UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 1-8 ISSN 2338-0454
GUNA DAN CITRA DALAM ARSITEKTUR Oleh: I NYOMAN WARNATA Dosen Jurusan Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Warmadewa, Jl. Terompong No. 24 Denpasar – Bali, Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materiil belaka, tetapi lebih dari itu punya “daya” yang menyebabkan kita bisa hidup lebih meningkat. Sedangkan elemen “Citra” sebagai suatu “gambaran” (image), suatu kesan penghayatan yang menangkap ”arti” bagi seseorang. Citra tidak jauh sekali dari guna, tetapi lebih bertingkat spirituil, lebih menyangkut derajat dan martabat manusia yang menghuni bangunannya. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya tidak saja dikenal sebagai seorang Pastor, tetapi dia juga seorang budayawan, sastrawan, bahkan arsitek. Karya arsitekturnya menyentuh bahkan sampai ke mereka-mereka yang dipinggirkan (kaum marjinal). Karya arsitekturnya tidak saja sebuah sosok bangunan, tetapi sekaligus karya total dengan pembangunan manusianya, "Guna" dan "Citra". Arsitektur dunia tidak dapat melepaskan diri dari Trilogi Vitruvius: Firmitas, utilitas dan venustas. Dalam karya tulisnya yang luarbiasa, Romo Mangunwijaya menyingkatnya hanya dwilogi saja, Guna dan Citra. Tulisan ini akan membahas bagaimana perasan trilogi itu menjadi dwilogi saja. Guna dan Citra muncul sebagai suatu penjelmaan nilai yang terkandung dalam arsitektur dengan istilah yang pada akhirnya mampu terapresiasikan pada kata dan simbol‐simbol. Harkat, martabat dan derajat manusia merupakan sesuatu yang paling sering menggunakan arsitektur sebagai penunjuk identitasnya dengan mengimplementasikan unsur‐unsur dalam desain arsitektur. Keywords: Mangunwijaya, Vitruvius, Guna, Citra
PENDAHULUAN Arsitektur, Sebuah Pergumulan Firmitas, Utilitas Dan Venustas Setiap pertimbangan pada kategori-kategori arsitektur selalu tidak terelakan dan selalu meliputi tiga kategori Vitruvius, yang oleh Sir Henry Wotton dikatakan: “Well building hath three conditions: Firmness, Commoditie and Delight”
David S. Capon (1983) mengatakan bahwa sejak jaman kekaisaran Roma, tiga kategori ini secara mengejutkan hanya mengalami sedikit perubahan/modifikasi saja. Sejak Vitruvius membaginya dalam Firmitas, Utilitas dan Venustas, seorang mantan tentara Jaman Augustan yang banyak mengamati tulisan-tulisan Yunani ini, tidak jauh pula perbedaannya yang dibuat Plato dalam kategori dalam seni.
1|P age
Wotton, Henry (1624), “The Elements of Architecture”, Folger Shakespeare Library, University Press of Virginia dalam Capon David S. (1983), “Categories in Architectural Theory and Design : Derivation and Precedent, One which makes, one which uses and one which imitates”. Ulasan-ulasan tentang arsitektur oleh para penulis atau kritikus arsitektur (terutama penulis penulis arsitektur Barat) selalu berkiblat pada sosok agung Marcus Pollio Vitruvius, yang bertugas aktif pada 46-30 tahun sebelum Masehi ini. Winand Klassen menyamakan fenomena ini dengan bagaimana para penulis Barat di bidang filsafat yang selalu berkaca pada Plato. Sedang Capon (1983) secara rinci membagi beberapa pemikiran tentang arsitektur dalam bagan seperti dibawah ini : Tabel 1 Tabel Ringkasan Ulasan tentang Arsitektur Menurut Para Ahli
Pakar arsitektur paska-modern, Charles Jencks (1970:23). Jencks juga menggunakan pendekatan trilogi tersebut dalam komposisi TechnicFunction-Form. Trilogi Vitruvius firmitas-utilitas dan venustas tetap mempunyai pengaruh besar pada langkah para arsitek, kutipan Vitruvius tersebut adalah: “All these must be built with due reference to durability (firmitas), convenience (utilitas)and beauty (venustas). Durability will be assured when foundation are carried down to the solid ground and materials wisely and liberally selected; convennience, when the arrangement of the appartment is faultless and presents no hindrance to use, and when each class of building is assigned to its suitable and appropriate exposure; and beauty, when the appearance of the work is pleasing and in good taste, and when its members are in due proportion according tocorrect principles of symmetry”. Meskipun arsitektur mengalami perkembangan yang luarbiasa, namun tidak ada seorangpun yang akan berdebat tentang pemikiran bahwa sebuah bangunan harus didirikan dengan perhitungan yang benar agar tidak ambruk (kekuatannya tidak diragukan). Demikian pula dengan kualitas bahan bangunan yang digunakan haruslah prima. Kekasaran dan kelembutan bahan bangunan merupakan prasyarat pula agar bangunan tersebut nyaman digunakan, hubungan inilah yang menunjukan eratnya firmitas dan utilitas. Bahan bangunan dan bentuk struktur yang ada menghadirkan suatu keindahan (venustas) bagi bangunan itu sendiri.Rumah manusia merupakan bangunan, meskipun benda mati namun bukan berarti tak “berjiwa” yang selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, 2|P age
oleh watak dan kecenderungankecenderungan, oleh napsu dan citacitanya. Rumah adalah CITRA sang manusia pembangunnya. Seperti pakaian dimana orang lain dapat mengambil kesimpulan banyak tentang watak-sikap si pembuatnya, tentang cita-citanya yang mulia atau kekosongannya. Tidak berbeda dari pakaian, rumahpun memBAHASAkan cerminan diri kita. Maka dalam membangun rumah atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah yang perlu kita perhatikan yaitu: Lingkungan masalah GUNA dan Lingkungan masalah CITRA. Trilogi Vitruvius Vs. Dwilogi Mangunwijaya, Sebuah Diskusi Mengamati arsitektur bagi seorang Romo Mangun bukanlah sekedar benda fisiki belaka.Kekayaan ciptaan Tuhan menjadi modal pemikiran-pemikiran berarsitekturnya. Pandangan Romo Mangunwijaya tentang bangunan sama dengan pandangan Louis Sullivan. Romo Mangun memanusiakan bangunan dalam pernyataannya : Bangunan, biar benda mati namun tidak berarti tak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinafasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungankecenderungan, oleh nafsu-nafsu dan cita-citanya. Maka Louis Sullivan menyatakan, seperti yang dikutip Klassen : “For Sullivan the materials of the building are crude and harsh; the form, on the other hand, is gracious and of a higher level................ Such architecture comes about, when soul is imparted into the body, when a non-material, spiritual form unites with the matter of the architectural reality”.
Klassen dan Romo Mangun, menempatkan manusia ciptaan Tuhan sebagai mahluk yang “menafasi” sebuah arsitektur, sehingga sebuah arsitektur adalah “suatu kehidupan”; Klassen menyitir Kitab Kejadian : “God did that first when he made man.Combining the first and second account of the creation story we read God said, Let us make man in our own image, in the likeness of ourselves............... God fashioned man of the dust from the soil. Then he breathed into his nostrils a breath of life, and thus man became a living being”. Pada tubuh manusia ciptaan Tuhan inilah terlihat Romo Mangun dan beberapa pemikir Barat menganalogikan arsitektur dengan manusia; sehingga jiwa dan raga identik dengan “Guna” dan “Citra”. Analogi Romo Mangun tersebut antara lain tertulis: “Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengannya tiada henti. Tubuh dalam arti yang mulia adalah “ruang yang mengungkapkan diri”. “Ruang yang ekspresif”, nah disinilah perjumpaan kita dengan penghayatan arsitektural, penghayatan ruang, beserta pembatas dan pelengkap ruang-ruang, yakni gatra-gatra atau volume-volume, secara manusia berbudaya. Artinya, bermakna spiritual. Namun, demikian menurut Merleau-Ponty, “Tubuh jangan dibandingkan dengan benda fisik, tetapi ia terlebih karya seni. Guna dan Citra dalam arsitektur sekaligus meletakan analogi itu dalam komposisi Jiwa dan Raga manusia. Maka didalam raga tidak lagi dapat dipisahkan antara firmitas dan utilitas, demikian arsitektur akan 3|P age
menjadi hidup ketika citra atau venustas menafasi firmitas dan utilitas. Pandangan-pandangan pemikir-pemikir arsitektur Barat tentang firmitas, utilitas dan venustas lebih didasarkan pada arsitektur sebagai nilai kebendaan saja, bukan pendekatan manusiawi seperti yang dilakukan oleh para arsitek dunia Timur, bahkan di Nusantara ini. Padahal dalam beberapa pandangan seperti juga analisa yang dilakukan oleh Winand Klassen menunjukan kemungkinan penggabungan antara firmitas dan utilitas disatu pihak (Guna) dan venustas (Citra) di sisi yang lain. Demikian pula dari pembacaan tabel yang dibuat David S. Capon diatas, banyak terlihat kemungkinankemungkinan penggabungan form + function dan meaning. Dalam deretan trilogi Vitruvius, perletakan venustas dibelakang bukan berarti menempatkan aspek menjadi tidak penting. Kehadirannya dideretan belakang justru menempatkan venustas menjadi sangat penting. Bentuk arsitektur adalah sebuah realitas arsitektur yang menghadirkan “makna” atau content. HASIL DAN PEMBAHASAN GUNA Guna didefinisikan oleh Yusuf Bilyarta Mangunwijaya sebagai keuntungan, “pemanfaatan” yang diperoleh. “Pelayanan” yang dapat kita dapat darinya. Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materiil belaka, tetapi lebih dari itu punya “daya” yang menyebabkan kita bisa hidup lebih meningkat. Jika udara panas, rumah bisa berdaya guna karena di dalamnya tetap sejuk, suasana kerja bergairah, iklim pergaulan lebih enak. Sedangkan jika malam dingin, di dalam rumah suasana tetap hangat sehingga bisa tidur dengan nyaman.
CITRA Sedangkan elemen “Citra” dipaparkan oleh Romo Mangunwijaya sebagai suatu “gambaran” (image), suatu kesan penghayatan yang menangkap ”arti” bagi seseorang. Citra tidak jauh sekali dari guna, tetapi lebih bertingkat spirituil, lebih menyangkut derajat dan martabat manusia yang menghuni bangunannya. Lebih lanjut Romo Mangun menulis bahwa : “Citra menunjuk pada tingkat kebudayaan sedangkan Guna lebih menuding pada segi ketrampilan/kemampuan. Citra adalah “lambang yang membahasakan” segala yang manusiawi, indah dan agung dari dia yang membangunnya, kesederhanaan dan kewajarannya yang memperteguh hati setiap manusia. Contoh Guna dan Citra: 1.
Wisma Dharmala (Paul Rudolph, 1986)
Gedung jangkung membuat kota‐ kota menjadi tidak lagi seperti biasanya. Sejarah arsitektur menyaksikan kegelisahan luar biasa, seperti orang bingung menghadapi kedatangan bayi raksasa ke dalam sebuah keluarga.Orang Eropa, mulai dari August Perret, Peter Behrens, Eliel Saarinen, Le Corbusier, dan Koolhaas selalu mau pencakar langit dipadukan di dalam struktur ruang kota yang telah ada, entah sebagai "menara dalam taman” (towers in the park, Le Corbusier), menara sepanjang jalan raya (avenue of skyscrapers, August Perret), menara sebagai titik fokus (Saarinen), atau sebagai "kelompok“ (Koolhaas). Pencakar langit di Amerika jauh lebih pragmatis, karena terletak di dalam kotak‐kotak di Manhattan yang semuanya hampir sama rasa sama rata. Dimana bangunan Wisma Dharmala ini mencitrakan sebuah bangunan Raksasa Manis dimana bangunan ini terlihat besar dan tinggi dan manis yang telah 4|P age
dikatakan oleh banyak orang dari segi estetika dan bentuknya yang memegang penuh filosofi dari budaya Indonesia.
Gambar 1. Wisma Dharmala (Paul Rudolph, 1986) 2.
Chong Qing Tower
Dalam gambar ini bangunan yang diinspirasikan oleh Ken Yeang,dengan gelar Bioclimatic Architect. Dimana bangunan ini mencitrakan tentang wujud bangunan yang modern dengan menerapkan konsep alam (ekologis) yang mencari kesempurnaan dan keindahan yang terungkap pada bangunan hijau itu. Suatu harapan dari seorang arsitek yang sebelum tahun 2020, manusia akan melihat bangunan hijau, tidak hanya bangunan tetapi kota
besar hijau, lingkungan hijau, rancangan master plan hijau, produk hijau, gaya hidup hijau, dan transportasi hijau. Dimana secara keseluruhan menampilkan bentuk bangunan yang sedang mengalami proses perubahan, pertumbuhan dan berkembang yang seolah‐olah nantinya akan mengalami renkarnasi juga yang nantinya menuju keseimbangan, kesempurnaan dan keindahan dunia yang akan diwujudkan.
Gambar 2. Chong Qing Tower 3.
Nagakin Capsule Tower, Tokyo (1972)
Apartement Nagakin merupakan karya dari Arsitek Kurokawa, Jepang.Bentuk yang belum ada sebelumnya berupa menara dari 140 kamar dalam bentuk kapsul, menempel pada 2 buah Core. Dalam maksud dari guna dan citra bangunan ini merupakan bentuk,kontruksi, dan warna dapat menonjolkan dan memisahkan elemen‐ elemen dalam bangunan, masing‐ masing terlihat jelas dari luar merupakan konsep dan ciri dari Metabolism. Selain itu secara 5|P age
keseluruhan menampilkan bentuk yang sedang mengalami proses perubahan, pertumbuhan dan berkembang yang seolah‐olah nantinya akan mengalami renkarnasi juga merupakan dasar dari aliranArsitektur Modern Metabolism. Individualisme terkesan dari kapsul‐ kapsul lepas bebas satu dengan yang lainnya, merupakan konsep ketidaksempurnaan, proses menuju keseimbangan dalam filosofi Budha Zen yang dianut oleh orang‐orang Jepang dan Cina. Gambar 4. The Dancing House, Progue 5.
Gambar 3. Nagakin Capsule Tower, Tokyo 4.
Dancing House, Progue
The Dancing House (Rumah Berdansa) merupakan sebutan untuk bangunan kantor yang terletak di kota Prague , Republik Ceko. Didesain oleh arsitek kelahiran Kroasia, Vlado Milunic bekerja sama dengan arsitek dari Kanada Frank Gehry. Pembagunan gedung dimulai pada tahun 1994 dan baru selesai pada tahun 1996Dimana bangunan ini dikatakan bercitra awut‐ awutan karna dari bentuk bangunan yang tidak seimbang dan simetris, dan seperti bangunan yang tidak terlihat sehingga banyak orang yang ada disana mengatakan seperti itu
Rumah Minang
Bentuk dan gaya bahasa rumah minang ini laras terhadap alam sekitar, yang bergunung‐gunung memuncak seperti atap rumah minang itu. Alas sempit dan tubuh melebar semakin ke atas mencitrakan manusia minang yang tidak berbudi rendah. Citra manusia yang tidak tenggelam, tetapi yang dari kodratnya duduk dan berdiri di atas panggung. Citra jiwa yang mengerti keindahaan, kewajaran, kejujuran, keluwesan, budi bahasa tinggi terungkap di rumah minang ini. Balok dan batang‐batang yang horisontal menunjuk kepada alam sekitar dan sesama manusia, tiang dan atap dari sempit ke lebar menjulang keatas bagaikan lancip anak panah menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta nilai‐nilai kebaikan dan keindahan hidup yang asli dan yang selalu didambakan setiap manusia.
6|P age
Museum ini menjadi ber-Guna simbol masyarakat Bali untuk menghormati para pahlawan serta merupakan lambang perdamaian pelestarian jiwa perjuangan rakyat Bali dari generasi ke generasi dan dari zaman ke zaman, serta lambang semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama, 8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang setinggi 45 meter. Bentuk museum ini diambil berdasarkan cerita Hindu pada saat Pemutaran Gunung Giri Mandara oleh Para Dewa dan Raksasa guna mendapatkan Tirta Amertha atau Air Suci Kehidupan. Dinamakan Museum Bajra Sandhi karena bentuk museum ini seperti Bajra atau Genta yang dipakai oleh para pemimpin Agama Hindu dalam mengiringi pengucapan japa mantra pada saat melakukan upacara Agama Hindu.
Gambar 5. Rumah Minang 6.
Museum Bajra Sandhi, Renon, Denpasar
Museum Bajra Sandhi merupakan Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang terletak di areal lapangan Niti Mandala Denpasar, Jl. Raya Puputan. Museum ini dibangun dengan meniru bentuk bajra yang sering digunakan oleh pemangku/sulinggih. Museum ini dibangun di atas tanah seluas 13,8 hektar dengan luas gedung 70 x 70 meter.
Gambar 6. Museum Bajra Sandhi Sumber : Dokumentas Pribadi KESIMPULAN Dalam penelitian di tahun pertama ini, telah dilakukan pengukuran dari tinggi Saka, tinggi Bataran, dan tinggi Bale-bale, dimana ketiga variabel tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi kenyamanan dan proporsional dari bangunan Bale Sakenem. Berdasarkan perhitungan batas toleransi, diketahui bahwa nilai toleransi maksimal yang 7|P age
masih bisa diterima dari tinggi Saka yaitu 209 cm. Dan diketahui bahwa sebanyak 95% bangunan “Sakenem” yang tidak memenuhi standar kenyamanan pengguna. Pada variabel tinggi Bataran, batas toleransi nilai minimum dari tinggi Bataran yaitu 64.42 cm dan batas toleransi nilai maksimum (persentil 95%) diperoleh hasil yaitu 95.58 cm. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi Bataran diketahui bahwa 30% tinggi Bataran yang telah terukur belum memenuhi standar kenyamanan pengguna. Perhitungan batas toleransi tinggi Bale-bale untuk batas toleransi nilai minimum (persentil 5%) yaitu 70.45 cm dan untuk batas toleransi nilai maksimum (persentil 95%) diperoleh hasil yaitu 85.55 cm. Berdasarkan perbandingan antara tabel hasil pengukuran tinggi Bale-bale dengan batas toleransi diketahui bahwa 20% tinggi Bale-bale yang telah terukur belum memenuhi standar kenyamanan pengguna.
Papadakis, Andreas (ed) dan Powell, Kenneth. 1992. Popular Architecture, Architectural Design, volume 62 no.3/4. Prijotomo, Josef. 1988. Ideas & orms of Javanese Architecture. Gajah Mada University Press. Piliang, Yasraf Amir. 1995. Wawasan Semiotika dan Bahasa Estetika Post-Modern. Jurnal Seni Rupa, Volume I.
REFERENSI Capons, David S. 1983. Categories in Architectural Theory and Design: Derivation and Precedent, Design Studies. Istanto, Freddy H. 1999. Arsitektur ‘Guna’ dan ‘Citra’ sang Romo Mangun. Surabaya. Johnson, Paul-Alan. 1994. The Theory of Architecture: Concepts, Themes and Practic es. New York: Van Nostrand Reinhold. Klassen, Winand. 1990. Architecture and Philosophy. Cebu City: Clavano Printers. Mangunwijaya, Y.B. 1995. Wastu Citra, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
8|P age