HAMA TANAMAN BELIMBING DAN DINAMIKA POPULASI LALAT BUAH PADA PERTANAMAN BELIMBING DI WILAYAH KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR
WILDAN MUHLISON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hama Tanaman Belimbing dan Dinamika Populasi Lalat Buah pada Pertanaman Belimbing di Wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016
Wildan Muhlison NIM A351130081
RINGKASAN WILDAN MUHLISON. Hama Tanaman Belimbing dan Dinamika Populasi Lalat Buah pada Pertanaman Belimbing di Wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO dan PUDJIANTO. Hama merupakan permasalah utama dalam budidaya belimbing yang menyebabkan produksi menurun. Lalat buah telah dilaporkan sebagai hama utama buah belimbing di dunia. Terdapat informasi yang terbatas mengenai jenis hama, intensitas kerusakan serangan hama, dinamika populasi, dan serangan lalat buah di Kabupaten Blitar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 – Mei 2015 untuk mempelajari jenis hama belimbing, intensitas kerusakan, dinamika populasi lalat buah dan serangan lalat buah berdasarkan umur buah belimbing.Pengamatan hama dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 di empat lokasi pada tiap desa. Data dikumpulkan dengan cara mengamati jenis hama, gejala serangan, kepadatan hama, dan intensitas kerusakan dari cabang, daun, bunga dan buah. Dinamika populasi diamati dengan memelihara buah belimbing yang terserang lalat buah. Pengamatan dilakukan pada dua perode, yaitu periode bulan kering (September – November 2014) dan perode bulan basah (Desember 2014 – Februari 2015). Sepuluh buah yang terserang diambil 14 hari sekali dari setiap lokasi pada setiap perode. Buah-buah tersebut dipelihara sampai imago lalat buah dan parasitoid muncul, kemudian diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Pengamatan serangan lalat buah dilakukan di tiga lokasi pada bulan Maret – April 2015. Setiap tahap perkembangan buah diberikan perlakuan pembungkusan. Perlakuan waktu pembungkusan berdasarkan hari terbentuknya buah (HTB), yaitu 1) kontrol (tanpa pembungkusan); 2) 7 HTB; 3) 14 HTB; 4) 21 HTB; 5) 28 HTB; 6) 35 HTB; dan 7) 42 HTB dengan tiga ulangan pada setiap lokasi. Hama yang teridentifikasi pada daun adalah Pteroma plagiophleps, pada cabang adalah Zeuzera coffeae, pada bunga yaitu Diacrotricha fasciola, Toxoptera aurantii, Maconellicoccus hirsutus, dan Thrips javanicus, pada buah yaitu Toxoptera aurantii, Maconellicoccus hirsutus, Thrips javanicus, Helopeltis bradyi, Cryptophlebia leucotreta, Bactrocera dorsalis, dan Bactrocera carambolae. M. hirsutus mempunyai kepadatan populasi tertingi di Desa Karangsono. Intensitas kerusakan tertinggi yang diakibatkan oleh Bactrocera spp., C. leucotreta, dan H. bradyi terjadi di Desa Gogodeso, sedangkan T. javanicus terjadi di Desa Pojok. Populasi lalat buah di Desa Pojok lebih rendah dibandingkan dua desa lainnya, sedangkan antara periode bulan kering dan basah tidak berbeda nyata. Imago lalat buah yang muncul pada periode bulan kering lebih tinggi dibandingkan dengan basah. Dinamika populasi lalat buah dipengaruhi oleh sanitasi buah dan parasitoid. Kelimpahan lalat buah rendah pada lokasi dengan sanitasi buah. Parasitoid dapat menekan populasi lalat buah lebih tinggi pada periode bulan basah dibandingkan kering. Serangan awal lalat buah terjadi pada buah berumur 14 HTB, sedangkan serangan tertinggi pada 21 HTB. Intensitas kerusakan buah belimbing berkisar 22.22 – 100%. Kepadatan populasi lalat buah dan parasitisasi semakin tinggi dengan berkembangnya umur buah. Kata kunci: dinamika populasi, lalat buah, hama belimbing, serangan lalat buah
iii
SUMMARY WILDAN MUHLISON. Pests of Star fruit and Population Dynamics of Fruit Fly in Star fruit Plantation in Blitar District, East Java. Supervised by HERMANU TRIWIDODO and PUDJIANTO. Pest is a major problem of star fruit cultivation that causes production of star fruit decrease. Fruit fly has been reported as a major pest of star fruit in the world. There were limited information related pest species, damage intensity, population dynamics of fruit flies and fruit flies attacked in Blitar district. This research was conducted in August 2014 – May 2015 to study the pest species of star fruit, damage intensity, observe the population dynamics of fruit flies and the attack of fruit flies based on age of star fruit. Observations of the pests was conducted on August 2014 in four location from each villages. The data were collected by observe pest species, attack symptomps, pests density and damage intensity from branch, twig, leaves, flowers and fruit. The population dynamics of fruit flies were observed by rearing damaged star fruit. Observation was conducted in two period, dry months period (September – November 2014) and wet months period (December 2014 – February 2015). Ten fruit was taken 14 days from each location on each period. This fruits was reared until fruit fly and parasitoid adult emerged. The data were collected by identify and count fruit flies and parasitoid amount. Observations of fruit flies attacked was done in three locations on March – April 2015. Each stage of the fruit development was given a bagging treatment. Treatment of bagging time based on days of fruit formed (HTB), 1) control (without bagging); 2) 7 HTB; 3) 14 HTB; 4) 21 HTB; 5) 28 HTB; 6) 35 HTB; 7) 42 HTB with three repetition in each location. Pest was identified on the leaf was Pteroma plagiophleps, on the branch was Zeuzera coffeae, on the flower were Diacrotricha fasciola, Toxoptera aurantii, Maconellicoccus hirsutus, and Thrips javanicus, on the fruit were Toxoptera aurantii, Maconellicoccus hirsutus, Thrips javanicus, Helopeltis bradyi, Cryptophlebia leucotreta, Bactrocera dorsalis, and Bactrocera carambolae. M. hirsutus have the highest population density in Karangsono. The highest damage intensity was caused by Bactrocera spp., C. leucotreta and H. bradyi occured in Gogodeso whereas T. javanicus occured in Pojok. The population of fruit flies in pojok was lower than other villages, whereas between dry and wet months period were not significantly different. Adult emerged in dry months period was lower than wet months period. The population dynamics of fruit flies in Blitar district was influenced by fruit sanitation and parasitoid. Abundance of fruit flies was low on locations that have fruit sanitation. Parasitoid could controlled the population of fruit flies in wet months period which was higher than dry months period. The initial time attack of fruit flies occured on 14 HTB, whereas the highest attack occured on 21 HTB. Damage intensity of star fruit ranged from 22.22 – 100%. Density fruit flies and parasitization become more high with development of fruit age. Key words: fruit flies, fruit flies attacked, pests of star fruit, population dynamics.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HAMA TANAMAN BELIMBING DAN DINAMIKA POPULASI LALAT BUAH PADA PERTANAMAN BELIMBING DI WILAYAH KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR
WILDAN MUHLISON
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Prgram Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir I Wayan Winasa, MS
Judul Tesis : Hama Tanaman Belimbing dan Dinamika Populasi Lalat Buah pada Pertanaman Belimbing di Wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur Nama : Wildan Muhlison NIM : A351130081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc Ketua
Dr Ir Pudjianto, MSi Anggota
Diketahui oleh
Tanggal Ujian: 14 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian adalah Hama Tanaman Belimbing dan Dinamika Populasi Lalat Buah pada Pertanaman Belimbing di Wilayah Kabupaten Blitar yang dilksanakan pada Agustus 2014 – Mei 2015 di Kabupaten Blitar. Terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada 1. Bapak Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc dan Bapak Dr Ir Pudjianto, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penelitian baik berupa pemikiran, waktu dan tenaga serta memberikan nilainilai yang tidak saya dapatkan di bangku mata kuliah. 2. Bapak Dr Ir I Wayan Winasa, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan serta perbaikan pada penelitian dan naskah tesis saya. 3. Bapak Choirul Umam dan keluarga besar yang telah memberikan tempat, menyediakan sarana dan prasarana serta bantuan selama proses penelitian di Blitar. 4. Kedua orangtua saya Aminal Umam dan Mudji Hastuti yang selalu mendoakan dalam setiap hela nafas, yang selalu mengupayakan yang terbaik dan motivasi yang luar biasa sehingga saya mampu berjuang sampai akhir. 5. Istri tercinta Anisa Firuza Nurjanah yang telah banyak mendukung dan mendoakan yang terbaik serta pengertian yang luar biasa yang membuat saya tegar dan tetap berada dalam jalur yang tepat. 6. Kawan-kawan seperjuangan di medan perang, Rudi Tompson Hutasoit atas diskusi hangat selama ini, Aldila Rachmawati atas bantuan dalam diskusi dan perbaikan selama ini, Ichsan Luqmana, Ridwan Isnaeni, Badrus Soleh, Agung Permadi, Susilawati, Herni P, Joana, Ihsan Nurqomar, Evie Adriani, Papa Ricard dan rekan-rekan Entomologi 2013. 7. Teman sampai tua, Irwanto Sucipto, Rakhmad Hidayat, Muflich Rijal, Fendy Setiawan, Ridwan Isnaeni, Hardi Yuda, Romi Prasetyo, Galih Susianto dan Ahmad Hairullah yang tampak cuek namun selalu ada di saat yang tepat. 8. Sahabat dalam mengejar mimpi Caesar Radisyah dan Ralie Agriawan yang selalu memberi semangat dengan caranya yang elegan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan bisa diimplementasikan dalam praktik budidaya pertanian.
Bogor, Februari 2016
Wildan Muhlison
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Belimbing Hama Tanaman Belimbing Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae)
4 4 4 7
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Analisis Data
12 12 12 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Hama Tanaman Belimbing Kepadatan Populasi dan Intensitas Kerusakan Serangan Hama Dinamika Populasi Lalat Buah Serangan Lalat Buah pada Buah Belimbing Jenis Lalat Buah dan Parasitoid
16 16 17 24 25 28 31
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
35 35 35
6 DAFTAR PUSTAKA
36
7 LAMPIRAN
42
8 RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL 1 Kandungan gizi belimbing manis dalam 100 gram belimbing masak 2 Kondisi umum lokasi pertanaman belimbing di Kabupaten Blitar 3 Jenis hama dan bagian yang diserang pada tanaman belimbing di Kabupaten Blitar 4 Kepadatan populasi hama belimbing (per empat cabang utama) di tiga desa 5 Intensitas kerusakan serangan hama belimbing di tiga desa 6 Populasi total lalat buah, lalat buah yang muncul dan total parasitisasi lalat buah pada periode bulan kering dan basah di tiga desa 7 Jumlah buah yang terserang lalat buah berdasarkan umur hari terbentuk buah (HTB) 8 Intensitas kerusakan, kepadatan populasi imago lalat buah dan parasitoid (per buah) serta parasitisasi lalat buah berdasarkan perkembangan buah 9 Jenis dan kelimpahan lalat buah di tiga desa 10 Jenis dan kelimpahan parasitoid lalat buah di tiga desa
5 16 17 24 25 27 28
30 32 34
DAFTAR GAMBAR 1 Penentuan kuadran (K) setiap tanaman contoh berdasarkan arah mata angin 2 Unit contoh buah berumur 7 hari setelah pembentukan buah dengan panjang sekitar 2.5 cm 3 Gejala kerusakan dan P. plagiophleps, (a) daun dan (b) larva di dalam kantung 4 Gejala kerusakan dan Z. coffeae, (a) cabang dengan lubang gerekan dan (b) larva menggerek di dalam cabang 5 Gejala kerusakan dan D. fasciola, (a) bunga berlubang dan (b) larva instar awal; (c) larva instar akhir dan (d) imago 6 Gejala kerusakan dan T. aurantii, (a) dompolan bunga dan (b) buah muda; (c) panjang tubuh < 2 mm dan (d) kaudal dengan rambut 10 – 21 helai 7 Gejala kerusakan dan M. hirsutus, (a) dompolan bunga dan (b) pangkal buah; (c) antena 9 ruas dan (d) circulus pada ventral abdomen 8 Gejala kerusakan dan T. javanicus, (a) malformasi buah dan (b) permukaan kulit buah pecah; (c) imago T. javanicus dan (d) penampang sayap depan antara seta venasi pertama dan kedua 9 Gejala kerusakan dan H. bradyi, (a) nekrosis pada buah dan (b) imago 10 Gejala kerusakan dan C. leucotreta, (a) lubang gerekan pada buah dan (b) buah cacat fisik; (c) larva instar akhir dan (d) imago 11 Gejala serangan dan jenis Bactrocera spp. (a) bintik hitam bekas oviposisi; (b) B. carambolae dan (c) B. dorsalis 12 Populasi total lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan 13 Tingkat parasitisasi lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan
12 14 17 18 19
19 20
21 22 23 23 26 26
14 Gejala serangan lalat buah, (a) buah berumur 14 hari terbentuk buah dan (b) buah yang dipanen 15 Fenologi buah belimbing pada tiap waktu perkembangan buah 16 Lalat buah yang menyerang buah belimbing, (a) B. carambolae; (b) B. dorsalis dan (c) B. albistrigata 17 Kelimpahan relatif B. carambolae, B. dorsalis dan B. albistrigata 18 Parasitoid lalat buah (a) Fopius sp. betina (b) Fopius sp.jantan (c) Diachasmimorpha sp. betina (d) Diachasmimorpha sp. jantan 19 Kelimpahan relatif Fopius sp. dan Diachasmimorpha sp.
29 29 32 33 33 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Skema pembuatan wadah pemeliharaan buah dan lalat buah dari botol mineral bekas 1.5 L Data iklim (CH, HH, Suhu dan RH) Kabupaten Blitar ANOVA kepadatan populasi hama belimbing di tiga desa ANOVA intensitas kerusakan serangan hama belimbing di tiga desa ANOVA kepadatan lalat buah total (lalat buah + parasitoid) pada tiga desa di tiap periode bulan ANOVA kepadatan lalat buah yang muncul pada tiga desa di tiap periode bulan ANOVA tingkat parasitisasi lalat buah pada tiga desa di tiap periode bulan ANOVA jumlah lalat buah dan parasitoid pada setiap umur perkembangan buah
42 42 43 44 45 46 47 48
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu permasalahan dalam budidaya belimbing adalah hama. Keberadaan hama dapat memengaruhi secara langsung pada produksi dengan mengakibatkan kerusakan buah belimbing, dan dapat berperan secara tidak langsung dengan mengakibatkan kerusakan pada tanaman belimbing yang memengaruhi produksi buah belimbing.. DKP (2012) melaporkan bahwa hama yang menyerang tanaman belimbing, diantaranya adalah lalat buah (Diptera: Tephritidae), Thrips sp. (Thysanoptera: Thripidae), penggerek buah Chrytophlebia sp. (Lepidoptera: Tortricidae), penggerek bunga Diacrotricha sp. (Lepidoptera: Pterophoridae) dan Pteroma sp. (Lepidoptera: Psychidae). Pengamatan hama pada pertanaman belimbing di Kabupaten Blitar belum pernah dilaporkan, sehingga perlu dilakukan untuk memperoleh data mengenai hama yang menyerang tanaman belimbing, gejala kerusakan, dan intensitas kerusakan akibat serangan hama tersebut. Lalat buah merupakan salah satu hama utama pada tanaman hortikultura termasuk buah belimbing dan menjadi pembatas ekspor impor komoditas hortikultura (Deptan 2002b). Buah yang telah terinfestasi larva lalat buah akan mengalami penurunan kualitas berupa pembusukan buah dan jika bisa dipanen, buah mengalami cacat, sehingga mengakibatkan harga turun dan tidak diminati konsumen, sedangkan penurunan kuantitas berupa produksi buah yang tidak optimal (Sarjan et al. 2010). Lalat buah yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia diidentifikasi sebagai genus Bactrocera dan diantaranya yang dominan adalah B. carambolae, B. dorsalis, B. albistrigata, B. umbrossa, dan B. cucurbitae (Suputa et al. 2010). Sifat khasnya hanya dapat bertelur pada jaringan tanaman dan larva memakan jaringan tanaman, sehingga mengakibatkan komoditas hortikultura menjadi cacat, busuk, dan rontok sebelum panen (Herlinda et al. 2007; Irwanto 2008). Bactrocera memiliki sebaran inang yang luas, diantaranya belimbing, nangka, mangga, papaya, tomat, jeruk siam, jambu air, jambu biji, cabai besar, cabai rawit, sukun, cempedak, kecapi, labu, gambas, dan timun (Pramudi et al. 2013). Intensitas kerusakan yang diakibatkan oleh lalat buah pada buah belimbing dan jambu biji dapat mencapai 100% (Sodiq 2004). Intensitas kerusakan buah belimbing di Kecamatan Sumberjaya (Lampung Barat) mencapai 60% (Nismah & Susilo 2008). Lalat buah yang menyerang tanaman belimbing di daerah Sumatera Selatan dan di Balikpapan adalah B. carambolae (Pujiastuti 2009; Syahfari & Mujiyanto 2013). Pada tanaman belimbing di sekitar Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), dan Kecamatan Sumberjaya (Lampung Barat), lalat buah yang menyerang adalah B. dorsalis (Nismah & Susilo 2008; Dumalang & Lengkong 2011; Yuniar 2013), sedangkan pada buah belimbing di daerah Bogor adalah B. carambolae, B. dorsalis, dan B. albistrigata (Larasati et al. 2013). Persebaran jenis lalat buah yang berasosisasi dengan tanaman belimbing di Kabupaten Blitar belum dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai jenis lalat buah pada tanaman belimbing di Kabupaten Blitar.
2 Dinamika populasi lalat buah dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ketersediaan inang. Lalat buah yang menyerang buah-buahan musiman mempunyai dinamika populasi yang berhubungan erat dengan ketersediaan buah sebagai inang (Astriyani 2014). Sebaliknya, lalat buah yang menyerang tanaman sayuran dan tanaman buah yang berbuah sepanjang tahun mempunyai dinamika populasi yang berbeda karena inangnya selalu tersedia (Ginting 2009). B. carambolae dan B. dorsalis adalah lalat buah yang banyak ditemukan karena mayoritas tanaman inangnya tersedia dan berbuah sepanjang tahun (Muryati et al. 2007). Salah satu tanaman inang yang berbuah sepanjang tahun adalah tanaman belimbing. Faktor lain adalah sanitasi buah yang merupakan bentuk pengendalian mekanis dalam budidaya tanaman hortikultura. Penerapan sanitasi buah berkala dapat menurunkan populasi dan serangan lalat buah pada lokasi pertanaman hortikultura. Faktor lain adalah parasitoid yang berperan sebagai faktor biotik yang terpaut dengan kepadatan lalat buah. Peran parasitoid mampu menekan populasi lalat buah dan mengendalikan populasi lalat buah di lapangan (Vargas et al. 2012). Penelitian mengenai pola dinamika populasi lalat buah pada pertanaman belimbing di Kabupaten Blitar masih belum dilaporkan. Hal ini dapat memberikan arti penting dalam perencanaan dan pelaksanaan tindakan pengamatan dan dapat menjadi dasar dalam pemilihan strategi pengendalian agar lebih efektif dan efisien. Pembungkusan buah merupakan salah satu strategi pengendalian lalat buah. Perlakuan ini dapat melindungi buah dari oviposisi telur oleh lalat buah betina serta mampu meningkatkan kualitas buah (Damayanti 2000). Lalat buah menginfestasikan telur pada buah menjelang matang hingga telah matang, namun belum ada informasi mengenai serangan lalat buah pada buah belimbing berdasarkan waktu perkembangan buahnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi ini, sehingga strategi pembungkusan dapat lebih efektif dan efisien. Perumusan Masalah Produktivitas belimbing mengalami fluktuasi dan salah satu penyebab adalah organisme pengganggu tanaman (OPT) berupa hama. Keberadaan hama dapat memengaruhi secara langsung pada produksi dengan mengakibatkan kerusakan buah belimbing dan dapat memengaruhi secara tidak langsung dengan mengakibatkan kerusakan pada tanaman belimbing yang memengaruhi produksi buah belimbing. Inventarisasi hama perlu dilakukan untuk memperoleh data tentang jenis hama yang menyerang tanaman belimbing, gejala kerusakan, intensitas serangan yang dapat dijadikan sebagai informasi dalam pengambilan keputusan pengendalian hama yang tepat. Salah satu hama utama pada tanaman belimbing adalah lalat buah yang mengakibatkan buah rontok sebelum panen. Tanaman belimbing yang selalu berbuah sepanjang tahun, sangat penting bagi keberlangsungan populasi lalat buah. Pemahaman tentang pola dinamika populasi lalat buah mempunyai arti penting dalam perencanaan dan pengendalian yang akan diambil agar efektif dan efisien. Oleh karena itu penelitian yang berkaitan dengan dinamika populasi lalat buah dan serangan lalat buah pada buah belimbing di wilayah Kabupaten Blitar perlu dilakukan.
3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menginventarisasi hama yang menyerang tanaman belimbing, kepadatan populasi dan intensitas kerusakan yang ditimbulkan pada pertanaman belimbing di tiga desa di Kabupaten Blitar; 2. Mempelajari dinamika populasi lalat buah dan faktor yang memengaruhinya di tiga desa di Kabupaten Blitar pada periode bulan kering dan basah; 3. Mengetahui serangan lalat buah berdasarkan waktu perkembangan buah belimbing.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis hama, intensitas kerusakan, dinamika populasi lalat buah, dan serangan lalat buah yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengendalian yang tepat pada hama-hama tanaman belimbing terutama lalat buah.
4
TINJAUAN PUSTAKA Belimbing Biologi Belimbing Belimbing (Averrhoa carambola Linn.) atau dalam bahasa Inggris disebut star fruit merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah tropis. Belimbing merupakan tanaman pohon yang tingginya dapat mencapai 12 m. Percabangan mengarah mendatar, berbunga, dan berbuah sepanjang tahun. Buah belimbing berwarna kuning kehijauan ketika masih muda dan berwarna kuning kemerahan ketika tua, biji kecil berwarna coklat, rasanya manis, dan banyak mengandung air (O'Hare 1993). Daun belimbing berbentuk daun majemuk, menyirip ganjil dengan anak daun berbentuk bulat telur, ujung runcing, tepi rata, permukaan atas mengilap, permukaan bawah buram, mempunyai panjang sekitar 1.75 – 9 cm, dan lebar sekitar 1.25 – 4.5 mm. Bunga majemuk tersusun dengan baik, warnanya merah keunguan, keluar dari ketiak daun, ujung cabang, dan dahannya. Buahnya terdiri atas lima rusuk, bila dipotong melintang berbentuk bintang. Panjang buah sekitar 4 – 12.5 cm, berdaging, dan banyak mengandung air, serta rasanya manis sampai asam. Biji berwarna putih kotor kecoklatan, berbentuk elips dan pipih dengan kedua ujung lancip (Dasgupta et al. 2013). Manfaat Belimbing Buah belimbing dapat disajikan dalam keadaan segar atau dalam bentuk olahan seperti dodol, jus, sirup, dan manisan selai. Kandungan kimia buah belimbing mengandung saponin, flavonoid, steroid/triterpenoid, glikosida, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1, dan C (Dasgupta et al. 2013). O'Hare (1993) melaporkan bahwa belimbing mempunyai paket yang lengkap dengan nutrisi utama yang vital seperti L-ascorbic acid, epichatecin, dan gallic acid pada sumber gallotannin serta. Belimbing memiliki banyak manfaat sebagai obat tradisional atau obat alternatif. Khasiat sebagai obat tradisional dapat meredakan penyakit seperti batuk rejan, gusi berdarah, sakit gigi, bisul, koreng, dan mencret (Vermanto 2012). Kandungan lengkap kadar gizi yang terdapat pada 100 gram belimbing masak segar disajikan pada Tabel 1. Hama Tanaman Belimbing Hama tanaman bellimbing mengakibatkan kerusakan langsung maupun tidak langsung terhadap produksi buah belimbing. Hama utama tanaman belimbing diantaranya adalah ulat kantung, penggerek bunga, kutudaun, kutu putih, trips, penggerek buah dan lalat buah (DKP 2012).
5 Tabel 1 Kandungan gizi belimbing manis dalam 100 gram belimbing masak No Keterangan Nama Zat Kandungan 1. Protein (g) 1.04 2. Lemak (g) 0.33 3. Karbohidrat (g) 6.73 4. Kalsium(mg) 3.00 5. Fosfor (mg) 12.00 6. Magnesium (mg) 10.00 7. Besi (mg) 0.08 8. Vitamin A (RE) 18.00 9. Vitamin B1 (mg) 0.03 10. Vitamin B2 (mg) 0.02 11. Vitamin C (mg) 34.40 12. Energi (kalori) 31.00 Sumber: (USDA 2015).
Ulat kantung Pteroma plagiophleps Hampson (Lepidoptera: Psychidae) Famili Psychidae disebut ulat kantong karena fase larva selalu berada di dalam kantong. Imago betina P. plagiophleps tidak bersayap dan bentuknya sama seperti fase larva, sedangkan imago jantan bersayap dan berukuran kecil. Telur berbentuk oval lonjong, berwarna krem, dan berada di dalam kantung induknya. Larva yang baru menetas berada di dalam kantung induknya, kemudian keluar melalui bagian bawah dan menyebar dengan bantuan angin. Larva yang keluar dari kantung induknya akan menyulam kantungnya dari sisa-sisa daun disekitarnya dengan sutera yang dihasilkannya. Kantung memiliki lubang di bagian atas untuk bernafas, bergerak, dan makan. Pada bagian bawah kantung digunakan untuk mengeluarkan kotoran dan tempat keluarnya imago (Emmanuel et al. 2012). Larva berpupa di dalam kantung dengan posisi terbalik, kepala di bagian bawah. Fase pupa ditandai dengan bentuk kantung menjadi elips dan menggantung menggunakan benang sutera pada dahan atau daun (Aprilia 2011). Pupa jantan menjadi ngengat bersayap dan betina tidak bersayap atau sayapnya kecil, kemudian tetap berada di dalam kantung (Rhainds et al. 2009). Fase telur berlangsung selama 10 hari, larva selama 49 – 62, pupa berkisar 14 hari dan imago hidup sekitar 4 hari. Masa perkembangan total serangga jantan 2 bulan dan yang betinanya 2.5 bulan (Nair 2007). Penggerek batang Zeuzera coffeae Nietner (Lepidoptera: Cossidae) Imago Z. coffeae aktif pada malam hari (nocturnal). Telur diletakkan pada celah permukaan kulit batang, cabang atau ranting. Telur berwarna kuning kemerahan atau kuning keunguan dan berubah warna menjadi kuning kehitaman menjelang menetas. Larva berwarna merah kecoklatan cerah sampai sawo matang, panjangnya berkisar antara 3 – 5 cm. Fase pupa berada di dalam lubang gerekan. Imago mempunyai sayap depan berwarna putih tembus pandang dengan bintik berwarna hitam, seekor betina dapat meletakan telur sebanyak 340 – 970 butir selama hidupnya (Deptan 2002a; Wylie & Speight 2012). Larva Z. coffeae merusak batang, cabang atau ranting dengan cara membuat lubang dan menggerek masuk dan memakan pada bagian empulur (xylem). Pada permukaan lubang gerekan ditandai dengan adanya bekas gerekan bercampur dengan kotoran.
6 Serangan Z. coffeae mengakibatkan bagian tanaman di atas lubang gerekan menjadi layu, kering dan mati (Deptan 2002a). Z. coffeae merupakan hama pada tanaman perkebunan dan tanaman hutan seperti kopi, kakao, akasia, jati, leda, ketapang, cemara laut, jambu, jeruk, dan kakao (Nair 2007). Penggerek bunga Diacrotricha fasciola Zeller (Lepidoptera: Pterophoridae) Imago D. fasciola aktif pada tempat yang ternaungi dan meletakkan telur pada bakal bunga belimbing, kuncup bunga, tangkai bunga dan tunas daun. Stadium telur berlangsung selama 2 – 3 hari, fase larva terdiri atas empat instar. instar satu sampai tiga menggerek pada bunga yang masih kuncup dan mengakibatkan bunga berlubang karena memakan bagian atas mahkota bunga, sehingga bunga kering dan rontok. Larva instar empat berwarna hijau pucat dan memakan daun muda. Fase pupa berwarna hijau kecoklatan sampai coklat gelap dan berlangsung selama kurang lebih satu hari. Fase imago berwarna putih kecoklatan dengan bagian sayap depan terbagi menjadi tiga bagian dan sayap belakang terbagi menjadi dua bagian. Siklus hidup imago berlangsung selama 9 – 11 hari (Mandasari 2014). Hama ini menyerang pada pertanaman belimbing, labu air dan tanaman dari kelompok kacang-kacangan (DKP 2012). Kutudaun Toxoptera aurantii Boyer de Fonscolombe (Hemiptera: Aphididae) Kutudaun ini dikenal dengan hama black citrus aphid dan tea aphid karena banyak menyerang dan mengakibatkan kerugian pada tanaman jeruk dan teh. Wilayan persebarannya hampir di seluruh bagian tropis dan subtropis hingga ke bagian pasifik (Agarwala & Bhattacharya 1995). Nimfa berwarna coklat kehitaman dan imago berwarna hitam dengan tungkai terdapat garis kecoklatan (Kalshoven 1981). Umumnya kutudaun ini hidup berkelompok dan menyerang secara bersama-sama. Serangan T. aurantii di Indonesia dilaporkan terdapat pada tanaman hias diantaranya belenceng, kemuning, asoka, bugenvil, sri rejeki, lili, beringin benggol dan pada tanaman tahunan dan buah, seperti kopi, teh, kakao, kina, alpukat, belimbing, jeruk, sawo, lemon, manggis, nangka, dan pisang (Kalshoven 1981; Permatasari 2013; Sinaga 2014). Kutu putih Maconellicoccus hirsutus Green (Hemiptera: Pseudococcidae) M.hirsutus merupakan hama polifag pada beberapa tanaman budidaya dan hampir tersebar di seluruh wilayah, khususnya di Asia. Telur M. hirsutus berbentuk bulat agak lonjong dan berwarna merah muda. Nimfa terdiri atas 3 instar, instar satu memiliki enam segmen pada antena dan mempunyai anal-lobe bar. Instar dua (betina) memiliki anal bar dan 3 – 4 pasang cerarii dan oral rims. Instar tiga (betina) masih sama dengan instar dua namun ukuran tubuh lebih besar. Imago M. hirsutus memiliki penambahan cerarii menjadi 4 – 7 pasang, memiliki circulus, dan memiliki dorsal oral collars (Miller 1999; Gullan 2000). Trips Thrips javanicus Priesner (Thysanoptera: Thripidae) Trips memiliki tubuh kecil dan ramping serta alat mulut meraut-mengisap yang asimetris. T. javanicus ditemukan pertama kali di pulau jawa dan menjadi hama pada tanaman belimbing (Sartiami & Mound 2013). Trips yang berperan sebagai hama pada tanaman budidaya disebabkan oleh aktivitas makan, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan dengan gejala jaringan tanaman yang diserang
7 menjadi kering dan menimbulkan warna keperakan, serta pada bunga dan daun yang terserang dapat menimbulkan gejala berupa bintik-bintik putih atau bercak berwarna merah (Mound & Kibby 1998). Gejala kerusakan pada buah mengakibatkan malformasi buah dan permukaan buah yang terserang menjadi kering, serta berwarna keperakan (Yusup 2012), seperti yang terjadi pada buah pisang, alpukat, dan anggur (Mound & Kibby 1998; Vierbergen & Reynaud 2005). Serangan trips akan menimbulkan luka seperti bekas parutan pada buah jeruk (Mound & Kibby 1998). Populasi trips yang tinggi dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan bunga, sehingga mengurangi jumlah pollen (Mound & Kibby 1998). Kepik penghisap Helopeltis bradyi Waterhouse (Hemiptera: Miridae) Hama ini mempunyai metamorfosis paurometabola. Nimfa H. bradyi terdiri atas lima instar. H. bradyi mirip dengan H. antonii, namun yang membedakan terletak pada bagian antena dan femur tungkai belakang. H. bradyi jantan memiliki panjang 5.5 – 6.9 mm, warna keseluruhan menyerupai H. antoni,i kecuali pada bagian pronotum berwarna hitam kecoklatan. H. bradyi betina tubuhnya lebih panjang daripada jantan, yaitu 6.6 – 8.6 mm dan warnanya sama dengan jantan, kecuali pada bagian dekat pronotum berwarna merah kecoklatan (Stonedahl 1991). Imago betina dapat menghasilkan 4 – 10 telur per hari, dan inkubasi telur selama 5 – 7 hari (Rustam et al. 2014). H. bradyi merupakan hama polifag yang menyerang beberapa tanaman budidaya, seperti tanaman kakao, teh, jambu mente, akasia, murbei, dan alpukat (Srikumar & Bhat 2012; Rustam et al. 2014). Penggerek buah Cryptophlebia leucotreta Meyrick (Lepidoptera: Tortricidae) Telur C. leucotreta berbentuk oval, ramping dengan panjang kisaran 0.9 – 1 mm, dan berwarna keputihan, (Grove et al. 1999). Larva terdiri atas lima instar. Larva yang baru menetas berwarna putih krem dengan titik hitam kecil di sisi lateral tubuhnya dan kepala berwarna coklat kehitaman. Larva instar 1 – 5 berwarna merah muda sampai merah dan memudar pada bagian sisi samping. Bagian bawah tubuh berwarna kekuningan dengan kepala berwarna merah terang dan pronotum berwarna coklat kekuningan. Larva instar akhir akan keluar dari buah dan mencari tempat berpupa di tanah, celah kulit buah, dan pada substrat di sekitar inang, seperti pada pembungkus buah. Pupa berwarna coklat tua dan lama inkubasi antara 10 – 33 hari tergantung pada suhu udara. Umumnya, imago berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap atau hitam. Sayap depan melebar dan memanjang dengan tanda tambalan berbentuk segitiga hitam dan dibatasi rambut halus (CAPS 2012). Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) Bioekologi Lalat Buah Hama utama buah belimbing adalah lalat buah yang menyerang buah muda sampai matang (Zahara et al. 2000). Kelimpahan lalat buah pada pertanaman belimbing cenderung tinggi. Hal ini terkait dengan buah belimbing yang selalu berbuah sepanjang tahun. Lalat buah memiliki metamorfosis sempurna
8 (holometabola) yang terdiri atas beberapa fase yaitu telur – larva – pupa – imago. Telur berbentuk oval, berwarna putih krem dengan ukuran yang bervariasi (White & Harris 1992). Ukuran lalat buah umumnya memiliki ukuran panjang 1 – 1.2 mm dan lebar 0.21 mm. Telur diletakkan secara berkelompok dan menetas dalam kisaran 2 – 3 hari. Fase larva terdiri atas tiga instar. Perubahan instar larva ditandai dengan perubahan ukuran dan warna larva. Lama stadia larva berkisar antara 5 – 9 hari dengan rata-rata 7 hari (Siwi et al. 2006). Saat larva akan memasuki fase pupa, larva akan keluar dari inang dengan cara melentingkan tubuhnya untuk mencapai permukaan tanah. Pupa lalat buah memiliki ukuran panjang mencapai +4.80 mm dan lebar + 2 mm. pada umumnya pupa lalat buah berwarna kuning kecoklatan. Lama stadia pupa berkisar antara 8 – 12 hari. Sebagian besar spesies lalat buah membentuk puparium di dalam tanah. Pada saat imago keluar dari pupanya, umumnya membutuhkan waktu selama + 7 hari untuk menyempurnakan morfologinya. Lama stadia imago berkisar antara 2 – 3 minggu. Imago betina pada umumnya memiliki lama hidup lebih lama dibandingkan dengan imago jantan. Seekor imago betina dapat hidup berkisar antara 23 – 27 hari, sedangkan imago jantan berkisar antara 13 – 15 hari (Siwi et al. 2006). Lalat buah hidup bersimbiosis mutualisme dengan bakteri. Bakteri ini membantu proses penceranaan dan penguraian jaringan inang agar mudah dimanfaatkan oleh larva lalat buah. Bakteri pada lalat buah hidup pada dinding saluran telur, tembolok, dan usus (Putra & Suputa 2013). Gejala Serangan Gejala serangan lalat buah dapat ditandai dengan adanya titik berwarna coklat yang merupakan bekas oviposisi lalat buah betina yang terdapat pada permukaan buah dan sayuran (Ginting 2009). Telur yang terdapat pada permukaan daging buah akan berkembang menjadi larva kemudian dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Stadia larva tinggal di dalam buah dan mendapat nutrisi dari buah tersebut dengan cara merusak daging buah, sehingga buah menjadi busuk dan akhirnya gugur (Sarjan et al. 2010). Aktivitas larva di dalam jaringan buah dapat memicu datangnya serangga lain seperti lalat Drosophilla dan serangga pengurai lain. Hal ini mengakibatkan kerusakan buah menjadi lebih parah. Serangan lalat buah tanpa pengendalian pada tanaman belimbing dapat mencapai 100% (Sodiq 2004; Nismah & Susilo 2008). Pembungkusan Pembungkusan merupakan strategi pengendalian secara mekanis yang umumnya dilakukan oleh petani. Selain itu, pembungkusan juga merupakan cara paling sederhana yang banyak dilakukan dengan cara membungkus buah-buah yang belum matang. Pengendalian lalat buah dengan menggunakan pembungkusan banyak dilakukan karena dapat mengurangi peluang lalat buah betina untuk meletakkan telur pada jaringan buah dan dapat meningkatkan kualitas buah. Peningkatan mutu buah karena pembungkusan diakibatkan karena adanya akumulasi panas yang merata sehingga memacu proses pertumbuhan, perkembangan dan pematangan buah (Damayanti 2000). Pembungkusan buah yang dilakukan sejak lebih dini dapat menurunkan peluang infestasi telur oleh lalat buah betina, sehingga serangan lalat buah dapat ditekan. Buah belimbing
9 yang dibungkus lebih dini dapat menurunkan jumlah larva lalat buah yang menginfestasi buah (Prastowo & Siregar 2014). Pembungkus buah umumnya menggunakan plastik, karung, kertas koran, kertas karbon, kantong kasa, kantong kertas, dan daun jati (Damayanti 2000; Swibawa et al. 2003; Noorbaiti et al. 2012). Jenis-jenis pembungkus ini mempunyai sifat yang berbeda. Bahan pembungkus dari kertas mempunyai kelebihan, yaitu jika terjadi transpirasi maupun respirasi akan diserap oleh pembungkus dan akan menguap terkena sinar matahari, sehingga kelembapan di dalam pembungkus sama dengan kelembapan lingkungan (Damayanti 2000), sedangkan kelemahannya, jika digunakan pada musim hujan, pembungkus dapat rusak terkena air hujan. Pembungkus dari plastik polietilen merupakan bahan yang kedap air. Jenis pembungkus ini banyak digunakan oleh petani karena mempunyai kelebihan tidak cepat rusak, sehingga dapat digunakan berulang kali, mudah dalam pengamatan perkembangan buah, praktis pemasangannya, dan harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan jenis pembungkus lainnya. Dinamika Populasi Dinamika populasi lalat buah terjadi karena adanya pengaruh kombinasi antara faktor lingkungan yang terjadi pada populasi dan karakteristik intrinsik spesies dan individu-individu. Secara umum lalat buah terbagi menjadi dua kelompok sifat populasi yaitu lalat buah univoltine yang habitatnya di daerah subtropis dan lalat buah multivoltine yang habitatnya di daerah tropis (Harris et al. 1993). Besarnya populasi lalat buah di lingkungan temperate dipengaruhi oleh suhu udara, sedangkan kelimpahan populasi lalat buah di daerah tropis dipengaruhi oleh curah hujan. B. cucurbitae yang hidup di daerah tropis, kelimpahan populasinya dipengaruhi kelembapan udara, sedangkan Rhagoletis pomonella yang hidup di daerah subtropis kelimpahan populasinya dipengaruhi oleh suhu udara (Bateman 1972). Faktor iklim berpengaruh terhadap pemencaran, perkembangan, daya bertahan hidup, perilaku, reproduksi, dinamika populasi, dan peledakan hama (Landolt & Quilici 1996). Kelimpahan lalat buah dengan curah hujan memiliki hubungan yang saling berkaitan, seperti lalat buah Anastrepha oblique mempunyai hubungan yang tidak linier (Aluja et al. 2001). Curah hujan berhubungan erat dengan kelembapan, terutama kelembapan tanah yang berkorelasi dengan peluang kemunculan imago lalat buah. Hal ini karena pada larva instar akhir akan keluar dari dalam jaringan inangnya, kemudian berpupa di dalam tanah (Putra & Suputa 2013). Kelembapan tanah yang rendah dapat menurunkan keperidian lalat buah dan meningkatkan mortalitas imago yang baru keluar dari pupa. Kelembapan lingkungan memengaruhi kondisi air di dalam tubuh imago, kelangsungan hidup dan lama stadia larva, serta keberhasilan munculnya imago dari pupa (Duyck et al. 2006). Kelembapan udara yang terlalu tinggi (95 – 100%) dapat mengurangi laju peletakan telur (Bateman 1972). Semakin tinggi kelembapan udara, maka lama hidup semakin panjang. Kelembapan optimum perkembangan lalat buah berkisar antara 70 – 80%. Lalat buah dapat hidup baik pada kelembapan udara antara 62 – 90% (Landolt & Quilici 1996). Suhu udara adalah faktor yang memengaruhi laju perkembangan dan menentukan fluktuasi populasi stadia lalat buah yang masih muda, serta berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas populasi seluruh stadia lalat buah
10 (Chen & Ye 2007). Suhu udara secara khusus dapat berpengaruh terhadap lama hidup (longevity), kelangsungan hidup (survival), perkembangan gamet, dan perkawinan (Muthuthantri 2008). Pada daerah tropis yang tidak banyak mengalami fluktuasi suhu udara, fluktuasi populasi lalat buah secara nyata tetap terjadi. Laju populasi lebih banyak terjadi selama musim kemarau dibandingkan musim hujan. Suhu udara berpengaruh terhadap perkembangan, keperidian, lama hidup, dan mortalitas Bactrocera spp. (Bateman 1972). Umumnya, lalat buah dapat hidup dan berkembang dengan baik pada suhu udara berkisar antara 10 – 30ºC, sedangkan telurnya dapat menetas dalam kisaran waktu 30 – 36 jam dengan kondisi suhu udara antara 25 – 30oC (Landolt & Quilici 1996). Faktor abiotik lain yang memengaruhi dinamika populasi lalat buah adalah sanitasi buah. Sanitasi buah adalah kegiatan pembersihan buah di area lahan. Buah yang dibersihkan adalan buah yang terserang lalat buah, buah yang tidak dibungkus, dan buah hasil pemipiran. Sanitasi buah secara berkala mampu meminimalkan sumber daya inang dan memutus generasi dari lalat buah. Populasi B. tau jantan rendah pada pertanaman delima dengan penerapan sanitasi buah dibandingkan pada lokasi tanpa penerapan sanitasi buah (Hasyim et al. 2008). Lalat buah yang menyerang buah-buahan musiman mempunyai dinamika populasi yang erat hubungannya dengan ketersediaan buah. Lalat buah yang menyerang tanaman sayuran dan buah yang berbuah sepanjang tahun mempunyai dinamika populasi yang berbeda karena inang tanaman sayuran selalu tersedia sepanjang tahun. B. carambolae dan B. dorsalis merupakan spesies lalat buah yang paling banyak ditemukan (Muryati et al. 2007). Hal ini disebabkan tanaman inang kedua spesies tersebut tersedia sepanjang waktu. Inang tersebut antara lain jambu biji, jambu air, belimbing, manggis, nangka, pisang, dan cabai. Tingkat kematangan buah berpengaruh terhadap kehidupan lalat buah. Fenologi tanaman inang merupakan penduga paling baik dalam memprediksi dinamika populasi lalat buah. Buah yang lebih matang lebih disukai oleh lalat buah untuk meletakkan telur daripada buah yang masih muda. Tingkat kematangan buah memengaruhi populasi lalat buah. Jenis pakan yang banyak mengandung asam amino, vitamin, mineral, air, dan karbohidrat dapat memperpanjang umur serta meningkatkan keperidian lalat buah. Peletakan telur dipengaruhi oleh bentuk, warna, dan tekstur buah. Bagian buah yang ternaungi dan agak lunak merupakan tempat ideal untuk peletakan telur (Siwi et al. 2006). Musuh alami Lalat buah memiliki musuh alami yang mengendalikan populasinya di alam. Musuh alami dari lalat buah berupa predator, entomopatogen, dan parasitoid. Kelompok predator diantaranya adalah semut rangrang (Hymenoptera: Formicidae), cocopet (Dermaptera), kepik pembunuh (Hemiptera), (Neuroptera: Chrysopidae), kumbang carabid dan Staphylinidae (Coleoptera) (Larasati 2012). Kelompok entomopatogen seperti nematoda terutama dari genus Steinernema dapat menginfestasi larva lalat buah instar akhir yang bersiap memasuki fase pupa di dalam tanah. Kelompok parasitoid merupakan kelompok musuh alami yang banyak ditemukan berasosisasi dengan lalat buah dan telah banyak diteliti. Parasitoid lalat buah didominasi oleh ordo Hymenoptera dengan beragam family. Famili yang dominan adalah Braconidae dan spesies yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Diachasmimorpha spp., Fopius spp., dan Psytallia
11 spp. (Putra & Suputa 2013). Parasitoid lalat buah telah banyak diteliti dan diintroduksi untuk mengendalikan lalat buah di berbagai belahan dunia. Pemilihan parasitoid ini disebabkan kemampuannya untuk memperbanyak keturunan dalam waktu singkat (Putra & Suputa 2013) dan searching host pada telur maupun larva lalat buah yang terdapat di dalam jaringan tanaman. Seekor parasitoid hanya membutuhkan satu inang untuk menyelesaikan satu siklus hidupnya, sehingga perannya di lapangan dapat stabil dan mampu menekan populasi lalat buah.
12
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 – Mei 2015. Penelitian meliputi pengamatan yang dilaksanakan di Kabupaten Blitar dan identifikasi serangga yang dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. Metode Penelitian Wawancara Petani Penelitian diawali dengan melakukan wawancara kepada petani belimbing untuk mendapatkan informasi mengenai kepemilikan, karakteristik lahan, budidaya belimbing, dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pengamatan Hama Tanaman Belimbing Pengamatan hama tanaman belimbing dilakukan di wilayah Kabupaten Blitar dengan menentukan tiga desa yaitu Desa Karangsono, Gogodeso, dan Pojok yang merupakan sentra penghasil buah belimbing. Selanjutnya, setiap desa ditentukan lokasi pertanamannya sebanyak empat lokasi dengan jumlah tanaman setiap lokasi berkisar antara 15 – 40 tanaman dan berumur di atas 5 tahun. Pada setiap lokasi pertanaman ditentukan tanaman contoh sebanyak 3 tanaman yang dipilih secara diagonal dengan kriteria tanaman masih produktif. Setiap tanaman contoh dibagi dalam empat kuadran sesuai dengan arah mata angin (Gambar 1). Pada setiap kuadran ditentukan satu cabang paling bawah sebagai unit contoh. Selanjutnya, setiap unit contoh diamati hama pada cabang, daun, bunga, dan buah, kemudian kepadatan populasi dan intensitas kerusakan. Pengamatan hama dilakukan secara langsung, meliputi jenis hama dan gejala kerusakan yang diakibatkan pada daun, cabang, bunga, dan buah. Pengamatan pada daun ditujukan pada ulat pemakan daun. Pada cabang, pengamatan ditujukan pada penggerek cabang. Pada bunga, diamati penggerek bunga, trips, kutudaun, dan kutu putih. Pada buah, diamati kutudaun, kutu putih, trips, penggerek buah, kepik penghisap, dan lalat buah. Setiap jenis hama yang yang ditemukan pada fase pradewasa dipelihara sampai menjadi imago, kemudian dikoleksi ke dalam botol yang berisi alkohol 70%.
K1 K4
K2 K3
Gambar 1 Penentuan kuadran (K) setiap tanaman contoh berdasarkan arah mata angin
13 Kepadatan populasi hama. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah setiap jenis hama yang ditemukan di daun, cabang, bunga, dan buah pada setiap bagian unit contoh. Hama-hama yang dihitung kepadatan populasinya diantaranya, yaitu ulat kantung, penggerek bunga, kutu putih, dan kutudaun. Intensitas kerusakan serangan hama. Kegiatan ini dilakukan dengan mengamati gejala kerusakan yang terjadi pada cabang, ranting dan buah. Pada setiap cabang dan ranting, diamati gejala kerusakan yang diakibatkan oleh penggerek cabang. Pada setiap buah, diamati gejala kerusakan yang diakibatkan oleh trips, kepik penghisap, penggerek buah, dan lalat buah. Intensitas kerusakan hama dihitung dengan menggunakan rumus: [
(
)
]
dengan IKH : intensitas kerusakan hama a : jumlah bagian tanaman yang terserang b : jumlah bagian tanaman yang tidak terserang Pengamatan pola dinamika populasi Kegiatan ini dilakukan di lokasi yang sama seperti lokasi pengamatan hama tanaman belimbing. Waktu pengamatan dilakukan pada dua periode yaitu periode bulan kering (September – November 2014) dan bulan basah (Desember 2014 – Februari 2015). Metode pelaksanaan kegiatan ini menggunakan metode pemeliharaan buah yang terserang lalat buah. Pengambilan buah yang terserang lalat buah. Setiap lokasi diambil 10 buah secara purposive. Buah yang diambil dengan ciri-ciri gejala serangan lalat buah berupa titik-titik hitam di permukaan buah dan berwarna kuning ( ⁄ – seluruh buah berwarna kuning) (Soesilohadi 2002), serta berukuran panjang minimal 11 cm. Pengambilan buah dilakukan selama empat kali pada tiap periode dengan interval 14 hari. Buah yang telah dikumpulkan, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan tiap lokasi dicatat. Data mengenai suhu udara, kelembapan udara relatif, dan curah hujan diperoleh dari Stasiun Klimatologi Pos Kanigoro dan Ponggok Kabupaten Blitar, Stasiun Klimatologi Karangploso Malang. Pemeliharaan Buah. Buah yang terkumpul, diletakkan di dalam wadah pemeliharaan buah yang telah diisi dengan pasir steril. Wadah pemeliharaan terbuat dari botol air mineral bekas yang telah dimodifikasi. Wadah pemeliharaan yang telah diisi bua,h diletakkan di tempat yang ternaungi agar terhindar dari paparan sinar matahari langsung dan hewan pengganggu seperti semut dan labalaba. Setelah 8 – 10 hari, pupa lalat buah dipanen dengan cara membedah buah dan mengayak pasir. Pupa yang terkumpul, dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang telah diisi pasir steril. Setelah 5 – 7 hari, imago lalat buah dan parasitoid yang muncul diberi pakan berupa madu yang telah diencerkan air dengan perbandingan 9:1. Pemberian pakan dilakukan dengan cara mencelupkan spons pada madu yang telah diencerkan, kemudian spons diletakkan pada bagian atas tutup wadah pemeliharaan. Setelah 3- 5 hari, imago lalat buah dan parasitoid yang muncul dipanen dari wadah pemeliharaan, kemudian dimatikan dengan cara
14 memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Setelah 5 – 10 menit, specimen dikeluarkan dari lemari pendingin, kemudian dikoleksi ke dalam botol yang berisi alkohol 70%. Spesimen yang telah terkumpul, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Identifikasi lalat buah dan parasitoid dilakukan dengan melihat karakter morfologi. Parasitoid soliter lalat buah yang muncul dihitung tingkat parasitisasi dengan menggunakan rumus: [ ∑
∑ ∑
]
Serangan lalat buah berdasarkan umur perkembangan buah belimbing Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi di Kabupaten Blitar. Kegiatan dilakukan untuk mengetahui serangan lalat buah pada buah belimbing berdasarkan umur perkembangan buah. Setiap tahapan perkembangan buah diberi perlakuan pembungkusan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan pada setiap lokasi. Perlakuan yang dilakukan berupa waktu pembungkusan berdasarkan umur hari terbentuknya buah (HTB), meliputi 1) kontrol (tanpa pembungkus); 2) 7 HTB; 3) 14 HTB; 4) 21 HTB; 5) 28 HTB; 6) 35 HTB; dan 7) 42 HTB. Pada setiap tanaman belimbing, sebagai perlakuan ditentukan 7 buah muda secara purposive dengan kriteria berumur 7 hari setelah munculnya buah, mempunyai panjang buah sekitar 2.5 cm (Gambar 2), dalam kondisi sehat dan tanpa gejala OPT. Pemilihan buah pada setiap tanaman dilakukan secara acak tiap perlakuannya, kemudian tiap perlakuan ditandai dengan label dari isolasi kertas. Selanjutnya buah yang akan dibungkus, diamati terlebih dahulu kondisi fisik, bentuk buahnya, dan ada tidaknya gejala oviposisi telur oleh lalat buah. Buah dibungkus sesuai dengan tiap perlakuan waktu pembungkusan.
Gambar 2 Unit contoh buah berumur 7 hari setelah pembentukan buah dengan panjang sekitar 2.5 cm Pengamatan dilakukan pada buah setiap 7 hari sampai waktu panen. Parameter yang diamati adalah adanya titik hitam pada permukaan buah yang merupakan hasil oviposisi lalat buah. Buah-buah yang gugur sebelum waktu panen diambil (dipanen dini), kemudian dicatat dan dipelihara sampai menjadi pupa di dalam wadah pemeliharaan. Pupa dipanen dengan cara membedah buah dan mengayak pasir. Pupa yang terkumpul, dipindahkan ke wadah pemeliharaan yang telah diisi pasir steril. Setelah 5 – 7 hari, imago lalat buah dan parasitoid yang muncul diberi pakan berupa madu yang telah diencerkan air dengan
15 perbandingan 9:1. Pemberian pakan dilakukan dengan cara mencelupkan spons pada madu yang telah diencerkan, kemudian spons diletakkan pada bagian atas tutup wadah pemeliharaan. Setelah 3- 5 hari, imago lalat buah dan parasitoid yang muncul dipanen dari wadah pemeliharaan, kemudian dimatikan dengan cara memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Setelah 5 – 10 menit, specimen dikeluarkan dari lemari pendingin, kemudian dikoleksi ke dalam botol yang berisi alkohol 70%. Spesimen yang telah terkumpul, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Buah yang telah dibungkus, dipanen ketika buah berumur 50 hari setelah pembungkusan pertama. Variabel yang diamati adalah serangan awal lalat buah, intensitas kerusakan buah, jumlah imago lalat buah dan parasitoid serta parasitisasi lalat buah. 1. Serangan awal lalat buah Semua buah diamati serangan lalat buah pertama kali dengan gejala oviposisi pada permukaan kulit buah dengan selang 7 hari; 2. Intensitas kerusakan buah belimbing Intensitas kerusakan buah dihitung dengan mengamati buah yang terserang pada setiap perlakuannya menggunakan rumus: [
(
)
]
dengan P : intensitas kerusakan a : jumlah buah yang terserang b : jumlah buah yang tidak terserang 3. Jumlah imago lalat buah dan parasitoid yang muncul Buah yang rontok dini dengan gejala serangan lalat buah, dipelihara sampai imago muncul, kemudian dihitung jumlah lalat buah dan parasitoid. 4. Tingkat parasitisasi Tingkat parasitasi lalat buah oleh parasitoid soliter dihitung dengan menggunakan rumus : [ ∑
∑ ∑
]
Analisis Data Data pengamatan kepadatan populasi dan intensitas kerusakan hama diolah menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan ANOVA, kemudian diuji lanjut menggunakan uji Duncan taraf nyata 5% mengunakan software SAS. Data dinamika populasi lalat buah diolah menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan ANOVA, kemudian diuji lanjut menggunakan uji t taraf nyata 5% mengunakan software dan SAS dan beberapa data disajikan dalam bentuk kurva dan dianalisis secara deskriptif. Data serangan lalat buah disajikan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan dianalisis dengan ANOVA kemudian diuji lanjut uji Duncan taraf nyata 5% dengan software SAS dan beberapa dianalisis secara deskriptif.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pertanaman belimbing umumnya merupakan lahan pekarangan rumah penduduk. Jumlah tanaman belimbing rata rata tiap lokasi 15 – 40 tanaman. Tanaman belimbing yang dibudidayakan di Kabupaten Blitar merupakan hasil sambung antara belimbing varietas lokal pada batang bawah dan belimbing varietas Bangkok merah pada batang atas. Tanaman yang produktif adalah saat tanaman berumur >5 tahun. Kegiatan pengendalian hama yang dilakukan adalah aplikasi pestisida dan pembungkusan buah. Aplikasi pestisida hanya dilakukan pada saat serangan hama tinggi, sedangkan pembungkusan buah dilakukan pada saat buah masih muda dengan menggunakan plastik polietilen. Panen buah belimbing dilakukan sebanyak empat kali dalam setahun. Tiap lokasi pertanaman belimbing mempunyai karakteristik yang berbeda. Pertama, perbedaan umur tanaman yaitu A: 6 – 10 tahun dan B: 11 – 15 tahun. Kedua perbedaan cara budidaya X: terawat dan Y: tidak terawatt. Cara budidaya kategori terawat adalah pertanaman yang perawatan berupa sanitasi buah dan pemangkasan dilakukan secara berkala, sedangkan kategori tidak terawat adalah sebaliknya. Vegetasi di Desa Karangsono didominasi oleh tanaman belimbing dan jambu biji. Desa Gogodeso didominasi oleh tanaman belimbing, kakao dan kelapa. Desa Pojok didominasi oleh tanaman belimbing dan cabai. Kondisi umum setiap lokasi ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi umum lokasi pertanaman belimbing di Kabupaten Blitar Desa Petani Umur tanamana Budidayab Vegetasic Karangsono Muridin B X I II Karangsono Din B Y I II Karangsono Laila A Y I II Karangsono Arief A Y I Gogodeso Sunaryo B X I III IV Gogodeso Surip B Y I III V Gogodeso Karyadi B Y IV Gogodeso Khomsun A Y I III V Pojok Bandi A X I Pojok Zaeni A X I IV Pojok Wahyudi A X I IV Pojok Suyono B X I a
A: 6-10 tahun; B: 11-15 tahun. bX: terawat; Y: tidak terawat. cI: Belimbing; II: Jambu; III: Kakao; IV: Cabai; V: Kelapa.
17 Hama Tanaman Belimbing Hama yang menginfestasi pada tanaman belimbing sebanyak 10 jenis. Masing-masing hama menyerang bagian tanaman yang berbeda-bbeda seperti ranting, daun, bunga dan buah (Tabel 3). Tabel 3
Jenis hama dan bagian yang diserang pada tanaman belimbing di Kabupaten Blitar
Nama ilmiah Pteroma plagiophleps Zeuzera coffeae Diacrotricha fasciola Toxoptera aurantii Maconellicoccus hirsutus Thrips javanicus Helopeltis bradyi Cryptophlebia leucotreta Bactrocera carambolae Bactrocera dorsalis
Ordo
Famili
Lepidotera Psychidae Lepidotera Cossidae Lepidotera Pterophoridae Hemiptera Aphididae Hemiptera Pseudococcidae Thysanoptera Thripidae Hemiptera Miridae Lepidotera Tortricidae Diptera Tephritidae Diptera Tephritidae
Bagian yang diserang Daun Cabang Bunga Bunga dan buah Bunga dan buah Buah Buah Buah Buah Buah
Ulat kantung Pteroma plagiophleps Hampson (Lepidoptera: Psychidae) Larva P. plagiophleps memakan daun muda terutama pada bagian bawah daun, sehingga mengakibatkan daun berlubang dan kering (Gambar 3a). Gejala kerusakan pada daun disebabkan aktivitas makan P. plagiophleps pada lapisan epidermis bagian bawah dan jaringan mesofil yang mengakibatkan window panning, dengan menyisakan epidermis atasnya, sisa epidermis atas tersebut mengering dan menyisakan tulang daun (Emmanuel et al. 2012). P. plagiophleps termasuk hama polifag dan dilaporkan menjadi hama pada tanaman sengon, akasia, bakau, pinus, kelapa, kakao, jeungjing, asam jawa, flamboyan, malaka, jamblang, jati dan anggrung (Nair 2007; Emmanuel et al. 2012). Wilayah sebaran P. plagiophleps meliputi Sri Lanka, India, Bangladesh, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Aprilia 2011). a
b
1 mm
Gambar 3 Gejala kerusakan dan P. plagiophleps, (a) daun dan (b) larva di dalam kantung Larva menghabiskan hidup di dalam kantung, panjang kantung tidak lebih dari 16 mm, berbentuk kerucut, dan berwarna coklat (Gambar 3b). Larva menghasilkan sutera yang digunakan untuk menempelkan potongan-potongan
18 daun ke tubuhnya dan membentuk kantung. Larva berkepompong di dalam kantung dengan posisi berubah yaitu kepala di bagian bawah, kemudian kantung menjadi elips dan menggantung menggunakan benang sutera pada dahan atau daun. Imago jantan keluar dari kantung dan memiliki sayap, sedangkan imago betina tetap berada di dalam kantung dan tidak memiliki sayap (Emmanuel et al. 2012). Penggerek batang Zeuzera coffeae Nietner (Lepidoptera: Cossidae) Gejala kerusakan berupa lubang gerekan dengan bekas gerekan bercampur dengan kotoran di permukaan lubang gerekan (Gambar 4a). Larva menggerek masuk ke dalam batang, cabang atau ranting dan memakan bagian empulur (xylem) (Gambar 4b). Serangan ini mengakibatkan bagian tanaman di atas lubang gerekan mengalami nekrosis, kering, merana dan mati (Nair 2007). Z. coffeae belum pernah dilaporkan sebelumnya menyerang pada tanaman belimbing. Tanaman inang hama ini yang telah dilaporkan adalah kopi, jeruk, kakao, teh, kapuk, jambu, pohon-pohon hutan, seperti jati, mahoni, cendana, akasia dan cemara laut (Kalshoven 1981; Nair 2007). Sebaran inang ini ditemukan banyak di Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara (CABI 2014). Larva berwarna merah kecoklatan cerah dan panjangnya berkisar antara 3-5 cm. Pupa berada di dalam liang gerekan. Imago mempunyai sayap depan berbintik hitam dengan dasar putih transparan (Setiawan 2006). a
b
Gambar 4 Gejala kerusakan dan Z. coffeae, (a) cabang dengan lubang gerekan dan (b) larva menggerek di dalam cabang Penggerek bunga Diacrotricha fasciola Zeller (Lepidoptera: Pterophoridae) Larva instar awal D. fasciola menggerek bunga yang masih kuncup, sehingga mengakibatkan bunga menjadi kering dan rontok (Gambar 5a). Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Mandasari (2014) bahwa larva D. fasciola melubangi bunga belimbing yang masih kuncup dan mengakibatkan bunga berlubang, kemudian rontok. Imago D. fasciola aktif pada bagian tanaman yang ternaungi seperti di balik daun. Tanaman inang dari D. fasciola tersebar di daerah tropis dan tanaman inang utamanya adalah tanaman belimbing manis dan belimbing wuluh. Larva D. fasciola instar 2 – 3 berwarna merah dan menggerek bunga belimbing (Gambar 5b) yang mengakibatkan bunga rontok dan larva instar akhir berwarna hijau pucat (Gambar 5c). Imago berwarna putih kecoklatan dengan posisi sayap melintang pada waktu istirahat (Gambar 5d), dan bertungkai panjang dengan taji pada femur, serta tibia pada bagian dalam (Mandasari 2014). Imago betina meletakkan telur di bakal bunga dan tangkai bunga. Imago lebih banyak hinggap pada bunga belimbing yang mekar dan saat istirahat, tungkai bagian depan dan
19 tengah menopang seluruh tubuhnya, sedangkan tungkai bagian belakang terangkat ke atas. a
b
c
d
Gambar 5 Gejala kerusakan dan D. fasciola, (a) bunga berlubang dan (b) larva instar awal; (c) larva instar akhir dan (d) imago Kutudaun Toxoptera aurantii Boyer de Fonscolombe (Hemiptera: Aphididae) T. aurantii hidup berkoloni dan menyerang dompolan bunga belimbing dan buah muda. Serangan pada dompolan bunga belimbing mengakibatkan bunga kering dan diselimuti jamur kapang jelaga (Gambar 6a). Serangan pada buah muda mengakibatkan buah mengalami malformasi (Gambar 6b), dikarenakan serangga ini menghisap cairan jaringan tanaman, sehingga jaringan menjadi kering dan mengalami malformasi (Agarwala & Bhattacharya 1995). a
b
c
d
0.5 mm
Gambar 6 Gejala kerusakan dan T. aurantii, (a) dompolan bunga dan (b) buah muda; (c) panjang tubuh < 2 mm dan (d) kaudal dengan rambut 10 – 21 helai
20 Imago T. aurantii berbentuk oval, berwarna hitam dengan antena berwarna hitam putih berselingan, kaudal dan kornikel berwarna hitam, dan hidup berkoloni (Permatasari 2013). Ciri khas T. aurantii adalah panjang tubuhnya tidak lebih dari 2 mm (Gambar 6c), kaudal berbentuk seperti lidah dengan rambut berjumlah 10 – 21 helai (Gambar 6d), dan memiliki stridulatory apparatus di bagian ventral abdomen dekat dengan kornikel (Carver 1978). T. aurantii tersebar di seluruh daerah tropis dan subtropis termasuk kepulauan Pasifik dan merupakan hama polifag dengan sebaran inang pada tanaman buah, seperti jeruk, kopi, kakao, teh, mangga, sirsak, nangka, manggis, pisang, lemon, sawo, dan belimbing manis (Carver 1978; Sinaga 2014). Kutu putih Maconellicoccus hirsutus Green (Hemiptera: Pseudococcidae) M. hirsutus menyerang dompolan bunga belimbing (Gambar 7a) dan pangkal buah (Gambar 7b). Kerusakan yang disebabkan oleh M. hirsutus sebagai bagian dari aktivitas makan dengan mengeluarkan toxic saliva, sehingga bagian tanaman yang terserang mengalami malformasi (Kairo et al. 2000). Serangan pada bunga mengakibatkan bunga rontok dan gagal menjadi buah. Serangan pada tangkai buah mengakibatkan buah rontok sebelum waktunya, sedangkan pada buah mengalami malformasi (Kairo et al. 2000; Chong 2009). M. hirsutus belum pernah dilaporkan menyerang tanaman belimbing sebelumnya. Hama ini bersifat polifag yang mempunyai banyak inang, seperti jambu biji, sirsak, srikaya, rambutan, kembang sepatu, kakao, jeruk, beringin, jati dan tersebar di bagian Asia Selatan sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Williams & Watson 1988; Nasution 2012). Karakter taksonomi imago M. hirsutus adalah antena dengan 9 ruas (Gambar 7c), memiliki circulus pada bagian ventral abdomen (Gambar 7d), tungkai belakang tanpa translucent pores, jumlah cerarii 5 – 7 pasang pada bagian ventral abdomen, memiliki anal rim, dan oral rims (Williams & Watson 1988; Miller 1999). a
b
c
d
Gambar 7 Gejala kerusakan dan M. hirsutus, (a) dompolan bunga dan (b) pangkal buah; (c) antena 9 ruas dan (d) circulus pada ventral abdomen
21 Trips Thrips javanicus Priesner (Thysanoptera: Thripidae) T. javanicus menyerang tanaman belimbing pada bagian bunga dan buah yang masih muda yang mengakibatkan buah mengalami malformasi dan burik berwarna keperakan muncul dari bagian pangkal buah (Gambar 8a). Serangan yang parah dapat mengakibatkan buah menjadi burik kecoklatan diikuti pecahnya kulit buah (Gambar 8b). Hal ini diduga sebagai aktiftas makan trips saat fase bunga dan buah yang masih muda. a
b
c
d
0.5 mm
Gambar 8
Gejala kerusakan dan T. javanicus, (a) malformasi buah dan (b) permukaan kulit buah pecah; (c) imago T. javanicus dan (d) penampang sayap depan antara seta venasi pertama dan kedua
Serangan trips pada buah pisang, alpukat, jeruk, anggur dan strawberi mengakibatkan permukaan kulit buah menjadi tidak normal, meninggalkan luka pada kulit buah seperti bekas parutan dan mengakibatkan buah menjadi burik berwarna keperakan hingga kecoklatan dan permukaan buah menjadi berkeriput disebabkan oleh aktivitas makan trips saat fase bunga dan buah masih muda muda (Vierbergen & Reynaud 2005; Yusup 2012). T. javanicus tersebar di pulau Jawa dan dilaporkan menyerang pada belimbing manis dan jeruk (Sartiami & Mound 2013; Subagyo 2014). Imago T. javanicus (Gambar 8c) mirip dengan Thrips parvispinus, namun perbedaannya terdapat pada seta venasi sayap depan. Deretan seta pada venasi pertama sayap depan T. javanicus tidak lengkap, sedangkan pada venasi keduanya lengkap (Gambar 8d), antena 7 ruas, tidak terdapat deretan comb atau microtrichia pada tergit abdomen ruas VIII, dan tidak terdapat seta diskal pada sternit abdomen (Subagyo 2014). Kepik penghisap Helopeltis bradyi Waterhouse (Hemiptera: Miridae) Serangan H. bradyi mengakibatkan permukaan buah mengalami nekrotik berupa bercak cekung ke dalam yang berwarna coklat sampai kehitaman (Gambar 9a). Gejala ini disebabkan aktifitas makan H. bradyi yang menusukkan stilet ke dalam jaringan buah kemudian menghisap cairan di dalamnya dan secara bersamaan mengeluarkan cairan ludah dari dalam mulutnya. Hal ini mengakibatkan kematian pada jaringan tanaman di sekitar tusukan (Sudarmadji
22 1989). Serangan pada buah muda mengakibatkan buah kering dan rontok, sedangkan serangan pada buah yang tua mengakibatkan buah cacat fisik dan dapat menurunkan harga jual (Srikumar et al. 2013). Serangan hama ini belum pernah dilaporkan menyerang tanaman belimbing sebelumnya. H. bradyi tersebar di India Selatan, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, dan Singapura. Tanaman inangnya antara lain kakao, teh, jeruk, kopi, jambu monyet, kina, gadung, dan akasia (Stonedahl 1991). Ciri-ciri morfologi H. bradyi (Gambar 9b) yaitu pangkal femur belakang melebar dengan pola berwarna pucat, antena ruas pertama lebih panjang dibandingkan lebar pronotum bagian bawah (Stonedahl 1991). a
b
1 mm
Gambar 9 Gejala kerusakan dan H. bradyi, (a) nekrosis pada buah dan (b) imago Penggerek buah Cryptophlebia leucotreta Meyrick (Lepidoptera: Tortricidae) Larva C. leucotreta menyerang buah belimbing dengan gejala kerusakan yang khas yaitu terdapat serpihan gerekan dan eksudat hasil aktivitas makan di sekitar lubang gerekan (Gambar 10a). Larva instar akhir akan keluar dari inangnya dan mencari tempat berpupa di tanah, di celah kulit buah atau di substrat di sekitar buah seperti pada pembungkus buah (Venette et al. 2003). Buah yang telah digerek mengalami cacat fisik berupa nekrotik pada lubang gerekan (Gambar 10b). Imago betina aktif pada malam hari dan meletakkan telur pada permukaan jaringan buah belimbing yang masih muda dan bagian pucuk buah. Umumnya, jumlah larva dalam buah hanya berkisar 1-3 ekor. Hal ini karena larva instar awal bersifat kanibal pada telur dan larva lain (Daiber 1981). C. leucotreta merupakan hama polifag dan tersebar hampir di seluruh daerah tropis dan subtropis. Tanaman inangnya antara lain adalah alpukat, pisang, apel, kopi, kapas, anggur, mangga, lemon, jeruk, jambu, leci, jagung, dan belimbing (Stotter 2009). Larva instar akhir C. leucotreta memiliki ciri-ciri yaitu berwarna merah muda sampai merah, memudar pada bagian sisi samping, kepala berwarna merah terang, dan pronotum berwarna coklat kekuningan (Gambar 10c) (USDA 2014). Imago C. leucotreta (Gambar 10d) berukuran panjang 6-12 mm dengan warna coklat keabu-abuan, sayap depan memanjang dengan triangular patch berwarna hitam, sayap belakang berwarna coklat muda pucat, tibia bagian belakang dengan lempeng sisik yang termodifikasi, dan apical spur melebar dengan sisik yang bertumpuk (Komai 1999; Venette et al. 2003).
23 a
b
c
1 mm
d
1 mm
Gambar 10 Gejala kerusakan dan C. leucotreta, (a) lubang gerekan pada buah dan (b) buah cacat fisik; (c) larva instar akhir dan (d) imago Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) Serangan lalat buah secara umum mengakibatkan buah menjadi busuk dan rontok. Bekas tusukan ovipositor mengakibatkan bintik-bintik hitam, diikuti nekrotik di sekitar bintik hitam bekas oviposisi (Gambar 11a). Larva terdiri atas tiga instar dalam waktu antara 6 – 10 hari dan hidup di dalam jaringan buah (Putra & Suputa 2013). Larva instar akhir keluar dari jaringan buah dan melentingkan tubuhnya ke tanah untuk berpupa. Buah yang rontok dapat memberikan peluang bagi imago lalat buah untuk meletakkan telur dan melanjutkan siklus hidup berikutnya. Serangan lalat buah pada belimbing manis dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 60 – 100% (Nismah & Susilo 2008). a
b
c
2 mm
2 mm
Gambar 11 Gejala serangan dan jenis Bactrocera spp. (a) bintik hitam bekas oviposisi; (b) B. carambolae dan (c) B. dorsalis
24 Berdasarkan hasil pemeliharaan buah yang terserang, buah terinfestasi oleh B. carambolae Drew & Hancock dan B. dorsalis Hendel. Ciri morfologi utama B. carambolae adalah costal band sayap tumpang tindih terhadap R2+3, abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band melebar dan sudut anterolateral pada terga ke IV berbentuk persegi (Gambar 11b). Ciri utama morfologi B. dorsalis adalah costal band sayap terletak sejajar atau melewati R2+3, abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band yang menyempit dan sudut anterolateral pada terga IV yang berbentuk segitiga atau tidak ada (Gambar 11c). Kedua jenis lalat buah ini merupakan hama polifag dan memiliki sebaran inang yang luas antara lain belimbing, nangka, mangga, pepaya, jeruk siam, jambu air, jambu biji, jambu bol, sirsak, srikaya, alpukat, cabai besar, cabai rawit, sukun, cempedak, rambutan, dan belimbing wuluh (Suputa et al. 2010). Kepadatan Populasi dan Intensitas Kerusakan Serangan Hama Kepadatan populasi M. hirsutus di desa Karangsono berbeda nyata (Tabel 4). Tingginya kepadatan populasi ini terkait dengan vegetasi di Desa Karangsono yang juga didominasi oleh tanaman jambu. Nasution (2012) melaporkan bahwa tanaman jambu merupakan salah satu inang utama dari M. hirsutus. Terdapat dugaan M. hirsutus pindah ke pertanaman belimbing ketika sumber daya di tanaman jambu tidak tersedia atau tidak terpenuhi. Tabel 4 Kepadatan populasi hama belimbing (per empat cabang utama) di tiga desa Desa a Hama Karangsono Gogodeso Pojok b b ( ± SE) ( ± SE) ( ± SE) b M. hirsutus 22.33 ± 6.02 a 5.50 ± 3.65 b 8.75 ± 2.65 b T. aurantii 17.00 ± 10.01 a 38.00 ± 16.50 a 11.33 ± 6.98 a P. plagiophleps 1.42 ± 0.89 a 0.17 ± 0.11 a 2.33 ± 1.37 a D. fasciola 18.67 ± 5.16 a 7.92 ± 2.90 a 16.08 ± 6.41 a a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. b : rata-rata; SE: standar error.
Intensitas kerusakan yang tinggi akibat serangan Bactrocera spp., dan C. leucotreta di Desa Gogodeso berbeda nyata, sedangkan T. javanicus berbeda nyata di Desa Pojok (Tabel 5). Tingginya intensitas kerusakan di Desa Gogodeso terkait dengan sanitasi buah yang tidak dilakukan di desa tersebut. Penerapan sanitasi buah meliputi pengumpulan buah yang terserang lalat buah, baik yang telah jatuh di tanah maupun yang masih di pohon dan berupa pemipiran buah yang tidak masuk kriteria pembungkusan buah. Sanitasi buah dapat memutuskan generasi lalat buah selanjutnya dan memperkecil peluang oviposisi telur oleh lalat buah betina. Hasyim et al. (2008) melaporkan bahwa pada lokasi pertanaman yang tidak menerapkan sanitasi buah dapat meningkatkan intensitas serangan lalat buah, sebaliknya pada lokasi pertanaman yang menerapkan sanitasi buah dapat menurunkan intensitas serangan sebanyak 20%. Sanitasi buah yang tidak dilakukan juga berpengaruh terhadap tingginya tingkat intensitas kerusakan oleh C. leucotreta di Desa Gogodeso.
25 Tabel 5 Intensitas kerusakan serangan hama belimbing di tiga desa Desa a Hama Karangsono (%) Gogodeso (%) Pojok (%) b b ± SE) ± SE) ± SE) b Bactrocera spp. 6.56 ± 1.93 b 19.75 ± 4.81 a 2.58 ± 1.29 b C. leucotreta 0.23 ± 0.21 b 5.45 ± 1.54 a 0.69 ± 0.38 b T. javanicus 1.32 ± 1.32 b 0.24 ± 0.24 b 26.67 ± 9.13 a H. bradyi 0.00 ± 0.00 a 6.84 ± 3.41 b 0.00 ± 0.00 a Z. coffeae 0.00 ± 0.00 a 4.17 ± 4.17 a 0.00 ± 0.00 a a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. b : rata-rata; SE: standar error.
Intensitas kerusakan yang disebabkan T. javanicus di Desa Pojok lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Karangsono dan Gogodeso. Tingginya serangan di Desa Pojok karena didominasi tanaman belimbing berumur sekitar 6 – 10 tahun, sedangkan di dua desa lain berumur sekitar 11-15 tahun. Umur tanaman 6-10 tahun merupakan umur pertengahan pada tanaman belimbing yaitu umur produktif untuk menghasilkan bunga dan buah. Menurut Sudrajat et al. (2011), tanaman pada umur pertengahan cenderung memiliki tajuk yang masih terbuka, sehingga memperbesar peluang masuknya cahaya matahari dan fotosintesis yang terjadi dapat menghasilkan kandungan karbohidrat yang tinggi pada tanaman, hal ini akan merangsang pertumbuhan generatif yang ditandai dengan munculnya bunga dan buah. Bunga dan buah muda merupakan inang dari T. javanicus. Semakin banyak sumber daya inang, maka semakin banyak pula populasi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan. Intensitas kerusakan serangan H. bradyi dan Z. coffeae hanya ditemukan di Desa Gogodeso. Hal ini karena vegetasi sekitar pertanaman belimbing di Desa Gogodeso didominasi oleh tanaman kakao. Tanaman kakao merupakan inang utama dari H. bradyi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Stonedahl (1991) bahwa tanaman kakao adalah tanaman inang utama dari H. bradyi dan sering mengakibatkan kerusakan tinggi. Selain sebagai inang utama dari H. bradyi, tanaman kakao juga merupakan inang utama dari Z. coffeae. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Deptan (2002a), tanaman kakao merupakan salah satu inang utama dari hama ini. Kondisi pertanaman kakao di Desa Gogodeso sudah tidak terawat, sehingga ada dugaan kedua hama ini pindah ke pertanaman belimbing akibat sumber daya yang tidak terpenuhi lagi. Dinamika Populasi Lalat Buah Dinamika populasi lalat buah dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik. Salah satu faktor abiotik adalah penerapan sanitasi buah. Populasi total lalat buah (imago lalat buah + parasitoid) di Desa Karangsono dan Gogodeso lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Pojok pada dua periode (Gambar 12). Perbedaan antar desa ini diduga terkait dengan penerapan sanitasi buah, meliputi pengumpulan buah yang terserang lalat buah, baik yang masih di pohon atau jatuh di tanah, dan buah yang tidak dibungkus, serta hasil pemipiran. Desa Karangsono dan Gogodeso termasuk desa yang penerapan sanitasi buahnya tergolong kurang baik, sedangkan Desa Pojok memiliki penerapan sanitasi buah yang baik dan berkala. Penerapan sanitasi buah berperan penting untuk menurunkan populasi
26 lalat buah yang menjadi sumber penting bagi perkembangbiakan lalat buah dan tidak memberikan peluang bagi lalat buah betina untuk meletakkan telur (Ansari et al. 2012). Hasyim et al. (2008) melaporkan sanitasi buah dapat menurunkan kelimpahan populasi B. tau pada pertanaman markisa. Praktik sanitasi buah ini yang mengakibatkan rendahnya populasi total lalat buah di Desa Pojok pada dua periode. 245 202
199 144
89 71
20
58 Sept IV
Okt II
LB /
153 153
33
Okt IV
240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
54
∑T
∑T
LB /
240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Nov II
186
110 96
119
164 165
151
114
76 54 Des IV
Periode Bulan Kering
53
52
Jan II Jan IV Feb II Periode Bulan Basah
Gambar 12 Populasi total lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan Populasi total lalat buah di tiap desa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara periode bulan basah dan bulan kering (Gambar 12 dan Tabel 6). Hal ini terkait dengan tanaman belimbing yang berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga buah selalu tersedia sebagai inang bagi lalat buah. Soesilohadi (2002) melaporkan buah belimbing yang berbuah sepanjang tahun tidak memengaruhi fluktuasi populasi lalat buah, namun hanya memengaruhi ukuran populasi lalat buah. Hal ini berbeda pada komoditas yang berbuah musiman seperti buah mangga. Jiron dan Hedstrom (1991) melaporkan tingginya populasi lalat buah Anastrepha sp. hanya terjadi saat musim berbuah mangga, sedangkan di luar musim tersebut populasinya sangat rendah bahkan tidak ditemukan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Parasitisasi (%)
Parasitisasi (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Sep IV
Okt II Okt IV Nov II Periode Bulan Kering
Des IV
Jan II Jan IV Feb II Periode Bulan Basah
Gambar 13 Tingkat parasitisasi lalat buah di tiga desa pada dua periode bulan
27 Tabel 6 Populasi total lalat buah, lalat buah yang muncul dan total parasitisasi lalat buah pada periode bulan kering dan basah di tiga desa Total Lalat Lalat buah yang b Total buah muncul b Periode Desa parasitisasi a (ekor/10 buah) (ekor/10 buah) bulan (%) c ( ± SE) ( ± SE) c Kering 171.2 ± 20.6 a 137.4 ± 15.9 a 19.11 b Karangsono Basah 144.7 ± 15.2 a 78.7 ± 9.91 b 43.19 a Kering 142.3 ± 17.1 a 95.6 ± 11.5 a 29.86 b Gogodeso Basah 131.3 ± 20.7 a 63.3 ± 11.1 b 52.14 a Kering 41.1 ± 6.64 a 34.2 ± 6.22 a 19.23 b Pojok Basah 58.8 ± 10.0 a 31.6 ± 5.08 a 36.95 a a
Kering (September-November; CH < 200 mm), Basah (Desember-Februari; CH > 200 mm). Angka pada kolom per desa yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada taraf nyata 5%. c : rata-rata; SE: standar error.
b
Tingkat parasitisasi lalat buah pada periode bulan basah lebih tinggi dibandingkan dengan periode bulan kering (Gambar 13 dan Tabel 6). Parasitoid berperan sebagai faktor biotik yang mekanisme kerjanya terpaut dengan kepadatan lalat buah sebagai inangnya. Tingginya tingkat parasitisasi lalat buah pada periode bulan basah diduga sebagai akumulasi pada periode bulan kering sebelumnya yang merupakan bentuk tanggap terhadap kepadatan lalat buah. Parasitoid lalat buah merupakan salah satu faktor utama yang mampu menghambat populasi lalat buah. Vargas et al. (2012) melaporkan bahwa parasitoid lalat buah khususnya dari famili Braconidae mampu menekan populasi lalat buah sebesar 9 – 95% tergantung iklim sebagai faktor abiotik. Selain itu, tingginya tingkat parasitisasi pada periode bulan basah diduga juga terkait dengan kesesuaian iklim terhadap perkembangan parasitoid, sehingga berpengaruh terhadap tingkat parasitisasinya. Faktor yang memengaruhi tingginya tingkat parasitisasi pada bulan basah adalah curah hujan. Berdasarkan data iklim di Kabupaten Blitar, curah hujan pada periode bulan kering (September, Oktober, dan November) berturut-turut 0, 0, dan 91 mm dan pada periode bulan basah (Desember, Januari, dan Februari) berturut-turut 498.5, 194, dan 306.5 mm. Curah hujan yang tergolong tinggi pada peridoe bulan basah memberikan pengaruh terhadap perkembangan parasitoid dan tingkat survive parasitoid, sehingga mampu menekan populasi lalat buah yang muncul pada periode bulan basah. Kitthawee (2000); Vargas et al. (2012) melaporkan populasi Fopius arisanus dan Diachasmimorpha longicaudata yang relatif rendah pada musim kering dan tinggi pada musim hujan yang dipengaruhi oleh intensitas curah hujan. Hal ini mengakibatkan populasi lalat buah yang muncul pada periode bulan basah lebih rendah dibandingkan dengan periode bulan kering (Tabel 6). Tingginya tingkat parasitisasi parasitoid pada periode bulan basah mampu menekan populasi lalat buah yang muncul, sehingga populasi lalat buah pada periode bulan basah lebih rendah dibandingkan dengan periode bulan kering.
28 Serangan Lalat Buah pada Buah Belimbing Serangan lalat buah pada tiap umur perkembangan buah Serangan awal lalat buah mulai terjadi pada saat buah belimbing berumur 14 hari setelah terbentuk buah (M2). Gejala serangannya berupa bercak titik hitam pada permukaan buah, buah berukuran panjang 4.0 – 5.0 cm dan buah berwarna hijau tua (Gambar 14a). Serangan awal lalat buah terjadi pada buah berumur 14 HTB terjadi pada empat buah dan serangan tertinggi terjadi pada buah berumur 21 HTB (M3) terjadi pada 13 buah (Tabel 7). Serangan awal pada buah berumur 14 HTB dikarenakan buah lainnya diberi perlakuan pembungkusan, sehingga lalat buah menginfestasikan telurnya pada buah muda yang tidak diberi perlakuan pembungkusan. Tan dan Serit (1994) melaporkan bahwa serangan awal B. dorsalis pada buah belimbing muda dikarenakan sumber daya yaitu buah belimbing dalam kondisi terbatas di lapangan. Tabel 7 Jumlah buah yang terserang lalat buah berdasarkan umur hari terbentuk buah (HTB) Perlakuan W1 W2 W3 W4 W5 W6 Kontrol
M1 7 HTB 0 0 0 0 0 0 0
M2 14 HTB 0 0 0 3 1 0 0
Waktu pengamatan M3 M4 21 HTB 28 HTB 0 0 0 0 0 0 2 1 4 0 3 5 4 4
M5 35 HTB 0 0 0 0 0 0 1
M6 42 HTB 0 0 0 0 0 0 0
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tidak semua buah yang menunjukkan gejala oviposisi lalat buah menjadi busuk dan rontok sebelum panen. Terdapat buah yang tetap berkembang hingga panen dengan meninggalkan bekas oviposisi pada permukaan buahnya (Gambar 14b). Hal ini terjadi pada lima buah dengan serangan awal pada buah umur 14 HTB sebanyak tiga buah dan 21 HTB sebanyak dua buah (14 dan 21 HTB). Hal ini diduga bahwa buah yang telah diinfestasi telur lalat buah betina tersebut tidak dapat berkembang karena ketidaksesuaian nutrisi dari buah yang masih muda. Seperti yang dilaporkan oleh Prastowo dan Siregar (2014) dalam penelitiannya, bahwa serangan lalat buah pada buah belimbing muda yang berumur kurang dari 20 hari memiliki kandungan nutrisi yang masih sedikit bagi perkembangan larva, sehingga mengakibatkan perkembangan larva terhambat atau mati.
29 a
b
Gambar 14 Gejala serangan lalat buah, (a) buah berumur 14 hari terbentuk buah dan (b) buah yang dipanen Intensitas kerusakan dan kepadatan lalat buah serta parasitisasi lalat buah pada tiap umur perkembangan buah Fenologi buah berdasarkan umur perkembangan buah berupa perubahan ukuran buah dan warna buah, semakin matang buah terjadi perubahan warna buah dari hijau menjadi hijau kekuningan dan penambahan panjang buah (Gambar 15). W1
W2
W3
2.5 – 3.5 cm
4.0 – 5.0 cm
5.5 – 6.5 cm
W4
W5
W6
7.0 – 8.5 cm
9.5 – 11.0 cm
12.0 – 13.5 cm
Gambar 15 Fenologi buah belimbing pada tiap waktu perkembangan buah Intensitas kerusakan buah belimbing yang diakibatkan serangan lalat buah semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan ukuran buah (Tabel 8). Intensitas kerusakan mulai terjadi pada umur buah 28 HTB, kemudian meningkat secara bertahap sampai dengan 42 HTB dan kontrol (tanpa perlakuan pembungkusan) yang berturut-turut yaitu 22.22%, 55.56%, 77.78% dan 100%. Intensitas kerusakan buah yang semakin tinggi dikarenakan buah-buah tersebut lebih terekspos dan berpeluang untuk diinfestasi telur dibandingkan dengan buah buah yang berumur kurang dari 28 HTB. Selain itu, terdapat pengaruh dengan
30 semakin matangnya buah terhadap tingginya intensitas kerusakan buah. Buah yang matang lebih disukai oleh lalat buah terkait dengan perubahan warna, tekstur, dan kandungan nutrisi buah. Buah yang menjelang matang dan telah matang memiliki kecenderungan terjadi perubahan warna menjadi hijau kekuningan sampai kuning. Warna ini dijadikan sebagai penanda bagi lalat buah untuk menemukan lokasi inang. Selain itu, buah yang menjelang matang mengeluarkan senyawa volatil yang menarik lalat buah betina untuk mengolonisasi inang tersebut. Dalam penelitian Soesilohadi (2002) dijelaskan bahwa jumlah tertinggi pupa lalat buah terdapat pada buah belimbing dengan kisaran warna hijau kekuningan hingga kuning seluruhnya yang menunjukkan tingkat kematangan buah. Tekstur buah yang matang semakin lunak sehingga memudahkan lalat buah betina untuk oviposisi. Buah yang matang memiliki kandungan protein dan gula yang tinggi dibandingkan dengan buah yang belum matang. Kandungan ini diduga menjadi preferensi bagi lalat buah betina untuk oviposisi terkait dengan ketersediaan nutrisi yang mendukung bagi generasi selanjutnya. Buah yang semakin matang meningkatkan kandungan protein dalam buah. Kandungan protein merupakan sumber nutrisi bagi generasi lalat buah selanjutnya terutama larva (Soesilohadi 2002). Tabel 8
Umur buah a 7 HTB 14 HTB 21 HTB 28 HTB 35 HTB 42 HTB Kontrol
Intensitas kerusakan, kepadatan populasi imago lalat buah dan parasitoid (per buah) serta parasitisasi lalat buah berdasarkan perkembangan buah Kepadatan imago Intensitas (per buah) b Ukuran Parasitisasi kerusakan buah (cm) Lalat buah Parasitoid (%) (%) c c 2.5 – 3.5 4.5 – 5.0 5.5 – 6.5 7.0 – 8.5 9.5 – 11.0 12.0 – 13.5 14.5 – 15.5
0 0 0 22.22 55.56 77.78 100
0 ± 0.00 b 0 ± 0.00 b 0 ± 0.00 b 0.6 ± 0.38 b 2.2 ± 1.06 b 7.9 ± 2.29 a 9.2 ± 2.99 a
0 ± 0.00 b 0 ± 0.00 b 0 ± 0.00 b 0 ± 0.00 b 1.9 ± 1.26 b 5.6 ± 1.63 a 6.9 ± 1.74 a
0.00 0.00 0.00 0.00 45.94 41.32 42.76
a
HTB : Hari terbentuk buah. bAngka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. c : rata-rata; SE: standar error.
Kepadatan populasi imago lalat buah dan parasitoid yang muncul (per buah) pada tiap umur perkembangan buah menunjukkan kepadatan lalat buah semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur dan ukuran buah (Tabel 8). Pada buah berumur 7 dan 21 HTB tidak ditemukan imago lalat buah yang muncul. Pada 28 HTB sampai kontrol ditemukan imago lalat buah yang muncul. Jumlah parasitoid mulai muncul pada buah 35 HTB sampai kontrol. Pada setiap umur perkembangan buah yang berbeda menunjukkan pengaruh terhadap jumlah lalat buah dan parasitoid yang muncul. Hal ini terkait dengan perkembangan buah belimbing yang mengalami perubahan ukuran panjang buah (Gambar 15). Salah satu faktor yang diduga memberikan pengaruh terhadap semakin banyak jumlah dari imago lalat buah yang muncul dengan semakin berkembangnya buah adalah ukuran buah. Ukuran buah berhubungan dengan kuantitas sumber daya inang
31 yang nantinya digunakan sebagai pemenuhan nutrisi bagi larva lalat buah. Chua dan Khoo (1995) dalam penelitiannya melaporkan bahwa proses penusukan telur (ovipunctures) dari lalat buah B. carambolae dan parasitoidnya dipengaruhi oleh ukuran buah yang berpengaruh terhadap jumlah imago lalat buah dan parasitoid yang muncul dari setiap buah. Hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah parasitoid yang bersifat terpaut kepadatan lalat buah yang semakin tinggi mengikuti kepadatan inangnya. Tingginya jumlah parasitoid dan tingkat parasitisasi lalat buah berhubungan dengan semakin matangnya buah dan mengikuti kepadatan populasi lalat buah (Tabel 8). Peningkatan jumlah parasitoid dan tingkat parasitisasi lalat buah selain dipengaruhi oleh kepadatan dari lalat buah, juga dipengaruhi oleh tanaman inang yaitu buah belimbing. Terdapat hubungan yang saling terkait antara parasitoid, lalat buah, dan buah belimbing. Dalam proses pencarian inang, umumnya parasitoid terlebih dahulu menemukan tanaman dari inangnya dengan menggunakan respon visual yaitu warna buah. Selanjutnya, parasitoid menggunakan respon olfaktori yang dikeluarkan oleh tanaman belimbing (senyawa volatil) sebagai penanda yang mengarahkan parasitoid tersebut menuju tanaman inangnya. Tahap selanjutnya adalah mengenali ada tidaknya inang dan kecocokan inang. Seperti yang dilaporkan oleh Ero et al. (2011) dalam penelitiannya bahwa kondisi tanaman inang dan buah menjadi syarat penting bagi Diachasmimorpha kraussii dalam proses mencari dan menemukan inang selain dipengaruhi oleh kepadatan larva dari lalat buah B. tryoni. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah juga memberikan variasi terhadap oviposisi parasitoid yang berpengaruh terhadap tingkat parasitisasi dan jumlah imago parasitoid yang muncul (Purcell et al. 1994; Silva et al. 2007). Jenis Lalat Buah dan Parasitoid Jenis-jenis lalat buah Berdasarkan hasil pengamatan metode dinamika populasi lalat buah, lalat buah yang ditemukan berasosiasi dengan tanaman belimbing di wilayah Kabupaten Blitar adalah B. carambolae Drew & Hancock, B. dorsalis Hendel, dan B. albistrigata de Maijere (Gambar 16). Ciri utama morfologi B. carambolae adalah costal band sayap tumpang tindih terhadap R2+3, pada abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band melebar dan sudut anterolateral pada terga ke IV berbentuk persegi (Gambar 16a) (Larasati 2012; Schutze et al. 2014). Ciri utama morfologi B. dorsalis adalah costal band sayap terletak sejajar atau melewati R2+3, abdomen terdapat pola T dengan medial longitudinal dark band yang menyempit dan sudut anterolateral pada terga IV yang berbentuk segitiga atau tidak ada (Gambar 16b) (Larasati 2012; Schutze et al. 2014). Ciri utama morfologi B. albistrigata adalah terdapat dua pita tambahan yang melintang dari costal sayap menuju bagian bawah sayap (Gambar 16c), terdapat medial longitudinal dark band yang melebar dari terga III hingga terga V, lateral dark marking pada bagian lateral abdomen sangat tebal dan tungkai didominasi oleh warna kuning pucat (Larasati 2012).
32 a
b
c
Gambar 16 Lalat buah yang menyerang buah belimbing, (a) B. carambolae; (b) B. dorsalis dan (c) B. albistrigata Kelimpahan tiap jenis lalat buah diperoleh dari total 960 buah selama pengamatan. B. carambolae dan B. dorsalis ditemukan di semua lokasi pengamatan pada semua periode bulan, sedangkan B. albistrigata hanya ditemukan di lokasi Desa Gogodeso pada peridoe bulan basah dan dalam jumlah yang sedikit (Tabel 9). Serangan B. albistrigata telah dilaporkan sebelumnya menyerang buah belimbing di daerah Bogor (Larasati 2012). Tabel 9 Jenis dan kelimpahan lalat buah di tiga desa Desa (ekor /10 buah) Jenis lalat buah Karangsono Gogodeso Pojok B. carambolae 69.7 53.7 21.0 B. dorsalis 38.4 25.7 11.9 B. albistrigata 0 0.1 0
Rata-rata 48.1 25.3 0.03
Kelimpahan relatif didominasi oleh B. carambolae, kemudian B. dorsalis dan diikuti B. albistrigata yang berturut-turut adalah 65.46%, 34.50% dan 0.04% (Gambar 17). Jumlah B. carambolae yang mendominasi dari ketiga jenis lalat buah diduga karena buah belimbing merupakan inang utama dari lalat buah tersebut dan kemampuannya dalam mengolonisasi sumber daya. Vargas et al. (2012) melaporkan mekanisme dominasi dari salah satu jenis lalat buah terkait dengan kesesuaian nutrisi dan mekanisme perilaku yang aktif dalam mengolonisasi inang, baik pada fase dewasa maupun larva.
33 B. dorsalis 34.50 %
B. carambolae 65.46 %
B. albistrigata 0.04 %
Gambar 17 Kelimpahan relatif B. carambolae, B. dorsalis dan B. albistrigata Jenis-jenis parasitoid lalat buah Berdasarkan hasil pengamatan metode dinamika populasi lalat buah, parasitoid yang ditemukan berasosiasi dengan lalat buah pada tanaman belimbing di wilayah Kabupaten Blitar adalah Fopius sp. dan Diachasmimorpha sp. (Hymenoptera: Braconidae) (Gambar 18). Fopius sp. merupakan parasitoid soliter telur-pupa sedangkan Diachasmimorpha sp. merupakan parasitoid soliter larvapupa. Kedua parasitoid ini merupakan parasitoid utama dari lalat buah khususnya dari genus Bactrocera (Ibrahim et al. 1994; Chinajariyawong et al. 2000). a
b
c
d
Gambar 18 Parasitoid lalat buah (a) Fopius sp. betina (b) Fopius sp.jantan (c) Diachasmimorpha sp. betina (d) Diachasmimorpha sp. jantan Kelimpahan tiap jenis parasitoid diperoleh dari total 960 buah selama pengamatan. Kelimpahan Fopius sp. dan Diachasmimorpha sp. tertinggi di Desa Gogodeso dan terendah di Desa Pojok (Tabel 10). Kelimpahan relatif parasitoid didominasi oleh Fopius sp., kemudian Diachasmimorpha sp. berturut-turut adalah 72.15% dan 27.85% (Gambar 19).
34 Tabel 10 Jenis dan kelimpahan parasitoid lalat buah di tiga desa Desa (ekor /10 buah) Jenis parasitoid Rata-rata Karangsono Gogodeso Pojok Fopius sp. 36.1 43.1 10.4 29.9 Diachasmimorpha sp. 13.8 14.3 6.6 11.5
. 72.15%
. 27.85% Fopius sp.
Diachasmimorpha sp.
Gambar 19 Kelimpahan relatif Fopius sp. dan Diachasmimorpha sp. Dominasi dari Fopius sp. dibandingkan dengan Diachasmimorpha sp. diduga karena karakteristik dari Fopius sp. sebagai parasitoid telur-pupa yang lebih mudah menemukan inangnya yang berupa telur yang lebih mudah dijangkau di permukaan buah dibandingkan larva yang cenderung berada di dalam jaringan dalam buah. Hal ini memberikan peluang bagi Fopius sp. untuk memarasit lebih tinggi dibandingkan dengan Diachasmimorpha sp. Vargas et al. (2012) melaporkan bahwa Fopius arisanus mempunyai perilaku untuk menginfestasi telur yang peletakannya berada di dekat permukaan buah sehingga berpeluang lebih tinggi mengalami parasitisasi dibandingkan dengan larva. Selain itu, kemampuan Fopius sp. dalam mengolonisasi inang mampu mengeliminasi parasitoid lain. Parasitoid telur-pupa Fopius sp. memiliki kemampuan untuk memenangkan kompetisi intrisik dengan parasitoid lain seperti Diachasmimorpha spp., Psytallia spp., dan eulophid parasitoid Tetrastichus giffardianus (Purcell et al. 1998; Wang & Messing 2003).
35
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hama yang ditemukan menyerang tanaman belimbing di wilayah Kabupaten Blitar sebanyak 10 spesies. P. plagiophleps menyerang daun, Z. coffeae menyerang cabang dan ranting, D. fasciola menyerang bunga, T. aurantii, M. hirsutus dan T. javanicus menyerang bunga dan buah, H. bradyi, C. leucotreta, B. carambolae dan B. dorsalis menyerang buah. M. hirsutus populasinya tinggi di Desa Karangsono sedangkan intensitas kerusakan B. carambolae, B. dorsalis, C. leucotrera dan H. bradyi tinggi di Desa Gogodeso dan T. javanicus tinggi di Desa Pojok. Populasi lalat buah di Desa Pojok lebih rendah dibandingkan dua desa lainnya, sedangkan antara periode bulan kering dan basah tidak berbeda nyata. Imago lalat buah yang muncul pada periode bulan kering lebih tinggi dibandingkan dengan periode bulan basah. Dinamika populasi lalat buah di wilayah Kabupaten Blitar dipengaruhi oleh sanitasi buah dan parasitoid. Kelimpahan lalat buah rendah pada lokasi yang memiliki penerapan sanitasi buah. Parasitoid dapat menekan populasi lalat buah dengan mengikuti kepadatan lalat buah dan lebih tinggi pada periode bulan basah dibandingkan period bulan kering. Serangan awal lalat buah terjadi pada buah berumur 14 hari setelah terbentuk buah dan serangan tertinggi terjadi pada buah berumur 21 hari. Intensitas kerusakan buah belimbing di wilayah Kabupaten Blitar berkisar 22.22 – 100 %. Kepadatan lalat buah semakin tinggi dengan semakin bertambahnya umur buah. Saran Penelitian lebih lanjut dengan penekanan pada pengaruh tanaman belimbing terhadap tanaman budidaya sekitar yang diduga merupakan inang alternatif dari B. carambolae dan B. dorsalis dengan menambahkan metode berupa pemeliharaan buah dengan kriteria buah yang berbeda dari mulai matang dan buah yang telah jatuh di tanah dan metode perangkap atraktan untuk melihat pola sebaran lalat buah selama penelitian.
36
DAFTAR PUSTAKA Agarwala BK, Bhattacharya S. 1995. Seasonal abundance of black citrus aphid Toxoptera aurantii in North-East India: Role of temperature. Proc Indian Natl Sci Acad (B Biol Sci). 61(5):377-382. Aluja M, Fleischer FD, Papaj DR, Lagunes G, Sivinski J. 2001. Effects of age, diet, female density, and the host resource on egg load in Anastrepha ludens and Anastrepha obliqua (Diptera: Tephritidae). J Insect Physiol. 47:975-988. Ansari MS, Hasan F, Ahmad N. 2012. Threats to fruit and vegetable crops: Fruit flies (Tephritidae) - ecology, behaviour, and management. J Crop Sci Biotechnol. 15(3):169-188. doi:10.1007/s12892-011-0091-6. Aprilia NT. 2011. Studi pustaka hama sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Astriyani NKNK. 2014. Keragaman dan dinamika populasi lalat buah yang menyerang buah-buahan di Bali [tesis]. Denpasar (ID): Universitas Udayana. Bateman. 1972. Ecology of fruit flies. Annu Rev Entomol. 17:493-519. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2014. Datasheet Stem Borer. Wallingford (GB): CABI. CAPS. 2012. Cotton Commodity-based Pest Survey. Di dalam: Li S, Ellsworth P, editor. Thaumatotibia leucotreta. Washington (US): CAPS. hlm 93-104. Carver M. 1978. The black citrus aphids Toxoptera citricidus (Kirkaldy) and T. aurantii (Boyer de Fonxcomombe) (Homoptera: Aphididae). Journal Australia Entomology Society. 17:263-270. Chen P, Ye H. 2007. Population dynamics of Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae) and analysis of factors influencing populations in Baoshanba, Yunnan, China. Entomol Sci. 10(2):141-147. doi:10.1111/j.14798298.2007.00208.x. Chinajariyawong A, Clarke AR, Jirasurat M, Kritsaneepiboon S, Lahey HA, Vijaysegaran S, Walter GH. 2000. Survey of opiine parasitoids of fruit flies (Diptera: Tephritidae) in Thailand and Malaysia. Raffles Bull Zool. 48(1):71-101. Chong JH. 2009. First report of the pink hibiscus mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Green) (Hemiptera: Pseudococcidae), in South Carolina. J Agric Urban Entomol. 26(2):87-94. doi:10.3954/1523-5475-26.2.87. Chua TH, Khoo SG. 1995. Variations in carambola infestion rates by Bactrocera carambolae Drew and Hancock (Diptera: Tephritidae) with fruit availability in carambola orchard. Res Popul Ecol. 37(2):151-157. Daiber CC. 1981. False codling moth, Cryptophlebia leucotreta (Meyr.) in peach orchards and home gardens of the summer rainfall area of South Africa. Phytophylactica. 13:105-107. Damayanti M. 2000. Pengaruh jenis pembungkus dan saat pembungkusan terhadap kualtias buah jambu air (Syzygium samarangense) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dasgupta P, Chakranorty P, Bala NN. 2013. Averrhoa carambola: An updated review. IJPRR. 2(7):54-63.
37 [Deptan] Departemen Pertanian. 2002a. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Kakao Ed ke-2. Jakarta (ID): Deptan. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002b. Panduan Lalat Buah. Jakarta (ID): Deptan. [DKP] Dinas Kelautan dan Pertanian. 2012. Pest List Tanaman Belimbing di DKI Jakarta. Jakarta (ID): DKP. Dumalang S, Lengkong M. 2011. Perilaku kawin, uji respon dan identifikasi spesies lalat buah pada belimbing. Eugenia. 17(3):192-201. Duyck PF, David P, Junod G, Brunel C, Dupont R, Quilici S. 2006. Importance of competition mechanisms in successive invasions by polyphagous tephritids in La Re´ Union. Bull Ecol Soc Am. 87(7):1770-1780. Emmanuel N, Sujatha A, Gautam B. 2012. Occurance of bag worms Pteroma plagiophleps Hamps and Clania sp. on cocoa corp. Insect Environment. 16(2):60-61. Ero MM, Hamacek E, Clarke AR. 2011. Foraging behaviours of Diachasmimorpha kraussii (Fullaway) (Hymenoptera: Braconidae) and its host Bactrocera tryoni (Froggatt) (Diptera: Tephritidae) in a nectarine (Prunus persica (L.) Batsch var. nectarina (Aiton) Maxim) orchard. Aust J Entomol. 50:234-240. doi: 10.1111/j.1440-6055.2011.00821.x. Ginting R. 2009. Keanekaragaman lalat buah di Jakarta, Depok dan Bogor sebagai kajian penyusunan Analisis Resiko Hama [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Grove T, Steyn WP, Beer MSD. 1999. The false codling moth, Cryptophlebia leucotreta (Meyrick) (Lepidoptera: Tortricidae) on avocado - a literature view. South African Avocado Growers Association Yearbook. 22:31-33. Gullan PJ. 2000. Identification of the immature instars of mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) found on citrus in Australia. Aust J Entomol. 39:160-166. Harris EJ, Vargas RI, Gilmore JE. 1993. Seasonality in occurrence and distribution of mediterranean fruit fly (Diptera: Tephritidae) in upland and lowland areas on Kauai, Hawaii. Popul Ecol. 22(2):404-410. Hasyim A, Muryati, DeKogel WJ. 2008. Population fluctuation of adult males of the fruit fly, Bactrocera tau Walker (Diptera: Tephritidae) in passion fruit orchards in relation to abiotic factors and sanitation. Indones J Agric Sci. 9(1):29-33. Herlinda S, Mayasari R, Adam T, Pujiastuti Y. 2007. Populasi dan serangan lalat buah Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae) serta potensi parasitoid pada pertanaman cabai (Capsicum annuum L.). Di dalam. Seminar Nasional dan Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Barat; 3-5 Juni; Palembang. (ID). hlm:1-13. Ibrahim AG, Palacio IP, Rohani I. 1994. Biology of Diachasmimorpha longicaudata; A parasitoid of carambola fruit fly (Diptera: Tephritidae). Pertanika J Trop Agric Sci. 17(2):139-143. Irwanto B. 2008. Inventarisasi hama-hama penting dan parasitoid buah mangga (Mangifera spp.) di laboratorium [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Jiron LF, Hedstrom I. 1991. Population fluctuations of economic species of Anastrepha (Diptera: Tephritidae) related to mango fruiting phenology in Costa Rica. Fla Entomol. 74(1):98-105.
38 Kairo MTK, Pollard GV, Peterkin DD, Lopez VF. 2000. Biological control of the hibiscus mealybug, Maconellicoccus hirsutus Green (Hemiptera: Pseudococcidae) in the Caribbean. Integr Pest Manage Rev. 5:241-254. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta (ID): Ichtiar Baru - Van Hoeve. Kitthawee S. 2000. Seasonal occurance of Diachasmimorpha longicaudata (Ashmead) (Hymenoptera: Braconidae), a parasitoid of Bactrocera correcta (Bezzi) (Diptera: Tephritidae) in guava orchard in Central Thailand. ScienceAsia. 26:87-92. Komai F. 1999. A taxonomic review of the genus Grapholita and allied genera (Lepidoptera: Tortricidae) in the Palaearctic region. Entomol Scand. 55:1129. Landolt PJ, Quilici S. 1996. Overview of Research on The Behavior of Fruit Fly. Di dalam: McPheron BA, Steck GJ, editor. Fruit Fly Pests: A world assessment of their biology and management. Florida (US): St. Lucie Press. hlm 19-26. Larasati A. 2012. Persebaran, keanekaragaman dan kunci identifikasi lalat buah (Diptera: Tephritidae) di Kabupaten Bogor dan sekitarnya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Larasati A, Hidayat P, Buchori D. 2013. Keanekaragaman dan persebaran lalat buah Tribe Dacini (Diptera: Tephritidae) di Kabupaten Bogor dan sekitarnya. J Entomol Indones. 10(2):51-59. doi: 10.5994/jei.10.2.51. Mandasari AD. 2014. Biologi Diacrotricha fasciola Zeller (Lepidoptera: Pterophoridae) hama pada tanaman belimbing (Averrhoa carambola L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Miller DR. 1999. Identification of the Pink Hibiscus Mealybug, Maconellicoccus hirsutus (Green) (Hemiptera: Sternorryncha: Pseudococcidae). Insecta Mundi. 13(3-4):189-203. Mound LA, Kibby G. 1998. Thysanoptera an Identification Guide. Wallington (GB): CABI. Muryati, Hasyim A, DeKogel WJ. 2007. Distribusi spesies lalat buah di Sumatra Barat dan Riau. J Hort. 17(1):61-68. Muthuthantri WSN. 2008. Population phenology of the tropical fruit fly, Bactrocera tryoni Froggatt (Diptera: Tephritidae), in Queensland, Australia [tesis]. Brisbane (AU): Queensland University of Technology. Nair KSS. 2007. Tropical Forest Insect Pest: Ecology, Impact and Management. New York (US): Cambridge. Nasution BA. 2012. Keanekaragaman spesies kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman buah-buahan di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nismah, Susilo FX. 2008. Keanekaragaman dan kelimpahan lalat buah (Diptera: Tephritidae) pada beberapa sistem penggunaan lahan di Bukit Rigis, Sumberjaya, Lampung Barat. J HPT Trop. 8(2):82-89. Noorbaiti I, Trisnowati S, Mitrowiharjo S. 2012. Pengaruh warna dan waktu pembrongsongan buah jambu biji (Psidium guajava L.). Universitas Gadjah Mada. O'Hare TJ. 1993. Postharvest physiology and storage of carambola (star fruit): A review. Postharvest Biol Technol. 2:257-267.
39 Permatasari D. 2013. Identifikasi spesies, karakteristik koloni dan kunci identifikasi kutu daun (Hemiptera: Aphididae) pada tanaman hias di daerah Bogor dan Cianjur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pramudi MI, Puspitarini RD, Rahardjo BT. 2013. Keanekaragaman dan kekerabatan lalat buah (Diptera: Tephritidae) di Kalimantan Selatan berdasarkan karakter morfologi dan molekular (RAPD-PCR dan Sekuensing DNA). J HPT Trop. 13(2):191-202. Prastowo P, Siregar PS. 2014. Pengaruh waktu pembungkusan terhadap jumlah larva lalat buah (Bactrocera spp.) pada buah belimbing (Averrhoa carambola). Di dalam: Wahyuningsih H, Hanum S, Hutahaean S, Mansyurdin, Situmorang M. Seminar Nasional Biologi: Optimalisasi Riset Biologi dalam Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Farmasi dan Kedokteran; 15 Februari 2014; Medan. Medan (ID): USU press. hlm:104-121. Pujiastuti Y. 2009. Penggunaan atraktan dalam monitoring keanekaragaman spesies dan sebaram lalat buah (Diptera: Tephritidae) pada tanaman buah di berbagai ketinggian tempat. Di dalam. Prosiding Semirata BKS PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian; 13-16 April; Banten. (ID): Universitas Sultan Agung Tirtayasa. Purcell MF, Herr JC, Messing RH, Wong TTY. 1998. Interactions between augmentatively released Diachasmimorpha longicaudata (Hymenoptera: Braconidae) and a complex of Opiine parasitoids in a commercial guava orchard. Biocontrol Sci Technol. 8(1):139-151. doi:10.1080/09583159830504. Purcell MF, Jackson CG, Long JP, Batchelor MA. 1994. Influence of guava ripening on parasitism of the oriental fruit fly, Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae), by Diachasmimorpha longicaudata (Ashmead) (Hymenoptera: Braconidae) and other parasitoids. Biol Control. 4:396-403. Putra NS, Suputa. 2013. Lalat Buah Hama: Bioekologi dan strategi tepat mengelola populasinya. Yogyakarta (ID): Smartania publishing. Rhainds M, Davis DR, Price PW. 2009. Bionomics of bagworms (Lepidoptera: Psychidae). Annu Rev Entomol. 54:209-26. 10.1146/annurev.ento.54.110807.090448. Rustam R, Sucahyano MP, Salbiah D. 2014. Biology of Helopeltis theivora (Hemiptera: Miridae) on Acasia mangium Willd. IJASEIT. 4(5):62-65. Sarjan M, Yulistiono H, Haryanto H. 2010. Kelimpahan dan komposisi spesies lalat buah pada lahan kering di kabupaten Lombok Barat. Crop Agro. 3(2). Sartiami D, Mound LA. 2013. Identification of the terebrantian thrips (Insecta, Thysanoptera) associated with cultivated plants in Java, Indonesia. Zookeys. (306):1-21. doi:10.3897/zookeys.306.5455. Schutze MK, Aketarawong N, Amornsak W, Amstrong KF, Augustinos AA, Barr N, Bo W, Bourtzis K, Boykin LM, Caceres C et al. . 2014. Synonymization of key pest species within the Bactrocera dorsalis species complex (Diptera: Tephritidae): Taxonomic change based on a review of 20 years of integrative morphological, molecular, cytogenic, behavioural and chemoecological data. Syst Entomol.1-16. doi:10.1111/syen.12113.
40 Setiawan A. 2006. Tingkat serangan hama pada sistem agroforestry berbasis kopi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silva JWP, Bento JMS, Zucchi RA. 2007. Olfactory response of three parasitoid species (Hymenoptera: Braconidae) to volatiles of guavas infested or not with fruit fly larvae (Diptera: Tephritidae). Biol Control. 41(3):304-311. doi:10.1016/j.biocontrol.2007.03.005. Sinaga JCH. 2014. Identifikasi kutu daun (Hemiptera: Aphididae) pada tanaman buah di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Siwi SS, Hidayat P, Suputa. 2006. Taksonomi dan Bioekologi Lalat Buah Penting di Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Sodiq M. 2004. Kehidupan lalat buah pada tanaman sayuran dan buah-buahan. Di dalam. Prosiding Lokakarya Masalah Kritis Pengendalian Layu Pisang, Nematode Sista Kuning pada Kentang dan Lalat Buah; Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Soesilohadi RCH. 2002. Dinamika populasi lalat buah Bactrocera carambolae Drew dan Handcock (Diptera: Tephritidae) [disertasi]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Srikumar KK, Bhat PS. 2012. Field survey and comparative biology of tea mosquito bug (Helopeltis spp.) on cashew (Anacardium occidentale Linn.). J Cell Anim Biol. 6(14):200-206. 10.5897/jcab11.094. Srikumar KK, Bhat PS, Raviprasad TN, Vanitha K, Krishna Kumar NK, Rebijith KB, Asokan R. 2013. Distribution of major sucking pest, Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae) of cashew in India. Proc Zool Soc. 68(1):30-35. doi:10.1007/s12595-013-0091-2. Stonedahl GM. 1991. The oriental species of Helopeltis (Heteroptera: Miridae): A review of economic literature and guide to identification. Bull Entomol Res. 81(4):465-490. Stotter RL. 2009. Spatial and Temporal Distribution of False Codling Moth Across Landscapes in the Citrusdal Area (Western Cape province, South Africa). Stellenbosch (ZA): Stellenbosch University Press. Subagyo VNO. 2014. Identifikasi Thrips (Insecta: Thysanoptera) yang berasosiasi dengan tanaman hortikultura di Bogor, Cianjur, dan Lembang [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarmadji D. 1989. Hubungan timbal balik antara Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae) dan buah kakao [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudrajat DJ, Nurhasybi, Zanzibar M. 2011. Hubungan umur pohon dengan produksi dan mutu benih Acacia mangium Willd., Gmelina arborea Linn., dan Eucalyptus deglupta Blume. JPHT. 8(5):267-277. Suputa, Trisyono YA, Martono E, Siwi SS. 2010. Pembaruan informasi kisaran inang spesies lalat buah di Indonesia. JPTI. 16(2):62-75. Swibawa IG, Susilo FX, Murti I, Riyani E. 2003. Serangan Dacus cucurbitae (Diptera: Tephritidae) pada buah mentimun dan pare yang dibungkus pada saat pentil. J HPT Trop. 3(2):43-46. Syahfari H, Mujiyanto. 2013. Identifikasi hama lalat buah (Diptera: Tephritidae) pada berbagai macam buah-buahan. Ziraa'ah. 36(1):32-39.
41 Tan KH, Serit M. 1994. Adult population dynamics of Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae) in relation to host phenology and weather in two villages of Penang Island, Malaysia. Environ Entomol. 23(2):267-275. [USDA] United States Department of Agriculture. 2014. Pest Datasheet for Thaumatotibia leucotreta. Washington (US): USDA. [USDA] United States Department of Agriculture. 2015. National Nutrient Database for Standard Reference Release Washington (US): USDA. Vargas RI, Leblanc L, Putoa R, Piñero JC. 2012. Population dynamics of three Bactrocera spp. fruit flies (Diptera: Tephritidae) and two introduced natural enemies, Fopius arisanus Sonan and Diachasmimorpha longicaudata Ashmead (Hymenoptera: Braconidae), after an invasion by Bactrocera dorsalis Hendel in Tahiti. Biol Control. 60(2):199-206. doi: 10.1016/j.biocontrol.2011.10.012. Venette RC, Davis EE, DaCosta M, Heisler H, Larson M. 2003. Mini risk assesment False codling moth, Thaumatotibia (Cryptophlebia) leucotreta (Meyrick) [Lepidoptera: Tortricidae]. Washington (US): CAPS. Vermanto B. 2012. Rancang bangun sistem penunjang keputusan perencanaan pembangunan agroindustri terpadu belimbing manis (Averrhoa carambola) di Kota Depok Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Vierbergen G, Reynaud P. 2005. Scirtothrips qurantii, Scirtothrips citri, Scirtothrips dorsalis. EPPO Bull. 35:353-356. Wang X, Messing RH. 2003. Intra and interspecific competition by Fopius arisanus and Diachasmimorpha tryoni (Hymenoptera: Braconidae), parasitoids of tephritid fruit flies. Biol Control. 27(3):251-259. doi:10.1016/s1049-9644(03)00027-6. White IM, Harris MME. 1992. Fruit Flies of Economic Significance: Their identification and bionomics. Canberra (AU): CAB Publishing. Williams DJ, Watson GW. 1988. The Scale Insects of the Tropical South Pacific Region. Part 2: The Mealybugs (Pseudococcidae). Wallingford (GB): CABI. Wylie FR, Speight MR. 2012. Insect Pests in Tropical Forestry 2nd Ed. Wallingford (GB): CABI. Yuniar FD. 2013. Identifikasi lalat buah (Bactrocera spp.) di kabupaten Enrekang [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Yusup CA. 2012. Frankliniella intonsa (Trybom) pada tanaman stroberi di Desa Alamendah - Rancabali Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zahara H, Kasim M, Sabari S. 2000. Technology of fruit fly control on sweet star fruit (Averrhoa carambola) using melaleuca oil. Di dalam. Prosiding Seminar Pengembangan Teknologi Pertanian Ramah Lingkungan; 8-9 Maret 2000; Denpasar. Bali (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi.
42
LAMPIRAN Lampiran 1 Skema pembuatan wadah pemeliharaan buah dan lalat buah dari botol mineral bekas 1.5 L
Lampiran 2 Data iklim (CH, HH, Suhu udara dan RH) Kabupaten Blitar Unsur Klimatologi Curah hujan (CH) Hari hujan (HH) Suhu Kelembapan relatif (RH)
Satuan mm hari 0 C %
Sept 0 0 30.9 76
2014 Okt Nov 0 91 0 8 30.4 30.4 80 81
Sumber : BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso 2015
2015 Des Jan Feb Mar 499 195 307 330 22 13 13 16 30.4 31.1 31.2 31 84 82 86 86
43 Lampiran 3 ANOVA kepadatan populasi hama belimbing di tiga desa Maconellicoccus hirsutus Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Perlakuan 2 1913.722222 Galat 33 7679.916667 Total 35 9593.638889 Toxoptera aurantii Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35
Jumlah Kuadrat 4736.88889 56102.66667 60839.55556
Pteroma plagiophleps Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Perlakuan 2 28.3888889 Galat 33 355.2500000 Total 35 383.6388889 Diacrotricha fasciola Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35
Jumlah Kuadrat 755.72222 10092.50000 10848.22222
Kuadrat Tengah 956.861111 232.724747
Kuadrat Tengah 2368.44444 1700.08081
Kuadrat Tengah 14.1944444 10.7651515
Kuadrat Tengah 377.86111 305.83333
F hitung
Pr > F
4.11
0.0254
F hitung
Pr > F
1.39
0.2625
F hitung
Pr > F
1.32
0.2812
F hitung 1.24
Pr > F 0.3038
44 Lampiran 4 ANOVA intensitas kerusakan serangan hama belimbing di tiga desa Bactrocera spp. Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35
Jumlah Kuadrat 1937.901622 3764.267875 5702.169497
Cryptophlebia leucotreta Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Perlakuan 2 200.4899056 Galat 33 340.7029500 Total 35 541.1928556 Thrips javanicus Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35 Helopeltis bradyi Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35 Zeuzera coffeae Sumber db Keragaman Perlakuan 2 Galat 33 Total 35
Jumlah Kuadrat 5368.43987 11237.77736 16606.21723
Jumlah Kuadrat 374.214760 1539.181519 1913.396280
Jumlah Kuadrat 138.888889 2291.666667 2430.555556
Kuadrat Tengah 968.950811 114.068723
Kuadrat Tengah 100.2449528 10.3243318
Kuadrat Tengah 2684.21994 340.53871
Kuadrat Tengah 187.107380 46.6411864
Kuadrat Tengah 69.444444 69.444444
F hitung
Pr > F
8.49
0.0011
F hitung
Pr > F
9.71
0.0005
F hitung
Pr > F
7.88
0.0016
F hitung
Pr > F
4.01
0.0276
F hitung
Pr > F
1.00
0.3788
45 Lampiran 5 ANOVA kepadatan lalat buah total (lalat buah + parasitoid) pada tiga desa di tiap periode bulan Desa Karangsono Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31 Desa Gogodeso Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31
Desa Pojok Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error Total
db 1 3 27 31
Jumlah Kuadrat 5618.0000 45438.6250 111789.2500 162845.8750
Jumlah Kuadrat 979.0312 42514.0937 130658.3438 174151.4688
Jumlah Kuadrat 2502.78125 4114.09375 30481.84375 37098.71875
Kuadrat Tengah 5618.0000 15146.2083 4140.3426
Kuadrat Tengah 979.03125 14171.36458 4839.1979
Kuadrat Tengah 2502.781250 1371.364583 1128.95718
F hitung
Pr > F
1.36 3.66
0.2543 0.0247
F hitung
Pr > F
0.20 2.93
0.6565 0.0517
F hitung
Pr > F
2.22 1.21
0.1481 0.3234
46 Lampiran 6 ANOVA kepadatan lalat buah yang muncul pada tiga desa di tiap periode bulan Desa Karangsono Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31
Desa Gogodeso Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31
Desa Pojok Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error Total
db 1 3 27 31
Jumlah Kuadrat 27612.5000 3700.3750 80173.0000 111485.8750
Jumlah Kuadrat 8320.5000 11013.3750 49960.00000 69293.87500
Jumlah Kuadrat 52.53125 5366.59375 10095.59375 15514.71875
Kuadrat Tengah 27612.5000 1233.4583 2969.3704
Kuadrat Tengah 8320.5000 3671.1250 1850.37037
Kuadrat Tengah 52.531250 1788.864583 373.91088
F hitung
Pr > F
9.30 0.42
0.0051 0.7433
F hitung
Pr > F
4.50 1.98
0.0433 0.1401
F hitung
Pr > F
0.14 4.78
0.7107 0.0084
47 Lampiran 7 ANOVA tingkat parasitisasi lalat buah pada tiga desa di tiap periode bulan Desa Karangsono Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31
Desa Gogodeso Sumber db Keragaman Perlakuan 1 Kelompok 3 Error 27 Total 31
Desa Pojok Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error Total
db 1 3 27 31
Jumlah Kuadrat 4639.97528 1384.71016 6842.11891 12866.80435
Jumlah Kuadrat 3971.63281 679.31078 9207.53253 12383.99105
Jumlah Kuadrat 2511.81000 664.64851 5934.27201 10585.21560
Kuadrat Tengah 4639.97528 461.57005 253.41181
Kuadrat Tengah 3971.63281 226.43692 341.01972
Kuadrat Tengah 2511.81000 221.54950 219.78785
F hitung
Pr > F
18.31 1.82
0.0002 0.1671
F hitung
Pr > F
18.07 1.03
0.0002 0.3948
F hitung
Pr > F
7.37 0.65
0.0114 0.5900
48 Lampiran 8 ANOVA jumlah lalat buah dan parasitoid pada setiap umur perkembangan buah Lalat Buah Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error Total
Parasitoid Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Error Total
db 6 2 54 62
db 6 2 54 62
Jumlah Kuadrat 864.190476 72.031746 1098.666667 1980.412698
Jumlah Kuadrat 472.8571429 14.3809524 495.0476190 994.8571429
Kuadrat Tengah 144.031746 36.015873 20.345679
Kuadrat Tengah 78.8095238 7.1904762 9.1675485
F hitung
Pr > F
7.45 1.86
<0.0001 0.1651
F hitung
Pr > F
8.38 0.76
<0.0001 0.4703
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 November 1990 dari ayah Aminal Umam dan ibu Mudji Hastuti. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Pendidikan SMA ditempuh di SMAN 1 Pemalang Jawa Tengah sampai pada kelas 2, melanjutkan di SMAN 2 Jember Jawa Timur dan lulus pada tahun 2008. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jember, lulus pada tahun 2012. Selama menempuh studi di Universitas Jember, penulis menjadi salah satu pendiri dari Forum Mahasiswa Agro(eko)teknologi Pertanian Indonesia (FORMATANI) dan Ikatan Mahasiswa Agroteknologi (IMAGRO) Fakultas Pertanian Universitas Jember serta menjabat menjadi ketua umumnya peride 2009-2010. Penulis menyelesaikan studi S1 pada tahun 2013 dan pada tahun yang sama, penulis masuk dan diterima di Program Studi Entomologi Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPDN DIKTI. Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi anggota kepengurusan Forum Wacana Ento-Fito IPB pada tahun 2013-2014.