PENCURI & WANITA HANTU Jacques Futrelle
2014
Pencuri & Wanita Hantu Diterjemahkan dari Problem of the Ghost Woman karangan Jacques Futrelle terbit tahun 1907 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
R
UBY
REAGAN, pembobol ulung, sedang sibuk tapi senyap
dengan praktek profesinya. Sol karetnya berderap tanpa
suara di atas karpet sewaktu melangkah ke dalam kamar kerja yang suram lalu menutup pintu pelan-pelan. Untuk waktu lama dia berdiri membisu, mendengarkan, meraba dengan satu indera samar guna mencari keberadaan orang lain. Kemudian dia menyorotkan senter elektriknya. Sebuah meja perpustakaan berdaun datar persis ada di hadapannya, diseraki buku-buku, dan di sebelah kiri terdapat meja tulis gulung yang besar sekali. Ada beberapa kursi, satu lemari kaca, dan deretan lemari buku. Pencermatannya, singkat tapi menyeluruh, dirasa memuaskan. Senter mendadak padam. Berputar di jalurnya, dia menyorongkan selot pintu ke soketnya perlahan-lahan, demi menghindari bunyi klik. Selanjutnya dia melepas pegangan-pegangan pada salah satu jendela, yang mungkin diperlukan untuk meninggalkan ruangan bilamana seseorang masuk lewat pintu satu-satunya. Lalu dia duduk untuk bekerja. Yang pertama adalah meja tulis. Setelah inspeksi teliti dan panjang terhadap grendelnya, dia berlutut dan mulai mencoba-coba kunci rangka. Senter elektrik, dengan cahaya terfokus, ada di daun meja sebelah kiri, menerangi grendel dan memberi pancaran merah rubi pada rambutnya. Di daun meja sebelah kanan, dalam jangkauan instan, ada revolver miliknya. Nyaris setengah jam kemudian grendel menyerah, lalu dengan desahan lega, Reagan berhati-hati mendorong gulungnya ke atas. Di dalamnya dia menemukan boks logam. Dari banyak kotak dia menarik berbagai jenis dokumen, menebarkannya dengan kasar 5
setelah diperiksa satu persatu. Kemudian dia meneliti laci demi laci, mencermati setiap barang sebelum ditaruhnya. “Pasti ada dalam boks,” pikirnya. Duduk datar di lantai, dengan boks di antara kedua lutut, dia mencurahkan bakatnya pada benda tersebut. Setelah beberapa menit, grendel berbunyi klik, dan tutup logam terangkat. Lagi-lagi Reagan tersenyum, sebab di dalamnya ada berbundel-bundel uang kertas. Tapi setelah sesaat, uang-uang itu juga ditumpahkan ke lantai. Ada barang lain yang dia cari. “Aneh sekali,” katanya pada diri sendiri. “Tak ada di sini.” Dia berhenti sambil merenung, sementara matanya terpaku berbinar pada bundel-bundel uang. “Tentu saja, jika aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan, aku akan ambil apa yang kudapatkan,” lanjutnya. Dia pun mengantongi uang-uang tersebut. Beberapa kali dia menyisir rambut merahnya dengan jari. Jelas sekali dia kebingungan. Dia hendak bangkit untuk meneruskan penyelidikannya ke arah lain ketika mendengar sesuatu. Sebuah suara—suara yang tenang, menenteramkan, mengenakkan—sekitar empat belas inchi di belakang telinga kanannya. “Jangan coba-coba ambil revolvermu!” anjur suara itu. “Jika kau lakukan itu, akan kutembak!” Tanpa sadar tangan Reagan meluncur ke arah senjata di atas daun meja, tapi ditarik kembali begitu mendengar bunyi klik tajam di belakangnya. Terperanjat sesaat, dia duduk lagi di lantai, setengah menyangka akan ditembak. Ternyata tidak. Dia pun memutar kepala untuk mencaritahu sebabnya. 6
Apa yang dilihatnya membuatnya heran. Sesuatu yang transparan, melayang, putih, menyerupai renda—sosok seorang gadis. Betulkah seorang gadis? Kepalanya berlapis putih, wajahnya ditutupi sesuatu yang berkabut, kabur, seperti kudung, dan dalam cahaya redup terpantulkan, sosok tersebut tampak tidak nyata. Tapi tadi memang suara seorang gadis. “Tolong duduk dengan baik, dan jangan berisik!” anjur suara itu lagi. Ya, itu suara seorang gadis. Reagan memperhatikan revolver kecil berlapis emas di tangan kanan gadis itu, dengan laras terarah lurus ke kepalanya dari jarak kurang-lebih satu kaki. Dan tetap kokoh tanpa gemetaran ataupun gigilan. “Ya, baik,” jawabnya. Sosok putih itu berjalan mengelilinginya—atau melayang?— dan memungut revolver milik Reagan dari meja. “Kau Tn. Reagan, bukan?” selidiknya. “Ya,” jawab Reagan. Pengakuan ini keluar dengan kaget. “Sudah menemukannya?” “Belum.” Apa makhluk ini nyata? Reagan mengucek mata dengan ragu. Dirinya pasti bermimpi. Sebentar lagi akan bangun. Dia membuka mata lagi. Ya, sosok itu ada. Tapi tidak nyata—tidak mungkin nyata—dia hantu. Dia tak ada di ruangan saat Reagan masuk, dan tak mungkin dia masuk kemudian sebab Reagan sudah menyelot pintunya dari dalam. “Aku minta padamu, Tn. Reagan,” lanjut hantu wanita itu, 7
“keluarkan semua uang dari sakumu dan kembalikan ke dalam boks.” Sesaat Reagan memandangi ujung revolver, hantu wanita itu menggeliat-geliut. Bagaimanapun, dia cukup nyata. Serta-merta dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, Reagan mulai memuntahkan bundel-bundel uang kertas. Lalu akhirnya mendongak lagi. “Kau baru mengembalikan delapan bundel,” kata hantu wanita kalem. “Kau mengambil sembilan.” “Ya,” ujar Reagan. Dia merogoh sakunya lagi, dalam kondisi semi-hipnotis, mengeluarkan uang tambahan, dan menyimpannya bersama yang lain. Ditutupnya penutup logam, dipasangnya grendel. “Bagus,” katanya gembira. “Sekarang, lanjutkan urusanmu.” Reagan mulai bangkit, agak kikuk, merangkak. Si hantu wanita mundur sedikit, tapi tidak cukup jauh. Ketika Reagan berdiri, lengannya membentur bagian bawah pergelangan tangan si hantu dengan keras dan membuat kedua revolver beterbangan. Dengan gerak cepat, Reagan menyambar senter elektrik dari meja, mematikannya. Ada suara rontaan kaki dalam kegelapan, seperti sedang bersusah-payah, lalu pekikan pelan, dan akhirnya tembakan pistol. Reagan terhuyung-huyung di ruangan, mencari pintu. Dia mendapatinya masih terselot dari dalam, dan menariknya dengan kalut. Lalu datanglah suara kaki-kaki berat berlari sepanjang lorong menuju kamar kerja, Reagan pun berhenti. Jendela! Itu satu-satunya jalan sekarang! Tembakan tadi sudah membangunkan 8
seisi rumah. Dia bergegas ke arah jendela, tapi jendelanya tak mau bergerak. Kegegeran timbul di pintu. Dengan putus asa Reagan mencari pegangan samping pada jendela, tapi rupanya pegangan-pegangan itu sudah hilang. Pintu bergetar begitu seorang berbadan berat menghantamnya.
Selot
akan
kalah—sedang
kalah—Reagan
mendengar retakan kayu. Lalu dia meninju kaca, naik ke atas kursi, dan menghempaskan diri keluar. Pintu remuk akibat serangan gencar dan berayun ke dalam. ***** Keesokan paginya, Chester Mills, seorang saudagar kaya, bertamu ke Detektif Mallory, kepala biro investigasi kriminal. “Aku punya tanah pedesaan luas, empat puluh mil dari kota,” Mills tiba-tiba bicara. “Kemarin tanggal terakhir. Aku pergi ke bank dan menarik sembilan ratus dolar, dan menyimpannya dalam boks logam di meja tulisku di rumah dan mengunci boks maupun mejanya. “Aku pergi tidur jam sebelas. Sekitar jam dua pagi ini aku dengar tembakan pistol di kamar kerja. Aku loncat dari ranjang dan bergegas ke lorong menuju kamar kerja, dan dalam perjalanan bertemu salah satu pembantuku, O’Brien. Kami mendapati kamar kerja terkunci, dan kami mulai mendobrak pintunya. Sementara itu, kami mendengar dentaman kaca di dalam. “Kami berhasil mendobrak pintu, lalu O’Brien menyalakan 9
lampu listrik. Satu dari dua jendela remuk, seolah-olah ada yang baru melompat atau dilempar menerobosnya. Meja tulisku dirampok, dokumen-dokumenku bertebaran di lantai. Meja tulis terbuka, dan aku memungut boksnya. Ada lubang peluru di situ. Peluru masuk dari atas dan keluar lewat samping. Aku menemukannya bersarang di meja. Kaliber 32. Ini.” Mills melempar proyektil timah yang bentuknya sudah rusak ke atas meja, Detektif Mallory memeriksanya. “Lalu aku menemukan teka-teki pertama,” sambung Mills. “Aku membuka boks dan kuhitung uangnya. Bukannya hilang, jumlahnya lebih dari saat aku menyimpan boks ke dalam meja. Waktu itu hanya sembilan ratus dolar, diverifikasi oleh kasir dan aku sendiri, sekarang ada sembilan ratus sepuluh dolar—tambahan uang kertas sepuluh dolar.” Detektif Mallory mengunyah cerutunya, bingung. “O’Brien menemukan topi hitam hitam lunak di ruangan, dekat pintu,” lanjut Mills, “revolver, kaliber 38, semua biliknya terisi, mantel, senter elektrik yang terlempar ke lantai dan rusak, dan perlengkapan mencuri. Aku mengatur para wanita, menggeledah rumah, dan kembali tidur. Sejauh yang kuketahui, tak ada yang dicuri—tak ada yang hilang.” “Well, kalau demikian—” kata detektif angkat bicara. “Aku belum mulai,” potong Mills singkat. “Jendelanya remuk, seperti kubilang. Jadi ketika kami tidur lagi, kami tugaskan O’Brien berjaga di kamar kerja. Sekitar jam setengah empat aku terbangun lagi oleh sebuah jeritan—seorang wanita. Sekali lagi 10
aku loncat dan berlari menuju kamar kerja. Lampu-lampu menyala, tapi tak ada tanda keberadaan O’Brien. Waktu itu aku mengira perhatiannya tersita oleh jeritan tadi dan dia pergi untuk menyelidiki. Tapi—Well, O’Brien menghilang. Sejak saat itu tak ada yang melihat atau mendengarnya—tak ada jejak.” Detektif Mallory duduk terkelu lama sekali, sambil merokok, menatap mata tamunya. ***** Pada titik ini, masalah tersebut sudah berada di bawah tinjauan ahli logika ulung, Profesor Augustus S.F.X. Van Dusen—sang Mesin Berpikir. Sementara reporter Hutchinson Hatch menceritakan fakta-fakta yang telah diketahui, ilmuwan masyhur itu menyipitkan matanya, biru berair, dan mengerutkan dahi tinggi mirip kubah. “Kenapa mesti ada tembakan?” Dalam kebingungan Hatch mendesak sang ilmuwan. “Dan siapa yang menembakkannya? Apa ada dua maling? Apa mereka berkelahi? Apa yang satu terluka? Terdapat bercak-bercak darah di tanah di luar jendela, kami yakin siapapun yang melompat keluar pasti tergores kaca. Lalu kenapa ada lubang tembakan pada boks timah? Bukan untuk menjebol grendel, pastinya; sebab itu bisa dibawa pergi. Dari mana uang sepuluh dolar ganjil dalam boks itu? Di mana O’Brien? Siapa wanita yang menjerit pada kali kedua? Kenapa dia menjerit? Kenapa tak ada yang dicuri?” Setelah lega menyemburkan pertanyaan-pertanyaan ini, Hatch 11
bersandar kembali di kursinya dengan penuh harap lalu menyalakan cerutu. Mesin Berpikir menyorotkan mata mencela kepada pemuda tersebut sekejap. “Dan kau masih belum mengajukan satu pertanyaan vital,” ucapnya ketus. “Yakni, apa benda di kamar kerja itu, atau diduga di kamar kerja itu, yang begitu penting bagi seseorang yang tak dikenal sampai-sampai ada dua upaya nekad, boleh kubilang berani, untuk mendapatkannya di malam yang sama?” “Menurutku itu mustahil diketahui, sebelum—” “Tak ada yang mustahil, Tn. Hatch. Ini cuma soal kecil dalam aritmetika. Dua tambah dua sama dengan empat, bukan terkadang tapi selalu. Masalah ini, untuk sementara, tampak terpotong, terutama bila kita pertimbangkan raibnya O’Brien. Maka, pertamatama, apakah Tn. Mills yakin tak ada yang dicuri?” “Tentu saja,” jawab Hatch. “Dia sudah mengecek setiap dokumen, dan menghitung setiap barang.” Kerutan di alis yang tinggi kian mendalam, dan untuk waktu lama ilmuwan mungil penjengkel itu duduk membisu. “Berapa banyak darah yang ditemukan di luar?” tanyanya tiba-tiba. “Lumayan banyak,” sahut Hatch. “Sepertinya seseorang, siapapun yang lompat atau terlempar keluar, tergores parah. Ada bercak pada pinggiran kaca.” Mesin Berpikir mengangguk. “Apa sudah dipastikan, wanita yang menjerit pada kali kedua itu bukan salah satu orang rumah?” “Oh, ya,” balas Hatch yakin. “Mereka semua sudah beristirahat setelah kepanikan pertama, dan yang kedua bahkan tidak 12
membangunkan mereka. Mereka tidak tahu raibnya O’Brien sampai pagi datang.” “Polisi belum menemukan apa-apa?” “Belum. Barang-barang yang tertinggal di ruangan, sudah pasti —topi, mantel, dan perkakas mencuri—menjadi petunjuk yang mereka gali. Mungkin mereka dapat menetapkan identitas dengan itu.” “Well, kita harus temukan orang yang lompat,” kata ilmuwan dengan tenang. “Dengan begitu, kita bisa teruskan urusan ini.” “Ya, jika kita bisa melakukannya,” Hatch sependapat, diiringi seringai. “Tentu saja kita bisa melakukannya!” bentak Mesin Berpikir. “Kita cari seseorang tak bertopi atau bermantel, yang tergores kaca, mungkin terluka parah.” “Tapi dia pasti buru-buru bersembunyi seperti kelinci ketakutan,” protes Hatch. “Tak peduli separah apapun lukanya, dia akan bersembunyi selama masih bisa berjalan.” “Sepertinya kau beranggapan, Tn. Hatch, bahwa melompat menerobos jendela, membawa kaca bersamamu, dan jatuh dua puluh kaki ke trotoar yang keras, adalah masalah sepele,” kata ilmuwan jengkel. “Jika orang ini tidak terluka parah, itu ajaib; maka dari itu—” Tiba-tiba dia berhenti dan memicingkan mata pada si pegawai suratkabar. “Aku akan mengemukakan contoh dan bertanya padamu,” sambungnya. “Sebelum itu, aku akan tulis jawaban yang akan kau berikan, di kertas ini. Kau orang cerdas, jadi akan kutunjukkan bagaimana otak-otak cerdas mengalir di 13
saluran yang sama.” Dia menulis beberapa kata tergesa-gesa, melipat kertasnya dua kali, dan menyerahkannya kepada reporter. “Sekarang anggap saja kau maling,” lanjutnya, “seseorang yang barangkali dikenal oleh polisi. Kau lompat dari jendela dan terluka serius. Kau butuh perawatan medis, tapi kau tak bisa mengambil resiko tertangkap. Kau tak punya topi atau mantel. Kau pergi ke dokter, tidak terlalu dekat dengan tempat kejadian perkara, dan kau menerangkan penyebab kondisimu. Apa yang bisa kau katakan untuk menyingkirkan semua kecurigaan, dan membuat dirimu aman, setidaknya untuk sementara?” Hatch tersenyum tak karuan sambil membolak-balik dan memilin-milin secarik kertas di jemarinya, lalu menyalakan cerutu dan mulai menghadapi soal itu dengan serius. “Kupikir,” katanya pelan-pelan, dan merasa malu-malu, “cerita teraman untuk dikatakan kepada dokter adalah, aku terlempar dari mobil, kehilangan topi, kepalaku tergores kaca depan ketika mobil melesat, mendapat lebam parah karena membentur tanah; dan semacamnya.” Sesaat Mesin Berpikir memelototinya dengan agresif, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan. Hatch menarik nafas panjang, membuka kertas lipat tadi ndengan enggan. Dia mendapati katakata ini: “Mobil lepas kendali—tergores kaca depan karena menerobosnya—topi hilang—lebam-lebam dan lecet karena jatuh ke tanah.” Ketika kembali, sang ilmuwan sudah mengenakan topi dan 14
mantel. “Tn. Hatch, segeralah pergi ke Tn. Mills, dan selidiki apa dia sudah tahu ada yang hilang dari kamar kerja—kemungkinan sejenis dokumen,” perintahnya. “Terus, tanpa menceritakan urusan ini kepadanya, ambil langkah lain untuk mempelajari proses pengadilan yang mungkin sedang ditunggunya—aku membayangkan ada yang sedang berlangsung atau akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan. Temui aku malam ini.” “Kau ikut aku?” tanya reporter. “Tidak, tidak,” jawab ilmuwan tak sabar. “Aku akan temui orang yang melompat dari jendela.” ***** Ketika pembobol ulung Ruby Reagan siuman, dia mendapati dua mata biru terpicing kepadanya, diperbesar oleh tasmak tebal. Sepasang mata tersebut tertanam pada wajah kurus dan letih. Di atasnya ada gumpalan rambut pirang. “Diamlah,” kata Mesin Berpikir. “Kau aman, dan dalam satu hari kau akan baik-baik saja.” “Siapa kau?” tanya Reagan curiga. “Aku
mewakili
seseorang
yang
mengupahmu
untuk
mengambil itu—dokumen dari kamar kerja Tn. Mills,” jawab sang ilmuwan fasih. “Kau ada di rumahku. Dokter sudah mengobatimu, dan aku membawamu kemari begitu kau ditemukan. Dia tak curiga apa-apa. Dia pikir kau terluka dalam kecelakaan mobil, seperti kau 15
bilang.” Si pembobol memejamkan mata untuk memikirkannya. Dengan lemah, karena kehilangan banyak darah, perlahan-lahan dia mengumpulkan ingatan tentang peristiwa beberapa jam terakhir —lompatan tadi, luka-lukanya, sempoyongan di jalanan sepi untuk kabur dari tempat itu, akhirnya ambruk di pintu seorang dokter, komat-kamit cerita untuk menerangkan luka-lukanya. Semua itu cukup lumrah. “Polisi tidak tahu?” tanyanya tiba-tiba. “Tidak,” jawab Mesin Berpikir, empati. “Siapa yang menembak?” “Hantu wanita itu,” jawab si pembobol. “Kukira dia tak bermaksud begitu, sebab dia tampak ingin sunyi, seperti halnya aku.” “Dan tentu saja kau melompat begitu mendengar seseorang di pintu?” “Sudah pasti!” sahut Reagan cemberut. “Polisi belum menemukanku, dan aku berniat memecahkan rekor.” “Lalu hantu wanita itu,” lanjut ilmuwan. “Coba ceritakan.” Kemudian cerita kejadian aneh di kamar kerja malam itu disampaikan oleh Reagan. “Dan aku tak mendapatkan dokumen gara-gara itu,” tutupnya. “Kau bilang hantu wanita itu serba putih?” “Tentu,” jawabnya. “Entahlah apa dia hantu atau bukan, tapi dia memulai kekacauan.” Dia membisu sebentar. “Tapi biar kutegaskan, dia pasti hantu. Tak mungkin dia masuk ruangan 16
dengan jalan lain. Dia masuk lewat lubang kunci atau semacamnya.” “Dan dia memanggil namamu, katamu?” “Ya. Itu hal lain yang membuatku berpikir dia hantu. Bagaimana dia tahu namaku. Dan kenapa dia bertanya apa aku sudah mendapatkannya?” ***** Hutchinson
Hatch
mampir
sejam
kemudian. Ada
isyarat
kegirangan, nyaris kehebohan, dalam tingkahnya. Dia mendapati Mesin Berpikir berbaring di kursi besar di laboratorium, dengan alis tenang dan jemari diputar-putar. “Proses pengadilannya, Tn. Hatch,” kata Mesin Berpikir tanpa menoleh. “Well, ada selusin perkara yang menarik perhatiannya,” kata Hatch, “tapi terutama ada satu yang—” “Tentang hak properti, kukira?” potong ilmuwan. “Ya,” ujar reporter. “Melibatkan kekayaan, dan banyak real estate. Mitra bisnis Mills, bernama Martin Pendexter, wafat tiga atau empat tahun silam dan cucunya, kini berumur sekitar dua puluh dua tahun, mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali uang dan properti tertentu dari Mills, menuduh Mills mengklaim sebagai pemiliknya ketika Pendexter mati. Mills kukuh menolak mempelajari perkara tersebut, atau bahkan mendiskusikannya, dan akhirnya pemuda itu mengajukan gugatan. Ditunda beberapa kali, 17
tapi sebentar lagi akan dilaksanakan persidangan.” “Kalau begitu, Tn. Mills memegang hak milik atas properti ini?” selidik Mesin Berpikir. “Kukira, jika dia belum merasa aman, dia takkan membiarkan perkara itu masuk pengadilan,” jawab Hatch. “Aku yakin Mills memang memegang surat pelepasan properti dari Pendexter, dan berniat memperlihatkannya di persidangan. Dia sudah menasehati pemuda itu beberapa kali untuk tidak menggugat, tapi tak bersedia berunding.” “Oh!” dan untuk waktu lama ilmuwan duduk membisu. “Tentu saja—tentu saja,” renungnya, setengah nyaring. “Kalau begitu, hantu wanita itu salah satu—” “Ada satu hal lagi,” Hatch mendesak tak sabar. “Detektif Downey bilang, beberapa waktu lalu kepolisian sudah menetapkan identitas setidaknya satu orang yang berada di kamar kerja tadi malam, dari kotak perkakas yang tertinggal. Namanya Ruby Reagan.” “Ruby Reagan,” ulang ilmuwan sambil berpikir. “Oh, ya. Dia sedang tidur di kamar sebelah.” ***** Mesin Berpikir sedang bicara. Mills, Detektif Mallory, dan Hutchinson Hatch mendengarkan. “Tak ada teka-teki sama sekali,” kata sang ilmuwan. “Pendek kata, yang terjadi adalah ini: Seorang maling dipekerjakan oleh 18
seseorang yang sedang menggugat Anda, Tn. Mills, untuk masuk ke kamar kerja Anda dan mencari dokumen bukti hak milik Anda atas properti Pendexter yang kini dipersengketakan, jika dokumen tersebut memang ada.” “Well, maling ini pergi ke kamar kerja dan mencari dokumen— tapi
sia-sia,
boleh
kubilang.
Sementara
mencarinya,
dia
menemukan uang dalam boks. Dia tergoda, melawan perintah, dan memasukkan uang itu ke dalam sakunya. Kemudian dia dipaksa di bawah todongan revolver untuk mengembalikan uangnya. Sambil tergesa-gesa menurutinya, dia memasukkan uang sepuluh dolar miliknya sendiri. Orang yang memaksanya untuk menaruh kembali uang itu adalah—adalah—” Dia berhenti sejenak, menulis sesuatu pada secarik kertas, dan diserahkannya kepada Mills. “Apa!” seru Mills tak percaya. “Jangan sebut nama, tolong—masih belum,” potong sang ilmuwan. “Ngomong-ngomong, orangnya wanita, boleh dibilang wanita pemberani, bahkan nekad. Dia telah mengambil revolver milik maling itu, dan dengan dua senjata, menyuruhnya pergi. Si maling melakukan perlawanan, satu tembakan meletus tanpa sengaja, barangkali, dan tembakan itulah yang menembus boks timah. Maling melompat menerobos jendela dan kabur. Wanita di dalam ruangan itu, mungkin berada di balik pintu ketika maling masuk, datang ke sana untuk mendapatkan dokumen yang juga dicari si maling. Pada saat maling melompat, kita bisa bayangkan bagaimana wanita itu berhasil keluar menuju lorong ketika pintu 19
dibuka, lalu Anda dan O’Brien masuk. “Hal selanjutnya yang kita ketahui tentang wanita itu, dia menjerit bersama yang lain. Logika sederhana menunjukkan bahwa setelah kepanikan pertama, ketika rumah kembali sunyi, wanita itu balik lagi ke kamar kerja untuk mencari dokumennya, tidak tahunya O’Brien sedang berjaga. O’Brien duduk dalam gelap, mendengarnya, dan menyorotkan senter elektrik. Wanita itu kaget, menjerit, dikenali oleh O’Brien, dan kemudian dengan upah sembunyi-sembunyi—mungkin
sogokan—membujuk
O’Brien
untuk menghilang. Sekali lagi wanita itu terhindar dari penangkapan, dan jika dilakukan penyelidikan, dia akan ditemukan di ranjang, aku berani bilang. “Entah insiden apa yang mengakibatkan tembakan pistol dan kaburnya maling. Poin pertama yang bisa ditangkap oleh logika adalah ditemukannya banyak uang dalam boks timah melebihi jumlah semestinya. Oleh sebab itu, kita tahu boks tersebut sudah dibuka, dan kita tahu maling itu orang jujur atau dipaksa jujur. Kita juga tahu fakta bahwa ditemukan revolver kaliber 38 di sana, bahwa ada revolver kedua—yang meletuskan tembakan. Para maling tidak pernah jujur. Apakah yang satu ini dipaksa jujur? Orang jujur seperti apa yang berada di ruangan itu—berduaan bersama maling, ingat? Seketika kalian akan melihat seribu kemungkinan. “Tanpa mengejar kemungkinan-kemungkinan tersebut untuk sementara ini, persoalan sekarang adalah mencari si maling— maling yang tak jujur. Itu bukan pekerjaan sulit, cukup menelepon 20
sana-sini, mencari dokter yang mengobati seseorang yang mungkin —mungkin, catat itu—terluka dalam kecelakaan mobil. Aku menemukan Ruby Reagan-mu, Tn. Mallory, dan darinya aku tahu apa yang sebetulnya terjadi—seorang wanita serba putih, hantu wanita, jelas wanita penghuni rumah. Gaun renda putih tidak populer untuk dikenakan di jalan pada jam dua pagi.” “Apa ini perlu, Tn. Van Dusen?” sela Mills. Wajahnya pucat. “Kurasa aku mengerti, dan perkara ini sudah menjadi urusan pribadi, yang amat berarti bagiku dan keluargaku.” Mesin Berpikir melambaikan tangan, seolah menolak. “Demi kebaikanmu, Tn. Mills,” lanjut ilmuwan, “kunyatakan bahwa motif tindakan gadis itu mencerminkan keberaniannya, dan kesetiaannya padamu—mungkin sekaligus penghormatannya pada pria lain. Kau paham? Agaknya—mungkin pria itu bercerita—dia tahu rencana mempekerjakan Reagan, dan dia hanya bisa tahu dari pria tersebut berkat hubungan asmara. Kesetiaannya padamu dan keinginannya untuk menyelamatkan nama pria ini di matamu, mendorongnya berupaya mengambil dokumen itu. Kebetulan keduanya mendatangi kamar kerja di malam yang sama.” Mesin Berpikir berhenti, seolah segalanya sudah selesai. “Tapi, teruskan,” desak Detektif Mallory. “Aku ingin tahu sisanya.” “Tn. Mallory, kau sendiri menemukan Reagan?” kata Mesin Berpikir setelah jeda lama sekali. “Aku menemukannya. Kau pasti bisa.” “Di mana dia? Di mana kau melihatnya?” 21
“Aku melihatnya di rumahku,” tanggap ilmuwan kalem. “Kutinggalkan di sana sebelum datang kemari; tapi seseorang yang sudah mengaku padaku tidak akan tetap di tempat seperti itu jika dia punya pilihan. Masalahnya seperti sudah kubilang, Tn. Mills. Alasanmu menolak menjelaskan hak milik properti kepada pemuda baik itu memang bagus, kukira, jadi aku takkan menanyakannya.” “Akan kuberitahu,” Mills mendadak berapi-api. “Sebetulnya dia bukan cucu Pendexter. Terpaksa akan kubongkar jika dia menggugatku—itulah sebabnya kunasehati dia untuk tidak menggugat.” “Sudah kuduga,” kata Mesin Berpikir. ***** Malam itu, Ruby Reagan meninggalkan rumah Mesin Berpikir dengan taksi. Dan beberapa hari kemudian gugatan Pendexter dicabut oleh penggugat.
22