globe yang dikitari sembilan bintang ini mencapai tujuan politiknya? Adakah misi khusus dari ketua PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, yang diemban Matori?
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]
Daftar Isi ISBN & Catatan penerbit
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]
H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa Selama Orde Baru berkuasa, hak untuk berkumpul, berserikat, dan mendirikan partai politik sangat dibatasi. Maka begitu katup reformasi terbuka, euforia politik tak dapat dibendung. Muncul partai baru, banyak diantaranya secara tegas memaklumkan diri sebagai partai berasaskan agama. Dikhawatirkan, partai agama terjerumus ke paham sektarian, eksklusif, sehingga potensial memicu diintegrasi bangsa. Nahdlatul Ulama (NU) telah lama menyadari bahaya dan ancaman itu. Karena itu, dalam MUnas Alim Ulama tahun 1983 - kemudian diperkuat oleh Muktamar NU ke-29 tahun 19984 - NU memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan, dan bukan Islam, sebagai asas-nya. Dengan kata lain, NU berasaskan Pancasila, sekaligus menggunakan Islam dengan paham Ahlussunah wal Jama'ah. Dengan inilah NU, dan kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), berhasil memecahkan persoalan falsafati dan mendasar, hubungan antara agama dan negara. Sebagai pemimpin sebuah partai besar, banyak tantangan menghadang langkah H. Matori Abdul Djalil mewujudkan cita-cita NU dan PKB. Berhasilkah ia menakhodai partai berlambang nusantara dalam
1
DAFTAR ISI Pengantar Penerbit Pengantar K.H. Abdurrahman Wahid BAB 1 - Dari Sekjen ke Ketua Umum Mengapa Saya? Agenda Politik BAB 2 - Kilas Balik Kebangkitan Kaum Ulama Bagian 1 Bagian 2 BAB 3 - Islam dan Demokrasi Visi Politik Bukan Retorika BAB 4 - Politik Itu Pilihan Hidup Kekuasaan dan Suksesi Pemimpin dan Kritik 2
Kembali ke Partai BAB 5 - Menghadapi Pemilu 1999 Pemilu: Ruang Perubahan Kekuatan Mahasiswa Partai Terbuka Menghadapi Pemilu 1999 BAB 6 - Membangun Persaudaraan Sejati Pluralitas Agama Suku dan Golongan Optimis atau Pesimis! BAB 7 - Partai, Disitegrasi, dan Kebangsaan Rekonstruksi Nation Building Foto-foto: Foto 1 Foto 2 Foto 3 Foto 4 Lampiran: Susunan Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Tentang Penulis www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa Oleh 3
Y.B. Sudarmanto A. Ariobimo Nusantara R Masri Sareb Putra Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Grasindo GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999 H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa oleh: Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra GM 602 99.106 O Penerbit PT Grasindo Jin. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Desain sampul oleh Kunta Rahardjo 4
Pembaca akhir: Effendi Choiri Sumber foto sampul dan isi: Dokumentasi Kompas, dok. PKB, Pribadi. Penerbit mengucapkan terima kasih secara tulus. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo Anggota IKAPI, Jakarta 1999 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Sudarmanto, Y.B., 1960 H. Matori Abdul Djalil dari NU untuk Partai Kebangkitan bangsa oleh Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra. Putra, R. 216 him.; 21 cm. ISBN 979-669-569-3 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan 1. Jalil, Matori Abdul, Haji. politik -- Indonesia. I. Judul. I. Nusantara, A. Ariobimo. Masri Sareb. www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] PENGANTAR PENERBIT Di kalangan para filosof, berbeda pandangan merupakan hal yang biasa, asalkan disertai argumentasi yang kuat. Agaknya, para filosof telah lama menyadari kebenaran makna motto Aleksandr Lebed, seorang jendral Rusia yang 5
mengatakan, "The most powerful weapon we have is reason" (senjata kita yang paling ampuh adalah alasan/argumentasi). Anehnya, terhadap objek material, atau bahan kajian, manusia para filosof sepakat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Artinya, manusia memiliki banyak segi. Banyak ilmu mencoba menjelaskan siapa sesungguhnya manusia itu. Namun, semakin dijelaskan, semakin manusia tak bisa dipahami. Selalu ada saja sisi-sisi gulita manusia yang tak bisa dijelaskan, atau didekati, oleh ilmu. Untuk manusia biasa saja, ilmu sudah kerepotan menjelaskannya, apalagi jika manusia itu seorang politikus yang sudah malang melintang selama lebih tiga dasawarsa. Sebutlah, sebagai contoh, H. Matori Abdul Djalil yang menjadi tema sentral dalam buku ini. Pasti banyak sisi yang belum diketahui masyarakat luas. Buku ribuan halaman tidak akan sanggup menjelaskan siapa dia, apalagi buku yang "hanya" 196 halaman sebagaimana tengah Anda pegang ini. Jujur kami mengakui, dimensi Matori yang diangkat di sini lebih terfokus pada kiprah dan sosoknya di panggung politik. Jadi, objek formal, atau sudut pandang, buku ini melihat sosok Matori sebagai manusia politik (home politicus). Dengan begitu, pembaca otomatis tidak menemukan dimensi lain. Bagaimana pandangan dan sikap politik Matori? Sebagai orang pertama dalam PKB, dan sekaligus insan NU, setiap nafas Matori menghembuskan ruh dan semangat NU. Dalam Munas Alim Ulama tahun 1983, dan kemudian dipertegas oleh Muktamar NU ke-29 tahun 1984, NU memutuskan untuk mengambil prinsip-prinsip kebangsaan sebagai asasnya. Dengan begitu, NU berhasil memecahkan persoalan mendasar dan falsafati, yakni hubungan (atau konflik) antara agama dan negara, sebuah persoalan akbar yang tengah dihadapi negara dan umat Muslim di dunia. 6
Karena dibangun atas asas kebangsaan, PKB adalah partai yang inklusif. Di satu sisi ia tidak meninggalkan Islam dengan paham Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, sedangkan di sisi lain -karena universal- ia terbuka untuk semua kaum tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan. Apa tujuan politik PKB? Jika hakikat politik adalah kebaikan bersama (public good), maka satu-satunya tujuan politik yang pantas ialah keadilan (justice). Jika negara yang dibangun berlandaskan keadilan, dapat diandaikan bahwa semua warga akan bekerja dan dapat melaksanakan fungsinya masing-masing dengan balk. Tentu panjang jalan dilalui PKB untuk sampai pada misi dan tujuan politiknya. Pasti ada landasan kuat, atau setidaknya terdapat alasan tertentu, yang melatarbelakangi keputusan itu. Minimal kondisi faktual sosial, politik,budaya, kemasyarakatan, serta moral bangsa Indonesia tatkala PKB akan dideklarasikan menentukan tujuan dan cara partai mencapai tujuan politiknya. Bagi PKB, dan khususnya Matori Abdul Djalil, politik yang sehat harus dibangun berdasarkan moral. Setuju dengan pandangan filosof Socrates (469-399 sebelum Masehi), Matori menganjurkan kepada setiap warganegara, terutama politikus, untuk selalu bertindak sesuai dengan apa yang dibisikkan hati nuraninya (daimanion). Sebab, pada galibnya semua orang dapat diajarkan dan dituntun berbuat balk. Segala perbuatan yang jahat sematamata timbul dari cara berpikir yang salah. Seorang politikus wajib mengarahkan dan mendidik setiap warga negaa untuk berpikir dan bertindak yang benar. Syarat untuk berpikir dan bertindak yang benar ialah kebijaksanaan. Karena itu, seorang politikus haruslah seorang yang bijaksana. Maka sudah barang tentu, pasti banyak hikmah yang bisa dipetik dari buku ini. Kami tidak ingin menyebut kismis-kismis manis dan nikmat dari itu semua, silakan 7
pembaca menemukannya sendiri. Namun, satu hal ingin kami garisbawahi. Sebagai pemimpin sebuah partai besar seperti Partai Kebangkitan Bangsa --yang menurut pengamat politik William Liddle disebut sebagai salah partai terbesar saat ini-- ada loncatan besar dari Matori dan PKB. Jika akhir-akhir ini banyak pihak mencemaskan keutuhan bangsa Indonesia akan tercabik-cabik karena bermunculan bagai jamur di musim hujan partai-partai agama yang potensial mengancam integrasi dan rawan memicu konflik SARA, PKB memaklumkan diri sebagai partai yang terbuka untuk semua golongan. PKB, sesuai manifesto politiknya, berjanji membawa bangsa menuju Indonesia yang serba baru. Yakni Indonesia yang tidak lagi tersekat-sekat dan terkotak-kotak ke dalam suku, agama, ras, dan antargolongan. Yang unik dari PKB adalah pandangannya yang melihat bahwa pada galibnya manusia --di mana saja di belahan bumi ini-- sama dan sederajat. Dengan cara pandang terhadap manusia yang universal seperti itu, PKB membongkar sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang persatuan dan kesatuan. Karena itu, PKB berjanji membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan yang, menurut istilah NU, memiliki empat dimensi. Pertama, persaudaraan antarumat Islam (ukhuwah Islamiah), persaudaraan antarbangsa (ukhuwah wathoniah), persaudaraan antarmanusia (ukhuwah insaniah), dan persaudaraan antaragama (ukhuwah diniyah) . Melihat garis perjuangan PKB yang universal itu, kita tidak bisa berkesimpulan lain, kecuali PKB adalah partai yang terbuka. Perjuangan PKB adalah perjuangan semua kaum. Dalam upaya memperkenalkan perjuangan PKB yang universal itu, dan memenuhi janji bahwa kami akan selalu menambah jumlah buku biografi, kami menerbitkan buku ini. Banyak pihak telah berperan di dalam proses 8
penerbitannya, antara lain K.H. Abdurrahman Wahid, Drs. A. Effendi Choirie dari Departemen Media Massa dan Pengembangan Opini PKB, Arie Syafruddin, A. Kunta Rahardjo, Munif, Ngatawi Al Sastro, Pusdok Kompas, dan tentu saja H. Matori Abdul Djalil sendiri yang senantiasa menyediakan waktu untuk wawancara. Untuk jasa dan sumbangsih mereka, kami mengucapkan terima kasih. Akhirul kalam, kami berharap pembaca dapat memetik hikmah buku ini. Jakarta, 20 April 1999 www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] PENGANTAR ABDURRAHMAN WAHID MENCARI SINTESA AGAMA & NEGARA Sebenarnya, sangat sulit bagi saya untuk membuat kata pengantar bagi buku ini. Kesulitan terbesar dalam hal ini adalah adanya pengulangan terhadap apa yang saya nyatakan di dalamnya, karena hal itu dinyatakan juga oleh tokoh sentral buku ini, H. Matori Abdul Djalil. Tapi memang tidak bisa lain, karena saya harus menyatakan apa yang benar-benar menjadi pemikiran saya selama ini. Sebab, jika dengan cara lain, berarti saya berbuat tidak jujur, balk kepada diri saya maupun kepada pembaca buku ini. Masalah sentral yang selalu menjadi pemikiran saya dalam waktu beberapa tahun belakangan ini adalah mengenai hubungan antara agama dan negara. Dalam hal ini, ada dua pola hubungan yang harus dipilih: di satu 9
pihak ada suatu keinginan untuk menjadikan agama, baik secara langsung maupun tidak, sebagai referensi utama (atau diutamakan) dalam membentuk sebuah negara; sedangkan di pihak lain, tidak ada keinginan seperti itu. Menurut keinginan kedua ini, agama adalah salah satu di antara beberapa referensi dalam membentuk negara, karena itu agama tidak menjadi dasar negara. Ia sama fungsinya dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan bernegara. Karena itu, tidak ada agama yang diutamakan satu atas yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbedaan ini sangat penting artinya, karena akan menentukan corak dari negara yang akan dibangun: haruskah bersumber pada ajaran formal agama, ataukah pada sumber-sumber lain secara rata dan agama menjadi salah satu di antaranya! Dengan demikian, tidak ada pengistimewaan atas sebuah agama di atas agama-agama yang lain. Karena itu, tidak ada agama yang dianakemaskan dan tidak ada yang dianak-tirikan, semua sama kedudukannya. Ini berarti, nantinya sama sekali tidak ada lagi agama yang diistimewakan, yang berarti negara harus memberlakukan sama terhadap semua agama. Karena itu, agama tidak mungkin menjadi asas organisasi dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, satu-satunya hal yang dapat dijadikan asas adalah kebangsaan, atau prinsipprinsip yang diambil dari semua agama yang ada. Dan, prinsip-prinsip itu sudah tertuang dalam asas Pancasila. Dengan demikian, masalahnya menjadi sangat sederhana: haruskah Pancasila menjadi asas kehidupan berorganisasi dalam kehidupan atau tidak, keduanya adalah benar. Bahwa, dalam arti tidak ada keharusan berasas Pancasila atau apa pun. Banyak negara yang tidak memiliki asas, tapi bisa berjalan dengan balk, tanpa menggunakan asas bagi organisasi kemasyarakatannya. Karena, prinsip-prinsip yang dianutnya tidak disatukan dalam satu hal yang bersifat 10
formal, seperti Pancasila. Akan tetapi sebaliknya, kalau memang dibuat sebuah asas dalam kehidupan berorganisasi di negara-negara tersebut, sama sekali tidak boleh menggunakan referensi berupa agama tertentu. Kalau ini dilakukan, maka organisasi yang bersangkutan akan dipersempit lingkungannya hingga mencapai orang-orang dari agama tersebut. Dalam hal organisasi politik atau kemasyarakatan masih harus menggunakan asas, maka keputusan untuk tidak menggunakan agama tertentu akan membuahkan pertanyaan: apakah yang menjadi asas baginya! Jawabnya sederhana saja, yakni bahwa asas itu harus bersifat umum dan menyeluruh, jika diinginkan organisasi yang bersangkutan memiliki daya tarik yang luas yang meliputi seluruh jajaran bangsa. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika yang menjadi asas adalah prinsip-prinsip yang dikehendaki, bukan sesuatu yang formal atau tertuju pada salah satu agama saja. Karena itu, dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983 memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan sebagai asasnya, dan bukannya Islam. Keputusan forum itu, kemudian diperkuat pada tahun berikutnya oleh Muktamar NU ke-29 di tempat yang sama, yaitu di Pondok Pesantren milik K.H. R. As'ad Syamsul Arifin, di Situbondo. Apakah, dengan demikian, berarti NU lalu akan keluar dari lingkup agama Islam! Ternyata, tidak demikian. Karena Islam tetap hidup dalam organisasi itu dalam bentuk kesusilaan (Al-Akhlaq al-Karimah) dan cara menyebarkan terhadap agama (Al-Dakwah). Dengan demikian, NU berasaskan Pancasila tapi tetap menggunakan Islam dengan paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'IJama'ah sebagai salah satu referensi' dasarnya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak beragama Islam dapat mengikuti kiprah organisasi tersebut dengan berpedoman 11
pada asas itu, karena tidak ada kerugian apa-apa bagi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, bagi mereka yang beragama Islam haruslah disediakan tempat bagi mereka untuk berkiprah menurut ajaran agama tersebut. Landasan untuk melakukan hal itu, adalah ajaran formal agama Islam yang berbentuk aqidah (keyakinan). Dengan kata lain, kita berkiprah membangun prinsip bermasyarakat dan bernegara yang direfleksikan dalam asas yang bersifat umum untuk semua pihak, hingga memungkinkan bagi mereka yang tidak beragama Islam pun akan membantu kiprah tersebut. Dan sebaliknya, bagi kaum muslimin yang ingin menggali ajaran formal agama mereka bagi kepentingan seluruh bangsa, tersedia aqidah atau keyakinan sebagaimana tersebut di atas. Dengan cara inilah, NU berharap dapat menyelesaikan konflik falsafi di atas, yang terjadi antara asas sebagai landasan bernegara dan aqidah (keyakinan) dan sebagai landasan individual maupun kolektif dalam bermasyarakat. Mengingat keadaan seperti itu, maka NU telah berhasil memecahkan masalah dasar berupa hubungan antara negara dan agama. Menurut paham ini bisa diambil sebuah prinsip yang berlaku bagi semua warga negara. Ambil saja contoh berupa demokrasi. Dalam pengertian yang luas, demokrasi berarti persamaan peluang dan hak bagi semua pihak, terlepas dari asal usul warga negara yang bersangkutan. Bahwa, perbedaan agama, ideologi, ras, jenis kelamin, maupun tingkat ekonomi; tidaklah membuat para warganegara berbeda pada prinsipnya, melainkan berbeda pada penampilan fisiknya atau kepentingannya. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT. "Sesungguhnya telah Ku-jadikan kalian semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (yang saling berbeda-beda) agar kalian saling mengenal (Wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaa'ila ii ta'arafuu)" Dengan demikian, agama Islam dapat menjadi rahmat bagi seluruh isi alam, termasuk mereka yang tidak beragama Islam tanpa harus memeluknya sebagai agama. 12
Tepatlah firman Allah SWT. "Tiadalah Ku-utus Engkau 07Vahai Muhammad), kecuali sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamiin)" Dengan demikian, Islam datang sebagai agama yang dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa harus memeluknya secara resmi sebagai agama. Bukankah ini berarti bahwa terkadang ajaran formal agama juga harus mengalami perubahan (modifikasi)? Memang benar, karena itu terjadi dalam kenyataan hidup. Contohnya, adalah pengertian tentang murtad (apostacy) dalam figh Islam (Hukum Islam), menurut paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I-Jama'ah. Menurut pengertian lama, mereka yang berpindah agama dari Islam memasuki agama lain haruslah dihukum mati. Kalau ini diterapkan, maka dengan sendirinya lebih dari 10 juta orang warga negara Indonesia, harus dihukum mati sejak tahun 1965. Hal ini, tentu tidak mungkin akan terjadi, karenanya pengertian kemurtadan dalam figh Islam haruslah diubah. Perubahan itu dimungkinkan oleh prinsip figh yang berupa "sebab terjadinya hukum agama, balk ada maupun tidaknya hukum itu sendiri, ditentukan oleh sebab yang menimbulkannya (Yadullu ma'a illatihi alhukm wujuudan wa'adaman). Atau kaidah "Dar'u al-mafasith muqoddamun 'alajalbi al-mashalih", dalam qawa'id al-fiqh. Jelaslah dengan demikian, berasas Islam atau tidaknya sebuah organisasi, tidaklah menentukan apakah organisasi itu berasaskan agama atau tidak. Bagaimanapun juga, orang akan tetap menganggap NU sebagai organisasi Islam terlepas dari asasnya Islam atau tidak. Oleh karenanya, jika dalam Pemilu 1999 ini pendapat tersebut diterima rakyat banyak, berarti kaum muslimin di Indonesia -khususnya dalam wadah NU- telah berhasil mencari penyelesaian bagi hal yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia saat ini. Keseluruhan buku ini memperlihatkan pandangan seorang tokoh politik yang berusaha mencari sintesa seperti itu, sebuah keadaan yang dihadapi kaum muslimin di 13
seluruh dunia. Bukankah hal itu merupakan sebuah keberhasilan tersendiri! Ciganjur, Akhir Dzu al-Hijjah 1419 H/April 1999 www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab l DARI SEKJEN KE KETUA UMUM Partai Kebangkitan Bangsa yang terlahir dari garba Nahdlatul Ulama (NU) memang ditujukan seara tulus ikhlas untuk: seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali. (Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa) Sehari sebelum Deklarasi Partai Kebangkiran Bangsa (PKB), dalam Rapat Harian Gabungan Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 22 Juli 1998 di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, nama saya belum bulat diterima sebagai Ketua Umum PKB. Dalam rapat ini topik yang paling seru dan melalui perdebatan panjang adalah penetapan calon ketua umum partai. Yang menarik, muncul kandidat lebih dari satu. Mereka yang menolak saya, mencalonkan K.H. Ma'ruf Amin atau K.H. Mustofa Bisri. Saya sendiri tidak mempersoalkan kedudukan di partai. Keinginan saya yang utama adanya partai yang memberi kesegaran baru, seiring dengan bergulirnya reformasi. Itu saja! Seal diri saya, orang pasti sudah tahu kekuatan dan kekurangan saya. Oleh karena itu, saya slap saja men14
jalankan amanat dari warga NU. Ide partai itu sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan di lingkungan saya, warga Nahdliyin dan di masyarakat pada umumnya. Soal jabatan atau kedudukan menjadi nomor kesekian dari prioritas hidup saya. Bagi saya, semua itu hanya amanah dan sarana pengabdian bagi masyarakat. Saya memberanikan diri dicalonkan sebagai ketua partai karena mendapat dukungan dari K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah kiai lainnva, selain dukungan dari generasi muda NU. Bursa calon ketua pada waktu itu memang ketat, terlebih karena urgensi waktu. Hanya dalam waktu beberapa bulan partai harus siap mengikuti pemilu. Di samping itu, dalam kalangan NU sendiri masih terjadi silang pendapat soal bentuk partai pang akan dideklarasikan. Siapapun nanti yang memimpin, dia harus dapat merangkul semua kekuatan politik dalam tubuh NU dan memperoleh hasil Pemilu pang menggembirakan. Itu tentu bukan perkara yang enteng. Kiai Ma'ruf Amin sudah diplot sebagai Ketua Dewan Syura, sedangkan K.H. Mustofa Bisri tidak bersedia dicalonkan. "Kalau nama Matori dengan PKB tidak diterima maka akan saya deklarasikan sendiri!" tegas Gus Dur. "Nanti akan kita lihat siapa yang benar!" tandasnya. "Untuk saat ini, di mana PKB hanya punya waktu sangat sempit untuk menghadapi Pemilu, Matori adalah orang yang tepat. Karena dia sudah makan asam garam perpolitikan. Dia sudah merasakan bagaimana diinjakinjak," tambah Gus Dur. Masalah ada yang setuju dan tidak setuju dengan figur Matori, menurut Gus Dur, adalah hal yang biasa. "Kalau tidak ada perbedaan pendapat, ya bukan NU namanya," katanya. K.H. Cholil Bisri pun mempunyai pandangan yang sama. Kiai ini hanya terkekeh-kekeh membaca pernyataan sikap yang dibuat kelompok yang mengaku mewakili NU Jawa Tengah. Kelompok itu mengaku figur Matori tidak mencerminkan aspirasi mereka. Pernyataan sikap itu disebarkan ketika Matori sedang dibaiat menjadi ketua 15
umum. "Kalau mau bikin pernyataan itu ya mestinya minta izin saya dulu. Tapi saya mau usut siapa yang membuat ini. Soalnya dia nyuri stempel NU Jateng he...he.. he..," kata Kiai Cholil Bisri. Ali Haidar, pengamat politik yang sekaligus Sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI-persatuan pesantren dalam NU), pernah mengatakan bahwa format politik NU di tingkat lokal bisa sangat berbeda dengan format politik di tingkat nasional. "Tidak semua senang ketika Gus Dur ngotot mencalonkan Matori sebagai Ketua PKB. Sidang pleno sudah menolaknya," begitu komentarnya. Meski demikian, dukungan Gus Dur terhadap pencalonan saya tetap kukuh, "Saya tidak ingin partai ini dipimpin oleh orang yang plintat-plintut (dengan menyebut nama seseorang). Tetapi harus dipimpin oleh orang yang memiliki karakter kuat, telah merasakan pahit getirnya politik dan tahan bantingan. Dan Matori telah teruji untuk itu." Penjelasan senada juga disampaikan Gus Dur kepada beberapa orang pang di antara mereka terdapat seseorang yang duduk dalam jajaran DPP Golkar, "Saya telah menguji perilaku politik Matori sepuluh tahun lebih. Ternyata dia paling cocok. Memang, belum semua kiai NU paham. Tetapi nanti juga paham sendiri." Saya memang dipandang sebagai kader NU yang sudah malang melintang dalam panggung politik sejak zaman NU sebagai parpol hingga berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karier, atau lebih tepat dikatakan kiprah, saya sebagai Sekjen DPP PPP memang tidak diperoleh dengan gampang, melainkan merupakan suatu perjalanan panjang. Karier politik dimulai dari daerah saya, Salatiga. Mulai sebagai pemimpin PMII dan memimpin PPP di daerah itu hingga duduk dalam kepengurusan DPW PPP Jawa Tengah. Saya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Salatiga, lalu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, ketua Komisi C DPRD Jateng, ketua FPP DPRD Jateng dan sebagai anggota DPR Pusat selama dua periode. 16
Sebagai warga NU klotokan, saya sudah aktif dalam kepengurusan NU di Salatiga dan Jawa Tengah. Saya terlibat dalam organisasi sebagai kader dari bawah yang boleh dikatakan sudah cukup makan "asam garam" perpolitikan. Meskipun aktif di PPP, saya tetap loyal kepada induk organisasi saya. Salah satu contoh yang patut dikemukakan adalah saat Muktamar PPP tahun 1994 di Jakarta. Dalam muktamar itu saya "menantang" Buya Ismail Hasan Metareum dalam perebutan kursi ketua umum partai. Saya berada di "Kelompok Rembang" bersama K.H. Cholil Bisri, Imam Churmen dan tokoh-tokoh eksponen Nahdlatul Ulama di PPP lainnya. Namun, suatu silent operation terjadi. Operasi itu memanfaatkan keretakan di kelompok Rembang. Pada saat mendekati medan laga, Hamzah Haz dan teman-teman lainnya yang sebenarnya warga nahdliyin, keluar dari barisan. Praktis di saat ketika itu pertarungan dimulai, kelompok Rembang sudah "kempes" Saya pun harus mengakui kekalahan. Usaha menumbangkan Buya itu bukan untuk mengejar tujuan pribadi saya. Kalau saya hanya ingin jabatan saya cukup merangkulnya karena angin dukungan pemerintah berada di pihaknya. Justru karena partai harus menjaga jarak dengan pemerintahlah maka saya berusaha untuk mengalahkan dia dalam Muktamar. Keinginan saya adalah menuntut hak warga NU dan warga masyarakat pada umumnya yang semakin dipinggirkan. Memang, sesudah saya kalah, orang mengatakan seakan-akan saya hilang seperti ditelan bumi. Anggapan itu saya kira tidak beralasan. Saya memang sudah tidak aktif di kepengurusan PPP. Tetapi bukan berarti saya berhenti menyumbangkan pikiran dan tenaga saya. Meskipun tidak ditunjuk sebagai juru kampanye di tingkat pusat, saya tetap berkampanye di Jawa Tengah. Dalam kampanye tersebut muncul istilah "Mega-Bintang" yang diperkenalkan oleh Ketua DPW PPP Solo, Mudrick M. Sangidu. Saya juga mengadaptasi istilah itu dalam 17
kampanye di daerah itu. Saya aktif di partai bukan hanya karena ingin menjadi pengurus atau pimpinan partai. Saya aktif di partai karena saya mencintai partai. Partai saya pandang sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat atau membangun demokratisasi. Perjuangan itu tidak berhenti karena kalah dalam pemilihan jabatan partai. Kegiatan-kegiatan diskusi dan kepengurusan dalam beberapa yayasan masih saya lakukan, meskipun saya sekarang menjadi Ketua Umum PKB. Misi utama PKB adalah menegakkan komitmen bangsa yang demokratis. Sistem yang tidak demokratis dan tertutup terbukti menyebabkan ekonomi ambruk, pemerintahan yang represif serta munculnya penjarahan, berbagai teror lainnya, termasuk kekerasan seksual. Misi itu sangat berat, mengingat keutuhan bangsa saat ini nyaris tercabik-cabik. PKB berkewajiban mengembalikan keutuhan bangsa ke arah masyarakat yang damai dan dijiwai semangat persaudaraan. K.H. Abdurrahman Wahid jauh-jauh hari sudah mengajak warga NU untuk mencoblos PKB. Warga NU tampaknya tidak mau mengulangi sejarah peran politiknya. PKB didirikan PB NU untuk mewadahi, khususnya aspirasi politik warga NU yang selama ini tidak tertampung oleh tiga orsospol yang sudah ada. Termasuk di PPP, sekalipun pada saat partai itu didirikan tahun 1973, NU termasuk yang berfusi Lersama MI, PSII, dan Perti. Di pentas politik nonstruktural pun NU berada di pinggiran. Istilah yang begitu populer adalah "NU seperti tukang dorong mobil mogok. Setelah mobilnya jalan, ditinggal plung begitu saja. Bahkan K.H. Cholil Bisri menambahi, tidak hanya ditinggal tetapi sempat diidoni (diludahi)." Terus terang saja, sebagai organisasi massa yang sangat besar, nasib NU selama rezim Soeharto memang kurang menggembirakan. Di pentas politik, NU dipreteli secara bertahap. Setelah "dianjurkan" berfusi dalam PPP, unsur NU tidak pernah berkesempatan memimpin partai tersebut. Padahal, PPP mengandalkan perolehan suara dari massa NU. 18
Itu pula sebabnya, dalam deklarasi pembentukan PKB pada tanggal 23 Juli 1998 yang dibacakan oleh salah seorang deklarator, K.H. Muchid Muzadi, dikemukakan bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, perjuangan bangsa untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat scbagai pemegang kedaulatan. Pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan praktek kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali yang pada gilirannya mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan untuk mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa depan, diperlukan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dalam tatanan kehidupan yang demokratis tersebut, warga Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa Indonesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lainnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia, dan bermartabat melalui suatu wadah partai politik. Dalam sambutannya seusai pengumuman pengurus, Gus Dur mengatakan bahwa tugas yang diemban PKB sangatlah berat. Selain mereka harus bekerja keras untuk memenangkan Pemilu, PKB juga harus mengimplementasikan visi partainya yang bersifat kejuangan, demokratis, dan terbuka. "Tidak sedikit dari kita, termasuk warga NU, yang selama ini menganggap warga keturunan Tionghoa bukan sebagai orang Indonesia. Ini salah, karena tidak ada yang asli di Indonesia. Nenek moyang saya 500 tahun yang lalu adalah orang Tionghoa. Oleh karena itu, saya tidak terima kalau di Indonesia ini ada perbedaan ras," katanya. Dalam sambutannya Gus Dur juga menyinggung adanya kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap rencana NU mendirikan partai politik dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang "mengecilkan" NU. Oleh 19
karena itu, tegasnya, warga NU diharapkan ikut dalam Pemilu mendatang dan mencoblos PKB. "Ini bukan kampanye, karena belum waktunya. Tapi ini untuk menunjukkan bukti bahwa PBNU mendukung dan mendirikan PKB," tegas Gus Dur yang disambut riuh warganya. Deklarasi itu merupakan klimaks dari keinginan warga NU untuk mendirikan partai sendiri. Keinginan itu ditanggapi secara hati-hati oleh PBNU. Mengingat, hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik mana pun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Deklarasinya hanya berupa alinea singkat, tetapi substansinya membalikkan seluruh sikap politik sebuah organisasi raksasa, yaitu "Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis." Deklarasi Situbondo itu selanjutnya dikenal dengan istilah "kembali ke Khitah 1926". Khitah boleh pula dianggap sebagai cara NU menyelamatkan kepentingannya. Apa yang dialami jamaah dan jam'iyah NU, dipinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentulah menjadi salah satu pertimbangannya. Meski demikian, bila kemudian NU melahirkan partai, hal ini bukan berarti Mengkhianati Khitah 1926. Ini merupakan upaya menyerap suara dan aspirasi kaum nahdliyin yang begitu besar. Mengutip komentar K.H. Said Aqil Siradj, "PRNU tidak menyalahi khitah. Sebab PKB adalah partainya warga NU, bukan partai organisasi. Dan, yang menjadi pengurus partai harus keluar dari PBNU. Lagi pula, Muktamar Situbondo memutuskan yang kembali ke khitah itu NU, sedangkan warganya silakan berpolitik." Itulah situasinya. Dan, guna memenuhi desakan untuk membentuk parpol sendiri, PBNU membentuk Tim Lima 20
yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai K.H. Ma'ruf Amin, dengan anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, Rozy Munir, dan Achmad Bagdja. Untuk mengatasi hambatan, Tim Lima tidak dibekali surat keputusan PB NU. Kemudian pada tanggal 20 Juni 1998 dibentuk Tim Asistensi untuk membantu Tim Lima antara lain dalam menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU untuk mendirikan partai baru. Saat rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziah PBNU berlangsung, saya berada di rumah saja. Lha wong saya hanya mengusulkan sama Gus Dur. Ini Iho Gus mbok: bikin partai terbuka yang berwawasan kebangsaan untuk membangun demokrasi. Gus Dur bilang, "Pak Matori, keinginan itu bagus. Hanya harus hati-hati, karena desakan untuk membentuk partai di tubuh NU itu besar sekali." Saya pun menunggu dengan melakukan kegiatankegiatan saya sendiri. PBNU membentuk panitia untuk menjajagi dan mempertimbangkan pendirian partai sendiri. Suatu ketika saya bertemu Gus Dur lagi, beliau bilang nanti akan dibentuk partai dan Pak Matori menjadi ketua umum. Mendengar itu saya ya tenang-tenang saja, karena yang mengatakan Gus Dur sendiri. Mengapa kemudian habis rapat itu timbul pro dan kontra soal saya, karena di NU sendiri banyak orang yang mampu untuk itu. Interest dalam politik itu sangat manusiawi dan wajar saja. Di samping itu, tidak semua kiai mengenal saya. Memang dalam "peristiwa Rembang" saya dijagokan para kiai Muktamar PPP 1994 dan saya dikalahkan oleh Buya Ismail Hasan Metareum. Tentu saja sikap pro dan kontra itu saya jadikan cermin untuk berkaca diri, memperbaiki diri. Tidak ada orang yang sempurna, makanya saya harus terus memperbaiki diri. Susunan lengkap DPP Partai Kebangkitan Bangsa saya kira perlu dikerahui umum, sebagai herikut.
21
Para Deklarator K.H. Ilyas Ruhiyat K.H. Munasir Ali K.H. A. Mustofa Bisri K.H. Muchit Muzadi K.H. Abrurrahman Wahid Dewan Syura Ketua: K.H. Ma'ruf Amin Wakil Ketua: K.H. M. Cholil Bisri Sekretaris: K.H.M. Dawam Anwar Anggota: Brigjen TNI (Purn) K.H. Sullam Syamsun K.H.M. Hasyim Latief Dr K.H. Nahrawi A Salam K.H.M. Mukeri Gawith, MA K.H. Yusuf Muhammad, MA K.H. Dimyati Rais Hj Sariani Thaha Ma'ruf TGH Turmudzi Badruddin Dewan Tanfidzi Ketua Umum : H. Matori Abdul Djalil Ketua Dr H.Alwi Shihab Dra. Hj. Umrah M Tholchah Mansoer H. Agus Suflihat Mahmud H. Amru Mu'tashim, SH K.H. Imam Buchari AG H. Taufiqurrahman Saleh, SH. Msi Drs. Yafi Thahir Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa Sekjen: Drs. A. Muhaimin Iskandar Wakil Sekjen: Drs. Amin Said Husni 22
H. Aris Aahari Siagian H. Yahya Staquf Cholil Bendahara: H. Imam Churmen Wakil Bendahara: H. Ali Mubarrak H. Safrin Romas, MBA Banyak harapan ditujukan pada Partai Kebangkitan Bangsa setelah kemunduran demi kemunduran politik terjadi pada masa Orde Baru. Tumbuhnya aliansi ABRITeknokrat menghasilkan kemenangan mutlak Golkar sejak Pemilu 1971. Golkar di bawah pimpinan Ketua Dewan Pembinanya bertindak sekaligus sebagai pemain, pengawas, dan pembina semua partai. Partai-partai Islam digiring dalam satu wadah tunggal, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Pada kesempatan deklarasi itu K.H. Ma'ruf Amin menyatakan warga NU terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan dengan balk dalam orsospol yang ada atau belum ada orsospol yang mampu menampung aspirasi warga NU. "Sekarang kami sepakat untuk bersatu. Kami tidak mau lagi menjadi kerdil. Mereka sekarang disatukan dalam Partai Kebangkitan Bangsa," Kata Kyai Ma'ruf. Partai ini, tambahnya, adalah partai terbuka namun tidak akan menghilangkan identitas keislaman pada landasan perjuangannya. www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Mengapa saya? 23
Banyak orang ingat peran saya sebagai formatur dalam Muktamar PPP tahun 1994. Saya bersama K.H. Syamsuri Badawi merupakan dua formatur yang berasal dari NU, sedangkan lima lainnya dari unsur Muslimin Indonesia. Saat sidang formatur, ada dua tawaran yang diajukan, yakni kursi NU untuk pengurus harian ditambah satu. Usulan itu disetujui. Satu lagi, dalam hal pengisian kursi tersebut menentukan orang-orangnya adalah unsur NU sendiri. Tawaran kedua itu ditolak oleh lima formatur MI, satu di antaranya adalah Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum lama yang kemudian terpilih kembali. Karena permintaan kedua ditolak, saya tidak mau lagi meneruskan sidang. Percuma saja, kalau kemudian di dalam rapat hanya model voting karena hal itu sudah sering terjadi selama ini di DPP PPP. Saya sudah tahu pada saat yang menentukan itu Hamzah Haz dan kawan-kawan sudah keluar dari barisan "Rembang." Ada yang mengatakan bahwa kubu saya yang dijagokan Kelompok Rembang kalah karena kekurangkompakan unsur NU dalam PPP. Tetapi, ada yang menyebut lebih disebabkan oleh suasana politik waktu itu yang memang tidak menguntungkan untuk saya. Sekjen meminta restu pada Ketua Umum PBNU Gus Dur yang tidak disenangi pemerintah. Sebagai kader NU yang dikenal dekat dengan Gus Dur, saya tidak takut mengatakan bahwa saya mendapat restu Gus Dur, meskipun kemudian kalah dalam muktamar. Langkah saya itu menyebabkan saya tidak dimasukkan dalam daftar calon. Bahkan, dalam kampanye saya tidak dimasukkan sebagai juru kampanye tingkat pusat. Tetapi, karena kecintaan kepada partai yang sudah digeluti sejak puluhan tahun, saya tetap berkampanye dan membantu anggota lain bila diperlukan. Saya mengharapkan bahwa sikap saya yang ikut serta dalam pemilihan ketua partai dapat menjadi pelajaran demokrasi yang baik bagi masyarakat. Itulah demokrasi. Meskipun saya tahu tidak 24
semua politisi NU berani melakukan hal itu. Mengapa saya bersikap respect sekali pada Ali Sadikin dan temantemannya. Karena meskipun tahu kalah ia tetap berani mengambil jarak, mengkritik, dan mencoba melakukan kontrol atas kekuasaan presiden yang makin hari makin bertambah besar. Mestinya, fenomena itu dapat menjadi semacam "pencerahan" (enlightenment) pada para politisi di negeri ini. Salah seorang anggota Komnas HAM, Roekmini Koesoemo Astuti, almarhumah pernah menegaskan perlunya pencerahan di kalangan elite pemerintahan agar kesadaran hukum dan politik mereka semakin meningkat. "Jangan selalu menganggap mereka yang paling benar dan menjadi penafsir tunggal dari semua persoalan yang terjadi di negeri ini," ujarnya. Tetapi memang harapan berbeda dengan kenyataan. Meskipun "lepas" dari PPP, saya ini orang politik. Pekerjaan saya, ya politik. Saya ikut kampanye bukan hanya karena saya menjadi pengurus atau pimpinan melainkan karena kecintaan saya pada partai. Gus Dur juga menyatakan bahwa saya kalau memimpin partai bukan sekadar ingin menjadi anggota DPR. Kalau saya sekadar ingin menjadi anggota DPR saja, tentu saya cukup bekerja sama Ismail Hasan Metareum. "Tetapi, dia ingin membawa partai ini lebih dari itu. Hal itu berbeda dengan orang-orang NU lainnya. Mereka paling-paling sekadar ingin jadi DPR. Setelah itu selesai," tegas Gus Dur. Memimpin partai ini adalah amanah. Untuk itu, beliau saya ditugaskan dengan mengucap "la haula wala quwwata illa billah" (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah), saya slap. Tantangan PKB adalah mendorong sipil atau masyarakat madani yang selama ini dipinggirkan sebab sudah tiba saatnya tampil ke depan. Politisi sipil bertanggung jawab mengembalikan hal besar yang penting bagi bangsa ini, Akibat pendidikan politik yang salah selama ini, politisi maupun masyarakat biasa menganggap musuh atau 25
berseberangan orang yang berbeda pendapat. Bangsa ini sudah terbiasa diseragamkan. Di pundak saya bersama kawan-kawan, titik pijak PKB dipertaruhkan. Mampukah saya membawa PKB menjadi partai besar, bukan hanya dalam hal jumlah suara tetapi juga dalam peran menentukan corak masa depan bangsa dan umat! Menurut saya, apalah artinya memiliki jumlah suara besar, tetapi mendapat peran pinggiran. Tantangan tidak ringan. Saya harus bisa menghimpun seluruh massa NU yang jumlahnya mencapai 40 juta jiwa. Ini tidak mudah karena massa NU terkonsentrasi di pesantren. Seperti dimaklumi, di pesantren, para kiai memiliki otonomi yang sangat kuat. Di samping itu, massa NU dikenal sebagai pemilih tradisional PPP selama dua dasawarsa lebih, selain masih banyak tokoh NU di PPP yang bisa juga mempunyai massa sendiri. Sering ada tuduhan dari orang luar bahwa PKB terlalu mengandalkan nama besar Gus Dur. Sekjen PPP saat itu Tosari Widjaja, mantan aktivis Ansor berpendapat bahwa figur yang tampil menjadi pimpinan akan sangat menentukan minat warga NU untuk bergabung atau tidak dengan PKB. "Kita lihat saja figur pimpinannya, apakah bisa merekrut warga NU atau tidak. Sebab Gus Dur sendiri tidak berada di barisan ini, tapi memilih bergabung dengan Megawati", tegas Zarkasih Nur, salah seorang pimpinan PPP. Hal itu, menurut Tosari, berbeda kalau NU menjadi partai. PKB tidak didirikan oleh PBNU, sementara PPP ada karena keputusan resmi NU untuk berfusi bersama partai Islam lainnya. PKB memang menggunakan ide dan gagasan Gus Dur, namun hal itu hendaknya jangan hanya ditafsirkan secara fisik. Bagaimanapun besarnya peran Ketua Umum PBNU itu, Gus Dur tidak menentukan dirinya sebagai ketua partai. Dia hanya meminta seseorang yang dianggapnya mampu, supapa mengantar partai ini sampai pemilihan umum yang akan datang. Ternyata permintaan itu diterima oleh PBNU dengan beberapa pertimbangan dan catatan. Kepuasan semua pihak tidak mungkin 26
tercapai 100%. Bagaimanapun pendeklarasian PKB saya kira tidak kalah demokratis dengan deklarasi partai partai lain. Gus Dur bukan hanya berkali-kali menyampaikan bahwa Islam itu inklusif dan persaudaraan. Namun, dia juga melakukan action aktif mempersatukan bangsa. Visi dan usaha itu juga kita usahakan lewat perjuangan partai. Memang tidak sedikit yang menolak kehadiran saya di pucuk pimpinan PKB. Selain intern PBNU, juga dilakukan tokoh-tokoh intern PPP. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Yayasan Saifuddin Zuhri yang diprakarsai oleh adik kandung Gus Dur, Ir. Salahuddin Wahid. "PBNU telah bersikap diskriminatif terhadap partaipartai baru di kalangan NU selain PKB," tulis Salahudin di sebuah surat kabar Ibu Kota. Sikap senada disampaikan oleh K.H. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng, Jombang. Pak Ud, demikian panggilan akrab kiai itu, tidak mau bergabung dengan PKB karena dipimpin oleh saya. Mantan anggota MPP PPP ini menilai, saya tidak memiliki keulamaan dan kematangan politik. Menurut dia, orang yang memenuhi syarat memimpin PKB adalah K.H. Mustofa Bisri. Ia memiliki kualitas individu, ulama, pola pikir dan moralitas yang tidak diragukan lagi. Sikap serupa juga dilontarkan oleh K.H. As'ad Umar dari Peterongan, Jombang yang juga menjadi anggota Wahab yang dikenal sebagai tokoh KPPNU (Koordinasi Pengurus Pusat NU) pimpinan Abu Hasan. Silang pendapat tentang kedudukan saya dalam partai menjadi cambuk bagi saya untuk melakukan yang terbaik bagi kesuksesan tujuan partai. Di samping itu, aneka pendapat itu juga mendorong saya berkomunikasi dan turun ke bawah menampung aspirasi dan harapan mereka. Secara pribadi saya tidak merisaukan silang pendapat itu karena kerlibatan di partai bukan untuk mengejar kepentingan pribadi saya. Partai adalah sarana ibadah. Saya berjuang dalam partai dengan niat mengabdi kepada Allah. 27
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Agenda Politik Kritik dan reaksi masyarakat saya pandang sebagai cermin diri agar terus berada pada jalur yang benar, selalu memperbaiki dan menyempurnakan diri. Salah satu kritik itu juga datang dari Dawam Rahardjo, salah seorang Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) sebelum lahirnya PKB, NU sebenarnya bisa digolongkan organisasi terbesar yang memperjuangkan civil society secara murni. Namun, setelah lahirnya PKB yang didirikan untuk mewadahi warga NU dalam pentas politik, menurut Dawam, ciri khas NU itu hilang. "Hal itu bukan berarti saya anti-PKB. Saya hanya mengatakan bahwa PKB itu didirikan untuk mewadahi aspirasi NU," kata Dawam. Artinya, menurut dia, memang ada suatu desain bahwa orang NU itu memilih PKB. Dasar ketidaksetujuan Dawam adalah pandangan bahwa NU itu sebaiknya menjadi organisasi civil society yang memberi kebebasan warganya untuk memilih partai politik apa saja sehingga tidak perlu membuat partai yang menampung aspirasi NU. Menurut dia, ada perbedaan cukup mendasar antara PAN dan PKB. PKB didirikan oleh organisasi, sedangkan PAN itu tidak didirikan oleh organisasi tetapi dirikan oleh individu-individu. Jika organisasi-organisasi itu mendirikan PAN, Dawam menolak. Dawam menyatakan tidak setuju bila suatu organisasi itu berafilisiasi dengan parpol. Ini untuk membebaskan organisasi civil society dari partai-partai dan mencegah perpecahan. Kalau nanti warga NU menyalurkan suaranya ke PKB dan kebetulan PKB kalah, wah nanti warganya dikuyo-kuyo (disindir-sindir), 28
katanya. Tentu saja Dawam boleh berpendapat begitu. Itu hak dia. Cuma bagi saya aneh bila demi menegakkan civil society warga NU tidak boleh mendirikan partai politik sendiri. Bukankah sebaliknya, justru adanya partai menjadi wadah untuk meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan partisipasi politik. Partai sebagai sarana artikulasi dan agregasi (penampilan masalah secara menyeluruh) kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembagalembaga politik. Soal kalah atau menang bukankah itu biasa dalam politik? Mengapa kekhawatiran itu berlebihan? Saya juga menyadari ada "kebencian" kepada NU dan PKB. Hal itu tampak dalam serangkaian aksi tindak kekerasan di Banyuwangi yang menelan banyak korban dari warga nahdliyin. Orang mengatakan ada hujatan kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, seperti khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan bahwa keadaan yang lalu lebih bagus dari sekarang. Indikasiindikasi itu ada. Menurut K.H. Hasyim Nuzadi, Ketua PWNU Jawa Timur, ada dua kekuatan yang bertarung yang disebutnya sebagai yang pro status quo dan pro perubahan. Di dalam kantong status quo isinya banyak. Yang main di dalam ini banyak. Mungkin rezim yang lama, mungkin orang yang akan dirugikan dengan pemilu, mungkin juga orang yang akan bergeser kekuasaannya, mungkin juga kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRI) yang mengecil. Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau terbongkar salahnya. Ini semua jadi satu. Satu keranjang dalam istilah saya status quo itu. Sementara yang reformis masih dalam tanda petik," tegas Kiai Hasyim. Tentang kasus Banyuwangi ada satu komentar menarik dari K.H. Maksum Jauhari, salah seorang pengurus DPW PKB Jawa Timur, "Yang bakal menang pada Pemilu 29
1999 adalah PKB, karena PKB adalab partai hesar. Kalau Golkar kalah, itu berarti tidak ada orang-orang Soeharto dan kroninya, yang saya ibaratkan sisa-sisa laskar Pajang itu melakukan teror dan pembunuhan terhadap ulamaulama NU. Ulama itu tokoh anutan umat. Ulama ibarat lidi. Kalau tali pengikatnya lepas, sapu lidi pengikat sapu itu tercerai berai." PKB bersama PBNU tidak mau terpancing dengan manuver kekerasan itu. Ketua Umum PBNU pada Perayaan Idul Fitri tahun 1997 pernah menegaskan, apabila hendak membudayakan dan menegakkan demokrasi jangan sekalikali menggunakan kekerasan, tetapi hendaknya memakai cara-cara persuasi, betapapun repotnya. "Kita tidak melakukan sesuatu yang bersandar pada kekerasan. Negeri ini milik bersama, jangan sampai ada kelompok yang menamakan diri mayoritas kemudian berteriak memintaminta bagian "kue pembangunan" yang lebih besar dengan menyebut dan membawa-bawa nama Islam. Sikap ini harus kita hindarkan. Negeri ini milik bersama, mari kita bangun bersama-sama," tegasnya. Kalau kita masih mempunyai prinsip mau menang sendiri karena merasa mayoritas kita tidak dapat menghindarkan diri dari kekerasan. Untuk itu, setiap muslim harus lebih dahulu mengubah konsep jihadnya. Sebab, jihad akbar, kata Gus Dur lagi, adalah memerangi hawa nafsu dalam diri kita sendiri. Kecenderungan mau menang sendiri saat ini sudah menggejala. Untuk menghindarinya mari kita kembali kepada kebersamaan. Agenda bangsa yang paling penting seperti ditegaskan oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, adalah masalah persatuan dan kesatuan, seperti disebut dalam Manifesto Politik Tahun 1925. Tanpa itu, tidak bisa negara terselenggara dengan berhasil. Prinsip berbangsa itu unity, liberty, dan equality. Perlu juga ditambah personality, karena manusia harus memiliki kepribadian, harus berbudaya. Tanpa kebudayaan tidak ada artinya. Prinsip kelima adalah per30
formance, prestasi. Jadi, aktualisasi nasionalisme: Kita harus memelihara kesatuan dan kerukunan beragama. Kedua, bila ingin unggul dalam Iptek maka kebudayaan mesu budi (asketisme) di dalam kampus mesti dicangkokkan dan dipelihara masyarakat. Yang diperlukan model peran (role model). Jangan hanya konsep atau omongan sebab masyarakat butuh model peran konkrit, keteladanan nyata. Agenda lain adalah masalah dwifungsi ABRI. Deklarasi Ciganjur menegaskan bahwa dwifungsi akan dihapuskan secara bertahap dalam kurun waktu G tahun. Saya ingat kata-kata Marsilam Simanjuntak, idealnya tentara dibutuhkan untuk negara. Itu akan lebih efektif kalau tentara memusatkan perhatiannya kepada pembinaan untuk dikerahkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Tentara dipercaya pegang senjata. Kapan dan ke arah mana senjata itu ditembakkan, itu bukan dia yang menentukan. Itu harus wewenang di luar dirinya. Yang penting, menjadi militer bukan sesuatu vang otonom. Militer bagian dari perlengkapan negara, yang sengaja diadakan dan diatur untuk itu. Dari permulaan orang yang masuk ke situ harus tahu, ini pengabdian. Sebaliknya, masyarakat juga harus mampu menciptakan mekanisme pengambilan politik dan mekanisme penyelesaian konflik sosial-politik dengan cara damai. Kalau tidak ada perpecahan, tidak perlu usaha pencegahan berupa fungsi sosial-politik ABRI dan sebagainya. Agenda ketiga adalah masalah konsolidasi ke dalam partai sendiri. William Liddle pada acara Reuni UI di Jakarta, 18 Agustus 1998 menjelaskan dua kelemahan PKB. Pertama, perpecahan di dalam NU. Misalnya, ada tokohtokoh NU yang membentuk partai sendiri, seperti Yusuf Hasyim, Abu Hasan, dan Syukron Makmun. Tetapi, munculnya tokoh NU untuk mendirikan partai dengan basis NU itu tidak banyak pengaruhnya terhadap PKB. 31
Kedua, visi orang-orang PKB untuk Indonesia masa depan. Menurutnya, PKB tidak mempunyai visi nasional, tetapi hanya memiliki visi lokal dan parokial. Liddle bercerita bahwa seorang temannya mengadakan penelitian di Jatim terhadap para kiai bahwa pemikiran mereka adalah bagaimana menguasai Departemen Agama dan jabatan-jabatan politik lain. Pendapat tentang "kelemahan" dari Liddle itu disanggah oleh K.H. Cholil Bisri bahwa dirinya orang modern hanya pakaiannya saja yang tidak modern. Modern atau tidak itu tidak hanya pada pakaian, tetapi pada pikiran dan perilaku. Dengan pembentukan partai itu berarti pola pikir modern sudah ada. Adanya partai lain selain PKB bukan berarti perpecahan, tetapi hanya perbedaan pendapat. Hal itu ditegaskan oleh salah seorang Ketua Pengurus Besar NU yang juga salah seorang anggota Tim Lima PBNU, Rozy Munir, "Orangorang yang memimpin dan membantu pembentukan PKB itu tidak ada yang kolot dan tak ada yang antimodern." Rozy Munir juga tidak sependapat terjadinya perpecahan gara-gara ada tiga tokoh NU: Yusuf Hasyim, Syukron Makmun, dan Abu Hasan mendirikan partai sendiri. "Dan meski kini ada tiga partai, namun rapat pleno PB NU setelah pendeklarasian PKB beberapa waktu yang lalu menyatakan hanya mengakui PKB sebagai satu-satunya partai untuk mengakomodasi warga NU." Di samping kelemahan, terdapat juga kekuatan PKB, yaitu basis NU yang terbukti sejak tahun 1955 hingga kini; kepemimpinan yang sudah mentradisi lewat dukungan para kiai dan jaringannya; dan modernisasi di lingkungan pesantren tentang pemahaman akan kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan penegakan HAM. Tentang sikap Pak Ud bukan sesuatu yang aneh baik bagi saya maupun warga NU. Kedua orang ini, paman dan keponakan, sejak lama berbeda visi, persepsi, taktik, dan strategi politik. Ketika Gus Dur menolak ICMI, Yusuf 32
Hasyim justru mendukung ICMI dan masuk di dalamnya. Kctika Gus Dur mendukung saya melalui "Gerakan Rembang" untuk menggulingkan Ismail Hasan Metareum, Yuusuf Hasyim justru mengundang Metareum ke Pondok Pesantren Tebuireng dan akhirnya diberi jatah sebagai anggota MPP PPP, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya. Kalau saya telusuri sejenak perjalanan politik NU, termasuk keluarga para tokoh NU, memang secara wadah tidak pernah utuh. Ketika K.H. Wahab Chasbullah menyarakan NU keluar dari Masyumi dan bcrdiri sendiri sebagai partai tahun 1952 dan ikut Pemilu tahun 1955 tidak semua warganya mendukung partai NU. Ranyak juga yang masih mcndukung Masyumi. Bukan hanya itu, putra-putra tokoh NU sendiri sikap politiknya berbeda-beda Keluarga K.H. Hasyim Asy'ari sebagian mendukung NU, sebagian tetap Masyumi. Begitu pula keluarga K.H. Siddiq dari Jember. Dalam musim kampanye, karena mereka menjadi juru kampanye, tentu saja di antara mereka saling menyerang. Kalau sekarang juga terjadi pro dan kontra, baik menyangkut kelahiran PKB maupun pemimimpinnya itu wajar saja. Perbedaan sikap adik-adik kandung Gus Dur, yaitu Salahuddin Wahid dan Aisyah Hami Baidlawi berbeda dengan kakaknya sudah menjadi rahasia umum. "Kalau tidak beda bukan NU. NU kan memang selalu begitu," tegas Gus Dur. Bukankah perbedaan itu rahmat! Coba kalau di dunia ini isinya sama saja. Pastilah menjemukan dan tidak ada keindahan atau mungkin sekali cepat kiamat. Melihat penolakan itu di dalam hati terpikir, saya ini ibarat ayam yang dimasukkan ke kandang baru, lalu ayamayam yang sudah merasa lama di kandang mecohi (mematuk) saya. Hanya saja, saya sudah cukup lama meninggalkan kandang itu. Tetapi, kita sebetulnya samasama satu kandang. Perbedaan pendapat khususnya mengenai diri saya itu tidak membuat pendirian Gus Dur dan para kiai lainnya surut. Tak pelak lagi, akhirnya saya tampil untuk memimpin partai warga nahdliyin. Kawan33
kawan saya berkomentar, "Wah sekarang spesialis sekjen menjadi ketua umum partai!" Di sebuah harian dari Jawa Tengah menulis berita tentang saya dengan judul "Gagal di PPP Jadi di PKB!" Saya sebetulnya merasa biasa-biasa saja. Kalau dilihat dari segi kedudukan di NU saat itu barangkali banyak tokoh lain yang memiliki jabatan yang juga pantas untuk menjadi I<etua Umum PKB. Ketika dimintai komentar seal penolakan sejumlah orang tentang pencalonan saya, Gus Dur dengan tegas menjawab, "Mereka itu berpikir ke belakang. Padahal, kita ini harus berpikir ke depan." Saya diharapkan mampu mengelola perbedaan-perbedaan pendapat itu dengan pengalaman dan kemampuan saya melakukan lobbi. "Ben wae. Matori iso! (Biar saja. Matori bisa!). Matori bisa menyelesaikan masalah itu, sehingga mereka kelak akan mendukung juga," kata Gus Dur, tenang. Harapan yang ditimpakan ke pundak saya cukup berat dalam kepengurusan 1998-1999. Tetapi saya merasa tidak sendirian. Saya merasa rakyat Indonesia sedang bangkit dan bersama-sama mulai menyadari hak dan kedaulatannya atas republik ini. Suatu kebangkitan masyarakat sipil (civil society) telah tumbuh subur di era reformasi ini. Tentang kebangkitan kaum sipil itu, paling tidak ada tiga hal yang bisa saya catat. Pertama, gerakan-gerakan sosial menghasilkan terbentuknya berbagai organisasi. Dalam pemahaman ini berbagai organisasi lahir dari unsur pluralitas yang merupakan representasi keragaman aspirasi dan kepentingan dalam masyarakat. Kedua, semua organisasi berkoalisi dan menyatukan kekuatan bersama dalam memperjuangkan kepentingan umum atau kepentingan bersama. Ketiga, kepentingan yang diperjuangkan adalah kehidupan negara yang demokratis atau dengan kata lain, mengembalikan kedaulatan rakyat ke kedudukannya yang sebenarnya. Antisipasi terhadap kebangkitan masyarakat itu telah dilakukan dengan deklarasi PKB yang dibidani oleh tokoh-tokoh dan warga 34
nahdliyin. Saya kira kinilah saatnya kebangkitan bangsa itu akan terjadi. Tindak tanduk saya baik di luar rumah maupun di dalam rumah, saya coba tidak berbeda. Jika misalnya saya sering menyerukan menjunjung tinggi demokrasi di luar, seruan itu juga saya terapkan di dalam rumah. Anak saya yang kuliah di IKJ misalnya, karena praktek kerja sering pulangnya sampai malam. Sebagai orang tua, saya sering menasihati, "Bapak memberi kebebasan kepada kamu supaya kamu selamat. Makanya, kamu harus bertanggung jawab pertama-tama terhadap dirimu sendiri." Saya berkata begitu, karena anak perempuan "sekali salah" dia akan salah terus. Artinya, kesalahan itu akan dia bawa terus seumur hidup. Alhamdzllillah dia mengerti. Anak perempuan saya bergaul dengan banyak orang, maka saya tidak khawatir. Selain, saya percaya Gusti Allah juga karena yang berbahaya itu kalau ia hanya bergaul dengan satu orang saja. Dengan bergaul dengan banyak orang, balk laki-laki maupun perempuan, dia sudah melatih diri untuk memiliki ketahanan diri menjaga martabat dan kehormatan. Tetapi kalau hanya satu orang, apalagi lakilaki, itu malah berbahaya, bisa-bisa "kecelakaan" nanti. Sumber Bacaan Detak: No. 017 Thn I 3 -9 November 1998: K.H. Hasyim Muzadi - Ketua PU NU Jatim K.H. Maksum Jauhari: "Dalangnya Sisa-sisa Laskar Pajang"- pengurus DPW PKB Jatim Kompas, 23 April 1996 Kompas, 8 Maret 1997 "Halal Bihalal Budayakan Demokrasi Fitrah Harus Menang" Kompas, 24 Mel 1998 Kompas, 22 Juli 1998 "Matori-Muhaimin-Imam Churmen Pimpin Partai Kebangkitan Bangsa Kompas, 23 Juli 1998 "Pengaruh PKB pada PPP Masih Belum Dapat Diukur" Kompas, 24 Juli 1998 "Partai Kebangkitan Bangsa Berdiri" "Partai Kebangkitan Bangsa, Kerinduan Warga NU" Kompas, 27 Juli 1998 "Matori Abdul Djalil Saatnya Mendorong Kaum Pinggiran" Kontan, No. 2 Tahun III, 5 Oktober 1998 " Militer Bukan
35
Sesuatu yang Otonom" Merdeka, 5 September 1998 "Dawam Lancarkan Kritik ke PKB" Merdeka, 17 November 1998 "Penjelasan Salahudhin Wahid" (Surat Pembaca) Republika, 23 Juli 1998 Suara Merdeka, 26 Juli 1998 Tempo edisi 12-18 Januari 1999 "Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai "Khitah Tembus Jalan Buntu"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab 2 KILAS BALIK KEBANGKITAN KAUM ULAMA Ada hal yang tidak mungkin dihindari, yakni pertumbuhan bangsa kita secara demokratis dan sosiologis sebetulnya sangat positif: ini ditinjau dari berbagai segi, termasuk: dari segi perkembangan Islam (Nurcholis Madjid) Barangkali ada yang bertanya: mcngapa saya menjadi orang NU? Tentu saja demikian, sebab lingkungan dari mana saya berasal adalah NU. Usia saya baru enam tahun, ketika ayah saya Abdul Djalil meninggal dunia. Saya kemudian diasuh oleh kakek saya, Haji Elias. Sebagai seorang warga nahdliyin tentu kebiasaan-kebiasaan keNU-an membentuk saya, di samping sekolah saya di Madrasah Ma'arif yang juga dikelola NU. Untuk ukuran zaman itu, menurut saya, kakek termasuk orang modern. Ia misalnya, berlangganan majalah dan saya membaca majalah-majalah yang dibeli kakek. Boleh dikatakan, kakek saya seorang NU yang bersikap 36
modern. Dia menganjurkan anak dan cucunya untuk menimba ilmu dan untuk sekolah di mana pun. Saya juga diizinkan bergaul dengan banyak orang, sehingga membentuk sikap terbuka dalam diri saya. Saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, termasuk saudara sepupu saya, M.M. Billah. Sepupu saya itu dikenal sebagai aktivis LSM dan pimpinan LSM. Kalau ada orang meninggal, kami bersembahyang kubur, mendoakannya di hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan seterusnya, sebagaimana layaknya kebiasaan orang Jawa. Secara teologis, kenapa jadi orang NU, pemahaman saya begini: Dalam Islam, saya melihat ada tiga paham. Pertama, Mu'tazilah yang mengagungkan kebebasan manusia untuk berbuat ini dan itu. Sukses dan keberhasilan seolah-olah seratus persen bergantung dari ikhtiarnya. Pandangan ini tentu saja berat sebelah, sebab meletakkan manusia sebagai makhluk yang bebas seratus persen, tidak perlu bergantung pada Allah dalam hidupnya. Kedua, Jabariah yang percaya bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia itu sudah ditentukan oleh Allah SWT. Jadi, manusia tanpa menerima takdir. Pandangan yang merupakan antitesis yang pertama ini berat sebelah, karena bisa menyeret manusia banya pasrah pada keadaan. Ia hanya pasif menunggu takdir. Ketiga, Sunni atau lengkapnya Ahl-u 'I-sunnah wa 'ljama'ah yang meyakini bahwa manusia memiliki ruang gerak untuk berikhtiar, berusaha, di samping Tuhan yang menentukan demi kebaikan manusia. Paham ketiga itu saya rasa cocok sekali, sebab merupakan sintesis dari pandangan pertama dan kedua. Tentang Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, cendekiawan Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa kalangan pesantren mengacu pada golongan Sunni. Dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy'ar, dan kemudian tersebar antara lain melalui karya Imam 37
Ghazali. Dari teologi Asy'ari itu biasa dipelajari oleh kaum santri (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar kepada, dan mereka percaya bahwa hal itu akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Konsep Ahl-u 'l sunnah wa 'l-Jama'ah h itu akan terasa dalam hal figh. Kaum santri dalam hal figh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah imam Syafi'i. Pembelakaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi menjadi lawan dari ijtihad. Dalam hal ijtihad ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Kalangan pesantren yang menamakan diri Ahl-u 'l-sunnah wa 'I-Jama'ah membedakan diri dengan golongan reformasi itu. Dalam kenyataan sehari-hari perbedaan dalam figh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang amat sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu (nawaytu), jumlah azan sebelum sembahyang Jum'at satu atau dua kali, salat tarawih pada malam bulan Puasa 11 rakaat atau 23 rakaat, dan tentang halal tidaknya beberapa binatang untuk dimakan, seperti katak, ular, dan musang. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam hal figh sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrennya di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u 'INajah, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u 'I-Tawfiq. Persoalan lain yang membedakan kaum Ahbu 'Isunnah wa 'l-Jama ah dari lainnya menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa. Kaum santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih menjadi perdebatan dengan kaum formis adalah adalah sekitar selamatan. Selamatan dalam 38
hal ini adalah acara makan-makan untuk mendoakan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga setahun (pendek) dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan itu pada saat yang dirasa perlu keluarga orang yang meninggal dapat menyelenggarakan haul. Dalam selamat itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau "mengirim pahala wirid" kepada arwah yang meninggal. Unsur kejawaan kaum Ahl-u 'I-sunnah wa 'l-Jama'ah tidak hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang berziarah ke makam-makam tertentu yang umum sekali dalam kalangan ini. Hanya saja dalam hal ini menjadi tidak jelas apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Sebab sebelum Islam datang, agama yang ada adalah agama Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah umumnya makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu menolong memberi kesehatan, keselamatan, atau sukses dalam usaha. Di Jombang, makam yang paling terkenal adalah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 Km sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Makam lain di Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Girl (makam Sunan Girl, salah seorang wali sanga dan di Batuampar, Madura. Di samping kepercayaan kepada orang keramat yang telah meninggal, kepercayaan kepada adanya wali yang masih hidup jug umum di kalangan santri. Pada tahun 1970-1980-an di daerah Jombang, sekurangkurangnya ada seorang yang dianggap wali dan masih hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus 'Ud dari Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan gaibnya sangat umum di masyarakat. Kiai Hamid di Pasuruan juga dipercaya sebagai wail. Demikian pula Kiai 39
Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai kini dianggap paling besar dan merupakan guru mursyid gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabdiyah yang terbesar di Jawa Timur, dipandang sebagai wali kaum santri di sana. Sebagaimana lazimnya orang NU, saya pun tidak bisa lepas dari tradisi para kiai dan pesantrennya. Meskipun saya tidak pernah belajar di pondok pesantren melainkan di madrasah saja, saya sangat mengagumi model pendidikan dan cara hidup para kiai. Hasil didikan mereka lewat kehadiran rekan, sahabat, maupun saudara-saudara saya ikut memperkaya dan membentuk diri saya hingga saat ini. Nadhlatul Ulama bukan hanya saya pandang sebagai "kehidupan organisatoris," tetapi juga hidup keseharian saya sebagai manusia. Sebagai seorang anak, saya tidak hanya diajar untuk menaati perintah agama oleh orang tua, tetapi juga dilatih untuk belajar prihatin dengan berpuasa pada hari Senin dan hari Kamis (Pasa Senin-Kemis). Prihatin itu bukan hanya untuk diri sendiri supaya tetap hati-hati dan arif, (eling lan waspada), tetapi juga memprihatinkan orang lain yang menderita kekurangan atau sedang susah. Katakanlah semacam semangat solidaritas. Saya lihat di lingkungan sekitar saya di Jawa. Tidak hanya yang beragama Islam, tetapi juga keluarga yang Kristen, Katolik, atau Hindu dan Buddha juga melatih anggota keluarganya dengan puasa "Senin-Kemis" itu. Kehidupan pesantren dengan para kiainya sangat menarik bagi saya. Hal itu berkat pengalaman saya bergaul dengan para ulama selama saya berkiprah dalam organisasi dan partai. Pernah saya baca dalam mahakarya sejarawan Dennys Lombard tentang kehidupan di Pulau Jawa bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16. Bahkan, sesungguhnya yang telah terjadi adalah penerusan dalam bentuk baru lembaga pra-Islam yang lebih tua lagi. Jadi, pesantren bukan sebuah struktur yang diimpor dari luar. Pada masa Jawa Kuno, katakanlah pada 40
zaman kerajaan Hindu dan Buddha, terutama dalam masyarakat bagian timur pulau lawa, terdapat jenis pertapaan para resi yang menjauh dari dunia ramai dan menjalankan latihan rohani sambil menggarap lahan pertanian. Dalam teks-teks Zaman Majapahit, lembagalembaga itu dikenal dengan nama dharma, mandala atau pertapaan (dari dasar kata tapa yang dalam bahasa Sansekerta berarti "kehangatan" bersemedi. Dharma pada masa itu selalu mengambil jarak terhadap kekuasaan raja di Kotaraja. Jarak itu tidak hanya dalam arti fisik, letak geografis yang jauh dari kerajaan, tetapi juga dalam arti spiritual. Dharma bersikap kritis terhadap lembaga kerajaan. Perubahan pertapaan-pertapaan itu menjadi pesantren berjalan secara alamiah seturut kemajuan syiar agama Islam di Jawa. Tampaknya, agama Islam cepat sekali mengakar di masyarakat pertanian tersebut. Tentang hubungan orang-orang muslim pertama dengan pertapaan-pertapaan itu terdapat beberapa tradisi. Diceritakan bahwa Sunan Kalijaga, seorang Wali yang sangat berpengaruh dan yang membangun Mesjid Demak, sering pergi bersemedi di pertapaan Mantingan yang tidak terlalu jauh letaknya. Kita juga dapat melihat bagaimana Ki Gede Pandan Arang mengumpulkan murid-muridnya di atas bukit Tembayat dan dengan demikian ia membuka pesantren pertama di daerah itu. Perlu diperhatikan bahwa situasi purbakala yang sama tampaknya memiliki undang-undang lama dan para arkeolog mempertanyakan apakah situs itu merupakan tempat ibadah pra-Islam, seperti misalnya Candi Sukuh. Di Leles, daerah Pasundan pada tahun ditemukan bongkah-bongkah batu dari sebuah Hindu yang hampir lengkap yang digunakan sebagai dasar sebuah makam keramat. Para sejarawan memastikan kelak pasti ditemukan contoh-contoh lain dari "tumpang-tindih" satu agama dengan agama lain. Tradisi yang paling jelas adalah seperti 41
dikemukakan dalam Hikayat Hasanuddin yang mengisahkan bagaimana tokoh utamanya setelah mendarat di Banten, mengajak delapan ratus ajar dari Gunung Pulasari, masuk agama Islam. Hasanuddin mula-mula menetap agak jauh dari laut (di Banten Girang) di dalam sebuah pondok. Di tempat itu ia membuat gula Jawa dengan bantuan para pelayan yang membantunya atas perintah ayahnya Sunan Gunung Jati. Selama tujuh tahun ia hidup bertapa, dan menyepi di atas gunung-gunung di Pasundan Barat, sampai di Pulau Panaitan (di ujung barat, di Selat Sunda). Sunan Gunung Jati kemudian dari Cirebon telahmenjemputnya untuk menunaikan ibadah haji. Ketika Hasanuddin berperang melawan Raja Pakuan yang bersikeras mempertahankan kekafirannya, ia tidak lupa memanggil ajar-ajar yang setia dan mereka yang membantu memenangkan agama yang benar. Antara struktur dharma Jawa Kuno dan struktur Pesantren terdapat persamaan yang cukup besar untuk memperkuat teori bahwa telah terjadi peralihan dari struktur yang satu ke yang lain. Persamaan pertama adalah keadaan jauh dari dunia ramai, di daerah yang kosong jauh dari ibu kota kerajaan, maupun kota-kota besar yang modern. Pertapa maupun santri memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan bersemadi dengan tenang, untuk merenungi alam dan menyelami batinnya sendiri. Ia juga merasa perlu menjauhi daerah-daerah hunian untuk menemukan tanah yang masih bebas dan cocok untuk digarap. Kini, hal itu tidak berlaku tetapi beberapa dasawarsa yang lalu pendiri pesantren --seperti halnya rohaniwan abad ke-14- masih dapat bertindak sebagai "perintis" yang membuka hutan di perbatasan dunia yang sudah dihuni, mengislamkan para warga daerah sekeliling, mengelola tempat baru, menciptakan "republik" kecil, suatu tempat perlindungan penuh damai yang berswadaya. Dari kecenderungan lama ini, pesantren kadang-kadang masih menyimpan tradisi 42
silat --yang dahulu sangat berguna di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, di mana polisi kerajaan tidak berani menginjakkan kakinya-- maupun suatu perhatian yang tinggi terhadap teknik-teknik pertanian. Seorang kiai yang ternama biasanya juga ahli dalam bidang pertanian. Banyak pesantren kini menjadi semacam usaha pertanian teladan, yang menjalankan budi daya pertanian terpadu, budidaya ikan, sambil mengajarkan kepada murid laki-laki dan perempuan dasardasar kesehatan, agronomi, dan ekonomi. Kemiripan kedua, ikatan antara guru dan sisya (murid), santri dengan kiai. Seorang kiai sangat diandalkan dalam memberi nasihat, bimbingan, dan pertolongan untuk memberi dukungan serta bertindak sebagai pemimpin rohaniah. Santri mematuhi nasihat dan bimbingan gurunya dengan tetap mempunyai hubungan khusus dengannya sekalipun studinya sudah tamat serta sudah kembali ke dunia ramai. Kemiripan ketiga adalah kontak antardharma seperti juga antarpesantren. Di lingkungan santri atau murid dharma terdapat kebiasaan untuk berkelana menimba ilmu dan kemajuan dalam olah rohani dari pesantren atau dharma yang satu dengan pesantren atau dharma yang lain. Dalam Kitab Nagarakertagama diceritakan bahwa Hayam Wuruk singgah dari pertapaan yang satu ke pertapaan lainnya bersama rombongan pengikutnya. Raja dijamu dengan ramah oleh kaum rohaniwan dan pada malam hari membicarakan pokok-pokok filsafat dengan guru-gurunya. Pengalaman itu tidak terbatas pada raja, tetapi banyak murid dan pasti juga orang biasa berkeliling Jawa dengan cara demikian. Semua orang yang telah memperoleh ijazah (ijin pengajar) dapat pergi ke tempat lain untuk membuka "cabang." Mereka kembali ke pesantren induk pada perayaan tahunan tertentu (haul) untuk menikmati kegembiraan berkumpul kembali dan bertukar berita. Kebiasaan untuk mengadakan lokakarya atau seminar pada masa kini sesungguhnya tidak lain dari 43
menghidupkan kembali kebiasaan lama itu. Bagaimanapun asal mulanya, dapat ditekankan babwa pesantren telah mempunyai peran penting dalam pengislaman yang mendalam di daerah Jawa dan Sunda. Lembaga itu telah menyesuaikan diri dan mempribumikan agama dengan sangat balk. Sebagai lembaga mandiri dari sudut ekonomi dan hukum dan agaknya terletak di "pinggiran" seolah-olah merupakan tcmpat suaka atau katup pengaman sosial. Pesantren-pesantren akhirnya membentuk jaringan luas yang terentang dari ujung pulau ke pulau lain, bahkan sampai di luar pulau-di seluruh Indonesia. Pada waktu Perang Diponegoro (1825-1830) sudah terdapat beberapa haji yang berjuang melawan Belanda. Mereka dipimpin oleh tokoh legendaris Kiai Maja bersama santri-santrinya yang melawan pasukan Kompeni di lereng-lereng Gunung Merapi. Ada juga haji-haji lain terutama di Jawa Barat yang terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan melawan penjajah Belanda. Perlawanan itu mcngguncangkan pedesaan Banten antara awal tahun 20-an hingga tahun 1888, ketika meletus pemberontakan petani. Untuk jaringan agraris untuk pembentukan parat administrasinya, pemerintah Ratavia berusaha merangkul mereka. Pada tahun 1882 didirikan apa yang dinamakan priesterraden atau "pengadilan pendeta" yang beranggotakan penghulu dan pembantupembantunya diangkat oleh residen. Keputusan itu sangat dikritik oleh Snouck Hurgronje. Keputusan itu mencabut pengadilan agama dari pengawasan kaum priyayi, karena tugas mengambil keputusan dalam hal perkawinan, warisan, dan terutama perceraian diserahkan kepada penghulu sendiri. Hal itu sama dengan memberi kepada kalangan santri hak-hak istimewa dalam hal hukum sipil dan agraria. Untuk dapat mengawasi jaringan-jaringan itulah pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 44
mengungumkan Goeroe-Ordanantie atau "peraturan tentang guru sekolah." Peraturan itu mewajibkan penanggung jawab semua pondok dan pesantren untuk mendaftarkan diri dan meminta izin sebelumnya. Peraturan itu mendapat tantangan dari masyarakat, sehingga pemerintah kolonial terpaksa melunakkan syarat-syarat mereka pada tahun 1925. Jaringan-jaringan muslim di pedesaan tersentuh oleh Goerae-Ordonantie itu. Mereka ingin membela posisi dan peran mereka terhadap rongrongan pemerintah kolonial dan kecenderungan sekuler yang ada di tengah masyarakat ketika itu. Mereka juga tergugah oleh contoh kaum "kelas menengah" muslim yang melancarkan Sarekat Islam maupun Muhammadiyah pada tahun 1911-1912. Sebagai reaksi terhadap kuatnya gerakan pembaruan dalam Partai Sarekat Islam (PSI), para ulama dari pesantren membentuk Naddlatoel Oelama pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Prosesnya agak rumit karena menyangkut beberapa perbedaan pandangan dan mungkin kepentingan para tokoh Islam. Semula para ulama pesantren membentuk suatu panitia yang bernama Comite Meremboek Hidjaz yang didirikan pada bulan Januari 1926. Komite itu semula dipimpin oleh Hassan Gipo sebagai ketua, Saleh Sjamil sebagai Wakil Ketua, Moehammad Shadig Setijo sekretaris, Abdoel Halim Sebagai wakil sekretaris. Mereka didampingi oleh tiga orang penasihat, yakni K.H. Wahab Hasboellah, K.H. Masjhoreri dan K.H. Cholil. Mereka pang bertanggung jawab akan melaksanakan pertemuan komite pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Komite itu dibentuk untuk memperjuangkan kebebasan beribadat di Hidjaz (Arab Saudi sekarang) berdasarkan paham Ahl-u 'I-sunnah ,va 'Ilamci'ah dan perbaikan tata-laksana ibadah haji di Mekkah dan Madinah. Masalahnya, pada tahun 1924 semenanjung Arabia yang dikenal sebagai negeri Hidjaz dikuasai oleh Ibnu Saud setelah mengalahkan penguasa lama di 45
kawasan itu, Syarif Husin. Sebagai penganut aliran Wahabi, Ibnu Saud dikhawatirkan oleh pendukung komite akan menyapu habis tradisi Islam yang berdasarkan mazhab di wilayahnya. Tradisi itu, antara lain mengenai kesufian, wirid, menghormati makam Nabi, dan para syuhada Islam yang pertama. www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Dalam kedudukan sebagai raja baru, Ibnu Saud mengundang utusan umat Islam dari seluruh dunia untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia (Muktamar al-Alam al-Islami) di Mekkah yang akan diadakan pada 1 Juni 1926. Selain penataan Mekkah dan Madinah untuk keperluan ibadah haji, kongres juga diharapkan membicarakan masalah kekhalifahan (khilafah). Masalah kekhalifahan ini sudah ramai dibicarakan setelah pada tahun 1922 kesultanan Turki runtuh dan berubah menjadi republik. Pada tahun 1924 parlemen Turki menghapuskan lembaga kekhalifahan. Suatu muktamar khilafah diadakan di Kairo dan Indonesia membentuk Comite Khilafah sendiri untuk keperluan itu. Undangan Ibnu Saud dibahas dalam kongres ke-4 Pan Islam (Al-Islam) di Yogyakarta pada 21- 27 Agustus 1925. Para ulama pesantren mengusulkan delegasi ke muktamar itu membawa permintaan agar Ibnu Saud menjamin kebebasan beribadah berdasarkan tradisi mazhab. Ternyata, rapat pemimpin Islam aliran pembaru (nonpesantren) di Cianjur pada tanggal 8 - 10 Januari 1926 memutuskan bahwa wakil umat Islam Indonesia ke kongres Mekkah adalah HOS Tjokroaminoto (PSI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah). Hal itu agak menyimpang 46
dari kebiasaan mengirim utusan Islam Indonesia keluar negeri sejak Comite Khilafah dibentuk pada tanggal 4 Oktober 1924. Komite itu dipimpin oleh Wondosoedirdjo (kelak dikenal sebagai Wondoamiseno) dari SI sebagai ketua, dan K.H. Abdoel Wahab sebagai wakil ketua, sedangkan utusan terdiri dari Soerjopranoto (SI), Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Abdoel Wahab (pesantren). Secara resmi utusan dan usul yang akan dibawa ke muktamar di Mekkah baru akan diputuskan dalam Kongres Al-Islam ke-7 di Bandung, G Februari 1926. Namun, melihat gelagat aliran pembaru sejak pertemuan Cianjur K.H. Abdoel Wahab menyatakan mundur dari Comite Khilafah. Atas prakarsa sejumlah kiai diadakan pertemuan ulama pesantren di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Pada pertemuan itu dinyatakan pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama atau "Kebangkitan Kaum Ulama" (NU) dengan para tokoh ulama pesantren di Jawa Timur. Di antara pendiri tersebut terdapat K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelahiran Jombang (dekat Mojokerto), bersama Syekh untuk perjalanan haji, ahli hukum, dan guru agama: K.H. Hasjim Asj'ari, mahaguru dari pondok pesantren Tebuireng (yang didirikan pada tahun 1899 di dekat Jombang); K.H. Bisri, seorang kiai kelahiran Pati dari keluarga pedagang yang telah "keliling Jawa" dari pondok yang satu ke pondok yang lain; K.H. Ridhwan, kelahiran Surabaya dan putera pedagang batik pang naik haji pada tahun 1901 setelah melewatkan sebelas tahun di pelbagai pesantren Jawa Timur dan Madura. Hampir bersamaan dengan pendirian NU, pondak pesantren Tebuireng banyak menjadi buah bibir karena pembaruan-pembaruan yang diadakan berkat dorongan Kiai Ilyas yang masih muda. Kiai Ilyas, salah seorang keponakan Nafiqah, isteri K.H. Hasyim Asy'ari yang telah diangkat anak oleh pendiri NU itu. Kiai muda itu sebelumnya telah mengikuti pendidikan dasar khusus 47
untuk orang pribumi (HIS) di Surabaya sebelum menetap di Tebuireng Salah satu pembaruan itu adalah pemakaian huruf Latin untuk metnbuka kesempatan yang lebih luas kepada para santri menimba ilmu pengetahuan. Usaha itu mendapat perlawanan dari warga NU yang masih tradisional. Pembaruan itu didukung oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Pembaruan juga dilakukan dalam pendekatan pedagogik dengan mempelajari metode pendidikan yang telah diterapkan di sekolah lain, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Aligargh maupu" Santineketen. Presiden Soekarno pada tahun 1964 memperoleh gclar Doktor Kehormatan Doctor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada pidato pengukuhannya Bung Karno menyatakan dukungannya atas usaha modernisasi itu, "Bebaskan pikiran kalian dari rangka pesantren yang sempit dan membumbunglah setinggi-tingginya di udara, seperti elang-elang raja. Pandanglah seantero dunia Bukan hanya Arab Saudi, Mekkah dan Medinah, tetapi juga Kairo dan Spanyol, pandanglah sejarah, seluruh sejarah.." Pada tahun itu juga K.H. Imam Zarkasji bersama dua saudaranya mendirikan pondok modern di Gontor. Usaha modernisasi terus dilakukan dengan mendirikan pondok modern "perintis" di Pabelan, dekat Magelang pada bulan Agustus 1965. Beberapa kongres diadakan di Surakarta tahun 1970, di Tugu tahun 1971, guna mendorong dan merangsang para kiai untuk menyesuaikan pengejaran mereka pada tuntutan-tuntutan baru pembangunan bangsa. Secara ringkas pembaruan terletak pada tiga tataran pokok. Mula-mula pada tataran fisik. Sang guru dan murid tidak lagi duduk di lantai atau di atas tikar, tetapi di ruang kelas dengan papan tulis hitam, dan bangku-bangku murid. Bersamaan dengan itu untuk para santri diterapkan sistem asrama dan kantin dari bahan permanen. Hal itu berbeda dengan masa sebelumnya berupa pondok kayu yang mereka tinggali secara berkelompok. Sudah barang tentu ada perubahan dalam mata pelajaran. Di samping 48
teks-teks Arab yang tetap diterjemahkan dan dibahas, dimasukkan pelajaran matematika dan ilmu hitung, geografi dan bahasa Inggris. Di Gontor misalnya, pemakaian bahasa Indonesia dilarang pada jam-jam tertentu, dan para murid harus berbicara dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Pelajaran teknik dipertahankan dan dikembangkan, terutama di Pondok-pondok yang mengkhususkan diri dalam hal ini, seperti di Pabelan. Meski demikian, pelajaran olahraga tidak diabaikan. Setiap pesantren berusaha mempunyai lapangan Olahraga dan regu kepanduannya sendiri. Modernisasi juga terjadi pada struktur pesantren sendiri. Timbul hasrat untuk melakukan efisiensi, suatu hal yang tidak pernah dilakukan pertapaan kuno dulu. Fokus perhatian juga dipusatkan pada mutu pelajaran, seleksi para santri, persaingan kualitas, dan kadang-kadang suatu ujian masuk yang ketat. Sering juga diusahakan untuk memperluas wawasan pesantren dengan menrrintegrasikannya. dalam dunia sekelilingnya. Misalnya, dengan mengikutkan para santri dalam kegiatan desa tetangga atau sekolah-sekolah umum di luar. Meskipun letak pesantren terpencil, jalan ke tempat itu diaspal sehingga mempermudah orang menjangkau dan berkomunikasi dengan dunia luar. Dulu pesantren sangat tergantung pada kharisma para kiai pendirinva, tetapi sekarang ada kecenderungan untuk menenkankan peran "tim" dalam pengelolaan pendidikan itu. Untuk menghindari masalah "suksesi" dibentuk yayasan resmi yang mendukung kelangsungan lembaga pendidikan itu. Dalam bidang sosial sebetulnya sejak Masa Pcndudukan Jepang, NU telah mulai melepaskan sikap tradisional mereka berupa perlawanan pasif dan selanjutnya mengarahkan diri ke dunia ramai, bahkan di bidang politik. Saat lepang menduduki Jombang pada tahun 1942, Kiai Hasyim dicurigai dan ditangkap. Namun, atas usaha putranya Abdul Wahid yang kemudian terkenal dengan nama Wahid Hasvim dan karena kebesaran 49
kharismanya Jepang melepaskannya. Pada bulan November 1943 K.H. Hasjim Asj'ari terpilih sebagai ketua pergerakan baru Masjoemi. Sebagai media komunikasi diterbitkan Asjoe'lah, sebuah majalah berkala untuk wadah komunikasi antara pemerintah dan pemimpin muslim di daerab. Dua tahun kemudian ia diangkat menjadi direktur Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama, menggantikan Prof Hoesein Djajadiningrat yang dipandang bertanggung jawab atas pemberontakan Kiai Zainal Mustafa di Singapama, Tasikmalaya yang telah bergabung dengan NU sejak 1933. Pada waktu Hoesein diangkat (September 1943) secara umum situasi masih cukup balk bagi pihak Jepang untuk berpegang pada cara berpikirnya sendiri. Tetapi ketika situasi perang semakin tidak menguntungkan bagi pihak Jepang ditambah dengan situasi sosial-ekonomi di Jawa yang makin memburuk, kebutuhan untuk menggalang kerja sama dengan kaum muslim menjadi sesuatu hal yang sangat mendesak. Dengan kata lain, ketergantungan Jepang kepada para pemimpin Islam untuk menjalankan kebijakan yang menguntungkan perang Asia menjadi sangat besar. Pengangkatan K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Shumubucho merupakan konsesi Jepang kepada kekuatan-kekuatan muslim, dan pengangkatan itu tidak dapat dipandang sebagai akibat simpati Jepang kepada kaum muslim. Pengangkatan Hasyim Asy'ari itu disambut dengan bersemangat oleh masyarakat. Akan tetapi, ia tetap tinggal di Jombang sekalipun sudah diangkat dan jarang muncul di kantor Shumubu. Dengan usia yang telah lanjut (69 tahun) dan dengan tanggung jawab besar sebagai pemimpin besar pesantren besar, tentu saja sulit baginya untuk meninggalkan Jombang. Sekalipun ada keterbatasan seperti itu, pemerintahan Jepang menganggapnya sebagai orang yang sangat diperlukan dan mengira dapat mengambil keuntungan dari pengaruh besar dan gengsi tinggi ulama itu. Putranya, K.H. Wahid Hasyim diangkat 50
dalam jabatan Sanyo yang setingkat dengan jabatan wakil Shumubucho bersama dengan kiai lain, seperti K.H. Abdoel Kahar Moezakir, seorang pimpinan Muhammadiyah dari Yogyakarta. Meskipun Wahid Hasyim masih muda, ia telah aktif sebagai pemimpin NU daerah, sejak 1932. Selama masa pendudukan Jepang kiai muda itu menduduki berbagai jabatan penting, seperti anggota Chuo Sangiin (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Wakil Ketua Masjoemi. Keberhasilan dan pengalaman pada jabatan-jabatan penting sewaktu pendudukan Jepang itu, mengantarkannya sebagai kandidat Menteri Agama dalam kabinet pertama Rcpublik Indonesia, dalam usianya yang baru 32 tahun. Kantor itu kelak kemudian hari berkembang pesat sesudah kemerdekaan menjadi Departemen Agama. Meskipun demikian, tidak berarti kiai pendiri NU: ini tidak kritis terhadap tentara pendudukan Jepang. Ia pernah berselisih paham tentang cara-cara membcri penghormatan kepada Kaisar Jepang. Pada bulan Februari 1944 pusatpusat latihan permanen bagi guru-guru pesantren dan madrasah daerah didirikan di Jakarta. Atas persetujuan tentara pendudukan didirikan sejenis milisi Muslim Hizbullah atau "Pengawal Tuhan" yang dimaksudkan untuk memberi pendidikan militer kepada kaum santri. Pasukan itu kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNT) beserta semangat dan nilai-nilai yang mereka yakini. Dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia diwujudkan dengan pidato-pidatonya yang memberi semangat kepada rakyat pada awal revolusi kemerdekaan. Pendiri NU itu wafat pada 25 Juli 1947 akibat serangan jantung, di tengah-tengah perjuangan kemerdekaan, saat utusan-utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tome datang meminta nasibat dan sarannpa. Ia dimakamkan dekat mesjid di pondoknya. Ia diangkat menjadi "Pahlawan Nasional" pada bulan November 1964. Keterlibatan para ulama NU terus berlanjut pada masa kemerdekaan. Sejak tahun 1946 saat ulama melakukan 51
"kompromi" politik dengan kaum nasionalis yang menghendaki Pancasila dan bukan agama Islam sebagai ideologi negara dengan pendirian Departemen Agama. Khususnya pada masa pemerintahan Soekarno, departemen itu menjadi ajang kriprah kaum santri meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Dari sisi pendidikan mulai tahun 1960 telah didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang benar-benar merupakan universitas Islam yang dibiayai negara. Institut itu memiliki empat fakultas: Usuluddin (Teologia), Syari'a (Hukum), Tarbiya (Pedagogi), dan Adab (Sastra). Dewasa ini empat belas IAIN telah didirikan, kebanyakan berlokasi di Jawa. Lewat pendidikan itu diharapkan dihasilkan pengajaran tinggi yang bermutu kepada para murid-murid keluaran pesantren dan umat Islam pada umumnya. Pada tingkat pendidikan dasar pemegang peranan pokok masih pesantren-pesantren yang sejak awal tetap merupakan lembaga swasta. Menurut catatan dewasa ini hampir 40.000 di seluruh Indonesia, dengan jumlah murid kurang lebih delapan juta orang. Sejumlah pesantren terkenal yang bisa saya sebut di sini adalah di pulau Jawa: Kaliwungu, dekat Demak; Al Hidapat di Lasem; Kebarongan dekat Banyumas; Tegalrejo, Pabelan, dan Payaman di daerah Magelang; Krapyak di Yogyakarta; Jamsaren di Solo; Tegalsari dekat Madiun; Takeran dekat Magetan; Gontor dekat Ponorogo; Termas dekat Pacitan; Tembakberas dekat Jombang; Tebuireng dekat lombang; Lirhopo dekat Kediri; Dukun dekat Gresik; Blok Agung dekat Banyuwangi; dan Bangkalan dekat hladura; Langitan dekat Tuban. Pesantren di daerah Pasundan bisa disebut Citangkil di Banten; babakan dan Ciwaringin dekat Cirebon; Darul Falah dan Al Falah dekat Bogor; Darussalam di Ciamis, Suralaya di Tasikmalaya; Santi Asromo di Majalengka; Gunung Puyuh di Sukabumi. Lingkungan NU yang terus melakukan modernisasi itu saya rasakan lewat kehadiran rekan dan keluarga di 52
sekeliling saya. Hal itu membuat saya at home sebagai warga nahdliyin. Sebagai penganut Islam paham Ahl-sl 'I-sunnah wa 'l-Jama'ah atau suni, konsep kalamnya adalah tidak mungkin terlaksana tatanan masyarakat muslim tanpa melembagakan kekuasaan. Perubahan dan tuntutan zaman ternyata membimbing NU memunculkan visi baru. Visi baru itu antara lain diformulasikan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dan kiai-kiai lain yang menurut saya sangat modernis. Islam dalam pandangan ini akan lebih praktis untuk berjuang dalam jalur demokratisasi, penjaminan pelaksanaan HAM, dan penegakan hukum. Sebab dalam Islam (dan agama-agama lain) sudah ada postulat-postulat itu. Semua pemerintahan despot, tiran, diktator yang dikutuk oleh hak asasi manusia dan demokrasi juga ditolak oleh hukum Islam. Agama bukan hanya label atau ornamen, tetapi penghayatan konkrit dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat Saya menyadari visi itu belum merata diterima oleh kalangan muslim pada umumnya. Dalam tataran gagasan, hal itu sudah terjadi khususnya di lingkungan generasi muda NU. Tetapi yang lebih penting adalah mewujudkan visi dalam tataran aplikasinya. Bagaimana hal itu diwujudkan dalam kehidupan sosial maupun politik. Dalam konteks ini perjuangan modernisasi warga nahdliyin masih panjang. Dalam kerangka itu mungkin perlu pemantapan kembali "Teologi Perjuangan" bagi seluruh warga NU. Teologi merupakan pokok keyakinan yang menjadi dasar seluruh ajaran. Ibaratnya ia seperti ruh dalam setiap langkah dan usaha manusia. Umat Islam dalam kasabnya dijiwai oleh pesan Allah dalam ayat ke-llO Surat Ali Imran, "Kuntum Khaira ummatin ukhrijat li al-naasi ta'muruuna bi al-ma'rufi wa tan hauna'anil munkari wa tu'minuunabillah ..." Artinya, "kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah..". Ayat tersebut mengisyaratkan kepada 53
kita bahwa langkah pertama yang harus ditempuh guna mewujudkan atribut "khaira ummah" haruslah ber-iqamatu al ma'ruf, yang memiliki arti sangat luas. Termasuk di dalamnya perbaikan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, teknologi, ilmu pengetahuan maupun aspek kehidupan lainnya yang akan mengangkat kemaslahatan bersama. Setelah langkah pertama sukses terus meningkat langkah kedua, iqmatu nahiy al-munkar. Kemungkaran di sini termasuk kemiskinan, kebodohan, kemalasan dalam perbuatan baik maupun al-akhlaq almadzumah lainnya. Setelah langkah pertama dan kedua tergarap barulah langkah ketiga, tu'minuna billah. Artinya, jangan mengharapkan "beriman kepada Allah" akan berhasil kalau tidak iqamatu al-ma'ruf dan nahyan al munkar. Artinya pembangunan atau kemajuan boleh jalan terus tetapi keimanan harus tertanam dalam kalbu. Saya kira, khitah asli--meski tidak dirumuskan secara tertulis-telah merumuskan empat bidang kegiatan, yaitu pendidikan (ma'arif), kesejahteraan sosial (mabarat), penyebaran agama (da'wah) dan perekonomian. Dalam perjuangan itu pula peranan Partai Kebangkitan Bangsa menjadi penting, khususnya dalam menghadapi Pemilu 1999. Bagi NU sendiri, Pemilu 1999 selain menjadi ajang pembuktian, juga akan menjadi momen yang tepat untuk merumuskan peran politik yang ingin dimainkannya. Sumber Bacaan: Aula, September 1998. "Kesiapan Pesantren Dalam Proses Industrialisasi" Aiko Kurasawa. 1992. Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo dan Yayasan Karti Sarana. Deliar Noer. 1973/1978. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kualalumpur: Oxford University Press. Dennys Lombard. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kompas, 30 Desember 1998 M. Ali Haidar. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
54
Media Indonesia, 13 November 1998 "Hindari Negara Berasumsi Agama" Dr. Nurcholish Madjid. 1997 Bilik-Bilik: Pesantren Sebuah Potret Perjalanan Jakarta: Penerbit Paramadina Tempo, edisi 12-18 Januari 1998 "Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai" "Khitah Tembus Jalan Buntu"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab 3 ISLAM DAN DEMOKRASI Dengan demikian, bukankah lebih praktis memperjuangkan Islam melalui hak-hak: asasi manusia dan persamaan kedudukan seluruh warga negara daripada menjelaskan sebaliknya? (K.H. Abdurrahman Wahid) Secara pribadi, saya bertemu Gus Dur akhir tahun 1970an. Akan tetapi, sebelumnya, Gus Dur itu kan penulis di media massa yang sangat produktif, balk di majalah Prisma, Tempo, maupun di koran-koran. Saya terus mengikuti pikiran-pikirannya. Saya ketemu beliau dalam rangka koordinasi organisasi NU di daerah-daerah. Membaca ide dan pikirannya, saya merasa cocok. Saya berpikir seperti itulah. Masalah kehidupan beragama, masalah nasionalisme, atau masalah pembangunan saya merasa pas saja dengan beliau. Sebelumnya, karena termasuk Angkatan '66 saya sempat terkesan oleh H. Subchan Z.E., aktivis muda NU. Ia seorang politikus demokrat, pelaku bisnis yang sukses. 55
Akan tetapi, saya melihat Subchan ini tidak memiliki akar yang kokoh dalam tubuh NU. Yang punya akar kuat, siapa lagi kalau bukan Gus Dur karena mbah-mbah-nya semua kiai ternama dan pendiri NU. Sebut saja dari pihak ayah ada K.H. Hasyim Asy'ari dan dari pihak ibu K.H. Bisri Syamsuri. Oleh karena itu, secara intelektual dan wawasan, saya merasa cocok dan dekat dengan Gus Dur, meskipun tidak secara fisik dalam arti saya sering sowan atau menghadap. Maka sah-sah saja, bila ada orang mengatakan saya itu sangat dekat dengan Gus Dur. Komunikasi kan bisa saja lewat telepon dan bertatap muka bila perlu. Saya itu kalau diberi tugas yang penting adalah melaksanakannya. Kalau sudah membuahkan hasil, baru saya melaporkannya. Tidak sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit minta pertimbangan seperti tidak merasa mampu. Malu kalau saya begitu. Gus Dur yakin, saya bisa membawa PKB menjadi sebuah partai yang besar. Artinya, PKB bisa menjadi mayoritas. Minimal kepentingan dan gagasan-gagasannya bisa mempengaruhi keputusan politik yang menyangkut persoalan: ke mana bangsa ini akan dibawa? PKB ingin, yang mayoritas itu tidak menjadi momok bagi saudarasaudaranya yang minoritas. Justru yang mayoritas harus bisa menjadi pengayom dan nyantuni. Inilah dasar filosofis PKB yang berusaha dibangun. Dasar itu menjadi penting, sebab jika landasannya sendiri tidak pas, maka tidak pas pulalah cita-cita hidup berbangsa dan bernegara yang hendak kita bangun. Singkat kata, PKB bersedia membangun negara dan bangsa Indonesia dalam semangat persaudaraan sejati. Sebagai seorang muslim, saya selalu merenungkan kembali peran agama saya dalam memajukan kehidupan masyarakat Indonesia. Sejauh mana peran agama Islam dalam memajukan demokratisasi bangsa? Apa yang saya lakukan sekarang tentu tidak bisa dilepaskan dari kerterkaitan dengan sejarah perkembangan pada masa 56
lampau. Gus Dur pernah mensitir pandangan Dr. Taufik Abdullah dalam salah satu tulisannya. Menurut tulisan itu, sejarah panjang agama Islam terdapat empat model yang hingga kini masih terasa pengaruhnya. Pertama, model Aceh, masyarakat Islami berkembang dari daerah perkampungan muslim. Kampung-kampung muslim itu makin lama makin bertambah banyak penduduknya hingga membentuk suatu kerajaan. Karena bermula dari kampung muslim maka keraaan itu memiliki wajah Islam yang menyeluruh. Wajah itu tetap dipertahankan hingga zaman modern ini. Hal itu menimbulkan sebuah pemeo "Aceh adalah serambi Mekkah." Kedua, model ranah Minang, seribu kilometer lebih dari Aceh. Di daerah itu tidak ada kerajaan yang kuat sehingga tidak ada pemerintahan pusat yang ditakuti orang. Hukum adat berkembang subur selama berabadabad dan kemudian hadir hukum Syari'ah mendampinginya. Kedua hukum itu menimbulkan sedikit masalah karena dua kekuasaan yang berkembang, yaitu yang disebut "Kaum Adat" dan "Kaum Ulama". Akibat perbedaan yang demikian tajam, tanpa kehadiran kekuasaan pusat yang sanggup menghentikan sengketa itu terjadilah Perang Paderi (1822-1836). Perang itu tidak mungkin diselesaikan secara militer, tetapi hanya mungkin diselesaikan secara politis. Hal itu terjadi ketika kekuasaan kolonial Belanda menghentikan perang tersebut dengan memisahkan kedua golongan itu, seperti tampak dalam pemeo terkenal: "Adat bersendikan syara dan syara bersendikan Kitabullah." Pemisahan itu sebetulnya bukan pemecahan, tetapi sanggup menghentikan peperangan. Ketiga, model Gowa. Model ini terwujud lewat perjalanan sejarah yang panjang. Kekuasaan raja dipandang sebagai perwakilan kekuasaan agama, walaupun dalam kenyataan hal itu tidak terjadi--minimal formalitasnya saja yang terjadi. Hal itu tampak dalam kekuasaan sultan di semenanjung Malaya. Sultan di kawasan itu dipandang 57
sebagai pemimpin agama, apa pun tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, model Tanah Jawa yang berawal dari kerajaan Mataram. Keraton, di samping sebagai pusat kerajaan, juga menjadi pusat kekuasaan agama, entah seluruh warganya mempraktekkan ajaran agama atau tidak. Sultan bergelar Sayyidin Panotogomo Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Namun, dalam kenyataan adat pra-Islamlah yang berlaku di keraton, seperti terlihat pada pemakaian kemben yang berada di uar adat Islam. Juga, kepergian Sultan ke Masjid Keraton yang hanya dua kali setahun serta keikutsertaannya dalam upacara Sekaten untuk menghormati Nabi Muhammad SAW. Meskipun negara tidak mempraktekkan hukum agama, penghormatan terhadap hukum itu dalam bentuk Masjid Keraton di dalam kompleks keraton dan pembangunan kantor penghulu adalah lambang kekuasaan agama (meskipun kekuasaan itu tidak ada realisasinya). Menurut Gus Dur, hal yang sama dapat dilihat dalam posisi Departeman Agama sekarang atau posisi Masjid Istiqlal negara saat ini. Bila memungkinkan hal itu telah dijadikan contoh oleh provinsi lain, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Struktur sepcrri itu, tentu tidak mej nyenangkan dan sudah dicoba untuk diubah oleh gerakangerakan Islam. Namun, perubahan itu belum sampai ke perubahan struktural. Hal itu tampak dalam kenyataan sejarah sekarang ini. Orang tidak berani memberikan tempat terlalu besar kepada Departemen Agama dan juga tidak berani menghilangkannya. Yurisdiksinya juga hanya dibatasi pada hal-hal keagamaan, seperti pendidikan, pembangunan sarana ibadah, atau penerangan agama. Demikian pula dengan Musyabaqoh Tilawatil Qur'an, event bercakupan nasional dan negeri-negeri lain yang diundang. Begitu banyak ayat Al-Qur'an tentang demokrasi dan hakhak asasi manusia, tetapi belum banyak memperbaiki kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia. Oleh karena 58
itu, penghayatan agama masih dilihat sebagai sebuah seremonial belaka dan belum melihat agama yang fungsional dalam kehidupan. Gerakan-gerakan Islam baru menyentuh pada aspek-aspek ornamental, seperti pencantuman agama sebagai ideologi atau perjuangan menetapkan syariah sebagai hukum negara dari pelaksanaan agama. Adalah tanggung jawab umat untuk mengejawantahkan nilai-nilai agama itu menjadi tatanan masyarakat. Tatanan itu mesti fungsional, bukan sekadar ornemen atau hiasan. Seturut pandangan itu, prinsip saya dalam berpolitik sederhana. Setiap manusia pada dasarnya dilahirkan merdeka. Dia bebas menentukan jalan hidup, memilih mata pencaharian, pasangan hidup, atau sikap politiknya. Karena manusia pada dasarnya bebas maka dia harus diperlakukan sama antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, dia harus diperlukan adil. Di sinilah letak problemnya, keadilan. Dalai Lama dalam Konferensi Forum 2000 di Praha pada tanggal 3 - 7 September 1997 pernah mengemukakan, "Tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna, tetapi demokrasi adalah yang terdekat dengan hakekat sifat kita sebagai manusia, dan hanya demokrasi yang merupakan fondasi stabil di mana di atasnya dapat dibangun struktur politik dunia yang adil dan bebas. Oleh karena itu, menjadi kepentingan kita semua yang bersedia menikmati demokrasi untuk secara aktif mendukung agar setiap orang diperlakukan sama. Kita semua ingin hidup dalam kehidupan yang balk. Ini semua belum cukup. Kita membutuhkan motivasi yang balk. Kasih sayang, tanpa dogmatisme, tanpa filosofi yang rumit, sekadar tahu bahwa orang lain adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan kita dan menghormati hak-hak mereka dan harkat mereka sebagai manusia. Dengan demikian, kita umat manusia dapat saling tolong-menolong dan itulah kapasitas kita yang unik sebagai umat manusia." Demokrasi sebagai sistem merupakan dambaan semua 59
orang. Dari sudut agama, pendirian ifu pasti dapat dibenarkan karena saya kira semua agama memandang manusia sebagai sama-sama hamba Allah. Karena sama kedudukannya di hadapan Allah maka setiap orang wajib diperlakukan secara adil. Orang yang menjunjung tinggi keadilan pastilah dia demokrat. Islam sebagai salah satu agama di bumi juga tidak lepas dari misi penegakan keadilan. Kata "adil" berasal dari bahasa Arab adala-ya'dilu-'adlan yang berarti modernisasi, tengah-tengah atau egalitarian, persamaan. Seseorang dipandang adil apabila mampu memberikan keputusan "moderat" , tidak kiri atau kanan kepada pihak pencari keadilan. Demikian juga orang baru disebut adil kalau memandang semua orang secara sama harkatnya tanpa embel-embel jabatan atau kedudukan. Kebalikan adil adalah Zalim (lalim) artinya kesewenang-wenang, penindasan, serta penganiyaan. Semua agama didatangkan untuk menyuarakan keadilan dan memerangi keaaliman. Keadilan adalah simbol tegaknya khalifah di bumi, sedangkan kezaliman menjadi agen ifsad wa isfakuddima, kerusakan, dan pertumpahan darah. Upaya penegakan itu mula-mula tampak pada misi tauhid (monoteisme) dalam Islam, dalam penegakan kalimat laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Pernyataan itu meskipun ringkas substansinya, mampu mengguncangkan kemapanan masyarakat jahiliah saat itu. Inti kalimat tersebut merupakan peneguhan sikap bahwa seluruh realitas: raja, majikan, harta benda, dunia sebenarnya hanyalah semu, yang ada secara hakiki hanyalah Tuhan (Allah). Oleh karena itu, semua usaha yang tidak disandarkan dan diatasnamakan Tuhan haruslah ditolak. Perjalanan Islam kemudian ditandai dengan pesanpesan moral Tuhan yang mencapai puncaknya dalam misi rahmatan lil-'alamin, menciptakan rahmat, kedamaian, dan keadilan dunia. Misi ini terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliyatul khams), yaitu (a) menjamin kebebasan 60
beragama (hifdz al-din); (b) memelihara nyawa (hifdz alnafs); (c) menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wal'irld); (d) menjamin kebebasan berekspresi dan berserikat (hifdz al-'aql); dan (e) memelihara harta benda (hifdz almaal. Kelima prinsip ini dewasa ini relevan dengan prinsipprinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi. Dampak pesan-pesan Tuhan itu tercermin pada bangunan komunitas masyarakat Madinah (Yatsrib) yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. Pranata sosial yang dibangun Nabi saat itu sungguh pun mayoritas muslim, justru memakai perjanjian bersama di bawah payung "Piagam Madinah". Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sekali-kali tidak pernah disinggung kata Islam dan AlQur'an. Piagam itu hanya memuat kesepakatan antara etnis migran (muhajirin), etnis Madinah (pribumi) meliputi Aus Khazaraj, Qainuqa, Nadlir dan Quraidlah, dengan back-ground keyakinan Yahudi, Nasrani, Islam, dan Musyrik. Kemudian di penghujung misi Rasullah SAW, ditutup dengan peristiwa "Haji Wada". Pada kesempatan itu, Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan akhir melalui mimbar khutbah haji Wada di padang Arafah. Dalam khotbah itu lagi-lagi beliau menandaskan bahwa ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi muslim yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpahan darah dan kekerasan (aGdima), hak properti dan memiliki harta benda (al-amwal) serta hak untuk terjaga kehormatan, martabat, harkat dan profesinya (al-a'rad). Singkatnya, melalui pesan tersebut, ke-Islam-an seseorang belumlah sempurna jika belum menegakkan demokrasi dan HAM. Semua agama memiliki semacam platform untuk mewujudkan keadilan di muka bumi. Hilangnya keadilan berarti misi agama kurang berhasil. Kalau keadilan sudah diperjuangkan dan setahap demi setahap diwujudkan maka umat manusia maju selangkah lagi. Keadilan akan mewujudkan persaudaraan antarwarga 61
negara dan persaudaraan umat manusia pada umumnya. Dalam bahasa kerennya tercipta fraternity. Dalam persaudaraan itu harapan Dalai Lama tenvujud, masyarakat yang penuh kasih sayang, tanpa dogmatisme, tanpa filosofi yang rumit, sekadar tahu bahwa orang lain adalah saudarasaudara kita yang harus dihormati hak-hak dan harkat mereka sebagai manusia. Sarana untuk mewujudkan masyarakat itu adalah demokratisasi, penegakan hukum, dan penjaminan HAM yang diperjuangkan semua umat beragama, termasuk saya. Hal itu saya lakukan karena penghayatan agama saya bukan hanya ornamen. Penghayatan itu juga saya suarakan bukan hanya kepada intern lingkungan kaum muslimin saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bagi saya, menjadi suatu keharusan membangun kembali kerangka beragama yang lebih mengedepankan nilai dan esensi agama.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Visi Politik Dengan menyimak perjalanan sejarah, hubungan agama dan negara dalam wacana Islam selama ini terdeferensiasi dalam tiga gagasan besar. Pertama, paham integralistik yang menyatakan bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Islam bukan semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah politik. Perspektif ini menghasilkan suatu pemahaman bahwa Islam adalah agama sekaligus 62
negara (al-Islam) diinun wa al-daulah), maka kewajiban berpolitik juga merupakan satu kewajiban agama. Agama menjadi alat formal untuk membentuk masyarakat baru. Kedua, paham sekularistik. Islam dipandang sebagai agama yang hanya mengurus hal-hal yang bersifat vertikal, tidak ada hubungan dengan masalah kenegaraan maupun politik. Nabi Muhammad SAW diutus dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia. Tugas agama tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Agama tidak ada sangkutpautnya dengan demokrasi. Ketiga, paham simbiosis. Paham ini tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat pertama dan kedua, tetapi beranggapan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan atau sistem politik yang baku, tetapi Islam menyediakan seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara dan berpolitik. Islam memiliki postulat-postulat demokrasi, penegakan hukum, pelaksanaan HAM sejak didirikan. Ketiga pemahaman di atas dalam artikulasi politik selanjutnya mengambil bentuknya yang berbeda. Pertama, menghendaki adanya kaitan formal antara ideologi Islam dengan negara-politik (the proformal link: between Islamic ideology and the state camp). Fenomena yang terlihat sekarang ini adalah adanya partai-partai yang membawa simbol-simbol Islam (balk berasas Islam atau mendeklarasikan diri sebagai partai Islam). Melihat landasan ideologis dan pemahaman keagamaan di atas serta kekuatan massa yang mayoritas Islam, maka optimisme kalangan yang menginginkan berdirinya partai yang berdasarkan agama mendapatkan peluang dan rasional. Kedua, mereka yang tidak menghendaki adanya simbolisasi ataupun institusionalisasi agama maka artikulasi politik selanjutnya lebih mementingkan pada konvergensi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya partai-partai dari kalangan umat beragama 63
yang bersifat inklusif dan terbuka, berasas kebangsaan tidak ideologis-primordialistik. I<elompok ini tidak menginginkan tampilan-tampilan simbolis atas agama, tetapi yang lebih signifikan adalah proses pribumisasi Islam sebagai ajaran dan tata nilai dalam kehidupan politiknya. Maka, partaiyang dideklarasikan lebih bersifat terbuka dan inklusif dengan menggunakan simbol-simbol kebangsaan sebagai sebuah perjuangan politiknya. Perbedaan pemahaman dan artikulasi politik dari kalangan Islam tersebut disebabkan adanya pendapat yang berbeda-beda tentang konsep negara Islam dan akar sejarahnya, serta adanya tuntutan politis dan sosio-kultural dalam kondisi sejarah tertentu. Perjalanan sejarah Islam menunjukkan bahwa tantangan yang berbeda telah menghasilkan respons ideologis yang berbeda pula. Dengan demikian, ekspresi ideologis umat Islam tidak akan tetap sama jika mereka dihadapkan pada kondisi sosialpolitik yang berbeda. Di Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara para pemimpin Islam dari berbagai gerakan telah dipaksa oleh keadaan untuk menentukan garis perjuangan mereka. Mereka tidak lagi bercita-cita menjadikan hukum Islam sebagai landasan perjuangan menegakkan hukum. Dengan kata lain, mereka menerima supremasi hukum kontemporer yang dibuat manusia. Hal itu terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negaranegara Asia Tenggara lainnya. Khusus di Indonesia, hal ini terjadi berkat adanya kesadaran bahwa kehidupan mereka tidak memungkinkan syari'ah menjadi hukum negara. Di negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya nonmuslim juga membuat hal itu tidak mungkin tercapai. Artinya, penegakan hukum non-syari'ah memang menjadi kebutuhan di kawasan ini. Menjadi jelas bahwa di kawasan Asia Tenggara, Islam mengalami penafsiran ulang atas segala ajaran-ajarannya. Juga jelas bahwa mau tidak mau harus ada penafsiran ulang tentang tempat syari'ah dalam perkembangan hukum 64
negara di kawasan ini. Dan, ini memberi tempat tersendiri bagi perjuangan keagamaan yang berbeda dengan kawasan lain. Di Indonesia, keinginan untuk meninggalkan ideologi Islam justru datang dari gerakan Islam seperti NU. Ini membuat perkembangan Islam di Asia Tenggara memerlukan perhatian tersendiri. Kita lihat di Thailand, orangorang dari gerakan Islam seperti Menteri Luar Negeri Surin, ikut serta dalam pemerintahan yang sama sekali tidak memiliki pretensi agama. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dan Myanmar. Di Filipina, pada masa lampau Moro National Liberation Front (MNLF) berangkat dari asumsi Timur Tengah, yaitu keinginan Saudi Arabia dan Libya. Keduanya menginginkan agar MNLF menjadi gerakan Islam yang kuat dan mampu menciptakan negara syari'ah. Dua puluh tahun telah ditempuh, berbagai penderitaan telah dijalani dan pertempuran telah dimasuki. Banyak korban berjatuhan dan antara agama Katolik dan Islam di Filipina Selatan tampak begitu berbeda. Pada akhir pertentangan yang berkepanjangan itu datanglah kesadaran pada kedua belah pihak. Presiden Ramos (yang memerintah waktu itu) menyadari bahwa haruslah diberikan konsesi cukup pada kaum muslimin untuk tetap hidup sebagai gerakan. Ketua MNLF, Nur Misouari, menyadari pada akhirnya perjuangan organisasinya haruslah tidak bersifat ideologis, jika ingin berhasil. Dengan demikian, berubahlah seluruh watak perjuangan orang Moro itu. Mereka yang menginginkan perjuangan dengan pola lama, yaitu garis ideologis gerakan Islam harus mencari pemimpin baru. Mereka mendapatkan ini pada diri Hasyim Salamat. Tetapi kita tahu perjuangan itu akan gagal karena kaum muslimin yang berpandangan demikian hanya minoritas di antara seluruh kaum muslim Filipina. Dan, jumlah total kaum muslimin secara keseluruhan hanya 5% dari penduduk seluruh negeri. Meskipun demikian, hal itu cukup membuat repot Missouari dan kawan-kawannya. Di kawasan anak benua India, Islam menjadi terlalu for65
mal dan penafsiran kembali terjadi di luar gerakan Islam. Ini dapat dilihat dalam kiprah Benazir Bhutto, Begum Rahman, dan Begum Khaleda Zia di Bangladesh dan Srilanka. Hanya bedanya di kawasan Asia Tenggara penafsiran ulang itu terjadi di dalam gerakan Islam. Adapun di Timur Tengah apa yang pada mulanya tampak sebagai pelaksanaan hukum Islam, pada dasarnya adalah penerusan tradisi Arab dan Persia sebelum Islam lahir sehingga tidak ada penafsiran ulang di dalamnya. Partai politik yang masih terkungkung dalam primordialisme sempit dan eksklusivisme tidak akan kapabel terhadap kebutuhan masa depan karena partai politik yang berorientasi ideologis dengan tawaran-tawaran "keselamatan akhirat" sebagai sentuhan dan eksploitasi identitas tunggal (singtrlar identity) berupa ideologi agama, sudah tidak relevan. Sejarah telah mengajar bagaimana partai yang berangkat dari aspirasi agama orientasinya akan kembali pada tujuan agama yang eksklusif dan pada akhirnya akan terjebak dalam sektarianisme. Kekhawatiran politik itu muncul ketika lahir banyak parpol baru yang berlandaskan aspek primordialisme. Jangan sampai muncul kembali kekhawatiran politik bahwa dengan sistem multipartai yang pernah terjadi tahun 1950-an terjadi fragmentasi politik yang sangat tajam. Fragmentasi itu dapat membahayakan integrasi bangsa. Parpol-parpol baru memang harus menghindarkan diri dari primordialisme karena sebagai partai ia memiliki fungsi dan sah untuk merebut kekuasaan (the allocation authority of value). Bila demikian, maka kekuasaan yang dipegangnya (dalam pemerintahan) sekurang-kurangnya terselubung-bersifat dan berorientasi pada primordialisme. Pada gilirannya, hal itu akan mengakibatkan fragmentasi politik yang tajam dan dapat membahayakan integrasi bangsa. Hal itu tidak mudah. Tampaknya strategi berbasis ikatan primordial lebih pragmatis dan lebih menjamin dalam jangka pendek. Akan tetapi, strategi pragmatis itu untuk 66
jangka panjang tidak akan menguntungkan. Agar arah yang membahayakan itu tidak terjadi maka harus ada kesepakatan awal para penggagas parpol barn. Arab reformasi menyeluruh dimaksudkan nntuk tetap mempertahankan negara kesatuan RI dengan berbasis pada UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Oleh karena itn, asas dasar parpol barn barns tetap mengacu pada ideologi kebangsaan -- Pancasila -- yang sudah teruji sebagai asas kebangsaan dan kesepakatan bersama common platform. Sebab, dengan dibentuknya parpol baru yang tidak berbasis primordial berarti mendukung adanya pengakuan plnralisme Indonesia sehingga yang muncul bnkanlah parpol yang eksklusif, tetapi parpol yang terbuka bagi warga masyarakat tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Usaha-nsaha ke arab itu sudah dilakukan pada Masa Orde Baru dengan usaha meminimalkan konflik-konflik politik dan konflik ideologis dengan menjadikan Pancasila sebagai basis wacana politik. Dengan demikian, "Politik Aliran" yang dianggap lama mendominasi konfigurasi politik Indonesia sudab dianggap selesai. Kemajemukan ideologi dicoba disatukan menjadi kelompok-kelompok politik yang ada. Mereka diikat untuk berkompetisi satu sama lain atas dasar program-program politik mereka yang riil dan bukan atas dasar retorika politik dan sentimen ideologis. Sayang, akses partai politik dalam penentuan kebijakan politik baik lewat kabinet maupun lembaga perwakilan ternyata tidak memuaskan. Saya masih ingat silang pendapat oleh sejumlab pimpinan DPR tentang keberadaan anggota DPR. Anggota DPR itu wakil rakyat atau wakil partai atau malahan wakil fraksi? Pertanyaan itu bagi saya aneh. Bukankab adanya partai merupakan representasi suara dan kepentingan rakyat? Bukan sebaliknya! Tetapi kenyataan yang aneh itulah yang terjadi. Begitu fraksi memutuskan ini atau itu, semua barns diam dan menerima. 67
Siapa yang tidak menerima berarti di luar sistem. "Fraksi bicara habis perkara," demikian ungkapan yang saya kira cocok. Fraksi partai dalam lembaga perwakilan merupakan minoritas di tengab fraksi lain yang lebih besar. Fraksi PDI dan PPP (kalanpun bersatu) masih baru berhadapan dengan Fraksi Utusan Daerab, Fraksi-ABRI, dan FraksiKarya Pembangunan. Tentu saja tidak efektif. Kedaulatan rakyat diaktualisasikan dalam Pemilu. Tetapi, setelab Pemilu berakbir sepertinya tidak ada kedaulatan lagi. Bahkan, anggota DPR yang berani berbeda dengan fraksi atau partainya dia barns slap di-recall. Sangat kentara adanya mata rantai yang putns antara rakyat atau masyarakat yang berdaulat dan lembaga yang mewakilinya. Dalam era reformasi, partai-partai politik harus diperbarui. Pluralitas masyarakat terbentuk karena suku, ras, agama dan kepercayaan, ideologi merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak. Partai berorientasi pada program yang menyentuh secara langsung pada kebutuhan riil masyarakat, bersifat terbuka, menembus batas ideologi, agama, dan ras. Eksploitasi terhadap agama akan membawa antagonisme serta radikalisme keagamaan terbukti selalu berumur pendek karena kekurangan visi dan misi politik serta program sosial politik yang masuk akal sehingga sulit meraih dukungan massa. Orientasi pada program harus menjadi mainstream perjuangan partai-partai baru yang akan berdiri tidak melenceng dari eksistensi dan nilai-nilai substansial yang melekat pada suatu partai. Dengan demikian, partai menjadi sarana komunikasi politik dalam rangka artikulasi dan agregasi politik dengan jalan menghubungkan tuntutan-tuntutan rakyat dan rekomendasi-rekomendasi kebijakan antara suprastruktur dan infrastruktur politik secara efektif. Partai juga harus menjadi mediator sosialisasi politik, sebagai sebuah proses sosial yang menjadikan warga bangsa ini memiliki budaya politik yang demokratis yang selama ini terpasung. Dengan sosialisasi politik yang dilakukan oleh parpol akan 68
berimplikasi pada perubahan budaya yang selama ini berjalan bahkan akan tercipta budaya politik baru. Parpol juga harus menjadi wahana sosialisasi kebijakan pemerintah pada rakyat. Partai harus mampu berfungsi sebagai wahana rekrutmen politik, di mana terjadi sebuah proses seleksi berdasar pada kriteria kemampuan alami dan prestasi juga terbuka, budaya rekrutmen seperti itu akan mampu melahirkan kepemimpinan politik yang andal. Partai juga harus berfungsi sebagai management of conflict, balk secara internal maupun eksternal, sehingga tercipta tertib politik. Partai politik berfungsi sebagai wahana artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat. Partai akan menjadi tempat di mana rakyat menyatakan kepentingan dan keinginannya agar disalurkan dan diperjuangkan. Parpol baru yang terbentuk ini harus dapat mengemban fungsi politik yang ada. Bila tidak, bisa dipastikan implikasi fungsi politik yang muncul akan tidak menguntungkan baik bagi kepentingan pendewasaan politik masyarakat maupun kepentingan bangsa secara keseluruhan. Artinya, menjaga keutuhan dan integrasi nationstate Indonesia dan kelestarian konvergensi nasional, baik konvergensi budaya antara santri dan abangan ataupun konvergensi aliran agama antara tradisionalis dan modernis, serta antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, Dalam rangka membangun politik dan ideologi harus dihindarkan konflik politik dan ideologi dari artikulasi melalui wacana keagamaan atau paling tidak berkonotasi agama. Konflik seperti itu akan membawa konsekuensikonsekuensi negatif berupa fanatisme di antara dan di dalam komunitas-komunitas agama. Agama tidak menegaskan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang formal. Meski demikian, tidak berarti bahwa agama tidak lagi berfungsi sebagai medium untuk melakukan perbaikan atas kenyataan. Dapat dipahami bahwa meskipun terjadi kemerosotan yang drastis dari pengaruh politiknya, agama tetap 69
berperan. Agama memberi dasar tatanan moral dan menjadi "energi hidup" (elan vital) yang terus menerus bisa ditimba oleh manusia untuk berbuat, untuk hidup. Sebagai seperangkat struktur nilai khusus agama memiliki kemampuan menjelaskan dan merekonstruksi kenyataan sosial di dalam waktu dan tempat yang berbeda. Agama masih harus dipertahankan sebagai faktor penting untuk memahami proses politik di Indonesia pada masa mendatang. Agama yang mengakui I<eesaan dan Kemahakuasaan Allah dan menegaskan fitrah manusia sebagai hamba Allah akan menjadi negasi terhadap segala kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pemerkosaan, dan ketidakadilan yang terjadi dalam sejarah. Kemahakuasaan Allah menjadikan segala kuasa dunia ini relatif dan mendudukkan manusia sebagai sesama yang sederajat dan bersama-sama hidup sebagai hamba Allah. Dengan itu, agama memberi dasar bagi ideologi politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu pada gilirannya akan mempengaruhi "budaya" politik dan tindakan di dalam masyarakat, seperti penegakan hukum, pelaksanaan HAM, pelaksanaan sistem demokrasi. Pada saat kritis agama juga mampu menjadi modalitas agar tuntutan-tuntutan sosial politik dapat disuarakan dan juga dilaksanakan sehingga tercipta keadaan masyarakat yang lebih baik.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bukan Retorika
70
Berbagai macam partai yang muncul sesudah keruntuhan Orde Baru membuat banyak orang terkejut bahkan ngeri. Masyarakat sudah terbiasa selama dua dasawarsa ini dengan sedikit partai. Menurut saya, sistem multipartai sebetulnya tidak jelek. Puncak praktek kehidupan sistem multipartai adalah pemilu 1955. Satu-satunya pemilu yang tidak membawa korban jiwa manusia meskipun diikuti oleh lebih dari 50 tanda gambar. Bila saya bandingkan dengan pelaksanaan enam kali pemilu pada zaman pemerintahan Soeharto, banyak korban yang tewas dan terakhir berbuntut penculikan para aktivis. Kiranya perlu menimbang dengan adil praktek kehidupan kepartaian tahun 1955. Tidak perlu dibantah bahwa terjadi kompetisi ideologi yang bermuara pada kemacetan Sidang Konstituante tahun 1959, namun pengalaman dengan sistem multipartai tidak sepenuhnya negatif. Kehadiran banyak partai itu saya pandang sebagai gladi politik (political exercise) bagi masyarakat yang pada akhirnya menjadi gladi berdemokrasi. Partai bukan hanya wadah retorika politik atau semangat nasionalisme semu yang di zaman Bung Karno disebut "nasionalisme gagah-gagahan." Partai adalah wadah artikulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lewat interaksi antara partai yang satu dengan partai lain akan terumuskan kebersamaan kita sebagai bangsa, entah itu yang namanya format, sistem politik, atau kepentingan nasional. Rupanya, kekuatan sosial politik yang ada pada waktu itu (Angkatan Darat, Bung Karno, partai-partai politik) tidak sabar dengan situasi yang ada. Idiom dalam politik bahwa "lawan bicara adalah teman berpikir" tidak masuk alam pikiran pada waktu itu sehingga berakibat dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959. Apakah dengan demikian masalah ideologi selesai? Ternyata belum. Hal itu kentara dengan partai-partai baru yang muncul. Banyak parpol baru mengidentifikasikan dirinya sebagai "partai agama" atau parpol yang namanya 71
tidak terang-terangan mengasosiasikan agama dan masih menyatakan berasaskan Pancasila. Partai-partai agama atau bernuansa agama yang dapat dicatat, antara lain Partai Masyumi Baru, Partai Umat Islam, Partai Islam Persatuan Indonesia, Partai Karya Ulama Indonesia, Partai Bulan Bintang, Partai Kesatuan Umat Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Insan Muttaqin, Partai Reformasi Cintakasih Kristus Indonesia, Partai Demokrasi Kasih Bangsa. Partai-partai itu memperlihatkan "politik aliran" selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa disalah gunakan dan tidak pernah dapat dimatikan. Di luar partai agama cukup banyak dijumpai partai-partai aliran antara lain Partai Nasional Indonesia, Partai Rakyat Marhaen, Partai Murba, Partai Tionghoa Indonesia. Saya memandang kenyataan itu merupakan bagian dari proses perkembangan bangsa. Orde Baru menginginkan agar politik yang memimpikan politik aliran dan partai agama dikubur untuk selamanya. Langkah penguburan itu dipandang sebagai usaha modernisasi politik. Tetapi, kenyataannya usaha itu tidak dapat menabrak realita yang hidup di dalam masyarakat. Pengalaman traumatik dengan propaganda partai program dan partai berorientasi ala Orde Baru pada ujungnya menyebabkan rakyat hidup menderita. Akibat pengalaman buruk itu dengan sendirinya mengantarkan kembali rakyat kepada romantika kehidupan politik masa lalu. Ketika pembangunan gagal memberikan kesejahteraan rakyat tentu saja dapat dimengerti kalau kemudian masyarakat kembali merangkul ideologi. Pragmatisme dan sekularisasi politik yang dilaksanakan Orde Baru menghasilkan pemasungan, pembungkaman, belenggu, dan penjara atas nama kemerdekaan dan kebebasan politik rakyat. Betapapun indahnya kampanye pragmatisme dan sekularisasi politik sekarang, toh itu tidak akan berhasil menghalau mimpi buruk rakyat atas kekejaman rezim Orde Baru yang juga mengkapanyekan hal-hal serupa. Pendulum politik bergerak secara ekstrem dari satu 72
kutub ke kutub lain. Kehadiran partai yang bernuansa agama memang tidak dapat dicegah karena hal itu hak setiap warga negara. Saya memandangnya sebagai bagian dari proses pendewasaan dan perkembangan politik. Di tengah kemajemukan bangsa seperti ini untuk jangka panjang menjadi terlalu rentan untuk membangun demokrasi dengan bertolak dari politik golongan atau aliran. Tetapi, mengingat kepentingan taktis menghadapi pemilu beberapa bulan mendatang, tindakan itu dapat dimengerti. Namun yang perlu dikuatkan adalah basis kebersamaan (common platform) di antara parpol-parpol tersebut. Biarkanlah mereka hidup berinteraksi dan berkembang sehingga bangsa Indonesia nanti secara bersama-sama menemukan model kehidupan politik yang pas. Di antara parpol-parpol itu juga muncul kesadaran untuk berjuang bersama-sama meskipun dalam wadah yang berbeda-beda. Saya sebagai orang PKB juga melakukan komunikasi dengan partai-partai lain, baik itu PDI Perjuangan maupun partai-partai baru. Pernah hanya beberapa hari setelah deklarasi PKB ada 11 parpol membangun kebersamaan dalam wadah Forum Komunikasi Partai-partai "Proreformasi Total." Kesebelas partai tersebut adalah Partai Masyumi Baru dan Partai Umat Islam (Islam); PNI, Partai Rakyat Marhaen, Partai Rakyat Jelata, Partai Nasional Demokrat (Nasionalis); PUDI, Partai Aliansi Demokrat Indonesia (Demokrasi); Partai Pekerja Indonesia pimpinan Wilhelmus Bocca; Partai Ekonomi Rakyat Indonesia (Profesi); dan Partai Murba (Sosialis). Mereka mengikat dirinya dalam komitmen dasar, yaitu (1) Menegakkan Negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2) melindungi hak-hak sipil dan politik rakyat Indonesia; (3) Menegakkan prinsipprinsip Trias Politica dalam praktek kehidupan kenegaraan; dan (4) Menempatkan fungsi Angkatan Perang sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945. Saya tidak ikut serta dalam "forum komunikasi" itu, 73
meski saya memandang komunikasi itu baik. Saya sendiri terus-menerus membangun komunikasi dengan partaipartai yang ada. Dalam berbagai kesempatan saya menegaskan, "Tidak masalah untuk berkoalisi dengan partai lain asal visi dan misinya sejalan." Komunikasi dan pendekatan informal sering lebih kena daripada pendekatan formal. Dukungan atas misi PKB itu tidak hanya datang dari warga nahdliyin, tetapi juga rekan-rekan agama lain atau mereka menamakan dirinya nasionalis. Dukungan itu tentu saja saya harapkan nantinya pada pemilu juga. Hasil Pemilu nanti akan menentukan strategi kita selanjutnya, khususnya dalam soal berkoalisi. Koalisi itu sebetulnya apa? Dalam bayangan saya nanti bila tidak ada mayoritas tunggal partai-partai tentu harus berkoalisi. Syukur-syukur tampil sebagai partai mayoritas. PKB dapat saja berkoalisi. Mengapa tidak? Kanjeng Nabi Muhammad SAW saja pernah berkoalisi dengan bani Nadhir dan Qurnidhah! Meskipun nanti terjadi koalisi, partai-partai itu tetap sendiri-sendiri, Fraksinya juga sendiri-sendiri. Hanya dalam menghadapi sesuatu atau beberapa masalah tertentu bersatu sikap yang pada pokoknya ada dua, yaitu "sikap mendukung" atau "beroposisi" terhadap pemerintah. Koalisi partai-partai juga tidak mengubah identitas masing-masing. Koalisi sebetulnya urusan permainan politik, tidak ada hubungan dengan identitas apalagi aqidah partai. Untung dan rugi dalam koalisi merupakan pertimbangan taktis politik. Tentu saja koalisi hanya dapat dilakukan oleh partaipartai yang memiliki "kesamaan" sikap menghadapi suatu masalah politik yang cukup prinsipiil dan berlangsung cukup lama. Artinya, tidak bisa asal ada masalah lalu membentuk koalisi. Dalam pemilihan presiden, misalnya, yang tentunya dilakukan oleh MPR, partai-partai menentukan sikapnya sendiri. Mereka yang berkoalisi akan saling berkonsultasi dengan meminta koalisinya untuk "mempersatukan calon" atau mungkin "memunculkan 74
calon alternatif' tergantung situasinya. Koalisi bukan fusi (peleburan) seperti pernah dikehendaki oleh Orde Baru saat parpol hanya ada dua PPP dan PDI. Sebetulnya "fusi" itu bukan fusi, bukan pula penggabungan dan juga bukan koalisi. Sebetulnya hanya ada "fusi fungsi" politik saja. Kalau suatu pihak melepaskan fungsi politiknya, seperti NU pada tahun 1984, maka hilang pula fungsi politik NU yang pada tahun 1973 difusikan ke dalam PPP. Jadi, NU kembali bebas. Koalisi juga bukan berarti federasi (penggabungan organisasi secara permanen) tetapi hanyalah kerja sama dalam sikap dan langkah politik. Sekarang ini menurut saya masih terlalu dini untuk menentukan koalisi dengan siapa saja. Di samping masih "terlalu pagi" untuk mengikatkan diri pada partai lain tetapi juga alasan taktis. Main saja belum kenapa sudah kecut atau merasa takut akan kalah! Orang Jawa bilang, "Aja nggege mangsa!" Artinya, jangan terburu-buru, musimnya belum datang. Di samping itu, seal koalisi ini jangan menjadi "batu sandungan" bagi internal partai. Bukan rahasia lagi setiap koalisi dengan "pihak sana" atau "pihak sini" akan menimbulkan silang pendapat. Silang pendapat itu sendiri sebetulnya tidak masalah, namanya juga demokrasi. Tetapi kalau itu terjadi menjelang pemilu yang dekat ini bisa mengganggu menciptakan suasana kondusif di kalangan anggota. Di tengah perkembangan partai yang menjamur itu PKB menegaskan dirinya sebagai partai terbuka. Dia tidak hanya untuk warga nahdliyin, tetapi terbuka juga untuk warga non-muslim. Harus diakui, ini merupakan penyodoran konsep PKB yang cukup berani. Reaksi dari beberapa kiai tentu saja ada. Namun, saya selalu menyerukan: "Mari kita bangun bangsa ini bersama-sama!" Hal itu sejalan dengan yang ditegaskan dalam asas PKB, yaitu Pancasila yang disebut secara utuh. Pancasila sengaja disebut lengkap dan tidak hanya disebut "Pancasila" saja, karena kata "Pancasila" memang tidak terdapat dari UUD 75
1945. Tetapi, yang disebut secara utuh dalam Pembukaan UUD 1945 adalah isi "Pancasila" itu. Dengan disebut secara lengkap terasa betapa luhur isinya, tidak terasa dangkal atau tidak terasa "terlalu politis". Artinya, hanya disebut untuk membenarkan pendapat atau perbuatan sendiri yang tidak benar atau menyalahkan orang lain. Ingatlah kita akan jargon-jargon "Demokrasi Pancasila", "Budaya Politik Pancasila", "Ekonomi Pancasila" yang hanya diberi makna sepihak untuk memperkuat diri sendiri dan memukul pihak lain. Paling tidak, bila kita mendengar kata Pancasila atau membacanya, ingatlah akan isinya secara lengkap. Di samping itu, prinsip perjuangannya adalah: pengabdian kepada Allah SWT (berjuang dalam partai dengan niat mengabdi kepada Allah atau beribadah); menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran; menegakkan keadilan; menjaga persatuan; menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Waljamaah (Pasal 4 AD). Prinsip perjuangan itu digariskan untuk mencapai tujuan partai, yaitu mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945; mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, material dan spiritual; mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, terbuka dan berakhlakul karimah (budi pekerti mulia) (Pasal 7 AD). Partai ini merupakan wadah berhimpun setiap warga Indonesia dengan tanpa membedakan asal-usul, keturunan, suku, golongan, agama, dan profesi. Sebagai wadah berhimpun, PKB bersifat kebangsaan, demokratis, dan terbuka. Arti kebangsaan dalam hal ini bukan kesukuan, keturunan, keprofesian, juga tidak bersifat keagamaan. Atau lebih tegas lagi, PKB tidak berjuang untuk suku, keturunan, profesi, atau pemeluk agama tertentu, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia. Bahkan, berjuang untuk kemanusiaan tanpa menempatkan diri di bawah pengaruh atau kuasa bangsa lain. "Kami tidak pernah ingin mendirikan negara Islam, karena bagi NU maupun PKB, bentuk negara Indo76
nesia sudah final," demikian penegasan yang berkali-kali diulang oleh Katib Aam Syuriah PBNU, K.H. Said Aqil Siradj. Tentu ada pertanyaan seal pengurus ini, misalnya dari anggota yang di luar lingkungan NU. Menurut saya perkembangan ke depan ini akan menggariskan sendiri bagaimana pola keanggotaan pengurus yang paling balk bagi partai. Sekarang ini yang paling penting adalah semangat pembaruan partai yang kita dengungkan. PKB, meskipun lahir dari lingkungan NU, tetapi berbasis kebangsaan dan nasionalisme. PKB berkewajiban untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil dan makmur, merdeka dan berdaulat, terjamin hak asasinya yang berkaitan dengan segala bentuk penganiayaan, kebebasan dari pemaksaan agama, pemusnahan etnis serta kebebasan mencari nafkah secara sah. Cita-cita saya tentu saja semoga PKB menjadi harapan baru bagi warga NU. Salah seorang rekan saya yang anggota FPP DPR, Khofifah Indar Parawansa, secara tegas memilih menjadi pengurus PKB. Dalam kepengurusan PKB periode 1998-1999 sedikitnya ada empat orang warga NU di PPP yang "pulang ke rumah", yaitu H. Taufiqurrahman Saleh, Khofifah Indar Parawansa, Imam Churmen, dan Amru Mu'tashim. Khofifah memilih meninggalkan PPP karena dalam pandangannya, reformasi telah memberikan suatu nuansa baru pada tatanan format politik ke depan. Globalisasi mengharuskan semua tatanan lebih inklusif. "Visi keagamaan NU yang dikembangkan selama ini adalah membawa visi tersebut. Saya merasa at home dengan visi yang dikembangkan NU selama ini," katanya. Menurut Khofifah dibandingkan dengan PPP, PKB lebih dahulu menawarkan format baru sebagai partai dengan visi yang membawa nuansa demokratis, keterbukaan dan pluralitas. Senior PPP yang juga nadhliyin, Imam Churmen menyatakan bahwa PKB merupakan partai akomodatif untuk mengantisipasi situasi saat ini yang dipenuhi dengan luapanluapan emosi tanpa norma hukum. Jika situasi ini tidak 77
diatasi secara konsepsional dan mendasar maka negara dan bangsa ini akan makin terpuruk dan terbelah. Itu tugas dan tantangan PKB terbesar! Sumber Bacaan Aula, September 1998 "Apa dan Bagaimana Partai Kebangkitan Bangsa itu" Bina Darma, No. 60 Tahun ke-16, 1998 "Keadilan Islam Multidimensi" H. Matori Abdul Djalil: "Reformasi yang sedang berlangsung telah mengalami inflasi (kemerosotan nilai)" Media Indonesia, 19 Oktober 1998"Islam di Asia Tenggara" Media Zndonesia, 13 November 1998 "Hindari Negara Berasumsi Agama" Ridwan Saidi, "Apa Khabar Partai Islam?" Tempo, edisi 12-18 Januari 1998 "Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai" "Mendatangkan Tuhan ke Dalam Politik"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab 4 POLITIK ITU PILIHAN HIDUP (Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh beriman kepada Allah) (Surat Ali Imran ayat 110) Kota Salatiga, Jawa Tengah Tengah adalah satu dari sekian kota sejuk yang dimiliki negeri ini. Di kota itulah pada 11 Juli 1942 saya dilahirkan. Lahir dari keluarga NU, nahdliyin tulen, saya memulai pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah LP. Ma'arif (setingkat SD) dan selesai tahun 1956. Pada saat bersamaan, saya juga lulus Sekolah Rakyat Negeri. 78
Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Salatiga, lulus tahun 1959 dan SMA Negeri Salatiga Jurusan Ilmu Pasti Alam pada tahun 1963. Saya sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, sampai tingkat III (1968). Sering orang bertanya kenapa saya yang orang NU atau orang tahlil, kaum istighosah, salawat badar, kok kuliah di universitas Kristen? Waktu itu yang penting belajar. Belajar di mana bukan persoalan. Mungkin, saat itu supaya saya tidak perlu in de kost atau mondok luar kota sehingga menghemat biaya, maka kuliah di Salatiga saja! Saya juga tidak tahu di kemudian hari Satya Wacana menjadi universitas yang dipandang paling demokratis atau paling memiliki kebebasan akademik. Mungkin karena pluralitas warga universitas di situ dan tokoh-tokoh penghuninya, seperti Arief Budiman, Th. Sumartana, atau Liek Wilardjo. Tetapi suasana kebebasan pada masa kuliah di sana saya rasakan ada. Saya dengan bebas dapat aktif sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga. Keaktifan di organisasi itu boleh dikatakan saya mulai sejak kecil. Sebagai anak keluarga NU, sejak kecil saya sudah aktif di lingkup organisasi NU. Pada tahun 1955-1957 menjadi anggota Pandu Ansor. Semasa di SMA, saya menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga. Kemudian kiprah organisasi saya teruskan di PMII. Padatnya aktivitas saya di organisasi akhirnya menyebabkan kuliah saya tinggalkan. Asal tahu saja, sejak tahun 1966 saya aktif sebagai Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga. Lewat kesatuan itu saya ikut berjuang menumpas apa yang saya yakini sebagai pemberontakan G-30-S/PKI untuk menegakkan Orde Baru. Kuliah saya tinggalkan tahun 1968 bertepatan saat saya menjadi Wakil Ketua I Partai Nahdlatul Ulama Cabang Kabupaten Semarang/Kotamadya Salatiga. Hal itu merupakan konsekuensi dari perjuangan saya. 79
Konsekuensi seorang mahasiswa aktif di organisasi, kuliahnya terbengkalai. Risiko itu memang saya terima dengan sedikit penyesalan. Sebab saya bukanlah orang yang terlalu bodoh, kalau hanya untuk menyelesaikan kuliah saja. Tetapi kenyataannya! Saya tak sampai diwisuda sarjana. Alasannya, saya terlampau sibuk di organisasi. Ketika masih mahasiswa tingkat III, saya sudah menjadi wakil ketua DPRD Kodya Salatiga. Karena kesibukan politik itu saya merasa wegah (malas) untuk turun ke bangku kuliah lagi. Kalau boleh menyesali, itulah salah satu sisi kehidupan yang agak saya sesali. Makanya, saya ngopyak-opyak (mendorong) anak-anak muda di PKB untuk tetap menyelesaikan kuliah. Ilmu yang dipelajari itu nanti pasti berguna. Saya menambah ilmu dengan belajar sendiri lewat buku bacaan. Politik adalah pilihan hidup saya. Politik itu pekerjaan utama saya. Sejak aktif dalam partai di Jawa Tengah saya tidak ikut-ikutan berbisnis atau mengikuti proyek ini dan itu. Seluruh waktu saya habis untuk berpolitik. Alhamdulilah saya merasa tidak kekurangan atau istilahnya kapiran. Anak-anak ternyata juga bisa sekolah meskipun saya bukan orang kaya. Saya bersama istri berusaha melatih anak-anak untuk bertanggung jawab atas tindakan atau pilihan hidupnya, termasuk pilihan untuk kuliah di sini atau di sana. Anak yang mau masuk IKJ saja saya tanya, apakah sudah mempertimbangkan konsekuensinya menjadi seorang seniman. Seorang seniman itu kalau mempunyai duit semua orang yang ditemui akan ditraktir. Tetapi, kalau lagi bokek, ya baju saja dijual. Sebagai politisi, seseorang harus berani hidup miskin seperti saya ini. Karena pekerjaannya, seorang politisi tidak sempat lagi memikirkan mencari uang. Sampai saat ini belum ada salah satu anak saya yang terjun ke dunia politik, meskipun Fahmi anak pertama kami pernah aktif di PMII, dia lebih memilih menekuni dunia usaha. Demikian pula adik-adiknya, juga aktif di PMII. Setiap pilihan hidup 80
membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Saya dapat mengambil contoh keluarga Wanandi. Sofyan Wanandi itu pengusaha yang dapat dikatakan berhasil. Beda dengan Yusuf yang menjadi ilmuwan. Dia sukses karena karyakarya ilmiahnya dalam hubungan internasional bukan karena mempunyai banyak uang. Sofyan berbeda dengan Yusuf beda pula dengan Markus yang menjadi imam Katolik. Sebagai pastor, tentu tidak mempunyai duit. Tetapi mereka bertiga saling menghormati status masing-masing. Pengusaha tentu mempunyai banyak uang. Memang dia berusaha supaya mendapat laba. Tidak ada pengusaha yang ingin rugi terus. Itu tidak ada. Keuntungan yang dinikmati pengusaha sepadan dengan kemungkinan kerugian yang mungkin saja dideritanya. Make, keuntungan itu wajar. Lha yang lucu, pegawai negeri zaman seperti ini kok ingin menjadi orang kaya. Setiap pilihan hidup memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Meskipun saya bukan orang kaya, tetapi alhamdulillah "tidak kurang". Ini bukan kesombongan atau ingin menonjolkan diri. Buktinya, anakanak saya semuanya bisa sekolah. Saya percaya Gusti Allah menyelenggarakan hidup setiap orang. Hidup itu beres bukan hanya karena duit. Lihat itu orang-orang kaya. Duitnya berlimpah tetapi anak-anaknya tidak selesai sekolah. Sementara orang yang hidupnya sederhana, anakanaknya malah selesai kuliahnya. Mereka kaya, tetapi hidupnya tidak cukup karena hidup tidak hanya dicukupi dengan uang. Hidup itu lebih kaya daripada sekadar harta benda, apalagi sekadar mencari uang. Hidup itu saya pandang sebagai amanah bagi sesama. Karena amanah saya merasa berarti, berguna bagi orang lain. Untuk itu, saya sepertinya tidak sempat memikirkan diri sendiri. Setiap hari banyak tamu yang harus saya tanggapi atau saya layani. Mungkin saja bila saya pergi ke tempat lain saya dapat uang atau mendapat order ini dan itu. Tetapi, tidak saya lakukan karena ada seorang teman 81
yang datang. Teman itu butuh didengarkan. Justru dengan itu saya merasakan hidup ini berguna bagi diri saya sendiri, sahabat, keluarga, atau orang di sekitar saya. Di samping itu, berada di antara kawan-kawan saya merasakan keikhlasan mereka. Dengan aktif dalam politik saya merasa diberi kesempatan untuk bergaul dengan begitu banyak orang. Tidak hanya terbatas pada lingkungan nahdhliyin, tetapi lebih luas. Melihat perkembangan negara akhir-akhir ini saya juga merasa ngeri, tetapi dengan penuh harapan akan Indonesia esok yang lebih baik. Saya seperti diberi kesempatan untuk menatap masa depan bangsa Indonesia yang demikian kaya dan majemuk ini. Insyaallah menatap masa depan yang lebih balk, lebih demokratis, dan lebih manusiawi. Saya percaya pada akhirnya kebenaran yang akan ditegakkan bukan keburukan atau kebatilan. Dalam aktivitas berpolitik, saya ini sering dikatakan galak. Artinya, kalau perlu mengkritik ya saya kritik. Kalau berbicara terbuka, blak-blakan. Bila saya merasa yakin benar akan saya katakan benar bila salah akan saya katakan salah. Tentu saja dengan mengindahkan perasaan yang saya kritik. Supaya saya bebas mengkritik maka saya tidak cluthak atau rakus dalam harta atau kedudukan dengan memanfaatkan situasi dan posisi. Sejak menjadi pengurus partai di daerah, saya tidak pernah memanfaatkan kedudukan untuk bisnis. Kalau saya sudah mendapat suatu konsesi bisnis maka saya tidak bisa berharap bersikap objektif. Sebagai fungsionaris PPP saya sering memegang jabatan ketua. Kalau saat itu mau kolusi tentu saja bisa. Tetapi, saya tidak mau karena tidak suka kolusi. Istilah saya, galak tapi cluthak ya disorak. Kalau orang itu vokal tapi hidupnya tidak benar tentu saja akan menjadi bahan tertawaan orang lain. Paling tidak, menjadi bahan tertawaan dan teguran hati nuraninya. Sebelum seorang polisi datang untuk menangkap orang yang mencuri, pastilah hati nuraninya sudah menegurnya. Dia tidak bisa lari dari dirinya 82
sendiri, dari hati nuraninya. Walaupun polisi tidak menangkap karena perkara korupsi, kolusi yang bisa disembunyikan tetapi sudah ditangkap oleh suara hati nuraninya. Seorang mantan pejabat tinggi selama 32 tahun sudah jelas mempunyai duit kok mengaku "tidak punya sesen pun". Itu namanya ngapusi Gusti Allah. Gusti Allah kok diapusi. Dia itu Mahatahu. Politik dengan hati nurani itu saya pegang teguh sampai saat ini. Insyaalah, sampai saat ini saya tidak pernah diteror atau diancam dengan kekerasan, karena lewat hati nurani kita dididik untuk memperlakukan orang dengan manusiawi. Mentaati hati nurani itu membuat manusia terbuka dan ber-akhlakul karimah. Akhlak bukan sekadar sopan santun, basa basi, tatakrama saja, melainkan sikap mental yang mendorong tumbuhnya perbuatan dengan mudah. Sebab hal itu sudah menjadi watak dan kebiasaan tanpa perlu dipikir-pikir lagi atau dihitung untung ruginya. Jadi, pendorongnya baik dan perbuatannya baik sehingga bisa disebut akhlak karimah atau budi pekerti mulia. Memang manusia bisa salah, tetapi karena dia manusia maka harus kita hargai dan hormati juga. Lewat hati nurani kita bisa membedakan antara urusan organisasi dan urusan pribadi. Dengan Buya Ismail Hasan Metareum saya bersaing dan berbeda pendapat bahkan berseberangan, tetapi sebagai sesama manusia tali silaturahmi tetap saya lakukan. Pada saat perpisahan anggota Fraksi Persatuan Pembangunan DPR periode 1992-1997 saya khusus menyanyikan sebuah lagu untuk Buya. Demikian pula waktu saya mantu, saingan saya dalam muktamar itu juga saya undang dan dia hadir. Politik yang saya geluti bertahun-tahun memberi pelajaran bagi saya bahwa sekarang ini yang namanya Philosopher King (Raja Pendeta) itu sudah tidak ada lagi. Maksud saya, seorang tokoh yang pintar, demokratis, menjadi anutan, tanpa cela secara moral, jujur, diterima masyarakat sehingga rakyat dapat memberi "cek kosong" 83
untuk memerintah negara itu tidak ada. Jadi, jangan memperlakukan orang atau lebih tepat mengkultusindividukan orang sebagai seorang Philospher King yang mungkin pada masa Yunani Kuno, zaman Socrates dulu relevan di sebuah Polis (negara kota) tetapi sekarang sudah tidak mungkin lagi. Lihatlah pengalaman pada masa Soeharto. Betapa seorang presiden dijunjung setinggi langit dengan gelar "Bapak Pembangunan", "Ketua Dewan Pembina Golkar", "Pembina Politik", dan terakhir menjuluki dirinya sebagai (raja) yang mau lengser keprabon madeg pandito. Seorang pejabat bisa saja digoyang dengan dalil korupsi, tetapi tidak ada yang berani mengarahkan telunjuknya ke presiden. Kompleksitas pemasalahan zaman ini sudah tidak memungkinkan seorang individu, betapa hebatnya dia, untuk mampu menghandle urusan negara seorang diri dengan kekuasaan mutlaknya. Bukan kepemimpinan individual lagi, tetapi sebuah teamwork, kepemimpin kelompok yang lebih menjamin. Di samping itu, kepemimpinan itu mesti diamankan dengan adanya sistem kontrol, sehingga kekuasaan dapat digunakan dengan benar. Kecenderungan menjadi seorang individu sebagai Philospher King itulah yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Setelah terlepas dari "Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup" bangsa ini jatuh ke tangan "Bapak Pembangunan" yang bukan diangkat seumur hidup, tetapi terus-menerus dipilih selama tiga dasawarsa dengan segala eksesnya yang kurang balk. Perjuangan politik saya terletak pada bagaimana menjadikan kekuasaan itu sebagai sistem yang dapat dikontrol secara efektif. Itulah seninya berpolitik sekarang ini. Di situlah perjuangan setiap orang Indonesia, bagaimana mewujudkan sistem kontrol kekuasaan yang efektif dan menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat. Bangsa Indonesia menurut saya masih dalam proses belajar. Dulu orang begitu percaya pada kepemimpinan Soeharto dan ABRI sebagai penegak Orde Baru. Entah 84
apa sebabnya. Barangkali karena orang sudah capai akan "ideologi revolusi" yang belum selesai. "Revolution at all cost!", kata Bung Karno. Katakanlah pendulum politik nasional berubah dari politik ideologi menjadi politik pragmatis. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto dipandang orang sebagai antitesis terhadap kekuatan Orde Lama yang kian lama kian melelahkan dan menyengsarakan rakyat. Di samping itu, tentu saja penyingkiran Bung Karno merupakan salah satu ekses pertentangan Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dengan kekuatan modalnya sudah tidak tahan lagi menghadapi seorang pemimpin seperti Bung Karno yang dengan enteng mengatakan: Go to hell with your aids, atau kritiknya tentang kapitalisme dalam pidato di depan Sidang Umum PBB yang berjudul "To Build the World a New" Betapa hebatnya presiden pertama itu karena kekuatannya bertumpu hanya pada individu, yaitu dirinya, namun akhirnya toh tergelincir juga. Setelah lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru saya merasa semangat dan cita-cita pada awal Orde Baru sangat jauh dari kenyataan. Bahkan, menurut saya, bertolak belakang. Tetapi semua orang diam. Tidak ada yang berani. Kondisinya malah lebih buruk dari orde sebelumnya. Pernah saya bacadalam surat pembaca di surat kabar seseorang bercerita, dulu orang bangga menjadi warga Indonesia. Ceritanya, sehabis menunaikan ibadah haji kapalnya mengalami kerusakan sehingga harus merapat di suatu negara Afrika yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Para penumpang tidak bisa turun dari kapal untuk mendarat sekadar berjalan-jalan tanpa membawa paspor di negeri itu. Untunglah seorang petugas pelabuhan mengetahui "Indonesia" itu Presidennya Soekarno maka para penumpang diizinkan melihat-lihat kota diantar dengan mobil. Pada masa kini kesan orang terhadap Indonesia tidak baik. Indonesia berkonotasi kekerasan atau kerusuhan. Sejumlah negara tidak menerima 85
orang Indonesia. Hal itu tentu patut disayangkan. Sebetulnya, Orde Baru dan Orde Lama memiliki kesamaan, yaitu masih bertumpu pada tokoh dan bukan pada sistem yang demokratis. Saya merasa tidak fair kalau orang hanya menyalahkan masa lalu, masa Orde Baru. Pada awalnya, ide Orde Baru itu bagus sekali. Hal itu paling tidak tampak dalam pidato kenegaraan Soeharto sebagai pejabat presiden pada tanggal 16 Agustus 1967 di depan Sidang Paripurna DPR-GR: "...Orde Baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan pada masa orde yang berkuasa waktu itu, yaitu yang sekarang disebut Orde Lama. ... Sila kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan; hak-hak asazi manusia hampir-hampir lenyap, sebab semua ditentukan kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada.... Sila kedaulatan rakyat menjadi kabur; yang ada adalah "kedaulatan pemimpin". Sila keadilan sosial makin jauh; sebab kekayaan negara dipakai untuk proyek-proyek mercusuar yang merusak ekonomi rakyat dan negara. Sistem "ekonomipemimpin" dalam praktek menjadi "sistem lisensi" yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan penguasa. Penyelewengan serius terhadap UUD 1945 terjadi dengan memusatnya kekuasaan secara mutlak dan satu tangan yaitu kepada kepala negara. Asas dan sistem konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme. Kekuasaan negara yang tertinggi bukan lagi di tangan MPR (S), melainkan di tangan pemimpin besar revolusi. Presiden bukannya tunduk kepada MPRS; bahkan sebaliknya MPRS yang ditundukkan di bawah presiden. Sungguh suatu tragedi bagi rakyat bangsa Indonesia...." Pada masa awal Orde Baru ditegaskan bahwa prioritas "Pembangunan Ekonomi" ditopang oleh berlakunya doktrin pembangunan yang dilaksanakan di mana-mana waktu itu. Agar pembangunan ekonomi berjalan, diperlukan stabilitas. Maka, dibangunlah pemerintahan yang kuat 86
dan efektif. Tetapi orang banyak yang lupa bahwa prioritas itu disertai dengan kualifikasi sekaligus sebagai pemerintahan yang bersih. Jadi, pemerintahan harus bersih dan berwibawa, sebuah strong and clean government. Dengan perspektif pertumbuhan serta pembangunan infrastuktur serta berbagai institusi ekonomi maju, prioritas pembangunan ekonomi sebetulnya membawa hasil. Sayangnya, hasil itu memakan biaya tinggi yaitu represi politik serta ketidakdilan sosial-ekonorni. Oleh karena itu, akhirnya pemerintahan kuat menjadi pemerintahan otoriter tanpa kontrol yang efektif. Anasir bangsa yang hendak melakukan pelurusan semangat asli pembentukan Orde Baru tidak ada yang mampu melawan kuatnya pemerintahan, kuatnya eksekutif di bawah Presiden Soeharto. Akibatnya, buyarlah komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Represi sosial politik dan ketidakadilan sosial ekonomi sangat menekan rakyat dengan menggunakan birokrasi, aparat ketertiban-keamanan, orsospol andalan dan perusahaan-perusahaan monopoli. Kondisi itu membuat rakyat menyimpan perasaan. Perasaan itulah yang meletup dan meledak ketika katup represi sosial politik dan sosial ekonomi dibuka oleh Gerakan Reformasi dan pemerintahan baru. Letupan rakyat dimanfaatkan oleh pejabat keamanan dengan menyebutnya sebagai "banyak pemain" Sampai akhir 1998 gejolak vertikal dan horisontal itu masih berlanjut. Acapkali disertai ekses Yang mencemaskan karena seakan-akan ingin membuat tidak berfungsinya birokrasi dan aparat ketertiban-keamanan. Akan terjadi kekacauan lebih besar dan radikalisasi yang tidak jelas jika birokrasi pemerintahan dan aparat ketertiban dan keamanan, termasuk ABRI, berhasil dibuat disfungsional. Pada fase sekarang pun gejolak vertikal dan horisontal itu sudah membangkitkan kecemasan meluas dan mendalam sehingga menggangu keamanan dan rasa aman masyarakat. Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun radio 87
swasta nasional saya pernah ditanya, "Apakah Bapak ngeri melihat perkembangan yang terjadi!" Tentu saja saya menjawab, "Saya ngeri." Dengan spontan sang penyiar menyahut, "Bapak saja yang punya pengikut (baca: punya rombongan) ngeri apalagi saya!" Akibat kondisi itu bisa berlipat ganda. Di antaranya mempengaruhi rasa kepastian, mempengaruhi minat usaha, membuat arus modal dari luar terganggu, dan membuat industri pariwisata terpuruk. Gejolak tanpa kesudahan itu tanpa disadari sudah membangkitkan kecemasan meluas dan mendalam sehingga menyebabkan gerakan reformasi berhenti di tempat. Dalam masalah krisis multidimensi dan pada agenda pemilu, para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin bangsa lebih memberi kesan berjalan sendirisendiri, saling berprasangka dan saling curiga daripada duduk bersama. Lihat itu ide "Dialog Nasional" Gus Dur. Begitu banyak orang bingung dan curiga. Bagi siapa pun dan dari pihak mana pun terlalu berat persoalan dan tantangan yang sedang dihadapi ini sendirian. Siapa pun memerlukan kebersamaan. Menengok ke masa lalu, saya masih ingat dalam Pidato Kenegaraan di depan DPR pada tanggal 15 Agustus 1974, Presiden Soeharto mengatakan, "Kemampuan untuk menilai hasil penyelenggaraan kepemimpinan dan pemerintahan negara oleh seorang Presiden akhirnya akan ditentukan oleh Sidang Umum MPR lima tahun berikutnya, di mana Presiden wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya seperti yang ditetapkan dalam Garisgaris Besar Haluan Negara." Waktu penilaian itu bahkan dapat dimulai pada waktu kampanye pemilu untuk wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR yang akan datang. Dalam kampanye itu, calon presiden atau golongan peserta pemilu yang mendukungnya dapat menjelaskan konsepsinya yang mungkin lebih balk daripada kebijakan dan program presiden yang sedang menjabat dalam melaksanakan GBHN ataupun kebijak88
sanaan lainnya. Mereka yang menemukan konsepsi program yang dinilai lebih balk oleh rakyat, karena lebih sesuai dengan keinginannya dan lebih memperhatikan kepentingannya, tentu akan memperoleh suara yang lebih banyak dalam pemilu, yang selanjutnya akan menentukan pemilihan presiden yang akan datang. Masih menurut Pak Harto ketika itu, "Dengan melaksanakan ketentuan UUD 1945, maka tumbuh stabilitas yang dinamis pada puncakpuncak Pemerintahan Negara. Karena berdasarkan UUD 1945 di satu pihak ada jaminan yang cukup bagi Presiden untuk melaksanakan tugasnya, dan di lain pihak tetap tersedia sarana-sarana untuk mengawasi, mengoreksi, bahkan mengganti sang presiden (Sekneg, 1974)." Jadi, sebetulnya Presiden Soeharto pernah mengusulkan mekanisme suksesi yang tidak hanya secara formal di MPR, tetapi terutama mencakup mekanisme pencalonan diri partai kepada rakyat. Namun, usul itu tidak pernah dilaksanakan oleh pencetusnya sendiri. Sayang sekali! Kiprah saya sebagai aktivis partai tidak dapat dilepaskan dari perjuangan mengartikulasikan apa yang saya yakini sebagai kehendak rakyat. Tetapi, balk di Partai NU dulu, dan lebih-lebih pada waktu di PPP, saya mengalami benturan dengan personalized of power dalam diri Presiden. Kembalinya NU ke Khitah 1926 dan peminggiran diri saya dari tampuk pimpinan PPP membuat saya mawas diri. Salah satu hal yang saya gagas kembali adalah soal lembaga kepresidenan. Di samping tentu saja kondisi masyarakat Indonesia yang masih patrimonial, kurang terdidik dalam berdemokrasi. Kekuasaan lembaga kepresidenan selama Orde Baru sangat dominan karena enam faktor berikut. Pertama, UUD 1945 sendiri menyatakan secara eksplisit tugas dan kewenangan presiden mencakup tidak hanya bidang eksekutif, tetapi juga legislatif. Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) dengan 89
persetujuan DPR, dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Tugas dan kewenangan eksekutif saja sudah sangat luas, masih ditambah dengan bidang legislatif. Kedua, selain sebagai kepala pemerintahan (eksekutif) presiden juga memangku jabatan kepala negara. Karena UUD 1945 menganut sistem presidensial, maka kedua jabatan ini dipegang oleh presiden. Sebagai kepala negara, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU; menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (dengan persetujuan DPR); menyatakan keadaan bahaya dan akibatnya yang ditetapkan dalam undang-undang; mengangkat duta dan konsul; memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. Jabatan kepala negara pada lazimnya lebih bersifat simbolis daripada substansial, tetapi dalam praktek justru bersifat substansial. Kalau menurut UUD 1945 penggunaan kewenangan ini memerlukan persetujuan DPR atau diatur dengan undang-undang, tetapi dalam praktek dilakukan sendiri. Ketiga, berbagai sebutan yang melekat pada jabatan presiden dalam kenyataannya selama ini telah dijadikan sebagai sumber kekuasaan baru bagi presiden di luar yang disebutkan dalam UUD 1945. Jenis kekuasaan baru ini ialah presiden sebagai mandataris MPR telah berubah arti menjadi presiden sebagai pengganti MPR; hak prerogatif presiden yang tidak disebutkan sama sekali dalam UUD 1945 berubah arti menjadi pihak lain tidak boleh mempengaruhi, dan presiden sebagai Pangti ABRT berubah arti menjadi ABRI sebagai alat presiden mempertahankan kekuasaannya. Keempat, balk secara institusional maupun pribadi, presiden menguasai sumber keuangan yang cukup besar sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sekurang-kurangnya terdapat empat 90
sumber keuangan yang dikuasai presiden selama Orde Baru. Sumber dana pertama berasal dari anggaran penerimaan dan pengeluaran Belanja Negara (APBN) dan BUMN karena kata akhir penentuan tarif, peruntukan dan penggunaan anggaran berada di tangan presiden. Sumber kedua berasal dari sejumlah yayasan yang langsung dipimpin oleh presiden, seperti Yayasan Dharmais, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Kemanusiaan dan Gotong Royong, Yayasan Dana Karya Abadi (DAKAB), dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Dana yayasan itu dihimpun melalui Keppres, SK, Menkeu, dan SK penjabat pemerintah lainnya. Bisnis anggota keluarga merupakan sumber keempat. Kelima, Pancasila lebih digunakan sebagai alat melakukan hegemoni terhadap rakyat daripada sebagai pedoman dan tolok ukur dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Melalui berbagai sarana dan cara, Pancasila digunakan sebagai alat mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Rakyatlah yang disuruh melaksanakan Pancasila sesuai dengan tafsiran penguasa, sedangkan presiden dan pembantunya bertindak sebagai penafsir dan karena itu sumber utama kebenaran. Mereka yang berpandangan lain dari penguasa cenderung disingkirkan. Yang salah bukan Pancasilanya tetapi penggunaannya. Seharusnya, Pancasila difungsikan sebagai pedoman dan tolok ukur penyelenggaraan negara. Keenam, format politik yang dipraktekkan oleh rezim Orde Baru dilukiskan oleh para ilmuwan secara berbedabeda, misalnya birokratis otoriter, negara penjabat, neopatrimonial, diktator pembangunan, tetapi semuanya sepakat bahwa Orde Baru sama sekali tidak demokratis karena presiden mempunyai kekuasaan yang sangat mutlak sehingga tidak tepat disebut "demokrasi", apalagi ditambah dengan keterangan tambahan Pancasila. Sistem politik yang nyata berlaku sejak akhir 1960-an sampai Soeharto turun dari jabatannya memang menempat91
kan presiden sebagai pemegang kekuasaan kunci tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti dari lembaga tertinggi, lembaga tinggi negara, dan kekuatan politik lainnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945 sebenarnya menerapkan pembagian kekuasaan, seperti DPR memiliki kekuasaan anggaran yang lebih menentukan daripada presiden, DPR mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh presiden, dan kekuasaan peradilan yang lebih independen oleh Mahkamah Agung. Pola kepartaian yang oligarki tetapi dibina oleh penguasa, penyelenggaraan pemilu oleh pemerintah yang bertindak sebagai pemain, wasit, dan pengawas sekaligus, sistem pemilihan umum yang menjadikan anggota MPR/ DPR lebih sebagai wakil partai daripada wakil rakyat, keanggotaan MPR yang belum seluruhnya dipilih dan kedudukannya yang lemah dan tata tertib DPR yang memberi ruang gerak lebih kepada fraksi dan komisi daripada kepada wakil rakyat, maka anggota DPR sudah terpasung sejak awal untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya, seperti kekuasaan penyusunan anggaran, pembuatan undang-undang, dan kontrol (penyelidikan). Lembaga peradilan terbelenggu oleh UU Mahkamah Agung dan UU Peradilan lainnya yang menempatkan lembaga peradilan secara administratif (perutnya) di bawah presiden (Departemen Kehakiman, Hankam, dan Agama), yaitu semua hakim adalah pegawai negeri sipil, tetapi secara fungsional di bawah Mahkamah Agung, dan mekanisme penetapan anggota dan pimpinan Mahkamah Agung lebih memberi kewenangan kepada presiden daripada kepada DPR. Demikian pula dengan sumber daya (anggaran dan sarana), personel, dan otoritas Badan Pemeriksa Keuangan secara sistematis juga dibatasi dengan alasan keterbatasan keuangan negara sehingga BPK hanya mampu melakukan pemeriksaan sebatas 10% dari seluruh tugas yang harus diperiksanya. Namun, BPKP yang berada di bawah kendali presiden justru memiliki anggaran, personel, dan otoritas 92
yang luas untuk melakukan pemeriksaan. Di samping itu, terdapat sejumlah kegiatan negara, seperti Bank Indonesia yang tidak boleh diperiksa oleh BPK dengan alasan rahasia bank. Pembatasan seperti itu merupakan salah satu penyebab kebocoran anggaran negara. Mengapa hal itu bisa terjadi? Jabatan dapat dikatakan bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang memegang jabatan itu bersifat tidak tetap. Dalam keadaan normal, umur jabatan suatu institusi biaaanya lebih lama daripada umur manusia. Sifat sementara dari masa jabatan seorang penjabat tidak hanya disebabkan oleh umur manusia yang memang terbatas, tetapi juga karena kemampuan dan kearifan manusia terbatas juga. Oleh karena itu, sekurangkurangnya terdapat tiga faktor keterbatasan manusia yang menyebabkan peralihan kekuasaan (suksesi) harus dilakukan secara periodik dan tertib. Pertama kemampuan dan kearifan manusia yang terbatas karena adanya kecenderungan manusia untuk terjebak rutinitas bila telah memegang suatu jabatan dalam jangka waktu yang lama maupun karena kecenderungan manusia untuk cepat bosan melaksanakan suatu jenis pekerjaan yang sama dalam waktu yang lama. Akibatnya, yang bersangkutan tidak hanya semakin tidak memiliki prakarsa dan kreativitas karena miskin tantangan, tetapi juga semakin tidak sabar melihat bawahan dalam melaksanakan fungsinya sehingga cenderung mengambil alih tugas dan kewenangan bawahannya. Kedua, semakin lama seseorang memegang suatu jabatan semakin dia menganggap dan memperlakukan jabatan itu sebagai milik pribadinya Karena jabatan itu dianggap sebagai milik pribadi, maka setiap kritik terhadap jabatan dianggap sebagai kritik terhadap pribadinya, sedangkan kritik terhadap pribadinya dianggap sebagai kritik terhadap jabatan. Konsekuensi lanjutan dari situasi seperti itu adalah penyalahgunaan jabatan itu demi kepentingan pribadi dan keluarganya, sedangkan 93
kepentingan publik malah dikesampingkan. Keadaan itulah yang menyebabkan fenomena KKN pada masa Orde Baru. Ketiga, kecenderungan kekuasaan itu berkembangbiak. Bila seseorang memegang suatu jabatan terlalu lama, tanpa batas waktu dan tanpa kontrol dari rakyat secara politik dan hukum dari lembaga peradilan, maka kewenangan formal itu akan digunakan untuk mendapatkan sarana kekuasaan lainnya, seperti sarana ekonomi yang pada gilirannya akan digunakan untuk mempertahankan kewenangan formal. Makin lama seseorang bertahan dalam jabatannya, makin besar kemungkinan bagi yang bersangkutan untuk mengembangbiakkan kekuasaannya, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang sangat merugikan tidak saja warga masyarakat, tetapi juga merusak tatanan negara sebagimana ditetapkan dalam konstitusi. Oleh karena itu, peralihan kewenangan dari seseorang kepada orang lain pada periode waktu yang ditentukan merupakan keharusan. Perihal berapa lama seharusnya suatu jabatan dipegang oleh seseorang agaknya bervariasi sesuai dengan jenis jabatan dan sistem politik yang diterapkan. Amerika Serikat yang menganut sistem kabinet presidensial membatasi masa jabatan seorang presiden selama empat tahun, dan hanya dapat dipilih kembali satu masa jabatan lagi. Lain halnya dengan Inggris, yang H. MATORI ABDUL DJALIL: DARI NU UNTUK KEBANGKITAN BANGSA menganut sistem kabinet parlementer, di mana seorang perdana menteri setiap saat dapat diganti bila terdapat mosi tidak percaya dari mayoritas anggota parlemen. Tetapi, seorang perdana menteri dapat memegang jabatan itu tanpa batas sepanjang yang bersangkutan masih dipercaya partainya dan terpilih dalam pemilu yang kompetitif secara jujur dan adil. UUD 1945 dan Tap MPR memang membatasi masa jabatan seorang presiden tetapi tidak membatasi secara definitif berapa periode seseorang 94
dapat menjadi presiden karena hanya menyatakan "... sesudahnya dapat dipilih kembali." Usul berbagai pihak agar membatasi berapa periode seseorang dapat menjadi presiden ditolak oleh Realm Soeharto dengan alasan pasal 8 UUD 1945 tidak membatasi berapa periode dan "biar MPR-lah yang menentukan apakah presiden sebelumnya dipilih kembali atau tidak pada masa jabatan berikutnya." Bagaimana Indonesia dalam praktek selama lebih dari 30 tahun? Seandainya anggota MPR dipilih seluruhnya melalui pemilu yang kompetitif dan adil, ada pola kepartaian yang mencerminkan dan menjamin pluralisme politik, dan mempunyai kekuasaan seperti yang ditentukan dalam UUD 1945, maka pandangan yang dikemukakan itu akan mengandung kebenaran. Tetapi, karena format politik (sistem kepartaian, sistem penvakilan rakyat, sistem perwakilan kepentingan, sistem pemda, sistem pemilu, sistem pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara, stabilitas politik, dan hegemoni politik) yang berlaku selama Orde Baru pada dasarnya menerapkan asas maka MPR tidak lebih dari reproduksi kekuasaan presiden sebagai pemegang kedaulatan.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Kekuasaan dan Suksesi Agar kekuasaan tidak terakumulasi pada seorang pemimpin maka perlu mekanisme suksesi atau pergantian kepemimpinan secara periodik. Di samping untuk mengeliminir penumpukan kekuasaan, suksesi juga membuka peluang 95
bagi pemimpin baru dengan ide dan gagasan baru yang pasti lebih menyegarkan kehidupan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan pergantian kekuasaan cenderung menjadi persoalan di negara-negara yang belum demokratis adalah implikasi politis sebuah suksesi. Suksesi bukan sekadar mengganti kepala pemerintahan, tetapi juga mengganti pihak yang ikut memerintah. Mengganti kepala pemerintahan tidak hanya berarti mengganti pihak yang ikut memerintah, seperti para menteri, para pejabat pemerintah yang diangkat oleh kepala pemerintahan, kepala berbagai instansi, seluruh jajaran birokrasi tetapi juga mengganti kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi, keagamaan, ideologis, dan kultural oleh kekuasaan itu. Mereka menghambat kemungkinan berlangsungnya suksesi secara sukarela karena kepentingan ekonomi-politik dan sosio-kulturalnya tergantung dari pemegang kekuasaan yang ada. Pergantian kepala pemerintahan juga bukan sekadar mengganti golongan yang memerintah, melainkan juga mengganti penafsiran tentang ide negara. Suksesi tidak hanya berarti pergantian kondisi-kondisi sosio-politik yang harus dipenuhi agar seseorang atau suatu kelompok dapat diterima sebagai bagian dari pihak yang memerintah, tetapi juga pergantian orientasi dan kriteria program apa yang dapat diterima sebagai bagian dan kebijakan publik dan keputusan politik pada umumnya. Suksesi sebagai pergantian rezim bukan berarti pergantian konstitusi beserta dasar keberadaan dan tujuan negara, melainkan hanya berupa perubahan interpretasi tentang ide negara dalam bentuk strategi dan program pembangunan beserta penjabarannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh interpretasi ide negara berupa program pertumbuhan secara liberal melalui mekanisme pasar. Interpretasi ide negara berupa program pemberdayaan (empowerment) rakyat akan menguntungkan masyarakat secara lebih luas 96
daripada interpretasi negara berupa pengembangan sumberdaya manusia (SDM) karena yang terakhir ini melihat menusia hanya sebagai alat produksi. Pergantian golongan yang memerintah berupa koalisi yang mendukungnya dan pergantian interpretasi tentang ide negara dapat saja dilakukan tanpa mengganti kepala pemerintahan sebagaimana selama ini diterapkan di Indonesia. Akan tetapi, pergantian seperti itu hanya bersifat tambal sulam. Gaya dan arab kepemimpinan seseorang selalu dikaitkan dengan watak orang itu dan karakteristik serta tingkat perkembangan masyarakat yang dipimpin. Oleh karena itu, perubahan masyarakat beserta aspirasi dan permasalahan yang ditimbulkannya memang memerlukan pemimpin baru dengan gaya dan arab kepemimpinan yang baru pula. Suksesi sebagai pergantian rezim memang akan menimbulkan goncangan politik, tetapi juga menimbulkan harapan baru. Banyak orang dalam waktu yang relatif sama akan mengalami kekecewaan karena harus menyerahkan jabatan kepada orang lain, tetapi pada kurun waktu yang sama banyak orang yang dengan penuh harapan menerima jabatan baru. Banyak orang dalam waktu relatif bersamaan akan kehilangan proyek dan bantuan pembangunan, tetapi pada kurun waktu yang sama banyak pula yang akan memiliki harapan baru karena memiliki program yang sesuai dengan prioritas pemerintah yang baru. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa yang mendukung rezim baru kurang lebih sama jumlahnya dengan mereka yang "sakit hati." Untuk mencegah agar goncangan-goncangan politik itu tidak menimbulkan ketidakstabilan, setiap sistem politik memang harus melembagakan mekanisme suksesi yang telah disepakati bersama. Melembagakan mekanisme suksesi secara formal maupun material tidak bisa tidak harus dengan melakukan suksesi secara teratur untuk kemudian belajar dari setiap pengalaman suksesi. Apabila suksesi sebagai pergantian rezim itu telah berlangsung 97
beberapa kali yang berarti telah mengalami kegoncangan politik, tetapi mampu mengatasinya dengan mekanisme suksesi yang disepakati bersama, maka sistem politik yang bersangkutan telah memenuhi salah satu tolok ukur penting sistem politik yang demokratis.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Pemimpin dan Kritik Sering orang membanggakan nilai-nilai kebudayaan Indonesia. Seal berbudi luhur, lemah lembut, atau soal bangsa yang ramah. Pegawai negeri sipil disebut sebagai "abdi negara" atau ABRI sebagai "bahyangkari negara." Pemuda disebut "generasi penerus" atau "bunga bangsa" Tetapi, rakyat disebut secara salah dengan istilah "massa mengambang" (floating mass) yang berdaulat (dalam pemilu lima tahun sekali)! Rakyat di anggap mudah direkayasa, mudah digerakkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Siapa pihak yang tak bertanggung jawab itu? Acap kali saya dan masyarakat luas tidak puas dengan penjelasan resmi tentang "siapa"-nya tetapi yang jelas pasti Lukan pemerintah yang sah itu. Paling-paling hanya oknum atau provokator. Mengenai konflik horisontal ini juga masalah. Sekarang kita lihat, di satu sisi Habibie bertahan untuk memerintah yang seakan-akan selalu mengatakan dengan pendekatan formalitas, yaitu mampu menyerap dan melaksanakan aspirasi masyarakat. Misalnya, tuntutan-tuntutan mahasiswa tentang pengusutan Soeharto. Mungkin secara formalitas 98
boleh, tapi orang mempertanyakan apa dan bagaimana kelanjutan dari Keppresnya itu? Contoh lain dalam mengusut kasus penculikan melalui Mahkamah Militer. Tujuannya mencari akar permasalahan atau sekadar menunjukkan bahwa pengadilan itu ada. Lha, kesan selama ini pengusutan memang ada, pemanggilan ada. Tetapi tidak bermaksud untuk lebih jauh menyelesaikan masalah yang dituntut itu. Sayang sekali, hingga kini belum dibangun suatu sistem sebagai sarana untuk melakukan aktuliasasi nilai-nilai luhur. Sementara nilai-nilai yang harus diaktualisasikan itu tidak dilindungi dan difasilitasi dalam undang-undang. Nilai-nilai itu hanya "hiasan bibir" (lips service) saja. Mau menyampaikan pendapat harus "bebas dan bertanggung jawab." Aspirasi harus disampaikan ke saluran resmi di DPR dengan mekanisme fraksi dan komisi. Masalah suksesi pimpinan nasional merupakan mekanisme di MPR. Orang harus mengikuti keputusan majelis yang anggotanya banyak diangkat oleh presiden. Akibatnya, komponen-komponen demokrasi dalam struktur menjadi mandul dan lebih berfungsi sebagai sarana state control dan social engineering. Saluran-saluran yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, mampat. Organisasi yang seharusnya menjadi sarana perjuangan rakyat tidak lagi berorientasi populis tetapi berorientasi ke atas lewat instruksi, petunjuk pelaksanaan, atau restu yang diberikan. Organisasi seperti itu akan ditinggalkan rakyat. Rakyat sebagai pihak yang kalah atau menjadi korban kekuasaan menjadi makin lemah karena tidak ada yang menyuarakan. Salah satu contoh yang paling jelas adalah soal "Pernyataan Keprihatinan 1 Juli 1996". Saya bersama beberapa tokoh menyerahkan pernyataan itu kepada Ketua DPR/MPR pada waktu itu Wahono. Isi pernyataan itu tentang keprihatinan terhadap situasi bangsa akhir-akhir ini. Persatuan bangsa, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial semakin menjauh dari cita-cita bangsa. Kekerasan 99
cenderung meningkat, bahkan telah merasuki kehidupan politik. Seharusnya, saya kan mendapat hadiah, tapi kok malah disalahkan. Ini bukti bahwa di negara ini memang ada masalah. Hal itu saya tegaskan kepada kawan-kawan wartawan setelah bertemu dengan Ketua F-PP DPR Hamsah Haz di Jakarta. Menurut Hamzah, persoalan bukan pada materi pernyataan tersebut, tetapi sebagai anggota DPR mempunyai saluran konstitusional untuk menyatakan pernyataan politiknya, yaitu DPR. Jadi, bukan soal esensi materi pernyataan itu. Ini aneh! Dalam pertemuan itu Ketua F-PP menerangkan bahwa peringatan terhadap diri saya hanyalah pernyataan kepada pihak pemerintah bahwa F-PP tidak tahu menahu dengan sikap politik saya. Kegiatan saya di luar fraksi adalah sikap pribadi saya. Malah Hamzah menjelaskan bahwa laporan itu harus diberikan agar F-PP tidak dicap mbalelo oleh pemerintah. Penjelasan itu semakin membuat saya prihatin karena tindakan itu akan memperkuat citra bahwa fraksi di DPR adalah alat Pemerintah, bukan alat perjuangan rakyat. Hamzah menangkis tindakannya dilakukan karena tekanan pemerintah, tetapi murni inisiatif pimpinan fraksi. Lha, saya tidak nanya begitu kok dia pasang kuda-kuda. Benarlah yang dikatakan Arief Budiman, kekuasaan bukan hanya dari luar (dari pemerintah yang berkuasa) tetapi juga dari dalam. Ini semakin membuktikan bahwa kedaulatan rakyat memang sudah scmakin jauh dari cita-cita demokrasi Pancasila. Soal kritik terhadap pemerintah patutlah diberi catatan. Mengapa para pemimpin kita enggan dikritik? Kritik yang disampaikan bisa-bisa dicap makar. Masyarakat belum biasa memilahmilah peran para pemimpinnya. Kcpemimpinan bisa dilihat dalam substansinya, misalnya Ieyasu Tokugawa dipandang hebat karena substansi kepemimpinannya atau capaian-capaiannya berupa modernisasi Jepang. Selain substansi juga bisa dilihat gayanya. Karena perbedaan dalam pola kepemimpinan tidak berarti perbedaan dalam 100
substansinya, melainkan dalam gapanya. Hal itu merupakan hal yang biasa terjadi tidak hanya di Jndonesia, tetapi juga di Asia. Pola kepemimpinan Mao Ze Dong dipandang lebih baik dalam teknik pemerintahan daripada kepemimpinan sebelumnya Meskipun begitu, dalam substansinya mempunyai persamaan yang besar dengan pemerintahan Chiang Kai Sek yang kepemimpinannya dibuat secara personal leader (kepemimpinan pribadi) Akibatnya, kepemimpinannya identik dengan kekuasaan. Menjadi pemimpin berarti berkuasa, dan menentang pimpinan idcntik dengan menentang pemerintah yang dipilih rakyat. Menurut sudut pandang ini, kekuasaan justru merupakan sesuatu yang formal dengan sang pemimpin sebagai simbolnya. Dengan demikian, menentang sang pemimpin sama halnya dengan menentang negara dan menentang rakyat. Pandangan itu masih berlaku hingga kini. Dalam rangka pemikiran itu, pemerintah menindak mahasiswa dan beberapa sesepuh dalam kelompok Barisan Nasional (Barnas) sebagai bertindak makar. Kelompok seperti Barnas menolak adanya DPR dan MPR yang diartikan sebagai menolak kewenangan pemerintah. Terlepas dari mudah atau sulitnya membuktikan status tersebut, sikap verbalistik itu justru menunjukkan watak otoriter pemerintah. Mengkritik seorang pejabat dianggap sama dengan mengkritik pemerintah secara keseluruhan, dan mengkritik pemerintah secara keseluruhan dianggap makar karena dipandang menentang pemerintah secara keseluruhan pula. Sebetulnya, perbedaan dalam dua macam kritikan itu harus dilihat secara analitis dan diperlakukan secara benar. Mengritik .pemerintah secara keseluruhan dalam arti lembaga negara yang dianggap makar tidak berarti sama dengan keinginan menggantikan landasan negara. Jika yang dikritik sistem pemerintahan bukan landasannya haruslah dipahami sebab-sebabnya. Artinya, aparat dan cara memerintah harus diperbaiki bukannya landasan 101
negara atau UUD-nya. Kemampuan membedakan seperti itulah yang belum dimiliki oleh sistem pemerintahan di Indonesia. Salah satu sebab pokoknya adalah Indonesia belum pernah memiliki birokrasi yang terlepas dari urusan landasan tersebut. Selama ini seluruh birokrasi pemerintahan menganggap dirinya paling setia pada landasan negara. Karena itu pula, ia menjadi "pembina" politik yang melebihi golongan lain, seperti parpol atau ormas lainnya. Sebetulnya, birokrasi tidak perlu terlalu mementingkan masalah ideologi. Katakanlah dalam suatu pertandingan perlu ada wasit yang netral. Kalau semuanya mau bermain bisa kacau nantinya. Urusan ideologi menjadi urusan partaipartai politik. Selama satu masalah masih bisa dihubungkan dengan sebuah undang-undang yang objektif, selama itu pula birokrasi pemerintah tidak membawa atau menghubung-hubungkan hal itu dengan Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, tidak setiap hal harus dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar. Selama birokrasi dianggap identik dengan seal politik karena menganggap diri paling loyal terhadap landasan negara atau karena keterkaitannya dengan partai yang memerintah maka selama itu pula birokrasi tersebut tidak dapat berdiri sendiri secara objektif. Birokrasi itu berfungsi servis pada rakyat, masyarakat, pada bangsa. Ia berdiri di atas semua golongan, suku, agama, atau golongan. Pemerintahan boleh berganti sekian kali, tetapi birokrasi tetap mandiri untuk terus memberi layanan kepada rakyat. Sayangnya, birokrasi terkooptasi oleh kekuatan politik pemerintah. Birokrasi dan pemerintah menjadi identik. Sayangnya, partai-partai politik juga tidak pernah benar-benar independen dari birokrasi pemerintahan. Akibatnya, masyarakat pun tidak independen tetapi bergelantungan di "tangan-tangan" birokrasi dengan budaya "sowan", mohon petunjuk, dan mohon restu. Rakyat diposisikan sekadar "pengikut" partai untuk diperebutkan yang kerapkali dengan kemelut oleh partai 102
politik. Di Amerika Serikat atau Jepang, anggota masyarakat dengan gampang memilih partai yang satu dalam pemilu kemarin dan memilih partai lain dalam pemilu sekarang. Sementara, di Indonesia perbuatan seseorang seperti itu akan dianggap sebagai perbuatan seorang pengkhianat atau paling tidak seorang "kutu loncat" yang tidak konsisten. Akibatnya, pemilu tidak mendorong perubahan tetapi hanya penegasan seal "pengikut," berapa jumlah pengikut Golkar, PPP, atau PDI. Tetapi substansi apa yang akan dibawakan dan siapa Bang dipercava memikul tanggung jawab, rakyat yang berdaulat itu tidak tahu. Selama Orde Baru, hal itu menjadi "hak prerogatif Presiden" yang tidak boleh dicampuri oleh MPR pun. Dalam kerangka itu, saya paling tidak setuju pegawai negeri berpolitik dengan menjadi anggota partai ini atau itu. Tetapi FKP di DPR tetap ngotot pegawai negeri atau "Korpri" boleh berpolitik karena itu hak asasi manusia. Langkah itu kian tendensius sekali, orang penggede-penggede Golkar itu di birokrasi. Nanti, anak buahnya akan mudah digiring ke Golkar lagi. Bagaimana pemilu mau jurdil kalau birokrasi yang seharusnya berdiri di atas semua golongan pagi-pagi sudah berpihak. PKB dan juga PAN sudah sepakat akan mengerahkan massa unfuk menentang usaha memperbolehkan pegawai negeri berpolitik. Bahkan, FPP pun mengancam akan mundur dalam pembahasan Lima Paket UU Politik. Jadi, tampaknya tidak akan gampang bagi FKP untuk tidak memperhatikan aspirasi rakyat itu.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]
Setelah tidak menjadi-pengurus PPP, saya tidak tinggal glanggang colong playu. Artinya, saya tidak meninggalkan gelanggang perjuangan politik. Dengan kata lain, saya tidak akan kapok berpolitik. Tentu saja karena kesibukan di partai berkurang, saya lebih mempunyai waktu untuk merenung dan merefleksikan perjalanan bangsa. Sering saya ngeri juga melihat perkembangan-perkembangan yang terjadi di negeri ini. Bagaimana di tengah perkembangan zaman ke arah globalisasi atau the borderless world, Indonesia mempersiapkan diri? Kenichi Ohmae merumuskan empat indikator keruntuhan tapal batas negara. Ia menyebutnya sebagai 4 "I" Pertama, Investasi. Modal investasi sebagian besar berada di negara maju. Dengan terbukanya investasi maka perkembangan transfer akan melampaui batas negara. Dalam mekanisme transfer itu pemerintah suatu negara tidak lagi berhak untuk terlibat banyak dalam aktivitas ekonomi terutama investasi itu. Pihak swasta akan menguasai perputaran arus uang. Aktivitas pihak swasta akan berpindah-pindah melewati batas-batas negara. Aktivitas investasi sangat dipengaruhi oleh peluang wilayah yang lebih baik dan tidak terikat lagi pada letak geografis. Kedua, industri. Perusahaan-perusahaan mutinasional tidak dibangun atas alasan-alasan kenegaraan, melainkan menurut keinginan dan kebutuhan untuk melayani pasarpasar potensial. Bagi perusahaan itu yang paling penting adalah di mana saja mereka dapat hidup dan dapat menemukan sumberdaya yang aman bagi usaha mereka. Banyak perusahaan dari Barat berminat memasuki bagian Cina dan India karena mereka melihat kawasan itu masa depan mereka. Ketiga, informasi atau lebih tepat dikatakan teknologi informasi. Penguasaan teknologi ini memungkinkan perusahaan bekerja di berbagai bagian dunia ini tanpa terlebih dahulu membangun sistem bisnis pada setiap
Kembali ke Partai 103
104
negara yang akan dimasukinya. Dengan demikian, halangan-halangan akibat partisipasi lintas batas (cross border participation) dan aliansi strategis sudah tidak ada. Kemampuan operasi kerja hanya terletak pada penguasaan informasi dan jaringan kerja. Hal itu dapat dilakukan di mana saja tergantung kebutuhan. Kegiatan-kegitan perekonomian semakin didorong lewat arus informasi untuk ikut serta dalam percaturan ekonomi global. Keempat, individual consumers (konsumen individual) yang lebih berorientasi global. Dengan kepemilikan akses informasi gaya hidup di seluruh dunia maka kemungkinan besar mereka kurang ingin membeli produk yang didasarkan pada ikatan-ikatan kebangsaan atau kedaerahan. Para konsumen kelak akan menginginkan produk yang terbaik dan termurah tanpa mempermasalahkan dari mana produk itu berasal. Jika keempat faktor itu secara bersama bergerak, maka diperkirakan negara-negara kebangsaan hanya menjadi "perantara tradisional" (middleman). Sebagian besar unsur pemerintahan yang besar tidak diperlukan lagi karena pasar global akan bekerja untuk mereka sendiri. Bagaimana rakyat Indonesia menanggapi perkembangan seperti itu? Akhirnya permasalahan bangsa bukan lagi persoalan ideologi, demokrasi liberal, perekonomian sosialis/pasar, atau bahaya komunisme tetapi lebih-lebih pembangunan kualitas kehidupan rakyat dalam menyongsong perekonomian global. Itulah PR besar bangsa! Dalam rangka pendidikan masyarakat itu saya tidak jemu-jemunya terlibat aktif dalam berbagai forum diskusi, debat, maupun pelatihan baik di lingkungan nahdliyin maupun dalam masyarakat luas. Selain aktivitas itu, saya juga dipercaya sebagai anggota Pokja Komnas HAM. Tentu saja kegiatan saya itu tidak berjalan dengan lurus-lurus saja. Selalu saja ada halangannya. Selama aktif di PPP saya mencoba melakukan akomodasi terhadap pemerintah yang secara formal dianggap konstitusional karena dipilih rakyat. 105
Tetapi, akhirnya harus saya akui langkah-langkah itu tidak efektif. Untuk itulah saya berusaha mengambil jarak. Istilahnya saya mau melakukan oposisi yang kritis. Untuk itu, saya ikut mendirikan Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK) bersama tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang agama, profesi, warna kulit, suku, dan ekonomi. Pendirian YKPK disemangati oleh rasa persaudaraan sesama manusia, sebangsa, dan warga negara serta kesamaan untuk menjaga persatuan dalam satu wawasan kebangsaan. Pada saat itu persatuan dan kesatuan dalam satu wawasan kebangsaan seolah terusik oleh semaraknya isu-isu yang bersifat sektarian. melalui YKPK bersama ketua umumnya Letjen TNI (purn) Bambang Triantoro, saya telah lama ikut menggerakkan roda refermasi. Saya menolak dan mengutuk penggulingan ketua umum PDI Megawati Soekarnoputri melalui Kongres Medan. Bahkan bersama kawan-kawan di YKPK kami mengumpulkan rilsuan tandatangan untuk menolak seluruh tindakan pemerintah yang semena-mena pada peristiwa Gerakan "oposisi" kepada pemerintah Soeharto yang makin sentralistis. Menjelang SU MPR 1998 saya bersama kawan-kawan menemui beberapa fraksi di MPR agar mereka tidak lagi mencalonkan Soeharto, melainkan Try Sutrisno sebagai presiden. Sayangnya, gerakan itu belum berhasil karena begitu kuatnya cengkeraman kekuasaan ke seluruh lembaga politik dan kemasyarakatan. Usaha itu harus dilakukan bukan untuk tujuan sesaat tetapi juga sebagai pendidikan politik masyarakat. Orang sering mengkritik mengapa kritik para aktivis "Petisi 50" selalu terarah pada diri Presiden Soeharto. Hal yang harus dihilangkan adalah Soehartoisme meskipun di bawah pemerintahan Soeharto. Tetapi, dalam praktek mengubah sistem tanpa me-lengser-kan orangnya terlebih dahulu amatlah sulit. Sejak para tokoh NU mengadakan pertemuan di Rembang tahun 1994, praktis NU melakukan gerakan nonkooperasi terhadap pemerintah 106
yang ada. Namun, gerakan itu tidak mudah karena kuatnya lembaga eksekutif. Saya lalu bisa memahami secara lebih jernih aspirasi kelompok Petisi 50. Namun, seperti pepatah Jawa becik, ketitik ala ketara (yang baik akan terlihat balk dan yang jelek akan kelihatan jelek) akhirnya terbukti. Krisis monoter yang melanda Indonesia membuka semua kedok keberhasilan pembangunan yang selama ini didengungdengungkan. Angka pertumbuhan ekonomi yang setiap tahun diumumkan 7% ternyata hanyalah keberhasilan semu karena fundamental ekonomi Indonesia ternyata sangat rapuh. Campur tangan IMF lewat kesepakatan Letter of Intent menyingkap seluruh selubung seluruh kelemahan dan kebobrokan pemerintahan Orde Baru selama ini. Krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto pun terjadi. Bagaimana mungkin di kepulauan Nusantara yang katanya kaya raya ini rakyat kekurangan pangan sehingga harus mengimpor beras? Bagaimana mobil yang jelas-jelas made in Korea dikatakan mobil nasional! Bagaimana menenangkan masyarakat tentang keampuhan sektor perbankan di tengah krisis di bank-bank swasta! Bagaimana menjelaskan fenomena budaya bangsa yang halus dan murah senyum, tetapi melakukan penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan pada bulan Mei 1998? Aksi ketidakpuasan masyarakat ditanggapi dengan keras hati oleh pemerintah. Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan di bulan Mei 1998 menjadi pemicu kebangkitan masyarakat yang makin besar untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Mahasiswa dengan aksi demonstrasinya merupakan representasi kehendak masyarakat akan perubahan. Semangat saya untuk melakukan oposisi serasa disegarkan kembali. Ketika para mahasiswa berdemonstrasi dan menuntut Soeharto mundur serta reformasi total, saya turun ke jalan bersama mahasiswa. Saya sempat menyampaikan pidato atau orasi di 107
hadapan ribuan mahasiswa yang memadati gedung DPR/ MPR. Dalam gerakan moral itu saya tidak sekadar "membeli tiket" reformasi, tetapi saya memang bersama kekuatan rakyat yang ingin perubahan. "Hidup mahasiswa, hidup ABRI, turunkan Soeharto, turunkan Soeharto! Dialah biang malapetaka bangsa!" Hal itu saya ucapkan dengan berapi-api dan disambut mahasiwa dengan gegap gempita. Presiden Soeharto memang lengser. Tetapi, reformasi belum selesai bahkan dapat dikatakan baru mulai karena masih ada "Orde Baru minus Soeharto." Soeharto sudah menyatakan berhenti, tetapi penggantinya BJ tIabibie yang konstitusionalitasnya masih diperdebatkan. Habibie dikenal paling dekat dengan Soeharto, mengaku murid kepada mantan presiden itu sehingga pemerintahannya masih dianggap kelanjutan rezim Soeharto. Reputasi Habibie presiden masih dipertanyakan. Mantan Menristek masa Orde Baru itu dipandang belum memenuhi syarat sebagai kepala negara, seperti sadar dan mengerti permasalahan pokok bangsa; sadar dan mengerti apa yang harus dilakukan serta mampu memimpin bangsa ini menjalankan apa yang harus dilakukan, dan terakhir dipercaya oleh rakyat. Syarat-syarat tersebut menurut saya belum dipenuhi oleh Habibie. Saya malah pernah mengusulkan agar Habibie mengundurkan diri dalam Sidang Istimewa MPR bulan November 1998 karena tidak mendapat legitimasi masyarakat. Menurut saya, Presiden Habibie tidak dapat menyelesaikan berbagai masalah seperti krisis sembilan bahan pokok, krisis ekonomi, nilai mata uang, dan tidak mendapat dukungan internasional. Tetapi, kenyataannya justru pemerintah bersikeras melangsungkan kekuasaannya sehingga menimbulkan Tragedi Semanggi menewaskan sejumlah mahasiswa. Masyarakat domba dengan mengaktifkan Pam Swakarsa di sekitar gedung DPR/MPR sehingga bentrokan demi bentrokan terj adi. 108
Dalam situasi seperti itu bagaimana reformasi total dapat dijalankan masih menjadi tanda tanya. Sebetulnya, benturan demi benturan dalam dunia politik yang saya rasakan pernah mendorong saya untuk berkiprah di lembaga penelitian dan pendidikan saja. Ibarat seorang profesional, saya sudah cukup lama aktif praktek di organisasi maka sebaiknya sekarang menjadi "konsultan" saja. Biarlah orang-orang lain saja yang berpolitik di ketiga partai yang ada. Saya pikir dalam tataran kelembagaan politik yang ada (dua parpol dan satu Golkar) beserta perangkat perundangannya (5 UU Politik) membuat orang mengalami jalan buntu. Namun, derasnya arus reformasi yang dipelopori para mahasiswa membuat semangat saya serasa bangkit kembali untuk aktif di partai politik. Semula saya belum mendapat bayangan partai seperti apakah yang harus saya ikuti. Secara pribadi, saya pernah membicarakan keinginan saya akan sebuah partai yang terbuka dengan Gus Duu. Pucuk dipinta ulam tiba, demikian kata pepatah. Bersamaan hasrat saya itu, dalam lingkungan saya warga NU ada aspirasi yang cukup besar untuk memiliki wahana perjuangannya sendiri berupa partai politik. Setelah mengalami, pemhicaraan yang cukup alot, akhirnya PKB dideklarasikan. Saya yang mendapat mandat sebagai Ketua Umum dalam periode kepengurusan 1998/1999 seperti harus memasuki kembali "rumah" yang telah saya tinggalkan untuk sementara. Sebuah rumah politik untuk membangun demokrasi. Lagi-lagi pilihan hidup saya jatuh ke politik.
Sumber Bacaan A. Ramlan Surbakti. 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden. Jakarta: Grasindo. Econit. 1998. Pemulihan Ekonomi Indonesia: Perlu Pemimpin Bangsa yang Dipercaya: Grasindo. Kenichi Ohmae. 1996. The End of Nation State The Rise of Regional Economics. London: Warper Collins. Kompas, 29 September 1998 "PKB Desak Habibie Mundur Di SI MPR" Kompas, 30 September 1998 "Seminar Lemhanas 1998" Kompas, 31 Desember 1998 "Mana Lebih Tepat: Tahun
109
1998 "Anus Horibilis" atau Tahun Reformasi?" (Tajuk) Kompas, 5 Januari 1999 "Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut" Kompas, 6 Januari 1999 Kompas, 7 Januari 1999 Vokal, No. 03 Th.I Edisi 31 Desember 1998 - G Januari 1999 "Tak Puas, Lama-lama Bisa "Mbledos"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab 5 MENGHADAPI PEMILU 1999 Boleh santai sembarang santai Tapi jangan berkaraoke Banyak partai sembarang partai Tapi PKB paling oke (K.H. Hasan Mutawakkil Alallah) Tidak bisa dihindari, kebudayaan Jawa sangat berpengaruh pada diri saya. Tradisi Jawa yang sebenarnya universal, terutama menyangkut nilai-nilai, saya terapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Termasuk dalam kehidupan politik. Sebutlah, antara lain falsafah guna, koyo, lan (dan) purun yang sengaja maupun tidak telah mempengaruhi tindakan saya. Guna itu artinya berguna. Bagaimana kehadiran saya ini berguna bagi orang lain di sekeliling saya? Kaya artinya sesuatu yang konkret yang bisa saya sumbangkan untuk orang lain. Yang terakhir adalah purun. Arti harfiahnya adalah "mau", suatu loyalitas kepada masyarakat, lingkungan kerja, atau keluarga. Sering sikap ini dianggap feodal. Memang ketika itu sikap guna, kaya, lan purun 110
ditujukan kepada raja oleh kawulanya. Masalahnya, bukan soal feodal atau tidak, tetapi bagaimana sikap itu diterapkan. Kalau sikap itu diterapkan untuk masyarakat luas, saya kira memiliki nilai yang positif. Ditinjau dari sudut kemanusiaan, falsafah itu kan universal. Manusia tidak terbatas pada manusia ini dan itu, berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan. Manusia ya manusia. Yang merasa kuat, merasa besar, atau katakanlah mayoritas harus mengayomi yang lain dengan penerapan sikap pribadi guna, kaya, lan parun itu. Bila sikap itu mau diterjemahkan dalam sistem, akan menjadi sistem demokrasi. Dalam sistem itu seluruh rakyat dapat berperan dan mendapat tempat untuk bersama-sama mengusahakan apa yang disebut orang Jawa sebagai memayu hayuning bawana, mengusahakan ketenteraman dan kesejahteraan dunia. Banyak orang percaya-termasuk saya--kalau pada galibnya pemilu adalah wahana pendidikan politik bangsa. Hanya, selama ini pendidikan itu dilakukan secara tidak tepat. Pemilu bukan pemilu, tetapi hanya "sandiwara" untuk melanggengkan kekuasaan, Lama saya aktif di PPP saya tahu cara yang ditempuh Golkar untuk menang, yang menurut saya tidak benar. Tetapi, apalah daya menghadapi kekuatan Golkar yang bertindak sekaligus sebagai pemain, pengawas, dan penyelenggara serta dapat ditambah satu fungsi lagi sebagai "pembina". Sampai kiamat pun kalau sistem atau aturan mainnya seperti itu tidak ada parpol yang akan menang. Setelah tersingkir dari kepengurusan PPP saya mencurahkan perhatian ke pelitian dan pendidikan. Waktu itu saya merasa mentok. Tidak ada optimisme untuk mengubah keadaan. Saya tidlak berputus asa. Lebih baik di jalur lain, tetapi yang masik berkutat seal politik. Bersama kawan-kawan dekat, seperti H. Ircham Abdurrahim, Lilis Nurul Husna, Isa Muchsin, dan Abdul Khaliq Ahmad saya mendirikan suatu lembaga pengkajian institusi sosial yang nama kerennya ISIS (Institute for Social Institutions 111
Studies). Saya menjadi direkturnya. Sekali-kali menjadi direktur tidak apa-apa. Direktur itu kan artinya di-aturatur oleh anak buah atau bahkan ada yang bilang direken batur (dianggap pembantu). Cita-cita besar ISIS adalah menjadi lembaga yang akan mengembangkan demokrasi di Indonesia, balk lewat kajian penelitian maupun pendidikan. Mengapa lembaga seperti itu yang saya dirikan? Karena saya merasa lembaga-lembaga masyarakat yang seharusnya mandiri, nyatanya masih gampang terkooptasi oleh kekuatan pemerintah karena masyarakat belum menyadari kedaulatannya. Wajah partai dan ormas yang mudah di-obok-obok: pemerintah itu salah satu sebabnya ya salehe dewe. Begitu mudahnya orang dipengaruhi dan ditakut-takuti. Oleh karena itu, penyadaran pada hemat saya perlu dilakukan dengan jalan pendidikan politik. Apa sih sebetulnya problematika politik di Indonesia! Pertanyaan itu sangat penting. Sebab, seperti dikatakan Paolo Freire, orang yang dapat merumuskan problematika zamannya akan mampu menentukan masa depannya. Hal itu saya lakukan setelah perjalanan sekian lama dalam partai yang tidak membuahkan hasil yang berarti. Partai politik sepertinya hanyalah alat untuk melegitimasi kekuasaan seseorang yang makin lama tampak makin transparan dan kasar. Berkat sedikit kemampuan saya untuk melakukan lobi yang saya rintis sejak menjabat Sekjen PPP dan sedikit modal kefasihan berbahasa Inggris, saya mendapat dukungan dari lembagalembaga luar negeri. Misalnya, FNS dari Jerman dan Asia Foundation dari Amerika. Kedua lembaga tersebut mendukung sepenuhnya pelaksanaan program ISIS. Terlebih lagi program yang berkaitan dengan pelatihan dan pendidikan. Puluhan pimpinan PPP, ratusan aktivis muda NU, dan para santri dari berbagai pondok pesantren telah mengenyam pendidikan gaya ISIS. Semua orang tahu hanya pada sistem demokrasi dapat diletakkan keadilan dan kebebasan. Para pendiri Republik 112
ini telah menggariskan dalam UUD 1945: "[..] Maka disusunlah kemerdekaan seluruh kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Demokrasi memiliki komponen, memiliki bangun (struktur), dan keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lain dalam suatu mekanisme pang teratur. Dilihat dari komponen-komponen demokrasi, sistem di Indonesia adalah demokratik. Akan tetapi, mengapa kekuasaan dapat berkembang menjadi sentralistik? Kemandulan proses demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan struktural yang dihasilkan oleh proses-proses pembangunan dan modernisasi yang dijalankan oleh Orde Baru semenjak awal 1970-an. Paradigma developmentalisme yang dianut oleh negaranegara berkembang di luar blok komunis pada dekade 60-an dan 70-an, yaitu memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan akselerasi industrialisasi yang ditopang oleh stabilitas politik yang kokoh. Akibatnya, penyusunan perundang-undangan hanya menekankan fungsi hukum sebagai state control dan state engineering. Di pihak lain, fungsi protektif dan fasilitatif dari UU sengaja ditinggalkan atau paling tidak kurang mendapat perhatian. Tidak mengherankan bila 5 UU Politik dalam hal adalah UU Kekuatan Sospol, UU Pemilu, UUD Susduk DPR/MPR, UU Pokok Pemerintahan Daerah, serta berbagai UU lain yang mengikutinya tidak menunjukkan fungsi protektif dan fasilitatif terhadap nilai demokrasi dan HAM. Idealnya, sistem sebagai sarana untuk melakukan aktualiasasi nilai-nilai. Sementara nilai-nilai yang harus 113
diaktualisasikan tidak dilindungi dan difasilitasi dalam undang-undang. Akibatnya, komponen-komponen demokrasi atau institusi-institusi demokrasi dalam struktur menjadi mandul dan lebih berfungsi sebagai sarana state control dan social engineering. Organisasi-organisasi rakyat termasuk lembaga-lembaga keagamaan tidak lagi berorientasi kepada aspirasi rakyat. Saluran-saluran yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat mampat. Organisasi yang seharusnya menjadi sarana perjuangan rakyat tidak lagi berorientasi populis, sehingga ditinggalkan rakyat. Rakyat menjadi makin lemah. Mengapa institusi keagamaan juga menjadi ikut melemah! Agama setelah menjadi institusi dia berkepentingan untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya. Dalam corporative state, lembaga-lembaga keagamaan tidak luput dari upaya korporatisme dan pemimpin-pemimpin keagamaan tidak dapat luput dari upaya kooptasi. Akibatnya, lembagalembaga sebagai simbol institusi rakyat yang berdaulat tidak dapat berperan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kebebasan, persamaan, persaudaraan, tanggung jawab sosial, accountability, kejujuran, transparansi, dan keadilan. Demokrasi tidak cukup dengan adanya lembaga-lembaga demokrasi balk di tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, namun bagaimana lembaga-lembaga tersebut menghormati HAM dan rule of law yang melindungi dan memfasilitasi nilai-nilai demokrasi. Tantangan yang dihadapi pada abad XXI adalah market socialist economy. Tuntutan dihormatinya HAM dan rule of law semakin deras. Tegaknya aturan hukum dan HAM menjadi faktor kunci demokrasi. Derasnya tuntutan itu menunjukkan bahwa sistem demokrasi menjadi arus dunia. Sementara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi serta informasi telah membuat dunia semakin kecil dan negara-negara nyaris tanpa batas. Akibatnya, negara-negara harus mendemokrasikan dirinya agar tetap survive dan mampu berkompetisi. Demokrasi menjadi 114
conditio sine gua non. Pertanyaannya kemudian dari mana harus dimulai. www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Pemilu: Ruang Perubahan Salah satu agenda nasional yang besar adalah melakukan reformasi lima paket UU Politik, yaitu UU tentang Pemilu, Parpol/Golkar, DPR/MPR, UU lembaga kepresidenan. Bagaimana melangsungkan pemilu yang benar, jujur, dan adil? Itu masalah besar. Lihat saja situasi menjelang Pemilu 1997, di mana kekuatan negara begitu aktif mengeluarkan peraturan, misalnya Keputusan Presiden No. 99/1996 tentang Penyelenggaraan Kampanye Pemilu; Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua LPU No. 7/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilu 1997; Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 012/Kep/Menpen/1997 tentang Penggunaan Siaran Radio dan siaran Televisi dalam kegiatan kampanye; serta Petunjuk Lapangan Kapolri No. 01/I/1997 tentang Pemberian Surat Keterangan Penyelenggaraan Kampanye Pemilu 1997. Melihat deretan aturan itu saja orang sudah melihat kampanye itu sebetulnya hanya permainan, semacam katarsis-lah atau pelepasan emosi masyarakat. Lewat kegiatan itu akan timbul kesan bahwa memang ada persaingan politik. Saya yang pada waktu itu ikut berkampanye di Jawa Tengah juga merasakan tekanan itu. Tetapi, di lawa Tengah ada fenomena MegaBintang sebagai ungkapan kejengkelan orang terhadap dominasi pemerintah. Bagaimana Pemilu 1999? Siapa pun yang mencoba 115
memprediksi wajah politik Indonesia di tahun mendatang akan sulit memperoleh gambaran yang jelas. Namun, berdasarkan rentetan peristiwa yang terjadi pada tahun 1998, umumnya semua pesimis dan khawatir kekerasan akan semakin dahsyat. Terakumulasi suasana ketidakpuasan yang mengarah pada situasi chaos dan anarkis ini tidak bisa dilepaskan dari semakin kuatnya rasa tidak percaya masyarakat terhadap pemerintah dan ABRI. Merebaknya peristiwa-peristiwa kekerasan di sepanjang tahun 1998 dan tidak tuntasnya pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan semakin memperkuat asumsi bahwa ABRI seakan bingung dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai penegak keamanan dan pelindung rakyat Berbagai kebijakan "potong kompas" yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi situasi krisis di bidang keamanan mengingatkan banyak pihak tentang cara-cara serupa yang dipakai rezim Orde Baru. Sulit untuk mengabaikan pemikiran bahwa kemunculan Pam Swakarsa adalah untuk "dihadapkan" dengan demonstrasi mahasiswa, meskipun pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa kehadiran mereka demi pengamanan Sidang Istimewa MPR. Dibentuknya Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH) juga sulit dilepaskan keterkaitannya dengan keberadaan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) di zaman Orde Baru. Bahkan gagasan untuk menciptakan "Rakyat Terlatih" (Ratih) dikhawatirkan hanya akan mendorong potensi terjadinya perang saudara. Semuanya itu menimbulkan pertanyaan tentang kesanggupan pemerintah dalam memanajemen konflik dan krisis. Pengamat politik Soedjati Djiwandono dalam sebuah seminar mensinyalir bahwa penanganan konflik saat ini cenderung dilakukan dengan menumbuhkan konflik baru. Akibatnya, terjadilah konflik horisontal yang makin hebat, dan menimbulkan korban yang lebih besar. 116
Keprihatinan saya sekarang adalah terjadinya degradasi etika yang terjadi di tengah masyarakat. Setelah mengalami ingar-bingar euforia politik, interpretasi masyarakat terhadap kebebasan mulai mengarah pada situasi yang mengabaikan hukum. Penjarahan, pembakaran, pengroyokan, pembunuhan, pembegalan, dan tindakan main hakim sendiri, berlangsung di sejumlah tempat. Masyarakat menyiksa sampai mati, misalnya, seorang pencuri sepeda motor yang tertangkap basah. Bahkan, di Malang sambil bersorak sorai masyarakat memenggal kepala orang yang diduga ninja pembantai dukun santet dan mengaraknya keliling kota. Hal sepele juga bisa menyebabkan amuk massa dan melebar menjadi kerusuhan yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sulit untuk menjelaskan, balk secara sosiologis maupun psikologis mengapa masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan toleran itu bisa menjadi demikian beringas dan tidak beradab. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat tidak pernah mengalami pendidikan politik dalam arti berpolitik secara ksatria. Selama tujuh kali pemilu pada zaman Orde Baru, rakyat disuguhi dan diajari hal-hal yang paradoksal. Mereka dipaksa untuk menghayati nilai-nilai luhur Pancasila, namun di sisi lain mereka diajari untuk menghalalkan segala cara, termasuk menipu, menyogok, dan mengancam-untuk memenangkan salah satu kontestan pemilu. Rakyat dijejali slogan tentang demokrasi dan keadilan, tetapi mengkritik presiden saja pada masa itu dapat masuk penjara. Akibatnya, rakyat ingin menangnya sendiri. Mereka tidak pernah belajar untuk menerima kekalahan secara ksatria. Mereka juga tidak pernah menghormati perbedaan pendapat. Cendekiawan Nurcholish Madjid bahkan pernah mengusulkan bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia dididik untuk berani kalah dan menghormati yang menang. Pandangan Cak Nur yang jauh ke depan sudah memberi peringatan bahwa bila 117
pendidikan politik itu tidak segera dilaksanakan maka hal itu akan berbahaya bagi pemerintahan baru mendatang. Apa jadinya bila partai-partai politik peserta pemilu tidak bisa menerima kekalahannya dan tidak setuju terhadap presiden terpilih' Seharusnya, momentum pembahasan rancangan undang-undang bidang politik dapat dijadikan "tonggak sejarah" menuju masa reformasi sekaligus mengurangi ketegangan akibat kegoncangan politik. Dengan rasa hormat kepada para anggota DPR yang saat ini masih bekerja keras, kesepakatan-kesepakatan sementara yang sudah dicapai ternyata menunjukkan betapa senjangnya apa yang menjadi pergulatan di Gedung DPR dengan realitas politik yang bergolak di luar gedung. Sikap Fraksi Karya Pembangunan yang bersikeras bahkan beberapa anggotanya mengancam akan melakukan voting agar pegawai negeri sipil (PNS) bisa menjadi anggota maupun pengurus partai politik, menunjukkan bahwa angin perubahan itu memang belum sampai di tataran sikap, apalagi dalam bentuk kemauan politik. Juga kesepakatan tentang diperbolehkannya pengerahan massa selama kampanye adalah sangat mengherankan mengingat hal itu telah menjadi keprihatinan masyarakat yang sejak lama terteror aksi-aksi massa. Tidak berlebihan bila banyak orang mempertanyakan wakil rakyat itu memiliki sense of crisis atau tidak? Dengan kondisi yang serba rentan tadi--mulai dari tingkat pengambil kebijakan sampai masyarakat di tingkat bawah, termasuk perangkat perundang-undangannyasiapkah Indonesia menghadapi Pemilu 1999? Persoalaannya, memang bukan sekadar siap atau tidak. Ketua Umum PBNU Abdurahman Wahid menegaskan, sebopeng apa pun bentuknya, pemilu nanti tetap harus berlangsung. Karena hanya melalui pemilu terbuka, demokratis, jujur, dan adil, Indonesia akan menjadi sebuah negara dengan pemerintahan yang bisa diterima rakyat. 118
Hal pelik yang harus diantisipasi adalah meminimalisir kemungkinan terjadinya tindak kekerasan sebelum dan sesudah pemilu. Kekhawatiran itu beralasan karena bentrokan-bentrokan yang terjadi akhir-akhir ini. Sebut saja di Desa Kecamatan Banjar, Buleleng, Ball 10-12 Desember 1998 antara pendukung Golkar dan PDI Perjuangan yang menyebabkan enam orang tewas dan puluhan luka-luka. Bentrokan juga terjadi pada pekan yang sama di Brebes, Yogyakarta, dan Ponorogo dengan puluhan orang luka-luka, sejumlah kendaraan dan bangunan rusak. Sampai saat ini Kepolisian RI memang belum memiliki format yang jelas mengenai sistem pengamanan pelaksanan kampanye karena pihak Polri masih menunggu RUU Politik yang mengatur tentang peserta pemilu mendatang, khusunya mengenai jumlah partai yang ikut pemilu dan bentuk kampanye yang dipakai. Sejumlah pemimpin partai politik jauh-jauh hari sudah menganjurkan agar kampanye pemilu tidak dilaksanakan dengan pengerahan massa. Dalam dialog antarpartai tentang pemilu awal Desember 1998 di UGM Yogyakarta hampir sebagian besar parpol mengusulkan agar kampanye tidak dilaksanakan dengan rapat umum, pengerahan massa, dan pawai kendaraan bermotor. Mereka lebih memilih kampanye lewat media massa dan atau cara-cara yang tidak menimbulkan kerawanan. Sekarang ini terpulang pada anggota DPR yang sedang membahas RUU Politik apakah mereka cukup peka terhadap aspirasi ini. Masalah krusial lain adalah penyelengaraan pemilu yang fair. Salah satu elemen yang dibutuhkan adalah badan pengawas pemilu yang independen dan kredibel. Namun, siapakah yang dapat mengawasi sekitar 300.000 kotak suara yang tersebar di wilayah Indonesia! Hanya jaringan instansi seperti perguruan tinggi yang paling memungkinkan memiliki sumber daya mananusia yang diharapkan. Pada awal November 1998 sejumlah alumni dan sivitas 119
akademika UI mengumumkan pembentukan Komite Pemantau Pemilu Jaringan Universitas (KPPJ). Gagasan serupa juga muncul dengan kehadiran Pemantau Independen Pemilu Indonesia (PIPI) yang anggotanya terdiri dari para alumni perguruan tinggi swasta dan negeri yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Ikatan Alumni Perguruan Tinggi se-Indonesia (BKS-Ikaptisi). Meskipun semua tampak tergesa-gesa, semangat untuk ikut serta demi masa depan yang lebih balk patut disyukuri.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Kekuatan Mahasiswa Berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, tidak dapat tidak mesti disinggung "kekuatan mahasiswa". Aksi mahasiswa sepanjang tahun 1998 yang tidak kunjung henti dan diperkirakan akan terus berlanjut membuat pemerintah tidak saja semakin gerah, tetapi juga sebagian masyarakat di Jakarta mulai jengkel. Sampai menjelang bulan Ramadhan di Jakarta hampir tiada hari tanpa demonstrasi, yang selalu meninggalkan kemacetan panjang. Muncul kesan seakan-akan orang lupa bahwa berkat aksi mahasiswa Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun secara otoriter dan tanpa perlawanan berarti dipaksa mundur. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada BJ Habibie. Namun, kini pemerintah menuduh cara-cara pengerahan massa seperti itu merupakan cara-cara komunis, memaksakan kehendak, anarkis, dan inkonstitusional. "Demokrasi tidak dapat didikte dari jalanan!" kata Presiden Habibie. 120
Bagaimanapun, gerakan mahasiswa sejauh ini merupakan gerakan moral. Justru karena aksi-aksi mereka merupakan gerakan moral maka sangatlah wajar bila mereka sempat tergagap ketika tuntutan agar Soeharto mundur dijawab dengan pengalihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Wajar pula mereka mempertanyakan apakah kekuasaan yang merupakan kelanjutan dari rezim sebelumnya itu dapat menjalankan sebuah pemerintahan transisi. Ide pemerintahan transisi itu juga saya dukung dan saya lontarkan di berbagai media massa. Secara konseptual, bukankah tidak mungkin kekuasaan lama akan bisa mengantar masyarakat ke dalam suatu era yang lebih demokratis! Penguasa lama bagaimanpun akan cenderung mempertahankan status quo karena perubahan yang drastis dalam jangka panjang akan memposisikan mereka sebagai korban. Tuntutan mahasiswa terhadap pembentukan pemerintahan transisi yang demokratis merupakan sebuah tuntutan logis, meskipun secara praktis berdasarkan real politics tuntutan itu semakin hari makin sulit diwujudkan karena pemilu yang dipercepat semakin mendesak dan semakin dekat waktunya. Pertanyaannya apakah ada jaminan pemilu akan berlangsung secara damai, jujur, dan adil? Bila tidak bukankah lagi-lagi akan diperlukan kekuatan ekstrakonstitusional untuk menggagalkan hasil pemilu yang tidak mencerminkan kehendak rakyat? Pengalihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie sejak awal menimbulkan kontroversi. Saya masih ingat perdebatan panjang antara dua pakar Yusril Ihza Mahendra yang sekarang menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan Dimyati Hartono (pengurus PDI Perjuangan) perihal apakah pengalihan itu konstitusional atau tidak. Hanya sehari setelah pengalihan kekuasaan itu terjadi, mahasiswa yang masih melakukan aksi pendudukan Gedung DPR/ MPR pada tanggal 22 Mei 1998 menyatakan penolakan terhadap pengalihan kekuasaan itu. Sebagian mahasiswa 121
lain memang lebih bersikap akomodatif dengan bersikap menunggu. Perjalanan waktu kemudian membuat mahasiswa semakin meyakini tentang perlunya pembentukan pemerintahan transisi. Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarata (FKSMJ) dan Forum Kota yang memelopori aksi pendudukan Gedung DPR/MPR sama-sama menghendaki pembentukan pemerintahan transisi secara demokratis, baik dalam bentuk presidium maupun Komite Rakyat Indonesia. Menjelang dan sesudah pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 kekuatan mahasiswa yang menghendaki pembentukan pemerintahan transisi semakin nyata karena sebagian besara kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa di Ibu Kota menyerukan tuntutan yang sama. Banyak orang mengatakan tuntutan reformasi total yang disuarakan mahasiswa sulit diterima nalar bila hal itu diperhitungkan atas dasar kekuatan politik saat ini. Pada saat mereka menuntut pembentukan pemerintahan transisi untuk menggantikan Habibie, mereka juga menuntut penghapusan dwifungsi ABRI, menuntut Soeharto diadili, bahkan menuntut pengunduran diri Menhankam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto. Bagi saya tuntutan itu wajar saja, namanya tuntutan moral. Bagaimana tuntutan itu diwujudkan dalam praksis politik sekarang ini bisa dibicarakan. Mahasiswa bisa diajak dialog dan diajak berkompromi. Namanya juga orang muda. Berbeda dengan gerakan mahasiswa "angkatan" sebelumnya, katakanlah angkatan 66, 78, atau '80-an, karakteristik yang unik dalam Gerakan Mahasiswa 1998 yang umumnya tanpa pemimpin, anti-hero, tanpa organisasi dan jaringan yang solid, telah melahirkan sebuah gerakan yang nonkooperatif, dan tanpa kompromi. Wajar bila banyak tokoh politik maupun tokoh informal sampai pada sebuah kesimpulan bahwa mahasiswa sulit diajak bicara karena mereka hanya mengenal perlawanan terhadap sistem dan konstruksi, bukan kompromi atau 122
tawar-menawar. Dengan gemilang mahasiswa akhirnya bisa "memaksa" tokoh-tokoh masyarakat, seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan Hamengku Buwono X untuk duduk satu meja dalam pertemuan di Ciganjur pada tanggal 10 November 1998, tepat ketika SI MPR memasuki hari pertama. Namun, mahasiswa serta merta menyatakan kekecewaannya ketika keempat tokoh itu menolak gagasan pembentukan presidium untuk menjalankan pemerintahan transisi dan menuntut pencabutan dwifungsi ABRI saat itu juga. Berbagai kesatuan aksi mahasiswa kemudian bergerak mengepung Gedung DPR/MPR yang meminta korban 20 nyawa dan ratusan luka-luka, balk di pihak mahasiwa maupun warga masyarakat. Hasil SI MPR 1998 memang tidak bisa dikatakan tidak mengakomodasi sama sekali tuntutan mahasiswa. Tanpa desakan mahasiwa mungkin MPR tidak akan memberikan perintah secara eksplisit kepada Presiden untuk memeriksa harta kekayaan mantan Presiden Soeharto. Yang sangat mengecewakan mahasiswa, MPR bersikeras untuk mempertahankan kursi ABRI di DPR tanpa melalui pemilu. Padahal, desakan terhadap pencabutan dwifungsi ABRI yang secara gradual dapat diterjemahkan dengan penghapusan kursi ABRI di DPR, hampir merata disuarakan di kampus-kampus. DPR pun agaknya juga tidak mampu menangkap kekecewaan itu. Kini mereka bahkan memberikan jatah 38 kursi kepada ABRI di DPR. Caranya pun cukup "lihai", yakni dengan pembentukan komisi dan subkomisi yang totalnya memerlukan 40 kursi dari satu fraksi di DPR. Sulit dibayangkan reformasi berjalan tanpa melibatkan suara mahasiswa. Dialog nasional pun akan sia-sia tanpa menyertakan mahasiswa. Namun justru itu yang terjadi. Hampir-hampir tidak ada pertemuan antara konsep reformasi total yang dituntut mahasiswa dengan agenda resmi reformasi yang dipersiapkan pemerintah bersama DPR. 123
Dukungan terhadap agenda resmi reformasi yang disiapkan pemerintah justru menguat sejalan dengan makin dekatnya pemilu Dukungan mahasiswa terhadap pelaksanaan pemilu nyaris tak terdengar. Tampaknya mereka justru makin berkeyakinan pemilu yang damai, jujur, dan adil tidak bakal terlaksana karena kecenderungan status quo dalam pembahasan rancangan undang-undang bidang politik, ditambah lagi dengan pembentukan Dewan Keamanan dan Pertimbangan Sistem Hukum (DKPSH) dan Rakyat Terlatih. Sebagai proses atas keengganan penguasa untuk mendengar suara mahasiswa kini mereka mulai meneriakkan yel-yel revolusi dalam aksi-aksi mereka di jalan. Tokohtokoh masyarakat pun kini cenderung menjauhi dan meninggalkan mahasiwa. Di kalangan mahasiswa tidak ada lagi kepercayaan bahwa tuntutan mereka bakal didengar, sehingga mereka justru semakin intensif mengadakan aksi turun ke jalan dan mulai membangun basis-basis perlawanan rakyat. Tragedi Trisakti telah lama dilupakan. Tragedi Semanggi tidak pernah lagi dibicarakan di tingkat elite politik. Penanganan terhadap aksi-aksi mahasiswa cenderung semakin represif. Mahasiswa pun mulai berpaling untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan karena merasa selalu menjadi korban kekerasan tanpa ada pembelaan dan tindakan hukum. Pengucilan mahasiswa hanya akan menyemai benih konflik yang dapat mengorbarkan revolusi yang di kalangan mahasiswa sejauh ini baru berada dalam tataran wacana. Mematahkan perlawanan mahasiswa dengan kekerasan selain terkesan primitif, juga tidak bakal menyelesaikan masalah, karena rasa takut itu sudah tidak ada lagi. Seperti saya tegaskan, bukankah lebih arif memberikan ruang yang lebih besar untuk mengakomodasikan tuntutan mahasiswa karena tuntutan mereka merupakan soal-soal elementer untuk mencegah bangsa ini kembali 124
terjebak dalam kesalahan yang berlangsung selama 32 tahun! Semestinya, ada keberanian dan kejujuran terhadap proses perubahan. Umpamanya, dari pemerintah kita butuh satu peran perubah yang sangat akomodatif. Ada ruangruang politik yang dibuka. Tetapi kenyataannya, negara cenderung mengontrol proses perubahan itu untuk dirinya sendiri. Negara yakin ada perubahan, tetapi mau dikontrol sendiri, orang lain tidak bisa. Perubahan seperti itu menjadi monolitik. Tradisi monolitik Orde Baru dibawa ke dalam logika mengawal proses perubahan juga dengan monolitik. Padahal, di negara mana pun tidak ada perubahan melalui tradisi politik yang monolitik. Heterogenitas masyarakat selalu menjadi dinamika pada proses perubahan. Soalnya, tidak ada kemauan untuk mengakomodasi politik. Dan, krisis kepercayaan akhirnya menjadi sulit dipecahkan dan makin rumit bagi negard. Masyarakat makin kecil kemungkinannya untuk menerima. Ruang bagi perbaikan itu masih ada. Hanya saja tingkat keseriusan pemerintah untuk mengakomodasikan sampai tingkat yang melegakan masyarakat belum ada. Ambil contoh, pengadilan mantan Presiden Soeharto. Pengadilan itu hanyalah simbol. Sekarang yang terjadi adalah tarikmenarik. Masyarakat tidak percaya terhadap proses itu. Masyarakat bisa kehilangan harapan. Harapan yang hilang itu dapat menimbulkan frustrasi politik yang berbahaya. Pemerintah saja yang katanya Orde Reformasi Pembangunan tidak serius menangani perkara mantan presiden itu yang di mata masyarakat jelas-jelas bersalah. Apalagi, untuk menangani hal-hal yang rumit seperti masalah dwifungsi, penjaminan HAM, penegakan hukum. Tampaknya dari hari ke hari harapan makin tipis terhadap pemerintahan Habibie. Paska Mei 1998, sebetulnya harapan itu cukup besar. Bisa saja ruang harapan itu terbentuk setelah rezim baru, paska pemilu terbentuk. 125
Pilihan praktis memang menjadi satu harapan akan lahirnya suatu pemerintahan baru yang lebih responsif dan memiliki keberanian untuk mengungkapkan masa lalu kepada masyarakat secara transparan. Kalau pemilu sukses, maka pemerintahan yang terbentuk dapat dikatakan masa transisi yang membuka lembaran yang baru. Dapat dikatakan, kelahiran PKB berada di tengah situasi pengharapan akan reformasi. Artinya, suasana perubahan dari satu era ke era lain. Oleh karena itu, acuan PKB tidak bisa dibuat seperti acuan masa lalu. Acuan kepartaian harus terarah ke depan, bukan berorientasi masa lampau. PKB ditopang oleh tiga kekuatan yang terpisah, tetapi menjadi satu dalam kombinasi gerakan. Kekuatan pertama terletak pada kelompok kepengurusan. Kekuatan ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, generasi muda, tenaga ahli, dan tenaga operasional. Kekuatan kedua adalah kelompok fungsional, yaitu petugas partai yang aktif di pelbagai lembaga pemerintahan dan kenegaraan. Kelompok pertama dan kedua harus memiliki orientasi dalam masalah politik, kejuangan, dan pengetahuan kenegaraan. Kekuatan ketiga adalah asistensi keahlian. Kelompok ini memberi sumbangan pemikiran dan konsep bagi masalah-masalah strategis bangsa. Di samping itu, dipersiapkan untuk persediaan jika kelak sewaktu-waktu diperlukan partai untuk peran kenegaraan. Di samping tiga komponen itu untuk tingkat DPP partai masih harus ditambah satu lembaga lagi yang bertugas mengadakan pengkajian strategis dalam skala nasional dan internasional. Kajian itu berupa kajian di bidang politik, ekonomi, atau hukum. Bila kombinasi keempat kekuatan itu terjalin dengan balk, insya Allah PKB akan menjadi partai besar. Salah satu modal besar bagi PKB adalah antusiasme generasi muda NU. Dalam konteks perkembangan dewasa ini diharapkan pemilu tahun 1999 bisa menjadi salah satu sarana menuju suatu pergantian kepemimpinan nasional, baik di lembaga 126
eksekutif, legislatif, serta yudikatif secara demokratis, tertib, damai tanpa kekerasan. Kita kembali diingatkan pada katakata Prof Sartono Kartodirdjo bahwa agenda bangsa yang paling penting adalah masalah persatuan dan kesatuan, seperti disebut dalam Manifesto Politik Tahun 1925. Tanpa itu negara tidak bisa terselenggara dengan balk. Menurut sejarawan itu, prinaip berbangsa itu unity liberty, dan equality. Keempat, personalitir, karena manusia harus memiliki kepribadian, harus berbudaya. Tanpa kebudayaan tidak ada artinya. Kelima adalah performance, prestasi lewat karya-karya nyata. Belum banyak penghargaan internasional yang diterima bangsa Indonesia berkaitan dengan pengkajian ilmiah ataupun karya-karya sastra maupun jurnalistik. Bidang olahraga dapat dijadikan cermin. Prestasi olahraga kita belum banyak, meskipun berbagai pembinaan telah dilakukan. Dalam bidang iptek kalau Indonesia maju berprestasi harus memiliki kebudayaan mesu budi (asketisme ilmiah) di dalam kampus mesti dicangkokkan dan dipelihara masyarakat. Para ilmuwan baik muda maupun tua tidak tergoda untuk memasuki bidang-bidang lain, seperti bidang politik tetapi murni menekuni bidang ilmunya sehingga menghasilkan prestasi. Aktualisasi nasionalisme yang paling mendesak adalah memelihara kesatuan dan kerukunan beragama. Langkahlangkah itu telah dirintis lama oleh lingkungan NU. PKB memulai kiprahnya dengan menandai partainya sebagai partai terbuka, jauh dari semangat sektarian. Harapan itu tentu masih jauh oleh karena itu diperlukan model peran (role model), suatu keteladanan. Jangan hanya konsep atau omongan sebab masyarakat butuh model peran konkret, keteladanan nyata. Kita menaruh harapan besar pada para pemimpin partai politik yang menjamur saat ini. Semoga kepemimpinan mereka dapat mengarahkan para anggota partai untuk bersama-sama mewujudkan ketiga tahapan kebangkitan masyarakat sipil tadi. Kebangkitan itu memuncak dalam perjuangan kehidupan negara yang 127
demokratis. Harapan saya itu ternyata masih harus diuji oleh serangkaian tindak kekerasan yang menimpa warga NU. Salah satunya adalah "Peristiwa Banyuwangi". Orang mengatakan ada kebencian kepada PKB. Ada hujatan kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, sesuai dengan Khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan bahwa keadaan yang lalu lebih bagus dari sekauang. Indikasi-indikasi itu ada. Tetapi menurut saya, belum merupakan fakta dominan. Menurut K.H. Hasyim Muzadi-Ketua PW NU Jatim--telah terjadi konspirasi. Menurut Kiai Hasyim minimal ada dua, yaitu sebut saja pro status quo dan perubahan. Di dalam kantong status quo isinya banyak. Yang main di dalam ini banyak. Mungkin rezim yang lama, mungkin orang yang akan dirugikan dengan pemilu, mungkin juga orang yang akan bergeser kekuasaannya, mungkin juga kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRT) yang mengecil. Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau terbongkar salahnya. Ini semua jadi satu. Satu keranjang yang dalam istilah saya status quo itu. Sementara "kekuatan reformis" masih dalam tanda petik karena masih menghadapi kendala internal maupun eksternal. Kekuatan reformis mestinya dapat mengkonsolidasikan diri untuk menghadapi kekuatan status quo itu. Untuk itu, saya beserta seluruh jajaran PKB tidak henti-hentinya melakukan penyadaran kepada masyarakat serta melobi rekan-rekan di partai lain untuk menyatukan visi dan agenda politik bangsa yang mendesak. Dalam kerangka ini menjadi relevan menyinggung tentang dwifungsi ABRI. Idealnya, keberadaan tentara disesuaikan dengan kebutuhan negara. Akan lebih efektif, kalau tentara memusatkan perhatiannya kepada pembinaan untuk dikerahkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Tentara dipercaya memegang senjata. Kapan dan ke arah mana senjata itu ditembakkan, itu bukan ABRI yang menentukan. Hal itu harus wewenang di luar dirinya. Yang penting, 128
menjadi militer bukan sesuatu yang otonom. Militer bagian dari perlengkapan negara, yang sengaja diadakan dan diatur untuk itu. Oleh karena itu, ABRI disebut sebagai "alat negara". Dari permulaan orang yang masuk ke situ harus tahu, ini pengabdian. Sebaliknya, masyarakat juga harus mampu menciptakan mekanisme pengambilan politik dan mekanisme penyelesaian konflik sosial-politik dengan cara damai. Kalau tidak ada perpecahan, tidak perlu usaha pencegahan berupa fungsi sosial-politik ABRI dan sebagainya. Deklarasi Ciganjur yang ditandatangani oleh empat tokoh K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X sudah menegaskan bahwa dwifungsi akan dihapus secara bertahap dalam kurun waktu enam tahun. Menimbang realitas politik, memang sebaiknya pentahapan itu dilaksanakan, seperti mulai pengurangan anggota ABRI di DPR dan mengurangi peran-peran sosial politik ABRI lain.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Partai Terbuka Sering dikeluhkan mengapa di NU masih ada partai selain PKB, yaitu SUNI, PKU, dan PNU? Adanya partai lain selain PKB bukan berarti terjadi perpecahan, tetapi hanya perbedaan pendapat. Tentu saja, sangat tidak demokratis bila PBNU melarang warganya membentuk partai. Soal PBNU mendukung PKB itu hak PBNU juga. Hal itu pernah ditegaskan oleh salah seorang Ketua Pengurus Besar NU 129
yang juga salah seorang anggota Tim Lima PB NU, Rozy Munir: "Orang-orang yang memimpin dan membantu pembentukan PKB itu tidak ada yang kolot dan tak ada yang antimodern." Jadi kehadiran PKB menunjukkan sisi kemodernan NU. Partai itu bukan hanya eksklusif untuk satu golongan, tetapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia. Dengan kehadiran PKB mau ditunjukkan bahwa Islam itu inklusif dan dapat menjadi berkat bagi semua orang. Soal tudingan ada perpecahan gara-gara kehadiran tiga tokoh NU: K.H. Yusuf Hasyim, Abu Hasan, dan Syukron Makmun mendirikan partai sendiri, hal itu menunjukkan bahwa NU memang bersikap terbuka terhadap berbagai aspirasi pandangan politik. PKB sejak awal dideklarasikan sudah ditegaskan merupakan partai terbuka. Dan meski kini ada tiga partai, rapat pleno PB NU setelah pendeklarasian PKB beberapa waktu lalu menyatakan hanya mengakui PKB sebagai satu-satunya partai untuk mengakomodasi warga NU. Gus Dur malah merencanakan "cuti" dari posisinya sebagai Ketua Umum PBNU dan berkampanye untuk PKB. Hal ini merupakan konsekuensi logis bagi setiap pengurus NU yang terjun ke dalam kehidupan politik praktis. Meski berkampanye bagi PKB, bukan berarti Gus Dur hanya milik PKB. Dukungan Gus Dur terhadap PKB karena PKB memang didirikan oleh para pengurus NU. Sebaliknya, PKB ingin menempatkan Gus Dur sebagai milik seluruh bangsa, seperti yang selama ini terjadi. Pokoknya, jangan ditanggapi macam-macamlah. Bukankah Gus Dur tetap memiliki hak politik untuk menetapkan pilihannya! Demokrasi memang sebuah proses. Membangun demokrasi bukanlah seperti membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan waktu, pengorbanan, ketekunan, dan keuletan. Pemegang kedaulatan dalam sistem demokrasi adalah rakyat. Untuk itu, rakyatlah yang harus disadarkan, ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk membangun sistem demokrasi. Suatu usaha civil society 130
empowerment. Masyarakat yang sadar dan mengetahui pentingnya demokrasi dan memiliki kompetensi untuk memperjuangkannya. Sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan terhadap posisi civil society, strategi yang saya gunakan lewat ISIS adalah pendidikan demokrasi yang ditujukan kepada masyarakat santri. Istilah "santri" yang dimaksud adalah orang yang secara individual maupun kolektif terkait dengan lembaga pendidikan Islam klasik bernama "pesantren". Keterkaitan ini adakalanya sebagai santri, sebagai kyai/ustadz maupun sebagai pendukung yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai kesantrian yang berintikan ketaatan melaksanakan ajaran Islam. Istilah santri mengalami perkembangan dan perluasan, yakni ketika terjadi arus perubahan orientasi pendidikan kalangan santri (baca: anak-anak santri) dari budaya pesantren menjadi budaya sekolahan dengan perubahan orientasi pendidikan tidak mengurangi budaya kesantrian yang sudah built in dalam dirinya dan justru mereka membawa serta nilainilai kesantrian dalam lingkungan mereka yang baru baik di sekolah maupun tempat kerja. Masyarakat santri pada pendidikan demokrasi dalam hal ini adalah masyarakat muslim di desa maupun di kota yang telah mengalami proses "santrinisasi" dengan ketaatan mereka dalam melaksanakan ajaran Islam sebagai dasarnya. Di desa, segmen itu dengan mudah ditemukan di lembaga pesantren sendiri dan masyarakat yang mendukungnya, sedangkan di kota segmen itu ditemukan di pabrik-pabrik, di perkantoran, di kampus-kampus, maupun di pemukiman baru. Tantangan yang nyata di depan mata adalah bagaimana memasyarakatkan pemahaman doktrin ajaran Islam tentang gagasan dan praktek bernegara yang masih eksklusif berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu usaha penyadaran (konsientisasi). Demokrasi merupakan aktualisasi nilai agama. Islam bukan lagi eksklusif tetapi inklusif dan terbuka. Semestinya, seorang 131
muslim yang balk otomatis seorang demokrat juga.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Menghadapi Pemilu 1999 Menyambut pemilu, dalam masyarakat timbul diskusi hangat soal sistem pemilu yang akan digunakan. Sebuah sistem itu dibuat oleh manusia untuk mencapai suatu tujuan. Yang namanya buatan manusia tentu saja ada kelebihan dan kekuranganya. Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih hanya satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa suara yang jumlahnya ditentukan atas dasar suatu perimbangan. Misalnya, satu wakil untuk 400.000 penduduk. Perbedaan pokok antara dua sistem itu terletak pada cara menghitung perolehan suara yang nantinya menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan di parlemen. Sistem distrik mempunyai sejumlah keuntungan, seperti wakil rakyat yang terpilih memiliki hubungan erat dengan penduduk yang diwakilinya dan kedudukan terhadap partai lebih independen; mendorong integrasi partai-partai karena hanya ada satu kursi yang diperebutkan; lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai mayoritas. Tetapi, ada kelemahannya. Sistem itu kurang representatif karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarasuara yang telah mendukungnya. Artinya, sejumlah suara yang tidak diperhitungkan atau "suara hilang" dapat 132
mencapai jumlah besar. Soal itu akan dianggap tidak adil oleh partai yang dirugikan. Di samping itu, partai-partai kecil atau golongan minoritas tidak akan terwakili, lebihlebih bila mereka terpencar dalam banyak distrik. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis, karena one man one vote dilaksanakan secara penuh sehingga tidak ada suara yang "hilang". Golongan yang kecil pun mendapat peluang untuk menampilkan wakil di parlemen. Tetapi sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri untuk mendirikan partai baru. Dengan demikian, sistem ini tidak mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain. Sistem ini memberikan dukungan yang sangat kuat kepada pemimpin partai melalui sistem daftar calon. Di samping itu, ikatan antara wakil yang terpilih dan masyarakat yang memilihnya akan renggang, karena wilayah yang diwakili sangat luas dan peranan pemimpin partai sangat menonjol. Bagi saya, kedua sistem itu bukan persoalan yang pantas diributkan. Hal yang paling penting adalah pemilu harus "jurdil", jujur dan adil. Tetapi, menimbang kenyataan mayarakat Indonesia lebih balk pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional yang disempurnakan. Basis yang dipergunakan adalah provinsi, bukan kabupaten. Untuk mengatasi kelemahan sistem proporsional yang terjadi selama ini diusulkan agar calon anggota parlemen adalah mereka yang pernah berdomisili di wilayah yang diwakilinya, sekurang-kurangnya 3 tahun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sistem yang disempurnakan itu saya kira paling fair, mengingat partai-partai baru pada umumnya masih terbatas di tingkat propinsi. Di samping itu, kenapa sistem proporsional karena semangat itu yang kita tangkap dalam UUD 1945. Tengok penjelasan Pasal 2 UUD 1945. Maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat 133
dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Semangat UU itu paling sesuai dengan menerapkan sistem proporsional daripada sistem distrik. Sejauh ini persiapan dan konsolidasi PKB secara organisasi telah berjalan dengan lancar. Hal itu dimungkinkan karena PKB merupakan partai resmi warga NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Organisasi yang solid harus didukung dengan konsolidasi wawasan. Tujuannya agar seluruh jajaran pengurus dari pusat hingga ke tingkat ranting beserta warga dan kadernya memahami benar wawasan partai, yaitu kedaulatan rakyat, keadilan, moralitas, dan persatuan. Untuk itu, program-program pelatihan sadar pemilu yang jurdil dan demokratis telah dilakukan. Menjelang pemilu nanti akan dibentuk lembaga khusus pemenangan pemilu. Katakanlah ada seorang manajer yang memimpin untuk menggodok strategi memenangkan pemilu. Partai juga menerima masukan dan saran dari beberapa pakar universitas dalam dan luar ngeri, meskipun mereka tidak termasuk dalam struktur organisasi PKB. Meskipun situasi Pemilu mendatang sulit diprediksi, banyak pengamat politik memperkirakan minimal akan terjadi anarki sosial bila tidak revolusi sosial. Tentu saja, perkiraan itu dengan mudah dipahami. Mengingat kesulitan ekonomi bangsa, seperti peningkatan pengangguran dengan perkiraan angka 25 juta orang dan pada saat yang sama aparat keamanan kurang berwibawa di mata masyarakat. Di samping itu, kemajemukan bangsa Indonesia yang mungkin paling sempurna dibandingkan dengan bangsa majemuk mana pun di seluruh dunia, sangat potensial melahirkan gesekan-gesekan kerawanan yang memanas menuju konflik dan perpecahan. Tetapi, sebagai orang yang beriman kepada Gusti Allah, saya tetap optimis bangsa ini akan keluar dari krisis. George Me Turnan Kahin yang menjadi saksi mata Revolusi Indonesia 1945 menulis dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952): "...Apapun yang terjadi apabila bangsa Indonesia dapat 134
menunjukkan kualitas serupa dengan yang pernah mereka tunjukkan selama perjuangan politik mencapai kemerdekaan, maka keberhasilan bangsa ini adalah amat besar...." Kebenaran dan kebaikan yang akan menang dari kejahatan dan kebatilan. Bagaimanapun nanti pemilu yang jurdil tetap diupayakan meskipun lewat perjuangan yang tidak gampang. Kalau tidak jurdil 100%, minimal mendekati. Semua itu adalah proses. Kalau mau bernostalgia, NU memiliki kenangan manis. Kenangan itu semakin indah saja, bila dikenang. Ungkapan itu mungkin dihayati oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Pasalnya, pada pemilu 1955, Partai Nahdlatul Ulama meraih 45 kursi di DPR. Posisi itu menjadikan NU sebagai salah satu dari empat besar selain PNI, Masyumi, dan PKI. Akankah kenangan manis itu akan diraih lagi oleh Partai Kebangkitan Bangsa, sebagai partai milik orang-orang tahlil, beristighosah, bersalawat badar? Tentu saja, sebagai orang NU saya yakin PKB menang. Pokoknya pemilu harus dilaksanakan dengan jujur-adil (jurdil) dan demokratis. Itu prinsip! Persiapan dan konsolidasi PKB secara organisasi telah berjalan lancar. Maklum, partai ini adalah partai resmi warga NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Konsolidasi organisasi penting, karena PKB itu institusi baru, tidak seperti partai yang sudah ada sekarang, begitu kata salah satu rekan saya di PKB, Koffifah Indar Parawansa. Sementara itu, Prof William Liddle memperkirakan PKB akan memperoleh suara 20% sebagai partai paling besar. Urutan kedua, lagi-lagi masih kata Liddle, adalah PDI Perjuangan dan disusul oleh Golkar. Ibarat sebuah pertandingan olahraga, saya sudah menang sebelum bertanding. Atau, menang sebelum pemilu. Saya pribadi malah lebih optimis untuk menggaet suara minimal 30%. Minimal menjadi kekuatan mayoritaslah! Menurut hitungan saya tidak ada partai mayoritas tunggal, seperti kemenangan Golkar selama Orde Baru. Karena itu, nanti PKB akan berkoalisi dengan partai politik lain yang meraih suara 135
sekitar 20% sampai semuanya bisa 70%, yang berarti bisa mencapai mayoritas. Yang pasti, PKB akan berkoalisi dengan kekuatan politik lain untuk menguasai parlemen. PKB slap berkoalisi dengan partai mana pun asal visinya sama, yaitu partai yang bersikap demokrat, tidak rasial, dan mempunyai visi kerakyatan. Untuk menjawab tantangan pemilu, organisasi harus solid dengan konsolidasi wawasan. Tujuannya agar segenap jajaran pengurus dari pusat hingga ke tingkat ranting beserta warga dan kadernya memahami dan menghayati betul wawasan PKB, yaitu keadilan, kedaulatan rakyat, moralitas, dan persatuan. Untuk itu, PKB membuat sebuah program pelatihan sadar pemilu jurdil dan demokratis, bekerja sama dengan beberapa lembaga eksternal. Dengan pelatihan itu masyarakat diharapkan menjadi sadar politik dan proaktif terhadap pemilu. Sekarang ini sudah tidak masanya lagi mobilisasi massa. Apalagi, kemungkinan besar dalam Pemilu 1999, pemilih tidak akan didaftar. Pemilih sendiri yang harus berinisiatif datang. Programprogram pelatihan itu juga bertujuan agar masyarakat memahami benar bahwa ia memilih suatu partai karena menyadari bahwa partai itu merupakan yang terbaik bagi dirinya. Jadi, bukan hanya karena ikatan primordial belaka. Keyakinan itu juga untuk mengikis anggapan bahwa urusan ekonomi lebih penting daripada urusan politik. Urusan sembako dan perbaikan ekonomi tanpa pembangunan bidang politik memang bisa berjalan namun akan menghasilkan pemerintahan yang otoriter lagi. Sebaliknya, pemerintah yang otoriter akan menghasilkan kebijakan ekonomi yang salah, sehingga menimbulkan kelangkaan sembako. Setelah program "penyadaran" masyarakat terjadi, menjelang pemilu nanti akan dibentuk lembaga khusus pemenangan pemilu. Ada seorang manajer yang memimpin dan akan mengolah strategi pemangan pemilu. PKB memperoleh masukan dan saran dari beberapa pakar universitas, dalam dan luar negeri, tetapi 136
mereka tidak masuk dalam struktur organisasi PKB. Siapa jago PKB yang akan dicalonkan sebagai Presiden RI menggantikan Presiden Habibie! Sekarang ini terlalu dini untuk memunculkan siapa yang dijagokan sebagai presiden oleh PKB. Figur memang belum dibahas, tetapi kriterianya sudah dibahas. Salah satu kriteria pentingnya adalah kredibilitasnya yang tinggi. Secara umum agenda program PKB ke depan adalah terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil makmur, merdeka, berdaulat, dan terjamin hak asasinya. Masyarakat terjamin hak keselamatannya dari segala bentuk penganiayaan; bebas dari pemaksaan agama; perusakan keturunan, dan kebebasan memiliki harta benda secara sah. Dalam bidang politik, PKB akan terus berjuang untuk membatasi masa jabatan presiden; serta pemilahan secara tegas tugas, fungsi, dan wewenang yang dimiliki oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kelak dalam konsep PKB, tidak ada lagi presiden yang sangat berkuasa dan melumpuhkan lembaga-lembaga lain. PKB juga mengagendakan agar otonomi daerah diperluas, dan Indonesia tetap menjadi negara kesatuan. Dalam bidang hukum; salah satu program PKB adalah pemberdayaan Mahkamah Agung yang sampai saat ini masih terkooptasi oleh eksekutif. Bisa saja untuk menghilangkan pengaruh pemerintah (eksekutif), ketua dan anggota MA sebaiknya dipilih oleh DPR. Dalam bidang ekonomi, daerah dibebaskan untuk mendapatkan investor yang mau menanamkan modalnya di daerah; pengaturan pajak yang adil; pemberantasan monopoli; mendorong ekonomi kerakyatan; serta pembangunan industri pertanian. Tentu saja, program itu akan dilaksanakan kalau PKB menang. Tetapi kalau kalah, PKB akan menjadi oposisi yang kritis dan berkualitas. Sumber Bacaan Detak No. 017 Tahun ke-l 3 -9 Nov 1998 Kompas, 24 Mei 1998 Kontan, No. 2 Tahun III, 5 Oktober 1998" Militer Bukan
137
Sesuatu yang Otonom" Kontan. No. 15 Tahun 1II 4 Januari 1999."Munir: Guru Besar Kekerasan itu Aparat Sendiri" Kompas, 5 Februari 1997 Kompas, 31 Desember 1998 "Gus Dur Bukan Hanya Milik PKB" Kompas, 4 Januari 1999 "Kemungkinan Revolusi Sosial Fokus Pembi-caraan Sekarang" Kompas, G Januari 1999 Merdeka, 5 September 1998 "Dawam Lancarkan Kritik ke PKB"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab 6 MEMBANGUN PERSAUDARAAN SEJATI
Partai politik: harus menjunjung tinggi etika dan moralitas yang bersumber pada spiritualitas kebangsaan yang otentik: Indonesia (Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa) Orang mudah mengucapkan dalam pidato atau ceramah, "Saudara-saudara, sebangsa dan se Tanah Air." Namun, makna kata-kata itu kurang dihayati. Kata "saudara" seakan-akan hanyalah hiasan bibir saja (lips service). Makna itu tertutup oleh kategori-kategori "politik", seperti suku, ras, agama, atau golongan. Padahal, persaudaraan itu universal. Dia tidak mengenal perbedaan. Selama menjadi sesama manusia, seseorang sebetulnya saudara. Persaudaraan juga menjadi salah satu sokoguru, tiang penyangga berbangsa dan bernegara. Orang Perancis mengatakan, liberte, egalite, fraternite. Maknanya, 138
kemerdekaan dan persamaan itu nantinya bermuara pada persaudaraan. Satu sama lain saling mengayomi dan meyayangi, sehingga semua orang merasa at home. Orang menghubungkan keadaan masyarakat Indonesia masih dikuasai oleh state (lembaga negara) dan belum menjadi suatu civil society (masyarakat sipil). Konsep itu sebetulnya digunakan untuk menandai masa transisi dalam masyarakat Barat. Transisi antara "masyarakat alamiah" (natural society) dan "masyarakat politik" (political society). Masyarakat alamiah tercipta saat orang belum mengenal hukum, norma, dan tatanan hidup bersama dengan akibat anarki dan kesewenang-wenangan mereka yang kuat. Dalam masyarakat politik, terjadi interaksi yang dinamis antara pelaku politik dan lembaga politik. Keduanya bersaing untuk tampil sebagai pemimpin, menjadi penguasa negara dalam seluruh aspek administratif, birokrasi, hukum dan perundangannya. Civil society atau sering disebut sebagai "masyarakat beradab" tercipta ketika masyarakat telah mengenal, menghormati, dan melindungi hak-hak asasi manusia, balk hak-hak sipil maupun hak politik masyarakat. Dalam kaitan hubungan antara masyarakat dan negara (state) civil society berkembang sebagai teori anti-dominasi dan anti-hegemoni negara atas masyarakat. Alfred Stephan mendefinisikannya sebagai "arena tempat terdapat banyak sekali gerakan sosial (seperti persatuan atas dasar kekerabatan, perhimpunan wanita, kelompokkelompok agama dan organisasi cendekiawan) dan organisasi kemasyarakatan (civic organization) dari berbagai golongan dan kelompok profesi (seperti persatuan wartawan, sarjana hukum, serikat pekerja, atau organisasi pengusaha). Mereka berserikat di dalam suatu tatanan agar dapat menyatukan diri dan memperjuangkan kepentingannya. Pada akhirnya, mereka tidak hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi memperjuangkan kehidupan negara yang demokratis atau menegaskan bahwa kedaulatan itu benar-benar di tangan 139
rakyat atau masyarakat. Di Amerika, misalnya, orang dengan mudah mendukung Partai Demokrat pada pemilu tahun ini, meskipun pada pemilu sebelumnya memilih Partai Republik. Di Indonesia, kalau ada orang yang berpindah-pindah seperti itu akan mudah dicap plin-plan atau tidak punya pendirian. Padahal orang mendukung suatu partai karena ada alasan substansial misalnya program dan pendirian partai itu dinilai cocok atau relevan untuk menjawab permasalahan negara saat ini. Partai dalam "masyarakat politik" benar-benar menjadi sarana dan representasi kehendak masyarakat. Partai bukan untuk memisahkan masyarakat dari "kaum sana" dan "kaum sini", tetapi benar-benar menjadi mekanisme artikulasi kehendak masyarakat. Memang menjelang akhir Orde Baru bentuk-bentuk gerakan massa telah meluas namun agaknya masih bersifat parsial, terkotak-kotak dalam kantong-kantong kepentingan yang eksklusif. Gerakan massa dalam bentuk partisipasi politik tidak terkontrol dengan balk, sehingga belum menghasilkan koalisi yang memiliki kekuatan besar. Salah satu aliansi yang pernah terjadi adalah sejumlah LSM yang mendukung perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam kasus 27 Juli 1996. Mereka membentuk MARI (Majelis Rakyat Indonesia) yang menunjukkan kelemahan kekuatan aliansi itu untuk menghasilkan perubahan berarti. Beberapa di antara mereka terancam untuk diadili dan salah seorang di antaranya adalah Muhtar Pakpahan yang malah dijebloskan ke penjara. Gerakan massa yang cukup kuat adalah massa mahasiswa yang mencapai klimaksnya ketika menduduki gedung MPR/DPR dan berhasil memaksa Presiden Soeharto menyatakan berhenti dan menyerahkan tongkat kepemimpinanya kepada Habibie. Tetapi, setelah itu agenda reformasi seakan-akan mandeg. Ternyata, Orde Baru masih kuat bahkan tampaknya masih dapat memaksakan kehendaknya lewat pembahasan sejumlah UU Politik. Kubu reformis seakan-akan mengalami jalan 140
buntu. Ternyata, kohesivitas gerakan reformasi masih renggang. Tampaknya, sejarah perjuangan masa kolonial kembali terulang. Kekuatan perjuangan, dari Tjipto Mangunkusumo, Tjokroaminoto sampai Soekarno dengan mudah dipatahkan. Para sejarawan menggarisbawahi adanya proliferasi masyarakat Indonesia akibat kemajemukan suku, ras, golongan (isme), dan agama. Pemerintah kolonial dengan, atau tanpa politik "Adu Domba", akan dengan gampang mengalahkan gerakan kebangsaan. Dinamika internal kemajemukan bangsa menjadikan kesatuan masyaraBat menjadi barang yang sulit dijangkau. Siapa yang nanti maju sebagai calon presiden mendatang saja sudah dapat menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan, apalagi dapat sepakat tentang masalah strategis ke depan yang penting. Susahnya lagi, masalah strategis itu sangat mendesak. Tetapi, masyarakat tidak boleh menafikan ikhtiar atau usaha yang mungkin harus dilakukan dengan kerja keras. Pertumbuhan bangsa Indonesia secara demokratis dan sosiologis tidak dapat dihindari. Partai-partai yang mengaku Islam pun tanpa kecuali, pada waktu dideklarasikan selalu menyempatkan diri menyebut bahwa partainya terbuka untuk nonmuslim. Hal itu tidak mungkin terjadi pada tahun 1950-an. Bisabisa yang berani mengatakan seperti itu dituduh kafir. Segisegi positif itu harus dilihat juga supaya tidak terlalu pesimis terhadap perkembangan reformasi. Dalam rangka menegakkan masyarakat sipil ini, partai dengan jajaran pimpinannnya menduduki peranan sentral. Dalam perkembangan politik di Tanah Air yang demikian pesat sepertinya partai-partai harus bekerja keras dan berpacu dengan waktu. Partai bukan tujuan, tetapi sarana membangun persaudaraan antarsesama warga. Persaudaraan itu selalu digairahkan dan dihangatkan lewat kegiatankegiatan politik. Bukankah politik itu dilakukan untuk kebaikan masyarakat? Artinya, bagaimana menjadikan masyarakat semakin demokratis, semakin adil, menjunjung 141
tinggi supremasi hukum dan menjamin pelaksanaan hakhak asasi manusia. Tetapi, perjuangan itu tidak mudah. Menurut saya, dalam politik perhitungannya adalah kemungkinan, the art of the possible. Dia harus berusaha menentukan arah bilamana tidak ada arah, atau suatu kalkulasi bahwa tidak ada yang bakal tetap berlangsung tanpa perubahan. Perhitungan ekonomi baru bisa dibikin kalau ada kepastian, paling tidak ada kondisi atau prasyarat yang memungkinkan. Namun, perhitungan dalam politik justru harus dibuat atas dasar ketidakpastian. Langkah yang harus dilakukan untuk menegakkan persaudaraan, adalah membangun kembali platform kebersamaan kita sebagai bangsa. Dalam kaitan dengan masalah itu, bagi NU platform itu telah dirumuskan dalam tiga persaudaraan, yakni persaudaraan antarumat Islam (Ukhuwah Islamiyah), persaudaraan antarbangsa (Ukhuwah Wathoniah), dan persaudaraan antarmanusia (Ukhuwah Insaniah/Basyariah). Tetapi, dalam diskursus anak-anak muda NU, selain tiga ukhuwah tersebut masih ada satu ukhuwah lagi yang mereka sebut sebagai persaudaraan antaragama (Ukhuwah Diniyah) .
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Pluralitas Agama Masalah kemajemukan agama di Indonesia merupakan masalah peka. Ia sering dipandang sebagai "kendala" persatuan dan kesatuan. Bahkan, dianggap sebagai salah satu ancaman SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar142
golongan) . Dalam suatu survei tentang "Kemajemukan Masyarakat Jakarta" oleh Litbang Kompas pernah ditanyakan, "Manakah yang paling membuat Anda tersinggung?" Sekitar 78,8 % responden menjawab, "Jika agama Anda dilecehkan; 6,6 % jika pekerjaan Anda disepelekan; dan 4,4 % yang tersinggung jika etnis Anda dihina. Sebenarnya, sejauh mana hubungan antaragama itu memiliki potensi konflik yang membahayakan! Untuk menjawab pertanyaan itu perlu masuk ke dalam jatidiri agama itu sendiri. Seorang cendekiawan Masdar Farid Mas'udi mengajak masyarakat memandang hakikat agama dalam tiga tataran. Dalam terminologi Islam, yang pertama adalah "hakikat", kedua "syari'at", dan yang ketiga "tharikat". Pada tataran pertama, agama merupakan kesadaran azali yang bersumber pada bisikan ilahiyah dalam hati nurani setiap manusia. Pada tataran kedua, agama sebagai konsep ajaran atau doktrin yang ditimba dari sumber wahyu kenabian. Ketiga, agama merupakan aktualisasi dan pelembagaan dari kedua tataran tersebut. Sebagai kesadaran asali, suara ke-Tuhan-an yang dibisikkan atau diilhamkan ke lubuk sanubari segenap manusia di dunia, agama merupakan komitmen rohaniah di satu sisi (ke dalam diri pribadi) untuk selalu berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Besar. Dan di sisi lain (ke luar) merupakan komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran dan keindahan yang tak berhingga. Komitmen pertama dapat disebut sebagai komitmen spiritual, sedangkan yang kedua bisa disebut komitmen moral. Kerinduan para sufi untuk meluhurleburkan kepada Tuhan dan perjuangan para mujahid untuk menggelarkan kasih dan keadilan Allah secara menyeluruh merupakan fungsi sejati agama dalam tataran pertama ini. Semua agama dalam tataran ini sama, kecuali yang bukan agama. Perbedaan nama, kitab suci, dan nabi yang memperkenalkannya di hadapan agama ini tidak banyak 143
maknanya. Perbedaan itu hanyalah perbedaan bentuk dan cara yang bersifat lahiriah, tetapi esensinya bersifat batiniah yang tidak berbeda. Agama pada tataran esensial ini, agama sebagai komitmen rohani adalah agama yang benar-benar memahami, bahkan bisa saja malah mensyukuri pluralitas dengan sesama. Tetapi, bukan berarti dalam tataran rohaniah ini agama tidak mengenal konflik. Agama dapat menjadi penganjur konflik yang sangat kuat tanpa mengdnal kompromi. Hanya konflik yang mesti dipandang bukan konflik instrumental antarsesama umat beragam karena perbedaan bahasa dan cara tetapi konflik terhadap kekufuran, yaitu keserakahan, kedzaliman, dan pengrusakan. Pada tataran kedua (syari'at), agama merupakan agama formal yang hadir dalam kalam, wahyu, atau dalam wujud konkretnya dalam "sabda-sabda kitab suci" bersama tafsir nalar manusia yang mengimaninya. Pada tataran kedua ini agama hadir kepada manusia melalui perantara, yaitu bahasa, bahasa milik masyarakat manusia yang pertama kali menjadi audiensnya; mantlsia mediator, utusan Allah yang berbicara kepada masyarakat audiens dengan bahasa perantara tadi. Berawal dari tataran syari'at yang formal ini maka agama menjadi berbeda-beda. Agama Yahudi dengan Taurat dan Nabi Musa-nya, Kristen dengan Injil dan Nabi Isa; dan agama Islam dengan al-Qur'an dan Nabi Muhammad-nya. Karena perbedaan dalam tataran ini tidak bersifat esensial dan absolut, melainkan perbedaan instrumental (mediatorial) yang nisbi maka konflik yang terjadi antaragama yang disebabkan oleh perbedaan ini seharusnya disadari sebagai konflik yang tidak beralasan. Semua nabi dan utusan Tuhan agaknya menyadari benar bahwa mereka adalah teman sejawat dengan misi yang sama. Agama dalam tataran ketiga sebagai realitas empirik dan objektif dalam arena kehidupan masyarakat manusia yang terpanggil untuk merealisasikannya. Agama sebagai tharikat, agama pergumulan, praksis adalah agama yang 144
dengan inti kesadaran (hakikat) dan ajaran-ajaran (syari'at) mewujud dalam bentuk tindakan sosial objektif dari masyarakat manusia yang beriman dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Agama dalam tataran ini adalah agama yang dapat diamati pada tingkah laku manusia perseorangan maupun lembaga-lembaga kehidupan masyarakat, baik dalam kehidupan ekonomi, politik, maupun budayanya. Apa yang secara empirik dan objektif dilakukan oleh Nabi Musa, Isa, dan Muhammad Saw dengan menggalang kelompok manusia beriman pada zamannya (dengan institusi normatif dan sosialnya) adalah bentuk konfigurasi yang terbaik dari agama pada tataran ketiga ini. Dengan dasar kesadaran rohani yang dipertajam dengan konsep kognitif wahyu yang diterimanya, umat masing-masing utusan Tuhan itu hadir dalam peta sejarah manusia sezaman sebagai kekiatan yang secara kritis mempertanyakan nilai kekufuran beserta kekuatan-kekuatan sosial (politik, ekonomi, maupun budaya) yang menjadi pendukungnya. Dengan demikian, agama-agama sebenarnya bukan suatu kekuatan yang hanya menginginkan ketentraman, keheningan, harmoni, dan status quo. Agama adalah kekuatan ilahiyah dan rohaniah yang terpaku pada kesadaran paling dalam pada diri setiap manusia yang penuh dengan desakan kritik atau bahkan kalau perlu konflik. Akan tetapi, bukan konflik "ke samping" dengan sesama umat beragama melainkan konflik ke atas untuk menghadapi kekufuran yang biasanya melekat pada kelas (ekonomi, politik, maupun budaya). Masalahnya, pada tahap kesejarahannya masing-masing sepeninggal nabi pembawanya, agama pada tataran ketiga sebagai fenomena sosial yang empirik telah mengalami distorsi hebat. Kelembagaan agama yang pada awalnya merupakan sarana untuk mengejawantahkan kesadaran rohaniah (kerinduan akan keilahian dan komitmen pada keadilan dan kerahmatan semesta alam) berubah menjadi wahana untuk mengaktualisasikan dan sekaligus memupuk sentimen kelompok yang bersifat tertutup. Hal itu terjadi 145
saat para pengikut agama-agama itu mulai terjebak untuk memutlakkan mediator (syari'at atau pembawanya) seolaholah hakekat itu sendiri. Sabda Allah (kitab suci) dan manusia yang bertugas menyampaikannya yang sebenarnya merupakan instrumen bagi Allah, telah didistorsi oleh para pengikut dengan memutlakkannya, sehingga seakan-akan dianggap identik dengan Tuhan itu sendiri. Dalam Islam hal itu terjadi terutama kepada mediator Kitab Suci (syari'at)-nya, dan dalam I
pada tempat yang semestinya, yaitu sebagai kekuatan destruktif dan disintegratif yang sejajar dengan problem kesukuan, ras, dan golongan. Semestinya, dengan begitu penganut agama mengetahui benar bahwa ia tidak hidup sendiri tetapi penuh keyakinan bahwa yang lain harus dikalahkan. Pada masa Orde Baru, pemerintah telah mengajak (dan mungkin dengan menggertak) masingmasing agama untuk bersedia hidup berdampingan dengan yang lain. Ajakan hidup berdampingan, atau lebih populer disebut kerukunan antarkelompok agama, yang diprakarsai pemeuintah memang tampak beuhasil. Sejauh dibandingkan dengan negara lain, seperti India, Inggris, atau Yugoslavia, konflik yang mengakibatkan sentimen relatif terkendali. Tetapi, bagaimana keadaan itu dapat terus dipertahankan? Begitu mudahnya orang disulut karena masalah agama. Hasil jajak pendapat di Harian Kompas memberikan warning bahwa masyarakat Indonesia gampang tersinggung bila agama mereka dilecehkan. Jadi, masalah kerukunan beragama ini merupakan masalah yang sangat sensitif, tetapi harus dibicarakan dalam rangka membangun masyarakat sipil yang kuat. Upaya yang harus dilakukan tidak cukup hanya sekadar upaya politik, tetapi juga upaya teologis. Upaya politik sandarannya pada kekuasaan atau kekuatan luar, sedangkan upaya teologis bersandar pada iman masyarakat itu sendiri; Untuk itu, harus dilakukan pemasyarakatan pemahaman agama dalam tiga tataran tersebut. Dengan pemahaman itu, masyarakat akan sadar mana yang hakikat, syari'at, dan mana yang "hanya" tarekat. Syari'at merupakan mediator yang menengahi agama tataran pertama yang bersifat universalabadi (kesadaran rohani, iman) dengan agama pada tataran ketiga yang bersifat partikular dan nisbi (kelembagaan aksi, amal). Dengan pemahaman seperti itu, semestinya umat beragama secara perlahan-lahan membenahi persepsi mereka bahwa doktrin kitab suci (syari'at) bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan abadi secara par excellent. 147
Kemutlakan serta keabadian kitab suci bukan terletak pada huruf dan kosa kata yang dipakainya, melainkan pada nilai spiritual-moral yang dikandungnya. Lembaga keagamaan yang eksklusif dan tertutup hanyalah lembaga ritual (ibadah mahdlah) yang memang hanya melibatkan orang-orang yang percaya. Lembaga keagamaan sebagai wahana yang mengikuti kehidupan soaial-lahiriah untuk mengaktualisasikan komitmen moral pada dasarnya adalah lembaga terbuka, seiring dengan terbukanya komitmen moral itu sendiri. Dengan pemahaman konsep kelembagaan agama itu, maka usaha untuk mengkotak-kotakkan lembaga kehidupan (mulai negara, partai, ormas, hukum, pendidikan, atau pers) dengan atribut-atribut keagamaan tertentu pantas diwaspadai. Bahwa umat beriman dan beragama mengemban tugas suci untuk mengagamakan lembaga-lembaga kehidupan itu memang benar. Tetapi, bukan dalam arti semata-mata membubuhkan atribut formal, tetapi lebih-lebih dengan cara memberikan ke dalam lembaga itu muatan-muatan moral (kasih dan keadilan semesta) yang menjadi keprihatinan seluruh umat manusia. Dakwah keagamaan juga harus ditinjau kembali. Dakwah keagamaan harus dikembalikan pada maksud substansial-kualitatif dan bukan kuantitatif. Dengan kata lain, dakwah agama bukan diartikan sebagai upaya menambah anggota komunitas kelompok tertentu, melainkan upaya penyadaran manusia untuk kembali pada komitmen spirtual dan moral. Komitmen itu bersifat rohaniah yang secara fitri ada dalam diri setiap manusia. Hanya dengan proses dekonstruksi dan redefinisi seperti itu akan ada harapan bahwa agama akan kembali pada kodratnya. Agama bukan sebagai kekuatan yang hanya disejajarkan dengan sentimen kesukuan dan ras (SARA), tetapi yang lebih pokok lagi merupakan sebuah kekuatan ilahiah yang mengilhami manusia untuk bekerja sama menegakkan kasih dan keadilan di dunia. Di samping masalah konseptual itu, dalam jangka pendek sekarang ini para 148
pemuka agama dan penganut agama harus terus-menerus mempererat tall silaturahmi antarsaudara yang beragama lain. Tall silaturahmi itu akan menjadi penangkal terhadap isu karena informasi yang keliru dan kecenderungan untuk saling mencurigai satu sama lain. Kegiatan sosial bersama dapat menjadi semacam common platform dengan usahausaha nyata memerangi masalah kemiskinan, keamanan, bencana alam, kenakalan remaja, dan penyakit sehingga dapat lebih mempererat tall persaudaraan. Dengan kegiatan-kegiatan itu akan terbangun solidaritas sosial atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk meneguhkan kerukunan antarumat beragama dan untuk mengeliminir friksi-friksi antaragama, PKB menumbuhkan dan mengembangkan sikap keberagaman yang inklusif dan toleran melalui bentuk-bentuk dialog antar iman secara otentik. Inklusivisme dan toleransi beragama yang dikembangkan oleh partai adalah inklusivisme dan toleransi sejati yang sungguh-sungguh hidup sebagai semangat berdemokrasi dan mempertinggi derajat kemanusiaan, bukan inklusivisme dan toleransi sebagai retorika harmoni sosial.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Suku dan Golongan Masalah suku dan golongan sering dianggap masalah peka, yang potensial menjadi sumber konflik sosial. Sebetulnya, bukan terletak masalah suku dan golongan an sich, tetapi agaknya masalah yang sebenarnya adalah kesenjangan 149
antara kaya dan miskin; desa dan kota, pusat dan daerah. Salah satu contoh yang patut disebut adalah cap yang ditimpakan pada golongan Cina yang sering disebut "nonpri" sebagai makhluk ekonomi atau makhluk bisnis (home economicus). Rasanya, kurang adil bila orang Cina disebut memonopoli dunia bisnis. Mereka melakukan itu karena kesempatan di sektor lain tidak dibuka. Tentu saja ada pengecualian satu dua orang. Sebut saja di lingkungan militer atau politik, orang Cina belum merasa at home di sana. Selama di sektor lain tidak terbuka kemungkinan, tentu saja mereka berkiprah hanya ngumpul di sektor yang terbuka untuk mereka. Bila sektor-sektor lain dibuka, niscaya mereka akan tersebar dan pasti dapat memberi kontribusi yang balk bagi bangsa ini. Demikian halnya dalam masalah golongan, sering disebut ada golongan mayoritas dan minoritas. Sebetulnya, di desa-desa dan di daerah pertanian, kerukunan itu sebenarnya sudah ada dan sudah terbina secara alami. Masing-masing saling menghargai dan menghormati dalam kegiatan-kegiatan bersama. Alasan mengapa di beberapa daerah adanya golongan itu menjadi masalah, faktor politik yang memicunya. Politik dalam hal ini adalah politik yang tidak memihak kepentingan rakyat, tetapi politik untuk mencari kepentingan sendiri. Dalam masa Orde Baru, perbedaan golongan, suku, dan agama ini tampak dibesarbesarkan, sehingga ada alasan untuk menegakkan politik untuk mempertahankan kekuasaan. Masyarakat tidak diajari berpolitik secara bersih, secara fair, atau kesatria tetapi politik dengan jalan pintas memobilisasi massa melalui cara-cara kekerasan. Masyarakat Indonesia harus belajar lagi untuk berpolitik secara sehat. Politik itu untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya kepentingan golongan atau pribadi. Ada pepatah yang mengatakan, "Keselamatan masyarakat adalah hukum yang tertinggi." Demikian pula pepatah lain mengatakan, Lawan bicara adalah teman berpikir. Lawan dalam kampanye adalah 150
kawan untuk memacu pemikiran baru yang berguna bagi masyarakat. Semestinya, dalam pemilu menang atau kalah harus diterima dengan lapang dada, karena bukankah lawan politik kita juga memikirkan dan memperjuangkan kepentingan kita? Rerilah kesempatan kepada mereka untuk berpikir dan berbuat yang terbaik untuk bangsa ini, sebab pada akhirnya untuk kita-kita juga.
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Optimis atau Pesimis? Melihat perkembangan dan kerusuhan di daerah orang menjadi ngeri. Meski demikian, kita tetap berharap bangsa ini tidak mengarah pada perpecahan. Negara ini tidak akan ambyar atau mengalami seperti bekas negara Yugoslavia dikerat-kerat menjadi potongan-potongan kecil negara suku atau daerah. Argumentasi yang bisa diajukan untuk itu adalah pengalaman sejarah seperti dirumuskan oleh Otto Bauer bahwa bangsa (nation) merupakan "persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib" (..eine aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft . Persatuan nasib, dalam hal ini adalah penjajahan oleh bangsa asing yang menimbulkan penindasan, penderitaan, dan pemiskinan bangsa dapat menjadi lem perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, ada sejumlah fakta yang mendukung optimisme itu. Pertama, administrasi pemerintah yang disatukan (ttnifled administration), Tiap daerah seliarang ini sudah tidak
151
H. MATORI ABDUL DJALIL: DARI NU UNTUK KEBANGKITAN BANGSA ada yang Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida)-nya murni putra daerah setempat. Bupatinya dapat datang dari Jawa, pimpinan militernya dari Padang dan Kepala I<ejaksaaan bisa orang Ambon atau Batak. Selama puluhan tahun, mereka sudah dilatih untuk berpikir dalam kerangka nasional bukan kedaerahan. Kedua, bahasa Indonesia teIah menunjukkan kehebatannya sebagai alat pemersatu dan alat komunikasi yang efektif bagi masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan rakitan dari berbagai budaya, kira-kira sepertiga dari bahasa Sansekerta, sepertiga dari bahasa Arab, dan sisanya dari bahasa-bahasa Eropa. Seperti sebuah sepeda, komponen-komponennya berasal dari banyak macam pabrik dan merk, tetapi akhirnya menjadi satu entitas tersendiri. Bahasa terbukti telah menjadi kekuatan yang mempersatukan aneka suku dan golongan di Indonesia. Ketiga, pembangunan yang dijalankan selama ini dengan segala positif dan negatifnya telah melatih bangsa Indonesia untuk saling bergantung (interdependen) antara daerah yang satu dengan daerah lain, Kebutuhan orang di Pulau Jawa akan dipenuhi dari pulau atau daerah lain. Pulau Jawa "sendirian" tidak akan dapat menghidupi warganya bila tidak dibantu oleh daerah lain. Ketiga kekuatan itu menjadi modal untuk mempertahankan persatuan bangsa. Keunikan golongan, suku, dan daerah harus dihayati dalam semangat kebhinekaan. Artinya, kita tidak perlu melakukan oversimplifikasi, menggampangkan masalah dengan melupakan berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu harus dilihat dari semangat menjunjung tinggi kebhinnekaan. Bagaimana perbedaan-perbedaan itu diselesaikan dalam konteks MEMBANGUN PERSAUI)ARAAN SEJATI
152
kebhinnekaan? Berkaca dari pengalaman masa lampau partai-partai politik nanti dapat menjadi wahana untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu menjadi zlnikzlm kebinekaan. Bagi PKB, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia. PKB, bersama partai-partai lain, secara tegas akan menolak dan menentang segala upaya untuk memecah belah persatuan dan persaudaraan kebangsaan Indonesia. Dengan peran partai-partai politik akan terbina persaudaraan baru sebagai bangsa yang bersatu. Paling tidak, PKB sudah memulai dengan menyatakan diri sebagai partai terbuka untuk siapa saja, warga bangsa ini. Tiba waktunya kita bangkit membangun persaudaraan, keadilan, dan penegakkan hukum bagi kesejahteraan dan persatuan bangsa. Hendaknya partai politik mampu menjamin pelaksanaan kewajiban-kewajiban negara agar etika dan 1 moral tetap terjaga dalam masyarakat. Bagaimana partai-partai dapat menjaga agar kepemimpinan negara yang bukan hanya individu, tetapi sistem atau institusi dapat menjalankan perannya dengan baik? Seperti dikatakan cendekiawan Nurcholis Madjid, yang diperlukan bukan pembentukan negara-agama, melainkan komitmen bangsa untuk selalu memakai pertimbangan etis di segala bidang persoalan. "Meskipun sebuah negara tidak berdasarkan agama ..., tetapi jika kukuh memengang komitmennya terhadap etika maka negara itu akan kuat," tegas Cak Nur. Masyarakat akan belajar bahwa bangsa yang bersatu akan lebih kuat daripada bangsa yang terpecah belah. Bangsa Indonesia akan belajar bahwa persatuan yang rasional akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan H. MATORI ABDUL DJALIL: DARI NU UNTUK
153
KEBANGKITAN BANGSA percerai-beraian. Jadi, terlalu optimistis bila dikatakan bahwa kesulitan yang dihadapi bangsa Indonesia dapat diselesaikan dengan gampang. Tetapi, terlalu pesimis juga bila dikatakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi tidak dapat diselesaikan oleh bangsa Indonesia. Dengan, dan melalui persaudaraan sejati, insya Allah Pada waktunya nanti bangsa Indonesia dapat keluar dari kesulitan-kesulitan besar yang dihadapi.
Sumber Bacaan Kompas. "Cak Nur: Negara Agama tidak Diperlukan" 13 Januari 1999. DPP PKB, Garis Perjtldngan Partai Kebangkitan Bangsa, 1998 Kartono Mohamad, "Etika Masyarakat Madani", dalam Kompas, 12 Januari 1999 Masdar Farid Mas'udi, "Agama dan Pluralitasnya", dalam Th Sumartana et al. (ed) Mendidik Manusia Merdeka (Yogyakarta: Interfidei, 1995) Kompas, 28 Desember 1998 "Polling Kompas" I. Haryanto (ed), Melangkah dari Reruntuhan Tragedi Situbondo (Jakarta: Grasindo, 1998) Flip Litaay, "Nasionalisme dan Integrasi Nasional" dalam Bind Ddrmd, No. 55 Juni 1997 Samuel S. Lusi, Ekspansi Partisipasi Politik Massa ke Arah Kebangkitan Civil Society", dalam Bind Darma No. 54 Tahun 1997
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab7 PARTAI, DISINTEGRASI, DAN KEBANGSAAN 154
Apa pun yang terjadi apabila bangsa Indonesia dapat menunjukkan kualitas serupa dengan yang mereka tunjukkan selama perjuangan politik mencapai kemerdekaan, maka keberhasilan bangsa ini adalah amat besar (George McTurnan Kahin) Pada masa transisi ini, di mana pemerintahan belum mendapatkan mandat penuh dari rakyat melalui MPR-RI dan masih belum mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari sebagian besar rakyat, menuntut tingkat kepekaan yang tinggi serta respons yang cepat dalam mengantisipasi perubahan. Fenomena kekerasan telah menodai karakter kebangsaan kita, tindakan anarkis dan main hakim sendiri, yang menginjak-injak hukum dan menindas hak-hak asasi manusia. Aksi-aksi kekerasan, teror dan kriminal politik yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, makin hari makin cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Rentetan kasus-kasus pembunuhan massal di Banyuwangi dan tempat-tempat lain di Jawa, penyerangan dan perusakan kantor YLBHI, pembunuhan anggota Tim Relawan Untuk Kemanusiaan dan lain-lainnya. Kekerasan sepertinya telah menjadi identitas baru bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang beringas dan tidak beradab. Ada yang menganggap bahwa kekerasan tersebut sebagai indikasi bahwa semangat kebangsaan kita telah mendangkal, oleh terjadinya erosi rasa kebangsaan di semua lapisan masyarakat. Semua itu disebabkan dan bersumber dari kekerasan struktural, yang kemudian berkembang menjadi kekerasan komunal yang bersifat kolektif. Sifat mendewakan kekuasaan di mana politik berpanglimakan kekerasan, menafikan akal budi dan mengabaikan etika politik. Primitifisme politik telah membalik sejarah kebangsaan Indonesia yang sudah kita bangun puluhan tahun lalu kembali ke titik nol. Ia telah 155
mengalahkan idealisme sebagai ruh dan semangat kebangsaan. Ada kerisauan bahwa bangsa besar ini akan terancam disintegrasi, di mana paham kebangsaan kita terkepingkeping menjadi paham kesukuan dan keagamaan, yang semula menjadi unsur dari bangsa yang pluralistik. Kekhawatiran ini menjadi semakin mencemaskan, dengan maraknya pikiran-pikiran primordialistik dan munculnya kembali politik aliran. Semua ini terjadi akibat proses nation and character building mengalami stagnasi akibat penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Kedaulatan Rakyat dimanipulasi dan hak-hak politik rakyat kandas sewenang-wenang. Demokrasi dipasung dalam suatu sistem politik yang otoriter, penuh kediktatoran dan tidak efektif. Tidak ayal kalau manajemen negara dipenuhi oleh bentuk-bentuk kekerasan, intimidasi dan teror yang jelas-jelas tidak bermakna bagi perwujudan cita-cita nasional Indonesia dan semangat kebangsaan kita. Orde Baru yang, mengingkari ideologi pembangunan akan berimbas pada stigma politik "ekstrim kiri" atau "ekstrim kanan"
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Rekonstruksi Nation Building Dalam rangka rekonstruksi paradigma kebangsaan kita dan meneruskan proses nation building menuju integrasi bangsa yang utuh, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan bersama: Pertama, nation building diarahkan pada pembentukan 156
negara kebangsaan modern (modern nation state), sebagai prasarana untuk mewujudkan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan seluruh warga bangsa dengan demokrasi sebagai ciri utamanya. Demokratisasi yang mengaksentuasi rakyat sebagai pemegang kekuasaan perlu didahulukan. Suatu bangsa yang tidak menempatkan partisipasi rakyat sebagai kekuasaan tertinggi sulit mewujudkan nilai-nilai demokrasi, karena rakyat memandang negara dan bangsa ini milik penguasa. Rakyat merasa tidak berkewajiban dalam proses berbangsa dan bernegara. Kedua, perlibatan rakyat dalam kerangka proses nation and character building. Kesalahan utama dalam sejarah kebangsaan kita adalah pembentukan karakter kebangsaan kita berdimensi tunggal. Di sisi lain, ada apatisme kolektif yang terjadi di tengah rakyat, sehingga menjadi sebuah kebudayaan bisu terhadap kelanjutan kebangsaan kita. Rakyat yang diharapkan mampu memberi kontribusi utama dalam proses pembentukan karakter kebangsaan menjadi gamang, karena peran pemerintah menjadi dominan. Apalagi, tidak adanya kontrol yang dilakukan oleh rakyat, semakin memberi peluang bagi penguasa untuk selalu menganggap bahwa dirinya adalah yang benar dan berkuasa. Proses kebangsaan adalah milik penguasa, kebenaran ada di tangan penguasa bahkan negara adalah milik penguasa. Pembentukan sikap kebangsaan yang dilakukan dalam situasi masyarakat yang depresi (civil depretation) akan menghasilkan sikap kebangsaan yang semu. Kondisi ini sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat akan dengan mudah terkoyak bila menghadapi suatu persoalan bangsa. Tidak ada lagi kekuatan emosional yang menjadi tall perekat di antara rakyat. Untuk itu, penguasa jangan lagi menjadi decision maker tunggal. Ketiga, kalau kita lihat kondisi aktual rasa kebangsaan, ternyata masih semu. Persoalan kebangsaan yang mencuat 157
masih diwarnai persoalan primordialisme, baik kedaerahan maupun keagamaan. Integritas keindonesiaan sebagai sebuah karakter kebangsaan masih harus diperjuangkan. Fenomena politik aliran dan munculnya partai-partai politik yang menggunakan simbol-simbol keagamaan terasa masih kental. Melihat realitas yang demikian maka dalam rangka integrasi nilai-nilai kebangsaan, kita dapat melakukan usaha dekonvensionalisasi terhadap nilai-nilai yang bersifat simbolis primordialistik, --di mana nilai-nilai dikembalikan pada formalisme dan slogan, dikembalikan kepada signifikansi atas realisasi nilai-nilai yang disepakati bersama-menjadi nilai-nilai yang integral dengan karakter keindonesiaan. Pendekatan yang demikian, sangat strategis dalam rangka merekonstruksi kebangsaan kita yang rentan terkoyak seperti saat ini. Partai politik sebagai salah satu instrumen bagi pembentukan nation and character dalam artikulasi politiknya hendaknya mampu melakukan pendekatan tersebut. Kalau kita lihat perubahan situasi politik yang terjadi sekarang ini membawa sebuah kekhawatiran baru, munculnya primordialisme yang menguat lewat gerakan-gerakan politik yang membawa simbol-simbol eksklusif. Indikasi yang dapat dibaca, munculnya partai-partai politik yang membawa simbol-simbol primordialisme sempit dan eksklusivisme, yang berorientasi ideologis dengan tawarantawaran "keselamatan akhirat" sebagai sentuhan dan eksploitasi identitas tunggal (singular identity) berupa ideologi agama, aliran maupun yang mengarah pada sektarianisme. Kekhawatiran politik seperti ini patut dicermati dan diperhatikan. Menurut hemat saya, parpol baru memang penting dihindarkan dari aspek primordialisme, karena sebagai partai ia memiliki fungsi dan sah untuk merebut kekuasaan. Bila demikian, maka kekuasaan yang dipegangnya - kekuasaan pemerintahan - sekalipun ada 158
batasan konstitusional akan dapat - sekurang-kurangnya secara terselubung - bersifat dan berorientasi pada primordialisme, yang pada gilirannya akan melahirkan pengerasan primordialisme, dan mengakibatkan adanya fragmentasi politik yang tajam dan dapat membahayakan integrasi bangsa. Agar pembentukan parpol baru tidak mengarah pada aspek primordialisme, maka harus ada kesepakatan awal dari para penggagas parpol baru. Kalau arah reformasi menyeluruh dimaksudkan ingin tetap mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan berbasis pada UUD 1945 dan ideologi Pancasila, maka asas dasar parpol baru harus tetap mengacu pada ideologi kebangsaan (Pancasila) yang sudah teruji sebagai asas kebangsaan dan kesepakatan bersama "common platform". Sebab dengan dibentuknya parpol baru yang tidak berbasis primordialisme, berarti mendukung adanya pengakuan pluralisme di Indonesia. Sehingga yang muncul bukanlah parpol yang eksklusif, namun parpol yang terbuka untuk warga masyarakat tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Proyeksi partai ke depan lebih berorientasi pada program-program yang menyentuh secara langsung pada kebutuhan riil masyarakat, lebih bersifat terbuka dan inklusif, melabrak batas-batas ideologi, agama, dan ras. Eksploitasi terhadap agama akan membawa antagonisme serta radikalisme keagamaan terbukti selalu berumur pendek. Karena kekurangan visi dan misi politik serta program sosial politik yang masih akal sehingga sulit meraih dukungan massa. Maka orientasi program, harus menjadi mainstream perjuangan partai ke depan, sesuai dengan fungsi partai yang selama rezim Orde Baru telah terlantarkan. Di tengah-tengah upaya membangun kembali semangat kebangsaan dan struktur politik baru para reformasi, konflik-konflik politik dan ideologi harus dihindarkan dari artikulasinya melalui diskursus-diskursus keagamaan yang membawa konsekuensi-konsekuensi negatif berupa 159
fanatisme di antara dan di dalam komunitas-komunitas kedaerahan maupun agama. Agama tidak menegaskan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang formal, tetapi ia berfungsi sebagai faktor dominan sumber arus informasi politik. Catatan Dikutip dari artikel H. Matori Abdul Djalil di Harian Merdeka, 4 November 1998
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir
[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] TENTANG PENULIS
Y.B. Sudarmanto setelah lulus dari Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP (sekarang universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada tahun 1990 bergabung dengan Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Di samping meredaksi sejumlah buku, ia juga membukukan sejumlah karya, antara lain Agama dan Ideologi, Agama dan Politik! Anti-Kekerasan, Ke mana Setelah SLTA.2, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila 1-6 (tim), Metodolog i Belajar, Aksi Mahasiswa Menuju Gerbang Reformasi, dan Sri-Bintang Pamungkas: Perintis Oposis dan Reformasi. K Ariobimo Nusantara dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1965. Gelar sarjana arkeologi diraihnya pada tahun 1989 dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra, Universitas 160
Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1990 ia bergabung dengan PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Pada November 1997 mendapat tugas sebagai participant pada Asia/Pacific Copublication Programme (ACP) Meeting dan Asia-Pacific Cooperative Programme for Reading Program Selain meredaksi sejumlah buku, ia juga banyak menulis di berbagai media massa. Hasil karyanya antara lain Ilmu Pengetahuan Sosial 3-6 (tim), Pengantar Belajar Sntropologi (bersama JS Kamdhi), Vademekum Wartawan (penyadur), Aksi MdhdSiSWd Menuju Gerbang Reformasi, dan Sri-Bintang Pamungkas: Perintir Oposisi dan Reformasi, kontnbutor naskah pada program copubl;cation dari Asia/ Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU), dan kontributor naskah pada penerbit Mitsumura Educational Co., Ltd., Tokyo. R Masri Sareb Putra dilahirkan -di Sanggau Kapuas, Kalimantan Bant, pada tahun 1962. Ia bekerja parth waktu di harian Suara Indonesia pada desk benta kota (1985-1987). Semas;h mahasiswa di STFT Widiasasana Malang,;a akt;f mengelola pers kampus, Forum. Pengalaman itu memupuk m;natnya unntk terus menekuni dunia tulis-menulis hingga kini. Sejak 1984 ia menulis di media massa umum, antara lain Kompas, Basis, Surabaya Post, dan Bali Post. Tahun 1987 menerbitkan novel Flamboyan Kembali Berbunga (Nusa Indah), lalu menulis cerita bersambung Tetes Cinta yang Tercecer (Jawa Pos, 1988), Ujung Sebuah Kerinduan (Surya, 1990). Bersama rekan-rekannya, ia menulis buku Aksi Mahasiswa Menuju Gerbang Reformasi (1998), SriBIntang Pamungkas: Perintis Oposisi dan Reformasi. Awal tahun 1990 menjadi rednktur mingguan Hidup dan September 1990 bergabung dengan PT Gmmedia Widiasamnn Indonesia (Grasindo).
www.kmnu.org - Copyright © NU Kairo
161
162