JASAD NAKHODA Jacques Futrelle
2016
Jasad Nakhoda Diterjemahkan dari The Motor Boat karangan Jacques Futrelle terbit tahun 1906 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
K
APTEN
Hank Barber, kapten kapal barang, mencengkeram
pagar haluan Liddy Ann dan mengintip corengan gelap
yang memotong perairan hijau pudar di tengah kabut subuh. Ternyata itu sebuah perahu motor bergaris-garis panjang anggun; dan sesosok manusia duduk tegak di kemudinya sambil menatap ke depan. Perahu tersebut maju menembus gulungan ombak, sedikit terseok, lurus lagi, dan mencepat diselimuti lapisan air. Si juru mudi tak bergeming, tak menghiraukan cipratan yang terdorong oleh angin ke wajahnya. “Perahu itu pasti bergerak ke suatu tempat,” renung Kapten Hank. “Astaga! Kalau terus memasuki Boston Harbor, ia akan menabrak sisi Public Gardens ini.” Dengan penasaran Kapten Hank mengamati perahu itu sampai tertelan kabut, lalu berpaling kepada urusannya sendiri. Dia dua mil dari Boston Harbor, sedang menuju ke sana. Waktu itu jam enam pagi mendung. Beberapa menit pasca lenyapnya perahu motor tersebut perhatian Kapten Hank tertarik oleh lengkingan parau peluit dari jarak dua ratus yard. Samar-samar dia telusuri garis-garis raksasa sebuah kapal besar di antara kabut—kelihatannya kapal perang. Baru beberapa menit kehilangan perahu motor tadi, Kapten Hank melihatnya lagi. Kali ini ia melesat ke Boston Harbor dengan kecepatan penuh. Ia berlalu lewat, nyaris menyerempet haluan sebuah kapal pandu, dan diteriaki. Di meja mess, awak kapal pandu yang berjaga mengomentarinya. “Wuus! Tapi hebat juga, kan! Seumur hidup belum pernah aku 5
lihat kapal yang menyerempet kapal lain sedekat itu tanpa menggores catnya. Saking dekatnya, hampir-hampir bisa kuludahi. Waktu kutegur, orang itu bahkan tidak mendongak—terus saja berlalu. Kukatakan pada lelaki itu beberapa hal yang bagus untuk jiwanya.” Di dalam Boston Harbor, perahu motor tersebut melakukan keajaiban. Menempuh arus tak teratur dengan kecepatan lebih dari gawat, ia terombang-ambing menerobos gelombang laut tanpa peduli kabut, kedekatan kapal-kapal lain, atau sibakan air dari perahu yang lebih besar. Ia hampir kena kapal seret; ia berpapasan dengan kapal liar lambat dan diberi teriakan peringatan; ia disumpahi oleh seorang nelayan. Dan terakhir, saat memasuki ruang bebas, rupanya menuju sebuah dok dengan kecepatan tinggi, ia menjadi perahu paling dikutuk yang pernah masuk Boston Harbor. “Aku menebak itu perahu ekspres,” kelakar seorang pelaut lanjut usia sambil mengamatinya dari dok. “Jika si terkutuk itu tidak mengurangi kecepatan, ia akan menerobos semuanya— dermaga dan semuanya.” Si lelaki dalam perahu tetap tak bergerak; dengungan motornya, yang terdengar jelas dalam kesunyian, tak kunjung berkurang. Tiba-tiba peringatan gaduh diulang. Hanya kebetulan yang dapat mencegah tubrukan. Lantas Big John Dawson muncul di atas papan dok. Big John mempunyai suara yang kedalaman dan kelebarannya terkenal dari Newfoundland sampai Norfolk, serta daya umpat yang dihormati sekaligus dikagumi oleh armada 6
nelayan. “Dasar idiot!” lenguhnya kepada juru mudi yang tak tergerak. “Matikan tenaganya dan buang heliummu.” Tak ada tanggapan. Perahu itu terus maju ke arah dok di mana Big John dan rekan-rekannya berkumpul. Para nelayan dan pesantai
menyadari
akan
terjadi
tabrakan.
Mereka
pun
berhamburan dari dok. “Dasar terkutuk,” hardik Big John pasrah. Lalu terjadilah tubrukan, papan-papan terbelah, dan kesunyian merajalela kecuali deru motor yang berputar. Big John berlari ke ujung dermaga dan mengintip ke bawah. Kecepatan motor telah mendorong separuh perahu ke atas pelampung yang miring membahayakan. Lelaki itu terlempar ke depan, terbujur telungkup dan tak bergerak di atas pelampung. Air kotor menelannya dengan rakus. Big John jadi orang pertama di atas pelampung. Dia merangkak hati-hati menuju sosok terbujur ini dan membalik tubuhnya. Seketika dia menatap mata terbelalak, lantas berpaling kepada orang-orang penasaran yang mengintip dari dok. “Pantas saja dia tak mau berhenti,” katanya dengan nada terpana. “Terkutuk ini sudah mati.” Tangan-tangan memberi bantuan dan satu menit kemudian sosok tak bernyawa itu terbaring di dok. Pria ini berseragam— seragam angkatan laut asing. Tampaknya berumur 45 tahun. Badannya besar dan kekar dengan muka bahariawan yang cokelat oleh mentari. Kumis dan janggut hitamnya kontras dengan corak 7
wajah yang pucat. Rambutnya sedikit beruban, dan pada punggung tangan kirinya terdapat satu huruf—“D”—yang ditato dalam warna biru. “Dia orang Prancis,” kata Big John berwibawa, “dan itu seragam Kapten di AL Prancis.” Sesaat dia tampak bingung mengamati sosok tersebut. “Tapi sudah enam bulan tak ada kapal perang Prancis di Boston Harbor.” Setelah beberapa lama polisi datang bersama Detektif Mallory, pria besar dari Biro Penyelidikan Kriminal, dan terakhir Dr. Clough, Pemeriksa Medis. Sementara detektif menginterogasi para nelayan dan orang-orang yang menyaksikan tubrukan, Dr. Clough memeriksa mayat. “Perlu dilakukan otopsi,” umumnya seraya berdiri. “Sudah berapa lama dia mati?” tanya detektif. “Kira-kira delapan sampai sepuluh jam. Penyebab kematian tidak nampak. Tak ada luka tembak atau luka pisau sejauh yang kulihat.” Detektif Mallory mencermati pakaian mayat. Tak ada nama atau tanda tukang jahit; linennya baru; nama pembuat sepatu disobek dengan pisau. Sakunya tak berisi, tak ada sehelai kertas atau koin gelandangan sekalipun. Detektif Mallory mengalihkan perhatian pada perahu. Badan dan motornya produksi Prancis. Goresan panjang dan dalam pada setiap lambung menunjukkan bagaimana namanya dihapus. Di dalam perahu, detektif melihat sesuatu berwarna putih dan lalu dipungutnya. Ternyata sebuah saputangan, saputangan perempuan 8
dengan inisial “E.M.B.” di salah satu sudut. “Ah, ada wanita di dalamnya!” dia bersolilokui. Kemudian mayat diangkat dan dijauhkan dari intaian mata pers. Maka gambar orang mati ini tak pernah muncul. Reporter Hutchinson Hatch dan lain-lain melontarkan banyak pertanyaan. Samar-samar Detektif Mallory mengisyaratkan urusan internasional—orang mati itu adalah perwira Prancis, ungkapnya, dan mungkin ada sesuatu di balik ini. “Tak bisa kuceritakan semuanya,” ujarnya bijak, “tapi teoriku lengkap. Ini pembunuhan. Korban adalah kapten kapal perang Prancis. Jasadnya ditaruh di dalam perahu motor, mungkin bagian dari perkakas kapal perang, lalu perahunya dihanyutkan. Aku tak bisa bilang lebih banyak lagi.” “Kalau begitu teorimu lengkap,” ujar Hatch sepintas lalu, “kecuali soal namanya, cara kematiannya, motifnya, nama kapalnya, keberadaan saputangan, dan alasan persis kenapa tubuhnya harus dibuang dengan cara ini ketimbang dilempar ke laut.” Detektif
mendengus.
Hatch
pergi
untuk
melakukan
penyelidikan sendiri. Dalam enam jam dia sudah puas oleh isi telegram bahwa tak ada kapal Prancis dalam radius lima ratur mil dari Boston selama enam bulan terakhir. Demikianlah, misteri ini semakin dalam; timbul seribu pertanyaan tanpa jawaban. Pada titik ini, sehari pasca kejadian, masalah perahu motor mendapat perhatian Profesor Augustus S.F.X. Van Dusen, sang Mesin Berpikir. Ilmuwan tersebut mendengarkan cerita Hatch dengan tekun tapi ketus. 9
“Sudah ada otopsi?” akhirnya dia bertanya. “Dijadwalkan jam sebelas hari ini,” sahut reporter. “Sekarang sudah jam sepuluh lewat.” “Aku akan menghadirinya,” kata ilmuwan. Pemeriksa Medis Clough menyambut tawaran bantuan profesor ulung Van Dusen dalam kapasitasnya sebagai MD, sementara Hatch dan reporter lain mendinginkan jari-jari kaki mereka di pinggir jalan dengan tak sabar. Dalam dua jam otopsi selesai. Mesin Berpikir asyik mempelajari lencana pada seragam mayat, mempersilakan Dr. Clough untuk membuat pernyataan mengejutkan kepada pers. Orang itu bukan dibunuh, melainkan mati akibat gagal jantung. Tak ada racun di dalam perutnya, juga tak ada luka pisau atau tembak. Maka pers yang penasaran berdatangan dengan banjir pertanyaan. Siapa yang menggores nama perahu? Dr. Clough tak tahu. Kenapa digores? Dia pun tak tahu. Bagaimana caranya nama pembuat sepatu disobek? Dia mengangkat bahu. Apa kaitan saputangan dengan kejadian itu? Dia tak bisa menerka-nerka. Adakah firasat akan identitas mayat? Tidak sejauh yang dia tahu. Adakah bekas luka yang dapat mengarah kepada identifikasi? Tidak. Hatch membuat beberapa komentar batin tentang para pejabat secara umum dan menyetir Mesin Berpikir pergi dari reporter lain. “Apa orang itu mati akibat gagal jantung?” tanyanya datar. “Tidak,” jawabnya kaku. “Racun.” “Tapi Pemeriksa Medis merinci tak ada racun di dalam perut.” 10
Ilmuwan tak menyahut. Hatch melawan dan menahan keinginan untuk bertanya lebih banyak. Sesampai di rumah, tindakan pertama ilmuwan adalah membuka ensiklopedia. Setelah beberapa menit dia kembali kepada si reporter dengan wajah sulit dimengerti. “Sudah pasti, ide mati wajar dalam kasus ini adalah absurd,” tukasnya singkat. “Setiap fakta menentangnya. Nah, Tn. Hatch, tolong carikan semua koran lokal dan New York di hari penemuan mayat—bukan sehari sesudahnya. Kirim atau bawa mereka kepadaku, terus datang lagi jam lima sore ini.” “Tapi—tapi—” celetuk Hatch “Tak ada yang bisa kukatakan sampai aku tahu semua faktanya,” potong Mesin Berpikir. Secara pribadi Hatch mengantar koran-koran yang dimaksud ke tangan Mesin Berpikir—orang ini tak pernah baca koran— lantas pergi. Itu petang penderitaan; derita ketidaksabaran. Pada jam lima dia dipersilakan masuk ke laboratorium Profesor Van Dusen. Sang ilmuwan duduk setengah tertutupi koran, dan menyembul agresif dari tumpukan. “Itu pembunuhan, Tn. Hatch,” serunya sekonyong-konyong. “Pembunuhan dengan metode luar biasa.” “Siapa—siapa orang itu? Bagaimana dia dibunuh?” tanya Hatch. “Namanya—” kata ilmuwan, lalu berhenti. “Kukira kantormu punya buku Who’s Who in America? Tolong telepon mereka dan minta riwayat Langham Dudley.” 11
“Diakah orangnya?” desak Hatch cepat-cepat. “Entahlah,” jawabnya. Hatch menghampiri telepon. Sepuluh menit kemudian dia kembali dan mendapati Mesin Berpikir telah berdandan untuk pergi. “Langham Dudley adalah seorang pemilik kapal, umurnya 51 tahun,” si reporter membaca dari catatan yang dibuatnya. “Dulu dia anak kapal di depan tiang, terus menjadi pemilik kapal dengan cara sederhana. Dia sukses dalam bisnis sederhana dan sudah lima belas tahun menjadi jutawan. Dia punya kedudukan sosial tertentu, sebagian berkat isterinya yang dinikahi satu setengah tahun lalu. Isterinya adalah Edith Marston Belding, puteri keluarga mayshur Belding. Langham punya properti di North Shore.” “Bagus sekali,” komentar ilmuwan. “Sekarang kita akan caritahu bagaimana orang ini dibunuh.” Di North Station mereka naik kereta menuju tempat mungil di North Shore, 35 mil dari Boston. Di sana Mesin Berpikir melakukan beberapa penyelidikan dan akhirnya mereka naik kereta kuda yang lamban. Setelah setengah jam berkendara menembus gelap, mereka melihat lampu-lampu sebuah tempat tinggal pedesaan yang megah. Di suatu tempat di sebelah kanan, Hatch mendengar gemuruh laut resah. “Tunggu kami,” perintah Mesin Berpikir sewaktu kereta kuda berhenti. ***** 12
Mesin Berpikir memanjat anak tangga, diikuti Hatch, dan membunyikan bel. Setelah kurang-lebih satu menit pintu pun dibuka dan cahaya meluap keluar. Berdiri di hadapan mereka seorang Jepang—pria dengan umur sulit ditentukan dan wajah khas rasnya. “Apa Tn. Dudley ada di dalam?” tanya Mesin Berpikir. “Tidak suka beliau tinggal di rumah,” jawab si Jepang. Hatch tersenyum mendengar kata-kata yang dibalik dengan aneh. “Ny. Dudley?” tanya sang ilmuwan. “Ny. Dudley sedang mengenakan pakaian,” sahut si Jepang. “Mari masuk.” Mesin Berpikir menyerahkan sebuah kartu dan dipersilakan ke ruang tamu. Si Jepang menaruh kursi untuk mereka dengan ketelitian penuh santun, lalu menghilang. Tak lama, terdengarlah desiran rok sutera di tangga, dan masuklah seorang wanita—Ny. Dudley. Dia tidak cantik; tapi menarik, jangkung, tubuhnya megah dan dimahkotai semarak rambut hitam. “Tn. Van Dusen?” tanyanya sambil melihat kartu sepintas. Mesin Berpikir membungkuk rendah, meski kikuk. Ny. Dudley merosot ke sebuah sofa dan kedua pria ini kembali duduk. Ada jeda sejenak. Akhirnya Ny. Dudley memecah kesunyian. “Well, Tn. Van Dusen, kalau kau—” dia angkat bicara. “Kau belum baca koran beberapa hari ini?” tanya Mesin Berpikir tiba-tiba. “Belum,” jawabnya heran, hampir tersenyum. “Kenapa?” “Bisa beritahu aku di mana suamimu?” 13
Mesin Berpikir memicingkan mata kepadanya dengan cara agresif yang sudah jadi kebiasaan. Wajah Ny. Dudley langsung memerah, dan bertambah serius dengan penelitian tajam tersebut. Interogasi terbayang di matanya. “Entahlah,” akhirnya dia menjawab. “Di Boston, kukira.” “Kalian belum bertemu sejak malam pesta dansa?” “Ya. Kalau tak salah malam itu jam setengah dua lewat.” “Apa perahu motornya di sini?” “Sungguh, aku tak tahu. Kukira ada di sini. Boleh aku tanya maksud tanya-jawab ini?” Mesin Berpikir memicing keras selama setengah menit. Hatch merasa tak enak, bahkan setengah geram, atas kegelisahan sang wanita dan nada tajam dingin rekannya. “Di malam pesta dansa,” sambung ilmuwan, melewatkan pertanyaan tersebut, “lengan kiri Tn. Dudley tersayat persis di atas pergelangan. Cuma luka kecil. Sepotong plester dipasang. Kau tahu apa dia memasangnya sendiri? Kalau bukan, siapa?” “Aku,” jawab Ny. Dudley tanpa ragu, seraya penasaran. “Lalu plesternya milik siapa?” “Punyaku—aku simpan beberapa di ruang ganti. Memang kenapa?” Ilmuwan bangkit dan mondar-mandir, melirik satu kali ke luar pintu ruang depan. Ny. Dudley mengamati Hatch penuh selidik dan hendak bicara. Akan tetapi Mesin Berpikir berhenti di sampingnya dan memegang pergelangannya dengan jari-jari yang kurus. Dia tak tersinggung oleh tindakan tersebut, hanya bertanya-tanya 14
apakah dirinya sedang dinilai dari tatapan mata. “Kau siap dengan goncangan?” tanya ilmuwan. “Ada apa?” desaknya mendadak ngeri. “Ketegangan ini—” “Suamimu mati—dibunuh—diracun!” timpal ilmuwan dengan bengis. Jemarinya masih memegang urat nadi Ny. Dudley. “Plester yang kau pasang pada lengannya, yang berasal dari kamarmu, dipenuhi racun mematikan, tertanam seketika ke dalam darahnya.” Ny. Dudley tidak kaget atau menjerit. Dia justru bengong sesaat, wajahnya pucat, tubuhnya sedikit merinding. Lalu dia tumbang ke belakang di atas sofa. Pingsan seketika. “Bagus!” ujar Mesin Berpikir puas. Dan sewaktu Hatch terperanjat kaget, dia memerintah, “Tutup pintunya.” Reporter menuruti. Ketika dia kembali, rekannya sedang membungkuk di atas wanita yang tak sadarkan diri. Setelah beberapa saat, dia meninggalkannya dan mendekati sebuah jendela, memandang keluar. Hatch memperhatikan rona wajah Ny. Dudley sudah kembali. Akhirnya dia membuka mata. “Jangan histeris,” perintah Mesin Berpikir kalem. “Aku tahu kau tak ada kaitan dengan kematian suamimu. Aku cuma perlu sedikit bantuan untuk mencaritahu siapa pembunuhnya.” “Oh, ya Tuhan!” seru Ny. Dudley. “Mati! Mati!” Tiba-tiba air matanya tumpah dan selama beberapa menit keduanya menghormati dukacita wanita ini. Ketika akhirnya dia mengangkat wajah, matanya masih merah, tapi ada ekspresi kaku di sekitar mulut. “Kalau ada yang bisa kubantu—” mulainya. 15
“Apa yang kulihat dari jendela ini adalah rumah perahu?” tanya Mesin Berpikir. “Bangunan panjang rendah dengan lampu di atas pintu itu?” “Ya,” jawab Ny. Dudley. “Tadi kau bilang tidak tahu apakah perahu motornya ada di sana sekarang?” “Ya, aku tidak tahu.” “Maukah kau tanya pembantu Jepangmu, dan kalau dia tidak tahu, suruh dia periksa?” Ny. Dudley bangkit dan menyentuh tombol elektrik. Beberapa saat kemudian si Jepang menampakkan diri di ambang pintu. “Osaka, kau tahu apa perahu motor Tn. Dudley ada di rumah perahu?” tanyanya. “Tidak, nyonya.” “Bisakah kau periksa?” Osaka membungkuk rendah dan pergi, menutup pintu lemahlembut. Mesin Berpikir menyeberang lagi ke jendela dan bertengger menatap malam di luar. Ny. Dudley bertanya, banyak bertanya, dan dijawab berurutan oleh Mesin Berpikir sampai dia tahu setiap detil penemuan jasad suaminya—yaitu detil-detil yang diketahui khalayak. Ny. Dudley disela oleh kembalinya Osaka. “Aku tak temukan perahu motor di rumah itu, nyonya.” “Sudah cukup,” kata ilmuwan. Lagi-lagi Osaka membungkuk dan mohon diri. “Nah, Ny. Dudley,” lanjut Mesin Berpikir nyaris lemahlembut, “kita tahu suamimu mengenakan kostum AL Prancis di 16
pesta topeng. Boleh aku tanya apa yang kau pakai?” “Kostum Ratu Elizabeth,” sahut Ny. Dudley, “sangat berat dengan ekor yang panjang.” “Boleh minta foto Tn. Dudley?” Ny. Dudley langsung meninggalkan ruangan dan kembali seraya membawa foto kartu kabinet. Hatch dan sang ilmuwan mengamatinya bersama-sama. Tak salah lagi, itu pria dalam perahu motor. “Kau tak bisa berbuat sendiri,” kata Mesin Berpikir, dan bergerak seolah hendak pergi. “Dalam beberapa jam kami akan dapatkan orang bersalah itu. Kau boleh yakin namamu takkan diseret ke dalam urusan ini.” Hatch melirik rekannya. Dia mendeteksi nada jahat dalam suara menenteramkan itu, tapi tak ada ekspresi wajah. Ny. Dudley mengantar mereka ke koridor. Osaka berdiri di pintu depan. Mereka berlalu keluar dan pintu pun ditutup. Hatch mulai menuruni tangga tapi Mesin Berpikir berhenti di pintu dan mondar-mandir menginjakkan kaki. Si reporter balik lagi sambil keheranan. Dalam pantulan cahaya redup dia lihat telunjuk ilmuwan teracung, menyuruh diam, terus telinganya ditempel ke pintu. Tak lama kemudian sang ilmuwan mengetuk pelan. Pintu dibukakan oleh Osaka. Pria ini menuruti isyarat tangan Mesin Berpikir dan beranjak keluar. Tanpa suara, dia digiring dari beranda ke pekarangan. Dia tidak terlihat kaget. “Tuanmu, Tn. Dudley, telah dibunuh,” terang Mesin Berpikir pelan-pelan kepada Osaka. “Kami tahu Ny. Dudley membunuh17
nya,” sambungnya sementara Hatch bengong, “tapi aku bilang padanya dia tak dicurigai. Kami bukan polisi dan tak berhak menahannya.
Bisakah
kau
ikut
kami
ke
Boston
tanpa
sepengetahuan siapapun di sini dan ceritakan apa yang kau tahu soal pertengkaran suami-isteri itu kepada polisi?” Osaka menatap raut tajamnya dengan tenang. “Aku mendapat kehormatan untuk percaya bahwa situasi ini takkan disadari,” akhirnya dia berkata. “Berhubung kau tahu, aku bersedia ikut.” “Kami akan berkendara sedikit dan menunggumu.” Si Jepang menghilang lagi ke dalam rumah. Hatch terlalu syok untuk bicara, tapi mengikuti Mesin Berpikir naik kereta kuda. Kendaraan ini melaju sejauh seratus yard dan berhenti. Lewat beberapa menit sebuah bayangan halus datang ke arah mereka menembus malam. Sang ilmuwan mengintip kedatangannya. “Osaka?” tanyanya pelan. “Ya.” Satu jam kemudian mereka bertiga berada di atas kereta, menuju Boston. Setelah duduk nyaman, ilmuwan berpaling kepada si Jepang. “Nah, maukah kau ceritakan apa yang terjadi di malam pesta dansa itu?” tanyanya, “dan insiden yang mengarah kepada percekcokan antara Tn. dan Ny. Dudley?” “Tuan minum berlebihan,” jelas Osaka segan, dalam bahasa Inggris aneh, “dan saat minum beliau bersikap kasar terhadap nyonya. Dua kali kulihat dengan mataku sendiri beliau memukul18
nya—satu kali di Jepang di mana aku mulai bekerja untuknya selagi mereka berbulan madu, dan satu kali di sini. Pada malam pesta dansa, beliau mabuk berat, dan saat berdansa beliau roboh ke lantai. Nyonya kesal dan marah—dia sudah marah sebelumnya. Terjadi pertengkaran yang tak kupahami penuh. Sudah beberapa bulan mereka berselisih. Tentu saja itu tak mencolok di depan orang lain.” “Lantas luka pada lengan berplester?” tanya ilmuwan. “Bagaimana dia mendapatkannya?” “Itu saat beliau roboh,” lanjut si Jepang. “Beliau mengulurkan tangan untuk merangkul kursi berukir. Kayu ukir melukai lengannya. Aku membantunya berdiri dan nyonya menyuruhku ke kamarnya untuk mengambil plester. Aku memperolehnya dari meja rias. Lalu dia tempelkan pada lukanya.” “Itu membuat bukti pemberatnya betul-betul tak diragukan,” kata Mesin Berpikir seolah menyudahi. Ada jeda sebentar, dan kemudian: “Apa kau tahu bagaimana Ny. Dudley menempatkan mayat di dalam perahu?” “Aku tak mendapat kehormatan itu,” kata Osaka. “Bahkan aku tak tahu apapun yang terjadi pasca pemasangan plester kecuali bahwa Tn. Dudley terharu dan pergi keluar rumah. Ny. Dudley juga tak berada di ruang dansa selama kira-kira sepuluh menit setelah itu.” Hutchinson Hatch memelototi wajah Mesin Berpikir terangterangan; tak ada yang bisa dibaca di sana. Masih khusyuk berpikir, Hatch mendengar juru rem meneriakkan “Boston” dan 19
otomatis membuntuti sang ilmuwan dan Osaka keluar dari stasiun menuju sebuah taksi. Mereka langsung diantar ke Markas Besar Kepolisian. Detektif Mallory hendak pulang saat mereka masuk ke kantornya. “Mungkin kau akan tercerahkan, Tn. Mallory,” umum dingin sang ilmuwan, “kalau tahu bahwa pria dalam perahu itu bukan perwira AL Prancis yang mati dengan wajar—dia adalah Langham Dudley, jutawan pemilik kapal. Dia dibunuh. Kebetulan aku tahu pelakunya.” Detektif bangkit keheranan dan memelototi sosok ramping di depannya; dia terlalu hafal orang ini untuk menyangsikan pernyataan apapun yang dibuatnya. “Siapa pembunuhnya?” tanyanya. Mesin Berpikir menutup pintu, kunci pegas berbunyi klik. “Itu orangnya,” ujarnya kalem, berbalik pada Osaka. Seketika hening. Lantas detektif menghampiri si Jepang dengan tangan terulur. Osaka yang gesit tiba-tiba melompat, seperti ular menyambar. Terjadi pergulatan cepat dan sengit, lalu Detektif Mallory terlentang di lantai. Dengan satu puntiran pergelangan tangan—trik jiu jitsu—Osaka membantingnya ke pintu terkunci. Sambil meraba-raba, Hatch sengaja dan tanpa sesal mengangkat sebuah kursi dan menimpakannya ke kepala Osaka. Dia pun merosot tanpa suara. Satu jam kemudian mereka menyadarkannya kembali. Sementara itu detektif sudah mengelus-elus setengah lusin lebam yang didapat tanpa diduga, dan sudah menggeledah Osaka. Dia tak 20
menemukan barang menarik selain sebuah botol kecil. Dia membuka sumbatnya dan mulai mencium tapi direbut oleh Mesin Berpikir. “Dasar bodoh, kau bisa mati!” serunya. ***** Osaka duduk di kantor Detektif Mallory dengan tangan dan kaki terikat ke kursi—ditempatkan demikian oleh detektif untuk berjaga-jaga. Wajahnya tak lagi tanpa ekspresi; di situ ada ketakutan, pengkhianatan, dan kelicikan. Jadi dia terpaksa mendengarkan paparan kasus oleh Mesin Berpikir yang bersandar di kursi sambil terus memicing ke atas dan merapatkan jemari panjang tipis. “Dua tambah dua sama dengan empat, bukan terkadang tapi selalu,” mulainya seolah membantah suatu pernyataan. “Sebagaimana angka ‘dua’ yang terputus dari angka lain menjadi indikasi kecil sebuah hasil, demikian pula halnya fakta sepele yang terpisah. Tapi fakta tersebut ditambah fakta lain, dan hasilnya ditambahkan dengan fakta ketiga, dan seterusnya, akan membuahkan hasil akhir. Hasil itu, jika setiap fakta dipertimbangkan, pasti benar. Begitulah setiap masalah dipecahkan oleh logika; logika tak dapat dihindari. “Dalam kasus ini, fakta-faktanya, jika ditimbang satu-satu, mungkin cocok dengan kematian wajar, bunuh diri, atapun pembunuhan—tapi
jika
ditimbang 21
bersama,
membuktikan
pembunuhan. Klimaks bukti ini adalah penghapusan nama produsen dari sepatu mayat, dan fakta paling mendukung adalah upaya perusakan identitas perahu. Pikiran cerdik berada di balik itu semua.” “Kuakui hal itu,” kata Detektif Mallory. “Aku yakin itu pembunuhan sampai Pemeriksa Medis—” “Kita sedang membuktikan pembunuhan,” sambung Mesin Berpikir dengan tenang. “Modusnya? Aku ikut Dr. Clough waktu otopsi. Tak ada luka tembak, atau luka pisau, tak ada racun dalam perut. Paham terjadi pembunuhan, aku cari lebih jauh. Lalu kutemukan modus pada luka kecil bergerigi di lengan kiri. Itu ditutup plester. Jantung menunjukkan penyempitan tanpa sebab jelas, dan selagi Dr. Clough memeriksanya, kucabut plester itu. Baunya tidak biasa, memberitahuku bahwa racun ditanam ke dalam darah lewat luka. Jadi dua tambah dua sama dengan empat. “Lantas—racun apa? Pengetahuan botani membantuku. Aku mengenali jejak bau herbal yang bukan semata berasal dari Jepang, tapi hanya tumbuh di sana. Berarti racun Jepang. Analisa di laboratoriumku kemudian membuktikan itu memang racun Jepang, mematikan, dan lambat beraksi kecuali kalau ditaruh langsung ke dalam pembuluh nadi. Racun pada plester dan racun yang kau sita dari Osaka adalah identik.” Sang ilmuwan membuka sumbat botol dan menjatuhkan setetes cairan hijau ke saputangannya. Dibiarkannya satu menit atau lebih agar menguap, terus disodorkan kepada Detektif Mallory yang mengendus dari jarak sopan. Kemudian Mesin 22
Berpikir mengeluarkan potongan plester yang diambil dari lengan mayat, dan lagi-lagi detektif mengendus. “Sama,” lanjut ilmuwan seraya mendekatkan nyala korek api ke saputangan dan memperhatikannya hancur jadi abu, “dan saking kuatnya, dihirup dalam status murni pun sudah mematikan. Kuizinkan Dr. Clough mengumumkan pendapatnya pasca otopsi— gagal jantung—untuk alasan nyata. Itu akan menenangkan si pembunuh kalau-kalau melihatnya diterbitkan, dan lagipula Dudley memang mati akibat gagal jantung; disebabkan oleh racun. “Selanjutnya identifikasi. Tn. Hatch mendapat info bahwa tak ada kapal perang Prancis dalam radius bermil-mil dari Boston selama beberapa bulan ini. Kapal yang dilihat oleh Kapten Barber mungkin milik kita sendiri. Orang itu disangka perwira AL Prancis, dan sudah tewas kurang dari delapan jam. Jelas-jelas dia bukan berasal dari kapal negaranya. Lantas dari mana? “Aku tak tahu apa-apa soal seragam, tapi kuperiksa lencana di lengan dan bahunya, kemudian membuka ensiklopedia. Maka aku tahu, meski lebih mirip Prancis daripada negara manapun, sebetulnya itu seragam tanpa negara, sebab wujudnya tidak benar. Lencana itu dicampur. “Terus? Ada beberapa kemungkinan, salah satunya adalah pesta baju. Akurasi mutlak tidak begitu penting di situ. Di mana pernah diadakan pesta baju? Kupercayakan pada suratkabar untuk memberitahuku. Dan berhasil. Berita pendek dari sebuah tempat di North Shore menyatakan bahwa pada malam sebelum orang itu ditemukan tewas, ada pesta baju di perkebunan Langham Dudley. 23
“Nah, sebagaimana pentingnya mempertimbangkan setiap angka dalam aritmetika, penting pula mengingat setiap fakta dalam memecahkan masalah. Dudley! Di tangan mayat tertato huruf ‘D’. Buku Who’s Who menunjukkan Langham Dudley menikahi Edith Marston Belding. Di saputangan tertera ‘E.M.B.’ Langham Dudley adalah pemilik kapal yang dulunya pelaut, seorang jutawan. Barangkali itu perahunya sendiri yang dibangun di Prancis.” Detektif Mallory menatap mata Mesin Berpikir dengan takjub terang-terangan. Osaka, yang sejauh ini mengira narasi tersebut tidak menyangkut orang tertentu, membelalak terpaku, seakanakan terpesona. Hutchinson Hatch meminum setiap kata dengan rakus. “Kami pergi ke tempat Dudley,” sambung ilmuwan setelah beberapa saat. “Si Jepang ini membukakan pintu. Racun Jepang! Dua tambah dua tetap sama dengan empat. Tapi aku lebih dulu tertarik pada Ny. Dudley. Dia tak menampakkan gejolak dan berkata blak-blakan bahwa dirinya yang memasang plester pada lengan sang suami, dan bahwa itu berasal dari kamarnya. Seketika timbul keraguan soal kaitannya dengan pembunuhan ini; gara-gara sikap terus-terangnya. “Akhirnya, sambil memegang urat nadinya—yang normal— kuceritakan sebengis mungkin bahwa suaminya telah dibunuh. Denyut nadinya melompat syok dan saat kukatakan penyebab kematiannya, denyutan jadi tak stabil, melemah, kemudian dia pingsan. Nah, andaikata dia sudah tahu suaminya mati—jikapun dia yang membunuh—pengumuman kematian semata takkan 24
memicu denyutan seperti itu. Terlebih aku ragu apa dia mampu membuang jasad suaminya ke dalam perahu motor. Pria itu bertubuh besar dan gaya pakaian Ny. Dudley tidak mendukung hal ini. Maka dari itu dia tak bersalah. “Lalu? Si Jepang ini, Osaka. Aku bisa lihat pintu rumah perahu dari ruangan kami berada. Ny. Dudley bertanya kepada Osaka: apa perahu milik Tn. Dudley ada di rumah itu. Dia jawab tidak tahu. Ny. Dudley menyuruhnya memeriksa. Dia kembali dan berkata perahunya tak ada di sana, padahal dia belum pergi ke rumah perahu itu sama sekali. Berarti dia sudah tahu perahunya tidak di sana. Memang bisa saja dia dengar dari pembantu lain, tapi poin itu tetap memberatkannya.” Sekali lagi sang ilmuwan berhenti dan memicingkan mata kepada si Jepang. Sesaat Osaka melawan tatapan itu, lalu sorot matanya bergeser dan dia bergerak-gerak tak nyaman. “Aku mengecoh Osaka agar datang kemari dengan trik sederhana,” sambung Mesin Berpikir. “Di dalam kereta aku bertanya apa dia tahu bagaimana Ny. Dudley memasukkan mayat suaminya ke dalam perahu. Ingat, pada titik ini Osaka seharusnya tidak tahu bahwa mayatnya ada dalam perahu. Dia jawab tak tahu, tapi justru dengan jawaban itulah dia mengakui dirinya tahu mayat tersebut ditempatkan di dalam perahu. Dia tahu sebab dia sendiri yang menaruhnya. Dia tidak melemparnya ke air karena punya firasat itu akan mengambang, dan berpotensi ditemukan, jika gelombang tidak menghanyutkannya. “Setelah sedikit cedera, Tn. Dudley keluyuran ke rumah 25
perahu. Racun sedang bekerja, dan barangkali dia ambruk. Terus orang ini menghapus semua tanda pengenal, bahkan sampai nama di sepatu, menempatkan tubuhnya di dalam perahu dan memasang tenaga penuh. Dia berhak beranggapan perahu itu akan nyasar, atau mayatnya akan terlontar. Angin, ombak, dan kemudi longgar menyeretnya ke Boston Harbor. Aku takkan berusaha menerangkan keberadaan saputangan Ny. Dudley di dalam perahu. Mungkin itu sampai ke sana dengan salah satu dari ratusan cara.” “Bagaimana kau tahu suami-isteri itu habis bertengkar?” tanya Hatch. “Dia tak tahu di mana suaminya berada,” jawab Mesin Berpikir. “Jika mereka cekcok hebat, kemungkinannya sang suami akan pergi tanpa memberitahu, dan dia takkan merasa cemas, setidaknya sampai kita datang berkunjung. Dia mengira Tn. Dudley ada di Boston; barangkali Osaka ini memberinya kesan demikian?” Mesin Berpikir berpaling dan menatap si Jepang dengan penasaran. “Apa itu betul?” tanyanya. Osaka tak menjawab. “Lalu motifnya?” tanya Detektif Mallory. “Mau beritahu kami kenapa kau bunuh Tn. Dudley?” tanya Mesin Berpikir. “Tidak,” seru Osaka tiba-tiba. Itu pertama kalinya dia angkat suara. “Mungkin ada kaitannya dengan seorang gadis di Jepang,” 26
jelas Mesin Berpikir enteng. “Pembunuhan ini adalah proyek yang sudah lama dipendam, seperti terilhami dendam cinta.” Kira-kira sehari kemudian Hatchinson Hatch mampir untuk memberitahu Mesin Berpikir bahwa Osaka sudah mengaku dan menyampaikan motif pembunuhan. Ceritanya tidak mengenakkan. “Salah satu hal paling mengherankan bagiku,” imbuh Hatch, “adalah bukti tak langsung yang memberatkan Ny. Dudley, dimulai dari pertengkaran dan mengarah pada pengolesan racun dengan tangannya sendiri. Aku yakin dia sudah dinyatakan bersalah dengan bukti aktual tak langsung andai tidak kau tunjukkan Osaka pelakunya.” “Persetan bukti tak langsung!” bentak Mesin Berpikir. “Aku takkan menyatakan seekor anjing bersalah mencuri selai hanya berdasarkan bukti tak langsung, sekalipun hidungnya berlumuran selai.” Sejenak dia memicing tajam pada Hatch. “Lagipula anjing baik tidak makan selai,” tambahnya lebih lunak.
27