eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 221-230 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
HAMBATAN IMPLEMENTASI QATAR NATIONAL VISION 2030 (STUDI KASUS: QATAR CARBON FOOTPRINT 2008-2012) Ditha Dwi Hapsari1 NIM.1002045102
Abstract There are two purposes of this paper are, firstly, to identify the obstacles of Qatar National Vision 2030 Policy Implementation that impacts the increase of carbon footprint, and the secondly to analize the respons from government of Qatar in reducing these obstacles. This paper using qualitative research method, with descriptive analytic, which describe the factors that caused obstacle in Qatar National Vision 2030 Policy Implementation and then try to analize the respons and effort of Qatar Government in reducing that factor. The data shows that there were several obstacles in QNV2030 Implementation. On internal sector (1) Geographical Conditions, (2) The difference of Qatar economy system and QNV programs, (3) Social System, (4) Insufficient commitment period, (5) Lack of Communication and Coordination in Conservation Program. The external factor caused by (1) The existences of Joint Venture, (2) Prestige and Qatar carrier orientation in International Cooperation, (3) Qatar position in OPEC. In respons the obstacles, there were several Government efforts. On internal effort (1) Enhance society awareness through environtmental campaign, (2) Establish the Research Centre, (3) Maximilize eco-system, (4)Prioritizing Non-hidrocarbon sectors, (5)Establish Green Building, (6)Advance Mass Transit Option,(7) Establish the Environtmental Assesment. The external effort was negotiate in recently meeting of UNFCCC CoP-18 that held in Doha.
Keywords : Qatar National Vision 2030 Implementation, Internal and External obstacles, Qatar Carbonfootprint
Pendahuluan Era globalisasi merupakan masa ketika aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia dengan cara mengolah sumber daya alam secara maksimal. Pengolahan tersebut juga didukung dengan adanya teknologi yang canggih dan inovatif serta modernnya peralatan yang digunakan. Pengolahan sumber daya alam yang maksimal seperti pembukaan lahan, deforestasi hutan, bahkan eksploitasi dan eksplorasi yang dilakukan dalam skala yang besar seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Email :
[email protected]
eJournalIlmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1) : 221-230
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, tidak hanya dilakukan oleh manusia saja, bahkan sebuah negara terkadang melakukan eksploitasi sumber daya yang dimilikinya. Adapun bentuk eksploitasi lingkungan yang dilakukan adalah melalui sistem ekonomi yang diterapkannya. Adapun sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem yang mengupayakan pemenuhan kebutuhan ekonomi melalui industrialisasi, sedangkan industri merupakan kontributor emisi gas rumah kaca dan pengguna energi tinggi yang membahayakan lingkungan melalui polusi yang dihasilkannya. Timbulnya fenomena global akibat terus meningkatnya penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca menimbulkan pemanasan global, membuat para pakar mencari solusi utuk mengurangi pemanasan tersebut. Adapun solusi yang dihasilkan adalan melakukan pembahasan mengenai isu lingkungan, yang dimulai pada Konferensi Bern tahun 1971, KTT Earth Summit Rio de Jenairo tahun 1992. Dalam KTT Earth Summit, dihasilkan sebuah solusi berupa kerangka kerja UNFCCC, bahwa untuk mengurangi kerusakan lingkungan maka harus menstabilkan jumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer dengan cara pembatasan penggunaan energi. Berkaitan dengan hal ini, UNFCCC pun memberikan mekanisme pembangunan negara yang dapat menghemat energi yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih/ CDM (Clean Development Mechanism) yang mengacu pada Protokol Kyoto, untuk diimplementasikan negara- negara yang meratifikasi Protokol ini. Mengingat semakin banyaknya kerusakan lingkungan dan fenomena global yang, banyak negara yang meratifikasi Protokol ini sebagai sebuah langkah bersama untuk menjaga lingkungan. Adapun negara- negara yang meratifikasi Protokol tersebut dikategorikan menjadi dua, yakni Annex I parties (negara maju) dan Non-Annex I parties (negara berkembang). Adapun negara- negara peratifikasi ini, harus menurunkan penggunaan energi dan hasil emisi gas rumah kaca sebesar 5 persen dalam periode 5 tahun yakni tahun 2008 hingga tahun 2012. Dalam kategori Non Annex I Parties, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang menunjukkan peningkatan penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca yang tidak hanya dihasilkan dari segi industri saja, namun juga dari segi pembangunan negara-negara di kawasan ini. Adapun negara sebagai kontirbutor emisi gas rumah kaca dan pengguna energi tertinggi dalam kawasan ini adalah Qatar, yang kemudian disusul oleh Kuwait dan Bahrain. Qatar merupakan salah satu emirat di kawasan Timur Tengah. Adapun sistem pemerintahan negara ini adalah monarki konstitusional yang dipimpin oleh Yang Mulia Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani. Sistem ekonomi yang dianut negara ini adalah sistem ekonomi kapitalis, yang membuat industri menjadi prioritas utama negara dan menjadi satu indikator/ tolak ukur pembangunan di negara ini. Menanggapi tingginya penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya, Qatar pun meratifikasi Protokol Kyoto di tahun 2005 sebagai
222
Hambatan Implementasi QNV 2030 (Ditha Dwi H)
bentuk tanggung jawabnya untuk bersama- sama menjaga lingkungan. Adapun sebagai bentuk komitmennta pada Protokol tersebut, maka Qatar mengeluarkan kebijakan nasional sesuai mekanisme pembangunan UNFCCC untuk mengatur dan mensinergisasikan pembangunan terhadap lingkungan di negaranya, yang dikenal sebagai Qatar National Vision 2030. Qatar National Vision 2030 dikeluarkan oleh pemerintah Qatar pada tahun 2008. Kebijakan nasional ini berisi visi dan misi untuk menciptakan pembangunan negara yang komprehensif, harmonis, menyimpan persedian kebutuhan masa kini dan nanti, serta berkelanjutan sesuai dengan Protokol Kyoto. Qatar National Vision pun terdiri atas 4 pilar yakni Pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia), Pembangunan Sosial, Pembangunan Ekonomi, dan Pembangunan lingkungan. Sebagai kebijakan nasional yang diharapkan dapat mengurangi emisi GHG dan penggunaan energi ini, QNV 2030 ternyata masih belum mencapai target yang diharapkan. Setelah diimplemntasikannya QNV 2030, ternyata penggunaan energi dan emisi ghg bukannya semakin turun sebanyak 5 persen, melainkan semakin meningkat hingga akhir tahun periode jatuh tempo, yakni tahun 2012. Berkaitan dengan ketidakefektifan hasil yang diberikan QNV 2030 berupa peningkatan yang terus terjadi diatas lengkapnya program yang tersedia dalam pilarnya, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi QNV 2030 terhambat dalam prosesnya yang disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Kerangka pemikiran Peningkatan penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca merupakan dampak dari mekanisme pembangunan negara- negara yang cenderung menghasilkan emisi dalam aktivitasnya. (Anja Kollmuss dan Michael Lazarus: 2012: page 4748). Dalam menanggapi terjadinya beberapa fenomena global akibat aktivitas boros energi tersebut, maka diisyaratkan pengimplementasian sebuah mekanisme pembangunan yang dikenal mekanisme pembangunan bersih/ Clean Development Mechanism (CDM). Mekanisme Pembangunan bersih atau disebut juga Clean Development Mechanism adalah mekanisme pembangunan yang ramah lingkungan yang berlandaskan Protokol Kyoto. Daniel Murdiyarso menyebutkan bahwa CDM merupakan konsep perjanjian yang digunakan oleh PBB untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat tertentu agar tidak membahayakan sistem iklim bumi dan menjadi kerangka dasar United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (Daniel Murdiyarso: 2007: page 3). Konsep CDM ini merupakan gabungan dari konsep periode komitmen dan konsep Sustainable Development yang dijadikan sebagai kerangka dasar kerjasama Internasional dengan tujuan mencapai kesetaraan, mencapai pembangunan berkelanjutan, mekanisme yang mudah diaplikasikan di beberapa negara serta dan berbasis pasar.
223
eJournalIlmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1) : 221-230
Adanya pilihan sebuah negara u ntuk memberlakukan sebuah mekanisme pembangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan, tentu membawa dua konsekuensi yakni hasil yang efektif dan tidak efektif. Adapun dua konsekuensi tersebut dapat dilihat dengan menganalisis kebijakan yang dijalankan. Menganalisis sebuah kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan persoalan bagaimana implementasi/ pelaksanaan kebijakan yang meliputi semua komponen yang mendukung berdirinya sebuah negara. Dalam melihat proses implementasi ini, dapat dilihat melalui 3 sudut pandang, yaitu pemrakarsa kebijakan (the center), pejabat- pejabat pelaksana di lapangan (the periphery), aktor- aktor perorangan diluar badan- badan pemerintah kepada siapa program pemerintahan ini ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group). Tiga sudut pandang ini digunakan untuk melihat tindakan, pelaksanaan, serta upaya dalam menanggulangi hambatan-hambatan yang muncul di wilayah tersebut.(Solichin Abdul Wahab: 2008: page 64) Hambatan yang seringkali terjadi adalah kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pembuat kebijakan, Andrew Dunsire mengistilahkannya “Implementation Gap”.(Solichin Abdul Wahab: 2008: page 61.Hambatan seperti itu disebut sebagai masalah kebijakan. Adapun William N. Dunn membagi masalah kebijakan tersebut menjadi beberapa hal: 1. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan 2. Masalah VS isu-isu publik. (Ritchie P. Lowry: 1974: Page 23-25) Sementara itu Lewis A.Gunn menjelaskan ada 10 hal yang menyebabkan implementasi sulit dilaksanakan: 1. Situasi diluar agen implementasi tidak menimbulkan pembatasan yang melumpuhkan. 2. Waktu yang cukup dan sumber daya yang memadai harus tersedia untuk program. 3. Tidak ada batasan dalam sumber daya secara keseluruhan, dan juga setiap tahap dalam proses implementasi membutuhkan kombinasi sumber daya yang tersedia. 4. Kebijakan yang akan diimplementasi didasarkan pada teori sebab-akibat yang valid. 5. Hubungan antara sebab dan akibat adalah bersifat langsung dan hanya sedikit, jika ada, hubungan yang mengganggu. 6. Ada satu agen implementasi yang tidak selalu tergantung kepada agen lain agar bisa sukses. Jika agen lain harus dilibatkan, hubungan ketergantungan itu minimal 7. Ada pemahaman penuh dan kesepakatan mengenai tujuan yang hendak diraih dan kondisi ini harus ada di seluruh proses implementasi. 8. Dalam rangka mencapai tujuan yang disepakati adalah mungkin untuk menspesifikasikan secara rinci dan komplet, tugas- tugas yang harus dilakukan oleh setiap partisipan
224
Hambatan Implementasi QNV 2030 (Ditha Dwi H)
9. Ada komunikasi dan koordinasi sempurna diantara beragam elemen/ agen yang terlibat dalam program 10. Pihak yang berkuasa dapat meminta dan menuntut ketaatan yang sempurna. (Wayne Parsons: 2005: page 467) Dari beberapa faktor penghambat diatas, dapat dijadikan sebagai alat untuk menganalisis kebijakan yang sedang dijalankan . Dari 12 poin tersebut akan ditemukan mengapa dalam pelaksanaan programnnya, kebijakan Qatar National vision 2030 mengalami hambatan, dan pada akhirnya dibutuhkan berbagai upaya pemerintah untuk mengatasinya. Pembahasan Qatar National Vision 2030 (QNV 2030) merupakan kerangka kerja atau pelaksanaan strategi pembangunan nasional Qatar, yang terdiri atas kebutuhan jangka panjang dan beberapa target yang ingin dicapai.(QNV 2030 Document pdf, dalam http://gsdp.gov.qa/portal/page/portal/gsdp). Strategi pembanguan yang dibentuk oleh Sheikh Tamim Al-Thani ini berlandaskan pada Permanent Constitution ( Konstitusi Permanen) Adapun QNV 2030 berperan menjembatani pengarahan kepemimpinan politik dalam menciptakan ci.ptakan keseimbangan kebutuhan masa kini dan nanti, yang adil untuk ekonomi dan sosial serta adil untuk manusia dan juga alam. Qatar National Vision 2030 terdiri atas empat pilar utama, yakni Human Deveopment ( pembangunan sumber Daya Manusia), Economic Development (Pembangunan ekonomi), Social Development (Pembangunan sosial), dan Environmental Development (Pembangunan Lingkungan). Dalam pilar pembangunan SDM, terdapat 3 program kerja yaitu manajemen ekonomi, tanggung jawab dalam eksploitasi sektor hidrokarbon (minyak bumi dan gas alam), dan diversifikasi ekonomi yang sesuai. Dalam pilar ekonomi, terdapat 3 program kerja yakni pendidikan masyarakat, kesehatan masyarakat, dan tenaga kerja yang berkualitas. Dalam pilar pembangunan sosial, terdapat 3 program kerja yakni perlindungan dan jaminan sosial, struktur sosial, dan kerjasama Internasional. Dalam pilar terakhir, yaitu pilar pembangunan lingkungan hanya terdapat satu program kerja yaitu keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan melindungi lingkungan. Tidak efektifnya hasil kebijakan Qatar National Vision 2030 berupa masih tingginya penggunaan energi dan hasil emisi gas rumah kaca di tahun 2008- 2012 sedangkan program QNV 2030 yang tersedia telah terstruktur dan spesifik, disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, baik bersifat internal maupun eksternal. Hambatan Internal Adapun faktor internal yang menghambat implementasi QNV 2030 yakni faktor kondisi geografis yang didominasi oleh padang pasir, sehingga dibutuhkannya peenggunaan AC (Air Conditioner) selama 24 jam karena suhu panas yang sangat
225
eJournalIlmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1) : 221-230
ekstrim. Selain penggunaan AC, Qatar juga menggunakan desalinator untuk proses desalinasi atau menyaring air laut menjadi air bersih, karena kondisi geografisnya yang tidak menyediakan air tawar untuk dikonsumsi. Adanya freon yang dihasilkan AC dan energi yang digunakan untuk mengoperasikan desalinator tersebut, menjadi satu hal yang sulit dikurangi karena merupakan kebutuhan utama masyarakat Qatar. Faktor penghambat selanjutnya adalah perbedaan sistem ekonomi dengan program QNV 2030. Sistem ekonomi Qatar yang berupa sistem ekonomi kapitalis, mempriotaskan dan menjadikan industri sebagai produk utama negara dan bergerak dalam sumber daya yang tersedia, yakni hidrokarbon. Hal tersebut tentu bertentangan dengan mekanisme pembangunan dalam program QNV yang dianjurkan Protokol Kyoto, bahwa untuk mencapai target kesepakatan, harus dilakukan pembatasan penggunaan energi terutama pada sektor yang menghasilkan karbon tinggi terutama industri. Selain itu, faktor penghambat juga terdapat dalam sistem sosial masyarakat Qatar. Masyarakat Qatar cenderung memiliki gaya hidup yang konsumtif dan cenderung merusak lingkungan, seperi jarangnya penggunaan kendaraan umum yang bisa menghemat polusi yang dihasilkan, menggunakan AC secara non-stop dan menggunakan air bersih dalam jumlah besar. Selain itu, sistem sosial di Qatar juga mengedepankan sistem keluarga dalam basis utama masyarakat (Rezim Family Base), sehingga kebijakan yang menguntungkan negara selama ini- pengembangan industri- akan terus diturunkan pada pemimpin penerus keluarga emir/ dinasti penerus, walaupun cenderung merusak lingkungan, karena dianggap membawa keberhasilan sejak lama. Waktu periode komitmen yang relatif singkat juga menjadi faktor penghambat keberhasilan implementasi QNV 2030, karena jangka waktu yang jatuh selama 5 tahun ini, sulit diimplementasikan oleh negara- negara Non-annex I seperti Qatar. Adapun kesulitan tersebut terletak pada diharuskannya terjadi penurunan energi dan emisi gas rumah kaca dalam angka 5% dalam waktu yang singkat dengan cara mereduksi industri yang menggunakan energi tinggi, sedangkan industri merupakan pendapatan utama negara- negara yang tergolong dalam kelompok negara tersebut. Peningkatan ekonomi melalui bidang indsutri hidrokarbon tentu memiliki dampak terhadap lingkungan, namun hal tersebut dapat diminimalisir dengan diadakannya konservasi. Namun sangat disayangkan, Konservasi di Qatar seringkali mengalami kerusakan data seperti “out of date”, “unknown’, dan “no data” dalam proses pengumpulan data spesies dari Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Arab Saudi oleh Badan World Conservation Union. Selain kerusakan data, bahkan pedoman konservasi di Qatar tidak tersedia dalam bahasa Internasional, sedangkan di Qatar terdapat banyak sekali perusahaan- perusahaan yang harus turut serta melakukan konservasi. Apabila terdapat bahasa Internasional, maka tata letak konservasi akan lebih mudah dimengerti dan dipahami, sehingga konservasi yang dijalankan bersama negara lain pun dapat berjalan secara maksimal. Hambatan Eksternal
226
Hambatan Implementasi QNV 2030 (Ditha Dwi H)
Beberapa faktor eksternal yang menghambat implementasi QNV 2030 adalah adanya Joint Venture dalam industri hidrokarbon Qatar yang merupakan penanaman saham untuk kepemilikan bersama perusahaan. Dikatakan menjadi faktor penghambat karena membuat sebuah pertimbangan pemerintah dalam mengimplementasikan QNV 2030 yang mengindikasikan pengurangan jumlah industri. Apabila pemerintah mengurangi industri, atau melakukan hal yang mengancam kesepakatan dalam penanaman saham ini akan berpengaruh pada pendapatan finansial, dan imagenya sebagai trading partner. Adapun di sisi lainnya yaitu bagaimana tetap menjaga lingkungan agar tidak rusak dengan adanya ekspansi di bidang ekonomi ini. Penghambatdari faktor eksternal selanjutnya yakni adanya prestise dan orientasi Qatar dalam kerjasama Internasional seperti OPEC (Organization Petroleum Exporting Countries) , Liga Arab, GCC (Gulf Countries Cooperation) dan OIC (Organization Islamic Conference). Adanya orientasi Qatar menjaga karir dan posisi pentingnya tersebut Qatar harus melakukan perluasan industri dan lakukan eksplorasi besar- besaran dalam sektor hidrokarbon. Selain itu, untuk menjaga prestisenya tersebut maka pemerintah membangun infrastruktur, fasilitas publik terefisien di dunia untuk mempermudah berinterkasi dengan negara lain, walaupun adanya pembangunan itu semua, mengancam lingkungan. Selain itu, posisi Qatar dalam OPEC juga menjadi salah satu hambatan. Mekanisme pembangunan yang diisyaratkan Protokol Kyoto menimbulkan perdebatan dalam negara peratifikasi yang merupakan anggota OPEC, karena dianggap mekanisme tersebut akan merugikan negara pengekspor minyak bumi dan gas alam ini. Adanya perdebatan ini tentu menjadi kesulitan bagi Qatar, karena apabila mengikuti isyarat Protokol tersebut, lingkungannya akan aman, namun ia mengalami kerugian serta posisi dominannya dalam kenaggotaan OPEC akan terancam karena dianggap tidak menunjukkan loyalitasnya dalam kerjasama tersebut. Menanggapi berbagai hambatan yang menyebabkan tidak berjalannya QNV 2030 secara efektif, maka pemerintah Qatar pun melakukan berbagai upaya yang diharapkan dapat mengatasinya.
Upaya Internal Adapun beberapa upaya internal yang dilakukan pemerintah yakni melakukan peningkatan kesadaran masyarakat sejak dini melalui kampaye ramah lingkungan (Student’s Environtmental Awareness) yang dilakukan bersama dewan pendidikan bahkan kegiatan ramah lingkungan ini dimasukkan menjadi kurikulum pendidikan. Menurut penulis, kampanye ramah lingkungan ini, merupakan sebuah langkah yang tepat sasaran, yaitu para generasi muda yang merupakan generasi penerus, dan media yang digunakan adalah media pendidikan sehingga secara langsung ataupun tidak, akan tertanam menjadi sebuah ilmu di masyarakat Qatar. Selain itu, pemerintah Qatar mendirikan pusat penelitian yang dikenal Qatar Technology & Science Park (QTSP). Dengan didirikannya pusat penelitian ini, maka tersedia sarana-sarana bagi para peneliti unturk melakukan observasi dan mencari solusi alternatif dalam mencapai pembangunan lingkungan yang berkelanjutan. Selain itu pemerintah juga berupaya untuk maksimalkan Eco-
227
eJournalIlmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1) : 221-230
system/ teknologi ramah lingkungan. Upaya ini dilakukan pemerintah agar memudahkan kehidupan masyarakat Qatar tanpa merusak atau memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, dan diharapkan dapat membantu mengurangi polutan/ emisi gas rumah kaca, dapat membantu menggunakan sumber daya alam dengan berimbang dan dan membantu memberikan penanganan yang tepat terhadap limbah- limbah industri. Upaya yang selanjutnya dilakukan pemerintah ialah memprioritaskan sektor nonhidrokarbon seperti peningkatan sektor pariwisata, sektor manufaktur, infrastrktur dan bisnis retail untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya hidrokarbon yang semakin lama jumlahnya semakin berkurang. Selain itu untuk menanggapi peningkatan polusi akibat kendaraan, maka pemerintah memberikan solusi alternatif berupa dibuatnya kendaraan umum yang efisien dan mencakup seluruh area Qatar yakni Mass Transit Option. Begitu pula dalam menanggapi terus meningkatnya pembangunan infrastruktur, dalam hal ini pemerintah mengeluarkan sebuah standar pembangunan/ infrastruktur hijau, yang dikenal The Qatar Sustainability Assesment System. Pemerintah juga mendirikan lembaga lingkungan yang dikenal The Environmental Impact Assesment. Lembaga lingkungan yang diawasi langsung oleh Supreme Council for Environmental and Natural Resources ini melakukan perlindungan maksimal terhadap lingkungan dengan cara menguji kelayakan industri yang akan dijalankan, sehingga dapat meminimalisir dan mengantisipasi kerusakan- kerusakan yang akan terjadi. Upaya Eksternal Selain itu, pemerintah Qatar juga mengadakan negosiasi dan diplomasi dalam pertemuan UNFCCC CoP 18 di Doha pada tahun 2012. Adapun hasil pertemuan tersebut adalah adanya perpanjangan waktu periode dari 5 tahun, kini diperpanjang menjadi 8 tahun. Selain itu, bagi negara- negara kawasan Timur Tengah dapat memberikan laporan penggunaan energi secara berkala, untuk sementara waktu mencari diverisifikasi ekonomi yang lebih sesuai, serta pemberlakuan kembali 3 mekanisme pembangunan, yakni CDM, Emission Trading, dan Joint Implementation, yang diharapkan dapat lebih sesuai untuk diimplementasikan negara Non-Annex I. Kesimpulan Tingginya penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Qatar pada periode 2008-2012 tanpa adanya penurunan sebesar 5%, menunjukan bahwa kebijakan Qatar National Vision 2030 tidak memberikan hasil yang efektif dan dapat dikatakan bahwa kebijakan ini terhambat. Adapun hambatan yang mempengaruhi implementasi QNV 2030 disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kondisi geografis, perbedaan sistem ekonomi dengan program QNV 2030, sistem sosial Qatar, waktu periode komitmen yang kurang mencukupi, dan kurangnya koordinasi komunikasi dalam konservasi lingkungan. Sedangkan Faktor eksternal meliputi adanya Joint Venture/ penanaman saham oleh perusahaan luar negeri dalam industri sumberdaya hidrokarbon di Qatar, adanya prestise dan orientasi karir
228
Hambatan Implementasi QNV 2030 (Ditha Dwi H)
Qatar dalam kerjasama Internasional seperti OPEC (Organization Petroleum Exporting Countries) , Liga Arab, GCC (Gulf Countries Cooperation) dan OIC (Organization Islamic Conference), serta posisi Qatar dalam keanggotaan OPEC. Berdasarkan hambatan- hambatan tersebut, maka pemerintah Qatar pun melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya faktor penghambat dari segi internal yakni dengan melakukan kampanye ramah lingkungan yang bersama dengan dewan pendidikan, membangun pusat penelitian teknologi dan sains terbesar yang menjadi poros penelitian di Timur Tengah, memaksimalkan ecosystem/ teknologi ramah lingkungan, memprioritaskan sektor non-hidrokarbon dalam perekonomian negara, dan mendirikan lembaga lingkungan. Selain mengatasi faktor penghambat internal, pemerintah juga mengupayakan segi eksternal yakni dengan melakukan negosiasi dalam pertemuan UNFCCC (CoP18) Doha, untuk mendapatkan perpanjangan waktu dan mencari diversifikasi ekonomi dan mekanisme pembangunan yang lebih sesuai bagi negara Non-Annex I. Daftar Pustaka Buku Kollmus, Anja dan Lazarus Michael, Handbook of Carbon Offset Programs: Trading System, Funds, Protocol and Standards, Washington DC, Earthscan, 2012 Mudiyarso, Daniel, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Seri Perubahan Iklim, Edisi Ketiga. Penerbit Buku Kompas, 2007 Parsons, Wayne, Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta : Kencana, 2005. P. Lowry, Ritchie, Social Problem: A Critical Analysis of Theories and Public Policy, Lexington MA: D.C, Heath Company, 1974. Solichin, Abdul Wahab, Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan negara. Jakarta: Bumi Aksara , 2008. Internet “CO2 Emissions per capita” http://data.worldbank.org/indicator/EN.ATM.CO2E.PC/countries?display =default diakses pada 9 Desember 2012 “Fossil-Fuel CO2 Emissions from The Middle East” http://cdiac.ornl.gov/trends/emis_mde.html diakses pada 24 Juni 2013 “Kyoto Protocol” http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php diakses pada 11 November 2012 “Pillars Of Qatar National Vision” terdapat pada http://gsdp.gov.qa/portal/page/portal/gsdp “Minister External Affairs of Qatar: Oil and Gas” http://english.mofa.gov.qa/details.cfm?id=15 diakses pada 8 November 2012 “Qatar A Country at a crossroad-COP 18” hal. 8 tersedia pada http://www.cop18.qa/Portals/0/QATAR_RAND_V5_261112.pdf diakses pada 12 Juni 2013
229
eJournalIlmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1) : 221-230
Ibrahim dan Frank Harrigan.Qatar’s Economy: Past, present, and future.Qatar. Qsience Connect.pdf.2012. hal 3 dapat diakses pada http://prod.gsdp.gov.qa/portal/page/portal/gsdp_en/knowledge_center/Tab 2/Qatar%20economy20%past20%present20%and20%future.pdf “GDP world (current US$” http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD diakses pada 29 Juni 2013 Union of Concerned Scientiest.“Global Warming”, dapat dilihat pada http://www.ucusa.org/global_warming/science_and_impacts/impacts/ diakses pada 25 November 2012
230