GUIDELINES PROCEDURE PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG Danarti Karsono Abstrak Guidelines Procedure Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang ini disusun untuk memberi peran masyarakat secara optimal sebagaimana diatur dalam peraturan penyusunan tata ruang agar dapat mengantisipasi perkembangan beberapa kawasan potensial di perkotaan yang berkembang dengan cepat yang apabila tidak segera ditindaklanjuti dikhawatirkan akan memberi imbas pada tidak optimalnya potensi masing-masing kawasan. Tumbuh dan berkembangnya berbagai bagian wilayah di perkotaan yang demikian cepat, pada satu sisi menunjukkan dinamika aktivitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berkembang dalam tingkat persaingan yang cepat, sehingga menuntut ketersediaan sarana dan prasarana yang mampu mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Pada sisi lain kecenderungan yang terjadi tersebut dihadapkan pada kendala arahan penataan ruang sebagai produk dari rencana yang diberlakukan sebelumnya yang diharapkan mampu secara komprehensif mengantisipasi dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Memperhatikan kondisi tersebut keberadaan Guildeline Procedure Peran serta Masyarakat dalam penataan ruang menjadi suatu keperluan yang sangat mendesak untuk diwujudkan, sehingga permasalahan dan kebijakan pemanfaatan ruang pada masing-masing bagian wilayah di perkotaan dapat berfungsi secara optimal, tanpa meninggalkan kaidah-kaidah pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kata kunci: kebijakan, penataan ruang kota, peran serta masyarakat 1. PENDAHULUAN Sejak digunakannya rencana tata ruang sebagai alat untuk pembangunan wilayah di Indonesia pada tahun 50-an sampai akhir Pelita VI, pendekatan yang digunakan bersifat top down. Rencana tata ruang dibuat atas kepentingan (visi) Pemerintah Daerah, karena merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Daerah dalam mendistribusikan manifestasinya, tetapi sejalan dengan pandangan (paradigma) perencanaan di dunia internasional serta berkembangnya kehidupan yang lebih demokratis, pendekatan dari atas mulai ditinggalkan.
Peran Pemerintah sebagai penentu kebijakan betul-betul harus secara konsekuen dan konsisten dilaksanakan dalam rangka mendudukan masingmasing stakeholder pada peran dan fungsi yang seharusnya, maka perdebatan perencanaan perlu menghadapi pandangan baru dalam perencanaan tata ruang, yaitu perencanaan yang lebih demokratis, bukan hanya dalam proses, tetapi terutama dalam spiritnya. Dengan pandangan baru tersebut, pengambil keputusan bukan lagi pemerintah, tetapi pada stakeholders pembangunan
25
wilayah, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Sejalan dengan perubahan paradigma dalam perencanaan tata ruang, peran perencana juga berubah. Perencana bukan lagi penentu dalam proses perencanaan, tetapi lebih berfungsi sebagai fasilitator yang menjembatani kepentingan para stakeholder untuk memperoleh kesepakatan dan manfaat optimal dari proses tersebut. Dengan demikian, perencanaan tata ruang bukan lagi semata-mata proses teknis planologis, tetapi proses sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai proses politik, kepentingan dari masyarakat merupakan basis bagi perumusan rencana. Dengan demikian perlu dikembangkan mekanisme yang lebih membuka peluang bagi partisipasi warga masyarakat secara lebih luas dan langsung dalam proses perencanaan, implementasi, dan pengawasan pembangunan wilayah. Implikasi dari pendekatan tersebut akan lebih banyak masyarakat yang akan terlibat dalam proses perencanaan, baik melalui organisasi, kelompok, atau bahkan individu. 2. PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN TATA RUANG Berbagai keputusan yang tertuang di dalam perencanaan tata ruang terutama sangat memungkinkan munculnya berbagai perbedaan di dalam implementasinya di tengah masyarakat yang secara langsung terkena kebijakan tersebut. Pada perencanaan tata ruang, beberapa kebijakan yang direkomendasikan secara khusus, tanpa pertimbangan implementasi dan manajemen berdampak terhadap
kemungkinan terjadinya konflik, khususnya konflik politik dan hukum. Berbagai pertikaian yang muncul kemudian, lebih diakibatkan dari belum terlibatkannya secara komprehensif setiap unsur dalam proses perencanaan tata ruang dalam suatu prosedur yang merupakan kesepakatan bersama. Dengan keterlibatan masyarakat dalam memberi kontribusi secara aktif pada perencanaan tata ruang akan mewujudkan hasil yang optimal pada penerapan di lapangan. Berbagai permasalahan yang berkembang menjadi konflik atas berbagai kebijakan (khususnya tata ruang) yang berkembang di dalam masyarakat terkadang sulit untuk diramalkan. Dalam struktur pemerintahan, kekuasaan dibagi atas bagian-bagian kebijakan dari unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sejak dari Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Daerah (Propinsi sampai dengan Kota/Kabupaten). Tradisi pluralisme demokratis telah menciptakan kesempatan keterlibatan yang luas terhadap proses penyusunan kebijakan oleh segenap komponen yang berkembang di tengah masyarakat yang menaruh perhatian, dan karena adanya kepentingan-kepentingan khusus yang terorganisir. Sifat konflik atas berbagai kepentingan yang berkembang di tengah masyarakat atas suatu kebijakan tata ruang, cenderung bersifat multilateral (menyangkut berbagai pihak). Banyaknya pihak yang terkait di dalam suatu konflik karena berbagai kepentingan yang muncul dari kebijakan tata ruang, cenderung tidak terorganisasi dan tidak mudah untuk diidentifikasi. Sumber-sumber konflik sosial dalam kebijakan tata ruang yang berkembang di tengah masyarakat, tersusun dari
26
empat hal yang tumpang tindih: (1) Struktur sosia! (yang mengatur alokasi sumberdaya pokok di dalam masyarakat), (2) Prosedur pengambilan keputusan (yang menetapkan peraturanperaturan untuk pembuatan kebijakan), (3) Masalah yang substantif (yang memfokuskan pada hasil keputusan individual), dan (4) Adanya ketidakpastian (yang mengubah harapan dari hasil yang telah diperhitungkan mendatang). Pada dasarnya dalam memberikan kemungkinan peran serta aktif masyarakat dalam proses penataan ruang prosedur yang diharapkan dapat menghindari berbagai konflik yang kemungkinan muncul dari serangkaian kebijakan tentang tata ruang adalah melalui pendekatan perencanaan yang bersifat komprehensif. Berdasarkan pada konsep yang diadaptasi dari disiplin arsitektur (perencanaan) dan kerekayasaan (implementasi rencana), perencanaan komprehensif berusaha untuk merasionalisasikan struktur fisik, ekonomi, dan sosial dari kota dan daerah. Pada dasarnya dalam suatu pendekatan perencanaan komprehensif, akan melibatkan banyak personal dan berbagai kepentingan, sehingga
diperlukan suatu kebersamaan dalam upaya mewujudkan tata ruang yang diharapkan. Guideline dari prosedur peran masyarakat dalam penataan ruang tersusun atas kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pertimbangan bagi kepentingan umum, kelompok masyarakat dengan kepentingan khusus, dan kelompok terorganisasi yang berkembang di tengah masyarakat. 2. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM TATA KEHIDUPAN Rasa aman atau bebas dari rasa takut merupakan salah satu hak asasi manusia, dengan demikian maka rasa aman tidak saja perlu dijaga akan tetapi juga harus diupayakan. Perkembangan dan pertumbuhan yang tidak terkendali telah menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik, alam maupun lingkungan sosial. Menurunnya kualitas lingkungan fisik, atau alam menjadikan masyarakat menjadi tidak aman karena ancaman bencana alam seperti banj ir, kekeringan, kebakaran, polusi udara, penyakit dan sebagainya. Menurunnya kualitas lingkungan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan sebagainya 27
menjadikan masyarakat merasa tidak aman karena ancaman tindakan-tindakan penyimpangan sosial dan kriminalitas serta kekerasan, bahkan akhir-akhir ini karena krisis ekonomi" yang menyatu dengan krisis politik, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Ujung Pandang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin dan beberapa kota di Pulau Jawa merasa tidak aman dari ancaman kerusuhan sosial dan penjarahan. Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, perkembangan dan pertumbuhan di berbagai bidang dan sektor kehidupan telah berlangsung secara cepat, pertumbuhan ekonomi yang berpusat pada sektor industri, jasa perdagangan yang telah terj adi pada kurun waktu 1970-1975, berakibat antara lain terjadinya proses urbanisasi atau proses menjadi kota yang sangat cepat, berskala besar di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. •' Urbanisasi atau proses menjadi kota merupakan fenomena yang menonjol selama kurun waktu yang kita kenal dengan jargon Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJP I). Proses menjadi kota tidak saja secara fisik dan spasial, akan tetapi juga secara demografls, dan sosial. Secara fisik dan spasial telah tumbuh wilayah baru kota, baik pemekaran kota lama maupun wilayah baru yang tumbuh menjadi kota. Di samping kota-kota yang wilayahnya tumbuh menjadi kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Ujung Pandang, Medan, tumbuh pula kota-kota lama yang semula merupakan kota kecil menjadi kota-kota besar seperti Bogor, Tanggerang, Bekasi, Sidoarjo, Gresik, Bitung, Bandar Lampung, Jambi, Pekan Baru, Palu, Samarinda, Mataram, Denpasar dan sebagainya, bahkan
banyak pula tumbuh kota-kota baru yang semula merupakan desa atau kecamatan seperti Serpong, Depok, Cibinong, Cikarang, Cilegon dan sebagainya. Apabila tidak terjadi krisis ekonomi yang diawaH tahun yang lalu, maka mungkin akan lebih banyak lagi tumbuh kota-kota baru, sesuai dengan ijin lokasi yang telah diberikan Pemerintah kepada sej umlah Pengembang. Secara demografis proses urbanisasai nampak dari terjadinya migrasi daiam skala besar dari wilayah pedesaan ke perkotaan, sehingga terjadi pemusatan penduduk di berbagai kota besar maupun kota kecil. Secara sosial urbanisasai merupakan proses perubahan dari masyarakat sederhana yang homogen, menjadi masyarakat heterogen yang kompleks dan bahkan bersifat majemuk atau plural. Secara sosial proses urbanisasi inipun tidak terbatas pada wilayah fisik atau wilayah administratif kota, banyak kota-kota yang wilayah sosialnya melampaui batas wilayah administratif kota tersebut. Wilayah sosial Jakarta sebagai sistem sosial kota telah melebihi wilayah administrasi, sistem sosial, dan gaya hidup. Jakarta tidak hanya terdapat di wilayah administrasi kota Jakarta akan tetapi, telah merambah ke wilayahwilayah sekitarnya. Pada penduduk yang menempati wilayah kota atau yang wilayahnya berubah menjadi kota semacam itu, mulai terjadi proses pemudaran nilai-nilai dan norma-norma yang dianutnya, kemudian beralih orientasi pada nilai-nilai dan normanorma baru, serta perubahan peran-peran lama menjadi peran baru yang berbeda. Baru, Palu, Samarinda, Mataram, Denpasar dan sebagainya, bahkan banyak pula tumbuh kota-kota baru yang semula merupakan desa atau kecamatan seperti Serpong, Depok, Cibinong,
28
Cikarang, Cilegon dan sebagainya. Apabila tidak terjadi krisis ekonomi yang diawaH tahun yang lalu, maka mungkin akan lebih banyak lagi tumbuh kota-kota baru, sesuai dengan ijin lokasi yang telah diberikan Pemerintah kepada sej umlah Pengembang. Secara demografis proses urbanisasai nampak dari terjadinya migrasi daiam skala besar dari wilayah pedesaan ke perkotaan, sehingga terjadi pemusatan penduduk di berbagai kota besar maupun kota kecil. Secara sosial urbanisasai merupakan proses perubahan dari masyarakat sederhana yang homogen, menjadi masyarakat heterogen yang kompleks dan bahkan bersifat majemuk atau plural. Secara sosial proses urbanisasi inipun tidak terbatas pada wilayah fisik atau wilayah administratif kota, banyak kota-kota yang wilayah sosialnya melampaui batas wilayah administratif kota tersebut. Wilayah sosial Jakarta sebagai sistem sosial kota telah melebihi wilayah administrasi, sistem sosial, dan gaya hidup. Jakarta tidak hanya terdapat di wilayah administrasi kota Jakarta akan tetapi, telah merambah ke wilayahwilayah sekitarnya. Pada penduduk yang menempati wilayah kota atau yang wilayahnya berubah menjadi kota semacam itu, mulai terjadi proses pemudaran nilai-nilai dan norma-norma yang dianutnya, kemudian beralih orientasi pada nilai-nilai dan normanorma baru, serta perubahan peran-peran lama menjadi peran baru yang berbeda. dimasukinya bukanlah suatu satuan masyarakat dan sistem sosial yang statis, akan tetapi suatu satuan masyarakat dan sistem sosial yang memiliki dinamika yang bergerak dan berubah secara cepat dan terus-menerus. Proses menjadi warga komunitas pada suatu Lingkungan dan menjadi
bagian dari sistem sosial Lingkungan tata ruang atau proses urbanisasi dari penduduk kota di Indonesia yang sekarang ini merupakan proses yang berjalan secara alamiah tanpa suatu intervensi sosial yang memadahi. Masyarakat ini secara sosial tidak pernah mendapat bantuan dan pendampingan yang memadahi untuk menjadi warga dan komunitas baru dalam lingkungan akibatnya banyak warga dalam suatu tatanan lingkungan yang tidak siap memasuki tatanan sistem sosial baru, sehingga meskipun mereka tinggal dan hidup di lingkungan baru namun tetap berada dalam lingkungan dengan satuan komunitas dan sistem sosial lama. Masyarakat dan sistem sosial di Indonesia pada masa ini pada umumnya belum sepenuhnya merupakan masyarakat dan sistem sosial yang memiliki dinamika yang sesuai dengan tuntutan kehidupan lingkungan di mana mereka berada. Bagian terbesar warga yang sekarang masih hidup adalah dalam lingkungan sosial kedesaan yang dipindahkan. Pada waktu sekarang hal ini masih mungkin dilakukan. Hubungan-hubungan sosial serta komunitas sosial yang terdapat di tempat yang baru masih memberi peluang bagi masyarakat untuk hidup dalam satuan komunitas dan perilaku pedesaan. Dari sisi kehidupan masyarakat, keadaan ini justru tidak serasi dengan tatanan masyarakat pada suatu lingkungan di mana mereka berada. Akibat dari keadaan ini, maka terjadi ketidakserasian. Ketidakserasian ini nampak apabila kita mengkaji kehidupan suatu lingkungan secara lebih cermat, di mana kehidupan lingkungan masyarakat pada masa kini tampak bahwa sedang terjadi proses penurunan kualitas kehidupan, khususnya kualitas lingkungan, baik lingkungan fisik
29
maupun lingkungan sosial. Kualitas air, kualitas udara yang terus menurun, meningkatnya penyimpangan sosial, kriminalitas, semakin tidak tertibnya kehidupan masyarakat, meningkatnya rasa tidak aman dan bertambahnya berbagai masalah sosial menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sosial cenderung menurun. Di masa mendatang keadaan ini akan semakin buruk. apabila tidak ditangani secara terencana dan sungguh-sungguh. Gejala ini tumbuh di samping sebagai akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga disebabkan karena perkembangan yang tidak dimulai dari proses perencanaan yang menyeluruh dan terpadu. Meskipun upaya merencanakan wilayah sudah mulai dilakukan dan bahkan banyak kota Indonesia yang sudah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), namun dalam kenyataan rencana tersebut masih tidak sepenuhnya dapat dijalankan. Sebagian besar telah tumbuh dan berkembang secara alamiah mengikuti arus dan dorongan berbagai kekuatan, khususnya kekuatan ekonomi. Demikian besar kekuatan ekonomi berpengaruh terhadap pertumbuhan, sehingga sering Rencana Tata Ruang yang telah disusun dalam pelaksanaannya dapat tergeser oleh kekuatan ekonomi yang ada. Secara empirik, hal ini nampak dari wajah fisik ruang tanpa memperhitungkan daya dukung alam dan tumbuhnya sejumlah wilayah pemukiman eksklusif yang menimbulkan jarak sosial, serta batas sosial yang tegas antara yang kaya dan yang miskin. Banyak rencana tata ruang yang mengalami beberapa kali revisi dalam kurun waktu yang pendek. Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian, maka pada gilirannya rencana tata ruang hanya akan menjadi dokumen yang tidak
memiliki wibawa. Sudah selayaknya dikembangkan suatu sistem, di mana rencana tata ruang yang telah dibuat memperoleh dukungan kekuatan agar mampu menghadapi tekanan kekuatan ekonomi. Rencana tata ruang yang pada saat ini umumnya lebih menekankan upaya agar rencana tata ruang disusun • lebih menyeluruh dengan memasukkan pengembangan sistem sosial dan komunitas masyarakat. Rencana menyeluruh ini dimaksudkan agar lingkungan secara fisik, sistem sosial, dan komunitas masyarakat dapat tubuh secara serasi. Keutuhan kehidupan dan keberadaan (eksistensi) suatu lingkungan akan dapat terse lenggara, apabila keteraturan dan ketertiban dapat terpelihara. Dengan keteraturan dan ketertiban yang terpelihara, maka dapat diciptakan lingkungan yang aman dan sejahtera. Keadaan ini hanya dapat terwujud apabila suatu lingkungan memiliki pranata sosial dan pranata hukum yang berorientasi kepada kepentingan umum. Berdasarkan pranata sosial dan pranata hukum yang ada kemudian dikembangkan kesadaran dan ketaatan masyarakat pada pranata sosial dan pranata hukum tersebut. Lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya merupakan lingkungan yang sebagian terbesar bukan merupakan lingkungan yang tumbuh secara alamiah, akan tetapi merupakan lingkungan buatan atau lingkungan hasil budaya manusia. Dengan demikian, maka kelangsungan lingkungan hidup tidak lagi didasarkan atas proses alamiah, tetapi perlu upaya sadar manusia untuk memelihara keberadaannya serta kualitasnya. Keadaan ini dengan sendirinya memerlukan dukungan penduduk yang
30
memiliki kesadaran dan kepekaan serta kepedulian terhadap lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Keadaan tersebut tentu saja tidak dapat tumbuh dan berkembang pada penduduk, tanpa didukung oleh upaya pengembangan si stem sosial yang dilakukan secara sadar dan terencana. Ini berarti pengembangan sistem sosial tidak lagi dibiarkan tumbuh secara alarm mengikuti kekuatan yang berkembang di masyarakat. Di dalam masyarakat perlu dikembangkan jaringan institusi sosial yang memberi peluang kepada setiap warganya berperan dan mengembangkan dirinya. Ini berarti suatu sistem harus mampu menampung pluralitas (kemajemukan) komunitas yang berlatar belakang suku, ras, agama dan daerah asal, serta heterogenitas (keanekaragaman) yang berlatar belakang perbedaan fungsi dan profesi, pendidikan dan keahlian. Hal tersebut di atas dapat diwujudkan, apabila kehidupan suatu lingkungan didasarkan pada rencana yang disusun secara menyelumh dan komprehensif. Upaya perencanaan secara menyeluruh dan komprehensif merupakan rencana yang tidak hanya menekankan pada rencana ruang, tetapi juga rencana yang mampu memberi arah pada kehidupan, budaya, dan sistem sosial kota. Arah kehidupan, budaya, dan sistem sosial dapat dilakukan dengan memadukan Rencana Tata Ruang dengan Rencana Pengembangan Masyarakat dan Sistem Sosial dalam satu rencana yang utuh.
4. FAKTOR PENDORONG, PENUNJANG DAN PENGHAMBAT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN KOTA 4.1. Faktor-faktor Pendorong Faktor-faktor pendorong peran serta masyarakat merupakan suatu kondisi yang menyebabkan perlunya melibatkan masyarakat dalam penataan ruang pada wilayah perkotaan. Kondisi dapat muncul dari elemen yang terlibat dalam penataan ruang, yakni pemerintah daerah, katalis, swasta dan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa peran serta masyarakat sering, berjalan lamban dan juga tidak terakumulasi, sehingga dengan adanya faktor pendorong akan semakin memacu terwuj udnya peran serta masyarakat dalam penataan ruang di perkotaan, diantaranya: a. Kemampuan pemerintah dalam penyediaan anggaran untuk penyusunan rencana tata ruang. b. Reorientasi strategi pendekatan dalam proses penataan ruang, yakni dari orientasi yang menekankan hanya tugas pemerintah bersama dengan swasta, berubah menjadi tugas bersama antara pemerintah, katalis, swasta, dan masyarakat. c. Meningkatnya tingkat pendidikan penduduk, dan adanya kepedulian dari semua pihak akan pentingnya penataan ruang bagi kepentingan bersama. d. Meningkatnya kegiatan usaha dari swasta dan masyarakat, sehingga membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan ruang dari waktu ke waktu untuk berbagai jenis usaha tersebut,
31
Kebutuhan ruang tersebut perlu diantisipasi dalam rencana tata ruang di wilayah yang diminati oleh swasta dan masyarakat.
4.2. Faktor-faktor Penunjang Faktor penunjang adalah halhal yang dapat melancarkan terwuj udnya peran serta masyarakat. Tanpa adanya faktor penunjang, kemungkinan peran serta masyarakat akan berlangsung tersendat-sendat, bahkan akan mengalami kegagalan. Adapun faktor- faktor tersebut di antaranya adalah : a. Adanya kesadaran dari elemenelemen yang terlibat dalam penataan ruang bahwa ketersediaan tata ruang yang berkualitas dan berwawasan lingkungan akan meningkatkan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Kemudahan dan kecepatan dari pemerintah dalam tata cara dan prosedur perijinan yang berkaitan dengan rencana tata ruang. c. Kebijaksanaan pemerintah yang berkonsisten setiap tahunnya untuk melibatkan peran serta masyarakat, swasta dan katalis dalam penataan ruang perkotaan. d. Kemauan dan kesadaran dari swasta, katalis dan masyarakat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan informasi, saran, pertimbangan, pendapat dan masukan pada setiap proses penataan ruang perkotaan. 4.3. Faktor-faktor Penghambat
Faktor-faktor penghambat adalah kondisi yang kurang menguntungkan bagi kelancaran dan tenvujudnya proses penataan ruang perkotaan yang berkualitas dan berwawasan Lingkungan. Dalam rangka mewujudkan peran serta dalam masyarakat diperlukan usaha-usaha dan tindakan dari seluruh elemen yang terlibat, agar dapat menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor penghambat tersebut antara lain: a. Orientasi pihak swasta/konsultasi perencana lebih pada mencari keuntungan semata untuk membantu pemerintah dalam menyiapkan rencana tata ruang kota. b. Adanya kelompok masyarakat tertentu yang dengan berbagai alasan berusaha memisahkan diri atau menolak untuk berperan serta dalam proses penataan ruang. c. Kondisi perekonomian masyarakat yang ditunjukkan oleh pendapatan perkapita yang relatif rendah, atau banyaknya penduduk miskin akan mengurangi kemampuan untuk menyediaan waktu, tenaga, dan dana dalam berperan serta dalam penataan kota. d. Heterogenitas masyarakat yang terwujud pada perbedaan ras, etnik, suku, agama, dan latar belakang politis dari kelompok masyarakat akan menimbulkan persaingan dan prasangka buruk, yang pada akhirnya melemahkan niat untuk berperan serta dalam penataan kota. 5.
KESIMPULAN
Suatu rencana tidak dapat terwujud apabila tidak dilaksanakan dan ditegakkan secara sungguh-sungguh dan taat asas (konsisten). Upaya ini tentu
32
saja tidak dapat hanya dilakukan oleh Pemerintah saja, tetapi perlu keterlibatan komunitas. Keterlibatan atau peran serta masyarakat merupakan unsur yang sangat penting dalam mewujudkan lingkungan yang tertib dan aman. Pemaknaan konsep partisipasi yang dilakukan pada masa lalu yang cenderung pada pengertian mobilitasi menyebabkan partisipasi tidak berkembang dalam masyarakat. Dengan pemaknaan ini maka unsur Pemerintah menjadi sangat penting dan dominan. Pengertian partisipasi hanya berlaku pada kegiatan yang direstui Pemerintah. Peran masyarakat dalam partisipasi adalah mendukung dan memberi bantuan. Gagasan lain di luar gagasan Pemerintah tidak dianggap sebagai partisipasi. Organisasi dan wadah di mana partisipasi dilakukan juga ditentukan oleh Pemerintah secara seragam untuk seluruh Indonesia. Di luar itu dianggap menentang atau menghambat partisipasi, seperti kita ketahui masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Kemajemukan ini juga tercermin dalam tata kehidupannya. Dengan demikian, maka setiap lingkungan dalam pengembangan model-model sistem sosialnya juga tidak dapat disamakan antara satu lingkungan dengan lingkungan lainnya,. Partisipasi masyarakat harus dimulai dari basis sosial yang ada di masyarakat itu sendiri, Peran serta masyarakat dalam penataan ruang tentunya tidak dapat dilakukan di segala bidang dan di semua wilayah. Masyarakat memiliki diversifikasi sosial yang kompleks, tidak semua orang dapat berperan atau berpartisipasi dalam kegiatan penciptaan ketertiban. Ada wilayah-wilayah sosial di mana warga masyarakat dapat berpartisipasi, dan ada wilayah sosial apabila masyarakat berpartisipasi justru
menimbulkan ketidak tertiban. Pengembangan Peran serta masyarakat memerlukan pengaturan dan pedoman (guidelines procedure}, sehingga masing-masing warga mengetahui hak, kewajiban, dan kewenangannya dalam tertib kehidupan, hal ini tidak berarti mengalihkan tanggung jawab dari pemerintah ke masyarakat.
6. DAFTAR PUSTAKA Baross, P. (1984), Kampong Improvement Or Kampong Development-Appraisal Of The LowIncome Settlement Upgrading Policy In Indonesia^ In Nonj Eugen Bruno, H., Korte, A. and Mathey, K, (eds) Development of Urban Low Income Neighbourhood in the Third World, pp. 316-333. TH Damstadt: Darmstadt. Canter, D., Krapen, M. and Stea. D. (1988), New Directions in En vironmental Participation^ Aldershot: Avebury. Castell, M. (1983), City and the Grassroots, London : Edward Arnold. Gilbert, A. (1992), Third world cities : housing, infrastructure and servicing, Urban Studies, vol.29, nos. %, pp.435-46. Indrayana, E, (1988), Pengoperasian dan Pemeliharaan Hasil Pembangunan Perkotaan^ Paper dipersiapkan pada Kursus Manajemen Kawasan Perkotaan, 2 September, DPMB, Bandung. Midgley, J, (1986), Community participation, Social Development and the statet pp. 13-44. London: Matheun. Silas, J. (1987), Community participation in low-income settlement improvement
33
programme case study: thekampung improvement programme of Indonesia^ In Economic Development Institute (EDI) (ed) Reading in Community Participation. Washington D.C: EDI. Biodata Penulis : Danarti Karsono, Alumni SI Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (1985), S2 Magister Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Univesitas Diponegoro (1996) dan dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
34