GREBEG BESAR Dl DEMAK
---
JB01
Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang mempunyai nilai ritual keagamaan bagi warga masyarakat Kabupaten Demak untuk menyambut datangnya hari raya Lebaran Haji pada setiap tanggal 10 Zulhijah. Grebeg pertama kali diadakan untuk memperinghati hari jadi Mesjid Demak yang dibangun oleh Sunan Kalijogo bersama Sunan Bonang, Sunan Gunung Jawi dan Sunan Ampel dengan potongan-potongan kayu atau tata dalam tempo sehari. Pada waktu itu merupakan satu-satunya mesjid di Jawa.
Sebelum peringatan dimulai diupayakankan bagaimana caranya untuk memancing kedatangan masyarakat desa yang masih banyak menganut agama dibawah Islam. Maka diadakan berbagai acara dan atraksi. Kesenian tradisional maupun permainan yang disenangi masyarakat pada waktu itu ditrampilkan sehingga rakyat impulse akan hilang tertarik kepada agama yang ada. Karena seringnya mengdengar dan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah masuk Islam, masyarakat
yang belum tahu akan agama tersebut tertarik perhatiannya dan menimbulkan rasa ingin mengherti.
Konon, Grebeg telah ada sejak 1428 tahun saka, atau 1506 Masehi pada zaman Majapahit. Para Raja Jawa secara turun temurun menyelengarakan upacara pengorbanan dengan menyembelih seekor kerbau jantan yang masih liar untuk dipersembahkan sebagai sesajian kepada dewa atau arwah para leluhur. Upacara korban merupakan upacara kenegaraan yang disebut Rajaweda
dengan harapan mendapatkan kemakmuran dan dijauhkan dari segala malapetaka. Pada jaman kesultanan Demak Bintoro, yang diperintah Raden Patah, kebiasaan Raja Jawa mengadakan upacara Rajaweda bertentangan dengan ajaran agama Islam. Akhirnya, upacara tersebut ditiadakan. Para wali mengambil kebijaksanaan Grebeg dilestarikan sebagai salah satu jalan pendekatan dengan umat agama sebelumnya dengan mengubah corak dan tatacaranya menurut Islam.
Dari keseluruhan acara Grebeg Besar yang menarik adalah pada malam 9 Zulhijah yaitu tumpengan di serambi depan mesjid agung Demak. Tumpeng tersebut berjumlah sembilan atau songo, berbentuk gunungan atau kerucut yang masing-masing lengkap dengan lauk pauknya mencerminkan kebesaran dan jumlah wali yang sembilan orang, yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Dradjat, Sunan Kalijogo, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Tumpeng itu diarak dari pendopo kebupaten Demak diiring dengan kesultanan Demak Bintoro tempo dulu ke mesjid agung Demak
untuk direbutkan oleh pengunjung yang sudah menunggu di mesjid.
Setelah acara resmi berupa selamatan yang dihadiri oleh Bupati Demak, para pejabat dan sesepuh masyarakat setempat, tumpeng sembilan tadi diperebutkan atau diraya pengunjung. Dengan memperoleh bagian tumpeng para pengunjung mempunyai suatu kepercayaan. Hidupnya akan dekat dengan rezeki yang dianugerakan oleh Allah SWT. Bahkan potongan-potangan bambu yang dipakai untuk mebuat ancakan atau welat menurut mereka
mempunyai keampuhan. Dapat dipergunakan untuk penangkal serangan hawa disawah, serta panen perkebunan dan pertanian lainnya.
Yang juga banyak mengundang perhatian baik warga Demak maupun para pengunjung dari Grebeg Besar mengarak penjaja mas dari pendopo kebupaten ke komplex makam Kadilangu dilakukan setelah selesai salat Idul Adha dan khotbah pada 10 Zulhijah. Menjelang pemberangkatan minyak jamat, diawali dengan penabuhan gamelan hidup hingga nampak regeng (meriah) dan para
tamu yang semuanya berbusana kejawen dihibur dengan Tari Budoyo. Lurah Tantama didampingi dua orang Wiratama melankah menaiki terap pendopo maju menghadap Bupati untuk melapor bahwa ia siap melaksanakan tugas pengawalan minyak jamas.
Seorang puteri dayang disertai keluarganya melangkah menuju meja mengambil bokor berisi minyak jamas diserahkan kepada Lurah Tantama.
Setelah menerima minyak jamas, Lurah Tantama laporan kepada Bupati bahwa ia dan prajurit patang puluhan mohon doa restu berangkat menuju Kadilangu. Keunikannya terletak pada pengawal pembawa minyak jamas yang terdiri dari 40 orang prajurit patang puluhan. Para prajurit mengenakan pakaian tradisional yang menggambarkan kegagahan prajurit kesultanan Demak Bintoro
tempo dulu. Di kepalanya memakai kain kepala yang disebut desta, memakai pinan ikat pinggang dan membawa tombak sebagaimana layaknya seorang prajurit.
Setelah tiba rombongan pembawa minyak jemas di Kadilangu, sesapuh dan keluarga ahliwaris Sunan Kalijogo mengadakan upacara penyambutan utusan dari Sultan Bintoro yaitu prajurit patang puluhan untuk menyerahkan minyak jamas. Utusan dari Sultan Bintoro langsung diterima sesepuh didampingi pembantunya dan keluarga. Minyak Jamas diterima
oleh pihak ahliwaris kesepuhan Sunan Kalijogo, selanjutnya prajurit patang puluhan kembali ke kabupaten.
Dengan selesainya serah terima Minyak Jamas, sesepuh dan keluarga ahliwaris berangkat menuju ke makam Kanjeng Sunan Kalijogo untuk melaksanakan upacara penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijogo yang berupa jubah antarkusama, Keris Kiai Carubuk dan Kiai Sirikan.
Grebeg Besar Demak dari tahun ke tahun makin berkembang dan selalu dapat perhatian masyarakat, bukan hanya masyarakat Demak dan sekitarnya. Banyak masyarakat dari daerah lain sengaja datang untuk ikut merayakannya.
Jawa Tengah yang dikenal dengan kebudayanya yang tinggi dan adiluwung berbagai senibudayanya telah mendapat hati para wisatawan nusanara maupun mancanegara. Obyek-obyek wisatanyapun mampu mengundang wisatawan mancanegara untuk melihat dan mengagumi bumi pertiwi ini.
Grebeg yang merupakan upacara tradisional wajiblah kita jaga kelestariannya jangan sampai punah karena kekunoannya. Justru Grebeg mampu memikat wisatawan yang ingin melihat tradisi keunikannya.
GREBEG BESAR IN DEMAK
(English version)
Grebeg Besar represents a traditional ceremony that has ceremonial religious value for the people of Kabupaten Demak on the anniversary of Lebaran Haji each 10 Zulhijah. Grebeg was first held for the opening of the Demak mosque that was built by Sunan Bonang, Sunan Gunung Jawi and Sunan Ampel in one day. At that time it was the first mosque in Java. Before the celebration begins, there is discussion of how to attract village people who still believe in religions besides Islam. That is why various programs and attractions are
provided. Traditional art as well as folk art is performed so that the people will impulsively neglect their own religion. Because of the frequency of the activities held by the Moslems, the people who do not yet know about Islam are attracted and encouraged to find out more. Grebeg has been held since 1428 on the Javanese calendar or 1506 AD, in the Majapahit era. Subsequent Javanese princes have carried out a sacrificial ceremony by cutting the throat of a wild buffalo bull in homage to the spirits or to their ancestors. The sacrifice takes the form of a ceremony called
Rajaweda. It is held in the hope of achieving prosperity and protection from misfortune. In the time of the Demak Bintoro Sultanate under Raden Patah, it was usual for Javanese sultans to conduct the Rajaweda ceremony in conflict with the teachings of Islam. Eventually, the ceremony was discontinued. By adapting the structure and process to Islam, the saints maintained the essence of Grebeg as a means of getting to the followers of earlier religions. From the entire Grebeg Besar program, the interesting part takes part on ninth night of Zulhijah with some tumpengan or
cones of boiled rice on the front verandah of the main mosque in Demak. There are nine tumpeng, each garnished with other food that represent the nine saints. The saints names are: Sunan Maulana, Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Dradjat, Sunan Kalijogo, Sunan Muria, Sunan Kudus and Sunan Gunungjati. The tumpeng are taken in a traditional procession from the Demak Pendopo to the main Demak mosque where the people who are waiting inside the mosque fight for their share.
After the official ceremony involving the Bupati of Demak, the officials and elders of the community, the nine tumpeng are divided among the other visitors. They have a belief that if they can get a share of the tumpeng, they will experience good fortune blessed by Allah. Moreover, they believe that the bamboo that was used to carry the rice has power that can be used to avert bad weather for their rice crops, plantation harvest or other farming endeavours. Another big attraction for both residents of Demak and visitors is the procession of penjaja from the Pendopo to the
Kadilangu cemetery that takes place after the Idul Adha prayers and sermon on 10 Zulhijah. Before the departure of the minyak jamas, there is a live performance of gamelan, and the guests who are dressed in traditional costumes are entertained with the dance, Tari Budoyo. The head lurah, accompanied by two escorts approaches the Bupati to report that he is ready to escort the minyak jamas.
A young girl servant accompanied by her family approaches the table and takes a pokor filled with oil and hands it to the head lurah. After he receives the minyak jamas, the head lurah reports to the Bupati that he and the Patang Puluhan soldiers seek blessing to leave for Kadilangu. The uniqueness of this lies with the 40 Patang Puluhan soldiers. They all wear traditional costumes that portray the courage of the army of Sultan Bintoro from times past. On their heads they wear a cloth
called a desta, they wear sashes around their waists, and they carry staves in the manner of soldiers. After the group carrying the minyak jamas arrives at Kadilangu, the descendants of Sunan Kalijogo hold a reception for the envoy of Sultan Bintaro, that is, the patang puluhan soldiers where they deliver the minyak jamas. The envoy is immediately received by the descendants, their servants and their families. The minyak jamas is accepted by a descendant of Sunan Kalijogo and the patang puluhan soldiers return to the kabupaten.
After the handing over of the minyak jamas, the descendants and their families leave for Lord Sunan Kalijogo's grave to oil the relics of Sunan Kalijogo with the minyak jamas. These relics are a antarkusama robe, a Kiai Carubuk keris and a Kiai Sirikan keris. The Grebeg Besar ceremony is developing from year to year and always attracts peoples' attention, and not only the people of Demak and its surrounds. Many people from other areas come to Demak with the express purpose of participating in the ceremony.
Central Java, which is renowned for its rich and high culture, has attracted domestic and overseas tourists. Central Java's tourist attractions attract international tourists observe and wonder at our homeland. We have an obligation to preserve the ancient Grebeg ceremony because of its uniqueness. It is this uniqueness that makes Grebeg attractive to tourists.
The video is available from: Marcom Projects,
P.O.Box 4215, Loganholme 4129 Ph 07 38801 5600