BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Perkawinan Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar hidup didalam dunnia berkembang baik. Perkawinan bukan hanya terjadi dikalangan manusia tetapi juga pada tumbuhan dan hewan. Manusia adalah makhluk yang berakal dan perkawinan merupakan salah satu budaya beraturan yang mengikuti perkembangan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral, dan sangat penting serta mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan masyarakat secara umum. Tanpa perkawinan tidak mungkin seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat membentuk dan mengatur rumah tangga secara tertib dan teratur. Demikian pula tanpa adanya pengikat yakni perkawinan, tentulah anak yang dilahirkan tidak akan memiliki status yang jelas. Menurut Rasjid (2000:348) perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Dengan demikian maka perkawinan adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna dan perkawinan itu untuk mengatur kehidupan rumah tangga yang sejahtera dan bahagia dunia akhirat. Hilman Hadikusuma (1990:9) menyebut bahwa perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.akibat hukum ini telah ada sebelum perkawinan terjadi
misalnya ada hubungan pelamaran yang merukunan “rasan sanak” (hubungan anak-anak bujang gadis) dan “rasan tuna” (hubungan antar orang tua keluarga dari para calon suami isteri).setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga kerabat).menurut hukum adat setempat yaitu dalam pelaksaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara keturunan,keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan. Adanya silsilah yang mengambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupaka barometer dari asal usul keturunan seseorang baik dan teratur.Dengan kata lain Perkawinan itu bukan saja untuk sekedar memenuhi hasrat seksual,melainkan sarana untuk membina hubungan antara keluarga dengan keluarga lain,antara suku dengan suku lain bahkan
antara bangsa dengan bangsa lain.Secara sosiologi perkawinan merupakan suatu
usaha yang menyebabkan timbulnya generasi baru yang meneruskan golongan masyarakat yang ada. Dari beberapa pandangan diatas, maka perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan Antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami –isteri untuk maksud mendapatkan anak keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga,tetapi juga berarti hubungan hukum .yang menyangkut dengan anggota kerabat dari pihak suami.Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan yang rukun dan damai.Dengan terjadinya perkawinan maka diharapkan agar perkawinan itu didapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua. 2.2 Bentuk-Bentuk Perkawinan
Ter Haar (1991 :159) menyatakan bahwa bentuk hukum perkawinan adat dalam suatu kelompok masyarakat merupakan suatu hal yang penting untuk kelangsungan kelompok masyarakat tersebut. Lebih lanjut, menurut Ter Haar Bentuk-bentuk perkawinan adat umumnya terdiri dari: 1. Perkawinan Pinang Perkawinan ini adalah salah satu corak dalam bentuk perkawinan yang umumnya berlaku di Indonesia, yaitu adanya satu pihak (pihak lelaki) menghidangkan sirih dilakukan oleh seorang wali atau utusan dan setelah pinangan diterima maka terjadi pertunangan terlebih dahulu sebagai akibat dari pertunangan itu kedua belah pihak terikat pada suatu perjanjian untuk mengadakan perkawinan. 2. Perkawinan Lari Bersama Bakal jodoh dalam perkawinan ini (pemuda dan pemudi) lari bersama dengan melalui pertunangan terlebih dahulu meninggalkan rumah orang tuanya.Adapun perkawinan ini sering terjadi jika keduanya (calon mempelai) mengetahui pihak keluarganya tidak menyetujui calon suami dan si wanita.Dapat juga karena si pemuda tidak mampu membayar ongkos yang diminta oleh pihak keluarga pemudi. 3. Perkawinan Bawa Lari Dimana si pemuda membawa lari seorang pemudi yang sudah dikawinkan dengan lakilaki lain.Dapat saja terjadi si pemudah bawa lari si wanita secara paksa hal perkawinan bawa lari seperti di Lampung, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. 4. Perkawinan Jujur
Perkawinan yang berlaku pada tertib patrilinier yaitu salah satu pihak (pihak laki-laki ) membayar “jujur” (mas kawin) kepada pihak keluarga wanita dengan maksud melepaskan perempuan itu dari golongan untuk masuk dari golongan suaminya. 5. Perkawinan Ambil Anak Perkawinan ambil anak ini sistemnya mempertahankan garis keturunan istrinya bersamasama anaknya.mengenai perkawinan ambil anak ini sering terjadi daerah Gayo dan Anggap Sumondo,namanya angkong, cakur sumbu dan sebagainya. 6. Perkawinan mengabdi Perkawinan dimana pembayaran “jujur”ditunda dan sebagai gantinya maka harus dengan mengabdi. Settelah mengabdi beberapa lama barulah jujurnya dinyatakan terbayar dan mereka dapat bergaul sebagai suami istri. Perkawinan semacam ini terjadi di daerah batal, mandaling, lampung, bali dan lain-lain. 7. Perkawinan bertukar Perkawinan semacam ini menimbulkan pada kedua belah pihak terjadi pertukaran. Yaitu salah pihak menyerahkan keluarga perempuannya untuk dikawinkan dengan sudara laki-laki dari pihak kedua. 8. Perkawinan meneruskan Perkawinan ini terjadi apabila si istri meninggal maka saudara perempuannya (yang tadinya adalah menantu suami) dengan tampa dibayar jujur maka seakan-akan memiliki kedudukan sseperti kakaknya yang meninggal. Ia meneruskan perkawinan kakaknya. Ini terjadi di pasema yang disebut “langkat” di jawa tengah dan lain-lain.
2.3 Bentuk-Bentuk Perkawinan Masyarakat Adat Tidore Menurut Amien Faroek mengemukakan bahwa di kota tidore seperti halnya dikabupaten Halmahera tengah dan Maluku utara pada umumnya,berlaku system perkawinan eleutheroegani dimana larangan-larangan yahng terdapat turunan yang dekat dan musyaharah (periparan). Lebih lanjut Amin Faroek menambahkan bahwa system kekerabatan suku tidore berdasarkan hukum patrilinier, yang diikuti dengan pola menetap patrilokal yaitu adat yang menetapkan istri harus tinggal ditempat suami setelah kawin menerut adat di suku Tidore dikenal bentuk-bentuk perkawinan seperti: kia lahi, kia sojoho,kia sojofiri, dan kia sodobe. 1. Kia lahi (kawin pinang) Kia Lahi adalah istilah dalam bahasa Tidore untuk menyebut perkawinan lamaran (pinang). Kia lahi adalah system perkawinan yang umum di Maluku utara. Perkaawinan ini terjadi apabila si laki-laki dan si wanita telah terjadi hubungan percintaan. Inisiatif melamar dari pihak kaum kerabat laki-laki dengan cara mengutus suatu delegasi kerumah orang tua si wanita. Kunjungan lamaran ini disebut masusu lahi (masuk minta). Yang melamar biasanya saudara dari ayah si laki-laki atau kerabat dekat yang pandai berdialog dalam basa- basi yang mengandung kata-kata hikmah dialog seperti disebut dola bololo. Apabila lamaran diterima maka pada saat itu terjadi persetujuan dan di tentukan mengenai waktu atau hari pernikahan dan belanja perkawinan yang diperlukan. Biasanya sebellum mengantar belanja perkawinan (kota belanja) orang tua kedua belah pihak mengundang family atau keluarga dekat dan pemuka kampong untuk membicarakan waktu mulainya upacara antar belanja, dapat saja terjadi bahwa waktu pelaksanaan perkawinan disepakati pada saat antar belanja perkawinan
pada malam itu (biasanya waktu mengantar pada malam hari). Tahap-tahap semacam ini hanya dimulai oleh kia lahi dan kia sodobe. Hal ini karena kedua bentuk perkawinan ini berdasarkan kesepakatan antara keluarga dari kedua belah pihak.
2. Kia Sojoho (kawin tangkap) Kia sejoho apabila dikatahui atau ditemukan seseorang pemuda dengan seseorang gadis ( jojaru se ngongare) bercerita di tempat yang tidak wajar, maka orang tua akan segera mengawinkannya. Maksud dari perkawinan inni agar jangan sampai terjadi maksiat yang dapat menodai nama baik keluarga. 3. Kia Sojofiri (kawin lari) Kia sojofiri adalah kedua belah pihak lari bersama-sama tanpa diketahui oleh kedua orang tua mereka. Kalau diperhatikan kia sojofiri sebenarnya dipandang kurang baik dan tidak diinginkan oleh pihak keluarga si wanita sebagai alasan terjadinya kia sojofiri antara lain disebabkan: a) Kedua orang tua dari salah satu pihak tidak setuju b) Beban perkawinan yang ditentukan oleh keluarga si gadis terlalu berat,sehingga tidak dapat terpikul oleh pihak laki-laki c) Kemauan si pemuda dan si gadis dengan perhitungan kalaupun ditempuh prosedur biasanya tidak akan mungkin dapat melangsungkan perkawinan itu.
d) Untuk menghindari formalitas adat istiadat dan pembayaran, maka si pemuda mengajukan kepada si gadis untuk lari Pihak keluarga si gadis dengan kejadian itu berusaha untuk mengambil anak gadisnya dari tempat persembbunyian kalau memang ada tanda-tanda keluarga si gadis mau menerima mereka kembali, maka keluarga si pemuda akan mengambil inisiatif untuk mengirim utusan mendamaikan persoalan itu.apabila tidak diperoleh jalan keluar, maka peerkawinan akan dilangsungkan, sudah tentu dalam pelaksanaan perkawinan itu pihak keluarga si gadis tidak hadir. 4. Kia Sodobe (kawin dijodohkan) Dasar terjadinya kia sodobe ini karena kedua orang tua sepakat untuk menjodohkan anakanak mereka atau perkawinan yang sudah dijodohkan sejak kecil. Antara kedua belah pihak sudah terdapat kat sepakat untuk mengawinkan anak mereka setelah memasuki usia dewasa. Perkawinan ini dimaksudkan untuk mempererat tali
persaudaraan. Kia sedobe adalah
perkawinan antar anak-anak dan bapak dan ibunya bersaudara dank arena kehendak orang tua, mereka dikawinkan. 2.4 Syarat-Syarat Perkawinan Dalam pembahasan ini perkawinan lebih diterjemahkan pada pengertian “kapan” seorang akan atau sudah boleh kawin. Dalam adat Tidore tidak ditentukan secara tegas pada usia berapa seseorang sudah diperbolehkan untuk kawin. Sesuai kebiasaan jika seorang anak ( baik laki-laki maupun perempuan) atau jika telah baligh maka pihak orang tua memberikan semacam “batasan” (borero atau pesan) dalam hal ini memmilih jodoh dengan harapan agar anaknya bisa bahagia setelah berumah tangga. Yang menjadi harapan orang tua biasanya
calon menantunya yang berkelakuan baik berbudi pekerti, rasa solidaritas yang tinggi, ramah dan sudah pasti dan beragama islam. Karena basis cultural orang Tidore adalah islam, maka pelaksanaan upacara adat perkawinan selalu berpatokan pada ajaran-ajaran syariat islam. Dilihat dari sudut agama (islam) maka syarat utama orang yang akan dinikahi yaitu orang tersebut memang halal untuk dinikahi (bukan mukhrim) karena menurut ajaran islam ada juga orang tidak halal untuk dinikah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat An-nisa: 23
“Diharamkan atas kamu (menikah) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu,
saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki atau perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibi-ibu istrimu ( mertua),anak-anak istrimu yang dalam memeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu ( dan sudah kamu ceraikan),maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara” Berdasarkan dalil diatas maka mahram (orang yang tidak halal dinikahi) ada 14 macam yaitu: 1. Ibu dan ibunya (nenek) ibu dari bapak dan seterusnya sampai ke atas 2. Anak dan cucu dan seterusnya ke baawah 3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak atau seibu saja 4. Saudara perempuan dari bapak 5. Saudara perempuan dari ibu 6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya 7. Anak perempuan dari saudara perempun dan seterusnya
Dua orang dari sebab sepersusuan yaitu: 8. Ibu tempat menyusu dan siapa saja yang menyusukan 9. Saudara perempuan yang sepersusuan Lima orang dari sebab pernikahan yaitu: 10. Ibu dan istri (mertua) 11. Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya 12. Istri dan anak (menantu) 13. Istri bapak (ibu tiri) 14. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan secara bersama-sama yaitu dua perempuan yang ada hubungan mahram seperti dua perempuan yang bersaudara atau seorang perempuan dipermadukan dengan saudara perempuan bapaknya atau anak perempuan saudaranya dan seterusnya menurut pertalian mahram diatas. (Sulaiman Rasyid 2000:389390) Dengan adanya undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 tentang batasan umur dalam perkawinan yang menyatakan bahwa: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, maka memberikan batasan yang jelas tentang umur seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan.
2.5 Tinjauan Tentang Nilai 2.5.1 Pengertian Nilai
Nilai dapat disebut sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelempok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar dan salah atau suka tidak suka terhadap suatu objek baik material maupun non material. Rafael Raga Maran (2000:40) jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu lus, abstrak, standar kebenaran yang harus dimiliki, yang diinginkan, dan layak dihormati. Meskipun mendapat pengakuan luas, nilai-nilaipun jarang ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Namun nilainya yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang paling berharga. Dengan kata lain nilai itu berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap manusia terhadap tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Sikap ini dibentuk melalui berbagai pengalaman yang menandai sejarah kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Menyangkut dengan hal ini, Abdul Syani (1994:63) mendefenisikan nilai sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang diinginkan atau yang tidak diharapkan, mengenai apa yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan. Dengan kata lain nilai didefenisikan sebagai kondisi psikologi seseorang yang berhubungan dengan kehendak dengan mempertimbangkan aspek sosial. Lebih lanjut Alvin L. Bertrand (Abdul Syani, 1994:63) menyatakan bahwa nilainilai (dalam pengertian sebagai penggambaran kecenderungan terhadap apa-apa yang disukai dan apa-apa yang tidak disukai) akan kelihatan bila sistem-sistem sosial dipakai sebagai alat konsepsi dalam menganalisa tindakan-tindakan yang sering kali digunakan
sebagai ketetapan umum dan dianggap sebagai ukuran atau pedoman hidup yang cenderung tetap dipertahankan 2.5.2. Pergeseran Nilai Walaupun kecenderungan dari sebuah tatanan bilai akan terus dipertahankan, tetapi ketika nilai diperhadapkan dengan situasi dan kondisi social masyarakat yang labil dan modernis, maka kemungkinan akan terjadi degradasi nilai sosial akan semakin terbuka. Terkait dengan masalah ini, William F. Ogburn (Soerjono:262) mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsure-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pergeseran nilai-nilai budaya dalam konteks sosial bukan hanya meluluhlantahkan hal-hal yang bersifat materil tetapi juga dapat mengikis aspek non materilnya. Gillin Gillin (Soerjono, 1990:263) menyatakan bahwa pergeseran atau perubahan nilai-nilai sosial sebagai suatu variasi dan cara hidup yang telah material, komposisi penduduk ideologi maupun ada karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat berdasarkan defenisi-defenisi diatas maka dapat di simpulkan bahwa kebudayaan dari suatu masyarakat tidak akan bertahan lama atau selamanya,oleh karena perkembangan dari suatu kebudayaan tidaklah terlepas dari kondisi perkembangan sosial disekitarnya perubahan-perubahan sosial akan terus melanda suatu budaya dalam hal ini dapat di pengaruhi oleh faktor interen maupun eksteren dari pengaruh budaya tertentu. Selain itu, Farley (Pitr 2004:5) mendefenisikan perubahan nilai sosial sebagai perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu
tertentu. Hal ini kemudian digaris bawahi oleh, Hawley (Pitr 2004:3) yang menyatakan bahwa perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari system sosial sebagai satu kesatuan. Selanjutnya selo soemardjan (Elly 2007:50) perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi
pada lembaga kemasyarakatan
didalam
suatu masyarakat
yang
mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola prilaku diantara kelompok dalam masyarakat. Dari sejumlah pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perubahan nilai-nilai sosial merupakan perubahan-perubahan pada tatanan perilaku sosial yang dapat melanda suatu kelompok sosial serta turut berpengaruh pada sistem nilai maupun sikap serta pola tingkah laku kelompok sosial tertentu, bersifat tidak terulang dan dapat terjadi akibat pengaruh-pengaruh sosial baik dari dalam maupun dari luar system sosial tersebut. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Dengan demikian, adat istiadat di tidore merupakan wujud dari ideal dari kebudayaan yang berfungsi tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan member arti kepada kelakuan dan perbuatan manusia dan masyarakat. Adat di Tidore dapat di bedakan dalam empat tingkatan yang salah satunya adalah nilai budaya, berupa perpaduan seni budaya leluhur dengan syariat islam yang terdapat dalam nilai adat perkawinan masyarakat tidore.