SEL 13 Jacques Futrelle
2014
Sel 13 Diterjemahkan dari The Problem of Cell 13 karangan Jacques Futrelle terbit tahun 1905 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Desember 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
I
P
ADA
kenyataannya, semua huruf yang tersisa dalam abjad
setelah nama Augustus S.F.X. Van Dusen disebut, didapat
oleh pria tersebut dalam perjalanan karir ilmiah brilian, dan ditambahkan pada ujung lain setelah diraih secara terhormat. Oleh sebab itu namanya, diiringi dengan semua yang mengiringinya, merupakan struktur yang mengesankan. Dia Ph.D., LL.D., F.R.S., M.D., dan M.D.S.. Dia juga makhluk lain—dia sendiri tak bisa menyebutnya—berkat
pengakuan
atas
kemampuannya
dari
berbagai institusi pendidikan dan sains luar negeri. Penampilannya tidak kurang mencolok daripada penamaannya. Dia ramping, dengan pundak tipis bungkuk ala pelajar dan muka pucat klimis ala kehidupan duduk menetap. Matanya memasang kerdipan terus-menerus yang menyeramkan—kerdipan manusia yang mempelajari hal-hal sepele—dan manakala dipandang lewat tasmak tebalnya, matanya hanya berupa celah-celah biru berair. Tapi di atasnya ada ciri paling mencolok. Alis lebar. Tinggi dan lebarnya hampir abnormal, dimahkotai segumpal rambut kuning lebat. Semua ini berkomplot memberinya kepribadian khas, nyaris aneh. Profesor Van Dusen sedikit berdarah Jerman. Selama bergenerasi-generasi, nenek-moyangnya dikenal dalam sains; dia merupakan buah logis, sang dalang. Yang paling utama, dia ahli logika. Sekurangnya tiga puluh lima tahun dari separuh abad eksistensinya telah dicurahkan khusus untuk menetapkan bahwa 5
dua tambah dua selalu sama dengan empat, kecuali dalam kasuskasus tak biasa, di mana mereka sama dengan tiga atau lima. Secara luas dia berpegang pada proposisi umum bahwa segala yang berawal harus pergi ke suatu tempat, dan dia mampu mengerahkan
daya
konsentrasi
otak
leluhurnya
untuk
menyinggung persoalan tertentu. Sepintas boleh dikatakan bahwa Profesor Van Dusen mengenakan topi No. 8. Dunia telah mendengar samar-samar tentang Profesor Van Dusen sebagai Mesin Berpikir. Ini adalah istilah suratkabar yang dipakaikan padanya dalam sebuah eksibisi catur luar biasa. Waktu itu dia mendemonstrasikan bahwa orang yang asing dengan permainan tersebut mampu, melalui kemampuan logika mutlak, mengalahkan seorang juara yang telah seumur hidup mempelajarinya. Mesin Berpikir! Barangkali ini lebih mendeskripsikan dirinya daripada semua inisial kehormatan yang dimilikinya, sebab dia menghabiskan pekan demi pekan, bulan demi bulan, dalam pengasingan laboratorium kecilnya. Dari sanalah dia melontarkan pemikiran-pemikiran yang mengagetkan rekan-rekan ilmuwan dan menggemparkan seluruh dunia. Adakalanya Mesin Berpikir kedatangan tamu, dan biasanya mereka adalah orang yang, sama-sama berkedudukan tinggi dalam sains, mampir untuk membantah suatu poin dan barangkali meyakinkan diri mereka sendiri. Dua di antara mereka, Dr. Charles Ransome dan Alfred Fielding, singgah suatu malam untuk mendiskusikan sebuah teori yang tidak penting di sini. “Hal semacam itu mustahil,” kata Dr. Ransome tegas, dalam 6
perbincangan. “Tak ada yang mustahil,” kata Mesin Berpikir sama tegasnya. Dia selalu bicara dengan jengkel. “Akal adalah penguasa segalanya. Ketika sains mengakui penuh fakta ini, kemajuan besar akan tercapai.” “Bagaimana dengan zeppelin?” tanya Dr. Ransome. “Itu tidak mustahil sama sekali,” tegas Mesin Berpikir, “suatu saat akan ditemukan. Aku mau melakukannya, tapi aku sibuk.” Dr. Ransome tertawa sabar. “Aku sudah dengar yang seperti itu sebelumnya,” katanya. “Tapi tak berarti apa-apa. Akal memang penguasa materi, tapi ia belum menemukan cara untuk mengaplikasikan dirinya. Ada beberapa hal yang tak bisa dipikirkan, atau tidak akan menghasilkan pemikiran apa-apa.” “Apa, contohnya?” desak Mesin Berpikir. Dr. Ransome merenung sesaat sambil merokok. “Well, katakanlah tembok penjara,” jawabnya. “Tak ada manusia yang mampu mengeluarkan diri dari sel. Jika ya, takkan ada tahanan.” “Seseorang dapat mempergunakan otak dan kepintarannya untuk meninggalkan sel, itu sama saja,” bentak Mesin Berpikir. Dr. Ransome sedikit geli. “Mari bayangkan sebuah kasus,” katanya setelah beberapa saat. “Ada sebuah sel di mana para tahanan hukuman mati dikurung—orang-orang yang putus asa dan dibuat gila oleh rasa takut, mau mengambil kesempatan apapun untuk kabur—bayang7
kan kau dikunci dalam sel demikian. Bisakah kau kabur?” “Sok pasti,” kata Mesin Berpikir. “Tentu saja,” kata Tn. Fielding yang nimbrung untuk pertama kalinya, “kau akan meluluhlantakkan sel dengan bahan peledak— tapi di dalam, sebagai tahanan, kau tak bisa berbuat itu.” “Bukan begitu,” kata Mesin Berpikir. “Kau bisa perlakukan aku sebagai tahanan hukuman mati, dan aku akan meninggalkan sel.” “Tidak, kecuali kalau kau memasukinya sambil membawa alat untuk keluar,” kata Dr. Ransome. Mesin Berpikir terlihat kesal, mata birunya mengatup-ngatup. “Kunci aku di dalam sel, di penjara manapun, kapanpun. Aku hanya akan mengenakan apa yang perlu. Dalam seminggu aku akan kabur,” katanya tajam. Dr. Ransome duduk tegak di kursinya, tertarik. Tn. Fielding menyalakan cerutu baru. “Maksudmu, kau sungguh berpikir bisa keluar?” tanya Dr. Ransome. “Aku akan keluar,” tanggapnya. “Serius?” “Tentu saja serius.” Dr. Ransome dan Tn. Fielding membisu lama sekali. “Kau mau mencobanya?” tanya Tn. Fielding. “Tentu saja,” kata Profesor Van Dusen dengan nada mengejek. “Aku sering melakukan hal-hal yang lebih bodoh daripada meyakinkan orang lain tentang fakta yang kurang penting.” Nadanya ofensif, ada amarah terpendam di kedua belah pihak. 8
Tentu saja itu hal absurd, tapi Profesor mengulangi kesediaannya untuk mengerjakan usaha kabur. Sudah diputuskan. “Dimulai sekarang,” tambah Dr. Ransome. “Lebih baik besok,” kata Mesin Berpikir, “sebab—” “Tidak, sekarang,” kata Tn. Fielding datar. “Kau ditahan, tentu saja secara kiasan, tanpa peringatan, dikunci di dalam sel tanpa kesempatan untuk berkomunikasi dengan teman, dan diberi perawatan dan perhatian yang sama dengan napi hukuman mati. Bersedia?” “Baiklah, sekarang,” kata Mesin Berpikir, lalu bangkit. “Sel kematian di Penjara Chisholm.” “Sel kematian di Penjara Chisholm.” “Apa yang akan kau kenakan?” “Sesedikit mungkin,” jawab Mesin Berpikir. “Sepatu, stoking, celana, dan kemeja.” “Boleh kami geledah tentunya?” “Aku siap diperlakukan seperti semua tahanan lain,” kata Mesin Berpikir. “Perhatian yang sama, tak kurang tak lebih.” Beberapa
persiapan
dilakukan
untuk
memperoleh
izin
percobaan ini, tapi mereka semua orang berpengaruh dan segalanya dilakukan secara memuaskan lewat telepon, meski para komisioner penjara, yang diberi penjelasan tentang eksperimen ini dengan alasan ilmiah murni, sangat kebingungan. Profesor Van Dusen akan menjadi tahanan paling masyhur yang pernah mereka jamu. Setelah mengenakan perlengkapan pengurungannya, Mesin 9
Berpikir memanggil wanita tua mungil yang bekerja sebagai pengurus rumah, koki, sekaligus pembantu. “Martha,” katanya, “sekarang jam sembilan lewat dua tujuh. Aku akan pergi. Satu minggu dari malam ini, jam sembilan lewat tiga puluh, pria-pria ini dan satu atau mungkin dua orang lain akan makan malam bersamaku di sini. Ingat, Dr. Ransome sangat gemar sayur artichoke.” Mereka bertiga berkendara ke Penjara Chisholm, di mana kepala penjara menunggu mereka setelah diberitahu lewat telepon. Dia hanya tahu bahwa Profesor Van Dusen yang terkenal akan menjadi tahanannya, jika dia mampu menahannya selama satu minggu, bahwa profesor tidak melakukan kejahatan tapi harus diperlakukan seperti tahanan lainnya. “Geledah dia,” perintah Dr. Ransome. Mesin Berpikir pun digeledah. Tak ditemukan apa-apa. Sakusaku celananya kosong. Kemeja putih berdada kaku tidak ada sakunya. Sepatu dan stoking dibuka, diperiksa, lalu dipasang kembali. Sambil mengamati semua persiapan ini, dan memperhatikan kelemahan fisik yang menyedihkan layaknya bocah kecil— wajah pucat, tangan kurus pucat—Dr. Ransome hampir menyesali perannya dalam urusan ini. “Apa kau yakin mau melakukan ini?” tanyanya. “Apa kau akan teryakinkan jika aku tak melakukan ini?” Mesin Berpikir balik bertanya. “Tidak.” “Kalau begitu aku akan melakukannya.” 10
Simpati Dr. Ransome dibuyarkan oleh nada bicaranya. Dia terbakar, dia bertekad mengawasi eksperimen ini sampai akhir. Ini akan menjadi teguran menyengat terhadap egotisme. “Mustahil, bukan, dia berkomunikasi dengan siapapun di luar?” tanyanya. “Mustahil sama sekali,” jawab kepala penjara. “Dia takkan diizinkan menulis apapun.” “Lalu sipir-sipirmu, apa mereka akan menyampaikan pesan darinya?” “Tidak sepatah katapun, langsung ataupun tidak langsung,” kata kepala penjara. “Kau boleh yakin. Tapi mereka harus melaporkan apapun yang dia ucapkan, atau serahkan padaku apapun yang dia berikan.” “Itu sangat memuaskan,” kata Tn. Fielding yang terangterangan tertarik pada masalah ini. “Tentu saja, begitu dia gagal,” kata Dr. Ransome, “dan meminta pembebasan, kau mengerti, kau harus membebaskannya?” “Aku mengerti,” jawab kepala penjara. Mesin Berpikir berdiri sambil mendengarkan, tapi tak berkata apa-apa sampai semuanya berakhir, lalu: “Aku ingin membuat tiga permintaan kecil. Kau boleh mengabulkannya ataupun tidak, terserah.” “Sekarang, tak
ada keistimewaan
lagi,” Tn. Fielding
memperingatkan. “Bukan itu,” tanggapnya kaku. “Aku perlu tepung gigi— 11
silakan kau sendiri yang membelinya untuk memastikan—dan aku perlu satu lembar lima dolar dan dua lembar sepuluh dolar.” Dr. Ransome, Tn. Fielding, dan kepala penjara bertukar pandang, heran. Mereka bukan kaget terhadap permintaan tepung gigi, tapi uangnya. “Adakah teman kita ini punya koneksi yang bisa disogok dengan dua puluh lima dolar?” “Tidak dengan dua puluh lima dolar,” jawabnya pasti. “Lalu apa permintaan ketiga?” tanya Dr. Ransome. “Aku ingin sepatuku disemir.” Lagi-lagi mereka heran. Permintaan terakhir ini yang paling absurd, maka mereka menyetujuinya. Setelah semua ini diurus, Mesin Berpikir digiring kembali ke dalam penjara yang dia janjikan dapat kabur darinya. “Ini Sel 13,” kata kepala penjara, berhenti tiga pintu dari permulaan koridor baja. “Di sinilah kami menahan para pembunuh terkutuk. Tak ada yang bisa meninggalkannya tanpa izinku, dan tak ada yang dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Kupertaruhkan reputasiku. Sel ini hanya tiga pintu dari belakang kantorku dan aku bisa segera mendengar kegaduhan tak lazim.” “Apa sel ini cukup, pak?” tanya Mesin Berpikir. Ada ejekan dalam suaranya. “Sangat,” jawabnya. Pintu baja berat dibuka, kaki-kaki mungil berjalan cepat, Mesin Berpikir berlalu ke dalam sel yang suram. Lalu pintu ditutup dan dikunci ganda oleh kepala penjara. 12
“Bunyi apa itu di dalam?” tanya Dr. Ransome, lewat sela jeruji. “Tikus—ratusan tikus,” jawab Mesin Berpikir singkat. Ketiga orang, dengan ucapan selamat malam terakhir, sedang berbalik ketika Mesin Berpikir memanggil: “Jam berapa sekarang persisnya, Kepala Penjara?” “Sebelas lewat tujuh belas,” jawabnya. “Terima kasih. Aku akan bergabung di kantor kalian jam setengah sepuluh, satu minggu dari malam ini,” kata Mesin Berpikir. “Kalau tidak?” “Tidak ada ‘kalau’.”
13
II
C
HISHOLM
PRISON adalah bangunan megah dari granit, total
ada empat lantai, yang berdiri di tengah-tengah ruang
terbuka seluas berakre-akre. Ia dikelilingi tembok batu kokoh setinggi delapan belas kaki. Bagian dalam dan luarnya dipoles halus agar tidak menjadi tumpuan bagi pemanjat, betapapun ahlinya. Di puncak pagar ini, sebagai pencegahan lanjutan, terdapat pagar batang baja setinggi lima kaki, masing-masing berujung tajam. Pagar ini sendiri menandai batas mutlak antara kebebasan dan pengurungan, sebab sekalipun seseorang lolos dari selnya, mustahil dia dapat melewati tembok. Halamannya, selebar dua puluh lima kaki di semua sisi bangunan, membuat jarak dari bangunan ke tembok menjadi jauh, menjadi lapang olahraga untuk para tahanan yang sesekali dianugerahi setengah kebebasan. Tapi tidak bagi mereka di Sel 13. Sepanjang siang ada empat petugas bersenjata di halaman, mempatroli tiap sisi bangunan penjara. Pada malam hari, halaman nyaris seterang siang. Di keempat sisi terdapat lampu busur besar menjulang di atas tembok penjara dan memberi penglihatan jelas kepada para petugas. Lampu-lampu juga menerangi puncak tembok berpaku. Kabel-kabel berisolator yang memasok lampu busur memanjang di sisi bangunan penjara dan dari lantai teratas menjulur ke tiang-tiang penopang lampu busur. Seluruh kondisi ini dipahami oleh Mesin Berpikir yang hanya 14
bisa melihat keluar lewat jendela sel berjeruji dengan berdiri di atas tempat tidurnya. Hari ini adalah pagi pertama setelah pengurungannya. Dia juga menyimpulkan ada sungai di suatu tempat di balik tembok, sebab dia mendengar sayup-sayup getaran perahu motor dan melihat seekor burung sungai tinggi di udara. Dari arah yang sama datang sorak-sorai para bocah sedang bermain dan sesekali letupan bola dipukul. Maka, dia pun tahu di antara tembok penjara dan sungai terdapat ruang terbuka, arena bermain. Chisholm Prison diakui sangat ketat. Belum pernah ada yang kabur darinya. Mesin Berpikir, dari atas tempat tidurnya, melihat apa yang dilihat, mengerti penyebabnya. Tembok-tembok sel, meski dibangun dua puluh tahun lalu, taksirnya, kokoh sempurna, dan jeruji jendela dari besi baru belum menunjukkan tanda-tanda karat. Jendelanya sendiri, jikapun jerujinya lepas, akan menjadi jalan keluar yang sulit karena terlalu kecil. Tapi, melihat kondisi ini, Mesin Berpikir tidak berkecil hati. Justru, dia memicingkan mata sambil berpikir ke arah lampu busur besar—sekarang mentari sudah bersinar terang—dan menyusuri kabel menuju bangunan dengan matanya. Kabel listrik tersebut, pikirnya, pasti menempuh sisi bangunan tak jauh dari selnya. Ini patut dicaritahu. Sel 13 berada di lantai yang sama dengan kantor-kantor— yakni, bukan di besmen, bukan pula di lantai atas. Hanya ada empat anak tangga menuju lantai kantor, karenanya lantai ini pasti cuma tiga atau empat kaki di atas tanah. Dia tak bisa melihat tanah 15
secara langsung dari balik jendela, tapi dia bisa melihatnya ke arah tembok. Anjlokan yang mudah dari atas jendela. Bagus. Lalu Mesin Berpikir teringat bagaimana dia datang ke sel. Pertama, ada pojok penjaga luar, bagian dari tembok. Ada dua gerbang berat berpalang di situ, keduanya dari baja. Di gerbang ini selalu ada seseorang yang berjaga. Penjaga ini memasukkan orangorang ke penjara setelah gerincingan kunci dan gembok, dan mengeluarkan mereka bila disuruh. Kantor kepala penjara berada di dalam bangunan, dan untuk sampai ke kantor tersebut dari halaman penjara, seseorang harus melewati gerbang baja kokoh yang hanya memiliki satu lubang intip. Lalu, dari kantor dalam menuju Sel 13, di mana dia berada sekarang, seseorang harus melewati pintu kayu berat dan dua pintu baja menuju koridorkoridor penjara, terlebih pintu Sel 13 bergembok ganda harus selalu diperhitungkan. Kemudian, ingat Mesin Berpikir, ada tujuh pintu yang harus diatasi sebelum lolos dari Sel 13 menuju dunia luar, manusia bebas. Tapi dengan fakta ini pun dia jarang terusik. Seorang sipir muncul di pintu selnya jam enam pagi, membawakan sarapan tahanan; dia akan datang lagi tengah hari dan jam enam sore. Jam sembilan malam juga datang untuk inspeksi keliling. Hanya itu. “Sistem penjara ini tersusun hebat,” puji Mesin Berpikir dalam hati. “Aku harus mempelajarinya sedikit saat keluar nanti. Aku baru tahu perhatian di penjara-penjara sedemikian besar.” Di selnya tak ada apa-apa, betul-betul tak ada, selain ranjang besi yang dirangkai supaya tak dapat dibongkar kecuali dengan 16
godam atau kikir. Tapi dia tak punya dua alat ini. Bahkan tak ada kursi, atau meja kecil, atau sepotong timah atau barang tembikar. Tak ada sama sekali! Sipir berdiri siaga sementara dia makan, lalu mengambil sendok kayu dan mangkuk yang barusan dipakai. Satu persatu keadaan ini masuk ke dalam otak Mesin Berpikir. Setelah
kemungkinan terakhir dipertimbangkan, dia mulai
memeriksa selnya. Dari atap sampai tembok di semua sisi, dia memeriksa batu-batu dan semen. Dari waktu ke waktu dia menghentakkan kaki ke lantai secara hati-hati, tapi itu semen, kokoh sempurna. Setelah pemeriksaan tersebut, dia duduk di tepi ranjang besi dan khusyuk berpikir untuk waktu lama. Profesor Augustus S.F.X. Van Dusen, Mesin Berpikir, sedang memikirkan sesuatu. Dia terganggu oleh seekor tikus yang berlari menyeberangi kakinya, terbirit-birit menuju sudut gelap sel, takut dengan kenekatannya sendiri. Setelah beberapa saat, Mesin Berpikir, memicingkan mata ke sudut gelap tersebut, mampu menangkap banyak mata mungil sedang menatap dirinya dalam kesuraman. Dia menghitung enam pasang, dan barangkali ada yang lainnya; dia tidak bisa melihat dengan baik. Lalu Mesin Berpikir, dari tempat duduk di ranjangnya, untuk pertama kalinya memperhatikan dasar pintu sel. Ada bukaan dua inchi di antara jeruji baja dan lantai. Masih memandangi bukaan ini, Mesin Berpikir tiba-tiba mundur ke sudut di mana barusan melihat mata-mata mungil. Terdengar langkah kaki seribu, beberapa cicitan hewan pengerat yang ketakutan, lalu sunyi. 17
Tak satupun dari tikus-tikus itu keluar pintu, sedang di dalam sel tidak ada apa-apa. Oleh karenanya pasti ada sebuah jalan keluar lain dari sel, betapapun kecilnya. Mesin Berpikir, berlutut dan membungkuk, mulai menggeledah titik ini, meraba-raba dalam gelap dengan jari-jemarinya yang panjang kurus. Akhirnya, penggeledahan membuahkan hasil. Dia menemukan bukaan kecil di lantai, rata dengan semen. Bulat sempurna dan agak lebih besar dari koin dolar perak. Inilah jalan yang diambil tikus-tikus tadi. Dia memasukkan jemarinya ke dalam bukaan. Rupanya pipa pembuangan yang sudah tak dipakai, kering dan berkarat. Setelah puas, dia duduk lagi di ranjang selama satu jam, lalu kembali mengamati lingkungan melalui jendela sel. Salah seorang penjaga luar berdiri persis di seberang, di samping tembok, dan kebetulan sedang memandangi jendela Sel 13 ketika kepala Mesin Berpikir tampak. Tapi sang ilmuwan tidak memperhatikan penjaga tersebut. Tengah hari, sipir muncul membawa hidangan yang sederhana dan tidak menarik. Di rumah, Mesin Berpikir hanya makan untuk hidup, di sini dia menyantap apapun yang disajikan tanpa berkomentar. Terkadang dia berbicara pada sipir yang berdiri luar pintu dan mengawasinya. “Ada perbaikan di sini dalam beberapa tahun terakhir?” tanyanya. “Tak ada yang istimewa,” sahut sipir. “Tembok baru dibangun empat tahun silam.” 18
“Lalu penjaranya?” “Kayu-kayu sebelah luar dicat, dan, seingatku, sistem perledengan yang baru dipasang sekitar tujuh tahun lalu.” “Ah!” seru sang tahanan. “Seberapa jauh sungai di sana?” “Kira-kira tiga ratus kaki. Bocah-bocah itu punya lapangan bisbol di antara tembok dan sungai.” Mesin Berpikir tidak berkata apa-apa lagi, tapi begitu sipir hendak pergi, dia meminta air. “Aku haus,” terangnya. “Bisakah kau tinggalkan sedikit air dalam mangkok untukku?” “Aku akan tanya kepala penjara dulu,” jawab sipir, lalu pergi. Setengah jam kemudian dia kembali dengan air dalam mangkok tembikar kecil. “Kepala penjara bilang kau boleh menyimpan mangkok ini,” katanya kepada tahanan. “Tapi kau harus memperlihatkannya padaku bila aku memintanya. Jika rusak, itu yang terakhir.” “Terima
kasih,”
kata
Mesin
Berpikir.
“Aku
takkan
merusaknya.” Sipir berbicara panjang-lebar tentang tugasnya. Sesaat Mesin Berpikir ingin bertanya, tapi tidak jadi. Dua jam kemudian, sipir yang sama, ketika melewati pintu Sel No. 13, mendengar berisik di dalam lalu berhenti. Mesin Berpikir sedang membungkuk dan berlutut di sudut sel, dan dari situ terdengar beberapa cicitan ketakutan. Sipir memperhatikan penuh minat. “Ah, kena kau,” terdengar tahanannya bicara. 19
“Kena apa?” tanyanya tajam. “Salah satu tikus ini,” datang jawaban. “Lihat.” Di sela-sela jemari panjang sang ilmuwan, sipir melihat seekor tikus kelabu kecil meronta-ronta. Tahanan membawanya ke arah cahaya dan mencermatinya. “Ini tikus air,” katanya. “Apa tak ada kerjaan lain selain menangkapi tikus?” tanya sipir. “Sungguh menjijikkan mereka ada di sini,” jawabnya jengkel. “Tolong ambil yang ini, terus bunuh. Masih ada lusinan di situ.” Sipir mengambil hewan pengerat yang menggeliat-geliat tersebut dan melemparnya ke lantai dengan keras. Binatang itu pun mencicit dan tergolek kaku. Kemudian dia melaporkan insiden ini kepada kepala penjara, yang hanya tersenyum. Masih sore itu, petugas bersenjata di luar, di sisi penjara Sel 13, mendongak lagi ke jendela dan melihat sang tahanan memandang keluar. Dia melihat satu tangan diangkat ke jendela berjeruji dan kemudian sesuatu berwarna putih berkibar ke tanah, tepat di bawah jendela Sel 13. Segulung linen kecil, terbuat dari material kemeja putih, pada sekelilingnya terikat selembar lima dolar. Si penjaga mendongak lagi ke jendela, tapi wajah itu telah lenyap. Sambil tersenyum muram dia membawa gulungan linen kecil tersebut beserta uang kertas lima dolar ke kantor kepala penjara. Di sana, mereka bersama-sama mengurai sesuatu yang tertulis di atasnya dengan jenis tinta aneh, sebagian besar buram. Pada sebelah luar tertulis begini: 20
“Penemu ini, tolong berikan kepada Dr. Charles Ransome.” “Ah,” kata kepala penjara, tertawa kecil. “Rencana kabur nomor satu sudah salah arah.” Lalu, setelah terpikir, “Tapi kenapa dia menujukannya kepada Dr. Ransome?” “Dan dari mana dia mendapat pena dan tinta untuk menulis?” tanya penjaga. Kepala penjara dan penjaga saling bertatapan. Tak ada jawaban atas misteri tersebut. Kepala penjara mempelajari tulisan dengan seksama, lalu menggeleng. “Well, kita lihat saja apa pesannya untuk Dr. Ransome,” akhirnya dia berkata, masih kebingungan, dan membuka gulungan linen lapisan dalam. “Well, jika – apa – apa menurutmu?” tanyanya, linglung. Penjaga mengambil potongan linen dan membaca ini: “Epa cseot d’net niiy awe htto n’si sih. “T.”
21
III
S
ATU
jam sudah kepala penjara bertanya-tanya sandi rahasia
macam apa itu, dan setengah jam sudah dia bertanya-tanya
kenapa tahanannya berusaha berkomunikasi dengan Dr. Ransome, biang keberadaannya di sana. Setelah ini, kepala penjara mencurahkan pikirannya pada pertanyaan: dari mana tahanan memperoleh alat-alat tulis, dan alat-alat tulis seperti apa yang dimilikinya. Bermaksud memecahkan hal ini, diperiksanya lagi linen tersebut. Itu bagian robek dari kemeja putih, pinggirannya bergerigi. Sekarang dia tahu asal-muasal linen, tapi apa yang dipakai untuk menulis adalah urusan lain. Kepala penjara tahu, mustahil tahanannya mempunyai pena, atau pensil, lagipula bukan pena atau pensil yang dipakai untuk menulisnya. Lantas, apa? Kepala penjara memutuskan untuk menyelidiki secara langsung. Mesin Berpikir adalah tahanannya, dia mendapat perintah untuk menahannya; jika yang ini berusaha kabur dengan mengirim pesan rahasia kepada orang-orang di luar, dia akan mencegahnya, sebagaimana terhadap tahanan lain. Kepala penjara mendatangi Sel 13 dan mendapati Mesin Berpikir sedang membungkuk dan berlutut di lantai, sibuk menangkapi tikus. Sang tahanan mendengar langkah kaki kepala penjara dan segera berbalik. “Sungguh menjijikkan,” bentaknya, “tikus-tikus ini. Mereka banyak sekali.” 22
“Yang lain mampu bertahan dengan mereka,” kata kepala penjara. “Ini kemeja untukmu – serahkan yang sedang kau pakai itu.” “Kenapa?” tanya Mesin Berpikir cepat-cepat. Nada suaranya hampir tidak alami, tingkahnya mengisyaratkan keterusikan. “Kau berupaya menghubungi Dr. Ransome,” kata kepala penjara sungguh-sungguh. “Sebagai tahananku, sudah tugaskulah untuk mencegahnya.” Mesin berpikir membisu sesaat. “Baiklah,” akhirnya dia berkata. “Kerjakan tugasmu.” Kepala penjara tersenyum cemberut. Tahanan bangkit dari lantai dan melepas kemeja putih, mengenakan kemeja narapidana bergaris-garis yang dibawakan kepala penjara. Dia pun mengambil kemeja putih tersebut dengan tak sabar, lalu membandingkan potongan linen bertuliskan sandi rahasia dengan bagian-bagian kemeja yang robek. Mesin Berpikir memandang keheranan. “Jadi, penjaga itu membawanya padamu?” tanyanya. “Sudah pasti,” jawabnya menang. “Dan itu mengakhiri upaya pertamamu untuk kabur.” Mesin Berpikir mengamati kepala penjara yang menyimpulkan dengan puas bahwa baru dua potong linen yang dirobek dari kemeja putihnya. “Dengan apa kau menulis?” desak kepala penjara. “Kupikir, bagian dari tugasmulah untuk mencaritahu,” kata Mesin Berpikir dongkol. Kepala penjara mulai berkata kasar, lalu menahan diri dan 23
justru menggeledah sel dan tahanan. Dia tak menemukan apa-apa sama sekali, bahkan tidak korek api atau tusuk gigi yang bisa dijadikan pena. Misteri lain adalah cairan apa yang dipakai menulis sandi rahasia itu. Walaupun meninggalkan Sel 13 sambil gemas, dia membawa kemaja robek dengan penuh kemenangan. “Well, menulis catatan pada kemeja tidak akan membuatnya keluar, itu pasti,” katanya puas pada diri sendiri. Dimasukkannya carikan linen ke dalam laci mejanya untuk menanti perkembangan. “Jika orang itu berhasil kabur dari sel, aku akan – masa bodoh – aku akan mundur.” ***** Di hari ketiga pengurungannya, Mesin Berpikir terang-terangan berupaya menyogok. Sipir membawakan makanannya dan sedang bersandar pada pintu jeruji, menunggu, ketika Mesin Berpikir memulai perbincangan. “Pipa-pipa pembuangan penjara ini mengarah ke sungai, bukan?” tanyanya. “Ya,” jawab sipir. “Tentu sangat kecil?” “Terlalu kecil untuk merangkakinya, jika itu yang kau pikirkan,” tanggapnya sambil menyeringai. Suasana hening sampai Mesin Berpikir menghabiskan makannya. Lalu: “Kau tahu aku bukan penjahat, bukan?” 24
“Ya.” “Dan aku punya hak mutlak untuk dibebaskan jika aku memintanya?” “Ya.” “Well, aku datang kemari karena yakin bisa kabur,” kata sang tahanan, memicingkan mata mempelajari wajah sipir. “Kau mau imbalan jika membantuku kabur?” Sipir, yang kebetulan orang jujur, memelototi sosok lemah kurus di depannya, kepala besar dengan gumpalan rambut kuningnya, dan nyaris merasa kasihan. “Kukira penjara-penjara seperti ini tidak dibangun untuk mengeluarkan orang-orang seperti dirimu,” akhirnya dia bicara. “Tapi
maukah
kau
mempertimbangkan
usulan
untuk
menolongku keluar?” kukuh sang tahanan, hampir memelas. “Tidak,” kata sipir, ringkas. “Lima ratus dolar,” desak Mesin Berpikir. “Aku bukan penjahat.” “Tidak,” kata sipir. “Seribu?” “Tidak,” ulang sipir. Dia buru-buru beranjak untuk lari dari rayuan berikutnya. Lalu dia berbalik. “Sekalipun kau memberiku sepuluh ribu dolar, aku tak mampu mengeluarkanmu. Kau harus melewati tujuh pintu, sedangkan aku hanya punya dua kuncinya.” Kemudian dia menceritakan segalanya kepada kepala penjara. “Rencana nomor dua gagal,” ujar kepala penjara, tersenyum kasar. “Pertama sandi rahasia, terus sogokan.” 25
***** Sewaktu sipir sedang menuju Sel 13 di jam enam petang, membawakan makanan untuk Mesin Berpikir, dia berhenti, kaget oleh gesekan baja dengan baja. Bunyi itu berhenti bersama suara langkah kakinya. Lalu dengan cerdik, sang sipir, yang berada di luar jangkauan mata tahanan, melanjutkan jalannya, terdengar seolah menjauhi Sel 13. Padahal dia masih berada di situ. Setelah beberapa lama, timbul lagi bunyi gesekan, gesekan. Sipir pun berjinjit hati-hati menuju pintu dan mengintip lewat selasela jeruji. Mesin Berpikir sedang berdiri di atas ranjang besi, mengusahakan jeruji jendela kecil. Ditilik dari ayunan maju mundur lengannya, dia sedang menggunakan kikir. Dengan hati-hati sipir mengendap-endap balik ke kantor, mendatangi kepala penjara secara langsung. Mereka pun kembali ke Sel 13 sambil berjinjit. Gesekan tadi masih terdengar. Kepala penjara mendengar-dengarkan agar yakin, lalu mendadak muncul di pintu. “Well?” tanyanya, dengan senyum di wajah. Mesin Berpikir melirik dari tempatnya di ranjang dan sontak meloncat ke lantai, berusaha menyembunyikan sesuatu dengan kalut. Kepala penjara melangkah masuk sambil mengulurkan tangan. “Serahkan,” katanya. “Tidak,” timpal tahanan, tajam. “Ayo, serahkan,” desak kepala penjara. “Aku tak mau 26
menggeledahmu lagi.” “Tidak,” ulang tahanan. “Apa itu, kikir?” tanya kepala penjara. Mesin Berpikir bungkam dan berdiri memicingkan mata pada kepala penjara dengan raut nyaris kecewa—nyaris, tidak sungguhsungguh. Kepala penjara hampir bersimpati. “Rencana nomor tiga gagal, ya?” tanyanya, berbaik hati. “Sayang sekali, bukan?” Sang tahanan tidak berkata apa-apa. “Geledah dia,” instruksi kepala penjara. Sipir pun menggeledahnya secara teliti. Akhirnya, disembunyikan dengan cerdik dalam ikat pinggang celana, dia menemukan sepotong baja sepanjang sekitar dua inchi, satu sisinya melengkung seperti bulan separuh. “Ah,” kata kepala penjara sambil menerimanya dari sipir. “Rupanya dari tumit sepatumu,” dia tersenyum senang. Sipir melanjutkan penggeledahan. Di sisi lain ikat pinggang, ditemukan sepotong baja lain, mirip dengan yang pertama. Pinggirannya menunjukkan alat ini sudah dipakai pada jeruji jendela. “Kau tak bisa menggergaji jeruji dengan ini,” kata kepala penjara. “Bisa saja,” kata Mesin Berpikir mantap. “Dalam enam bulan, barangkali,” kata kepala penjara, ramah. Dia menggeleng perlahan sambil menatap wajah tahanannya yang sedikit memerah. 27
“Siap untuk menyerah?” tanyanya. “Justru aku belum mulai,” jawabnya serta-merta. Lalu dilakukanlah penggeledahan melelahkan di sel. Secara cermat kedua orang ini memeriksanya, terakhir membalik ranjang dan menggeledahnya. Tak ada apa-apa. Kepala penjara sendiri menaiki ranjang dan memeriksa jeruji jendela di mana tahanan menggergajinya tadi. Setelah diperhatikan, dia merasa geli. “Ini jadi sedikit cerah berkat gosokan keras,” katanya kepada tahanan yang berdiri dengan hawa kecewa. Kepala penjara menggenggam jeruji besi dengan tangan kuatnya dan mencoba menggoyangnya. Tak bergeming, tertanam kokoh dalam granit padat. Diperiksanya satu persatu, ternyata semua memuaskan. Akhirnya dia turun dari ranjang. “Menyerah saja, profesor,” anjurnya. Mesin Berpikir menggeleng. Kepala penjara dan sipir pergi lagi. Sementara mereka menghilang di koridor, Mesin Berpikir duduk di tepi ranjang dengan kepala terbenam dalam tangannya. “Dia gila-gilaan berusaha keluar dari sel itu,” komentar sipir. “Tentu saja dia tak bisa keluar,” kata kepala penjara. “Tapi dia pintar. Aku ingin tahu dengan apa dia menulis sandi rahasia itu.” Pukul empat keesokan paginya, jeritan ngeri dan memilukan menggema ke seantero penjara besar tersebut. Asalnya dari sebuah sel di tengah-tengah, dan nadanya mengisyaratkan horor, penderitaan, ketakutan. Kepala penjara mendengarnya. Bersama tiga anak buah, dia bergegas ke koridor panjang menuju Sel 13.
28
IV
S
EMENTARA mereka
berlari, timbul lagi jeritan mengerikan itu.
Memelan dalam bentuk raungan. Wajah pucat para tahanan
muncul di pintu-pintu sel di lantai atas dan bawah, melongo penasaran, ketakutan. “Si bodoh di Sel 13 itu,” gerutu kepala penjara. Dia berhenti dan menengok ke dalam sementara salah seorang sipir menyorotkan lentera. “Si bodoh di Sel 13 itu” sedang berbaring nyaman di atas pelbetnya, dengan mulut menganga, mengorok. Selagi mereka melihat-lihat, timbul lagi jeritan menusuk tadi, dari suatu tempat di atas. Mulai menaiki tangga, wajah kepala penjara agak pucat. Di lantai teratas sana dia menemukan seorang lelaki di Sel 43, persis di atas Sel 13, dua lantai lebih tinggi, gemetar ketakutan di sudut selnya. “Ada apa?” tanya kepala penjara. “Syukurlah kau datang,” seru si tahanan, melompat ke jeruji selnya. “Ada apa?” tanyanya lagi. Dia membuka pintu dan masuk. Tahanan jatuh berlutut dan mendekap tubuh kepala penjara. Wajahnya pucat ketakutan, matanya menggembung lebar, dia merinding. Tangannya, dingin seperti es, mencengkeram tangan kepala penjara. “Keluarkan aku dari sel ini, tolong keluarkan aku,” pintanya. “Ada apa denganmu?” desak kepala penjara, tak sabar. “Aku mendengar sesuatu—sesuatu,” kata tahanan, matanya 29
gelisah menjelajahi sel. “Apa yang kau dengar?” “En—entahlah,” gagapnya. Lalu, dalam kengerian: “Keluarkan aku dari sel ini—tempatkan aku di mana saja—tapi keluarkan aku dari sini.” Kepala penjara dan tiga sipir bertukar pandang. “Siapa orang ini? Apa dakwaan terhadapnya?” tanya kepala penjara. “Joseph Ballard,” kata salah satu sipir. “Dia didakwa melempar asam ke wajah seorang wanita. Akibatnya tewas.” “Tapi mereka tak mampu membuktikannya,” kata si tahanan terengah-engah. “Mereka tak mampu membuktikannya. Tolong tempatkan aku di sel lain.” Dia masih berpegangan pada kepala penjara, sampai sang pejabat menghempaskan lengannya dengan kasar. Lalu dia mengamati sosok ketakutan tersebut, seperti anak kecil yang dirasuki teror liar tanpa sebab. “Perhatikan, Ballard,” kata kepala penjara, “jika kau memang mendengar sesuatu, aku ingin tahu apa itu. Nah ceritakan padaku.” “Aku tak bisa, tak bisa,” jawabnya. Dia tersedu-sedu. “Dari mana datangnya?” “Entahlah. Dari mana-mana—entah dari mana. Aku hanya mendengarnya.” “Apa itu—suara?” “Tolong jangan paksa aku untuk menjawab,” pinta tahanan. “Kau harus jawab,” sergah kepala penjara, tajam. 30
“Memang suara—tapi—tapi bukan suara manusia,” jawabnya sambil tersedu. “Suara, tapi bukan manusia?” ulang kepala penjara, bingung. “Kedengarannya
teredam
dan—dan
jauh—dan
samar,”
jelasnya. “Apa asalnya dari dalam atau luar penjara?” “Sepertinya bukan dari tempat lain—di sini, di sini, di manamana. Aku mendengarnya. Aku mendengarnya.” Selama sejam kepala penjara berusaha menangkap cerita tersebut, tapi Ballard tiba-tiba membandel dan tak mau berkata apa-apa—hanya memohon ditempatkan di sel lain, atau meminta ditemani sipir sampai matahari terbit. Dua permintaan ini ditolak keras. “Dengar,” kata kepala penjara, mengakhiri, “jika jeritan ini terulang lagi, kau akan kutempatkan di sel berdinding lapis.” Lalu kepala penjara pergi, kebingungan. Ballard duduk di pintu sel sampai matahari terbit. Wajahnya pucat diliputi kengerian, menekan jeruji, dan memandang keluar dengan mata terbelalak. Hari itu, hari keempat setelah pengurungan Mesin Berpikir, lumayan dimeriahkan oleh tahanan sukarela tersebut. Dia menghabiskan hampir seluruh waktunya di jendela kecil selnya. Dia memulai pekerjaan dengan melempar sehelai linen lain ke penjaga di bawah, yang memungutnya sesuai tugas dan membawanya kepada kepala penjara. Di atasnya tertulis: “Tinggal tiga hari lagi.” Kepala penjara tidak terkejut dengan apa yang dibacanya. Dia 31
mengerti maksud Mesin Berpikir, pengurungannya tinggal tiga hari lagi, dan dia anggap catatan tersebut sebagai bualan. Tapi bagaimana ini ditulis? Dari mana Mesin Berpikir mendapat potongan linen baru ini? Dari mana? Bagaimana? Dengan seksama kepala penjara memeriksa linennya. Putih, bertekstur halus, bahan kemeja.
Dia
mengambil
kemeja
sitaan
tempo
hari
dan
mencocokkan dua potong linen pertama dengan bagian-bagian yang robek. Potongan ketiga terlalu besar, tidak pas dengan bagian manapun, tapi tak salah lagi berasal dari barang yang sama. “Di mana—di mana dia mendapat alat untuk menulis?” desak kepala penjara berpengalaman ini. Masih di hari keempat, Mesin Berpikir, melalui jendela selnya, berbicara pada petugas bersenjata di luar. “Tanggal berapa sekarang?” tanyanya. “Lima belas,” jawabnya. Mesin Berpikir melakukan perhitungan astronomis dalam kepalanya dan merasa puas bulan takkan naik sebelum jam sembilan malam ini. Lalu dia mengajukan pertanyaan lain: “Siapa yang merawat lampu-lampu busur itu?” “Orang-orang dari perusahaan.” “Kalian tak punya tukang listrik?” “Tidak.” “Kurasa akan lebih hemat uang andai kalian punya tukang sendiri.” “Bukan urusanku,” sahut penjaga. Penjaga sering memperhatikan Mesin Berpikir selama hari itu, 32
tapi wajahnya selalu lesu dan matanya sayu di balik kacamata. Setelah beberapa lama, dia menerima keberadaan si kepala singa sebagai hal biasa. Dia sudah sering melihat tahanan-tahanan lain berbuat serupa; merindukan dunia luar. Sore itu, persis sebelum petugas siang diganti, kepala Mesin Berpikir muncul lagi di jendela. Tangannya mengeluarkan sesuatu di antara jeruji. Benda itu berkibar-kibar ke tanah, lalu penjaga memungutnya. Selembar uang lima dolar. “Itu untukmu,” seru tahanan. Seperti biasa, penjaga membawanya ke kepala penjara. Orang ini mengamatinya dengan curiga, dia mengamati apapun yang berasal dari Sel 13 dengan curiga. “Dia bilang untukku,” jelas penjaga. “Semacam tip, kukira,” ujar kepala penjara. “Tak ada salahnya kau menerima—” Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat, Mesin Berpikir masuk ke Sel 13 dengan membawa satu lembar lima dolar dan dua lembar sepuluh dolar. Total dua puluh lima dolar. Uang lima dolar sudah diikatkan pada potongan-potongan linen pertama. Kepala penjara masih menyimpannya. Agar yakin, dia mengeluarkannya dan mencermatinya. Memang lima dolar. Tapi ini ada lima dolar lain, padahal Mesin Berpikir tinggal punya dua lembar sepuluh dolar. “Barangkali ada yang menukarkan uang untuknya,” pikirnya, mendesah lega. Tapi seketika itu juga dia membulatkan tekad. Dia akan menggeledah Sel 13 jam tiga malam itu. Dia berhenti di pintu dan 33
mendengar-dengarkan. Tak ada suara selain nafas tahanan yang teratur. Kunci-kunci membuka gembok ganda nyaris tanpa gemerincing. Kepala penjara masuk, lalu mengunci pintu. Dia menyorotkan lentera gelapnya ke wajah sosok yang sedang terlentang. Jika kepala penjara berencana mengagetkan Mesin Berpikir, dia salah. Orang ini membuka matanya dengan tenang, mencaricari kacamata, dan bertanya dalam nada biasa: “Siapa itu?” Takkan ada gunanya menjelaskan penggeledahan yang dilakukan kepala penjara. Penggeledahan cermat. Tak satu inchi pun bagian sel atau ranjang yang terlewatkan. Dia menemukan lubang bundar di lantai. Dengan ilham kilat, dia memasukkan jemari ke dalamnya. Setelah beberapa saat meraba-raba, dia menarik sesuatu dan mengamatinya di bawah cahaya lentera. “Iih!” serunya. Benda yang diambilnya adalah tikus—tikus mati. Ilhamnya lenyap bagai kabut di hadapan mentari. Tapi dia terus menggeledah. Mesin Berpikir, tanpa berkata apa-apa, bangkit dan menendang tikus tersebut keluar sel, menuju koridor. Kepala penjara naik ke atas ranjang dan mencoba-coba jeruji baja di jendela kecil. Kokoh sempurna, setiap jeruji pintu pun demikian. Lalu kepala penjara menggeledah pakaian tahanan, dimulai dari sepatu. Tak ada yang disembunyikan! Lalu ikat pinggang celana. Juga tak ada! Lalu saku-saku celana. Dari satu sisi dia 34
menarik beberapa uang kertas dan memeriksanya. “Lima lembar uang lima dolar,” megapnya. “Benar,” kata tahanan. “Tapi—kau membawa dua lembar sepuluh dolar dan selembar lima dolar—apa—bagaimana kau melakukannya?” “Itu urusanku,” kata Mesin Berpikir. “Apa anak buahku menukarkan uang ini untukmu—jujur saja?” Mesin Berpikir berhenti sepersekian detik. “Tidak,” jawabnya. “Well, kau membuatnya?” tanya kepala penjara. Dia siap mempercayai apapun. “Itu urusanku,” lagi-lagi demikian jawab tahanan. Kepala penjara memelototi sang ilmuwan kenamaan. Dia merasa—dia tahu—orang ini sedang membodohinya, tapi entah bagaimana. Andai orang ini tahanan sungguhan, dia bisa menggali yang sebenarnya—tapi, kalau begitu, semua kejadian tak terjelaskan ini takkan dihadapinya. Kedua orang tidak bicara untuk waktu lama, lalu tiba-tiba kepala penjara berbalik dengan sengit dan meninggalkan sel, membanting pintu. Dia tak berani bicara saat itu. Dia melirik jam. Empat kurang sepuluh. Dia hampir tak bisa menenangkan diri di atas ranjang ketika terdengar lagi jeritan memilukan di seantero penjara. Seraya menggerutu ekspresif tapi kasar,
dinyalakannya
kembali
lentera
menjelajahi penjara menuju sel di lantai atas. 35
kemudian
bergegas
Lagi-lagi Ballard sedang menghimpit ke pintu baja, menjerit, menjerit sekeras-kerasnya. Dia baru berhenti begitu kepala penjara menyorotkan lampu ke dalam sel. “Keluarkan aku, keluarkan aku,” teriaknya. “Aku pelakunya, aku pelakunya, aku yang membunuhnya. Singkirkan itu.” “Singkirkan apa?” tanya kepala penjara. “Aku melempar asam ke wajahnya—aku pelakunya—kuakui itu. Keluarkan aku dari sini.” Kondisi Ballard mengenaskan. Mengizinkannya keluar, ke koridor, adalah tindakan murah hati. Di sana dia meringkuk di sudut, seperti binatang terpojok, dan mendekapkan tangannya ke telinga. Lalu dia menceritakan apa yang terjadi secara tak karuan. Pada malam sebelumnya, jam empat, dia mendengar suara—suara kuburan, nadanya teredam dan meratap. “Apa katanya?” tanya kepala penjara penasaran. “Asam—asam—asam!”
tahanan
termegap.
“Suara
itu
menyalahkanku. Asam! Aku melempar asam, lalu wanita itu mati. Oh!” Lengkingannya panjang dan mengerikan. “Asam?” timpal kepala penjara, bingung. Dia tak mengerti. “Asam. Itu saja yang kudengar—satu kata itu, diulang beberapa kali. Juga ada kata-kata lain, tapi tak terdengar.” “Tadi malam, ya?” tanya kepala penjara. “Apa yang terjadi malam ini—apa yang membuatmu takut sekarang?” “Masih sama,” tahanan megap-megap. “Asam—asam—asam!” Dia menutupi wajahnya dengan tangan, duduk gemetar. “Asam yang kukenakan padanya, tapi aku tak bermaksud membunuhnya. 36
Aku hanya mendengar kata-kata tersebut. Menyalahkanku— menyalahkanku.” Dia berkomat-kamit, lalu terdiam. “Apa kau dengar yang lain?” “Ya—tapi aku tak bisa menangkapnya—cuma sedikit—cuma satu atau dua kata.” “Well, apa itu?” “Aku mendengar ‘asam’ tiga kali, lalu kudengar rintihan panjang, lalu—lalu—kudengar ‘topi No. 8’. Aku mendengarnya dua kali.” “Topi No. 8,” ulang kepala penjara. “Apa-apaan—topi No. 8? Setahuku suara hati yang menyalahkan tak pernah bicara soal topi No. 8.” “Dia tak waras,” kata salah seorang sipir dengan nada tegas. “Ya aku yakin,” kata kepala penjara. “Dia pasti tak waras. Barangkali dia mendengar sesuatu sampai ketakutan. Dia gemetar. Topi No. 8! Apa-apaan—”
37
V
K
ETIKA
hari kelima pengurungan Mesin Berpikir bergulir,
kepala penjara tampak gelisah. Dia gugup menghadapi
bagian akhir. Mau tak mau dia merasa tahanan terkenalnya masih girang. Jika demikian, berarti Mesin Berpikir belum kehilangan selera humornya. Sebab, di hari kelima ini dia melemparkan catatan linen lagi ke penjaga luar, memuat kata-kata, “Tinggal dua hari lagi.” Dia juga melemparkan setengah dolar. Padahal kepala penjara tahu—dia tahu—orang di Sel 13 itu tak punya uang setengah dolar—tak mungkin punya uang setengah dolar, sebagaimana tak mungkin punya pena, tinta, dan linen, tapi nyatanya punya. Ini kenyataan, bukan teori; inilah sebabnya kepala penjara tampak gelisah. Perkara aneh dan mengerikan soal “Asam” dan “Topi No. 8” juga menguntit dan merundungnya. Tentu saja itu tidak berarti apaapa, cuma ocehan pembunuh sinting yang terdorong oleh rasa takut untuk mengakui kejahatannya, tapi begitu banyak hal “tak berarti” terjadi di penjara sejak kedatangan Mesin Berpikir. Di hari keenam, kepala penjara menerima kartupos yang mengabarkan Dr. Ransome dan Tn. Fielding akan datang ke Chisholm Prison keesokan malamnya, hari Kamis. Kalau Profesor Van Dusen belum kabur—dan mereka beranggapan dia belum kabur, karena tak ada kabar dari kepala penjara—mereka akan menemuinya di sana. “Kalau dia belum kabur!” Kepala penjara tersenyum muram. 38
Kabur! Hari ini Mesin Berpikir memeriahkan hari kepala penjara dengan tiga catatan. Tertulis pada linen biasa dan secara umum berisi janji jam setengah sembilan Kamis malam, janji yang dibuat sang ilmuwan di awal pengurungannya. Pada sore hari ketujuh, kepala penjara melewati Sel 13 dan melirik ke dalam. Mesin Berpikir sedang berbaring di ranjang besi, rupanya tidur ringan. Sekilas, sel itu masih terlihat seperti biasa. Kepala penjara bersumpah takkan ada yang meninggalkan sel itu antara jam tersebut—waktu itu jam empat—sampai setengah sembilan malam. Dalam perjalanan balik, melintasi Sel 13, dia kembali mendengar hembusan nafas stabil. Dia mendekati pintu untuk mengintip ke dalam. Dia tak perlu berbuat demikian andai Mesin Berpikir mengintip keluar, tapi sekarang—well, ini lain. Seberkas cahaya menembus jendela tinggi dan menerpa wajah pria yang sedang tidur. Untuk pertama kalinya kepala penjara tersadar bahwa tahanannya tampak kurus dan letih. Persis saat itu Mesin Berpikir bergerak-gerak sedikit, kemudian kepala penjara buru-buru berjalan di koridor seraya merasa bersalah. Malam itu, jam enam lewat, dia bertemu sipir. “Semua baik-baik saja di Sel 13?” tanyanya. “Ya, pak,” jawab sipir. “Tapi dia kurang makan.” Dengan perasaan sudah mengerjakan tugas, kepala penjara menyambut Dr. Ransome dan Tn. Fielding jam tujuh lewat sedikit. Dia berniat menunjukkan catatan-catatan linen dan menceritakan 39
kesengsaraannya yang panjang. Tapi sebelum ini terjadi, penjaga dari halaman penjara sebelah sungai masuk ke kantor. “Lampu busur di halamanku tak menyala,” lapornya kepada kepala penjara. “Terkutuk, orang itu memang pembawa sial,” gemuruh sang pejabat. “Semuanya terjadi sejak dia di sini.” Penjaga kembali ke posnya dalam gelap, kepala penjara menelepon perusahaan lampu listrik. “Ini Chisholm Prison,” katanya lewat telepon. “Cepat kirim tiga atau empat orang kemari untuk memperbaiki lampu busur.” Tanggapannya ternyata memuaskan, kepala penjara menaruh gagang penerima dan berlalu ke halaman. Sementara Dr. Ransome dan Tn. Fielding duduk menunggu, penjaga gerbang luar masuk sambil membawa surat kiriman khusus. Dr. Ransome kebetulan memperhatikan
alamatnya
dan,
begitu
si
penjaga
pergi,
mencermati suratnya. “Astaga!” serunya. “Ada apa?” tanya Tn. Fielding. Tanpa sepatah kata dokter menyodorkan suratnya. Tn. Fielding memeriksanya. “Kebetulan,” katanya. “Ini pasti kebetulan.” Waktu menunjukkan hampir pukul delapan ketika kepala penjara kembali ke kantor. Para tukang listrik telah tiba dalam wagon, dan kini sedang bekerja. Kepala penjara menekan tombol dengung yang terhubung dengan petugas di tembok gerbang luar. “Berapa banyak tukang listrik yang masuk?” tanyanya, lewat 40
telepon pendek. “Empat? Tiga pekerja mengenakan jumper dan overall, serta satu manajer? Mantel rok dan topi sutera? Baiklah. Pastikan hanya empat yang keluar. Sudah dulu.” Dia berbalik kepada Dr. Ransome dan Tn. Fielding. “Di sini kami harus berhati-hati—terutama,” nadanya sarkastis, “sejak kami menahan ilmuwan.” Kepala penjara memungut surat kiriman khusus acuh tak acuh, dan mulai membukanya. “Sambil membaca, aku ingin memberitahu kalian, bapakbapak, tentang betapa—astaga!” tiba-tiba dia berhenti sambil melirik surat. Dia duduk menganga, tak bergerak, keheranan. “Ada apa?” tanya Tn. Fielding. “Kiriman khusus dari Sel 13,” kepala penjara termegap. “Undangan makan malam.” “Apa?” dua lainnya bangkit serempak. Kepala penjara linglung, memandangi surat beberapa lama, lalu memanggil penjaga di koridor. “Lari ke Sel 13, periksa apa orang itu ada di dalam.” Penjaga meluncur sesuai arahan, sementara Dr. Ransome dan Tn. Fielding memeriksa surat. “Ini tulisan tangan Van Dusen, tak diragukan lagi,” kata Dr. Ransome. “Aku sudah sering melihatnya.” Persis saat itu dengungan telepon dari gerbang luar berbunyi. Kepala penjara, dalam kondisi setengah sadar, mengangkat gagang penerima. “Halo! Dua reporter? Izinkan mereka masuk.” Serta-merta dia 41
berpaling pada dokter dan Tn. Fielding. “Ah, orang itu tak mungkin di luar. Dia pasti di dalam selnya.” Saat itulah si penjaga kembali. “Dia masih di dalam selnya, pak,” lapornya. “Aku melihatnya. Dia sedang berbaring.” “Kan, sudah kubilang apa,” kata kepala penjara, kembali bernafas lega. “Tapi bagaimana dia mengirim surat ini?” Terdengar ketukan di pintu baja menuju kantor kepala penjara dari halaman. “Itu pasti para reporter,” kata kepala penjara. “Biarkan mereka masuk,” perintahnya kepada penjaga. Lalu berkata kepada bapakbapak lain: “Jangan bicarakan ini di depan mereka. Aku tak mau dengar bagian akhirnya.” Pintu pun terbuka, dua orang dari gerbang depan masuk. “Selamat malam, bapak-bapak,” kata salah satunya. Dia Hutchinson Hatch. Kepala penjara mengenalnya dengan baik. “Jadi?” tanya satu orang lagi, kesal. “Aku di sini.” Itu Mesin Berpikir. Dia memicingkan mata sengit kepada kepala penjara yang duduk dengan mulut ternganga. Sesaat sang pejabat tidak berkata apa-apa. Dr. Ransome dan Tn. Fielding terheran, tapi mereka tidak mengetahui apa yang kepala penjara ketahui. Mereka hanya terheran. Kepala penjara lumpuh. Hutchinson Hatch, sang reporter, menangkap pemandangan ini dengan mata tamak. “Bagaimana—bagaimana—bagaimana kau melakukannya?” kepala penjara megap-megap. 42
“Ayo ke sel,” kata Mesin Berpikir dengan suara dongkol yang sudah dikenal oleh rekan-rekan ilmuwannya. Kepala penjara, masih dalam kondisi hampir tak sadar, memimpin jalan. “Sorotkan sentermu ke dalam sana,” arah Mesin Berpikir. Kepala penjara pun melakukannya. Tak ada yang aneh dari penampilan sel tersebut, dan di sana—di atas ranjang sana terbaring sosok Mesin Berpikir. Sudah pasti! Rambutnya kuning! Kepala penjara kembali memperhatikan orang di sampingnya dan penasaran betapa aneh mimpinya ini. Dengan tangan gemetar, dia membuka kunci pintu sel. Mesin Berpikir melangkah masuk. “Lihat ini,” katanya. Dia menendang jeruji baja di dasar pintu sel. Tiga jeruji terdorong dari tempatnya. Yang keempat patah dan menggelinding ke koridor. “Ini juga,” tunjuk bekas tahanan sambil berdiri di ranjang untuk menggapai jendela kecil. Dia menyapu bukaan tersebut dengan tangannya lalu semua jeruji lepas. “Ada apa di ranjang ini?” tanya kepala penjara yang perlahanlahan mulai siuman. “Wig,” jawabnya. “Lipat saja kain penutupnya. Kepala
penjara
menurutinya.
Di
bawahnya
terhampar
gulungan besar tali kuat, kurang-lebih tiga puluh kaki, satu belati, tiga kikir, sepuluh kaki kabel listrik, sepasang lapisan baja tipis kuat, satu palu kecil beserta gagangnya, dan—dan satu pistol 43
Derringer. “Bagaimana kau melakukannya?” tanya kepala penjara. “Kalian ada janji makan malam denganku jam setengah sepuluh,” ujar Mesin Berpikir. “Ayo, nanti kita terlambat.” “Tapi bagaimana kau melakukannya?” kukuh kepala penjara. “Jangan pernah berpikir kau mampu menahan seseorang yang memakai otaknya,” kata Mesin Berpikir. “Ayo, nanti terlambat.”
44
VI
R
OMBONGAN
makan malam di ruangan Profesor Van Dusen
tak sabaran dan membisu. Tamu-tamunya adalah Dr.
Ransome, Albert Fielding, kepala penjara, dan reporter Hutchinson Hatch. Hidangan disajikan hingga detil, sesuai instruksi Profesor Van Dusen seminggu sebelumnya; Dr. Ransome mendapat sayur artichoke lezat. Akhirnya makan malam usai. Mesin Berpikir berbalik penuh pada Dr. Ransome dan memicingkan mata dengan sengit. “Kau percaya sekarang?” tanyanya. “Aku percaya,” jawab Dr. Ransome. “Kau akui itu tes yang adil?” “Kuakui.” Bersama yang lain, terutama kepala penjara, Dr. Ransome menanti-nanti penjelasan. “Tolong ceritakan bagaimana—” Tn. Fielding angkat bicara. “Ya, ceritakan bagaimana caranya,” potong kepala penjara. Mesin
Berpikir
membetulkan
kacamatanya,
memasang
beberapa kerdipan persiapan ke arah audiensnya, dan mengawali cerita. Dari awal dia menceritakannya secara logis. Tak ada yang pernah berbicara kepada para pendengar seminat ini. “Kesepakatanku adalah,” mulainya, “masuk ke sel, tak membawa apa-apa kecuali pakaian yang diperlukan, dan meninggalkan sel seminggu kemudian. Aku belum pernah melihat Chisholm Prison. Ketika masuk sel, aku meminta tepung gigi, dua 45
lembar sepuluh dolar dan satu lembar lima dolar, dan meminta sepatuku disemir hitam. Andaipun permintaan ini ditolak, itu tidak terlalu serius. Tapi kalian menyetujuinya.” “Aku tahu takkan ada satu barang pun di dalam sel yang bisa kumanfaatkan. Jadi ketika kepala penjara mengunci pintunya, aku jelas tak berdaya, kecuali kalau aku bisa memanfaatkan tiga benda sederhana itu. Benda-benda itu diizinkan bagi tahanan manapun yang divonis hukuman mati, bukan begitu, kepala penjara?” “Tepung gigi dan sepatu disemir, ya, tapi uang tidak,” jawab kepala penjara. “Apapun jadi berbahaya di tangan orang yang tahu cara memakainya,” sambung Mesin Berpikir. “Malam pertama aku tak melakukan apa-apa selain tidur dan mengejar tikus-tikus.” Dia menyorot ke arah kepala penjara. “Ketika kalian mengangkat perkara ini, aku tahu tak ada yang bisa kuperbuat malam itu, jadi kuusulkan besok harinya. Kalian mengira aku butuh waktu untuk menyusun pelarian dengan bantuan orang luar, padahal tidak benar. Aku tahu, aku dapat berkomunikasi dengan siapapun yang kusuka, kapanpun aku suka.” Kepala penjara memelototinya sebentar, lalu kembali merokok dengan khidmat. “Keesokan paginya, jam enam, aku dibangunkan oleh sipir yang membawa sarapanku,” lanjut ilmuwan. “Dia bilang makan siang jam dua belas dan makan malam jam enam. Di antara waktuwaktu ini, kusimpulkan, aku sendirian saja. Jadi segera setelah sarapan aku memeriksa lingkungan luar dari jendela selku. Satu 46
kali pandangan cukup memberitahuku, percuma saja berusaha memanjat tembok, jika aku memutuskan meninggalkan sel lewat jendela. Sebab tujuanku bukan sekadar meninggalkan sel, tapi penjara. Tentu bisa saja aku menaiki tembok, tapi kalau begitu aku perlu waktu lebih lama untuk menyusun rencana. Karenanya, untuk sementara, kusingkirkan semua gagasan tersebut. “Dari pengamatan ini aku tahu sungai berada di sisi tersebut, dan ada pula arena bermain di sana. Berikutnya dugaan ini diverifikasi oleh seorang penjaga. Waktu itu aku tahu satu hal penting—bahwa siapapun, jika diperlukan, dapat mendekati tembok penjara dari sisi itu tanpa menarik perhatian. Itu patut diingat. Aku mengingatnya. “Tapi benda luar yang paling menarik perhatianku adalah kabel umpan menuju lampu busur yang menjulur beberapa kaki saja— barangkali tiga atau empat kaki—dari jendela selku. Aku tahu itu akan bernilai bilamana aku perlu memutus lampu busur.” “Oh, jadi kau memutusnya malam ini?” tanya kepala penjara. “Setelah mempelajari semuanya semampuku dari jendela,” lanjut Mesin Berpikir, tanpa menghiraukan interupsi, “aku mempertimbangkan ide kabur menerobos penjara. Aku ingat betul bagaimana aku masuk ke dalam sel, yang setahuku merupakan satu-satunya jalan. Tujuh pintu menghalangiku dari dunia luar. Jadi, juga untuk sementara, aku membuang ide kabur dengan cara tersebut. Lagipula aku tak bisa menembus tembok granit sel yang padat.” Mesin Berpikir berhenti sejenak sementara Dr. Ransome 47
menyalakan cerutu baru. Selama beberapa menit keheningan berkuasa, lalu sang ilmuwan pembobol penjara meneruskan: “Selagi aku memikirkan keadaan ini, seekor tikus berlari melewati kakiku. Itu menimbulkan garis pemikiran baru. Sekurangnya ada setengah lusin tikus di dalam sel—aku bisa melihat mata mereka yang bulat bercahaya. Tapi kulihat-lihat, tak satupun yang berasal dari bawah pintu sel. Aku sengaja menakuti mereka dan mengamati pintu sel untuk mengecek apa mereka keluar lewat situ. Ternyata tidak, tapi mereka lenyap. Jelas mereka menempuh jalan lain. Jalan lain berarti bukaan lain. “Aku mencari-cari bukaan ini dan menemukannya. Sebuah pipa pembuangan tua, sudah lama tak dipakai, dan sebagian dipenuhi kotoran dan debu. Tapi inilah jalan masuk tikus-tikus tadi. Mereka berasal dari suatu tempat? Dari mana? Pipa pembuangan biasanya mengarah ke pekarangan penjara. Yang ini mungkin mengarah ke sungai, atau sekitarnya. Karenanya, tikus-tikus itu pasti datang dari arah tersebut. Aku berpikir mereka datang dari jauh, sebab sangat tidak mungkin besi padat atau pipa timah memiliki lubang kecuali di ujung keluar. “Ketika
sipir
datang
membawa
makan
siangku,
dia
mengungkapkan dua hal penting tanpa disadarinya. Pertama, sistem pemipaan yang baru dipasang di penjara tujuh tahun lalu. Kedua, sungai hanya berjarak tiga ratus kaki dari sana. Lalu aku tahu dengan pasti, pipa tersebut bagian dari sistem lama. Aku juga tahu, itu secara umum memiring ke arah sungai. Tapi apakah pipanya berakhir di air atau darat? 48
“Ini pertanyaan selanjutnya yang harus diputuskan. Aku memutuskannya dengan menangkap beberapa tikus di sel. Sipir kaget melihatku sibuk dengan kegiatan ini. Aku memeriksa sekurangnya selusin tikus. Mereka kering, mereka baru melintasi pipa, dan yang terpenting, mereka bukan tikus rumah, melainkan tikus ladang. Dengan demikian, ujung lain pipa berada di darat, di luar tembok penjara. Sampai di situ tak ada kesulitan. “Waktu itu aku tahu, jika aku bekerja terang-terangan berdasarkan fakta ini, aku pasti menarik perhatian kepala penjara dari arah lain. Kau mengerti, dengan memberitahu kepala penjara bahwa aku ke sana untuk kabur, ujiannya jadi lebih keras, sebab aku harus mengecohnya dengan petunjuk palsu.” Kepala penjara mendongak dengan ekspresi sedih di matanya. “Upaya pertama adalah membuatnya berpikir aku sedang mencoba berkomunikasi denganmu, Dr. Ransome. Jadi aku menulis catatan pada sepotong linen yang kurobek dari kemejaku, dialamatkan kepada Dr. Ransome, diikat dengan selembar lima dolar, dan dilempar keluar jendela. Aku tahu penjaga akan membawanya ke kepala penjara, tapi aku agak berharap kepala penjara akan mengirimkannya sesuai alamat. Apa kau menyimpan catatan linen pertama itu, pak kepala penjara?” Kepala penjara mengeluarkan sandi rahasia bersangkutan. “Apa arti benda persetan ini?” tanyanya. “Bacalah dari depan ke belakang, diawali dengan tanda ‘T’ dan abaikan pemenggalan kata-katanya,” perintah Mesin Berpikir. Kepala penjara pun melakukannya. 49
“T-h-i-s,
this,”
ejanya,
mempelajarinya
sebentar
lalu
membacakannya sambil meringis: “This is not the way I intend to escape.” (Aku tak berniat kabur dengan cara ini.) “Well, nah apa yang kau rencanakan dengan ini?” desaknya, masih meringis. “Aku tahu itu akan menarik perhatianmu, dan ternyata betul,” kata Mesin Berpikir, “dan jika kau menemukan artinya, itu akan menjadi dampratan halus.” “Dengan apa kau menulisnya?” tanya Dr. Ransome, setelah memeriksa linen dan menyerahkannya pada Tn. Fielding. “Ini,” kata bekas tahanan sambil mengulurkan kaki. Di situ terdapat sepatu yang dia kenakan di penjara, tapi semirnya sudah hilang—digosok bersih. “Semir sepatu, dibasahi air, adalah tintaku; ujung logam tali sepatu menjadi pena yang lumayan bagus.” Kepala penjara mendongak dan tiba-tiba tertawa, setengah lega, setengah geli. “Kau ajaib,” ujarnya kagum. “Teruskan.” “Itu mengakibatkan penggeledahan sel oleh kepala penjara, sesuai harapanku,” sambung Mesin Berpikir. “Aku ingin sekali membuat kepala penjara terbiasa menggeledah selku, sampai akhirnya, karena terus-menerus tidak menemukan apa-apa, dia akan muak dan berhenti. Akhirnya ini betul-betul terjadi.” Kepala penjara tersipu. “Dia lalu menyita kemeja putihku dan memberiku kemeja 50
narapidana. Dia puas cuma dua potong yang lepas dari kemejaku. Tapi selagi dia menggeledah sel, aku menyimpan satu potong lain dari kemeja yang sama, sekitar sembilan inchi persegi, digulung menjadi bola kecil di dalam mulutku.” “Sembilan inchi dari kemeja itu?” tanya kepala penjara. “Dari bagian mana?” “Bagian dada kemeja putih yang kaku selalu tebal rangkap tiga,” jelasnya. “Aku merobek tebal bagian dalam, menyisakan dua tebal dada. Aku tahu kau takkan melihatnya. Cuma itu.” Jeda sesaat. Kepala penjara menoleh dari satu orang ke orang lain sambil menyeringai malu. “Setelah menyingkirkan kepala penjara untuk sementara waktu dengan memberinya bahan pikiran, aku mengambil langkah serius pertama menuju kebebasan,” kata Profesor Van Dusen. “Aku tahu, masuk akal jika pipa mengarah ke suatu tempat di arena bermain; aku tahu banyak bocah bermain di sana; aku tahu tikus-tikus masuk ke selku dari luar sana. Dapatkah aku berkomunikasi dengan seseorang di luar dengan modal yang ada? “Yang pertama diperlukan adalah benang panjang dan cukup kuat, jadi—tapi ini,” dia menarik kedua kaki celananya ke atas dan memperlihatkan bagian atas stoking berbahan benang kapas kuat telah lenyap. “Aku mengurainya—ternyata tidak sulit—dan dengan mudah aku mendapat benang seperempat mil yang bisa kuandalkan. “Lalu pada separuh sisa linen, dengan susah-payah aku menulis surat yang menjelaskan situasiku kepada orang ini,” dia 51
menunjuk Hutchinson Hatch. “Aku tahu dia akan membantuku demi artikel koran. Aku mengikatkan selembar sepuluh dolar pada surat linen ini—tak ada cara yang lebih pasti untuk menarik mata siapapun—dan menulis di atas linen tersebut: ‘Penemu ini, tolong kirimkan kepada Hutchinson Hatch, Daily American, yang akan memberi tambahan sepuluh dolar atas informasi ini.’ “Selanjutnya adalah menempatkan catatan ini di arena bermain di mana seorang bocah bisa menemukannya. Ada dua cara, tapi aku pilih yang terbaik. Kuambil salah seekor tikus—aku jadi mahir menangkap mereka—kuikatkan linen dan uang pada satu kaki, kukaitkan benang kapas pada kaki lain, dan kulepas dia ke dalam pipa pembuangan. Aku menimbang, ketakutan alami tikus akan membuatnya lari sampai keluar pipa, lalu di tanah dia akan berhenti untuk menggerogoti linen dan uang. “Sejak waktu menghilangnya tikus ke dalam pipa berdebu aku menjadi gelisah. Aku mengambil begitu banyak resiko. Tikus itu bisa saja menggerogoti tali yang salah satu ujungnya kupegang; atau tikus-tikus lain menggerogotinya; atau tikus itu berlari keluar pipa dan meninggalkan linen dan uang di tempat yang tak bisa ditemukan; seribu kemungkinan bisa terjadi. Jadi dimulailah jamjam gelisah, tapi fakta bahwa tikus itu terus berlari sampai tali di selku tersisa beberapa kaki membuatku berpikir dia sudah keluar pipa. Dengan teliti aku menginstruksikan Tn. Hatch apa yang perlu dilakukannya bila catatan itu sampai padanya. Pertanyaannya: akankah pesan itu sampai? “Sudah terlanjur, aku cuma bisa menunggu dan menyusun 52
rencana lain kalau-kalau yang ini gagal. Terang-terangan aku berupaya menyogok sipir, dan mendapat informasi darinya bahwa dia memegang dua kunci saja, di antara tujuh pintu yang menghalangiku dari kebebasan. Lalu aku melakukan hal lain untuk membuat kepala penjara gelisah. Aku mengambil bantalan baja dari tumit sepatuku dan berpura-pura menggergaji jeruji jendela sel. Kepala penjara cukup ribut soal itu. Dia juga jadi terbiasa menggoyang-goyang jeruji jendela sel untuk mengecek kokoh tidaknya. Memang kokoh—waktu itu.” Kembali kepala penjara menyeringai. Dia tak lagi keheranan. “Dengan satu rencana ini aku sudah berbuat segalanya dan hanya bisa menanti apa yang akan terjadi,” lanjut ilmuwan. “Aku tak tahu apakah catatanku sudah disampaikan atau bahkan ditemukan, atau apakah tikus itu menggerogotinya sampai habis. Dan aku tak berani menarik tali tipis itu dari pipa, tali yang menghubungkanku dengan dunia luar. “Ketika kembali naik ranjang malam itu, aku tidak tidur. Aku khawatir akan timbul kejangan sinyal pada tali yang menandakan Tn. Hatch sudah menerima pesanku. Jam setengah empat, aku merasakan kejangan ini. Siapapun narapidana hukuman mati pasti menyambut kejadian menggairahkan tersebut.” Mesin Berpikir berhenti dan menoleh pada reporter. “Sebaiknya kau jelaskan apa yang sudah kau lakukan,” katanya. “Catatan linen itu dibawa kepadaku oleh seorang bocah yang sedang bermain bisbol,” kata Tn. Hatch. “Aku segera menangkap 53
cerita besar di dalamnya, jadi kuberi dia sepuluh dolar tambahan, dan aku mencari beberapa gelondong sutera, benang ikat, segulung kawat lentur dan ringan. Catatan profesor menasehatiku agar meminta penemunya menunjukkan letak dipungutnya, dan menyuruhku melakukan pencarian dari sana, dimulai jam dua pagi. Jika aku menemukan ujung lain tali, aku harus mengejangnya secara lembut tiga kali, lalu yang keempat. “Aku mulai mencari-cari dengan senter bohlam kecil. Satu jam dua puluh menit kemudian aku menemukan ujung pipa pembuangan, setengah tersembunyi di dalam rerumputan liar. Pipanya sangat besar, kira-kira berdiameter dua belas inchi. Lalu kutemukan ujung benang kapas. Aku mengejangnya sesuai arahan dan segera mendapat kejangan balasan. “Lalu aku mengaitkan sutera pada benang ini dan Profesor Van Dusen mulai menariknya ke dalam sel. Aku nyaris jantungan karena khawatir benangnya putus. Aku mengaitkan benang ikat pada ujung sutera, dan setelah ditarik masuk, aku mengikatkan kawat. Itu pun segera ditarik ke dalam pipa. Kami pun memiliki saluran penting, yang tahan gerogotan tikus, dari mulut pipa menuju sel.” Mesin Berpikir mengangkat tangan, Hatch pun berhenti. “Semua ini dikerjakan dengan sunyi,” kata ilmuwan. “Tapi ketika kawat sampai di tanganku, rasanya ingin sekali aku berteriak. Lalu kami mencoba eksperimen lain, dan Tn. Hatch siap untuk itu. Aku mencoba pipa sebagai tabung bicara. Kami tak bisa mendengar dengan jelas, tapi aku tak berani berbicara keras-keras 54
karena takut menarik perhatian di dalam penjara. Akhirnya aku membuat dia mengerti apa yang kubutuhkan. Dia kesulitan menangkap saat aku meminta asam nitrik, dan kuulangi kata ‘asam’ beberapa kali. “Kemudian aku mendengar jeritan dari sel di atasku. Aku segera tahu, ada seseorang yang mendengar. Ketika kudengar kau datang, Pak Kepala Penjara, aku berpura-pura tidur. Seandainya kau masuk ke selku waktu itu, seluruh rencana kaburku akan berakhir. Tapi kau berlalu begitu saja. Saat itu aku nyaris terpergok. “Setelah menciptakan troli ini aku mudah memperoleh barangbarang di dalam sel dan membuatnya menghilang semauku. Aku tinggal menjatuhkannya kembali ke dalam pipa. Kau, Pak Kepala Penjara, tak sanggup menjangkau kawat penghubung dengan jemarimu. Jari-jarimu terlalu besar. Sementara jari-jariku, kau lihat, lebih panjang dan lebih ramping. Selain itu aku menjaga bagian atas pipa dengan seekor tikus—kau ingat.” “Aku ingat,” ujar kepala penjara sambil meringis. “Aku berpikir, jika ada yang tergoda untuk menyelidiki lubang itu, tikus akan melempemkan semangatnya. Tn. Hatch tidak bisa mengirimiku barang berguna lewat pipa sampai malam berikutnya, walaupun dia mengirimiku uang tukaran sepuluh dolar sebagai tes, jadi aku berlanjut dengan bagian lain rencanaku. Aku menyusun metode kabur, yang akhirnya kuterapkan. “Agar ini berhasil, penjaga di halaman harus terbiasa melihatku di jendela sel. Aku mengaturnya dengan menjatuhkan 55
catatan-catatan linen padanya, bernada membual, untuk membuat kepala penjara percaya bahwa salah satu asistennya sedang berkomunikasi dengan dunia luar untukku. Aku berdiri di jendela berjam-jam, memandang keluar, agar penjaga bisa melihat, dan terkadang aku menyapanya. Dengan cara itu aku tahu penjara tidak punya tukang listrik sendiri, tapi bergantung pada perusahaan penerangan jika ada yang tak beres. “Itu melapangkan jalan menuju kebebasan. Petang-petang sekali, di hari terakhir pengurunganku, ketika suasana sudah gelap, aku berencana memotong kabel umpan yang hanya berjarak beberapa kaki dari jendela, meraihnya dengan kawat berujung asam yang kumiliki. Dengan begitu sisi penjara tersebut akan gelap sempurna selagi tukang listrik mencari-cari bagian yang putus. Dengan begitu juga akan membawa Tn. Hatch ke dalam halaman penjara. “Tinggal satu lagi yang perlu dilakukan sebelum aku memulai operasi pembebasan diri. Yaitu mengatur rincian terakhir dengan Tn. Hatch melalui tabung bicara kami. Aku melakukan ini setengah jam setelah kepala penjara meninggalkan sel di malam keempat
pengurunganku.
Tn.
Hatch
lagi-lagi
kesulitan
memahamiku, dan kuulangi kata ‘asam’ padanya beberapa kali, dan kemudian kata-kata: ‘topi nomor delapan’—itu ukuranku— dan inilah yang membuat seorang tahanan di lantai atas mengakui pembunuhan, demikian cerita salah satu sipir keesokan harinya. Tahanan ini mendengar suara kami melalui pipa, tentu saja kebingungan, yang juga melintasi selnya. Sel yang berada persis di 56
atasku tidak berpenghuni, jadi tak ada orang lain yang mendengar. “Tentu saja pekerjaan memotong jeruji besi jendela dan pintu tergolong mudah dengan bantuan asam nitrik, yang kuperoleh lewat pipa dalam botol-botol kecil, tapi itu butuh waktu. Jam demi jam, di hari kelima, keenam, dan ketujuh, penjaga di bawah mengamatiku selagi aku mengerjakan jeruji jendela dengan asam pada sepotong kawat. Aku memakai tepung gigi untuk mencegah asam menyebar. Aku bekerja sambil memalingkan muka, menit demi menit asam menyayat logam semakin dalam. Aku memperhatikan,
para
sipir
selalu
mencoba
pintu
dengan
menggoyang-goyang bagian atas, tak pernah jeruji bawah. Karenanya
aku
memotong
jeruji
bawah,
membiarkannya
tergantung di tempat dengan bilah-bilah logam tipis. Tapi itu agak nekad. Aku tak bisa mengambil jalan tersebut dengan enteng.” Mesin Berpikir membisu beberapa menit. “Kurasa segalanya sudah jelas,” lanjutnya. “Poin apapun yang belum kujelaskan hanya demi membingungkan kepala penjara dan para sipir. Barang-barang di ranjangku, aku membawanya masuk untuk menyenangkan Tn. Hatch yang ingin mengimprovisasi cerita. Tentu saja, wig diperlukan dalam rencanaku. Surat kiriman khusus itu, aku menulis dan mengalamatkannya di dalam selku dengan pulpen milik Tn. Hatch, lalu dijatuhkan padanya, dan dia mengirimnya. Itu saja, kurasa.” “Tapi kau betul-betul meninggalkan pekarangan penjara, kemudian masuk lewat gerbang luar menuju kantorku?” tanya kepala penjara. 57
“Sederhana saja,” kata ilmuwan. Aku memotong kabel lampu listrik dengan asam, sudah kubilang, ketika arusnya mati. Oleh sebab itu ketika arus dinyalakan, lampu busur tidak menyala. Aku tahu akan perlu waktu untuk mencaritahu penyebabnya dan melakukan perbaikan. Saat penjaga pergi melapor padamu, halaman gelap. Aku merayap keluar jendela—sangat pas-pasan— menempatkan kembali jerujinya dengan berdiri di atas birai sempit, dan tetap bertahan di bawah bayangan sampai pasukan tukang listrik tiba. Tn. Hatch salah satu dari mereka. “Ketika
melihatnya,
aku
langsung
bicara.
Dia
pun
menyerahkan topi, jumper, dan overall, yang kukenakan sepuluh kaki darimu, Pak Kepala Penjara, sewaktu kau berada di halaman. Kemudian Tn. Hatch memanggilku, sebagai pekerja, dan kami bersama-sama pergi keluar gerbang untuk mengambil sesuatu dari wagon. Penjaga gerbang mengizinkan kami keluar sebagai dua pekerja yang baru masuk. Kami berganti pakaian dan muncul kembali, meminta bertemu denganmu. Kita pun bertemu. Hanya itu.” Hening beberapa menit. Dr. Ransome memecah kesunyian. “Luar biasa!” serunya. “Sempurna.” “Bagaimana Tn. Hatch sampai datang bersama tukang listrik?” tanya Tn. Fielding. “Ayahnya adalah manajer perusahaan tersebut,” jawab Mesin Berpikir. “Tapi bagaimana kalau tak ada Tn. Hatch yang membantu di luar?” 58
“Setiap tahanan memiliki seorang teman yang mau membantunya kabur selama dia mampu.” “Andaikan—andaikan saja—tak ada sistem pemipaan tua di sana?” tanya kepala penjara, penasaran. “Ada dua jalan keluar lain,” ujar Mesin Berpikir penuh tekateki. Sepuluh menit kemudian bel telepon berdering. Itu untuk kepala penjara. “Lampunya baik-baik saja?” tanya kepala penjara lewat telepon. “Bagus. Kabel terputus di sisi Sel 13? Ya, aku tahu. Kelebihan satu tukang listrik? Ada apa? Dua keluar?” Dia berpaling kepada yang lain dengan ekspresi bingung. “Dia hanya memasukkan empat tukang listrik, dia sudah mengeluarkan dua tukang, tapi katanya ada sisa tiga.” “Aku yang lebihnya,” kata Mesin Berpikir. “Oh,” kata kepala penjara. “Aku mengerti.” Lalu lewat telepon: “Biarkan orang kelima itu pergi. Tak apa-apa.”
59