GENTA BERHANTU Jacques Futrelle
2014
Genta Berhantu Diterjemahkan dari The Haunted Bell karangan Jacques Futrelle terbit tahun 1907 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
I
K
EJADIANNYA
sepele tapi anehnya begitu membingungkan,
bahkan akal enggan menerimanya sebagai kenyataan
padahal ada bukti indera pendengaran yang tak terbantahkan. Sementara detik demi detik berlalu, Franklin Phillips sama sekali tak yakin itu betul-betul terjadi, dan perlahan-lahan keraguan tersebut mulai membentuk keyakinan. Lalu, karena otaknya tidak siap menjelaskan, masalah itu dianggap mustahil. Sudah pasti tak terjadi. Tn. Phillips sedikit tersenyum. Tentu saja, itu—pasti— bentuk stresnya. Tapi, selagi kemustahilan ini semakin mempengaruhinya, gemerincing musikal masih menggema samar dalam memorinya, dan matanya masih terpaku penasaran pada gong Jepang, sumber suara itu. Gongnya bertipe standar—enam cakram perunggu, atau mangkuk terbalik, dengan ukuran semakin besar, digantung bertumpuk, yang paling besar ada di puncak, dan diwarnai aneh dengan warna-warna kemerahan seni dekoratif kuno Jepang. Gong tersebut bergelantung tak bergerak di ujung tali sutera yang merosot curam dari langit-langit di atas pojok mejanya. Tampilannya memang tak berbahaya, tapi—tapi— Saat dia memandanginya, genta berbunyi lagi. Nadanya jernih, kaya, bergetar—dentuman yang menyembur tiba-tiba seolah atas kemauannya sendiri, geletar bernada penuh, lalu menghilang pelan. Tn. Phillips mulai berdiri sambil berseru. Di dunia pasar uang Franklin Phillips dipandang sebagai 5
sanggahan terhadap semua teori bencana fisik akibat giatnya mengejar hidup—dia antitesis stres berwujud manusia. Dia bernafas empat belas kali sampai menit ini dan denyut jantungnya selalu satu per tujuh puluh satu. Ini tak berubah meski jutaan dolar dipertaruhkan di pasar yang tak terduga atau memesan sebatang cerutu. Dalam kekaleman ini ada kekuatan yang memungkinkannya menggapai usia 50 dalam kondisi mental dan fisik sempurna. Di balik kenormalan ini ada akal yang tenang dan ingin tahu; jadi sekarang, dia mengambil pensil dan mengetuk genta-genta gong satu persatu, dimulai dari bawah. Lengkingan nada pertama segera memberitahunya bahwa itu bukan nada yang tadi berbunyi; begitupun dengan yang kedua atau ketiga. Pada genta keempat, dia ragu dan mengetuk sekali lagi. Lalu dia mengetuk yang kelima. Yang ini. Genta bergetar dan sedikit berayun akibat pukulan tersebut, ringan seperti tadi, dan dia mengetuknya dua kali lagi. Dia pun kian yakin. Selama beberapa menit dia berdiri, memandang hampa. Apa yang menyebabkan genta ini berbunyi? Sikapnya kalem, dingin, tenang, ingin tahu—akal sehat yang gigih mengilhami kesangsiannya. “Sepertinya gara-gara stres,” katanya sejenak kemudian. “Tapi aku sedang mengamatinya, dan—” Kemungkinan stres tiba-tiba terkesampingkan, dan dia secara sistematis mencari suatu penjelasan nyata. Apa tadi ada serangga membentur genta? Tidak. Dia yakin, sebab dia sedang mengamatinya ketika berbunyi untuk kedua kalinya. Jika ada, serangga itu 6
pasti sudah dilihatnya. Apa ada sesuatu jatuh dari langit-langit? Tidak. Dia juga akan melihatnya. Dengan mata siaga dia melihatlihat ruangan kecil tersebut. Itu merupakan ruang kerja pribadinya —semacam kantor di rumah. Dia sedang sendirian; pintu terkunci; segalanya tampak normal. Barangkali jendela! Jendela yang menghadap timur terbuka terhadap udara malam hangat pertama di musim semi yang agak ribut. Anginlah yang mengusik gongnya! Dia melompat saat terpikir hal tersebut. Namun kemudian pemikiran itu memudar begitu dilihatnya gorden jendela bergelantung lemas; gerakan udara terlalu ringan untuk mengusiknya. Mungkin ada sesuatu yang dilemparkan lewat jendela! Terkaan absurd ini segera terbantahkan. Ada kasa halus di jendela, butiran pasir pun nyaris tak bisa menembusnya. Dan kasa ini masih utuh. Dengan kebingungan di raut wajahnya, Tn. Phillips duduk kembali. Lalu terulang lagi padanya satu fakta tak terbantahkan yang mencegah semua kemungkinan yang telah dipertimbangkannya. Sama sekali tak ada pergerakan gong—pergerakan nampak— ketika genta berbunyi. Tapi nadanya nyaring, seolah terkena benturan keras. Dia ingat, ketika mengetuk genta dengan pensilnya, itu berayun dan bergetar jelas, tapi pensil terlalu ringan sehingga nadanya terdengar jauh dan sayup. Untuk meyakinkan diri, dia menyentuh genta lagi, secuil. Genta pun berayun. “Well, ini kejadian paling luar biasa yang pernah kudengar!” ujarnya. Sejenak kemudian dia menyalakan cerutu, dan untuk pertama 7
kali dalam hidupnya tangannya gemetar. Pemandangan ini menimbulkan sedikit ekspresi girang dan heran di bibirnya; lalu dia menjentikkan jemarinya tak sabar dan kembali terbenam di kursi. Pikirannya berusaha memahami hal-hal materil, bersikeras mengelana, dan merangkai dugaan fantastis di tengah hanyutan asap tembakau. Tapi akhirnya akal sehat menang di bawah pengaruh cerutu unggulan yang menenangkan, dan insiden genta itu pun mengambang sirna. Urusan bisnis—urgen, riil, nyata— memfokuskan perhatiannya. Lalu, tiba-tiba, gempar, dengan raungan terus-menerus mirip alarm kebakaran, genta itu berbunyi—sekali! dua kali! tiga kali! Tn. Phillips melompat berdiri. Bunyi-bunyi tersebut menakutinya dan membuat jantung dinginnya berdebar lebih cepat. Dia mengambil nafas panjang dan dalam, dan dengan satu lirikan ke ruangan kecil itu dia melangkah ke koridor. Dia berhenti sejenak di sana, menengok arlojinya—20:56—lalu beranjak ke apartemen isterinya. Ny. Phillips sedang bertelekan di kursi dan tersenyum geli mendengarkan puteranya yang bercerita perihal acara kampus yang lumrah, tapi sangat menarik bagi anaknya itu. Dia berusia empat puluh atau mungkin empat puluh dua, dan mempesona. Kaum wanita tak mendapat pesona sampai umur mereka empat puluh; sebelum itu mereka hanya cantik dan ramah—terkadang. Puteranya, Harvey Phillips, bangkit sewaktu ayahnya datang. Dia pemuda tegap berumur 20, prototipe pendana ulung dan praktis— Franklin Phillips. 8
“Kenapa Frank, kupikir kau sibuk dengan bisnis sampai—” Ny. Phillips mengawali. Tn. Phillips berhenti sejenak dan menatap hampa isteri dan puteranya—dua orang yang paling disayanginya di antara semua benda duniawi—seperti baru terbangun dari tidur. Puteranya tak melihat hal yang aneh dalam perilakunya; isterinya, dengan mata intuitif, membaca suatu kegelisahan samar. “Ada apa?” tanyanya cemas. “Ada yang salah?” Tn. Phillips tertawa gugup dan duduk di dekatnya. “Tak ada, tak ada apa-apa,” dia meyakinkannya. “Aku merasa gugup tanpa alasan, dan kupikir sebaiknya bicara denganmu daripada—daripada—” “Angka-angka konyol itu lagi?” selangnya. “Tak usah, ya.” Ny. Phillips mencondong ke depan dengan anggun dan memegang tangannya. Tn. Phillips mengepalkannya agar getaran absurdnya berhenti. Dengan susah-payah karena ditahan begitu keras, dia mendapatkan kembali kendali atas stres paniknya. Harvey Phillips memohon diri dan meninggalkan ruangan. “Barusan Harvey menjelaskan misteri bisbol padaku,” kata Ny. Phillips. “Dia akan bermain di tim Harvard.” Suaminya menatap tanpa memperhatikan atau memahami sedikitpun apa yang dikatakannya. “Bisa kau beritahu aku,” tanyanya tiba-tiba, “dari mana kau dapatkan gong Jepang di ruanganku itu?” “Oh, itu? Aku melihatnya di jendela sebuah toko cinderamata aneh dan tua yang terkadang kulewati saat berkeliling untuk 9
yayasan amalku. Aku mengamatinya dua atau tiga bulan lalu dan membelinya. Tempatnya di Cranson Street. Dijaga oleh seorang Jerman tua—kurasa namanya Wagner. Memang kenapa?” “Sepertinya benda itu sangat tua, mungkin seratus tahun,” kata Tn. Phillips. “Itulah yang kupikirkan,” sahut isterinya, “dan warnanya indah sekali. Belum pernah kulihat yang seperti itu, jadi—” “Tak ada sejarahnya, kukira?” selangnya. “Entahlah.” “Atau sifat ganjil, atau—atau atribut tak biasa?” Ny. Phillips menggeleng. “Aku tak mengerti maksudmu,” jawabnya. “Satu-satunya sifat aneh yang kulihat adalah kemurnian genta-gentanya dan warnanya.” Tn. Phillips terbatuk-batuk dengan cerutunya. “Ya, aku juga memperhatikan gentanya,” jelasnya tertegun. “Aku cuma terkesan, benda itu—tak biasa, dan aku agak penasaran dengannya.” Dia membisu sejenak. “Seakan-akan itu pernah bernilai.” “Kurasa tidak,” tanggap Ny. Phillips. “Kalau tak salah, aku membayarnya tiga puluh dolar—hanya segitu yang diminta.” Hanya itulah yang dikatakan tentang masalah tersebut. Tapi keesokan paginya Franklin Phillips menjadi pengunjung pertama di toko Wagner. Tempatnya khas, setengah cinderamata setengah rongsokan, dengan lapisan debu di mana-mana. Ada upaya untuk memperbaiki penampilan tempat itu dengan susunan artistik 10
beberapa barang antik apek, tapi kondisinya memang kacau-balau. Seorang Jerman yang sudah berumur menemui Tn. Phillips. “Anda Tn. Wagner?” selidik sang pemodal. Kewaspadaan ekstrim, nyaris curiga, tampaknya menjadi bagian dari rezim bisnis si Jerman renta, sebab dia memandangi pengunjungnya dari kepala sampai kaki dengan tajam, lalu mengelak dari pertanyaan tersebut. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya. “Aku ingin tahu apa Anda Tn. Wagner,” kata Tn. Phillips singkat. “Ya, atau tidak?” Mata si Jerman bertemu tatapan jujur; lalu mata liciknya yang layu berkedip-kedip dan turun. “Aku Johann Wagner,” ujarnya rendah hati. “Apa maumu?” “Beberapa waktu lalu—dua atau tiga bulan lalu—Anda menjual sebuah gong Jepang—” Tn. Phillips mengawali. “Aku tak pernah menjualnya!” sela Wagner berapi-api. “Aku tak pernah menjual gong Jepang di tempat ini! Aku tak pernah menjualnya!” “Tentu saja kau menjualnya,” kukuh Tn. Phillips. “Sebuah gong Jepang—kau paham? Enam genta bertali sutera.” “Aku tak pernah punya barang semacam itu—tak pernah ada barang semacam itu di tokoku!” kata si Jerman naik darah. “Aku tak pernah menjualnya, astaga! Aku tak pernah melihatnya!” Rasa penasaran dan tidak percaya memancar dari mata Tn. Phillips selagi menghadapi pria renta tersebut. “Kau punya pramuniaga?” tanyanya. “Atau tiga bulan silam?” 11
“Tidak, aku tak pernah punya pramuniaga,” jelas si Jerman dengan keras, yang membuat Tn. Phillips heran. “Tak pernah ada siapapun di sini selain aku. Aku tak pernah punya gong Jepang— aku tak pernah menjualnya! Aku tak pernah melihatnya!” Tn. Phillips mempelajari wajah renta dan keriput di hadapannya dengan tenang selama beberapa saat. Dia mencoba mencari alasan di balik kehebohan tersebut, sikap berapi-api yang tak dapat dimengerti dan tak perlu. “Aneh sekali Anda menyangkal sudah menjualnya,” katanya. “Isteriku membelinya darimu, di tempat ini.” “Aku tak pernah menjualnya!” gempur si Jerman. “Aku tak pernah memilikinya! Tak ada wanita yang datang kemari. Aku tak mau ada wanita di sini. Aku tak tahu apa-apa soal gong Jepang. Aku tak pernah punya.” Bingung dan tak sabar, Tn. Phillips memutuskan untuk tidak lagi berusaha menyelidiki sejarah gong. Setelah beberapa lama, dia pergi. Si Jerman renta mengamatinya penuh waspada, dengan mata licik dan tamak, sampai dia masuk ke mobil. Sementara hari-hari sejuk awal musim semi berlalu, sang genta menutup mulut. Hanya sekali Tn. Phillips menyebut-nyebutnya lagi, dan itu terjadi setelah kunjungannya ke toko Jerman tua tersebut. Saat itu dia menanyai isterinya secara sambil lalu, apakah barang itu dibelinya dari si renta secara langsung, dan isterinya menjawab dengan jelas, mendeskripsikan orangnya. Dia pun bertanya-tanya: Kenapa Wagner sama sekali menyangkal soal genta itu, soal kepemilikan dan penjualannya? 12
Tapi, setelah beberapa waktu, pertanyaan ini menghilang di tengah urusan bisnis penting yang menyibukkan perhatiannya. Gong masih bergantung di atas meja dan sesekali dia meliriknya. Pada saat-saat demikian rasa penasarannya sangat kuat, bahkan tajam, tapi dia tak berupaya memecahkan misteri yang menyelubunginya. Sampai suatu malam seorang pemuda kaya dan terhormat asal Jepang, Oku Matsumi, putera bangsawan terkemuka dalam dinas diplomatik negaranya, datang untuk makan malam di rumah Phillips sebagai tamu Harvey Phillips. Mereka teman sekelas di Harvard, dan persahabatan yang tumbuh di antara mereka mengherankan tapi wajar mengingat sama-sama berminat pada seni. Setelah
makan
malam, Tn. Matsumi mengekspresikan
kekagumannya pada beberapa gambar yang bergantung di ruang makan mewah. Maka Tn. Phillips pun memamerkan beberapa karya seni langka. Salah satu gambarnya, karya Da Vinci, bergantung di ruang kecil di mana gong berada. Tanpa terpikir soal itu, Tn. Phillips mengajak masuk dan si Jepang mengikuti. Lalu hal aneh terjadi. Melihat gong tersebut Tn. Matsumi terkagum, terperanjat, lalu mengambil satu langkah ke arahnya, membungkuk seolah menghormat. Pada saat yang sama tangan kanannya didorong keluar dan ke atas seperti membuat suatu simbol di udara.
13
II
H
ENING
total! Gerombolan pemohon, membungkuk khidmat
dengan tangan terulur, telapak tangan ke bawah, dan
wajah-wajah kuning dalam doa hening mengarah kepada cahaya yang berkibar-kibar dari api sakral di wajah batu Buddha yang mengerling. Patung emas raksasa bangkit bersilang kaki dari tumpuannya dan mundur ke dalam kegelapan kuil. Kumpulan orang itu berubah sedikit demi sedikit dari garis tebal dalam pancaran api menjadi massa remang dan halus di sudut-sudut terjauh; bernafas sunyi, kokoh menatap mata murung dewa mereka. Di balik patung ada selubung kain pelindung dari emas. Segera terdengar gumaman, dan para pemohon, dengan satu keselarasan, bersujud sampai kepala mereka menyentuh bebatuan lantai kuil yang gundul nan dingin. Gumaman tumbuh menjadi nyanyian indah para pendeta Buddha. Kerdipan cahaya sejenak memberi tampilan hidup pada mata murung berkelopak berat itu, lalu matanya kokoh lagi dan terpaku pada jambangan di mana api menyala. Setelah beberapa saat, tirai emas didorong ke samping di tiga tempat secara serentak, dan tiga pendeta berjubah sutera pun muncul. Masing-masing memegang tongkat emas di tangannya. Bersama-sama, mereka menghampiri api sakral dan melemparkan tongkat ke dalamnya. Seketika kobaran api menyembur, menerangi istana pemujaan yang luas beratap tinggi, dan awan dupa naik. 14
Bau memualkan menyebar, seperti kipas, di atas gerombolan. Ketiga pendeta berpaling dari jambangan, lalu masingmasing, dengan langkah pelan dan khidmat, berjalan ke altar dupa sambil memegang obor menyala tinggi-tinggi. Mereka bertemu lagi di kaki Buddha dan bersujud, seraya mengulurkan tangan kanan dan membentuk suatu simbol di udara. Nyanyian dari balik selubung emas melunak menjadi gumaman, dan gumaman memudar hening. Lalu: “Gautama!” Nama itu muncul dari ketiga pendeta bersamaan—nadanya berupa doa, menggema sesaat di ceruk-ceruk kuil besar. Lalu dengan satu gerakan, orang banyak itu bangkit, mengulangi kata tersebut dan merendahkan kepala mereka lagi. “Siddhartha, Yang Terkasih!” Lagi-lagi ketiga pendeta bicara dan lagi-lagi para pemohon bergerak padu, mengulangi kata-kata. Bakaran dupa semakin tebal, api sakral berkelap-kelip, dan bayang-bayang bergerakgerak pada wajah patung emas Buddha. “Sayka-muni, Putera Surga!” Orang
banyak
itu
bergoyang
dan
menjawab
dalam
keselarasan sempurna. Seolah satu hati, satu jiwa, satu pikiran mengilhami tindakan tersebut. “Wahai Buddha! Yang Bijak! Yang Tercerahkan!” datang lagi suara dari para pendeta. “Wahai, Putera Kapilavastu! Yang Terpilih! Yang Suci yang mendapatkan Nirwana! Umatmu yang tak layak ini sedang bersujud di kakimu. Yang Mahakuasa! Kami 15
memohon nasehatmu.” Suara-suara paduan naik menjadi nyanyian. Ketika mereka berhenti terasa hawa ketegangan; sedikit kengerian menjalari kuil; ada gerakan kegugupan dan ketakutan. Di antara semua kerumunan hanya para pendeta yang berani mengangkat mata kepada wajah patung dingin itu. Sejenak kengerian lenyap; lalu, dengan jelas, bergema, sebuah genta berbunyi—satu kali! “Buddha telah bicara!” Itu gumaman, nyaris mirip desahan, sayu, terpesona. Nada genta bergetar di udara penuh kemenyan, lalu menghilang, sunyi lagi. Para pendeta dan orang-orang gemetar ketakutan di atas batu gundul; api tiba-tiba melebar, lalu berkedip, dan keadaan setengah gelap terasa semakin pekat. Di balik selubung emas, nyanyian pendeta dimulai lagi. Tapi nadanya lebih khidmat— ratapan putus asa. Itu berlangsung beberapa saat, lalu memudar. Lagi-lagi api sakral berkobar seolah terkena hembusan angin, tapi sekarang pijarannya tidak menerangi wajah Buddha— terkonsentrasi pada gong perunggu yang merosot tajam dari tali sutera di tangan kanan Buddha. Ada enam cakram, yang paling besar di puncak, menghasilkan siluet berlatar kegelapan selubung emas. Dari salah satu genta inilah bunyi itu keluar, tapi kini semuanya bergelantung bisu dan tak bergerak. Hanya ketiga pendeta yang mengangkat mata penuh hormat padanya, dan salah seorang, yang tertua, bangkit. “Wahai Suara Buddha!” serunya dalam nyanyian menyentuh dan mengharukan—dan wajah patung dewa tertelan dalam 16
bayang-bayang—“kami, murid-muridmu yang tak layak, menanti! Setiap tahun dalam festival kesebelas kami memohon! Tapi baru tiga kali kau bicara dalam setengah abad, dan tiga kali pula di hari kesebelas bicaramu Kaisar kami berlalu ke tangan Kematian dan Nirwana. Akankah demikian lagi, Yang Mahakuasa?” Nyanyian memudar dan orang banyak itu bangkit berlutut dengan tangan terdorong ke dalam kegelapan, ke arah gong yang redup. Itu sikap memohon, berdoa, meminta. Dan lagi-lagi, sambil bergantung tak bergerak, genta berbunyi. Nadanya menggelinding merdu, jernih—Satu kali! Dua kali! Tiga kali! Mereka yang memandangi mukjizat itu menurunkan mata agar tidak silau. Dan genta berlanjut berbunyi—Empat! Lima! Enam! Pekikan sedih dan meratap naik: para pendeta di balik selubung emas bernyanyi lagi. Tujuh! Delapan! Sembilan! Orang-orang menyambung nyanyian sambil merendahkan diri, dan itu mengembang sampai dinding-dinding kuno kuil bergetar. Sepuluh! Sebelas! Hening total! Gerombolan pemohon, membungkuk khidmat dengan tangan terulur, telapak tangan ke bawah, dan wajah-wajah kuning dalam doa hening mengarah kepada cahaya yang berkibar-kibar dari api sakral di wajah batu Buddha yang mengerling.
17
III
T
N.
MATSUMI tiba-tiba meluruskan badan dan mendapati tuan
rumahnya terbelalak heran padanya.
“Mengapa kau melakukan itu?” seloroh Tn. Phillips gelisah. “Maaf, tapi Anda takkan mengerti jika kuceritakan,” sahut si
Jepang dengan wajah kalem dan tak bisa dimengerti. “Boleh kuperiksa?” Dia menunjuk gong yang bisu dan tak bergerak. “Tentu saja,” jawab sang pemodal penasaran. Tn. Matsumi, dengan hasrat yang tak mempengaruhi orang Amerika ini, menghampiri gong dan menyentuh genta-gentanya dengan enteng, satu persatu, untuk merasakan bunyinya. Lalu dia membungkuk dan memeriksanya seksama—puncak dan dasar. Di dalam genta paling besar—yang di puncak—dia menemukan sesuatu yang menarik. Setelah meneliti, lagi-lagi dia menegakkan badan, dan dalam mata sipitnya ada ekspresi yang ingin ditafsirkan oleh Tn. Phillips. “Kau pernah melihatnya?” selidiknya. “Tidak, belum pernah,” jawabnya. “Tapi kau mengenalinya!” Tn. Matsumi hanya mengangkat bahu. “Apa yang mendorongmu berbuat itu?” “Itu” yang dimaksud Tn. Phillips adalah tindakan aneh Tn. Matsumi ketika pertama kali melihat genta. Sekali lagi si Jepang mengangkat bahu. Kesopan-santunan bawaannya kini rupanya terlupakan dalam perenungan gong. 18
Kumis sang pemodal mengerkah. Dia mulai merasa gugup— kegugupan yang dirasakannya sebelumnya, dan imajinasinya mengacau. “Anda baru memiliki gong ini?” ujar Tn. Matsumi setelah jeda sejenak. “Tiga atau empat bulan.” “Pernah melhat sesuatu yang ganjil?” Tn. Phillips menatapnya betul-betul. “Well, tentu!” katanya, dengan nada sangat meyakinkan. “Berbunyi, maksud Anda—genta kelima?” Tn. Phillips mengangguk. Ada hasrat tegang dalam tingkah si Jepang. “Sudah dengar gentanya berbunyi sebelas kali?” Tn. Phillips menggeleng. Tn. Matsumi menarik nafas panjang —entah karena lega. Hening. Tn. Matsumi mengepalkan dan membukakan kedua tangan mungilnya beberapa kali. “Maafkan aku sudah mengatakan masalah ini dalam kondisi seperti ini,” akhirnya dia berkata, nadanya menyiratkan khawatir menyinggung perasaan, “tapi maukah Anda berpisah dari gong ini?” Tn. Phillips memperhatikannya dengan tajam. Dia mencermati sikapnya untuk mencari solusi misteri yang setiap waktu kian sulit dimengerti. “Aku tak mau berpisah darinya,” jawabnya sepintas lalu. “Itu pemberian isteriku.” “Kalau begitu apapun tawaranku takkan Anda pertimbang19
kan?” “Tidak, sudah pasti tidak,” sahut Tn. Phillips pahit. Jeda. “Gong ini sangat menarik perhatianku. Aku ingin tahu sejarahnya. Mungkin kau bisa uraikan?” Dengan ketenangan bangsanya, Tn. Matsumi menolak memberi informasi apapun. Tapi, dengan balasan sopan santunnya seperti biasa, dia mencari informasi lebih pasti. “Aku takkan meminta Anda berpisah dari gong ini,” katanya, “tapi bisakah Anda beritahukan di mana isteri Anda membelinya?” Dia berhenti sejenak. “Mungkin aku bisa dapatkan yang seperti ini?” “Setahuku tak ada yang lain,” jawab Tn. Phillips. “Ini dari sebuah toko cinderamata kecil di Cranston Street, dijaga oleh seorang Jerman bernama Johann Wagner.” Hanya itu. Insiden ini berlalu seperti yang sudah-sudah, hasilnya justru semakin merangsang rasa penasaran Tn. Phillips. Rupanya rasa penasaran yang sia-sia, tapi selalu ada, terlepas dari fakta bahwa gong masih bergantung bisu. Keesokan malamnya, malam musim semi yang ideal dengan angin sepoinya, Tn. Phillips menyempatkan diri masuk ke ruang kecil itu. Persis sebelum makan malam diumumkan. Di sana agak tertutup, jadi dia membuka jendela timur untuk angin sepoi, dan menempatkan kasa di posisinya, setelah itu dia membungkuk untuk menarik laci meja. Lalu datang lagi dentuman genta bergemerincing yang cepat—Satu! Dua! Tiga! Empat! Lima! Enam! Tujuh! 20
Pada dentuman pertama dia berdiri; pada dentuman kedua dia mencondong ke arah gong dengan mata tertumpu pada cakram kelima. Sementara gong terus berbunyi, dengan muram dia menahan stres dan mencari penyebab. Di bawah genta, di puncak, dia menyelidiki seluruhnya. Tak ada apa-apa! Tak ada! Bunyi itu meletus begitu saja, satu persatu, seolah dipukul keras, tapi genta tidak bergerak. Untuk ketujuh kalinya benda itu berbunyi, lalu dengan wajah pucat menakutkan dan anggota badan kaku kedinginan, Tn. Phillips menghambur dari ruangan. Embun keringat tumbuh di telapak tangannya yang gemetar. Itu malam istirahat yang singkat dan dipenuhi mimpi aneh. Saat sarapan keesokan paginya, Ny. Phillips menuangkan kopi dan melirik surat yang ditaruh di sampingnya. “Kau sangat memperhatikan gong di ruanganmu itu?” selidiknya. Tn. Phillips sedikit kaget. Benda itu sudah menjerat perhatiannya selama lusinan jam terakhir, saat terjaga dan tertidur. “Kenapa?” tanyanya. “Kau tahu, aku pernah bilang, aku membelinya dari pedagang cinderamata,” jelas Ny. Phillips. “Namanya Johann Wagner, dan dia menawariku lima ratus dolar jika aku mau menjualnya kembali kepadanya. Kurasa dia berpikir itu lebih bernilai dari perkiraannya. Lima ratus dolar tambahan lumayan untuk dana amalku.” Tn. Phillips khusyuk berpikir. Johann Wagner! Situasi baru apa ini? Kenapa Wagner menyangkal tahu soal gong itu? Setelah menyangkal, kenapa sekarang dia berusaha membelinya balik? 21
Dalam mencari jawaban terhadap pertanyaan ini dia membisu. “Well, sayang?” selidik isterinya setelah jeda. “Kau belum menjawabku.” “Tidak, jangan jual gongnya,” serunya tiba-tiba. “Jangan jual dengan harga berapapun. “Aku—aku menginginkannya. Akan kuberi kau cek untuk yayasanmu.” Ada semacam kegelisahan di mata Ny. Phillips. Suatu suasana aneh, halus, tak terlukiskan yang tak bisa dia ukur dari perilaku suaminya.
Dengan
sedikit
desahan
yang
menghembuskan
keresahannya, dia menyelesaikan sarapan. Keesokan paginya datang lagi surat dari Johann Wagner. Itu permohonan—permohonan berapi-api—yang ditulis tergesa-gesa dan nyaris tak karuan. Dia harus mendapatkan gong itu! Dia mau membayar lima ribu dolar. Ny. Phillips jelas bingung dengan surat tersebut dan menyerahkannya kepada sang suami. Tn. Phillips membacanya dua kali sambil cemberut. “Tidak,” pekiknya keras, “tidak akan dijual dengan harga berapapun!” Lalu suaranya turun selagi dia mengingat-ingat. “Tidak, sayang,” lanjutnya, “tidak akan dijual. Itu hadiah darimu. Aku menginginkannya, tapi”—dan dia tersenyum aneh—“jika dia terus menaikkan harga, itu akan sangat menambah dana amalmu, bukan?” ***** Dua kali lagi dalam 36 jam Tn. Phillips mendengar genta berbunyi 22
—sekali pada satu kesempatan dan empat kali pada kesempatan lain. Dan kini perubahan besar terjadi pada dirinya, jelas dan nyata. Pancaran sehat sirna dari wajahnya. Tangannya terus-menerus kejang; jemarinya menggemertuk tak sabar. Matanya kehilangan pandangan kokoh, mengeluyur tanpa arah, dan dia selalu terkesan sedang mendengarkan. Kekuatan semangat jagoan lambat-laun hancur, dimakan oleh benda pengganggu seram yang membuatnya terobsesi tak berdaya. Tapi dia tak mengajak siapapun ke dalam rahasianya; itu urusan pribadinya yang harus dipecahkan sampai akhir. Kondisi ini mempengaruhinya pada saat-saat di mana aktivitas pusat spekulasi dunia sedang tak normal, dan ketika segala kemampuan dibutuhkan dalam skema finansial besar di mana dia adalah pusatnya. Secara fisik dia memegang benang yang mengemudikan jutaan orang. Signifikansi urusan bisnisnya begitu berpengaruh, jadi dia terpaksa memenuhinya. Tapi itu upaya putus asa, dan larut malam itu, sementara kota di sekelilingnya tertidur lelap, genta tersebut berbunyi dua kali. Ketika dia sampai di kantornya di pusat keramaian kota keesokan harinya, banyak pekerjaan detil menantinya, dan dia menyerbunya dengan eksaltasi berapi-api yang berlanjut siang dan malam penuh kegelisahan. Dia baru berada di mejanya beberapa menit saat telepon privatnya berbunyi. Sambil memekik dia berdiri; setelah mengerti dia duduk lagi. Setengah lusin kali dalam satu jam telepon berbunyi, dan setiap kali itu pula dia tercengang. Akhirnya dia bangkit dengan 23
penuh amarah, merenggut telepon meja dari kabelnya dan melemparnya ke dalam keranjang sampah. Dia berputar ke sisi meja dan dengan tendangan terarah, menerjang bak aki. Sekretaris memandangnya heran. “Bpk. Camp,” kata sang pemodal tajam, “tolong suruh operator kantor untuk tidak membunyikan bel telepon lagi di kantor ini—selamanya.” Sekretaris beranjak pergi, dan dia pun kembali duduk bekerja. Larut petang itu dia menghubungi dokter keluarganya, Dokter Perdue, sosok tegap yang konon tawanya lebih banyak menyembuhkan pasien daripada obatnya. Apapun itu, dia orang yang sukses, berkedudukan tinggi dalam profesinya. Dokter Perdue mendongak penuh perhatian saat Tn. Phillips masuk. “Halo, Phillips!” sambutnya. “Apa yang bisa kulakukan?” “Stres,” jawabnya pendek. “Sudah kuduga,” ujar dokter, menggeleng dengan arif. “Terlalu banyak bekerja, terlalu cemas, terlalu banyak merokok; dan selain itu, kau sudah tidak muda lagi.” “Ini bukan soal pekerjaan atau merokok,” timpal Phillips tak sabar. “Ini soal kecemasan—kecemasan akibat beberapa keadaan aneh yang—yang—” Dia berhenti dengan perasaan malu, kecut, sepeti anak-anak. Dokter Perdue memandangnya tajam dan meraba nadinya. “Keadaan aneh apa?” desaknya. “Well, aku—aku sendiri hampir tak bisa menjelaskannya,” jawab Tn. Phillips, dengan gigi terkatup rapat. “Ini tak dapat 24
dipahami, tak nyata, remang-remang—terserah kau menyebutnya. Mungkin aku bisa membuatmu mengerti dengan mengatakan bahwa aku selalu—aku selalu seperti menunggu sesuatu.” Dokter Perdue tertawa sepenuh hati; Tn. Phillips memandangnya. “Kebanyakan dari kita selalu menunggu sesuatu,” kata dokter. “Jika kita mendapatkannya, takkan ada yang istimewa dalam hidup ini. Apa persisnya yang selalu kau tunggu itu?” Tn. Phillips tiba-tiba bangkit dan mondar-mandir di ruangan dua kali. Rahang bawahnya sedikit menonjol, giginya terkatup, tapi dalam matanya terbayang ketakutan tersembunyi. “Aku selalu menunggu—genta,” selorohnya sengit, dan wajahnya memerah padam. “Aku tahu ini absurd, tapi aku terbangun gemetar di malam hari, dan terbaring berjam-jam, menunggu, menunggu, tapi ketakutan dengan suara yang tak pernah didengar siapapun di dunia ini. Di mejaku aku mengejangkan setiap syaraf, menunggu, mendengarkan. Ketika berbicara dengan siapapun, aku selalu menunggu, menunggu, menunggu! Saat ini, menit ini juga, aku menunggu, menunggunya. Benda itu membuatku gila, sobat, gila! Kau paham?” Dokter Perdue bangkit dengan wajah muram dan membimbing sang pemodal kembali ke kursi. “Tingkahmu seperti anak kecil, Phillips!” katanya tajam. “Duduk dan ceritakanlah.” “Nah, dengarlah, Perdue,” dan Tn. Phillips menaruh kepalan tangannya ke meja disertai dentaman, “kau harus percaya—kau 25
mesti percaya! Jika tidak, berarti aku gila.” “Ceritakanlah,” pinta dokter pelan. Lalu, terputus-putus, ragu, sang pemodal menceritakan insiden-insiden yang terjadi. Kegilaan yang baru dimulai, ketakutan, teror, berkobar di matanya, dan berkali-kali bibir pucatnya menggigil seperti anak kecil. Dokter mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengangguk beberapa kali. “Genta itu pasti—pasti berhantu!” simpul Tn. Phillips. “Tak ada cara lain untuk menerangkannya. Akal sehatku bilang, itu tak berbunyi sama sekali, tapi aku tahu itu berbunyi.” Dokter Perdue membisu beberapa menit. “Kau yakin isterimu betul-betul membeli genta dari Jerman renta itu?” tanyanya kemudian. “Ah, sudah pasti, aku yakin. Terbukti dengan surat-surat yang ditulisnya untuk mendapatkannya kembali.” “Dan ketakutanmu bukan akibat perkataan orang Jepang itu?” “Ini bukan gara-gara sangkalan orang Jerman itu, bukan pula karena hal konyol yang diucapkan Tn. Matsumi; suara genta itulah yang membuatku tak waras—tak berdaya, terus-menerus mencari sebab. Itu benda mati, tapi bertindak seakan-akan—seakan-akan hidup!” Dokter duduk dengan jemari memegang pergelangan tangan Tn. Phillips. Lalu dia bangkit dan mencampur ramuan penenang yang kemudian diteguk oleh Tn. Phillips. Setelah itu pasiennya pulang dalam keadaan lebih tenang, dan diberi instruksi kaku perihal aturan hidup dan kebiasaannya. 26
“Kau perlu liburan sekitar enam bulan di Eropa,” kata Dokter Perdue. “Tiga pekan ini selesaikan bisnismu, terus pergilah. Sementara itu, jika kau tak mau menjual gong itu atau membuangnya, jauhi.” Keesokan paginya seorang pria—pria asing—ditemukan tewas di ruang kecil di mana gong tergantung. Sebuah peluru di jantungnya memperlihatkan penyebab kematian. Pintu yang mengarah dari ruang menuju koridor terkunci dari luar; sebuah jendela terbuka yang menghadap timur mengindikasikan bagaimana dia masuk dan menunjukkan kesempatan kabur untuk pembunuhnya. Tertarik oleh kegemparan menyusul ditemukannya mayat, Tn. dan Ny. Phillips pergi menyelidiki, dan melihat orang mati itu. Sang isteri masuk lebih dulu, dan terkelu beberapa saat, menatap wajah pucat yang tertengadah. Lalu memekik. “Ada apa ini, aku membeli gong dari orang ini!” Dia berpaling dan mendapati suaminya mengintip lewat bahu. Wajahnya kelabu hingga bibir, matanya terbelalak. “Johann Wagner!” pekiknya. Lalu, seolah tak waras, dia menghempaskan isterinya ke samping dan bergegas ke tempat gong bergantung membisu dan tak bergerak. Dia membungkuk di atas bongkaran sambil menggapainya
dengan
jemari
tergenggam.
Tiba-tiba
dia
sempoyongan seolah wajahnya terkena pukulan keras, lalu menutup mata dengan kedua tangan. “Lihat!” jeritnya. Ada corengan darah merah segar di genta kelima. Ny. Phillips 27
melirik dari genta ke arahnya, penuh tanya. Tn. Phillips berdiri beberapa lama dengan tangan menekan matanya, lalu tertawa riang, jahat.
28
IV
D
I SINI
kompor arang kecil menyemburkan api biru, di situ
retor diisi separuh cairan ungu berbau busuk, di sana
kumparan tembaga berkelok-kelok ke dalam bayangan, dan bergerak-gerak mengitari sosok alkemis tua, kurus, dan kekanakan Profesor Augustus S.F.X. Van Dusen, Ph.D., LL.D., F.R.S., M.D., dll, dll. Seberkas cahaya memancar menyilaukan dari reflektor di atas dan menerangi meja laboratorium. Sang pekerja mencondong ke depan untuk mengintip suatu partikel kecil di bawah mikroskop, dan seketika kepala dan wajahnya menyembul di tengah gelapnya ruangan seperti makhluk aneh yang lepas dari tubuhnya. Kepala dan wajah yang ganjil—tidak sepadan dengan tubuh, mirip kubah, besar, dengan rambut kuning jerami acak-acakan. Wajah yang mungil, berkerut, rata; mata biru berair, sempit dan nyaris hilang, selalu memicing melalui tasmak tebal; mulut terkulai di sudut-sudutnya. Tangan pucat kecil yang memelintir dan memfokuskan lensa memiliki jari-jari luar biasa panjang dan tipis. Pria berkepala besar dan bertubuh kecil ini merupakan pemimpin tak terbantahkan dalam sains kontemporer. Otaknya paling waras, dingin, jernih dalam pencapaian ilmiah. Perkataannya menentukan. Suatu waktu seorang wartawan, Hutchinson Hatch, menjulukinya Mesin Berpikir, maka dunia mendengar dan mengenalnya dengan julukan tersebut. Reporter itu, pemuda tinggi dan ramping, kini sedang duduk mengamatinya penuh heran dan mendengarkan. Sang ilmuwan berbicara dengan nada terusik; tapi 29
perkenalan lama telah mengajari si reporter bahwa perkataannyalah, dan bukan cara berkatanya, yang harus dipedulikan. “Imajinasi, Tn. Hatch, adalah tautan penghubung tunggal antara manusia dan ketakterhinggaan,” kata Mesin Berpikir. “Itulah kualitas yang membedakan kita dari apa yang disebut binatang, sebab kita punya nafsu yang sama, selera yang sama, dan hasrat yang sama. Itulah pembantu paling berharga untuk akal ilmiah, itu adalah dasar semua kemajuan sains. Itulah yang sementara ini menjembatani gap dan memungkinkan pemecahan semua persoalan materil—bukan sebagian, tapi semua. Kita tak bisa mencapai apa-apa sebelum mengimajinasikannya. Sejauh bisa diimajinasikan, maka bisa dimengerti oleh otak manusia. Otak hanya gagal memahami tujuan abadi, Kehendak Mahakuasa, sebab tak mampu mengimajinasikannya. Imajinasi memiliki batas, Tn. Hatch, dan kita tak bisa melampauinya—di baliknya ada Tuhan.” Ini sama sekali bukan hal yang ingin didengar Hatch, tapi dia mendengarkan dengan terpesona. “Makhluk cerdas pertama,” lanjut suara jengkel itu, “pasti berimajinasi bahwa ketika dua ditambah dua, akan ada hasilnya. Dia mendapati hasilnya empat, dia membuktikan itu empat, dan itu segera menjadi kekal—poin logika, yang dengannya kita dapat memecahkan persoalan. Jadi dua tambah dua sama dengan empat, bukan terkadang, tapi selalu.” “Aku selalu menyangka imajinasi tak memiliki batas,” Hatch mengemukakan pendapat, “tak mengenal batas.” Mesin Berpikir memicingkan mata dingin padanya. 30
“Justru,” ujarnya, “itu memiliki batas yang di luarnya akal manusia hanya terhuyung-huyung, roboh. Akan kubawa kau ke sana.” Dia berbicara seolah itu dekat. “Dengan bantuan mikroskop yang jauh lebih lemah daripada mikroskop di sini, teori atom atau molekul dirumuskan. Kau tahu itu—semua materi terdiri dari atom-atom. Nah, imajinasi menyiratkan dan logika menunjukkan bahwa atom sendiri tersusun dari atom-atom lain, dan atom-atom tersebut pada gilirannya tersusun dari atom lain lagi, ad infinitum. Mereka hanya tak terlihat, dan imajinasi—aku bukan sedang menyatakan keyakinan, tapi mencontohkan apa yang bisa dilakukan imajinasi—dapat membuat kita melihat kemungkinan bahwa
masing-masing
atom
itu,
sampai
tak
terhingga,
berpenghuni. Dunia yang relatif sama jauhnya dari sesamanya sebagaimana kita dari bulan. Kita bahkan bisa berimajinasi seperti apa para penghuninya.” Dia berhenti sejenak; Hatch berkedip beberapa kali. “Tapi perbatasan terletak di arah lain—teleskop,” lanjut sang ilmuwan. “Lensa paling canggih yang pernah dibuat tidak memberi petunjuk apa-apa tentang ujung alam semesta. Ia hanya membawakan jutaan dunia lain, tak terlihat oleh mata telanjang. Semakin canggih lensanya, semakin sia-sia tugas penaksiran ujungnya, dan di sini imajinasi juga bisa menerapkan teori atom, dan logika akan menopangnya. Dengan kata lain, atom-atom menyusun materi, materi menyusun dunia, yang merupakan bintik kecil di tata surya kita, sebuah atom; oleh sebab itu, seluruh jutaan dunia hanyalah atom, bagian infinitesimal dari suatu skema yang 31
jauh lebih besar. Apa skema yang besar itu? Di situlah ujung imajinasi! Di situlah akal berhenti!” Luasnya konsepsi tersebut membuat Hatch agak megapmegap. Dia membisu untuk waktu lama, terpesona, tertekan. Tak pernah dalam hidupnya dia merasa begitu kecil. “Nah, Tn. Hatch, perihal masalah kecil yang mengusikmu,” lanjut Mesin Berpikir, dan nadanya lega. “Apa yang kukatakan barusan, tentu saja, tak ada sangkut-pautnya, kecuali bahwa imajinasi diperlukan untuk memecahkan masalah, bahwa semua masalah materil dapat dipecahkan, dan bahwa untuk tujuan itu logika merupakan pengungkit. Kuantitas yang pasti; aturan sederhananya memungkinkanku memecahkan perkara-perkara remeh yang pernah kau hadapi, jadi—” Si reporter mulai sadar kembali. Lalu, di hadapan otak maestro ini, dia menguraikan keadaan yang menimbulkan misteri aneh seputar kematian Johann Wagner—pedagang rongsokan—akibat kekerasan, di rumah jutawan Franklin Phillips. Tapi informasinya hanya berawal dari waktu masuknya polisi ke dalam perkara. Cuma Tn. Phillips, Dokter Perdue, dan Tn. Matsumi yang tahu soal berbunyinya genta. “Bercak
darah
pada
salah
satu
genta,”
kata
Hatch
menyimpulkan, “mungkin merupakan bekas tangan, tapi tak ada signifikansinya. Saat ini polisi sedang mengolah dua poin ganjil yang mereka kembangkan. Pertama, Detektif Mallory mengenali jasad itu sebagai “Belanda Tua” Wagner, yang sudah lama dicurigai melakukan ‘penadahan’—yakni, menerima dan menjual 32
barang-barang curian; dan kedua, salah seorang pembantu di rumah Phillips, Giles Francis, menghilang. Dia tak terlihat sejak pukul sebelas malam sebelum mayat ditemukan, dan saat itu dia sedang tertidur lelap. Semua pakaiannya, kecuali sepasang sepatu, celana, dan piyama, ditinggalkan.” Mesin Berpikir berbalik dari meja laboratorium dan terbenam di kursi. Untuk waktu lama dia duduk dengan kepala kuning besar tertengadah ke belakang dan ujung-ujung jemari pucat kurusnya saling beradu. “Jika Wagner ditembak jantungnya,” akhirnya dia berkata, “kita tahu kematiannya terjadi seketika itu juga; oleh sebab itu dia tak mungkin membuat bekas darah pada genta.” Rupanya ini pernyataan fakta. “Tapi mengapa mesti ada bekas demikian pada genta?” “Detektif Mallory berpikir—” reporter memulai. “Oh, jangan acuhkan apa yang dipikirkannya!” sela Mesin Berpikir tersinggung. “Jam berapa mayat ditemukan?” “Sekitar setengah sepuluh kemarin pagi.” “Ada yang dicuri?” “Tidak. Jasadnya tergeletak di sana, jendela terbuka, dan pintu terkunci, dan ada bekas darah pada genta.” Jeda. Garis-garis rumit muncul di kening lebar sang ilmuwan dan mata julingnya menyempit. Hatch mengamatinya dengan heran. “Apa kata Tn. Phillips?” tanya Mesin Berpikir. Dia masih tertengadah dan bibir tipisnya membentuk garis lurus. 33
“Dia sakit, entah seberapa parah,” tanggap si wartawan. “Dokter Perdue sampai sekarang belum mengizinkan polisi menginterogasinya.” Sang ilmuwan segera menurunkan matanya. “Ada apa dengannya?” desaknya. “Entahlah. Dokter Perdue menolak memberi pernyataan.” Setengah jam kemudian Mesin Berpikir dan Hatch mendatangi rumah Tn. Phillips. Mereka bertemu Dokter Perdue yang menyambut di luar. Wajahnya muram dan khusyuk; suasana gembira profesionalnya sama sekali tak hadir. Dia berjabat tangan dengan Mesin Berpikir, yang pernah ditemuinya bertahun-tahun silam di samping meja operasi, lalu masuk lagi bersamanya. Bersama-sama, ketiganya pergi ke ruangan kecil itu—TKP tragedi. Gong Jepang masih berayun di atas meja. Sang ilmuwan mungil dan pemurung langsung mendekatinya, dan selama lima menit mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari bercak di genta
kelima.
Dari
ekspresi
wajahnya
Hatch
tak
bisa
menyimpulkan apa-apa. Apa yang dilihat sang ilmuwan mungkin mencerahkan atau tidak. Apakah bercak itu bekas tangan? Jika ya, dalih Hatch, itu tak menyodorkan petunjuk, karena garis-garis ruwet dagingnya terlumuri, terhapus. Selanjutnya Mesin Berpikir melirik kritis ke sekeliling, dan akhirnya membuka jendela yang menghadap timur. Untuk waktu lama dia berdiri membisu sambil memicingkan mata; dan, selain garis-garis tipis di keningnya, tak ada indikasi apapun akan aktivitas otaknya. Ruangan kecil itu berada di lantai dua dan 34
menganjur siku-siku ke seberang lorong sempit di bawah mereka yang menuju dapur di belakang. Dinding tak berjendela di bangunan sebelah hanya empat kaki dari dinding Phillips, dan tak berjendela. Jadi wajar kalau seseorang, tanpa teramati, dapat memanjat dari bawah, meski ada cahaya busur di atas pintu depan apartemen yang lebar di seberang jalan, yang kelihatan dalam pemandangan lorong. “Apa kau tahu, Perdue,” tanya Mesin Berpikir, “jendela barat ini pernah dibuka?” “Tak pernah,” jawab dokter. “Detektif Mallory sudah menginterogasi para pembantu soal itu. Tampaknya dapur ada di bawah, di bagian belakang, dan bau masakan naik.” “Berapa banyak pintu luar di rumah ini?” “Cuma dua,” jawabnya, “satu yang kau masuki, dan satu lagi menuju lorong di bawah kita.” “Keduanya terkunci kemarin pagi?” “Ya. Kedua pintu memiliki kunci pegas, karenanya masingmasing terkunci otomatis begitu ditutup.” “Oh!” pekik sang ilmuwan tiba-tiba. Dia berpaling dari jendela, dan untuk kedua kalinya memeriksa gong yang diam dan bisu. Suatu tempat dalam pikirannya berfirasat bahwa gong itu mungkin terkait dengan misteri kematian. Tapi, sambil mengamatinya dengan heran, Dokter Perdue tak tahu apa-apa perihal peran jahat yang mungkin dimainkan benda tersebut dalam perkara. Dengan pisau lipat, Mesin Berpikir membuat sedikit tanda di sisi bawah setiap genta 35
secara bergantian; lalu memicingkan mata pada tanda-tanda tersebut, satu persatu. Di dalam genta teratas—terbesar—dia menemukan sesuatu—sebuah tanda, mungkin simbol—tapi tak bermakna apa-apa bagi Hatch dan Dokter Perdue, yang mengintip lewat bahu Mesin Berpikir. Itu hanya berupa lingkaran dengan tiga sinar ke arah atas dan tiga bintik di dalamnya. “Tanda pembuatnya, mungkin,” usul Hatch. “Tentu saja, mustahil genta ini ada kaitannya dengan—” Dokter Perdue angkat bicara. “Tak ada yang mustahil, Perdue,” bentak sang ilmuwan marah. “Jangan bilang begitu. Aku sangat tersinggung.” Dia terus memandangi simbol. “Di mana tepatnya mayat ditemukan?” tanyanya kemudian. “Di sini,” jawab Dokter Perdue, dan menunjuk titik dekat jendela. Mesin Berpikir mengukur jarak dengan matanya. “Satu-satunya masalah riil di sini,” katanya merenung, setelah beberapa lama, seolah menambahkan pernyataan sebelumnya, “apa yang membuatnya mengunci pintu dan lari?” “Apa yang membuat—siapa?” tanya Hatch penuh minat. Mesin Berpikir hanya memicingkan mata padanya, menembusnya, melewatinya dengan sorot hampa. Benaknya melayang dan garis-garis ruwet di dahinya semakin dalam. Dokter Perdue rupanya juga terlalu asyik sendirian. “Nah, Perdue,” desak Mesin berpikir tiba-tiba, “sebetulnya Tn. 36
Phillips ini punya masalah apa?” “Well, itu—” dia mengawali terputus-putus, lalu melanjutkan seolah tekadnya sudah bulat: “Kau tahu, Van Dusen, ada sesuatu di balik semua ini yang belum diceritakan, untuk alasan yang menurutku pantas. Ini mungkin menarik untukmu, sebab kau sangat gemar dengan hal seperti ini, tapi aku ragu ini akan membantumu. Selain itu, aku bersikeras hanya kau yang boleh mendengarnya.” Dia melirik penuh makna kepada Hatch, yang setahunya hadir dalam kapasitas sebagai reporter. “Ada hal lain—tentang genta ini,” kata Mesin Berpikir cepatcepat. Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. “Ya, tentang genta ini,” dokter sependapat, agak terkejut ada orang lain yang tahu. “Tapi seperti kubilang—” “Aku berusaha mencari fakta di sini demi membantu Tn. Hatch,” jelas Mesin Berpikir, “tapi kujamin dia takkan mempublikasikan apa-apa tanpa seizinku.” Dokter Perdue memandangi si wartawan penuh selidik; Hatch mengangguk. “Kurasa sebaiknya kau mendengarnya langsung dari Phillips,” lanjut dokter. “Ayo. Kupikir dia mau menceritakannya padamu.” Maka sang ilmuwan dan reporter menemui Franklin Phillips. Dia di ranjang. Pemodal yang dulu ulung itu kini hanya menjadi bayangan masa lalunya. Wajah tegarnya kini pucat dan cekung, dan bergaris nyaris tak dikenali. Bibirnya pucat, tangannya gugup mencengkeram seprai, dan dalam matanya ada kengerian— 37
kengerian seram. Matanya sesekali berbinar, dan hanya sebentarsebentar memantulkan kekuatan, keperkasaan yang pernah ada di sana. Kondisinya saat ini menimbulkan rasa kasihan dan sulit dipahami bagi Hatch, yang mengingatnya sebagai pusat badai setengah lusin pertarungan finansial spektakuler. Tn. Phillips berbicara sepenuh hati—bahkan terlihat lega bisa menceritakan secara detil keadaan yang sedikit-banyak menyebabkan keruntuhan totalnya. Sambil melanjutkan dengan tangkas, tapi cukup jelas, matanya menjelajah dan terpaku pada wajah pemarah Mesin Berpikir yang sulit dimengerti, seolah mencari kepercayaan. Dia menemukannya, sang ilmuwan mengangguk berkali-kali, dan perlahan garis-garis di dahi kubahnya lenyap. “Sekarang aku paham kenapa dia lari,” kata ilmuwan dengan yakin, mengandung teka-teki. Perkataan itu tak bermakna bagi yang lainnya. “Sebagaimana kupahami, Tn. Phillips,” tanyanya, “jendela timur selalu terbuka ketika genta berbunyi?” “Ya, aku yakin begitu, selalu,” sahut Tn. Phillips setelah berpikir beberapa lama. “Dan kau selalu mendengarnya ketika jendela terbuka?” “Oh, tidak.” jawab sang pemodal. “Berkali-kali ketika jendela terbuka aku tak mendengar apapun.” Kebingungan melintas di wajah ilmuwan, lalu sirna. “Tentu saja, tentu saja,” katanya kemudian. “Bodoh sekali aku. Semestinya kusadari sejak awal. Nah, pertama kali kau memperhatikannya, genta berbunyi dua kali—yakni, dua kali dengan interval, katakanlah, beberapa detik?” 38
“Ya.” “Dan kau mendapat gong, dua atau tiga bulan lalu?” “Sekitar tiga bulan—ya.” “Cuaca tetap sejuk selama masa itu? Akhir musim gugur dan awal musim semi?” “Kurasa begitu. Aku tak ingat. Setahuku, pertama kali aku mendengar genta adalah awal musim semi yang hangat, sebab jendelaku sebelumnya tidak dibuka.” Mesin Berpikir memicingkan mata ke atas. Sambil menatap mata sempit yang tenang itu, kepercayaan diri rupanya kembali kepada Tn. Phillips. Dia bangkit dengan satu siku. “Kau bilang pernah mendengar genta berbunyi larut malam— dua kali. Bagaimana keadaannya?” “Saat itu malam menjelang hari operasi penting yang telah kurencanakan,” jelas Tn. Phillips, “dan aku ada di ruangan kecil itu lama sekali setelah tengah malam untuk memeriksa beberapa angka.” “Kau ingat tanggalnya?” “Tentu saja. Selasa, tanggal sebelas bulan ini,”—dan seketika wajah Tn. Phillips memasang ekspresi yang sangat dikenal lawanlawan finansial. “Aku ingat, sebab keesokan harinya aku mendorong pasar naik menyentuh rekor harga di beberapa saham kereta api yang kukuasai.” Mesin Berpikir mengangguk. “Pembantumu yang raib itu, Francis, orang yang penakut, sepertinya.” 39
“Well, boleh dibilang begitu,” timpal Tn. Phillips ragu. “Well, memang begitu,” kata Mesin Berpikir datar. “Dia pembantu yang bagus, kan?” “Ya, ulung.” “Apa dia bertugas menutup jendela yang masih terbuka di malam hari?” “Tentu saja.” “Orangnya lumayan besar?” “Ya, enam kaki kira-kira—dua ratus sepuluh pon, mungkin.” “Dan Tn. Matsumi tentu saja berbadan kecil?” “Ya, terlalu kecil untuk ukuran orang Jepang.” Mesin Berpikir bangkit dan menaruh jemarinya pada pergelangan tangan Tn. Phillips. Dia berdiri demikian selama setengah menit. “Apa kau pernah mencium suatu bau setelah genta berbunyi?” selidiknya. “Bau?” Tn. Phillips tampak bingung. “Kenapa, aku tak mengerti apa kaitannya bau dengan—” “Kuanggap tidak,” sela Mesin Berpikir tak ramah. “Aku hanya ingin tahu apa kau merasakannya.” “Tidak,” jawab Tn. Phillips singkat. “Bisakah kau jelaskan perasaanmu?” lanjut sang ilmuwan. “Apa efek bunyi genta itu bersifat mental, ataukah fisik? Dengan kata lain, adakah eksaltasi fisik atau depresi ketika kau mendengarnya?” “Agak sulit mengatakannya—bahkan bagi diriku,” tanggap Tn. 40
Phillips. “Rasanya seperti syok, tapi kuduga kondisi mental bereaksi terhadap stresku.” Mesin Berpikir berjalan ke jendela dan berdiri memunggungi yang lain. Selama satu menit atau lebih dia tetap di situ, tiga pasang mata terpaku penasaran pada punggung si kepala kuning. Di bawah suara jengkelnya, di balik wajah tak terduga, dalam interogasi terpotong-potong, mereka semua tahu ada tujuan tertentu, tapi tak seorangpun tahu maknanya. “Kupikir, masalahnya sudah jelas sekarang,” akhirnya dia berkata sambil merenung. “Tapi ada dua pertanyaan penting yang harus dijawab. Jika salah satunya terjawab ya, aku tahu bahwa otak —boleh kukatakan otak Jepang—berkualitas luar biasa telah menyusun kondisi yang menghasilkan perkara ini; jika tidak, maka konyolnya seluruh persoalan menjadi sederhana.” Tn. Phillips mencondong ke depan, mendengarkan dengan rakus. Ada harapan dan ketakutan, keraguan dan keyakinan, keinginan dan ketegangan tertentu dalam tingkahnya. Dokter Perdue membisu; Hatch hanya menunggu. “Apa yang membuat genta berbunyi?” desak Tn. Phillips. “Aku harus tahu dulu jawaban untuk kedua pertanyaan yang tersisa,” balas Mesin Berpikir. “Kau menyebut-nyebut Jepang,” kata Tn. Phillips. “Apa kau curiga Tn. Matsumi terkait dengan—misteri ini?” “Aku tak pernah mencurigai siapapun, Tn. Phillips,” kata Mesin Berpikir kasar. “Aku tak pernah curiga—aku selalu tahu. Begitu aku tahu, aku akan memberitahumu. Tn. Hatch dan aku 41
akan keluar beberapa menit. Sekembalinya kami, masalah ini bisa diselesaikan dalam sepuluh menit.” Dia memimpin jalan sepanjang koridor menuju ruangan kecil di mana gong bergantung. Hatch menutup pintu setelah masuk. Lalu untuk ketiga kalinya sang ilmuwan memeriksa genta-genta. Dia memukul genta kelima dengan keras berulangkali, dan usai setiap pukulan dia mendorongkan hidung dan mengendusendusnya. Hatch terheran mengamatinya. Setelah selesai, sang ilmuwan menggeleng-geleng seolah menjawab suatu pertanyaan dengan jawaban tidak. Dia pergi ke jalan raya, disusul Hatch. “Ada masalah apa dengan Phillips?” selidik reporter, sementara mereka sampai di trotoar. “Cemas,
takut,”
jawabnya.
“Dia
hanya
gugup
untuk
menerangkan bunyi genta. Andai aku sudah yakin betul sebelum keluar barusan, aku akan memberitahunya. Aku yakin sekarang. Kau tahu, Tn. Hatch, ketika ada sesuatu di luar pemahaman kita, itu segera menyiratkan hal supranatural pada sebagian orang. Tn. Phillips tak mau mengakuinya, tapi dia melihat suatu kekuatan gaib di balik bunyi genta itu—mungkin ancaman—dan benda itu sudah memangsanya sampai dia hampir gila. Setelah aku berhasil membuatnya mengerti mengapa genta berbunyi, dia akan kembali sehat.” “Aku bisa paham bagaimana bunyi genta terkesan gaib bagi seseorang,” kata Hatch muram. “Kau sudah tahu penyebabnya?” “Aku tahu penyebabnya,” balasnya kesal. “Dan jika kau tak tahu berarti bodoh.” 42
Reporter menggeleng pasrah. Mereka menyeberangi jalan menuju apartemen besar di arah berlawanan, lalu masuk. Mesin Berpikir bertanya dan ditunjuki kantor manajer. Dia hanya punya satu pertanyaan. “Apa ada pesta dansa, atau resepsi, atau semacamnya yang diselenggarakan di bangunan ini pada Selasa malam, tanggal sebelas?” selidiknya. “Tidak,” demikian jawaban yang didapat. “Tak ada acara seperti itu di sini.” “Terima kasih,” kata Mesin Berpikir. “Selamat siang.” Berbalik mendadak, dia meninggalkan si manajer untuk mempertimbangkannya sebaik mungkin, lalu diikuti Hatch menaiki tangga ke lantai berikutnya. Di situ ada koridor lebar dan banyak dimasuki udara, membentang sepanjang bangunan. Mesin Berpikir tak melirik ke kanan atau kiri, dia lurus ke belakang, di mana sebuah jendela kaca tebal bening membingkai panorama kota. Dari tempat mereka berdiri, atap-atap kota mengarah ke jantung kawasan bisnis, setengah mil jauhnya. Sementara Hatch melihat pemandangan, Mesin Berpikir mengeluarkan arloji dan menyetelnya maju dua setengah menit, setelah itu dia berpaling dan berjalan ke ujung lain koridor. Di sini juga ada jendela kaca tebal bening. Seketika dia berdiri memandang lurus ke rumah Phillips di seberang jalan, lalu, tanpa sepatah kata, menyusuri ulang jejaknya menuruni tangga dan menuju jalan. Benak Hatch diluapi pertanyaan, tapi dia menahannya dan 43
hanya mengikuti. Mereka masuk lagi ke rumah Phillips dengan hening. Dokter Perdue dan Harvey Phillips menemui mereka di koridor. Ekspresi lega tampak di wajah dokter ketika melihat Mesin Berpikir. “Aku senang kau cepat kembali,” katanya. “Ini ada perkembangan baru dan luar biasa.” Dia mengacu pada amplop panjang yang sedang dipegangnya. “Masuklah ke perpustakaan di sini.” Mereka pun masuk, dan Dokter Perdue berhati-hati menutup pintu. “Beberapa menit lalu Harvey menerima amplop tersegel lewat pos,” jelasnya. “Ini, tersegel. Dia hendak menunjukkannya pada ayahnya, tapi kupikir itu tak baik sebab—sebab—” Mesin Berpikir mengambil amplop dengan satu tangan kurusnya lalu memeriksa. Warnanya putih polos, dan hanya memuat satu kalimat yang ditulis dengan jarum tembaga kecil dengan sudut-sudut tak terduga: “Untuk dibuka ketika genta kelima berbunyi sebelas kali.” Ada sesuatu yang nyaris memuaskan, Hatch menyaksikan air muka Mesin Berpikir melebar, dan “Ah!” panjang keluar dari bibir tipisnya. Hening. Harvey Phillips, yang tak tahu apa-apa soal misteri ini selain kematian Wagner, berusaha membaca maknanya dari wajah Dokter Perdue. Mata Dokter Perdue justru terpancang pada Mesin Berpikir. 44
“Kau tentu tak tahu dari siapa ini, Tn. Phillips?” tanya ilmuwan kepada si pemuda. “Aku tak tahu,” jawabnya. “Sepertinya Dokter Perdue heran, tapi terus-terang aku tak mengerti.” “Kau tak kenal tulisan tangan ini?” “Tidak.” “Well, aku kenal,” ujar Mesin Berpikir tegas. “Ini tulisan Tn. Matsumi.” Dia memandang dokter. “Dan di dalamnya terdapat kunci untuk persoalan genta. Ini membuktikan segalanya sesuai yang kupahami.” “Tapi mana mungkin dari Matsumi,” protes si pemuda. “Cap pos di sebelah luar adalah Cleveland.” “Berarti dia sedang melarikan diri dari penangkapan atas tuduhan pembunuhan.” “Kalau begitu Matsumi pembunuh Wagner?” tanya Hatch cepat-cepat. “Aku tidak bilang itu pengakuan,” tanggap ilmuwan kasar. “Hanya sejarah genta. Aku berani bilang—” Tiba-tiba pintu terbuka dan Ny. Phillips masuk. Wajahnya kelabu. “Dokter, dia semakin parah—memburuk!” dia megap-megap. “Ayo ikut!” Lirikan Dokter Perdue beralih dari wajah pucat Ny. Phillips kepada Mesin Berpikir. “Van Dusen,” katanya sungguh-sungguh, “jika kau bisa jelaskan ini, lakukan sekarang juga. Itu akan menyelamatkan nalar 45
seseorang—mungkin menyelamatkan nyawanya.” “Apa dia sadar?” tanya ilmuwan kepada Ny. Phillips. “Tidak, sepertinya dia pingsan,” jelasnya. “Aku sedang bercengkerama dengannya ketika tiba-tiba dia terduduk di ranjang seolah mendengarkan, lalu memekikkan sesuatu yang tak kupahami dan kembali pingsan.” Dokter Perdue diseret keluar ruangan oleh sang isteri dan puteranya. Mesin Berpikir menengok arlojinya. Jam 16:30. Dia mengangguk, lalu berpaling pada Hatch. “Tolong masuk ke ruangan kecil itu dan tutup jendelanya,” perintahnya. “Tn. Phillips mendengar genta lagi, dan kurasa Dokter Perdue membutuhkanku. Sementara ini, simpan amplop ini dalam sakumu.” Dia pun menyerahkan paket tersegel kepada Hatch.
46
V
M
ALAM
itu waktu menunjukkan pukul 21:20. Di ruangan
kecil di mana gong bergantung, ada Franklin Phillips,
pucat dan lemah, tapi penuh hasrat, Dokter Perdue, Mesin Berpikir, Harvey Phillips, dan Hatch. Selama empat jam Dokter Perdue dan sang ilmuwan bekerja susah-payah menyadarkan si pemodal yang pingsan, dan akhirnya corak warna kembali ke bibir pasinya; lalu siuman. “Atas saranku, Tn. Phillips, kita semua berada di sini,” jelas Mesin Berpikir pelan. “Aku ingin tunjukkan mengapa dan bagaimana genta berbunyi, dan sekaligus menjernihkan poin-poin lain dalam misteri ini. Nah, jika kuberitahu bahwa genta akan berbunyi dengan ulangan tertentu pada waktu tertentu, dan pasti berbunyi, berarti aku tahu penyebabnya, kan?” “Tentu saja,” Tn. Phillips mengiyakan. “Dan jika kuperlihatkan bagaimana itu berbunyi, kau akan puas?” “Ya, tentu saja—ya.” “Bagus.” Sang ilmuwan berpaling pada reporter: “Tn. Hatch, telepon Biro Cuaca dan tanyakan apakah ada badai sekitar tengah malam menjelang ditemukannya jasad Wagner; juga apakah ada guntur. Dan caritahu arah dan kecepatan angin. Aku tahu, tentu saja memang ada guntur, dan anginnya dari timur, atau tak ada angin sama sekali. Aku tahu itu, bukan dari pengamatan pribadi, tapi murni logika peristiwa.” 47
Reporter mengangguk. “Juga, pinjamkan aku biola dan gelas sampanye.” Kebetulan di rumah ada biola. Harvey Phillips pergi mengambilnya, dan Hatch pergi menelepon. Lima menit kemudian dia kembali; Harvey Phillips datang lebih dulu. “Angin ringan dari timur, empat mil per jam,” lapor Hatch singkat dan tepat. “Badai mengancam persis sebelum tengah malam. Ada kilat terang dan guntur berat.” Bagi Dokter Perdue yang awam, pendahuluan ini sedikit berbau penipuan. Tn. Phillips tertarik, tapi tak sabaran. Mesin Berpikir, memegang arloji, bersandar di kursi, memicingkan mata ke atas. “Nah, Tn. Phillips,” katanya, “tiga puluh tiga koma tujuh lima menit lagi genta akan berbunyi. Sepuluh kali. Aku bersusah-payah meniru kondisi di mana genta selalu berbunyi sejak kau mengetahuinya, dengan begitu kau takkan ragu.” Tn. Phillips mencondong ke depan, mencengkeram lengan kursinya. “Sementara itu, aku akan merekonstruksi peristiwa, bukan sebagaimana mungkin terjadi, tapi sebagaimana pasti terjadi,” lanjut Mesin Berpikir. “Tidak berurutan, tapi sesuai yang terungkap oleh setiap fakta tambahan, sebab logika, Tn. Phillips, hanyalah penjumlahan dalam aritmetika, dan jawaban berlandaskan fakta pasti tepat sebagaimana dua tambah dua sama dengan empat—bukan terkadang, tapi selalu. “Well,
seseorang
ditemukan 48
tewas
di
sini—ditembak.
Keberadaannya saja mengindikasikan pencurian. Jendela terbuka menunjukkan bagaimana dia masuk. Mempertimbangkan faktafakta permukaan ini saja kita segera melihat bahwa lebih dari satu orang telah memasuki jendela. Tapi hampir tak mungkin dua pencuri masuk, dan yang satu membunuh yang lain sebelum mereka mendapatkan barang curian, sebab tak ada yang dicuri, dan kecil kemungkinannya satu orang masuk kemari untuk bunuh diri. Jadi apa? “Bekas darah pada genta. Itu dibuat oleh tangan manusia. Tapi seseorang yang ditembak mati tak bisa membuatnya. Karenanya kita tahu ada orang lain. Pintu yang terkunci dari luar mengkonfirmasi hal ini. Biasanya, aku berani bilang, pintu tak pernah dikunci? Tidak? Lantas siapa yang menguncinya? Sudah pasti bukan pencuri kedua, sebab dia tak mau mengambil resiko kabur melalui rumah ini setelah adanya tembakan yang, dia tahu, telah membangunkan semua orang. Karena itu, ada seseorang di rumah ini yang menguncinya. Siapa? “Salah satu pembantumu, Giles Francis, raib. Apa dia mendengar seseorang di ruangan ini? Tidak, sebab kalau ya, dia pasti sudah memperingatkan penghuni rumah. Apa yang terjadi padanya? Di mana dia? Tentu saja ada kemungkinan dia lari keluar untuk mencari polisi dan dihajar oleh sekongkol yang ada di luar. Tapi tolong ingat, terakhir kali dia sedang tidur di ranjang. Jadi poin pentingnya adalah, apa yang membangunkannya? Dari situ kita bisa mengembangkan tindakan dia selanjutnya.” Mesin Berpikir berhenti sejenak dan melirik arlojinya sepintas, 49
lalu ke arah jendela yang terbuka, dengan kasa di sebelah dalam. “Kita tahu,” lanjutnya, “jika Francis terbangun oleh para pencuri, atau suara pencuri, dia akan membangunkan pembantu lain. Kita harus menduga dia dibangunkan oleh suatu gaduh. Apa yang paling mungkin? Guntur! Itulah yang menjelaskan setiap tindakannya. Jadi sementara ini kita anggap saja penyebabnya guntur, dan dia ingat jendela ini terbuka, lalu mengenakan pakaian dan datang kemari untuk menutupnya. Ini, kita anggap juga, persis sebelum tengah malam. Dia bertemu Wagner di sini, dan merebut revolver milik Wagner. Kemudian tembakan mematikan meletus. “Dari titik ini, sesuai fakta-fakta yang berkembang, tindakan Francis jadi sulit dimengerti. Aku bisa paham bagaimana, ketika Wagner roboh, Francis meraba jantungnya untuk memeriksa apakah dia sudah mati, sehingga menodai tangannya; tapi mengapa Francis kemudian melumurkan darah pada genta kelima, meninggalkan ruangan ini, mengunci pintu, dan berlari ke jalan? Dengan kata lain, mengapa dia mengunci pintu dan lari? “Aku sudah menyematkan nilai penting pada gong ini, terutama gara-gara darah itu, dan sudah memeriksa genta-genta. Aku bahkan menggores genta-gentanya untuk meyakinkan diriku bahwa itu terbuat dari perunggu dan bukan logam mulia yang menarik para pencuri. Lalu, Tn. Phillips, aku mendengar ceritamu, dan seketika aku tahu mengapa Francis mengunci pintu dan lari. Karena dia ketakutan—sangat ketakutan. Wajar saja dia tergoncang ketika mendapati dirinya membunuh seseorang. Lalu selagi dia berdiri,
mungkin
lumpuh
ketakutan, 50
genta
berbunyi.
Itu
mempengaruhinya sebagaimana kau, Tn. Phillips, tapi kondisi tersebut lebih menakutkan bagi seorang penakut. Genta berbunyi enam, tujuh, delapan—bahkan lusinan kali. Bagi Francis, sambil memandang orang yang sudah dibunuhnya di lantai, itu membuat gila, sulit dipahami. Dia memegang genta untuk menghentikan suara, lalu seraya ketakutan dia lari dari ruangan, mengunci pintu, dan keluar rumah. Pintu luar ditutup dengan kunci pegas. Dia akan pulang pada waktunya, sebab dia memang dibenarkan untuk membunuh Wagner.” Lagi-lagi Mesin Berpikir melirik arloji. Delapan belas menit dari tiga puluh tiga menit sudah berlalu. “Nah, perihal gentanya sendiri,” lanjutnya, “sejarahnya tidak terlalu penting. Ini asal Jepang dan kita tahu sangat tua. Kita asumsikan dari perilaku Tn. Matsumi bahwa ini objek—objek pemujaan,
katakan
begitu.
Kita
bisa
membayangkannya
bergantung di sebuah kuil; mungkin berbunyi di sana, dan didengarkan oleh orang banyak yang terkagum. Mungkin mereka menganggapnya
wahyu.
Setelah
raib
dari
Jepang—entah
bagaimana caranya—Tn. Matsumi tentu heran melihatnya di sini, dan sangat ingin membelinya. Kau menolaknya, Tn. Phillips. Lalu dia pergi kepada Wagner dan menawarkan beberapa ribu dolar untuk mendapatkannya. Ini menjelaskan surat Wagner dan kehadirannya di sini. Dia datang untuk mencuri benda yang tak bisa dibelinya. Penyangkalannya tentang genta ini sudah dijelaskan oleh pernyataan Detektif Mallory bahwa dia telah lama dicurigai menerima barang-barang curian. Dia menyangkal karena takut 51
ditangkap. “Boleh dibilang aku menganggap konstruksi genta ini cerdik, padahal tidak demikian. Ketika kutanya apa kau pernah merasakan bau ketika ini berbunyi, Tn. Phillips, aku berpikir mungkin kondisimu disebabkan oleh racun halus yang pernah menjadi celupan gong, yang partikelnya, ketika genta berbunyi, mungkin terpancar dan terhirup ke dalam paru-paru. Namun kujamin tak ada racun. Sampai di situ, kupikir.” “Tapi surat tersegel itu—” Dokter Perdue angkat bicara. “Oh, aku sudah membukanya,” jawabnya secara sambil lalu; tapi Dokter Perdue membaca peringatan di wajah sang ilmuwan. “Itu terkait dengan persoalan lain sama sekali.” Dokter Perdue memandangnya sebentar dan paham. Tanpa sadar Hatch meraba saku di mana dia menyimpan suratnya. Masih ada. Dia juga paham. Mesin Berpikir bangkit, menatap keluar jendela, lalu berpaling pada reporter. “Nah, Tn. Hatch,” pintanya, “tolong kau ke apartemen di seberang jalan itu, dan buka jendela belakang di koridor yang tadi kita datangi. Pastikan tetap terbuka selama dua puluh menit; lalu kembali kemari. Menjauhlah dari koridor selama jendelanya terbuka, dan jika memungkinkan, jangan sampai orang lain mendekat.” Tanpa berkata atau bertanya, Hatch beranjak pergi. Mesin Berpikir kembali terbenam ke kursinya, melirik arloji, lalu menuliskan sesuatu pada kartu yang kemudian diserahkan kepada Dokter Perdue. 52
“Ngomong-ngomong,” katanya menyimpang, “ada senyawa yang bagus untuk nyeri syaraf. Aku melihatnya tempo hari.” Dokter Perdue membaca kartunya. Di situ tertera: “Suratnya
berbahaya.
Mungkin
meramalkan
kematian.
Mengandung signifikansi keagamaan. Kuanjurkan Phillips jangan diberitahu.” “Akan kucoba kapan-kapan,” ujar Dokter Perdue. Hening dua atau tiga menit. Mesin Berpikir memutar-mutar arloji dengan jari kurusnya; Tn. Phillips duduk memandangi genta, tapi tak ada lagi ketakutan dalam sikapnya; justru penasaran. “Tiga menit lagi,” kata Mesin Berpikir. Jeda. “Dua menit!” Jeda lagi. “Satu menit! Tenang dan dengarkan!” Jeda lagi, lalu tiba-tiba: “Sekarang!” “Buuum!” genta berbunyi, seolah menggemakan ucapan tersebut. Tn. Phillips mulai sedikit kaget, dan jemari ilmuwan mencengkeram urat nadinya. “Buuum!” sekali lagi nada itu. Genta tergantung tak bergerak; gemerincing musikal menggelinding metodis, ritmis. Tiga! Empat! Lima! Enam! Tujuh! Delapan! Sembilan! Sepuluh! Ketika nada terakhir berbunyi, Mesin Berpikir menatap wajah Tn. Phillips, mencari kepahaman. Dia hanya menemukan kebingungan, dan dengan tak sabar memungut biola dan tongkatnya. “Ini!” serunya kasar. “Perhatikan gelas sampanyenya.” Dia mengetuk gelas mudah pecah tersebut, dan gelas itu pun bernyanyi melengking. Lalu, dengan biola, dia mengupayakan 53
paduan nada pengiring. Empat kali dia menggesek tongkat pada string, dan gelas pun membisu. Lalu biola menangkap titinada, dan gelas, tiga atau empat kaki jauhnya, bernyanyi bersamanya. Nada biola semakin keras, dan tiba-tiba, gelas pun roboh diiringi dentaman, pecah berkeping-keping di depan mata mereka. Tn. Phillips terbelalak heran. “Peragaan kecil dalam ilmu alam,” jelas Mesin Berpikir. “Dengan kata lain, vibrasi. Vibrasi membunyikan gelas ini, sebagaimana membunyikan genta pada gong di situ. Kau lihat aku membunyikan gelas; nada yang membunyikan genta adalah sebuah jam pada garis lurus di arah timur, setengah mil dari sini.” Tn. Phillips pertama-tama mengamati gelas yang pecah, lalu memandang ilmuwan. Setelah beberapa saat dia mengerti, dan perasaan lega yang tak terungkapkan menyapu wajahnya. “Tapi genta tidak selalu berbunyi ketika jendela terbuka,” Dokter Perdue keberatan. “Genta hanya bisa berbunyi ketika jendela ini dan kedua jendela koridor di lantai dua di seberang jalan terbuka—pada malam-malam yang hangat, misalnya,” jawab Mesin Berpikir. “Pada saat itu, angin pasti bertiup dari timur, jika tidak, takkan terjadi apa-apa. Hembusan udara, seseorang melintasi koridor, atau lusinan hal lain dapat menginterupsi gelombang suara yang sensitif dan mencegah semua dentingan jam menggapai genta di sini, sedangkan sebagiannya sampai. Tentu saja, genta manapun pada gong ini bisa dibunyikan dengan biola, atau, jika nadanya asli, dengan piano, dan mula-mula aku tahu ini. Tapi Tn. Phillips pernah 54
mendengar genta jauh setelah tengah malam—katakanlah jam dua pagi. Piano dan biola takkan dimainkan selarut itu, kecuali di sebuah pesta dansa. Tak ada pesta dansa di seberang jalan malam itu; karenanya kami sampai pada faktor nyata yang tersisa—jam. Bisa dilihat dari jendela belakang koridor lantai dua di sana. Semua ini logika, logika!” Jeda. Dokter Perdue, memandang wajah pasiennya, merasa tenteram dengan apa yang dilihatnya, dan kegembiraan profesional menegaskannya. “Alih-alih membuatmu gelisah, Phillips,” akhirnya dia berkata sambil tersenyum, “menurutku genta ini jam yang handal dan hebat.” Tn. Phillips meliriknya, wajah pucat dan lesu itu dilegakan oleh senyum tipis. Kemudian Hatch kembali dan untuk beberapa lama kumpulan kecil itu duduk di ruangan, membahas misteri. Perbincangan mereka disela oleh gemerincing genta, dan setiap orang berdiri dan mengamatinya lagi kecuali Mesin Berpikir. Mata julingnya masih tertengadah—dia bahkan tak berubah posisi. Genta berdenting sebelas kali, lalu hening. “Pukul sebelas,” kata Mesin Berpikir dengan sabar. “Kau membiarkan jendela di sana terbuka, Tn. Hatch.” Hatch mengangguk. Tn. Phillips tertidur di ranjang ketika Dokter Perdue dan Mesin Berpikir, diiringi Hatch, pergi. “Mau mampir ke tempatku dan memeriksa suratnya?” usul dokter. 55
Mesin Berpikir, di kantor Dokter Perdue, mengambil paket tersegel dari reporter dan membukanya. Dokter mengintip lewat bahu. Sang ilmuwan memicingkan mata, membaca halaman dengan raut yang sulit dimengerti, lalu menggumalkan surat, menyalakan korek api, dan membakarnya. “Tapi—tapi—” protes Dokter Perdue, sementara Hatch melihat wajahnya pucat aneh, “di situ tertulis bahwa—bahwa sebelas dentingan berarti—berarti—” “Kau tolol, Perdue!” bentak Mesin Berpikir, menatap lurus ke dalam mata sang dokter. “Bukankah sudah kutunjukkan mengapa dan bagaimana genta itu berbunyi? Kau berharap aku menerangkan segala takhayul primitif dari sebuah ras setengah beradab terkait genta itu.” Kertas terbakar, Mesin Berpikir menggumalkan abu dan menjatuhkannya di keranjang sampah. ***** Dua hari kemudian, Franklin Phillips sendirian lagi; hari keempat dia muncul di kantornya. Hari keenam pasar mulai merasakan genggaman sang maestro; hari kedelapan Francis ditahan dan menceritakan kisah yang identik dengan keterangan Mesin Berpikir perihal keraibannya; hari kesebelas Franklin Phillips ditemukan mati di ranjang. Di keningnya ada noda putih pasi, terlihat samar, berupa lingkaran dengan tiga bintik di dalamnya dan tiga sinar menjulur keluar. 56