ARSITEKTUR DAN MIMESIS Kaitan Mimesis dengan Ideologi Kapitalisme dalam Arsitektur Tony
Sofyan
Email:thon@cbn. net. id Jurusan Desain Interior Universitas Pelita Harapan UPH Tower, Lippo Karawaci, Tangerang 15811, Indonesia
Abstract
The domination of capitalizm in architecture was well aware by the individuals involved in the area. The globalization era was the main factor in rapid and instant architecture 'production' process. Logical consequences of this ideological domination is an in depth research about mimesis. The question is how far and how deep the architecture theory can outlook the overflowing wave of capitalism in architecture. Therefore, it has to be investigated whether there is a chance for capitalization of architecture commodity to enter via mimesis action. Also, it is considered necessary to investigate about the effectiveness of Peter Eisenman's deconstruction strategy to counter the hegemony of capitalize culture.
Key words: Mimesis, Architecture, Capitalism
Pendahuluan Pertanyaan mengenai bagaimana arsitek harus bersikap dan berbuat dalam melahirkan suatu karya menjadi penting dalam teori arsitektur. Seorang arsitek tentunya tak bisa lepas dari olah pikir, kedewasaan dan kebijaksanaan dalam bertindak. Dalam makalah ini akan dicoba dibahas mengenai mimesis dalam arsitektur. Mimesis yang dimaksud tentunya tidak hanya berhenti pada pengertian sederhana mengenai imitasi dan pengkopian, namun merujuk pada cara memandang dan meniru secara lebih mendalam realitas, mitos, dan ideologi. Heidegger melontarkan masalah mimesis ini dalam The Origin of the Work of Art yang mengambil contoh model kuil Yunani, bahwa esensi dari seni harus berlandaskan pada kebenaran, bukan sekedar pada "representasi". Gagasan Walter Benjamin tentang illumination yang esoterik, dapat disejajarkan dengan gagasan "referensi" dari petanda
2d3d
147
dan penanda. Debat mengenai sikap mimesis dan nonmimesis (kebenaran) diulas pula oleh Theodor Adorno, yang menyikapinya lewat menyandingkan mitos dengan semangat pencerahan. Selain dari beberapa pemikir Jerman tersebut, pola pikir mengenai mimesis ini dilontarkan pula oleh Derrida dan Lacoue-Labarthe.21 Dalam proses berkarya, bentuk arsitektur dikonstruksikan lewat beberapa acuan, yang dilihat berdasarkan persamaan dan perbedaannya. Titik acuan ini terdiri atas berbagai karakter dari berbagai level perlakuan mimesis, mulai dari program kebutuhan ruang, tipologi, konteks fisik, idiom-idiom formal dan konotasi sejarah. Semua elemen ini kerap diperlakukan secara mimetik dan kemudian diterjemahkan ke dalam desain arsitektural. Dengan membuka kembali landasan mimesis dalam berarsitektur, berarti terbuka kembali wacana arsitektur sebagai teks dan sebagai bahasa. Dan terbuka pula celah bagi masuknya ideologi dan mitos-mitos baru dalam wacana arsitektur. Dengan tidak menafikan motif kecurigaan lain, yakni adanya keterkaitan antara mimesis dengan ideologi kapitalisme dalam produksi arsitektur. Di mana ideologi yang saya maksud yakni ideologi kapitalisme yang tidak semata perangkat politik. Ideologi dalam pengertiannya yang luas adalah sebuah sistem bahasa atau sistem tanda. Ideologi tidak saja diartikulasikan dalam tindakan, aktivitas atau relasi sosial, tetapi dalam dunia obyek dalam hal ini obyek arsitektur. Obyek dapat merepresentasikan sebuah nilai atau kepercayaan tertentu. Dengan mempertimbangkan gejala aktual dalam masyarakat kapitalisme yang dibangun oleh apa yang disebut "budaya komoditi". Masyarakat tersebut disebut juga "masyarakat konsumer" (consumer society), yaitu masyarakat yang kehidupannya terpusat pada konsumsi. Benda-benda konsumsi tidak lagi dilihat fungsi utilitasnya akan tetapi perannya sebagai aktualisasi diri, simbol, status, dan gaya hidup (life style). Lewat melihat realitas masa kini, diperalatnya arsitektur oleh ideologi tersebut. Memungkinkan munculnya perspektif lain yakni perlawanan terhadap proses mimesis yang oleh ideologi kapitalisme mampu ditembus sebagai celah yang terbuka dalam arsitektur. Selain kemungkinan perlawanan terhadap kapitalisme dalam arsitektur, ada gagasan lain yang terkait dengan wacana arsitektur sebagai bahasa. Baudrillard memandang dominasi kapitalisme dengan sikap fatalis. Menurutnya dominasi kapitalisme tidak dapat diruntuhkan. Namun seperti dua sisi mata uang, sikap Baudrillard tersebut menyiratkan semangat perlawanan yang tersembunyi lewat gagasan simulacra-nya. Teks-teks yang tumpang tindih, saling tiru-meniru, bentukan mimesis yang berlapis mengakibatkan
Heynen HHde, (1999), Architecture and Modernity, MIT Press, Cambridge.
2d3d
bentukan arsitektur tanpa makna, karena telah jauh melampaui realitas (menjadi Hiperealitas) itu sendiri. Namun apakah gagasan Baudrillard tepat pada sasarannya dan memiliki dampak yang sama dengan gagasan awal Heidegger? Tentunya sama menariknya dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lebih kritis, apakah lewat penghilangan sikap mimesis ini ideologi kapitalisme dapat dijauhkan dalam praktek berarsitektur. Bagaimana dengan ideologi-ideologi (termasuk komunisme) dan mitos-mitos lainnya? Apa jadinya apabila arsitektur tidak lagi tanpa makna, tidak lagi merepresentasikan apa-apa lagi? Apa yang tersisa dan yang menarik dari kegiatan berarsitektur? Sebelum saya mengaitkan masalah mimesis ini dengan ideologi kapitalisme dalam arsitektur, saya memulainya dengan menguraikan berbagai pandangan mengenai mimesis dari beberapa filsuf dalam melihat obyek-obyek kebudayaan.
Mimesis dalam Seni Menurut Jakob Sumardjo,22 dalam sejarah pemikiran seni terdapat persoalan dengan pandangan bahwaseni mampu menghadirkan sesuatu, baik fisik, spiritual, mental, dan sosial. Bagaimana kenyataan fisik, spiritual, mental, dan sosial itu dihadirkan dalam seni? Apakah seni menghadirkan kenyataan seperti apa adanya, atau menghadirkan sesuatu yang ada dibalik kenyataan tersebut? Sejak zaman Yunani purba risalah mengenai bagaimana suatu karya seni dibuat menimbulkan debat yang panjang, mulai dari Plato dan Aristoteles. Plato dengan filsafat idealisnya menganggap bahwa seni itu meniru kenyataan tiruan. Seniman yang melukis meja sebenarnya meniru (mimesis) meja tiruan (realitas) dari ide meja yang ada di dunia keabadian mutlak-universal. Meja itu hanya mengacu pada bentuk luar belaka (eksternal obyek), sesuatu yang mati, yang hanya dapat dihidupkan dalam karya seni dengan kekuatan mythopoek seorang seniman filsuf. Seni harus merupakan ekspresi bentuk esensial dari alam kebaikan dan keindahan. Kaum Romantik Eropa juga berpendapat bahwa dunia visual itu hanyalah obyek yang tidak berjiwa, dan hanya dinamika dan vitalitas pemikiran sang penyair sajalah yang sanggup menghidupkan obyek-obyek mati itu melalui kedalaman dan ketinggian dunia idenya. Bagi kaum idealis seni itu berbeda dengan kenyataan alamiah. Seni bukanlah peniruan alam atau realitas obyektif semata-mata. Dalam diri seni harus ada semacam potensi makna intelektual yang bekerja untuk mengorganisasikan secara mental sesuatu !
Sumardjo, Jakob, (2000) Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung. Hal 128-131
di luar dirinya. Budi dan makna intelektual seniman bukan hanya memberi makna atau struktur pada kenyataan alamiah, tetapi juga menemukan struktur alam itu sendiri. Harus ada konstruksi mental yang digali dari dalam sesuatu obyek yang mati itu. Berbeda dengan Aristoteles dari zaman Yunani Purba, Plato menganggap seni hanyalah mimesis, yaitu tiruan alam yang meniru dunia ide. Aristoteles juga menganggap seni itu tiruan alam, sebab memang ada kemampuan bawaan manusia sejak lahir untuk itu. tetapi meniru di sini bukan seperti pantulan gambar pantulan cermin, tetapi melibatkan renungan atau meditasi yang kompleks atas kenyataan alam. Dalam hal ini pandangan Aristoteles tak berbeda dengan Plato, bahwa tugas seni adalah menemukan struktur tertentu dari alam. Struktur temuan ini menghasilkan suatu dunia baru, yaitu dunia mungkin, bukan dunia seperti apa adanya. Tugas seniman menemukan hal-hal yang general dan universal dari suatu obyek alam. Seni menurutnya menghadirkan peristiwa atau kenyataan faktual dan partikular (khusus), tetapi dibalik itu dia juga harus mampu menunjukkan ciri-ciri general dan universal. Kubu ini pada abad-18 melahirkan apa yang dinamakan realisme dan naturalisme dalam seni. Seni itu cermin kenyataan, atau lebih populer dikatakan bahwa seni itu cermin masyarakat. Kaum naturalis misalnya, menganjurkan para seniman bekerja berdasarkan sikap ilmiah. Sebuah karya seni harus dimulai dengan kerja observasi dan eksperimen. Imajinasi sama sekali tidak dibutuhkan. Alat kerja seniman yang utama adalah metode ilmiah paling mutakhir, dan mengenai bentuk imajinasinya boleh memakai model fiksi imajinatif yang sudah ada. Dalam hal ini, kaum naturalis jelas-jelas menolak kaidah seni Aristoteles yang menekankan karakteristik general dan universal dalam setiap karya seni. Pada perkembangannya pandangan tentang mimesis yang ekstrem dalam aliran realisme dan naturalisme ini kemudian dibelokkan kembali ke gagasan mimesis semula, yang merujuk pada pentingnya struktur mental seniman dalam melihat dan menghadapi kenyataan obyektif. Seni adalah suatu cara yang istimewa dalam melihat kenyataan. Kenyataan dalam seni tidak boleh dikaburkan dengan kenyataan alamiah obyektif. Kenyataan obyektif itu direpresentasikan dalam suatu proses realitas, yakni setelah dibentuk berdasarkan makna dan struktur dunia bentukan seniman. Tugas seniman adalah menunjukkan adanya proses perubahan struktur yang mendasar dan mendalam dari suatu proses perubahan kenyataan. Pandangan lain kubu mimesis dikemukakan oleh Brecht dalam teaternya. la menolak pandangan mimesis Aristotelian yang disebutnya sebagai presentasi suatu ilusi dengan sikap empati berlebihan. Agar penerima seni mampu melihat kenyataan secara obyektif, justru kesan ilusi dan empati harus dihilangkan, dan diganti dengan alienasi. Penonton
50
2d3d
teater dijauhkan dari presentasi yang seolah-olah mencerminkan kenyataan dan keterlibatan emosional dalam peristiwa pentas. Kenyataan seni pentas adalah kenyataan yang sedapat mungkin dijauhkan dari kesan realisme dan naturalisme. Kenyataan pentas (seni) adalah kenyataan pura-pura, bukan yang sesungguhnya, sehingga penonton justru dapat melihat kenyataan dengan jarak yang memungkinkan ditanggapi secara obyektif. Realisme kadang juga dibatasi oleh kelas sosial. Lakon-lakon tragedi adalah lakon kelas atas yang digarap secara serius, sedangkan lakon komedi selalu berlatar kehidupan rakyat biasa, kelas bawah yang digarap kurang serius. Pemisahan gaya ini lenyap di zaman modern. Pada masa ini rakyat biasa dilihat secara serius oleh para seniman, dalam tragedi maupun komedi. Bahkan banyak komedi terjadi di lingkungan kelas atas, khususnya para penguasa. Kubu mimesis terakhir ini menyebutkan bahwa apa yang disebut kenyataan obyektif itu tidak ada. Segala sesuatu itu ada karena setiap orang mempunyai persepsi sendiri tentang kenyataan di luar dirinya. Realisme yang dianggap milik bersama, atau kesadaran bersama, sebenarnya tak pernah ada. Kenyataan tak pernah obyektif. Semua kenyataan bersifat subyektif, tiap orang melihat kenyataan dengan cara yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, setelah menelusuri perkembangan pemikiran benda seni sebagai representasi tiruan kenyataan atau ekspresi subyektif atas kenyataan, dapatlah disimpulkan adanya enam pandangan tentang apa yang seharusnya diwujudkan dalam benda seni. Pertama, seni itu representasi sikap ilmiah atas kenyataan alam dan kenyataan sosial. Kedua, seni adalah representasi karakteristik genera/ dari alam dan emosi manusia umumnya. Ketiga, seni adalah representasi karakteristik general dalam alam dan manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya. Keempat, seni adalah representasi bentuk ideal yang melekat pada alam kenyataan dan alam pikiran seniman. Kelima, seni adalah representasi bentuk ideal yang transendental. Keenam, seni adalah representasi dari dunia seni itu sendiri (seni demi seni). Dari penjelasan di atas tampak bahwa kedua kubu tetap menyakini adanya hubungan antara benda seni dengan realitas di luar diri senimannya. Tetapi, terdapat perbedaan pandangan mengenai cara melihat dan kemudian merepresentasikannya. Seni tidak dapat dipisahkan dengan realitas hidup lingkungan senimannya. Di satu pihak, realitas itu dilihat secara subyektif melalui struktur mental senimannya, dan di lain pihak realitas itu sedapat mungkin dihadirkan secara obyektif tanpa campur tangan subyek seniman. Dalam pandangan terakhir ini sering terdapat kekacauan antara obyektivitas dalam pengertian empirik, dan subyektif dalam pengertian psikologi seniman yang mau tak mau terlibat dalam melukiskan kenyataan obyektif dalam karyanya. Juga sering
2d3d
151
dikacaukan antara sikap netral dan sikap obyektif. Sikap netral belum tentu obyektif dan sikap obyektif tidak dengan sendirinya netral.
Mimesis dan Bahasa / Teks Ada pandangan lain mengenai mimesis yang dikaitkan dengan bahasa atau teks, seperti yang dijelaskan oleh Hilde Heynen23. Perspektif ini mencoba melihat kaitan subyek dengan karyanya. Gagasan Walter Benjamin mengenai bahasa memang agak berbeda dengan gagasan umum mengenai semiotik. Dalam opininya bahasa tidaklah didasari oleh relasi yang konvensional antara penanda dan petanda. Mengenai dimensi komunikatif dari bahasa, dia membedakannya lewat dimensi kedua yakni "mimetik", yang dilihat sebagai asal usul dari munculnya bahasa (kemudian saya sebut sebagai •'bahasa asal"). Secara sederhana gagasan dari Benjamin dapat dijelaskan sebagai sebuah ekstrapolasi dari karakter bahasa yang onomatopoeic: seperti kata "cuckoo" dan "tick-tock"24 yang mengacu pada benda yang diacu, dari perspektif lebih luas dari bahasa keseluruhan yang dilihat sebagai imitasi (mimesis) dari realitas dunia. Menurut Benjamin, bahasa sebagaimana kerap kali kita gunakan, merupakan sebuah refleksi yang polos dari "bahasa asal" (original language) yang menamai benda yang diacunya dengan dasar kesamaan. Esensi dari "bahasa asal" ini dan kemudian pada setiap bentuk bahasa adalah pada masalah penamaan. Teks dianggap sebagai sebuah obyek dari mimesis, yang terbentuk akibat relasi dari kesamaan pada benda atau orang yang melahirkan nama tersebut. Struktur mimesis ini, tidak lagi dikenali dan dihadirkan dalam bahasa yang biasa yang kita gunakan sekarang: struktur bahasa sekarang tidak lagi mengekspresikan setiap kata itu sendiri. Benjamin menegaskan, bagaimanapun berubahnya bentuk bahasa tersebut, struktur dari mimetik ini tetap tak dapat lepas dari proses terbentuknya bahasa. Hal tersebut tidak hanya dapat ditemukan antara kata yang diucapkan dan maknanya; antara kata yang ditulis dengan maknanya; tetapi juga antara kata yang diucapkan dengan kata yang ditulis. Oleh karena itu kita mulai sadar bahwa proses ini adalah suatu tindakan membaca. Tindakan membaca bukan sekedar menggabungkan beberapa makna verbal yang sederhana. Dalam tindakan membaca ada sebuah relasi yang abstrak -Benjamin menggunakan terminologi "unsinnliche Ahnlichkeit"2*- yang "Heynen Hilde, (1999), Architecture and Modernity, MIT Press, Cambridge, hal. 97 ""Cuckoo" dan "tick-tock" adalah sebuah kata yang mengacu pada benda "ayam" dan "jam dinding" "Terminologi unsinnliche Aknlichkeit telah diterjemahkan dalam berbagai cara: Susan Buck-Morss
152
2d3d
dapat diartikan dalam kesamaan antara teks dan realitas, yang kemudian "memberikan percerahan (illuminated)" ketika seseorang mampu membentuk sebuah pengertian. Kesamaan yang tidak berpengaruh ini didapatkan pada bentuk konstelasi dari beberapa kombinasi kata-kata yang berkaitan satu dengan yang lain. Mungkin proses ini mirip dengan konstelasi dari bintang-bintang di alam semesta yang diinterprestasi oleh astrologi dalam menentukan prediksi-prediksi masa depan. Maka dengan proses ini dijelaskan bagamana sebuah kata dengan relasi mutual dan kombinasinya membentuk sebuah hubungan dengan realitas. Cyrille Offrermans menjelaskannya sebagai berikut: Bagi Walter Benjamin dan juga bagi Adorno, sebuah teks adalah sebuah bentukan dari medan gaya: sebuah pertukaran dari energi semantik yang terkandung dalam kata-kata. Sebuah kesadaran dari penggunaan bahasa... dalam membentuk sebuah medan gaya... Semakin sadar sebuah teks dikonstruksikan, dan semakin termotivasinya kata-kata, semakin berkurang arbitrernya kata-kata itu terbentuk, dan relasi abstrak dari benda-benda tersebut semakin berkurang. Pengalaman dalam memahami benda-benda akan menjadi lebih jelas seperti juga pada teks, meskipun tidak satu pun kata dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri atas bentuk kehadiran ini. (Sumber: Offermans, Cyrille, 1982, Nachtals trauma. Essays over het werk van Theodor W. Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse andJurgen Habermas, Amsterdam:De Bezige Bij.)26 Manusia mampu merasakan mimesis yang sama dengan pengertian Benjamin tersebut, di mana terdapat dua aspek: dalam pengertian yang murni, hal itu berkaitan dengan suatu pemahaman untuk membandingkan atau mengenali diri sendiri dari orang lain; dalam sebuah bentuk yang lebih lemah, dalam pemahaman kita untuk menemukan hubungan dan kesamaan antara benda-benda yang sebetulnya berbeda. "Pengalaman" yang nyata ini, dalam pengertian Benjamin, memberikan satu batasan yang seharusnya dilihat sebagai sebuah sosok mimesis, karena kesamaan merupakan sebuah pengalaman yang berulang.
menggunakan terminologi "hubungan non-representasional" dalam The Origin of Negative Dialectics (Brighton: Harvester, 1978), hal 88; Edmund Jephcott, penerjemah dari Reflections, menamakannya sebagai "kesamaan yang nonsensual". "Heynen Hilde, (1999), Architecture and Modernity, MIT Press, Cambridge, hal. 97 berdasarkan kutipannya pada tulisan Cyrille Offermans.
2d3d
153
Konsep tersebut menjadi penting dalam teori pengalaman (experience) Benjamin. Dia membedakan antara dua kata dalam bahasa Jerman mengenai pengalaman, Erlebnis dan Erfahrung. Erfahrung berarti pengalaman hidup; yang mengacu pada kumpulan dari pengalaman di mana sensasi, informasi, dan peristiwa tergabung dalam sebuah pengalaman individual. Kemampuan untuk meletakkan dasar dari kumpulan pengalaman tersebut berhutang banyak pada keberadaan tradisi. Dalam kesadaran pengalaman yang demikian dapat dikatakan menjadi tidak sadar dan kolektif. Erfahrung berkaitan erat dengan kemampuan untuk mempercayai hubungan-hubungan dan kesamaan-kesamaan dalam mewujudkannya. Erlebnis, pada sisi yang lain, mengacu pada sensasi-sensasi yang direduksi menjadi sebuah kumpulan dari atom, terputus dengan kejadian yang tidak berhubungan satu sama lain dalam satu cara, dan tidak terintegrasi dengan pengalaman hidup. Gagasan-gagasan ini diungkap melalui karya-karya Benjamin, terutama pada studi mendetailnya terhadap Baudelaire27 dalam Passagenwerk (Benjamin Passage's), la berargumen perihal "struktur pengalaman" yang mengalami perubahan akibat dari standarisasi, budaya massa, dan abad industrialisasi dalam skala besar. Menurutnya "pengalaman yang nyata" tersebut menjadi semakin sulit untuk ditemukan. Erfahrung (pengalaman hidup) adalah perihal tradisi dalam keberadaan kolektif, seperti juga terjadi dalam kehidupan pribadi. Lebih merupakan produk dari fakta-fakta yang tertanam dalam memori ketimbang memori tak sadar yang berupa data-data tersebar dan terakumulasi dalam kehidupan kita. Erfahrung lebih terkait dengan inisiasi gradual menuju tradisi, sedangkan Erlebnis lebih mengacu pada sensasi pada tingkat permukaan. Keduanya ditangkap oleh sebuah alarm kesadaran dan memberikan respon pada kesadaran langsung: ada respon yang segera dan impresinya lebih atau kurang dalam memori kesadaran (Erinnerung); dan tidak meninggalkan jejak ingatan, meskipun, dalam (ketidaksadaran) ingatan (Geddchtnis). Impresi yang merupakan bagian dari ingatan, sebaliknya, merupakan material yang terbentuk dari Erfahrung. Kesemuanya berulang dalam karakter dan kerap kali terdiri dari impresi-impresi dengan sebuah muatan sensor. Dalam rentang yang panjang kesemuanya telah memiliki pengaruh pada pengalaman individual, melebihi impresi peristiwa yang bersifat permukaan yang dihasilkan dari Erlebnis. Dalam tulisannya yang terkenal mengenai seni, Benjamin menjelaskan proses atropi daro pengalaman dalam terminologi mengeringnya "aura"dari sebuah karya. Status dari sebuah karya didasarkan atas sebuah perubahan yang fundamental sebagai
"Dikutip dalam Walter Benjamin, "On Some Motifs in Baudelaire," dalam Illuminations, hal 157.
154
2d3d
konsekuensi dari kemungkinan-kemungkinan teknis reproduksi teknologi audio visual (seperti film, fotografi, dan tape recorder). Apa yang hilang dalam reproduksi adalah keunikan dan otentisitas dari karya seni, yang oleh Benjamin disebut sebagai "aura". Berbeda dengan Adorno, Benjamin membuka peluang bagi reproduksi dalam seni dan sekaligus menutup pintu bagi otoritas kepengarangan. Melalui konsep ini, posisi Benjamin lebih dekat dengan paham posmodernisme. Di dalam artikelnya "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction", Benjamin mengemukakan, bahwa reproduksi mekanis dalam seni dapat diterima dan dengan demikian dapat dianggap sah sebagai satu karya. la mengatakan, bahwa secara prinsipil,"... sebuah karya seni selalu dapat direproduksi. Artifak buatan manusia selalu dapat ditiru oleh siapapun" (Benjamin 1955:218). Reproduksi, menurut Benjamin, tidak saja memberikan peluang bagi sejumlah besar orang untuk menikmati dan mengalami pengalaman seni, akan tetapi juga dapat menantang status otonomi seni. Reproduksi dapat menanggalkan seni dari menara gading yang elitis, dan menggelarnya di depan massa, dengan cara memberinya fungsi dan makna-makna sosial. Menurut Benjamin, seni dapat menjadi bagian dari kebudayaan massa. Dengan statusnyayang baru, seni dapat menjadi satu cara representasi - menjadi sebuah "tanda". Masyarakat dengan demikian dapat berpartisipasi dalam proses penciptaan seni, sekurang-kurangnya sebagai referensi dari representasi. Seni, dengan demikian, dimuati makna ideologis. Sebagai hasilnya, menurut Benjamin, perbedaan antara pengarang dan masyarakatnya menjadi melebur. Akan tetapi bagi Adorno, apa yang dikatakan Benjamin sebagai dampak sosial yang positif dari reproduksi seni, semuanya tak lebih dari suatu realitas palsu. Penolakan Adorno terhadap status seni reproduksi, yang dikatakannya merupakan produk dari Yndustri kebudayaan", terutama disebabkan oleh aspek totaliternya. "Kebudayaan industri" mendikte para konsumernya dari atas (produser) yang bersifat fasis.
Kapitalisme dalam Bahasa /Teks Dalam Das Kapital, Karl Marx mengkritik ideologi kapitalisme. Diungkap pada bagian pertama buku tersebut kritik mengenai komoditi dan uang. Komoditi dipertukarkan dengan dan untuk komoditi lainnya. Semua komoditi memiliki nilai pakai (use value), yang memenuhi sejumlah kebutuhan, langsung dan tidak langsung. Komoditi juga memiliki nilai tukar (exchange value), milik yang dapat dipertukarkan dengan barang lain. Perbedaan antara nilai pakai dan nilai tukar adalah serangkaian perbedaan dari
2d3d
155
aspek-aspek kehidupan manusia yang berlaku umum bagi semua bentuk masyarakat, dan perbedaan-perbedaan spesifik bagi jenis masyarakat tertentu. Lembaga pertukaran karenanya hanya terdapat pada sejumlah masyarakat di mana komoditi itu dihasilkan. Tanpa pertukaran, tentunya tak ada nilai tukar. Semua komoditi pastilah mengandung nilai pakai. Sebab, tak seorang pun akan membeli komoditi itu jika ia tidak mengandung nilai pakai. Ada banyak barang memiliki nilai pakai, namun tidak dapat ditukarkan dengan barang lainnya. Karenanya barang tersebut bukanlah sebuah komoditi. Beda antara nilai pakai dan nilai tukar dapat dilihat melalui pembedaan antara dua aspek kerja; kerja berguna dan kerja abstrak. Kerja berguna adalah kerja yang menghasilkan nilai pakai, sebagai suatu keharusan alarm yang ditimpakan pada masyarakat. Sebegitu banyak ragam nilai-pakai yang dihasilkan, sebegitu banyak pula ragam kerja-berguna dilibatkan untuk memproduksi barang-barang itu. Di dalam masyarakat penghasil komoditi, berbagai bentuk kerja berguna mempunyai kesamaankesamaan, sehingga mereka menghasilkan nilai tukar. Sepanjang tenaga kerja itu menghasilkan nilai, ia dinamakan kerja abstrak, yaitu biaya dari otak, saraf, dan otototot, kerja manusia seumumnya, tidak soal nilai pakai dari apa yang dihasilkannya. Marx kemudian menyinggung mengenai fetishisme28 yang dipandang olehnya sebagai suatu bentuk pemujaan terhadap komoditi. Sebagai akibat dari anatisis Marx mengenai tak dapat lepasnya nilai tukar dari sebuah komoditi. Suatu moralitas negatif muncul pada kelompok masyarakat yang memproduksi dan mengkonsumsi barang-barang dengan orientasi pada nilai tukar dan bukan pada nilai guna. Pada perkembangannya tindakan produksi yang tentunya diiringi dengan tindakan konsumsi akhirnya terjerumus pada tindakan irasional dari pengontrolan dan pemanipulasian konsumsi. Tentunya hal ini terjadi akibat ekspansi dari produksi kapitalisme yang mendapat dukungan dari manajemen ilmiah dari mazhab ekonomi Fordisme pada sekitar awal abad ke 20. Dengan langkah-langkah memberikan "pendidikan" perilaku konsumtif pada masyarakat lewat berbagai media termasuk lewat media iklan. Horkheimer dan Adorno, misalnya berdebat mengenai logika komoditi. Suatu logika pengejaran pada benda-benda seni dan benda-benda budaya secara umum yang disaring melalui industri kebudayaan. Indra penerimaan menjadi didikte oleh nilai tukar (exchange value) dengan tujuan yang lebih tinggi dan nilai dari budaya yang dihasilkan menjadi suatu logika proses produksi dan pasar. Nilai keluarga dan kehidupan pribadi berubah dengan "janji" mengenai kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas. 28
Fetishism dihubungkan oleh Marx dengan pemujaan keagamaan yang memberikan kekuatan supernatural pada sejumlah benda-benda.
56
2d3d
Langkah yang dilakukan adalah dengan menyisipkan suatu semangat berbeda pada satu produk dengan yang lainnya, di mana produk-produk dari kebudayaan tinggi dipecahpecah menjadi partikel terkecil (lewat diversifikasi produk, seperti rumah bergaya Eropa atau bergaya Jepang, dst.). Pemanipulasi massa yang partisipatif dalam sebuah kebudayaan produksi massal yang semu sifatnya, dengan target menjadikan massa dalam bentuk pecahan-pecahan yang terendah. Dalam perspektif ini, dapat saja diperdebatkan bahwa akumulasi dari barang-barang telah memberi kemenangan bagi nilai tukar (exchange value), di mana perhitungan rasional instrumental dari semua aspek kehidupan menjadi dimungkinkan dengan kemunculan perbedaan-perbedaan yang esensial, tradisi-tradisi kultural, dan kualitasyang bertransformasi menjadi kuantitas. Sementara logika dari kapital digunakan untuk menghitung seberapa jauh perhitungan progresif dan residu dari kerusakan budaya tradisional dan budaya tinggi, timbul fenomena budaya baru, yakni budaya kapitalis modern. Hal ini adalah salah satu tendensi yang terlihat dalam karya sekolah Frankfurt, tetapi selain itu Adorno berbicara mengenai bagaimana dominasi dari nilai tukar (exchange value) telah diatur sebagai bentuk penghancuran memori penggunaan nilai guna fuse value) yang orisinal, dan komoditas telah menjadi bebas dalam menggunakan nilai guna yang kedua (erzats use value). Komoditas juga semakin bebas untuk menggunakan rentang lebar asosiasi kultural beserta ilusi-ilusinya. Periklanan dalam beberapa sisi mampu mengeksploitasi nilainilai ini dengan menyisipkan citraan romantis, eksotis, hasrat, keindahan, pemenuhan kebutuhan, rasa kebersamaan, kemajuan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang lebih baik dengan ditawarkannya benda-benda konsumer seperti sabun, mesin-mesin cuci, kendaraan bermotordan minuman-minuman beralkohol. Penekanan yang sama pada logika dari komoditi diungkap pada karya Jean Baudrillard yang merujuk pada teori komodifikasi dari Lukacs (1971) dan Lefebvre (1971) dan menyimpulkan teori yang mirip dengan Adorno. Baudrillard memberikan gambaran mengenai semiologi yang memperdebatkan bahwa konsumsi berkaitan dengan manipulasi aktif dari pertandaan. Hal ini yang dijadikan titik tolak dari kaum kapitalis akhir, di mana tanda dan komoditas secara bersama-sama diproduksi dalam "komoditas tanda". Otonomi dari penanda, melalui berbagai manipulasi dari tanda pada media massa dan iklan, telah mampu melepaskan tanda dari obyek sehingga dapat digunakan untuk dalam sebuah relasi asosiatif berganda. Perkembangan semiologi Baudrillard dalam logika komoditi, mengakar pada beberapa gagasan dari teori Marx dan perubahan dari sebuah penekanan material menjadi kultural. Hal ini menjadi penting dalam tulisan terakhir Baudrillard, ketika penekanan tersebut beralih dari produksi menjadi reproduksi, menuju pada reduplikasi tanda, citra
2d3d
157
dan simulasi tanpa akhir, melalui media massa yang mampu mengaburkan perbedaan antara dunia imajinasi dengan realitas yang sebenamya. Masyarakat konsumer menjadi suatu bentuk kebudayaan yang penting dan esensial, seperti halnya diregulasikannya kembali kehidupan sosial menjadi lebih bervariasi dan lebih tidak terstruktur dengan adanya norma-norma yang lebih stabil. Produksi yang berlebihan dari tanda-tanda dan reproduksi dari citra-citra dan simulasi membawa pada suatu kondisi hilangnya stabilitas dari makna, dan realitas yang dipercantik dalam masyarakat menjadi lebih menarik dengan adanya arus "aneh" pembalikan yang tak berakhir, yang mampu memberikan pemirsa lebih dari sekedar rasa stabil yang dimaksud tersebut. Jelas bahwa produksi dari konsumsi mengalami kesulitan dalam mengarahkan praktek aktual dan pengalaman konsumsi. Sedangkan tendensi yang diberikan oleh mazhab Frankfurt untuk menghargai budaya industri sebagai sebuah budaya massa yang homogen, yang tentunya berpotensi untuk mengancam individualitas dan kreativitas, telah dikritik karena sikap elitisnya dan ketidakmampuan dalam menganalisis proses yang sesungguhnya dari konsumsi, yang mampu mengungkap beragamnya respon dan pemakaian dari barang-barang oleh masyarakat. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat. Yang dikonsumsi bukan lagi sekedar obyek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi dibaliknya. Kecenderungan ini oleh para pemikir sosial dan budaya Eropa (baca Barat) disebut dengan budaya konsumerisme. Perkembangan masyarakat konsumer telah mempengaruhi cara-cara pengungkapan estetik khususnya sepanjang ia berkaitan dengan penilaian estetik. Di dalam masyarakat konsumer, setidak-tidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi arsitektur (baca sebagai salah satu obyek estetik), yakni kekuasaan kapital, kekuasaan produser, serta kekuasaan media massa. Ketiga bentuk kekuasaan ini beserta pengetahuannya yang mendukung serta artikulasinya pada berbagai praktek sosial menentukan bentuk dan idiom estetik, serta produksi dan konsumsinya. Konsumsi sendiri -sebagai satu proses menghabiskan atau mentransformasi nilainilai yang tersimpan di dalam sebuah obyek telah dikaji dari berbagai sudut pandang dan disiplin. Konsumsi dapat dipandang sebagai sebuah proses obyektifikasi, yaitu proses eksternalisasi dan internalisasi diri lewat obyek-obyek, dan kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai-nilai ini. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi arsitektur dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam karya arsitektur oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal
158
2d3d
ini, obyek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi penghuni/pengguna sebuah karya arsitektur. Obyek membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat semiotik atau pertandaan. Di pihak lain, konsumsi dapat juga dipandang sebagai satu fenomena bawah sadar, yang dengan demikian masuk ke dalam kawasan psikoanalisis. Dalam pengertian psikoanalisis, konsumsi arsitektur dapat dipandang sebagai satu proses reproduksi hasrat dan reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Dalam bentuk kesenangan seksual (fetish) yang berhubungan dengan obyek seksual. Konsumsi adalah substitusi atau pengganti dari kesenangan yang hilang tersebut, yang tersimpan dalam bentuk bawah sadar. Sehingga, yang kemudian terjadi adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir, serta penciptaan terus-menerus untuk mencari pemenuhannya. Daniel Miller di dalam Material Culture and Mass Consumption meminjam istilah obyektifikasi dari Hegel untuk menjelaskan tentang hubungan dialektik antara subyek dan obyek, yang mengakibatkan rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan arsitektur yang membangkitkan motivasi dan daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut dalam suatu dialektika penciptaan. Hegel melihat obyektifikasi sebagai hubungan suyek dan obyek yang positif, menyiratkan dinamika arsitek sebagai pencipta yang tak pernah kering dan mampu mengekspresikan diri melalui karya-karyanya. Namun sebaliknya di dalam pemikiran Marx yang materialis, obyektifikasi mempunyai konotasi negatif, karena Marx menghubungkan proses obyektifikasi dengan relasi produksi dan penciptaan obyek-obyek di dalam masyarakat kapitalis. Arsitektur tidak diproduksi oleh subyek-subyek, yang memiliki sarana dan prasarana produksi serta modal, akan tetapi subyek sebagai pekerja, yang memproduksi obyek untuk pemilik modal, demi mendapatkan upah dari pekerjaannya. Dalam hal ini, subyek menempati posisi dirinya sebagai komoditi, yang diperjualbelikan tenaganya sama seperti obyek yang diproduksinya. Marx melihat fenomena ini sebagai alienasi terhadap karya arsitektur. Dalam keterpisahan dari karya arsitektur itu sendiri, sang arsitek (orangorang yang ikut terlibat dalam proses produksi) kehilangan unsur-unsur kemanusiaannya, dan ia menjadi lebih sebagai obyek. Hegel melihat obyektifikasi di dalam kondisi dan relasi produksi yang idealis. Sebaliknya, Marx dalam kondisi dan relasi yang palsu (materialis). Dalam pandangan mazhab Frankfurt, masyarakat konsumer pada masyarakat pascaindustri telah mengalami transformasi dalam relasi subyek dan obyek, yang lebih ditekankan melalui peran subyek sebagai konsumer. Melalui perkembangan teknologi
2d3d
159
produksi, yaitu otomatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminimalisasi sedemikian rupa bahkan hampir dihilangkan sama sekali, sehingga alienasi yang dimaksud Marx kehilangan maknanya. Bahkan andai memang terjadi alienasi, orang tidak ambil pusing, karena selepas penat dari bekerja, orang dapat menghanyutkan diri dalam ekstasi konsumsi: hiburan, tontonan. Dalam budaya konsumerisme, konsumsi tidak lagi diartikan semata sebagai satu talu lintas budaya material, akan tetapi sebagai sebuah panggung sosial, di mana maknamakna sosial diperebutkan, dan terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Barang-barang konsumer, pada akhirnya menjadi sebuah cermin tempat para konsumer menemukan makna kehidupan. Akibat kemajuan ekonomi dan meningkatnya daya konsumsi, terjadi perubahan mendasar pada relasi sosial sebagai fungsi dari kepemilikan obyek-obyek. Manusia masa kini tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia lain, melainkan dikelilingi oleh obyekobyek. Kecenderungan ini menimbulkan semacam fetishisme komoditi, yaitu simbol, yang sebenarnya tidak merupakan substansi dari komoditi, dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Nilai transenden dari zaman ke zaman, menurut Marx yang menganut tradisi berpikir materialis, mulai dari modus produksi masyarakat primitif sampai masyarakat kapitalis, berusaha ditanamkan penguasa kepada masyarakatnya lewat berbagai media, termasuk media arsitektur. Menurut Marx apa yang menjadi penindasan pertama di era modus produksi masyarakat purba/primitif adalah terciptanya mitos-mitos berupa religi dan nilai-nilai transenden. Mengapa perlu nilai-nilai tersebut? Tak lain adalah untuk memberikan pada masyarakat yang dipimpinnya sebuah pola pengendalian dan kontrol. Pada perkembangannya, Pharaoh Mesir yang ketika itu dianggap oleh masyarakatnya sebagai dewa mereka di era keemasan kebudayaannya, membangun makam Sphinx yang megah. Arsitektur Sphinx sangat sarat dengan simbolisasi dan sikap-sikap mimesis dari mitos yang disebarkannya. Mussolini dengan mitos "rennaissance" bangsa Italia membangkitkan kembali arsitektur Romawi yang menampilkan kejayaan kerajaan Marcus Aurelius di masa lampau. Demikian pula bangsawan feodal dan Gereja pada abad pertengahan membentuk mitos-mitos lewat penghormatan pada bangunan Gereja dan Istana. Mereka menggunakan mitos dan nilai transenden yang sudah ada untuk kepentingan penguasa. Pada moda produksi kapitalisme, "bahasa" lagi-lagi dimanfaatkan korporasikorporasi besar lewat perputaran kapital, yang "kelihatannya" cukup demokratis untuk memberikan peluang ke segenap lapisan masyarakat untuk beroleh kesejahteraan.
60
2d3d
Persoatan transendensi ini, kalau mau lebih jujur diterapkan di negara-negara komunis, seperti "the old Sovyet", juga membutuhkan nilai-nilai transendensi dalam kerangka kontrol sosial kemasyarakatannya. Nilai transenden masyarakat dengan moda produksi kapitalis muncul, lewat tandatanda dan simbol-simbol sosial yang dimaknakan ke dalam komoditi (yang segera menyebar ke masyarakat), sebagai medium sistem komunikasi yang mengatur pertukaran sosial. Baudrillard melihat komoditi dalam kasus masyarakat kapitalisme ini sebagai suatu fenomena hiperrealitas. Tidak tertutup kemungkinan medium arsitektur digunakan untuk kepentingan penguasa seperti di atas. Di dalam kebudayaan konsumer dewasa ini, konsumsi tidak lagi sekadar bersifat fungsional - yaitu, pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kini, lebih dari itu, konsumsi bersifat materi sekaligus simbolik. Konsumsi, dalam pengertian yang sesungguhnya, mengekspresikan posisi dan identitas seseorang di dunia. Kecenderungan umum ke arah pembentukan identitas melalui gaya hidup, penggunaan pakaian, mobil, atau produkproduk lainnya sebagai komunikasi simbolik dan makna-makna personal, telah mewabahi masyarakat. Konsep gaya hidup sebagai raison d'etre dari pemasaran adalah satu ujud dari pembentukan realitas semu dalam masyarakat konsumer sekarang ini. Menurut pandangan Jean Baudrillard dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, perubahan status komoditi ini terjadi karena struktur tanda merupakan jantung dari komoditi masa kini, sehingga menjadikannya sebagai medium total, sebagai sistem komunikasi yang mengatur pertukaran sosial. Dalam ekonomi pasar bebas, energi kemajuan tersebut lebih banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer, semata agar ekonomi kapitalisme dapat terus berputar, yang pada gilirannya hanya menghasilkan kesejahteraan semu. Dalam kapitalisme mutakhir, arsitektur tidak lagi menjadi obyek utititas, akan tetapi telah berkembang menjadi arsitektur virtual, yaitu komoditi yang menjadi ajang permainan semiotika, status, prestise, dan sensualitas komunikasi.
Skizofrenia dalam Arsitektur Lacan dan Deleuze Guattari melihat obyek-obyek budaya visual sebagai gejala skizofrenia. Kapitalisme konsumer mampu mengontrol obyek sebagai alat dalam proses pertandaan dan komunikasi sosial.29Dalam pandangan ini konsumsi lebih dilihat sebagai
"Namun ada pendapat lain dari Baudrillard yang secara kritis melihat bahwa apa yang terjadi adalah
suatu nilai tanda dan citra alih-alih "nilai guna" atau fungsi utilitasnya. Logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan, melainkan logika "hasrat". Hal ini terlihat dalam karya-karya arsitektur masyarakat kapitalisme konsumer, di mana konsumsi dipandang sebagai suatu sistem diferensiasi- yakni suatu sistem pembentukan perbedaan-perbedaan status , simbol dan prestise sosial. Menurut Judith Williamsons dalam Consuming Passion, pada masyarakat konsumer, obyek-obyek konsumsi dipandang sebagai "ekspresi diri" dari para konsumer. Konsumsi memberikan kesempatan tertentu bagi daya kreativitas, seperti sebuah mainan di mana seluruh bagian-bagiannya telah ditentukan, dengan kemungkinan kombinasi yang berlipat ganda. Membeli dan memiliki sesuatu dalam masyarakat konsumer memberikan rasa mengontrol dan menguasai. Apa yang menjadi perbedaan antara logika kebutuhan dan logika hasrat? Logika kebutuhan dapat dipenuhi lewat pemenuhan obyek-obyek, sedangkan logika hasrat tidak akan pernah akan terpenuhi, karena obyek hasrat (seksual) yang dicoba untuk dipenuhi muncul pada bawah sadar secara imajiner, dan hanya dapat dicarikan substitusisubstitusinya. Akibatnya akan muncul hasrat yang makin lama makin tinggi dan makin sempurna dari hasrat sebelumnya. Hal inilah yang menenggelamkan konsumer dalam lautan obyek dan tanda-tanda, termasuk obyek dan tanda-tanda arsitektur. Obyek-obyek arsitektur konsumer mengalir tak putus-putusnya dengan kecepatan yang luar biasa, dalam suatu arena hasrat yang tak pernah kunjung terpuaskan. Fenomena tersebut membuka peluangyang luas bagi berbagai gaya, bentuk, langgam yang datang dan pergi bergantian, saling silang dan saling berseteru sama lain. Inilah yang oleh Lacan disebut sebagai gejala Skizofrenia. Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menjelaskan gejala psikis diri manusia, namun kemudian diadopsi oleh Fredric Jameson untuk menjelaskan kode estetik bahasa dalam arsitektur. Lacan menjabarkan Skizofrenia ini sebagai putusnya rantai pertandaan, rangkaian sintaksis penanda yang berkaitan dengan pemaknaan yang ditandainya. Menurut Jameson, ketika hubungan penanda dan petanda terganggu, ketika hubungan petanda dan penanda putus, maka yang terjadi adalah suatu ungkapan skizofrenia, munculnya beberapa penanda yang tidak berkaitan satu dengan yang lain. Skizofrenia, menurut Lacan menganggap kata-kata sama seperti obyek-obyek yang tidak lagi merepresentasikan makna. Makna itu menjadi setara kedudukannya dengan "kata" atau simbol itu sendiri. Seorang penderita Skizofrenia tidak mengenal kata "saya" untuk memaknakan dirinya, sebab dirinya telah setara dengan obyek atau dengan kata.
sebaliknya, obyek-obyek konsumsi yang malahan mengontrol konsumer. Dia melihat bahwa kontrol yang dilakukan terhadap obyek ternyata hanya bersifat semu belaka.
162
2d3d
Seorang Skizofrenik dengan demikian, hidup dalam suatu dunia simbol yang berlapislapis, yang tidak memungkinkan suatu makna absolut seperti yang diharapkan oleh. kaum strukturalis seperti Sausurre. Seorang penderita Skizofrenik juga tidak dapat membedakan masa lalu dengan masa kini dan masa datang, sehingga muncul distorsi dan anakronisme dalam dirinya. Dalam arsitektur, istilah skizoprenia digunakan sebagai suatu analogi, suatu metafor dari kekacauan bahasa estetik. Sebuah karya yang skizofrenik dicirikan oleh terputusnya dialog antara elemen-elemen atau tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu dengan lainnya sehingga pemaknaan absolut karya arsitektur tersebut tidak dimungkinkan. Meminjam perspektif Lacan tentu gejala skizofrenik, dapat disimpulkan bahwa masyarakat kapitalisme lanjut adalah masyarakat yang "sakit". Keinginan masa kecil dari masyarakat belum tersalurkan, sehingga proses identifikasi dan pengenalan dirinya terganggu. Gejala Skizofrenik yang diidap masyarakat kapitalisme lanjut bukan diakibatkan oleh ideologi kapitalistik, tetapi "digunakan" oleh kepentingan perputaran kapital (demi kepentingan ideologi kapitalisme), sehingga masyarakat konsumer tak dapat lepas dari tindakan mengkonsumsi, yang berarti pula peningkatan produksi. Namun terjadi situasi yang bersifat paradoks. Peningkatan produksi dan konsumsi tidak menjamin suatu kondisi realitas yang lebih baik, terutama di negara dunia ketiga justru menambah jurang perbedaan ekonomi dan mempertajam keberadaan kelas sosial. Keberhasilan yang nampak di negara ekonomi maju atau negara dunia kesatu (konsumerisme dalam ekonomi kapitalisme fleksible), adalah akibat pengalihan proses produksi dan penghisapan buruh-buruh murah oleh negara-negara dunia kesatu terhadap negara-negara dunia ketiga, yang dilaksanakan melalui jaringan perangkat praktek neoimperialisme atau penjajahan ekonomi ditingkat dunia. Premis Lacanian yang lainnya menyatakan bahwa gejala skizofrenik muncul akibat tekan dan depresi yang terlalu besar dalam hidup sosok skizoid, sehingga muncul identitas bayangan dan terjadi split personality. Kepribadian yang terbagi dua ini mengakibatkan, skizoid tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Karena kepribadian yang terpecah tak lagi dapat dilacak mana yang sesungguhnya, karena kepribadian yang normal telah berkembang dan berubah sesuatu pertumbuhan. Skizofrenik, seperti yang diungkapkan oleh Fredric Jameson, merupakan bagian dari perpanjangan tangan hegemoni ideologi kapitalistik, sehingga harus disikapi dengan menolak munculnya gejala tersebut pada masyarakat. Deleuze dan Guattari memiliki premis lain yang lebih Nietschean, lebih postrukturalis, ketimbang metode "penyembuhan" masyarakat Jameson yang modernis. Menurut Deleuze dan Guattari,
2d3d
163
radikalisasi gejala skizofrenik malah akan membuat gejala ini menjadi malaikat kematian bagi kapitalisme. Skizofrenik merupakan perlawanan terhadap kapitalisme konsumer. Gagasan tersebut mirip dengan gagasan Marx yang menyakini bahwa kapitalisme akan mati dengan sendirinya apabila penindasan pada buruh-buruh di Eropa berlangsung terus dan dengan kejam menajamkan perbedaan kelas sosial. Gagasan radikalisasi skizofrenik diharapkan oleh Deleuze dan Guattari akan menjadi suatu terapi psikologis dari masyarakat yang mengidap penyakit tersebut. Pendekatan terapi yang modernis dan menganggap gejala tersebut sebagai gejala pesakitan, menurut mereka harus ditinggalkan, karena bersifat tidak produktif dan menjauhkan din dari apa yang disebut "kesembuhan". Berbeda dengan Baudrillard yang melihat gejala tersebut tak tersembuhkan dan membiarkan para penderita skizofenik jatuh dalam lamunan, halusinasi dan khayalan yang tak tersembuhkan. Ketika seluruh masyarakat menderita penyakit yang sama maka berarti tak ada lagi yang menderita sakit (karena semua sudah sakit), dan tidak perlu lagi sikap teleologis bagi tujuan penyembuhan total. Yang dilupakan oleh pemikir-pemikir dunia maju dalam hal ini adalah bahwa kondisi dunia ketiga berbeda dengan dunia kesatu. Dalam negara berkembang, masyarakat dengan ilusi skizofrenik duduk berdampingan bahkan bertetangga dengan masyarakat yang setiap hari melihat realitas yang memang menyakitkan. Masyarakat dari kelas sosial yang mampu "membayar" halusinasi dan ekstasi sosial setiap hari diingatkan posisinya lewat realitas yang muncul dijalan-jalan. Pada arsitektur, skizofrenia tak bisa lepas dari pagar-pagar tinggi yang membatasi dunia realitas dengan hiperealitas. Secara nyata penindasan kapitalisme tidak terhapuskan. Yang ada hanyalah substitusi dan pembelokan arti dari penindasan kapitalisme itu sendiri, sehingga masyarakat kapitalisme semakin terjerembab ke dalam dunia hiperealitas yang maya.
Mimesis dalam Arsitektur Dalam buku The Origin of the Work of Art, Heiddeger dengan model dari kuil Yunani berusaha mengidentifikasi esensi dari seni; Menurut pandangan seni harus menyatakan kebenaran, seni bukan merupakan representasi dari realitas. Kita sekarang mempertartyakan nilai kebenaran dari sebuah karya. Tetapi untuk mengenali lebih jauh pertanyaan yang diajukan, perlu dijelaskan sekali lagi bagaimana suatu nilai kebenaran diwujudkan dalam suatu karya. Dalam usaha ini secara bebas kita dapat memilih sebuah karya yang tidak
dapat diklasifikasikan sebagai seni yang representasional.Bangunan kuil Yunani, tidak menggambarkan apapun. (Sumber: Martin Heidegger, "The Origin of the Work of Art", dalam Heiddeger, 1975, Poetry, Language, Thought, New York: Harper and Row.). Bagi Heidegger kuil Yunani merupakan sebuah contoh di mana ia bisa mengungkapkan gagasan-gagasannya mengenai seni secara akurat, karena mimesis dalam pengertian Darstellung atau representasi tidak bekerja dalam karya tersebut. Ketika seseorang berhasil mengungkapkan pengertian yang sederhana dari mimesis melalui kuil Yunani tersebut, maka dengan sendirinya tesis bahwa arsitektur merupakan suatu bentuk nonmimesis kehilangan validitasnya. Demikan juga ketika definisi yang dilontarkan bahwa mimesis adalah tidak berarti secara ketat mengopi atau meniru, tetapi lebih berupa peniruan atas beberapa figur umum dari kesamaan dan perbedaan, dari beberapa afinitas dan korespondesi acuan, juga berarti tidak ada alasan lagi untuk melihat arsitektur lepas dari kenyataan mimesis. Dalam arsitektur, bentuk dibangun dan didesain dengan landasan proses korespondensi, similaritas (kesamaan-kesamaan), dan perbedaan (difference). Titik referensi yang dimaksud di sini tentunya sangatlah sangat bervariasi karakternya: seperti program ruang, konteks fisik, tipologi, idiom-idiom bentuk, konotasi historis. Semua elemen ini dapat diperlakukan secara mimetik dan kemudian diterjemahkan dalam bentuk desain arsitektur. Menurut Labarthe dalam "Typographie", (Mimesis Desarticulations), Heidegger dapat menafikan mimesis dalam arsitektur karena tidak ada suatu definisi yang gamblang dan konstitutif dari istilah mimesis itu sendiri. Jelas disini bahwa Heidegger berusaha untuk meneruskan tradisi metafisik, meskipun gagasan dia berbeda dengan tujuan tradisionalnya. Labarthe menjelaskan gagasan mimesis dari Plato. Dalam The Republic, secara eksplisit Plato menyatakan bahwa penyair, penulis dan artis seharusnya dikeluarkan dari negara ideal, sebab karya mereka tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pengungkapan kebenaran dan kebaikan. Menurut Plato, pendidikan spiritual bagi anakanak kecil tidak harus ditentukan dengan mendengarkan dongeng saja, karena dongengdongeng biasanya berdasarkan fantasi-fantasi dan karenanya ia tidak mengungkap kebenaran. Negara seharusnya mensensor produksi dari tulisan-tulisan yang tidak mengungkap kebenaran, dan memperbolehkan hanya produksi tulisan yang mengungkap kebenaran. Plato kemudian membandingkan pembuatan sebuah lukisan atau patung dengan cara melihat realitas melalui sebagai bayangan dari cermin. Bayangan yang muncul dari
2d3d
165
cermin tentunya bukan sesuatu yang nyata, sehingga jelas bahwa bayangan tersebut mengikutsertakan sebuah bentuk yang derivatif, sebuah kopi dari kebenaran. Plato melihat bahwa karya-karya seni tersebut menjauhkan diri dari kebenaran, dan seorang yang bijaksana sebaiknya melakukan perlawanan terhadapnya. Labarthe melihat hal yang menarik dari gagasan Plato tersebut. Plato tentunya tidak dapat membela penolakannya terhadap mimesis hanya dengan contoh bayangan dari cermin saja, hanya dengan pengertian pembandingan, atau hanya dengan sebuah gesture mimetik. Penghindaran sikap mimetik, dan pengendalian dari mimetik, baru dapat dicapai dengan memberikan pengertian yang secukupnya dari mimesis. Apabila ada pertanyaan seperti "Apa arti yangsebenarnya dari mimesis?". Mimesis masih betul-betul rapuh. Dan fakta bahwa seluruh usaha yang telah berlangsung selama ini terlihat hanya menuju ke arah perbaikan arti mimesis tersebut ketimbang menguasainya secara lebih mendalam. Apakah ada kemungkinan untuk berhasil- sejak mimesis secara tepat menghilangkan makna yang layak, dan apa yang sebaiknya dimunculkan dalam karya? Bagaimana sebaiknya kita memperlakukan yang tidak benar? Bagaimana membuat yang tidak benar tersebut diperlakukan tanpa berlebih-lebihan? Apakah tindakan tersebut tidak semakin jauh dari kebenaran? (Sumber: Lacoue-Labarthe, 1989, Typography: Mimesis, Philosophy, Politics, Cambridge: Harvard University Press, hal 95)30. Di sini kita berhadapan dengan dimensi penting mengenai mimesis. Dalam hubungannya dengan konflik antara dirinya dan yang lainnya, antara yang otentik dan tidak otentik, antara mana yang benar dan mana yang tidak benar. Jika usaha tersebut tidak berhasil memisahkan kategori dari kebenaran dan mimesis dengan penghindaran ambigu. Mimesis dapat membantu kita untuk mengerti fitur-fitur perbedaan dari beberapa entitas. Karakter spesifik dari operasi ini terdiri dari fakta-fakta fitur-fitur yang dapat diangkat hanya dengan pembandingan dengan sesuatu yang berbeda. Kesulitan untuk menentukan "kebenaran", dapat dibantu dengan melihat apa yang "tidak benar" dari sesuatu. Terlihat dalam penjelasan tersebut, peringatan Heidegger pada mimesis sebagai hal yang tak mengherankan. Dalam pikiran Heidegger, konsep dari otentisitas yang
M
Heynen Hilde, (1999), Architecture and Modernity, MIT Press, Cambridge, hat. 194 berdasarkan kutipannya pada tulisan Lacoue-Labarthe.
166
2d3d
sesungguhnya merupakan sebuah kategori yang yang pasti dan semakin membuang jauh keragu-raguan terhadap stabilitas dari kategori ini lewat pembahasan mengenai mimesis. Labarthe menunjukkan bahwa interprestasi Heidegger terhadap seni berdasar pada sebuah mimetolo$i. Heidegger tentunya tidak mengeksplorasi tema dari mimesis lebih lanjut - ia kelihatannya cukup puas dalam pengertian Platonik dan melihat mimesis sebagai figur kedua yang berada di bawah kebenaran dalam pengertian adequatio (identitas antara pernyataan dan fakta). Heidegger melihat seni sebagai sebuah lokus penting dalam dunia bentuk di mana kebenaran diungkap kembali secara terus menerus dalam bentuk yang baru. Seni memberikan bentuk pada kebenaran dan dalam pemberian bentuk atau inkripsi dari bentuk ini, seseorang menemukan sebuah momen mimetik. Labarthe berargumentasi bahwa mimesis dalam kenyataannya merupakan figur dari konsep kebenaran Heidegger yang disebut aletheia. Heidegger mempercayai kebenaran sebagai sebuah permainan di mana similaritas dari keberadaan dirinya terekspos, sebuah permainan yang menguak dan menyembunyikan, sebuah permainan di mana sesuatu yang muncul menjadi terlihat, dan di sisi lainnya menjadikan hal-hal lainnya lebih tersembunyi dan tidak terkuak. Mimesis merupakan sebuah proses dari penguakan dan juga penyembunyian, karena berkaitan dengan pemahaman mengenai kesamaankesamaan dan perbedaan-perbedaan. Fakta bahwa mimesis memiliki keterkaitan dengan setiap dalih filosofis mengenai kebenaran muncul pula dalam karya Jacques Derrida. Dalam "WhiteMythology", (1971), Derrida berdiskusi tentang metafora dalam tradisi pemikiran filsafat. Aristoteles pemah mengungkap mengenai metafora, di mana metafora dilihat sebagai sebuah arti figuratif sebuah kata benda dalam kaitan dengan sebuah mated spesifik di mana kata benda tersebut diaplikasikan secara lebih aktual. Metafora kemudian bekerja dalam kenyataan mimesis: dia menunjukkan persamaan tersembunyi yang dapat diamati antara dua entitas yang dimiliki oleh ranah yang berbeda. Yang menarik adalah bahwa analisis yang mendekati semua "konsep" ternyata dapat muncul dari tindakan metaforis: metafora "yang tersamar" tersebut mampu menjelaskan secara lebih bernas ketimbang metafora awalnya. Dalam teks ini Derrida menjajaki sejumlah konsep filsafat mendasar untuk menjelaskan akar dari mimetik. Demikian pula dengan Lacoue-Labarthe, pertanyaan yang kerap muncul adalah mengenai penentuan kembali kategori-kategori dari yang "benar" dan yang "tidak benar". Jika sebuah metafor berniat untuk memberikan penjelasan lewat sesuatu yang "tidak benar" (dengan keberadaan figuratif). Dan jika usaha tersebut tidak berhasil namun mampu menyumbangkan satu pengertian yang bernas meski pada akhirnya
2d3d
167
tereduksi dalam metafora yang samar. Maka bagaimana kemudian metafora dapat mengeksplorasi arti dari "kebenaran" dari sebuah konsep atau hal-hal yang penting dari sejumlah materi? Derrida menunjuk pada tradisi filosofis dan strategi tertentu yang diadaptasinya demi menghindari kesulitan ini. Sebuah aksiologi sengaja disusun dengan mengedapankan perbedaan antara "benar" dan "tidak benar", antara yang "esensial" dengan yang "tidak disengaja". Pembedaan ini cukup terjelaskan dengan metafor atau kesamaan-kesamaan meskipun belum mampu dibuktikan, namun dalam faktanya mampu mengungkap keseluruhan wacana filsafat dalam tradisi metafisik. Seperti ditunjukkan oleh Mark Wigley, figur dari sebuah rumah memainkan peranan penting dalam konstelasi pemikiran ini. Derrida mengacu kepada penjelasan metafora klasikal, di mana dinyatakan bahwa kata-kata digunakan sebagai tempat menghuninya metafor, seperti pada kenyataannya, dalam sebuah rumah pinjaman. Figur ini "metafor dari metafor: sebuah pencabutan, berada di luar dari huniannya sendiri, namun tetap dalam kondisi menghuni, di luar dari rumahnya namun tetap dalam sebuah hunian di mana dia dapat kembali melihat identitasnya, mengenali dirinya sendiri, mencari jati dirinya sendiri, di luar dirinya dan di dalam dirinya. Dalam relasinya antara figur sebuah rumah (oikos) dan masalah dari kebenaran {oikeios) dalam pengalaman pribadi. Menurut Wigley, rumah merepresentasikan sebuah pengalaman mendasar yang memungkin seseorang membuat suatu perbedaan antara di luar dan di dalam (memberikan suatu jarak). Pembedaan ini merupakan dasar terakhir pembentuk konsep dalam filsafat: Rumah selalu pertama kali dimengerti sebagai tarikan garis yang paling primitif yang menghasilkan suatu kondisi di dalam dan kondisi di luar. Sebuah garis yang bekerja sebagai mekanisme domestifikasi. Hal ini sebagai suatu paradigma kondisi interior bahwa kondisi "rumah" tidak diinginkan dalam filsafat. Filsafat akan terus menjadi dan terus mempertanyakan makna dari "menghuni". Hal ini mendasari perbedaan antara kehadiran kondisi interior dan kondisi eksterior dari representasi yang mana wacana ini bertolak. Rumah jelas merupakan dasar bagi metafor yang mengakomodasi hirarki pembedaan antara kehadiran {presence) dengan representasi {representation), antara yang langsung atau kehadiran pertama dengan yang tidak langsung atau representasi kedua, antara kebenaran sebagai kehadiran langsung dan mimesis sebagai mediasi dari imitasi.
168
2d3d
Hirarki teminologi di atas bertanggung jawab atas munculnya sikap antimimetik sejati dijelaskan oleh Lacoue-Labarthe. Antimimesis merujuk pada filsafat Utopian dari Hegel, sebuah mimpi mengenai pengetahuan yang absolut, dari sebuah subyek yang mengerti secara sempurna konsepsi dirinya sendiri, kemudian juga menguasainya secara sempuma. Mimpi mengenai otonomi yang sempurna ini secara konstan dihantui dengan kebingungan atas pluralitas dari kehadiran mimesis, dengan kata lain dihantui oleh suatu kondisi ketidakstabilan.
Dekonstruksi dalam Arsitektur Tulisan Eisenman31 menjadi penting dalam wacana arsitektur, karena mampu menjembatani pemikiran dalam dunia seni dengan praktek arsitektural. Derrida melakukan pembongkaran logosentrisme dengan pemikiran Dekonstruksinya, maka secara kritis Eisenman menggunakannya untuk mengkritik strukturalisme dan semiotika dalam arsitektur. Dalam wacana arsitektur masa kini, budaya kapitalisme yang berkepentingan dengan tanda-tanda fetishismen arsitekturnya, secara hegemonik selalu muncul sebagai teks. Meski tidak secara eksplisit Eisenman menulis mengenai pendobrakan laju budaya kapitalisme, namun dalam debatnya dengan Graves sebagai wakil dari arsitek posmodernisme, dipertanyakan masalah figur retorik yang dalam representasi arsitektur kapitalisme konsumer kerap dimuati oleh makna-makna ideologis. Eisenman mengkritik asumsi metafisik dari arsitektur (seperti estetik, struktur, dan makna) dan beberapa tata bahasa arsitektur (elemen seperti kolom, kapital, dll) sebagai hukum alam. Asumsi fakta alamiah ini terbentuk dari fakta bahwa arsitektur harus mendirikan suatu titik temu, harus menyatakan kehadiran, hams menjadi agen dari realitas (berupa bata dan plaster, fungsi dan tempat berlindung, dan rumah). Karena terbentuk dari bata dan plaster, arsitektur memegang janji-janji dari realitas, otentisitas, dan kebenaran sejati meski secara ironis kita hidup dalam suatu dunia
"Eisenman, Peter, (1987), Architecture and the Problem of the Rhetorical Figure, Architecture and Urbanism Magazine, Tokyo. "Fetishisrne yakni mendewakan, atau obyek-obyek "dewa" yang bermakna sebagai sesuatu yang gaib, atau sebagai kekuatan asing supranatural pada sifat manusia. Pada masa primitif, jimat adalah obyek yag dipuja-puja dengan penuh rasa khidmat, yang akhirnya diyakini bisa mendatangkan peruntungan baik atau buruk. Pada era kapitalisme, pemujaan terhadap uang, hak milik, dan komoditi-komoditi adalah sihir bagi penganut kapitalis.
2d3d
169
yang absurd di mana kebenaran telah diatur oleh beberapa kelompok pengarang dan media massa. Satu-satunya sumber "nilai" yang ada sekarang adalah memori ingatan dari "nilai"; sebuah nostalgia; di mana kita hidup dalam dunia yang begitu relatif, dunia di mana hasrat menjadi substansi yang absolut, dunia di mana segala sesuatu telah melampau realitas. Dengan fakta-fakta tersebut Eisenman berpendapat bahwa arsitektur telah menjadi, dalam sebuah masyarakat yang tidak sadar, yang sepertinya dijanjikan bahwa arsitektur adalah sesuatu yang nyata. Tetapi juga benar bahwa arsitektur, lebih dari disiplin ilmu lainnya, harus berhadapan dengan persepsi yang telah lama mengakar dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena polemik populer yang ada dalam masyarakat mengenai status quo dari "menghuni" {dwelling) yang tidak mampu mendefinisikan arsitektur. Apa yang mampu mendefinisikan arsitektur adalah pencarian terus menerus dari arti "menghuni" (dwelling), dengan kata lain terus menjadi. Untuk terus merubah definisi dari "menghuni" {dwelling) tersebut, arsitektur harus terus menerus menemukan dan mencari dirinya sendiri. Yang dimungkinkan adalah definisi mengenai menghuni yang tidak berakhir dan terus berkembang. Arsitektur harus mampu merubah makna dari menghuni (dwelling) yang telah lama dikonstruksikan lewat dalih-dalih sejarah. Tenaga alami arsitektur itu sendiri beserta dialektikanya, harus selalu membuat ketentuan, merubah ketentuan, dan menentukan kembali dengan segala kesulitan yang dihadapinya. Arsitektur membentuk sebuah institusi. Dia merupakan sebuah aktivitas yang selalu membangun. Arsitektur dengan segala kreasinya adalah sebuah alat pelembagaan institusi. Oleh karena itu agar arsitektur tetap menjadi, harus tetap melakukan perlawanan terhadap dirinya sendiri. Harus mampu melawan keberadaannya sendiri, juga harus mampu menjaga keberadaan metafisiknya. Ini yang disebut dengan paradoks dari arsitektur. Dalam menciptakan kembali sebuah kawasan, apa itu berbentuk kota atau sebuah rumah hunian, ide sebuah kawasan harus mampu lepas dari tempat tradisionalnya, dari sejarahnya, dan lepas dari sistem pemaknaannya. Ini senantiasa membawa perubahan pada arti dan interpretasi elemen-elemen tradisional, dan figur arsitektur harus dibaca sebagai retorika dari sebuah oposisi bahasa estetis atau metafora. Menurut pemahaman tradisional, dalam bahasa terdapat hubungan antara tanda dengan makna yang ditandainya. Sebagai contoh: Seekor kucing dalam bahasa Inggrisnya (cat) terdiri dari gabungan huruf c-a-t, Telah menjadi konvensi umum bahwa gabungan huruf tersebut menggambarkan seekor hewan yang berkaki empat dan bersuara meow. Tapi apabila kita menggubah komposisi bentuk
170
2d3d
tersebut dari c-a-t menjadi a-c-t, yang merupakan kumpulan dari huruf yang sama tapi berbeda komposisi, maka yang dimaknakan dalam tanda tersebut adalah hal yang berbeda Ternyata ada makna yang lain yang telah tetap dari sebuah struktur huruf dengan obyek yang dimaknakannya. Sekarang terlihat bahwa memungkinkan untuk memutuskan hubungan antara struktur yang baku dengan relasi makna antara penanda (sign) dan petanda (signified), relasi yang selalu muncul, sebagai hal yang biasa digunakan dalam menjelaskan elemen arsitektural. Dengan memangkas relasi ini, dapat diproduksi sebuah gubafcan bentuk arsitektur yang bebas nilai, tanpa ada sesuatu yang dimaknakan atau direlasikan pada obyek yang terkait, berarti menghilangkan arsitektur dari budaya, nilai sejarah, dan makna kumulatifnya. Namun perlu disadari bahwa ada perbedaan yang besar antara ranah literatur dengan arsitektur. Pada literatur sebuah kata memiliki bentuk pemunculan yang bersifat opak (transparan) di mana setiap kata secara tembus pandang langsung diartikan maknanya tanpa melihat jelas gubahan huruf-hurufnya. Kebalikan dengan literatur, arsitektur tidak sejernih literatur dalam menandakan sebuah obyek. Kehadiran obyek arsitektur didominasi oleh estetika, "ketidakhadiran (absence)"", dan kualitas retorik yang terkait di dalamnya. Akibatnya tidak memiliki sistem tanda yang terelaborasi secara baku ataupun elaborasi tata bahasa yang sistematik seperti linguistik. Dalam arsitektur artikulasi pengertian yang bersifat opaq (tembus pandang) sangat sulit ditemukan. Dinding hanya semata sebagai dinding belaka, ia bukanlah sebuah "kata" yang mengandung makna. Dalam pemaknaan tradisional, dinding dapat juga berarti sebagai sebuah elemen yang tidak memiliki makna apa-apa dalam tata bahasa arsitektural. Ketika Michael Graves mengatakan bahwa apa yang Eisenman perbuat dalam karyakaryanya adalah bukan arsitektur, itu berarti bahwa apa yang dilakukan Eisenman adalah di luar dari tata bahasa arsitektur yang umum digunakan, di luar dari asosiasi tradisional mengenai makna sebuah dinding. Apabila kita menginginkan dinding lebih dari sekedar sebuah tanda -yang berarti retorikal- kita harus mengurangi sifat opak (tembus pandang) dengan membentuk kembali elemen tradisionalnya, strukturnya dan memaknainya lagi dengan makna estetis. Ini memerlukan sebuah pengenalan atas istilah "ketidakhadiran"(obsence) dalam arsitektur, sebuah "ketidakhadiran" dalam "kehadiran"(presence). Sebuah "ketiadaan makna" dalam "pemaknaan yang penuh", sebuah kekosongan dalam kepenuhan. Di mana "ketidakhadiran" secara tradisional
"Yang dimaksud ketidak hadiran dalam bahasa Inggrisnya "absence", saya artikan sebagai ketiadaan makna bagi sebuah obyek, sebagaimana secara tradisional sebuah obyek selalu dimaknakan.
2d3d
171
sering dipaksakan menjadi sebuah "kehadiran". Hal ini tentunya memerlukan sebuah strategi. Kembali pada kata "cat" dan "act". Apabila ditambahkan kata "is", akan terbentuk gabungan kata "cat is"dan "act is". Apabila kita menggabungkannya dan membentuk kata ketiga "cactis", dihasilkan sebuah tanda yang tidak bermakna apa-apa. Meskipun mirip-mirip dengan kata lain seperti "cactus", tetap tidak dapat diartikan sebagai jenis tanaman yang hidup di padang pasir. Proses fragmen yang pertama ini dicoba dikombinasikan kembali menjadi beberapa fragmen kata baru, dan semakin lama transaksi penggabungan kata semakin tidak bermakna. Bentuk baru semakin kehilangan maknanya, sehingga munculah yang dinamakan "ketidakhadiran" (absence) tersebut. Ini yang oleh Eisenman disebut sebagai pengganti dari sebuah figur retorik. Hal ini dalam rangka membedakan figur metafora yang selain retorikal juga representasional, dari apa yang oleh Eisenman dinamakan sebagai figur retorikal. Dalam kaitannya dengan arsitektur, figur representasional mewakili sesuatu yang berada di luar. Juga berlaku pula dengan "ketidakhadiran" (absence). Arsitektur selalu diasumsikan seperti bahasa dan seni yakni memiliki sistem tanda. Sebagai contoh: figurasi tersebut bermakna. Tetapi gagasan figur retorikal ini dalam arsitektur tidaklah memiliki pemaknaan. Sebuah figur pemaknaan memaknakan sesuatu dalam "ketidakhadirannya". Sebuah figur retoris terkandung dalam "ketidakhadirannya", dan di dalamnya terkandung "sifat yang open ended". Eisenman dalam karya-karyanya berusaha menghilangkan figur metaforis yang bersifat retorikal dan memiliki pemaknaan, sehingga diperoleh sebuah bentuk realitas baru yang tidak lagi menuntut pemaknaan. Dalam sejarah, arsitektur klasik bukanlah figur retoris, tetapi retorika yang implisit adanya dan selalu berbicara dalam sebuah aturan bahasa arsitektur klasik yang baku, padahal retorika yang ada pada arsitektur klasik tentunya tidak bebas nilai. Usaha ini dimaksudkan untuk melepaskan kebudayaan arsitektur dari retorika arsitektural klasikal yang monoton, dalam menggunakan kebebasan yang secara potensial terbuka bagi arsitektur. Robert Venturi menggunakan bentuk "bebek" dan bentuk "dekoratif (decorative shed)" dalam usahanya untuk membuat pembedaan mengenai pemaknaan retorikal, meski dia tidaklah secara eksplisit mendefinisikannya. Bentuk "bebek" adalah sebuah figur pemaknaan, sedangkan bentuk "dekoratif (decorative shed)" merupakan figur retoris. Apa yang dilakukan Venturi merupakan sebuah praktek penyejarahan postmodern dalam arsitektur dengan mencela bentuk "bebek" yang bermakna. Hal ini terjadi dikarenakan bentuk dekoratif (decorative shed) sudah digunakan untuk memberikan pemaknaan dengan tata bahasa arsitektur yang tradisional.
172
2d3d
Dalam karya-karya Graves, ditemukan aspek retoris dan pemaknaan, tetapi figur retoris Graves berbeda dari karya-karya Eisenman, Graves menggunakan tata bahasa arsitektur yang umum. Karyanya mirip dengan aspek bahasa retorika yang tradisional (di mana tata bahasa yang digunakan, retorika merupakan sebuah bentuk pemaknaan). Arsitektur tradisional secara alami telah menuliskan sebuah otoritas teks - oleh sebab itu realitasnya terlihat sebagai sebuah sejarah atau sebuah bentuk estetis yang berusaha untuk mengurangi kecemasan. Figur-figur pada Graves juga merupakan beberapa otoritas dari teks-teks. Apa yang luput dari perhatian Graves adalah bahwa kolomkolom dan capitals tidak selalu muncul dalam tata bahasa arsitektur yang konvensional. Karya-karya Graves telah dihadirkan sebagai bentuk arsitektural penemuan baru, dengan asumsi bahwa pengadaan bentuk kolom dan capital, merupakan pengadaan tata bahasa dalam arsitektur, ironisnya Graves melakukan tindakan tersebut dalam karyanya untuk mengakhiri kemungkinan terciptanya penemuan baru dalam arsitektur. Hal ini dikarenakan figur representasional, (dengan bentuk-bentuk abstrak seperti yang dilakukan pendahulu Graves) bekerja dengan tujuan mempersempit sugesti mengenai sistem tanda yang umum. Apa yang diperdebatkan sejauh ini adalah: Kaum posmodernis membuka kembali impuls figurasi dalam arsitektur. Dalam pelaksanaannya, karena kaum posmodernis mengkopi gagasan figurasi sebagai sebuah model linguistik; di mana figurasi yang diambil lebih berlandaskan pada estetik ketimbang landasan retorikal. Ketika tanda-tanda figural mengunakan landasan retorik, seperti pada karya Graves, karyanya selesai dengan menerima tata bahasa arsitektur tradisional dan elemental (kolom, balok, dinding, dan pintu). Hal ini diasumsikan sebagai hal yang wajar. Kemudian apa yang kita ketahui sebagai arsitektur posmodern berbeda dengan sikap posmodernisme lainnya seperti dalam linguistik atau literatur (bahkan filsafat.) yang konvensional. Hanya merupakan bentuk lain dari bentukan klasikal atau figurasi tradisional. Kemudian haruslah dicari salah satunya sebagai sebuah figur retorikal posmodern yang tidak dipaksakan. Gagasan dari figur retorikal ini diajukan berdasarkan dua alasan. Yang pertama, karena figur retoris menuliskan teks selain teks yang disetujui dalam arsitektur. Yang kedua, karena figur retoris menuliskan teks selain teks-teks yang hadir. Dengan demikian, selain teks-teks dalam skala yang elemental, nilai-nilai yang orisinil, dan estetis. Dalam proposal Eisenman mengenai figur retoris, arsitektur tidak lagi dipandang melulu berupa elemen-elemen estetis dan elemen-elemen fungsional saja, tetapi lebih pada perlawanan gramatikal yang lain, sebuah proposal altematif dalam membaca sebuah
2d3d
173
kawasan dan obyek. Dalam pengertian ini, sebuah figur retoris akan terlihat lebih kontekstual dalam kawasan bilamana arsitektur diperlakukan sebagai "catatan kaki" yang komprehensif. Berbeda dengan paham kontekstualisme tradisional yang lebih representasional dan analitis, yang lebih mengolah suatu tempat sebagai sebuah kehadiran fisik. Yang lebih diterima sebagai sebuah gagasan determinasi kultural dengan simbol-simbol yang kuat dan hadirnya makna tempat yang menggugah. Hal yang analogis dan retorikal ini (ketimbang yang analitis) memberikan karakter pada proses perubahan tempat dari akar budaya lokasi yang telah ditentukan sebelumnya dengan cara membiarkan munculnya dua makna yang lama (yang telah ada sebelumnya) menjadi sebuah makna yang baru. Usaha ini menghasilkan makna retorikal, sebagai perlawanan terhadap sikap estetik, sikap struktural atau sikap historis dalam menentukan suatu bentuk di mana sering kali dipaksakan muncul dalam sebuah tempat dan dalam sebuah teks. Teks ini mengusulkan bahwa ada makna lain yang dalam suatu lokasi secara spesifik telah hadir sebelumnya, meski begitu latennya sikap tersebut dalam konteks yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pada umumnya sebuah aksis merepresentasikan sebuah garis waktu yang linier. Sebuah pergerakan terus menerus dan tidak terlihat antara dua titik (atau lebih) yang di dalamnya tertera makna dan relasi satu dengan yang lainnya dalam suatu hirarki. Melalui proses yang disebut superposisi, beberapa elemen seperti pergerakan maju aksial mengalami perubahan terus menerus, dimunculkan secara bersamaan pada skala dan lokasi yang berbeda. Dengan menonjolkan titik akhir dari tiga segmen yang panjangnya berbeda, dan kemudian membuatnya menjadi sama panjang, di sini kita dapat mengungkap relasi yang mirip dari ketiganya sebagai titik akhir dari segmensegmen yang berbeda dari sebuah aksis. Ketika segmen-segmen tersebut menjadi sama panjang, maka secara otomatis segmen-segmen tersebut mengalami perbedaan skala. Dengan mengubah gagasan-gagasan dari skala dan proporsi yang umum seperti skala tubuh dan penglihatan manusia. Maka setiap elemen dari segmen-segmen tersebut sekarang telah kehilangan dimensi, lokasi, tempat dan waktu riilnya. Tindakan ini subversif karena melawan ideide mengenai aksis sebagai sebuah ikatan bentuk yang selalu bergantung pada waktu yang linear, hirarkis, dan kontiniu. Terlebih dikarenakan elemen-elemen sepanjang aksisaksis ini telah direlokasikan kembali. Kemudian tindakan ini mengakibatkan munculnya (menonjolnya) elemen-elemen lainnya yang mampu mengungkapkan hubungan korespondensi yang tak terduga dengan kenyataan sebelumnya yang lebih sulit untuk dimengerti. Apa yang muncul dan terungkap dari proses inisiasi superposisi ini tidak dapat diprediksi. Ini yang kemudian disebut dengan "teks yang dipaksakan" (repressed
174
2d3d
texts) yang kerap kali muncul dalam membaca figur-figur retorikal yang baru. Superposisi menghasilkan sebuah perubahan34 dari "awal" (origin) dan "tujuan" (destination) dari ruang dan waktu. Pada saat yang sama, pergerakan maju sepanjang aksis tersebut menuju sebuah tujuan menghasilkan sebuah kondisi yang kembali ke awal. Dengan langkah ini, ide mengenai sebuah tempat semakin diperkuat sekaligus pula semakin ditolak. Sementara tempat-tempat baru lainnya terbentuk dengan gagasan-gagasan yang tradisional terkesampingkan dikarenakan tiap-tiap tempat secara aktual mewakili banyak tempat sekaligus. Sehingga dihasilkan suatu teks yang merubah gagasan tradisional mengenai ruang dan waktu. Gagasan yang menolak tradisi dan ide-ide utama mengenai konteks dan kehadiran estetik. Dengan demikian disadari bahwa "ketidakhadiran"(at>sence) merupakan kondisi yang penting bagi sebuah figur retorik, tetapi "ketidakhadiran" di sini bukanlah lawan dari "kehadiran" (presence) melainkan, tapi lebih merupakan sebuah "kekosongan" dalam "kepenuhan" (dalam pengertian bahwa kebenaran yang sejati sekarang adalah sebuah ide yang menyatakan bahwa keberadaan sebuah benda tidaklah berasal (muncul) dari keberadaan benda itu sendiri, tetapi lebih kepada "keberadaan" yang muncul dari "kekosongan" sebuah benda). Makna dari sebuah tempat tidak hanya bergantung pada "keberadaan"nya belaka, tetapi lebih kepada ingatan masa lalu kita dan kondisi imanensi dari semua kemungkinan yang "mengada". Perbedaan fisikal antara sebuah benda yang bergerak (dinamis) dengan benda yang diam (statis) adalah benda yang bergerak memuat sebuah jejak yang telah dilewati dan menunjukkan ke mana tujuan dari jejak tersebut. Pengetahuan kita pada jejak ini atau pada kondisi kekosongan ini membawa kita pada realitas yang dinamis dari kehidupan kota. Proses ini menyadarkan kita bahwa teks yang dipaksakan adalah sebuah fiksi belaka. Figur yang retoris menjadi sesuatu yang fiksional karena ketika berbagai elemen pada suatu tempat terlihat berada pada kondisi yang awal. Elemen-elemen ini kelihatannya ditempatkan menurut kondisi yang terdahulu dari struktur yang formal, yang mana pada faktanya tidaklah demikian. Titik awal dan akhir dipercayai secara temporer sementara pergerakan menuju suatu tujuan menghasilkan sebuah kondisi yang tetap membawa kita kembali ke titik awalnya. Persepsi pada satu titik dari semua elemen kemajuan, diatur kembali dalam skala dan jarak yang merubah hubungan antara ruang dan waktu. Dengan langkah yang sama, seseorang mungkin saja menerapkannya pada aksis yang ada dengan berbagai elemen yang sama secara berulang-ulang. Ruang dan waktu, bentuk dan figur, dalam sebuah sistem penuh dengan segala kemungkinan
"Tindakan yang di luar kebiasaan dan aturan-aturan yang umum, "out of order".
2d3d
175
munculnya kontradiksi. Arti dari ruang waktu dimerdekakan dari sebuah representasi simbol: definisi yang menyatakan bahwa waktu itu linear atau sirkular, dan ruang diartikan sebagai sesuatu yang dinamis atau statis, menjadi tidak penting lagi dalam pola pikir yang tradisional. Sistem pemaknaan (struktur budaya) dari sebuah bentuk dinafikan tanpa menolak keberadaan bentuk itu sendiri: namun sekarang bentuk-bentuk tersebut tidak lagi memiliki makna transendental (tidak lagi memiliki makna yang apriori). Bentukbentuk ini telah dilepaskan dari pemberi bentuk yang sebelumnya. Makna yang muncul adalah sebuah makna yang relasional. Arsitektur merupakan sesuatu yang terletak di antara "tanda-tanda"(signs). Yang mampu merubah esensi konseptual dari struktur tipikal yang ada sebelumnya (hirarki, waktu, tempat, dsb). Berbagai elemen ini sekarang telah dilenyapkan dari makna "asal"nya, dia tidak lagi melekat pada budaya, sejarah, tempat, skala, dan waktu. Bentuk-bentuk tersebut menjadi sesuatu yang baru sekalugus bentuk lama, sekarang telah menjadi sesuatu yang nirkala, tanpa tempat dan kosong dalam pengertian skala, jarak dan arahnya. Dengan kata lain bentuk-bentuk dan figur tersebut tidak berkaitan secara langsung lagi dengan struktur ruang dan waktu. Cara ini (kondisi fiktif dari teks-teks yang dipaksakan) mulai dikenal sebagai sebuah kualitas realitas yang fiksional dan sebagai sebuah kualitas fiksi yang rill. Kebudayaan, sejarah, dan terutama arsitektur merupakan sesuatu yang tidak pernah baku, tidak pernah "menjadi" dan selalu terbuka pada perubahan dan penambahan, tetapi lebih merupakan proses iterasi yang terus menerus dan selalu berubah. Makna dan struktur yang ada sebelumnya terus menerus diubah dan berubah setiap waktu.
Penutup Apa yang ditawarkan dekonstruksi menjadi menarik, setelah semiotika dalam arsitektur tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti dalam menghadapi beroperasinya budaya kapitalisme dalam arsitektur. Yang muncul hanyalah interprestasi ulang dalam penerjemahan bahasa/teks arsitektural. Fenomenologi yang ditawarkan oleh Heidegger pun mendapat kritik keras dari Lacoue-Labarthe dan Derrida. Fenomenologi tidak mampu melepaskan unsur mimetik dalam arsitektur. Apa yang dilakukan oleh Heiddeger merupakan penafian dari mimesis, karena tidak ada suatu definisi yang baku dari pengertian mimesis itu sendiri. Mimesis selalu mengalami redefinisi dan perubahan pengertian, mulai dari gagasan pemikir Yunani Kuno sampai dengan pemikir kontemporer seperti Derrida.
176
2d3d
Namun pemikiran dari kaum pascastrukturalis tersebut masih belum sepenuhnya dapat lepas dari pemikiran strukturalis, apalagi semenjak arsitektur telah menjadi suatu budaya massa di mana otoritas dari pengarang (arsitek) dikurangi porsinya, seiring dengan premis yang dilontarkan oleh Walter Benjamin dalam dukungannya terhadap budaya massa, guna menghilangkan fungsi kelas sosial dalam seni. Dekonstruksi jatuh dalam eksklusifitas dan masuk dalam perangkap modernitas tinggi (high modern). Teknologi memungkinkan munculnya produksi massal dari benda-benda seni, dan debat antara Adorno dan Benjamin mengenai masalah penajaman kelas sosial dan perilaku konsumtif dari massa juga mengalami jalan buntu. Redefinisi aktif budaya kapitalisme dalam arsitektur ternyata mengalami kecepatan perubahan yang lebih tinggi, ketimbang redefinisi dari usaha yang mencoba melawannya. Dekonstruksi pun secara langgam dan superficial kerap diikutsertakan dalam percepatan perputaran modal yang fleksible, sehingga makin jauh dari cita-cita luhur memanusiawikan kapitalisme. Pembelaannya, secara lebih mendalam dekonstruksi mengalami kesulitan dalam implentasinya pada masyarakat. Selain sulit untukditerima massa, pada tingkat pemahaman kritis, pemikiran dekonstruksi masih sulit dicerna oleh masyarakat luas.
Daftar Pustaka Adorno, Theodor & Horkheimer, Max, (1979), Dialectic of Enlightenment, translated by John Cumming, London: Verso. Brewer, Anthony, (1999), Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta: Teplok Press. Coward, John, Rosalind & Ellis, (1977), Language and Materialism, London: Routledge. Deleuze, Gilles & Guattari Felix, (1977), Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, New York: The Viking Press. Derrida, Jacques, (2000), Hantu-hantu Marx, translation Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang Budaya. Eisenman, Peter, (1987), Architecture and the Problem of the Rhetorical Figure, Tokyo: Architecture and Urbanism Magazine. Heynen Hilde, (1999), Architecture and Modernity, Cambridge: MIT Press. Jameson, Fredric, (1991), Postmodernism or, the Cultural Logic of Late Capitalism, London: Verso. King, Ross, (1996), Emancipating Space, New York: The Guilford Press. Leach, Neil (ed), (1997), Rethinking Architecture, London: Routledge.
2d3d
177
Marx, Karl, (1967), Capital (3 volumes), New York: Penguin Books. Ockman Joan (ed), (1985), Architecture Criticism Ideology, Princeton: Princeton Architectural Press. Piliang, Yasraf Amir, (1999), Hiper-realitas Kebudayaan, Yogyakarta: LkiS. , (1998), Sebuah Dunia yans Dilipat, Bandung: Mizan. Sumardjo, Jakob, (2000), FilsafatSeni, Bandung: Penerbit ITB. Tafuri, Manfredo, (1980), Theories and History of Architecture, London: Granada.
Pustaka Elektronik Peretti, Jonah (1996), Capitalism and Schizophrenia, Contemporary Visual Culture and the Acceleration of Identity Formation/Dissolution [On Line]. Available HTTP: http:/ /www.datawranglers.com/negations/issues/96w/96w_peretti.html
178
2d3d