Newsletter
Edisi Mei 2010
Guru Merdeka Media Forum Komunikasi Guru Agama Jogjakarta
Dari Redaksi
P
endidikan sebagai usaha sistematis sebuah masyarakat dan bangsa untuk selalu menumbuhkan harkat dan martabat manusia menghadapi berbagai resiko kehidupan, selalu membutuhkan pemeriksaan dan evaluasi apakah praktek yang berlangsung memberi kontribusi bagi pemecahan persoalan hidup yang dihadapi manusia atau tidak. Demikian halnya pendidikan agama semestinya bisa memberi kontribusi bagi generasi muda untuk menemukan pilihan-pilihan hidup yang mendukung tumbuh kembang potensi intelektual maupun spiritualnya agar bisa menjadi pribadi yang bermanfaat untuk kehidupan. Pada masa ini pendidikan agama menghadapi tantangan berat, terutama dari sikap generasi muda sendiri sebagai peserta didik. Sekedar menuntut dan menekan mereka tentu hanya akan memperburuk keaadaan, dan hal ini tentu bertentangan dengan maksud pendidikan sendiri. Maka semua pihak yang menginginkan pendidikan
Edisi Mei 2010
agama ada maknanya bagi generasi muda yang hidup dalam alam yang berbeda dari alam para guru ketika mereka muda, perlu bersama-sama mendialogkan berbagai kepentingan yang berbeda antargenerasi ini, termasuk dalam cara mengelola perbedaan kepentingan ini yaitu dalam metode pembelajaran. Ada kalanya tidak bisa ditolak, ketika situasi berubah, maka metode maupun pola relasi guru-murid perlu diperbaharui agar mendukung semua pihak untuk senantiasa belajar dan tumbuh bersama. Forum Komunikasi Guruguru Agama Jogjakarta telah mengupayakan diri sebagai forum belajar bersama bagi semua pihak yang ingin memperbaharui dunia pendidikan kita. Dalam News Letter edisi Nei 2010 ini akan dikupas isu hangat tentang Rencana Meng-UNkan Pelajaran Agama. Pada kolom Aktifitias dikupas kegiatan FKGA terkini di bulan April 2010. Selamat Membaca.
1
OPINI
Newsletter Guru Merdeka Pelajaran Agama di-UN-kan Apakah Menjawab Masalah? Oleh Listia
S
etelah kebijakan tentang Ujian Nasional menuai keberatan banyak kalangan dari para ahli pendidikan, guru dan wali murid, belakangan Ujian Nasional justru sedang digagas untuk mata pelajaran agama. UN untuk pelajaran agama telah diujicobakan di beberapa wilayah seperti Surabaya dan surat edaran tentang Ujian Nasional Pelajaran Agama sudah sampai pada guru-guru agama di berbagai wilayah.
evaluasi dengan menggunakan angka-angka kiranya akan mereduksi realitas pengayatan dan proses pematangan kedewasaan siswa dalam beragama.
A pa s e s u n g g u h n y a y a n g melatarbelakangi gagasan mengUN-kan pelajaran agama ini, mengingat metode evaluasi untuk pelajaran agama yang menggunakan nilai angka sudah lama dipertanyakan ketepatannya bagi pelajaran agama. Metode evaluasi ini dipertanyakan karena hasil yang diharapkan dari proses pembelajaran agama adalah pada laku yang berbudi luhur dan spiritualitas ketuhanan yang dengan demikian tidak hanya berdimensi personal namun meliputi semangat menjaga keutuhan ciptaan Tuhan di dunia yang bersifat kualitatif. Sehingga tidak memadai bila penekanan pembelajaran hanya pada dimensi koginitif saja, yang hasil evaluasinya bisa diwakili angka-angka. Hasil
Di sekolah-sekolah non keagamaan, umumnya guru-guru agama mempunyai posisi yang unik, yaitu mereka seolah-olah dianggap sebagai penjaga gawang moral dan perilaku para siswa. Ketika terdapat siswa yang berperilaku melanggar etika, guru agama seringkali mendapatkan sorotan dan dipertanyakan kesungguhannya dalam membimbing para siswanya. Sementara menurut sebagian guruguru agama, saat-saat ini pelajaran agama kurang diminati oleh para siswa. Masih menurut sebagian guru agama, pelajaran agama dianggap kurang penting oleh para siswa karena tidak masuk dalam pelajaran yang di-UN-kan. Bukan hanya mata pelajarannya bahkan ada sebagian
Edisi Mei 2010
Membaca Masalah Sebelum berusaha memahami cara berfikir mengapa ada gagasan meng-UN-kan pelajaran agama, ada baiknya melihaat berbagai persoalan yang ada dalam praktek pendidikan agama disekolah-sekolah.
2
OPINI guru agama merasa kurang dihargai sebagaimana guru fisika atau matematika. Bagi sebagian guru, situasi ini dianggap tidak adil, mendapat tuntutan besar tetapi minim penghargaan. Beberapa waktu lalu ada semacam gerakan dikalangan guru agama di sekolah-sekolah di berbagai daerah yang menginginkan penambahan jumlah jam pelajaran agama, dengan harapan pembelajaran yang dilakukan akan lebih mampu mempengaruhi perilaku para siswa. Tetapi sudah jamak diketahui bahwa sekolah di Indonesia memiliki beban pelajaran yang terlampau besar bagi para siswa dibanding negara-negara lain. Sehingga gerakkan ini tidak berlanjut, tetapi tampaknya bergeser pada upaya mendorong kebijakan agar pelajaran agama menjadi matapelajaran yang di-UN-kan. Seandainya akan ada Ujian Nasional untuk pelajaran agama, apakah kebijakan ini akan menyelesaiakn masalah, yaitu meningkatkan daya tarik dan pengaruh pelajaran agama pada para siswa? Demi melihat kepentingan pendidikan, latar belakang minat siswa terhadap pelajaran agama yang menurun perlu dilihat secara lebih jernih dan mendalam pada semua komponen pendidikan ini, sekurang-kurangnya pada empat komponen : guru, peserta didik, materi dan metode pembelajaran. Analisis masalah
Edisi Mei 2010
Newsletter Guru Merdeka dengan menggunakan paradigma pedidikan apa pun tidak mungkin menegasikan empat komponen tadi, karena satu komponen terkait erat dengan komponen yang lain. Suatu mata pelajaran menjadi 'tidak menarik' bagi para siswa, tentu ada banyak sebab. Apakah dengan di UN-kan para siswa akan (terpaksa) menjadi menganggap pelajaran agama lebih penting dari sebelumnya? Mari kita cermati bersama. Meneliti minat peserta didik tidak akan lepas dari perhatian pada kehidupan generasi muda saat ini yang hidup ditengah perubahan dalam berbagai dimensi hidup. Meski dalam keseharian bersama keluarga menghidupi nilai-nilai tradisi, tetapi di luar rumah mereka menghadapi nilai-nilai dan gaya hidup baru yang beragam yang ada kalanya tidak saling bersesuaian. Situasi yang serba berubah dan berbeda ini tentu menyulitkan generasi muda yang masih dalam fase pencarian indentitas diri. Keadaan yang hanya mungkin dihadapi dengan kematangan kepribadian generasi muda, yang sayangnya tidak semua keluarga dan para guru mampu menyiapkannya dalam diri mereka. Berbagai situasi hidup mengundang banyak pertanyaan tentang kehidupan yang tidak bisa dijawab secara hitam-putih, benarsalah, dosa-pahala. Generasi muda memerlukan cara berfikir dan
3
OPINI 'bahasa' yang sesuai dengan nalar jaman mereka. Suatu keadaan yang sungguh-sungguh berbeda dengan situasi kehidupan para guru ketika dulu masih menjadi peserta didik. Namun sistem pendidikan kita hampir selalu menempatkan guru sebagai pusat, sementara jarang sekali dalam pelajaran agama guru mengakomodir persoalan hidup para peserta didik menjadi bagian dari proses pembelajaran. Guru-guru kebanyakan juga enggan mempertimbangkan cara berfikir dan kebutuhan peserta didik dalam rangka mencari jawaban atas persoalan hidup mereka. Guru adalah komponen yang paling menentukan dalam m e m f a s i l i ta s i s e b u a h p r o s e s pembelajaran menjadi menarik (atau sebaliknya tidak menarik bagi peserta didik). Sayangnya umumnya guru lebih senang menempatkan diri sebagai pihak yang paling mengatur dinamika, bahkan sebagai penguasa di kelas dan para siswa dianggap sebagai obyek dalam proses pembelajaran. Para guru mencukupkan diri sebagai operator kurikulum, sebagai pengajar yang mentranser pengetahuan dan bukan sebagai pendidik. Sering para guru lupa bahwa peserta didik yang mereka hadapi adalah generasi muda yang sangat cepat mengambil informasi dari berbagai sumber, guru lupa bahwa sumber pengetahuan saat ini bukan hanya dari mereka. Betapa sedikit
Edisi Mei 2010
Newsletter Guru Merdeka guru yang mempunyai semangat belajar atau memposisikan diri sebagai pihak yang belajar bersama para peserta didik mereka. Maka sering terjadi ketidaksinkronan pola relasi atas apa yang dipikirkan guru dan apa yang diharapkan peserta didiknya. Hal ketiga yang penting untuk dicermati dalam melihat persoalan menurunnya ketertarikan para siswa terhadap pendidikan agama adalah komponen materi pembelajaran. Materi pembelajaran di sekolah sekolah kita adalah sesuatu yang sudah ditentukan oleh sistem pendidikan nasional dan seragam sesuai jenjang pendidikan, yang banyak mengandung unsur dogmatis, tidak dialogis dan minim refleksi. Apakah suatu materi pelajaran agama bisa menyentuh kehidupan siswa saat ini atau tidak, sangat membutuhkan kreativitas guru untuk mengembangkan proses pembelajaran. Seandainya guru bersedia mengangkat persoalan hidup siswa untuk dikaji bersama dalam bingkai yang disesuaikan dengan materi yang ada, sangat mungkin siswa akan merasa tersentuh sebagian dari kepentingannya. Apa boleh di kata pendidikan agama kita sangat padat materi yang harus ditelan oleh siswa tidak melihat apakah itu menarik atau tidak, menjawab pertanyaan hidup mereka atau tidak. Ditambah lagi beban materi hafalan yang sangat kecil korelasinya dengan perilaku
4
OPINI para peserta didik. Komponen terakhir yang perlu dicermati di sini adalah metode pembelajaran. Efek dari model pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pusat adalah seluruh siswa di kelas dianggap sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa dan tidak perlu berinisiatif. Dalam proses pembelajaran peserta didik dianggap seragam dalam segala hal meski tiap guru sangat mafhum bahwa setiap siswa unik dan sesungguhnya memperlakukan mereka seolah-olah sama dalam kemampuan, cara belajar, latarbelakang keluarga dan minat, yang sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Aktifitas yang dilakukan guru pun hampir-hampir seluruhnya sudah terprogram : menjelaskan materi dengan ceramah, membuat pertanyaan, membuat penugasan, memimpin praktek ritual-ritual keagamaan, menyiapkan tes dan menyelesaikan adimistrasi pendidikan yang sudah ditentukan oleh sistem. Secara umum siswa hanya diminta merespons sesuai permintaan guru. Pada masa lalu di mana dalam berkomunikasi dan berelasi masyarakat belum mementingkan prinsip-prinsip kesetaraan--dalam pengertian masih ada keyakinan bahwa guru adalah satu-satunya sumber ilmu di kelas karena para siswa belum bisa mengakses pengentahuan dari sumber lain guru memposisikan diri sebagai pusat
Edisi Mei 2010
Newsletter Guru Merdeka pengetahuan di kelas masih bisa diterima. Pada masa itu supremasi guru di kelas tidak menimbulkan gugatan dalam diri para siswa. Namun kini ketika para siswa bisa mengakses pengetahuan dari berbagai sumber hampir tanpa batas, makin kritis, lebih cepat mandiri dan tuntutan jaman yang lebih kuat tentang kesetaraan, pembawaan diri guru di kelas yang merasa superior atas siswa dengan sendirinya akan menimbulkan kebosanan, jenuh dan rasa tidak senang. Bukankah ini juga berkontribusi pada daya tarik terhadap pelajaran agama? Dari pemeriksaan sekilas pada empat komponen pembelajaran dalam membaca minat siswa yang menurun terhadap pelajaran agama cukup memberi gambaran bahwa belum tentu dengan di-UN-kan akan membuat siswa lebih berminat pada pelajaran agama. Evaluasi Hal yang justru lebih penting untuk diperiksa secara lebih cermat saat ini adalah model evalusi hasil belajaran untuk mata pelajaran agama. Apakah yang selama ini berjalan telah mendukung tercapainya tujuan pelaksanaan pembelajan agama. Situasi yang layak untuk direnungkan berkaitan dengan kualitas pendidikan agama di sekolah-sekolahsekolah umum terutama adalah mengapa setelah
5
OPINI sekian puluh tahun diwajibkan bagi peserta didik untuk mengikuti mengikuti pelajaran agama, ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas moral bangsa sebagaimana dicita-citakan para perumus pelajaran agama. Sebagai contohnya adalah tingginya korupsi. Pendidikan adalah sebuah proses bagi masyarakat manusia untuk menemukan dan memekarkan harkat dan martabat kemanusiaannya, maka faktor guru dan peserta didik serta relasi diantaranya yang paling utama penting diperhatikan. Maka jelas paradigma yang menyebabkan hubungan kedua pihak menjadi tidak saling mendukung untuk saling belajar untuk lebih mematangkan ini adalah yang paling penting untuk dikoreksi. Selanjutnya ketika tujuan pembelajaran adalah menumbuhkembangkan dan mematangkan harkat martabat kemanusiaan, seluruh proses harus dikembalikan pada kodrat manusia sebagai mahluk multidimensional, yang keberadaannya tidak bisa disederhanakan hanya pada dimensi tertentu. Terutama untuk pendidikan agama yang secara jelas bertumpu pada subyek dunia manusia yang tidak semata material, namun juga spiritual.
Newsletter Guru Merdeka banyak kasus siswa dengan nilai agama bagus tetapi perilaku buruk, sementara siswa dengan perilaku yang sangat terhormat dan memuliakan kehidupan tetapi nilainya biasa-biasa saja. Hal ini menjadi salah satu bahan renungan apakah dengan meng-UN-kan pelajaran agama harapan para guru agama agar pelajaran agama bisa berkontribusi dalam pembentuk kepribadian generasi muda dan masa depan bangsa bisa terwujud? Listia Salah satu pegiat Forum Komunikasi Guru-guru antaragama (FKGA) Jogjakarta
Makin jelas bahwa yang dibutuhkan adalah perubahan pa r a d i g m a p e n d i d i k a n u n t u k pendidikan agama termasuk di dalanya metode evaluasi belajar. Ada
Edisi Mei 2010
6
INFO KEGIATAN
Newsletter Guru Merdeka
Suatu sore di Atmosukarto 15
D
Oleh Ira Sasmita
iskusi bulanan Forum Komunikasi Guru-Guru Agama dilaksanakan pada hari Jumat, 23 April 2010, bertempat di Perpustakaan Arif Rahman Hakim (Jl. Atmosukarto 15). Tema yang diangkat adalah “Pendidikan Agama di-UNkan: Apakah Menjawab Tantangan?” dengan pembicara Bapak Prof. Dr. Djohar MS, yaitu mantan Rektor UNY dan juga Rektor UST Taman Siswa. Pertemuan ini dihadiri oleh 15 orang anggota Forum Komunikasi Guru-Guru Agama. Dalam pembicaraan awal, Prof. Djohar menegaskan bahwa semua agama memiliki “common ground” (titik pijak bersama), yaitu berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan. Tapi bila melihat pada praktek di dunia pendidikan, agama lebih diajarkan sebagai sebuah disiplin ilmu agama, bukan sebagai sebuah pendidikan agama. Dalam pendidikan agama Islam umpamanya, peserta didik lebih banyak dituntut untuk menghapal ayat-ayat alQur'an. Budaya yang menekankan pada membaca teks (tulisan) memang telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan Indonesia (text book dan tekstual). Padahal pendidikan agama itu sendiri, idealnya adalah menekankan pada pembentukan karakter dan tingkah laku peserta didik. UN sebagai evaluasi akhir dari proses panjang sebuah pendidikan hanyalah sesuatu yang tertuang di atas kertas.
Edisi Mei 2010
Evaluasi yang sebenarnya justru terletak pada keseharian peserta didik, atau yang dikenal dengan evaluasi otentik, yaitu evaluasi yang berbasis kelas dan di saat proses pendidikan itu berlangsung. Evaluasi ini menghasilkan portofolio perkembangan anak dan menekankan pada proses. Evaluasi dalam bentuk UN hanya berorientasi pada produk, dimana 3 hari ujian digunakan untuk mengukur proses pendidikan selama 3 atau 6 tahun. Menurut Prof. Djohar, UN ini sangat lemah dan salah baik secara teknis maupun konsep. Bahkan pendidikan Indonesia secara keseluruhan, menurut hemat beliau, juga salah konsep. Tidak memiliki filosofi, bersifat pragmatis, apa adanya dan yang diutamakan adalah uang anggarannya. Pak Sartana, salah satu peserta diskusi menanggapi bahwa pendidikan a g a m a k e t i k a d i - U N m e r u pa k a n pembunuhan terhadap peserta didik. Evaluasi itu pada dasarnya terdiri dari 3 tahap yang dijalankan secara berbarengan, yaitu pengetahuan, sensor motorik dan afeksi. Dan model yang digunakan adalah dialog. Romo Suhardiyanto SJ juga membenarkan hal ini. Bahkan beliau mengatakan, jangankan untuk pendidikan agama, pelaksanaan UN untuk seluruh mata pelajaran adalah hal yang perlu ditinjau ulang. Karena UN merupakan bentuk penyeragaman pengetahuan bagi seluruh sekolah di semua pelosok negeri. Selain itu, Romo Suhardiyanto mempertanyakan paradigma yang
7
INFO KEGIATAN digunakan oleh para pengambil kebijakan dalam memutuskan pelaksanaan UN ini. Apakah untuk kepentingan peningkatan nilai kemanusiaan atau justru untuk uang (proyek)? Ibu Sutisyah kemudian menjelaskan bahwa ketetapan di-UNkan pendidikan agama sudah diberlakukan untuk pendidikan agama Islam. Pemerintah Pusat dalam hal ini hanya memberikan kisi-kisi/kerangka ujian, dan pembuatan soalnya diserahkan ke sekolah. Sebagai seorang guru agama, Ibu Sutisyah pun tidak menekankan pada nilai tapi lebih kepada sikap peserta didik. Menurutnya, orang beriman sudah pasti orang yang beragama, tapi orang yang beragama belum tentu orang yang beriman. Adapun Ibu Anis Farikhatin menceritakan bahwa dua bulan yang lalu (sebulan menjelang UAN), para guru agama Pendidikan Agama Islam (MGMP) dikumpulkan untuk sosialisasi kebijakan tentang di UNkannya pendidikan agama Islam. Perdebatan cukup hangat di kalangan MGMP sehingga Depag Kota mengambil sikap bahwa para guru Pendidikan Agama Islam belum siap untuk melaksanakan UN. Tapi kisi-kisi ujian tetap dikirimkan oleh Pusat. Untuk wilayah Surabaya,
SUSUNAN REDAKSI
Newsletter Guru Merdeka kebijakan ini telah diterapkan, tidak dengan istilah UN, tapi UR (Ujian Regional). Persoalan pun semakin bertambah dengan penuturan Ibu Sayyidah. Beliau menjelaskan kesulitan yang dihadapi oleh para pelajar sekolah Madsarah Tsanawiyah, yaitu adanya beban yang bertambah bagi mereka. Karena di samping mempelajari mata pelajaran di sekolah, mereka harus mempelajari buku-buku agama yang digunakan oleh sekolah umum. Di sisi lain, Pak Teguh, guru agama SMP N 2 mencoba melihat sisi positif dari pelaksanaan UN ini. Seperti perhatian murid terhadap pendidikan agama yang selama ini selalu menjadi mata pelajaran yang terpinggirkan menjadi meningkat. Sedangkan Jamaluddin, peserta dari KODAMA mempertanyakan apakah ketika ditolak kebijakan pendidikan agama diUNkan, membuktikan ketidaksiapan guru agama dalam mengajarkan pendidikan agama. Pertanyaan ini dijawab oleh Pak Teguh dan Bu Anis, bahwa proses evaluasi pendidikan dengan hanya mengandalkan UN adalah sebuah kenaifan. Pak Purwono kemudian melihat lebih jauh, bahwa kita sebenarnya belum mempunyai konsep evaluasi pendidikan agama yang tepat. Diskusi berlangsung dengan hangat dan berakhir pada pukul 17.30 WIB
Newsletter Guru Merdeka
Tim Redaksi: Listia, Ira Sasmita, Indro Suprobo, Sarnuji, Bendahara: Eko Putro Mardiyanto, Diterbitkan oleh Forum Komunikasi Guru-guru Agama (FKGA) Jogjakarta. Alamat Redaksi: Perum Banteng Baru, Jl. Banteng Utama 59, Jogjakarta, Telp. 0274-880149. Website: http://www.guru-merdeka.blogspot.com Redaksi menerima tulisan tentang Pendidikan