GLOSARI
Antang Pitih
: Tokoh yang menjadi sumber dalam mitologi pelaksanaan ritual Nyadiri.
Barintih
: Tanda pada beras hambaruan yang biasanya berupa tanda putih mencolok pada bagian beras hambaruan. Apabila ada tanda tersebut pada behas hambaruan, maka suatu ritual dapat dikatakan berhasil
Basir/ Pisur
: Imam agama Kaharingan.
Behas hambaruan
: Terdiri dari tujuh butir beras; sebagai tanda keberhasilan bagi suatu ritual dalam kehidupan suku Dayak Ngaju; bisa juga sebagai media bagi roh orang yang sakit untuk pulang.
Banama Panjang Pahelempei Laut
: Kapal berukuran besar.
Basuhun Bulau Sarambai Rabia
: Sungai emas, pengaliran segala kekayaan. Bis juga dikatakan alam bawah bagi suku Dayak Ngaju.
Batu Nindan Tarung
: Tempat tinggal dari Raja Sangen dan sekaligus tempat yang menjadi sumber dari segala kisah kepahlawan.
Bukit Pasahan Raung
: Tempat peristirahatan sementara, sebelum dilaksanakan ritual Tiwah.
Duit singah
: Uang penukar didalam pelaksanaan ritual, apabila terdapat kekurangan-kekurangan syarat dalam pelaksanaan ritual. Ketika ritual itu telah berjalan.
Danum Kaharingan
: Air keluhuran hidup; air yang menghidupkan.
Belum Hampatung sadiri
: Patung yang digunakan dalam pelaksanaan ritual Nyadiri.
Hampatung henda
: Patung manusia yang dibuat dari kunyit; dalam pelaksanaan ritual Nyadiri, maka hampatung henda sebagai ganti diri dari orang yang sakit.
Hampatung punduk apui
: Patung yang dibuat dari sisa pembakaran kayu bakar yang sekaligus menjadi penerang/penuntun untuk sampai ke dunia orang mati.
Hariten
: Tanda pada beras hambaruan yang biasanya menunjukan tanda cacat. Apabila ada tanda tersebut, maka suatu ritual dapat dinyatakan berhasil.
Indang
: Panggilan untuk ibu dalam bahasa Dayak Ngaju.
Jata/ Bawin Jata Balawang Bulau
: Wanita Jata berpintukan permata; ilah perempuan bagi suku Dayak Ngaju yang memiliki sifat feminin dan mendiami alam bawah.
Kaharingan
: Berasal dari akar kata “haring” yang berarti ada dengan sendirinya. Istilah ini juga dipakai sebagai nama untuk agama asli suku Dayak Ngaju.
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun
: Manusia perempuan pertama dalam mitologi penciptaan suku Dayak Ngaju.
Kumpang Dohong
: Sarung tombak
Kutak Itah
: Bahasa daerah suku Dayak Ngaju.
Layau hambarua
: Orang yang tersesat rohnya, karena dibawa oleh roh orang mati atau roh yang lain. Sehingga orang tersebut menjadi sakit.
Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Intan Hakaragan Lamiang
: Negeri kaya berpasir emas, berhalaman intan, berkerikil batu ahad. Bisa juga dikatakan surga bagi suku Dayak Ngaju.
Lasang kilat panangkaje andau : Kendaraan yang kecepatannya seperti kecepatan kilat. Lilis lamiang
: Berupa merjan yang biasanya diikatkan pergelangan tangan orang yang melaksanakan ritual; biasanya dikenakan juga pada subjek ritual. Fungsinya untuk menahan roh orang yang melaksanakan ritual dan juga si subjek ritual.
Manyemei Tunggul Garing Janjahunan Laut, Sahawung Tangkuran Hariran
: Manusia laki-laki pertama.
Nyadiri
: Ritual ganti diri bagi orang yang sakit atau orang yang kehilangan semangat/rohnya.
Nyiru
: Alat penampi beras.
Palangka Bulau Lembayung Nyahu
: Tempat sesajen atau persembahan yang terbuat dari emas. Sebagai sarana bagi Ranying Hatalla untuk menurunkan manusia ke dunia.
Pantai Danum
: Dunia yang ditempati oleh manusia.
Kalunen Pantai Danum Sangiang
: Tempat kediaman Raja Sangiang dan turunannya. Dan sekaligus menjadi perantara manusia dengan Tuhan.
Papat pamang
: Doa dalam pelaksanaan ritual.
Patahu
: Leluhur suku Dayak Ngaju yang memiliki kesaktian dan kekuasaan dari Ranying Hatalla.
Peteng tekang hambaruan
: Pengikat bagi roh orang yang melaksanakan ritual; bisa juga dikenakan kepada orang yang menjadi subjek dalam pelaksanaan ritual. Biasanya berupa lilis-lamiang, uang, dan bisa juga emas.
Ranying Hatalla Langit, Raja Tuntung Matanandau, Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan
: Tuhan bagi suku Dayak Ngaju.
Raja Buno
: Anak dari manusia laki-laki dan perempuan pertama dalam mitologi suku Dayak Ngaju. Dan sekaligus menjadi nenek moyang manusia suku Dayak Ngaju yang tinggal di alam manusia.
Raja Hantuen
: Disebut juga “Raja Haramaung Batulang Buno, Balikur Talawang” (Raja Harimau Bertulang Tombak, Bertulang Belakang perisai). Ia dilihat sebagai sumber kerusuhan yang mengganggu dan merusak manusia. Ia menganggu manusia dengan cara menghisap darah manusia.
Raja Pali
: Roh yang menguasai tata tertib alam semesta, sehingga setiap kali ada pelanggaran adat leluhur yang dilakukan oleh manusia akan dibalas atau dihukum oleh Raja Pali.
Raja Peres
: Sumber segala macam penyakit.
Raja Sangen
: Anak dari manusia laki-laki dan perempuan pertama dalam mitologi suku Dayak Ngaju, yang tinggal Batu Nindan Tarung.
Raja Sangiang
: Anak dari manusia laki-laki dan perempuan pertama dalam mitologi suku Dayak Ngaju, yang tinggal di Pantai Danum Sangiang.
Raja Sial
: Disebut juga “Tamang Tarai Bulan, Tambon Panton Garantung” (Tambon, si pemukul bulan tembaga dan pemain gong). Mendatangkan kengerian dan kekejaman, kecelakaan, kerugian dan juga mendatangkan kematian.
Raja Untung
: Disebut juga “Raja Mandurut Bulau, Kanaruhan Batuang Hintan, Raja Balawang Bulau Kanaruhan” (Raja Pembuat Emas dan Pagar Intan, Pangeran Pencipta Intan, Raja Berpintukan Emas, Berpagarkan Intan). Sumber rejeki, kekayaan dan kemakmuran.
Tampung tawar
: Penetralisir atau sebagai media penyucian supaya terlepas dari pengaruh-pengaruh jahat.
Tanteluh manuk darung Tingang
: Nama dalam bahasa sangiang bagi telur ayam. Biasanya berupa telur ayam kampung (non padaging).
Tasik Tabenteram Bulau Laut Babandan Intan
: Danau kemilau emas, laut berjembatankan intan. Dapat juga dikatakan sebagai alam atas bagi suku Dayak Ngaju.
Tatu Kalaya Henda
: Penjaga bukit pasahan raung.
Tawur/Behas tawur
: Beras yang ditaburkan, ketika pelaksanaan ritual dalam kehidupan suku Dayak Ngaju. Serta dipercaya dapat menjadi tujuh perempuan.
Tiwah
: Ritual dalam kehidupan suku Dayak Ngaju untuk roh orang yang mati sampai menuju surga.
Lampiran 1
Pemancangan tugu Kota Palangka Raya yang dilakukan oleh Presiden Indonesia Pertama Ir. Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957, dikota inilah penulis melakukan penelitian untuk penulisan tesis.
Persyaratan ritual Nyadiri: Nyiru sebagai tempat persyaratan ritual. Yang berada di atas kerta putih, diantaranya: duit singah, ketupat, hampatung henda, hampatung punduk apui, dan telur ayam kampung (tanteluh manuk darung tingang). Yang berada di dalam mangkuk berisi beras (tambak behas), diantaranya: tiga giling pinang, tiga rukun tarahan, ditengahtengahnya behas hambaruan yang terdiri dari tujuh butir beras dan dibungkus kain putih, dan dupa. Sedangkan yang berada di dalam gelas itu merupakan behas tawur.
Istri dari Bapak Yohanson B. Tanggalun mendupai segala persyaratan ritual. Supaya segala keinginan sampai kepada Ranying Hatalla (Tuhan).
Lampiran 2
Mengangkat segala persyaratan ritual Nyadiri ke atas kepala subjek ritual atau orang yang sakit (layau hambarua). Disertai dengan doa, supaya roh orang yang mati tidak lagi mengganggu si sakit dan segala sakit berpindah kepada hampatung sadiri, dalam bentuk hampatung henda.
Membawa segala persyaratan ritual Nyadiri ke luar. Mendoakan supaya roh orang mati mengambil hampatung sadiri sebagai temannya di dunia orang mati. Dan sekaligus mendoakan kesembuhan bagi si sakit
Mendoakan behas hambaruan supaya menunjukan tanda, baik hariten (menunjukan tanda putih pada bagian dalam behas hambaruan) maupun barintih (menunjukan tanda hampir terpotong pada bagian tengah behas hambaruan) tujuannya supaya pelaksanaan ritual Nyadiri dapat berhasil.
Lampiran 3
Penulis bersama Basir Uwak D. Linjun dan Basir Sika yang turut memberikan keterangan bagi penulis tentang proses pelaksanaan ritual Nyadiri dalam kehidupan suku Dayak Ngaju.
Penulis bersama dengan Bapak Yohanson B. Tanggalung dan isteri dari Bapak Yohanson B. Tanggalung. Dari Bapak dan ibu inilah penulis mendapatkan informasi yang lebih detail tentang pelaksanaan ritual Nyadiri.