DARI REDAKSI
Green Building: Konsep Masa Depan
Dengan semakin langka dan terbatasnya sumberdaya alam dan energi. Memaksa manusia untuk mengembangkan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi, atau yang dikenal dengan Green Building. Konsep Green Building menekankan pada peningkatan efisiensi penggunaan air, energi dan material bangunan, yang dapat mengurangi dampak bangunan baru terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Misalnya desain double skin pada bagian luar bangunan yang dapat menurunkan beban panas di dalam ruangan hingga 30 persen, sehingga penggunaan pendingin ruangan dapat dihemat. Contoh lain adalah penggunaan air hujan atau air daur ulang untuk keperluan di dalam gedung. Atau desain tertentu yang dapat memerlancar sirkulasi udara dan pencahayaan di dalam gedung. Bahan bangunan yang dipilih juga harus lah berkualitas dan ramah lingkungan. Beberapa produsen telah membuat produk yang mampu meminimalisir dampak kerusakan terhadap lingkungan dan sekaligus juga mampu menghemat energi.
Mahal ketika membangun, namun biaya operasional akan jauh lebih murah. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh The Center of The Built Environment, University of California pada 2006, bangunan kantor yang ramah lingkungan dapat meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja di kantor. Tentu saja saat ini, di Indonesia, konsep ini masih menjadi pilihan, serta ada perbedaan standar dengan yang berlaku di Amerika Serikat, misalnya. Namun pilihan ini akan mempunyai konsekuensi di masa depan. Persoalan ini lah yang ditampilkan dalam Engineer Weekly kali ini dengan berbagai artikel yang ditulis oleh para ahli di bidangnya yang semoga dapat membuka wawasan tentang konsep masa depan ini. Selamat membaca.*** Aries R. Prima Pemimpin Redaksi
Berbagai kalangan sepakat bahwa konsep Green Building adalah konsep masa depan, di mana nantinya semua akan menuju ke sana selaras dengan makin meningkatnya kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan dan kelangkaan energi. Bahkan beberapa telah dilengkapi dengan penggunaan energi baru dan terbarukan, seperti listrik tenaga surya, angin dan biomassa. Di Indonesia, belum banyak pengembang atau kontraktor yang menggunakan konsep ini untuk membangun. Sebagian besar masih menggunakan „kulit‟ dari konsep ini. Padahal membangun Green Building adalah juga sebuah investasi untuk masa depan, yang masih dirasakan mahal pada saat ini.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
2
PERENCANAAN ARSITEKTUR
Peran Pengelola dalam Efisiensi Energi Adli Nadia Arsitek PT. URBANE INDONESIA, Bandung
Efisiensi energi pada bangunan secara populer diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 2000-an, dan dengan serta merta menjadi trend. Pemerintah menerbitkan lebih dari 10 peraturan dan SNI terkait efisiensi energi bangunan, para perencana dan pembuat kebijakan melakukan riset dan studi banding ke negara-negara tetangga mencari formula perancangan yang ideal, para kontraktor berinovasi dalam sistem konstruksi reduce-reuse-recycle, para pengembang berlomba untuk mendapatkan sertifikasi bangunan hijau agar produknya „laku‟ dipasaran, dan pengelola atau operator bangunan berlari dalam koridor pengembalian modal investasi „mahal‟ para pengembang. Pengelola bangunan memiliki peran yang sangat menarik karena rentang waktunya yang panjang dalam siklus bangunan, mengingat pada umumnya bangunan dirancang paling tidak untuk berumur 30 tahun. Dalam rentang waktu ini, pengelola diharapkan mampu secara kreatif melakukan inovasi dan modifikasi seiring dengan jam terbangnya dalam mengelola bangunan. Lestari Suryandari (2012), seorang pakar dari Green Building Council Indonesia (GBCI), melakukan riset terkait Efisiensi Energi (EE) pada Menara BCA, PT.Grand Indonesia (GI) dan Sampoerna Strategic Square (SSS). Berdasarkan riset tersebut, untuk menurunkan Indeks Konsumsi Energi ke titik 174,4 kWH/m2 per tahun, pengelola bangunan melakukan beberapa tindakan, antara lain: 1. Pengaturan ulang pompa VSD dan katup-katup pada sistem MVAC. 2. Melakukan Penjadwalan yang terencana pada pengoperasian unit Chiller. 3.Memprogram ulang Building Management System, 4. Melakukan Retro Comissioning pada sistem MVAC. 5. Pengaturan ulang katup-katup kondensor
rata menjadi 25 oC, dengan Kelembaban 60% (GREENSHIP NB 1.0). 7. Mengganti sebagian besar lampu menjadi T5 dan LED sehingga menurunkan konsumsi energi untuk penerangan dan cooling load. 8. Melakukan kampanye hemat energi kepada para penyewa. 9. Melakukan pelatihan berkala bagi BM untuk mengoperasikan sistem MVAC dan pencahayaan dengan cara baru. dalam cara baru pengoperasian sistem MVAC dan pencahayaan Gedung Sampoerna Strategic Square memberlakukan kebijakan yang sedikit berbeda. Untuk menurunkan Indeks Konsumsi Energi ke titik 229,7 KWH/m2 per tahun, pengelola bangunan melakukan tindakan sebagai berikut: 1. Tenant Gathering, diberi nama Ground Breaking Day sebagai penanda mulainya usaha gerakan green building di SSS dengan mengajak partisipasi tenant. 2. Berbagai upaya kampanye hemat energi 3. Mengaktifkan Building Management System (BMS). 4. Melakukan retro commissioning. Melalui riset di atas, pengelola bangunan dapat berpartisipasi secara aktif dalam melakukan inovasi pengoperasian bangunan terkait dengan efisiensi energi melalui cara-cara berikut: 1. Merespon perubahan pola perilaku pengguna bangunan yang berdampak pada pengaturan ulang jadwal pengoperasian chiller. 2. Merancang ulang spesifikasi peralatan mekanikal/elektrikal bangunan atau memodifikasinya hingga tercapai titik konsumsi energi yang optimal dan efisien. 3. Mengajak para tenant untuk berhemat dan bersepakat untuk menurunkan tingkat konsumsi pengondisian udara serta penggunaan lampu kerja.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
3
4. Berinvestasi dalam sistem-sistem bangunan pintar dengan teknologi terbaru. 5. Melakukan dokumentasi pada seluruh proses peningkatan performa peralatan bangunan dan sistemnya secara komprehensif, sehingga dapat dijadikan acuan bagi para pengembang dalam merancang bangunan baru. Bangunan multifungsi dengan kompleksitas yang berbeda sebaiknya melibatkan pengelola bangunan pada fase pra-rencana, sehingga pertimbangan aspek pengelolaan bangunan dapat menjadi bagian dari Kerangka Acuan Kerja (KAK). Sebab, tidak terlibatnya pengelola bangunan menyebabkan KAK yang masuk pada konsultan perencana kurang menjelaskan secara rinci hal-hal di bawah ini: 1. Skenario perubahan “Kepemilikan” sebuah atau sebagian fungsi bangunan (hunian, komersial, perkantoran, dan lainnya) di masa mendatang. Pada umumnya, di awal perencanaan sebuah bangunan multi fungsi dikelola oleh pengembang tunggal. Namun seringkali terjadi, setelah beberapa waktu beroperasi, pengembang tersebut bisa saja mengalihkan kepemilikan (menjual) salah satu “fungsi” bangunannya (misal: hotel) yang berdampak pada pemisahan pengoperasian bangunan secara utuh. Sebagai dampaknya, pemisahan pengoperasian ini akan banyak mengalami kesulitan apabila tidak diantisipasi oleh seluruh pihak perencana. 2. Aspek legal antara pengelola dengan pengguna bangunan (tenants). Para tenant atau pengguna bangunan dewasa ini semakin kritis. Berlimpahnya wadah kegiatan yang ditawarkan para pengembang memaksa para pengelola harus membuat tenant merasa nyaman dalam berhitung konsumsi energi, salah satunya adalah dengan menawarkan perhitungan konsumsi energi yang efisien. Sistem mekanikal dan elektrikal yang pintar dan fleksibel sebaiknya dipikirkan oleh para perencana sehingga mampu merespon berbagai perubahan pola laku pengguna
bangunan di masa mendatang. 3. Waktu operasional antar fungsi. Dengan perhitungan yang akurat, pengelola bangunan dapat memberikan masukan pada perencana agar konsumsi energi tiap fungsi dapat saling bersinergi terkait waktu operasionalnya. Misalnya: waktu puncak penggunaan energi pada perkantoran tentu saja berbeda dengan hunian, sehingga perhitungan kapasitas genset kedua fungsi tersebut dapat optimal dan saling mendukung satu sama lain.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengelola bangunan yang mampu berhemat energi paling besar adalah pengelola bangunan yang terlibat dari awal fase perencanaan dengan memberikan informasi akurat, hingga serah terima kunci untuk pengoperasian dan terus melakukan inovasi serta beradaptasi pada seluruh perubahan yang mungkin terjadi pada rentang hidup bangunan yang dikelolanya.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
4
Membumikan Sustainable Construction dan Green Building ® Hari Agung Yuniarto, ST., MSc., PhD., IPM Staf Pengajar di Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Industri konstruksi Indonesia selalu seksi. Bagaimana tidak? Sektor ini masih pegang peran utama hingga kini dalam ikut memakmurkan bangsa - misal - dengan kontribusinya dari implikasi pembangunan infrastruktur yang selama ini terbukti mampu menyentuh perkembangan di berbagai bidang baik itu di sosial, infrastruktur ekonomi maupun, tentu, di perkembangan pembangunan fisik itu sendiri. Belum lagi, sektor konstruksilah yang selalu konsisten mampu menawarkan peluang kerja besar kepada masyarakat yang pada tahun 2010 saja sudah mampu menyerap lebih dari 5,4 juta tenaga kerja (BP Konstruksi, 2010). Pula, prestasi pertumbuhannya yang menjanjikan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2015 kemarin, sektor ini berhasil membukukan pertumbuhan sebesar 6,97% dan ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri yang hanya 5,02% saat itu, sehingga tak heran jika sektor konstruksi ini mampu berkontribusi lebih dari 9,75% terhadap GDP nasional kita (BPS, 2015). Potensi permasalahan muncul ketika sektor ini pulalah masih menjadi konsumen utama dari sumberdaya tak terbarukan, serta pula diyakini sebagai penghasil waste yang cukup masif yang mana operasional dari sebuah bangunan gedung yang dihasilkan dari industri konstruksi ini ternyata berkontribusi lebih dari ½ total emisi CO2. Hasil penelitian (Bourdeau, 1999) menunjukkan bahwa 30-40% sumberdaya alam telah dieksploitasi secara rutin di industri konstruksi dan bahkan, khusus pada fase pembangunan suatu konstruksi, terjadi fenomena yaitu waste yang dihasilkannya bisa mencapai tidak kurang dari 6 juta ton. Lebih dari itu, penelitian tersebut (Bourdeau, 1999) juga mengungkap fakta bahwa 50% energi yang diserap dalam sebuah bangunan gedung „hanya‟ dikonsumsi alat pendingin saja sehingga karenanya 30% dari total energi yang dibutuhkan suatu negara biasanya “lari” ke housing. Angka ini adalah dari kondisi di negara maju yang sudah
lebih manageable tentunya, pastinya di negara berkembang angka ini tidak akan menjadi lebih kecil bahkan diyakini sebaliknya. Issues dan facts di atas jika tidak ditangani secara strategis, mengerikan dampaknya terhadap pembangunan bangsa berkelanjutan. Oleh karenanya, perlu kita mengingat kembali apa yang telah disarankan oleh Prof Lockwood yang dipublikasikan di Harvard Business Review hampir 1 dekade lalu (Lockwood, 2007) bahwa jika kita ingin mengimplementasikan sustainable construction dan green building maka adopsilah The 10 Principles of The Green Sustainability. Silakan dicermati Gambar 1 di bawah ini untuk mengingatkan kembali pemahaman kita akan The 10 Principles of The Green Sustainability dimaksud. Kemudian pertanyaannya, bagaimanakah membumikan 10 prinsip tersebut? Untuk itu kiranya, perlu kita mengambil lessons learned dari negara jiran berikut ini.
Gambar 1. Principles of the green sustainability (Lockwood, 2007)
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
Gambar 2. The Four pillars of national green technology policy (Hamid et al, 2016)
5
Dr Zuhairi Abd Hamid, Direktur Eksekutif dari CREAM (Construction Research Institute of Malaysia), menjelaskan dalam pidato kuncinya di sebuah konferensi internasional (Hamid et al, 2016) bahwa negaranya telah mengimplementasikan secara nyata The 10 Principles of The Green Sustainability secara holistik dalam skala sistem (baca: negara dan elemen di dalamnya). Hal pertama yang dilakukan adalah pemerintah pusat merumuskan apa yang disebut dengan The National Green Technology Policy yang terdiri dari 4 pilar kebijakan yang gambaran struktur kebijakan nasional dimaksud dapat dilihat di Gambar 2 di atas. Kebijakan strategis ini disusun dengan tujuan sebagai dasar penerapan green technology secara luas dan agar mampu menjadi catalist serta driver dalam rangka memercepat pertumbuhan ekonomi menuju pembangunan berkelanjutan. Empat pilar kebijakan ini digawangi oleh The National Green Technology and Climate Change Council, yang diketuai oleh Perdana Menteri Malaysia (serius, bukan?), di mana badan ini bertugas untuk mengoordinasikan aksi serta program antarkementerian terkait dan badan negara serta sektor swasta dan pula seluruh pemangku kepentingan yang ada menuju berhasilnya The National Green Technology Policy itu dilaksanakan. Selain itu, Malaysia secara khusus membentuk lagi sebuah badan yang mengurusi perkembangan dan modernisasi industri konstruksi dalam perspektif sustainable construction dan green building yang diberi nama CIBD (the Construction Industry Development Board) yang notabene itu adalah badan yang menaungi CREAM tersebut di atas dimana pula CIBD itu sendiri adalah badan setingkat kementerian (serius lagi, bukan?).
serta meningkatkan minat konsumen secara global di industri konstruksi Malaysia, (2) mendorong diperolehnya standar akreditasi internasional di bidang industri yang ramah lingkungan; seperti ISO 14000 sertifications, (3) terus mempromosikan hal-hal praktis yang mendukung terciptanya kondisi ramah lingkungan dan lain sebagainya. Hal lain yang dihasilkan CIBD ialah Malaysian Green Building Index (GBI) yang hingga kini mampu secara efektif berhasil mendorong sektor swasta untuk berlomba-lomba menghasilkan bangunan yang sustainable mampu memenuhi persyaratan the built environment dan pula mampu terus meningkatkan kesadaran diantara mereka dalam hal environmentally issues. Penghargaan GBI ini akan diberikan berdasarkan penilaian pada 6 kriteria: (1) efisiensi energi, (2) kualitas lingkungan indoor building, (3) site planning yang sustainable, (4) optimasi bahan dan sumber daya yang digunakan, (5) efisiensi penggunaan sumber air dan (6) aspek inovasi. Hal lain yang menjadi “karya” sekaligus tanggung jawab berikutnya dari CIBD adalah eco-labelling terhadap material konstruksi yang harus digunakan dalam industri konstruksi. Dalam hal ini CIBD juga terlibat langsung di proses sertifikasi ecolabel serta pengawasan penerapannya. GASSIC (Green Assessment System in Construction), yang dirumuskan juga oleh CIBD, adalah sistem pengukuran terhadap tingkat green attributes yang berhasil dicapai selama pekerjaan konstruksi dijalankan mulai dari fase desain hingga fase akhir konstruksi. GASSIC adalah wajib diterapkan, dan bersama GBI digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi pemberian sertifikasi green buildings di Malaysia.
CIBD ini secara komprehensif merumuskan dan memutakhirkan secara rutin apa yang kemudian disebut dengan Strategic Recommendations for Improving Environmental Practices in Construction Industry. Rekomendasi yang rutin dipublikasikan dan termutakhirkan ini adalah wajib sifatnya untuk diadopsi oleh semua pihak. CIBD pula yang melahirkan the Construction Industry Master Plan untuk setiap periode tertentu (CIMP). CIMP ini mencakup: (1) mengutamakan kualitas dan budaya ramah lingkungan
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
6
Hal lain yang bisa pula kita pelajari dan mungkin dapat kita adopsi dari usaha negara jiran kita ini dalam membumikan konsep sustainable construction serta green building adalah, berhasilnya CIBD membuat inovasi dalam hal teknis konstruksi yang mereka sebut dengan IBS (Industrialised Building System). Ide dasar IBS ini sebetulnya sederhana yaitu, “to move onsite work to more controlled environment in a manufacturing floor”. Jadi konsep ini mengadopsi modular concept dan interchangeability suatu komponen dalam industri manufaktur yaitu dengan cara memindahkan pekerjaan yang selama ini dikerjakan in-situ di lokasi pembangunan, ke lokasi lain pada suatu lantai produksi (baca: pabrik) untuk dilakukan terlebih dahulu pekerjaan membuat modul-modul bagian bangunan yang dibutuhkan. Sehingga karenanya, pada saatnya modul-modul bagian bangunan tersebut siap maka kemudian tinggal dibawa ke lokasi pembangunan dan tinggal dirangkai tanpa perlu ada lagi pekerjaan fabrikasi konstruksi di lapangan yang mustinya hal ini sangat resource consuming dan berisiko tinggi. Konsep ini jelas akan mampu meminimalkan waste. Ini disebabkan, hampir semua komponen bangunan yang diperlukan dalam pembangunan telah dikerjakan secara prefabrication dalam bentuk modul di sebuah lantai produksi sehingga mustinya mampu pula memaksimalkan penggunaan energi yang efektif, bahan bangunan yang efektif serta logistik yang efektif. Fakta ini sangat dimungkinkan terjadi, dikarenakan dikerjakan dalam lingkungan produksi yang terkendali resource-nya seperti yang kita pahami telah biasa terjadi di setiap lantai pabrik dalam suatu industri manufaktur. Menurut hemat Penulis, IBS ini akan menjadi sangat “ampuh” jika diadopsi bila standarisasi baik pada bahan maupun dimensi dari bagian bangunan dalam bentuk modul-modul tersebut pada akhirnya telah pula diimplementasikan. Kenapa? Bayangkan, jika setiap bagian bangunan sudah ter-standarisasi maka konsumen dengan efektif dan efisien akan dapat menentukan pilihan
membeli modul bagian bangunan tersebut dengan cara yang tepat sekaligus cepat. Sehingga jangan heran - in the near future - pembeli tidak hanya akan datang ke “toko besi” namun juga dapat ke “pabrik besi” untuk membeli maupun memesan kusen pintu sesuai standar dimensi maupun bahan dan kualitasnya yang tersedia. Mungkinkah? Mungkin. Karena ide yang sama seperti itu sudah diterapkan sejak lama di Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara (the United Kingdom). Keuntungan lain standarisasi diimplementasikan di sektor konstruksi pada bagian bangunan yang diperlukan adalah, cost reductions di seluruh bagian supply chain-nya baik itu pada manufacturing stage karena memproduksi less customised items maupun pada distribution stage karena items yang di-handle sekarang menjadi lebih pasti shape, dimension maupun characteristics-nya. Dalam industri manufaktur, ini dapat disamaartikan dengan lean manufacturing. Kerugiannya? Mungkin, konsumen menjadi lebih terbatas dalam pilihan bentuk maupun ukuran serta jenis komponen bagunan yang tersedia. Meski hal ini tidak pula akan terjadi jika menerapkan konsep flexible manufacturing. Kesimpulannya, negara terbukti hadir di dunia persilatan industri konstruksi di negara jiran ini yang mampu secara efektif serta efisien membangun sistem yang make-sense untuk menuju sustainable construction dan green building serta pula mampu menjaga proses implementasinya. Mereka berhasil membumikannya. Kita? Harus. Selamat berkarya.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
7
PERANCANGAN BANGUNAN HIJAU Endy Subijono, IAI, AA Bangunan hijau, juga dikenal sebagai bangunan ramah lingkungan, secara umum adalah bangunan yang dirancang dan dibangun dengan memperlakukan sumber daya alam dengan hemat dan efisien. Ini bukan sebuah cerita baru dalam dunia rancang bangun, hanya sekarang jauh lebih diperhatikan karena berkurangnya sumberdaya alam. Bangunan hijau bahkan sudah dimulai sejak akhir abad 19, dimana “hijau” dipahami dengan menggunakan material alam, daur ulang dan penghematan energi. Pada saat ini, kesadaran global tentang lingkungan hidup, khususnya dalam bidang arsitektur dan rancang bangun, meningkat dengan tajam. Gerakan hijau berkembang pesat tidak hanya melindungi sumberdaya alam, tetapi juga pada implementasinya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Perancangan bangunan hijau telah berubah, merefleksikan sikap masyarakat yang makin peduli terhadap lingkungan hidup. Demikian pula ketersediaan produk ramah lingkungan yang makin mudah diperoleh di pasar. Secara umum perancangan bangunan hijau adalah proses mengukur dampak pada lingkungan luar bangunan dan membantu memperbaiki lingkungan dalam (bangunan). Lazimnya pada usaha perancangan ini, beberapa aspek yang diperiksa antara lain: rancangan arsitektur bangunan, metodologi membangun, material bangunan, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air dan life cycle ecological living. Merancang bangunan hijau tidak terlepas dari pengaruh dimana bangunan tersebut berada. Langkah pertama yang sangat penting adalah mengenali lokasi bangunan. Hal ini mempertanyakan bagaimana kualitas lingkungan hidup di sekitar dan bagaimana kemungkinan tingkat kualitas hidup yang akan dapat dicapai. Kesadaran tentang kondisi lokasi sangat penting dalam usaha memeroleh bangunan yang ramah lingkungan, baik dalam rangka renovasi bangunan, membeli rumah ataupun membangun baru. Bangunan hijau juga tidak terlepas dari tata
bangunan dan tata ruang lingkungannya. Terdapat hubungan yang saling memengaruhi antara kondisi lingkungan (kota) dengan upaya perancangan bangunan hijau. Karena tindakan pengkondisian bangunan selalu terkait dengan lokasi, maka morfologi kota, yang merupakan jalinan bangunan dan ruang-ruang terbuka, harus dapat memungkinkan usaha mengoptimalkan pengondisian bangunan. Langkah berikutnya adalah memertimbangkan ukuran bangunan. Size Does Matter. Berlawanan dengan pandangan umum bahwa makin besar ruangan maka makin baik bagi penggunanya, terutama pada bangunan rumah tinggal, pada pendekatan bangunan hijau tidak selalu demikian. Lebih besar tidak selalu lebih baik, karena makin kecil (baca: sederhana) bangunan maka akan makin lebih baik kontrol aspek lingkungan terhadap bangunan tersebut. Pada bangunan tinggi, skala besaran bangunan dipertimbangkan terhadap ruang-ruang dalam relatif terhadap, misalnya, penggunaan cahaya alam atau, kalau memungkinkan, pemanfaatan ventilasi alam. Tahap selanjutnya lebih bersifat teknis, yaitu memelajari alternatif metode membangun (alternatives to conventional construction methods) dan menggunakan material yang tepat guna (wise uses of materials). Biaya awal membangunan bangunan hijau saat ini masih lebih mahal dibandingkan dengan bangunan biasa (10-11% di Indonesia, 3-4% di negara tetangga), tetapi diimbangi dengan biaya operasional bangunan yang lebih hemat. Dengan demikian perancangan bangunan hijau meliputi juga perhitungan ekonomis selama bangunan beroperasi. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa merancang bangunan hjau adalah sebuah proses menciptakan bangunan yang lebih baik, dan terus makin baik. Secara arsitektur menyenangkan, diterima secara sosial, memenuhi perhitungan ekonomis, dan bersahabat dengan lingkungan.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
8
INOVASI KORPORASI
Green Building dan Green Construction Hadjar Seti Adji PT PP Pembangunan dan berbagai kegiatan oleh negaranegara di dunia memiliki dampak terhadap lingkungan. Isu pemanasan global tentu bukan istilah asing lagi di telinga kita, karena telah menjadi topik hangat yang dibahas untuk menyelamatkan Bumi. Gas CO2 atau emisi menjadi penyebab dominan radiasi panas bumi terperangkap di Bumi yang menyebabkan pemanasan global. Berbagai komitmen internasional telah dirintis, di antaranya Protokol Kyoto tahun 1997, dimana negara-negara industri berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan tahun 1990 (baseline). Protokol Kyoto mengatur prinsip yang sama untuk semua negara yang menandatangani perjanjian tetapi dengan tanggung jawab yang berbeda. Negara-negara industri maju diharuskan berkomitmen untuk mengurangi jumlah emisinya, sementara negara berkembang tidak berkewajiban mengurangi emisi, tetapi harus melaporkan status emisinya. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi aturan ini, terhitung sejak tahun 2004, juga telah membuat program pelaksanaan pengurangan gas rumah kaca. Indonesia telah memberikan perhatian terhadap pengurangan emisi rumah kaca dengan dikeluarkannya PP No.61 tahun 2011 dan PP No. 71 tahun 2011, namun diperlukan kelembagaan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam mendukung upaya masyarakat dalam menindaklanjuti Protokol Kyoto yang telah diratifikasi Indonesia. Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang berakhir pada tahun 2012 namun komitmentnya dilanjutkan dengan komitment kedua yang dibahas dalam pertemuan pihak UNFCC dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-19 dari Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Polandia, yang merupakan perundingan yang ke9 dari Protokol Kyoto (CMP9). Hasil dalam pertemuan tersebut akan dilakukan dalam dua kerangka waktu penanganan perubahan iklim, yaitu implementasi hingga 2020 dan kesepakatan multilateral baru yang melibatkan semua negara pihak serta mengikat pasca 2020. Salah satu kontribusi emisi CO2 terbesar dihasilkan dari pembangkit listrik, dan listrik
terbesar dihasilkan dari pemakaian di gedunggedung. Indonesia memiliki Indeks Konsumsi Energi (IKE) dari rata-rata bangunan perkantoran di Indonesia berkisar antara 250 kWh/m²/tahun, sedangkan di beberapa negara maju yang telah menerapkan “Green Building” atau Bangunan Ramah lingkungan menekankan pada rendahnya pemakaian energi yang memiliki angka IKE ratarata dibawah 150 kWh/m²/tahun. Di Indonesia, hal ini telah diatur dalam Permen PU No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau, Pergub DKI No. 38 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau serta kota lainnya seperti Surabaya dan Makassar akan menyusul kemudian. Bangunan hijau atau Green Building adalah bangunan baru yang direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan sudah terbangun yang dioperasikan dengan memerhatikan faktor – faktor lingkungan. Indonesia sudah memiliki lembaga khusus yang menangani hal ini: Green Building Council Indonesia (GBCI). GBCI adalah lembaga mandiri (nongovernment) dan nirlaba (nonprofit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan. GBCI merupakan emerging member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada. WGBC saat ini beranggotakan 102 negara dan hanya memiliki satu GBC di setiap negara. Salah satu program GBCI adalah menyelenggarakan kegiatan sertifikasi bangunan hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian khas Indonesia yang disebut Greenship, yang merupakan sistem penilaian yang digunakan sebagai alat bantu para pelaku industri, bangunan, baik pengusaha, arsitek, teknisi mekanikal elektrikal, desain interior, maupun pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai standar. Greenship memiliki panduan penerapan untuk Neighborhood, Homes, New Building, Existing Building, serta Interior Space dengan kriteria dan poin yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh dalam penerapan Greenship untuk new building, mengacu pada NB versi1.2 dengan 6 Kriteria dan 101 poin.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
9
Berikut, pada gambar 1 adalah 6 Kriteria Greenship for New Building beserta masing-masing contohnya
Gambar 1. Kriteria Greenship New Building
Dalam proses pembangunan bangunan gedung, desain memiliki kedudukan yang krusial, terlebih untuk bangunan hijau. Hal ini dikarenakan perlu adanya kolaborasi antardisiplin keahlian agar dapat menghasilkan bangunan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Target gedung untuk mencapai sertifikasi sebaiknya berangkat dari pemilik gedung. Hal ini dikarenakan dalam proses sertifikasi dibutuhkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan gedung yang ramah lingkungan. Komitmen ini membutuhkan inisiasi awal dari pihak pemilik proyek sebagai pemegang keputusan yang selanjutnya akan diterjemahkan oleh para tim ahli pendukungnya. Berikut pada Tabel 1 akan disajikan perbandingan proses desain yang terintegrasi dan konvensional.
Perbedaan signifikan yang terjadi pada gedung dengan desain atau yang sudah tersertifikasi Green Building adalah gedung yang sudah tersertifikasi akan memakan biaya lebih banyak di awal namun akan memberikan saving sebesar 5 – 20% dari biaya pemeliharaan gedung. Hal ini dikarenakan gedung tersebut mengedepankan efisiensi di energi, air serta material sehingga biaya yang dikeluarkan per bulan akan lebih murah. Salah satu contoh Bangunan Gedung Hijau adalah Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta ini merupakan gedung kementerian pertama di Indonesia yang berkonsep Green Building. Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta dalam setahun mampu menghemat ±50,4% dalam penggunaan energi (dapat dilihat pada gambar 2.a). Sedangkan pada gambar 2.b adalah perbandingan penggunaan energi dengan desain standard office, pada tahap desain dan faktanya.
Tabel 1. Perbandingan proses Desain yang Terintegrasi dan Konvensional.
Proses Desain yang Terintegrasi Semua disiplin keahlian dilibatkan sejak awal
Proses Desain yang Konvensional Hanya beberapa disiplin keahlian yang dilibatkan sejak awal Tingkat kolaborasi pada Tingkat Kolaborasi pada yang yang intensif dimulai intensif tidak dimulai dari dari awal awal Keputusan Berada di Keputusan hanya di tangan Tangan Tim beberapa pihak Sistem dipandang Sistem dipandang sebagai sebagai sesuatu yang sesuatu yang parsial lebih holistic Pembiayaan dipikirkan Pembiayaan hanya dipikirkan berdasarkan daur hidup saat tahap pembangunan gedung
Gambar 2. Perbandingan Penghematan Energi Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta
Sumber : Panduan Teknis Perangkat Penilaian Bangunan Hijau untuk Bangunan Baru Versi 1.2
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
10
Dari gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa gedung yang sudah memiliki sertifikasi atau predikat sebagai Green Building memiliki pemakaian energi jauh lebih kecil dibandingkan gedung yang tidak didesain untuk hemat energi walaupun memiliki luas yang lebih besar. Oleh sebab itu, Gedung Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta memacu gedung kementerian lain serta proyek swasta lainnya untuk mengikuti “jejak”nya. Bahkan, penghematan energi dari gedung ini berhasil membuat gedung ini mendapatkan banyak penghargaan hingga ke tingkat Asia. Penghematan energi akan berbanding lurus dengan biaya energi yang akan dikeluarkan setiap bulannya. Penghematan energi juga berbanding lurus dengan kontribusi kita dalam perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena setiap penghematan kWh berarti akan mengurangi CO2 yang terlepas ke atmosfer ke bumi. Dalam keadaan normal, karbon dioksida (CO2) adalah suatu gas yang penting bagi bumi, karena dapat melindungi kehidupan manusia di Bumi. Namun bila kadar CO2 di Bumi berlebihan maka tentu saja akan mencemari udara dan akan menimbulkan efek gas rumah kaca (Kirby, 2008). Oleh karena itu salah satu cara meminimalisir dampak yang ada yaitu dengan pembangunan Green Building. Permen PU No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau terdapat persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah dilakukannya praktik konstruksi hijau dalam pembangunannya. Menurut Permen PU No. 02 Tahun 2015 Proses konstruksi hijau dilakukan melalui : Penerapan metode pelaksanaan konstruksi hijau Pengoptimalan penggunan peralatan Penerapan manajemen pengelolaan limbah konstruksi Penerapan konservasi air pada pelaksaan konstruksi Penerapan konservasi air pada pelaksaan konstruksi PT PP (Persero) Tbk telah menerapkan praktik konstruksi hijau yaitu dengan senantiasa membangun dan mengembangkan diri menjadi Green Contractor. Sebagai upaya untuk
menunjang program perusahaan menjadi Green Contractor, PT PP (Persero) Tbk membuat standarisasi yang dilakukan di proyek yang dinamakan dengan Green Construction. Berikut pada gambar 3 di bawah ini merupakan Poster Green Construction Target yang harus dipasang dan diterapkan di masing-masing proyek di seluruh Indonesia.
Gambar 3. Poster Green Construction Target Green Construction Target memiliki 6 Kriteria untuk diaplikasikan di lokasi proyek diantaranya yaitu: 1. Tepat Guna Lahan 2. Efisiensi & Konservasi Energi 3. Konservasi Air 4. Manajemen Lingkungan Proyek 5. Sumber & Siklus Material 6. Kesehatan & Kenyamanan di Area Proyek Berikut adalah salah satu contoh penerapan Green Construction di PT PP (Persero) Tbk: menggunakan material yang ramah lingkungan, yang memenuhi unsur 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Definisi dari ketiga unsur tersebut adalah: Reduce : mengurangi penggunaan material yang menimbulkan bahan sisa (limbah) dan juga mengurangi volume limbah itu sendiri. Antara lain dengan merencanakan penggunaan material agar tidak menimbulkan banyak limbah dan material sisa (waste). Reuse: menggunakan kembali material sisa yang dihasilkan dari aktivitas proyek untuk digunakan kembali sebagai sarana penunjang aktivitas proyek. Antara lain dengan pemanfaatan sisa beton saat pengecoran untuk dijadikan kansteen atau car stopper. Penerapan prinsip re-use yang lain adalah menggunakan temporary structure yang bisa digunakan berkali-kali seperti bekisting dari bahan baja, kantor sementara proyek (contractor keet) dari kontainer.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
11
Recycle : mendaur ulang beberapa jenis limbah yang memungkinkan untuk di daur ulang dengan melibatkan bantuan pihak ketiga. Antara lain dengan menjual kembali sisa potongan besi untuk didaur ulang di pabrik besi. Tujuan dari praktek Green Construction di PT PP adalah : 1. Mengurangi gangguan terhadap lingkungan selama proses konstruksi 2. Mengurangi sampah konstruksi 3. Mengurangi penggunaan sumber daya alam 4. Mengurangi penggunaan energi Pemakaian material memegang peranan penting dalam peneran Green Contruction target ini.
Pemanfataan material yang sudah tidak terpakai Selain itu, Green Construction juga memperhatikan faktor lainnya, meliputi: Pemanfaatan lampu hemat Energi (LHE) dan lampu LED yang hemat energi untuk penerangan. Pemanfaatan Daylighting (Natural Lighting) untuk keperluan penerangan di ruangan keet. Penggunaan sensor cahaya untuk menghemat pemakaian listrik. Pemantauan penggunaan listrik di proyek dengan mewajibkan pemasangan meteran listrik dan melakukan pencatatan rutin.
Penggunaan air dewatering untuk digunakan di lokasi proyek Kendaraan Operasional dan Alat berat harus lolos Uji Emisi Gas Buang. Pengujian dapat dilakukan oleh Instansi /Lembaga Terkait ataupun Internal Perusahaan. Setiap Kendaraan Operasional dan Alat Berat yang digunakan harus dapat menunjukkan Surat Keterangan Lolos Uji Emisi Gas Buang. Minimasi Limbah, dengan cara memanage penggunaan material agar tidak menimbulkan bahan sisa. Pemilahan Jenis limbah, dengan mengelompokkan limbah padat ke dalam limbah organik dan non organik Pemanfaatan kembali limbah padat untuk keperluan lain, misalnya pemanfaatan sekam sisa gergaji untuk bahan bakar pembuatan bata. Pengolahan limbah cair, dengan melakukan filterisasi air buangan proyek sebelum dibuang ke saluran kota. Pada bangunan baru, penerapan konsep ramah lingkungan tidak hanya memperhatikan tahap desain dan perencanaan, tetapi juga harus mencakup proses konstruksi. Seiring dengan pergerakan konsep gedung ke arah Bangunan Hijau, implementasi Green Construction juga harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan Green Construction memiliki peranan penting untuk menciptakan gedung dengan konsep Hijau sehingga akan terciptanya suatu proses berkelanjutan.***
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
12
Sekilas Tentang Green Building Ir. Rana Yusuf Nasir, IPM Core Founder GBCI
Pertumbuhan jumlah manusia dalam dua abad terakhir yang eksponensial dan sangat pesat serta tidak terkontrol di akhir abad ini menimbulkan berbagai macam masalah, baik masalah untuk manusia itu sendiri maupun bumi sebagai tempat tinggalnya. Demi memenuhi kebutuhan hidup, manusia memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di bumi. Pembangunan kota dan gaya hidup manusia yang tidak terkontrol menyebabkan kebutuhan akan energi listrik, air dan sumberdaya lainnya meningkat, terutama di daerah perkotaan. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050 nanti, konsumsi energi global akan meningkat dua kali lipat. Karenanya produksi listrik juga meningkat luar biasa seraya melepas CO2 yang merupakan kontribusi terbesar sebagai gas rumah kaca. Selama kurun waktu ratusan ribu tahun yang lalu konsentrasi CO2 di atmosfir hampir konstan pada tingkat 230ppm, namun sejak revolusi industri pada abad 18, meningkat tajam dan saat ini berada pada level 400ppm hanya dalam kurun 150 tahun. Ini mengakibatkan kenaikan suhu global bumi sebesar 1oC. Kalau pola konsumsi energi masih seperti sekarang, maka pada tahun 2050, suhu global meningkat menjadi 2oC, dan itu akan mengakibatkan es di kutub mencair, menyebabkan kenaikan permukaan laut yang akan menenggelamkan banyak daerah seperti Manhattan di New York, kota Shanghai, dan delta sungai Mekhong .
Itulah beberapa masalah yang ditimbulkan akibat kerakusan dan kelalaian manusia. Namun, jika manusia dapat mengubah pola hidupnya maka semua ketakutan akan krisis sumberdaya alam dapat diatasi. Seluruh dunia kini terfokus untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan alam yang timbul. Salah satu solusinya yaitu dengan menerapkan konsep green building. Ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari professional di industri bangunan sehubungan dengan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Apa itu green building? Green building adalah bangunan yang sejak perencanaan, pembangunan dalam masa konstruksi dan dalam pengoperasian dan pemeliharaan selama masa pemanfaatannya menggunakan sumberdaya alam seminimal mungkin, pemanfaatan lahan dengan bijak, mengurangi dampak lingkungan serta menciptakan kualitas udara di dalam ruangan yang sehat dan nyaman.
Selain itu, kenaikan konsumsi energi listrik seperti itu dapat menimbulkan kelangkaan minyak bumi. Hampir separuh dari energi listrik di Indonesia berasal dari minyak bumi, dan hanya 5% dari energi terbarukan. Indonesia yang dulu terkenal sebagai negara penghasil minyak bumi, saat ini sudah menjadi “net importer oil country” dan mempunyai cadangan minyak hanya untuk 20 tahun lagi, kurang dari satu generasi.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
13
Sekilas Tentang Green Building Ir. Rana Yusuf Nasir, IPM Core Founder GBCI
Konsep green building akan mengurangi konsumsi energi secara signifikan melalui beberapa metode desain pasif dan desain aktif. Menggunakan konsep green building tidak perlu mengorbankan kenyamanan dan produktivitas akibat penghematan energi. Green building tidak hanya hemat energi tapi juga hemat air, melestarikan sumberdaya alam, dan meningkatkan kualitas udara serta pengelolaan sampah yang baik. Dalam mengantisipasi krisis air bersih, dikembangkan konsep pengurangan pemakaian air (reduce) dengan produksi alat saniter yang hemat air, penggunaan kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih (recycle), dan pemanfaatan air hujan yang jatuh di atap bangunan (rain water harvesting). Pengakuan sebuah bangunan sebagai green building didapat setelah disertifikasi bedasarkan perangkat penilai (rating tools). GBCI mengembangkan perangkat penilai yang disebut Greenship, yang terdiri dari kriteria pemanfaatan lahan dengan bijak, Appropriate Site Development (ASD), Energy Efficieny & Conservation (EEC), Water Conservation (WAC), Material Resource & Cycle (MRC), Indoor Health & Comfort (IHC) dan terakhir Building Environment Management (BEM).
Perubahan dalam gaya hidup, dalam peri laku yang konsumtif, perubahan dalam cara membangun gedung dan memanfaatkannya, perubahan mendasar yang bukan saja harus dilakukan oleh para profesional, tapi juga oleh seluruh masyarakat di dunia. Green building merupakan konsep pembangunan yang berbasis pada keseimbangan alam. Jika kita menerapkan konsep tersebut maka pertumbuhan manusia akan selaras dengan pembangunan yang seimbang dengan alam yang menjamin kehidupan generasi mendatang. Mari kita simak yang dikatakan oleh Al Gore, mantan Wakil Presiden dan penerima hadiah Nobel untuk lingkungan : “Kita tidak mewariskan bumi ini dari nenek moyang kita, tapi kita meminjamnya dari anak cucu kita”. Beri mereka kesempatan untuk hidup dengan kecukupan dalam memenuhi kebutuhannya, demi kelangsungan kehidupan manusia di bumi ini.
Pada saat ini, gedung yang sudah tersertifikasi oleh GBCI berjumlah 11 bangunan untuk New Building dengan rata-rata penghematan sebesar 43% dan 6 bangunan tersertifikasi untuk Existing Building dengan penghematan 11,2%. Sementara, saat ini, 55 gedung sudah terdaftar di GBCI untuk mengikuti proses sertifikasi. Banyak orang yang salah persepsi terhadap konsep green building. Yang satu beranggapan bahwa konsep itu mahal, terlalu rumit, yang lain hanya ingin menggunakan label green building sebagai marketing tools saja. Green building bukanlah sebuah trend, yang dapat berubah mengikuti zaman. Bukan juga sebuah konsep engineering yang memanfaatkan teknologi belaka. Tapi konsep green building adalah sebuah “perubahan”.
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
14
INFOGRAFIS PILIHAN
Dengan kemitraan PII, kini Engineer Weekly didukung
IKPT dan WIJAYA KARYA
15
Engineer Weekly Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail:
[email protected] Engineer Weekly adalah hasil kerja sama Persatuan Insinyur Indonesia dan Inspirasi Insinyur.