GURU DI MATA TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSINYA TERHADAP GENERASI EMAS INDONESIA 2045 Sudar Jurusan Pemikiran Islam, Fakultas Uṣūluddīn dan Perbandingan Agama International Islamic University Malaysia Duta Mas Seroja 3 Taman SPPK Segambut – Kuala Lumpur, 51200, pos-el:
[email protected]
Abstrak Makalah ini akan menguji pemikiran para tokoh pendidikan Islam, khususnya pemikiran dan ide-ide dasar mereka tentang kualifikasi dan kecakapan yang harus dimiliki oleh guru di dalam mengajar. Pandangan para tokoh pendidikan Islam ini perlu digali kembali untuk mengetahui sejauh mana relevansi pemikiran mereka terhadap pendidikan Islam di Indonesia pada masa sekarang dan yang akan datang. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas Indonesia 2045, karena sejarah telah membuktikan bahwa masa keemasan peradaban Islam berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam sistem pendidikan, guru mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting di dalam mendidik peserta didik. Guru yang berkualitas adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu lembaga pendidikan untuk menghasilkan peserta didik yang cemerlang dan berkualitas tinggi. Makalah ini menunjukan bahwa jauh sebelum sekarang ini, pemikiran para tokoh pendidikan Islam sudah membahas tentang kualitas guru di dalam mendidik peserta didik dan prinsip-prinsip dasar pemikiran mereka tentang kualitas guru ternyata sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan guru pada zaman sekarang dan yang akan datang. Kata Kunci: guru, tokoh-tokoh pendidikan Islam, generasi emas, relevansi.
Abstract The present article is an attempt to examine the thought of Muslim scholars on Islamic education, specifically their thought and ideas on qualifications and competences of teacher in teaching of students. The thought of Muslim scholars on Islamic education is needed to elaborate to investigate the relevance of their thought with Islamic education in Indoneisa at present and future. This needs to be done in accordance with preparing the golden generation of Indonesia 2045, because the history has proved that the golden age of Islamic civilization based on science and knowledge. In education system, teacher has significant role in teaching of their students. Teacher with high quality is compulsory for institution of education to product excellent student. The article shows that long time before, Muslim scholars had discussed the quality of teacher in teaching of students and the basic principles of their thought on that issue is still relevance with the qualifications and competences which are required for teacher in contemporary and future. Keywords: teacher, Islam scholars of education, the golden generation, relevance.
Pendidikan nasional bertujuan untuk
PENDAHULUAN
berkembangnya potensi peserta didik agar Maju mundur bahkan terpuruknya suatu
negara
ditentukan
oleh
kualitas
generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarahpun telah merekam bahwa kualitas generasi muda ditentukan oleh kualitas ilmu pengetahuan yang dikuasai dan dimilikinya. Namun, ilmu pengetahuan tidak
menjadi
manusia
yang
beriman
dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Itulah tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3.
akan pernah didapatkan secara gratis. Ilmu Secara tersirat tujuan pendidikan
harus dicari melalui proses pendidikan yang panjang.
Oleh
karena
itu,
pendidikan
nasional
sesuai
dengan
arah
tujuan
harus
pendidikan Islam yang sejak dahulu kala
untuk
telah dibahas oleh para tokoh pendidikan
meningkatkan kualitas generasi muda suatu
Islam. Maka umat Islam Indonesia yang
bangsa.
merupakan bagian dari komponen bangsa ini
merupakan
syarat
dipersiapakan
mutlak
dengan
yang
matang
juga
wajib
meningkatkan
kualitas
Tahun 2045 adalah saat-saat yang
pendidikan Islam. Sebab sejarah telah
dinantikan oleh seluruh bangsa Indonesia,
membuktikan bahwa pendidikan Islam di
pada
kemerdekaan
Indonesia telah mampu mencetak putra-
Indonesia sudah genap mencapai 100 tahun.
putra bangsa yang memiliki andil besar
Usia sebuah negara yang terbilang cukup
terhadap kemajuan bangsa ini sejak era pra
dewasa
kehidupan
kemerdekaan sampai saat sekarang ini.
berbangsa dan bernegara. Pada tahun itu
Fakta yang lain juga menunjukkan bahwa
pula generasi emas Indonesia diharapkan
sejarah dunia Islam sudah lama berhasil
mampu membawa negara ini ke arah
menghasilkan
kehidupan yang lebih maju dan beradab.
yang kepakarannya tidak diragukan lagi.
Maka untuk mewujudkan cita-cita yang
Namun, proses pencetakan generasi emas
mulia
usaha
yang berkualitas tinggi tentu juga menuntut
berkesinambungan dari semua pihak untuk
tenaga pendidik atau guru yang berkualitas
meningkatkan kualitas tenaga pendidik,
dan pakar di bidangnya masing-masing.
metode pembelajaran, kurikulum, peserta
Dengan kata lain, guru yang berkualitas
didik dan segala hal yang mendukung
mempunyai peranan yang menentukan di
kelancaraan proses pendidikan.
dalam proses pendidikan. Berdasarkan hal
tahun
itulah
dalam
itu,
usia
percaturan
perlu
ada
itu,
perlu
ilmuwan-ilmuwan
digali
kembali
Muslim
khazanah
intelektual Islam khususnya dalam hal peran
khusus membahas tentang guru berjudul
dan fungsi guru di dalam sistem pendidikan
Kitāb Ādāb al-Mu‘allimīn (Kode Etik
Islam. Oleh karena itu, makalah ini akan
Guru).2 Ibn Saḥnūn berpendapat bahwa guru
menguji pandangan para tokoh pendidikan
adalah orang yang memiliki pengetahuan
Islam tentang kriteria dan peranan guru serta
dan mampu menyampaikannya dengan baik
relevansinya terhadap pembentukan generasi
kepada para pelajarnya. Guru mempunyai
emas Indonesia 2045. Dengan demikian
tanggungjawab untuk melaporkan setiap
akan bisa diambil sebuah penilaian sejauh
kemajuan dan kemunduran prestasi pelajar
mana
tokoh
kepada orang tua mereka.3 Guru tidak hanya
standar
berperan di dalam kelas atau lingkungan
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru
sekolah saja tapi guru juga harus mengawasi
bisa diterapkan dalam proses pendidikan
perilaku
generasi muda Indonesia dalam rangka
masyarakat dengan cara berdiskusi dan
mencetak generasi emas Indonesia.
berkonsultasi antara guru dengan orang tua
ide-ide
pendidikan
pemikiran
Islam
para
mengenai
anak
didiknya
di
lingkungan
anak didik. Guru harus terlibat secara Guru Menurut Para Ilmuwan Islam
menyeluruh terhadap proses kegiatan belajar
Terdapat ratusan karya ilmiah tokohtokoh ilmuwan Muslim tentang pendidikan yang
di
kurikulum,
dalamnya
membahas
tentang
metode
pengajaran,
materi
pelajaran dan lain sebagainya. Namun, di
mengajar di dalam kelas atau bahkan ketika ada kegiatan sekolah di luar kelas. Menurut Ibn Saḥnūn, guru tidak boleh mengizinkan anak didiknya untuk berlibur tanpa seizin dan restu dari kedua orang tuanya.4
dalam makalah ini penulis hanya akan menyajikan peran dan fungsi serta kriteria guru sebagai tenaga pendidik. 1. Ibn Saḥnūn (w. 256/870) Muḥammad Ibn Saḥnūn adalah seorang cendikiawan Muslim pertama yang secara khusus menulis tentang pengajaran dan pendidikan.1 Salah satu bukunya yang
1
Untuk informasi selanjutnya tentang riwayat hidup Ibn Saḥnūn beserta kontribusinya terhadap pendidikan Islam silahkan lihat, Abī Bakr „Abd Allāh ibn Muḥammad al-Malikī, Kitāb Riyāḍ alNufūs fī ṭabaqāt al-Qayrawān wa Ifriqīqiyah wa zuhhāduhum wa ‘ubbāduhum wa nusākuhum wa siyar min akhbārihim wa faḍā’ilihim wa awṣāfihim, (Al-Qāhirah: Maktabah al-Naḥḍah alMiṣriyyah, 1951), 35; Muḥammad Maḥfūẓ,
Tarājim al-Mu’allifīn al-Tūnisiyīn, (Bayrūt: Dār Gharb Islāmī, 1982), 19-20. 2 Kitāb Ādāb al-Mu‘allimīn yang pertama dikaji oleh Ḥasan Ḥusnī „Abd al-Wahhāb termasuk cetakan-cetakan daripada Lajnah al-Tūnīsiyyah li Nashr al-Makhṭūṭāt al-‘Arabiyyah yang diterbitkan di Tunis pada tahun 1931; kemudian diterbitkan kembali dalam „Abd Amīr al-Shams al-Dīn, al-Fikr al-Tarbawī ‘ind Ibn Saḥnūn wa al-Qābisī, (Bayrūt: Dār Iqra‟, 1985), 53-71; dan akhirnya buku Ibn Sāḥnūn ini diterjemaahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Michel Fishbein, “The Book of Rules of Conduct for Teachers,” dalam Classical Foundations of Islamic Educational Thought, ed. Bradely J. Cook dan Fathi H. Malkawi, (Provo, Utah: BYU Press, 2010), 1-19; Sha‟ban Muftah Ismail, “Muḥammad ibn Sahnūn: An Educationalist and a Faqīh,” dalam Muslim Educational Quarterly, vol. 12, no. 4 (1995): 37-57. 3 Sha‟ban Muftah Ismail, 45. 4 Ibid., 50.
Ibn Saḥnūn berargumen bahwa guru
dalam
proses
pendidikan
agar
harus memiliki standar kualifikasi yang baik
tercipta kerjasama antara lembaga
jika ingin mengabdikan hidupnya untuk
pendidikan dan masyarakat.5
mengajar, seperti:
c. Pengalaman mengajar: seorang guru
a. Kecakapan di bidang akademik: guru
harus
pendidikan
memiliki yang
tinggi
harus
memiliki
pengalaman
tingkat
mengajar dan tahu cara mengajar di
dengan
tingkat
maksud agar guru mampu untuk
rendah
Kedewasaan
dan
dan
tinggi.
pengalaman
beserta
seorang guru dalam mengajar akan
bacaannya yang sesuai dengan ilmu
membantu meningkatkan prestasi
tajwīd
para pelajar.6
menghafal
al-Qur‟ān
dan
pengetahuan
qirā’āt, ilmu
memiliki
hukum
dan
2. Al-Jāhiẓ (w. 255/868)
memungkinkannya untuk mengajar
Di dalam bukunya yang berjudul Kitāb al-
dan
prinsip-prinsip
Muʿallimīn (Buku bagi para Guru),7 al-Jāhiẓ
dasar hukum Islam kepada anak
menjelaskan bahwa guru adalah orang-orang
didik, mempunyai pengetahuan tata
yang berilmu, rajin, memiliki sikap dedikasi
bahasa Arab (naḥw dan ṣarf) dan
dan loyalitas yang tinggi dan jika anak
kemampuan
menuliskannya,
didiknya tidak berhasil maka ia bersedia
mengerti kaidah-kaidah kaligrafi,
untuk bertanggung jawab. Walaupun begitu
memahami
prosa,
al-Jāhiẓ menyarankan agar orang tua anak
kesusastraan secara umum dan juga
didik tidak boleh menyalahkan guru jika
keterampilan pidato.
anak-anak mereka belum berprestasi atau
menjelaskan
seni
puisi,
b. Pribadi guru: akhlak seorang guru merupakan
contoh
untuk
anak
gagal dalam belajar. Sikap al-Jāhiẓ ini berdasarkan
pada
kenyataan
bahwa
didiknya. Oleh karena itu sudah
sebenarnya kegagalan yang dialami oleh
sewajarnya seorang guru memiliki
anak murid bukan hanya faktor eksternal
sifat jujur dan tulus hati di dalam
tapi juga faktor internal yang ada dalam
mengajar dan membimbing para peserta didik, saleh dan patuh kepada perintah dan larangan Allāḥ, bertanggung jawab secara penuh terhadap
anak
didik
serta
bertanggung jawab kepada Allāḥ di akhirat nanti, baik hati dan peduli terhadap semua unsur yang terlibat
5
Aḥmad Shalabī, al-Tarbiyyah wa al-Ta‘līm fī al-Fikr al-Islāmī, (al-Qāhirah: Maktabah Naḥḍah al-Miṣriyyah, 1992), 56-58. 6 „Abd al-Raḥmān „Uthmānī Ḥijāzī, al-Madhhab al-Tarbawī ‘ind Ibn Saḥnūn, (Bayrūt: Mu‟assasah al-Risālah, 1986), 66-69; Sha‟ban Muftah Ismail, 50-52. 7 Diterbitkan dalam kitābāni li-l-Jāḥiẓ: Kitāb alMuʿallimīn wa Kitāb fī l-radd ʿalā lMusyabbiha, ed. Ibrahim Geries (Tel Aviv: Dept. of Arabic Language and Literature, 1980), 57-87.
anak didik seperti seperti tingkat kecerdasan,
untuk membuktikan segala sesuatu yang
kerajinan, minat belajar, dan sebagainya.8 Di
memungkinkan bisa diperlihatkan bukti itu
dalam proses mengajar, seorang guru harus
ketika diminta oleh anak didik, mempunyai
mampu menyampaikan materi dengan gaya
kemampuan untuk selalu berusaha agar anak
bahasa yang benar, sederhana, mudah serta
didiknya bisa memahami apa-apa yang
menarik perhatian anak didik. Al-Jāhiẓ juga
sudah diketahui oleh guru dan yang terakhir
menekankan
boleh
adalah guru harus mempunyai kemampuan
bersikap keras dan kasar tetapi harus
untuk selalu melawan segala sesuatu yang
bersikap lembut dan santun agar anak didik
akan merusak keilmuwannya.12
bisa menerima pelajaran dengan hati dan
4. Al-Qābisī (w. 403/1024)
bahwa
guru
tidak
Al-Qābisī berargumen bahwa guru harus
9
akalnya.
3. Al-Fārābī (w. 339/950)
bersikap lembut dan penuh kasih sayang
Menurut pemikir Islam yang bernama
kepada anak didiknya. Sikap kasar dan keras
lengkap Abū Naṣr al-Fārābī ini, jika
agar dihindari oleh seorang guru. Seorang
seseorang ingin mengabdi menjadi guru
guru tidak boleh mencaci maki, menghardik
maka ia harus memenuhi beberapa syarat,
atau memanggil anak didiknya dengan kata-
diantaranya adalah guru harus memiliki
kata kotor dan nama julukan yang buruk.13
perilaku
5. Ibn Sīnā (w. 428/1037)
yang
baik,
bebas
dari
sifat
mencari
Ibn Sīnā mempunyai pendapat tersendiri
Selain itu, guru juga harus
tentang kriteria guru, menurutnya seorang
melakukan proses pengajaran dengan penuh
guru harus pandai, taat dalam beragama,
sukarela dan keikhlasan tanpa ada paksaan
terampil dalam membangun karakter anak
kecuali di dalam beberapa keadaan yang
didik, memberikan pujian kepada anak didik
11
yang berprestasi, jauh dari sikap kedunguan
Dalam hal akademik, guru harus memiliki
dan senda gurau yang berlebihan, tidak
kepakaran di bidang tertentu serta mampu
bersikap sembrono, tidak bersikap kaku dan
menguasai bidangnya itu untuk diajarkan
menjemukan sebaliknya menurut Ibn Sīnā
kepada anak didiknya, memiliki kemampuan
bahwa guru harus bersikap baik dan bisa
memohon
sesuatu 10
kebenaran.
memaksa
8 9
seseorang
dan
hanya
untuk
mengajar.
Ibid., 62-63. Ibid., 86-87.
Al-Fārābī, Mā yanbaghī an yuqaddam qabla ta‘allum al-falsafah, ed. F. Dieterici. (Leiden, 1890), 10; „Ammār al-Tālbī, “AlFārābī” dalam Prospects: The Quarterly Review of Comparative Education, vol. 13, no. 1/2 (1993), 361. 10
11
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah, ed. Ja„afar alYāsīn, (Bayrūt: Dār al-Andalūs, 1983), 81; Ibid., 361.
12
Al-Fārābī, al-Jadal, Maktabat Mishkāt, No. 240/10, folio 192, Tehran University; Ibid., 361. 13 Terbit dalam Aḥmad Fuʿād al-Ahwānī, atTarbiyah fī ’l-Islām (Kairo: Dār al-Maʿārif, t.t.), 261-347; dicetak ulang dalam al-Fikr atTarbawī al-ʿArabī al-Islāmī, ed. Muḥammad Nāṣīr (Kuwait: Wakalat al-Maṭbuʿāt, 1977), 79-116.
memahami keadaan anak didik, berbudi
Menurutnya,
tinggi, bersih dan benar.14
diperlukan di tengah-tengah masyarakat.16
Ibn Sīnā juga menambahkan bahwa guru
jangan
hanya
keberadaan
Imām
guru
al-Ghazālī
sangat
menjelaskan
menyampaikan
bahwa guru berkewajiban untuk bersikap
pengetahuan dan kebenaran kepada anak
lembut dan penuh dengan rasa kasih sayang
didiknya, akan tetapi juga harus membawa
kepada
mereka untuk langsung berhubungan dengan
menyanyangi anak kandungnya. Guru harus
nilai-nilai dan ide-ide yang selama ini
mengajar dengan penuh keikhlasan seperti
dipercayai
sebuah
yang telah dicontohkan oleh Rasūlallāh ṣallā
pengetahuan dan kebenaran. Dalam hal ini,
Allāhu ‘alayhi wassalam, jangan sampai
jika
mengajar anak didik dengan niat untuk
oleh
seorang
guru
sebagai
guru
menyampaikan
anak
didiknya
mendapatkan
didiknya dengan penuh perhatian, ketelitian,
terimakasih tapi semata-mata hanya untuk
kesungguhan dan perasaan maka anak
Allāḥ. Guru harus mengingatkan tujuan dan
didikpun
dan
niat anak didik dalam belajar adalah untuk
kebajikan-kebajikan sang guru yang selama
mendekatkan diri kepada Allāh. Dalam hal
ini terpancar dari sikap dan tindakannya.15
akhlak, guru harus mendidik anak didiknya
6. Imām al-Ghazālī (w. 505/1111)
agar
meniru
perilaku
tidak
atau
ia
pengetahuan yang ia miliki kepada anak
akan
balasan
seperti
berperilaku
buruk
ucapan
dengan
Cendekiawan yang bernama lengkap Abū
memberikan pemahaman yang luas dan
Ḥāmid M. Ibn M. ibn Aḥmad al-Ghazālī aṭ-
penuh dengan kasih sayang, bukan dengan
Ṭūsī ini menganggap bahwa mencari ilmu
mencaci maki suatu perilaku buruk. Dalam
pengetahuan
bentuk
menjelaskan sebuah pelajaran, guru harus
daripada ibadah, dan mengajar adalah
selalu berusaha untuk mengkombinasikan
sebuah kewajiban yang harus ditunaikan,
penjelasannya dengan disiplin ilmu yang
oleh sebab itu Imām al-Ghazālī menyatakan
lain agar anak didik terbiasa dengan
bahwa profesi guru adalah sebuah pekerjaan
integrasi ilmu, selain itu pengetahuan anak
yang
didikpun akan bertambah luas. Dalam
sangat
(belajar)
mulia
adalah
dan
baik
sekali.
menyampaikan pengetahuan ke anak didik, seorang 14
Ibn Sīnā, “Kitāb as-Siyāsah,” ed. Louis Maʿlūf, dalam jurnal Majallat al-Sharq (Cairo), 1906, 1074; „Abd al-Raḥmā al-Naqīb, “Avicenna (Ibn Sīnā)”, Prospects: The Quarterly review of Comparative Education, (Paris, UNESCO: International Bureau of Education), vol. 23, No. 1/2, 1993), 67. 15 A. Zaki Saleh, al-Usūs al-Nafsiyyah lilThānawī, (Cairo: al-Naḥḍah al-Miṣriyyah, 1959), 401-402.
guru
harus
menyampaikannya
dengan bertahap dan perlahan-lahan sesuai dengan
kadar
kemampuan
akal
anak
didiknya. Guru harus memberikan perhatian khusus kepada anak didik yang kurang
16
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Semarang: Karyato Putro, t.t.), vol. 1, 11.
mampu mencerna pelajaran dengan baik.
yang
Guru
ilmunya,
menyembunyikan, menghalangi orang lain
mengerjakan apa-apa yang ia ajarkan pada
untuk mendapatkan pengetahuan serta tidak
anak didiknya agar menjadi contoh kepada
boleh mengabaikan kewajibannya dalam
anak didik khususnya dan masyarakat
berbagi pengetahuan. Ketujuh, guru harus
umumnya.17
terus-menerus
7. Ibn Taymiyyah (w. 728/1327)
(belajar)
harus
mengamalkan
benar,
untuk
guru
tidak
mencari
boleh
pengetahuan
meningkatkan
kualitas
Ada beberapa watak yang menurut Ibn
keilmuwannya. Kedelapan, guru tidak boleh
Taymiyyah harus dimiliki oleh seseorang
berbohong dan memberikan pengetahuan
yang berprofesi sebagai guru yaitu: pertama,
palsu ketika mengajar anak didiknya, sebab
guru
dan
menurut Ibn Taymiyyah ilmuwan yang
menyokong satu sama lain, tidak boleh
berperilaku buruk dan orang jahil yang taat
mengambil
beragama, mereka adalah orang-orang yang
harus
saling
hak
menghormati
orang
lain
atau
menyakitinya dengan perkataan maupun
telah mengorupsi agama Islam.19
perbuatan. Kedua, guru tidak boleh berusaha memaksa
para
anak
didiknya
Ibn Taymiyyah juga menyoroti soal
untuk
perilaku guru, menurutnya seorang guru
bergabung dengan kelompok atau partai
harus selalu menasihati para anak didiknya
mereka dan juga tidak boleh membimbing
untuk selalu berbuat yang terbaik. Guru
masyarakat
arah
tidak boleh menghukum anak didiknya
permusuhan dan peselisihan. Ketiga, guru
karena perasaan benci, dengki dan balas
tidak boleh mewajibkan anak didiknya untuk
dendam. Hukuman diberikan kepada anak
mengikuti setiap pendapatnya. Keempat,
didik bertujuan hanya untuk perbaikan. Jika
Profesi guru adalah semulia-mulia profesi
terjadi perselisihan antara sesama guru atau
dan guru berhak untuk mendapatkan bayaran
guru dengan anak didik atau antar sesama
dari para anak didik untuk menghidupi
anak didik maka seorang guru harus ikut
kehidupannya.
andil
dilingkungannya
Kelima,
ke
guru
harus
mempunyai komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai dan perilaku Islami.
18
menyelesaikannya
dengan
mengadakan pengusutan yang wajib, adil
Keenam,
dan tidak berat sebelah dan guru harus hati-
menyebarkan
hati dalam berpendapat dalam menyikapi
pengetahuan secara sistematis dengan cara
perselisihan itu dengan cara mengetahui
guru
berkewajiban
untuk
penyebab
terjadinya
perselisihan.
Ibn
17
Ibid., vol. 1, 55-58. Ibn Taymiyyah, Majmū‘ah al-Fatāwā, (Riyad: t.p., 1962), vol. 28, 13-16; Abdullah S. Al-Fahad, “Ibn Taimiyah‟s Curriculum and Methods of Teaching”, Muslim Education Quarterly, The Islamic Academy, Cambridge, UK., Vol. 17. No. 1, 1999, 17 18
19
Muhammad Umar Memon, Ibn Taimiya’s Struggle against Popular Religion With an Annotated Translation of his Kitāb iqtiḍā’ alṣirāṭ al-mustaqīm mukhālafat aṣḥāb al-jaḥīm, (Paris: Moutan & Co, 1976), 104; Abdullah S. Al-Fahad, 17.
Taymiyyah
juga
menekankan
bahwa
kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik
seorang guru tidak boleh melarang anak
dan
didiknya untuk berdiskusi dengan guru yang
perkembangan karakter serta akal anak didik
lain sebab pengajaran di dalam kelas bukan
seperti psikologi, sosial, intelektual dan
satu-satunya tempat untuk mendapatkan
budaya. Ini maknanya bahwa pemikiran para
ilmu pengetahuan.20
tokoh pendidikan Islam zaman dahulu dalam
8. Ibn Khaldūn (w. 808/1406)
konsep
Menurut Ibn Khaldūn seorang guru harus bersikap lembut dalam mengajar anak
faktor-faktor
guru
yang
masih
mempengaruhi
sesuai
dengan
perkembangan zaman sekarang ini bahkan di masa yang akan datang.
didiknya. Guru harus mengajarkan materi
Secara mendasar uraian pokok dan
pelajaran kepada anak didik dengan cara
pandangan utama para tokoh pendidkan
bertahap yaitu dimulai dari yang sederhana
Islam mengenai guru bisa kita ringkas
dan mudah dicerna oleh akal anak didik dan
sebagai berikut:
diteruskan pada materi yang sedang tingkat kesulitannya
kemudian
disambung
ke
1. Guru
harus
pengetahuan
mempunyai dan
ilmu
keterampilan
tingkat pelajaran yang rumit. Metode seperti
dalam mendidik serta selalu terus
ini dimaksudkan agar perkembangan bakat
berusaha
dan keterampilan yang dimiliki oleh anak
keilmuannya.
didik tidak terhambat oleh materi-materi yang sukar.
21
meningkatkan
2. Guru harus mengerti dan menguasai materi pelajaran, tujuan pelajaran, metode pengajaran, kurikulum dan perkembangan karakter dan akal
SIMPULAN Setelah
kita
membahas
tentang
anak didik.
pandangan dan pendapat dari para tokoh
3. Guru harus menyebarkan kebenaran
pendidikan Islam terhadap guru maka
dan pengetahuan kepada anak didik
sebenarnya ide dan pemikiran para tokoh
dan masyarakat sekitarnya, serta
pendidikan Islam mengenai kriteria guru,
memberikan
peran dan fungsinya sudah mencakup unsur-
berpendapat kepada anak didiknya.
unsur
yang
pendidikan
diperlukan yang
dalam
selama
ini
proses ramai
dibicarakan banyak kalangan seperti aspek
kebebasan
dalam
4. Guru harus memiliki perilaku yang baik,
komitmen
yang
tinggi,
tanggungjawab yang besar terhadap anak didik, jiwa yang rajin, teliti,
20
Ibn Taymiyyah, vol. 28, 186-189; Abdullah S. Al-Fahad, 18. 21 Abdesselam Cheddadi, “Ibn Khaldūn”, Prospects: The Quarterly review of Comparative Education, (Paris, UNESCO: International Bureau of Education), vol. 24, No. 1/2, 1993, 16.
sungguh-sungguh dan ikhlas dalam mendidik.
5. Guru wajib mengamalkan ilmunya
Ifriqīqiyah
wa
zuhhāduhum
wa
dan bersikap adil serta bijak dalam
‘ubbāduhum wa nusākuhum wa siyar
bertindak.
min akhbārihim wa faḍā’ilihim wa awṣāfihim. Al-Qāhirah: Maktabah al-
Dengan demikian, bukanlah suatu
Naḥḍah al-Miṣriyyah.
kemunduran jika kita kembali mengkaji pemikiran para tokoh pendidikan Islam kemudian mengambil ide dan pemikiran mereka untuk diterapkan ke dalam sistem
Al-Naqīb,
„Abd
al-Raḥmān.
1993.
“Avicenna” dalam Prospects: The Quarterly review of Comparative Education vol. 23, No. 1/2.
pendidikan Islam di Indonesia.
Al-Shams al-Dīn, „Abd Amīr. (1985). AlFikr al-Tarbawī ‘ind Ibn Saḥnūn wa
PUSTAKA RUJUKAN
al-Qābisī. Bayrūt: Dār Iqra‟. Al-Ahwānī,
Aḥmad
Fuʿād.
(t.t.).
Al-
Tarbiyah fī ’l-Islām. Al-Qāhrah: Dār
Al-Tālbī „Ammār. 1993. “Al-Fārābī,” dalam Prospects: The Quarterly Review of
al-Maʿārif.
Comparative Education, vol. 13, no. Al-Fahad,
Abdullah
S.
Taimiyah‟s Methods
of
“Ibn
1999.
Curriculum
and
Teaching”,
dalam
Muslim Education Quarterly, vol.
1/2. Cheddadi,
Abdesselam.
(1993).
“Ibn
Khaldūn,” dalam Prospects: The Quarterly review of Comparative
17. no. 1.
Education, vol. 24, No. 1/2. Al-Fārābī. (t.t.). al-Jadal. Maktabat Mishkāt, no.
240/10,
folio
192.
Tehran
Fishbein, Michel. (2010). The Book of Rules of Conduct for Teachers. Dalam
University.
Bradely J. Cook dan Fathi H. Al-Fārābī.
(1890).
Mā
yanbaghī
an
Malkawi
(ed.),
Classical
yuqaddam qabla ta‘allum al-falsafah.
Foundations of Islamic Educational
F. Dieterici (ed.). Leiden. t.p.
Thought (hlm. 1-19). Provo, Utah:
Al-Fārābī. (1983). Taḥṣīl al-Sa‘ādah. Ja„afar al-Yāsīn
(ed.).
Bayrūt:
Dār
al-
Andalūs. Al-Malikī, Abī Bakr „Abd Allāh ibn Muḥammad. 1951. Kitāb Riyāḍ alNufūs fī ṭabaqāt al-Qayrawān wa
BYU Press. Ḥijāzī, „Abd al-Raḥmān „Uthmānī. (1986). Al-Madhhab al-Tarbawī ‘ind Ibn Saḥnūn. Bayrūt: Mu‟assasah alRisālah.
Ibn Sīnā. 1906. “Kitāb as-Siyāsah,” Louis Maʿlūf (ed.) dalam Jurnal Majallat alSharq Cairo.
ṣirāṭ al-mustaqīm mukhālafat aṣḥāb al-jaḥīm. Paris: Moutan & Co. Nāṣīr, Muḥammad (ed.). (1977). Al-Fikr at-
Ibn Taymiyyah. (1962). Majmū‘ah alFatāwā. Riyad: t.p.
Tarbawī
al-ʿArabī
al-Islāmī.
Kuwait: Wakalat al-Maṭbuʿāt.
Ismail, Sha‟ban Muftah. 1995. “Muḥammad
Saleh, A. Zaki. (1959). al-Usūs al-Nafsiyyah
ibn Sahnūn: An Educationalist and a
lil-Thānawī. Al-Qāhirah: al-Naḥḍah
Faqīh,” dalam Muslim Educational
al-Miṣriyyah.
Quarterly, vol. 12, no. 4.
Shalabī, Aḥmad. (1992). Al-Tarbiyyah wa
Maḥfūẓ, Muḥammad. (1982). Tarājim al-
al-Ta‘līm fī al-Fikr al-Islāmī. Al-
Mu’allifīn al-Tūnisiyīn. Bayrūt: Dār
Qāhirah:
Gharb Islāmī.
Miṣriyyah.
Memon, Muhammad Umar. (1976). Ibn Taimiya’s Struggle against Popular Religion
With
an
Annotated
Translation of his Kitāb iqtiḍā’ al-
Maktabah
Naḥḍah
al-