UNIVERSITAS INDONESIA
HAK KORBAN DALAM PENENTUAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
TESIS NAMA NPM
: ANANG ZAKI KURNIAWAN : 0906580483
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2011
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
UNIVERSITAS INDONESIA
HAK KORBAN DALAM PENENTUAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelah Megister Hukum
Oleh : NAMA
: ANANG ZAKI KURNIAWAN
NPM
: 0906580483
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2011
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan Sholawat beruntaikan salam kepada Nabi Muhammad SWA, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “HAK KORBAN DALAM PENENTUAN PENGHENTIAN
PENYIDIKAN
ATAU
PENUNTUTAN
PERKARA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” guna melengkapi persyarakat untuk mendapatkan gelar Megister Hukum pada program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari para pengajar di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan para pihak yang terkait lainnya, maka tesis ini tidak akan terwujud, oleh Karena itu pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Prof. H. Mardjono Reksodiputro, SH., MA selaku Ketua Peminatan, sekaligus dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau yang selau memberikan motivasi dan semangat kepada kami semua untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
2.
Dr. Eva Ahjani Zulfa, SH., MH selaku dosen pembimbing yang selau memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi sehingga dapat selesainnya tesis ini
3.
Yang terhormat kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
4.
Terima kasih kepada teman-teman di Kejaksaan Negeri Dompu yang telah membantu memberikan data-data dalam penulisan tesis ini
5.
Terima kasih kepada Kasat Reskrim Lalu Salehuddin, SH dan jajaran UPPA Polres Dompu yang dengan sabar mencarikan dan memberikan data-data KDRT di Polres Dompu.
6.
Terima Kasih kepada seluruh temen-teman seperjuanganku kelas Sistem Peradilan Pidana Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2009 yang tidak pernah lelah dan tetap semangat dalam berjuang.
iv
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
7.
Terima kasih kepada seluruh teman-teman Kejaksaan yang selalu tetap semangat dan optimis serta tidak mengenal lelah dalam pengabdian pada bangsa dan Negara
8.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tuaku Ibunda Endang Wartini dan Bapak Suhardjo, kedua mertua Ibu Purwanti dan Bapak Sakri Sugiono, , adik-adikku Bona Dwi Aryoko, Nita Kusuma, dan Yeti Nurwendah yang selalu memberikan dukungan dan rasa gembira kepada penulis. Terima kasih untuk doa dan dukungan moril maupun materiil, untuk kelancara studiku sehingga selesai penulisan tesis ini.
9.
Terima kasih tiada terhingga pula kepada istri tercintaku Yeni Siswandari, anakku Abdillah Fattah Maula Zaki, yang selalu setia memberikan dukungan dan dengan rela serta sabar telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi ini walaupun harus berpisah cukup lama. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan penulis tentang pengetahuan dan pengalaman, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, penulis harapkan untuk membantu dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang telah membacanya. Selain itu penulis juga berharap semoga tesis ini dapat memberikan sumbahsih bagi perkembangan hukum
Jakarta, 25 Mei 2011
ANANG ZAKI KURNIAWAN
v
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Anang Zaki Kurniawan : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana : Hak Korban Dalam Penentuan Penghentian Penyidikan atau Penuntutan Perkara kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tesis ini membahas penegak hukum mengakomodir keinginan korban dalam penyelesaian perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan langkah tersebut dapat direspon oleh hukum pidana saat ini serta konsep restorative justice dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian di masa mendatang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana penegak hukum mengakomodir keinginan dari korban yang tidak mau meneruskan perkaranya dan berkeinginan untuk berdamai dengan pelaku. Penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian bahwa di tingkat penyidikan keinginan korban dapat direspon oleh penegak hukum dengan cara penyelesaian melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR). Langkah tersebut sepenuhnya belum dapat direspon oleh hukum pidana positif, karena di dalam hukum pidana tidak dikenal adanya penghentian penyidikan yang dikarenakan adanya perdamaian. Di tingkat penuntutan respon yang bisa dilakukan dengan cara memberikan pidana bersyarat atau pidana denda yang memang sudah ada dalam hukum positif, dari hasil penelitian hal tersebut belum dilakukan dikarenakan tidak ada korban yang hendak menghentikan proses hukum di tingkat penuntutan. Kata kunci : Penghentian Penyidikan atau Penuntutan, Hak Korban, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
vii
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Anang Zaki Kurniawan : Law and the Criminal Court System : Victim’s Rights to Put a Halt on the Investigation or Criminal Proceeding in Domestic Violence Cases
This thesis discusses the role of law enforcement officers in accommodating the wishes of the victims in the settlement of domestic violence cases. At the moment it is a widely accepted practice and the restorative justice principle may be utilizes for future settlement. The objectives of this research is to ascertain how far law enforcement officials would go to accommodate the wish of some victims to close down the investigation or to settle with the perpetrator. The research is done using a judicial normative method and then is presented in an analytic descriptive manner. It reveals that at the investigation stage the victim’s wishes may be responded by law enforcement officials through the Alternative Dispute Resolution (ADR) method. This particular step is a not quite in-synch with the positive criminal code since in the prevailing code does not recognize the concept of putting a halt to an investigation due to a peace settlement. At the prosecuting stage, the available venue is to grant probation sentences or fine which are in existence in the positive criminal code. The results of this research are not applicable for such step since there are no victims willing to halt the legal proceeding at the prosecuting stage. Key words: putting a halt on the investigation process or prosecution, victim’s rights, domestic violence
viii
University of Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..……………………………………………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………. LEMBAR PENGESAHAN…..……………………...……………………. KATA PENGANTAR……………………………………………………. LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………… ABSTRAK………………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………… DAFTAR TABEL........................................................................................ BAB I PENDAHULUAN……………………………………………. A. Latar Belakang Permasalahan…………………………... B. Pernyataan (statement) Permasalahan………………...... C. Pertanyaan Penelitian…………………………………… D. Tujuan Penelitian………………………………….......... E. Metode Penelitian………………………………………. F. Kerangka Konsep………………………………………. G. Kerangka Teori…………………………………………. H. Sistematika penulisan…………………………………... BAB II PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA…………………………………………... A. Hukum Privat dan Hukum Publik B. Hukum Pidana…………………………………………... 1. Pengertian Hukum Pidana…………………………. 2. Sistem Peradilan Pidana Indonesia………………… 3. Sanksi Pidana dan Pemidanaan.…………………… C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………….………... 1. Pengertian Korban dan Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………………………………... 2. Pengertian Rumah Tangga…………………………. 3. Tindak kekerasan dalam rumah tangga……………. 4. Kedudukan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Hukum Pidana Indonesia………….. D. Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana………………………….. 1. Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan…………. 2. Penghentian Penyidikan……………………………. 3. Penghentian Penuntutan…………………………… BAB III KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA…………………………………………... A. Restorative Justice……………………………………… 1. Pengertian Restorative Justice……………………...
i ii iii iii vi vii ix x 1 1 14 15 16 16 21 26 42
44 44 50 50 55 70 85 85 88 90 94 104 104 109 113
116 116 116
ix Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
2. Model Restorative Justice…………………………. Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Ide Restorative Justice……………………. C. Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Tertuang Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga………………………………………….. PERANAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM MENGAKOMODIR KEINGINAN KORBAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA…………………………………………... A. Peranan Kepolisan Resort Dompu Dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………... 1. Peranan Kepolisian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………. 2. Kebijakan Kepolisian Dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………. B. Peranan dan Kebijakan Kejaksaan Negeri Dompu Dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga………………………………………………….. C. Konsep Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara kekerasan Dalam Rumah Tangga di Masa Mendatang… KESIMPULAN DAN SARAN………………………………. A. Kesimpulan……………………………………………... B. Saran ……………………………………………………
118
B.
BAB IV
BAB V
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
120
132
141 141 141 158
173 183 196 196 201 203
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Tabel 1.2.
Tabel 4.1 Tabel 4.2. Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Data perceraian yang diputus di Pengadilan Agama Kabupaten Dompu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 Data Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ditangani Kepolisian Rersort Dompu dari tahun 2005 sampai dengan 2010............................................................ Penanganan Kasus di Polres Dompu lima tahun terakhir................................................................................ Perkara Kekerasan dalam rumah tangga di Polres Dompu yang dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.................. Pendapat pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak Kepolisian...........................................................................
2
7 143 144
146
Pelapor dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang x Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
147
Tabel 4.9.
masuk di Polres Dompu...................................................... sikap korban Kekersan Dalam Rumah Tangga setelah terjadinya kekerasan pada dirinya....................................... Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perdamaian yang ditangani oleh Polres Dompu..... Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban.................................................................................. volume terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa korban.................................................................. alasan korban melaporkan pelaku ke Polisi........................
Tabel 4.10
perasaan korban setelah melapor ke Polisi..........................
162
Tabel 4.11
faktor yang mempengaruhi korban untuk berdamai dengan pelaku dan tidak melanjutkan proses hukum.......... keadaan rumah tangga korban dan pelaku setelah proses perdamaian dan pencabutan perkara di kantor polisi.......... data perkara di Kejaksaan Negeri Dompu .........................
Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7 Tabel 4.8.
Tabel 4.12 Tabel 4.13
147 149 149 151 159
162 165 177
xi Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Pada
era
keterbukaan
saat
ini,
tentu
saja
segala
aktivitas
penyelenggaraan Negara dituntut semakin transparan dan berada dalam control sosial yang semakin kuat. Era kehidupan bernegara yang demikian tentu saja akan menuntun peranan hukum dan penegakan hukum menjadi instrument pengendali sosial, yang semakin diperlukan dan menentukan bagi perjalanan di masa yang akan datang. Hukum melalui peraturan perundang-undangan merupakan sarana dalam proses pembentukan kebijakan publik. Faktor-faktor non hukum akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Hukum merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dalam penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga tentu saja dipengaruhi juga faktor-faktor non hukum seperti tersebut diatas. Setelah diundangkannya undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dari segi kuantitas atau jumlahnya maka semakin meningkat jumlah pelaporan atau pengaduan yang diterima oleh pihak penyidik Kepolisian Resort Dompu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2005 setelah undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diberlakukan tercatat ada 70 kasus yang masuk, kemudian tahun 2006 sebanyak 82 kasus, tahun 2007 sebanyak 52 kasus, tahun 2008 sebanyak 65 kasus, tahun 2009 sebanyak 122 kasus dan tahun 2010 sebanyak 113 kasus. dari data tersebut menunjukkan adanya peningkatan untuk pelaporan dan pengaduan tentang perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ditangani oleh penyidik Kepolisian Reosort Dompu, sehingga dalam selang 5 tahun setelah diberlakukannya undang-undang nomor 23 tahun 1 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
2
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jumlah kasus yang masuk di kepolisian Resort Dompu seluruhnya berjumlah 504 kasus. Dari fenomena tersebut terlihat dimana perkara yang dahulunya dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan dan diketahui secara umum kemudian menjadi hal yang biasa. Karena sebenarnya perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga khusunya yang berkaitan dengan kekerasan Fisik dapat diterapkan pasal penganiayaan yang diatur dalam KUHP yaitu pasal 351 sampai dengan pasal pasal 356 KUHP, kemudian terkait dengan penelantaran bisa dikenakan pasal 304 sampai dengan pasal 309 KUHP walaupun banyak yang mengatur permasalahan anak. Dalam kenyataanya sebelum tahun 2005 di dompu tidak ada perkara tindak pidana penganiayaan yang terjadi yang pelaku dan korbanya adalah suami istri. Peningkatan jumlah pelaporan atau pengaduan kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat dilihat dari dua kaca mata yang berbeda. Yang pertama apabila dari sudut pandang kesadaran hukum terlihat secara sekilas peningkatan tersebut menunjukkan adanya peningkatan
kesedaran
hukum dalam masyarakat yang berhubungan dengan KDRT. Hal tersebut ditunjukkan adanya peningkatan jumlah perkara yang masuk di Kepolisian Reosort Dompu. Yang kedua apabila dilihat dari kacamata non hukum misalnya dari sudut agama yaitu dalam rangka membangun keluarga sakinah yang dikaitkan dengan program penekanan jumlah perceraian tentu saja peningkatan jumlah pelaporan kasus KDRT merupakan sesuatu yang buruk. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah peningkatan gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri maupuan juga adanya peningkatan talak cerai yang diajukan oleh suami. Apabila dilihat pada data
perceraian yang masuk di pengadilan Agama
Kabupaten Dompu untuk lima tahun dari tahun 2005 sampai dengan tahun
2010 menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya.
Tabel 1.1. Data perceraian yang diputus di Pengadilan Agama Kabupaten Dompu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
3
No
Tahun
Cerai talak
Cerai gugat
Jumlah
1
2005
97
199
296
2
2006
103
191
294
3
2007
91
150
241
4
2008
129
235
364
5
2009
166
326
492
6
2010
158
371
529
Sumber : data statistic Kantor Pengadilan Agama Dompu bulan Desember 2010
Berdasarkan tabel 1.1 diatas apabila dibandingkan dengan data perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang masuk di Kepolisian Resort Dompu berbanding lurus dengan data perkara perceraian di Pengadilan Agama Dompu, yaitu pada data cerai talak. Cerai talak adalah cerai yang diajukan oleh suami kepada istri, dimana pada tahun 2007 juga mengalami penurunan cerai talak yang menunjukkan data yang sama pada perkara yang masuk di kepolisian Resosrt Dompu. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kasus KDRT yang mayoritas korbannya adalah perempuan (istri) dan Pelakunya adalah laki-laki (suami) berpengaruh pada perceraian. Hal tersebut dikarena seorang suami yang telah dilaporkan oleh istrinya akan sulit menerima kembali sang istri untuk hidup berumah tangga, karena dianggap istri telah tidak bisa menjaga martabat suaminya dengan membawa perkaranya ke ranah publik, karena mayoritas masyarakat masih menganggap perkara KDRT adalah berada pada ranah Privat. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana yang memiliki fenomena gunung es, dimana pada permukaan yang terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah tidak pidana yang terjadi sesunggungya dalam masyarakat. Dengan kata lain kasus yang tidak terdeteksi lebih banyak dari pada yang dilaporkan atau diekspos. Hal tersebut dapat pula dilihat dari perbedaan jumlah perkara KDRT yang masuk di Kepolisian Resort Dompu dengan data perceraian yang ada di Pengadilan Agama Dompu, karena dapat dikatakan bahwa alasan perceraian sebagaiman yang disyaraktan oleh Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
4
Undang-undang sebenarnya telah terserap pada pasal-pasal KDRT dengan kata lain bahwa perkara perceraian tersebut menunjukkan jumlah data terjadinya KDRT, dan data tersebut pun belum bisa mewakili seluruh data KDRT yang sesungguhnya terjadi, karena masih dimungkinkan terjadinya KDRT yang kemudian tidak bermuara sampai pada pelaporan di Kepolisian maupun bermuara pada perceraian. Hal tersebut terjadi antara lain dikarenakan (1) cukup banyak pihak yang menganggap hal tersebut lumrah saja (bahkan merupakan bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri); (2) konflik dalam keluarga sangat sering dilihat sebagai masalah internal, baik oleh orang luar maupun orang didalam keluarga itu sendiri; dan (3) baik pelaku dan korban sangat sering menutupi kejadian dengan alasan berbeda. Perlaku menggap apa yang terjadi adalah urusan keluaga dan hak pribandinya, sementara korban merasa sangat malu untuk membuka “aib” dan berusaha sekuat tenaga untuk menutupi bahkan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya.1 Dari kajian viktimologis, tidak terungkapnya kasus-kasus yang sebenarnya terjadi tersebut tidak terlepas dari sikap korban dan atau keluarga korban sendiri, diantaranya adalah2 : 1. Korban menganggap bahwa peristiwa yang menimpanya tersebut merupakan hal yang biasa dan sudah seharusnya demikian. Korban tidak mengetahui bahwa peristiwa yang menimpanya itu sudah termasuk dalam katagori perbuatan yang dapat dipidana. 2. Korban menganggap bahwa keutuhan rumah tangga lebih penting dari pada harus memperkarakan peristiwa yang dialaminya, yang berpotensi merusak hubungan dengan pelaku. 3. Korban dan atau keluarga merasa malu jika tindak pidana yang dialaminya diketahui oleh orang lain. Hal ini biasanya terjadi untuk tindap pidana yang menyangkut kesusilaan atau tindak pidana lainnya yang dianggap dapat merendahkan harga diri korban atau keluarganya.
1
Tapi Omas Ihromi, dkk, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung : Alumni, 2006), hal 283. 2 G. Widiartana, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (perspektif Perbandingan Hukum), (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2009), hal 2 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
5
4. Korban merasa bahwa kerugian yang dialami tidak berarti baginya dibandingkan dengan kerepotan dan kerugian/penderitaan lebih
besar
yang harus ia tanggung ketika tindak pidana itu dilaporkan atau diadukan ke aparat penegak hukum. 5. Korban merasa takut untuk melaporkan atau mengadukan tindak pidana tersebut karena ada ancaman dari pelaku atau orang yang bersimpati pada pelaku. 6. Korban yang juga merupakan satu-satunya saksi dari tindak pidana tersebut meninggal dunia. Jumlah kejahatan yang
meningkat sudah pasti
menimbulkan
keingintahuan masyarakat akan penyebab munculnya kejahatan tersebut. Pengetahuan mengenai kejahatan dan Tindak Pidana memang tidak mengenal penyebab tunggal dari menurun atau meningkatnya kriminalitas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan kependudukan, struktur masyarakat, perubahan nilai sosial dan budaya ikut mempengaruhi dan memberikan dampak tersendiri terhadap motif, sifat, bentuk, frekuensi, intensitas maupun modus operandi kejahatan. Tidak dapat pula diabaikan lemahnya penegakkan hukum, serta kondisi ekonomi sedikit banyak memberikan kontribusi dalam proses terjadinya kejahatan. Kondisi keluarga yang dalam keadaan tidak harmonis juga sangat berpotensi melahirkan kejahatan. Penanaman norma-norma dan nilai-nilai awal seseorang manusia bermula dari lembaga ini. Anak sebagai bagian dari sebuah keluarga akan merekam keadaan dalam keluarganya untuk diaktualisasikan dalam perilakunya diluar lingkungan keluarga, keluarga yang hangat akan menularkan kebaikan bagi anggota-anggotanya namun konsisi keluarga yang berantakan menjadikan individu-individu di dalamnya cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang sehingga dapat mengarah
kepada terjadinya kejahatan. Keluarga seharusnya sebagai tempat
yang nyaman bagi anggota-
anggotanya dalam berinteraksi akan berubah menjadi Role Model untuk anakanak dalam berperilaku negative, tergantung pembelajaran apa yang telah mereka terima. Oleh karena itu disharmoni keluarga merupakan awal Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
6
kegagalan pengasuhan bagi anak-anak dan memiliki muatan bagi cikal bakal timbulnya kejahatan.3 Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa lingkungan di luar rumah lebih berbahaya dibandingkan dengan di dalam rumah. Anggapan tersebut terbentuk karena kejahatan yang banyak diungkap dan dipublikasikan adalah kejahatan yang terjadi diluar lingkungan rumah. Sedangkan rumah dianggap sebagai tempat yang aman bagi anggota keluarga dan orang-orang yang tinggal didalamnya, tempat anggota keluarga dan oranag-orang yang tinggal didalamnya dapat berinteraksi dengan landasan kasih, saling menghargai dan menghormati. Masyarakat tidak menduga bahwa ternyata rumah dapat menjadi tempat yang paling mengerikan bagi anggota keluarga. Kekerasan , apapun bentuk dan derajat keseriusannya, ternyata dapat terjadi di dalam rumah. Orang yang dianggap dapat menjadi tempat berlindung ternyata justru menjadi penyebab mala petaka. Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideology gender. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau pelabelan negative, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence.4 Terjadi perbedaan dalam budaya patriarki antara ruang privat dan ruang publik, artinya terjadi pemisahan antara individu dan komunitas. Pemisahan antara urusan rumah tangga (wilayah domestik) dan urusan publik, sehingga terjadi pemisahan antara moralitas dan hukum. Dengan cara pandang 3
G. Widiartana, ibid, hal 1. Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hal 16 Universitas Indonesia 4
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
7
seperti itu , pelaku kekerasan tidak akan merasa bersalah karena yang menjadi korban adalah istri atau anak, atau orang-orang dekat (orang yang tinggal satu rumah) yang ada dalam lingkup privatnya. Urusan rumah tangga dianggap urusan masing-masing dan orang luar tidak boleh campur tangan memasuki wilayah domestik seseorang. Masyarakat sangat kuat berkeyakinan bahwa masalah dalam keluarga adalah urusan keluarga. Termasuk juga kekerasan yang ada didalamnya, keluarga pihak suami maupun istri dapat merasakan sangat malu bila aib keluarga diketahui umum, dan karenanya memilih untuk membiarkan saja perempuan menjadi korban kekerasan pasangannya. Secara umum respon masyarakat tidak menunjukkan pemihakannya pada korban. Hal ini menyebabkan pelaku leluasa dan lepas kendali. Sesuatu hal yang pada gilirannya melanggengkan tindak kekerasan kepada perempuan istri yang menjadi korban sangat sulit untuk memperoleh keadilan. Di Kabupaten Dompu penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga menunjukkan peningkatan secara kuantitas, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah perkara yang masuk di Kepolisian resort dompu dan kemudian yang berhasil dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Dompu dan disidangkan di Pengadilan Negeri Dompu.
Tabel 1.2. Data Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ditangani Kepolisian Rersort Dompu dari tahun 2005 sampai dengan 2010
No
Tahun Jumlah perkara
Perkara yang
Perkara yang ada perdamaian
yang masuk
P 21
dan tidak selesai
1
2005
70
5
65
2
2006
82
8
74
3
2007
52
3
49
4
2008
65
5
60
5
2009
122
6
116
6
2010
113
7
106
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
8
Sumber : data Kepolisian Resort Dompu
Secara kuantitatif kenaikan jumlah laporan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini menunjukkan telah terjadi pergeseran persepsi dari masyarakat bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan domain privat yang harus ditutupi rapat-rapat. Tabel 1.2 diatas merupakan data tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan selama lima tahun dari mulainya berlakunya undangundang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu sebanyak 504 kasus. sebanyak 34 kasus dapat diselesaikan oleh penyidik dan dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk disidangkan ke Pengadilan atau sebanyak 6,7 % dari jumlah keseluruhan secara kumulatif, sehingga menyisakan 470 kasus yang tidak terselesaikan. Kalau kita cermati dari tahun ke tahun adanya kenaikan jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke penyidik, kecuali pada tahun 2007 ada penurunan pelaporan dan tahun 2010. Dari tahun 2005 ke tahun 2006 ada kenaikan 12 kasus, dari tahun 2006 ke tahun 2007 ada penurunan 30 kasus, dari tahun 2007 ke tahun 2008 menunjukkan kenaikan 13 kasus, dari tahun 2008 ke tahun 2009 juga menunjukkan kenaikan sebanyak 57 kasus, dan dari tahun 2009 ke tahun 2010 kembali ada penurunan sebanyak 9 kasus. Dari fakta kasus yang masuk tiap tahunnya selalu menunjukkan peningkatan, kecuali tahun 2007 dan tahun 2010, namun upaya dalam menuntaskan kasus menunjukkan angka yang fluktuatif yaitu adanya naik turun dalam keberhasilannya. Pada tahun 2005 kasus yang masuk 70 kasus yang dapat diselesaikan 5 kasus atau 7 % saja, tahun 2006 dari 82 kasus yang masuk diselesaikan 8 kasus atau 8 %, tahun 2007 dari 52 kasus yang masuk hanya 3 kasus yang diselesaikan atau 6 %, tahun 2008 sebanyak 65 kasus masuk dan dapat diselesaikan 5 kasus atau 8 %, tahun 2009 dari jumlah 122 kasus yang masuk dapat diselesaikan sebanyak 6 kasus atau 5 %, dan tahun 2010 dari 113 kasus yang masuk dapat diselesaikan sebanyak 7 kasus atau 6 %. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
9
Kenyataan ini sudah barang tentu sangat mengkhawatirkan dan memunculkan banyak pertanyaan, mengapa kinerja penegak hukum sedemikian rapuhnya atau dimungkinkan terdapatnya sesuatu hal diluar struktur hukum ini. Hal ini menarik untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan penegak hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini oleh karena kinerja penegak hukum yang tidak maksimal atau karena hal-hal lain yang terdapat didalam substansi hukum maupun budaya hukumnya. Karena selain struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum juga sangat berperan memberi kontribusi yang besar dalam upaya penanggulangan kejahatan. Jumlah kasus yang tidak dapat diselesaikan yang cukup banyak tersebut belum tentu juga dapat dikatakan bahwa penegak hukum tidak berhasil. Ada banyak kemungkinan yang bisa mempengaruhinya, misalnya alat bukti tidak cukup, atau pertimbangan kemanusiaan atau keadilan misalnya dari korban memang menghendaki tidak dilanjutkan perkaranya. Walaupun kita paham bahwa Tindak Pidana Kekerasan dalam rumah tangga memposisikan korban pada situasi yang sangat dilematis, walaupun dampaknya sangat tidak berpihak pada korban umumnya tidak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tidak jarang membuat korban bungkam dan tidak mampu mengekpresikan dirinya. Tidak terbangunnya kesadaran kritis menyebabkan korban menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus. Dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga khusus untuk pelaku dan korbanya adalah suami istri sebagaimana yang diatur dalam pasal 51 sampai dengan pasal 53 merupakan delik aduan, dimana korban mempunyai posisi penentu apakah perkara yang telah dilaporkan dapat dihentikan atau diteruskan sampai sebelum tuntutan dibacakan. Namun untuk perkara-perkara KDRT diluar pasal tersebut bukan termasuk delik aduan sehingga kewajiban korban hanyalah memberikan laporan dan menjadi saksi, dan untuk proses selanjutnya korban tidak mempunyai hak lagi untuk ikut mencampurinya.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
10
Dalam kasus-kasus KDRT dimana pelaku dan korbanya suami istri dalam perjalannya banyak yang
mengalami suatu dilematis
dalam
penegakkannya. Pada saat proses hukum sudah berjalan kadang kala korban berkeinginan supaya perkaranya dihentikan dan tidak dilanjutkan, dengan beberapa sebab, diantaranya si korban tetap berkeinginan mempertahankan hubungan rumah tangganya yang ditakutkan apabila si pelaku dihukum maka tidak akan mau menerimanya lagi, alasan anak yang masih membutuhkan figur dari pelaku, alasan ketergonjangan dalam kehidupan sosial, alasan si pelaku adalah satu-satunya sumber yang memberikan nafkah keluarga sehingga apabila pelaku menjalani hukuman keluarga dan korban tidak mampu untuk membiayai kehidupannya, dan alasan-alasan lain yang sejenis. Korban kejahatan termasuk juga korban KDRT dalam kenyataannya harus menanggung kerugian karena kejahatan tersebut baik secara materiil maupun secara immaterial, kondisi penderitaan yang dialami korban kejahatan tersebut di Negara Indonesia hanya dipersandingkan atau dijadikan salah satu instrument dalam penjatuhan pidana kepada pelaku, yang sebenarnya penderitaan pelaku kejahatan karena dipidana tidak ada hubungannya dengan penderitaan dari korban kejahatan. Sayang sekali sampai saat ini, korban suatu tindak pidana sering sekali menjadi orang yang terlupakan karena memang pada saat ini baik dalam hukum pidana formil maupun materil sangat minim sekali dalam memperhatikan kesejahteraan dari korban kejahatan. Dari fenomena tersebut diatas kadang posisi korban sangatlah dilematis dan sama-sama tidak menguntungkan terhadap apa yang telah dilakukannya. Hal tersebut kadang juga mempengaruhi keengganan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang menimpa pada dirinya, dimana apabila melaporkan juga tetap sama dan justru menjadi korban ganda. Korban kekerasan rumah tangga yang melaporkan kejadian yang menimpa dirinya ke Polisi, selain dirinya telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, juga
akan
terancam
kekerasan
lainya
misalnya
berlarut-larutnya
penanganannya, tidak ada jaminan keamanan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
11
dalam rumah tangga, korban akan menanggung beban psikologis karena sudah melaporkan pelakunya yang tidak lain masih ada hubungan emosional yang sangat dekat bisa, suami, istri, orang tua atau anak hal ini dinilai dari masyarakat tidak bisa memegang kehormatan keluarga, dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti itu kemudian dalam kenyataannya korban kemudian menghendaki adanya penghentian terhadap perkaranya tersebut baik di tingkat penyidikan maupun setelah sampai pada tingkat penuntutan. Namun kontruksi hukum yang ada untuk melakukan keinginan korban yang hendak menghentikan proses hukum yang sedang dialami tidak lah mudah dan sulit untuk terlaksana apabila dilihat dari kacamata hukum formal (hukum acara yang berlaku). Penghentian penyidikan dapat dilakukan sebagaimana tertera dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum. Penhentian penyidikan demi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 76, 77, 78 KUHP yaitu apabila nebis in idem, tersangka meninggal dunia, dan karena kedaluwarsa. Pada saat perkara KDRT sudah dilimpahkan ke Penuntut Umum, suatu perkara juga masih mempunyai kesempatan untuk tidak diteruskan ke pengadilan untuk disidangkan. Alasan yang pertama adalah dengan cara penghentian penuntutan dan yang kedua adalah deponering (penyampingan) perkara. Alasan untuk suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya adalah perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan akan dibebaskan oleh Hakim, apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak kejahatan atau pelanggaran, dan demi hukum yaitu karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia, nebis in idem, perkaranya sudah kadaluwarsa.5 Alasan yang kedua adalah penyampingan perkara atau deponering, yaitu apabila perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa dimuka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti 5
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP, edisi kedua, cetakan ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal 437 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
12
yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi kepentingan umum. Dan hak penyampingan perkara ini adalah kewenangan dari Jaksa Agung untuk mengambil keputusannya.6 Apabila kita lihat dalam aturan mengenai suatu perkara untuk dapat dihentikan baik ditingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan, apabila diterapkan dalam untuk kasus KDRT yang bersifat tertentu atau khusus tidak bisa atau tidak mungkin terlaksana. Yang dimaksud tertentu atau khusus adalah apabila kasus KDRT tersebut bukan termasuk dalam klasifikasi delik aduan, namun si korban merasa tidak akan meneruskan proses perkaranya dikarena alasan si tersangka atau terdakwa adalah suaminya yang tulang punggung keluarga, untuk menjaga keutuhan rumah tangga, alasan membebaskan ketertekanan si anak apabila orang tuanya ada dipenjara, dan alasan-alasan yang sejenis. Undang-undang KDRT yang dimaksudkan untuk melindungi korban dalam lingkup rumah tangga yang kebanyakan perempuan dan anak, kemudian belum mampu mengakomodir kebutuhan hak-hak korban yang disatu sisi kadang-kadang tidak mau si tersangka atau terdakwa masuk dipenjara, namun cukup pada suatu keadaan si pelaku jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi namun sedapat mungkin dilegalkan oleh instiutsi yang ada, sehingga si korban mempunyai kekuatan untuk berlindung atas kesadaran si pelaku tersebut. Namun dalam kenyataannya undang-undang KDRT justru kadang apabila ditegakkan secara benar justru si perempuan atau anak menjadi korban ganda, yaitu korban KDRT dan juga korban atas penerapan aturan dalam Undang-undang KDRT tersebut. Senada dengan pendapat Harkistuti Harkisnowo yang menyebutkan dalam kasus dimana perempuan sebagai
6
Ibid, hal 436 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
13
korban sering menjadi korban ganda yaitu korban kejahatan kekerasan dan korban dari sistem peradilan pidana sendiri.7 Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kabupaten Dompu, sebagian dilakukan oleh suami sebagai pemegang otoritas sebuah rumah tangga, namun ada juga yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya misalnya EW yang memberikan cabai di celana suaminya dikarenakan EW tidak tahan dengan perlakuan suaminya yang sering melakukan pemukulan kepada dirinya yang akhirnya EW dikenakan pasal 44 ayat (1) atau (4) UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga dan dituntun 3 bulan penjara oleh jaksa Penuntut Umum yang kemudian diputus 1
bulan penjara namun Jaksa Penuntut Umum
Banding, dan akhirnya EW karena menanggung malu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dengan memotong urat nadinya di tangan. Kemudian perempuan lainnya adalah SS yang melakukan pemukulan kepada suaminya yang dikarenakan rasa cemburu dan mengira suaminya mempunyai perempuan lain dan sampai sekarang masih dalam proses hukum. Kemudian SS
juga melaporkan suaminya ke Polisi dengan laporan penelantaran
ekonomi dikarenakan setelah terjadi pemukulan tersebut suaminya tidak hidup satu rumah lagi, namun dalam proses hukum suaminya tersebut setelah putusan bandingnya turun hanya diputus dengan hukuman percobaan. Dari perkara yang diproses sampai persidangan hampir seluruhnya berdampak pada perceraian, hanya satu tidak bercerai dikarenakan pelapornya bukanlah korban namun keluarga korban. Sedangkan perkara yang dikepolisian dicabut laporannya atau tidak diteruskan karena ada perdamaian antara pelaku dan korban maka kehidupan rumah tangganya harmonis, kecuali ada dua perkara yang kemudian bercerai dikarenakan untuk SJ pelaku dijemput oleh Penyidik dikantornya yang kemudian membuat SJ malu dan memilih untuk bercerai dengan istrinya STS korban KDRT karena SJ merasa dipermalukan, yang kedua adalah WI dikarenakan telah malu karena sudah sempat ditahan di
7 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi konsep Pemidanaan : Suatu gugatan terhadap Proses Legislasi dan pemidanaan di Indonesia, orasi pada upacara pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, (Depok: Fakkultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal 5 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
14
kantor polisi satu hari, maka sampai saat ini tidak hidup satu rumah lagi namun tidak bercerai. Dari fakta yang terjadi terlihat bahwa dari perkara yang masuk ke Kepolisian resort dompu ternyata banyak perkara yang tidak terselesaikan, dari fenomena tersebut memunculkan banyak pertanyaan, dan dimungkinkan banyaknya perkara yang tidak selesai tersebut justru memenuhi rasa keadilan, baik dari sisi pelaku, korban dan masyarakat. Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menyajikannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini.
B. PERNYATAAN (statement) PERMASALAHAN Posisi korban dalam perkara pidana pada saat sudah melakukan pelaporan maka selanjutnya kedudukannya hanyalah sebagai saksi saja, yaitu saksi korban. Dalam proses selanjutnya hak-hak korban dalam rangka mencari keadilan akan diwaiki oleh Negara. Negara melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya untuk kasus KDRT yaitu Kepolisian sebagai penyidik dan Kejaksaan
sebagai
penuntut
umum
melakukan
proses-proses
untuk
memberikan keadilan kepada korban dengan membawa pelaku sampai ke pengadilan untuk diadili atas perbuatan yang telah dilakukannya. Korban setelah dimintai keterangan di penyidikan sebagai saksi atau di pengadilan sebagai saksi tidak mempunyai hak lagi atau mempunyai kedudukan untuk menentukan langkah-langkah berikutnya dalam tahap proses selanjutnya, tidak terkecuali mengenani
penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan, kecuali terhadap perkara-perkara yang termasuk dalam katagori delik aduan. Jadi korban hanya mempunyai kewajiban yaitu memberikan keterangan sebagaimana yang telah dialaminya. Hak korban hanya sebatas apabila perkaranya dihentikan korban bisa melakukan pra perdilan untuk mendapatkan kejelasan atas perkara tersebut mengapa dihentikan. Sedangkan mengenai apabila terdakwa bebas, atau mengenai putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa, penghentian penyidikan atau penuntutan sudah bukan menjadi hak dari korban untuk ikut serta dalam penentuannya. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
15
Selama ini akhir dari penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga di pengadilan berakhir dengan menjatuhkan pidana penjara tanpa mengindahkan hak korban, kepentingan subordinat maupun kewajiban lain dari pelaku. Person yang terkait dan berkepentingan semestinya aktif berpartisipasi untuk kepentingan mereka, guna mempertahankan harmonisasi relasi serta kelangsungan rumah tangga dalam memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, mengingat aspek hukum perkara kekerasan dalam rumah tangga berkaitan dengan aspek hokum public sekaligus aspek hokum privat.8 Posisi korban dalam perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sering dihadapkan dalam posisi yang dilematis, disatu sisi korban sudah terlanjur melaporkan kepada kepolisian untuk supaya perkaranya ditangani sesuai dengan prosedur hukum, diposisi lain dihadapkan oleh keutuhan rumah tangganya. Untuk kasus-kasus yang bukan termasuk delik aduan korban secara hukum sudah tidak mungkin untuk mencabut laporannya sehingga penyidikan atau penuntutan dihentikan. Kedudukan atau posisi korban dalam perkara KDRT tersebut sangat layak untuk dijadikan suatu kajian mengenai kedudukan korban dalam penenetuan penghentian penyidikan atau penuntutan dalam perkara-perkara KDRT. Dan juga bagaimana penegak hukum merespon atau mengakomodir apabila terjadi hal tersebut.
C. PERTANYAAN (questions) PENELITIAN Adapun pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam tesis ini ialah sebagai berikut : 1. Bagaimana penegak hukum mengakomodir keinginan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga ? 2. Apakah penyelesaian yang dilakukan oleh penegak hukum bisa direspon dalam hukum pidana pada saat ini ? 3. Apakah konsep restorative justice
dapat digunakan sebagai upaya
penyelesaian perkara Kekerasan dalam rumah tangga di masa mendatang ?
8
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT,(Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010), hal 5 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
16
D. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana penegak hukum dalam mengakomodir keinginan-keinginan dari korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga, dimana apabila korban tidak mau meneruskan kasusnya tersebut dan berkeinginan untuk berdamai. 2. Untuk mengetahui apakah dalam hukum pidana saat ini ada aturannya untuk mewadahi atau yang dapat merespon dari keinginan-keinginan korban yang telah diakomodir oleh penegak hukum. 3. Untuk mengetahui apakah konsep restorative justice dapat sebagai upaya untuk mengakomodir penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga.
E. METODE PENELITIAN a. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian akan dipilih di Kabupaten Dompu Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Penulis memilih tempat penelitian tersebut dengan pertimbangan yaitu pertama, kemudahan akses dari penulis untuk mendapatkan data perkara KDRT yang tidak dilimpahkan ke Penuntut Umum dan kemudian disidangkan. Kedua, adanya perkara yang pelakunya adalah dilakukan oleh seorang perempuan yaitu istrinya sendiri, yang ketiga apabila dilihat dari jumlah antara perempuan dan laki-laki yang mengenyam pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan universitas berbanding seimbang, hal tersebut menjadi salah satu instrumen yang menunjukkan adanya tidak adanya bias gender yang tentu saja mempengaruhi pola pikir dan perilakunya dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangganya. Dengan alasan tersebut tentu saja kabupaten Dompu layak untuk dijadikan tempat untuk melakukan penelitian dalam penulisan tesis ini. b. Metode Pendekatan Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini dimulai dengan meneliti dan mencermati data sekunder bahan hukum primer berupa Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
17
perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan akan ditindaklanjuti dengan pengambilan data primer di lapangan. Data primer diperlukan untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga yang berkaitan bagaimana perspektif atau pandangan masyarakat mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan apa saja faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta mengetahui bagaimana perananan penegak hukum dalam menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang sedang dialami oleh pelaku dan korban. c. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari korban dan beberapa narasumber lainnya, yang bertujuan untuk menjawab permasalahan terhadap fenomena kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga. d. Metode Pengumpulan Data Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah melalui studi lapangan sebagai data primer, kemudian didukung dengan studi data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat informan tentang bagaimana penegak hukum melakukan penyelesaian kasus KDRT yang ditanganinya, sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan dalam tesis ini. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari berbagai konsepsi, teori, asas, doktrin-doktrin dan berbagai dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dibahas. Data lapangan diperoleh dari atau melalui informasi yang diperoleh melalui wawancara dari informan yang ditentukan secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan kemauannya) yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, dalam hal ini akan dilakukan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
18
secara wawancara kepada korban dan pelaku KDRT untuk mengetahui akibat atau dampak apa yang terjadi setelah adanya proses hukum pidana apakah misalnya terjadi perceraian atau tidak bagaimana proses hukum tersebut mempengaruhi hubungan dalam rumah tangga, kemudian untuk mengetahui siapa yang melaporkan kejadian KDRT tersebut dan apa yang diharapkan dari proses hukum pidana tersebut oleh korban. Selain itu juga untuk mengetahui kondisi atau keadaan korban dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar dan kondisi ekonominya. Wawancara berikutnya kepada pejabat Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengetahui secara pasti mengenai kasus-kasus KDRT yang telah terjadi yaitu berapa laporan yang masuk dan berapa yang diteruskan ke Kejaksaan dan kemudian oleh kejaksaan dilimpahkan ke Pengadilan, serta untuk mengetahui berapa yang telah dihentikan baik di penuntutan atau penyidikan. Mengingat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih dianggap tabu untuk diekspose oleh para pelaku, korban, dan anggota keluarga tentu saja dalam melakukan studi lapangan akan mengalami sedikit kendala dalam menggali informasi dari pelaku dan korban, oleh karena itu jumlah informan yang akan diwawancarai tidak bisa ditentukan dan sangat dimungkinkan informasi yang dapat dikumpulkan bisa sangat terbatas. Dalam pengumpulan data ini pertama akan mengumpulkan data penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak Penyidik yaitu Kepolisian dengan melihat jumlah perkara atau laporan yang masuk dan berapa perkara yang berhasil dilimpahkan ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum. Dari data dari penyidik inilah kemudian baru pengumpulan data dilanjutkan ke pelaku dan korban baik yang perkaranya dilanjutkan maupun perkaranya tidak dilanjutkan dalam artian antara korban dan
pelaku sudah ada perdamaian. Untuk perkara yang akan dilakukan penelitian hanyalah perkara yang terjadi pada tahun 2010 saja dengan pertimbangan dikawatirkan kesulitan mencari dokumen-dokumen serta kesulitan mencari domisili korban dan pelaku. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
19
Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara memperolehnya melalui studi kepustakaan yakni dengan mempelajari peraturan perundangundangan yaitu Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nomor 8 tahun 1981, dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian terdahulu yang ada relevansinya bahkan data yang bersifat publik yang berhubungan dengan penulisan. 1) Objek Penelitian Untuk melakukan penelitian ini, hal yang mendasar adalah objek sebagai sasaran penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah perilaku kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, peranan penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yang dapat menjamin hak-hak korban dalam penentuan proses penyidikan dan penuntutan yang ada di Kabupaten Dompu. 2) Populasi Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Dompu, sehingga populasinya adalah masyarakat dan penegak hukum di Kabupaten Dompu. Menurut Soerjono Soekanto9 populasi yakni sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama. 3) Penentuan informan Populasi yang besar, tentunya menyulitkan perolehan data dari informan dalam pelaksanaan penelitian, apalagi dengan waktu dan biaya yang minim kecuali untuk melakukan “case study”10, maka bisa dimungkinkan keseluruhan populasi diteliti. Untuk itu, agar memudahkan perolehan data, maka informan yang akan dimintai informasi ditentukan dengan cara mempergunakan “purposive sampling” yang ditentukan
sendiri oleh penulis. Alat yang dipergunakan untuk memperoleh data yakni cara, wawancara
9
(interview),
dan
penggunaan
daftar
pertanyaan
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2007), hal. 172 Ibid, hal. 173 Universitas Indonesia
10
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
20 (questionnaire).11 Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (indept Interview) terhadap para narasumber dan studi kepustakaan. Pengambilan data primer dilakukan dengan interview, dan questionnaire (daftar pertanyaan) . untuk mendapat detail informasi, maka dilakukan indept interview. Diharapkan dengan pendalaman wawancara, validitas data akan bisa diperoleh. Juga dalam memperoleh data primer, tidak sebatas apa yang diketahui oleh korban, tetapi bagaimana mengeksplorasi opini atau pandangan informan. Untuk memperoleh data sekunder dilakukan studi pengumpulan melalui studi pustaka, dan studi dokumen. Pengambilan data sekunder ini pun dapat diakses melalui media internet. Untuk itu, studinya tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan. e.
Metode Analisis Data Analisis
data
merupakan
proses
mengorganisasikan
dan
mengurutkan data ke dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.12 Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis, analisis data
yang
dipergunakan
adalah
pendekatan
kualitatif
yaitu
menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan informan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok permasalahan.13 Dengan
demikian
kegiatan
analisis
ini
diharapkan
akan
dapat
menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat yang dapat menjelaskan mengenai hak-hak korban dalam KDRT, mengenai peranan penegak hukum dalam rangka mengakomodir keinginan korban dalam penyelesaian kasus KDRT, dan
11
J. Supranto, Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.
204 12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal 103 13 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal 93 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
21
menelaah apakah hukum positif yang berlaku mengakomodir keinginan korban dalam penyelesaian kasus KDRT, dimana korban menghendaki adanya
perdamaian
sehingga
didapat
solusi
yang
sama-sama
menguntungkan antara korban dan tersangka/terdakwa , untuk bahan analisis juga digunakan teori-teori hukum yang sudah ada yang menjadi obyek penelitian untuk
melihat apakah ada solusi atas permasalahan
Perkara KDRT tersebut sudah sesuai dengan kaidah keadilan yang konperhensif dalam penerapannya.
F. KERANGKA KONSEP Konsep adalah suatu bagian yang terpentinga dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus dan disebut dengan definisi operasional. Pentingnya
definisi
operasional
adalah
untuk
menghindarkan
perbedaan antara penafsiran mendua (dublus) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Ada beberapa landasan konsepsional dalam tesis ini, yaitu hak, korban, penyidikan, penuntutan, kekerasan dalam rumah tangga. Menurut kamus bahasa Indonesia yang dimaksud hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undangundang, aturan dan sebagainya, dapat diartikan juga kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.14 Korban menurut pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dan korban menurut kamus bahasa Indonesia adalah orang yang mengalami kecelakaan.
14
Drs. Suharso dan Dra Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang : Widya Karya, 2005), hal 161 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
22
Menurut pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga hak korban adalah untuk mendapatkan : a.
Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c.
penanganan secara berkaitan dengan kerahasian korban
d.
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dan
e.
pelayanan bimbingan rohani. Hak korban yang berkaitan dengan penghentian penyidikan dan
penuntutan dalam hukum pidana tidak ada dan tidak diatur. Yang dimaksud hak korban dalam hal ini adalah keinginan dari orang-orang yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga khusus yang ada hubungan suami istri dalam menentukan proses hukum yang sedang dialaminya. Penyidikan, adalah istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing
(Belanda)
dan
investigation
(Inggris)
atau
penyiasatan atau siasat (Malaysia). Sedangkan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) memberi definisi penyidikan sebagai berikut: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”(pasal 1 ayat 2 KUHAP) Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undangundang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar khabar yang sekadar beralasan, bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum.”15
15
R Tresna, Komentar HIR, (Jakarta :Pradnya Paramita, Tanpa Tahun Terbit), hal l 72. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
23
Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 angka 10 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Kewenangan penuntutan adalah wewenang dari penuntut umum sebagaimana bunyi pasal 137 KUHAP “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili” Sedangkan yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sebagaimana bunyi pasal 13 KUHAP. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum
masyarakat
sehingga
mau
berpartisipasi
yang
aktif
dalam
penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat itu sangat penting, karena kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
24
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.16 George Dix, sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut : “an act or mission prohibitied by law for the protection of the public, the violation of which is prosecuted by the state in its own name, and punishedable by fina, incarceration, other restrictions up to liberty, or some combination of these”17 (suatu perbuatan atau rencana yang dilarang oleh hukum guna perlindungan publik, kekerasan yang telah ditetapkan oleh negara dengan jenis dan namanya, dan dapat dihukum, denda, pembatasan-pembatasan kemerdekaan, atau gabungan dari semuanya) Kekerasan dalam kamus besar bahasa Indonesia, 18 berarti : - Perihal yang bersifat, berciri keras - Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain - paksaan Kata kekerasan dalam bahasa Indonesia pada umumnya dipahami menyangkut serangan fisik belaka. Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan perihal yang bersifat, berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.19 Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 UndangUndang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
16
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam Konteks Modernitas,( Jakarta : Asy-syaamil Press dan Grafika, 2001), hal 132 17 Ibid, hal 133 18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departeman Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal 425 19 Drs. Suharso dan Dra Ana Retnoningsih, ibid, hal 240 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
25
Dari definisi tersebut diatas terlihat untuk siapa undang-undang ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi. Pihak yang mengalami subordinasi dalam kenyataannya bukan hanya perempuan, baik yang dewasa maupun anak-anak.20 Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik menurut pasal 6 Undangundang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kemudian yang dimaksud dengan kekerasan psikis menurut pasal 7 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 ini adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut pasal 8 Undang-undang nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah : 1.
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kemudian penelantaran rumah tangga menurut pasal 9 Undang-
Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah : 1.
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
20
Rika Saraswati, Op.cit, hal 19 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
26
2.
Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa : 1.
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a.
suami, istri dan anak;
b.
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan atau
c.
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2.
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah termasuk anak angkat dan anak tiri. Kemudian yang dimaksud dengan hubungan perkawinan, misalnya mertua, menantu, ipar dan besan.
G. KERANGKA TEORI Sebagai instrumen pengendali sosial penegakan hukum diperlukan guna menjaga ketertiban yang menjadi ekspektasi dalam kehidupan masyarakat. Ditinjau dari perspektif makro peran dalam penegakan hukum yang strategis akan menjadi alat pengendali dan moral guindance bagi perilaku para penyelenggara negara, elit politik dan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan dalam perspektif mikro, peranan penegakan hukum diaplikasikan dalam
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
27
proses peradilan (law enforcement) mulai dari penyidikan, penuntutan hingga eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.21 Proses penegakan hukum, tidak saja dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi dibutuhkan instrumen penggerakknya yaitu institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen dari sistem peradilan pidana seperti Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, badan peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana, yaitu suatu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.22 Pengertian
yang
lebih
umum
dari
sistem
peradilan
pidana
23
dikemukakan oleh Muladi, yang mengatakan bahwa : “Sistem Peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, jika sifatnya terlalu formal yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencara berupa ketidakadilan.” Pemikiran bahwa setiap subsistem harus saling berkaitan dan terpadu, melahirkan pemikiran tentang suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) sebagai suatu sistem ini sangat penting dalam menanggulangi kejahatan di setiap negara.24 “sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.” Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem, menurut Romli Atmasasmita, 25 “harus dilakukan pendekatan sistem yaitu : 21 Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisiatn Republik Indonesia, tentang Kebijakan dan Strategi dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan, (Semarang :16 Februari 2007), hal 1. 22 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, peranan pengeak hukum melawan kejahatan, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hal 1 23 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal 1-2 24 Marjono Reksodiputro, 1994, op cit, hal 84-85 25 Romli Atmasasmita, system Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cetakan II revisi, (Bandung : Bina Cipta 1996), hal 9-10 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
28
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan); b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih diutamakan daripada efisiensi penyelesaian perkara; d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice”. Konsep integrated dalam pengertian sinkronisasi sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut, mengandung pengertian the achievenment of unification through shared norm values” yang harus tampak dalam
penyelenggara
dan
oknum
penyelenggara
peradilan
pidana.
Sehubungan dengan karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan pidana yang terpadu yang memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk menumbuhkan sinkronisasi dari segi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima sanksi pidana, 26 termasuk juga : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana; c. Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya. Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja membuat tentang hak dan kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing institusi penegak hukum.
26
Ibid, hal 14-15 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
29
Proses penegakkan hukum berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama ini menganut asas division of function atau sistem kompertemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta perlaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice sytem), tetapi di dalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.27 Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek tersebut selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu. Ironisnya
meskipun
berbagai
upaya
telah
dilakukan
untuk
mengeliminir permasalah didalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi antar para penegak hukum. Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu sistem akan mengganggu bekerjanya subsistem yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan. Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan. Masing27
Paparan Jaksa Agung, Op.cit, hal 2 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
30
masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan oleh institusi Kepolisian
(subsistem
penyidik),
Kejaksaan
(subsistem
penuntutan),
Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang pengadilan), Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan (subsistem pelaksanaan putusan pengadilan).28 Keempat institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut seyogianya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum untuk mengembangkan tugas menegakkan keadilan dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), Muladi mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselararan, yang dapat dibedakan dalam,29 pertama sinkroniasi struktural (structural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Kedua, sinkronisasi substansial (substansial syncronization) yaitu keserempakan dan keselaranan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Ketiga, sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsistem lainnya. Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem
peradilan
pidana
memainkan
peranan
yang
spesifik
dalam
penanggulangan kejahatan, dengan mengarahkan segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal
policy). Menurut Herbert L packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar
28 29
Paparan Jaksa Agung, op.cit, hal 3 Ibid, hal 17 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
31
peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.30 Upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum lewat sarana “penal” mempunyai beberapa kelemahan, kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu sepatutnya diimbangi dengan upaya non-penal yang harus selalu digali, dimanfaatkan dan dikembangkan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Hukum pidana menurut M. Cherif Bossioni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampau batas.31 Dasar pemikiran lainya ialah adanya pemahaman determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki.32
30
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, (Yogyakarta : Genta Publising, 2010), hal 17 31 Ibid, hal 18 32 Ibid, hal 19 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
32
Louk Hulsman di Belanda menyebutkan karakteristik abolisionisme dalam sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham yang realistik dengan cara mengubah struktur sistem peradilan pidana sebab sistem peradilan pidana sebagai masalah sosial. Yang mendasari pemikian Hulsman ini adalah :33 a.
Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan
b.
Sistem peradilan tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicitacitakan
c.
Sistem peradilan pidana tidak dikendalikan
d.
Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar pendekatan individual bukan multivarian. Padangan tersebut juga diperkuat oleh Cohen
34
yang menegaskan
nilai yang melandasi perspektif abolisionisme sebagai berikut : a.
Masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih manusiawi, layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.
b.
kerjasama timbal balik, persaudaraan dan hidup bertetangga secara baik terkesan lebih baik dari pada bergantung pada birokrasi dan para ahli
c.
Kota-kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa memilikinya dan dimana gangguan ketertiban lebih ditenggang rasa dari pada dibedakan dalam zona daerah rawan dan aman
d.
Pandangan masyarakat seharusnya ditujukan kepada keadaan fisik dan kebutuhan social
e.
Perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang sangat merugikan masyarakat dengan tetap memelihara klasifikasi, pengawasan dan mengasingkan kelompok masyarakat berdasarkan usia, etnis, tingkah laku, status moral, kemampuan dan keunggulan fisik. Praktek
penegakkan
hukum
di
Jepang
lebih
mengutamakan
kesepakatan atau musyawarah dibandingkan dengan penyelesaian melalui litigasi semata-mata walaupun cara demikian tidak dapat disamakan secara
33 34
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 88-89 Ibid, hal 89 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
33
persis konsep abolisionisme dari Hulsman. Pandangan yang memperkuat secara presisi konsep ini adalah Marc Ancel 35 sebagai berikut : a.
The penal system (centered on the twin concepts of crime and punishment) is neither the only nor indeed the best way of responding to delinguency (terjemahan bebas : sistem pemidanaan bukan hanya satusatunya cara terbaik untk menghadapi kejahatan).
b.
Criminality has no independent existence as a specific catagory or as some sort of given preceding the establishment of the system of penal law, but only becomes criminality as a result of the institution of that system
(terjemahan bebas : kejahatan bukanlah suatu yang terhadir
mendahului sistem hukum pidana, melainkan merupakan hasil dari pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut) c.
The delinguent or the perpetrator of the act definied as an offence by the law, is not an alien being, recognizable as such, and anthropologicall different in some way from the non-delinguent, contrary to generally held opinion which diffenrentiates law-abiding citizens from evil-doers in his way. In certain respect we are all criminal ( terjemahan bebas : pelaku kejahatan bukanlah makhluk yang terasing dan berbeda dengan warga masyarakat lain. Dalam beberapa hal tertentu kita semua adalah penjahat) Hukum di pandang memiliki berbagai fungsi, fungsi hukum yang
paling dasar adalah mencegah bahwa konflik kepentingan dipecahkan menjadi konflik terbuka. Jadi hukum merupakan sarana pemecahan konflik yang rasional karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan alamiah belaka melainkan menurut kriteria obyektif yang berlaku umum.36 Menurut talcott Parsons, fungsi hukum bersifat integratif. Fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Teori-teori “restorative Justice “ (keadilan restoratif) yang dilandasi oleh teori-teori tentang Hak Asasi manusia 35 36
Ibid, hal 90 Ibid, hal 21 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
34
dikorelasikan dengan penanganan perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga yang bertujuan untuk menghasilkan produk hukum yang berakhir dengan restorative justice yang dapat memberikan pemulihan secara utuh pada penyelesaian perkara sekaligus sebagai implementasi perlindungan hak asasi manusia.37 Upaya tersebut diatas dalam rangka juga memberikan rasa keadilan kepada korban, selain dari pelaku dan masyarakat. Dalam hukum pidana korban masih kurang mendapatkan perhatian dalam hal perlindungannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hukum pidana lebih banyak dikenal menganai hak-hak tersangka, terdakwa atau terpidana.38 Seharusnya korban mendapatkan perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan hak tersangka, terdakwa atau terpidana. Korban merupakan pihak yang dirugikan namun dalam kenyataannya malah dikesampingkan hak-haknya, sehingga peran atau hak korban hanyalah sebatas melaporkan kejadian yang menimpanya dan kemudian memberikan keterangan baik didepan penyidik maupun dipersidangan, namun tidak mempunyai hak untuk ikut campur mencari solusi atas perkaranya tersebut. Tindakan negara ini dilakukan tanpa merasa perlu mengikutsertakan korban secara sederajat, pendapat korban tidak menentukan keputusan negara untuk menyidik dan menuntut. Korban hanya dianggap sebagai saksi korban, pelengkap dalam tindakan yang telah diputuskan oleh negara sebagai wakil masyarakat.39 Dalam kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia, dikemukaan bahwa :40 “victims right shold be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system” (“hak-hak korban seharusnya terlibat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana”). 37
Ibid, hal 23 Surastini Fitriasih Nathalina, Modul Instrumen HAM tentang Konvensi Anti Penyiksaan, Kerjasama Sentra HAM FHUI dan Dirjen HAM DEPKUM dan HAM RI, (Jakarta: 2007), hal 6 39 Mardjono Reksodiputro, Selayang pandang pemikiran tentang Kriminologi (makalah pengajak diskusi), disampaikan dalam rangka studium generale di Dep. Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta hal 6 40 Theodora Shah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensai, MaPPI-FHUI Universitas Indonesia 38
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
35
Hubungan antara korban dan pelaku kejahatan (victim-offender relationship) dipelajari dari aspek penderitaan korban tetapi juga bagaimana korban sering turut mengakibatkan terjadinya kejahatan bersangkutan. Disinilah kemudian mulai timbul gagasan-gagasan tentang “kompensasi atau ganti rugi bagi korban” (victim compensation schemes) dan “pengkajian tentang tipologi korban” (victim typology studies).41 Pencegahan kejahatan yang efisien dan efektif harus didasarkan pada pengetahuan, pengertian dan pemahaman yang tepat tentang masalah kejahatan tersebut.42 Secara teoritis hak-hak korban dapat dibedakan dalam dua kategori besar, yaitu terlibat dalam penuntutan terhadap pelaku dan korban meminta kompensasi atau restitusi.43 Untuk yang pertama yaitu korban ikut terlibat dalam penyidikan dan penuntutan hanyalah berlaku untuk delik aduan, dimana korban sangat berperan dan menjadi penentu dalam proses penyidikan dan penuntutan. Kemudian hak korban meminta kompensasi atau restitusi sangat jarang digunakan, hal ini sudah diatur dalam KUHAP, dimana korban bisa meminta ganti rugi atas kerugian yang nyata dideritanya, dan tentu saja ini akan meringankan korban dan mungkin dapat memberikan rasa keadilan yang lebih baik. Menurut Mardjono Reksodiputro,44 Perlu diperhatikan bahwa dalam proses peradilan pidana, kedudukan korban sebagai pihak dalam perkara harus mendapatkan pengakuan yang wajar. Hak yang diberikan kepada korban dalam KUHAP untuk menggabungkan perkaranya dengan tuntutan ganti rugi serta meminta pemeriksaan pra peradilan penghentian penuntutan, sudah mulai memperoleh perhatian yang seharusnya. Untuk korban yang tidak mau atau tidak sanggup (baik dilihat dari segi emosional maupun materiil) untuk memperjuangkan
hak-haknya
melalui
pengadilan
perlu
digali
dan
41 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 2007), hal 103 42 Mardjono Reksodiputro,, Metode Penelitian Kriminologi Melalui Statistik Kejahatan di Indonesia, Disampaikan pada kuliah Dep. Kriminologi FISIP-UI, (Jakarta: 2 Oktober 2009), hal 1. 43 Mardjono Reksodiputro, Op.cit, hal 9 44 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hal 93-94 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
36
dikembangkan upaya-upaya hukum adat yang mampu menyelesaikan sengketa semacam ini melalui prosedur perdamaian (conciliation procedures). Dalam sistem hukum yang menghormati peranan korban, maka permintaan korban untuk penyelesaian semacam ini perlu diperhatikan dan sedapat mungkin dipenuhi. Apabila pendekatan yang dipakai dalam menangani masalah korban ini adalah dengan ”optik-korban” bukan dari sudut pandangan alat penegak hukum ataupun ”offender centered”. Dalam penanganan suatu perkara pidana, secara garis besar ada 3 kategori penyampingan perkara yang terjadi di Belanda, seperti yang dituliskan oleh Indriyanto Seno Adji yaitu45 : 1. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy), yang meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua) dan kerusakan telah diperbaiki/kerugian sudah diganti. 2. Karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain-lain) 3. Karena perkara digabung dengan perkara lain. Dalam perkara KDRT dimana sering terjadi antara korban dan pelaku adalah masih dalam hubungan yang khusus dimana apabila si pelaku dikenakan sanksi pidana maka akan secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan si korban. Penjatuhan pidana juga akan meninggalkan stigma (cap) kepada si pelaku juga kepada keluarganya, sehingga dalam KDRT penjatuhan pidana juga dapat memberikan stigma kepada si korban dalam lingkup rumah tangga, istri atau suami dan anak. Sehingga dalam penjatuhan pidana khususnya dalam pekara KDRT harus berdasarkan kemanfaatan. Dimana Jan Remmelink mengatakan selain untuk pembalasan pemidanaan juga memberikan tempat pada elemen-elemen kemanfaatan atau medicinale.46
45
Indriyanto, Seno Adji, Prospek Perlindungan saksi dan Korban dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, disampaikan dalam diskusi panel dengan tema “undang-undang Perlindungan saksi dan Korban di Indonesia, diselenggarakan oleh US Department of Justice, office of Overseas Prosecution Development Assistance and Training (OPDAT), (Jakarta: 2007), hal 8 46 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas pasal-pasal terpenting dari KUHP Belanda dan padananya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 619 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
37
Jenis sanksi bila dilihat dari aspek tujuannya lebih mengarah pada pencegahan agar orang tidak melakukan kejahatan bukan bertujuan mencegah agar kejahatan itu tidak terjadi.47 Dalam kasus KDRT penyelesaian melalui proses persidangan atau Litigasi tidak selamanya menjadi suatu jaminan bahwa keadilan dapat tercapai baik dari sisi korban maupun dari sisi terdakwanya. Dalam penerapan hukum pidana salah satu maksudnya adalah dalam rangka untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh si korban. Dalam rangka pemulihan kerugian yang diderita tersebut kemudian si pelaku dijatuhi kewajiban atau beban untuk memulihkan keadaan sikorban seperti semula. Dalam rangka pemulihan tersebut ada banyak pendapat misalnya dengan penjatuhan pidana yang setimpal, namun ada juga yang berpendapat bahwa dalam menegakkan keadilan harus mewakili keadilan dari sisi korban, pelaku dan warga masyarakat. Dalam konteks itulah, maka penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga harus mempertimbangkan pernyataan muladi sebagai berikut :48 - Jangan menggunakan hukum pidana dengan secara emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata - Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya - Hukum pidana jangan dipakai guna mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit - Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan oleh pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana yang akan dirumuskan - Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan 47 M. Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidana, ide dasar double Trak Sytem dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 170 48 G. Widiartana, Op.cit, hal 24 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
38
- Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak dibanding oleh masyarakat secara kuat - Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable) - Hukum pidana harus uniform, univerying and universalistic - Hukum pidana harus rasional - Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order, legitimation and competence - Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, procedur fairness and substansive justice - Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil - Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan - Dalam hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan - Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal (prevention whithout punishment) Jadi penggunaan sarana hukum pidana untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga harus dilakuan secara hati-hati dan selektif dengan mempertimbangkan berbagai hal. Terlebih seperti yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan kebijakan penal tidak bersifat kausatif karena kebijakan penal lebih merupakan kebijakan yang bersifat parsial, represif dan simptomatik. Meskipun mengandung kelemahan, apabila hukum pidana telah dipilih sebagai sarana penanggulangan, maka sebagian bagian dari masyarakat dunia penggunaan sarana hukum pidana untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga tersebut juga tidak dapat terlepas dari perkembangan kecenderungan internasional dalam penanggulangan kejahatan. Dalam perkembangan kecenderungan dunia internasional, penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana yang lebih terfokus pada pelaku (offender oriented) dianggap kurang memberikan keadilan bagi korban Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
39
kejahatnannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pihak yang mengalami penderitaan secara langsung sebagai akibat terjadinya kejahatan adalah korban. Sedangkan sanksi pidana yang tersedia untuk dapat dikenakan pada pelaku hampir tidak ada yang membawa manfaat langsung bagi pemulihan penderitaan korban.49 Untuk penegakkan hukum perkara KDRT konsep restorative justice merupakan suatu penyelesaian yang diperlukan. Restorative justice menurut Howard Zehr ” Restorative justice is a process to involve to the extent possible, those who have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs and obligations, in order to heal and put things as right as possible”50 Restorative justice memandang bahwa kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat. Pelanggaran tersebut menciptakan kewajiban. Dalam restorative justice keadilan mencakup para korban, para pelanggar dan warga masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala sesuatunya secara benar. Fokus sentralnya adalah para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya dan pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kommpensasi ataupun restitusi.)51 Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu52 : a.
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; c.
Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
49
Ibid, hal 27-28 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal 247 51 Ibid, hal 249-250 52 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm.127-129. Universitas Indonesia 50
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
40
d.
Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
e.
Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f.
Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g.
Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h.
Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i.
Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.
Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
k.
Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang
melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif.53 Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.54 Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial 53
Ibid, hlm. 125 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 101. Universitas Indonesia 54
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
41
berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.55 Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana
untuk
mengembalikan
mereka
daripada
secara
sederhana
memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan
keadilan
apapun.
Kemudian
restorative
justice
juga
mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.56 Dalam penanganan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga dalam penanggulangannya sudah banyak diatur dalam undang-undang, tetapi penanggulangan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam mewujudkan pemulihan (restorative) secara hakiki yang melindungi hak asasi manusia tidak secara eksplisit diatur lengkap oleh undang-undang. Chambliss & seidman yang didukung oleh Satjidpto Rahardjo57 menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua unsur yang merupakan faktor yang turut menentukan dalam perwujudan pemulihan (restorative) dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut yaitu : - Tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian sengketa itu. Apabila tujuan yang hendak dicapai oleh pranata adalah untuk merukunkan para pihak sehingga selanjutnya dapat hidup bersama kembali setelah sengketa itu, maka orang dapat mengharapkan bahwa tekanan disitu akan lebih dilektakkan pada cara-cara mediasi dan kompromi, sebaliknya apabila tujuan pranata itu adalah untuk melakukan penerapan peraturan-peraturan
55
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, hal 14 56 Ibid, hal 14 57 Ridwan Mansyur, op.cit, hal 73 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
42
(rule enforcement) maka cara penyelesaian birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai, dimana sasarannya yang utama adalah untuk menetapkan secara tegas apa yang sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar. - Tingkat perlapisan yang terdapat dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat pelapisan yang terdapat dapat dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat disitu. Dalam keadaan yang demikian maka lapisan atau golongan yang dominan akan mencoba untuk mempertahankan kelebihannya dengan cara memaksakan berlakunya peraturan disitu yang menjamin kedudukan. Berbeda dengan keadaan pada masyarakat sederhana dimana tingkat pemakaian teknologi masih rendah, kesepakatan nilai masih mudah dicapai dimana kerukunan merupakan pola penyelesaian sengketa maka di dalam masyarakat yang mempunyai perlapisan yang tinggi dengan susunan masyarakat yang mendorong timbulnya ketidaksamaan, penerapan peraturan dengan pembebanan
sanksi
merupakan
pola
kerja
yang
cocok
untuk
masyarakatnya.
H. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika dalam penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut : Bab I, merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang permasaalahan yang menjadi bahasan dalam penelitian. Selanjutnya menjelaskan mengenai pernyataan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian yang didalamnya menjelaskan pemilihan lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, kerangka konsep, kerangka teori dan dalam bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, membahas perspektif hukum pidana dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, dengan memberikan uraian mengenai hukum pidana yang terdiri dari pengertian hukum pidana,sistem peradilan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
43
pidana Indonesia, sanksi pidana dan pemidanaan. Kemudian dalam bab ini juga akan diuraikan mengenai kekerasan dalam rumah tangga dengan memberikan paparan mengenai pengertian korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pengertian rumah tangga, tindak kekerasan dalam rumah tangga, kedudukan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam hukum pidana Indonesia. Dan diakhir bab ini akan diuraikan juga mengenai penyelesaian perkara pidana dalam kitab hukum acara pidana dengan pembahasan mengenai kewenangan penyidikan dan penuntutan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan Bab III, dalam bab ini akan membahas mengenai konsep restorative justice dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, yaitu menguraikan mengenai restorative justice dengan menjelaskan pengertian restorative justice, dan model restorative justice. Kemudian akan diuraikan juga mengenai penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan ide restorative justice dan untuk mengakiri bab ini akan diuraikan mengenai penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga yang tertuang dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bab IV, akan membahas peran Kepolisian dan Kejaksaan dalam mengakomodir keinginan korban dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga. Bab ini akan diawali dengan menguraikan Peran Kepolisian Resort Dompu dalam menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga, peran dan kebijakan Kejaksaan Negeri Dompu dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, selanjutnya uraian tentang konsep restorative justice dalam penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga di masa mendatang. Bab V, merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
BAB II PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Hukum Privat dan Hukum Publik Mengenai perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum publik dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Hukum publik ini adalah keseluruhan peraturan yang merupakan dasar negara dan mengatur pula bagaimana caranya negara melaksanakan tugasnya. Jadi merupakan perlindungan kepentingan negara. Oleh karena memperhatikan kepentingan umum, maka pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa. Hukum perdata atau hukum privat adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan didalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masingmasing pihak.58 Menurut F.J.H.M van der VEN, hukum perdata pada pokoknya mengatur hubungan-hubungan antara para warga masyarakat perseorangan (sekalipun negara sendiri sebagai pendukung kepentingan pribadi dapat pula bertindak secara hukum privat, misalnya dalam pembelian). Hukum publik mengatur hubungan antara alat-alat perlengkapan negara satu sama lain serta hubungan-hubungan antara negara sebagai lembaga hukum dengan perorangan sebagai warga masyarakat.59 Menurut Pitlo sebagaimana disadur oleh Djasadin Saragih, hukum publik mengatur hubungan antara individu yang terdapat dalam masyarakat dan organisasi masyarakat yang bersangkutan. Hukum perdata mengatur hubungan antara individu. Yang pertama menyangkut kepentingan umum, yang kedua menyangkut kepentingan individu. Sebagai hukum publik 58 Hari Supriyanto, perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, studi hukum perburuhan di Indonesia,(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004), hal 7 59 F.J.H.M van der VEN, Pengantar hukum kerja, (Yogyakarta: Yayasan kanisius, 1969), hal 5
44 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
45
mempunyai sifat memaksa yaitu aturan-aturan yang tidak boleh disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap aturan-aturan mana mau tidak mau harus tunduk. Sedangkan sebagai hukum privat mempunyai sifat pelengkap artinya aturan-aturan yang hanya berlaku sejauh orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur secara lain. Misalnya jual beli menentukan sendiri waktu dan tempat penyerahan, pembayaran.60 Pendapat Wirjono Prodjodikoro sendiri bertitik tolak pada bahwa semua hukum mangatur tindakan-tindakan dalam masyarakat untuk keselamatan masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri terdiri dari orangorang manusia, maka kepentingan masyarakatlah yang selalu menjadi faktor dalam segala peraturan hukum. Hanya dalam suatu perhubungan hukum ada titik berat pada kepentingan orang perseorangan atau kumpulan orang. Pada dasarnya perbedaan hukum privat dan hukum publik masih tetap diperlukan.61 Vollmar berpendapat hukum publik mencakup semua aturan-aturan hukum yang memberikan pembatasan dan pengaturan hak dengan kewajiban penguasa
sebagai
demikian,
dimana
kepentingan-kepentingan
dari
masyarakat tersangkut. Hukum privat adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan kepada kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu.62 Menurut Asis Safioedin, hukum publik adalah hukum yang menitikberatkan kepada hubungan antara perorangan dengan negara, adapun tujuannya adalah untuk memelihata kepentingan masyarakat, sehingga kalau dilanggar, maka pemerintah /penguasa yang bertindak. Sedangkan hukum privat
mengatur
hubungan
antara
orang
dengan
orang
dengan
menitikberarkan kepada kepentingan perseorangan. Adapun tujuannya adalah untuk memelihara kepentingan orang-seorang, sehingga apabila dilanggar 60
Pitlo disadur oleh Djasadin Saragih, Suatu Pengantar Asas-asas Hukum Perdata, jilid III (Bandung : Alumni, 1973) hal 13 61 Hari Supriyanto , op.cit, hal 9 62 Volmar terjemahan Adi Winarta, pengantar studi hukum perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal 2-3 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
46
maka yang bertindak adalah yang bersangkutan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.63 Menurut Mudjiono, yang dimaksud dengan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).64 Adapun tolak ukur yang dapat digunakan untuk membedakan antara hukum publik dengan hukum privat, yaitu :65 1. Dalam hukum publik salah satu pihaknya adalah penguasa sedangkan dalam hukum privat kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum perdatapun penguasa dapat menjadi pihak juga. 2. Peraturan hukum publik sifatnya memaksa, sedangkan peraturan hukum privat pada umumnya bersifat melengkapi ada juga yang bersifat memaksa. 3. Semula pembedaan hukum publik dan hukum privat berdasarkan tujuannya. Tujuan hukum publik adalah melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum privat tujuannya adalah melindungi kepentingan perorangan atau individu. 4. Pembedaan hukum publik dari hukum privat berdasarkan hubungan hukumnya. Hukum publik mengatur hubungan antara negara dan individu. Sedangkan hukum privat berhubungan dengan hubungan hukum antar individu. Mudjiono mengklasifikasikan yang termasuk hukum privat dan hukum publik yaitu66 : 1. Hukum Privat terdiri dari :
63
Asis Safioedin, beberapa hal tentang Burgelyk Wetboek, ( Bandung: Alumni, 1973), hal 98-
99 64
Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia , Yogyakarta: Liberty, 1991, hal 76 Sudikno Mertokusumo, mengenal hukum suatu pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal 122-123 66 Mudjiono, Op.cit, hal 77-78 Universitas Indonesia 65
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
47
a. Hukum privat dalam arti luas yang meliputi : hukum perdata dan hukum dagang b. Hukum Privat dalam arti sempit yang meliputi hukum perdata saja. 2. Hukum Publik terdiri dari : a. Hukum tata negara, yaitu hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintah suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, dan hubungan antara Negara (pemerintah pusat) dengan bagian-bagian negara (daerah-daerah swantara) b. Hukum Administrasi Negara (Hukum tatausaha negara atau Hukum tata
pemerintahan),
yaitu
hukum
yang
mengatur
cara-cara
menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkan negara. c. Hukum privat (pidana= hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perakra ke muka pengadilan. Paul Scholten dan Legemann menganggap hukum pidana tidak termasuk hukum publik. d. Hukum Internasional yang terdiri dari : Hukum Perdata Internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negarawarga negara sesuatu negara dengan warga negara-warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional. Dan hukum publik internasional (hukum antar negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara-negara yang lain dalam hubungan internasional. Perbedaan hukum privat dan hukum publik menurut Hari Supriyanto, yaitu :67
1. Dalam hukum privat : a. Pihak : kedua belah pihak perorangan b. Sifat : melengkapi meskipun ada yang memaksa c. Tujuan : melindungi kepentingan perorangan 67
Hari Supriyanto, op cit, hal 10 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
48
d. Hubungan hukum : mengatur hubungan antar individu e. Penegakan hukum apabila dilanggar dilakukan oleh pihak yang dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. 2. Dalam hukum publik : a. Pihak : perorangan dan negara b. Sifat : memaksa c. Tujuan : melindungi kepentingan umum d. Hubungan hukum : mengatur hubungan antara individu dengan negara e. Penegakan hukum apabila dilanggar dilakukan oleh penguasa. Dalam kenyataannya ada pergeseran dari hukum privat kemudian menjadi atau diatur menjadi hukum publik. Pergeseran dari hukum privat ke hukum publik tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Pitlo yang dikutip oleh Hari Supriyanto yaitu :68 1. Hukum bergeser dari suasana hukum perdata ke suasana hukum publik. Dalam bidang yang tetap dikuasai oleh suasana hukum perdata, kebebasan hakim lebih besar. Pergeseran ke hukum pulbik membawa serta perluasan ketentuan-ketentuan hukum memaksa terhadap ketentuanketentuan hukum pelengkap. Gejala ini berarti pembatasan kebebasan individu. Adanya suatu kenyataan bahwa ketidaksamaan ekonomis membawa suatu keadaan dimana terjadi penindasan pada silemah. Oleh karena itu penguasa melakukan tindakan-tindakan perlindungan terhadap silemah dalam
bentuk
undang-undang,
yang
dengan
sendirinya
berarti
pengurangan dan pembatasan terhadap kebebasan individu. 2. Dengan semakin intensifnya lalu lintas hukum, bentuk-bentukpun semakin berkurang. Berhadapan dengan itu, sebagai salah satu akibat daripada sosialisasi hukum dan juga bertambah intensifnya lalu lintas hukum, ialah bertambah banyaknya tindakan-tindakan hukum yang dikenakan syarat publikasi. Dengan lebih seringnya setiap orang berurusan dengan setiap orang lain dan posisi hukum seseorang semakin ditentukan oleh apa yang dilakukan orang-orang lain, maka undang68
Ibid, hal 10-13 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
49
undang harus menjaga, agar orang-orang lebih banyak saling mengetahui perbuatan masing-masing. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik yang semakin cepat dan bertambah kompleknya masyarakat, menyebabkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam seluruh bidang pemikiran manusia. Hal ini berarti perundang-undangan semakin bertambah luas. Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang ditulis secara terperinci menyebabkan problem-problem baru. Akibatnya muncul suatu keadaan dimana perundang-undangan dibuat secara umum berarti menghindari pembuatan undang-undang secara terperinci. Selanjutnya mengenai penerapannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Disini kebebasan hakim dalam menafsirkan suatu ketentuan dalam kaitannya dengan penerapan suatu undang-undang mendapatkan tempat yang luas. Jadi pembuat undangundang hanya membatasi pada hal-hal yang pokok-pokok saja, yang akan diterapkan oleh hakim dengan melihat kepatutan dan keadaan. 3. Pemikiran manusia mengalami proses pertumbuhan yang abadi dan uga karena itu hukum bergerak, sebab hukum adalah produk dari pemikiran manusia. Menganggap diri sendiri lebih leluasa terhadap naskah undangundang. Menciptakan ruang gerak untuk mengakui etika di dalam hukum, untuk menerapkan pengertian-pengertian tentang kepatutan dan itikat baik, juga jika hal ini bertentangan dengan bunyi harafiah undang-undang. Pemikiran manusialah yang membentuk hukum. Sehingga dengan terjadinya perubahan pada pemikiran manusia maka berubahlah pemikiran-pemikiran manusia tentang hukum. Mengenai perubahan pemikiran manusia sehubungan dengan perubahan pemikiran tentang hukum ini dapat dijelaskan menjadi dua fase. Fase pertama segera setelah kodifikasi, seorang yuris hanya berpedoman pada undang-undang. Ia dapat disebut sebagai legis. Keadaan ini menyebabkan jurang yang semakin lebar antara undang-undang dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Maka masyarakat mulai berpikir perlunya mengetahui makna dan maksud undang-undang dan lama kelamaan semakin menuju ke arah pelepasan dari keterikatan kepada kata-kata dalam undang-undang. Hal Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
50
ini membawa kemungkinan ke arah penggunaan pencarian keadilan melalui penyelesaian hukum (rechtshantering), hukum dan etika tidak lagi merupakan asas-asas yang terpisah satu sama lain. Etika mulai masuk kedalam hukum. Dalam masa ini timbul keyakinan bahwa tidak ada hukum tanpa keadilan dan undang-undang harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mewujudkan keadilan. 4. Pengertian yang lebih murni tentang sintesa membawa kita kepada pengakuan akan relativitas, juga didalam hubungan-hubungan hukum. Tahap relativering dapat dijelaskan sebagai tahapan berfikir membimbing manusia dari keadaan tidak sadar ke arah keadaan sadar. Semula putusanputusan dalam persoalan hukum diambil tandap mengetahui landasannya. Dalam arti putusan-putusan tersebut semata-mata mendasarkan pada bunyi dari undang-undang. Kemudian putusan-putusan yang ada diambil dengan mengetahui mengapa diambil putusan tersebut. Disini terjadi suatu kesadaran dari ketidak sadaran, berarti terjadi perluasan dari pemikiran manusai dan hal ini membawa perubahan dalam bidang hukum.
B. Hukum pidana 1. Pengertian hukum Pidana Kata hukum pidana pertama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan kententuan yang menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak untuk memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidana macam apa saja yang diperkenankan. Hukum pidana dalam artian ini adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut jus poenale.69 Hukum pidana demikian mencakup70 : a.
Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organorgan yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancama) pidana; norma-norma yang harus ditaati oleh siapa pun juga;
69 70
Jan Remmelink, Op.cit, hal 1 Ibid Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
51
b.
Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu; hukum penitensier atau lebih luas, hukum tentang sanksi;
c.
Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. Disamping itu, hukum pidana dapat dipergunakan dalam arti
subyektif. Disini kita akan berbicara tentang jus puniendi, hak untuk memidana. Di mengerti dengan itu adalah hak dari negara dan organorgannya untuk mengkaitkan (ancaman) pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu-jadi untuk menciptakan jus puenale yang disebutkan diatas.71 Simon secara langsung memperbedakan hukum pidana subyektif terhadap hukum pidana obyektif, hukum pidana material terhadap hukum pidana formal. Hukum pidana obyektif adalah semua tindakan-tindakan keharusan (gebod) dan larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umumnya yang kepada pelanggar ketentuan tersebut diancamkan derita khusus, yaitu pidana, demikian juga peraturan-peraturan yang menentukan, syarat bagi akibat hukum itu, serta ketentuan-ketentuan mengenai dasar penjatuhan pidana dan pelaksanaannya. Kemudian dalam memperbedakan hukum pidana material dengan hukum pidana formal, pada garis besarnya bahwa hukum pidana material memuat ketentuanketentuan serta rumusan dari suatu tindak pidana, ketentuan-ketentuan mengenai pertanggung jawaban pidana, ketentuan-ketentuan mengenai pelaku dan ketentuan-ketentuan pidana. Sedangkan hukum pidana formal mengatur tentang cara-cara mewujudkan hak memidana dan menjalankan pidana.72 Pompe mengatakan, hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.73
71
Ibid S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: alumni Ahaem, Patehaem, 1989), hal 13 73 Ibid Universitas Indonesia 72
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
52
Sutherland & Cressey : The criminal law in turn is defined conventionally as a body of specific rules regarding human conduct wich have been promulgated by political authority which apply uniformalu to all members of the classes to which the tules refer, and which are enforced by punishment administrated by the state.74 Menurut Roeslan saleh, definisi dari prof Moeljatno berbunyi : hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk menentukan75 : a.
Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
b.
Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan
itu
dapat
dikenakan
atau
dijatuhi
pidana
sebagaimana yang telah diancamkan ; c.
Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Sehubungan dengan definisi tersebut beliau menegaskan bahwa
hukum pidana adalah bagian dari hukum pada umumnya yang berdiri sendiri, dan yang penting dalam hukum pidana bukan saja pemidanaan tertuduh, akan tetapi harus terlebih dahulu ditentukan apakah tertuduh telah melakukan perbuatan pidana atau tidak. Dengan demikian ditolak pendapat bahwa hukum pidana hanya memberikan sanksi saja kepada perbuatan-perbuatan yang telah dilarang oleh bagian-bagian hukum lainnya sebagaimana antara lain diajarkan oleh Prof. Van Kan. Apabila definisi tersebut dipadatkan lagi maka ia akan tersimpulkan bahwa hukum pidana memuat : perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal liability atau criminal responsibility) dan ketentuan
ketentuan acara pidana (criminal prosedure).76 Hukum pidana adalah hukum sanksi. Dengan sanksi itu dimaksudkan untuk menguatkan apa yang dilarang atau diperintahkan oleh 74
Ibid Ibid 76 Ibid 75
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
53
ketentuan hukum. Sanksi dalam hukum pidana berupa ancaman dengan hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hukuman itu bersifat siksaan karena hukuman itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.77 Pidana pada dasarnya adalah nestapa atau penderiaan yang dijatuhkan oleh negara karena pelaku melanggar nilai dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.78 Pidana merupakan suatu pranata sosial yang dikaitkan dengan dan selalu mencerminkan nilai dan struktur masyarakat sehingga merupakan suatu reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama” atau collective conscience. Hukum pidana merupakan the punitive style of social control dan sebagai produk politik, sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan oleh para legislator, dan diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan pidana.79 Mardjono Reksodiputro, juga memberikan batasan-batasan dalam penggunaan hukum pidana yaitu80 : a.
Bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan
kembali
nilai-nilai
sosial
dasar
perilaku
hidup
masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara Pancasila; b.
Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak atau belum dapat diharapkan keefektifannya;
c.
Dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan diatas harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa
77 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian kesatu, Balai Lektur Mahasiswa, hal 49. 78 Harkristuti Harkrisnowo, Bahan Kuliah Teori Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009 79 Harkristuti Harkisnowo, Op.cit, hal 2. 80 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal 23 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
54
mengurangi
perlindungan
terhadap
kepentingan
kolektifitas
masyarakat demokratik yang modern. Hukum pidana dilihat sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dan karena itu telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan sosial. Para pelaku kejahatan dianggap telah tidak memperdulikan kesejahteraan umum, keamanan dan hak milik orang lain.81 Dalam pandangan diatas kejahatan mendahului hukum. Pertamatama ada perbuatan yang dianggap sebagai sangat merugikan masyarakat. Kemudian muncul hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingankepentingan masyarakat yang telah atau akan dirugikan oleh orang-orang tertentu. Disini analisa kejahatan dan pelaksanaan peradilan pidana (the administration of criminal justice) menerima tanpa kritik adanya perilaku yang harus dilarang, karena mengancam kesejahteraan masyarakat, dan sanksi yang diberikan melalui hukum pidana dimaksudkan untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan.82 Pandangan yang berbeda mengetengahkan, bahwa sebenarnya perilaku tertentu dinamakan kejahatan, karena hukum yang menyatakan demikian. Hukumlah yang mendahului kejahatan. Analisa yang berbeda ini berpendapat bahwa belum tentu hukum pidana itu melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hukum pidana dapat saja hanya melindungi kepentingan dari sebagian kelompok masyarakat tertentu. Kelompok-kelompok yang kuat dalam masyarakat berusaha melindungi kepentingan-kepentingannya sendiri, dengan mempergunakan hukum pidana untuk menyatakan bahwa perilaku tertentu adalah kejahatan. Perilaku tertentu yang bukan kejahatan, sebelum adanya undang-undang pidana tersebut.83
81
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 2007), hal 1 82 Ibid, hal 2 83 Ibid, hal 2 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
55
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.84 2. Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana.85 Secara sederhana sistem peradilan pidana (criminal justice system) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam undang-undang dan bagaimana hakim menerapkannya.86 Barda Nawawi Arif berpendapat sistem peradilan pidana pada hakekartnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan
hukum
pada
dasarnya
merupakan
sistem
kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikan dengan istilah kekuasaan kehakiman. Karenanya sistem peradilan pidana pada hakekatnya juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang di implementasi/diwujudkan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : (1) 84
M. Sholehuddin, Op.cit, hal 17 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), hal 84. 86 Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Perlindungan saksi & korban dalam sistem peradilan pidana, (Surabaya: Putra Media Nusa, 2010), hal 247 Universitas Indonesia 85
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
56
kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; (2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum; (3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana atau SPP terpadu atau integrated criminal justice system.87 Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem, harus dapat dilihat sebagai The Nature of court.... deal with criminal law as its enforcement. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dapat dilihat dalam konteks baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang bekerja untuk mencapai satu tujuan maupun sebagai Abstract system dalam arti gagasan-gagasannya yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.88 Peradilan pidana Indonesia adalah merupakan suatu sistem dalam mempertahankan hukum materiil pidana sebagai suatu sistem, tidaklah mungkin apabila hal tersebut dijalankan tanpa adanya peran orang didalamnya, karena ruang lingkup dalam menegakkan hukum materiil pidana adalah adanya pelaku penegakkan itu sendiri selain dari pada pelanggar.89 Gambaran diatas adalah apa yang paling terlihat dan diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal ini belum merupakan keseluruhan tugas dan tujuan sistem. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatan. Karena itu tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
87
Moh. Hatta, system Peradilan Pidana Terpadu (dalam konsepsi dan implementasi), (Yogyakarta: Galang Press, 2008), hal 47-48 88 Ibid, hal 58 89 Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 96 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
57
dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.90 Tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Muladi, SH, dapat dikatagorikan sebagai berikut :91 -
Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;
-
Dikatagorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik, kriminal (criminal policy);
-
Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy). Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
system) di Indonesia melibatkan setidaknya 5 (lima) institusi, Kehakiman yang diatur dalam undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, institusi Kejaksaan diatur dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan Polisi dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Advokat sebagai penasehat hukum diatur dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pemasyarakat yang meliputi pembinaan dan pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan tahanan. Institusi ini diatur dalam Undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat.92 Penyelenggaraan
peradilan
pidana
merupakan
mekanisme
bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Dari uraian di atas kita dapat melihat
90
Ibid, hal 84-85 Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, op.cit, hal 248 92 Mengungkap Kejahatan Dengan Kejahatan, Survey Penyiksaan di Tingkat Kepolisian Wilayah Jakarta 2008, cet ke 1, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum , 2008), hal 13 Universitas Indonesia 91
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
58
bahwa komponen-komponen yang bekerja dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan (lembaga) Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “integrated criminal justice system” atau sistem peradilan pidana yang terpadu.93 Institusi-institusi diatas merupakan pelaksana dari sistem Peradilan Pidana Terpadu, dimana bermaksud memberikan kepastian hukum kepada orang yang sedang menghadapi masalah hukum, dan menjamin perlindungan hak-hak dasar seseorang yang sedang mendapatkan pengurangan kebebasan. Pengurangan hak-hak, terutama kebebasan bergerak sudah dimulai sejak saat terjadi pemeriksaan di tingkat kepolisian terutama dalam kasus-kasus yang mengharuskan terjadinya suatu penahanan terhadap seseorang. Oleh karenanya sangat penting melihat sistem perlindungan terhadap seseorang dari perlakuan tidak manusiawi. Menurut Marwan Effendi, keberadaan lembaga penegak hukum ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak asasi masyarakat yang sedang berperkara secara pidana, baik pada posisi sebagai korban maupun sebagai pelaku, dan merupakan bentuk perlindungan Negara terhadap kepentingan masyarakat pada umumnya.94 Dengan rumusan yang sangat mirip, dikatakan juga bahwa tujuan penyelenggaraan peradilan pidana di berbagai negara mempunyai tujuan tertentu, yaitu usaha pencegahan kejahatan (prevention of crime), resosialisasi pelaku kejahatan, maupun dalam jangka panjang mewujudkan kesejahteraan sosial.95 Agar dapat efektif dalam menanggulangi kejahatan, semua komponen dalam sistem ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu Integrated criminal justice system. Hal ini merupakan suatu keharusan sebab telah menjadi suatu yang umum bahwa
93
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau pergulatan, (Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hal 23-24 94 Mengungkap Kejahatan Dengan Kejahatan, Op.cit, hal 13 95 Topo Santoso, op.cit, hal 23 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
59
masalah kejahatan dan tingkah laku kriminal, meskipun dalam banyak hal bersifat sosiologis dan psikologis, banyak dipengaruhi juga oleh kerangka kelembagaan yang didalamnya diatur sistem peradilan pidana. Salah satu faktor mendasar yang menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana ini adalah ketidakteraturan (disarray) didalam sistem peradilan pidana yang ada. Unsur-unsur dari sistem peradilan pidana ini yaitu : polisi, jaksa, pengadilan dan lembaba pemasyarakatan, terlihat bekerja didalam kotak mereka sendiri jika tidak konflik satu sama lain.96 Usaha penanggulangan kejahatan ditengah-tengah masyarakat selalu dihubungkan sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Artinya adalah suatu sistem dalam sekelompok masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.97 Dalam sistem peradilan pidana, cara kerja sub sistem harus terintegrasi (terpadu) dengan sub sistem lainnya. Harus ada persamaan persepsi dalam mencapai tujuan pokok adanya SPP. Apabila sejak awal telah terjadi ketidak paduan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sub sistem tersebut akan merosot. Bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat tidak lagi mempercayaai sub sistem institusi dalam arti sempit dan SPP dalam arti luas.98 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga kerugian yang dapat diperkirakan :99 a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana); dan c. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.
96
Ibid, hal 26 Moh. Hatta, op.cit, hal 48 98 Ibid, hal 50 99 Mardjono Reksodiputro, op.cit, hal 85 97
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
60
Ketiga kerugian diatas akan merupakan kendala utama dalam manajemen keseluruhan sistem dalam mewujudkan tugas-tugas untuk mencapai tujuan sistem tersebut diatas tadi. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan (tujuan pertama), bukan saja tanggungjawab kepolisian. Pengadilan dan Kejaksaan turut bertanggungjawab melalui putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat. Putusan yang tidak adil, maupun tidak berhasilnya pengadilan memberikan pidana terhadap pelaku kejahatan, akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat pada hukum. Selanjutnya hal ini dapat mendorong pula pelaku kejahatan lebih berani melakukan perbuatannya. Sebagian dari mereka mungkin akan merasa dirinya kebal hukum. Pemasyarakatan pun dapat membantu ketidakpercayaan
pada
hukum ini apabila eks-terpidana gagal berintegrasi kembali dengan masyarakat atau lebih parah lagi mempunyai rasa dendam pada masyarakat, karena diperlakukan sewenang-wenang dalam lembaga pemasyarakatan. Keadaan terakhir ini merupakan kegagalan dalam mencegah timbulnya para residivis (tugas ketiga).100 Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :101 a.
Faktor hukumnya sendiri (misalnya undang-undang);
b.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
c.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan;
e.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Hiroshi ishikawa dalam makalahnya berjudul “Characteristic
Aspecs of Japanese Criminal Justice system” yang disampaikan pada 100 101
Ibid, hal 85-86 Topo Santoso, op.cit, hal 27 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
61
seminar Kerjasama Indonesia-Jepang, tentang Penanggulangan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Kejahatan pada tahun 1984 di Jakarta, mengemukakan bahwa ada beberapa indikator keberhasilan dari penerapan integrated model yaitu : a) clearance rate yang tinggi; b) conviction rate (keberhasilan pengadilan menyelesaikan perkara); c) rate of suspension (tingkat penundaan penuntutan); d) spedy disposision (penyelesaian perkara yang cepat); e) sentencing (pemidanaan); dan f) reconviction rate (rata-rata pengulangan kejahatan/residivis).102 Clearance rate yang tinggi merupakan indikasi keberhasilan sistem penyelenggaraan peradilan pidana secara keseluruhan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari efisiensi dan efektifitas polisi dalam melacak kejahatan dan kerjasama masyarakat.103 Indikator yang kedua yaitu conviction rate yang tinggi tidak terlepas dari penampian (performance) yang profesional dari polisi, jaksa dan hakim. Bagi polisi sendiri hal itu mempunyai arti besar karena merupakan intensif baginya untuk bekerja lebih giat karena ia berhasil mengunkapkan kejahatan dan semua yang diajukan dapat dibuktikan oleh jaksa mengenai kesalahan pelaku kejahatan tersebut, demikian pula halnya dengan
jaksa.
Jaksa
mempunyai
wewenang
untuk
mengambil
kebijaksanaan yang besar dalam rangka menyeleksi apakah suatu perkara diteruskan ke pengadilan atau tidak. Alasannya berkaitan dengan karakter (misalnya umur), daya pencegahan umum dari pidana (berkaitan dengan berar ringannya kejahatan) dan daya pencegahan khusus (dikaitkan dengan politik kriminal).104 Indikator berikutnya adalah penyelesaian perkara cepat (speedy disposition). Hal ini sangat penting untuk menghindarkan penundaan keadilan. Ada pepatah yang berbunyi : “delay of justice i denied of justice” atau penundaan keadilan adalah ketidakadilan. Di Jepang indikator ini dapat dipenuhi karena data menunjukkan bahwa 89 persen dari keseluruhan perkara yang diterima oleh jaksa dapat diselesaikan di 102
Ibid, hal 29 Ibid, hal 29 104 Ibid 103
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
62
pengadilan negeri dalam jangka waktu satu bulan di tahun 1982. Kenyataan ini menunjukkan adanya profesionalisme yang tinggi dari jaksa, hakim dan koordinasi yang baik semua pihak yang terlibat.105 Indikator selanjutnya adalah masalah pemidanaan. Masalah pemidanaan (sentencing) dalam rangka penyelenggaraan sistem peradilan pidana adalah hal yang dianggap penting. Pemidanaan ini ditujukan pada prinsip rehabilitasi dengan partisipasi masyarakat yang tinggi. Harus dilihat pula apakah disparitas pidananya tinggi atau tidak.106 Sistem peradilan pidana dapat berfungsi secara sistematis hanya apabila tiap unsur dari sistem itu memperhitungkan unsur-unsur lainnya. Dengan perkataan lain, sistem itu bukan lagi sistematis melainkan hanyalah hubungan-hubungan antara polisi dan penuntut umum, polisi dan pengadilan, penuntut umum dan lembaga pemasyarakatan, dan seterusnya. Dalam ketiadaan hubungan fungsional antara unsur-unsur, sistem peradilan
pidana
sangat
rentan
terhadap
perpecahan
dan
ketidakefektifan.107 Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.108 Sistem yang tidak mampu menunjukkan suatu proses yang dapat memberi masukan (in put) menjadi keluaran (out put) yang diharapkan, bukanlah suatu sistem yang bermanfaat dan efektif. Masukan dari sistem peradilan pidana adalah berupa tindak pidana (pelanggaran hukum). Hal ini yang menjadi masukan yang menimbulkan hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya dari sub sistem lainnya dalam sistem peradilan pidana. Proses itu mengacu pada banyak aktivitas baik dari polisi, jaksa, hakim maupun aparat penegak hukum lainnya. Jadi proses itu merupakan bagian yang paling mungkin dilihat secara visual dari sistem ini yang paling signifikan kemudian out putnya (dari SPP) termasuk hasil yang
105
Ibid Ibid 107 Ibid, hal 31 108 Mardjono Reksodiputro, Op.cit, hal 6 106
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
63
dapat atau tidak dapat dicapai dari proses tadi atau dengan perkataan lain berhasil atau tidaknya masyarakat berhadapan dengan kejahatan.109 Didalam kenyataan sistem peradilan pidana ini tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan (tidak berfungsi). Tidak berfungsinya sistem ini disebabkan karena setiap sub sistem mempunyai kewenangan dan kekuasaan sendiri-sendiri (discretion of power), sehingga terjadi polarisasi yang tajam padahal penyidikan, penyidikan lanjutan dan penuntutan paling berkaitan dan tidak terpisahkan.110 Menurut Samuel Walker111, paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka interelasi antara aparatur penegak hukum dalam rangka pembaharuan hukum. Upaya dimaksud antara lain : a. Meningkatkan efektifitas sistem penanggulangan kejahatan b. Mengembangkan koordinasi di antara perbagai komponen peradilan pidana c. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Sehubungan dengan pandangan di atas, Sidik Sunaryo112 mengemukakan bahwa terdapat pandangan yang terkait erat dari Packer, mengenai bentuk pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana, yakni crime control model dan due process model. Nilai-nilai yang mendasari crime control model adalah : a.
Adanya tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal yang merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
b.
Adanya perhatian utama yang ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakkan
hukum
untuk
menyeleksi
tersangka,
menetapkan
109
Moh. Hatta, op.cit, hal 57 Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, op.cit, hal 250 111 Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 75-76 112 Ibid, hal 76-77 110
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
64
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya; c.
Proses kriminal penegakkan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas serta model yang dapat mendukung proses penegakkan hukum tersebut adalah harus model administratif dan menyerupai model menajerial;
d.
Asas praduga tak bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien;
e.
Proses penegakkan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah. Sedangkan nilai yang mendasari due proces model adalah sebagai
berikut :113 a.
Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi menyebabkan model ini menolah informal facr finding process sebagai cara untuk menetapkan secara difinitif pengakuan bersalah seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal adjudicative and adversary fact finding. Hal ini berarti setiap kasus, tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
b.
Model ini menekankan kepada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin mekanisme administrasi peradilan;
c.
Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses pengadilan dipandang sebagai menekan (coercive), restricting (membatasi), dan merendahkan
113
martabat
(demeaning).
Proses
peradilan
harus
Ibid, hal 77-78 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
65
dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara; d.
Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin legal-guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut : -
seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahnya dilakukan secara procedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas tersebut;
-
seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlingungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak.
e.
Gagasan persamaan dimuka hukum lebih diutamakan, berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah adalah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka pengadilan. Tujuan khusus due proces model adalah sekurangkurangnya melindungi mereka yang faktual tidak bersalah sama halnya dengan menuntut mereka yang secara faktual bersalah;
f.
Doe process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana. Sistem inkuisitur adalah proses penyelesaian perkara pidana yang
dimulai dengan adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelesaikan
kejahatan.
Pemeriksaan
dilakukan
secara
rahasia,
sedangkan tahap awal dengan meneliti apakah suatu kejahatan dilakukan dan melakukan identifikasi pelakunya. Apabila pelaku kejahatan diketahui dan ditangkap, maka tahap berikutnya adalah memeriksa pelaku. Dalam tahap pemeriksaan ini pelaku diasingkan dan tidak diperkenankan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
66
berkomunikasi dengan pihak lain atau keluarganya. Pemeriksaan pelaku dan saksi dilakukan secara terpisah dengan dibawah sumpah dan dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan. Tersangka/pelaku tidak diberitahu isi tuduhan dan jenis kejahatan yang dilakukan serta bukti yang memberatkan. Tujuan pemeriksaan hanya untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Jika tersangka
tidak
mau
mengaku
maka
petugas
pemeriksa
akan
memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan sampai adanya pengakuan. Setelah selesai hasil pemeriksaan diserahkan ke pengadilan yang menjadi satu-satunya dasar pemeriksaan pengadilan, penuntut umum tidak memiliki peranan, baik mengenai pengajuan pengembangan
lebih
lanjut
maupun
penundaan
perkara.
Selama
pemeriksaan tertuduh tidak dihadapkan ke pengadilan dan dilakukan secara tertutup serta tidak didampingi pembela.114 Menurut sidik Sunaryo115, model the mixed type adalah sebagai berikut : a.
Tahap pemeriksaan pendahuluan pada dasarnya menggunakan bentuk inkuisitur, akan tetapi proses penyelidikan dapat dilakukan oleh Public prosecutor. Dalam penyelidikan terdapat seorang investigating judge yang netral untuk mengumpulkan bukti. Aktivitas pengambilan bukti dihadiri oleh tersangka dan jaksa. Tertuduh tidak wajib menjawab, selama proses pemeriksaan tertuduh dan pembela mendapat hak yang tak terbatas untuk meneliti perkara dan pemeriksaan dilakukan secara terbuka.
b.
Tahap berikutnya adalah menyampaikan berkas perkara kepada jaksa yang harus menentukan apakah perkara akan diteruskan atau tidak ke pengadilan untuk memberikan pernyataan bersalah atau tidak atas tuduhan, memilih sendiri peradilan sistem hakim atau juri. Kedua pihak
(jaksa dan tertuduh) diberi hak untuk mengajukan
argumentasi dan berdebat dalam sidang terbuka. Pelaksanaan pengujian kebenaran bukti yang ada dilakukan oleh seorang hakim profesional khusus dalam kasus tersebut. Hakim aktif, berwenang, 114 115
Ibid, hal 79-80 Ibid, hal 80-81 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
67
mengembangkan permasalahan yang relevan dengan tuduhan, dapat mendengar dan memperhatikan bukti yang tidak secara formal diajukan jaksa dan tertuduh. Selama pemeriksaan pengadilan tidak dibedakan dalam fase penentuan kesalahan dan fase penghukuman. Model plea barganing dalam menangani perkara pidana pihak yang menjadi penggugat adalah negara yang mewakili korban dan kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah tertuduh. Si tertuduh biasanya diwakili oleh pembela, sedangkan negara diwakili oleh penuntut umum. Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak biasanya diwakili oleh para juri. Pihak yang bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak adalah hakim. Dalam sistem ini penanganan perkara pidana melalui beberapa tahap, yakni : penyelidikan atas penangkapan atau penahanan, penuntutan, penentuan kesalahan, penetapan hukuman dan pelaksanaan hukuman. Dari pengertian “plea bergaining system” tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa :116 a.
Plea bargaining system pada hakikatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya.
b.
Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana.
c.
Sifat negosiasi harus berlandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya.
d.
Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan, sebab akan memberikan citra buruk terhadap pengadilan yang independen. Model community service order dibentuk oleh karena adanya
perdebatan mengenai tujuan dari sistem peradilan pidana, yang mengarah pada perluasan makna dan jangkauan terhadap kegunaan sistem peradilan pidana dalam konteks sebagai faktor kriminogen maupun sebagai upaya penanggulangan terhadap kejahatan ulangan baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Pada tahun 1985 council of europe menawarkan model 116
Ibid, hal 83-84 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
68
sistem peradilan pidana yang menitikberatkan pada aspek penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidananya, sebab kecenderungan pidana adalah pada perampasan kemerdekaan yang tidak manusiawi sementara efektifitasnya benyak diragukan orang. Diantara alternatif tersebut adalah semi dentention dan suspended sentence. Bentuk ini lebih merupakan cara penerapan pidana dari pada bentuk penggantian pidana kemerdekaan, terutama yang berjangka pendek. Alternatif lainnya adalah yang mengarah kepada pemberian hakim alternatif untuk melakukan pilihan pidana, seperti communityu service order (pidana kerja sosial). Mengingat community service order lebih cenderung merupakan hukuman tambahan maka persyaratannya adalah :117 a.
Tindak pidana tidak terlalu berat, misalnya terhadap harta benda
b.
Pidana penjara yang akan diterapkan tidak melebihi waktu tertentu, misalnya di Denmark untuk jangka waktu 6-8 bulan, norwegia dan Luxemburg untuk jangka waktu 9-12 bulan, Belanda untuk jangka waktu 6 bulan dan Portugal untuk jangka waktu 4 bulan
c.
Jumlah jam kerja sosial dan jangka waktu maksimum community social order, diselesaikan, misalnya di Portugal 9 jam, Denmark, Inggris dan Perancis 40 jam, Norwegia 50 jam. Sedangkan maksimumnya adalah Portugal 180 jam, Denmark dan Norwegia 200 jam, Perancis, Belanda dan Inggris 240 jam.
d.
Adanya persetujuan terpidana dinyatakan secara eksplisit, seperti di Inggris, Denmark, dan Norwegia sedikit berbeda jika di Belanda inisiatif untuk community service order berawal dari terpidana.
e.
Adanya laporan pribadi, apakah terpidana siap atau tidak melakukan community social order, seperti di Inggris, Luxemburg, Belanda, Denmark, Norwegia, sedangkan di Prancis dan Jerman merupakan
opsional. f.
Jika community service order gagal digantikan dengan denda atau mengulang atau dikenakan alternatif pidana lain.
117
Ibid, hal 87-88 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
69
Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana di dunia, rasionalisasi dan memanusiawikan sistem peradilan pidana sudah dicoba sejak tahun 1964, dengan tinjauan pendekatan secara teoritis. Hal tersebut dikemukanan oleh Louk Hulsman di Belanda yang menyebutkan karakteristik abolisionisme dalam sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham yang realistik dengan cara mengubah struktur sistem peradilan pidana sebab sistem peradilan pidana sebagai masalah sosial. Yang mendasari pemikian Hulsman ini adalah :118 a.
Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan
b.
Sistem peradilan tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicitacitakan
c.
Sistem peradilan pidana tidak dikendalikan
d.
Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar pendekatan individual bukan multivarian. Padangan tersebut juga diperkuat oleh Cohen 119 yang menegaskan
nilai yang melandasi perspektif abolisionisme sebagai berikut : a.
Masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih manusiawi, layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.
b.
kerjasama timbal balik, persaudaraan dan hidup bertetangga secara baik terkesan lebih baik daripada bergantung pada birokrasi dan para ahli
c.
Kota-kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa memilikinya dan dimana gangguan ketertiban lebih ditenggang rasa dari pada dibedakan dalam zona daerah rawan dan aman
d.
Pandangan masyarakat seharusnya ditujukan kepada keadaan fisik dan kebutuhan social
e.
Perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang sangat merugikan
masyarakat
dengan
tetap
memelihara
klasifikasi,
pengawasan dan mengasingkan kelompok masyarakat berdasarkan
118 119
Ibid, hal 88-89 Ibid, hal 89 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
70
usia, etnis, tingkah laku, status moral, kemampuan dan keunggulan fisik.
3. Sanksi Pidana dan pemidanaan Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan”, dengan kata lain sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih
menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Atau seperti yang dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Saksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.120 Usaha-usaha penanggulangan masalah kejahatan telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, namun hasilnya belum memuaskan. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian, usaha inipun masih sering dipersoalkan. Perbedaan mengenai peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan ini, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan menurut Herbert L Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.121 Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan 120 121
M. Sholehuddin, Op.cit, hal 17-18 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal 17 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
71
apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakukan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas.122 Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa penderitaan) yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya diancam dengan pidana. Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketenteraman (atau keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat. Dalam konteks ini pula kita berbicara tentang fungsi prevensi umum dan khusus, penyelesaian sengketa (penghilangan ketegangan atau konflik kemasyarakatan) dan penegasan norma. Singkat kata, kita akan bersinggungan dengan issue yang dikaji hampir semua teori hukum pidana, terutama yang berkenaan dengan pembalasan.123 Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. Berkenaan dengan pemidanaan, umumnya para penulis berpandangan bahwa “ looking backward to the offence for purpusese of punishment, to looking forward to the likely impact of sentence on future be havior of the offender, and some instances, on potential offender in community at large”. Dengan demikian, cara pandang ke belakang dilakukan dengan melihat tindak pidana yang telah dilakukan pembuat, yang kemudian menentukan tujuan pemidanaan. Sementara itu, cara pandang ke depan 122 123
Ibid, hal 18 Jan Remmelink, Op.cit, hal 458 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
72
dilakukan untuk melihat dampak dari pemidanaan bagi masa depan pembuat dan pihak-pihak lain yang mempunyai kemungkinan melakukan tindak pidana dalam masyarakat yang lebih luas.124 Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Sudarto, menyatakan bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana
yang
menyangkut
pembentuk
undang-undang.
Sedangkan
pemberian pidana in croncreto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.125 Masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan barulah jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan. Penetapan sanski pada tahap kebijakan legislasi ini menurut Barda Nawawi Arief harus merupakan tahap perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.126 Perumusan jenis sanksi dalam perundang-undangan pidana yang kurang tepat, dapat menjadi faktor timbul dan berkembangnya kriminalitas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan mazhab kritikal dalam kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan yang terjadi maupun karakteristik pelaku kejahatannya ditentukan terutama oleh bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dan dilaksanakan. Ada dua pendekatan yang dipakai oleh mazhab kritikal dalam krimonologi. Pertama pendekatan interaksionis yang ingin mempelajari bagaimana proses diberikannya label kejahatan dan penjahat oleh masyarakat atau yang dikenal dengan istilah proses kriminaliasi. Kedua pendekatan konflik yang akan melihat aspek kuasa (power) dalam perumusan kejahatan. Dalam
124
Chairul Huda, Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal 130 125 M Sholahudin, Op.cit, hal 115 126 Ibid, hal 121 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
73
pandangan terakhir ini, mereka yang mempunyai kuasa yang lebih besar akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingannya sebagai perilaku yang perlu diancam pidana.127 Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana, dari waktu kewaktu. Mempertahankan keberadaan hukum pidana, baik dalam masyarakat yang menganut tradisi common law maupun civil law system selalu berpangkal tolak dari upaya untuk menentukan sedifinitif mungkin tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan. Bahkan dapat dikatakan hal ini merupakan satu-satunya persoalan yang tingkat perbedaan konseptualnya antara common law system dan civil law system sangat minim. Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism.128 Menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertolak dari pokok-pokok pemikiran antara lain :129 -
Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.
-
Dilihat secara fungsional operasional pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.
-
Perumusan
tujuan
pemidanaan
dimaksudkan
sebagai
fungsi
pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan 127
Ibid, hal 121-122 Chairul Huda,op.cit, hal 131-132 129 M Sholehuddin, Op.cit, hal 127-128 128
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
74
pandangan
utilitarian
(utilitarian
view).
Pandangan
retributif
mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence)130 Peletak dasar retributivism adalah kant.131 Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya dijelaskan dengan teori retributif atau teori pembalasan. Teori ini diikuti secara luas oleh para ahli hukum pidana. Van bemmelen132, misalnya mengatakan pada dasarnya setiap pidana adalah pembalasan. R Rijksen133 yang berpendapat bahwa dalam pembalasan atas suatu kesalahan terletak pembenaran bagi kewenangan menjatuhkan pidana, dan G. Kinigge134 mengatakan menghukum pada dasarnya adalah melakukan pembalasan, dan hal itu bukan suatu hal yang jelek dalam dirinya sendiri, melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku yang melanggar norma adalah tindakan manusia yang teramat wajar.
130
Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Peper Advokasi RUU KUHP seri #3, (Jakarta: ELSAM, 2005), hal 10 131 Chairul Huda, op.cit, hal 132 132 Jan Remelink, op.cit, hal 618 133 Ibid, hal 618 134 Ibid, hal 619 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
75
Menurut teori ini pemidanaan diberikan karena sipelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan – karenanya teori ini disebut juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara moral. Karl O Christiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori retributif, yakni135 : -
The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana hanyalah sebagai balasan)
-
Just retribution is the ultimate aim, an not in itself a means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever (pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengundang sarana-saran untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat)
-
Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan)
-
The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku)
-
Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaikai, mendidik dan meresosialisasi pelaku). Sedangkan Nigel Walker dalam ‘sentencing in A Rational Society’
menegaskan bahwa asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.136 Nigel walker menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retribusi. Pertama penganut teori retribusi murni yang memandang pidana harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Kedua, penganut teori retribusi tidak murni yang dipecah lagi menjadi137 : -
Penganut teori retribusi terbatas (the limiting retributivist) yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan.
135
M Sholehuddin, Op.cit, hal 34-35 Ibid, hal 36 137 Ibid, hal 36-37 136
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
76
Yang lebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran. -
Penganut teori retributif distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Kaum retributif ini berpandangan bahwa selama kita membatasi sanksi dalam hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar,
maka
kita
memperhatikan
prinsip
retribusi
yang
menyatakan bahwa : “Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tidak menyenangkan pada seseorang yang bertentangan dengan kehendaknya kecuali bila dia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang. Terhadap pertanyaan tentang sejauh manakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut :138 -
Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative.
-
Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memmperolah keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retribuif ini disebut fairness.
-
Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan
138
Ibid, hal 37-38 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
77
pidana
yang
dijatuhkan.
Tipe
retributif
ini
disebut
dengan
proportionalty. Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya. Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
yang
bermanfaat
untuk
melindungi
masyarakat
menuju
kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan pada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orlando, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu teori relatif lebih melihat ke depan.139 Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini yaitu :140 -
The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah pencegahan)
-
Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare (pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat)
-
Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or neglingence qualify for punishment (hanya pelanggaranpelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana)
139 140
Ibid, hal 41 Ibid, hal 42-43 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
78
-
The penalty shall be determined by uts utility as an instrument for the prevention of crime (pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan)
-
The punishment is prospective, it point into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare. (pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat). Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar
untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Karena teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan, maka teori relatif sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory) Teori utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham, pandangan ini terutama menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuaan pembuat. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat adalah pencegahan dilakukannya tindak pidana. Baik pencegahan atas pengulangan oleh pembuat (prevensi khusus), maupun pencegahan mereka yang sangat mungkin (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).141 Ada tiga bentuk teori tujuan yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya dari sudut pandangan praktis. Tapi bagi seorang utilitaris, faktor terpenting ialah bahwa suatu pemidanaan dapat 141
Chairul Huda, op.cit, hal 133 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
79
menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif, apapun artinya : penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi atau pendidikan moral. Namun demikian kepedulian teoritis menuntut usaha untuk lebih mendalami utilitarian theory menurut belahan tiga interpretasi tersebut. Pertama tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan sebagai penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Kedua pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar berintegrasi dalam komunitas atau masyarakat secara wajar. Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral.142 Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributifteleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk
melindungi
masyarakat
menuju
kesejahteraan
masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah 142
M Sholehuddin, op.cit, hal 44-45 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
80
agar orang tidak melakukan kejahatan,
maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan. Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.143 Akhirnya menarik sekali untuk dikemukakan satu pemikiran baru dalam hukum pidana yang berkembang akhir-akhir ini dari Herbert L. Pecker ketika membicarakan The Dilemma of Punishment yang dikenal dengan sebutan behavioralisme. Aliran ini bertujuan untuk menyelamatkan eksistensi hukum pidana dari dilema yang berkepanjangan tentang dua teori pemidanaan yang menjadi dasar tujuan pemidanaan sebagaimana telah diuraikan diatas. Pokok pikiran yang melandasi aliran baru ini sebagai berikut144 : -
Kehendak bebas (free will) adalah ilusi, karena tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan –kekuatan yang terkandung di dalam kekuatan diri seorang untuk mengubahnya
-
Tanggungjawab moral, dengan demikian juga ilusi karena dosa tidak dapat dibebankan pada suatu tingkah laku yang memang dibentuk
143 144
Zainal, Op.cit, hal 11 Ibid, hal 46-47 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
81
-
Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan
-
Fungsi hukum pidana seharusnya secara sederhana dan murni membawa seseorang ke dalam suatu proses pengubahan kepribadian tingkah laku mereka yang telah melakukan kejahatan sehingga mereka tidak akan melakukannya lagi di masa mendatang. Behavioralisme yang diterima sebagai aliran mengemukakan tiga
isu kontroversial dalam hukum pidana, yakni : pertama isu tentang strict liability atau liability without foult; kedua, isu tentang kebijakan pemidanaan atau sentencing policy dan ketiga, isu tentang insanity defence. Khususnya mengenai isu kebijakan pemidanaan, aliran ini berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :145 -
Pidana harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaku kejahatan atau sebagian besar masyarakat dari pada disesuaikan dengan sifat kejahatannya. Prinsip ini mengacu pada masa depan pelaku kejahatan.
-
Bila
sanksi
pidana
atau
tindakan
merupakan
suatu
proses
individualisasi, maka diperlukan suatu kewenangan penjatuhan pidana yang luas untuk menetapkan jenis dan lamanya pembinaan bagi setiap pelaku kejahatan. Kewenangan tersebut terletak pada pundak hakim yang memeriksa dan mengadili suatu kasus kejahatan. -
Pembentuk
undang-undang
(legislator)
dapat
terlebih
dulu
menetapkan skala pidana yang diperuntukkan bagi kejahatan tertentu. Berkaitan dengan pengaturan criminal privacy protection, perlu juga dicatat bentuk model law yang dibuat oleh Organization for Economic Co- Operation and Development (OECD) yang dapat dijadikan pedoman dalam rangka menghindari under and overcriminalization. Prinsip model law itu mencakup beberapa hal dibawah ini :146
a. Ultima Ratio Principle Hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas. Namun kenyataannya, kecenderungan dunia internasional kini sudah mengarahkan hukum pidana juga sebagai primum 145 146
Ibid, hal 47 Ibid,, hal 136-137 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
82
remedium. Artinya alat penjara untuk tindak pidana tertentu diutamakan/dikedepankan, malahan dalam hal ini mengutamakan pidana denda yang sekaligus dapat digunakan sebagai dana bagi pembangunan di suatu negara. b. Precision Principle Ketentuan hukum pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana. Perumusan hukum pidana yang bersifat samar dan umum harus dihindari. c. Clearness Principle Tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana. d. Principle of Differentiation Harus jelas perbedaan yang satu dengan yang lain. Hindarkan perumusan yang bersifat global/terlalu luas, multipurpose atau all embracing e. Principle of Intent Tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus (intention), sedangkan untuk tindakan culpa (negligence) harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembernaran kriminasilasinya. f. Principle of Victim Application Penyelesaian perkara pidana harus memperhatikan permintaan atau kehendak korban. Dalam hal ini kepentingan korban harus diatur dalam rangka pidana dan pemidanaan. Perkembangan terakhhir tujuan retribusi atau just deserts dan tujuan pencegahan merupakan alasan yang dominan untuk pemidanaan. Sue Titus Reid mengajukan empat filsafat pemidanaan yang digunakan untuk membenarkan atau menjustifikasi pemidanaan, yaitu rehabilitasi, inkapasitasi, pencegahan dan retribusi. Dua yang terakhir paling menonjol sekarang.147 Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua 147
Ibid, hal 129 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
83
teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi
(retribution).
Dasar
retribusi
dalam
just
desert
model
menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima
oleh
mereka
mengingat kejahatan-kejahatan yang telah
dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaanperbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku – seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.148 Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative juctice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik :149 a.
Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themself; only secondary is it
lawbreaking. b.
The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
148 149
Ibid, hal 12 Ibid, hal 12-13 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
84
c.
The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others. Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang
melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara. Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli
proses
peradilan
sekarang
ini.
Restorative
justice
membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka
dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan
mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
85
mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.150
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga Yang dimaksud dengan korban adalah “Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.151 Kata korban (victim) berasal dari bahasa latin victima. Sedangkan yang dimaksud dengan korban, sebagaimana yang tercantum dalam declartion of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power, adalah orang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian baik fisik, mental, emosional, maupun pembusukan (impairment) terhadap hak-hak dasar mereka baik melalui perbuatan maupun tidak, namun merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional disamping juga berdasarkan norma-norma internasional diakui berkaitan dengan hak asasi manusia.152 Menurut Stanciu, korban (dalam pengertian luas) adalah orang yang menderita akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian, lanjut stanciu, ada dua sifat yang mendasar (melekat) yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan).153 Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. Secara umum korban merupakan individu atau kelompok
150
Ibid, hal 13-14 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 112 152 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana, dalam perlindungan korban kejahatan ekonomi bidang perbankan, (Malang: Bayumedia publishing, 2007), hal 68 153 Ibid, hal 68 Universitas Indonesia 151
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
86
yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan kejahatan.154 Dalam perkembangannya pengertian korban lebih luas lagi, tidak hanya mengenai korban kejahatan saja. Viktimologi (viktimology) tidak hanya mempelajari korban kejahatan (human act), tetapi juga termasuk korban dalam kondisi masyarakat karena bencana alam (natural disasters). Kongres ke VII United National di Milan, Italia pada tahun 1985, telah memberi definisi tentang victim dalam kaitannya dengan draft Declaration of draft Declaration of Basic Principles of Justice membedakan 2 (dua) kategori victim (korban) yaitu155 : g. Korban karena kejahatan (victim of crime) h. Korban penyalahgunaan kekuasaan (victim of abuse of power) Selanjutnya, ayat (1) bagian I Deklarasi tersebut menyatakan : Viktim means persons physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of the fundamental rights, though acts or ommissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse of power. Terjemahan bebasnya : korban adalah orang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian fisik dan mental, ekonomi dan sosial atau hak-hak dasar disebabkan oleh karena pelanggaran hukum pidana atau pelanggaran tentang penyalahgunaan kekuasaan. Sejalan dengan pendapat Mardjono Reksodiputro yang mengatakan tidak saja korban dari kejahtan konvensional (misalnya : pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan pencurian) tetapi juga mencakup korban dari kejahatan-kejahatan non konvensional seperti : terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan melalui komputer. Sejak itu pula ruang lingkup studi tentang korban ini menjangkau penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power), seperti pelanggaran terhadap 154 Didik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan korban Kejahatan, antara norma dan realita, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 27 155 Moerti Hadiati Soeroso, op.cit, hal 113 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
87
peraturan lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan sebagainya. Dan biasanya disejajarkan pula disini adalah penyalagunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public power), seperti pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.156 Timbulnya korban tidak hanya dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) sebenarnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan, selanjutnya menimbulkan korban, seperti korban akibat prosedur hukum.157 Penjabaran ini penting mengingat kedudukan korban menempati posisi yang lemah. Jika terjadi keterlambatan dalam penganganan korban, akan terjadi korban tingkat kedua (viktim sekunder), tingkat ketiga ( tersier) dan selanjutnya. Disamping itu, tingkah laku dan struktur masyarakat dapat menimbulkan rangsangan dan kerawanan terjadinya kejahatan. Apalagi dengan semakin cepatnya pembangunan yang akan membawa perubahan sosial secara cepat. Perubahan sosial dapat menimbulkan/mewujudkan kemajuan di segala bidang, namun juga menimbulkan bentuk kejahatan dengan pola baru (misalnya white collar crime, cyber crime), dimana pelaku kejahatan tersebut memanfaatkan intelektualnya untuk melakukan kejahatan.158 Terdapat suatu pandangan dari penegak hukum, dimana korban dianggap sebagai bagian dari suatu proses berlangsungnya penyelesaian suatu kasus. Bagi jaksa, pemikiran mengenai korban adalah sebagai suatu bentuk status tentang keadaan seseorang yang berada pada pihak yang langsung mengalami suatu tindak pidana yang menjadikannya mempunyai hak untuk mendapat perlindungan baik terhadap diri maupun perlindungan
156
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan system Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 2007), hal 85 157 M. Arief Amrullah, op.cit, hal 68 158 Ibid, hal 113 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
88
hukum. Suatu pendapat menganggap bahwa korban adalah pihak yang akan bersaksi di pengadilan dengan status saksi korban adalah pendapat yang mengakomodir bahwa seorang jaksa memerlukan suatu keterangan dari saksi korban tentang suatu peristiwa yang terjadi yang menimpa dirinya.159 Selanjutnya pengertian korban menurut Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, pasal 1 angka 2 menyebutkan definisi korban yaitu : “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Kemudian menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, memberikan definisi korban adalah : “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Selain definisi korban tersebut diatas, masih ada lagi definisi korban yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ke 3 yang berbunyi “ Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”. sehingga yang dimaksud sebagai korban dalam kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah bisa suami, istri, anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga yang menetap dalam rumah tangga, dan juga bisa orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap
dalam
rumah
tangga
tersebut,
sebagaimana
yang
dimaksudkan dalam pasal 2 Undang-undang tersebut diatas. 2. Pengertian Rumah Tangga Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Biasanya rumah tangga 159
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Perlindungan saksi & korban dalam system peradilan pidana, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009), hal 197 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
89
terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak. Namun seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua, baik dari suami atau istri, saudara kandung/tiri, dari kedua belah pihak, kemenakan dan keluarga yang lain, yang mempunyai hubungan darah. Di samping itu juga terdapat pembantu rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama di dalam sebuah rumah (tinggal satu atap).160 Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam ketentuan khusus, tetapi yang dapat kita jumpai adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam pasal 1 angka 30 Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bunyi pasal 1 angka 30 sebagai berikut : “keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau hubungan perkawinan.” Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Jadi, perkawinan adalah membentuk dan membina keluarga yang bahagia lahir dan batin. Perkawinan merupakan ikatan yang sakral dan harus selalu dihormati oleh suami dan istri. Oleh karena itu, harus tetap terjaga keharmonisannya dan diupayakan tetap langgeng (kekal) antara suami istri harus selalu saling menjaga, agar rumah tangga tetap harmonis. Dalam undang-undang perkawinan tersebut juga mengatur hak dan kedudukan istri yang seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian, segala sesuatu dalam rumah tangga (keluarga) dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri.161 Menurut
undang-undang
nomor
23
tahun
2004
tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan
160 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 61 161 Ibid, hal 62 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
90
lingkup rumah tangga sebagaimana yang tersebut dalam pasal 2 Undangundang tersebut yang berbunyi : 1.
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a.
Suami, Istri, dan anak;
b.
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksudkan pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
2.
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu lama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
3. Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Permasalahan rumah tangga pada umumnya dianggap bahwa merupakan masalah yang sangat pribadi. Selain itu juga dianggap sebagai hak laki-laki
(suami) atas tubuh istrinya sendiri yang resmi dinikahi.
Disamping ada suatu anggapan bahwa kekerasan tersebut merupakan cara suami “mendidik” istri. Kemudian juga terdapat anggapan bahwa istri adalah milik suami, sehingga suami dapat memperlakukan istri sekehendak hatinya. Dengan anggapan demikian sikap suami terhadap istri cenderung menjadikan istri sebagai obyek, bukan sebagai subyek atau individu (pribadi) yang mempunyai hak asasi yang patut dihormati.162 Kekerasan secara sederhana diartikan sebagai ketidaknyamanan yang dialami seseorang. Sedangkan definisi kekerasan secara terminologi sangat beragam artinya salah satunya adalah suatu tingkah laku agresif yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara sengaja untuk menyebabkan korban mengalami penderitaan lahir atau batin. Kekerasan
162
Ibid, hal 63 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
91
juga dapat diartikan sebagai segala tindakan yang mengakibatkan kesakitan.163 Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk perbuatan yang dianggap baru. Meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk peerbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian. Mula-mula pengertian kekerasan dapat kita jumpai pada pasal 89 Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi : “ Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”164 Kekerasan bukan saja terjadi dalam ruang publik tetapi juga dalam ruang domestik (rumah tangga), pelaku kekerasan rumah tangga didominasi oleh laki-laki, baik suami terhadap istri maupun ayah terhadap anaknya. Korban utama domestik adalah perempuan sehingga berwujud kekerasan terhadap perempuan. Menurut Deklarasi Perserikatan BangsaBangsa tahun 1933 mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan mendefinisikan : “ Kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender yang dapat berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah domestik maupun publik.165 Menurut Moerti Hadiati Soeroso,166 pengertian kekerasan terhadap perempuan mempunyai ciri bahwa tindakan tersebut : a.
Dapat berupa fisik maupun non fisik (psikis)
b.
Dapat dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat)
c.
Dikehendaki/diminta oleh pelaku
d.
Ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis), yang tidak dikehendaki oleh korban.
163
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 59 Moerti Hadiati Soeroso, op.cit, hal 58 165 Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 61 166 Moerti Hadiati Soeroso, op.cit, hal 59 164
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
92
Kekerasan-kekerasan terhadap perempuan ini di Indonesia lebih dikenal dengan nama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan yang menimpa perempuan, umumnya karena perbedaan gender. Kekerasan jenis ini berbasis pada gender, bukan sekedar kekerasan biasa. Karena ciriciri khusus yaitu 1) korbannya perempuan karena jenis kelaminnya yang perempuan; 2) tindakannya, dengan sengaja menyakiti perempuan secara fisik, seksual atau psikologi; 3) akibatnya, yang diserang tubuh perempuan tetapi penderitaannya adalah keseluruhan diri pribadinya; dan 4) tindakan itu dilakukan atas dasar adanya asumsi perbedaan gender.167 Menurut E. Kristi Poerwandari bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan dapat berupa :168 Fisik
: memukul, menampar mencekik, menendang, melempar barang ketubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, membunuh
Psikologis
: berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll)
Seksual
: melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan
yang
merendahkan
dan
melecehkan
dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan
kekerasan
fisik
maupun
tidak;
memaksa
melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai,
167
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 63 Pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternative pemecahannya, (Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Wacth” , Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, 2000), hal 11 Universitas Indonesia 168
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
93
merendahkan, menyakiti atau melukai korban, pornografi (dengan dampak sosial yang sangat luas bagi perempuan pada umumnya) Finansial
: mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban
Spiritual
: merendahkan
keyakinan
dan
kepercayaan
korban,
memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam pasal 5 undang-undang nomor 23 tahun 2004diuraikan bagaimana cara yang dpaat digunakan dalam melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga yaitu dengan cara : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Pengertian kekerasan fisik telah dipaparkan dalam pasal 6 undangundang nomor 23 tahun 2004, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kemudian yang dimaksud kekerasan psikis sebagaimana yang tersebut dalam pasal 7 adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percara diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
94
Kemudian definisi kekerasan seksual dijabarkan dalam pasal 8 dimana yang dimaksud dengan kekerasan seksual meliputi : pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan penelantara rumah tangga diuraikan dalam pasal 9 yaitu setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan. Dalam pasal 9 juga diuraikan penelantaran yang dapat berupa setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kedali orang tersebut.
4. Kedudukan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam hukum pidana Indonesia Masalah korban dicetuskan oleh B. Mendelshon, seorang pengacara di Yerusalem. Beliau yang pertama kali menggunakan istilah viktimology (viktomologi), yaitu suatu studi yang memperlajari masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia, sebagai suatu kenyataan sosial.169 Joanna shapland, Jon Wilimore, dan Peter Duff, menulis bahwa korban kejahatan sudah dilupakan orang dari sistem peradilan pidana. Kurang perhatian yang diberikan terhadap korban akan melemahkan bekerjanya sistem peradilan pidana. Sesuai pendapaat Shapland, dkk tersebut J.J.M. van Dijk, pada paro pertama abad ke 20 ilmu pengetahuan hukum pidana hampir tidak memperhatikan sama sekali kedudukan si korban. Pada perkembangannya, baru tahun 60-an muncul sejumlah
169
Ibid , hal 111 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
95
perhatian kepada pihak yang dirugikan. Dengan maksud agar penderitaan yang menjadi beban si korban agak diperlunak.170 Masalah korban sebetulnya bukan masalah yang baru, namun seringkali diabaikan. Apabila kita amati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus memperhatikan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul kejahatan kalau tidak ada korban, yang merupakan peserta utama dari pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan. Dapat dikatakan bahwa di mana ada kejahatan tentu ada korban.171 Korban dapat menjadi faktor penting bagi timbulnya suatu kejahatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana W Kusuma ketika mengutip pendapat dari Sheperd yang menyatakan : dalam studi tentang kejahatan kekerasan terungkap bahwa acap kali korban memainkan peran kunci
dalam
interaksi kekerasan, bahkan tak jarang melakukan tindakan provokasi terhadap orang lain atau pun balas dendam dengan pola kekerasan yang sering pula mengakibatkan luka atau bahkan kematian.172 Pada kenyataannya apabila ingin memahami masalah terjadinya kejahatan, terlebih dahulu harus dipahami peranan korban yang memperngaruhi terjadinya kejahatan. Pihak korban mempunyai status sebagai partisipan pasif maupun aktif dalam suatu kejahatan. Peranan korban terhadap timbulnya tindak pidana seringkali tidak mendapat perhatian, namun seringkali korban ikut berpartisipasi terhadap timbulnya kejahatan, secara sadar atau tidak sadar.173 Mendelsohn pada tahun 1937 menulis artikel tentang The Personality of the victimes. Menurutnya, ada kesejajaran antara kepribadian pelaku dan korban. Berikutnya Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis artikel tentang victim criminal
170
M. Arief Amrullah, op.cit, hal 69 Ibid, hal 112 172 Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Op.cit, hal 46 173 Moerti Hadiati Soeroso, op.cit, hal 119 171
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
96
interaction. Dalam artikel itu Hentig lebih terarah pada adanya pengaruh timbal balik antara pelaku kejahatan dan korbannya, dimana korban sebagai pihak yang banyak menyebabkan timbulnya kejahatan yang berakibat pada dirinya.174 Pada sebagian besar kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya, dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan. Korban hanya diposisikan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat penegak hukum untuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya.175 Adanya pandangan bahwa korban kejahatan hanyalah berperan sebagai instrumen pendukung/pelengkap dalam pengungkapan kebenaran materiil, misalnya ketika korban diposisikan hanya sebagai saksi dalam suatu kasus pidana, sudah saatnya untuk ditinggalkan. Begitu
pula,
pandangan yang menyebutkan bahwa dengan telah dipidananya pelaku, korban kejahatan sudah cukup memperoleh perlindungan hukum, tidak dapat dipertahankan lagi.176 Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah : “dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban”.177
174
M. Arief Amrullah, Op.cit, hal 73 Didik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 38 176 Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, op.cit, hal 46 177 Didik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, op.cit, hal 25 Universitas Indonesia 175
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
97
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperolah perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun meteriil sebagaimana Geis berpendapat : “to much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victim.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil178 Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan diperiksa dan diadilinya tersangka/terdakwa, secara tidak langsung telah melindungi korban kejahatan, karena pelaku (terpidana) tidak akan lagi mengganggu korban (masyarakat). Padahal, pelaku tidak cukup hanya bertanggung jawab secara pidana (dihukum), tetapi juga bertanggung jawab secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus bertanggung jawab secara pribadi kepada korban. Dalam kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, diatur beberapa hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu proses peradilan pidana, yakni sebagai berikut 179: a.
Hak Untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum Hak ini adalah hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 77 sampai dengan pasal 80 KUHAP). Hal ini penting untuk diberikan guna menghindarkan adanya upaya dari pihak-pihak tertentu dengan berbagai motif, yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan.
b.
Hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi Hak ini adalah hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168 KUHAP) kesaksian (saksi) korban sangat penting untuk diperoleh dalam rangka mencapai suatu kebenaran materiil. Oleh karena itu, untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi,
178 179
Ibid, hal 25 Ibid, hal 51 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
98
diperlukan sikap proaktif dan aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi. c.
Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (pasal 98 sampai dengan pasal 101). Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti rugi hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir, permintaan tersebut diajukan selambatlambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Penggabungan gugatan ganti rugi dapat diajukan apabila pihak yang dirugikan mengajukan penggabungan ganti rugi terhadap si terdakwa dalam kasus yang didakwakan kepadanya. Penggabungan gugatan ganti rugi dilaksanakan berdasarkan hukum acara perdata dan harus diajukan pada tingkat banding.
d.
Hak
bagi
keluarga
korban
untuk
mengizinkan
atau
tidak
mengizinkan polisi melakukan otopsi (pasal 134-136 KUHAP) mengizinkan atau tidak mengizinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan korban kejahatan, mengingat masalah otopsi ini bagi beberapa kalangan sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat istiadat, serta aspek kesusilaan kesopanan lainnya. Berkaitan dengan hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui cara penggabungan perkara sebagaimana diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP, pihak-pihak yang berkepentingan perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :180 a.
180
Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri
Ibid, hal 52 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
99
b.
Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang menderita kerugian
(korban) sebagai akibat langsung dari tindak
pidana tersebut. c.
Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi ditujukan kepada “si pelaku tindak pidana” (terdakwa)
d.
Dan, tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa dan dalam bentuk satu putusan. Dalam KUHAP kedudukan korban sebagai saksi yang banyak
mendapatkan sorotan dan diatur dalam KUHAP. Dan kebanyakan hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban sebagai seorang saksi. Seperti pasal 108 ayat (1) yang menentukan bahwa “ setiap orang yang mengalami, melihat dan menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik baik lisan maupun tulisan.” Selanjutnya pasal 117 ayat (1), selain itu dalam proses peradilan seseorang saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun, serta pada pembuktian dimuka sidang pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat, terdapat dalam pasal 166 KUHAP.181 Berbeda dengan halnya pasal dalam KUHAP yang mengatur kedudukan tersangka/terdakwa dimana diatur dalam pasal 50 sampai dengan pasal 69 KUHAP. Maka tampak dalam system peradilan pidana di Indonesia hak tersangka/terdakwa lebih diperhatikan dari pada hak-hak seorang korban. Dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) menjunjung tinggi persamaan, namun dalam implementasinya terjadi kesenjangan antara perlakukan saksi dan korban dengan tersangka, dimana dalam KUHAP hak tersangka sudah diatur secara memadai mulai 181
Ibid, hal 108 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
100
pasal 50-69 KUHAP. Dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, posisi saksi dan korban sudah diberikan perlindungan maksimal dengan menggunakan model perlindungan saksi gabungan antara the service model dan the right prosedur model dalam memberikan perlindungan saksi dan korban, namun dalam undang-undang nomor 13 tahun 2006 tidak semua saksi diberikan perlindungan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 5 huruf b, bahwa perlindungan saksi dan korban dalam undang-undang ini hanya diberikan untuk tidak pidana seperti teroris, narkotika, dan psikotropika, HAM, money loundering, tindak pidana korupsi.182 Korban yang tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan Komite para Menteri Dewan Eropa pada tanggal 28 Juni 1985 menyetujui Rekomendasi (85) 11 terhadap kedudukan korban dalam kerangka hukum pidana dan hukum acara pidana, sebagai bagian dari kampanye untuk memperbaiki perlakuan terhadap korban kejahatan dan terjadinya viktimisasi sekunder. PBB menyetujui Declaration of basic principles of justice for victimes of crime and abuse of power, pada tanggal 29 November 1985, dan itu mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka atau pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut didasarkan atas suatu filosofi bahwa korban harus diakui dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Karena itu korban berhak atas akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritannya.183 Korban akibat kejahatan memang harus di lindungi sebab pada waktu korban masih berhak menuntut pembalasan terhadap pelaku, korban dapat menentukan besar kecilnya ganti rugi itu. Namun setelah segala
182 183
Ibid, hal 180 M. Arief Amrullah, op.cit, hal 82-83 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
101
bentuk balas dendam dan ganti rugi diambil alih oleh negara, peranan korban tidak diperhatikan lagi.184 Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Dengan demikian perlindungan in abstracto bagi korban tindak kekerasan telah diberikan, hanya dalam kenyataannya in concreto menunggu bagaimanan penerapan dan pelaksanaan hukumnya.185 Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan harus dilalui oleh korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan hukum yang proses pemeriksaan tersebut justru menambah daftar penderitaannya. Sebab sering kali proses ini harus dilalui oleh korban sebelum kesehatannya benar-benar pulih. Peranan korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian kebenaran material yaitu sebagai saksi saja. Dalam penegakan hukum pidana Nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana Nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan korban, ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas yang bersifat rutin namun tanpa makna ketika harus berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.186 Apabila diperhatikan secara lebih komprehensif, muncul kesan bahwa korban kejahatan belum memperoleh perlindungan yang memadai. Hal ini dpengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :187
184
Ibid, hal 83 Moerti Hadiati Soeroso, op.cit, hal 120 186 Didik M Arief Mansur, Elisatris Gultom, op.cit, hal 29-30 187 Ibid, hal 173-179 185
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
102
a.
Faktor Undang-undang Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hukum merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib hukum karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya undang-undang. Terlebih lagi undang-undang merupakan sumber hukum yang utama, yang mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu memang berasal dari pengundang-undang, yang menuliskan dalam berbagai undang-undang dan membukukannya dalam kitab undangundang. Pemberian perlindungan terhadap korban kejahatan dalam undang-undang selama ini masih bersifat parsial dan keberadaannya tersebut dalam berbagai peraturan perundangan sehingga hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu saja.
b.
Kesadaran Hukum Korban Dalam penerapan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, khususnya korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), banyak dijumpai korban atau keluarganya menolak untuk melaporkan kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan, seperti takut adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya. Padahal dari segi yuridis sikap pembiaran ini dapat merugikan korban sendiri, berupa penderitaan yang berkepanjangan. Khusus untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, sikap pembiaran terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak pada munculnya sikap yang memandang kekerasan dalam rumah tangga merupakan kondisi yang wajar dihadapi dalam rumah tangga sehingga pihak lain tidak perlu campur tangan.
c.
Fasilitas pendukung Kurangnya
sarana
dan
prasarana
pendukung
dalam
upaya
perlindungan korban kejahatan yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan korban akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai contoh : untuk dapat memenuhi standar minimal suatu ruangan pelayanan khusus, perlu adanya beberapa fasilitas Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
103
pendukung, seperti berikut ini : (1) ruangan pelayanan khusus letaknya harus terpisah dari ruangan pemeriksaan yang biasa dipergunakan untuk memeriksa kejahatan pada umumnya; (2) Ruang pelayanan khusus harus terasa nyaman dan familiar, tidak seperti ruangan pemeriksaan untuk kejahatan pada umumnya sehingga pada saat korban dimintai keterangan seperti terasa dirumah sendiri ; (3) Ruangan pelayanan khusus harus memiliki ruang releksasi yang dapat dipergunakan oleh korban untuk beristirahat guna memulihkan kondisi fisik dan mentalnya sehingga pada tahap berikutnya korban siap untuk dimintai keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa dirinya. d.
Sumber daya manusia Keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas turut mempengaruhi kualitas pemberian perlindungan hukum terhadap korban kejahatan. Misalnya masalah kurangya personil polisi wanita, adanya kesenjangan antara masyarakat dengan polisi pada saat dilingkungan institusi kepolisian, hal ini akan berpegaruh pada dampak pada kualitas pelayanan yang diberikan aparat kepada korban. Disamping jumlah personil yang masih kurang dari segi kualitas dirasakan masih memprihatinkan, hal ini dapat diperhatikan pada kualitas aparat Polisi Wanita yang ditugaskan pada unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Perlindungan hukum korban kejahatan hukum bagi masyarakat
sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.188 Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang 188
Ibid, hal 31 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
104
mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subyek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law). Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).189
D.
Penyelesaian Perkara Pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 1. Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan Tahap
“Penyidikan”
adalah
tahapan
pertama
dalam
Operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana dan merupakan tahapan yang paling menentukan karena tanpa proses penyidikan tidak mungkin tahapan- tahapan selanjutnya dalam Sistem Peradilan Pidana dapat dilaksanakan karena pada tahap penyidikanlah untuk pertama kali dapat diketahui bahwa telah terjadi peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta penentuan tersangka pelakunya untuk kemudian menjalani proses- proses selanjutya yaitu proses penuntutan, proses penjatuhan putusan pidana serta proses pelaksanaan putusan pidana. Penyidikan, adalah istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing
(Belanda)
dan
investigation
(Inggris)
atau
penyiasatan atau siasat (Malaysia). Sedangkan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) memberi definisi penyidikan sebagai berikut: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”(pasal 1 ayat 2 KUHAP) Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undangundang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar khabar 189
Ibid, hal 31 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
105
yang sekadar beralasan, bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum.”190 Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 angka 10 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pengetahuan dan pengertian tentang penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:191 1.
Ketentuan tentang alat- alat penyidik.
2.
Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik
3.
Pemeriksaan di tempat kejadian
4.
Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5.
Penahanan sementara
6.
Penggeledahan
7.
Pemeriksaan atau interogasi
8.
Berita Acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat)
9.
Penyitaan
10. Penyampingan Perkara 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan. (Pasal 1 butir 1 KUHAP) Selanjutnya yang dimaksud penyidik tersebut diatur dalam pasal 6 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: (1) Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
190
R Tresna, op.cit, hal l 72. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 118- 119 Universitas Indonesia 191
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
106
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana diatur dalam ayat 1 akan di Atur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pada dasarnya, penyidikan dilakukan oleh Penyidik POLRI atau Penyidik PNS tertentu sesuai dengan pasal 6 ayat (1) KUHAP. Kecuali terhadap penyidikan berdasarkan pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menentukan setelah dua tahun KUHAP diundangkan, diberlakukan terhadap semua perkara dengan catatan untuk sementara terhadap tindak pidana khusus diberlakukan ketentuan hukum acara pidananya sampai ada perubahan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pelaksanaan KUHAP, diaturlebih luas tentang penyidik tindak pidana dalam peraturan– peraturan pidana yang mempunyai acara khusus. Penyidikan tersebut dilakukan oleh: - Penyidik, jaksa dan pejabat penyidik berwenang lainnya (pasal 17 PP No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP). Ketentuan tentang jaksa penyidik juga diatur di dalam pasal 21 dan pasal 23 UU No 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) Berat dan UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 jo UU no 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - Untuk tindak pidana dalam Perairan Indonesia Zone Tambahan, Landasan Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia penyidikan dilakukan oleh perwira TNI-AL dan dan Pejabat Penyidik lainnya. - Semenjak diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, aparat penyidik di Indonesia bertambah satu lagi yaitu Penyidik Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.) Dengan melihat hal-hal tersebut diatas maka penyidikan khusunya untuk tindak pidana umum adalah kewenangan Polri kecuali ditentukan
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
107
lain dalam undang-undang. Kewenangan penyidik sebagaimana yang tertuang dalam pasal 7 KUHAP adalah : i. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana j. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian k. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka l. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan m. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat n. Mengambil sidik jari dan memotret seorang o. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi p. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara q. Mengadakan penghentian penyidikan r. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan Kewenangan penuntutan adalah wewenang dari penuntut umum sebagaimana bunyi pasal 137 KUHAP “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili” Sedangkan yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sebagaimana bunyi pasal 13 KUHAP. Penuntut umum berdasarkan pasal 14 KUHAP mempunyai wewenang sebagai berikut : Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
108
a.
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu
b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik
c.
Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
d.
Membuat surat dakwaan
e.
Melimpahkan perkara ke pengadilan
f.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
g.
Melakukan penuntutan
h.
Menutup perkara demi kepentingan umum
i.
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini
j.
Melaksanakan penetapan hakim Sedangkan berdasarkan pasal 13 Undang-undang nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
109
2. Penghentian Penyidikan Penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu apabila dalam kegiatan penyidikan suatu perkara penyidik tidak memperoleh bukti yang cukup untuk diteruskan ke tahap penuntutan, atau peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana dan bisa juga penghentian penyidikan tersebut dikarenakan adanya kepentingan hukum. Penghentian penyidikan demi hukum ini dapat dijumpai atau diatur dalam pasal 76, 77, 78 KUHP yaitu apabila nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan karena daluwarsa. Selain dari hal-hal tersebut ada kewenangan dari Kepolisian dalam melakukan penyidikan untuk tidak meneruskan suatu perkara yang sedang dilakukan penyidikan dengan alasan kebijakan atau sering disebut dengan diskresi. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 18 Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-katentuan peraturan, Undangundang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.192 Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T Simorangkir diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri193
192
Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum.(Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hal 91 Simorangkir, J. C. T. Erwin, T. Rudy dan Preasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal 38 Universitas Indonesia 193
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
110
Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi bahwa:“discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience, and its use is more than idea of morals than law” yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum.194 Menurut Wayne La Farve maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan195 Dari beberapa pengertian diskresi tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara sederhana diskresi adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan
suatu
keputusan
pada
kondisi
tertentu
atas
dasar
pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang, dalam hal ini polisi. Tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundangundangan. Tanpa adanya penyeleksian oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak. Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh polisi menjadi hal yang penting adanya. Pemberian diskresi kepada polisi. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai maka dapat dikatakan bahwa hukum itu hanya memberikan arah pada kehidupan bersama secara garis besarnya saja, sebab begitu ia mengatur hal-hal secara sangat mendetail,
194
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hal 16 195 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal 15 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
111
dengan memberikan arah langkah-langkah secara lengkap dan terperinci, maka pada waktu itu pula kehidupan masyarakat akan macet. Maka dari itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan yang diperlukan dan memang diberikan oleh hukum itu sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ada dimasyarakat. Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan
berkuasanya
kepolisian
atau
lembaga
lain
dalam
melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri”. 196 Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa: Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan diskresi.197 Menurut Thomas Becker dan David L. Carter dalam Anthon F. Susanto bahwa: Keputusan yang tidak terprogram lebih menyerupai perintah khusus. Keputusan ini merupakan keputusan dengan tujuan khusus yang sering membutuhkan kreativitas dan penilaian dalam tingkat 196 197
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita,(Bandung: Refika Aditama , 2004), hal 97 Ibid, hal 98 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
112
yang lebih besar. Meskipun masih ada batas-batas dalam perilaku personel, batas tersebut jauh lebih longgar sehingga mengijinkan lebih banyak pengambilan diskresi.198 Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka: Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:199 1.
Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.
Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.
Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak. Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang
198
Ibid, hal 98 Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, MABESPOLRI, (Jakarta: 2002), hal 132 Universitas Indonesia 199
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
113
diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut:200 a.
Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.
b.
Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
c.
Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada sematamata menggunakan hukum positif yang ada.
d.
Atas kehendak mereka sendiri.
e.
Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan mempermudah polisi
didalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan didalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
3. Penghentian Penuntutan Pada saat suatu perkara sudah dilimpahkan oleh Penyidik ke Penuntut Umum, dimana berkas perkara dan tersangka juga dilimpahkan maka kewenangan untuk proses selanjutnya adalah ada pada Penuntut Umum. Setelah berkas dan tersangka dilimpahkan ke Penuntut Umum maka kemudian berlaku pasal 139 KUHAP yang berbunyi “setelah penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidikan ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Bunyi pasal tersebut memberikan kewenangan penuh kepada Penuntut Umum untuk menentukan sikap terhadap berkas perkara yang ada padanya, apakah akan diteruskan ke sidang pengadilan atau tidak. Dalam perkembangannya ada dua kemungkian suatu berkas perkara tidak diteruskan ke sidang pengadilan oleh Penuntut Umum yaitu dengan cara penghentian penuntutan dan yang kedua dengan cara deponering (penyampingan) perkara.
200
M. Faal, Op.cit, hal 74 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
114
Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara. Penghentian Penuntutan sebagaimana yang termuat dalam pasal 140 ayat (2) huruf a yaitu dikarenakan tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Untuk perkara yang ditutup demi hukum merujuk pada pasal 76, 77, 78 KUHP yaitu apabila nebis in idem, tersangka meninggal dunia, dan karena daluwarsa. Sedangkan masalah penyampingan (deponering) perkara, diakui dalam penjelasan pasal 77 KUHAP yang menyebutkan “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Sehingga dalam KUHAP sendiri mengakui adanya deponering yang merupakan kewenangan dari Jaksa Agung. Peyampingan perkara atau deponering yaitu apabila perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa dimuka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum dengan suatu alasan demi kepentingan umum. Dan hak penyampingan perkara ini adalah kewenangan dari Jaksa Agung untuk mengambil keputusannya.201 Selain dalam penjelasan pasal 77 KUHAP mengenai penyampingan perkara atau deponering ini juga disebutkan dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentan Kejaksaan Republik Indonesia pasal 35 huruf c. Yaitu Jaksa Agung salah satu tugas dan wewenang adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum sebagaimana bunyi penjelasan pasal 35 huruf c adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah 201
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi kedua, cetakan ketujuh, (Jakarta: sinar Grafika, 2005), hal 437 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
115
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
BAB III KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Restorative Justice 1. Pengertian Restorative Justice Menurut Howard Zehr, restorative justice is a process to involve to the extant possibel, those who have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs adn obligations, in order to heal and put things as right as possibel. Howard Zehr juga mengutip karya Susan Sharpe yang berjudul Restorative Justice : A Vision for Healing and Change, khususnya tentang “The Goal of Restorative Justice”, di mana dikemukakan bahwa ringkasan tujuan restorative justice adalah dengan cara :202 Restorative Justice programs aim to : -
Put Key decisions into the hads of those most affected by crime
-
Make Justice more healing and, ideally, mote transformative adn
-
Reduce the likelihood of future offences
Achieving these goals requires that : -
Victims are involved in the process and come out of it satisfied
-
Offenders understand how their action have affected other people and take responsibility for those actions
-
Outcomes help to repair the harms done and addres the reasons for the offense (specific plans are tailored to the victim’s and the offender’s needs), and
-
Victim adn offender both gain a sense of ‘closure’ and both are reintegrated into the community.
Restorative justice memandang bahwa : -
Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antarwarga masyarakat
202 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan (judicialprudence), (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hal 248
Teori
Peradilan
116 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
117
-
Pelanggaran menciptakan kewajiban
-
Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala sesuatunya secara benar
-
Fokus sentralnya : para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf, dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi).
Pengertian Restorative justice secara praktis tidak dapat ditemukan kata sepakat diantara para ahli. Pengertian umum yang dapat dipakai dalam memahami restorative justice dikemukakan oleh Tony Marshall sebagai berikut “ A generally accepted definition of restorative justice is that of a process whereby the parties with a stake in a particular offence come togethe to resolve collectively how to deal with the aftermath offence and its implications for the future”. Dalam pengertian tersebut, restorative justice adalah proses dimana para pihak yang terlibat dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana cara menghadapi permasalahan pasca kejahatan serta akibatakibatnya di masa depan.203 Mengenai definisi mengenai restorative justice yang dikemukakan oleh Tony Masrshall tersebut, Braithwaite menyatakan bahwa definisi tersebut terlalu dibatasi, mengingat didalam definisi yang dimaksud tidak terdapat inti dari restorasi dibandingkan dengan kompensasinya. Menurut Braithwaite “Marshall’s definition does not define the core values of restorative justice, which are about healing rathe than hurting, moral learning, community participation adn community caring, respectful, forgiveness, responsibility, apology and making amends”. Hal serupa juga dikemukakan oleh Roche yang mengatakan bahwa “these are the volues which should guid the restorative process and that they ate probably a 203
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 120 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
118
better indication of what restortive justice is about than are any of teh available deginitions”. Dengan demikian inti dari restorative justice adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggungjawab dan membuat perubahan yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif restorative justice.204 Menurut ide pemikiran keadilan restoratif, tindak pidana dipahami sebagai perbuatan melanggar hak orang lain/korban, pertanggungjawaban pidana diwujudkan dengan pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang dialami oleh korban, dengan penyelesaian delik dilakukan dengan melibatkan korban untuk secara aktif berdialog dengan pelaku yang dipadu oleh mediator.205
2. Model Restoraive Justice Model restorative justice di negara-negara common law sangatlah beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan, penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda, adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi ataupun usaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan. Contohnya, pelaku kejahatan di Inggris dan Wales diberikan kesempatan melakukan pertemuan mediasi dengan korbanya, karena hanya bentuk itulah yang dapat diupayakan untuk mencapai suatu perbaikan, dan hal tersebut dapat terlaksana apabila ada peran serta dari korban. Jim Dignan berpendapat bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, fokus pada praktek restorative justice di lapangan, dan hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana206 Selain pandangan Jim Dignan mengenai model restorative justice, John Braithwaite mempunyai pandangan 2 model restorative justice, yaitu a partiallly integrated ‘twin-track’ model of restorative justice dan a 204
Ibid, hal 120-121 G. Widiartana,Op.cit, hal 87 206 Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 128-130 205
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
119
systemic model of restorative justice. Kedua model tersebut oleh John Braithwaite digambarkan dengan diagram sebagai berikut :207 -
A partiallly integrated ‘twin-track’ model of restorative justice, John Braithwaite dalam model ini menggambarkan bahwa proses restorative justice berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice. Bagi pelaku yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah mengantisipasinya dengan menggunakan prinsip “active deterrence”. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan daripada penyelesaian berdasarkan restorative justice.
-
A systemic model of restorative justice, model ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan di dalam sistem peradilan pidana pada model ini pertama kali dapat dilakukan di Kepolisian maupun
badan
yang
berwenang,
seperti
kejaksaan
ataupun
pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban ataupun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Fundamen dari model ini adalah informal 207
Ibid, hal 130-133 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
120
restorative justice yang diperuntukkan bagi semua pelaku kejahatan. Sedangkan bagi pelaku kejahatan yang sulit untuk diajak kerjasama dalam bernegosiasi ataupun korban yang tidak mau melakukan negosiasi dalam restorative justice, perlu dilakukan “upaya paksa” dengan menggunakan jalan pengadilan yang bentuknya adalah penetapan untuk restorasi. Bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis, tetap harus menggunakan ‘daya paksa’ yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan-lah yang dapat diberikan.
B. Penyelesaian perkara kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan ide Restorative Justice. Dalam paparan aturan-aturan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga tampak jelas bahwa aturan-aturan yang ada masih dijiwai oleh pandangan dan semangat retributif. Akibatnya aspek korban menjadi tidak diperhatikan, baik dalam penentuan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan maupun dalam proses penyelesaian perkaranya.208 Berbeda dengan proses penyelesaian perkara menurut pandangan retributif, proses penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasarkan oleh ide keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban. Meskipun demikian, pelibatan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak dilakukan untuk semua kasus melainkan hanya untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan penderitaan fisik dan psikis yang bersifat ringan, kekerasan seksual diantara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun argumentasi dari pemikiran tersebut adalah :209
208 209
G. Widiartana, Op.cit, hal 81 Ibid, hal 81-82 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
121
a.
Kepentingan negara untuk menjaga atau memelihara kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih besar dibandingkan dengan
kepentingan
individu
untuk
tetap
mempertahankan
keberlangsungan rumah tangganya. b.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat dipulihkan
c.
Kepentingan individu (keluarga) untuk menyelesaikan persoalan yang timbul diantara mereka tidak dengan menggunakan hukum pidana pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan, kekerasan seksual diantara suami-istri serta penelantaran rumah tangga dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual diantara suami-istri tersebut sebagai tindak pidana aduan. Pasal 51, pasal 52, dan pasal 53 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menentukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan
sehari-hari (dengan kata lain adalah kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat yang bersifat ringan), kekerasan seksual diantara suami-istri, dan penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan. Dengan ditentukan sebagai delik aduan, maka segala konsekuensi yang terkait dengan delik aduan akan melekat pada penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu itu, yaitu : -
Kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu hanya dapat diproses menurut hukum pidana jika ada pengaduan;
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
122
-
Hanya pihak-pihak yang telah ditentukan dalam undang-undang saja yang dapat mengajukan pengaduan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu tersebut;
-
Pengaduan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu itu dapat dicabut dengan konsekuensi jika sudah dicabut maka tidak dapat diadukan kembali.
Pada dasarnya suatu tindak pidana ditentukan sebagai tindak pidana aduan karena adanya pengakuan bahwa kepentingan dari korban atau keluarga korban agar kasusnya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada kepentingan negara supaya kasusnya itu dituntut. Dengan demikian, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu tersebut kepentingan dari korban atau yang dirugikan agar perkaranya itu dapat diselesaikan dengan cara-cara lain selain dengan hukum pidana, termasuk secara kekeluargaan, dianggap lebih besar dari pada kepentingan negara yang berkaitan dengan pemidanaan terhadap pelaku. Apabila dalam kekerasan seksual diantara suami-istri terdapat persoalan seksualitas yang dianggap tabu untuk diungkap dalam ranah publik karena menyangkut hal yang sangat pribadi dalam hubungan suami-istri. Ditentukannya kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu sebagai tindak pidana aduan tersebut sekalipun menunjukkan adanya peran aktif korban dalam penyelesaian kasus sebagaimana dapat dilihat dari pengertian pengaduan seperti yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 25 KUHAP. Diutamakannya kepentingan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu tersebut juga menunjukkan bahwa korban diberi keleluasaan untuk menentukan apakah kasusnya akan diselesaikan menurut hukum pidana atau dengan cara-cara lain. Keleluasaan korban tersebut diberikan sampai pada penentuan dicabut tidaknya pengaduan. Dengan adanya keleluasaan tersebut korban mempunyai hak untuk dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga demi menjamin terpenuhinya kepentingan korban dalam penyelesaian kasus. Dijaminya kepentingan korban serta peran aktif korban dalam penyelesaian kasus Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
123
tersebut sesuai dengan beberapa prinsip keadilan restoratif yang pada dasarnya menginginkan agar kepentingan korban, disamping kepentingan pelaku dan masyarakat, dapat terpenuhi serta dilibatkannya korban secara aktif dalam penyelesaian kasusnya. d.
Ancaman pidana penjara terhadap kekerasan fisik atau psikis yang berakibat ringan tersebut termasuk dalam kategori pidana badan yang singkat. Pasal 44 ayat (4) dan pasal 45 ayat (2) Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merumuskan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan. Dari segi jangka waktunya, ancaman pidana penjara yang dirumuskan di dalam kedua pasal tersebut termasuk kategori pidana badan singkat. Dari rangkuman yang dilakukan oleh schaffmeister terhadap pendapatpendapat yang menentang penerapan pidana badan singkat, pidana badan singkat mengandung kelemahan-kelemahan sebagai berikut :210 -
Relasi sosial yang dimiliki terpidana dapat terputus atau setidaknya terganggu; hilangnya pekerjaan; gangguan terhadap hubungan keluarga; menyulitkan dibangunnya relasi-relasi sosial baru karena merupakan “bekas nara pidana”
-
Waktu pemidanaan terlau singkat, baik untuk dapat memberikan pengaruh positif bagi terpidana maupun untuk menjalankan proses resosialisasi;
-
Perkenalan dengan penjara membuka kemungkinan terpidana tercemar oleh perilaku kriminal terpidana lainnya. Lebih jauh lagi dapat terjadi penjara tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi terpidana;
-
Menghindari penggunaan pidana badan singkat dapat menghemat pengeluaran biaya karena pelaksanaan pidana penjara dalam dirinya sendiri memakan biaya cukup tinggi;
-
Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk melaksanakan pidana penjara tidak sebanding dengan efek pidana yang diharapkan. Meihat bahwa pidana badan singkat mengandung banyak kelemahan, maka tidak
210
Schaffmeister, Pidana Badan Singkat sebagai Pidana di Waktu Luang (terjemahan oleh :Tristam Pascal Moeliono), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 15-16 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
124
mengherankan apabila PBB, dalam konggres di London pada tahun 1960, dan Dewan Eropa mengajukan usulan kepada seluruh negara anggotanya untuk membatasi sejauh mungkin penggunaan pidana badan singkat. e.
Pidanan denda yang dapat dikenakan kepada pelaku secara langsung juga dapat membebani keadaan ekonomi/keuangan korban atau keluarga korban. Menurut Schaffmeister pidana denda bukan merupakan pidana yang ideal karena mengandung kelemahan-kelemahan tertentu, yaitu :211 -
Karena dapat dibayarkan atau ditanggung oleh pihak ketiga (majikan, suami/istri, ayah, kenalan baik dan orang-orang lain), maka pidana denda tidak atau setidaknya secara tidak langsung dirasakan oleh si terpidana
-
Pidana denda dapat membebani pihak ketiga yang tidak bersalah
-
Pidana denda lebih menguntungkan bagi pelaku yang secara ekonomi/finansiil adalah orang-orang yang mampu. Karena dalam rumah tangga pada umumnya terjadi diantara orang-
orang yang terikat tali kekeluargaan dalam lingkup rumah tangga. Apabila kepada pelaku dijatuhkan pidana denda, maka hal itu dapat membebani ekonomi/keuangan rumah tangga karena sebagai satu rumah tangga tentu ada kesatuan ekonomi diantara pelaku dan korbannya. Dengan kata lain korban yang sudah mengalami penderitaan akibat dari tindak kekerasan juga dipaksa untuk menanggung penderitaan lagi dari pidana yang dijatuhkan pada pelaku.212 Selain berkaitan dengan proses penyelesaian perkara, ide keadilan restoratif juga berkaitan dengan jenis sanksi yang dapat diterapkan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Sesuai dengan ide dasarnya, jenis sanksi dalam keadilan restoratif merupakan sanksi yang terutama berorientasi pada pemulihan penderitaan korban. Hal ini berbeda dengan jenis sanksi pidana yang didasarkan pada ide/pemikiran retributif. Dalam pemikiran retributif, sanksi pidana dikenakan terutama sebagai suatu pembalasan atau 211 212
Ibid, hal 32-33 G. Widiartana, op.cit, hal 86 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
125
pengimbalan atas kesalahan pelaku. Meskipun dalam perkembangan pemikiran mengenai pemidanaan lalu muncul pemikiran-pemikiran baru untuk lebih memperhatikan unsur kemanusiaan dalam penerapan saksi pidana, hal itu tetap tidak merubah tujuan utama dari penerapan sanski pidana berdasarkan ide retributif. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya perubahan terhadap kebijakan pemidanaan dalam upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga. Perubahan itu meliputi :213 o Penghapusan ancaman sanksi pidana denda untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga o Diintrodusirnya ancaman sanksi pidana tambahan yang bertitik tolak dari kewajiban-kewajiban yang muncul sebagai akibat adanya hubungan keluarga dalam lingkup rumah tangga, misalnya kewajiban untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan perawatan atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga yang lain o Diutamakannya penyelesaian perkara secara mediasi dan konsilidasi untuk kekerasan dalam rumah tangga yang berderajat ringan, kekerasan seksual diantara suami-istri, dan penelantaran rumah tangga. Meskipun demikian penyelesaian perkara dengan cara mediasi dan konsilidasi tersebut dilakukan dengan suatu pembatasan, yaitu hanya untuk kasuskasus yang pelakunya baru pertama kali melakukan tindak pidana. Sedangkan untuk kasus-kasus pengulangan tindak pidana (recidive) atau kasus dimana pelaku tidak mau melaksanakan kesepakatan hasil mediasi, penyelesaian perkara tetap dilakukan dengan menggunakan prosedur hukum pidana yang berlaku. Adapun pengulangan tindak pidana atau pengabaian hasil mediasi dijadikan sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan pidana badan. Hal ini dilakukan dalam kerangka untuk menghormati fungsi dan tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum. o Sebagai konsekuensi dari usulan pada no 2 diatas, maka perlu dirumuskan pedoman pemidanaan yang memungkinkan bagi hakim
213
Ibid, hal 86-87 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
126
untuk menjatuhkan sanksi pidana tambahan sebagai sanksi yang berdiri sendiri. Salah satu aplikasi untuk adanya pembaharuan hukum di dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Secara harfiah, restorative justice dapa diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku. Namum pengertian tersebut menjadi berkembang, ketika perspektif restorative justice dimaksukkan di dalam suatu sistem peradilan, sehingga pengertian restorative justice adalah proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana, dimana proses ini menekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan pelaku, serta melibatkan pelaku dan korban secara aktif dan langsung di dalam penyelesaiannya.214 Apabila tujuan yang hendak dicapai oleh pranata adalah untuk merukunkan para pihak sehingga selanjutnya dapat hidup bersama kembali setelah sengketa itu, maka orang dapat mengharapkan bahwa tekanan disitu akan lebih diletakkan pada cara-cara mediasi dan kompromi, sebaliknya apabila tujuan pranata itu adalah untuk melakukan penerapan peraturanperturan (rule enforcement) maka cara penyelesaian birokratis mungkin akan lebih banyak dipakai, dimana sasarannya yang utama adalah untuk menetapkan secara tegas apa yang sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar.215 Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan maslaah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan
dendam,
dan
pemberian
derita
sebagai
konsekuensi
perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach). Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau 214 215
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 239 Ibid, hal 240 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
127
menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumannya memankan waktu lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Penerapannya tidak gampang. Kalau hanya diterapkan di lingkungan lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Jadi, model restoratif harus dimulai dari Kepolisian, saat pertama kali perkara disidik. Di Kejaksaan dan pengadilan pun demikian. Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan derita korban, baik fisik maupuk psikis. Kerugian materiil mungkin bisa digantikan pelaku, yang menjadi permasalahan adalah tentang derita psikis, misalnya akibat pemerkosaan. Sifat konsolidatif dari penyelesaian melalui pendekatan restorative justice diwujudkan di dalam dialog antara pihak terkait, yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “musyawarah
untuk
mufakat”. Musyawarah merupakan bentuk dari nilai-nilai kebiasaan yang hidup dalam tubuh masyarakat Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai suku, musyawarah tampaknya menjadi jalan bagi penyelesaian segala sengketa di antara mereka. Mengingat secara kultural, masyarakat sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di kalangan masyarakat Indonesia, seharusnya musyawarah dapat dimasukkan ke dalam bagian dari sistem peradilan Pidana Indonesia, terutama dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam
rumah
tangga
yang
membutuhkan
perspektif
privat
dalam
penyelesaiannya. Secara teori, terdapat berbagai macam bentuk musyawarah yang dapat diterapkan dalam konteks ini, antara lain negosiasi, mediasi, dan konsolidasi. Dari ketiga bentuk musyawarah ini, tampaknya negosiasi merupakan jalan yang paling baik, dipandang dari sisi penyelesaian internal kekeluargaan, karena perkara kekerasan rumah tangga tentu akan membuka peluang untuk mengungkapkan hal-hal yang dianggap aib di dalam keluarga. Secara kultural dalam masyarakat Indonesia pun hal-hal yang dianggap aib oleh keluarga masih merupakan hal tabu untuk dikemukakan di hadapan umum. Akan tetapi metode yang akan diterapkan disini tentu saja harus Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
128
disesuaikan dengan sistem peradilan yang ada, sehingga tidak terbentuk penyimpangan yang besar antara memberlakukan metode penyelesian dengan sistem peradilan yang eksis.216 Meskipun demikian, di dalam prakteknya keberhasilan pencapaian keadilan yang restoratif tidak sepenuhnya bergantung pada sistem itu sendiri tetapi juga unsur-unsur pelaksana dalam sistem tersebut. Dengan kata lain, meskipun sistem telah mengatur mengenai penyelesaian dengan cara musyawarah , apabila unsur pelaksana dari sistem, misalnya korban, tidak berpartisipatif maka tidak pernah akan terjadi penyelesaian masalah. Hal ini tampak nyata pada data statistik yang dikemukakan oleh Umbreti dan Robert, yang mengatakan bahwa hanya 7 persen dari seluruh kasus yang muncul di tahun 1993 di Inggris yang menggunakan metode mediasi. Begitu juga menurut Holdaway, yang mengatakan bahwa sejak dikeluarkannya undangundang mengenai crimie and disorder tahun 1998 di Inggris hanya 9 persen dari seluruh kasus yang ada yang terlibat di dalam mediasi antara korban dan pelaku kejahatan yang berusia muda. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya partisipasi dari korban itu sendiri, hal yang bertolak belakang dengan kenyataan yang terdapat di Australia. Partisipasi unsur pelaksana tersebut dapat terjadi jika ada kesadaran diantara para pihak untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan tujuan keadilan yang restoratif.217 Restorative justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya. Penyelesaian perkara dengan menggunakan mekanisme restorative justice tersebut, maka perlu dilihat model yang sesuai dengan sistem 216 217
Ridwan Mansyur, op.cit, hal 242 Ibid, hal 247 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
129
peradilan pidana Indonesia terlebih dahulu. Model di dalam restorative justice terdiri dari beragam pandangan, baik itu pandangan dari Jim Dignan yang menyatakan bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, fokus pada praktek restorative justice di lapangan, dan hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana, maupun pandangan John Braithwaite yang mempunyai dua pandangan model restorative justice, yaitu a partially integrated ‘twin-track’ model of restorative justice dan a systemic model od restorative justice. Jim Dignan tidak secara aplikatif menjelaskan model apa yang sesuai dengan penerapan restorative justice itu sendiri, sehingga pandangan Jim Dignan dapat dipakai sebagai pelengkap dari model-model yang lainnya. Sedangkan model yang ditawakan oleh John Braithwaite, terdiri dari model twin track dan model systemic. Model twin track diperuntukkan bagi pelaku yang menginginkan adanya musyawarah tanpa adanya daya paksa untuk berdialog, meskipun apabila musyawarah tidak tercapai mufakat, maka penahanan dapat tetap dilakukan terhadap pelaku. Sedangkan model systemic justru diarahkan oleh hukum untuk adanya proses musyawarah terlebih dahulu, tanpa menunggu ada ataupun tidak adanya keinginan bermusyawarah dari pelaku.218 Di lihat dari model yang dipaparkan oleh John Braithwaite di atas tampaknya model kedua lebih sesuai jika dimasukkan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Selain prosedur di dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kewenangan para penegak hukum di dalam sistem tersebut mendukung untuk diberlakukannya model ini. Sistem peradilan Indonesia mengenal pihak-pihak yaitu Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Korban, dan Pelaku Kejahatan. Berdasarkan hal tersebut bahwa mediasi dalam sistem peradilan Pidana Indonesia, khususnya dalam penyelesian perkara kekerasan dalam rumah tangga merupakan jalan yang terbaik yang dapat diterapkan. Apabila diihat dari tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagiamana dimaksud di dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004, maka eksistensi 218
Ibid, hal 249 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
130
mediasi sebagai bentuk penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga menjadi cara dalam mencapai keempat tujuan tersebut, terutama dalam pencapaian tujuan preventif dan konsolidatif. Untuk itu, sudah seharusnya apabila sistem peradilan Pidana Indonesia sudah menghidupkan mediasi di dalam setiap penanganan perkara, terutama di dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang disebut sebagai pembaharuan hukum yang mencapai keadilan yang diharapkan oleh semua pihak dalam kaitannya dengan lingkup rumah tangga, terutama perkara kekerasan dalam rumah tangga.219 Meskipun tidak dapat menjamin bahwa dengan ide keadilan restoratif maka kekeradan dalam rumah tangga akan dapat dihapuskan, ide tersebut layak untuk dipertimbangkan dengan argumentasi sebagai berikut :220 1. Kesesuaian ide keadilan restoratif dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan negara Indonesia Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila, cita hukumnya itu tidak lain adalah Pancasila. Ciri khas Hukum Pancasila adalah mencerminkan asas kerukunan, asas kepatuhan, dan asas keselarasan, yang semuanya itu tercakup dalam satu istilah yakni sifat kekeluargaan. Sifat kekeluargaan itu mengandung makna tujuan hukum sebagai pengayom, dapat menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk memanusiakan diri sendiri secara terus menerus yang berlangsung secara wajar. Sebagai konsekuensi sifat kekeluargaan tersebut maka aturan-aturan hukum di Indonesia seharusnya mengarah pada terciptanya kedamaian dan menolak kekerasan. Asas kekeluargaan yang menjadi inti dari Pancasila tersebut ternyata juga terdapat dalam keadilan restoratif, seperti dapat ditunjukkan dari prinsip-prinsipnya sebagai berikut : (1) Penyelesaian konflik dilakukan dengan melibatkan para pihak yang dianggap berkepentingan, yaitu pelaku, korban, dan masyarakat. Dalam hal ini posisi para pihak yang berkonflik yaitu pelaku dan korban adalah untuk berdialog dan ditekankan pada proses negosiasi dalam penyelesaian konflik diantara mereka, (2) Tujuan yang harus dicapai dari proses 219 220
Ibid, hal 258 G. Widiartana, Op.cit, hal 88-106 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
131
peradilan pidana berdasarkan prinsip keadilan restoratif adalah melakukan rekonsiliasi diantara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan, (3) ada keterlibatan secara personal diantara para pihak yaitu pelaku dan korban (termasuk keluarga) serta masyarakat dalam penyelesaian kasusnya, (4) kepada pelaku yang tidak mau bekerjasama dalam proses penyelesaian harus ditunjukkan mengenai akibat dari perbuatan yang telah mereka lakukan, diajak untuk dapat berempati kepada korban dan didorong untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, (5) keadilan restoratif berkehendak untuk membangun suatu masyarakat yang saling mempercayai. 2. Fakta bahwa KDRT terjadi diantara orang-orang yang memiliki relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena perkawinan maupun hubungan darah. Bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjalani sanksi pidana. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negatif pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana juga dapat mengenai anggota keluarga dari terpidana, apalagi jika terpidana merupakan orang yang menjadi tulang punggung keluarganya. 3. Kecenderungan perkembangan internasional untuk memperhatikan aspek korban dalam penyelesaian tindak pidana. Pertimbangan aspek korban dalam penyelesaian tindak pidana tersebut tidak hanya berkaitan dengan proses penyelesaian kasusnya, melainkan juga yang berkaitan dengan pemulihan penderitaan korban tindak pidana, khususnya dengan pemberian ganti rugi. Disamping mengintrodusir suatu sanksi yang bersifat restoratif khususnya ganti rugi, penyelesaian tindak pidana menurut prinsip keadilan restoratif dilakukan dengan melibatkan korban dan pelaku. 4. Konsep
RUU
KUHP
sebagai
ius
constituendum
telah
mulai
memperhatikan aspek korban di dalam kebijakan pemidanaannya. Dalam pasal 55 konsep RUU KUHP tahun 2004 mengenai pedoman pemidanaan,
diantara
beberapa
pertimbangan
dalam
pemidanaan
disebutkan adanya pertimbangan pengaruh tindak pidana terhadap korban Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
132
atau keluarga korban serta pertimbangan pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban. Sedangkan dalam pasal 67 konsep RUU KUHP antara lain disebutkan adanya jenis pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian serta pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Munculnya pertimbangan aspek korban tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa konsep RUU KUHP lebih memperhatikan prinsip proporsionalitas dan keseimbangan kepentingan dibandingkan dengan pemidanaan yang ada dalam KUHP yang berlaku sekarang, yang lebih bersifat “offender oriented”.
C. Penyelesaian perkara Kekerasan dalam rumah tangga yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga memberikan harapan baru bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang ini mencantumkan mekanisme pelaporan yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban. Antara lain kewajiban Negara dan masyarakat untuk melindungi korban, diberlakukan perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku, bantuan hukum bagi korban yang dilakukan oleh advokat atau pedamping korban lainnya, perlindungan terhadap saksi dan prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban dimana kesaksian korban dapat dipakai tanpa harus dikuatkan oleh saksi lain. Dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum menitikberatkan pada perlindungan terhadap korban. Perlindungan hukum terhadap korban diberikan oleh berbagai pihak, antara lain pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Ditambahkan dalam pasal 13 huruf d bahwa pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi,
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
133
keluarga dan teman korban dalam upaya penyelenggaraan pelayanan terhadap korban.221 Lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi. Adapun sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.222 Meskipun hukum acara pidana Indonesia tidak ada kecenderungan untuk fokus kepada korban, akan tetapi secara meteriil, perlindungan hak-hak korban misalnya dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga telah ada diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 yang didalam pasal 10 mengatur mengenai hak korban kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut : a.
Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c.
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d.
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
d.
Pelayanan bimbingan rohani. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 mengatur secara umum
mengenai kekerasan, hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, yang memaparkan kekerasan fisik sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selain kekerasan fisik, undang-undang ini juga mengatur mengenai kekerasan psikis, yang disebutkan dalam pasal 7 dimana yang dimaksud dengan kekerasan psikis 221 222
Muhadar, Adi Abdullah, Husni Tamrin, Op.cit, hal 45 Moerti Hadi Soeroso, Op.cit, hal 65 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
134
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Selain pengaturan mengenai kekerasan fisik dan psikis, undangundang ini juga mengatur mengenai kekerasan seksual, dimana yang dimaksuk kekerasan seksual dalam pasal 8 undang-undang ini meliputi Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, yang kedua pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kemudian bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang lain adalah penelantaran rumah tangga yang dimana dalam pasal 9 mengatur mengenai kekerasan rumah tangga yang dalam bentuk penelantaran rumah tangga adalah “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang diinginkan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tertuang dalam pasal 4 undangundang ini yang menyebutkan ada 4 tujuan yaitu mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga (tujuan preventif), melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga (tujuan protektif), menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga (tujuan represif), dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (tujuan konsolidatif). Tujuan preventif sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 lebih mengarahkan pada pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini tampak pada bab V undang-undang nomor 23 tahun 2004 mengenai kewajiban pemerintah dan masyarakat. Kewajiban pemerintah dalam konteks preventif diatur dalam pasal 11 dan pasal 12 undang-undang ini yang dirumuskan dalam suatu kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
135
menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Sedangkan kewajiban masyarakat diatur dalam pasal 15 yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana. Tujuan kedua dari undang-undang nomor 23 tahun 2004 adalah tujuan protektif, yang lebih mengedepankan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini diatur dalam bab VI mengenai perlindungan, yang pada intinya mengatur mengenai pelaporan, pelayanan, pendampingan dan perlindungan dalam arti sempit. Pelayanan dalam hal ini terbagi menjadi pelayanan sosial, pelayanan rohani dan pelayanan kesehatan bagi korban. Bentuk pelaporan, pelayanan dan pendampingan telah dilakukan secara sistematik meskipun tidak terdapat ketentuan baku mengenai hal tersebut. Meskipun demikian, secara empiris terbukti bahwa pada kenyataannya tidak semua bentuk perlindungan tersebut diberikan. Seperti yang tertera di dalam pasal 28 undang-undang nomor 23 tahun 2004 yang berbunyi “ Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut”. Dalam prakteknya pengadilan ketentuan ini tidak pernah ditemui, bahkan untuk di Kabupaten Dompu, pada saat Kepolisian berdasarkan Petunjuk Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan penetapan perlindungan terhadap korban, Pengadilan mengatakan bahwa tidak ada penetapan perlindungan, hal tersebut menunjukkan bahwa belum semua aparat penegak hukum memahami dalam menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan terhadap korban pun belum bisa dilaksanakan. Tujuan ketiga yaitu tujuan represif dimana dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, terlihat bahwa pencapaian tujuan yang ketiga ini Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
136
dengan mengedepankan penindakan bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang ini memberikan wacana penghukuman pidana penjara atau denda dan dapat ditambahkan dengan pidana tambahan. Pengaturan sanksi pidana dan pemidanaan dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 44 sampai dengan pasal 50. Menurut G. Widiartana, dari rumusan pasal 44 sampai dengan pasal 50 tersebut ancaman sanksi pidana dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tersebut pada prinsipnya menggunakan sistem sebagai berikut :223 - Jenis sanksi pidana yang diancamkan terhadap kekerasan dalam rumah tangga berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang diancamkan yaitu pidana penjara untuk waktu tertentu dan denda. Adapun pidana tambahan yang diancamkan berupa pembatasan gerak pelaku untuk waktu dan jarak tertentu; pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku serta penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu. - Untuk ancaman 2 (dua) sanksi pidana pokok (penjara dan denda) diancamkan
secara
alternatif.
Hal
tersebut
ditandai
dengan
dipergunakannya kata “atau” diantara dua jenis sanksi pidana yang diancamkan. - Untuk ancaman sanksi pidana pokok dan pidana tambahan diancamkan secara komulatif. Hal ini berarti sanksi pidana tambahan yang dirumuskan dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus dijatuhkan bersamasama dengan pidana pokoknya. - Pidana tambahan yang diancamkan bersifat fakultatif. Berbeda dengan ancaman sanksi pidana pokok yang bersifat imperatif, yaitu harus dijatuhkan, sanksi pidana tambahan dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak harus dijatuhkan. Sifat fakultatif dari pidana tambahan itu dapat dilihat dengan dipergunakannya kata “dapat” dalam rumusan ancaman sanksi pidananya.
223
G. Widiartana, op.cit, hal 49 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
137
- Untuk batas minimum sanksi pidana digunakan 2 (dua) sistem sekaligus, yaitu minimum umum dan minimum khusus. Batas minimum khusus dipakai untuk tindak pidana-tindak pidana yang dianggap mengandung unsur pemberatan, baik
pada akibatnya maupun pada tujuan
dilakukannya tindak pidana. Menurut Ridwan Mansyur, tujuan represif dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 dapat dikatakan telah dicapai, yaitu menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi penghukuman yang diberikan oleh undang-undang ini apabila dikaitkan dengan tujuan lain dalam undangundang tersebut dapat dikatakan tidak mencapai kondisi harmonis, oleh karena tidak adanya kesesuaian antara penindakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga sebagai tujuan represif dengan keutuhan, keharmonisan dan kesejahteraan rumah tangga sebagai tujuan konsolidatif.224 Tujuan yang terakhir atau tujuan yang keempat dari undang-undang nomor 23 tahun 2004 yaitu tujuan konsulidatif. Tujuan ini dimaksudkan supaya rumah tangga meskipun terdapat kekerasan di dalamnya, akan tetapi tetap terpelihara utuh, harmonis dan sejahtera. Menurut Ridwan Mansyur225, sistem peradilan pidana Indonesia yang masih dianut oleh undang-undang nomor 23 tahun 2004 telah memisahkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan korbanya, yaitu dengan cara pidana penjara. Hal ini tentu saja tidak dapat mencapai kerukunan, harmonis dan kesejahteraan rumah tangga yang ditinggalkan oleh pelaku. Kerukunan tidak dapat tercapai karena tidak ada upaya paksa untuk menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya, yaitu permasalah rumah tangga. Secara empiris jelas dipaparkan bahwa antara korban
dengan
pelaku
tidak
ada
kewajiban
untuk
menyelesaikan
permasalahan rumah tangga yang melandasi terjadinya kekerasan rumah tangga tersebut. Keharmonisan rumah tangga juga tidak dapat tercapai karena pemisahan oleh karena penghukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun terdapat perkara dimana penghukuman bagi pelaku masih bersifat percobaan, tetapi oleh karena tidak ada keharusan bagi korban dan pelaku untuk menjalin kembali komunikasi dalam lingkup rumah tangganya, 224 225
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 227 Ibid, hal 228 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
138
maka sifat harmonis dalam rumah tangga adalah jauh dari harapan. Sedangkan kesejahteraan tidak dapat tercapai terutama bagi suami sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang harus menjalankan hukumannya di penjara. Suami di dalam masyarakat Indonesia dikenal sebagai pemberi nafkah, sehingga dengan kondisi di atas, maka terjadi ketiadaan nafkah dalam keluarga. Jadi kesejahteraan yang ditetapkan oleh Undang-undang sebagai tujuan dalam konteks ini tentu jauh dari harapan. Menurut Ridwan Mansyur226, cara berpikir undang-undang ini masih menggunakan pola konvensional yang berpandangan bahwa korban dianggap telah dilindungi apabila pelaku tindak pidana dijatuhi hukuman pidana. Apabila pola tersebut digunakan pada tindak pidana selain lingkup rumah tangga, secara empiris hal tersebut dapat dikatakan telah sesuai dengan peruntukannya, mengingat antara korban dengan pelaku tidak dalam satu rumah tangga. Sedangkan bagi korban dan pelaku yang berada dalam rumah tangga, hal tersebut tentu memerlukan perlakuan khusus, dengan demikian penyelesaiannya tidak dapat menggunakan pola pikir konvensional. Penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga menggunakan sistem peradilan pidana Indonesia secara kaku tidak akan menyelesaikan permasalahan inti dari kekerasan rumah tangga itu sendiri, mengingat sistem ini menganut perpaduan antara sistem ikuisitur dan akusatur. Berdasarkan model itulah, maka model ini hanya mencoba memaparkan pemeriksaan materiil perbuatan yang dianggap melanggar pidana, yang kemudian direpresifkan menjadi penghukuman bagi pelaku yang dinyatakan bersalah melalui mekanisme pembuktian di pengadilan. Model ini sama sekali tidak bersifat konsolidatif, yang merupakan salah satu tujuan penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sistem peradilan pidana Indonesia tidak cocok diberlakukan secara kaku terhadap perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini juga ditegaskan oleh hakim-hakim di beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia sebagai pemegang peran dalam penegakkan hukum, terutama dalam 226
penanganan
perkara
kekerasan
dalam
rumah
tangga,
yang
Ibid, hal 231-232 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
139
menyimpulkan bahwa sistem peradilan Indonesia tersebut mempunyai kelemahan sebagai berikut : -
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menyamaratakan semua cara pemeriksaan, sedangkan masih terdapat perkara yang antara korban dengan pelaku sudah berdamai pada waktu tingkat penyidikan
-
Sistem Peradilan Pidana Indonesia lebih
menekankan pada
penghukuman pelaku daripada perlindungan korban yang semestinya akibat dari kejahatan si pelaku -
Sistem
peradilan
Pidana
Indonesia
mengesampingkan
prinsip
social
terlalu
justice
legalistik
dan
dan
kemanfaatan
pemidanaan. Penggunaan
Undang-undang
nomor
23
tahun
2004
dalam
penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga dengan masih menggunakan landasan sistem peradilan pidana Indonesia, tentu tidak akan pernah mencapai tujuan yang diharapkan oleh pembuat undang-undang. Hakim dapat menilai bahwa sistem ini tidak cocok diberlakukan secara kaku terhadap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang bersifat privat dan melibatkan subordinat ataupun anggota keluarga di dalam lingkup rumah tangga. Penyelesaian pengenaan hukuman pidana bagi pelaku, tidak dapat menyelesaikan permasalahan secara utuh, karena ikatan keluarga tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan sistem peradilan pidana Indonesia, melainkan harus menggunakan cara perdata. Korban dan pelaku perkara kekerasan dalam rumah tangga secara empiris masih menganggap penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 belum dapat memberikan keadilan bagi para pihak, terutama bagi subordinat dalam lingkup rumah tangga bersangkutan. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri seharusnya mencapai keadilan yang berbeda-beda, yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat pada saat tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnya hukum itu melakukan pembaharuannya sesuai dengan tuntutan yang ada. Hukum juga diharapkan berfungsi lebih daripada
sebagai
pembangunan”.
“sarana
Meskipun
pembaharuan hukum
masyarakat”
dituntut
untuk
atau
menjadi
“sarana sarana
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
140
pembaharuan, akan tetapi tidak secara serta merta hukum dapat melakukan hal tersebut. Dibutuhkan keaktifan dan kinerja pembuat hukum untuk menerapkan pembaharuan tersebut ke dalam hukum positif Indonesia.227
227
Ibid, hal 247 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
BAB IV PERANAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM MENGAKOMODIR KEINGINAN KORBAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Peranan Kepolisian Resort Dompu dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Peranan Kepolisian dalam penyelesian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana. Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan aparat dari komponen Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang terikat pada KUHAP (kitab Undangundang Hukum Acara Pidana atau Undang-undang nomor 8 tahun 1981). Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum, polisi senantiasa harus menghormati hukum dan hak asasi manusia. Secara garis besar tugas polisi disamping sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency), juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Dalam model yang lain, tugas polisi dapat dipilah ke dalam upaya preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan yang meresahkan masyarakat, sedangkan upaya represif dilakukan polisi melalui serangkaian tindakan penyidikan kasus kejahatan. Tujuan agar pelaku kejahatan dapat diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman setimpal (jika terbukti). Tindakan represif dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang goncang akibat dicabik-cabik perilaku para penjahat (restitutio in integrum).228 Sebagai bagian dari integrated criminal justice sytem, polisi merupakan organ paling depan bagi tegaknya hukum. Polisi bertugas mengurai benang ruwetnya kejahatan dengan melakukan penyelidikan dan 228
M. Khoidin & Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita,( Yogyakarta:Laksbang, 2007), hal
58
141 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
142
penyidikan. Dalam pelaksanaan tugas ini, diperlukan profesionalisme polisi, agar mampu menangkap pelaku kejahatan. Sebab bila tidak, masyarakat akan tetap terancam oleh perilaku menyimpang dari penjahat.229 Dua tugas Polisi diatas menurut Madjono Reksodiputro merupakan dua sisi dari fungsi polisi. Dalam mengkaji pola penanggulangan kejahatan kekerasan melalui mekanisme peradilan pidana, polisi memerankan fungsi penegakkan hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum ini secara umum yang diharapkan masyarakat adalah penegakkan hukum pidana (enforcing the criminal law), dengan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan menangkap serta menghadapkan pelakunya ke pengadilan. Upaya menanggulangi kejahatan kekerasan dari kejahatan yang serius (violent and serious crimes), ini polisi didesak masyarakat untuk bergerak cepat melaksanakan tugas penegakkan hukum.230 Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh polisi dengan cara memberkas perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga melalui proses penyelidikan dan penyidikan serta meneruskannya ke tingkat selanjutnya. Penyelidikan merupakan
serangkaian
tindakan
penyelidik
untuk
mencari
dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, supaya bisa menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut bisa membuat terang tentang tidak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.231 Di kabupaten Dompu, penanganan terhadap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh Kepolisian Resort Dompu, selama lima tahun terakhir menunjukkan fluktuaktif naik turun jumlah
229
Ibid, hal 58 Maedjono Reksodiputro, Op.cit, hal 161 231 Lihat pasal 1 butir 5 KUHAP 230
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
143
pelaporan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang masuk di Polres Dompu sebagaimana tergambar dalam tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Penanganan Kasus di Polres Dompu lima tahun terakhir
No Tahun
P-21
Kasus yang
Jumlah
Kasus yang ada
kasus yg
perdamaian
tidak
masuk
dan tidak
selesai
dilanjutkan 1
2005
70
42
5
23
2
2006
82
35
8
39
3
2007
52
20
3
29
4
2008
65
35
5
25
5
2009
122
68
6
48
6
2010
113
80
7
26
504
280
34
190
Jumlah
Sumber : data telah diolah kembali hasil wawancara dengan aparat Kepolisian Resort Dompu dan data yang diberikan oleh Kasat Reskrim
Berdasarkan tabel 4.1 diatas apabila dilihat dari jumlah perkara yang masuk cukup banyak dan ada kenaikan tiap tahunnya hanya pada tahun 2007 ada penurunan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga di kabupaten Dompu. Tabel 4.1 diatas menunjukkan prosentase bahwa pada tahun 2005 dari 70 perkara yang masuk, 60 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 7,2 % dan sisanya 32,8 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan. Pada tahun 2006 dari 82 perkara yang masuk, 42,7 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 9,8 % dan sisanya 47,5 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan. Pada tahun 2007 dari 52 perkara yang masuk, 38,4 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 5,8 % dan sisanya 55,8 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan. Pada tahun 2008 dari 65 perkara yang masuk, 53,8 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 7,7 % dan sisanya 38,5 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan. Pada Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
144
tahun 2009 dari 122 perkara yang masuk, 60,7 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 5,4 %, sisanya 42,9 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan dan pada tahun 2010 dari 113 perkara yang masuk, 70,8 % diselesaikan secara perdamaian, P-21 6,2 % dan sisanya 23 % adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan Sehingga secara keseluruhan selama lima tahun Polres Dompu berdasarkan tabel 4.1. ada 504 perkara kekerasan dalam rumah tangga yang masuk laporannya di Polres Dompu, yang diselesaikan secara perdamaian adalah 280 perkara atau 55,6 % kemudian yang dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (P-21) adalah 34 perkara atau 6,7 % dan sisanya 190 perkara atau 37,7 % adalah perkara yang belum dapat diselesaikan. Bahwa perkara yang masuk di Polres Dompu berdasarkan tabel 4.1 diatas banyak diselesaikan dengan cara perdamaian yang sampai dengan 55,6 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa Polres Dompu dalam menyelesaikan
perkara
kekerasan
dalam
rumah
tangga
lebih
mengedepankan langkah non penal. Dari perkara yang dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum (P-21) yang kemudian dilimpahkan oleh penyidik ke penuntut umum hanya sebesar 10 perkara saja dari 34 perkara yang dinyatakan lengkap sehingga masih ada sisa 24 perkara yang tidak dilimpahkan oleh penyidik ke Penuntut Umum. Dari fakta tersebut menunjukkan dari laporan perkara yang masuk secara keseluruhan yang kemudian dilimpahkan Kekejaksaan untuk diselesaikan secara penal hanya sebesar 2 % saja selama lima tahun untuk perkara dari Polres Dompu, hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.2. dibawah ini :
Tabel 4.2. Perkara Kekerasan dalam rumah tangga di Polres Dompu yang dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum. Tahun
P-21
Limpah ke PU
Tidak limpah ke PU
2005
5
1
4
2006
8
3
5
2007
3
-
3 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
145
2008
5
1
4
2009
6
1
5
2010
7
4
3
Jumlah
34
10
24
Sumber : hasil wawancara dan data yang diberikan oleh Kepolisian resort Dompu dan telah diolah kembali
Walaupun dalam penanganan perkara kekerasan dalam rumah tangga Polres Dompu mayoritas diselesaikan secara non penal namun dari informasi
yang
pemidanaan
diperoleh
diharapkan
aparat
mampu
Kepolisian sebagai
masih
salah
satu
menganggap alat
dalam
Penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Dompu. Berdasarkan hasil wawancara dengan tiga orang aparat kepolisian
diperoleh
informasi
bahwa
ancaman
hukuman
di
Undang_undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga agar diperberat lagi, sebab vonis yang didapat tersangka tidak membuat jera. Berdasarkan hasil wawancara tersebut aparat kepolisian masih menganggap
bahwa
tujuan
pemidanaan
masih
bersifat
retributif
(pembalasan), dengan menyatakan agar hukuman diperberat lagi dengan anggapan apabila diperberat pelaku akan jera, sehingga terlihat pula anggapan selain sebagai pembalasan, aparat kepolisian juga berharap pemidanaan dapat berfungsi deterrence (pencegahan) bagi pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat juga berfikir tidak akan mengikuti atau mencontoh kejahatan tersebut. Fungsi utama dari kepolisian adalah menegakkan hukum dan melayanani kepentingan masyarakat umum. Dapat dikatakan tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kepolisian resort Dompu selama ini berusaha melakukan pelayanan yang terbaik kepada korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah tangga. Berdasarkan informasi yang didapat dari korban dan pelaku yang ditangani oleh Polres dompu yang perkaranya tidak dilanjutkan (damai) diperoleh data sebagai berikut : Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
146
Tabel 4.3. Pendapat pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak Kepolisian No
Pelayanan yang diberikan Kepolisan
Jumlah
terhadap pelaku dan korban KDRT
informasi
persentase
1
Puas
9
69,2
2
Tidak puas
2
15,4
3
Tidak menjawab
2
15,4
13
100
Jumlah
Sumber : data telah diolah kembali hasil wawancara dengan koban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang ada perdamaian
Berdasarkan tabel 4.3. diatas bahwa 69,2 % informan menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh Kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga baik kepada korban maupun kepada pelaku sudah cukup baik atau informan menyatakan puas. Artinya kepolisian dalam melakukan pelayanan untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga memberikan pelayanan yang terbaik. Hal ini diwujudkan dengan merespon peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. Pol: 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang dibentuk oleh Kepolisian Republik Indonesia tersebut merupakan bagian dari satuan Reserse Kriminal yang berada di setiap tingkatan Kepolisian. Penugasan Polisi wanita di Ruang Pelayanan Khusus, lebih berempati terhadap permasalahan korban dan lebih sensitif gender. pelayanan tersebut membuat korban merasa nyaman dalam melaporkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya. Berdasarkan data yang diperolah dapat dilihat mayoritas yang bertindak sebagai pelapor adalah korban sendiri, sebagaimana bisa dilihat dalam tabel dibawah ini : Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
147
Tabel 4.4. Pelapor dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk di Polres Dompu No
Pelapor
Jumlah informasi
prosentase
1
Korban
7
87,5
2
Orang lain
-
-
3
Keluarga
1
12,5
Jumlah
8
100
Sumber : data telah diolah kembali hasil wawancara dengan korban
Untuk pelayanan terbaiknya bagi kelompok perempuan dan anak korban kekerasan kepolisian RI juga menyediakan Ruang pelayanan khusus (RPK) dan ruang konseling. Keberadaan ruang konseling dimaksudkan agar sebelum membuat laporan tentang tindak kekerasan yang dialaminya, korban perempuan dan anak diberikan kesempatan untuk mengadakan konseling yang dibimbing oleh petugas polisi wanita dari unit PPA yang selalu setia melayani selama 24 Jam sehari. Di Polres Dompu ruang pelayanan khusus untuk UPPA tersebut dibuat sangat nyaman bila dibandingkan dengan ruangan-ruangan lainya, hal tersebut dibuat agar memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, karena kecenderungan korban kekerasan rumah tangga mengalami trauma setelah terjadinya kekerasan yang menimpanya. Tabel 4.5. dibawah ini menunjukkan bahwa mayoritas korban kekerasan mengalami trauma dan cenderung untuk memendam sendiri perasaannya serta hanya bisa menangis dan diam menerima nasibnya yang pada akhirnya kemudian melaporkannya ke Polisi, sebagaimana tertera dalam tabel dibawah ini :
Tabel 4.5. sikap korban Kekersan Dalam Rumah Tangga setelah terjadinya kekerasan pada dirinya
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
148
No Informan
1 2 3
1
Diam, menangis dan menerima nasib
2
Takut dan tidak tahu harus bagaimana
3
Trauma
dan
memendam
4 5 6
7 8
v V
V
v
v V
perasaan
v
v V
sendiri 4
Memberitahu Kepada orang tua
V v V
5
Memberitahu kepada orang lain
V
6
Mendiskusikan dengan pasangan
7
Melaporkan ke polisi
v v V v v V v V
8
Melawan
v
v
V
V v
Sumber : data telah diolah kembali hasil wawancara dengan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dengan melihat data diatas maka sangatlah penting diperlukan adanya tempat atau ruang khusus bagi perempuan sebagai sarana penguatan mentalnya sebab untuk di Kabupaten Dompu tidak ada shelter atau rumah aman yang disediakan kecuali yang ada di Polres Dompu. hal ini karena disebabkan belum paham dan mengetahui pentingnya pemberian rasa aman kepada korban, bahkan dari unsur penegak hukum sendiri yaitu Hakim, berdasarkan informasi dari petugas PPA pada saat Kepolisian (penyidik) meminta penetapan perlindungan saksi korban, justru dari pihak Pengadilan mengatakan permohonan tersebut salah dan tidak ada, penyidik meminta penetapan tersebut pun atas petunjuk Jaksa Penuntut Umum. Kenyataan tersebut menunjukkan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga penegak hukum terutama Hakim belum sepenuhnya memahami aturan atau perundang-undangannya. Banyaknya korban yang trauma tersebut dipengaruhi oleh bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya, biasanya yang menimbulkan trauma adalah kekerasan yang dalam bentuk kekerasan fisik. Apabila dilihat di Polres Dompu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
149
Tabel 4.6. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perdamaian yang ditangani oleh Polres Dompu No
Bentuk
2005
2006
2007
2008
2009
2010
32
21
35
59
72
KDRT 1
Fisik
32
2
Psikis
-
3
Penelantran
10
5
3
7
10
11
42
38
24
42
69
83
ekonomi Jumlah
Sumber : data telah diolah kembali hasil wawancara dengan kasat reskrim dan petugas UPPA Resort dompu.
Kondisi tersebut sejalan dengan informasi dari pelaku dan korban kekerasan dalam rumah tangga yang memberikan informasi bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga biasanya dalam kekerasan fisik misalnya pemukulan, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan psikis dalam kehidupan rumah tangganya namun yang dilaporkan ke Polisi apabila sudah menyangkut kekerasan fisik saja. Dapat kita perhatikan dalam tabel dibawah ini menunjukkan beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya dialami korban yaitu :
Tabel 4.7 Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban Informan
pemukulan
Bentakan
atau umpatan
dengan suara
nafkah
keras
lahir/batin
1
V
V
V
2
V
V
V
3
V
V
V
4
V
5 6
Tidak diberi
Caci maki
V V Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
150
7
V
V
V
8
V
V
V
9
V
10
V
11
V
12
V
V
V
13
V
14
V
15
V
16
V
V
(mengoles cabe dicelana)
Sumber : data hasil wawancara dengan korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga telah diolah kembali
Tabel 4.7. diatas menunjukkan bahwa korban akan melaporkan kejadian suatu tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya apabila sudah berkaitan dengan kekerasan fisik, sedangkan untuk kekerasan yang psikis dan penelantaran ekonomi masih dianggap sebagai batas toleransi dan tidak perlu dilaporkan ke Polisi. Sebenarnya hal tersebut juga senada dengan informasi yang diperoleh dari aparat kepolisian, tidak adanya kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan psikis lebih dikarenakan bukan tidak adanya tindak pidana tersebut namun karena kesulitan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti, karena dalam undang-undang sendiri tidak memberikan batasan atau ketentuan-ketentuan yang seperti apa yang termasuk dalam kekerasan psikis, dan kekerasan fisik ini tidak bisa dilihat dengan kasat mata akibatnya. Kekerasan dalam rumah tangga yang dalam bentuk kekerasan fisik pun, seperti dalam tabel 4.7. dalam bentuk pemukulan itu pun tidak serta merta langsung dilaporkan ke Kepolisian, namun korban akan melaporkan kejadian tersebut apabila korban benar-benar sudah tidak kuat, karena dipukul tiap hari, atau pemukulan tersebut berakibat fatal misalnya sampai berdarah, atau sampai menimbulkan luka-luka yang cukup parah, atau Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
151
akumulasi dari seringnya mendapatkan tekanan batin atau kekerasan psikis yang dideritanya dan berpuncak pada terjadinya kekerasan fisik, Seperti halnya dalam tabel 4.8. dibawah ini :
Tabel 4.8. volume terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa korban pemukulan
Tidak diberi
Volume
Caci maki
Bentakan
terjadinya
atau
dengan suara
nafkah
KDRT
umpatan
keras
lahir/batin
Tiap hari
2
2
2
1(b)
Tidak tiap
2
1
1
-
-
-
-
-
3
6
7
-
hari namun tiap minggunya pasti terjadi Hanya beberapa kali sebulan Lebih dari satu bulan
Sumber : data hasil wawancara dengan korban dan pelaku telah diolah kembali
Dengan melihat data tersebut diatas pada tabel 10, dalam upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diperlukan rumah aman atau shelter untuk korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sehingga memungkinkan si korban atau saksi untuk sementara waktu tinggal di shelter sambil melakukan konseling secara terus menerus. Shelter juga sebagai langkah untuk meminimalisir bertemunya korban dengan pelaku sehingga korban akan lebih merasa Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
152
aman dan nyaman serta akan lebih cepat memulihkan kondisi psikoligisnya. Karena pendirian rumah aman atau shelter ini didasarkan pertimbangan bahwa ketika kasus tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai dengan putusan oleh pengadilan bagi korban umumnya akan tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang menyangkut psikis yang harus diselesaikan. Melihat kondisi diatas terlihat bahwa kebutuhan tersedianya RPK yang didukung sumber daya manusia petugas kepolisian yang memiliki pengetahuan tentang konsep kekerasan gender, instrumen hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, serta berpartisipasi gender dan memiliki empati mutlak diperlukan disetiap tingkat kepolisian. Sayangnya, menurut penuturan petugas terkait keberadaan RPK masih belum merata di seluruh Polres di Indonesia (karena di beberapa daerah masih kesulitan SDM dan biaya operasional). Selain itu RPK yang sudah ada biaya operasionalnya sering berasal dari inisiatif pribadi Kapolres atau petugas RPK sendiri.232 Di Polres Dompu untuk unit UPPA mempunyai ruang konseling dan ruang RPK yang cukup layak dan tidak terkesan berada di lingkungan Kepolisian, berbeda dengan ruang-ruang yang lainya. Ruangan yang cukup layak tersebut juga merupakan inisiatif dari anggota UPPA yang ingin memberikan rasa nyaman pada korban sehingga korban akan dengan mudah mengeluarkan kisah atau fakta yang menimpa pada dirinya. Selain itu pelayanan dari pihak Kepolisian terhadap korban dianggap cepat dalam merespon laporan tentang terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang datanya dari korban. Di Polres Dompu pada saat korban datang melaporkan kejadiannya maka penanganan yang akan dilakukan pertama akan diajak berdialog dahulu dan membiarkan korban untuk mencurahkan segala kejadian yang menimpa pada dirinya supaya mengurangi beban psikis yang menimpa korban sambil menggali fakta-fakta hukum terkait terjadinya tindak pidana 232 Sulidtyowati Irianto & Lidwina Inge Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia dan NZAID, 2006), hal 140 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
153
kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga memberikan motivasi dan penguatan psikoliginya, pada saat dirasa korban sudah cukup kuat secara psikis maka korban disuruh pulang atau kembali kerumah saudara yang lebih aman, dan selang satu minggu biasanya korban akan datang dengan pelaku dan menyatakan tidak akan melanjutkan perkaranya. Sebagai salah satu ujung tombak penegakkan hukum di Indonesia sangat penting bagi aparat kepolisian untuk memiliki pengetahuan seluas mungkin terutama yang berkaitan dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itu penting juga bagi aparat kepolisian untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masalah kekerasan, gender dan instrumen hukumnya, terutama undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana bunyi pasal 4 undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dimana dalam pasal tersebut termuat ada empat tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Keempat tujuan tersebut harus sebisa mungkin tercapai secara keseluruhan, tentu saja apabila hal tersebut tidak dapat dicapai maka akan dilakukan dengan sekala prioritas. Apabila tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana termuat dalam pasal 4 tersebut dikaitkan dengan peranan Polres Dompu dalam penyelesain perkara kekerasan dalam rumah tangga maka dapat dilihat sebagai berikut : a.
Tujuan mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga Berdasarkan pada kenyataan betapa sulit untuk diprediksikan terjadinya suatu tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, maka upaya pencegahan sebagai kebijakan non penal yang dilakukan oleh Polres Dompu dengan cara bekerjasama dengan instansi lain berusaha memberdayakan masyarakat agar sadar hukum dan taat hukum dengan cara memberikan penyuluhan hukum. Kegiatan
pencegahan
juga
dilakukan
dengan
hubungan-hubungan sosial dan pribadi, dengan warga,
melakukan terutama
dengan tokoh-tokoh sosial atau panutan masyarakat setempat serta Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
154
aparat desa/kelurahan, untuk mengajak berpikir dan bertindak dalam mengorganisasi diri sendiri secara bersama-sama untuk menciptakan keteraturan sosial dan keamaman lingkungan komunitinya dan menciptakan rasa aman bagi warga yang bersangkutan. Tujuan kegiatan tersebut adalah adanya kepatuhan hukum masyarakat, mengurangi kejahatan dan menghilangkan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Melalui penyuluhan ini diharapkan muncul kesadaran hukum masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan. Sebelum dilakukan penyuluhan, maka langkah-langkah yang dilakukan adalah pertama dilakukan pemilahan terhadap masyarakat dengan melihat jenjang pendidikan mereka sehingga bisa menyampaikan pesan-pesan kamtibmas dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka, kedua ada media forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM), tokoh pendidik, tokoh adat, tokoh pemudapemudi, tokoh wanita, LSM, cendekiawan intelektual dan pemerintah setempat serta masyarakat. Di forum itu disampaikan pesan-pesan kamtibmas kepada masyarakat melalui penyuluhan hukum. Substansi penyuluhan ini macam-macam, bisa masalah hukum, masalah demokrasi dan masalah sehari-hari yang sering bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Dengan
penguatan
masyarakat
tersebut
diharapkan
dapat
mengurangi atau meminimalisir terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena setiap masyarakat ikut serta menjaga lingkungannya tetap tentram, sehingga ada kepedulian yang baik apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga di lingkungannnya sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 15 undang-undang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana yang spesifik dan berbeda dengan tindak pidana lainnya. Pengaruh budaya patriarki sangat kental dan mengakibatkan pendekatan
preventif
dalam
pencegahan
secara
maksimal.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
155
Penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam prakteknya diperlukan cara khusus untuk menyentuh ruang yang tadinya dianggap sebagai ruang privat dan menjadi ruang publik apabila terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. b. Tujuan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga Polres Dompu dalam rangka mewujudkan tujuan perlindungan ini telah berupaya secara maksimal, bertindak secara cepat dan tepat apabila terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kongkrit dalam rangka memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan memberikan ruang konseling, yang dapat digunakan sebagai rumah aman apabila ada korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga korban dapat menginap diruang tersebut sampai si korban merasa nyaman dan aman. Usaha perlindungan tersebut dari kepolisian resort dompu belum sepenuhnya didukung oleh penegak hukum lainnya, terutama pada saat penyidik melaksanakan petunjuk dari penuntut umum untuk meminta penetapan perlindungan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, justru pihak pengadilan mengatakan penetapan seperti itu tidak ada, dan mengatakan mungkin yang dimaksud oleh penuntut Umum adalah penetapan ijin penyitaan. Karena perlindungan sebenarnya bersifat wajib apabila dilihat dalam pasal 16 Undang-undang nomor 23 tahun 2004, dan Polisi pun wajib meminta penetapan perlindungan ke pengadilan sebagaimana tersebut dalam pasal 16 ayat (3) undang-undang tersebut. Kenyataan tersebut menunjukkan pelaksana Undang-undang belum sepenuhnya memahami tugasnya, dan lebih melihat aturan hukumnya tersebut pada sanksi pidananya saja yang dikenakan kepada pelaku tidak
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
156
melihat ada sisi perlindungan kepada korban yang juga perlu diperhatikan. Perlindungan kepada korban tidak hanya tanggung jawab polisi saja namun menjadi tanggung jawab bersama dalam memberikan perlindungan sebagaimana tersebut dalam pasal 1 angka 4 undangundang nomor 23 tahun 2004, yang dapat memberikan perlindungan kepada korban adalah pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik itu untuk sementara atau berdasarkan penetapan pengadilan. Perlindungan kepada korban terutama sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman kepada korban, sehingga diharapkan dapat segera memulihkan kondisi kejiwaan si korban dan memberikan motivasi untuk menguatkan psikologisnya dalam menghadapi kenyataan yang sedang menimpa pada dirinya. Hal tersebut wajib dilakukan untuk menghindari adanya trauma yang berkepanjangan sehingga membuat sulit untuk mengungkap kejadian kekerasan yang menimpa pada diri korban, yang tentu saja akan dapat memperlemah pembuktian di persidangan apabila akan dilanjutkan perkaranya tersebut. Ruang perlindungan atau ruang konseling ini diperlukan guna memberikan tempat yang nyaman kepada korban untuk berfikir mengenai perkara yang dihadapinya, apakah akan diteruskan sampai pada proses persidangan atau tidak. c.
Tujuan menindak Pelaku Kekerasan dalam rumah tangga Tujuan penindakan ini merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh Kepolisian apabila terjadi tindak pidana. Dalam melakukan penindakan
tersebut
Polisi
melaksanakan
peranannya
sebagai
penyelidik atau sebagai penyidik. Di polres Dompu apabila ada laporan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pertama yang akan dilakukan adalah memberikan motivasi dan penguatan mental terlebih dahulu dengan mendengarkan cerita terjadinya kekerasan kepada korban sambil mengumpulkan fakta-fakta hukum sebagai alat bukti nantinya. Dalam menjalankan fungsinya tersebut petugas UPPA akan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
157
melakukan penyelidikan terlebih dahulu, setelah dirasa memang benar yang dilaporkan tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga maka kemudian akan ditindak lanjuti dengan penyidikan. Dalam melakukan penyidikan tersebut pun tidak serta merta langsung memberitahukuan dimulainya penyidikan ke Penuntut Umum, namun menunggu satu minggu terlebih dahulu, sambil menunggu keinginan dari si korban selaku pelapor terhadap perkaranya tersebut akan diteruskan ke proses persidangan atau cukup sampai disitu dan tidak dilanjutkan. Penawaran hal tersebut dilakukan terhadap perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga yang tidak mengakibatkan luka berat atau membahayakan
nyawa
si
korban.
Walaupun
kadang
yang
mengakibatkan luka berat pun si korban bersikukuh untuk tidak melanjutkan perkaranya tersebut, apabila terjadi hal tersebut penyidik polres dompu hanya bisa menyarankan untuk membuat surat perdamaian dan pencabutan laporan polisi yang telah dibuat. Apabila si korban tetap menghendaki dilanjutkan ke proses persidangan maka, penyidik akan mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum dan kemudian akan diikuti dengan penahanan kepada pelaku apabila memang bisa ditahan sebagaimana disyaratkan oleh pasal 21 KUHAP. Penyidik akan segera memberkas perkara tersebut dan segera dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk diteliti kelengkapannya, setelah dinyatakan lengkap maka penyidik akan segera menyerahkan pelaku beserta barang bukti ke Penuntut Umum. d. Tujuan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera selain tugas polisi untuk menindak pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan mengedepankan prinsipprinsip hukum pidana yang berujung pada pemidanaan, maka apabila memperhatikan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang termuat dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
158
rumah tangga, kepolisian sebagai ujung tombak dalam penegakkan hukum juga dituntut untuk dapat mewujudkan tujuan yang keempat tersebut. Di Polres Dompu dalam rangka untuk terjalinnya keharmonisan rumah tangga korban dengan pelaku, maka langka-langkah yang akan ditempuh adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada korban untuk memilih jalan yang akan dilakukan apakah akan dilanjutkan sampai persidangan atau cukup sampai di Polisi dan tidak dilanjutkan. Korban biasanya diberikan motivasi dan pandangan-pandangan sehingga korban kebanyakan memilih untuk berdamai dengan pelaku yang suaminya sendiri. Apabila hal tersebut terjadi maka yang akan dilakukan oleh penyidik pembantu UPPA adalah menyarankan kepada korban dan pelaku untuk membuat surat perdamaian yang isinya pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, serta apabila mengulangi maka pelaku bersedia untuk diproses sampai tuntas proses hukumnya. Setelah mereka berdamai pada saat proses dipenyidikan, kehidupan korban dan pelaku kembali harmonis dan sejahtera, dan ada efek jera dari pelaku untuk tidak mengulangi melakukan kekerasan kepada korban, karena si korban mempunyai kekuatan untuk melaporkan kembali pelaku apabila akan mengulangi melakukan kekerasan kepada korban.
2. Kebijakan Kepolisian dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam menangani perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga Polres Dompu menerapkan kehati-hatian dalam penyelesaiannya, hal tersebut disebabkan karakter dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang berciri khusus sehingga perlu penanganan secara khusus pula. Seperti halnya perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ditangani secara prosedural sesuai dengan aturan yang telah Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
159
digariskan, yaitu dimulai dengan pelaporan terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga kemudian dari pelaporan tersebut diarahkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA). UPPA ini diberikan tugas untuk menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan anak dan perempuan, salah satunya adalah perkara kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan, walaupun di Polres Dompu ada 2 perkara yang korbannya adalah laki-laki. Sebagai unit yang menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga tentu saja dibutuhkan pembekalan yang khusus untuk menangani hal tersebut dimana perkara KDRT mempunyai karakter yang berbeda dan sangat spesifik. Anggota yang ditugaskan dalam UPPA harus sangat sensitif dan paham masalah gender, sebagaimana dalam tabel 4.9. terlihat bahwa korban melaporkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya karena sudah melebihi batas toleransi yang diberikan oleh korban, sehingga korban sudah tidak tahan lagi atas perlakukan tersebut, ada juga korban merasa tidak aman dan hendak mencari perlindungan.
Tabel 4.9. alasan korban melaporkan pelaku ke Polisi
Informan
Alasan lapor polisi
1
Karena kepala berdarah dibacok dan supaya suami jera
2
Tidak menjawab, karena yang lapor bukan korban
3
Meminta perlindungan
4
Agar pasangan jera
5
Karena bentakan yang keras
6
Supaya jera saja dan tidak ada pikiran supaya suami masuk penjara, agar suami kapok saja
7
Supaya suami jera dengan perbuatannya dan tidak melakukan lagi
8
Tidak tahan karena sudah lama sering kena pukul Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
160
Sumber : data hasil wawancara dengan korban KDRT telah diolah kembali
Dari tabel 4.9. diatas, korban yang melaporkan kejadian yang menimpa pada dirinya lebih dikarenakan keinginan dari korban agar pelaku jera, dengan harapan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Bahkan satu informan secara gamblang memberikan jawaban, pelaporan ke Polisi terjadinya KDRT tersebut hanya semata-mata supaya pelaku jera dan tidak sampai pada agar pelaku masuk penjara, hal tersebut sebenarnya mencerminkan keinginan dari korban-korban lainnya dengan melihat sampai 55,6% yang berakhir dengan perdamaian. Kondisi seperti hal tersebut tentu saja perlu diakomodir oleh pihak Kepolisian yang berperan sebagai garda terdepan dalam penegakkan hukum pidana umum termasuk perkara KDRT, jangan sampai penegakkan hukum pidana yang dilakukan secara kaku justru dapat merugikan korban sendiri. Dimana tujuan dari hukum pidana pada intinya adalah untuk melindungi korban yang dalam pelaksanaannya kemudian diwakili oleh negara melalui lembaga penegakkan hukumnya. Apabila kita melihat pendapat Mardjono Reksodiputro yang memberikan batasan-batasan dalam penggunaan hukum pidana yaitu : a. Bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan
kembali
nilai-nilai
sosial
dasar
perilaku
hidup
masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara Pancasila; b. Bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial tidak atau belum dapat diharapkan keefektifannya; c. Dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan diatas harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi
perlindungan
terhadap
kepentingan
kolektifitas
masyarakat demokratik yang modern. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
161
Berdasarkan pendapat diatas penggunaan hukum pidana dilakukan sebagai alternatif terakhir dalam penyelesaian suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat. Dan apabila hukum pidana harus digunakan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat sebisa mungkin tetap
menjunjung
kebebasan
individu
tanpa
harus
mengurangi
perlindungan yang akan diberikan oleh negara sebagai penegak hukum pidana. Seperti halnya dalam penegakkan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, prinsip-prinsip yang dikemukakan diatas yaitu hukum pidana sebagai alternatif terakhir dalam penegakkan hukum pidana harus sangat diperhatikan, mengingat dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah mempunyai ciri dan karakter khusus, antara lain disebabkan antara pelaku dan korban adalah sudah saling kenal dan sangat dimungkinkan sudah hidup secara bersama dalam kurun waktu yang cukup lama. Dari 8 informan yang diwawancarai hanya 2 informan yang pernikahannya dibawah 6 tahun dan 6 informan sudah lebih dari 6 tahun bahkan sudah ada yang sampai 15 tahun. Korban melaporkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya adalah sebagai titik kulminasi paling tinggi perasaan korban pada pelaku dan tidak tahan lagi dengan perlakuan pelaku yang telah menimpa pada diri korban. Korban yang biasanya melaporkan kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya sebenarnya sebagai akumulasi dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang penghapusan dalam rumah tangga, namun yang memicu kemudian melaporan lebih pada karena kekerasan fisik saja yang mungkin pembuktiannya lebih mudah. Apabila dilihat dalam tabel 4.10. dibawah ini menunjukkan perasaan korban setelah melaporkan kejadiannya ke Polisi dan 62,5 % menyatakan lega dengan apa yang telah dilakukan tersebut. Perasaan lega tersebut
lebih
dipengaruhi
oleh
korban
yang
kemudian
bisa
menceriterakan perasaannya senyaman dan seaman mungkin dan menilai kepolisian
lebih
netral
dalam
memberikan
solusi
terhadap
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
162
permasalahannya yang menimpa, makanya ruang konseling wajib ada dalam unit pelayanan perempuan dan anak di tiap tingkat kepolisian.
Tabel 4.10 perasaan korban setelah melapor ke Polisi
No
Perasaan korban
Informasi
Prosentase
1
Lega
5
62,5
2
Menyesal
2
25
3
Tidak tahu
1
12,5
8
100
Jumlah
Sumber : data hasil wawancara dengan korban KDRT telah diolah kembali
Memang tidak semua korban yang melaporkan kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa pada dirinya lega, ada 25 % yang menyatakan menyesal atas perbuatannya tersebut, yang merasa menyesal tersebut dikarenakan adanya faktor anak dalam kehidupan rumah tangga mereka, sehingga mereka takut atas kejadian tersebut mempengaruhi kejiwaan dari anak-anak mereka. Sebagaimana terlihat dari tabel 4.11. dibawah ini dari 8 (delapan) korban, ada 6 (enam) korban atau 75 % yang menyatakan faktor anaklah yang mempengaruhi korban untuk mencabut laporannya dan tidak meneruskan
proses
hukum
ke
tahap
selanjutnya
dan
memilih
mengakirinya. Para korban memikirkan kondisi psikis dari anak-anak yang masih labil akan terpengaruh dengan proses hukum pidana yang berjalan, tentu saja akan mempengaruhi tumbuh kembang dari si anak, dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
Tabel 4.11. faktor yang mempengaruhi korban untuk berdamai dengan pelaku dan tidak melanjutkan proses hukum Informan 1
Alasan korban mau berdamai dan mencabut laporannya Faktor Anak Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
163
2
-
Melihat perkembangan Anak
-
Pasangan mau berubah dan ada niat berubah kearah yang lebih baik
3
Suami minta maaf dan menangis supaya dicabut laporannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya
4
-
Kasian pada Anak
-
Ada harapan suami akan berubah
5
Untuk menjaga perasaan anak
6
-
Ingat pada anak
-
Kalau diteruskan akan terjadi perceraian
7
Tidak menjawab (kasus diteruskan sampai kejaksaan dan yang melaporkan bukan korban)
8
-
Karena anak
-
Lebih baik dengan pasangan yang sudah lama
Sumber : data primer hasil wawancara dengan korban KDRT telah diolah kembali
Pada tabel 4.11. dapat dilihat dari informan yang ada, sebagian besar anak menjadi pertimbangan mengapa korban memilih tidak meneruskan proses hukum sampai pada persidangan dan memilih berdamai, serta memaafkan pelaku. Alasan tersebut sangat wajar mengingat didalam budaya masyarakat kita saat ini, apabila seseorang yang masuk penjara dianggap tabu, dan sampah masyarakat. Adanya stigma negatif dari masyarakat bagi para narapidana tersebut tentu akan mengganggu kehidupan sosial para pelaku dan akan berimbas pada keluarga juga. Pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang antara pelaku dan korbannya masih dalam lingkup keluarga dan lebih kecil lagi yaitu lingkup rumah tangga tentu saja stigma negatif yang ditanggung pelaku akan mempengaruhi kehidupan sosial rumah tangga mereka yang nota bene adalah kehidupan dari korban sendiri.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
164
Dengan alasan tersebut maka penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengedepankan penyelesaian secara hukum pidana yang masih mengedepankan sanksi pidana berupa pidana penjara, akan memposisikan korban menjadi korban ganda, di satu sisi harus menanggung kekerasan fisik atau psikis dari pelaku, namun juga secara bersamaan akan menanggung kekerasan psikis yang diakibatkan adanya stigma dari masyarkat akibat penegakkan hukum pidana yang kaku. Penanganan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang berakhir dengan perdamaian antara pelaku dan korban sebenarnya telah membawa suatu dampak yang lebih positif dibanding apabila kasus tersebut dilanjutkan sampai pada persidangan dipengadilan. Dari hasil wawancara dengan dua orang jaksa, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani dan perkaranya dilanjutkan sampai di persidangan mayoritas berakhir dengan perceraian dan adanya rasa saling benci antara pelaku dan korban. Dibandingkan dengan perkara yang berakhir dengan perdamaian seperti yang terlihat dalam tabel 4.12. dibawah ini, hanya dua perkara yang tidak harmonis, dan sisanya yaitu 6 informan atau 75 % menyatakan kehidupan rumah tangganya harmonis dan
menunjukkan adanya
perubahan dari pelaku yang tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga kembali.
Tabel 4.12. keadaan rumah tangga korban dan pelaku setelah proses perdamaian dan pencabutan perkara di kantor polisi No
Keadaan rumah tangga
Informasi
Prosentase
1
Harmonis
6
75
2
Perceraian
1
12,5
3
Pisah ranjang
1
12,5
8
100
Jumlah
Sumber : data hasil wawancara dengan korban KDRT telah diolah kembali
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
165
Dari dua informan yang menyatakan tidak harmonis tersebut satu informan berujung pada suatu perceraian, hal tersebut disebabkan karena adanya rasa malu dari pelaku. Rasa malu tersebut disebabkan oleh penjemputan dikantor pelaku oleh penyidik pada saat proses penyidikan berlangsung. Yang kedua masih belum bercerai namun sudah tidak ada komunikasi dan sudah pisah ranjang, alasannya dikarenakan pelaku malu pada saat dilaporkan telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga oleh penyidik langsung ditahan walalupun hanya satu malam saja. Dua alasan tersebut menunjukkan masih adanya stigma dimasyarakat bahwa orang yang ditahan adalah orang yang bermasalah dan dianggap tidak baik kehidupan sosialnya. Dengan masih adanya stigma bagi orang yang ditahan dirumah tahanan dalam proses hukum, maka dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga harus menerapkan sikap kehati-hatian yang ekstra, agar tujuan yang keempat dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga tercapai, tidak hanya sampai pada tujuan yang ketiga saja. Dalam hukum pidana, apabila perkara tindak pidana sudah dilaporkan maka kecuali delik aduan sudah tidak dapat dicabut kembali. Dalam hukum pidana saat korban atau siapa saja yang melihat suatu tindak pidana kemudian melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi, maka pada saat itulah menjadi kewenangan dari negara untuk memproses hukum suatu perkara tersebut, hak untuk menentukan suatu perkara akan berlanjut atau tidak terhadap suatu tindak pidana yang telah dilaporkan tersebut menjadi beralih ke Negara melalui instrumen penegak hukumnya, tidak berada pada si korban atau pelapor. Korban sebagai pihak yang paling dirugikan dan menderita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentukan langkah-langkah atau menentukan nasib dari perjalanan perkara tersebut. Pengesampingan korban dalam hukum pidana lumrah terjadi sebab menurut Moh. Hatta yang dimaksud Peradilan pidana Indonesia adalah merupakan suatu sistem dalam mempertahankan hukum materiil pidana sebagai suatu sistem, tidaklah mungkin apabila hal tersebut dijalankan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
166
tanpa adanya peran orang didalamnya, karena ruang lingkup dalam menegakkan hukum materiil pidana adalah adanya pelaku penegakkan itu sendiri selain dari pada pelanggar Dari pandangan tersebut cukuplah jelas bahwa dalam hukum pidana dalam penegakkannya cukup adanya elemant penegak hukum dan pelanggar hukumnya, sedangkan yang pihak yang kena pelanggarannya tidak diperhitungkan. Namun dalam perjalannya korban dari kejahatan sekarang sudah mulai diperhitungkan sebagai element yang harus turut dijadikan pertimbangan dalam melakukan penegakkan hukum. Termasuk juga dalam penegakkan hukum kekerasan dalam rumah tangga, faktor korban penting dan cukup diperhatikan, namun masih sebatas terkait dengan perhatiannya dalam rangka penguatan mentalnya saja atau pengembalian keadaan psikologis, dengan adanya perlindungan kepada korban. Namun apabila dicermati hal tersebut juga dalam rangka untuk mengungkap kejadian atau fakta kejadian guna mendukung pembuktian dan membuktikan pelaku bersalah dan kemudian dijatuhi hukuman. Namun perhatian terhadap korban dalam rangka memberikan keadilan yang seadil-adilnya dengan memperhatikan keinginan dari korban masih kurang diperhatikan. Korban kekerasan dalam rumah tangga, setelah melaporkan kejadian yang menimpanya ke Polisi dan kemudian sudah diproses, namun dalam perjalannya sering kemudian berubah pikiran dan hendak menghentikan proses penyidikan yang sedang berjalan. Secara hukum pidana tentu saja polisi tidak dapat menghentikan suatu perkara secara begitu saja. Apabila kita lihat bahwa Penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu apabila dalam kegiatan penyidikan suatu perkara penyidik tidak memperoleh bukti yang cukup untuk diteruskan ke tahan penuntutan, atau peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana dan bisa juga penghentian penyidikan tersebut dikarenakan adanya kepentingan hukum. Penghentian penyidikan demi hukum ini dapat dijumpai atau diatur dalam
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
167
pasal 76, 77, 78 KUHP yaitu apabila nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan karena daluwarsa. Selain dari hal-hal tersebut ada kewenangan dari Kepolisian dalam melakukan penyidikan untuk tidak meneruskan suatu perkara yang sedang dilakukan penyidikan dengan alasan kebijakan atau sering disebut dengan diskresi. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 18 Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundangundangan. Tanpa adanya penyeleksian oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak. Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh polisi menjadi hal yang penting adanya. Pemberian diskresi kepada polisi. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai maka dapat dikatakan bahwa hukum itu hanya memberikan arah pada kehidupan bersama secara garis besarnya saja, sebab begitu ia mengatur hal-hal secara sangat mendetail, dengan memberikan arah langkah-langkah secara lengkap dan terperinci, maka pada waktu itu pula kehidupan masyarakat akan macet. Maka dari itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
168
yang diperlukan dan memang diberikan oleh hukum itu sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ada dimasyarakat. Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan
berkuasanya
kepolisian
atau
lembaga
lain
dalam
melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri”. 233 Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto bahwa: Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan diskresi.234 Menurut Thomas Becker dan David L. Carter dalam Anthon F. Susanto bahwa: Keputusan yang tidak terprogram lebih menyerupai perintah khusus. Keputusan ini merupakan keputusan dengan tujuan khusus yang sering membutuhkan kreativitas dan penilaian dalam tingkat yang lebih besar. Meskipun masih ada batas-batas dalam perilaku
233 234
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, (Bandung: Refika Aditama , 2004), hal 97 Ibid, hal 98 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
169
personel, batas tersebut jauh lebih longgar sehingga mengijinkan lebih banyak pengambilan diskresi.235 Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka: Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:236 1.
Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.
Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.
Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar .
4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak. Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang
235
Ibid, hal 98 Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, MABESPOLRI, (Jakarta: 2002), hal 132 Universitas Indonesia 236
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
170
diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan pertimbanganpertimbangan sebagai berikut:237 a.
Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.
b.
Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
c.
Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada sematamata menggunakan hukum positif yang ada.
d.
Atas kehendak mereka sendiri.
e.
Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan mempermudah polisi
didalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan didalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya. Di Polres Dompu sendiri dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga sangat memperhatikan keinginan dan rasa puas dari korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk memberikan rasa keadilan yang setepat mungkin dari perpsektif korban dan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut maka langkah yang dilakukan oleh penyidik UPPA apabila ada laporan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga maka, akan memberikan nasehat-nasehat, dan motivasi serta memberikan pilihan kepada korban untuk menentukan apakah proses hukum akan dilanjutkan atau sampai dipenyidikan saja. Apabila korban memilih untuk menghentikan proses penyidikan yang sedang
berjalan maka langkah yang bisa dilakukan
adalah pelaku dan korban membuat surat pernyataan damai yang diketahui oleh Lurah atau kepala Desa dimana pelaku dan korban berdomisili serta disaksikan oleh tokoh masyarakat atau tetangga dari korban dan pelaku. Setelah membuat pernyataan damai tersebut maka kemudian korban membuat surat pencabutan laporan ke Polisi.
237
M. Faal, Op.cit, hal 74 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
171
Di Polres Dompu memang dikenal adanya penyelesaian perkara dengan cara Alternatif Dispute Resolusion (ADR). ADR ini juga digunakan dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang masuk di Polres Dompu. Dasar penggunaan ADR dalam menyelesaian kekerasan dalam rumah tangga tersebut adalah surat telgram dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat, No Pol : STR/1579/XII/2009 tanggal 23 Desember 2009, dimana dasar dikeluarkan surat tersebut berdasar surat dari Kapolri No Pol :B/3022/XII/2009/SEEOPS
tanggal
14
Desember
2009
perihal
Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolation (ADR). Dalam surat tersebut suatu kasus dapat diselesaikan dengan ADR adalah perkara-perkara dengan kriteria : -
Kasus Pidana yang mempunyai kerugian materi atau ekonomi sangat kecil,
-
Kasus pidana yang diselesaikan dengan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara,
-
Penyelesaian ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat,
-
Penyelesaian dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat yang berlaku serta asas keadilan. Dengan sistem ADR, tersebut merupakan penyelesaian masalah
sosial yang dilakukan dengan cara penyelesaian selain dengan proses hukum atau non litigasi yang antara lain dengan cara perdamaian. Hal ini dilakukan adalah dalam rangka untuk menjawab penerapan hukum yang selama ini terkesan kaku. ADR merupakan penyelesaian non litigasi, atau bukan proses hukum, padahal di Polres Dompu untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diselesiakan dengan perdamaian antara pelaku dan korban adalah sudah masuk pada ranah hukum dengan dilaporkan peristiwa tersebut dan kemudian dengan dimulainya penyelidikan atau penyidikan. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut maka di Polres Dompu Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
172
dibuatkan surat pencabutan laporan yang dibuat oleh si pelapor (korban). Pencabuatn laporan tersebut kemudian akan dilaporkan kepada atasan dan atasan akan mengambil kebijakan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan atau tidak diteruskan dan dinyatakan selesai. Selama ini dalam menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga, selain memperhatikan hak-hak korban dan keinginan korban, langkah yang ditempuh adalah dalam menangani perkera kekerasan dalam rumah tangga seminimal mungkin untuk tidak menahan pelaku atau tersangka, hal tersebut untuk meminimal terjadinya akibat yang lebih komplek terhadap keadaan rumah tangga antara pelaku dan korban, sebagaimana yang terjadi pada dua rumah tangga, sebagaimana penuturan para pelaku karena penanganan polisi yang mencemput di kantor dan yang satu dikarenakan ditahan semalam walaupun sudah berdamai namun rumah tangga mereka berujung pada perpisahan. Di Polres Dompu sejak Januari 2011 untuk mengantisipasi penunggakan perkara terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mencapai 37,7% dari tahun 2005 sampai tahun 2010 maka dibuat suatu kebijakan, untuk setiap laporan terjadinya tindak pidana tidak serta merta dibuatkan laporan polisinya namun dibuat surat pengaduan terlebih dahulu dengan ditindak lanjuti berupa surat perintah penyelidikan, setelah dianggap cukup alat bukti dan para pihak tidak berdamai dan korban tetap menghendaki diteruskannya proses hukum yang telah menimpanya maka dibuatkan surat perintah penyidikan. Tunggakan penanganan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2010 yang sampai menyentuh angka 37,7 % tersebut dikarenakan banyak dari korban dan pelaku sudah berdamai dan tidak menghendaki perkaranya diteruskan namun tidak melaporkan hal tersebut ke pihak penyidik dan pada saat dipanggil untuk datang ke Kantor Polisi mereka tidak memenuhinya atau tidak datang. Dengan kebijakan yang diambil oleh Polres Dompu dalam menanganai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, dari sudut pandang hukum pidana saat ini memang tidak dapat dibenarkan, karena Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
173
secara hukum pidana untuk tindak pidana yang bukan delik aduan tidak dapat dicabut laporannya dan tetap harus diproses secara hukum. Dan apabila Polres Dompu memilih langkah diskresi yang merupakan kewenangan seluruh anggota polisi yang mempunyai kewenangan umum. Dalam dikresi untuk kepentingan umum tersebut anggota polisi dapat bertidak sesuai dengan penilaiannya sendiri dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pasal 18 ayat (1) undang-undang Kepolisian tersebut sebenarnya menunjukkan kemandirian dari tiap anggota polisi dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam melaksanakan diskresi tersebut anggota polisi dibatasi oleh kepentingan umum, dimana dalam pasal 1 angka 7 yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri. Dengan pembatasan tersebut maka dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga menjadi sangat mustahil untuk diselesaikan dengan jalan diskresi. Walaupun kebijakan yang dilakukan oleh Polres Dompu tersebut dalam hukum pidana belum bisa terakomodir namun dari perspektif hukum pidana lebih memenuhi rasa keadilan bagi para pihak dan masyarakat. Dengan dibuktikannya keadaan rumah tangga mereka yang tetap harmonis dan menunjukkan perbaikan serta masih bisa diterimanya mereka ditengah-tengah masyarakat.
B. Peranan dan Kebijakan Kejaksaan Negeri Dompu dalam Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada saat suatu perkara sudah dilimpahkan oleh Penyidik ke Penuntut Umum, dimana berkas perkara dan tersangka juga dilimpahkan maka kewenangan untuk proses selanjutnya adalah ada pada Penuntut Umum. Setelah berkas dan tersangka dilimpahkan ke Penuntut Umum maka kemudian berlaku pasal 139 KUHAP yang berbunyi “setelah penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidikan ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
174
Bunyi pasal tersebut memberikan kewenangan penuh kepada Penuntut Umum untuk menentukan sikap terhadap berkas perkara yang ada padanya, apakah akan diteruskan ke sidang pengadilan atau tidak. Dalam perkembangannya ada dua kemungkian suatu berkas perkara tidak diteruskan ke sidang pengadilan oleh Penuntut Umum yaitu dengan cara penghentian penuntutan dan yang kedua dengan cara deponering (penyampingan) perkara. Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara. Penghentian Penuntutan sebagaimana yang termuat dalam pasal 140 ayat (2) huruf a yaitu dikarenakan tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Untuk perkara yang ditutup demi hukum merujuk pada pasal 76, 77, 78 KUHP yaitu apabila nebis in idem, tersangka meninggal dunia, dan karena daluwarsa. Sedangkan masalah penyampingan (deponering) perkara, diakui dalam penjelasan pasal 77 KUHAP yang menyebutkan “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Sehingga dalam KUHAP sendiri mengakui adanya deponering yang merupakan kewenangan dari Jaksa Agung. Penyampingan perkara atau deponering yaitu apabila perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa dimuka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum dengan suatu alasan demi kepentingan umum. Dan hak penyampingan perkara ini adalah kewenangan dari Jaksa Agung untuk mengambil keputusannya.238 Selain dalam penjelasan pasal 77 KUHAP mengenai penyampingan perkara atau deponering ini juga disebutkan dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentan Kejaksaan Republik Indonesia pasal 35 huruf c. Yaitu 238
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal 437 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
175
Jaksa Agung salah satu tugas dan wewenang adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum sebagaimana bunyi penjelasan pasal 35 huruf c adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga yang sudah masuk pada ranah penuntutan tentu saja, tidak begitu saja bisa dilakukan penghentian penuntutan, walaupun si korban menghendaki dan antara si korban dan pelaku sudah ada perdamaian. Setiap berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap maka penuntut umum akan segera melimpahkan ke pengdilan untuk disidangkan. Apabila korban sudah berdamai dengan pelaku dan hendak menghentikan proses hukum yang sudah berjalan tersebut, menurut hukum pidana saat ini yang berlaku tidak bisa dilakukan. Walaupun di kejaksaan dikenal adanya penyampingan perkara demi kepentingan umum, namun hal tersebut adalah hak mutlak dari Jaksa Agung, beda dengan diskresi dari Polri, dimana dapat dilakukan oleh pejabat kepolisian, yang maknanya lebih luas dan dapat dilakukan selain oleh Kapolri. Untuk menghentikan penuntutan melalui penyampingan perkara demi kepentingan umum, apabila diterapkan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tentu saja tidak bisa, karena kekerasan dalam rumah tangga buka di ranah kepentingan umum, namun lebih pada kepentingan privat yaitu korban dan pelaku, dan kemudian apabila hal tersebut bisa dilakukan pun waktunya akan cukup lama mengingat kewenangan penyampingan perkara hanya milik Jaksa Agung, tentu saja akan melanggar asas peradilan yang cepat, biaya murah. Apabila kita melihat di Amerika adanya “plea bergaining system”, dalam penyelesaian suatu perkara pidana adanya adanya negosiasi antara penuntut umum dengan terdakwa, yang pada prinsipnya negosiasi tersebut Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
176
negosiasi harus berlandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana. Apabila proses tersebut selesai dengan cepat maka akan memperingan penderitaan dari pelaku, korban dan keluarga korban dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Di Kejaksaan sebenarnya praktek plea bergaining sudah terjadi walaupun tidak dituangkan secara tertulis, misalnya pada perkara penganiayaan, perkara kelalaian yang menyebabkan luka atau meninggal, dimana terdakwa akan ditanya mengenai penyesalannya dan bersedia meminta maaf dan memberikan ganti rugi atau tidak, sebenarnya praktek yang terjadi tersebut merupakan adanya kemiripan dengan plea bergaining. Kejaksaan dalam rangka mengakomodir keinginan korban yang hendak menghentikan proses penuntutan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang sedang berjalan dimana antara pelaku dan korban sudah ada perdamaian adalah dengan cara memperingan tuntutan pidananya. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, yang ditujukan kepada para Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia, nomor B-1241/E/EJP/06/2010 tanggal 18 Juni 2010, perihal Rencana Tuntutan Pidana Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam surat edaran tersebut adalah berisi himbauan kepada Jaksa selaku Penuntut Umum agar pada saat meminta petunjuk tuntutan supaya Jaksa penuntut umum memberikan informasi yang jelas mengenai kasus posisi secara lengkap dan jelas tentang penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Selain itu Penuntut Umum juga diharuskan melihat keadaan rumah tangga pelaku dan korban, yang pelaku dan korbannya adalah suami istri, apakah mereka masih dalam ikatan suami istri, serta apakah suami atau istri telah memaafkan perbuatan pelaku, keadaan itu perlu diketahui Penuntut Umum sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan tuntutan kepada pelaku. Hal tersebut diperlu dan penting
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
177
diperhatikan karena jangan sampai terjadi akibat tuntutan yang berat terhadap pelaku, justru akan memperburuk keadaan rumah tangga mereka. Di Kejaksaan Negeri Dompu perkara yang masuk dan dilimpahkan oleh penyidik ke Penuntut Umum berdasarkan tabel 4.13. dibawah ini
Tabel 4.13. data perkara di Kejaksaan Negeri Dompu
No
Tahun
Jumlah SPDP
P - 21
Limpah PN
1
2005
1
1
1
2
2006
6
4
4
3
2007
4
-
-
4
2008
4
1
1
5
2009
17
13
11
6
2010
10
5
5
Sumber : data dari buku register Kejaksaan Negeri Dompu telah diolah kembali
Dari data tersebut memperlihatkan adanya fluktuaktif naik turun perkara yang masuk di Kejaksaan Negeri Dompu, begitu pula perkara yang dinyatakan lengkap (P-21) oleh Penuntut umum pun menunjukkan naik turun. Dari data yang terlihat perkara-perkara yang oleh Penyidik dilimpahkan ke Penuntut Umum pun tidak semuanya dinyatakan lengkap ada perkara yang belum lengkap (P-18, P-19) yang kemudian dikembalikan perkara tersebut oleh Penuntut Umum untuk dilengkapi. Tidak adanya batas waktu yang jelas dalam KUHAP apabila suatu perkara pidana diberi pentunjuk oleh Penuntut umum tidak jarang suatu perkara bisa berbulan-bulan tidak kembali lagi untuk dilengkapi oleh penyidik dan bahkan tidak kembali lagi dan tidak ada kejelasan. Namun dalam hukum pidana tidak ada dampak hukum seperti halnya apabila penuntut umum tidak memberikan petunjuk atau mendiamkan suatu perkara yang telah dilimpahkan berkasnya ke Penuntut umum dan penuntut umum tidak memberikan sikap selama 14 hari maka berkas tersebut dinyatakan lengkap. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
178
Kejaksaan yang berperan sebagai Penuntut Umum, maka tugasnya dalam penegakkan hukum apabila mendapatkan pelimpahan perkara tindak pidana termasuk perkara kekerasan dalam rumah tangga maka yang akan dilakukan adalah meneliti kelengkapan berkas perkara tersebut, dan apabila dirasa cukup alat buktinya maka akan melimpahkannya ke Pengadilan untuk disidangkan. Pada saat Penuntut Umum meyakini bahwa perkara tersebut sudah lengkap dan layak untuk dilimpahkan ke Persidangan tentu saja tugas yang kemudian harus dipikul adalah untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah dan membacakan tuntutan. Seorang penuntut umum dalam melaksanakan tugasnya dibebani untuk bisa membuktikan perkara yang sudah dinyatakan lengkap untuk dibuktikan dipersidangannya dan diakhiri dengan pembacaan tuntutan dan pada akhirnya melaksanakan putusan hakim setelah mempunyai kekuatan hukum tetap suatu putusan. Di Kejaksaan Negeri Dompu dalam menangani perkara kekerasan dalam rumah tangga dari dua informan yang berhasil diwawancarai memberikan jawaban bahwa penerapan pidana penjara masih dominan. Pidana penjara yang banyak dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah antara 5 bulan sampai 1 tahun. Dalam menentukan tinggi rendahnya tuntutan pidana penuntut umum tentu saja mengacu pada surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yaitu mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan, ada tidaknya perdamaian antara pelaku dan korban serta apabila suami istri apakah mereka masih dalam satu ikatan perkawinan. Dari hal tersebut sebenarnya penuntut umum ada kemungkinan untuk memberikan tuntutan serendah-rendahnya, namun dalam prakteknya apabila perkara sudah sampai pada penuntut umum tidak ada antara pelaku dan korban yang hendak berdamai justru keadaan lebih diperparah dengan munculnya pihak ketiga misalnya keluarga dan LSM yang sering membuat keruh suasana. Dari informasi dari korban yang perkaranya dilimpahkan ke Penuntutan mengatakan sebenarnya masih akan mempertahankan kehidupan rumah tangganya, namun pihak keluarga tidak menghendakinya dan melarang. Keadaan-keadaan tersebut yang membuat apabila perkara sudah sampai pada penuntutan maka sangat jarang terjadi Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
179
yang tidak cerai, di Kejaksaan Negeri Dompu hanya ada satu perkara yang tidak bercerai hal tersebut dikarenakan bukan korban yang melaporkan namun keluarga korban, dan korban memilih tetap hidup satu rumah dengan pelaku dan keluarga pelaku. Berdasarkan KUHP pemidanaan dapat berupa pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda; sedang pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Selain hal tersebut pidana yang dapat diterapkan kepada terdakwa adalah pidana bersyarat, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. Dalam penanganan perkara kekerasan dalam rumah tangga tentu saja dalam pembacaan tuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum mengacu pada sanksi pidana yang ada pada pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Pemidanaan yang dapat dikenakan bagi si pelaku adalah pemidanaan yang berupa penjara, denda, dan adanya pidana tambahan yang berupa : pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; kemudian dapat juga berupa penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu. Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga tersebut Pemidanaannya yang termuat dalam pasal 44 sampai dengan pasal 49, pemidanannya bersifat alternatif, jadi terdakwa bisa dijatuhi hukuman penjara atau denda saja. Dengan bunyi redaksi dalam pasal tersebut Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
180
memberikan peluang kepada penegak hukum baik Penuntut Umum maupun Hakim untuk memilih pidana yang seperti apa yang pas terhadap terdakwa setelah melihat dan mengetahui fakta-fakta terjadinya kekerasan dalam rumah tangga selama proses sidang. Pemidanaan yang bersifat alternatif dalam pasal-pasal UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga tersebut sebenarnya telah memberikan peluang atau celah bagi penuntut umum untuk dapat mengakomodir keinginan dari korban yang hendak menghentikan proses hukum yang sedang berjalan karena sudah adanya perdamaian antara pelaku dan korban, serta adanya korban dan pelaku yang hendak tetap mempertahankan rumah tangganya untuk membentuk rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Cara mengakomodir keinginan korban tersebut adalah dengan memberikan tuntutan yang berupa denda saja kepada pelaku, sehingga pelaku tidak merasa harus malu dikarenakan tidak perlu masuk penjara, dengan jalan itu rumah tangganya tetap bisa terjaga keharmonisannya dan tentu saja anakanaknya tidak perlu merasakan stigma negatif dari masyarakat dikarena orang tuanya masuk penjara serta masih dapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Langkah yang kedua yang bisa dilakukan oleh Penuntut Umum adalah dengan memberikan pidana penjara seminimal mungkin, misalnya dengan menuntut terdakwa dengan pidana bersyarat, sebagaimana ketentuan pasal 14a ayat (1)KUHP. Dalam pasal 14a ayat (1) KUHP mengandung syarat umum dan khusus, syarat umum yaitu terdakwa tidak akan melakukan perbuatan pidana selama masa tertentu yang telah ditetapkan dan syarat umum misalnya dengan pemberian ganti rugi kepada korban. Selain memberikan tuntutan pidana bersyarat seperti tersebut diatas penuntut umum dapat sekaligus memberikan pengertian-pengertian kepada terdakwa agar tetap menjaga keharmonisan rumah tangganya serta tidak mengulangi perbuatannya tersebut. Dua langkah tersebut yang dapat digunakan oleh Penuntut Umum apabila
antara
pelaku
dan
korban
sudah
berdamai
dan
hendak
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
181
mempertahankan rumah tanggganya tetap harmonis, sebab ketentuan pasal 82 KUHP perkara kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam UU PKDRT tidak masuk dalam kualifikasi syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut. Namun menurut pendapat saya langkah yang kedua lebih efektif sebab memberikan efek jera kepada pelaku dan adanya ancaman hukuman yang akan tetap dijalani dikemudian hari apabila mengulangi perbuatan pidananya lagi. Sehingga hal tersebut membuat pelaku atau terdakwa untuk tidak mengulangi perbuatan pidananya lagi. Sedangkan langkah yang pertama, denda yang dibayarkan tentu saja uangnya berasal dari korban juga, tentu saja hal ini juga akan membebani korban untuk membayar denda tersebut. Penuntut Umum sebenarnya diberikan jalan untuk menyelesaikan perkara diluar pengadilan sebagaimana ketentuan pasal 82 KUHP. Bahwa penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan yang dapat dilakukan oleh penuntut umum yang tentunya hanya ditujukan kepada tindak pidana yang diancam dengan denda saja, dengan syarat :239 a. jenis tindak pidana adalah pelanggaran b. pelanggaran atas tindak pidana ini oleh UU diancam dengan sanksi denda c. pelaku berkenan membayar denda maksimum dengan suka rela d. Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku e. ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu jika dirumuskan dalam aturan undang-undang dapat dilaksanakan oleh penuntut umum atau dapat dikonversi kedalam sejumlah uang dengan taksiran yang ditentukan oleh undang-undang f pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau recidive. Namun ketentuan pasal 82 tersebut tentu saja tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, yang dikarenakan ketentuan dalam UU PKDRT sendiri sanksi pidananya tidak hanya saksi yang berupa denda saja namun ada sanksi pidana penjara, 239
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, dasar penghapus, peringan dan pemberat pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal 37 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
182
sehingg langkah penyelesaian diluar sidang tidak bisa dilakukan oleh Penuntut Umum. Rancangan KUHP pada pasal 145 huruf d juga telah memberikan angin segar bagi penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dimana dalam pasal tersebut disebutkan penyelesaian diluar proses yang merupakan salah satu hal yang dapat menggugurkan kewenangan penuntutan. Lebih lugas lagi apa yang termuat dalam RKUHAP pada pasal 42 ayat (2,3 dan 4) yang merumuskan sebagai berikut :240 (1) Penuntut Umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat (2) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika : a.
tindak pidana yangn dilakukan bersifat ringan
b.
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
c.
tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda
d.
umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana diatas 70 (tujuh puluh) tahun dan/atau
e.
kerugian sudah diganti
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Penuntut Umum sebagai penegak hukum yang bertugas mewakili negara memperjuangkan keadilan terhadap korban dan masyarakat, tentu saja dituntut untuk dapat menyelesaikan perkara setepat mungkin yang benarbenar memberikan keadilan kepada korban. Dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga Penuntut Umum seharusnya bisa memberikan nasehat kepada terdakwa pada saat pelimpahan tahap ke dua dari penyidik, untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak mengulangi perbuatannya tersebut. Pada saat tahap 2 dari penyidik tersebutlah proses 240
Eva Achjani Zulfa, op.cit, hal 42 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
183
negosiasi antara terdakwa dan penuntut umum bisa mulai dilakukan dan apabila terdakwa bersedia maka penuntut umum bisa memberikan tuntutan yang serendah-rendahnya atau dengan memberikan tuntutan denda saja. Walaupun menurut penulis tuntutan serendah-rendahnya lebih tepat misanya dengan tuntutan percobaan, sehingga ada pengikat untuk terdakwa apabila mengulangi perbuatannya pada syarat waktu yang telah ditentukan bisa diputus oleh hakim untuk menjalani pidananya.
C. Konsep Restorative Justice dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga di masa mendatang Dalam paparan sub bab diatas terlihat bahwa penegakkan hukum untuk perkara kekersan dalam rumah tangga terutama yang sudah sampai pada Penuntut Umum lebih mengedepankan pendekatan pemidanaan sebagai sarana menyelesaikan permasalahan tersebut hal tersebut tentu dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga tampak jelas bahwa aturan-aturan yang ada masih dijiwai oleh pandangan dan semangat retributif. Akibatnya aspek korban menjadi tidak diperhatikan, baik dalam penentuan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan maupun dalam proses penyelesaian perkarannya. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Penerapan hukuman badan yang berupa penjara, terutama penjara yang singkat waktunya mengandung kelemahan yaitu antara lain : -
Relasi sosial yang demiliki terpidana dapat terputus atau setiadaknya terganggu; hilangnya pekerjaan; gangguan terhadap hubungan keluarga;
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
184
menyulitkan dibangunnya relasi-relasi sosial baru karena merupakan “bekas nara pidana” -
Waktu pemidanaan terlau singkat, baik untuk dapat memberikan pengaruh positif bagi terpidana maupun untuk menjalankan pross resosialisasi;
-
Perkenalan dengan penjara membuka kemungkinan terpidana tercemar oleh perilaku kriminal terpidana lainnya. Lebih jauh lagi dapat terjadi penjara tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi terpidana;
-
Menghindari penggunaan pidana badan singkat dapat menghemat pengeluaran biaya karena pelaksanaan pidana penjara dalam dirinya sendiri memakan biaya cukup tinggi;
-
Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk melaksanakan pidana penjara tidak sebanding dengan efek pidana yang diharapkan. Melihat bahwa pidana badan
singkat
mengandung
banyak
kelemahan,
maka
tidak
mengherankan apabila PBB, dalam konggres di London pada tahun 1960, dan Dewan Eropa mengajukan usulan kepada seluruh negara anggotanya untuk membatasi sejauh mungkin penggunaan pidana badan singkat. Menurut talcott Parsons, fungsi hukum bersifat integratif. Fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Teori-teori “restorative Justice “ (keadilan restoratif) yang dilandasi oleh teori-teori tentang Hak Asasi manusia dikorelasikan dengan penanganan perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga yang bertujuan untuk menghasilkan produk hukum yang berakhir dengan restorative justice yang dapat memberikan pemulihan secara utuh pada penyelesaian perkara sekaligus sebagai implementasi perlindungan hak asasi manusia. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasarkan oleh ide keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
185
korban. Meskipun demikian, pelibatan korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak dilakukan untuk semua kasus melainkan hanya untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan penderitaan fisik dan psikis yang bersifat ringan, kekerasan seksual diantara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun argumentasi dari pemikiran tersebut adalah :241 a.
Kepentingan negara untuk menjaga atau memelihara kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih besar dibandingkan dengan
kepentingan
individu
untuk
tetap
mempertahankan
keberlangsungan rumah tangganya. b.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat dipulihkan
c.
Kepentingan individu (keluarga) untuk menyelesaikan persoalan yang timbul diantara mereka tidak dengan menggunakan hukum pidana pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan, kekerasan seksual diantara suami-istri serta penelantaran rumah tangga dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual diantara suami-istri tersebut sebagai tindak pidana aduan. Pasal 51, pasal 52, dan pasal 53 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menentukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan
sehari-hari (dengan kata lain adalah kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat yang bersifat ringan), kekerasan seksual diantara 241
G. Widiartana, Op.cit hal 81-82 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
186
suami-istri, dan penelantaran rumah tangga merupakan delik aduan. Dengan ditentukan sebagai delik aduan, maka segala konsekuensi yang terkait dengan delik aduan akan melekat pada penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu itu, yaitu : -
Kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu hanya dapat diproses menurut hukum pidana jika ada pengaduan;
-
Hanya pihak-pihak yang telah ditentukan dalam undang-undang saja yang dapat mengajukan pengaduan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu tersebut;
-
Pengaduan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu itu dapat dicabut dengan konsekuensi jika sudah dicabut maka tidak dapat diadukan kembali. Penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
di kabupaten Dompu oleh dua institusi penegak hukum yaitu Kepolisan dan Kejaksaan sebenarnya sudah berusaha untuk mengakkomodir kebutuhan dilapangan dengan memberian petunjuk-petunjuk kepada penegak hukumnya dalam menjalankan tugasnya terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Untuk di Kepolisian sikap kehati-hatian adalah adanya petunjuk untuk diselesaikannya kasus dengan cara ADR bagi kasus yang menimbulkan kerugian yang sangat kecil dan supaya penyelesaiannya dengan dilakukan secara musyawarah mufakat antar pihak serta disaksikan oleh tokoh masyarakat, dan petunjuk tersebut pun dapat diterapkan dalam penananganan kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan di Kejaksaan sendiri khusus untuk perkara kekerasan dalam rumah tangga, ada surat edaran dari Jaksa Agung Tindak Pidana Umum, supaya Penuntut Umum memberikan gambaran secara jelas mengenai kasus posisinya perkara tersebut, kemudian supaya diperhatikan juga ada tidaknya hal yang dapat mempengaruhi tuntutan yaitu masih terikat dalam hubungan suami istri tidak, serta adanya perdamaian antara pelaku dan korban atau tidak. Hal tersebut perlu diperhatikan agar dalam memberikan tuntutan jangan sampai justru akan memperburuk keadaan rumah tangga antara pelaku dan korban. Sehingga dari dua hal tersebut sebenarnya dua Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
187
instansi penegak hukum tersebut sudah mulai sejalan dengan ide-ide penyelesaian secara restoratif justice. Dimana dalam paham restorative justice yang utama adanya pemulihan keadaan seperti sedia kalau, yaitu pemulihan keadaan korban. Oleh karena itu tinggal dicari model yang sesuai dengan keadaan sistem hukum di Indonesia. Model restorative justice di negara-negara common law sangatlah beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan, penggunaan proses restorative justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda, adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi ataupun udaha untuk meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan. Contohnya, pelaku kejahatan di Inggris dan Wales diberikan kesempatan melakukan pertemuan mediasi dengan korbanya, karena hanya bentuk itulah yang dapat diupayakan untuk mencapai suatu perbaikan, dan hal tersebut dapat terlaksana apabila ada peran serta dari korban. Jim Dignan berpendapat bahwa model restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu sendiri, fokus pada praktek restorative justice di lapangan, dan hubungan antara inisiatif restorative justice dengan sistem peradilan pidana242 Selain pandangan Jim Dignan mengenai model restorative justice, John Braithwaite mempunyai pandangan 2 model restorative justice, yaitu a partiallly integrated ‘twin-track’ model of restorative justice dan a systemic model of restorative justice. Kedua model tersebut oleh John Braithwaite digambarkan dengan diagram sebagai berikut :243 -
A partiallly integrated ‘twin-track’ model of restorative justice, John Braithwaite dalam model ini menggambarkan bahwa proses restorative justice berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan pencegahan dan bukannya berjalan bersamaan dalam satu prinsip restorative justice. Maka dari itu, fundamental restorative justice hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad baik, sehingga
242 243
Ridwan Mansyur, Op.cit, hal 128-130 Ibid, hal 130-133 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
188
tidak semua pelaku kejahatan dapat masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi yang berasaskan restorative justice. Bagi pelaku yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah mengantisipasinya dengan menggunakan prinsip “active deterrence”. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari model ini adalah lebih cenderung mengarah pada penghukuman bagi pelaku kejahatan daripada penyelesaian berdasarkan restorative justice. -
A systemic model of restorative justice, model ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan di dalam sistem peradilan pidana pada model ini pertama kali dapat dilakukan di Kepolisian maupun
badan
yang
berwenang,
seperti
kejaksaan
ataupun
pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban ataupun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Fundamen dari model ini adalah informal restorative justice yang diperuntukkan bagi semua pelaku kejahatan. Sedangkan bagi pelaku kejahatan yang sulit untuk diajak kerjasama dalam bernegosiasi ataupun korban yang tidak mau melakukan negosiasi dalam restorative justice, perlu dilakukan “upaya paksa” dengan menggunakan jalan pengadilan yang bentuknya adalah penetapan untuk restorasi. Bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis, tetap harus menggunakan ‘daya paksa’ yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan-lah yang dapat diberikan. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
189
Sifat konsolidatif dari penyelesaian melalui pendekatan restorative justice diwujudkan di dalam dialog antara pihak terkait, yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “musyawarah
untuk
mufakat”. Musyawarah merupakan bentuk dari nilai-nilai kebiasaan yang hidup dalam tubuh masyarakat Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai suku, musyawarah tampaknya menjadi jalan bagi penyelesaian segala sengketa di antara mereka. Mengingat secara kultural, masyarakat sudah menjadi hal yang biasa dilakukan di kalangan masyarakat Indonesia, seharusnya musyawarah dapat dimasukkan ke dalam bagian dari sistem peradilan Pidana Indonesia, terutama dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam
rumah
tangga
yang
membutuhkan
perspektif
privat
dalam
penyelesaiannya. Secara teori, terdapat berbagai macam bentuk musyawarah yang dapat diterapkan dalam konteks ini, antara lain negosiasi, mediasi, dan konsolidasi. Dari ketiga bentuk musyawarah ini, tampaknya negosiasi merupakan jalan yang paling baik, dipandang dari sisi penyelesaian internal kekeluargaan, karena perkara kekerasan rumah tangga tentu akan membuka peluang untuk mengungkapkan hal-hal yang dianggap aib di dalam keluarga. Secara kultural dalam masyarakat Indonesia pun hal-hal yang dianggap aib oleh keluarga masih merupakan hal tabu untuk dikemukakan di hadapan umum. Akan tetapi metode yang akan diterapkan disini tentu saja harus disesuaikan dengan sistem peradilan yang ada, sehingga tidak terbentuk penyimpangan yang besar antara memberlakukan metode penyelesian dengan sistem peradilan yang eksis.244 Meskipun demikian, di dalam prakteknya keberhasilan pencapaian keadilan yang restoratif tidak sepenuhnya bergantung pada sistem itu sendiri tetapi juga unsur-unsur pelaksana dalam sistem tersebut. Dengan kata lain, meskipun sistem telah mengatur mengenai penyelesaian dengan cara musyawarah , apabila unsur pelaksana dari sistem, misalnya korban, tidak berpartisipatif maka tidak pernah akan terjadi penyelesaian masalah. Hal ini tampak nyata pada data statistik yang dikemukakan oleh Umbreti dan Robert, yang mengatakan bahwa hanya 7 persen dari seluruh kasus yang muncul di 244
Ridwan Mansyur, op.cit, hal 242 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
190
tahun 1993 di Inggris yang menggunakan metode mediasi. Begitu juga menurut Holdaway, yang mengatakan bahwa sejak dikeluarkannya undangundang mengenai crimie and disorder tahun 1998 di Inggris hanya 9 persen dari seluruh kasus yang ada yang terlibat di dalam mediasi antara korban dan pelaku kejahatan yang berusia muda. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya partisipasi dari korban itu sendiri, hal yang bertolak belakang dengan kenyataan yang terdapat di Australia. Partisipasi unsur pelaksana tersebut dapat terjadi jika ada kesadaran diantara para pihak untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan tujuan keadilan yang restoratif.245 Di lihat dari model yang dipaparkan oleh John Braithwaite di atas tampaknya model kedua lebih sesuai jika dimasukkan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Selain prosedur di dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kewenangan para penegak hukum di dalam sistem tersebut mendukung untuk diberlakukannya model ini. Sistem peradilan Indonesia mengenal pihak-pihak yaitu Penyidik, Penunut Umum, Hakim, Korban, dan Pelaku Kejahatan. Berdasarkan hal tersebut bahwa mediasi dalam sistem peradilan Pidana Indonesia, khususnya dalam penyelesian perkara kekerasan dalam rumah tangga merupakan jalan yang terbaik yang dapat diterapkan. Apabila diihat dari tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagiamana dimaksud di dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004, maka eksistensi mediasi sebagai bentuk penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga menjadi cara dalam mencapai keempat tujuan tersebut, terutama dalam pencapaian tujuan preventif dan konsolidatif. Untuk itu, sudah seharusnya apabila sistem peradilan Pidana Indonesia sudah menghidupkan mediasi di dalam setiap penanganan perkara, terutama di dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang disebut sebagai pembaharuan hukum yang mencapai keadilan yang diharapkan oleh semua pihak dalam kaitannya dengan lingkup rumah tangga, terutama perkara kekerasan dalam rumah tangga.
245
Ibid, hal 247 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
191
Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, apabila dilihat dari pasal-pasal yang ada lebih cenderung penyelesaiannya dengan cara memberikan sanksi pemidanaan baik itu pidana penjara maupun pidana denda, atau dalam bentuk pidana tambahan. Namaun pada intinya adalah dengan memberikan pidana penjara atau denda. Dengan kata lain satu-satunya bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjalani sanksi pidana. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa dampak negatif pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana juga dapat mengenai anggota keluarga dari terpidana, apabila jika terpidana merupakan orang yang menjadi tulang punggung keluarganya. Penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tersebut tentu saja menjadi berbeda dan bertolak belakang dengan ide keadilan restoratif apabila penegak hukumnya dalam menjalankannya secara kaku, karena :246 a.
Dalam keadilan restoratif ada fleksibilitas dalam penyelesaian kasus
b.
Fokus keadilan restoratif adalah perbaikan atau pemulihan pada kerusakan/penderitaan warga masyarakat
c.
Keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk mau memberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atas perbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana
d.
Keadilan restoratif melibatkan korban dan pelaku untuk menilai kerugian yang timbul, sedapat mungkin memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan menciptakan suatu masyarakat yang dicita-citakan
e.
Dalam keadilan restoratif, masyarakat diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam menentukan bentuk pertanggungjawaban pelaku, memberi dukungan kepada korban, dan memberikan kesempatan pada pelaku untuk membayar ganti rugi atas perbuatannya. Di Kabupaten Dompu penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah
tangga sebenarnya sudah mengarah pada konsep restoratif justice, terutama hal tersebut yang dilakukan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, 246
G. Widiartana, op.cit, hal 98 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
192
dimana pada tahap tersebut korban diberikan kesempatan untuk berdamai dengan pelaku, dimana polisi sebagai mediasinya. Dimana di Kepolisian dikenal dengan adanya ADR sebagai jalan untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga. Dari hasil penelitian yang didapat bahwa ternyata penggunaan mediasi sebagai upaya penyelesaian pekara kekerasan rumah tangga lebih efektif dan masih dapat menjaga keharmonisan rumah tangga yang bersangkutan. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Dompu dimana memang perkara yang dilanjutkan merupakan perkara dari penyidik yang sudah tidak ada upaya damai, sehingga hanya ada satu perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan diantara pelaku dan korban yang tidak cerai dengan kata lain selain itu maka rumah tangganya berakhir dengan perceraian. Walaupun di Kejaksaan masih dimungkinkan untuk mengakomodir keinginan dari pelaku dan korban yang akan berdamai dengan memberikan sanksi pidana seminimal mungkin misalnya pidana bersyarat sebagai yang diatur dalam hukum pidana, namun hal tersebut tidak pernah dilakukan di Kejaksaan Negeri Dompu dikarenakan korban memang tidak menghendaki untuk terjadinya perdamaian. Hukum yang ada saat ini memang memberikan celah-celah dalam menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga dengan konsep restoratif justice yang lebih mengedepankan keadilan kepada korban, selain dari pelaku dan masyarakat, namun hal tersebut tidak bisa dilakukan secara maksimal lebih dikarenakan tidak adanya pemahaman tentang konsep restoratif justice tersebut dikalangan aparat penegak hukum, serta piranti aturan yang mengatur secara jelas yang perlu diperbaiki. Apabila kita lihat
dalam rancangan kitab undang-undang hukum
pidana yang akan datang tujuan Pemidanaan adalah (a). mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
(b).
memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (c). menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
193
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan (d). membebaskan rasa bersalah pada terpidana.247 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Maka
dalam
memberikan
pemidanaan
wajib
dipertimbangkan (a). kesalahan pembuat tindak pidana; (b). motif dan tujuan melakukan tindak pidana; (c). sikap batin pembuat tindak pidana; (d). apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; (e). cara melakukan tindak pidana; (f). sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; (g). riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; (h). pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; (i). pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; (j). pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau (k). pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.248 Dalam rancang Kitab undang-undang Hukum Pidana, pidana penjara adalah merupakan alternatif terakhir. Dalam pasal rancangan kitab undangundang hukum pidana disebutkan
pidana penjara sejauh mungkin tidak
dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut: (a). terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun; (b). terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; (c). kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; (d). terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; (e). terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; (f). tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; (g). korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; (h). tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; (i). kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; (j). pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; (k). pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa; (l). penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi
247 248
Pasal 54 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku ke I, versi 2008. Pasal 55 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku ke I, versi 2008. Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
194
sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa; (m). tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau (n). terjadi karena kealpaan.249 Oleh karena itu dengan memperhatikan tujuan dibuatnya undangundang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang tidak sematamata untuk melindungi dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, namun dilain sisi undang-undang tersebut hendak mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera, salah satunya adalah dengan meminimalisir terjadinya perceraian atau berpisahnya kehidupan rumah tangga antara pelaku dan korban, salah satu jalan adalah dengan mendamaikannya dimana korban sebagai penentu dan hal tersebut diatur dalam hukum acara pidana. Asas kekeluargaan yang menjadi inti dalam keadilan restoratif, dapat ditunjukkan dari prinsip-prinsip sebagai berikut :250 1) Penyelesaian konflik dilakukan dengan melibatkan para pihak yang dianggap berkepentingan, yaitu pelaku, korban dan masyarakat. Dalam hal ini posisi para pihak yang berkonflik, yaitu pelaku dan korban adalah untuk berdialog dan ditekankan pada proses negosiasi dalam penyelesaian konflik diantara mereka. 2) Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana berdasar prinsip keadilan restoratif adalah melakukan rekonsiliasi diantara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan. 3) ada keterlibatan secara personal diantara para pihak, yaitu pelaku dan korban (termasuk keluarganya) serta masyarakat dalam penyelesaian kasusnya 4) Kepada pelaku yang tidak
mau bekerjasama dalam proses
penyelesaian harus ditunjukkan mengenai akibat dari perbuatan yang telah mereka lakukan, diajak untuk dapat berempati kepada korban dan didorong untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna
249 250
Pasal 71 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku ke I, versi 2008 Ibid, hal 95 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
195
5) Keadilan restoratif berkehendak untuk membangun suatu masyarakat yang saling mempercayai. Keadilan restoratif, yang mengandung asas kekeluargaan dalam penyelesaian konflik, menjadi semakin layak dipertimbangkan untuk diadopsi dalam penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga karena menurut penelitian Bambang Soetono di Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum adat di kedua wilayah tersebut pada dasarnya juga dilakukan secara kekeluargaan. Bahwa keadilan restoratif memusatkan perhatiannya pada upaya-upaya untk merestorasi/memperbaiki/memulihkan kondisi atau keadaan yang rusak sebagai akibat terjadinya tindak pidana. Adapun yang ingin direstorasi/dipulihkan tersebut bukan saja akibat-akibat yang dialami oleh korban, seperti kerugian materiil dan luka-luka fisik, tetapi sikap dan perilaku si pelanggar hukum serta kerugian-kerugian lain yang harus ditanggung oleh masyarakat.251 Konsep reestoratif justice untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga untuk masa mendatang sangat cocok dan pas, apalagi masyarakat
kita
sudah
terbiasa
dengan
kehidupan
yang
lebih
mengedepankan kearifan dalam bermusyawarah untuk tetap adanya perdamaian antar pihak yang telah selisih paham. Hal itulah yang pas dan cocok untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang ada saat ini, dimana sebenarnya perkara yang melatar belakangi bukanlah perkara yang rumit kebanyakan hanya masalah salah paham dan pengertian saja dan amat sangat sepele.
251
Ibid, hal 96 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam tesis ini, sehingga dapat diajukan beberapa kesimpulan dalam penulisan tesis sebagai berikut : 1. Penegak hukum dalam mengakomodir keinginan korban yang hendak menghentikan proses hukum yang sedang berjalan dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga, dilakukan dengan cara : a. Apabila perkara tersebut masih dalam tahap penyidikan maka yang dapat dilakukan oleh penyidikan apabila ada korban yang hendak menghentikan proses hukum yang sedang berjalan adalah dengan cara penyelesaian melalui media ADR dengan tahap pertama kalinya korban dan pelaku dengan membuat surat perdamaian yang disaksikan oleh aparat desa atau lurah serta disaksikan oleh para tokoh masyarakat atau tetangganya. Kemudian dilanjutkan dengan pencabutan laporan di polisi oleh korban atau pelapor. Dari perkara yang telah masuk di Kepolisian Resort Dompu, 55,6 % telah diselesaikan dengan proses ADR, dimana hal tersebut dilakukan oleh pihak penyidik dikarenakan keinginan dari Korban yang sudah memaafkan pelaku dan untuk menjaga perasaan dan keadaan kejiwaan dari anak-anak dan untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat apabila pelaku masuk penjara. Perkara yang diselesaikan melalui ADR oleh penyidik, merupakan penyelesaian yang memuaskan bagi pelaku dan korban yang ditunjukkan pelaku dan korban yang menjawab puas sampai dengan 69,2%. Dari hal tersebut langkah ADR merupakan langkah yang diinginkan oleh pelaku dan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Penglibatan tokoh masyarakat dan tetangga serta aparat desa atau kelurahan juga sangat membantu untuk meminimalisir pengulangan kembali terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. 196 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
197
Dengan penyelesaian melalui ADR dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga lebih membawa dampak yang positif dan mampu mewujudkan keluarga yang harmonis dan sejahtera. Penyelesaian dengan ADR dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga yang diikuti dengan adanya perdamaian serta pencabutan laporan di Kepolisian oleh Korban mampu memberikan semangat kepada pelaku dan korban untuk tetap mempertahankan rumah tangganya yang sampai dengan 75 % korban dan pelaku menyatakan harmonis setelah adanya perdamaian. Walaupun berakhir dengan perdamaian melalui media ADR, hal tersebut tetap memberikan rasa jera kepada pelaku untuk mengulangi kembali perbuatannya tersebut, dan ada rasa takut dari pelaku apabila akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga akan dilaporkan lagi oleh korban ke Kantor Polisi, karena terlihat laporan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di polres dompu 87,5% pelapornya adalah korban sendiri. b. Apabila perkara sudah dilimpah sampai di Kejaksaan, untuk merespon keinginan dari korban yang hendak menghentikan proses penuntutan setiap perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum hanya dapat ditempuh dengan melalui penyampingan perkara demi kepentingan umum, dan jalan tersebut apabila diterapkan dalam penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga tentu saja sangatlah sulit karena harus adanya kepentingan umum yang melandasi sebagai alasan untuk penyampingan perkara tersebut dan penyampingan perkara demi kepentingan umum tersebut hanya hak dari Jaksa Agung. Penuntut Umum sebagai penegak hukum yang bertugas mewakili negara memperjuangkan keadilan terhadap korban dan masyarakat, tentu saja dituntut untuk dapat menyelesaikan perkara setepat mungkin yang benar-benar memberikan keadilan kepada korban. Dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga Penuntut Umum seharusnya bisa memberikan nasehat kepada terdakwa pada saat pelimpahan tahap ke dua dari penyidik, untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak mengulangi perbuatannya tersebut. Dengan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
198
mengadopsi sistem plea bergaining seperti yang diterapkan di Amerika dengan sedikit modifikasi dapat dilaksanakan oleh Penuntut Umum yaitu pada saat tahap 2 dari penyidik tersebutlah proses negosiasi antara terdakwa dan penuntut umum bisa mulai dilakukan dan apabila terdakwa bersedia berdamai dengan korban dan bersedia meminta maaf serta mempertahankan rumah tangganya dan juga tidak akan mengulami perbuatannya serta syarat-syarat yang diinginkan korban, maka penuntut umum bisa memberikan tuntutan yang serendahrendahnya untuk mengakomodir keinginan dari korban tersebut, sebagaimana KUHP pasal 14a tuntuan yang paling ringan adalah dengan memberikan tuntutan bersyarat serta adanya surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang memberikan rambu-rambu dalam menuntut perkara kekerasan dalam rumah tangga supaya berhatihati jangan sampai tuntutan yang terlalu berat akan memperburuk keadaan dari rumah tangga mereka. Sehingga Penuntut Umum juga diharapkan menggali hal-hal yang dapat mempengaruhi tuntutan yaitu mereka masih dalam ikatan suami-istri atau tidak, dan juga apakah suami atau istri telah memaafkan perbuatan pelaku atau belum. Langkah yang lain yang bisa ditempuh adalah dengan memberikan tuntutan denda saja sebab dalam Undang-udang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sanski pidananya bersifat alternatif, jadi selain pidana penjara penuntut umum bisa memilih pidana denda, walaupun apabila dengan menerapkan pidana denda tentu hal ini juga akan membebani dari korban sendiri. Menurut penulis tuntutan serendahrendahnya lebih tepat sebab dengan memberikan tuntutan bersyarat, maka ada pengikat untuk terdakwa apabila terdakwa mengulangi perbuatannya atau melanggar syarat tertentu yang telah ditentukan bisa diputus oleh hakim untuk menjalani pidananya. 2.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Penegak Hukum tidak sepenuhnya dapat direspon dalam hukum pidana saat ini. Hal tersebut disebabkan hukum pidana saat ini tidak menyediakan ruang bagi penghentian proses hukum yang sedang berjalan dikarenakan korban dan pelaku sudah ada Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
199
kata sepakat dan perdamaian. Dalam hukum pidana setiap laporan polisi yang disampaikan wajib segera diproses dan dilanjutkan ke tahapan berikutnya sampai adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain delik aduan, tidak bisa dihentikan proses yang sedang berjalan dikarenakan adanya kemauan dari korban. Namun dalam kenyataannya ada hal-hal yang disimpangi dalam hukum pidana namun dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, korban dan pelaku. Misalnya di kepolisian dalam menyelesaikan perkara dikenal adanya ADR yang kemudian hal tersebut dapat diterapkan pula dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga, dan dalam kenyataannya mampu memberikan rasa keadilan kepada korban, pelaku dan masyarakat. Di tingkap penuntutan pun keinginan korban yang hendak menghentikan proses hukum yang sedang berjalan tidak dapat direspon sepenuhnya oleh hukum pidana, karena hanya delik aduan yang dapat dihentikan proses penuntutannya dikarenakan adanya keinginan dari korban untuk menghentikan, sedangkan delik atau tindak pidana yang bukan delik aduan tetap akan diteruskan sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun di tingkat penuntutan ini hukum pidana memberikan jalan alternatif yang dimungkinkan dapat memberikan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat dimana korban dan pelaku yang sudah berdamai dan adanya kesepakatan dalam penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga yang sedang dialaminya. Dan apabila jalan tersebut ditempuh maka kehidupan rumah tangga antara pelaku dan korban tetap bisa harmonis dan sejahtera, jalan yang bisa dilakukan adalah dengan pidana bersyarat atau memberikan pidana denda. 3.
Konsep restorative justice dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga di masa datang. Konsep tersebut sebenarnya sudah cukup familier di kehidupan masyarakat Indonesia, yang dalam kehidupannya selalu mengedepankan keselarasan dan keseimbangan. Dimana dalam mencapai keselarasan tersebut masyarakat Indonesia mengedepankan musyawarah mufakat untuk mengakomodir Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
200
kepentingan-kepentingan yang ada sehingga diperoleh jalan yang memberikan rasa keadilan bagi semuanya. Dalam konsep restorative justice yang disampaikan oleh John Braithwaite yaitu dengan A systemic model of restorative justice, model ini menggambarkan model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan di dalam sistem peradilan pidana pada model ini pertama kali dapat dilakukan di Kepolisian maupun badan yang berwenang, seperti kejaksaan ataupun pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban ataupun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Fundamen dari model ini adalah informal restorative justice yang diperuntukkan bagi semua pelaku kejahatan. Sedangkan bagi pelaku kejahatan yang sulit untuk diajak kerjasama dalam bernegosiasi ataupun korban yang tidak mau melakukan negosiasi dalam restorative justice, perlu dilakukan “upaya paksa” dengan menggunakan jalan pengadilan yang bentuknya adalah penetapan untuk restorasi. Bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis, tetap harus menggunakan ‘daya paksa’ yang dilakukan oleh pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi. Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak menginginkan perbaikan bagi dirinya maupun korban, maka hanyalah penahanan-lah yang dapat diberikan. Konsep reestoratif justice untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga untuk masa mendatang sangat cocok dan pas, apalagi masyarakat
kita
sudah
terbiasa
dengan
kehidupan
yang
lebih
mengedepankan kearifan dalam bermusyawarah untuk tetap adanya perdamaian antar pihak yang telah selisih paham. Hal itulah yang pas dan cocok untuk menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga yang ada saat ini, dimana sebenarnya perkara yang melatar belakangi bukanlah perkara yang rumit kebanyakan hanya masalah salah paham dan pengertian saja dan amat sangat sepele. Pengembangan konsep restoratif Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
201
justice tersebut dapat dimulai dari penyidikan dengan adanya ADR dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga dimana penyidik bertindak sebagai mediator dan kemudian adanya pelibata masyarakat dalam mengambil keputusan terhadap penghentian suatu perkara yang dilakuan secara musyawarah antara pelaku, korban dan masyarakat. Sedangkan ditingkat penuntutan konsep restoratif juga dapat diterapkan dengan cara penuntut umum bertindak sebagai mediator antara pelaku dan korban, yaitu pada saat pelimpahan perkara tahap 2 dari penyidik penuntut umum bisa menanyakan kepada pelaku /terdakwa apakah ada niat untuk
meminta
maaf kepada korban dan bersedia tetap
mempertahankan rumah tangganya. Apabila pelaku bersedia dan kemudian korban juga bersedia maka penuntut umum bisa memberikan tuntutan bersyarat atau tuntutan denda saja.
B. Saran 1.
Dalam penanganan perkara kekerasan dalam rumah tangga penegak hukum agar menerapkan kehati-hatian dan memperhatikan hak-hak serta kepentingan korban dengan selalu berinteraksi secara aktif kepada korban sehingga solusi dalam penegakan hukumnya mampu memberikan keadilan dan kepuasan bagi korban sebagai sarana pemulihan keadaan korban.
2.
Agar adanya perubahan pada aturan hukum sehingga dapat memberikan rasa keadilan pada korban, pelaku dan masyarakat dan memberikan jalan bagi korban yang hendak menghentikan proses yang sedang berjalan, hal tersebut misalnya dengan mengubah undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan menempatkan kekerasan dalam rumah tangga yang pelaku dan korbanya adalah suami atau istri agar didahului dengan proses mediasi.
3.
Konsep restorative justice agar kedepannya dapat menjadi jalan dalam menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga, dengan mengembangkan mediasi dalam tiap tahapan proses hukum dari mulai penyidikan sampai pengadilan dalam penyelesian perkara kekerasan Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
202
dalam rumah tangga yang pelaku dan korbannya adalah suami istri dan konsep tersebut bisa diakomodir dalam aturan-aturan hukum pidana yang akan datang.
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
203
DAFTAR PUSTAKA
BUKU : Ali., Achmad. Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicialprudence), Jakarta: Prenada Media Group, 2009 Arief., Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, Yogyakarta: Genta Publising, 2010 Atmasasmita., Romli, System Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cetakan II revisi, Bandung: Bina Cipta, 1996 Amrullah., M. Arief, Politik Hukum Pidana, dalam perlindungan korban kejahatan ekonomi bidang perbankan, Malang: Bayumedia publishing, 2007 Abidin., Zainal, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Peper Advokasi RUU KUHP seri #3, Jakarta: ELSAM, 2005 Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, MABESPOLRI, Jakarta, 2002 Didik M Arief Mansur, Elisatris Gultom., Urgensi Perlindungan korban Kejahatan, antara norma dan realita, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 F.J.H.M van der VEN, Pengantar hukum kerja, Yogyakarta: Yayasan kanisius, 1969 G. Widiartana., Kekerasan Dalam Rumah Tangga (perspektif Perbandingan Hukum, Universitas, Yogyakarta : Atma Jaya, 2009 Harahap., M. Yahya, Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, cetakan ketujuh, 2005 Hamzah., Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Huda., Chairul, Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Jakarta: Prenada Media, 2006 Irianto., Sulidtyowati, & Lidwina Inge Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia dan NZAID, 2006 Ihromi., Tapi Omas, dkk, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni, 2006. J. Supranto., Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Jan Remmelink., Hukum Pidana, Komentar atas pasal-pasal terpenting dari KUHP Belanda dan padananya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departeman Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Mertokusumo., Sudikno, mengenal hukum suatu pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999 Moh. Hatta., system Peradilan Pidana Terpadu (dalam konsepsi dan implementasi), Yogyakarta: Galang Press, 2008 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
204
Muhadar., et al, Perlindungan saksi & korban dalam sistem peradilan pidana, Surabaya: Putra Media Nusa, 2010 Muladi., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 -----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 -----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996 Mansyur., Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010 Moleong., Lexy J. , Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002 Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia , Yogyakarta: Liberty, 1991 M. Faal., Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991 M. Sholehuddin., Sistem sanksi dalam hukum pidana, ide dasar double Trak Sytem dan Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 1977 Pitlo disadur oleh Djasadin Saragih, Suatu Pengantar Asas-asas Hukum Perdata, jilid III, Bandung : Alumni, 1973 Reksodiputro., Mardjono, system Peradilan Pidana Indonesia, peranan penegak hukum melawan kejahatan, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994 --------------, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, 2007 ------------, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan buku kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, 2007 -------------, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, 2007 -------------, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, 2007 R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta: Pradnya Paramita, Tanpa Tahun Terbit Sianturi., S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: alumni Ahaem, Patehaem, 1989 Schaffmeister., Pidana Badan Singkat sebagai Pidana di Waktu Luang (terjemahan oleh :Tristam Pascal Moeliono), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991 Saraswati., Rika, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006 Soeroso., Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta: 2010 Soemitro., Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
205
Simorangkir, J. C. T. Erwin, T. Rudy, dan Preasetyo, J. T., Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Soekanto., Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 -------------,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2007 Suharso, dan Ana Retnoningsih., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Semarang: Widya Karya, 2005 Susanto., Anthon F, Wajah Peradilan Kita, Bandung: Refika Aditama , 2004 Supriyanto Hari, perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, studi hukum perburuhan di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004 Santoso., Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam Konteks Modernitas, Jakarta: Asy-syaamil Press dan Grafika, 2001 -------------, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan atau pergulatan, Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000 Safioedin., Asis, beberapa hal tentang Burgelyk Wetboek, Bandung: Alumni, 1973 Volmar terjemahan Adi Winarta, pengantar studi hukum perdata, Jakarta: Rajawali Pers, 1992 MAKALAH : Harkristuti Harkrisnowo., Rekonstruksi konsep Pemidanaan : Suatu gugatan terhadap Proses Legislasi dan pemidanaan di Indonesia, orasi pada upacara pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakkultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2003 -------------, Bahan Kuliah Teori Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009 Indriyanto, Seno Adji., Prospek Perlindungan saksi dan Korban dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, disampaikan dalam diskusi panel dengan tema “undang-undang Perlindungan saksi dan Korban di Indonesia, diselenggarakan oleh US Department of Justice, office of Overseas Prosecution Development Assistance and Training (OPDAT), Jakarta, 2007 Reksodiputro., Mardjono, Selayang pandang pemikiran tentang Kriminologi (makalah pengajak diskusi), disampaikan dalam rangka studium generale di Dep. Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta -------------, Metode Penelitian Kriminologi Melalui Statistik Kejahatan di Indonesia, Disampaikan pada kuliah Dep. Kriminologi FISIP-UI, Jakarta, 2 Oktober 2009 Mengungkap Kejahatan Dengan Kejahatan, Survey Penyiksaan di Tingkat Kepolisian Wilayah Jakarta tahun 2008, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2008 Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisiatn Republik Indonesia, Tentang Kebijakan dan Strategi dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan, Semarang, 16 Februari 2007 Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011
206
Peta
Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Publikasi Komnas Perempuan, Cetakan Pertama, Jakarta: Ameepro, 2002 Pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternative pemecahannya, Kelompok Kerja “Convention Wacth” , Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000 Surastini Fitriasih Nathalina, Modul Instrumen HAM tentang Konvensi Anti Penyiksaan, Kerjasama Sentra HAM FHUI dan Dirjen HAM DEPKUM dan HAM RI, Jakarta 2007 Kartanegara., Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian kesatu, Balai Lektur Mahasiswa Theodora Shah Putri, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensai, MaPPI-FHUI
UNDANG-UNDANG : Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Rancangan Kitab HukumAcara Pidana Indonesia versi 2008 Rancangan Kitab Hukum Pidana Indonesia versi tahun 2008
Universitas Indonesia
Hak korban...,Anang Zaki Kurniawan,FHUI,2011