PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
YULITA NIM. 204033203123
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 18 Desember 2008
Yulita
PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
Yulita NIM. 204033203123
Di Bawah Bimbingan
Dr. Shobahussurur, MA NIP. 150 289 244
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI KEBANGKITAN BANGSA”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Desember 2008. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 18 Desember 2008 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 282 120 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 299 478
Dr. Masri Mansoer, M.A NIP. 150 244 493 Pembimbing,
Dr. Shobahussurur, M.A NIP. 150 289 244
ABSTRAKSI
Penindasan terhadap kaum perempuan mungkin sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia, hingga kini perempuan di banyak tempat senantiasa berada posisi marginal. Kondisi tersebut terbangun oleh sebab faktor sosial, kultur, politik, regulasi dan kesalahpahaman terhadap doktrin agama. Dalam konteks Indonesia, kultur patriarki yang melekat erat dalam mindset rakyat Indonesia membuat langkah perempuan untuk turut serta dalam ranah publik mengalami banyak tantangan dan cibiran dari banyak kalangan. Tebalnya tembok penghalang yang menyekat kaum perempuan tidak menjadikan gerakan perempuan kemudian menjadi mati suri, persoalan di atas coba dijawab dengan aksi nyata perempuan dalam dalam membangun bangsa. Mereka dalam beberapa hal mampu menjawab persoalan yang hadir dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan (NU dan Muhamaddiyah) dan beberapa partai politik. Partai Kebangkitan Bangsa sebagai partai yang berbasis massa tradisionalis merespon gerakan perempuan dengan menempatkan para aktifis perempuan dalam struktur kepartaian dan posisi strategis dalam pengambilan keputusan baik di partai ataupun di parlemen. Dalam banyak hal perempuan di PKB menunjukkan bahwa wanita mampu mengungguli peranan kaum laki-laki sekaligus seolah-olah mereka hendak menganulir asumsi sosial yang meremehkan kaum wanita.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang tak henti-hentinya memberikan kita karunia kenikmatan, baik nikmat iman maupun Islam. Dan sungguh, hanya dengan segala rahmat dan pertolongan-Nya, ketulusan hati dan keikhlasan niat serta motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul: “Peran Politik Perempuan Dalam Partai Kebangkitan Bangsa”, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya. Dan semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Dalam kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Sembah sujud dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ananda haturkan kepada orang tua yang tercinta, Ebak H. Usman Gumanti dan Umak Hj. Wertan (Almh) dan Umak Hj. Eryani yang tiada hentihentinya memanjatkan doa ke hadirat Ilahi Robbi untuk memohon keberkahan hidup ananda. Limpahan kasih sayang mereka adalah motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini. Semoga Allah SWT meridhoi kehidupan mereka. 2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan nasehat yang berharga bagi penulis.
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A. Selaku ketua Program Non Reguler dan bapak Rifqi Mukhtar, M.A. Selaku sekretaris Program Non Reguler yang telah memberikan pelayanan akademik serta membina penulis selama melaksanakan pendidikan di program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. Shobahussurur, M.A selaku Dosen Pembimbing, terima kasih atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukkan, arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis. 6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang dengan ketulusan dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Iman Jama’, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiarjo (FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DPR RI, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia. 8. Kepada Ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI dari PKB, Mba Nurhasanah selaku staff PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa). DPP PKB Kalibata (versi Gus Dur) dan DPP PKB Menteng (versi Cak Imin) semoga kemaslahatan umat dan bangsa menjadi hal yang dapat mempersatukan mereka kembali. Mba Yumi dan Mba Iyang
selaku sekretaris pribadi Ibu Badriyah, terima kasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam merampungkan skripsi ini, dan seluruh aktifis perempuan yang tergabung di PKB penulis sampaikan “selamat berjuang: kita ambil alih kekuasaan dan akan kita atur dunia menjadi lebih baik” 9. Kepada keluarga besar penulis tercinta: Jaik dan Nyaik, Cik Murod, Uju Sarminah, Cik Ida, Cik Iba dan keluarga serta seluruh paman-paman dan bibi penulis yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kepada kakak dan adik-adik penulis: kak Dedi, kak Nopi, kak Rafe’i (Mi’ik), kak Mamat, kak Muslim dan keluarga, yuk Tima, Man dan keluarga, Dayat, Saleh, Dalima, Rozak, serta ponakan-ponakan penulis yang menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis. 10. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kakak tercinta Yusuf Fadli dan keluarga besar, yang telah memberikan dukungan secara penuh dalam menyelesaikan program studi penulis. Terima kasih banyak atas semuanya ya k… Semoga Allah SWT. selalu meridhoi perjalanan hidup kk. 11. Teman-teman Jurusan Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan 2004 Ekstensi, K’Saiman, Sofian, Pujiono, Iskak, K’Ibnu, Zulfikar, Indra, Bukhori, Tauhid, K’Sa’di, Hudori, K’Muhsin, K’Aziz, Fadil, Galo, Iin, Asep, Awe, Surono, Hadi, Ijudin, Firman, Fitrah dan lain-lainnya. Terima kasih atas kebersamaannya, baik suka maupun duka dalam berjuang menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Kenangan terindah
bersama kalian tak kan terlupakan. 12. Keluargaku seperjuangan di UIN, kak Supri dan keluarga, “teteh” (Kak Dian) dan keluarga, Zein, kak Ridwan, Rei, Isti, kak Lulu, yang dengan tulus dan ikhlas memberikan motivasi dan semangat untuk penulis. Untuk semuanya penulis hanya bisa mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena tanpa kalian semua mustahil bagi penulis untuk bisa melewati hambatan dan tantangan dalam penyusunan Skripsi ini. Semoga Allah akan selalu melindungi, meridhoi dan memberikan balasan yang lebih besar kepada kalian semua. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang dimiliki, penulis ingin mempersembahkan skripsi ini bagi semua pihak yang menaruh perhatian bagi perkembangan ilmu pengetahuan dengan harapan akan bermanfaat bagi kita semua. Ciputat, 18 Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI ABSTRAKSI .............................................................................................. i KATA PENGANTAR ................................................................................ ii DAFTAR ISI .............................................................................................. vi DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
BAB I.
PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 13 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 14 D. Studi Kepustakaan ................................................................. 15 E. Metode Penelitian .................................................................. 16 F. Sistematika Penulisan ............................................................ 16
BAB II.
PEREMPUAN DAN POLITIK ................................................ 18 A. Perspektif Islam ..................................................................... 19 B. Perspektif Barat ..................................................................... 25 C. Politik Perempuan di Indonesia.............................................. 34 1. Pra Kemerdekaan............................................................. 35 2. Pasca Kemerdekaan ......................................................... 38 3. Era Reformasi .................................................................. 42
BAB III. SEKILAS TENTANG PKB ...................................................... 45 A. PKB dalam Lintasan Sejarah.................................................. 45 B. Karakteristik dan Arah Perjuangan PKB ................................ 53
BAB IV. POLITIK PEREMPUAN DAN PKB........................................ 55 A. Hak Politik Perempuan: Akomodasi Dalam PKB................... 58 B. PKB dan Kuota 30%.............................................................. 65 C. Peranan Perempuan PKB di Parlemen.................................... 71
BAB V.
PENUTUP.................................................................................. 78 A. Kesimpulan............................................................................ 78 B. Saran-saran ............................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 81
DAFTAR TABEL
A. Tabel 1: Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004) ...................... 73 B. Tabel 2 : Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan pada Periode 2004-2009 Berdasarkan Partai Politik........................ 74
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Isu mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan soal yang
akan terus mewarnai percaturan politik di belahan dunia manapun. Di banyak negara yang sistem demokrasinya telah mapan sekalipun, permasalahan perempuan dan politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi. Terlebih di negara-negara berkembang, di mana budaya patriarki1 masih sangat kental, tema peranan perempuan dan politik selalu memicu perdebatan sengit. Politik yang sering diidentikkan dengan dunia penuh intrik dan licik, menjadi wilayah yang diharamkan dan harus disterilkan dari tangan-tangan lembut kaum hawa, karena dianggap hanya keperkasaan kaum adam saja yang mampu survive menjelajahi keliaran belantara politik tersebut. Dengan perkataan yang lain, saat ini terdapat disparitas yang begitu dalam antara kewenangan laki-laki dan perempuan dalam menjalani proses kehidupan. Entah apa sebenarnya yang menjadi inti persoalan perempuan, mengingat begitu banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi kaum perempuan. Semua 1 Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas perempuan. Sistem patriarki bisa diterapkan di tingkat keluarga, masyarakat ataupun negara di mana laki-laki mendominasi dalam semua hal seperti SDM, ekonomi, politik dan sosial. Segala aturan yang dipakai dalam sistem patriarki didasarkan pada kepentingan pihak laki-laki (bapak). Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Permpuan di Indonesia (Jakarta: Kibar Press, 2007), h. xiii. Ada yang berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis kelamin perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun hal ini kemudian dikritik karena mereduksi subordinasi perempuan pada faktor ekonomi dan tidak menjelaskan ketimpangan gender dalam masyarakat pra dan pasca-kapitalis. Rita Felsky, “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 18.
itu sudah menjadi realitas objektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan/diskriminasi sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam prejudice di sebagian kalangan perempuan bahwa pada zaman apapun, kaum perempuan akan selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan dan tersubordinasi2 kaum laki-laki.3 Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai macam fakta sering dipakai sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung kehidupan kaum perempuan. Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 1996, misalnya menyebutkan bahwa 20% dari 1,3 miliar penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67% dari total penduduk dunia yang buta huruf (sekitar 600 juta jiwa) juga dari kalangan perempuan. Di Indonesia sendiri, perempuan menempati sekitar 70% dari penduduk yang buta huruf.4 Begitu banyaknya persoalan yang mengepung kehidupan perempuan, kemudian memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan.
2
Subordinasi adalah kedudukan bawahan, kelas kedua (perempuan) terhadap pihak yang dominan (laki-laki). Subordinasi perempuan umumnya tercipta akibat streotipe yang dikaitkan dengan pembagian kerja secara seksual. Akibat posisi subrodinat itu, peranan dan hasil kerja perempuan selalu dinilai lebih rendah dengan peran dan hasil kerja laki-laki yang menempati posisi dominan. Bustamin Basyir, “Kesetaraan Gender: Studi Atas Pemikiran Qasim Amin,” Dalam Kusmana, ed., Islam dan Gender: Wacana dan Praktis (Buku Ajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 4. 3 Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003), h. 25. 4 Sa’idah dan Khatimah, Revisi Politik Perempuan, h. 26.
Simpati ini kemudian terkristalisasi menjadi sebuah ‘kesadaran’ kolektif untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Terdapat dua pendekatan dalam meneropong keterlibatan perempuan pada ranah sosialpolitik. Yang pertama adalah gerakan ‘kesadaran’ perempuan5 yang kita kenal dengan istilah feminisme.6 Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7 Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender,8 akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender
5
tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan
Gerakan menurut teori sosial digambarkan sebagai reaksi kolektif dari suatu kelompok masyarakat yang tersubdordinasi. Sedangkan gerakan perempuan adalah gerakan segelintir atau kelompok perempuan yang muncul sebagai respon terhadap situasi yang berimplikasi terhadap ketidakadilan gender sehingga memotivasi segelintir atau sekelompok perempuan tersebut sebagai warga negara untuk melakukan sebuah perlawanan. Lihat Tati Harminah dan Mu’min Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 11-12. 6 Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tingkatan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 86 dan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995), h. 5. 7 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 79. 8 Gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun dalam istilah seks mengacu kepada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Lihat Asriati Jamil dan Amany Lubis, “Seks dan Gender,” dalam Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 54. Gender juga diartikan sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta keempatan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal. Artinya, laki-laki dan perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakatnya, dalam Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, h. xii.
mereka.9 Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis. 10 Di abad globalisasi seperti saat ini, gelombang feminisme terus berupaya mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial –yang sebenarnya dibuat oleh kaum pria– yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Akhir dari tuntutan feminisme adalah terbebasnya kaum perempuan dari berbagai macam belenggu, diskriminasi, keterbelakangan, dan terakomodirnya kepentingan perempuan dalam kontek kehidupan real dari sebuah sistem kenegaraan. Pisau analisa kedua yang dapat memotret keberadaan perempuan dalam dunia politik adalah melalui teori partisipasi politik.11 Dalam teori ini, perempuan melakukan gerakan untuk mendesak dan memengaruhi sebuah realitas sosialpolitik atau suatu putusan kebijakan melalui lembaga-lembaga formal atau sistem yang berlaku. Tujuan dari dilakukannya partisipasi politik perempuan tersebut 9
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 46-53. 10 Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari system patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan ekonomi. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), h. 55. 11 Secara umum partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan atau loby dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial, dan sebagainya. Dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 367.
adalah agar semua pihak khususnya penguasa politik lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan, dan pesan yang terpenting dari gerakan perempuan yakni bahwa perempuan dan pria memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap proses kehidupan di dunia ini. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik menjadi penting? Ada beberapa isu penting yang patut untuk dicatat terkait dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Isu-isu mengenai kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, kepedulian terhadap anak, dan kekerasan seksual12 merupakan beberapa soal yang terus membayangi dan menjadi bagian dalam kehidupan perempuan. Oleh karena dunia perempuan juga sangat kental dengan problem di atas, maka secara otomatis perempuan yang tercatat sebagai penghuni terbanyak dalam jagad raya ini menjadi sangat dirugikan dan kelangsungan hidup perempuan terancam apabila permasalahan itu tidak segera ditangani. Tidak bisa tidak, untuk mengatasi berbagai problematika yang membelit tersebut, partisipasi politik perempuan harus di posisikan secara istimewa, asumsi dasarnya adalah yang paling memahami persoalan-persoalan perempuan adalah perempuan itu sendiri. Peranan perempuan pada ranah politik dalam konteks Indonesia telah melalui proses panjang. Gerakan perempuan Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan cemas dan ada keinginan-keinginan individu-individu yang menghendaki perubahan dan kemudian terakumulasi dalam suatu tindakan bersama-sama. Dari 12
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004), h. 3.
masa ke masa, gerakan perempuan Indonesia terus melakukan kontekstualisasi gerakan agar berkesesuaian dengan kondisi zaman. Perempuan dan politik dalam wacana keindonesiaan telah telah dimulai sejak zaman Indonesia klasik, yakni era kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di sepanjang kepualauan Nusantara. Ada beberapa bukti yang menguatkan temuan tersebut, yang pertama, sesuai catatan orang Cina yang mengatakan bahwa pada tahun 674 M, terdapat seorang pempimpin wanita di Kerajaan Holing (kerajaan Kalinga di Jawa Tengah). Ratu perempuan itu bernama –yang dalam dialek Cina– disebut Ratu Hsi-Mo (Ratu Sima).13 Dan menurut kabar orang-orang Cina itu, kerajaan yang dipimpin oleh Ratu Sima sangatlah baik dan adil. Fakta selanjutnya yang tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan pada abad silam juga pernah mengukir kanvas sejarah kepemimpinan, dengan terpilihnya Ratu Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardhani sebagai raja putri dari kerajaan Majapahit pada tahun 1328.14 Ratu Tribuanatunggadewi menjadi raja Majapahit pada usia 22 tahun menggantikan ayahnya yang mangkat dan tidak meninggalkan putra mahkota. Pada era selanjutnya, ketika angkara kolonialisme mencengkeram bumi pertiwi Indonesia, wanita-wanita Indonesia tak pernah lelah dan gentar menggemakan pekik perlawanan terhadap penindasan imperialisme. Ciri dari gerakan perempuan pada era penjajahan adalah mereka terjun langsung memimpin rakyatnya untuk melawan kesewenang-wenangan para penjajah dan kaki tangannya. Pada masa ini kita mengenal keberanian Cut Nyak Dien (wafat
13
Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984), h. 94. 14 Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, h. 433.
1908) di ujung barat pulau Indonesiam yakni Aceh. Dia dengan gagah perkasa berperang melawan Belanda. Selain Cut Nyak Dien, kita juga mengenal Martha Chrsitina Tiahahu (wafat 1818), Cut Meutia (wafat 1910), Nyi Ageng Serang (wafat 1928),15 dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangsih yang sangat signifikan dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan. Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan wanita Indonesia. Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan disebarluaskan pendidikan cara Barat (ini terkait dengan politik etis16 yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda). Kesempatan mendapat pendidikan yang layak dari pemerintahan Belanda kemudian menjadi setitik asa bagi para putra-putri bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi tumpah darahnya, yaitu Indonesia. Melalui media pendidikan inilah muncul keinginan untuk bisa bergerak bebas dan menjadi tuan di rumah sendiri, berbagai macam organisasi didirikan untuk mewujudkan impian tersebut. Pada era ini dikenal nama-nama seperti R.A Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika (Jawa Barat), Walanda Maramis (Sulawesi), dan Rohana Kudus (Sumatera).17 Isu utama dari pergerakan wanita pada era ini adalah tentang kebangkitan nasionalisme Indonesia.
15
Sukanti Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 39. 16 Politik etis ini didorong oleh rasa hutang budi kaum penjajah kepada negeri yang dijajahnya, karena sudah sekian lama mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari tanah jajahan tersebut. Namun, di tengah-tengah gelimang harta hasil rampasan tersebut, ternyata di sudut yang lain, penduduk pribumi hidup dalam kemelaratan dan penuh siksaan. Dan untuk menebus kesalahan para penjajah, pemerintahan Hindia Belanda menggulirkan politik etis, yang diwujudkan dalam bentuk pemberian pendidikan yang layak bagi penduduk pribumi. Dalam Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 40. 17 Tita Marlita dan E. Kristi Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan Indonesia dalam
Pada masa Orde Baru, perempuan lebih ditempatkan sebagai penggembira dengan wilayah garapan yang sangat terbatas, lazim disebut wilayah domestik. Perempuan di bawah kekuasaan militeristik Soeharto hanya dijadikan warga negara kelas dua, di mana haknya di batasi oleh sekat-sekat yang membuai. Dan kini gerakan perempuan memasuki babak baru dari sekian banyak episode kehidupan global yang sedang bergulir. Desah kegelisahan gerakan perempuan masih dalam hembusan nafas yang sama, yakni melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan atas sosok perempuan dan seluruh sisi kehidupan yang melingkupinya. Gerakan perempuan telah tampil ke permukaan dengan wajah yang jauh lebih baik, di bandingkan pada masa-masa silam. Karena secara kuantitas dan kualitas, perempuan di beberapa tempat berhasil mengungguli kaum laki-laki. Dapat dikatakan, –walaupun masih jauh dari sempurna– bahwa di masa kini perempuan sukses melakukan gerakan struktural maupun kultural untuk turut mengubah wajah dunia.18 Agenda-agenda krusial perempuan telah memasuki ruang-ruang rapat kabinet pemerintahan,
perdebatan
di
parlemen,
pembahasan
lembaga-lembaga
internasional, hingga menjadi obrolan di tengah rakyat jelata. Mata setiap orang Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita (Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000), h. 84. 18 Statistik lain hasil studi Patricia Morgan bertitel "Runtuhnya Dunia Laki-laki" (1996) menyebutkan bahwa jumlah karyawan perempuan di Amerika melonjak dari 36 persen pada awal 70-an menjadi 57 persen pada saat ini, penghasilan orang perempuan yang menjadi penopang utama rumah tangga di Inggris mencapai angka 30 persen, sementara di Amerika terdapat 34 persen kepala keluarga berkulit putih dan 56 persen berkulit hitam tidak mampu memberikan penghidupan kepada keluarganya secara layak. Dan laporan "New York Review" (21 Oktober 1999) menyebutkan "masa antara 1960 sampai 1996 angka perempuan yang menyandang ijazah BA, di Amerika Serikat naik dari 38,5% menjadi 55,1%, yang berijazah Doktor dari 10,5% menjadi 40,9%, pengacara dari 2,5% ke 43,5%, dan insinyur dari 0,4% menjadi 16,1%. (Harian Al-Hayat, 31 Oktober 1999).
dibuat terbelalak dengan banyaknya perempuan yang merambah sektor publik. Namun demikian bukan berarti kepentingan perempuan telah terakomodir secara maksimal, karena ternyata wacana keterlibatan perempuan dalam ranah sosialpolitik seringkali menemui batu sandungan. Hambatan tersebut bisa berbentuk penolakan budaya, kesalahpahaman atas tafsir teks agama, dan kalkulasi politik belaka. Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum lakilaki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan yang lebih modern. Tuntutan moderen dimanifestasikan ke dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan stratejik dalam bidang politik. Khusus keterlibatan perempuan dalam politik pada era reformasi menemukan momentumnya ketika pada tanggal 18 Februari 2003, DPR mengesahkan UndangUndang Pemilu, di mana salah satu klausul penting yang dianggap progresif dan sekaligus kontroversial adalah dicantumkannya ‘kuota 30 persen perempuan’ dalam nominasi calon legislatif di berbagai tingkatan, seperti tercantum dalam pasal 65 (1). Secara lengkap pasal itu berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.19 Kuota 30 persen tersebut diakui merupakan langkah awal bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia. 20 Aturan ini kemudian menjadi salah satu jalan bagi hadirnya perbaikan nasib perempuan melalui mekanisme legislasi parlemen. Masuknya perempuan dalam lembaga legislatif diharapkan dapat menjadi kekuatan penekan sekaligus eksekutor dalam isu-isu publik khususnya yang menyangkut hajat hidup perempuan. Partisipasi perempuan di parlemen juga membersitkan secercah harapan, di mana perempuan dapat mengeliminasi kebijakan publik yang selama ini cenderung bercorak maskulin. Yang perlu ditekankan adalah kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: wanita) dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan. Dalam setiap negara demokrasi, peranan partai politik menempati posisi sentral sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi. Di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru, partai politik kembali memainkan peranan penting dalam
menentukan
arah
pengambilan
keputusan
dari
suatu
kebijakan
pemerintahan. Dari sekian banyak partai politik yang berdiri di Indonesia, di sana 19
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), h.
42-43. 20
Ulasan lengkap mengenai kuota 30 persen dapat dilihat dalam tulisan “Kuota 30 persen Perempuan Langkah Awal Bagi Partisipasi Perempuan di Indonesia, yang dimuat dalam Jurnal Politik Islam No. 19, 2003.
terdapat Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan K.H. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai politik dengan basis dukungan berasal dari kalangan tradisionalis khususnya warga NU. Namun, walaupun demikian dalam Mabda Siyasi partai, PKB menegaskan diri sebagai partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras dan lintas golongan yang dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Artinya, keterbukaan PKB tidak hanya disimbolkan dalam kehadiran kepengurusan atau keanggotaan yang pluralistik namun yang lebih subtansial lagi adalah keterbukaan dalam sikap dan perilaku politik serta rumusan cita-cita partai tersebut. Lebih jauh lagi PKB menempatkan diri sebagai partai terbuka sebagai implementasi dari keyakinan terhadap pluralisme, demokrasi dan humanisme. Pada kerangka itulah PKB menjadi partai yang banyak mengakomodir isuisu politik kontemporer yang tengah berkembang pada ranah politik global, termasuk salahsatunya peranan politik perempuan. PKB yang memiliki keterkaitan erat dengan para ulama-ulama pondok pesantren tradisional melakukan tafsir ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh yang pada masa lalu menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.21 Pada era selanjutnya kegiatan-kegiatan tersebut memicu munculnya wacanawacana tafsir fiqh baru terhadap perempuan yang dilakukan intelektual muda Islam. Kondisi ini memunculkan kesadaran untuk menggagas kembali beberapa 21
Gerakan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang dianggap mendiskriminasi kaum perempuan di pimpin langsung oleh istri Gus Dur (Ibu Shinta Nuriah Wahid).
tafsir kaidah Fiqh Al-Nisa yang dianggap kurang memberikan keadilan bagi perempuan. Dan terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan para penganut paham fiqh moderat tersebut, tradisi baru ini juga menjadi pemicu menguatnya wacana kesetaraan gender dalam masyarakat. Dan Partai Kebangkitan Bangsa berada pada baris terdepan dalam mempromosikan gagasan tersebut. Untuk merealisasikan ide pemberdayaan perempuan, PKB kemudian membentuk sayap perempuan yang dinamai Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB). Pada titik ini dapat kita simpulkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa adalah salah satu partai politik yang menyambut baik keterlibatan aktif kaum perempuan dalam dunia politik. Hal ini ditegaskan dalam garis besar program kerja yang ditetapkan dalam Muswil PKB Jawa Tengah, di sini sangat jelas menunjukkan adanya amanat yang diemban dalam menegakkan keadilan, kesetaraan dan keberpihakan pada perempuan. Dalam rumusan dijelaskan problem kesetaraan atau keadilan gender merupakan satu problem populis, yang mau tidak mau harus diakomodasi oleh PKB. Apalagi di tengah kenyataan, jumlah pemilih sebagian besar perempuan. Dalam hal ini, PKB perlu mendorong tumbuhnya percepatan kesetaraan gender dalam masyarakat, baik melalui organisasi, kajian ilmiah, pelatihan, maupun forum-forum dan kesempatan lainnya. Keberpihakan PKB terhadap kaum perempuan dibuktikan pada saat pemilu 2004, di mana calon anggota legislatif perempuan diberikan jatah 30% dan menempati nomor urut jadi. Hal lain dari komitmen PKB terhadap perempuan adalah ketika DPP PKB menunjuk Ida Fauziah menjadi ketua fraksi PKB di DPR, penunjukkan ini sekaligus juga menempatkan Ida Fauziyah menjadi satu-satunya
perempuan yang menduduki jabatan ketua fraksi di DPR.22 Dan yang berita teranyar dari PKB adalah penunjukkan Yenni Wahid menjadi pejabat teras partai dalam Munaslub yang diadakan di Parung pada awal bulan Mei 2008, walaupun kemudian Yenny harus rela tergusur dari jabatannya karena PKB kemudian dilanda konflik internal, yang melibatkan kubu Gus Dur (termasuk Yenny di dalamnya) dengan kubu Muhaimin Iskandar.23 Berlandaskan keterangan-keterangan yang diungkapkan di atas, di mana pergerakan politik kaum perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa menjadi satu hal yang fenomenal –di tengah minimnya dukungan terhadap perempuan– menjadikan penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian skripsi. Penyusunan skripsi ini akan menelusuri geliat politik perempuan di PKB dengan judul “Peranan Politik Perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)”.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Peliknya masalah yang membelit kaum perempuan pada saat ini menjadikan persoalan perempuan begitu kompleks, sehingga untuk mensiasati permasalahan itu penulis mencoba membuat suatu batasan 22
www.gp-ansor.org. Konflik internal PKB bermula ketika pada Maret 2008, rapat pleno memutuskan untuk meminta Muhaimin mengundurkan diri. Namun, Muhaimin tidak terima dengan hasil putusan rapat pleno itu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan dan dikabulkan. Gugatan yang diajukan oleh Muhaimin yang kemudian dikabulkan itu ditanggapi oleh Gus Dur dengan mengajukan kasasi ke MA, namun di tolak. MA juga menolak legalitas Musyawarah Luar Biasa (MLB) yang diselenggarakan oleh kubu Gus Dur di Parung dan MLB Ancol yang diselenggarakan kubu Muhaimin. Hasil putusan MA mengembalikan DPP PKB hasil Muktamar Semarang. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Lukman Edy sebagai Sekjennya. “Konflik PKB 2008,” artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari http://www. therifqibiru.com 23
masalah terhadap penulisan skripsi ini agar pembahasannya lebih fokus dan tidak terlalu melebar. Pembahasan masalah dalam skripsi ini akan dibatasi hanya pada persoalan peranan perempuan dalam wilayah politik, dan secara lebih mendalam membicarakan peranannya di Partai Kebangkitan Bangsa. 2. Perumusan Masalah Berangkat dari persoalan-persoalan di atas, maka penulisan skripsi ini akan dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah PKB mengakomodir kepentingan perempuan? b. Bagaimanakan sepakterjang politik perempuan PKB di parlemen? c. Bagaimanakah dampak dan pengaruhnya terhadap dinamika politik partai khususnya dan negara pada umumnya?
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Melihat sejauh mana keseriusan PKB dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan perempuan. b. Mengetahui strategi politik kalangan perempuan Partai Kebangkitan Bangsa yang terjun langsung di parlemen dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. c. Mempelajari seberapa besar pengaruhnya kaum perempuan dalam dinamika politik di tingkat internal PKB dan nasional.
2. Manfaat Penelitian Sedangkan secara keseluruhan manfaat dari penulisan skripsi24 ini adalah: a. Secara
akademis,
diharapkan
dapat
memperkaya
khazanah
kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai wacana perempuan dan politik. b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi partai politik dan politisi perempuan dalam mengarungi arena politik di tanah air.
D.
Studi Kepustakaan Penulis mengakui bahwa penelitian tentang peranan perempuan dalam
wilayah politik bukanlah satu hal yang baru dilakukan. Telah banyak penelitian yang dilakukan dalam hal ini, tentunya juga melalui ragam pendekatan atau teori. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri telah ada beberapa skripsi yang menyoroti perihal permasalahan peranan politik perempuan, namun dari beberapa skripsi yang sudah ada tersebut, penulis belum mendapati penelitian yang secara khusus membahas peranan politik perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa. Berangkat dari situlah kemudian penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam penelitian skripsi ini. Dengan harapan dapat mengisi kekosongan kepustakaan tersebut. Penulis juga meyakini, bahwa politik perempuan di PKB
24
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Magna Script, 2004), h. 73-75.
merupakan satu hal yang fenomenal dan merupakan persoalan yang masih relevan untuk dibicarakan. E.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya
dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.25 Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.26
F.
Sistematika Penulisan Dalam pembahasan skripsi ini, agar lebih sistematis dan mudah dipahami
maka penulis menyusunnya terdiri dari lima bab dan beberapa sub bab. Yang tersusun dari: 1. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini merupakan pembukaan dari skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, studi kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab 2: fokus pembahasan dalam bab ini adalah berupa kajian teori terhadap perempuan dan politik. Pendekatan teori yang dibicarakan di sini adalah dalam perspektif Islam dan barat, dan sejarah keterlibatan perempuan di Indonesia.
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206. 26 Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 213.
3. Bab 3: bab ini akan banyak berbicara mengenai sikap PKB sebagai partai politik dalam merespon isu politik perempuan. 4. Bab 4: bab ini adalah inti dari penelitian dalam skripsi ini, karena di sini akan dibicarakan mengenai dinamika politik perempuan di PKB, baik dalam upaya memenuhi kuota tiga puluh persen suara perempuan, aktifitas politik perempuan PKB di parlemen, ataupun ketika di amanahi menduduki jabatan publik. 5. Bab 5: penutup, pada bab 5 ini penulis akan membuat sebuah kesimpulan sederhana dan beberapa saran-saran.
BAB II PEREMPUAN DAN POLITIK
Salah satu agenda penting dari tiap kerangka kerja demokrasi dan good governance adalah prinsip penegakan hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak-hak partisipasi politik bagi laki-laki dan perempuan yang sama. Isu gender kini telah menjadi isu yang mendunia. Pengembangan setiap agenda politik yang tidak memasukkan unsur perspektif, pandangan dan pengalaman dari pihak laki-laki dan perempuan yang akan terkena dampak dari agenda tersebut kini tidak lagi dapat diterima. Namun, lepas dari segala upaya yang dirintis selama sekian abad oleh tokoh-tokoh perempuan terkemuka di dunia, pengakuan dan pelaksanaan hak-hak politik dan sosial-ekonomi antara laki-laki dan perempuan masih saja belum seimbang. Padahal, kaum perempuan adalah separuh populasi dunia, 50 persen dari total tenaga kerja, namun mereka juga adalah sekitar satu milyar manusia yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Pengambilan keputusan dan penyusunan prioritas tetap saja berada di tangan kaum laki-laki. Struktur yang dibangun masih timpang, perempuan masih cenderung dalam posisi marginal atau penggembira saja. Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politiknya ini erat kaitannya dengan proses transformasi sosial yang identik dengan transformasi demokrasi. Alasannya, tujuan gerakan perempuan adalah menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih adil, dan saling menghargai. Politik, terlepas dari segala kontrovesi di dalamnya, adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan
dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya. Keterlibatan perempuan politik dapat pula kita tinjau dari beberapa pendekatan teori. Dan di bawah ini akan dijabarkan mengenai relasi antara perempuan dan politik dalam beberapa perspektif.
A.
Perspektif Islam Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Alah SWT di tanah Arab pada
abad VII, termasuk agama-agama Semitik/ Abrahamis Religion (Yahudi, Kristen, dan Islam).27 Dalam tradisi bangsa-bangsa Semit, kaum lelaki selalu dianggap sebagai mahluk superior, bahkan Tuhan-pun dibayangkan dalam wujud lelaki, sehingga menjadikan budaya patriarkal sangatlah kuat. Padahal jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya tradisi tersebut sangatlah bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Jadi dapat dikatakan bahwa mengenai persoalan boleh-tidaknya perempuan beraktifitas dalam sektor publik, sepenuhnya merupakan perbedaan dalam tafsir terhadap teks-teks keagamaan. Menurut buku Argumentasi Kesetaraan Gender karangan Dr. Nasarrudin Umar menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki hanya sebatas dalam ajaran yang bersifat ibadah (ubudiyah), bukan dalam hal pergaulan sosial 27
Wiwi Siti Sajaroh, “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 205.
kemasyarakatan (muamalah).28 Lebih lanjut, menurut Islam, politik (al siyasah) dirumuskan sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.29 Ditegaskan pula bahwa bidang politik merupakan bagian dari pergaulan sosial kemasyarakatan, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, tidak terdapat pengistimewaan yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Dan posisi pria dan wanita juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara tekstual menempatkan perempuan sebagai second person.30 Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa wanita dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat Islam, sehingga menurutnya kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab yang
28
Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender … Husein Muhammad, “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14/06/2004 yang diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=605. 30 Tari Siwi Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum (Jakarta: National Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), h. 106. 29
sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan Islam.31 Wacana di atas diperkuat dengan tidak ditemukannya ayat al-Qur’an yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Bahkan sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik dengan syarat menaati hukum syari’at Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas melarangnya. Betapa Allah menganggap pentingnya persoalan wanita, Allah menurunkan langsung surat yang diberi nama Surah An-Nisaa’.32 Bahkan dalam teks al-Qur’an terungkap, bahwa Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, dan keduanya ditakdirkan untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani). Potensi-potensi inilah yang mendorong manusia untuk terjun dalam kancah kehidupan. Keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di antara mereka, sebagaimana firman-Nya : ☺ $
"#
☺
!
,-.☺ / 2- 3 ☺
01
%&' ()*+ .+
%&: + 6$6789 %& ☺ 45+ 31
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini (Jakarta: Lentera, 2004), h. 79-98. 32 Faiqoh, “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), h. 259.
@
%& ?+
.EGH *I! @
=/5
$ 3
N
6$⌧<=> AB! CD K⌧LM-.C
0STU Q ,3.R O>+P Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan shalat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. At- Taubah [9]:71). Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas politik, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk berpolitik dan mempunyai hak kepemimpinan publik. Terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.33 Walaupun dalam Islam tidak ada larangan –dalam teks Al-Qur’an dan riwayat hadits– bagi perempuan untuk menjadi seseorang kepala negara, tetapi semasa hidup Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin memang belum pernah ada seorang perempuan yang memimpin kaum muslimin. Namun ini bukan berarti perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, karena pada masa rasulullah 33
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta: Teraju, 2004), h. 182-183.
semua urusan agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik –dalam beberapa hal tertentu terjadi kompromi– terpusat di bawah kendali Nabi Muhammad SAW. Dan menjadi satu hal yang wajar jika seluruh potensi yang dimiliki kaum muslimin –termasuk perempuan– berada dalam arahan rasulullah SAW. Ketiadaan pemimpin politik dari kalangan muslimah pada era Nabi dan Khulafaur Rasyidin menimbulkan polemik tersendiri di kalangan internal ulama Islam, khususnya mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin negara. Hampir sebagian besar ulama klasik menjadikan dalil "Tidak akan berjaya satu kaum jika menjadikan wanita sebagai pemimpin",34 hal ini kemudian menjadikan wanita diharamkan untuk memimpin suatu negara. Kondisi ini coba ditengahi oleh Nasaruddin Umar dengan melakukan pendekatan sejarah (historic approuch). Di mana ia mencoba melihat wacana kepemimpinan perempuan melalui fakta-fakta sejarah yang telah terbentang sepanjang sejarah umat manusia dan kaum muslimin. Sebagaimana al-Qur’an telah mendokumentasikan secara baik –dalam Surat An Naml– mengenai kehebatan Ratu Balqis yang memimpin negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman. Kemudian terdapat pula fakta sejarah yang mengakui kepemimpinan Sajaratud Durr –putri keturunan Salahuddin Al Ayyubi– yang menjadi kepala negara pada Dinasti Mamalik. Terlepas dari boleh tidaknya perempuan menjadi seorang kepala negara, dalam sektor lainnya kiprah perempuan telah banyak menghiasi langit-langit
34
Hadis ini oleh kalangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dikategorikan sebagai hadis umum ini yang dikhususkan untuk Maharani bernama Buran bt Kisra yang memimpin Kerajaan Parsi pada era Nabi Muhammad.
sejarah peradaban kaum muslimin. Perempuan-perempuan muslimah sangat banyak memberikan andil dalam membangun peradaban Islam. Kondisi ini tercipta karena Nabi Muhammad saw dapat digolongkan sebagai aktivis gerakan perempuan. Beliau adalah pemimpin revolusioner yang mengangkat derajat perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan mainstream kultur pada masanya.35 Sejarah mencatat bahwa sebagian besar perempuan muslimah juga turut ikut memainkan peran-peran penting bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit).36 Perempuan Islam di masa Rasulullah juga tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekali pun. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20). Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, dan betapa Islam sebagai sebuah ajaran agama –dalam hal muamallah– tidak membedabedakan seseorang berlandaskan jenis kelamin.37
35
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama (Bandung: Mizan, 2005), h. 515. 36 Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan. 37 Muhammad Ismail Yusanto, “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel diakses www. hti. or. Id.
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting. Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial.
B.
Persfektif Barat Membicarakan peranan politik peranan perempuan di abad modern sekarang
ini, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari apa yang telah terjadi dalam dialektika kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat Barat. Karena memang gerakan kesadaran perempuan baik secara konsep dan implementasi mendapat momentum ketika dunia belahan barat dihantam gelombang pencerahan. Pada bab terdahulu telah disinggung, bahwa ketika kita ingin melihat keterlibatan perempuan dalam dunia politik maka setidaknya ada dua pendekatan yang dapat meneropong fenomena tersebut. Pertama adalah pendekatan feminisme dan pendekatan kedua adalah melalui teori partisipasi politik. Di bawah ini akan dijabarkan kedua teori tersebut secara singkat. 1. Teori Feminisme Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan yang melanda kawasan Eropa (The
Enlightenment),38 yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu & Marquis de Condorcet.39 Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg40 sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis Sosialis utopis Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill (1869) di dataran Inggris.41 Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama dalam sejarah gerakan perempuan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa perjuangan feminis gelombang pertama (first wave feminism)42 dimulai pada abad 18 sampai
38 Bersamaan pula dengan dimulainya ekspansi Kolonialisme Eropa ke berbagai belahan dunia; baca: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia dalam kurun waktu lebih dari tiga setengah abad; baca: abad 17/18/19). 39 Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism" title="Fat feminism". 40 Sebuah kota yang menjadi salah satu anggota chamber/kammers/kamar dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerajaan Belanda memberikan hak monopoli untuk melaksankan kolonialisasi di Asia (baca: East Indies/Indonesia). VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang mencetuskan ide stock. VOC terdiri dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam, Middelburg, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi ini dikenal sebagai Heeren XVII (the Lord Seventeen). 41 Dalam bukunya pada tahun 1869, The Subjection of Women (kitab suci kaum feminis), Mill yang orang Inggris menghubungkan gerakan wanita dengan pemikiran liberalisme. Mill juga berpendapat bahwa persamaan dalam hukum bagi pria dan wanita adalah syarat utama untuk mencapai masyarakat yang adil. 42 Gelombang pertama feminisme terjadi pada saat pemasungan terhadap kebebasan perempuan mengalami puncaknya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahuntahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan
ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960,43 dan bahkan dunia dihantam dengan gelombang susulan, yaitu timbulnya gelombang ketiga atau Post Feminism.44 Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.45 Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis.46 Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata gender dan seks secara bahasa memang mempunyai makna
ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 31-32. 43 Gelombang kedua berlangsung setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis). Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Secara lengkap dapat dilihat tulisan Judy Lattas, “Feminisme Prancis,” dalam Peter Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 59-162. 44 Ide Posmo -menurut anggapan mereka- ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. 45 Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5. 46 Bashin dan Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme, h. 6.
yang sama, yaitu jenis kelamin.47 Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak. Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.48 Dalam konteks kekinian ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975-1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan –seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing 47 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1990), Cetakan XVIII, h. 265 dan 517. 48 Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 11-20.
tahun 1995– maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.49 Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, Gadis Arivia, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan sebagainya. 50 Tuntutan dari kelompok feminisme tersebut nyaris sama dengan gema feminisme di berbagai penjuru dunia, yaitu terangkatnya harkat dan martabat perempuan setara dengan laki-laki. Dan gerakan kelompok ini mendapat respon dari pemerintah Indonesia dengan dicanangkannya Program Pengarusutamaan
49
Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995. 50 F. Syarifah, Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416 H/April 1996. hlm. 11-16.
Gender51 dalam setiap kebijakan pemerintah. Ini dapat diartikan bahwa dalam setiap departemen pemerintah dalam setiap menggulirkan program-programnya harus senantiasa berwawasan feminisme. 2. Partisipasi Politik Perempuan Dalam menganalisa suatu sistem politik, maka soal partisipasi politik menjadi salah satu indikator yang dapat mengukur kemajuan dari proses yang berlangsung di negara tententu. Menurut Samuel Huntington meluasnya partisipasi politik di sebuah negara merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Masyarakat modern akan selalu berfikir dan aktif bergerak bagaimana ia dan juga kelompoknya dapat memberikan pengaruh dan tekanan kepada pemerintah dalam setiap kebijakan yang akan diputuskannya. Proses memberikan pengaruh inilah yang kemudian disebut sebagai bentuk partisipasi politik. Samuel Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.52 Sedangkan
Herbert
Mc
Closky
yang
dikutip
Miriam
Budiardjo
mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
51
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 19 Desember 2000. 52
Samuel Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 5.
negara masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembuatan atau pembentukan kebijakan umum.53 Ramlan Surbakti yang dikutip dalam buku Sosiologi Politik mengatakan bahwa partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak memiliki kewenangan) dalam memengaruhi proses pembuatan keputusan politik pemerintah yang di mana keputusan itu menyangkut atau berdampak pada hidup mereka.54 Dari beberapa pendapat-pendapat di atas ada beberapa kata kunci dalam memahami partisipasi politik, di mana partisipasi politik merupakan kegiatankegiatan nyata (ikut pemilu, lobi, kegiatan organisasi, mencari koneksi, tindak kekerasan), bersifat sukarela, dilakukan oleh warga negara baik secara individu atau kelompok (masyarakat kelas, 55 komunal,56 lingkungan,57 partai,58 dan golongan59), memiliki tujuan-tujuan, berupaya memengaruhi atau mengubah kebijakan, dan mempunyai tingkatan-tingkatan partisipasi. Munculnya partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat disebabkan oleh beberapa hal: 53
Miriam Budiardjo, “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 2. 54 A. A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 92. 55 Perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama. 56 Perorangan dari ras, agama, bahasa, atau gender yang sama. 57 Perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain. 58 Perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidang-bidang eksekutif dan legislative pemerintahan. 59 Perorangan yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus, dan salah satu manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien.
1. Adanya modernisasi di semua bidang yang menyebabkan masyarakat banyak berpartisipasi dalam politik. 2. Perubahan-perubahan struktur kelas sehingga timbul pertanyaan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik yang mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik. 3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi secara matang. 4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar relit, maka yang dicari adalah rakyat. 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.60 Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemikiran yang melandasi konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan juga untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan implementasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui pemberian suara atau kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau minimal diperhatikan, dan dengan berpartisipasinya mereka juga dapat memengaruhi atau implikasi kepada para pembuat kebijakan. Dalam konteks gerakan perempuan yang tengah menggeliat menjadi isu global, tentunya teori partisipasi politik bisa memberikan gambaran awal tentang mengapa gerakan perempuan terus berupaya memasuki secara kaffah wilayahwilayah yang selama ini tidak pernah terjamah oleh perempuan. Dan tujuan akhir
60
Gatara dan Said, Sosiologi Politik, h. 89-90.
dari perempuan adalah memberikan tekanan kepada para pembuat keputusan dan sekaligus melakukan perubahan-perubahan pada sistem dunia agar lebih memahami dan menghargai posisi kaum perempuan. Keinginan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik berkaitan dengan sejumlah faktor, termasuk kian luasnya kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menjadi bagian dari angkatan kerja berupah, sehingga muncul kesenjangan kian lebar antara cita-cita kaum perempuan itu sendiri dan representasi peranan mereka yang dominan sebagai ibu dan istri belaka. Di samping itu, politisasi perempuan dalam gerakan-gerakan ideologis serta menguatnya perjuangan tentang hak-hak sipil, dan pada akhirnya mendorong mereka untuk membuat suatu gerakan pembebasan yang otonom. Jadi, gerakan partisipasi politik perempuan tidak hadir dalam keadaan terisolir namun merupakan bagian dari suatu gerakan sosial yang menentang penindasan atas kaum perempuan dan inilah yang kemudian mendorong penyebarannya secara luas dan beragam. Di Indonesia partisipasi perempuan dalam kegiatan politik serta kesempatan dan kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan pada tingkat nasional dapat diukur dari dua indikator. Pertama, keikutsertaan mereka sebagai anggota dalam lembaga DPR maupun MPR. Dan kedua, kehadiran perempuan dalam kabinet dan dalam Eselon I sampai II dalam jajaran pegawai negeri yang merupakan kedudukan pengambilan keputusan.61
61
Sali Susiana, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Anggota DPR,” dalam Sali Susiana (penyunting), Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21 (Jakarta: Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi Setjen DPR-RI, 2000), h. 50-51.
Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih menjadi tembok penghalang yang kokoh dalam partisipasi politik perempuan. Makanya, dibutuhkan sebuah usaha yang lebih strategis agar dapat mengubah kondisi-kondisi tersebut. Memasuki wilayah strategis berarti memasuki wilayah pengambilan kebijakan alternatif yang bersahabat dengan perempuan. Salah satu cara yang dapat dipilih adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaan dan legislasi atau dengan memperkuat kontrol dan akses perempuan di wilayah tersebut.62 Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek yang sangat menonjol dalam menentukan corak ideologi masyarakat dan pengaturan sumber daya pembangunan. Jika kita menginginkan keadilan pengaturan sumber daya bagi laki-laki dan perempuan secara adil, satu-satunya jalan adalah terlibat langsung dalam setiap tahapan pengaturan tersebut.
C.
Politik perempuan Di Indonesia Pada pembahasan ini kita mengungkap tentang gerakan wanita Indonesia
dalam perspektif historis. Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang menarik, karena ternyata wanita-wanita Indonesia ternyata bisa memperoleh kedudukan, wewenang dan kekuasaan tertinggi sebagai kepala negara. Di samping itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang sering dianggap sebagai domain lelaki. Sebagai contoh kecil saja, di Aceh pada lampau pernah memiliki 4
62
MB. Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,” dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan Keterwakilan Perempuan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004), h.84.
orang ratu (sultanah) yaitu Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah (1641), Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin Syah (1641), Sultanah Zakiyatuddin Inayah Syah (1678), dan Sultanah Kamalatuddin Syah (1688-1699) yang berkuasa selama 60 tahun dan mereka sukses melakukan berbagai terobosan baik sosial, ekonomi, maupun politik.63 Pada sisi yang lain, realitas sejarah pergerakan perempuan di Indonesia memiliki beberapa persamaan arah tujuannya dengan gerakan-gerakan perempuan di belahan dunia lain, yaitu bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga yang tersubordinasi. Mereka bangkit dari dominasi sosial yang membelenggu eksistensi dirinya. Namun, gerakan-gerakan perempuan yang muncul itupun mempunyai bentuk dan arah yang bervariasi, karena pola gerakan perempuan sangat dipengaruhi oleh situasi politik nasional yang tengah berkembang. 1. Pra kemerdekaan Pada umumnya gerakan perempuan sebagai gerakan sosial tidak muncul tibatiba melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan cemas dan ada keinginan-keinginan individu yang menghendaki perubahan. Di Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan di banyak daerah yang dipimpin langsung oleh para raja atau tokoh lain melawan masuknya dan meluasnya penjajahan Belanda, misalnya perlawanan para raja wanita
terjadi di Banten,
Yogyakarta,
Rembang,
Maluku,
Palembang,
Minangkabau, Banyumas, Kalimantan Barat, Bali, Lombok, dan Aceh.64
63 64
Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” h. 106. Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 39.
Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum perempuan di Indonesia, karena pada waktu itu segelintir wanita Indonesia telah mengenyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan perempuan Indonesia pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini –yang lahir pada 1879– adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feodal Jawa dan ingin mengangkat martabat perempuan melalui bidang pendidikan.65 Keinginan untuk maju itulah yang menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia. Semangat nasionalisme ini juga mendorong terbentuknya berbagai organisasiorganisasi yang menggemakan nasionalisme Indonesia.66 Nasionalisme yang diperjuangkan Kartini dalam beberapa hal menjiwai berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Oetomo pada tahun 191267 mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Selain itu, perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama. Pada tahun 1914 berdiri sebuah perkumpulan perempuan yang dipimpin oleh istri pendiri Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bernama “Sopo Tresno” (siapa suka), yang kemudian pada tahun 1917 berganti nama menjadi “Aisyiah”. Selang berapa lama, pada tahun 1918 Siti Fatimah mendirikan bagian Sarekat Islam di Garut, di Yogyakarta ada Wanoedya Oetomo (Wanita Utama) pada tahun 1920, kemudian organisasi-organisasi ini berfusi ke dalam Sarekat Puteri Islam atau sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir
65
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 83. Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 42. 67 Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 20. 66
semasa ini beberapa di antaranya bersifat lokal atau kedaerahan. Organisasi tersebut antara lain, “Wanita Soesilo” di Pemalang (1918), “Wanita Hadi” di Jepara (1919), “Poetri Boedi Sedjati” di Surabaya (1919), “Wanito Moeljo” di Jogjakarta (1920), “Serikat Kaoem Ibu Soematra” di Bukit Tinggi (1920), dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut bersinergi memprogandakan tujuan mereka dalam usahanya memperjuangkan masyarakat dari berbagai masalah yang menimpanya. Adapun sarana yang digunakan dalam mempropagandakan perjuangan adalah melalui penerbitan berkala. Di antara majalah yang cukup terkenal adalah “Wanita Swara” (Pacitan, 1913), “Poetri Mardika” (Jakarta, 1914), “Penoentoen Isteri” (Bandung, 1918), “Isteri Oetomo” (Sala, 1918), dan “Soeara Perempoean Bergerak” (Medan).68 Ketika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober tahun 1928 dikumandangkan sebagai pertanda persatuan Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut para perempuan Indonesia melakukan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.69 Acara tersebut dihadiri oleh tiga puluh perkumpulan wanita, kemudian tanggal ini dikukuhkan sebagai Hari Ibu. Hasil dari kongres tersebut sepakat melebur semua organisasi perempuan ke dalam satu wadah perjuangan dengan nama “Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia” yang kemudian berganti nama menjadi “Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia”
68
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22. Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), h. 1. 69
pada tahun 1929 di Jakarta.70 Perserikatan Perempuan ini sampai sekarang masih tetap eksis dengan nama Kowani sebagai hasil dari keputusan kongres pada tanggal 14-16 Juni 1946.71 2. Pasca kemerdekaan Dalam periode yang merupakan masa perang kemerdekaan melawan penjajahan kembali ini organisasi-organisasi wanita timbul sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan kemerdekaan negara. Dalam tahun-tahun ini ada kegiatan yang luar biasa, ditandai oleh semangat persatuan dan semangat perjuangan. Dibentuklah “Persatuan Wanita Indonesia” (Perwani) di seluruh tanah air yang menjalankan tugas di garis belakang dan membantu mereka yang bertempur. Di Jakarta, kota yang di bawah pendudukan Belanda dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, didirikan “Wanita Indonesia” (WANI) dengan tujuan yang serupa. “Perwani” dan “WANI” kemudian dilebur menjadi “Persatuan Wanita Republik Indonesia” (Perwari) di Yogyakarta, 17 Desember 1945. laskar-laskar wanita dibentuk untuk membantu garis depan yang kemudian bergabung dalam “Persatuan Perjuangan Tenaga Wanita Indonesia”. Perkumpulan “Pemuda Puteri” didirikan Desember 1945 juga dengan semangat perjuangannya. Di Bandung didirikan “Budi Isteri” suatu perkumpulan wanita seperti biasa akan tetapi timbul karena terdorong untuk menolong mereka yang menderita akibat peperangan.
70 71
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 86. Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
Di bidang politik juga nampak kegiatan dengan didirikannya “Masyumi” dengan bagian Muslimatnya, “Gerakan Pemuda Islam Indonesia” dengan bagian Putrinya, “Muslimat Nahdlatul Ulama” dan “Partai Wanita Rakyat”, satu-satunya partai politik wanita yang hingga kini pernah didirikan, atas prakasa Ibu Sri Mangunsarkoro. Partai yang sekuler ini berazaskan ke-Tuhanan, kerakyatan dan kebangsaan; program perjuangannya lebih militan dibandingkan dengan organisasi-organisasi wanita lain. Juga nampak memuncaknya kegiatan di kalangan agama Kristen dengan berdirinya Persatuan Wanita Keristen yang otonom tapi mempunyai hubungan kerja sama dengan Partai Kristen Indonesia. Memuncaknya kegiatan di bidang politik itu disebabkan antara lain karena dalam masyarakat ada anggapan bahwa negara demokrasi yang dicita-citakan pada waktu itu harus sebanyak mungkin mempunyai partai-partai politik yang mencerminkan segala aliran dalam masyarakat maka dengan demikian dapat tersusun Dewan Perwakilan Rakyat yang benar-benar terdiri dari wakil-wakil rakyat melalui pemilihan umum yang dapat mengemukakan segala aspirasi yang terkandung dalam masyarakat. “Dewan Perwakilan Rakyat” yang ada pada waktu itu ialah Komite Nasional Indonesia Pusat terbentuk dalam masa darurat yang anggota-anggotanya ditunjuk berdasarkan partai-partai politik dan golongangolongan lain yang ada. Ada kelompok lain dalam masyarakat yang pada masa ini menunjukkan kegiatan berorganisasi yaitu kelompok wanita yang bekerja. Tapi yang sekarang timbul mempunyai sifat yang berlainan yang sebagian besar dipengaruhi oleh suasana perjuangan politik. Beberapa bulan sebelum Jepang menyerah telah
dibentuk organisasi di kalangan pekerja wanita dengan se-izin yang berkuasa yang telah
melunakkan
kebijaksanaannya
peraturan-peraturannya yang
baru
untuk
berhubungan
“mempersiapkan
pula Indonesia
dengan bagi
kemerdekaannya di kemudian hari”. Organisasi tersebut ialah “Perkumpulan Pekerja Puteri Surakarta” (didirikan Juli 1945) dan “Persatuan Pegawai Puteri Indonesia” di Yogyakarta, yang diikuti oleh terbentuknya perkumpulanperkumpulan yang serupa di beberapa tempat lain. Masa perjuangan ini juga menimbulkan organisasi-organisasi wanita yang mempunyai sifat khusus yaitu antara para isteri dalam lingkungan Angkatan Bersenjata, yaitu “Persatuan Isteri tentara - Persit” (3 April 1946), “Jalasenastri” (1946) dan “Persatuan Isteri Polisi” (17 Agustus 1949). Mereka mengadakan persatuan karena perasaan senasib, kala suami berjuang di medan perang, dan mereka merasa terdorong untuk bersama-sama meringankan kesukaran keluargakeluarga yang ditinggalkan oleh ayah dan memberi pertolongan kepada mereka yang menjadi janda dan anak-anaknya. Dan bersama-sama, mereka dapat menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi isteri prajurit.72 Periode 1950-1959, yaitu setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui sampai politik Pemerintah berlandaskan gagasan Demokrasi Terpimpin. Setelah kedaulatan negara diakui oleh dunia internasional dan peperangan berakhir maka perhatian dapat dicurahkan kepada pembangunan di segala bidang. Dalam periode ini bidang politik meminta banyak sekali perhatian karena adanya bermacammacam persoalan yang bertalian dengan penyusunan kekuatan partai-partai,
72
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 135-137.
pembentukan kabinet, wewenang presiden, dan lain sebagainya. Perhatian masyarakat juga banyak diarahkan kepada pemilihan umum yang diadakan tahun 1955. kaum wanita merupakan juga suatu kelompok yang dapat menentukan hasil pemilihan umum itu. Maka tidak mengherankan bahwa dalam periode ini tidak kurang dari 6 organisasi wanita dibentuk yang merupakan bagian dari partai politik. Di antaranya ada yang didirikan oleh anggota-anggota wanita dari suatu partai politik, dan ada yang didirikan karena dipengaruhi oleh suatu partai politik. Di antaranya: 1) “Parkiwa” (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita) yang dibentuk di Bandung tahun 1950, yang kemudian namanya diganti menjadi “Pasundan Isteri”. 2) “Gerwis” (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) didirikan 4 Juli 1950, namanya kemudian diganti menjadi “Gerwani” (Gerakan Wanita Indonesia) dan berafiliasi dengan “Partai Komunis Indonesia”. 3) “Perwamu” (Persatuan Wanita Murba), didirikan 17 September 1950, yang berafiliasi dengan “Partai Murba”. 4) “Wanita Demokrat Indonesia”, didirikan 14 Januari 1951, berafiliasi dengan “Partai Nasional Indonesia”, namanya diganti menjadi “Gerakan Wanita Marhaenis (1964), kemudian menjadi ”Pergerakan Wanita Nasional Perwanas” (1973). 5) “Wanita Nasional”, didirikan tahun 1953 di Jakarta, berafiliasi dengan “Partai Indonesia Raya (PIR)”.
Organisasi-organisasi wanita yang mempunyai hubungan dengan partaipartai politik tersebut dimaksudkan untuk membantu partai dengan menyebar luaskan ideologinya dan mendukungnya pada memilihan umum, tapi mempunyai kedudukan yang cukup otonom dengan Anggaran Dasar yang tersendiri.73 3. Era reformasi 21 Mei 1998 menjadi hari yang paling bersejarah bagi segenap bangsa Indonesia, karena pada hari itu Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia. Mundurnya Soeharto kala itu memberikan secercah harapan bagi aktifisme perempuan Indonesia yang telah lama dipinggirkan. Budaya politik dominan yang berkembang pada masa Orde Baru, membuat eksistensi, posisi, dan peran perempuan tidak mendapat tempat semestinya. Perempuan pada periode tersebut harus senang menjadi penghuni tetap dari ruang domestik wanita belaka. Tumbangnya Soeharto sekaligus pertanda terbukanya sekat-sekat tiranik yang sengaja dibuat Orde baru. Reformasi menjadi tumpuan baru untuk sejenak berdiri menghirup segarnya udara kebebasan yang dijanjikan demokrasi. Momentum reformasi membuat kalangan aktifis gerakan perempuan Indonesia untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang selama masa Orba hanya menjadi bahan diskusi tanpa implementasi. Pada tahap awal, para aktifis perempuan kemudian berbondong-bondong mendirikan bermacam-macam organisasi yang bertujuan memperjuangkan hakhak perempuan dan membebaskan perempuan dari segala macam belenggu diskriminasi. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Yayasan Kalyanamitra,
73
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 138-139.
Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, KOWANI, Kaukus Perempuan Parlemen, Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (PD-Pol), Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan (GPSP), Himpunan Wanita Karya (HWK), Jaringan Perempuan dan Politik, dan lain-lain. 74 Tuntutan merekapun beragam, mulai dari wacana mengenai kesetaraan gender (gender parity) seperti hak-hak asasi perempuan dalam perkawinan dan masyarakat, marital rape (perkosaan dalam perkawinan), kekerasan dalam rumah tangga, cuti hamil, pelecehan seksual (sexual harassment) di tempat kerja, kesehatan reproduksi, affirmative action (tindakan khusus sementara), peranan perempuan dalam lingkungan, serta peran perempuan dalam mencegah dan mengupayakan resolusi konflik. Dan tidak sedikit perempuan yang terjun langsung ke dalam dunia politik, dengan mendirikan atau bergabung dengan partai-partai politik. Bahkan kemudian sosok perempuan itu menjadi figur sentral dalam partai politik tersebut. Klimaksnya adalah dengan terpilihnya Megawati sebagai Presiden Republik Indonesia yang berstatus perempuan, dan sekaligus pertama dalam sejarah kepempimpinan di negeri ini. Realitas politik semacam merupakan suatu capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Satu tahapan penting di periode reformasi dalam kerangka mengangkat derajat wanita melalui keterwakilan politik di lembaga legislaif adalah dengan adanya klausul politik yang menyatakan bahwa perempuan berhak dicalonkan
74
Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik, h. 8.
oleh partai politik dengan proporsi tiga puluh persen. Dalam Pasal 65 ayat (1) UU Pemilu, disebutkan: Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Terlepas dari pro dan kontra yang melingkupi penerapan UU ini, setidaknya perempuan dapat memperjuangkan nasib kaum wanita dengan berjuang sekuat tenaga melalui legislasi di parlemen.
BAB III SEKILAS TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
A.
PKB dalam Lintasan Sejarah Setelah hampir tiga puluh dua tahun, era tinggal landas pembangunan yang
ditetapkan Orde Baru terpaksa kandas di tengah jalan ketika badai krisis ekonomi dan moneter menerjang kawasan Asia pada Juli tahun 1997. Di Indonesia,
peristiwa tersebut membawa dampak pada goyangnya tonggak pembangunan ekonomi yang dipancangkan penguasa Orde Baru. Kemudian krisis mata uang regional tersebut berujung pada kisruh politik, ekonomi dan keamanan yang sangat hebat bagi Indonesia. Dan pada gilirannya, legitimasi Orde Baru dari sisi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik pun setahap demi setahap sirna. Muara dari segala petaka tersebut berujung pada tuntutan rakyat perihal pergantian pucuk pimpinan nasional. Soeharto beserta para punggawanya tak kuasa membendung hantaman gelombang demonstrasi dari kalangan kampus dan non-kampus yang mendesak dirinya agar sesegera mungkin meletakkan mandatnya sebagai Presiden. Tuntutan reformasi politik berkembang dalam eskalasi krisis politik yang menunjukan kekuatan reformasi dan tidak mungkin bisa dibendung lagi. Akhirnya, tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto pun bersedia menanggalkan jabatannya sebagai orang nomer satu di Republik Indonesia. Dengan demikian, Indonesia memasuki suatu era transisi dari sistem pemerintahan otoriter ke suatu sistem yang lebih demokratis. 75 Tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru meniupkan angin segar perubahan, yang kemudian mendobrak sekat-sekat tiranik yang selama ini mengurung bangsa Indonesia. Demokratisasi menjadi senandung syahdu yang diperdengarkan pada setiap bilik-bilik rakyat di negeri ini. Momentum kejatuhan Soeharto menjadi sebuah pemantik yang dahsyat bagi demokrasi, hal inilah yang kemudian mendorong segenap warga Nahdliyin berinisiatif mengadakan diskusi
75
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto (Jakarta: Reform Institute, 2007), h. 193.
dan halaqah politik yang intensif dalam kerangka menyongsong perubahan tersebut. Pertemuan-pertemuan tersebut membicarakan bagaimana seharusnya peran warga NU –yang telah lama termarginalisasi– dalam arus perubahan yang tengah bergerak akseleratif nyaris tak terkendali itu. Berbagai masukan, desakan dan ragam interpretasi pun bermunculan menyikapi situasi politik nasional yang sarat dengan ketidakpastian. Arah pembicaraan pun kemudian semakin mengkristal pada sebuah pilihan, yaitu tentang perlunya warga NU memiliki suatu wadah untuk menampung aspirasi politiknya. Dalam konteks ini sebagian besar warga NU
menginginkan
–pada
masa-masa
mendatang–
terjadinya
sebuah
pengambilalihan kekuasaan secara konstitusional dan demokratis melalui perpanjangan tangan politik yang berbentuk partai politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi politik mengingat sebagian besar warga negara Indonesia merupakan warga Nahdhatul 'Ulama. Namun demikian, dalam merespon wacana yang mengemuka di tengahtengah penganutnya, PBNU bertindak hati-hati dan tidak gegabah dalam menentukan sikap politiknya agar tidak berakibat tidak baik bagi pengikutnya. Kehati-hatian sikap para pengurus PBNU terjadi karena ada satu konsensus bersama yang tidak boleh dilanggar oleh NU secara institusional. Di mana pada Muktamar ke-27 di Situbondo, NU secara organisasional menetapkan tidak terkait dengan partai politk manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis dan
diputuskan kembali kepada khittah 1926.76 Menyaksikan sikap para pimpinan teras PBNU tersebut, kemudian memicu kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan internal kaum santri itu, khususnya pada tataran akar rumput. Menyikapi kondisi sosial dan realitas politik yang sedang berlangsung saat itu, PBNU tidak dapat menutup mata dan mengabaikan desakan yang begitu deras yang mengarah kepada PBNU. Akhirnya, PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH. Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU.77 Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU yang menginginkan partai politik, maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998 memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma'ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz, M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin, 76 Nadhif Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB Menjelang Pemilu 2004, (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB, 2003), h. 3. 77 Diakses melalui www.dpp-pkb.org pada tanggal 26 November 2008.
Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk partai politik baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU. Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26-28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini menghasilkan lima rancangan: Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, Mabda' Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan Naskah Deklarasi. 78 Hal penting yang dinyatakan dalam pokok-pokok pikiran NU mengenai reformasi politik, antara lain adalah tentang perlunya kehidupan yang lebih demokratis dan dikembalikannya kedaulatan kepada rakyat. Mabda' Siyasi antara lain memuat visi, misi dan strategi partai politik. Hubungan partai politik dengan NU memuat hubungan historis, kultural dan aspiratif antara NU dengan parpol bentukannya. Sedangkan sturktur dan lambang parpol dimuat dalam rancangan AD/ART.79 Setelah melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan, akhirnya saat-saat yang bersejarah sekaligus dinanti-nantikan oleh segenap warga NU pun tiba, karena tepat pada tanggal 23 Juli 1998 pukul 15:00 WIB dideklarasikanlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 78 Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB, 2003), h. 4. 79 A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h. 186-187.
Ciganjur, Jakarta Selatan.80 Pucuk pimpinan PKB untuk kali pertama disematkan kepada Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum PKB.81 Dalam Anggaran Dasar PKB dicantumkan bahwa tujuan PKB adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin, materi-spritual, dan mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, bersih dan terbuka, dan berakhlakul karimah.82 Terpilihnya nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menurut Gus Dur adalah karena “Kebangkitan Bangsa” merupakan pilihan yang paling tepat. Karena kata “Kebangkitan” adalah terjemahan dari kata nahdhah dalam Nahdlatul Ulama, karena memang dari dahulu ulama NU menginginkan “kebangkitan bangsa”. Selain itu, kata “bangsa” sudah inheren dengan kehidupan kebangsaan Indonesia dan masuk dalam lubuk hati warga NU. Dikarenakan negara Indonesia yang sangat heterogenitas, terutama dari dimensi agama. Oleh karena itu, jika partai yang akan didirikan memakai kata “umat”, maka konotasinya hanya umat Islam, sementara umat yang di luar Islam tidak masuk. Akan tetapi jika memakai kata “bangsa”, maka di sana tidak hanya orang Islam tetapi orang di luar Islam juga termasuk di dalamnya. Kemudian dalam perjalanannya, terdapat beberapa orang yang beragama non muslim dalam kepengurusan PKB.
80
Para deklarator tersebut adalah K.H. M. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchith Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid. 81 Mengenai proses terpilihnya Matori Abdul Djalil dapat dilihat dalam Y. B. Sudarmanto, dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 318. 82 Bahrul 'Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” (Yogyakarta: Ar-Ruz Press, 2002), h. 135.
Dengan demikian telah lahir sebuah partai politik yang mewadahi komunitas nahdhiyin sekaligus menandakan era baru bagi bangkitnya peran politik NU yang sejak lama terpinggirkan oleh tamaknya kekuasaan. PKB diharapkan mampu membawa aspirasi politik warga NU khususnya dan umumnya bangsa Indonesia dalam mengarungi terjalnya jalan kehidupan. Sejalan dengan komitmen untuk membangun tatanan politik demokrasi maka demokrasi harus dimaknai sebagai code of conduct dalam mengelola kehidupan politik. Salah satu karakter demokrasi adalah terbukanya ruang untuk berbeda pemikiran, pendapat atau sikap. Situasi tersebut memang dapat memunculkan konflik, namun hal itu bukan sesuatu yang tabu dalam demokrasi. Dalam kerangka itu, konflik menjadi bagian dari proses untuk memperoleh hasil terbaik dengan memaksimalkan beragam potensi yang dimiliki para anggota organisasi. Namun, konflik akan menjadi hal yang kontraproduktif jika lebih banyak didorong oleh kepentingan pragmatis, jangka pendek dan kepentingan sesaat lainnya. Dalam sisi ini, konflik justru membuat organisasi menjadi kerdil dan tidak berkembang. Energi para aktivisnya akan lebih banyak tersita untuk menyelesaikan konflik yang tidak pernah kunjung usai. Konflik internal partai politik bukan sesuatu yang baru dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Kompetisi yang ketat dalam memperebutkan sumbersumber kekuasaan menjadi bagian dari konflik. Setidaknya, ada tiga elemen kekuasaan yaitu: authority, influence dan force yang menjadi media atau ruang konflik. Kepentingan yang berbeda dan saling bertentangan di antara individu atau aktor politik dapat menjadi pemicu konflik. Hampir semua konflik internal partai
berawal dari pertarungan dalam perebutan kepemimpinan dalam partai. Imbas konflik itu selalu membuahkan kepengurusan tandingan. Konflik internal PKB menjadi bagian dari hal tersebut, di mana dalam perjalanannya Partai Kebangkitan Bangsa tidak pernah lepas dari persoalan konflik internal PKB. Partai Kebangkitan Bangsa dapat dikatakan dalam proses tranformasi kepemimpinan internal partai nyaris tidak pernah berlangsung secara normal dan damai. Diawali dari perpecahan yang terjadi antara Matori Abdul Djalil –selaku Ketua Umum PKB– dengan Abdurrahman Wahid yang menganggap Matori telah berkhianat kepada dirinya.83 yang diberhentikan oleh Gus Dur dalam Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta pada 2002, MLB ini kemudian memilih Alwi Shihab sebagai pimpinan teranyar PKB versi MLB Yogyakarta. Ternyata konflik dengan internal PKB pada era Matori Abdul Djalil bukanlah konflik yang pertama dan terakhir, karena setelah persitiwa tersebut serentetan perpecahan terus melanda bahtera Partai Kebangkitan Bangsa. Pasca konflik dengan Matori Gus Dur kembali “pecah kongsi” dengan Alwi Shihab, yang kemudian mendirikan PKNU bersama sejumlah Kyai Langitan. PKB seperti telah ditakdirkan untuk berkembang dalam situasi konflik internal, karena awan kelam konflik kembali menaungi PKB dalam Muktamar II di Semarang 2005. Kali ini yang menjadi sasaran tembak adalah kubu Choirul Anam yang menyusun struktur kepengurusan sendiri, di mana yang Ketua Dewan Syuro adalah K.H. 83
Matori di sinyalir mendukung pemberhentian Gus Dur sebagai presiden RI ketika terjadi gejolak politik kekuasaan di parlemen pada tahun 2001. Gonjang-ganjing politik nasional waktu itu menaikkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur, dan Matori di tuduh telah membelot ke kubu Megawati. Alasan inilah yang memicu konflik internal PKB untuk pertama kali.
Abdurahman Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz dijabat Drs. Choirul Anam. Sedangkan sebagai lawannya adalah Drs.Muhaimin Iskandar, M.Si sebagai Ketua Dewan Tanfidz dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syuro. Namun seperti telah diduga bahwa konflik ini kembali dimenangkan kubu Gus Dur.84 Di saat-saat semua partai politik tertuju pada perhelatan akbar pemilu yang akan digelar paruh pertama 2009, PKB kembali harus menelan pil pahit politik yang disebabkan oleh dualisme kepemimpinan. Krisis yang menerpa PKB kali ini melibatkan Gus Dur dengan Muhaimain Iskandar. Muhaimin dipecat oleh Rapat Pleno PKB yang dihadiri Dewan Tanfidz dan Dewan Syuro tertanggal 26 Maret 2008. Pemecatan ini berakibat fatal bagi keberlansungan soliditas PKB, karena ada kepengurusan ganda yang masih mengklaim bahwa partainya lah yang paling sah. Dan di luar dugaan, karena PKB kubu Gus Dur dikalahkan melalui proses hukum. Akhirnya Gus Dur pun harus gigit jari, karena PKB-nya tidak diperbolehkan mengikuti pemilu, sedangkan PKB kubu Muhaimin dimenangkan untuk mengikuti pesta demokrasi 2009.
B.
Karakteristik dan Arah Perjuangan PKB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi dan perjuangan
politik NU adalah merupakan keniscayaan bahwa karakter Partai didasari oleh
84 Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/2006 Tanggal 7 September 2006 yang mengukuhkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 1445/PDT.G/2005/PN.JAKSEL, tanggal 5 Juni 2006 merupakan keputusan final yang secara tegas menyatakan bahwa PKB yang sah di mata hukum, aturan perundangan dan kepartaian adalah PKB dibawah kepengurusan KH Abdurrahman Wahid dan Drs. Muhaimin Iskandar, MSi. Putusan hukum itu kemudian ditindaklanjuti oleh Surat Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) No. M.14-UM.06.08 Tahun 2006 tanggal 11 September 2006 yang berisi pencabutan SK Menkumham No M-11.UM.06.08 Tahun 2005 tentang pendaftaran DPP PKB dibawah kepemimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz Drs. Choirul Anam.
karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan. Sebagai Jam‘iyyah Diniyyah yang berkewajiban amar ma’rūf nahī munkar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi maupun kelompok, NU tidak dapat mengelak tanggung jawab dalam berperan serta membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa
yang dicitakan itu
adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-Amānah wa al-Wafā’u bi al-‘Ahdi), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-Ta‘awwūn) dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al-Istiqāmah), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-Syurā) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-Musawwa’) adalah prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.85 Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang didasarkan pada prinsip dasar perjuangan. Dasar perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh dan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan,
85
Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa diakses dari www.dpp-pkb.org
kemanusiaan
yang
adil
dan
beradab,
keadilan,
kejujuran,
persamaan,
persaudaraan, nondiskriminasi, dan kesetaraan gender. Partai menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Partai mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang bersatu, adil, demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga negara memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas.
BAB IV POLITIK PEREMPUAN DAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
Di awal abad ke-21, ada gejala bahwa lebih dari 95 persen negara di dunia telah menjamin dua hak demokratis perempuan yang paling mendasar, yaitu hak memilih dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.86 Sesuai dengan teori demokrasi yang universal, hak untuk menjadi kandidat, dan melakukan pemilihan, merupakan hak yang perhlu diadakan dan dilandaskan pada hak sebagai warga negara tanpa membedakan status gender. “Perempuan di seluruh dunia berkeinginan untuk mempengaruhi keputusankeputusan yang menyangkut keluarga, perekonomian, masyarakat, negara, serta struktur hubungan internasional. Urusan-urusan “besar” yang pada gilirannya turut mengintervensi wilayah mereka yang paling privat dan personal. Mereka berangkat dari sebuah kesadaran bahwa apa yang terjadi dalam dirinya, pikiran serta tubuhnya, tidak pernah terlepas dari urusan politik. Jelas, perjuangan ini adalah usaha kemanusiaan agar semua masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari segala ras, etnis, bangsa, dan agama dapat menikmati hak-hak dasarnya.”87 Pendapat di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (wanita) dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi
86
Ada data yang menungkap bahwa “Negeri Kiwi” Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara kepada perempuan, tepatnya pada tahun 1893; selain itu ada pula negeri Finlandia, menjadi negara pertama yang mengadopsi kedua hak demokratis mendasar tersebut, yaitu sejak tahun 1906. lihat Syafuan Rozi, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi Patriarki dalam Politik di Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003, h. 361. 87 Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,” h.83.
dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan. Salah satu hak yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 199988 adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak ini terdiri atas unsur-unsur:89 1.
Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
2.
Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya
3.
Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan di dalam pemerintahan.
Berbagai hak ini berlaku untuk warga negara Indonesia secara umum tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, termasuk pula jenis kelamin. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Era demokratisasi di segala sektor yang tengah menggeliat di Indonesia pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru melambungkan asa para aktifis perempuan untuk bisa berkiprah pada ranah publik secara lebih luas, karena pada kenyataannya selama ini mereka terus terkungkung dalam bilik-bilik sempit domestik. Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peranserta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persaman derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi
88
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999. Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004). 89
pengambilan keputusan. Dalam sistem demokrasi, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindarkan. Dengan latar belakang itulah kemudian kita saksikan pada saat ini, sudah banyak perempuan yang melakukan ekspansi karir, termasuk juga dalam wilayahwilayah politik. Terlebih lagi ketika transisi demokrasi yang berkembang di Indonesia diwarnai dengan era multi partai. Pada konteks ini, partai politik merupakan salah satu elemen penting dalam setiap proses berbangsa dan bernegara. Partai politik menjadi alat yang sah bagi rakyat untuk menempatkan wakil-wakilnya di lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana segala regulasi yang akan diberlakukan dalam masyarakat pasti melalui pembahasan dan persetujuan DPR. Peluang politik inilah yang coba dimanfaatkan oleh sebagian perempuan untuk terjun langsung di beberapa kepengurusan partai politik yang ada di Indonesia. Salah satu partai yang cukup memberikan perhatian besar terhadap persoalan-persoalan perempuan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Abdurrahman Wahid. Sebagai partai politik, PKB merupakan representasi dari warga Nahdhatul ‘Ulama (NU) yang berhaluan tradisionalis. Dalam banyak kesempatan PKB senantiasa menjadi pembela utama terhadap isu-isu mengenai hak-hak perempuan. PKB yang dihuni oleh warga jebolan pondok pesantren melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan (tafsir ayat al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning) yang selama ini menjadi kekuatan untuk mensubordinasikan posisi perempuan. Penafsiran ulang tersebut dimaksudkan agar teks-teks agama menjadi lebih sesuai dengan kondisi realitas
yang tengah berkembang, dan yang terpenting tidak lagi memojokkan posisi kaum perempuan. Gerakan penafsiran ini di komandoi secara langsung oleh isteri Gus Dur, yaitu Sinta Nuriah Wahid.90 Di bawah ini akan kita lihat bagaimana respon PKB terhadap beberapa persoalan perempuan dan apa yang telah dilakukan PKB dalam mengoptimalkan peran perempuan dalam wilayah publik.
A.
Hak Politik Perempuan: Akomodasi Dalam PKB Satu yang tidak pernah berubah dalam tubuh PKB –walaupun harus selalu
terlibat konflik internal– adalah mereka tetap menaruh perhatian serius terhadap persoalan yang dihadapi perempuan. Sikap yang diambil partai politik bentukan NU ini tidaklah terlalu mengherankan, karena NU sebagai organisasi induk kaum nahdhiyin yang merupakan basis utama dari konstituen PKB, juga bersikap inklusif terhadap isu-isu demokratisasi termasuk di dalamnya persoalan perempuan. Telah terjadi sebuah modernisasi pemikiran dalam tubuh NU yang telah lama dikenal sebagai pengagung tradisionalisme, mereka berhasil melakukan transformasi pemikiran menjadi lebih terbuka terhadap modernisasi. Pemihakan organisasi NU terhadap isu-isu perempuan dan politik telah nampak pada saat Munas Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar pada bulan November 1997 di Pesantren Qomarul Huda, Lombok Tengah, di mana dalam
90
Berita dalam koran Pelita tanggal 20 feb 1999 “Isteri Gusdur Siapkan 'Kitab Kuning' Pro Perempuan” dalam kliping yang dikumpulkan Pusat Data Kliping LIPI periode Januari-Desember 1999 dengan topik Masalah Perempuan.
Munas tersebut NU menelurkan fatwa perihal dibolehkannya perempuan menjadi pemimpin.91 Fatwa tersebut muncul, menurut penggambaran Andrée Feillard pengamat NU dari Perancis, bisa direfleksikan sebagai hasil dari negosiasi alot antara aktivis perempuan muda NU dengan dukungan kiai muda progresif yang cukup fasih dengan isu jender vis a vis dengan para kiai sepuh yang menolak keberadaan perempuan dalam dunia politik. Bahkan pernyataan dukungan terhadap kiprah politik perempuan, kembali dipertegas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam kesimpulan Seminar Nasional Gender NU di Baturaden (16-17 Juli 1999) yang dilaksanakan untuk menyambut Muktamarnya yang ke-30. Di mana dalam kesimpulannya, NU menuntut adanya reinterpretasi atas nash-nash agama yang berkaitan dengan perempuan, sehubungan dengan telah terjadinya perubahan masa dan cara pandang masyarakat yang menyetarakan gender. Bila kita melihat perjalanan politik perempuan NU, sebetulnya tanpa fatwa tersebut pun sejak tahun 1955 perempuan NU sudah terlibat aktif dalam politik nasional. Cora Vreede- De Stuer mencatat bahwa dalam parlemen pertama, dari 272 anggota, 18 orang (6 persen) adalah perempuan; 8 di antaranya adalah wakil partai-partai Islam, yaitu 3 dari Masyumi (Djunah Parjaman, Rahmah ElJunusiyah, Soenarjo Mangunpuspito), sementara 5 dari NU (Hadiyah Hadi Ngabdulhadi, Mahmudah Mawardi, Mariam Kanta Supena, Marijamah Djonaidie, dan Asmah Syahruni).
91
Yuniyanti Chuzaifah, “Gerakan Perempuan Progresif NU dan Perebutan Wacana,” KOMPAS, 22 Juni 2004.
Fenomena di atas kemudian –paling tidak dapat– memberikan jawaban mengapa PKB sejak awal pendiriannya, menjadi partai politik yang paling progresif dalam hal permasalahan kesetaraan gender. Anggapan ini terbukti ketika jauh sebelum DPR “ribut-ribut” membahas kuota 30 persen keterwakilan perempuan, PKB telah lebih dahulu membahas hal tersebut pada Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta tahun 2001. Di mana secara eksplisit PKB telah menetapkan bahwa di setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib menyertakan keterwakilan perempuan sebanyak 20 persen.92 Lebih lanjut Khofifah Indar Parawansa membenarkan bahwa dalam MLB tersebut memang membicarakan kuota perempuan seperti yang diusulkan oleh Koalisi Perempuan. ”Kebetulan kita memasukkan di empat rantap (rancangan ketetapan),” dan mengusulkan kuota perempuan dalam jajaran legislatif di pemilu nanti itu sekitar 20% perempuan.93 Lalu di platform partai juga memasukkan bahwa untuk mensinergikan kekuatan-kekuatan pro demokrasi adalah bagaimana potensi yang selama ini belum mendapat tempat secara proporsional adalah kelompok perempuan. Juga di Anggaran Rumah Tangga ditetapkan bahwa di setiap jajaran kepemimpinan partai di level manapun, baik di dewan Syuro, Dewan Tanfidz diharapkan ada eksponen perempuan. Pasca Muktamar Semarang 2005 diputuskan bahwa mulai dari tingkat pusat, tim musyawarah pada tingkat provinsi, tingkat cabang selalu menempatkan satu orang perempuan dalam lima
92 Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya. 93 Namun dalam perkembangan yang terjadi di Indonesia, kemudian usulan kuota ditetapkan menjadi 30 persen.
anggota tim formatur yang bertugas menyeleksi ketua dewan syuro, Ketua Tanfidz.94 Dalam aturan dasar kelembagaan organisasi politik seperti visi, misi, tujuan dan platform, masih belum banyak organisasi politik yang secara implisit mencantumkan istilah “gender“. Dari ke lima partai politik PDIP, Golkar, Demokrat, PPP hanya PKB dan PDIP yang menyebutkan secara jelas dalam visi dan platform tentang gender. Pada visi, misi, tujuan dan platform Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar tidak didapat istilah gender, akan tetapi dalam wawasan kebangsaan disebutkan sebagai cara pandang yang mengatasi golongan dan kelompok. Pada jati diri partai Demokrat dijelaskan “sebagai partai terbuka untuk semua warga tanpa membedakan jenis kelamin”.95 Pada partai-partai yang tidak mencantumkan istilah gender atau perempuan secara khusus dalam platform atau misinya disebabkan perempuan tidak dilibatkan dalam penyusunan aturan-aturan partai, sehingga produk-produk partai bias gender. PKB dalam setiap Muktamar yang diadakan selalu mencantumkan utusan perempuan baik dari unsur PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa) atau unsur harian PKB itu sendiri, dan dalam pembahasannya perempuan diberi kesempatan untuk mengikuti pembahasan dalam komisi-komisi yang telah disediakan oleh panitia.96 Pandangan PKB terhadap persoalan-persoalan yang membelit perempuan saat ini dikarenakan faktor budaya yang kemudian membuat perempuan
94 95 96
Diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008. Diakses dari www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008. Diakses www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008.
terkungkung dalam peran domestik dan sulit untuk berpartisipasi dalam publik/masyarakat.97 Adapun langkah strategi dan agenda pemberdayaan perempuan PKB adalah dengan membentuk PPKB, meratifikasi hukum internasional yang menetapkan hak perempuan dan anak, agenda penegakan hak perempuan, mengeliminir diskrimasi, dan mendorong kesetaraan gender.98 PKB juga memandang tentang perlunya meningkatkan keterlibatan perempuan dan diatur dalam regulasi legal (AD/ART) dari sebuah partai politik karena sumber utama dari perekrutan anggota parlemen adalah melalui partai politik. Oleh karena itu PKB mencoba membenahi persoalan tersebut dimulai dari hulu, sehingga nantinya peraturan-peraturan (UU Pemilu) yang dibuat pada tingkat nasional tidak menjadi sia-sia. Jangan sampai UU Pemilu yang diberlakukan tidak bisa dipenuhi hanya karena alasan partai politik tidak siap. Jadi ketika DPR mengesahkan UU Pemilu tahun 2002 mengenai Kuota 30 persen bagi perempuan, PKB menjadi partai yang paling siap menyambut isu tersebut karena mereka telah terlebih dahulu memberlakukan peraturan itu di internal PKB.99 Dalam agenda politik PKB dalam pengembangan demokratisasi khususnya yang terkait dengan kesetaraan gender, PKB mewujudkanya dalam bentuk program sebagai berikut:100 a)
Memperjuangkan penghapusan undang-undang atau peraturan, atau pasal-pasal yang terdapat dalam produk perundang-undangan yang
97 Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan dalam parpol studi wacana dan observasi kegiatan organisasi perempuan pada 5 partai politik di surabaya, (surabaya: Lembaga penelitian airlangga, 2002), h. 38. 98 Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 63. 99 Wawancara dengan Badriyah Fayumi. 100 Bambang Setiawan, ed., Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 20042009 (Jakarta: Kompas, 2004), h. 268-269.
dinilai bisa gender. b) Mensosialisasikan dan memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya. c)
Melakukan penyadaran gender. Korban diberi pengertian akan adanya budaya yang memandang laki-laki sebagai mahluk yang lebih superior dibanding perempuan, sehingga dampaknya perempuan menjadi pihak yang lebih sering menderita kerugian.
d) Pemberian informasi. Korban kekerasan tidak tahu apa yang harus dilakukan
ketika
menjadi
korban
kekerasan.
PKB
akan
menginformasikan hak-hak hukum yang dimiliki korban kekerasan sehingga korban menjadi tahu peluang dan alternatif solusi yang dapat diambil, tidak sekedar diam dan pasrah menerima nasib. e)
Memberikan
dukungan
dan
mendampingi
perempuan
korban
kekerasan. PKB akan memberi pertimbangan dalam mengambil keputusan dan juga mendampingi perempuan korban kekerasan. Keseriusan PKB dalam meningkatkan representasi politik perempuan dapat dilihat dalam nominasi caleg perempuan PKB pada pemilu 2004, di mana jumlah total caleg untuk DPR: 29,7 %. Dengan kompisisi perempuan sebanyak 140 (29,7%) dan laki-laki 331 (72 %) dari total 531. Sedangkan dari jumlah caleg perempuan untuk DPR yang berada pada urutan potensi jadi (urut 1 dan 2) adalah 16,4% (23 orang dari 140 yang di calonkan).101 Dapat pula ditambahkan bahwa
101
Data diperoleh dari Kompas, 12 Januari 2004, hal 36:1-9.
caleg perempuan PKB masuk dalam nominasi perempuan berkualitas yang dirilis oleh CETRO.102 Keberadaan organisasi perempuan dalam PKB semakin menambah nilai plus bagi upaya PKB mendorong pemberdayaan perempuan. PPKB (pergerakan perempuan kebangkitan bangsa) berdiri 1999 yang posisi strukturalnya berada di bawah Departemen Wanita, organisasi ini bersifat semi otonom. Latar belakang pendirian PPKB adalah pertama, aktivis perempuan di PKB menyadari bahwa kepentingan perempuan dipartai kurang diakomodasi dan juga masih sedikitnya perempuan yang menjadi pengurus dijabatan sttuktural partai. Kedua, SDM perempuan masih lemah sehingga perlu media berorganisasi. Visi dan misi organisasi PPKB adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat. Tujuan PPKB pertama, untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, adil, dan makmur serta mewujudkan tatanan sosial dan politik nasional yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Kedua, meningkatkan kesadaran politik dan hukum di kalangan perempuan untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Ketiga, mencetak kader-kader politik perempuan. Urgensi PPKB adalah sangat penting selama kepentingan perempuan belum terakomodasi oleh partai, maka perlu ada organisasi perempuan sebagai sarana meningkatkan artikulasi kepentingan perempuan dalam partai. Selama ini perempuan kurang terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga harus berjuang untuk duduk dalam kepengurusan dan perwakilan masyarakat untuk 102
Pada pemilu 2004 Cetro merilis 25 daftar nama caleg berkualitas yang salah satunya adalah ibu Badriyah Fayumi. Di peroleh dari Kompas, 15 Maret 2004, hal 41:1-7.
terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini PPKB sebagai sarana untuk mendukung dan mempersiapkan aktivis perempuan untuk mendapatkan peluang dalam kepengurusan partai dan perwakilan masyarakat. Anggotanya sebagian besar berasal dari Fatayat NU dan Muslimat NU.103 Strategi pemberdayaan PPKB adalah dengan merebut posisi pengambil keputusan, membangun lembaga-lembaga pendidikan, aktif dalam organisasi politik,
meningkatkan keterampilan dan
keahlian beroganisasi,
mencari
kesempatan dalam kepengurusan. Kegiatan PPKB diskusi gendermainstraiming dan advokasi perempuan, memperluas jaringan PPKB hingga ke daerah, dan juga koperasi simpan pinjam.104 Penjelasan di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa konsistensi PKB dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks Indonesia lahir dari sebuah pemahaman dan keresahan yang menjadi gejala umum dari bangsa Indonesia. Dan keseriusan mereka bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sebuah fakta yang harus diapresiasi secara memadai oleh kita semua.
B.
PKB dan Kuota 30% Lambannya peningkatan jumlah perempuan yang aktif dalam politik,
menjadi sebab utama bagi perempuan untuk menemukan cara-cara yang lebih efisien untuk meningkatkan representasi mereka. Demokrasi yang diandaikan sebagai partisipasi sejajar seluruh komponen warga negara hanya terwujud ketika dominasi dan subordinasi antar individu atau antar kelompok terhapus. Pada titik
103 104
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 28-33. Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 63.
inilah kemudian tuntutan keterwakilan politik perempuan harus diposisikan, karena tuntutan tersebut merupakan hak asasi dari seorang manusia. Dan porsi keterwakilan politik perempuan juga merupakan tindakan strategis untuk mengurangi hambatan seorang individu dalam berkiprah. Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action)105 yang bersifat wajib atau sukarela. Saat ini, salah satu upaya yang dianggap paling strategis untuk memposisikan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan adalah lewat affirmative action. Salah satu tindakan affirmative action adalah dengan penetapan sistem kuota. Dengan sistem kuota diharapkan nantinya posisi perempuan akan lebih terwakili.106 Kuota juga dianggap sebagai instrumen yang efektif untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan masyarakat.107 Pengenalan sistem kuota bagi perempuan menggambarkan lompatan kualitatif ke suatu kebijakan mengenai cara dan tujuan yang pasti. Karena efisiennya yang relatif, besar harapan akan terjadinya peningkatan yang dramatis dari representasi perempuan dengan menggunakan sistem ini.108 105
Affirmative Action adalah aksi mendukung sebagai tindakan khusus yang bersifat sementara, tindakan ini diambil sebagai taktik pilihan untuk mempercepat proses keterwakilan perempuan dalam lembaga pengambil kebijakan. 106 Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana? (Jakarta: YJP, edisi No. 19, 2001), h. 23. 107 M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 3. 108 Drude Dahlerup, “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999), h. 85.
Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan. Kuota untuk perempuan bertujuan untuk setidaknya perempuan akan menjadi “minoritas kritis” (critical minority) terdiri dari 30 atau 40 persen.109 Ide inti dari sistem kuota adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik.110 Kuota harus merupakan satu jumlah tertentu atau persentase dari anggota suatu badan; apakah berbentuk daftar kandidat, majelis parlemen, komite, atau pemerintah.111 Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik itu harus secara nyata dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Selama ini pelaksanaan kuota dilakukan melalui cara penetapan dalam konstitusi, peraturan-peraturan dalam undang-undang Pemilu atau partai politik, komitmen informal partai politik. Dalam konteks sistem politik Indonesia, wacana kuota keterwakilan perempuan dalam parlemen sebesar 30 persen telah menjadi isu hangat sesaat setelah tumbangnya Soeharto pada tahun 1998. Isu kuota yang pada awalnya hanya banyak dibicarakan pada tingkatan aktifis, kemudian menjadi semacam bola salju karena mendapat sambutan dari pihak partai politik dan juga pemerintah, khususnya ketika pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (19992001). Salah satu partai yang memberikan perhatian serius pada persoalan
109
Di Indonesia angka 30 persen diyakini sebagai “angka kritis” (critical number) yang harus dicapai untuk memungkinkan terjadinya sebuah perubahan. Angka 30 persen menunjukkan “massa kritis” yang akan memberikan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Jumlah 30 persen ditetapkan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Dengan kata lain jumlah keterwakilan laki-laki dan perempuan tidak boleh lebih dari 70 persen. 110 M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 8. 111 Hilmatul Aliyah, Politik Perempuan: Dari Asumsi Hingga Aksi
perempuan khususnya keterwakilan politik perempuan adalah Partai Kebangkitan Bangsa. Setelah melalui proses yang panjang, melelahkan, sekaligus menegangkan akhirnya keterwakilan perempuan dalam parlemen sebanyak 30 persen dicantumkan dalam UU pemilu.112 Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2003 sidang paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu yang di dalamnya tercantum kuota perempuan di DPR. Ihwal kuota tersebut terdapat pada Pasal 65 ayat (1). Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Dalam hal perdebatan kuota perempuan, PKB patut membusungkan dada karena jauh sebelum paripurna DPR mengesahkan klausul kuota tersebut, PKB telah terlebih dahulu mendorong keterlibatan perempuan pada wilayah publik termasuk politik pada tataran yang lebih implementatif. Seperti diungkap oleh Badriyah Fayumi, bahwa hal ini secara eksplisit terdokumentasi dengan baik dalam Muktamar PKB pertama di Yogyakarta pada tahun 2001 kemudian diperkuat kembali pada Muktamar II di Semarang tahun 2005. Di mana dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), PKB menetapkan pada setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib menyertakan
112
Fraksi PKB, Golkar, dan PPP merupakan tiga fraksi yang mempunyai andil besar menggolkan kuota tersebut (Media Indonesia, 19/2/2003).
keterwakilan perempuan sebanyak 20 persen.113 Dan dalam setiap pembentukan tim formatur yang terdiri dari lima orang maka perempuan harus selalu menjadi bagian dari tim fromatur tersebut, setidaknya satu dari lima orang.114 Ketika pembahasan pasal kuota 30 persen untuk perempuan di DPR berlangsung, media massa mengekspose bahwa hanya fraksi PKB dan Golkar yang berkomitmen terhadap persoalan 30 persen. Hal ini terungkap ketika Daftar Isian Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi masuk ke pansus sebagai masukan bagi pansus yang akan membahas RUU Parpol dan RUU Pemilu. Hanya PKB yang sungguh-sungguh mewujudkan janji mereka dalam DIM RUU Parpol. Dalam Bab V tentang Fungsi, Hak dan Kewajiban, Pasal 6f tentang, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan
jender,
PKB
melalui
DIM-nya
mengubah
redaksionalnya menjadi, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik dengan memperhatikan kesetaraan jender dalam wujud kuota 30 persen bagi perempuan. Catatan untuk DIM itu, 52 persen pemilih adalah perempuan dan jaminan representasi politik perempuan hanya bisa dibuktikan dengan adanya kuota ini.115 Konsistensi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai persoalan perwakilan perempuan dalam parlemen juga tercermin dalam komposisi caleg yang akan diusung pada pemilu 2009. Sekitar sepertiga atau 35 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh nomor jadi. 113
Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya. 114 Diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008. 115 Kompas, “Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Memberi Hak Warga Negara“ Senin, 23 September 2002.
"Dari total caleg perempuan, sekitar 35 persen berada di nomor jadi," kata Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Nomor jadi yang dimaksud Muhaimin adalah caleg dengan nomor urut 1 dan 2 di setiap daerah pemilihan. Calon legislatif perempuan dengan nomor jadi di antaranya adalah Ida Fauziah, Nursyahbani Katjasungkana dan Lily Khadijah Wahid. Dari 498 caleg PKB, terdapat 181 perempuan, sehingga terdapat 36 persen caleg perempuan, lebih besar dari ketentuan undang-undang yang mensyaratkan 30 persen. Menurut Muhaimin, dalam soal mengakomodasi perempuan, PKB jauh lebih maju dibanding partai lain. Di kepengurusan DPP PKB, pengurus terasnya juga banyak perempuan, begitu juga di Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). "PKB tidak membedakan jender untuk duduk di jabatan apa pun. Terpenting kualitas," kata wakil ketua DPR RI tersebut. Fenomena tersebut ditanggapi positif oleh anggota DPR-RI fraksi PKB Ida Fauziyah. Beliau berharap ke depan tidak hanya kuota perempuan dalam daftar caleg yang dijamin undang-undang, namun juga keanggotaan DPR, mengingat saat ini di DPR jumlah perempuan baru 12 persen.116 Pada titik ini sebenarnya diperlukan sebuah gerakan perempuan yang bersifat massif dan sistematis, tentunya dengan melibatkan semua pihak. Baik itu pemerintah, anggota legislatif, aktifis LSM, lembaga hukum, dan lingkungan terkecil yaitu keluarga dalam mendorong terciptanya suatu pemahaman tentang pentingnya memiliki perspektif yang berkeadilan gender. Apa yang dilakukan
116
Berita ini dimuat dalam antara news, dengan judul berita “Sepertiga Caleg Perempuan PKB Nomor Jadi” di muat pada tanggal 18-09-08 pukul 21:28 oleh penulis berita ini diakses dari www.antara.co.id.
segelintir perempuan PKB hendaknya dijadikan pemicu untuk menghadirkan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indoenesia.
C.
Peranan Perempuan PKB di Parlemen Perjuangan kaum perempuan untuk mengangkat hak-hak politiknya melalui
instrumen perundang-undangan pada akhirnya diakomodasi melalui UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.117 Kedua undang-undang ini menegaskan kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen kepada tiap partai peserta pemilu. Ini berarti bahwa tiap partai politik yang ingin ikut serta dalam pemilu harus menyerahkan daftar calon kandidat dengan 30 persen kandidat perempuan di dalamnya.118 Pembuatan kebijakan mengenai kuota ini dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Dengan adanya kuota ini diharapkan dapat meningkatkan peranan perempuan dalam dunia poltik dan pemerintahan, terutama dalam kaitannya dengan hak turut serta dalam pemerintahan yang berbentuk kesamaan hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan. Parlemen menjadi ajang pertarungan yang strategis bagi aktifis perempuan dalam memperjuangkan nasib ratusan juta nasib perempuan di negeri ini. Karena diharapkan melalui parlemenlah para perempuan bisa memberikan warna
117
Meyrinda Rahmawati Hilipito, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007), hlm. 4-5. 118 Nur Widyastanti, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam Tatanan Konsep Demokrasi di Indonesia,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 93-94.
tersendiri dalam menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keputusankeputusan yang selama ini diambil oleh DPR seringkali tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Hal ini menjadi wajar karena lembaga legislatif didominasi oleh laki-laki dan celakanya kesemuanya tidak memiliki wawasan gender yang memadai. Kenyataan tentang minimnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan ternyata telah menjadi fenomena umum di dunia. Menurut IPU (Inter-Parliamentary Union), per 30 April 2006, persentase perempuan di parlemen di seluruh dunia adalah 16,6 persen (IPU, 2006). Sedangkan di Indonesia, sebagai contoh di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sejak pemilihan umum (pemilu) pertama 1955 sampai pemilu 1999, persentase perempuan yang terpilih untuk duduk di DPR tidak pernah lebih dari 13 persen (periode 19871992).119 Isu mengenai tuntutan adanya keterlibatan perempuan dalam pemerintahan semakin berkembang, terutama dalam kaitannya dengan isu keterwakilan dan partisipasi politik perempuan. Isu ini mulai dibahas secara formal dalam Kongres Perempuan ke V di Bandung pada bulan Juli tahun 1938 mengenai perlunya hak dipilih bagi perempuan agar dapat duduk di lembaga-lembaga pengambilan keputusan.120 Wacana keterwakilan perempuan semakin menggelora setelah menyadari bahwa pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi, ternyata belum mampu menambah jumlah perempuan di DPR. Seperti yang 119
Wahidah Zein Br Siregar, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,” Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita dalam Dunia Politik, 9 Juli 2006. 120 Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dan The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin Keterwakilan Perempuan (Jakarta: Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002), hlm. 14.
terlihat di tabel berikut, perempuan hanya menempati 9 persen dari 500 kursi di DPR pada periode 1999-2004.121 Tabel 1 Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004) Jumlah Total Anggota Periode DPR
Jumlah Perempuan
Persentase DPR
1950-1955 (DPRS – Dewan Perwakilan 9
236
3.8
1955-1960
17
272
6.3
1956 – 1959 (Konstituante)
25
488
5.1
1971 – 1977
36
460
7.8
1977 – 1982
29
460
6.3
1982 – 1987
39
460
8.5
1987 – 1992
65
500
13
1992 – 1997
62
500
12.5
1997 – 1999
54
500
10.8
1999 – 2004
45
500
9
Rakyat Sementara)
Sumber: Jurnal Perempuan dalam Shanti (2001: 21)
Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa dari 24 partai politik peserta pemilu, hanya 16 partai yang memperoleh kursi di DPR. Golkar memperoleh kursi terbanyak (127 dari 550 jumlah total kursi DPR RI). Selanjutnya hanya 7 partai yang akan diperbolehkan untuk mengikuti pemilu 2009. Sementara itu, seperti yang telah diduga sebelumnya, perempuan tidak mencapai angka 30 persen. Kenyataannya hanya ada 62 orang perempuan diantara 550 orang total anggota DPR (11.3 persen) seperti yang terlihat dalam tabel berikut. 121
Siregar, loc. cit.
Tabel 2 Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan pada Periode 2004-2009 Berdasarkan Partai Politik No
Partai Politk
Jlh Total
Laki-laki
Perempuan
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
1
Golkar
127
23.1
109
85.8
18
14.2
2
PDIP
109
19.8
98
89.9
12
11.0
3
PPP
58
10.5
55
94.8
3
5.2
4
PD
56
10.2
49
89.1
6
10.9
5
PAN
53
9.6
46
86.8
7
13.2
6
PKB
52
9.5
45
86.5
7
13.5
7
PKS
45
8.2
41
91.1
3
8.9
8
PBR
14
2.5
12
85.7
2
14.3
9
PDS
13
2.4
10
76.9
3
23.1
10
PBB
11
2.0
11
100
0
0
11
PDK
4
0.7
4
100
0
0
12
Partai Pelopor
3
0.5
2
66.7
1
33.3
13
PKPB
2
0.4
2
100
0
0
14
PKPI
1
0.2
1
100
0
0
15
PPDI
1
0.2
1
100
0
0
16
PNI Marhaenisme
1
0.2
1
100
0
0
550
100
488
88.7
62
11.3
Jlh Total
Sumber Data: Komisi Pemilihan Umum (2004); Kompas (2005)
Sepintas harus diakui bahwa berdasarkan persentase atau jumlah perempuan PKB yang duduk di DPR seperti tertera di tabel tidak terlalu berbeda jauh dengan yang terdapat di partai-partai politik lain, bahkan di bawah dari jumlah perempuan Partai Golkar. Namun jika berbicara kualitas anggota legislatif dari kalangan perempuan, maka penulis berani berkesimpulan bahwa perempuan dari Partai
Kebangkitan Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas lebih baik dibandingkan dengan anggota legislatif dari partai politik lain. Alasan utamanya adalah hampir semua anggota parlemen perempuan PKB menempati posisi-posisi kunci dalam setiap struktur fraksi atau komisi yang dibentuk PKB dalam parlemen. Minimalisnya anggota parlemen yang berasal dari perempuan menjadi kendala tersendiri bagi upaya perbaikan nasib perempuan Indonesia. Aung San Suu Kyi mengemukakan kendala pokok dari perempuan dalam memasuki dunia parlemen sebagai berikut:122 1. Kurangnya dukungan dari partai politik 2. Kurangnya koordinasi dan dukungan jaringan antara anggota parlemen perempuan dengan organisasi publik lainnya 3. Norma-norma berorientasi laki-laki dan struktur yang didominasi lakilaki mengurangi partisipasi publik perempuan dan dapat mengarah pada penghargaan diri dan kepercayaan diri sendiri yang rendah 4. Mobilisasi dukungan media yang tidak mencukupi 5. Kurangnya pelatihan dan pendidikan perempuan yang berorientasi kepemimpinan 6. Sistem pemilihan umum yang tidak kondusif bagi partisipasi perempuan 7. Kurangnya reservasi kuota Dengan segala keterbatasan yang dialami, Partai Kebangkitan Bangsa yang menempatkan wakil-wakil perempuannya di DPR mencoba berbuat sekuat tenaga dalam rangka membawa perubahan yang lebih baik bagi wanita Indonesia. Sepakterjang perempuan PKB di parlemen telah menghadirkan warna yang khas bagi perkembangan politik nasional. Di mana di saat kaum perempuan sangat
122
Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di Mana?” edisi no. 19 (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001), h. 19
jarang tampil dalam pergulatan strategis di DPR, para politisi perempuan PKB telah bermanuver dengan sangat cantik pada setiap lika-liku politik parlemen. Sebut saja misalkan pada akhir Juni 2007, DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mereposisi pimpinan fraksi. Dalam pergantian itu, PKB ingin mempertegas komitmen kesetaraan gender. Meski bukan orang pertama, namun cukuplah Anisah Mahfudz menempati posisi Sekretaris Fraksi. Setelah menempatkan Ida Fauziyah sebagai satu-satunya ketua fraksi dari kalangan perempuan di DPR, PKB kembali menempatkan perempuan di jajaran elite fraksi. Dia adalah Anisah Mahfud, yang saat ini menduduki posisi sekretaris FKB. Anisah mendampingi Ketua FKB yang baru, Effendy Choirie. Saat ini, Anisah merupakan satu-satunya sekretaris fraksi dari kalangan perempuan di parlemen Indonesia.123 Ibu Khofifah juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi dan Nur Syahbani menjabat wakil ketua baleg. Sedangkan dalam pos-pos penting struktural partai Yenni Wahid merupakan Sekretaris Jenderal dan Badriyah Fayumi menjabat wakil sekretaris Dewan Syuro. Pada titik ini PKB telah menjadi partai yang paling progresif dalam hal pemberdayaan politik perempuan. Karena seperti telah diungkap bahwa perempuan PKB sangat memiliki peranan yang besar dalam arah pengambilan kebijakan partai. Dan dalam kondisi seperti ini, perjuangan kaum perempuan tidak lagi hanya menjadi retorika tetapi menjadi sebuah fakta yang tidak bisa ditutupi. Namun fenomena perempuan di PKB yang terbilang cukup fenomenal, harus sedikit ternoda akibat dari perilaku para elit politik PKB yang sangat senang 123
Dalam berita yang dimuat dalam situs www.gp-ansor.org dengan judul “Anisah Mahfud, Sosok Sekretaris FKB DPR Yang Baru” di muat pada tanggal 10 Juli 2007.
berkonflik. Formasi perlawanan perempuan di PKB harus hancur berantakan dihantam badai politik yang berasal dari dalam tubuh partainya sendiri. Konflik internal yang terus menghantui PKB saat ini diakui oleh Badriah Fayumi memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan politik perempuan PKB.124 Setidaknya masalah itu muncul ketika penetapan daftar nama caleg PKB versi konflik, karena menurutnya banyak nama yang keluar dalam daftar caleg perempuan PKB belum memenuhi aspek kapabilitas dan kualitas yang teruji. Di mana dalam proses rekrutmen caleg terkesan “asal ambil” dan berbau nepotisme. Sehingga sudah dapat diprediksi bahwa ke depan politik tanah air akan kehilangan sentuhan ajaib dari tangan-tangan lembut kaum hawa Partai Kebangkitan Bangsa.125 Walaupun demikian, bukan berarti perempuan PKB akan berhenti melangkah. Mereka akan turut berperan aktif dalam proses perbaikan di negeri ini, mereka akan terjun pada dunia selain parlemen.
124
Wawancara pribadi dengan Badriyah Fayumi. Dari delapan nama yang saat ini duduk di DPR (Nur Syahbani, Ida Fauziyah, Badriyah Fayumi, Anisah Mahfudz, Khofifah Indar Parawansa, Saidah Sakwan, Mariah Ulfah, Muawanah) empat (Khofifah, Badriyah, Anisah, dan Saidah Sakwan) diantaranya tidak lagi mencalonkan diri menjadi anggota DPR, sedangkan dari empat yang naik hanya dua (Ida Fauziyah dan Nur Syahbani) yang menjadi nomer urut 1. Belum lagi kader perempuan di daerah yang dicalonkan menjadi anggota DPR karena alasan konflik internal. 125
BAB V PENUTUP
Setelah penulis memaparkan secara luas mengenai keterlibatan perempuan Partai Kebangkitan Bangsa dalam bidang politik, kini di penghujung penulisan skripsi penulis merasa perlu menarik sebuah konklusi sederhana terhadap sejumlah fakta dan fenomena tersebut. A.
Kesimpulan 1.
Partai Kebangkitan Bangsa sejak awal pendiriannya sudah menegaskan bahwa partainya bersifat inklusif, di mana nilai kemanusiaan menjadi landasan dalam bertindak. Sehingga dalam kerangka itulah kemudian PKB juga sangat mengakomodir kepentingan perempuan dalam perjalanan politiknya. Ini dibuktikan dengan pertama, masuknya draft aturan yang berwawasan gender dalam konstitusi partainya. Kedua, PKB tidak ragu dalam menempatkan perempuan PKB untuk menduduki jabatan penting dan strategis baik dalam struktur partai ataupun penempatan
di
lembaga
legislatif.
Ketiga,
PKB
juga
turut
mengembangkan potensi perempuan dengan membentuk sayap perempuan yaitu pembentukan Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB). 2.
Sikap dan tindakan perempuan PKB dalam belantara politik nasional telah teruji, bukti absahnya adalah bagaimana mereka turut berperan besar dalam setiap pembuatan aturan yang berhubungan langsung dengan persoalan perempuan. Seperti dalam pembuatan UU pemilu
yang memuat kuota 30 persen untuk perempuan di parlemen, selanjutnya kontribusi mereka juga sangat nampak dalam pembuatan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Pornografi, dan pendidikan politik yang sampai kini masih berjalan di daerah-daerah terpencil. Dan diakui oleh berbagai pihak bahwa perempuan PKB di parlemen menjadi pemain utama dalam Fraksi PKB. 3.
Fenomenalnya perempuan PKB di pentas politik nasional, sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap dinamika politik di Indonesia. Karena sepak terjang politik perempuan di PKB berhasil bersinergikan kekuatan-kekuatan perempuan di luar parlemen dengan anggota legislatif perempuan, sehingga banyak isu yang awalnya hanya menjadi wacana akademis menjadi sebuah peraturan dalam bentuk undang-undang.
B.
Saran-Saran Sebagai penulis yang mencoba berdiri pada posisi akademis dan objektif
maka dengan ini penulis mencoba memberikan saran-saran atau masukan kepada jajaran pengurus PKB, antara lain: 1.
Partai
Kebangkitan
Bangsa
secara
institusional
harus
terus
mempertahankan komitmennya terhadap persoalan perempuan yang hingga kini perkembangannya belum terlalu menggembirakan. 2.
Terkait dengan konflik internal yang terus merundung Partai Kebangkitan Bangsa, hendaknya perpecahan tersebut jangan sampai menggangu apalagi merusak prestasi para srikandi PKB dalam kancah
perpolitikan nasional. Dan semua pihak harus berpijak pada kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia. Akhirnya penulis hanya berharap, agar skripsi ini benar-benar hadir dalam nuansa akademis, sehingga semua yang telah penulis susun dalam skripsi ini tidak akan pernah luput dari sebuah kesalahan. Semoga ke depan akan hadir karyakarya baru yang lebih memadai dan komprehensif membahas persoalan perempuan PKB. Wallahu’alam Bis Showab…
DAFTAR PUSTAKA
Alawi, Nadhif, ed., Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB Menjelang Pemilu 2004, Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB, 2003. Amalia, Euis. “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Beilharz, Peter, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Budiardjo, Miriam. “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. ________________. Dasar-Dasar Ilmiu Politik, Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007. Choirie, A. Effendy, PKB Politik Jalan Tengah NU Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002. Dahlerup, Drudem “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999. Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut Serta dalam Pemerintahan Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004. Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994. Faiqoh. “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003. _____________. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Felsky, Rita. “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter Beilharz, ed., TeoriTeori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hilipito, Meyrinda Rahmawati, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi Jakarta: Teraju, 2004). Iswahjuni, dan Wasiaturahma, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan dalam parpol studi wacana dan observasi kegiatan organisasi perempuan pada 5 partai politik di surabaya, Surabaya: Lembaga penelitian airlangga, 2002. Khan, Nighat Said dan Kamla Bashin. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995. Khomeini, Imam. Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini Jakarta: Lentera, 2004. Lane, Max, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto Jakarta: Reform Institute, 2007. Lubis, Amany dan Asriati Jamil .Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995. Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama, Bandung: Mizan, 2005. Najmah Sa’idah dan Husnul Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003. Nelson, Joan M. dan Samuel Huntington Partisipasi Politik di Negara Berkembang Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro D. Marwati. Sejarah Nasional Indonesia Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984. Poerwandari, E. Kristi dan Tita Marlita. “Pergerakan Perempuan Indonesia 19281965,” dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000. Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dan The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin Keterwakilan Perempuan Jakarta: Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002. Rauf, Mu’min dan Tati Harminah. “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2001. Rozi, Syafuan, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi Patriarki dalam Politik di Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003. Said, Moh. Dzulkiah, dan A. A. Said Gatara. Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. Sajaroh, Wiwi Siti. “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003. Setiawan, Bambang, ed., Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 Jakarta: Kompas, 2004. Shadily, Hassan dan John M. Echols. Kamus Inggris Indonesia Jakarta: PT Gramedia, 1990. Shanti, Budi, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana? Jakarta: YJP, edisi No. 19, 2001. Siregar, Wahidah Zein Br, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,” Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita dalam Dunia Politik, 9 Juli 2006. Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana Jakarta: Kompas, 2005. Sudarmanto, Y. B. dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Grasindo, 1999. Suryochondro, Sukanti. “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam Pembangunan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Susiana, Sali. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Anggota DPR,” dalam Sali Susianan (penyunting), Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21, Jakarta: Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi Setjen DPR-RI, 2000. Syarifah, F., Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416 H/April 1996. Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” Yogyakarta: Ar-Ruz Press, 2002. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999. Utami, Tari Siwi. “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum, Jakarta: National Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, 2001.
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi Jakarta: Magna Script, 2004. Widyastanti, Nur, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam Tatanan Konsep Demokrasi di Indonesia,” Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Wijaksana, M. B. (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004. Wijaksana, MB. “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,” dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan Keterwakilan Perempuan Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004. Berita Koran, artikel, website, dan wawancara “Sepertiga Caleg Perempuan PKB Nomor Jadi” berita di muat pada tanggal 1809-08, diakses dari www.antara.co.id. “Anisah Mahfud, Sosok Sekretaris FKB DPR Yang Baru” berita di muat pada tanggal 10 Juli 2007, diakses pada www.gp-ansor.org. Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya. Berita dalam koran Pelita tanggal 20 feb 1999 “Isteri Gusdur Siapkan 'Kitab Kuning' Pro Perempuan” dalam kliping yang dikumpulkan Pusat Data Kliping LIPI periode Januari-Desember 1999 dengan topik Masalah Perempuan. Chuzaifah, Yuniyanti. “Gerakan Perempuan Progresif NU dan Perebutan Wacana,” KOMPAS, 22 Juni 2004. “Gus Dur: Pintu Islah Sudah Tertutup”berita pada Kamis, 17 Januari 2002 yang diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008. “Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Memberi Hak Warga Negara“ Kompas, Senin, 23 September 2002. “Cetro merilis 25 daftar nama caleg berkualitas” Kompas, 15 Maret 2004. Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism" title="Fat feminism". Muhammad, Husein. “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14/06/2004 yang diakses dari www.islamlib.com. www.gp-ansor.org. Yusanto, Muhammad Ismail. “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel diakses www. hti. or. Id.