Government e-service village di Kabupaten Bantaeng Bambang Dwi Anggono Magister Teknologi Informasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
[email protected] Abstraksi Semestinya e-government dipahami sebagai suatu layanan pemerintah bagi masyarakat luas yang didistribusikan melalui teknologi internet. Namun apa jadinya bila internet menjadi kendala besar bagi rakyat yang merupakan customer utama pelayanan umum pemerintah?Idealisme penyediaan pelayanan umum e-government dengan memanfaatkan internet sebagai media komunikasi akan sulit diwujudkan. Sementara, pada banyak negara Teknologi Informasi banyak menyumbang bagi efektifitas dan efisiensi layanan umum masyarakat. Untuk itu perlu dibangun suatu model layanan umum berbasis Teknologi Informasi yang ditempatkan sedekat mungkin dengan masyarakat, yaitu desa. Selama ini pemerintah memang sudah menyediakan layanan pemerintah elektronis, namun tidak sepenuhnya dekat dengan masyarakat. Sebagian besar pelayanan umum yang disediakan pemerintah memerlukan biaya tambahan yang harus ditanggung masyarakat. Untuk mengetahui model pelayanan umum e-government berbasis desa (government e-service village) yang benarbenar diharapkan publik dengan berbagai keterbatasan yang ada, maka telah dilaksanakan penelitian melalui pendekatan studi literatur dan wawancara mendalam dengan berbagai pihak yang terkait langsung dengan pelayanan umum di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan pada awal 2008. Responden berasal dari berbagai komponen, antara lain pejabat strategis Kabupaten, pejabat teknis, para operator e-government yang secara langsung menangani pelayanan umum berbasis Teknologi Informasi hingga masyarakat pengguna pelayanan umum. Hasilnya, hampir keseluruhan responden merespon positif atas upaya mendekatkan pelayanan umum pada lembaga pemerintah terendah, yaitu desa. Beberapa responden memberikan catatan tegas untuk tetap mentaati regulasi umum yang diatur pemerintah meskipun improvisasi pelayanan umum dijalankan.
Kata Kunci : Bantaeng, e-government, e-service village, pelayanan umum PENDAHULUAN Latar belakang Pelayanan pemerintah merupakan salah satu tugas umum Pemerintahan. Dari sisi administrasi negara, layanan pemerintah dipahami sebagai: "segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan". Pada definisi ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara lebih menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah saja. Penekanan berbeda dikeluarkan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), yang mengkaji pengertian layanan publik sebagai: "suatu kewajiban yang diberikan oleh Konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)". Pengertian ini mengandung suatu penekanan akan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada warga Negara dengan berbagai cara yang terbaik.
Sesuai Keputusan Menpan No. 63/Kep./M. PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, terdapat tiga jenis pelayanan pemerintah, yaitu : a.
b.
Kelompok Layanan Administratif, yaitu layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Keterangan Kematian, Buku Pemilik Kendaraan bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah, dan sebagainya. Kelompok Layanan Barang yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telpon,
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
1
c.
penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya. Kelompok Layanan Jasa yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya.
Secara empiris, gejala perkembangan masyarakat sebagai akibat dari adanya globalisasi, memaksa semua pihak, terutama birokrasi pemerintah melakukan revisi, perbaikan, dan mencari alternatif baru tentang sistem administrasi yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman. There is not the best, but the better (Sasli Rais dan Dance Y. Flassy, 2005). Hal ini selaras dengan tujuan utama desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar lebih cepat, efektif dan efisien. Semangat otonomi daerah juga memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun organisasi dan tata kerja yang mendukung terselenggaranya pelayanan pemerintah yang lebih baik. Bahkan, memungkinkan dihasilkannya Pendapatan Asli Daerah (PAD), meski sebenarnya PAD dari sektor pelayanan umum seyogyanya tidak dijadikan tujuan pokok pelayanan pemerintah itu sendiri, namun lebih dikarenakan pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan perlu jaminan keberlangsungan pelayanan pemerintah yang lebih baik dan berpihak kepada rakyat. Sebagai upaya memberikan layanan yang lebih baik tersebut dan penerapan good government, pemerintah Republik Indonesia telah menerapkan e-government pada berbagai level jajaran Pemerintah, dengan harapan akan melahirkan suatu pemerintahan model baru yang berorientasi pada pelayanan publik modern. Namun, implementasi akan menghadapi kendala besar dengan belum siapnya jangkauan Teknologi Informasi dan Komunikasi masyarakat, yang ditunjukkan dengan data-data sebagai berikut : a.
b.
c.
Indikator e-readiness 2007 yang mencakup kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi, kebijakan, lingkungan bisnis dan sosial yang mendukung menunjukkan Indonesia masih pada peringkat 67 dari 69 negara (Sumber: economist intelegent unit) IT Literacy masyarakat Indonesia sebagai prasyarat utama untuk mewujudkan knowledge-based society masih sangat rendah. Sebagian besar warganegara masih belum mengganggap Teknologi Informasi dan internet sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Perangkat komunikasi masih dianggap sebagai barang mewah pada sebagian besar rakyat Indonesia, sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur Teknologi Informasi, khususnya komputer dan networking-
d.
e.
nya masih sangat terbatas. ALokasi dana egovernment, baik pusat maupun daerah juga relatif rendah. “Teledensity” masih rendah, yaitu 11-25% di kota besar dan 0,2% di daerah pedesaan, dimana sekitar 43.022 desa (64,4% dari 66.778 jumlah total desa) masih belum memiliki akses telepon. Penetrasi fix phone masih berada pada sekitar 3% atau 7,82 juta, sementara penetrasi selular kurang lebih 20 Juta (Sumber: Ditjen Postel, 2005) Penetrasi komputer di Indonesia masih sangat rendah, berada pada angka 1-2%. Sementara pengguna internet, meskipun mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2002, Pada tahun 2006 APJII (Asosiasi Pengelola Jasa Internet Indonesia) mencatat angka 20 juta user. Baru mencapai 13,33% dari kisaran 150 juta penduduk Indonesia.
Pertanyaan Penelitian Kondisi tersebut menyebabkan implementasi pelayanan pemerintah berbasis online (internet) menjadi sulit diwujudkan. Karena itu perlu solusi menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan pemerintah yang cepat, efektif dan efisien dengan keterbatasan akses publik terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi. Namun untuk menetapkan desa sebagai basis layanan pemerintah kepada publik tentu tidak sederhana. Faktor kesiapan Sumber daya manusia, infrastruktur Teknologi Informasi dan kelembagaan (tugas pokok dan fungsi) menjadi pertimbangan strategis untuk menentukan apakah desa merupakan lokasi yang terbaik, setidaknya pada saat ini. Karena itu, dalam penelitian ini melahirkan pertanyaan penelitian : Q1 : Sejauh mana kesiapan desa menjadi basis pelayanan publik ? Kartasasmita(1997), menyebutkan bahwa studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: a. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. b. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak,tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. c. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. d. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan 2
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
Pelayanan pemerintah berbasis desa merupakan bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi multiperangkat pemerintah, karena itu dukungan lintas sektoral merupakan salah satu indikator keberhasilan yang perlu mendapat perhatian. Untuk itu, pertanyaan peneletian kedua dituangkan sebagai berikut : Q2 : Bagaimana dukungan birokrasi dan masyarakat terhadap distribusi layanan pemerintah pada tingkat desa? Suatu layanan pemerintah diselenggarakan menurut suatu regulasi tertentu. Layanan dokumen kependudukan misalnya, dilaksanakan sesuai Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan serta Permendagri 24/2006 yang mengharuskan daerah membentuk lembaga pelayanan perizinan satu atap, dan lain-lain, termasuk regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang mengatur secara teknis dan mengakomodir inovasi-inovasi kreatif yang mampu mengoptimalkan pelayanan pemerintah. Meskipun peluang improvisasi dalam pelayanan umum tetap terbuka bagi lembaga pemerintah dalam penyediaan pelayanan umum, bukan berarti sinkronisasi terhadap regulasi yang lebih tinggi dapat diabaikan. Karena itu, pertanyaan penelitian berikutnya adalah : Q3 : Bagaimana bisnis proses dapat dijalankan dengan mengacu regulasi yang berlaku? Studi Literatur Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pada beberapa lembaga Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah justru menghasilkan paradoks produktifitas. Prasojo dkk (2006) menyebutkan bahwa desentralisasi yang sejatinya merupakan instrumen untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat justru diterjemahkan secara salah. Tidak hanya pembebanan kontribusi penerimaan daerah, namun pada beberapa Pemerintah Daerah One STop Service (Pelayanan Satu Atap) justru ditempatkan pada pusat pemerintah, tidak didistribusikan pada lembaga pemerintah yang lebih dekat kepada masyarakat. Akibatnya, beban biaya untuk mengakses pelayanan pemerintah relatif tidak berubah. Meski sebagian besar daerah mengaku unit layanan perizinan yang didirikan sudah mampu mengurus perizinan secara "terpadu", namun ditemukan kenyataan yang menunjukkan bahwa "keterpaduan" tersebut hanya terjadi pada struktur organisasi dan penyatuan tempat pelayanan. Belum banyak daerah yang berani melakukan integrasi sistem pelayanan yang melibatkan banyak satuan kerja dengan pendelegasian kewenangan kepada staf yang ditugaskan di unit layanan perizinan tersebut. Akibatnya, mekanisme semacam itu tidak banyak memberikan kemudahan kepada masyarakat karena belum dapat mempersingkat waktu pengurusan izin yang relatif lama. Tidak jarang pula pemohon izin yang merasa nasibnya
digantung. (Redhi, 2007). Kebijakan mendistribusikan pelayanan pemerintah ke tingkat pemerintah terendah, yaitu desa pun belum ada. Kebanyakan pejabat daerah masih menganggap desa masih belum mampu diamanahi untuk membantu peningkatan kualitas pelayanan pemerintah, khususnya dari sisi kemampuan SDM nya. Proses perijinan (sebagai bagian dari pelayanan umum) memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya dalam mengikuti tata urutan prosedurnya akan tetapi hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran proses perijinan itu sendiri. Pengoptimalan penggunaan Teknologi Informasi, misalnya dianggap menjadi solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan prosedur perijinan. Sehingga hampir semua sektor perijinan dituntut untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki keahlian untuk mengoperasikan Teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. (Prasojo, dkk, 2006). Kualitas pelayanan pemerintah juga ditunjukkan dengan adanya kontrak pelayanan antara pemerintah dan masyarakat atau yang dikenal dengan istilah citizen’s charter. Kontrak ini memungkinkan posisi pemerintah dan rakyat berada pada tingkat yang sama. Dalam layanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) misalkan, apabila ditetapkan harus selesai maksimal adalah dua minggu, maka masyarakat pemohon berhak mendapatkan kompensasi apabila IMB yang diajukan melebihi waktu yang ditentukan. Struktur organisasi kenegaraan Indonesia menempatkan Desa sebagai lembaga formal pemerintah yang secara efektif berinteraksi langsung dengan rakyat. Karena itu, peningkatan kapasitas desa sebagai unit pelayan umum dirasakan lebih efektif. Lembaga pemerintahan desa juga relatif jauh lebih mudah diakses oleh publik. Karena itu layanan pemerintah berbasis desa merupakan potensi peningkatan kualitas salah satu tugas umum pemerintah, yaitu pelayanan umum. Legalisasi atas ide peningkatan kapasitas desa sebagai unit yang membantu terlaksananya tugas pokok dan fungsi pelayanan pemerintah instansi tingkat atasnya juga selaras dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan yang menegaskan kewajiban Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menugaskan desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan. Tentu saja terjadi kesamaan fungsi layanan pemerintah bidang kependudukan dan bidang-bidang lainnya, termasuk perijinan. Karena itu, desa semestinya mampu juga menyelenggarakan pelayanan pemerintah multi sektor, bukan hanya kependudukan saja. Yang penting ditetapkan, adalah peran desa terhadap pelayanan itu sendiri. Apakah desa akan diberikan kewenangan yang lebih besar, sehingga Metodologi Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, survey dan wawancara mendalam kepada para pengambil kebijakan di bidang
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
3
pemerintahan, Teknologi Informasi dan e-government pada tingkat nasional hingga daerah, akademisi dan pakar Teknologi Informasi/e-government, dunia usaha serta masyarakat sebagai pengguna layanan. Pelaksanaan wawancara didasarkan pada daftar pertanyaan. Analisa terhadap data dilakukan secara kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bantaeng (Provinsi Sulawesi Selatan). Scope penelitian ini bersifat internal Pemerintahan daerah, regulasi atas tugas pokok dan fungsi lembaga daerah, kesiapan infrastruktur dasar e-government pada tingkat Kabupaten, Lembaga teknis daerah, Kecamatan hingga tingkat desa, distribusi kewenangan dan model pelayanan umum pemerintah berbasis Teknologi Informasi di tingkat desa (Government e-service village) melalui system counter di kantor desa. Waktu penelitian selama empat bulan.
PEMBAHASAN Kabupaten Bantaeng merupakan wilayah yang secara administratif merupakan Kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta jiwa yang terbagi dalam 6 Kecamatan, 46 Desa dan 21 Kelurahan. (Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bantaeng). Karakteristik geografis menunjukkan persebaran penduduk yang relatif merata pada seluruh wilayah yang terbagi dalam wilayah dataran tinggi dan dataran rendah. Lokasi terjauh desa dengan pusat pemerintahan mencapai 40 Km. Hidden cost yang harus ditanggung masyarakat di luar kota (pusat pemerintahan) untuk mengakses pelayanan pemerintah yang ada di pusat pemerintahan dengan transportasi umum, berdasarkan survey berkisar antara Rp. 5.000,- - Rp. 30.000,- Pulang Pergi. TI yang sudah digelar dalam pemerintahan mencakup wireless network pada sebagian besar dinas daerah, beberapa puskesmas dan telah menghubungkan tiga Kecamatan. Sistem Informasi kependudukan sebagai basis data utama dalam melayani dokumen-dokumen kependudukan telah tersedia melalui standar SIAK sebagaimana diatur melalui Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Infrastruktur Personal Computer (PC) telah tersedia pada hampir seluruh instansi Pemerintah Kabupaten, termasuk pada beberapa pemerintah desa/kelurahan. Akses dedicated internet (24 jam) telah tersedia pada beberapa lembaga Pemerintah Daerah, antara lain : Bappeda, Kepegawaian, Kesehatan dan pendidikan. Sebuah diskusi group diselenggarakan membahas evaluasi umum penyelenggaraan existing pelayanan pemerintah dan menggali ide-ide yang mungkin dilaksanakan melalui peran Teknologi Informasi. Wawancara mendalam dilaksanakan terhadap beberapa pejabat strategis lokal, seperti Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas-kepala dinas, midle management (pejabat eselon 3 dan 4) hingga para staf pelayanan pemerintah (konvensional) serta para operator
komputer yang selama ini telah berperan dalam pelayanan pemerintah pada tingkat dinas dan Kecamatan. Wawancara mendalam juga dilaksanakan dengan pejabat pemerintahan di tingkat departemen. Keseluruhan responden berjumlah 55 orang yang terbagi dalam 5 kategori, yaitu pejabat strategis (6 orang), pejabat midle manajemen (16 orang), operator pelayanan umum non TI (15), operator komputer (10 orang) dan masyarakat umum (8 orang). Responden dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) berasal dari DInas kependudukan, Kantor Pelayanan Satu Atap, DInas Kesehatan, DInas Pendidikan, DInas Perhubungan dan infokom, Badan Kepegawaian, Puskesmas, Kecamatan dan Desa.
PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan responden meyakini bahwa distribusi layanan pemerintah berbasis Teknologi Informasi melalui sistem counter di Kantor Desa akan sangat membantu masyarakat untuk dapat mengakses layanan publik dengan lebih baik. Keberadaan PC sebagai bagian dari alat kerja di Desa yang sudah berlangsung beberapa lama menunjukkan bahwa perangkat desa tidak asing dan mampu mengoperasionalkan sistem pelayanan berbasis komputer. Namun demikian transfer knowledge tetap diperlukan untuk memperkuat kapasitas desa sebagai unit terdepan pelayanan pemerintah berbasis e-government. Dengan makin dekatnya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, hidden cost yang selama ini ditanggung oleh masyarakat untuk sekedar mengakses pelayanan pemerintah dapat dikurangi. Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi memberi peluang kemungkinan bisnis proses dalam pelayanan umum dapat disederhanakan, didistribusikan dan dimonitor dengan lebih efektif dan efisien tanpa harus melanggar regulasi nasional maupun lokal tentang administrasi pelayanan umum. Penempatan e-service pada tingkat desa pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep umum penyelenggaraan unit pelayanan satu atap (One Stop Service) yang selama ini, di Indonesia cenderung ditempatkan pada pusat-pusat pemerintahan, sehingga menimbulkan masalah bagi masyarakat untuk dapat mengaksesnya secara offline. Sistem counter di desa merupakan wujud “jembatan” antara pemanfaatan TI bagi pelayanan umum yang diselenggarakan Pemerintah Daerah dan masyarakat dengan segala keterbatasan untuk menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai tools untuk mengakses pelayanan umum. Posisi e-service desa bukan merupakan eksekutor semua permohonan pelayanan yang diajukan masyarakat, namun akan lebih berperan sebagai mediator atau unit yang membantu instansi Pemerintah Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pelayanan umum. Sebagai contoh, untuk pengajuan Akta kelahiran, masyarakat tidak perlu jauh-jauh ke pusat pemerintah, cukup datang ke kantor desa. Petugas conter di kantor desa yang akan melakukan verifikasi syarat-syarat dan menlakukan entry permohonan 4
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
melalui aplikasi komputer online. Sistem akan memberi warning request akta kelahiran kepada Dinas Kependudukan & Catatan Sipil yang memiliki kewenangan penerbitan Akta Kelahiran, dan Kecamatan yang memiliki kewenangan pencetakan kartu keluarga, karena pada dasarnya setiap kelahiran baru penduduk akan berarti update atas kartu Keluarga. Bisnis proses serupa dijalankan untuk berbagai layanan lainnya, termasuk perijinan.
Konsep Government e-service village merupakan jawaban atas masalah yang selama dihadapi birokrasi tradisional, dimana : - Seorang warganegara harus menuju ke banyak departemen untuk mengakses pelayanan pemerintah , sementara - Satu departemen/lembaga pemerintah harus melayani banyak warganegara
Responden dari kategori masyarakat menekankan perlunya citizen’s charter guna menjamin kualitas layanan dan profesionalisme pemerintah dalam melayani rakyatnya. Berkaitan dengan regulasi yang memayungi pelayanan pemerintah bagi masyarakat, responden tetap menghendaki tidak adanya pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Namun demikian, beberapa responden dari kategori strategis melihat bahwa otonomi daerah memberi kemungkinan untuk daerah melakukan improvisasi, sejauh tidak melanggar aturan dasar yang sudah diatur oleh peraturan yang derajatnya lebih tinggi. Antusiasme perangkat Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk melakukan integrasi e-government, khususnya bagi kepentingan pelayanan umum sangat tinggi. Secara makro dapat dikatakan bahwa keinginan untuk melakukan sharing data dan informasi e-government sangat tinggi. Ego sektoral dapat dikesampingkan. Pemahaman para pejabat lokal mengenai TI dan pentingnya integrasi sistem sangat baik. Pengetahuan mengenai Teknologi Informasi dan integrasi e-government diperoleh dari seringnya mereka mengikuti sosialisasi manfaat Teknologi Informasi yang diselenggarakan oleh Departemen Pusat maupun lembaga-lembaga TI lainnya, disamping melalui media massa. Bahkan dalam wawancara kepada para pimpinan dinas, mereka menghendaki bahwa integrasi back office e-government juga dijalankan guna mengoptimalkan integrasi e-government bantaeng. Meskipun demikian mereka berharap aplikasi egovernment sektoral yang sudah berjalan baik selama ini tetap dimanfaatkan guna menghindari gangguan kerja. Karena itu Service Oriented Architecture (SOA) perlu diimplementasikan dalam model pelayanan pemerintah berbasis desa maupun pengembangan integrasi egovernment lainnya. Kondisi tersebut membangun keberanian peneliti untuk merekomendasikan suatu pilot project Government eservice village di Kabupaten Bantaeng.
Daftar Pustaka
[1]. Sasli Rais dan Dance Y. Flassy, “Reformasi Administrasi Publik Untuk Membangun daya Saing Daerah: Kajian Perspektif Resource Based”, 2005 [2]. Kartasasmita, Ginandjar. PembangunanUntuk Rakyat Government e-Service Village memungkin warga negara cukup dapat ke satu lembaga pemerintah untuk mengakses berbagai layanan pemerintah. Mengingat persebaran penduduk dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sangat luas, maka pemerintah perlu berupaya semaksimal mungkin menjangkau masyarakat melalui berbagai cara dan regulasi serta melalui lembaga yang sedekat mungkin dengan masyarakat.
MemadukanPertumbuhan Cidesindo, Jakarta, 1997.
dan
Pemerataan,
[3]. Undang-undang nomor 23/2006, Administrasi kependudukan, 2006 [4].Permendagri 24/2006, pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu, 2006 [5]. Prasojo, Eko, Maksum, Irfan Ridwan, Epakartika, Kurniawan, Teguh, “Penataan sistem pengaturan tata laksana perijinan bidang perekonomian”, 2006 [6].Setiadi, Redhi, Permendagri 24/2006 soal Layanan Satu Pintu : Izin Boleh Jadi Objekan Lagi, 2007
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
5