tanah yang mengubur dan melebur Kundangdya ketika dinyatakan meninggal, maka ibunya memiliki harapan besar bahwa tanah dekat dengan anak yang ia diharapkan dapat kembali. Ternyata doa ibu Kundangdya mampu menjadi kenyataan setelah Bhatara Wisnu akhirnya kembali menghidupkan Kundangdya dan Jerum dari dalam tanah. Tanah tidak hanya sebagai pelebur, tetapi juga sumber kehidupan. Air ada dalam tanah, tanah menyimpan air dan pertemuan tanah dan air, menciptakan kesuburan yang menciptakan kehidupan. Kembali pada munculnya unsur penetralisasi, ketika api akan selalu mencari tempat yang lebih tinggi dan air mencari tempat yang lebih rendah maka tanah adalah bagian yang menjadi penyekat. Dalam kodratnya, api hanya mampu menyala di atas permukaan tanah, sedangkan air akan selalu menurun dan menyusuri tanah hingga memeroleh tempat terendah. Panasnya api dapat dinetralisasi oleh air, demikian juga dingin air dapat dinetralisasi oleh api. Api dan air adalah dua unsur berbeda yang sangat dibutuhkan dalam melangsungkan kehidupan. Namun, dalam keadaan yang tidak seimbang maka kehidupan pun terganggu. Alam pun tidak terlepas dari kekuatan panas dan dingin. Selain nyata terlihat melalui cuaca yang panas ataupun dingin, dalam ilmu-ilmu meditasi yang umum dikenal oleh masyarakat belakangan ini banyak yang membahas bagaimana alam diselimuti oleh energi yang panas dan dingin yang nantinya mampu juga memberikan pengaruh bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Energi alam inilah yang penting untuk dijadikan netral di mana panas dan dinginnya seimbang.
Netralnya energi panas dan dingin menciptakan pengaruh baik terhadap seisi alam semesta yang akhirnya mampu mengarah pada keharmonisan. Unsur-unsur inilah yang secara implisit tersampaikan dalam karya Kidung Jerum Kundangdya hingga dianggap sesuai sebagai pengantar upacara bhuta yadnya yang memang merupakan upacara yang bertujuan untuk menetralisasi kekuatan alam, yang dikenal dalam kepercayaan umat Hindu di Bali.
5.4 Kebahagiaan Kehidupan dengan Peduli Sesama dan Peduli Lingkungan Kebahagiaan merupakan dambaan setiap orang. Bahkan, banyak agama selalu menjanjikan kebahagiaan bagi umatnya. Kebahagiaan manusia dapat tercipta ketika ia mampu harmonis dengan setiap elemen pendukung hidupnya dan keharmonisan itu hanya terbentuk jika ia memiliki pikiran, sikap dan perkataan yang baik. Membentuk dan menjadikan seseorang memiliki karakter baik inilah yang disebut karakter bangsa. Kebahagiaan yang diinginkan bersama berarti akan berawal jika secara bersama-sama juga memiliki karakter yag baik. Ketika berniat mencapai satu tujuan bersama, maka yang pertama diperlukan adalah pemikiran yang sama. Dari pemikiran yang sama itu tentu akan berusaha dilakukan tindakan yang sama hingga pada akhirnya tercapailah tujuan yang diharapkan bersama. Secara sederhana, tujuan yang selalu didambakan oleh setiap orang adalah kebahagiaan. Sekaya dan sesukses apa pun seseorang belum tentu mampu memiliki kebahagiaan. Kebahagiaan yang diinginkan bersama tentu harus diciptakan bersama. Kebahagiaan itu sudah tentu tidak terlepas dari kesehatan jasmani dan rohani.
Kehidupan bersama yang harmonis, humanis, dan dinamis hanya dapat diwujudkan jika tiap-tiap individu dalam kehidupan bersama mampu menata diri menjadi individu yang baik, baik kesehatan jiwa maupun raga yang juga termasuk ke dalam kesehatan indriya. Kesempurnaan dan kesehatan indriya itu berada di bawah pengendalian pikiran. Pikiran yang kuat berada di bawah kesadaran buddhi. Kesadaran buddhi berada di bawah sinar suci Sang Hyang Atma. Kondisi diri yang memiliki fisik yang sehat, pikiran yang cerdas, dan hati nurani yang murni disebut kondisi diri yang ideal struktural (Wiana, 2012: 127). Individu yang seperti inilah yang dapat diupayakan untuk membangun niat yang mulia untuk maju bersama-sama memikirkan langkah-langkah yang tepat untuk memenuhi kepentingan bersama. Tanpa adanya niat yang sama, hati yang sama, pikiran yang sama tidak mungkin bisa menyamakan persepsi. Tanpa adanya kesamaan persepsi tidak mungkin membangun visi yang sama. Tanpa visi yang sama tidak ada misi bersama membangun kebahagiaan bersama. Upaya membangun kebersamaan untuk mencapai hal yang baik merupakan wujud bhakti atau cinta terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Hal ini berkaitan dengan konsep tri hita karana yang dikenal di lingkungan umat Hindu di Bali yang juga mendambakan hubungan harmonis, humanis, dan dinamis. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, tokoh Kundangdya dan Jerum pada akhirnya mampu saling berbahagia ketika bersama karena mereka telah menyamakan persepsinya untuk selalu bersama dan saling mencintai. Duh Ksepan arsanira, Kundangdya mangkiang rumrum, dēnē yun ring tengahipun, "tan pahatma siraningong", tan olih arep tinulak,
Aduh terkulai semangatnya, Kundangdya membisikkan cinta, Sanubarinya berkata: "Diriku tanpa jiwa", Mana mungkin aku menolak,
nampik lungayan Ni Jerum, Kundangdya alon angucap: "Mati ya kalih katēngsun".
Ni Jerum mengkhayalkan tampikan, dan Kundangdya berkata perlahan: "Aku bilang mati berdua"
pada ke-71 Kundangdya alon angucap: "Juitaningsun sang arum, puniku sadiayangira sun", Kundangdya sakadi layon, kari rekē kakurungan, atmanira sampun lampus, mangungsi Banjaran Kembang, manganti maya sang arum".
Kundangdya berkata perlahan: "Juitaku sang cantik jelita, itulah yang aku kehendaki", "Kundagdya ibaratnya orang mati, yang tinggal hanya badan kasar, rohnya sudah lenyap, menuju banjaran bunga-bunga, menunggu arwah Sang Jelita".
pada ke- 75 Dalam kutipan di atas, Kundangdya telah yakin akan mati karena ia memang melakukan kesalahan telah berani meniduri istri orang lain. Karena cintanya terhadap Nini Jerum, ia berjanji untuk mati berdua. Setelah mati pun ia berjanji akan bertemu di surga. Hal ini pada akhirnya memang ditepati oleh mereka berdua. Kundagdya tiningalan, angadeg soring trikancu, kagēt teka Nini Jerum, Kundangdya angalap sor, anambut amawēng pangkuan, angaras-aras rinumrum: "Asuwē juwitaninguang, sampun sore sira rawuh.
Dilihatnya Kundangdya, berdiri di bawah trikancu, tiba-tiba datang Nini Jerum, Kundangdya hormat membungkuk, menyambut dan meletakkannya pangkuan, menciumnya dan membelai: "Betapa lama juwitaku, sudah sore baru datang".
di
pada ke- 152 "Taheningsun tan datenga, tuhu sira satiēng wuwus, dewaningsun sang arum, sangkaningsun pejah mangko, dēnē sira atma jiwa, tan lian sira ta pakulun, atitah juwita tinggal, tanpanolih bapa ibu".
"Aku kira tak akan datang, benar-benar setia kepada janji, Dewataku sang harum, makanya aku mati, tidak lain lantaran atma juwitaku, engkaulah itu", "karena titah juwitaku, meninggalkan ibu dan ayah".
pada ke- 153 Ni Jerum asawur semita: "Paran sangkaning tan tuhu,
Ni Jerum menjawab dengan menawan; "Mengapa justru tak benar,
wajah
insun satiyeng wuwus, tekaning pangjanmaningong, awates sagara sanga, atawinging gunung pipitu, sira juga apang teka, angrampak karasminingsun".
karena aku setia dengan perkataan, sampai aku menjelma, dipisahkan oleh sembilan samudra, ataupun oleh tujuh gunung, kau juga agar datang, memerkosa keindahanku".
pada ke-154 Kebahagiaan yang diperoleh oleh Kundangdya dan Jerum merupakan kebahagiaan yang disebabkan oleh adanya sebuah kesepakatan untuk saling setia, baik setia dalam hal perkataan, perbuatan, maupun pikiran. Setia dalam hal perkataan ditunjukkan dengan setia terhadap janjinya untuk bertemu setelah meninggal sekalipun, setia dalam hal perbuatan melalui bentuk perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan Kundangdya terhadap Jerum. Belaian dan ciuman yang diberikan Kundangdya pada Jerum merupakan salah satu wujud rasa cintanya pada Jerum. Tindakan tersebut membuktikan kebenaranya bahwa Kundangdya memang mencinti Jerum. Sebaliknya, dari unsur pikiran, antara Jerum dan Kundangdya berpikir positif bahwa pasangan mereka akan selalu menepati janji. Jika saja Jerum berpikir bahwa Kundangdya hanya datang untuk menipu dan mempermainkannya, mungkin saja Jerum akan ragu untuk menepati janjinya bertemu Kundangdya. Tampak jelas bahwa pikiran, perbuatan, dan perkataan sesunguhnya menjadi satu yang padu. Untuk itulah apabila ketiga unsur ini mampu berlaku positif maka seseorang dikatakan memiliki karakter positif, seperti yang diharapkan dalam karakter bangsa. Seseorang yang memiliki karakter yang baik, tentu tidak hanya memikirkan dan mementingkan kenyamanan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan kehidupan orang lain agar dapat juga menjadi baik. Kepedulian terhadap orang lain diperlukan dalam kehidupan, terlebih dalam kehidupan sosial
yang menuntut seseorang untuk selalu dapat berinteraksi antara satu dan yang lainnya. Masih berkaitan dengan tri hita karana yang merupakan filsafat hidup umat Hindu di Bali khususnya, yang sangat mengedepankan keseimbangan. Setiap hal berkaitan dengan tri hita karana bertitik tolak dari manusia karena ketika terbangun hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkugannya maka manusialah yang pertama merasakan kebahagiaannya. Dengan demikian, harmonis atau tidaknya alam sesungguhnya sangat tergantung dari manusia itu sendiri. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran yang mampu menunjukkan segala kepeduliannya terhadap makhluk lain hingga tercipta hal baik yang nantinya didambakan oleh setiap makhluk. Makhluk hidup yang memiliki sabda, bayu dan idep (kemampuan berbicara, bertenaga, dan berpikir) disebut manusia. Kata "manusia" dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata "manu" yang berarti bijaksana. Kata "manu" dalam bentuk genetif menjadi "manusia" artinya memiliki kebijaksanaan. Manusia sesungguhnya memiliki suatu kekuatan yang dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk hidup yang paling bijaksana ciptaan Tuhan, tetapi bisa juga manusia yang belum berhasil mengeksistensikan kekuatan kemanusiaannya menjadi manusia yang lebih kejam daripada binatang yang paling kejam ( Wiana, 2012: 25). Manusia dianggap mampu lebih kejam daripada binatang apabila kebinatangannya disertai oleh pikiran, yaitu ketika pikiran manusia dipengaruhi oleh sifat kebinatangan. Intinya, manusia akan bijaksana apabila kesempurnaan indriya-nya berada di bawah kendali pikiran. Pikiran yang positif tentu akan
menumbuhkan kepedulian positif juga pada orang lain. Demikian sebaliknya ketika seseorang berpikir negatif tentu kepedulian negatiflah yang ditunjukkan pada yang lain. Berbicara tentang positif dan negatif, sudah tentu manusia tidak bisa dipisahkan dari pikiran, sikap, dan perkataan baik yang positif maupun negatif. Lumrah muncul kata "rwa bineda" yang berarti dua yang berbeda, setiap hal pasti memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu ada yang positif dan ada yang negatif. Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal istilah sad ripu, yaitu enam sifat tidak baik yang dianggap menjadi musuh dalam diri manusia yang harus ditaklukan untuk menciptakan pemikiran, sikap, dan perkataan yang baik. Sad ripu terdiri atas enam unsur, yaitu: (1) kama artinya hawa nafsu, (2) lobha artinya tamak, (3) kroda artinya kemarahan, (4) moha artinya kebingungan, (5) mada artinya kemabukan, dan (6) matsarya artinya iri hati (Atmaja dkk., 2010: 64--65). Sad ripu inilah yang banyak memengaruhi tokoh-tokoh dalam Kidung Jerum Kundangdya yang akhirnya menciptakan rusaknya hubungan dan hilangnya keharmonisan. Kama atau hawa nafsu adalah sumber utama yang menyebabkan Kundangdya akhirnya terbunuh oleh Liman Tarub. Hawa nafsunya ingin bertemu dan memiliki Jerum yang ketika itu telah jadi istri Liman Tarub membuat Kundangdya gelap mata dan nekat mendatangi Jerum dan tidur dengannya ketika ia sedang ditinggalkan oleh suaminya. Nunggang gunung arepira, Kundangdya metuēng lebuh, kasmaran kandehen kung, kukuh Ni Jerum tan sah katon, Kundagdya malaksana, ngendon turon lan Ni Jerum, Liman Tarub norēng umah,
Hati ingin menunggang gunung, Kundangdya turun ke jalan, terkena asmara memendam berahi, sangat kukuh Ni Jerum selalu terbayang, Kundagdya berbuat, ngendon tidur bersama Ni Jerum, Liman Tarub tak di rumah,
sedek lung maring Jimur.
sedang bepergian ke Jimur.
pada ke- 52 Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, Kundangdya benar-benar tergila-gila karena sakit asmara. Ia tersiksa dengan segala niat dan birahinya untuk bisa bertemu dan bersatu dengan Jerum. Selain itu, ia mengetahui bahwa Liman Tarub tidak di rumah. Untuk itu, ia nekat datang dan meniduri Jerum. Hawa Nafsu menguasai diri Kundangdya hingga ia tidak mampu lagi berpikir sehat dan positif. Ketika hawa nafsu menguasai diri seseorang saat itulah sering dianggap manusia dikuasai sifat kebinatangan. Layaknya binatang yang tidak memiliki akal pikiran sehingga berlaku tanpa memikirkan akibat ke depannya. Jika saja Kundangdya mampu menguasai hawa nafsunya untuk memiliki Jerum, tentunya ia tidak akan nekat
memilih
mendatangi
rumah
Jerum
malam-malam
hanya
untuk
melampiaskan birahinya. Tindakannya inilah, mengakibatkan Kundangdya dan Jerum akhirnya berhadapan dengan kematian di tangan Liman Tarub. Seseorang yang telah diliputi oleh hawa nafsu tidak mampu berpikir sehat mengenai dampak dan akibat yang akan diterima, baik oleh dirinya maupun orang lain, tidak ada lagi rasa kepedulian. Hawa nafsu yang meliputi Kundangdya membuatnya tidak peduli terhadap nyawa dan kehidupan Jerum ke depannya, sekalipun Jerum adalah orang yang dicintai yang seharusnya disayangi dan dilindungi sepenuhnya. Keinginan Kundangdya hanyalah mampu bersatu dengan Jerum sekalipun dalam keadaan meninggal asal mampu tetap bersama Jerum. Sifat Kundangdya seperti ini tidak hanya diliputi oleh kama (hawa nafsu), tetapi juga diliputi oleh lobha (tamak). Tamak atau keserakahan Kundangdya ingin memiliki Jerum membuat ia gelap mata dan tidak lagi berpikir bahwa
sesungguhnya Jerum telah menjadi istri Liman Tarub yang tidak boleh ia ganggu lagi. Diliputi hawa nafsu dan ketamakan adalah pikiran yang dimiliki oleh Kundangdya yang akhirnya mengantarkannya pada kesulitan. Kroda (kemarahan) merupakan salah satu musuh diri yang melingkupi pikiran Liman Tarub ketika mengetahui istrinya telah ditiduri oleh pria lain. Kemarahan adalah salah satu musuh diri yang mampu membuat seseorang lupa diri. Ketika seseorang diliputi kemarahan, ia tidak lagi mampu berpikir sehat dan realistis. Hal ini yang membuat tidak jarang orang nekat melakukan tidakan sadis karena sedang diliputi kemarahan. Tidak ada lagi kepedulian terhadap hidup orang lain dan dampak positif atau negatif, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, seperti halnya yang dialami oleh Liman Tarub yang terlihat dalam kutipan berikut. Sampun mangkē dēra mangan, tumuli asalah sekul, dēn binuru rabinipun, dēn unus duhungē mangko : "Sapasira nemu wirang, masa ko urip deningsun, lakinmu Ki Kundangdya, masa ko urip dēningsun".
Pada waktu mereka sedang makan, menyalahi tata cara makan, lalu istrinya diburu, sambil menghunus keris : "Siapa yang mau memihak, ia akan mati olehku, lakimu Si Kundangdya, ia akan kubunuh!"
pada ke- 91 Sinuduk lambungē kiwa, terus maring walikat ipun, rudirania sumambur, gēgēr kasinoman mangko, ana warah gēgērira, Liman Tarub mangkiangamuk, Kundangdya sampun pejah, anēng kapandēyan Kidul.
Ditikam lambung kirinya, tembus sampai tulang belikat, darahnya semburat, kasinoman menjadi gēgēr, meributkannya ke sana kemari, karena Liman Tarub mengamuk, Kundangdya sudah mati, di sekitar pande besi di selatan.
pada ke- 100 Kemarahan Liman Tarub yang disebabkan oleh ketidakterimaannya melihat istrinya ditiduri oleh orang lain membuat ia marah dan tidak lagi memikirkan siapa yang dihadapinya. Istrinya yaitu Jerum yang sesungguhnya
menjadi satu-satunya wanita yang paling dicintai pada akhirnya karena diliputi kemarahan juga ikut diburu ingin dibunuh. Kundangdya yang telah berani meniduri istrinya juga tidak luput dari amukan Liman Tarub. Bahkan ia dengan sengaja mengasah kerisnya untuk membunuh Kundangdya. Ketika diliputi kemarahan, Liman tarub tidak ingat lagi jika Jerum adalah istri yang dulunya sangat dikagumi dan dicintai sedangkan Kundangdya adalah saudara sepupunya yang tidak seharusnya dibunuh. Demikianlah kemarahan yang menghilangkan rasa kepedulian seseorang. Setelah diliputi kemarahan dan merasa berhasil melampiaskan kemarahannya dengan cara membunuh Jerum dan Liman Tarub, membuat ia mengalami kebingungan (moha). Liman Tarub merasa kehilangan semangat hidup karena diliputi kebingungan. Lumaris yāngawētan, lumampah asemu sendu, lumakua angantun-antun, liwating paminggir lor, akēh wong pada anyapa: "Maring endi Liman Tarub, lumampah asemu wirang", Akuēh wong pada andulur.
Berangkat menuju ke timur, dengan wajah yang sendu, berjalan tahap demi tahap, telah lewat di pinggiran utara, banyak orang sama menyapa: "Mau ke mana Liman Tarub, melangkah dengan wajah menimbulkan belas kasihan", banyak orang menaruh perhatian.
pada ke- 120 Lumampah mangkē alon-lonan, rupanirāsemu ngun ngun, lumakua angantun-antun, anut marga jurang ajro, kasrepan tumoning jurang, arērēn sira alungguh, katon sagarangungang, angres atinē andulu.
Melangkah tak tergesa, dengan wajah yang sedih, berjalan tahap demi tahap, mengikuti jalan jurang dalam, terpana memandang jurang, lalu berhenti dan duduk, nampak lautan mengambang, hati maras melihatnya.
pada ke-121 Kebingungan membuat seseorang tidak mampu menjalani hidup dengan baik karena sudah tidak mampu berpikir baik untuk mengarahkan hidupnya ke jalan yang terbaik. Seperti halnya Liman Tarub yang tampak dalam kutipan di
atas. Setelah melampiaskan kemarahannya Liman Tarub mengalami kebingungan sehingga ia hanya bisa murung sambil melakukan perjalanan yang tidak terarah. Melihat jurang pun ia menjadi terpana karena ketika mengalami kebingungan ia seakan tidak tahu apa yang terbaik buat dirinya. Dalam kehidupan sekarang ini, seseorang yang diliputi kebingungan sering dianggap sedang stres atau depresi yang tidak jarang menyebabkan orang itu berniat mengakhiri hidupnya. Selain empat musuh yang telah merusak kehidupan ketiga tokoh utama dalam Kidung Jerum Kundangdya, masih ada dua hal lagi yang juga tidak kalah berperan mengahancurkan keharmonisan hubungan persaudaraan mereka, yaitu mada (kemabukan) dan matsarya (iri hati). Berbicara tentang kemabukan, dalam ajaran Hindu di Bali dikenal tujuh jenis kemabukan yang diberi istilah sapta timira. Sapta artinya tujuh dan timira artinya lupa daratan (lupa diri atau mabuk). Dengan demikian, sapta timira berarti tujuh macam keadaan yang menyebabkan orang lupa daratan, lupa diri, atau mabuk. Sapta timira terdiri atas, (1) surupa atau kemabukan karena rupa yang tampan, ganteng, atau cantik, (2) dhana atau kemabukan karena mempunyai banyak harta benda atau kekayaan, (3) guna atau kemabukan karena mempunyai kepintaran atau kepandaian, (4) kulina atau kemabukan karena keturunan, (5) yohana atau kemabukan karena masa remaja atau masa muda, (6) sura atau kemabukan karena minuman keras, dan (7) kasuran atau kemabukan karena merasa mempunyai keberanian (Atmaja dkk., 2010: 68-69). Kemabukan inilah yang membuat seseorang lupa diri dan kembali memunculkan sifat kebinatangannya. Dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat ditemukan kemabukan yang digolongkan ke dalam Surupa. Kundangdya menjadi
lupa diri setelah melihat kecantikan Jerum. Bahkan ia, tidak memedulikan lagi perkataan ibunya yang selalu menyadarkannya untuk mencari wanita lain karena Jerum telah menjadi istri orang lain. Tan kawarna kang daharan, Kundangdya semu linglung, tumona ring Nini Jerum, kēdanan ring tuas kaleson, koyangan lara kasmaran, tumuli sira kahantu, tinulung binayuan-bayuan, ring umahē Ki Panamun.
Tak diceritakan berbagai penganan, Kundangdya wajahnya linglung, setelah melihat Nini Jerum, hati tergila-gila lesu, gelisah sakit asmara, segera lalu pingsan, ditolong membangkitkan tenaga, di rumah Ki Panamun.
pada ke- 17 Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, kecantikan Jerum yang baru diketahui oleh Kundangdya ketika hari pernikahannya dengan Liman Tarub membuat ia gelisah lalu pingsan. Jerum sesungguhnya telah ditawarkan menjadi istrinya Kundangdya jauh sebelum menikah dengan Liman Tarub. Akan tetapi, mendengar kata Jerum yang dalam pandangan Kundangdya pastilah hanya seorang gadis dengan wajah yang tidak cantik karena namanya yang tidak cantik. Peyesalan pun terjadi ketika ia melihat paras cantik Jerum. Kecantikan Jerum membuat ia tergila-gila dan sakit asmara hingga pingsan karena tidak mampu lagi menerima kenyataan. Setiap saat kecantikan wajah Jerum terbayang-bayang dan muncullah keinginannya untuk memiliki. Kemabukan Kundangdya terhadap kecantikan Jerum membuat ia nekat untuk bertandang ke rumah Jerum pada malam hari hingga ia berani meniduri Jerum. Demikianlah kemabukan telah menguasai Kundangdya, tidak ada lagi saran dari orang lain yang diperdulikan. Selainitu, tidak lagi ia memedulikan akibat yang akan di alami. Kemabukan mampu membuat seseorang lupa diri. Saat ini banyak hal dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari bagaimana orang-orang yang mengalami kemabukan akan
tidak lagi memedulikan kehidupan orang lain, bahkan kebaikan dirinya ke depan pun tidak lagi dipedulikan. Musuh yang terakhir adalah matsarya (iri hati). Iri hati membuat seseorang menjadi gelisah dan mampu menggiring seseorang untuk berbuat nekat yang akhirnya berujung pada niat ingin mencelakai orang yang ia iri. Seperti halnya Liman Tarub yang iri setelah melihat kebahagiaan dan kemesraan Kundagdya dan Jerum di surga. Hal ini yang memunculkan niat Liman Tarub untuk membunuh Kundangdya dan Jerum untuk kedua kalinya. Niat itu pun berusaha kembali dilakukan ketika mengetahui Jerum dan Kundangdya kembali diberikan kesempatan hidup di dunia oleh Bhatara Wisnu. Mangkin srengen I Sarayuda, dēnira angrenga wuwus, dres lakunia tumedun, gēgēr malayu wonging jero, Ni Jerum anambut pedang : "Ingsun matia sadulur, masa molih labda karya". Sarayuda ngunus duwung.
Kini Sarayuda beringas, mendengarkan kata-katanya, langkahnya menderas turun, Orang istana berlari geger, Ni Jerum menghunus pedang : "Aku mau mati bersama, kalau tidak bisa membunuhmu". Sarayuda menghunus keris.
pada ke- 265 Demikianlah kekuatan keenam musuh yang mampu merusak kehidupan apabila menguasai diri seseorang. Seseorang bisa saja disamakan dengan binatang ketika ia dikuasai oleh sifat-sifat yang tergolong sad ripu tersebut. Jika sudah dikuasai sad ripu, tentunya tidak dapat memunculkan kepedulian positif yang menciptakan keharmonisan. Harmonis tentu bisa tercipta apabila seseorang mampu saling menunjukkan kepeduliannya pada sesama dan lingkungannya, mengingat manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang menuntutnya harus dapat saling bersosialisasi dan menciptakan hubungan baik dalam kebersamaan. tiaptiap individu diciptakan lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihan dan kekurangan itu pun terletak dalam hal dan bidang yang berbeda. Hal itu sesungguhnya yang mengharuskan manusia untuk dapat saling berinteraksi, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan tempat ia tinggal. Memunculkan rasa peduli dengan cara berbagi dengan sesama yang memang membutuhkan dan memerlukan tentu akan membuat semua terasa damai. Kepedulian kecil berwujud perhatian pun bagi seorang manusia yang memiliki hati dan perasaan sudah sungguh sangat berarti. Dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat dilihat bagaimana sebuah perhatian tulus yang disampaikan melalui kata-kata penuh cinta yang tulus mampu membuat Jerum terhanyut dalam rayuan dan cinta kasih yang diberikan Kundangdya. Ni Jerum tan bisa molah, tan ēling sira aturu, tur kinembulan kang musuh, kampuhnia kinarang ulon, sampun mangkē dawuh sapta, malih-malih salulut, Ni Jerum kari kasrepan, pinapaging wacana arum.
Ni Jerum tak bisa bergerak, tidur tak sadarkan diri, diserbu oleh musuh, kain menjadi bantal kepala, saat menunjukkan waktu tujuh, lagi-lagi memadu kasih, Ni Jerum masih terlena, dipapag dengan kata-kata harum
pada ke- 78 Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Jerum terlena dengan kata-kata dan perhatian yang diberikan oleh Kundangdya padanya. Jika kepedulian positif dapat diciptakan antarsesama, tentu akan merasakan indahnya hidup dalam kebersamaan walaupun dalam banyak perbedaan, seperti di Indonesia yang warga negaranya terdiri atas beraneka ragam suku yang masing-masing memiliki karakter diri yang berbeda-beda pula. Jika sebuah kepedulian masih tercipta, tentu diikuti pula oleh rasa toleransi yang mampu menciptakan keharmonisan. Kepedulian dan menunjukkan sebuah ketulusan penuh cinta kasih, baik terhadap sesama maupun lingkungan, juga merupakan sebuah bentuk pemujaan
terhadap Tuhan. Kemunculan agama dan berbagai kepercayaan adalah bertujuan membentuk karakter manusia agar menjadi pribadi yang baik dan mengimbaskan kebaikannya dengan cara peduli, baik terhadap sesama maupun lingkungannya. Saat ini kerusakan alam dan berbagai bencana yang mengancam dunia seakan menjadi bahasan yang masih sering dibicarakan oleh berbagai negara di dunia. Setiap kerusakan yang terjadi saat ini sesungguhnya dapat dilimpahkan pada kesalahan manusia, karena manusialah yang dengan segala akal pikirannya menuntun dan membentuk keadaan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam tentu menjadikan alam rusak. Namun, jika manusia dengan baik memanfaatkan dan memelihara alam dengan baik, maka baik jugalah keadaan yang dirasakan oleh manusia. Rasa bhakti seseorang terhadap Tuhan dapat diukur dari cara memperlakukan sistem alam agar alam dapat bereksistensi sesuai dengan hukumnya. Meskipun kegiatan memuja Tuhan, baik dalam bentuk sembahyang, upacara yadnya, maupun dalam merayakan hari raya keagamaan sangat semarak, kalau perlakuan terhadap sesama manusia sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, seperti pelanggaran HAM, ketidakadilan, tidak peduli pada penderitaan orang lain, maka dapat dikatakan kegiatan berbakti pada Tuhan tidak akan membawa kehidupan yang berbahagia (Wiana, 2012: 132). Peduli merupakan sikap yang harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Peduli sesama dan peduli lingkungan dengan peduli yang bersifat positif merupakan wujud cinta kasih pada sesama dan lingkungan. Karakter bangsa tentunya mampu hidup saling mencintai antarsesama dan mencintai lingkungan. Kedamaian hanya akan
dirasakan manusia ketika dapat saling mencintai dan menunjukkan kepeduliannya dengan tulus. Sifat-sifat negatif yang dimiliki oleh tokoh dalam Kidung Jerum Kundangdya juga tidak lepas dari sifat-sifat positifnya, hanya unsur yang mana yang lebih menguasai. Ketika sifat negatif yang lebih menguasai diri tentu akan memperburuk keadaan yang akhirnya menciptakan ketidakbahagiaan. Sebaliknya ketika sifat positif yang lebih banyak menguasai diri tentu akan membawa pada hal yang baik dan bahagia. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, pengarang seakan menampilkan dua sisi yang saling berbeda untuk memberikan gambaran pada pembaca tentang kehidupan yang memang tidak lepas dari adanya perbedaan, baik sisi positif maupun negatif, sehingga mampu memilih yang terbaik. Cinta mampu menyeimbangkan alam semesta, yang awalnya kurang harmonis mampu menjad harmonis. Keharmonisan ini dikarenakan manusia yang mampu menjaga kepedulian dan perhatiannya terhadap sesama maupun lingkungannya. Jika semua sudah terjaga dengan baik tentu keharmonisan itu terwujud. Sifat-sifat baik yang mampu membawa bangsa kita menjadi lebih baik itulah yang sering diberi nama karakter bangsa. Karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut (Armando dkk, 2008: 8). Saat ini pembahasan "Karakter Bangsa" menjadi sesuatu yang sedang banyak dibicarakan, terutama dalam pendidikan. Masyarakat Indonesia saat ini dianggap banyak yang kurang
memiliki karakter layaknya masyarakat Indonesia dulu yang dikenal memiliki sopan santun yang baik, hal ini yang menyebabkan di dunia pendidikan sangat gencar untuk membentuk dan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi orang yang memiliki karakter bangsa. Oleh karena itu dikenallah akhirnya 18 nilai pendidikan karakter bangsa, antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 18 nilai inilah yang dirangkum oleh Departemen Pendidikan Nasional yang dianggap mampu mengubah sikap dan pola pikir anak-anak penerus bangsa. Bukanlah hal yang salah ketika suatu usaha dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik, karena pada hakikatnya semua makhluk selalu menginginkan kebaikan, kemakmuran dan kebahagiaan. Pembelajaran karakter bangsa ini sebenarnya sudah banyak yang terkemas langsung dalam karya-karya sastra yang diwariskan oleh para leluhur kita, contohnya saja dalam karya sastra Bali dikenal ada banyak karya sastra dalam bentuk Tutur maupun Tattwa yang mengajarkan kita menjadi manusia yang memiliki tingkah laku baik yang disamakan dengan pembentukan karakter bangsa. Kidung Jerum Kundagdya juga dapat menjadi salah satu karya yang mampu berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa.
BAB VI MAKNA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI
6.1 Harmonisasi Ajaran Hindu Perkataan Hindu, mengingatkan kita akan nama Sindhu atau Indus yang berkembang lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Lebih tepatnya Hindu dimulai dari jaman Veda yang berkembang sejak lebih kurang tahun 1500 sebelum masehi. Pada mulanya isi kitab suci veda dihapalkan namun kemudian akhirnya di tulis dan menjadi buku yang tertua di India. Kitab Suci Veda mempunyai 4 bagian, yaitu (1) kitab mantra yang berisi mantra-mantra atau doadoa untuk berbagai keperluan yang terdiri atas 4 kumpulan (samhita) ialah Rg Veda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda. (2) kitab suci Brahmana yaitu tafsir 4 samhita. (3) kitab suci Aranyaka, yaitu tafsir kitab suci Brahmana yang direnungkan dan dibaca di dalam hutan. (4) kitab suci Upanisad, yaitu kitab yang memuat dasar-dasar filsafat tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Mengenai kedudukan dewa-dewa di masing-masing kitab berbeda-beda, contohnya Dewa Waruna yang menjadi dewa yang penting sekali dalam dalam kitab mantra namun dalam kitab brahmana justru dianggap tidak penting (Surasmi, 2007: 11--12). Dalam perkembangannya, penganut Hindu memiliki anggapan bahwa alam memiliki kekuatan yang dapat menimbulkan kelahiran, kehidupan dan kematian. Kekuatan alam ini, digambarkan sebagai 3 dewa yang disebut Tri Murti, yaitu Brahma sebagai dewa atau kekuatan menciptakan, Wisnu sebagai
dewa atau kekuatan memelihara dan Siwa sebagai dewa atau kekuatan pralina atau melebur. Umat Hindu umumnya memusatkan Dewa-Dewa mereka pada suatu tempat tertentu, baik itu yang terjadi di India maupun di Bali. Di Bali, masing-masing Dewa memiliki tempat berstana yang berbeda-beda. Keharmonisan alam tentu didasari karena adanya alam yang harus diharmoniskan.
Dalam
lontar
Tutur
Andhabhuwana,
dikatakan
bahwa
pancamahabhuta telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia, sehingga isi alam dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan suatu ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 1) Manusia dengan Tuhannya; 2) Manusia dengan alam lingkungannya; 3) Manusia dengan sesamanya. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut: d. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya. e. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yadnya. f. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusa Yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78). Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung, ajaran Tri Hita Karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran ini
menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini. Kala adalah energi atau kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). kekuatan alam itu bisa merusak apabila diganggu, ia pun menyejahterakan apabil didamaikan. Kekuatan alam ini dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19-20). Berkaitan dengan konsep Tri Hita Karana, upacara Bhuta Yadnya menjadi salah satu cara untuk mengharmoniskan alam beserta isinya. Dalam kepercayaan Hindu di Bali, upacara bhuta yadnya merupakan salah satu upacara untuk menetralisir kekuatan alam sehingga muncul keseimbangan yang disebut harmonis. Selain upacara bhuta yadnya, dikenal ada lima yadnya dalam agama Hindu yang sering di sebut panca yadnya. Dari kelima yadnya atau upacara korban suci tersebut terdiri dari Dewa Yadnya yaitu korban suci pada para Dewa, Rsi Yadnya yaitu korban suci pada para rsi, Pitra Yadnya yaitu korban suci pada para pitara atau leluhur, Bhuta Yadnya yaitu korban suci pada para bhuta, dan Manusa Yadnya yaitu korban pada sesama manusia. Dari kelima upacara yadnya yang di kenal dalam ajaran Hindu di Bali ini, selalu tidak terlepas dengan upacara bhuta yadnya. Seperti halnya dunia yang dipercaya ada tiga yaitu bhur, bwah dan swah maka ada sebuah kewajiban untuk menjaga keharmonisan ketiga
dunia tersebut dengan selalu membuat upacara dengan tidak melupakan konsep atas, tengah dan bawah. Oleh karena itu dalam upacara apapun selalu muncul adanya upacara bhuta yadnya. Ambilkan contoh dalam upacara piodalan yang merupakan rangkaian upacara dewa yadnya, juga ada unsur untuk melakukan upacara bhuta yadnya. Ini difungsikan untuk menetralisir kekuatan alam. Lontar Kandapat sangat sesuai dengan isi Lontar Andhabhuwana mengenai hubungan pancamahabhuta di alam semesta (bhuwana agung) dengan pancamahabhuta yang bersemayam di dalam badan manusia (bhuwana alit). Oleh karena itu selalu memerlukan pemeliharaan agar keharmonisan bhuwana agung dengan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan, hal inilah yang membutuhkan kebajikan (yadnya) dari manusia ( Dharmita, 2011: 111). Dalam Hindu memang ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan 3 aktivitas utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya disebut Tri Murti, tiga wujud utamanya. Siwa merupakan bentuk rupa Tuhan Yang Maha Esa, aliran Siwa merupakan salah satu cabang dari agama Hindu. Aliran Siwa mengajarkan akan terus terwujud, memenuhi segala ruang, bebas dari segala-galanya dan bergembira selalu. Jiwa-jiwa yang lahir di dunia ini mempunyai sifat yang berbeda. Oleh sebab itu Dewa Siwa mengambil berbagai jenis rupa selaras dan kematangan jiwajiwa tersebut supaya mereka dapat mencapai mukti (moksa). Dari sudut etimologi istilah Siwalingga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Siwa dan Lingga. Siwa memiliki arti baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak
harapan, membahagiakan. Sedangkan lingga memiliki arti tanda, bukti, alat kelamin. Siwalingga melambangkan hal yang menyebabkan ciptaan itu muncul kembali pada awal siklus dari penciptaan yang baru (Dharmita, 2011: 107--108). Dalam ajaran Siwa Sidantha, Siwa dengan lingganya melambangkan perwujudan laki-laki dan lambang kesuburan. Jika menginginkan adanya kelahiran dan penciptaan maka diperlukan adanya penyatuan antara lingga dan yoni. Lingga ada lambang kelamin pria dan yoni adalah lambang kelamin wanita. Banyak peninggalan Hindu kuno yang berbentuk arca lingga yoni. Pemujaan terhadap lingga yoni ini umumnya bertujuan untuk kesuburan. Ada pandangan bahwa lingga perwujudan Siwa dan Yoni merupakan penggabungan antara perwujudan Brahma dan Wisnu yang merupakan perwujudan Tri Murti yang berkaitan dengan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan alam. Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu puisi naratif yang didalamnya mengandung cerita yang berunsur ajaran Siwa. Tampak dari kemunculan Hyang Guru ketika Liman Tarub berniat untuk menyucikan diri. Hyang Guru merupakan sebutan lain untuk Dewa Siwa. Ketika sebagai penuntun beliau bergelar Hyang Guru. Dalam kidung banyak diceritakan bahwa Hyang Guru yang menunjukkan dan menyadarkan tentang jalan kebenaran dalam hidup. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut: Hyang Guru ling irangucap: "Sarayuda anakingsun, rungunen wuwusingsun, wangsitira Hyang tan katon, jaba jro Hyang Pramana, angga nunggal soring luhur, kalangkahan kasurupan, tan ana wētan muang Kidul.
Hyang Guru bersabda : "Sarayuda anakku, dengarlah ucapanku, sabda Hyang yang tak nampak, luar dan dalam Hyang Pramana, tubuh menunggal atas dan bawah, terlangkahi dan dirasuki, tidak ada Timur dan Selatan,
pada ke-171
"Putih Purwa Hyang Iswara, pupusuh mangkē nggon ipun, Kidul abang puniku, Hyang Brahma ring ati mangko, Kuning Kulon ring ungsilan, Hyang Mahadewa puniku, Lor ireng rupanira, Wisnu ring ampru nggon ipun.
"Putih di Timur Hyang Iswara, berada di jantung, Selatan berwarna merah, Hyang Brahma berada di hati, Barat berwarna kuning adalah ungsilan, di situlah Hyang mahadewa, Utara berwarna hitam, Bhatara Wisnu berada di empedu.
pada ke- 172 Seperti yang tampak dalam kutipan, Hyang Guru atau Dewa Siwa bersabda pada Liman Tarub yang ketika itu sudah bernama Ki Sarayuda. Beliau bersabda sebagai sosok yang tidak nampak namun ada di dalam diri, badan kasar dan halus yang menjadi tunggal dalam diri. Seperti itulah dalam konsep ajaran Hindu, Tuhan sesungguhnya telah ada dalam diri setip makhluk. Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan yang terdapat dalam kutipan berikutnya di pada 172. Dijelaskan disitu bagaimana Hyang Iswara yang berwarna putih bersemayam di timur dan dalam diri seseorang bersemayam dalam jantung. Hyang Brahma yang berwarna merah bertempat di selatan dan bersemayam dalam hati. Hyang Mahadewa berwarna hitam bertempat di utara bersemayam di empedu. Demikianlah seterusnya yang diuraikan dalam pada 173, 174, yang selanjutnya menyampaikan Dewa Mahisora berada di tenggara dengan warna dadu dan bersayam dalam paru-paru. Dewa Rudra dengan warna jingga berada di arah barat daya bersemayam di perut besar. Dewa Shangkara dengan warna hijau bertempat di barat laut yang bersemayam di limpa. Dewa Shambu dengan warna biru bertempat di timur laut. Sedangkan Dewa Siwa berada di tengah dengan aneka warna berada di tumpuking hati. Demikianlah konsep dalam Hindu yang mempercayai bahwa ada sebuah keterkaitan antara bhuwana alit dan bhuwana
agung, yaitu antara diri manusia dengan alam. Tuhan itu bersemayam dalam diri manusia dan disetiap arah pada alam semesta ini. Dewa utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin biasa disebut Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa utama dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan penjuru mata angin adalah sebagai berikut: 10. Dewa Iswara penguasa arah Timur 11. Dewa Wisnu penguasa arah Utara 12. Dewa Rudra penguasa arah Barat Daya 13. Dewa Mahadewa penguasa arah Barat 14. Dewa Maheswara penguasa arah Tenggara 15. Dewa Sambu penguasa arah Timur Laut 16. Dewa Sangkara penguasa arah Barat Laut 17. Dewa Brahma penguasa arah Selatan 18. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di Tengah (Gus Japa dkk, 2008: 26-27). Dengan adanya Tuhan yang bersemayam dalam diri, dapat dimaknai bahwa manusia sesungguhnya mampu menghormati dan menjaga dirinya sendiri. Hal itu yang menjadikan dalam kepercayaan Hindu juga mengenal sebuah upacara yang ditujukan untuk diri manusia yang tidak lain juga untuk mengharmoniskan alam semesta ini. Manusia merupakan makhluk yang paling berperan demi keharmonisan alam, karena manusia di beri kelebihan untuk mampu memikirkan sesuatu dan mampu melakukan sebuah tindakan. Jika diri manusia itu sendiri
sudah tidak harmonis, contohkan saja manusia itu mengalami sakit maka ia tidak mampu berpikir dan berbuat yang baik. Perbuatannya yang baik tentu berpengaruh terhadap lingkungannya. Demikianlah konsep keharmonisan dalam Hindu yang mengedepankan keharmonisan diri adalah awal dari keharmonisan alam.
6.2 Harmonisasi Ajaran Budha Berbicara ajaran Hindu, tidak mampu dilepaskan dari keterkaitannya dengan ajaran Budha. Seperti dalam sejarah kemunculannya agama Budha , antara Hindu dan Budha mampu hidup berdampingan. Agama Budha untuk pertamakalinya muncul di India lebih kurang pada abad ke-6 SM yang disebarkan oleh Siddharta yang kemudian dikenal sebagai Budha Gautama. Pada mulanya penganut agama Budha tidak berani menggambarkan Budha dalam bentuk manusia, tetapi hanya digambarkan dengan bentuk-bentuk lambang. Pada jaman pemerintahan Raja Kaniska barulah terjadi suatu revolusi dalam agama Budha. dalam agama Budha sering terjadi perselisihan paham tentang pelajaran-pelajaran agama itu sendiri. Untuk mengetahui perselisihan dan kesulitan-kesulitan tersebut diadakanlah muktamar-muktamar. Dalam mukatamar inilah akhirnya terjadi perpecahan sehingga timbul 2 golongan, yaitu golongan Sthaviravada atau Theravada ialah golongan yang berpegang pada penjelasan golongan tua. Pemahaman golongan ini sesuai dengan isi kitab suci Pali dan rupanya merupakan pendahuluan dari golongan yang kemudian bernama Hinayana. Golongan lainnya menamakan diri Mahasanghika, yaitu golongan yang berpegang pada sumber-
sumber yang lebih muda dari sumber Sthaviravada yang menunjukkan persamaan dengan paham yang kemudian bernama Mahayana (Surasmi, 2007: 17--18). Hingga saat ini dalam agama Budha mengenal dua bagian besar yaitu Mahayana dan Hinayana. antara Mahayana dan Hinayana ada beberapa perbedaan. Dalam Hinayana tujuan manusia menjadi arhat dan mencapai nirwana untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan Mahayana mengutamakan cita-cita ke Budhaan yaitu usaha untuk menjadi Budha. Dalam Hinayana menganggap bahwa Budha Gautama hanya seorang manusia biasa saja tetapi dihormati karena ia berhasil mencapai bodhi untuk merintis jalan dan menjadi contoh bagi umat manusia dalam mencapai bodhi dan kebahagiaan tertinggi, sedangkan dalam Budha Mahayana Budha Gautama dan Budha lainnya bukanlah manusia biasa, tetapi sebagai avatara atau penjelmaan dalam bentuk manusia atau alat bagi bodhi untuk menmpakkan diri pada manusia. Pada Hinayana Budha Gautama ialah manusia biasa dan dihormati karena telah memberi petunjuk dan memberi contoh kepada umat manusia tentang cara-cara untuk mencapai bodhi dan nirwana, sedangkan menurut Mahayana yang dipuja terutama ialah Dhyanibodhisatva karena beliau yang dianggap melindungi dan membimbing umat manusia (Surasmi, 2007: 19-20). Menurut ajaran Budha manusia harus mempelajari alam (dhamma vicaya) untuk mencapai kebijaksanaan pribadi (prajna) tentang sifat hal (dharma). Umat Budha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi yang dikenal sebagai Dewa, tetapi mereka seperti manusia dan belum tentu lebih bijaksana dari manusia. Hal ini dibenarkan seperti apa yang terdapat dalam
Kidung Jerum Kundangdya, dimana ketika Liman Tarub telah dinobatkan sebagai Ki Sarayuda dan dianggap sebagai orang suci hingga diberikan tugas menjaga Surga, ternyata ia masih menyimpan dendam terhadap Kundangdya dan Jerum. Seperti yang tampak dalam kutipan berikut: "sedeng pua sira Kundangdya, pawestri aran Ni Jerum", Sarayuda amuwus : "Paran olih-olihingong, amati rageng ancala?' Sri Jaksa alon amuwus : "Dene pati yogiabrata, wenanga suarga dinunung".
"Setelah Kundangdya, kawin dengan Ni Jerum", Sarayuda berkata : "Apa yang telah kumiliki, setelah bertapa di gunung?" Sri Jaksa berkata lamban : "Karena ajal berdasarkan tapa, pahalanya mencapai sorga".
pada ke-199 Ni Jerum asemu bangras, asasipta warahipun : "Sarayuda ko pengkuh, ambekira kaya tan wong, mawakenēng Mrecapada, sapangalangin budinmu, apan sira olih tapa, sakti kosa teguh timbul.
Ni Jerum dengan wajah berang, menunjukkan sikap berkata : "Sarayuda engkau sangat angkuh, tabiatmu tidak seperti manusia, kau bawa dari dunia fana, yang menjadi penghalang tabiatmu, karena engkau berhasil dalam tapa, sakti perkasa teguh dan kebal.
pada ke-200 Seperti pada kutipan di atas tampak bahwa melalui kekutan tapa, seseorang mampu memperoleh surga (tempat yang dianggap lebih mulia). Ki Sarayuda hingga disejajarkan dengan kedudukan para Dewa, namun setelah ia bertemu kembali dengan Jerum dan Kundangdya di surga tidak mampu dihilangkan dendamnya yang ia bawa dari dunia fana. Tampak bahwa sesucinya para Dewa hingga mendapat tempat yang baik di surga tidak menjamin ia memiliki tabiat yang lebih baik dari manusia, seperti apa yang diajarkan dalam ajaran Budha. Budha selalu menekankan pada aspek etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta sehingga lebih cepat mendapat simpati masyarakat. Ia
percaya bahwa yang memberikan kebahagiaan atau nirvana bukanlah Tuhan atau deva-deva tetapi diri sendiri. Ajarannya mengajarkan agar manusia hidup mandiri, mencari di dalam diri sendiri. Oleh karena itu ia mulai doktrin-doktrinnya tanpa kitab suci dan mulai merefleksikan kehidupan secara independen. Tidak ada Tuhan di dalam ajaran-ajaran Budha. kalaupun belakangan berkembang menjadi agama, itu adalah agama tanpa Tuhan (Godless religion) (Suamba, 2003: 323-324). Menurut Budha, alam semesta tidak berawal dan tidak ada yang benarbenar awal karena alam seperti daur kehidupan. Dari muncul, berlangsung, hilang dan mampu muncul kembali. Sang Budha mengajarkan bahwa dunia yang kita tempati beserta surga akan mengalami penciptaan dan kehancuran secara berkala. Ketika Siddharta Gautama mendapatkan pencerahan, hasilnya adalah Empat Kebenaran Utama (catvari arya-satyani). Kebenaran-kebenaran tersebut adalah (1) kebenaran bahwa ada penderitaan, (2) kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan, (3) kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan, dan (4) kebenaran bahwa ada jalan menghilangkan penderitaan. Ajaran Budha dikenal juga dengan nama "madyama marga" ("jalan tengah"), karena ia menggali kapasitas potensi manusia dan objek-objek eksternal, tubuh dan pikiran dalam meraih tujuan hidup manusia. Sebagai seorang guru, ia menekankan pada meditasi dan mengikuti jalan tengah dalam kehidupan sehari-hari (Suamba, 2003: 325). Melalui sebuah kesadaran bahwa adanya kemunculan penderitaan dalam diri, tentu kemunculan itu memiliki sebab dan pada akhirnya penderitaan itu juga akan berhenti. Dengan memahami bagaimana penderitaan itu, tentu muncul jalan untuk mengantarkan
kepada penghilangan penderitaan tersebut. Dalam ajaran Budha dikenal dengan delapan jalan utama, yaitu pandangan yang benar (samyagdrsti), determinasi yang benar (samyaksamkalpa), perkataan yang benar (samyalgvak), perilaku yang benar (samyakkarmanta), cara hidup yang benar (samyagajiva), usaha yang benar (samyagvayayama), sikap pikiran yang benar (samyaksmrti) dan konsentrasi yang benar (samyaksamadhi). Kedelapan tangga ini mampu menyingkirkan kebodohan dan keinginan, menerangi pikiran dan menyebabkan keseimbangan dan ketenangan sempurna. Dengan demikian penderitaan benar-benar dapat dihilangkan dan peluang untuk lahir kembali ke dunia juga dihentikan. Pencapaian keadaan sempurna ini disebut nirvana (Suamba, 2003: 328). Sifat manusia yang seringkali disadarkan dalam ajaran Budha adalah sifat manusia yang tidak pernah puas. Semua orang seringkali menggerutu dan mengeluh tentang masalah fisik ataupun bathin. Dengan memahami situasi ini Sang Budha telah menghentikan tumimbal lahir (rebirth). Dengan berhentinya kelahiran maka berhentilah kesengsaraan. Pandangan ini tidak ada bedanya dalam pandangan ajaran Hindu yang mengajarkan umatnya berbuat yang baik hingga mampu mencapai moksa, dimana moksa adalah kesempurnaan dengan menunggal dengan-Nya sehingga tidak lagi melewati tahap reinkarnasi. Bagi ajaran Budha tidak mengenal Tuhan, karena dianggap Tuhan tidak dapat ditemukan dimanapun. Yang dipahami bahwa dunia merupakan sebuah tempat penderitaan, dan mencoba untuk lepas dari penderitaan itu. Ajaran yang khas dalam Budha adalah praktek meditasi sebagai jalan pencerahan, dan untuk mencapai pencerahan itu dilakukan usaha untuk mencapai
jati diri (self) yang terdalam, dan bila ia mencapai pengertian akan kesadaran dirinya itu, berarti ia telah menyatukan diri dengan hakekat semesta atau realitas rohani semesta (menyatu dengan Tuhan). Seperti yang dilakukan Liman Tarub ketika ia mengalami sakit hati karena dikhianati istrinya, ia memilih untuk mengasingkan diri ke tengah hutan, bertapa dan akhirnya menjadi suci hingga ia mampu dianugrahkan tugas untuk menjaga Surga oleh Hyang Guru. Kesimpulannya ajaran Budha lebih menekankan bahwa hanya diri sendiri yang mampu menolong diri untuk lepas dari penderitaan dalam hidup.
6.3 Harmonisasi Ajaran Siwa Budha Berdasarkan prasasti Kelurak tahun 782 bahwa antara agama Siwa dan Budha telah terlihat berdekatan mulai periode di Jawa Tengahan. Bunyi prasasti Kelurak antara lain menyebutkan seorang raja Indra dari keturunan Cailendra dan memeberitakan bahwa dalam tahun 782 seorang guru dari tanah Gaudi, Kumaraghosa mendirikan sebuah patung Bodhisatta Manyucri yang dalam dirinya mengandung Budha, Dharma dan Sangha yang disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Ini memberi kesaksian adanya hubungan antara kedua agama tersebut. Di Jawa Timur bentuk sinkretisme antara Siwa dan Budha lebih jelas lagi kita saksikan dari bentuk perwujudan dalam pemakaman raja-raja Singasari yang mempergunakan simbol Siwa-Budha. Raja Kertanegara merupakan salah satu raja Singasari yang ketika wafatnya dimakamkan di candi Jawi sebagai Siwa dan Budha, sedangkan di Singasari sebagai bhairawa. Di dalam buku Pararaton, raja Kertanegara dinamakan Siwa-Budha dan dalam Negarakertagama, mokteng Siwa-
Budhaloka, sedangkan dalam prasasti-prasasti sering disebut lina ring SiwaBudhalaya dan kadang juga lumah ri Siwabudha (Surasmi, 2007: 30--31). Semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut "SiwaBudha" sebagai persenyawaan Siwa-Budha. Semenjak itu penganut Siwa-Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: 1) Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 2) Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 3) Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ketiga Pura tersebut disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa-Budha di Bali. Ada banyak kemiripan pemahaman dalam ajaran Hindu dan Budha. Di Bali salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Embang atau Mahasunyi yang dalam Budha ada istilah Sunyata. Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Budha yang peninggalannya adalah meru, hasil modifikasi Pagoda Umat Budha. Padmasana yang dikenal sebagai tempat pemujaan di kalangan masyarakat Hindu di Bali, merupakan konsep yang diambil dari Budha Mahayana, padmasana berarti padma: bunga padma, sana: sikap duduk. Jadi Padmasana berarti duduk di atas bunga padma. Sang Budhalah yang duduk di atas bunga padma karena Sang Budha adalah Awatara Wisnu yang sempurna dan yang tidak membunuh. Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan
diyakini sebagai salah satu penjelmaan (awatara) Tuhan. Beliau adalah awatara kesembilan dari dasa awatara Dewa Wisnu. Dalam kesusastraan Jawa Kuno penyatuan Siwa Budha juga tercantum dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang isi pokoknya mengatakan bahwa Sang Hyang Widhi itu satu bukan dua, walaupun ada yang mengatakan Siwa dan Budha. Hal ini diuraikan dalam kitab Sutasoma sebagai berikut: Rwaneka dhatu winuwus warabuda wicwa, Bhineji rakwa ringapan kene parwa nesen, Mangkang jiwatma kalawan ciwa tatwa tunggal, Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Artinya: Tuhan itu dikatakan ada dua disebut, Budha dan Siwa, berbeda itu konon, Namun kapan dapat dibagi dua, demikianlah, Kebenaran Siwa dan Budha adalah satu, berbeda sebutan, tetapi tunggal itu, tidak ada Tuhan yang dua (Surasmi, 2007: 31).
Penyatuan Siwa-Budha merupakan awal dari penyatuan nusantara yang menjunjung
semboyan
bhineka
tunggal
ika.
Penyatuan
adalah
wujud
keharmonisan. Seperti tokoh Jerum dan Kundangdya yang saling mencintai kemudian dipersatukan maka muncul keharmonisan. Ketika dalam penyatuannya dengan Jerum, Jerum dapat berlaku sebagai atau kekuatan dari Kundangdya. Dalam keharmonisan itulah Dewa Wisnu kembali menganugrahkan kehidupan pada Kundangdya dan Jerum dan ditugaskan memimpin negara dengan harapan menularkan kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut, ketika Kundangdya dan Jerum menjadi pasangan serasi yang menciptakan kebahagiaan di hati semua orang.
Maka Sembahaning jagat, kinasihan para Ratu, miwah sang para sadu, anungsunging sira mangko, ilangana pamuktianira, Nareswari Nini Jerum, kadi Surya lawan Ulan, anuluhin jagat kasub.
Dipuji dan disembah di dunia, disayangi para raja-raja, demikian juga oleh orang yang arif bijaksana, semua memuji-muji beliau, tercapai segala keinginannya, Permaisuri Nini Jerum, bagaikan Matahari dan Bulan, menerangi dunia tiada tara.
pada ke-324 I Gusti Bagus Sugriwa merupakan salah satu tokoh yang sangat memahami ajaran Siwa-Budha yang tertuang dalam tulisan dan karya-karyanya. Menurut beliau Bhatara Budha sangatlah gaib, dangat sulit dijamah oleh pikiran. Ia melihat sekaligus yang dilihat, yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus. pendapat tersebut serupa seperti yang terdapat dalam Kakawin Dharma Sunya yang beranggapan bahwa Budha sangat gaib yang merupakan bayangan dalam bathin bersaluran kepada pancendriya (Suamba, 2013:5). Keberadaan penyatuan Siwa-Budha seperti zat yang satu namun disebut dua yaitu Budha dan Siwa. Demikianlah keadaan Siwa dan Budha yang satu dan tidak ada kebenaran itu dua. Dalam Kandhawa Dahana, I Gusti Bagus Sugriwa mengutip Kandhawa Dahana : Ndan len kita buddha rupa siwa rupa pati huriping tri mandala/ Sang sangkan paraning sarat ganalalit kita hala hayu kojaring haji/ Utpatti sthiti dadi kita karanani paramartha sogata// yang artinya tidak lain Engkau merupakan Budha, merupakan Siwa yang menjadi jiwa tiga buana. Engkau yang menjadi asal dan tujuannya kembalinya dunia, berbadan besar dan kecil, mengatur baik atau buruk, menurut ajaran agama. Lahir, hidup dan matinya sekalian makhluk, Engkaulah yang menyebabkannya, Engkau disebut Siwa atau Budha (Suamba, 2013: 8).
Penyatuan Siwa dan Budha dikenal dalam konsep "unity in diversity" (bhineka tunggal ika) yang relevan pada era modern sekarang ini. Ketika manusia akan bergegas menuju ke "sana", "atas", atau "dalam", manusia memerlukan bekal pengetahuan (jnana) karena hanya pengetahuanlah satu-satu alat menuju ke sana. Pramana intinya upaya mendapatkan pengetahuan valid (prama), karena yang salah atau ragu-ragu (samsaya) tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan Bhatara Siwa atau Budha yang hakikatnya adalah kebenaran. Begitu banyak sifatsifat Bhatara Budha maupun Bhatara Siwa bisa dikategorikan menjadi dua secara umum, yaitu sekala-niskala, wahya-dyatmika, suksma-stula, byakta-abyakta. Beliau menjadikan kedua dunia ini diresapi sekaligus meresapi dan menguasai. Keesaan Siwa-Budha disebut Sang Hyang Tunggal, dalam ajaran Siwa diwujudkan dengan lambang Ongkara, sedangkan dalam ajaran Budha dengan Hrih. Dengan sebutan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Licin ajaran ini menganut paham monisme, satu prinsip/ kekuatan/ realitas yang absolut, tertinggi, tidak pernah berubah, langgeng tidak ada yang menyamai apalagi melebihi keesaannya. Yang menarik, walaupun sama-sama tunggal, namun dipresentasikan dengan nama berbeda : Ongkara (Siwa), Hrih (Budha) (Suamba, 2013: 8--10). Dalam kepercayaan Hindu di Bali, ajaran Siwa Budha masih tetap dijunjung tinggi hingga saat ini. Setiap unsur upacara maupun upakara akan mengandung unsur Siwa-Budha. Siwa dianggap unsur dari kekuatan yang tidak luput dari tenaga dan kemarahan dan Budha dianggap unsur dari kasih sayang, kelembutan dan cinta kasih. Siwa-Budha harus tetap berdampingan untuk mampu menciptakan keharmonisan. Konsep penyatuan Siwa-Budha yang dikenal melalui
tiga bangunan suci tersebut juga sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat Hindu di Bali. Selain tiga pura yang terdiri dari Pura Puseh, Desa dan Dalem, dalam lingkungan keluarga pun umumnya masyarakat membangun pelinggih kemulan yang juga terdiri dari rong tiga atau tiga ruang yang juga memuja Brahma, Wisnu dan Siwa/ Iswara atau sering juga disebut Bhatara Guru. Konsep ini sesungguhnya berkaitan erat dengan apa yang disampaikan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Tokoh Kundangdya yang memiliki sifat welas asih, pemaaf dan berbhakti diidentikkan dengan karakter Budha yang merupakan perwujudan dari Wisnu yang merupakan Dewanya Air. Bhatara Wisnu dalam perwujudan Rong Tiga di puja di pelinggih yang paling kiri. Kemudian Di Selatan atau yang paling kanan adalah pemujaan untuk Bhatara Brahma. Bhatara Brahma adalah Dewanya api, api bersifat panas dan panas identik dengan kemarahan. Sifat dendam dan pemarah yang dimiliki oleh tokoh Liman Tarub dikaitkan dengan perlambang api atau Bhatara Brahma. Sedangkan Jerum itu sendiri adalah perwujudan Bhatari Durga atau saktinya Siwa yang dipuja di Pura Dalem. Seperti halnya Jerum, Bhatari Durga umumnya dilambangkan sebagai Dewi yang amat menyeramkan ketika dalam keadaan murka, namun menjadi Dewi yang amat cantik dan penyayang ketika berwujud Dewi Uma. Dari karakter demikian telah terjadi sebuah harmonisasi antara kekuatan amarah dan kelembutan, antara kekuatan panasnya api dan dinginnya air. Jerum digambarkan sebagai wanita yang amat cantik dan mempesona, namun ketika ia megalami kemarahan, ia bahkan tidak
takut untuk mengangkat senjata demi membela kebenaran. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut: Mangkin srengen I Sarayuda, denira angrenga wuwus, dres lakunia tumedun, geger malayu wonging jero, Ni Jerum anambut pedang: "Ingsun matia sadulur, masa molih labda karya". Sarayuda ngunus duwung.
Kini Sarayuda beringas, mendengarkan kata-katanya, langkahnya menderas turun, Orang istana berlari geger, Ni Jerum menghunus pedang: "Aku mau mati bersama, kalau tidak bisa membunuhmu". Sarayuda menghunus keris.
pada ke- 265 Karakter dari tokoh Jerum ini seperti mampu dikaitkan dengan perwujudan Dewi Durga yang akan diliputi kemarahan dan memiliki wajah yang menyeramkan apabila dalam keadaan menyeramkan, namun sebaliknya menjadi sosok welas asih dan penyayang ketika berwujud Dewi Uma ataupun Dewi Katyayani. Dapat dipahami bahwa setiap hal diliputi oleh dua unsur yang saling bertolak belakang namun saling membutuhkan, untuk itu penting adanya sebuah keharmonisan dari kedua unsur yag bertolak belakang tersebut. Siwa-Budha harus menyatu agar mampu menciptakan keharmonisan. Kekuatan dan ketegasan harus diimbangi dengan kebijaksanaan dan welas asih barulah akan tercipta sebuah keharmonisan. Keharmonisan akan menjadi junjungan dari kedua unsur tersebut. Seperti halnya Kundangdya dan Liman Tarub yang melihat satu yaitu Jerum. Kundangdya dan Liman Tarub mencintai jerum karena kecantikan dan keindahannya. Harmonis adalah indah dan itu merupakan harapan semua orang. Dalam upacara keagaamaan di Bali, yaitu upacara Pedudusan agung ada yang disebut dengan upacara paselang. Upacara paselang merupakan bagian dari upacara pecaruan dengan sarana kerbau yang pada tanduknya dibungkus dengan emas. Upacara paselang ini di pimpin oleh pendeta Siwa dan pendeta Budha.
Upacara paselang dapat dipahami sebagai upacara dimana turunnya Hyang Siwa yang berwujud keheningan dalam tapakan pelinggih. Bersatunya pendeta Siwa dan Budha dalam menjalankan prosesi upacara paselang sebagai bentuk bahwa Siwa-Budha senantiasa bersatu. Budha dianggap badan dan Siwa merupakan pikiran. Jadi dalam upacara paselang ada penyatuan jiwa dan badan. Dalam konsep bangunanpun, pada umumnya setiap bangunan adat di Bali akan mengacu pada konsep rong tiga atau tiga ruang. Ada ruang kanan dan kiri dan ada satu ruang ditengah dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi. Seperti itulah keyakinan untuk memuja keharmonisan dan persatuan yang disebut keseimbangan. Antara kanan dan kiri harus ada ruang yang menjadi penyekat keduanya dan ruang itu adalah kekosongan. Dalam ajaran Siwa maupun Budha, keduanya mengenal ajaran untuk memuja kekosongan. Kedua ajaran inipun samasama memiliki keyakinan bahwa semuanya berawal dari kekosongan dan akhirnyapun akan kembali pada yang kosong tersebut. Setiap hal baik maupun buruk itu berawal dari tidak ada menjadi ada dan suatu saat akan mampu menjadi tidak ada kembali. Kekosongan adalah sekat sekaligus penyatuan yang disebut juga dengan harmonisasi. Harmonisasi itu terjadi dalam penyatuan antara kanan maupun kiri, antara positif maupun negatif, antara atas maupun bawah. Kosong sering dilambangkan dengan nol, dan nol berbentuk bulat yang sering dalam aksara Bali disebut dengan windu. Sesuatu yang dinyatakan bulat sudah pasti tidak memiliki ujung, tidak ada awal maupun akhir. Berjalan dalam lingkaran berarti berjalan dalam sebuah siklus yang tidak akan berakhir. Demikianlah halnya dengan kehidupan, kehidupan merupakan sebuah siklus, ada
kelahiran, kehidupan dan kematian, ada muncul, berlangsung dan musnah. Demikianlah seterusnya. Setiap hal sesungguhnya merupakan sebuah siklus yang akan berlangsung terus menerus. Kematian bukan berarti akhir, karena setelah kematian akan ada kehidupan lain kembali. Dalam kepercayaan Hindu di Bali sangat mengenal adanya reinkarnasi, reinkarnasi adalah kelahiran kembali dimana seorang yang telah meninggal, atmanya akan kembali memasuki badan yang lain untuk kembali lahir didunia ini. Tidak jauh dari reinkarnasi, dalam alam sendiri muncul juga konsep perputaran siklus yang dilihat dalam perubahan iklim. Panas dan Dingin merupakan siklus yang silih berganti namun manusia tetap membutuhkan keduanya. Demikian juga dengan air dan api, keduanya dapat membahayakan manusia, namun tanpa keduanya manusia juga tidak akan dapat hidup di dunia. Air akan menguap oleh panas dan nantinya akan berubah kembali menjadi air dalam bentuk hujan, inipun juga merupakan siklus alam yang berlangsung terus menerus silih berganti. Demikianlah konsep Siwa-Budha yang dapat dilihat dari Kidung Jerum Kundangdya, kekuatan amarah yang biasanya diidentikkan dengan kekuatan Siwa dipegang teguh oleh Liman Tarub dan memang dalam cerita pun, Liman Tarub memang menjadi tokoh kesayangan dari Bhatara Guru yang tidak lain adalah nama lain dari Dewa Siwa. Sedangkan Kundangdya yang memiliki sifat lemah lembut, berbhakti dan welas asih menjadi tokoh yang paling disayangi oleh Bhatara Wisnu. Dalam konsep Siwa-Budha, Liman Tarub berposisi sebagai Siwa dan Kundangdya adalah perwujudan Budha. Sedangkan Budha itu sendiri merupakan awatara (perwujudan lain) Wisnu.
6.4 Pencerahan Siwa Budha Tantra Tantra adalah wujud dari praktek yoga yang mengarah pada kebahagiaan tertinggi melalui upacara tertentu yang menekankan pada hal yang erotis dan terlarang. Tantra dipusatkan pada 's sakti' kekuatan wanita yang dipuja oleh sadhaka (pemuja laki-laki) melalui sakti yang inkarnasi buminya dalam bentuk upacara Tantra. Sementara kespiritualan Hindu menekankan pada kebebasan dari wujud fisik, emosi dan kesenangan sesaat dan juga kebebasan dari dunia fana, Tantra menekankan pada hal ini dan berkebalikan dengan ini (Singh, 2007: 131). Tantra bukanlah agama, tetapi cara hidup, sistem sadhana. Tantra adalah ilmu pengetahuan meditasi spiritual atau sadhana yang dapat dipakai oleh semua orang tidak mempersalahkan apapun golongan agama mereka. Banyak orang yang mencoba membeda-bedakan Tantra Hindu dan Tantra Budha yang sesungguhnya adalah satu. Tantra itu berdasarkan satu gagasan, baik tantra budha dan Hindu mengeskpresikan
hal
yang
sama
dengan
kata-kata
yang
berbeda
(Anandamurti,2008: 142--143). Di dalam Encylopedia of Religion and Ethice, tantra berarti tenunan atau keadaan bengkok, kemudia sesuatu yang terus menerus dan rangkaian yang tak terputus putusnya dalam kebiasaan agama sebagai peraturan atau upacara yang tertib (Surasmi, 2007 : 41). Kepercayaan atau pemujaan kepada sakti dan upacara-upacara tantra adalah merupakan kepercayaan India Kuno. Bermacam-macam cara dilakukan orang untuk memuja sakti tersebut, menurut paham aliran masing-masing. Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup setiap orang mengucapkan
mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Kepercayaan atau pemujaan kepada Dewi Ibu atau kekuasaan sakti itu dikenal di India sebelum bangsa Arya datang di India tidak pernah lenyap, bahkan dapat mempengaruhi agama Hindu dan agama Budha. Dalam agama Hindu terlihat pengaruhnya pada pemujaan Dewi Durga atau Kali sebagai sakti atau permaisuri dari dewa Siwa sebagai Mahakala (Surasmi, 2007:22). Dulu agama Hindu terdiri dari banyak sekte, dan Tantra sesungguhnya tergolong ke dalam salah satu sekte dalam agama Hindu. Sekte ini dimasukkan sebagai bagian dari sekte Sakti. Aliran ini disebut dengan Tantrayana karena mendasarkan diri pada kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra merupakan perpaduan yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan primitif di India. Aliran ini juga terdapat pada agama Budha; sementara dalam agama Hindu terdapat dalam kalangan para pemuja Siwa (Ali, 1988; 86). Kemunculan Agama Tantra di India sebelum bangsa Arya datang ke daerah itu. Paham Tantra terlihat pada kebudayaan Lembah Indus, yaitu tampak dalam pemujaan Dewi Ibu. Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup setiap orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Terkadang cara-cara pelaksanaan pemujaan sakti menurut pemujaan paham tantra ini bagi orang yang bukan penganut tantra menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran biasa termasuk larangan
atau melanggar kesopanan. Tantrayana adalah suatu ajaran yang
bercita-cita mempersatukan diri dengan Tuhan pada waktu yang sesingkat-
singkatnya dengan jalan mempergunakan nyanyian, minuman keras, menghisap candu dan sebagainya. Pengaruh paham tantra didapati pula dalam agama Budha Mahayana yang dalam garis besarnya tidak berbeda dengan agama Siwa-Tantra. Ajaran Mahayana-Tantra memberi petunjuk atau jalan yang harus dilalui agar siapa pun dalam waktu singkat dapat mencapai tujuan yang tertinggi, yaitu terhindar dari sengsara (Surasmi, 2007 : 22--23). Upacara-upacara dan kepercayaan tantra adalah lebih tua dari umur agama Budha itu sendiri. Jenis Budha Tantra dikenal sebagai Kalachakra yang telah disempurnakan di bengal pada akhir Dinasti Pala dan kemudian disebarkan ke Nepal dan Tibet serta Nusantara. Menurut paham tantra, sakti adalah ibu suci, ibu alam semesta. Segala sesuatu berasal dari sakti dan akan kembali kepadanya. Tanpa sakti, dewa tidak dapat berbuat dan menciptakan sesuatu. Dengan demikian, menurut paham tantra, sakti merupakan sumber segala. Itulah sebabnya penganut paham tantra lebih mementingkan pemujaan pada Dewi dan mengesampingkan kedudukan para Dewa. Selanjutnya dalam perkembangan agama Budha, pengaruh hukum tantra terlihat pada zaman pemerintahan raja-raja Pala yang menyatukan banyak persamaan unsur-unsur paham agama Hindu ke dalam agama Budha, misalnya saja konsepsi dari pemujaan sakti atau kekuatan wanita dari Boddhisatwa dan kepercayaan pada ilmu-ilmu dan upacara-upacara gaib (Surasmi, 2007: 45--47). Dalam Kidung jerum Kundangdya, tampak bahwa ada sebuah sifat mengagungkan wanita dan pemujaan pada ibu pertiwi. Kundangdya dan Liman Tarub adalah dua orang saudara yang akhirnya saling menaruh dendam satu sama lain karena memperebutkan Jerum. Jerum adalah
sosok wanita dengan segala kesempurnaanya sebagai wanita yang menyebabkan kedua laki-laki ini jatuh hati pada Jerum. Adanya tindakan curang yang dilakukan Kundangdya yaitu dengan meniduri Jerum ketika telah menjadi istri Liman Tarub menjadikan Liman Tarub dendam terhadap Jerum dan Kundangdya. Selain itu ada sebuah kepercayaan yang muncul dalam Kidung Jerum Kundangdya mengenai pemujaan terhadap ibu pertiwi, seperti yang tampak dalam kutipan berikut: "Babu endi tan katona?" Pawongan anembah matur : "Aneng taman pukulun, aturu ring lemah mangko, angistia puja barata, adoha kenēng tadah inum, yan tan kapanggiha sira, kinēsti rahina dalu
"Di mana ibu tak kelihatan?" Para inang berdatang sembah, "Tuan Hamba ada di Taman, tiduran di tanah, memohon dengan puja dan tapa, menjauhkan makan dan minum, karena ingin bertemu tuanku, berdoa siang dan malam.
pada ke-232 Tampak dalam kutipan di atas, ibu Kundangdya hingga tiduran di tanah untuk memohon untuk bisa bertemu kembali dengan anaknya yang ketika itu telah mati dibunuh oleh Liman Tarub. Dalam kepercayaan Hindu, tanah melambangkan ibu pertiwi. Ketika seseorang mati dan di kubur dalam tanah maka jasad seseorang dianggap telah dikembalikan pada pangkuan ibu pertiwi, semua unsur dalam badan itu akan hilang dan meresap dan menjadi satu dalam tanah. Seorang ibu yang masih belum terima sepeninggal anaknya yang dibunuh oleh Liman Tarub, hingga memutuskan mengasingkan diri dengan tidur di tanah sambil melakukan tapa puja siang malam hanya untuk dapat bertemu kembali dengan anaknya yaitu Kundangdya. Doa seorang ibu itu pun akhirnya terwujud setelah Dewa Wisnu menghidupkan kembali Kundangdya dan Jerum. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upacara dan upacara yajna
yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari Tantrayana, di samping juga mendasarkan kepada berbagai Sastragama Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta ditambahkan oleh produk sosial budaya daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia. Pengendalian diri melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat pada Sthulasarira, Suksmasarira dan Antahkarana (malatraya). Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa atau 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya. Madya: meminum tuak sebanyak mungkin. Mamsa: makan daging sebanyakbanyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Maithuna: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita. Sesungguhnya Pancatattwa mengandung filosofi yang dalam. Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Namun, penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan
manusia
menghadapi
pengaruh
sadripu
sehingga
seringkali
Pancatattwa itu diartikan sebagai pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar (Arifin; 88). Pancatattwa yang secara populer disebut Panca Makara (Lima Ma), yang terdiri dari madya (minuman keras), mamsa (daging), matsya (ikan), mudra (sikap tangan, padi-padian), dan maithuna (bersetubuh). Dalam upacara tantrayana, lima unsur Panca Ma ini memegang peranan penting namun bukan berarti sadhaka dibenarkan makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai mabuk dan lain sebagainya (Dange dalam Surasmi, 2007: xvi). Pancatattwa memang dikenal dalam ajaran Tantra, namun Lima Ma tersebut akan mendapat taggapan yang berbeda-beda dari masing-masing individu, yang kesemuanya tetap memiliki harapan tujuan yang sama yaitu mendapatkan penyatuan sehingga terlepas dari kesengsaraan dalam kehidupan. Ada pengaruh-pengaruh yang tidak bisa dihilangkan antara ajaran tantra dengan tradisi dalam ajaran agama Hindu, maka muncul juga sebuah keterkaitan ajaran tantra tersebut dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hubungan seks atau penyatuan badan menjadi unsur yang sangat berperan dalam cerita Kidung Jerum Kundangdya. Kehancuran dan kebahagiaan yang dirasakan, semuanya berawal dari hubungan seks atau penyatuan. Dalam tantra, hubungan seks adalah utama dan sangat diagungkan. Kelahiran dan kesuburan hanya akan muncul berawal dari pertemuan lingga (unsur pria) dan yoni (unsur wanita) dalam hubungan seks. Dalam Kidung Jerum Kundangdya diceritakan Kundangdya tidak mampu menahan rasa cinta dan nafsu birahinya untuk bersatu dan memiliki Jerum. Hingga akhirnya nekat memasuki kamar Jerum yang sesungguhnya sudah menjadi
istri Liman Tarub. Didalam kamar Jerumlah, Kundangdya melampiaskan hasratnya hingga terjadi penyatuan antara Jerum dan Kundangdya. Sarira angawlaseng cita, pupu lempung gading lumlum, warnanen mingsoring pupu, luir pudak cinaga karo, tan ilang takonakena, Kundangdya tan pangitung, garegetan mangaras-aras, Ni Jerum nora awungu.
tubuhnya yang membuat hati terpesona, paha montok indah kekuning-kuningan, tersebutlah dibawah paha, bagaikan dua buah bunga pudak, yang tak tersurat rasakan sendiri, Kundangdya tak terkatakan, memeluk cium sangat bernafsu, Ni Jerum tak terjaga.
pada ke-62 Seperti dalam kutipan di atas, demikianlah Kundangdya menikmati keindahan tubuh Jerum tanpa sepengetahuan Jerum. Penyatuan badan dan kenikmatan seks dirasakan oleh Kundangdya. Sekalipun ia mengetahui bahwa ia telah melakukan kesalahan karena telah dengan berani meniduri istri saudara misannya sendiri, namun cinta dan hasratnya yang tidak dapat dipendam itu membuatnya nekat. Kata-kata manis dan rayuan ia lakukan terhadap Jerum yang akhirnya menyadari kedatangan orang asing. Kundangdya alon angucap : "Juitaningsun Sang arum, puniku sadiayangira sun", Kundangdya sakadi layon, kari rekē kakurungan, atmanira sampun lampus, mangungsi banjaran kembang, manganti maya sang arum".
Kundangdya berkata perlahan : "Juitaku sang cantik jelita, itulah yang aku kehendaki", Kundangdya ibaratnya orang mati, yang tinggal hanya badan kasar, rohnya sudah lenyap, menuju banjaran bunga-bunga, menunggu arwah sang jelita.
pada ke- 75 Ni Jerum meneng kēmengan, Kundangdya tan asantun, marikedeh amerud, aningseting madia karo, anesep ingaras-aras, Ni Jerum manulak lesu, sarira madapa layuan, kaya tambēning salulut.
Ni Jerumberdiam diri sedih, Kundangdya tanpa membilang suatu apa, bersikeras tak peduli, kedua tangan memeluk pinggang, menghisap memeluk cium, Ni Jerum menolak lesu, diri bagaikan daun layu, seakan tumben terkena asmara.
pada ke- 76
Kundangdya seakan tidak perduli dengan kesalahan yang ia lakukan, kepuasan dan kesenangannya adalah utama. Dia tidak memperdulikan kesedihan Jerum yang takut akan kesalahannya karena telah membiarkan orang asing masuk dan tidur bersama dengannya. Kundangdya nekat melakukan hal itu, karena ia memiliki keyakinan bahwa seperti telah mati dan akan menuju banajaran bunga sambil menunggu arwah pujaan hatinya. Kundangdya telah memasrahkan dirinya, dia tidak takut mati sekalipun asal bisa merasakan kenikmatan persatuan dengan Jerum. Banjaran bunga-bunga sama halnya seperti surga, ia digambarkan akan menunggu arwah sang jelita yang tidak lain berarti menunggu kedatangan arwah Jerum ke surga. Dari pernyataan Kundangdya tersebut seakan membenarkan sebuah hubungan seks itu terjadi sekalipun tidak dengan istri maupun suami sendiri. Disinilah tampak jelas bahwa ada makna-makna tertentu dalam ajaran tantra bhairawa yang tampak dalam Kidung Jerum Kundangdya. Bagi pengikut Bhairawa Tantra, mereka berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka, pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuannya adalah memanjakan kenikmatan hidup dan tidak mengenal kekangan moral. Dengan memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut (Munoz, 2009: 84). Oleh karena itu, pengikut sekte ini justru melakukan ritual-ritual tertentu yang bagi sebagian besar orang dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya
dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja atau malima (Lima Ma) dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Praktek malima adalah menyembelih perawan sebagai persembahan kepada dewa, kemudian meminum darahnya bersama, tertawa-tawa, dan menari-nari dengan diiringi oleh bunyibunyian dari tulang-tulang manusia yang dipukul-pukul hingga menimbulkan suara gaduh. Ritual dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Setelah itu dalam acara yang dilakukan di lapangan yang disebut ksetra, para peserta ritual melakukan persetubuhan massal, yang kemudian diikuti dengan semedi (Wojowasito, 1952: 148). Pemikiran bagi penganut aliran tantra bhairawa ini tidak jauh berbeda dengan pemikiran yang dimiliki oleh Kundangdya. Pencapaian surga pasti dapat ia temui ketika ia mengalami penyatuan dalam hubungan seks yang akhirnya ia lakukan dengan Jerum yang sekalipun bukan istriya sendiri. Ni jerum yang diselimuti oleh rasa takut karena baginya hal itu sebuah kesalahan, membuatnya resah namun rayuan Kundangdya membuatnya luluh. Seperti dalam kutipan berikut. Ni Jerum tan bisa molah, tan eling sira aturu, tur kinembulan kang musuh, kampuhnia kinarang ulon, sampun mangke dawuh sapta, malih-malih salulut, Ni Jerum kari kasrepan, pinapaging wacana arum.
Ni Jerum tak bisa bergerak, Tidur tak sadarkan diri, diserbu oleh musuh, kain menjadi bantal kepala, Saat menunjukkan waktu tujuh, lagi-lagi mamadu kasih, Ni Jerum masih terlena, dipapag dengan kata-kata harum.
pada ke- 78 Jerum dikatakan luluh hanya dengan kata-kata rayuan dari Kundangdya, hingga akhirnya pagi menjelangpun mereka kembali memadu kasih. Bentuk
penyatuan berupa hubungan seks dimana mempertemukan lingga dan yoni, maka disitulah dianggap akan menciptakan kebahagiaan dan itu sebuah persembahan yang nantinya akan menuntun pada pencapaian akhirat yang baik. Dalam tradisi keagamaan di Bali, setiap hal akan selalu mengandung unsur lingga dan yoni. Dimana ada pertemuan lingga dan yoni maka disitulah adanya kebahagiaan dan kemakmuran. Tidak dilupakan jika sebuah kehidupan akan mampu tercipta berawal dari pertemuan lingga dan yoni. Hanya hubungan seks yang membuat seseorang mampu melanjutkan keturunannya, dan itu adalah sebuah anugrah dan kemakmuran. Hingga kini banyak tempat-tempat yang disakralkan di Bali masih terdapat arca-arca lingga yoni, dan ini menandakan bahwa pertemuan lingga yoni adalah sesuatu yang dianggap hal yang sakral. Tidak mengherankan apabila dalam ajaran tantra bhairawa, hal yang sakral ini dianggap sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap Tuhan yang dalam hal itu adalah Dewa Siwa. Namun, untuk saat ini bila melakukan hubungan seks secara berlebihan apalagi bukan dengan pasangan yang sewajar terlebih mengarah pada pesta seks, maka itu dianggap sebagai sebuah kesalahan yang melanggar hukum. Jadi pemujaan dan mengagungkan ritual hubungan seks itu hingga kini masih diyakini, namun tidak dilakukan disembarang tempat dan pada sembarang orang. Hubungan seks hanya diijinkan hanya dengan pasangan baik itu istri maupun suami. Selain dari unsur seks, ada juga yang tergolong Madya (minuman keras), Mamsa (makan daging), Matsya (makan ikan). Kesemua unsur itu hingga sekarang masih sering diterapkan dalam setiap ritual agama dan unsur kehidupan
masyarakat Hindu di Bali. Madya (minuman keras) merupakan salah satu minuman yang lumrah di kalangan masyarakat Bali. Dalam sebuah upacara keagamaan pun, tidak pernah terlepas dari unsur minuman keras yang dikenal dengan sebutan petabuh. Demikian juga halnya dengan Mamsa (makan daging), Madsya (makan ikan). Sebagian besar orang Hindu di Bali hingga kini mengenal ada nya lawar yaitu olah-olahan daging yang menggunakan unsur darah mentah hewan maupun daging mentah, dan hal ini juga dipersembahkan untuk para Dewa ketika hari-hari raya tertentu. Ambil saja salah satu contoh, ketika perayaan Galungan. Sehari sebelum Galungan diberi nama hari Penampahan Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah yang artinya sembelih. Umat Hindu di Bali memang secara sengaja menyembelih hewan yang umumnya adalah babi untuk dijadikan olah-olahan makanan yang salah satunya adalah lawar. Setelah mereka selesai membuat lawar, mereka akan mempersembahkan sebagian olah-olahan daging itu ke hadapan para Dewa dan setelah itulah baru ia dan keluarganya bersama-sama memakan makanan itu. Disini ada sebuah kepercayaan bahwa mempersembahkan daging mentah sekalipun itu adalah dibenarkan. Dalam kaitannya dengan upacara Bhuta Yadnya yang nantinya akan berhubungan langsung dengan Kidung Jerum Kundangdya ini, unsur-unsur seperti lima ma ini hampir seluruhnya digunakan dalam ritual upacara bhuta yadnya. Melalui ritual-ritual itulah dunia diharapkan mampu mencapai keharmonisan. Jadi, ajaran-ajaran Tantra Bhairawa memang hingga kini masih diyakini dan diterapkan dalam ajaran Hindu di Bali, dan itu juga tersirat dalam Kidung Jerum Kundangdya. Unsur-unsur Lima Ma itu yang diyakini mampu menciptakan
kebahagiaan yang tentunya merupakan awal dari keharmonisan alam. Tentunya tetap dalam catatan semuanya tidak dilakukan secara berlebihan. Seperti halnya agama, ajaran Tantra tentu akan selalu mengajarkan kebaikan hanya saja semuanya kembali pada individu yang menafsirkan ajaran tersebut. Ada yang mengarah pada ajaran positif dan ada yang menafsirkan negatif.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Setelah dilakukan analisis dengan seksama seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Bentuk wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya berawal dari dunia yang terdiri dari dua yaitu Bhuwana Agung yang sering juga disebut makrokosmos dan ada Bhuwana Alit yaitu mikrokosmos. Bhuwana Agung adalah alam semesta ini sedangkan Bhuwana Alit adalah isinya. Ada alam tentu ada isinya, ada atas tentu ada bawah demikianlah segala sesuatunya adalah rwabhineda atau dua hal yang berbeda. Dalam Kidung Jerum Kundangdya muncul tokoh Jerum dan muncul pula Kundangdya. Diantara Jerum dan Kundangdya ada keseimbangan sehingga mampu menjadi harmonis, demikian pula antara alam semesta dan isinya untuk dapat menjadi harmonis harus ada keseimbangan. Fungsi wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi masyarakat Bali adalah penyeimbang alam semesta, berawal dari bahasan cinta yang akhirnya menciptakan keharmonisan. Melalui cerita antara tokoh-tokoh dalam kidung Jerum Kundangdya sudah tampak mengenai pentingnya harmonisasi alam yang akhirnya lebih terlihat nyata dalam penerimaan masyarakat terhadap Kidung Jerum Kundangdya sebagai kidung pengiring dalam upacara Bhuta Yadnya yang merupakan salah satu upacara yang dipercaya oleh masyarakat Bali dapat menciptakan keharmonisan.
Makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya yaitu adanya harmonisasi dalam ajaran Hindu, harmonisasi ajaran Budha, harmonisasi yang muncul lewat ajaran Siwa-Budha, dan pencerahan Siwa-Budha Tantra. 7.2. Saran Analisis terhadap Kidung Jerum Kundangdya dari sudut kaitannya dengan harmonisasi alam merupakan sebuah penelitian awal yang tentunya masih jauh dari sempurna. Diharapkan adanya penelitian lanjutan karena masih banyak aspek yang belum dikaji dan perlu mendapat perhatian penuh, seperti halnya kajiankajian lainnya yang ada dalam Kidung Jerum Kundangdya ini.
DAFTAR PUSTAKA Agastya, IB.G, dkk. Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar: PT. Pustaka Manikgeni. Ali, H.A. Mukti. 1988. Agama-agama dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Ambara, I Gusti Ngurah Putu. 1989. Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Anandamurti, Shrii Shrii. 2008. Tantra Jalan Pembebasan Volume 1. Denpasar: Penerbit Ananda Marga Indonesia Antono, Billy. 2008. Kahlil Gibran. Romantic Voices. Yogyakarta: Mejor Books. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: PT. Golden Trayon Press. Armando, Ade, dkk. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia. Arwati, Ni Made Sri. 2003. Hari Raya Tumpek. Denpasar: PT. Usada Sastra. Atmaja, Jiwa. 1982. Priangan Si Jelita Sebuah Telaah. Bandung: Penerbit Angkasa. Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia. Darmita, Ida Pandita Mpu Siwa-Buddha Dhaksa. 2011. Filsafat Rsigana Penciptaan Dunia-Alam Semesta. Denpasar: Pustaka Bali Post. Eaton, Marcia Muelder. 2009. Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta: Salemba Humanika. Effendi, Irmansyah. 2001. Kundalini Teknik Efektif untuk Membangkitkan, Membersihkan, dan Memurnikan Kekuatan Luar Biasa dalam Diri Anda. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Esten, Prof.Dr.Mursal. 1992. Memahami Puisi. Bandung: Penerbit Angkasa. Faruk. 2010. Pengiring Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernise. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Jendra, Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksha di Zaman Kali. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kutha-Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kutha-Ratna. 2006. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maswinara, I Wayan. 1999. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita. Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia; Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Prasejarah—Abad XVI).Yogyakarta: Mitra Abadi. Nala, Gusti Ngurah dan IGK Adia Wiratmadja. 2012. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra. Nantra, I Ketut dan I Made Atmaja. 2008. Nawa Sangga Tirthayatra Menyerap Prana Suci Kahyangan. Surabaya: Penerbit Paramita. Panuti-Sudjiman dan Aart van Zoest (ed). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Penyusun. 1985/1986. Kidung Jerum Kundangdya. Bali: Percetakan Naskah Sastra Bali Plato. 1986. Simposium Dialog Sokrates Tentang Hakekat Cinta. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Punyatmaja, IB. 1992. Panca Çradha. Jakarta: Penerbit Yayasan Dharma Sarathi. Pusat Bahasa. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka. Putra, Ida Bagus Rai, dkk. 2013. Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma Parisada Hindu Dharma Indonesia. PT. Mabhakti. Putra. - .Cudamani III kumpulan kuliah kuliah agama Hindu Bhakti Marga Cinta Kasih dan Penyerahan Diri Kepada Tuhan. - . R. Soekmono. 1985. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius. Ra, Anadas. 2008. Evolusi melalui Reinkarnasi dan Karma dari Tuhan kembali kepada Tuhan. Surabaya: Penerbit Paramita. Riffatere, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. S. Wojowasito. 1952. Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Jilid II. Jakarta: Siliwangi. Santosa, Puji. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Penerbit Angkasa. Shipley, Joseph T. 1957. Dictionary of World Origins. Ames, Lowa: Littlefield, Adams & Co. Singh, Dharam Vir. 2007. Hinduisme Sebuah Pengantar. Surabaya: Penerbit Paramita. Slametmuljana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung-Jakarta: N.V.Ganaco.
Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suamba, I.B.Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar: PT. Mahabhakti. Suamba, I.B.Putu. 2013. Pemikiran-Pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus Sugriwa. Badung: Makalah dalam Rembug Sastra Memperingati 36 Tahun Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa. Suarjana, I Nyoman Putra. 2011. Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali dalam Dharma Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama. Suarka, I Nyoman, dkk . 2005. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan. Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudarsana, I.B.Putu. 2001. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sukayana, I Nengah dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Sukesi-Adiwimarta, Sri. 1999. "Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)", Antologi Sastra Daerah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sukidin, dkk. 2003. Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia. Sumardjo, Trisno. 2000. “Seni sebagai Tanggung Djawab” dalam Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, hal. 467 (Penyusun E. Ulrich Kratz). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa. Suwija, I Nyoman. 2012. Widia Sari. Denpasar: Sri Rama. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengiring Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka. Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengiring Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Tim Penyusun Buku-buku Agama Hindu. 1992. Arti dan Fungsi Sarana Upakara. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali. Tim Penyusun. 1999. Śiwatattwa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali. Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Titib, I Made. 2004. Purāna Sumber Ajaran Hindu Komprehensip. Surabaya: Penerbit Paramita. Udayana, I Dewa Gede Alit. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar: Pustaka Bali Post. Watra, I Wayan. 2006. Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita. Wiana, I K. 2004. Mengapa Bali disebut Bali? Cet. I. Surabaya: Paramita. Wiana, I K. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita. Wicaksana, I Dewa Ketut dan Ni Komang Sekar Marheni. 2004. Buku Ajar Tembang Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan Nasional Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2004. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Penerbit Paramita. Yudiantara, Kadek. 2001. Bayu Agung Rahasia Kekuatan Dasa Bayu dan Energi Bhuvana Agung. Surabaya: Penerbit Paramita. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan II. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.