Bab 2 Landasan Teori
2.1 Tokoh dan Penokohan Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan dan tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi tokoh hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah fabel. Menurut Nurgiantoro (2005:165) tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus objek peristiwa dan pelaku yang berperan dalam sebuah cerita, atau merujuk pada orangnya atau pelaku cerita. Menurut Abrams dalam Nurgiantoro (2005:165) berpendapat bahwa tokoh cerita (character) orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Nurgiantoro (2005:176) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: 1) Tokoh utama dan tambahan Tokoh utama (central character atau main character) yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan ( peripheral character) yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung ataupun tidak langsung.
2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara
populer
disebut
hero
yaitu
tokoh
yang
merupakan
pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal yakni sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan konflik beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung dan bersifat fisik maupun batin. 3) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana (simple atau flat character) yaitu tokoh yang memiliki suatu kualitas pribadi tertentu sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan monoton, hanya menampilkan satu watak tertentu, mudah dikenal dan dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotif. Tokoh bulat (complex atau round character) yaitu tokoh yang memiliki watak dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Tokoh bulat memiliki tingkah laku bermacam-macam, perwatakannya sulit dideskripsikan secara tepat, bahkan dapat bertentangan dan sulit diduga. 4) Tokoh statis dan tokoh berkembang Tokoh statis atau biasa disebut tokoh tidak berkembang (static character) yaitu tokoh yang tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh ini memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita. Tokoh ini juga kurang terlibat dan tidak
terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antar manusia. Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot. Tokoh ini dengan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam dan lainnya, yang kesemuanya akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya. Sikap dan watak dari tokoh berkembang mengalami perkembangan dan perubahan dari awal, tengah dan akhir cerita. 5) Tokoh tipikal dan tokoh netral Tokoh tipikal (typikal character) yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukan terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata. Tokoh netral (neutral character) yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinteraksi dalam dunia fiksi tokoh ini dihadirkan sematamata demi cerita, atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Penokohan adalah penggambaran tokoh-tokoh cerita yang mempunyai watakwatak tertentu. Menurut Nurgiantoro (2005:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 166), istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” karena “penokohan” sekaligus
mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengecam, karikatural atau setengah karikatural. Namun sebaliknya juga mungkin bernada positif seperti yang terasa dalam nada memuji. Tanggapan juga dapat bersifat netral, artinya pengarang melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai sikap subjektivitasnya sendiri yang cenderung memihak (Nurgiantoro, 2005:191). Pengertian tokoh menurut Isihara (2009:42) adalah sebagai berikut: (ヒーロー)。なんともいえずカッコいい 響きを待つ言葉だ。もと もと(英雄)という意味なのだが、小説や戲曲、シナリオの(中心人 物)のこも、男性は、(ヒーロー)女性は(ヒロイン)と言ったりす る。 Terjemahan: “Hero bagaimanapun tidak bisa dikatakan berpenampilan menarik kecuali mempunyai perkataan yang bergaung dengan baik. Pada awalnya artinya adalah “eiyuu” (hero), tetapi dalam novel dan drama juga berarti “pemeran utama” dalam skenario. Bila lelaki disebut “hero”, sedangkan perempuan disebut “heroine”. もちろん、近近代の小説にでてくる(中心 人物)は、すべてが(英 雄)のように派手な行動をするわけではない。むしろそれとはまった く逆の(タイプ)が多い。
Terjemahan: Tentu saja, bukan karena di dalam novel sekarang ini yang dimunculkan sebagai “pemeran utama” semuanya seperti “eiyuu” (hero) yang berperilaku hebat. Cukup banyak tipe atau bahkan semua terbalik.
ところで、いまなにげなく(中心人物)といういい方を使ったが、ぼ くたちはまるで当然のように、小説の(作中人物)、しかも中心的な 人物に自分の感情を投影したり、同化したりしながら物語を読みすす めていく。そして、実はそれが小説という意味だけの世界では、ほか の言葉と同等な、ただの記号であることを忘れてしまっている。
Terjemahan: Dengan demikian, bagaimanapun juga sebagai “inti karakter” dipakai orang yang baik, tetapi kami semua tentu memaklumi bahwa “pembentukan karakter” dalam novel terlebih pada inti karakter terdapat pengaruh oleh bayangan emosi pribadi, serta meniru orang lain, sementara cerita berlanjut. Kemudian sebenarnya apa yang disebut novel di dunia ini, sebutan lainnya juga sama, hanya tandanya telah terlupakan.
2.2 Teori Psyche Kepribadian Jung Psyche adalah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Jadi jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tidak sadar (ketidaksaadaran). Kedua alam itu tidak hanya mengisi tetapi berhubungan satu sama lain. Adapun fungsi dari alam sadar adalah penyesuaian terhadap dunia luar, sedangkan fungsi dari alam tidak sadar adalah penyesuaian terhadap dunia dalam (batiniah) (Suryabrata, 2000:156).
2.2.1 Stuktur Kesadaran Menurut Jung dalam Suryabrata (2000:158) kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa yang masing-masing mempunyai peranan dalam orientasi manusia dalam hidupnya. Fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jiwa memiliki empat fungsi pokok, yaitu fungsi fikiran, fungsi perasaan, fungsi pendirian dan fungsi intuisi.
Pada dasarnya manusia mempunyai keempat fungsi tersebut, akan tetapi biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang atau dominan. Fungsi yang paling berkembang itu akan menentukan tipe seseorang. Sikap jiwa adalah arah dari pada energi psikis umum yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis memiliki dua arah, yaitu ke dalam dan ke dunia luar. Maksudnya adalah arah ke dalam yaitu arah energi psikis yang orientasinya ditujukan kedalam dirinya (batiniah). Sedangkan yang di maksud dengan arah ke dunia luar yaitu arah energi psikis yang orientasinya ditujukan keluar dirinya (lahiriyah), (Suryabrata, 2000:161).
2.2.2 Stuktur Ketidaksadaran Menurut Suryabrata (2000:165-169) ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran pribadi adalah berisi hal-hal yang diperoleh oleh individu selama hidupnya yang meliputi hal-hal terdesak atau tertekan, terlupakan, teramati, terpikir dan terasa dibawah ambang kesadaran. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi terdahulu. Pengetahuan mengenai ketidaksadaran itu diperoleh secara tidak langsung, yaitu melalui manifestasi daripada isi-isi ketidaksadaran itu. Manifestasi ketidaksadaran itu dapat berbentuk symptom dan kompleks, mimpi dan archetypus. Symptom dan kompleks adalah gejala-gejala yang masih dapat disadari. Symptom adalah tanda bahaya yang memberi tahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang kurang. Symptom juga bisa disebut sebagai gejala dorongan. Kompleks adalah bagian kejiwaan kepribadian yang telah terpecah dan lepas dari penilaian (kontrol)
kesadaran dan kemudian mempunyai kehidupan sendiri dalam alam ketidaksadaran, yang selalu dapat menghambat atau memajukan prestasi-prestasi kesadaran. Kompleks tidak hanya harus merupakan kekurangan atau kelemahan individu, tetapi hanya merupakan sesuatu dalam kepribadian yang tidak dapat dipersatukan. Mimpi sering timbul dari kompleks dan merupakan pesan rahasia dari sang malam. Mimpi mempunyai hukum sendiri dan bahasa sendiri. Didalam mimpi soal-soal sebab akibat, ruang dan waktu tidak berlaku, bahasanya bersifat lambang. Oleh sebab itu, untuk memahami sebuah mimpi perlu ditafsirkan. Archetypus merupakan pusat serta medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia. Archetypus itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia.
2.3 Gangguan Disossiatif Seorang individu dapat dikatakan sehat secara mental, salah satunya apabila dia merasa dirinya utuh dengan dasar satu kepribadian. Keutuhan diri terdiri dari integrasi atau gabungan dari fikiran, perasaan, dan tindakan individu yang secara bersamaan membentuk suatu kepribadian yang unik. Individu harus mampu pula menyelaraskan pikiran, perasaan dan tindakannya. Apabila integrasi atau keutuhannya tersebut terganggu, salah satu akibatnya adalah munculnya gangguan disosiatif (Fausiah dan Widury, 2008:39). Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury (2008:39) gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting
yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru. Masalah utama pada gangguan disosiatif adalah individu merasa kehilangan identitas diri, mengalami kebingungan mengenai identitas diri atau bahkan memiliki beberapa (multiple) identitas sekaligus. Biasanya gangguan ini muncul sebagai pertahanan diri menghadapi peristiwa traumatik dalam kehidupan (Fausiah dan Widury, 2008:40). Menurut Semiun (2007:390) gangguan disosiatif adalah gangguan atau perubahan dalam fungsi integratif yang normal dari identitas, ingatan atau kesadaran. Dengan kata lain, dalam gangguan-gangguan disosiatif, ada suatu pemisahan yang berat atas fungsi-fungsi kepribadian sampai individu tidak menyadari atau kehilangan kontak dengan aspek-aspek yang penting dari kepribadiannya. Adapun penyebab terjadinya gangguan disosiatif adalah adanya penyebab psikologis yang berkaitan dengan kejadian stressful, trauma dan gangguan hubungan interpersonal. Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury (2008:40) gangguan disosiatif dibagi atas empat macam gangguan, yaitu amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan depersonalisasi dan gangguan identitas disosiatif (Dissociative Identity Disorder).
2.3.1 Amnesia Disosiatif Menurut Fausiah dan Widury (2008:43-43) gejala amnesia merupakan gejala yang umum terjadi pada amnesia disosiatif, fugue disosiatif dan gangguan identitas disosiatif. Diagnosis amnesia disosiatif tepat apabila diberikan pada gangguan disosiatif yang hanya menunjukan gejala amnesia saja.
Individu yang mengalami amnesia disosiatif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebelumnya telah ada dalam memori mereka. Biasanya hal ini terjadi sesudah peristiwa yang menekan (stressful event) seperti misalnya menyaksikan kematian seseorang yang dicintai. Informasi yang hilang atau tidak mampu diingat oleh individu biasanya menyangkut peristiwa traumatik dan menekan yang terjadi dalam kehidupan individu. Memori yang hilang biasanya paling sedikit meliputi beberapa peristiwa selama masa traumatiknya, namun memori yang hilang dapat pula meliputi seluruh kehidupan. Selain hilangnya memori, biasanya individu dengan gangguan ini tetap memiliki kemampuan untuk berbicara, membaca, ataupun melakukan seluruh kemampuan yang telah diperolehnya selama ini. Individu tetap memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mempelajari berbagai informasi baru yang ada. Gangguan amnesia ini dapat berlangsung hanya beberapa jam, namun dapat pula bertahun-tahun. Gangguan ini dapat menghilang dengan tiba-tiba sama seperti ketika dia muncul dan individu akan sembuh sepenuhnya dengan kemungkinan kekambuhan yang relatif kecil. Menurut Semiun (2007:391) amnesia adalah ketidakmampuan yang terjadi secara tiba-tiba untuk mengingat informasi pribadi yang penting. Ketidakmampuan untuk mengingat itu tidak dapat dijelaskan dengan kelupaan yang sifatnya biasa. Kemudian menurut Gerald dan Davidson (2006:186) amnesia adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya kejadian itu terjadi setelah seseorang itu mengalami stres.
Menurut PPDGJ III (1993:198) ciri utama amnesia adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang baru terjadi, yang bukan disebabkan karena gangguan mental organik dan terlalu luas untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaaan yang umum terjadi atau sebagai kelelahan. Amnesia tersebut biasanya terpusat mengenai kajadian traumatik seperti kecelakaan atau kesedihan tidak terduga.
2.3.2 Fugue Disosiatif Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury (2008:44-46) pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh lebih luas daripada amnesia disosiatif. Individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatannya (misalnya nama, keluarga, atau pekerjaannya), mereka juga secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaan mereka serta memiliki identitas yang baru. Individu dengan gangguan ini secara tibatiba dapat memiliki nama yang baru, rumah serta pekerjaan yang baru, bahkan membentuk karakteristik kepribadian yang baru. Individu bahkan mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya yang baru, walaupun identitas yang baru pada fugue disosiatif tidaklah selengkap seperti individu yang mengalami gangguan identitas disosiatif. Individu yang mengalami fugue disosiatif sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sudah melupakan segala hal mengenai masa lalu dan identitasnya. Individu dengan fugue tidak tampak bertingkah laku lain daripada yang lain (tidak menarik perhatian dan tetap berlaku wajar) atau menampakan bukti-bukti adanya memori atau ingatan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang telah dialaminya. Individu yang mengalami fugue disosiatif biasanya tenang, tampak biasa saja, bekerja pada
pekerjaan yang sederhana, hidup ala kadarnya, dan tidak menarik perhatian orang lain. Pada dasarnya penyebab dari gangguan fugue disosiatif adalah masalah psikologis. Faktor yang mendorong munculnya gangguan ini adalah keinginan yang sangat kuat untuk lari atau melepaskan diri dari pengalaman yang secara emosional menyakitkan individu. Individu yang mempunyai riwayat kecelakaan kepala (head trauma) juga memungkinkan individu mengalami gangguan fugue disosiatif. Sedangkan menurut Semiun (2007:293-294) disosiatif fugue adalah gangguan dengan gejala tiba-tiba meninggalkan rumah atau tempat kerja dan tidak mampu mengingat masa lalunya yang kemudian menggunakan suatu identitas yang baru. Penyebab dari gejala disosiatif fugue adalah karena seseorang individu mengalami stres psikologis yang berat, misalnya pertengkaran dalam perkawinan, konflik militer, atau bencana alam. Keadaan fugue bisa berlangsung beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Pada gejala fugue penderita melupakan bukan hanya sebagian, melainkan seluruh situasi dan keberhasilan dari keinginannya itu terjamin apabila dia melarikan diri atau meninggalkan rumahnya, kampung halamannya, kota, atau tanah airnya. Penderita fugue cenderung lari dari lingkungannya baik secara fisik maupun psikologis (dalam angan-angan dan khayalannya). Pada saat seseorang menderita fugue dia sama sekali tidak sadar akan dirinya, meskipun dia melakukan segala sesuatu yang tidak berbeda dengan orang normal. Penderita tidak ingat lagi siapa dirinya, dari mana dia berasal, dan dimana dia berada sekarang. Kemudian pada saat disosiatif fugu berakhir, penderita akan kembali kepada identitasnya yang asli dan dia tidak dapat mengingat lagi apa yang terjadi
selama fugue. Ciri lain dari fugue adalah individu tidak menyadari sesuatu yang hilang dan menggunakan sesuatu yang baru (suatu identitas baru) secara tepat.
2.3.3 Gangguan Depersonalisasi Menurut Semiun (2007:396) gangguan depersonalisasi adalah suatu ganguan yang menyebabkan penderita kehilangan atau distorsi diri yang sifatnya sementara atau terjadi sekali-kali. Individu yang mengalami gangguan ini merasa seolah-olah ukuran kaki dan tangan mereka berubah, seolah-olah mereka bertindak secara mekanik, seolah-olah mereka berada dalam mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan melihat diri mereka dari kejauhan. Menurut Sheila (2008:291) gangguan depersonalisasi adalah gangguan dengan gejala individu memiliki perasaan yang menetap dan berulang bahwa dirinya terpisah dari tubuhnya. Sedangkan menurut Zulkaida (2004:4) gangguan depersonalisasi adalah gangguan dengan adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai dirinya. Individu merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya dan cukup menggangu dalam fungsi dirinya. Individu juga merasa perasaan atau pengalamannya terlepas dari dirinya, jauh dan itu bukan dirinya. Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury (2008:47-48) gangguan depersonalisasi ditandai dengan adanya perubahan persepsi yang terjadi secara berulang atau menetap tentang diri (self) sendiri, dimana mereka untuk sementara waktu merasakan hilangnya keyakinan bahwa mereka merupakan individu yang nyata. Individu dengan gangguan depersonalisasi dapat berpikir bahwa dirinya adalah robot, merasa bahwa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa melihat diri mereka dari kejauhan atau menonton diri mereka sendiri dalam
suatu
film.
Depersonalisasi
berbeda
dengan
derealisasi,
dimana
depersonalisasi adalah perasaan bahwa tubuhnya atau dirinya sendiri menjadi aneh atau tidak lagi nyata, sedangkan derealisasi adalah persepsi individu tentang lingkungan sekitarnya yang berubah menjadi aneh atau tidak nyata. Depersonalisasi sering tampak pada individu yang mengalami gangguan kecemasan, depresi dan skizofrenia. Karakteristik utama dari gangguan depersonalisasi adalah adanya perasaan pemisahan dan sesuatu hal menjadi tidak nyata. Proses dalam tubuh individu dan peristiwa di lingkungan sekitar sebenarnya berlangsung seperti biasa dan tidak ada perubahan berarti, namun mereka merasakan adanya perbedaan. Mereka merasakan bahwa beberapa bagian tubuhnya berubah menjadi asing bagi mereka, misalnya menjadi lebih besar atau lebih kecil daripada sebelumnya. Selain itu, mereka juga dapat merasa bahwa sebagian tubuh mereka tidak ada dan tidak nyata.
2.3.4 Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder) Menurut Kendall dan Hammen dalam Semiun (2007:394) gangguan identitas disosiatif adalah bentuk disosiasi yang dramatis dimana penderita mengembangkan dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan biasanya jelas berbeda. Hal tersebut disebabkan karena adanya kompleks kejiwaan dimana tata susunan kepribadian yang satu menunjukan ciri-ciri yang terpisah dan berlawanan dengan ciri-ciri tata susunan kepribadian yang lain baik dalam segi emosional maupun dalam segi-segi kognitif. Misalnya teliti dan ceroboh, alim dan gairah, acuh tak acuh, dan sebagainya. Pergantian pribadi yang satu ke pribadi yang lain mungkin berlangsung beberapa kali dalam sehari, dalam satu minggu, atau dalam beberapa bulan. Penderita biasanya tidak ingat apa yang terjadi atau mengalami amnesia. Jika pribadi yang satu sedang berfungsi, maka pribadi yang lain terdesak ke alam yang tidak sadar.
Pengertian dissociative identity disorder atau atau yang sebelumnya dikenal multiple personality disorder menurut Davidson, et al (2006:187) adalah: A diagnosis of dissociative identity disorder (DID) requires that a person have at least two separate ego states, or alters. Different modes of being and feeling and acting that exist independently of each other and that come forth and are in control at diffrent times.
Terjemahan: Diagnosis dissociative identity disorder (DID) adalah suatu keadaan yang mengisyaratkan bahwa seseorang memilki minimal dua kepribadian atau alter yang terpisah. Dengan tipe, cara berpikir, merasa dan bertindak berbeda satu sama lain dan muncul pada waktu yang berbeda. Menurut Davison dan Neale dalam Fausiah dan Widury (2008:50) gangguan identitas disosiatif merupakan gangguan disosiatif yang kronis dan paling serius. Kemunculannya biasanya berkaitan dengan adanya pengalaman traumatik dalam kehidupannya. Individu dengan gangguan ini memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda, tingkah laku dan sikap yang ditunjukan oleh individu sangat bergantung pada kepribadian mana yang dominan pada saat itu serta berbeda antara satu kepribadian dengan kepribadian yang lain. Perubahan atau transisi dari satu kepribadian ke pribadian yang lain biasanya berlangsung secara mendadak dan mengejutkan. Individu biasanya mengalami amnesia terutama berkaitan dengan apa yang dilakukan atau apa yang terjadi ketika suatu kepribadian sedang menguasainya. Individu biasanya tidak mampu mengingat apapun yang terjadi ketika kepribadian yang lain sedang dominan. Namun kadangkala, ada satu kepribadian yang tidak mengalami amnesia dan tetap memiliki kesadaran yang penuh akan keberadaan dan aktivitas kepribadian yang lain. Kemunculan kepribadian yang lain tersebut dapat secara spontan. Kepribadian yang muncul tidak hanya satu jenis kelamin saja, namun terkadang juga ada laki-laki dan perempuan, berbagai macam usia dan ras, serta dari keluarga yang sangat
berbeda dengan keluarga individu yang mengalami gangguan ini. Pada umumnya kepribadian yang muncul sangat bertolak belakang. Di suatu waktu muncul individu yang ekstrovert, di lain waktu muncul individu yang introvert dan menarik diri. Menurut Kaplan dan Sadock dalam Fausiah dan Widuri (2008:52) berdasarkan suatu penelitian, menurut para ahli diketahui bahwa populasi individu yang mengalami gangguan identitas disosiatif berhasil diketahui bahwa 0,5 persen hingga 2 persen pasien gangguan kejiwaan yang dirawat di rumah sakit jiwa mengalami gangguan ini dan 5 persen dari seluruh pasien jiwa (baik yang dirawat maupun tidak) mengalami gangguan identitas disosiatif. Dari seluruh sempel diketahui bahwa 90 hingga 100 persen individu dengan gangguan identitas disosiatif adalah perempuan, namun peneliti memiliki keyakinan bahwa laki-laki yang mengalami gangguan ini tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan karena kebanyakan laki-laki dengan gangguan ini dimasukan kedalam penjara dan bukan kerumah sakit. Selain itu diketahui pula bahwa dua pertiga dari seluruh individu dengan gangguan identitas disosiatif pernah melakukan percobaan bunuh diri ketika mereka mengalami gangguan ini. Menurut Fausiah dan Widury (2008:52) penyebab gangguan identitas disosiatif sejauh ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan riwayat kehidupan para psien, hampir seratus persen dari para pasien memiliki peristiwa traumatik, terutama di masa kanak-kanaknya. Peristiwa traumatik di masa kanak-kanak biasanya meliputi penyiksaan fisik dan seksual. peristiwa traumatik lainnya misalnya kematian saudara atau teman dan menyaksikan kematian tersebut ketika individu masih kanak-kanak. Terapi yang dilakukan dalam penyembuhan gangguan identitas disosiatif adalah dengan menggunakan terapi psikoanalisis. Terapi ini banyak dipilih untuk gangguan identitas disosiatif di banding dengan gangguan psikologis lain. Terapi ini di capai
melalui penggunaan teknik psikoanalitik dasar. Hipnosis umum digunakan dalam penanganan gangguan identitas disosiatif (Kluff, 2003) . Menurut Eagle (1998) terdapat beberapa jenis alat ukur yang dapat digunakan untuk pemeriksaan psikologis bagi penderita gangguan identitas disosiatif, yaitu Dissociative Experiences Scale (DES), Dissociative Disorder Interview Schedule (DDIS), Brief Symptom Inventory (BSI), Childhood Trauma Questionnaire (CTQ), The Rorschach Test. Menurut DSM-IV TR gejala gangguan identitas atau dissociative identity disorder adalah: 1. Muncul gejala Posttraumatic seperti mimpi buruk, kilasan-kilasan kejadian (flashback) yang tidak nyaman, dan respon-respon yang berlebihan. 2. Mutilasi diri, percobaan bunuh diri dan berlaku agresif pada diri sendiri, dan orang lain mungkin muncul. 3. Memilki pola hubungan yang melibatkan penganiayaan fisik dan seksual. 4. Mungkin mengalami konversi fisik seperti menjadi tahan terhadap sakit. 5. Muncul gejala-gejala serupa dengan gangguan mood, kecemasan, tidur, makan, dan seksual. 6. Menjadi impulsif 7. Intensitas yang tinggi dalam perubahan menjalin hubungan.