Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2011 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
JAHE TRANSGENIK DAN HIBRIDA SOMATIK PRODUKTIVITAS 30T/HA, TOLERAN 70% LAYU BAKTERI O. Rostiana, T. Chaidamsari, S. F. Syahid, W. Haryudin, S. Aisyah ABSTRAK Penyakit layu bakteri pada jahe yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum sampai saat ini masih merupakan kendala besar yang belum dapat diatasi. Beberapa usaha pengendalian masih belum efektif terutama karena belum ada nomornomor jahe yang tahan terhadap R. solanacearum. Peluang memperoleh varian baru jahe tahan terhadap R. solanacearum dapat dilakukan dengan hibridisasi somatik antara jahe putih besar produksi tinggi rentan layu bakteri dengan jahe merah toleran. Selain itu teknologi rekayasa genetik memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas. DNA sekuen yang ditransfer ke dalam genom suatu tanaman untuk membentuk tanaman transgenik bisa berasal dari spesies tanaman, bakteri, atau virus. Penemuan gen penyandi sifat ketahanan terhadap R. solanacearum (RRS1-R) pada tanaman Arabidopsis thaliana dengan pendekatan bioinformatika yang dikombinasikan dengan beberapa teknik biologi molekuler memungkinkan untuk mengisolasi gen tersebut pada tanaman jahe atau kerabat lainnya yang toleran dan dirancang homologinya, kemudian dikonstruk dan ditransformasikan untuk membentuk varietas jahe baru tahan layu bakteri. Gen homolog yang berhasil diisolasi dari jahe merah dan lempuyang emprit toleran R.solanacearum dapat dipindahkan kedalam kalus JPB untuk membentuk jahe transgenic toleran layu bakteri. Hasil penelitian sampai saat ini menunjukkan transformasi gen menggunakan A. tumefaciens pada kalus embriogenik JPB berumur 8 minggu belum menghasilkan transient kalus optimal karena tingkat kematian kalus pada medium dengan berbagai taraf konsentrasi kanamisin masih relative tinggi (> 60%). Upaya meningkatkan efisiensi transformasi terus dilakukan dengan cara mengoptimalkan kondisi kalus embriogenik dan mencari konsentrasi kanamisin yang optimal. Protoplast dapat diisolasi dari kalus embriogenik jahe merah dan putih besar menggunakan kombinasi ensim mecerozim, pektoliase dan cellulase. Fusi dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi fusogen kimia PEG dan CaCl2, masing-masing selama 30 menit. Mikrokalus hasil fusi dapat terbentuk dengan mengoptimalkan kondisi kultur, sehingga inti sel yang sudah terkondensasi dan membentuk mikro koloni berkembang menjadi mikro kalus dalam jumlah yang optimal. Transformasi gen menggunakan A. tumefaciens pada kalus embriogenik JPB berumur 8 minggu belum menghasilkan transient kalus optimal karena tingkat kematian kalus pada medium dengan berbagai taraf konsentrasi kanamisin masih relative tinggi (> 60%). Perlu dilakukan upaya meningkatkan efisiensi transformasi dengan cara mengoptimalkan kondisi kalus embriogenik dan mencari konsentrasi kanamisin yang optimal serta mengaplikasikan metode perendaman sementara untuk meningkatkan kapasitas regenerasi kalus. Kata kunci: Zingiber officinale Rosc., Zingiber zerumbet var. zerumbet, Agrobacterium tumefaciens, transformasi gen, fusi protoplas. ABSTRACT Bacterial wilt caused by R. solanacearum is a main constraint in ginger cultivation. Various experiments had been carried out to eliminate the economic losses. To date, an effective method for controlling the disease has not been appropriately established, due to the unavailability of resistant variety. Ginger variety resistant to bacterial wilts could be developed through somatic hybridization between high yield line-Big white ginger x tolerant lines-Red ginger. Further, genetic engeneering has given a broad spectrum in plant breeding in order to obtain a newly gene for a broad purpose. Transferring DNA sequence into plant genome in term of constructing transgenic crops could be derived from various organism such as, different crops species, bacteria or virus. New finding on
325
O. Rostiana, dkk
resistance gene to Ralstonia solanaceraum rom Arabidopsis thaliana (RRS1-R-gene) combined with bioinformatic approach and molecular technique make the possibility to isolate those resistance gene from different crop species, such as ginger or other related species tolerance to R. solanacearum. Then, the homology of those gene could be design and construct and then transform for generating newly ginger species tolerance to R.solanacearum. Homolog gene isolated from red-ginger variety and Zingiber zerumber var. American.were used as genetic material to be transferred into white ginger calli for obtaining newly transgenic ginger tolerant to bacterial wilts. Recent research progress showed that gene transformation into 8 months-old ginger calli by using A. tumefacients, has not resulted an optimal transcient calli due to the high death percentages of those calli (>60%) on the medium with the addition of various concentration of kanamycine.To increase transformation efficiency, various steps is being carried out e.g. by optimizing embryogenic calli condition and kanamycine concentration. Ginger protoplasts, white and red lines, could be isolated from embriogenic calli by using three kinds of enzymes combination i.e. Macerozyme, Pectolyase and Cellulase. Protoplast fusion of big-white and red ginger could be conducted by using chemical fusogen PEG and CaCl2, for about 30 minutes of each step. Microcalli from fusion product can be formed by optimizing the culture conditions, so that the nucleus of cells that had condensed and formed microcolonies developed into a micro-callus in optimal amounts. Gene transformation using A. tumefaciens on JPB-8 weeks old embryogenic callus, resulted in less number of transient calli due to the death callus on medium with various concentrations of kanamycin level is still relatively high (>60%). Efforts in improving transformation efficiency needs to be fullfilled by optimizing the conditions of embryogenic callus and find an optimal kanamycin concentration as well as applying culture methods such as a temporary immersion system to improve the regeneration capacity of callus. Keywords: Zingiber officinale Rosc., Zingiber zerumbet var. zerumbet, Agrobacterium tumefaciens, genetictransformation, protoplast fusion. PENDAHULUAN Upaya yang paling efisien dan efektif dalam mengatasi masalah OPT pada tanaman budidaya adalah dengan penggunaan varietas tahan. Namun upaya perbaikan varietas untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah sumber gen ketahanan korelasi antara sifat ketahanan dengan karakter agronomi lainnya, perbedaan patogenisitas antar strain, mekanisme interaksi antara patogen dengan tanaman, serta metode pemuliaan yang digunakan. Kendala utama untuk memperoleh varietas jahe tahan terhadap R. solanacearum adalah terbatasnya sumber gen ketahanan (narrow genetic stock) dan hambatan fisiologis karena adanya sifat inkompatibilitas sendiri (self-incompatibility) serta rendahnya fertilitas polen. Untuk mengatasi masalah tersebut pendekatan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan keragaman genetik melalui fusi protoplas antara varietas unggul jahe puith besar berproduksi tinggi (Cimanggu-1) dengan jahe merah toleran atau dengan transformasi gen yang menyandi sifat ketahanan terhadap bakteri layu. Pengujian pada tiga tipe jahe (jahe putih besar, putih kecil dan jahe merah) menunjukkan bahwa jahe putih besar (JPB) paling peka terhadap penyakit layu bakteri, sedangkan jahe merah (JM) paling toleran (Hadad et al., 1989). Meskipun jahe merah yang relatif toleran serta jahe putih besar dengan potensi produksi mencapai 37 ton/ha sudah dilepas sebagai varietas unggul (Cimanggu-1) dapat dijadikan tetua untuk persilangan hibridisasi konvensional untuk memperoleh varian baru tahan terhadap penyakit layu bakteri tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu untuk memperoleh varietas jahe tahan penyakit layu bakteri perlu dilakukan pendekatan in konvensional seperti fusi protoplas dan rekayasa genetik dengan memanfaatkan sifat toleran terhadap layu abkteri pada JM dan kerabat jahe lainnya (Zingiber spp.).
326
Jahe transgenik dan hibrida somatik produktivitas 30t/ha, toleran 70% layu bakteri
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma dari genotipa yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetik atau memperbaiki sifat unggul tanaman yang diinginkan. Fusi protoplas dari genotipa yang berbeda dapat menghasilkan hibrida somatik dengan 3 kategori yaitu, hibrida simetrik dimana kedua inti dari dua tetua tergabung secara sempurna, kedua, hibrida asimetrik dimana hanya sebagian saja inti dari salah satu tetua bergabung dengan inti tetua lainnya, serta tipe cibrid dimana inti dari salah satu tetua terakumulasi di dalam gabungan protoplasma kedua tetua. Oleh karena itu variasi rekombinan sifat genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam frequensi yang berbeda (Bhojwani dan Razdan, 1996). Fusi protoplas Solanum melongena dan S. torvum secara elektrik (electrofusion) menghasilkan tanaman baru dengan sifat morfologi dan jumlah kromosom yang berbeda (Sihachakr et al., 1989). Sedangkan fusi protoplas kentang dihaploid (Solanum tuberosum) dengan S. circaeifolium menghasilkan hibrida somatik yang tahan terhadap Phytopthora infestans (Mattheij et al., 1992). Fusi protoplas secara elektik juga telah berhasil dilakukan untuk memindahkan gen ketahanan terhadap R. solanacearum berasal dari tanaman leunca (Solanum torvum) dan terong liar (S. sisymbrifolium) pada tanaman terong (S. melongena) dan menghasilkan hibrida baru yang tahan terhadap patogen tersebut (Collonnier et al., 2003a; 2003b). Selain dengan fusi elektrik, fusi protoplas juga dapat dilakukan dengan menggunakan fusogen kimia seperti PEG, ion kalsium serta perlakuan pH tinggi (Power dan Chapman, 1985; Bhojwani dan Razdan, 1996; Li et al,, 1999). Fusi protoplas sudah banyak dilakukan pada beberapa jenis tanaman hortikultura khususnya untuk mengatasi masalah penyakit layu bakteri dan terbukti menghasilkan hibrida somatik toleran terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) tersebut seperti pada kentang dan terong (Collonier et al., 2003 a dan b). Hasil penelitian tahun 2010 isolasi protoplas JPB dan JM dapat dilakukan dari materi kalus embriogenik berumur 8 minggu menggunakan protokol Guo et al. (2007) dan Geethe (2000) yang dimodifikasi. Protoplas yang terisolasi berhasil digabungkan dengan memodifikasi metode Guo et al. (2010), tetapi belum mampu membentuk mikrokalus. Saat ini perbaikan purifikasi protoplas yang terisolasi masih terus dilakukan untuk meningkatkan viabilitas sel sehingga mampu membentuk mikrokalus. Sifat toleran terhadap layu bakteri pada populasi jahe merah (Hadad, 1989), serta kerabat dekat jahe lainnya (Zingiber spp.), somaklon hasil seleksi in vitro menggunakan medium selektif filtrat bakteri patogen serta elisitor kimia (Rostiana et al., 2009), merupakan salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan untuk merakit varietas jahe baru tahan bakteri layu dengan teknologi inkonvensional, rekayasa genetika. Kehadiran teknologi rekayasa genetik memberikan wahana baru bagi pemulia tanaman untuk memperoleh kelompok gen baru yang lebih luas. DNA sekuen yang ditransfer ke dalam genom suatu tanaman untuk membentuk tanaman transgenik bisa berasal dari spesies tanaman, bakteri, atau virus (Bennet, 1993). Penemuan gen penyandi sifat ketahanan terhadap R. solanacearum (RSS1-R) pada tanaman Arabidopsis thaliana (Deslandes et al., 2002; 1998), dengan pendekatan bioinformatika yang dikombinasikan dengan beberapa teknik biologi molekuler memungkinkan untuk mengisolasi gen tersebut pada tanaman jahe toleran dan dirancang homologinya, kemudian dikonstruk dan ditransformasikan untuk membentuk varietas jahe baru tahan layu bakteri. Teknologi rekayasa genetika dan penemuan berbagai gen ketahanan terhadap OPT pada dua dekade terakhir memacu berbagai negara untuk menghasilkan varietas tanaman budidaya dengan sifat tahan terhadap OPT maupun cekaman abiotik. Terlepas dari plus minus dan pro kontra teknologi rekayasa genetik yang menghasilkan tanaman baru hasil modifikasi gen (Genetically Modified Organism/GMO), peluang memanfaatkan teknologi tersebut untuk memperoleh varietas jahe baru tahan penyakit layu bakteri patut dikaji. Peluang untuk memperoleh tanaman jahe transgenik tahan layu bakteri dapat dilakukan dengan mengisolasi gen penyandi sifat tahan, RRS1-R. Hasil analisis sekuen
327
O. Rostiana, dkk
menunjukkan bahwa beberapa domen dari gen RRS1-R memiliki fungsi esential dalam mekanisme ketahanan, lebih jauh diketahui bahwa mekanisme ketahanan pada gen RRS1-R tersebut juga dimediasi oleh signal transduksi asam salisilat (Deslandes et al., 2002). Selanjutnya fragmen gen diamplifikasi dan dikloning, kemudian disekuen. Gen ketahanan yang sudah diisolasi dan dikonstruksi dapat dipindahkan ke dalam genom jahe putih besar melalui teknik transformasi secara langsung (penembakan partikel, elektroporasi), maupun secara tidak langsung dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens (Prakash dan Varadarajan, 1992; Oliveira et al., 1996). Sistem transformasi ini telah banyak digunakan pada tanaman dikotil, namun sekarang tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan pada tanaman monokotil. Bahkan pada padi, sistem ini sudah stabil dan banyak dikembangkan di beberapa negara (Hiei et al., 1994). Keberhasilan memproduksi tanaman transgenik ditentukan oleh empat komponen utama, yaitu: tersedianya vektor yang sesuai, tersedianya marker seleksi (selectable marker), teknik transformasi yang efisien dan teknik regenerasi (Kung, 1993). Upaya mengisolasi gen penyandi sifat tahan terhadap R.solanacearum dari JM dan lempuyang emprit (Zingiber zerumbet var. zerumbet) yang menunjukkan sifat toleransi terhadap inokulum R.solanacearum, sudah dilakukan namun sampai pertengahan tahun 2010 gen yang terisolasi belum teramplifikasi dengan baik dari total RNA JM dan lempuyang emprit dengan menggunakan rancangan primer yang sudah ditentukan (Rostiana et al., 2010). Hal ini terjadi kemungkinan karena gen tersebut tidak terekspresi dalam daun, karena ekspresi terjadi setelah adanya induksi terlebih dahulu. Sifat ketahanan terhadap R.solanacearum pada jahe merah dan lempuyang emprit ini tergolong mekanisme ketahanan tidak terekpresi sampai terjadi serangan patogen (Walters et al., 2005). Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang sedang dilakukan adalah mengisolasi DNA kemudian diamplifikasi. Setelah itu, baru dilakukan cek ekspresi gen dengan cara menyusun primer baru berdasarkan data sekuens gen RRS1-R (NCBI Reference Sequence: NM_123894.3), kemudian mendisain primer pada 350 bp (daerah less conserve), untuk melihat ekpresi pada berbagai jaringan dari JM, LE dan JPB, setelah dilakukan inokulasi. Mendapatkan sepuluh populasi mikrokalus hasil fusi dan sepuluh populasi kalus hasil transformasi BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai Desember 2011, di Laboratorium Biologi Molekuler-LRPI dan Lab. Kultur Jaringan, Kelti Plasma Nutfah dan Pemuliaan, serta kamar kaca, Balittro, Bogor. a) Hibrida somatik Untuk memperoleh hibrida somatik JPB toleran layu bakteri tahapan kegiatan yang dilakukan adalah: Fusi protoplas JPB x JM Kegiatan fusi protoplas jahe putih besar (JPB) dengan jahe merah (JM) didahului dengan optimasi teknik isolasi protoplas menggunakan ensim pendegradasi dinding sel yaitu Macerozyme R-10, Hemicellulase dan Cellulase Onozuka R-10 mengikuti metode Gheeta et al. (2000) dan Guo et al., (2007), yang dimodifikasi. Optimasi isolasi protoplas: Dua sampai tiga daun jahe segar (JPB atau JM) yang sudah disterilisasi dengan sterilan berseri (dithane, alkohol 70%, clorox 15%, dan pencucian dengan aquades steril), dipotong kecil selanjutnya proses plasmolisis didalam ensim pendegradasi dinding sel (campuran Macerozyme R-10, Hemicellulase dan Cellulase Onozuka R-10 didalam pelarut CPW/cell protoplast washing medium) yang dikombinasikan dengan manitol 7%. Kemudian diinkubasi pada suhu rendah (4-10˚C) pada kondisi gelap selama 6-10 jam, dan pada suhu 30˚C, dengan pencahayaan, selama 6-8 jam, Sel yang berhasil diplasmolisis kemudian diisolasi dengan cara sentrifugasi
328
Jahe transgenik dan hibrida somatik produktivitas 30t/ha, toleran 70% layu bakteri
(700-800 rpm), filtrasi dan pencucian dengan larutan CPW + 7% manitol, sampai diperoleh sel hidup tanpa dinding sel, yang ditandai dengan efek fluoresens ketika ditambahkan FDA (Fluoresent Diacetate). Prosedur Isolasi Protoplas (Modifikasi dari Geethe et al., 2000 dan Guo et al., 2007). 1) Daun muda (JM dan JPB) aseptik (hasil sterilisasi) diinkubasi dalam larutan Manitol 7% (Pre-plasmolisis) untuk memudahkan penetrasi ensim kedalam jaringan mesofil daun, selama 60 menit. 2) Daun dimasukkan kedalam larutan ensim digesti, potong-potong, kemudian diinkubasi pada suhu rendah (4-10˚C), tanpa cahaya selama 6-10 jam, lalu pada suhu 30˚C dengan pencahayaan dan agitasi perlahan (53 rpm), selama 6-8 jam. 3) Suspensi protoplas disaring menggunakan saringan stainless berukuran 60 mesh (Sigma, Cell Diss. Kit 60), dengan menambahkan sedikit larutan CPW 7M, untuk memisahkan kotoran (debris) dari kelompok sel hasil isolasi (observasi di bawah inverted mikroskop). 4) Suspensi protoplas ditempatkan di dalam tabung sentrifuse (15 ml), kemudian disentrifugasi 700-800 rpm, selama 10 menit. 5) Supernatan dipisahkan dari pelet menggunakan Pasteur pipet, tanpa mengganggu pelet. 6) Kedalam pelet ditambahkan larutan CPW 7M, kemudian disentrifugasi 700-800 rpm, selama 10 menit. Sentrifugasi diulang sampai 3 kali. 7) Pelet dilarutkan didalam 1 ml CPW 7M kemudian ditambahkan 9 ml CPW 21S, dan disentrifugasi 700 rpm selama 10 menit. 8) Penentuan viabilitas protoplas: viabilitas protoplas ditentukan dengan mewarnai suspensi protoplas dengan 1 tetes larutan FDA (Flouresence Diacetate) 9) Penentuan densitas: jumlah protoplas optimal untuk kultur (densitas) adalah 2 x 105 per ml suspensi, berdasarkan kolom hitung Haemocytometer. 10) Protoplas yang sudah ditentukan densitas dan viabilitasnya siap untuk dikulturkan. Optimasi pembentukan mikrokalus: Protoplas yang telah diisolasi kemudian dikulturkan di dalam medium cair MS dengan penambahan 2,4-D, BA dan NAA pada konsentrasi rendah (0,2-0,5 mg/l), sampai diperoleh mikrokalus. Mikrokalus kemudian disubkultur kedalam medium MS padat (0,25% agarose) dengan penambahan 2,4-D dan BA pada konsentrasi lebih tinggi (> 1 mg/l), sampai terbentuk kalus. Protokol ini akan digunakan untuk kultur protoplas hasil fusi antara JPB dengan JM. Prosedur Kultur Protoplas 1) Medium cair untuk kultur protoplas (MS + 4% Manitol + 32% Sukrosa + 1,0 mg/l BA + 1,0 mg/l NAA), dicampurkan dengan suspensi protoplas dengan densitas yang ditentukan (2,5 x 105/ml) 2) Protoplas dikulturkan dengan cara menambahkan 5 tetes suspensi protoplas didalam medium cair pada cawan petri, kemudian ditutup dan diinkubasi dalam keadaan gelap pada suhu 25˚C 3) Setiap 7 hari ditambahkan beberapa tetes medium baru kedalam medium kultur protoplas 4) Pertumbuhan dinding sel baru dan proses pembelahan sel diobservasi dibawah mikroskop 5) Setelah pembelahan sel terjadi, 40-60 hari kemudian suspensi dipindahkan kedalam medium agar padat (0,25% agarose) yaitu MS + 3% Sukrosa + 4% Manitol + 1 mg/l BA + 1 mg/l NAA, sampai terbentuk mikrokalus. Optimasi fusi: Protoplas JPB dan JM akan digabungkan (fusi) dengan menggunakan fusogen kimia polyethylene glycol (PEG 6000) yang diformulasikan dengan sukrosa dan CaCl2, pada berbagai taraf konsentrasi. Selanjutnya ditambahkan larutan penyangga pH
329
O. Rostiana, dkk
tinggi (10,4), dan pencucian dengan larutan CPW 13M (cell protoplast washing medium mengandung 13% manitol). Hasil fusi ditempatkan didalam medium kultur dan diamati dibawah mikroskop, kemudian diinkubasi dalam keadaan gelap sampai terbentuk mikrokalus (protokol seperti tersebut di atas). Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap dengan observasi langsung, tanpa ulangan. Pada tahun kedua mikrokalus hasil fusi yang terbentuk diregenerasi didalam medium terbaik (protokol regenerasi jahe melalui embriogenesis somatik) sampai terbentuk planlet. Pengujian ketahanan hibrida somatik terhadap bakteri layu akan dilakukan pada tahun ketiga setelah tanaman diaklimatisasi diikuti dengan konfirmasi sifat genetiknya menggunakan RAPD. Prosedur Fusi Protoplas Menggunakan PEG dan pH Tinggi (Modifikasi Kao, 1976 dalam Bhojwani dan Razdan, 1996 dan Guo et al., 2010) 1) Suspensi protoplas JPB dan JM (ratio 1:1) dicampurkan dengan densitas 2,5 x 105 protoplas/ml 2) 1 ml campuran protoplas (droplet besar) ditempatkan di tengah-tengah cawan petri berukuran 5 cm dan dibiarkan selama 20 menit. 3) 5-6 tetes (450 μl) larutan fusogen PEG (sterilisasi filter, disimpan kedap cahaya), ditambahkan kedalam ujung campuran protoplast pada cawan petri, dan dibiarkan tercampur dengan sendirinya (diamati dibawah mikroskop inverted). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 20 menit 4) Penambahan 0,5 ml larutan fusogen pH tinggi (sterilisasi filter, disiapkan sebelum digunakan), dilakukan dua kali dalam interval waktu 10 menit kemudian dibiarkan selama 20 menit 5) Protoplas dicuci menggunakan 2 ml larutan CPCW 13 M (CPW 13 M + 0,74% CaCl2.2H2O), 3 kali dengan interval waktu 5 menit, dengan cara membuang larutan fusogen secara bertahap, diikuti dengan pencucian menggunakan medium kultur dua kali. 6) 3 ml medium kultur ditambahkan kedalam protoplas hasil fusi dan observasi hasil fusi dilakukan dibawah Mikroskop. 7) Kultur protoplas hasil fusi dilakukan seperti pada metode kultur protoplas tersebut di atas, sampai terbentuk mikro kalus. 8) Mikrokalus yang terbentuk, kemudian disubkultur kedalam medium induksi kalus embriogenik, dan tahap-tahap pembentukan embrio soamtik untuk memperoleh planlet melalui embriogenesis somatik (Rostiana dan Syhaid, 2008). b) Jahe transgenik Kloning Fragmen DNA dari Gen RRS1-R dengan pGEM-T Easy Hasil amplifikasi yang telah dimurnikan dengan menggunakan Axyprep DNA gel extraction kit (Axygen) disisipkan ke dalam vektor pGEM-T Easy (Promega) menggunakan T4 DNA ligase selama satu jam, 37 ºC. Vektor kemudian ditransformasikan ke dalam E.coli XL-1 Blue yang telah dibuat kompeten. Preparasi sel kompeten dikerjakan sesuai prosedur Okayama et al. (1990). Transformasi dilakukan mengikuti prosedur Doyle (1996). Campuran ligasi yang ditambahkan ke dalam 200 μL suspensi sel kompeten adalah 20 μL. Sel kemudian disebarkan diatas media padat LB agar yang mengandung antibiotik 100 mg/L ampisilin, 40 mg/L X-Gal, dan 0,1 mM IPTG (LA) kemudian diinkubasikan semalam pada suhu 37ºC. PCR Koloni Koloni yang terbentuk adalah sel E.coli yang berhasil ditransformasi. Sel yang tidak berhasil tertransformasi akan mati akibat adanya ampisilin. Dua jenis koloni akan terbentuk pada cawan petri. Koloni yang berwarna putih menunjukkan sel yang mengandung plasmid yang berhasil disisipi. Koloni yang berwarna biru mengandung plasmid yang tidak berhasil disisipi. Setiap koloni putih yang terbentuk diberi nomor dan ditandai. Koloni yang berwarna putih kemudian diambil sedikit dengan tusuk gigi untuk
330
Jahe transgenik dan hibrida somatik produktivitas 30t/ha, toleran 70% layu bakteri
PCR koloni, sedikit dipindahkan ke medium LB agar dalam cawan petri, dan sisanya dimasukkan kedalam medium LB yang mengandung ampisilin cair untuk dikulturkan kembali semalam 37ºC, 150 rpm. Minirep DNA Plasmid Prosedur yang digunakan adalah High Pure Plasmid Isolation Kit (Roche). Isolasi DNA plasmid dilakukan terhadap koloni yang berdasarkan hasil PCR koloni diketahui mengandung plasmid tersisipi fragmen yang diinginkan. Koloni tersebut dikulturkan dalam media LB+ampisilin cair semalam pada suhu 37ºC dan pengocokan 150 rpm. Kultur cair diberi label sesuai dengan label koloni masing-masing. DNA plasmid yang diperoleh diverifikasi pada gel agarose 1% untuk melihat kemurniannya. Pengecekan ekspresi gen RRS1-R hasil isolasi dari JM dan LE (2010), pada berbagai jaringan JM, LE dan JPB Fragmen Jahe dan LE yang telah diketahui dan disekuensing selanjutnya dibuat rancangan primernya untuk RT-PCR. Jaringan (akar, batang dan daun) yang akan dikarakterisasi (JPB, JM dan LE) untuk mengetahui keberadaan dari gen RRS1-R diisolasi RNAnya, jaringan yang digunakan diantaranya adalah akar, daun, rimpang. Isolasi dilakukan sesuai prosedur Trizol KIT. Selanjutnya hasil isolasi kembali dianalisis menggunakan PCR. Transformasi gen kedalam kalus JPB Menyiapkan kalus embriogenik jahe: Bahan yang digunakan adalah meristem (inner shoot bud) jahe putih besar var. Cimanggu-I, dari tunas aksiler yang berumur 3 minggu yang telah disterilisasi. Induksi kalus dilakukan dengan mengkulturkan meristem aseptik didalam medium terbaik hasil penelitian terdahulu (Rostiana et al., 2006) yaitu MS (Murashige and Skoog, 1962) dengan penambahan 2% sukrosa, 100 mg/L glutamin, 1,0 mg/L 2,4-D dan 3,0 mg/L BA. Pada tahap ini tidak diterapkan metode perancangan percobaan, karena sudah ditentukan medium dasar terbaik (1 jenis) berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Co-cultivasi: Tiga hari sebelum co-cultivasi, A. tumefaciens yang mengandung plasmid yang akan ditransformasikan ke dalam JPB ditumbuhkan pada media AB padat yang mengandung 50 ul/ml ampicilin pada suhu 29oC. Setelah 3 hari diinkubasi, A. tumefaciens dibuat suspensi pada 50 ml media AAM cair yang mengandung 100 uM acetosyringone, dan dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam sampai OD600 = 1. Kalus yang berumur 4 hari dalam media induksi kalus direndam pada suspensi bakteri dengan digoyang-goyang secara perlahan, dan dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam. Kalus kemudian ditiriskan pada kertas saring steril dan ditransfer ke media co-cultivasi selama 3 hari pada suhu 25oC pada kondisi gelap. Seleksi: Setelah 3 hari co-cultivasi, kalus dicuci dengan air steril yang mengandung 250 mg Cefotaksim/L selama 3-4 kali. Kalus kemudian ditiriskan pada kertas saring steril dan ditransfer ke media seleksi (2N6-CH) yang mengandung 50 uL Higromisin/ml, dan diinkubasikan pada suhu 25oC dalam kondisi gelap. Sub-kultur: Setiap 2 minggu sekali, kalus disub kultur ke dalam media baru sampai kalus berproliferasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Hibrida somatik Isolasi protoplast jahe merah dan jahe putih besar telah berhasil dilakukan dengan menggunakan prosedur Guo et al.(2007) dan Guan et al.(2010) yang dimodifikasi. Pada tahun 2010, metode isolasi protoplas dilakukan pada kalus embriogenik jahe putih besar dan jahe merah berumur 6 minggu, direndam dalam formula tersebut selama lebih kurang 17 jam, pada suhu 28-30˚C, namun viabilitasnya masih rendah. Oleh karena itu
331
O. Rostiana, dkk
dilkakukan modifikasi dimana konsentrasi macerozyme dijadikan dua kali (1% menjadi 2 %), pectolyase menjadi 5 kali (0.1 % menjadi 0.5 %) dan cellulose dari 4% menjadi 5% (Tabel 1). Tabel 1. Modifikasi enzim untuk isolasi protoplast jahe Enzym Cellulase Macerrozyme Pectolyase Mes CaCl2 Manitol
Komposisi 5% 2% 0.5% 0.1 % 0.5 % 11 %
Penggunaan enzym modifikasi dari perlakuan terbaik Guan et al (2010) yang dimodifikasi, menghasilkan protoplas lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya. Perendaman kalus jahe selama 18-20 jam dalam larutan enzim mampu melepaskan dinding sel lebih merata walaupun debris yang terlihat masih banyak. Hasil fusi ke dua protoplast (JPB dengan JM) kemudian ditumbuhkan dalam media pertumbuhan P2 (Tabel 2). Salah satu masalah utama dalam kultur protoplast jahe adalah tingkat kontaminasi yang cukup tinggi sehingga tahapan untuk mendapatkan mikro kalus sulit tercapai. Tabel 2. Komposisi media tumbuh untuk pertumbuhan protoplast hasil fusi Media Tumbuh P1 P2 P3 P4
Komposisi Media MS + Casein hidrolisat 500 mg/l + 9 % manitol MS + Casein hidrolisat 500 mg/l + 5 % manitol+ 1 % glukosa MS + Casein hidrolisat 200 mg/l + 1 % manitol + 2 % glukosa MS + 3 % glukosa
Lama pengkulturan protoplast setelah fusi (minggu) 2 4 4 4
Pertumbuhan gabungan sel JPB dan JM hasil fusi terlihat cukup optimal pada perlakuan media tumbuh P1 yang mengandung manitol 9%, casein hidrolisat 500 mg/l dan 0% glukosa selama lebih kurang 2 minggu setelah fusi. Media ini mengandung asam amino yang cukup tinggi yang diharapkan dapat mendukung pembelahan sel ke tahap selanjutnya. Setelah dua minggu teramati pembelahan sel, selanjutnya masa sel dipindahkan keperlakuan media P2 yang mengandung manitol 5%, casein hidrolisate 500 mg/l dan glukosa 1% (Gambar 2a). Pada kondisi ini masa sel hasil fusi semakin berkembang jumlahnya dan setelah empat minggu dipindahkan ke perlakuan media P3 yang mengandung manitol 1%, casein hidrolisat 200 mg/l dan glukosa 2%. Pada media ini masa sel dipelihara selama empat minggu sampai terlihat kondensasi sel hasil fusi (Gambar 2b). Selanjutnya sel dipindahkan ke dalam media P4 yang terdiri dari makro dan mikro nutrien tanpa asam amino dan manitol namun glukosa 3%. Pada media P4 ini kelompok sel terlihat membentuk koloni mikro. Koloni sel dipelihara selama empat minggu untuk selanjutnya dipindah pada media tahap V yaitu proses regenerasi koloni menjadi mikro kalus. Media yang digunakan pada tahap lima adalah MS + 3% sukrosa + 7% agar + 2,4 – D 1.0 mg/l + kinetin 0,2 mg/l. Pertumbuhan koloni sel di media tahap lima terlihat cukup optimal yang ditandai dengan kondensasi inti sel yang cukup jelas. Penelitian masih dilanjutnya untuk mengetahui respon mikro koloni pada tahapan media selanjutnya di Tahap VI membentuk mikro kalus yang optimal.
332
Jahe transgenik dan hibrida somatik produktivitas 30t/ha, toleran 70% layu bakteri
Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada peluang untuk menghasilkan hibrida somatic jahe hasil fusi antara JPB berproduksi tinggi dengan JM toleran penyakit layu, namun perlu upaya yang optimal dalam proses regenerasi. Peluang menghasilkan tansforman kalus dengan tingkat regenerasi tinggi dapat diupayakan dengan mengaplikasikan metode kultur sel dengan perendaman sementara (Temporary Immersion System/TIS). Metode ini sudah berhasil diaplikasikan pada beberapa komoditas pertanian seperti tebu hasil fusi protoplast (Mordocco et.al, 2009). b) Jahe transgenik Uji ekspresi gen RRS1-R hasil isolasi dari JM dan LE pada berbagai jaringan JM, LE dan JPB Untuk melihat ekspressi gen RRS1-R pada berbagai jaringan (akar, batang, daun) Jahe dan Lempuyang, dilakukan pengecekan dengan PCR menggunakan annealing 45, 50, dan 55°C pada Jahe Merah dan Lempuyang Emprit, menggunakan 4 pasang primer (forward dan reverse Primer), masing-masing adalah: A = RRS1-R-GWF + RRS1-R-GWR B = RRS1-R-GWF + RRS1-S-GWR C = GTW-RRS1-For + GTW-RRS1-Rev D = Ekspresi RRS1-For + Ekspresi RRS1-Rev Amplifikasi untuk Jahe Merah (JM) dan Lempuyang (LE) dilakukan dengan menggunakan 4 pasang primer (A, B, C, D) pada beberapa suhu annealing (ann.45oC, ann.50oC, ann.55oC). Hasil dari optimasi dapat disimpulkan bahwa annealing yang selanjutnya dipakai adalah 45oC, karena pada suhu annealing tersebut menunjukkan hampir semua pasang primer memberikan ekspresinya, kecuali pasangan primer C pada lempuyang Selanjutnya uji ekspresi dilakukan dengan menggunakan pasangan primer Ekspresi RRS1-Forward dan Ekspresi RRS1-Reverse, Dari semua jaringan yang diamplifikasi menunjukkan ekspresi yang tinggi. Kecuali untuk jaringan akar pada tanaman lempuyang yang menunjukkan tingkat ekspresi yang rendah. Hasil amplifikasi jaringan batang pada jahe merah yang memiliki intensitas pita yang paling terang (tanda bulat pada gambar 4), selanjutnya di purifikasi dan di cloning pada vector pGEMT-Easy. Hasil purifikasi dan PCR koloni dari template DNA batang jahe merah. Optimasi Transformasi pada Kalus Jahe Sebelum melakukan transformasi terlebih dahulu ditentukan konsentrasi kanamisin yang tepat yang nantinya akan digunakan sebagai media seleksi untuk menentukan tingkat keberhasilan transformasi. Pada penelitian ini digunakan beberapa konsentrasi kanamisin yaitu 25 mg/L, 50 mg/L, 75 mg/L, 100 mg/L, 125 mg/L, dan 150 mg/L. Sebagai kontrol digunakan media tanpa kanamisin. Kalus yang digunakan ada dua macam yaitu kalus putih basah dan kalus putih kompak yang berasal dari kultur in vitro JPB dengan sumber eksplan meristem menggunakan media terbaik menurut Rostiana dan Syahid (2008), yang telah berumur 8 minggu. Hasil penelitian menunjukkan kalus putih basah dan kalus putih kompak memberikan respon yang berbeda terhadap penambahan kanamisin. Perkembangan eksplan mulai terlihat setelah memasuki minggu ke-3 pada kalus putih kompak, sedangkan kalus putih basah memperlihatkan respon yang lebih lambat. Kalus yang tidak mengandung kanamisin (kontrol) menunjukkan proliferasi sempurna pada minggu ke 4 yaitu kalus putih kompak menjadi warna kehijauan, sedang pada kalus putih basah seperti mengalami stagnasi. Tingkat kematian pada control ini mencapai 40%. Pengamatan untuk percobaan yang menggunakan kanamisin berbagai konsentrasi dapat dilihat pada tabel 3. Dengan pertimbangan tingkat kematian pada control mencapai sampai 40%, maka pada penelitian awal ini akan digunakan konsentrasi kanamisin 25% terlebih dahulu. Setelah itu
333
O. Rostiana, dkk
baru akan dilihat apakah konsentrasi kanamisin perlu ditingkatkan sesuai perkembangan yang didapatkan pada percobaan transformasi. Bentuk perkembangan kalus seperti pada gambar 6. Tabel. 3. Tingkat perkembangan kalus jahe pada berbagai konsentrasi kanamisin setelah 4 minggu
1
Konsentrasi Kanamisin (mg/l) 0
2
25
3
50
4
75
5
100
6
125
7
150
No.
Perkembangan kalus
Tingkat Kematian (%) warna 40
Proliferasi sempurna, bentuk kalus kehijauan,struktur kalus kompak Sebagian kalus berploriferasi dengan sebagian permukaan eksplan berwarna kecoklatan Sebagian kalus berploriferasi dengan sebagian permukaan eksplan berwarna kecoklatan, perkembangan kalus mulai terhambat Sebagian kalus berploriferasi dengan sebagian permukaan eksplan berwarna kecoklatan, perkembangan kalus terhambat Proliferasi kalus sangat terhambat oleh massa sel berwarna kecoklatan yang lebih banyak dari yang berwarna kehijauan Proliferasi kalus sangat terhambat oleh massa sel berwarna kecoklatan yang lebih banyak dari yang berwarna kehijauan Proliferasi tidak terjadi dan seluruh massa sel kalus berwarna kecoklatan
60,7 60,7
71,4
82,1
82,1
85,7
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ada peluang untuk memperoleh transien kalus jahe toleran terhadap penyakit layu. Optimasi transformasi masih terus dilakukan untuk memperoleh efisiensi transformasi yang lebih tinggi, sehingga dapat diperoleh planlet yang mengandung gen penyandi sifat tahan terhadap bakteri layu dengan menggunakan protokol regenerasi somatic embrio jahe yang sudah ada (Rostiana dan Syahid, 2008). Namun emnggunakan protokol tersebut, kapasitas regenerasinya masih tergolong rendah. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diaplikasikan metode kultur perendaman sementara (Temporary Immersion System/TIS) yang sudah banyak digunakan untuk meningkatkan kapasitas regenerasi dan mengurangi abnormalitas pada sistem regenerasi pada tanaman transgenic seperti strowberi (Hanhineva dan Karenlampi, 2007). Sistem perendaman sementara adalah jenis bioreactor dimana jaringan tanaman direndam didalam vessel/botol kultur khusus berisi media cair. Seluruh system dipertahankan dalam kondisi aseptic dengan mengatur waktu perendaman (kontak) eksplan dalam media secara periodic. KESIMPULAN Protoplas dapat diisolasi dari eksplan kalus embriogenik jahe merah dan jahe putih besar berumur 8 minggu menggunakan kombinasi ensim macerosim, pectiolase dan cellulose yang dimodifikasi. Jumlah protoplas pada jahe merah lebih banyak dibandingkan jahe putih besar dan mulai membelah pada hari pertama dan kedua setelah dikulturkan pada media kultur. Fusi protoplas telah berhasil dilakukan antara jahe merah dengan jahe putih besar menggunakan kombinasi fusogen kimia PEG dan CaCl2.
334
Jahe transgenik dan hibrida somatik produktivitas 30t/ha, toleran 70% layu bakteri
Mikrokalus hasil fusi dapat terbentuk dengan mengoptimalkan kondisi kultur, sehingga inti sel yang sudah terkondensasi dan membentuk mikro koloni berkembang menjadi mikro kalus dalam jumlah yang optimal. Transformasi gen menggunakan A. tumefaciens pada kalus embriogenik JPB berumur 8 minggu belum menghasilkan transient kalus optimal, karena tingkat kematian kalus pada medium dengan berbagai taraf konsentrasi kanamisin masih relative tinggi (>60%). Perlu dilakukan upaya meningkatkan efisiensi transformasi dengan cara mengoptimalkan kondisi kalus embriogenik dan mencari konsentrasi kanamisin yang optimal serta mengaplikasikan metode perendaman sementara untuk meningkatkan kapasitas regenerasi kalus. Penyediaan varietas tahan hasil rekayasa genetik dan hibrida soamtik hasil fusi protoplas, tahan terhadap Ralstonia solanacearum akan meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi budidaya dengan asupan teknologi rendah (Low Input Technology) yang ramah lingkungan. Potensi nilai tambah komersial dengan penggunaan teknologi tersebut akan meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas tanaman sebesar 30-40%. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2008. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2007. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, Jakarta. 209 hal. Anonymous. 1989. “Kalium, Kebutuhan dan Penggunaannya dalam Pertanian Moderen. Potash and Phosphate Institute of Canada. Edisi Bahasa Indonesia. 46 hal. Bennet, J. 1993. Genes for crop improvements. Genetic Engineering 16:93-113.Bhojwani, S.S., W. Soh and H. Pande. 1999. Morphogenesis in haploid cell cultures. In: Morphogenesis in Plant Tissue Culture (Soh and Bhojwani, eds.). Kluwer Academic Press, London. 71-93. Collonnier C., I. Fock, M.C. Daunay, A. Servaes, F. Vedel, S. Siljak-Yakovlev, V. Souvannavong and D. Sihachakr. 2003a. Somatic hybrids between Solanum melongena and S. sisymbribrifolium, as a useful source of resistance against bacterial and fungal wilts. Plant Sci. 164: 849-861. Collonnier C., I. Fock, I. Mariska, A. Servaes, F. Vedel, S. Siljak-Yakovlev, V. Souvannavong and D. Sihachakr. 2003b. GISH confirmation of somatic hybrids between Solanum melongena and S. torvum: assessment of resistance to both fungal and bacterial wilts. Plant Physiol. and Biochem. 41: 459-470. Geethe, S.P., K. Nirmal-Babu, J. Rema, P.N. Ravindran and K.V. Peter. 2000. Isolation of protoplast from cardamom (Elettaria cardamomum Maton.) and ginger (Zingiber officinale Rosc.). J. Of Spices and Aromatic Crops 9(1): 23-30. Hadad E.A. 1989. Ketahanan beberapa klon jahe terhadap penyakit busuk rimpang Pseudomonas solanacearum. Buletin Penelitian tanaman rempah dan Obat IV (1): 54-58. Hanhineva, K.J and S.O. Karënlampi. 2007. Production of transgenic strawberries by temporary immersion bioreactor system and verification by TAIL-PCR. BMC Biotechnology 7 (11): 1-12. doi:10.1186/1472-6750-7-11 Mattheij, W.M., R. Eijlander, J.R.A. de Koning and K.M. Lovwes. 1992. Interspesific hybridization between the cultivated potato Solanum tuberosum L. and the wild species S. cercaeifolium subsp. circaeifolium Bitter exhibiting resistance to Phytophthora infestans (Mont) de Bary and Globodera pallida (Stone) Behrens I: Somatic hybrid. Theor. Appl. Genet. 83: 459-466.
335
O. Rostiana, dkk
Mordocco, A.M., J.A. Brumbley and P. Lakshmana. 2009. Development of a temporary immersion system (RITA®) for mass production of sugarcane (Saccharum spp. interspecific hybrids). In Vitro Cell Dev. Biol. Plant 45: 450-457. Power, J.B., and J.V. Chapman. 1985. Isolation, Culture and Genetic Manipulalion of Plant Protoplast. In: Dinxon, R.A. (ed.). Plant Cell Culture: A Practical Approach. IRP Press, Oxfprd< Washington DC. 37-65. Prakash, C.S., and U. Varadarajan. 1992. Genetic transformation of sweet potato by particle bombardment. Plant Cell Rep. 11: 53-57. Ramachandran, K. and P.N. Chadrasekharan Nair, 1992. Cytological studies on diploid and autotetraploid ginger (Zingiber officinale Rosc.). J. Spices and Aromatic Crops 1 (2): 125-130. Rostiana, O., S.F. Syahid, Supriadi, T. Chaidamsari, M.Yusron, Rosita, SMD., A. Ruhnayat, W. Haryudin, S. Y. Hartati, S. Aisyah dan D. Surahman. 2010. Varietas Unggul Jahe Putih Besar Produktivitas Tinggi (30 ton/ha) Toleran Layu Bakteri (70%) Melalui Variasi Somaklonal, Fusi Protoplas, Rekayasa Genetik dan Teknik Budidaya Pendukungnya. Laporan Tengah Tahun Kegiatan Penelitian 2010, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. 32 halaman. Rostiana, O., S.F. Syahid, W. Haryudin, S. Aisyah dan D. Surahman. 2008. Induksi ketahanan jahe terhadap penyakit layu bakteri. Laporan Teknik Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Rostiana, O., D. Soleh Efendi dan N. Bermawie. 2007 “Teknologi Unggulan Jahe”. Booklet Puslitbangbun. 16 hal. Sihachakr, D., Z. Haicour, M.H. Chaput, E. Baricontas, G. Ducrex and L. Rossignol. 1989. Somatic hybrid plants produced by electrofusion between Solanum melongena L. and Solanum torvum Sw. Theor. Appl. Genet. 77: 1-6. Supriadi, JG Elphinstone, SJ Eden-Green and SY Hartati. 1995. Physiological, seroplogical and pathological variation amongst isolates of Pseudomonas solanacearum from ginger and other hosts in Indonesia. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(2): 88-98
336