3 Gender dalam Kerangka Teori Pembangunan
Pengantar Dalam bab sebelumnya sudah kita bahas secara detil perbedaan makna gender dan jenis kelamin, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk memahami keberadaan masalah gender dalam pembangunan. Sebelum kita dapat mengupas secara lebih tajam permasalahan gender dalam pembangunan, dalam bab ini akan dibahas lebih dahulu pemahaman teori pembangunan yang berkembang dan perspektif feminis dalam melihat pembangunan yang diyakini mengandung permasalahan gender dimana perempuan telah termarjinalkan dan diperlakukan tidak adil dalam setiap proses pembangunan bahkan dalam menikmati hasil pembangunan itu sendiri. Untuk lebih mamahami pergeseran perspektif feminis terhadap pembangunan, di bagian awal bab ini akan dijabarkan lebih dahulu pemaknaan teori, pembentukan teori dan konsepsi teori pembangunan yang berkembang. Sebagian besar isi tulisan dari bab ini, terutama merangkum dari buku Parpart dkk berjudul ”theoretical perspektif on gender and development” dan buku Mosse berjudul ”Gender and Development”, serta beberapa sumber lain yang membahas tentang teori pembangunan dari sudut pandang sosiologi. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mampu: (1) Memamahi perkembangan teori pembangunan yang mempengaruhi pemahaman terhadap keberadaan masalah gender dalam pembangunan (2) Memahami perspektif teori feminis dalam pembangunan Tinjauan terhadap Teori Pembangunan
Dalam pandangan kaum feminist, pengembangan teori-teori yang ada selama ini bersifat male-centered approach yang lebih berakar pada asumsi-asumsi yang androcentric. Sehingga, pembentukan teori yang ilmiah dan tradisional tersebut setidaknya memunculkan masalah berikut: (a) Bias pada peneliti (terutama pria) (b) Terlalu menekankan pada data dan fakta empirik yang kuantitatif dan menghindar dari validitas data kualitatif (c) Kurang keterlibatan peneliti dengan subjek penelitiannya (d) Impersonal (e) Anggapan ”objectivitas” peneliti and pengetahuan. Kritik terhadap proses tradisional terbentuknya teori tersebut, telah menggiring kepada pemahaman tersendiri dari kaum feminist terhadap teori pembangunan. Teori-teori yang androcentris tersebut menghasilkan pengetahuan yang mengabaikan pengetahuan, pengalaman dan perspektif kaum perempuan. Sehingga untuk lebih memurnikan pengetahuan tersebut, harus diformulasikan berdasar pada pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas dan dalam, yaitu teoriteori yang lebih mencari upaya menghasilkan representasi yang lengkap dari realitas perempuan. Seperti yang diekspresikan oleh Sandra Harding berikut ini: “Knowledge is supposed to be based on experience, and the reason the feminist claims can turn out to be scientifically preferable is that they originate in, and are tested against, a more complete and less distorting kind of social experience. Women's experiences, informed by feminist theory, provide a potential grounding for more complete and less distorted knowledge claims than do men's. — Harding (1987a, pp. 184-185)
Analisa Harding ini merepresentasi suatu pendekatan teoritis kaum feminis yang mempunyai asumsi bahwa suatu realitas yang objectif akan lebih baik dibangun jika pengetahuan dan pengalaman perempuan disertakan kedalam mainstream atau epistemology androsentris. Terkait dengan masalah pembangunan, maka jelas bahwa kaum feminis mengajukan perspektif yang lebih komprehensif dalam melihat fenomena pembangunan yang berkembang. Sebelum kita bahas bagaimana pandangan feminis terhadap pembangunan, ada baiknya kita urai dulu bagaiman teori pembangunan yang berkembang selama ini. Apa itu teori pembangunan? Secara umum teori pembangunan dapat dimaknakan sebagai konglomerasi teoriteori tentang bagaimana suatu perubahan yang diinginkan dalam masyarakat itu sebaiknya dicapai. Setiap masyarakat dalam setiap generasi tentu membangun
intuisinya sendiri terhadap apa yang ingin dicapainya dimasa datang. Berbagai perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dalam suatu periode tertentu, oleh para ahli ilmu sosial dipakai untuk menjadi pijakan dalam membuat pernyataanpernyataan teoritis terhadap pendekatan bagaimana mencapai suatu kondisi masyarakat yang diinginkan. Makna pembangunan ini selanjutnya teraplikasikan dalam pemahaman sehari-hari dari pembangunan dimensi kemasyarakatan (human societies). Penggunaan istilah pembangunan ini semakin popular setelah perang dunia ke II setelah sejumlah Negara-negara diberbagai benua di Asia, Afrika dan Amerika mendapatkan kemerdekaannya. Dalam rangka mengembalikan kondisi social ekonomi Negara-negara baru merdeka tersebut, Negara Negara maju di Amerika Utara dan Eropa mendorong proses transformasi Negara-negara tersebut untuk menjadi lebih maju dan berkembang. Merujuk kepada berbagai pustaka yang meninjau pembangunan di negara-negara berkembang khususnya dari sudut pandang sosiologis, maka secara teoritis pembangunan di negara berkembang bergerak melalui proses, modernisasi, dependensi dan teori sistem dunia. Teori modernisasi Teori modernisasi adalah teori yang dipakai untuk menerangkan proses modernisasi yang terjadi dalam masyarakat. Secara historis, ide terhadap modernisasi sudah dimulai di Zaman Enlightenment di dunia Barat di abad 18. Filosof Perancis pada masa itu, Marquis de Condorcet adalah yang yang pertama mengembangkan pemikiran bahwa modernisasi teknologi maju dan perubahan ekonomi akan dapat merubah nilai-nilai moral dan budaya dalam masyarakat. Pemikiran Condorcet inilah yang selanjutnya menggiring perkembangan teknologi dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan untuk tercapainya kondisi masyarakat yang lebih baik. Teori klasik dari modernisasi ini pada dasarnya berpijak pada asumsi evolusi dimana modernisasi adalah hasil dari differensiasi dan rasionalisasi. Pemikiran modernisasi seperti ini terus berkembang pada kerangka pemikiran strukturalis, yang selanjutnya dijadikan konsepsi dasar dalam proses pembangunan negara-negara baru merdeka setelah perang dunia ke II, termasuk Indonesia. Bagi sejumlah ahli, teori modernisasi ini dikatakan masa pembangunan ortodok, dimana negara-negara berkembang harus masuk dalam arus pembangunan seperti di negara Barat, yang mengandalkan aspek kapital dalam pembangunan (kapitalisme). Teori modernisasi, secara praktikal, menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya.
Apa yang selanjutnya terjadi? Ternyata, sejumlah ahli melihat kenyataan yang tidak diharapkan terjadi di Negara-negara berkembang akibat dari proses modernisasi yang berorientasi Barat ini. Kritik terhadap hasil modernisasi di Negaranegara berkembang, umumnya melihat telah terjadinya ketimpangan, ketidak adilan, kemandekan, ketergantungan dan lainnya. Teori modernisasi beserta pendekatanpendekatan fungsionalis yang berkembang di Barat, tidak semerta-merta sesuai dengan sosial kultural masyarakat negara-negara berkembang bekas kolonial. Teori ini terlalu menganggap superior masyarakat Barat, terlalu yakin terhadap jalur atau tahapan pembangunan seperti asumsi kaum struktural fungsionalis, dan teori ini terlalu optimistik dalam asumsi similaristik seluruh kelompok masyarakat. Sehingga, bagi para kritikus moderinasi, teori ini tidak memberikan solusi terhadap upaya membangun negara berkembang, tetapi malahan membuat Negara-negara berkembang semakin lebih terpuruk pada berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik atau lainnya. Teori dependensi Pendekatan teori dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan proses modernisasi yang dilakukan Barat untuk Amerika Latin melalui United Nation Economic Commission for Latin Amerika ECLA pada masa awal tahun 1960-an. Salah satunya adalah mencoba untuk menerapkan strategi pembangunan yang menitik beratkan pada proses industrialisasi melalui program industrialisasi subsitusi impor. Dari padanya diharapkan akan memberikan keberhasilanyang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahtaraan rakyat, dan pada akhirnya akan memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang lebih demokratis. Namun, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Perkembangan ekspansi ekonomi hanya terjadi amat singkat dan hanya menghasilkan ketergantungan yang besar terhadap teknologi dan kapital dari Barat, sehingga selanjutnya ekspansi ekonomi berubah menjadi stagnan. Kenyataan inilah yang selanjutnya melahirkan teori dependensi ini yang mencoba membangun alternatif proses pembangunan yang lebih baik. Secara konseptual, teori dependensi ini dipengaruhi oleh teori Marxis ortodoks yang kritis terhadap ekspansi kapital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Andre Gunder Frank (1972) adalah yang pertama kali mengangkat masalah ketergantungan ini, dimana dia melihat bahwa pembangunan di Negara-negara bekas jajahan memunculkan semacam ikatan ketergantungan “metropolis-satellite” antara negara maju (Barat) dan negara berkembang. Frank memberikan saran agar negara-negara
peripheral dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka hanya jika mereka dapat memutus ikatan dengan negara-inti nya. Semakin tinggi tingkat hubungan dengan negara inti semakin rendah pertumbuhan negara-negara peripheral. Secara ringkas perbedaan antara teori modernisasi dan teori dependensi klasik dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan antara teori modernisasi dan dependensi Aspek pembeda
Teori Modernisasi
Teori Dependensi
Paradigma
Traditional-modern
Core - peripheral
Teori dasar
Evolution & Functional
Marxist ortodoks
Faktor pembentuk
Faktor Internal
Faktor eksternal
Hasil
Saling menguntungkan
Merugikan TWCs
Harapan
Optimistik
Pesimistik
Pendekatan
Mendekat ke USA/Eropa
Menjaga jarak
Pemikiran teori dependensi klasik ini, selanjutnya mendapat kritik dari pemikir dependensi lainnya, yaitu Cardoso and Faleto (1979) 1 yang menilai bahwa teori dependensi masih terlalu abstrak serta semata-mata hanya melihat dari aspek perkembangan ekonomi saja. Pemikiran mereka ini selanjutnya dikategorikan sebagai teori dependesi baru (new dependency theory) yang juga melihat pentingnya eksistensi faktor internal (yang tidak dilihat oleh dependensi klasik) seperti pergerakan politik dan konflik antar klas yang ada di dalam masyarakat peripheral. Mereka menggurnakan pendekatan struktural-historis sebagai metodologi untuk melihat baik kondisi struktur sosial dan transformasi dari struktur konflik ataupun suatu perubahan. O’Donnel dan Evans (1979) mendukung pemikiran Cardoso-Falleto ini, dimana mereka membahas dengan detil tentang peran negara dalam proses pembangunan sehingga selanjutnya disebut sebagai model asosiasi-dependensi. Negara birokratik berperan sebagai aktor dominan dalam pembangunan yang mengelola program pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam konteks makro, terjadi alinasi tiga pihak antara negara, elit/pengusaha local, dan kapitalis internasional yang secara meyakinkan akan mendorong negara-negara berkembang bergerak dari situasi 1
Cardoso, F. H. and Faletto, E. (1979), 'Dependency and development in Latin América'. University of
California Press.
dependensi klasik yang negatif ke dependensi baru yang lebih positif, melalui industrialisasi berbasis internal faktor. Secara ringkas perbedaan antara teori dependensi klasik dan yang baru, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan antara Teori Dependensi Klasik dan Baru Aspek pembeda
Dependensi Klasik
Dependensi Baru
Metoda
Abstrak
Struktural-Historikal
Faktor pembentuk
Faktor Eksternal
Faktor eksternal+internal
Ciri ketergantungan
Fenomena ekonomik Fenomena sosial politik
Implikasi
Menjaga jarak
Koeksistensi: dependensi
asosiatif
Teori sistem dunia Teori sistem dunia muncul sebagai kritik atas teori modernisasi dan teori dependensi. Pencetus teori ini, Immanuel Wallerstein 2 (1974) memandang bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang mencakup seluruh Negara di dunia tanpa kecuali. Sehingga, integrasi yang terjadi lebih banyak dikarenakan oleh faktor pasar (ekonomi) daripada kepentingan politik. Dimana ada dua atau lebih Negara interdependensi yang saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan seperti food, fuel, and protection. Juga, terdapat satu atau dua persaingan politik untuk mendominasi yang dilakukan untuk menghindari hanya ada satu Negara sentral yang muncul ke permukaan selamanya. “a world-system is a social system, one that has boundaries, structures, member groups, rules of legitimating, and coherence. Its life is made up of the conflicting forces which hold it together by tension and tear it apart as each group seeks eternally to remold it to its advantage. It has the characteristics of an organism, in that is has a lifespan over which its characteristics change in some respects and remain stable in others… Life within it is largely self-contained, and the dynamics of its development are largely internal”
Menurut Wallerstein, dunia terlalu kompleks jika hanya dibagi atas 2 kutub (Negara pusat dan Negara pinggiran) karena pada kenyataannya terdapat Negaranegara yang tidak termasuk dalam dua kategori itu. Ada Negara yang tidak bisa digolongkan menjadi Negara pusat ataupun Negara pinggiran. Menurut Wallerstein, 2
Wallerstein, Immanuel (1974) the Modern World-System, New York, Academic Press.
sistem dunia kapitalis dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu negara core atau pusat, semiperiferi atau setengah pinggiran, dan negara periferi atau pinggiran. Perbedaan bagi ketiga jenis negara ini adalah kekuatan ekonomi dan politik dari masing-masing kelompok. Kelompok negara-negara kuat (pusat) mengambil keuntungan yang paling banyak, karena kelompok ini dapat memanipulasi sistem dunia sampai batasbatas tertentu dengan kekuatan dominasi yang dimilikinya. Kemudian negara setengah pinggiran mengambil keuntungan dari negara-negara pinggiran yang merupakan pihak yang paling dieksploitir. Munculnya Negara semi pinggiran oleh Wallerstein dikarenakan pemikiran jika hanya terdapat 2 kutub di dunia yaitu Negara pusat dan pinggiran saja, maka disintegrasi akan muncul dengan mudah dalam sistem dunia itu. Sehingga, Negara semi pinggiran dinilai akan menghindari disintegrasi tersebut. Kemudian, Negara semi pinggiran juga dinilai bisa menjadi iklim ekonomi baru. Para pemilik modal bisa memindahkan modalnya dari tempat yang sudah tidak lagi efisien ke tempat baru yang sedang tumbuh. Hal ini karena di negara pusat yang sebelumnya merupakan ekonomi unggul mengalami penurunan atau kehilangan keuntungan biaya komparatif sebagai akibat meningkatnya upah yang terus menerus karena eksploitasi buruh di Negara-negara pinggiran. Penekanan pada teori ini adalah, Negara-negara di dunia bisa naik dan juga bisa turun kelas. Negara pusat bisa saja menjadi Negara semi pinggiran, Negara semi pinggiran bisa menjadi Negara pusat atau Negara pinggiran, dan Negara pinggiran bisa menjadi Negara semi pinggiran. Hal ini terbukti pada Perang Dunia II, Inggris dan Belanda yang sebelumnya menjadi Negara pusat turun kelas digantikan Amerika Serikat pasca kehancuran dahsyat di Eropa. Wallerstein merumuskan tiga strategi bagi terjadinya proses kenaikan kelas, yaitu: (1) Kenaikan kelas terjadi dengan merebut kesempatan yang datang. Sebagai misal negara pinggiran tidak lagi dapat mengimpor barang-barang industri oleh karena mahal sedangkan komiditi primer mereka murah sekali, maka negara pinggiran mengambil tindakan yang berani untuk melakukan industrialisasi substitusi impor. Dengan ini ada kemungkinan negara dapat naik kelas dari negara pinggiran menjadi negara setengah pinggiran. (2) Kenaikan kelas terjadi melalui undangan. Hal ini terjadi karena perusahaanperusahaan industri raksasa di negara-negara pusat perlu melakukan ekspansi ke luar dan kemudian lahir apa yang disebut dengan MNC. Akibat dari perkembangan ini, maka muncullah industri-industri di negara-negara pinggiran yang diundang oleh oleh perusahaan-perusahaan MNC untuk bekerjasama.
Melalui proses ini maka posisi negara pinggiran dapat meningkat menjadi setengah pinggiran. (3) Kenaikan kelas terjadi karena negara menjalankan kebijakan untuk memandirikan negaranya. Sebagai misal saat ini dilakukan oleh Peru dan Chile yang dengan berani melepaskan dirinya dari eksploitasi negara-negara yang lebih maju dengan cara menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Namun demikian, semuanya ini tergantung pada kondisi sistem dunia yang ada, apakah pada saat negara tersebut mencoba memandirikan dirinya, peluang dari sistem dunia memang ada. Jika tidak, mungkin dapat saja gagal. Perkembangan Perspektif Feminis terhadap Pembangunan Pada awalnya, aspek perempuan terutama dilihat dalam konteks hak asasi manusia sejak tahun 50 – 60an. Suatu kenyataan bahwa 50% produksi pangan dunia diproduksi oleh Perempuan dan perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan dunia. Sementara proyek-proyek pembangunan dari dulu hingga saat inipun, melihat perempuan hanya lebih sekedar ibu yang mendidik dan membesarkan anak-anak. Sejak tahun 1970an baru lah dimulai perhatian untuk meletakkan peran perempuan dalam upaya memecahkan masalah kependudukan dan pangan. PBB dalam decade awal telah mulai meletakkan wanita sebagai objeknya dengan formulasi mengintegrasikan perempuan dalam pembanguan (Women in Development) Ester Boserup, seorang ahli ekonomi pertanian yang telah banyak melakukan penelitian di Negara-negara di Afrika, Asia, Karibia dan Amerika Latin di tahun 1970an, menjabarkan dalam bukunya yang berjudul “Women’s Role in Economic Development” tentang pengaruh kolonialisasi dan modernisasi melalusi sistim ekonomi pasar internasional terhadap pada pembagian kerja tidak adil antar jenis kelamin. Proses modernisasi ini menarik tenaga kerja laki-laki dari sector produksi dan memberi mereka akses lebih besar terhadap sistim ekonomi pasar dan sumberdaya lainnya. Boserup menegaskan bahwa Negara berkembang harus lebih berusaha keras mengintegrasikan perempuan secara menyeluruh dalam proses pembangunannya. Sejak itu, perhatian terhadap upaya meletakkan aspek perempuan dalam pembangunan di Negara-negara berkembang semakin diperhatikan. Pada Tahun 1980an adalah titik awal sejarah masukkan agenda pengembangan peran perempuan dalam agenda PBB. Selanjutnya dalam setiap pertemuan tingkat dunia, seperti Earth Summit di Rio de Jainero tahun 1992, the World Conference on Human Rights (Vienna, 1993), the International Conference on Population and Development (Cairo, 1994), the World Summit on Social Development (Copenhagen, 1995), the
Fourth World Conference on Women (Beijing, 1995) and the UN Conference on Human Settlements (Istanbul, 1996) and the World Food Summit (Rome, 1996), aspek gender dan peran perempuan selalu dimasukkan dalam deklarasi hasil pertemuan dunia tersebut. Sebagai contoh, Deklarasi para Mentri dalam the International Conference on Freshwater (December 2001), sebagai berikut: “Water resources management should be based on a participatory approach. Both men and women should be involved and have an equal voice in managing the sustainable use of water resources and sharing of benefits.The role of women in water related areas needs to be strengthened and their participation broadened.”
Memamahi Pemikiran Kaum Feminis Kerangka teoretika dan pembangunan dari kaum feminis telah mempengaruhi setiap kebijakan dan pemikiran tentang pembangunan. Suatu kontek historis adalah penting untuk memahami pembangunan dan pemikirin feminis serta bagaimana perkembangannya berproses saling mempengaruhi satu sama lain. Sejak abad 17 sampai sekarang pemikiran kaum feminis terus berkembang, baik secara artikulatif ataupun konseptual. Definisi yang paling dikenal luas tentang feminism adalah “An awareness of women’s oppression and exploitation in society, at work and within the family, and conscious action by men and women to change this situation.” (suatu kesadaran terhadap eksploitasi dan opresi terhadap perempuan yang ada di masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta kesadaran untuk berbuat baik oleh laki-laki ataupun perempuan untuk merubah situasi ini). Secara umum, teori teori dan pemikiran kaum feminis pada dasarnya ingin mencari cara untuk membuka: • ketertutupan pemikiran gender yang secara tidak kritis mengasumsikan suatu ikatan penting antara menjadi wanita dan melakukan peran-peran sosial tertentu • jalan bagi perempuan untuk bernegosiasi dengan dunia, • kebijakan terkait untuk negosiasi tersebut Peran-peran social dan jalan bagi perempuan untuk bernegosiasi dengan dunia juga berberda diantara perempuan dalam berbagai konteks (budaya, social, politik, ras ataupun etnik, agama dan sebagainya) dan dengan keragaman karaktek personal (umur, pendidikan, kasta dan lainnya). Pendekatan pembangunan pada umumnya telah membuat banyak kesalahan dalam penyamarataan pemahaman
terhadap kelompok dengan mengabaikan kenyataan keberbedaan situasi dan kondisi perempuan yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti klas social, kasta, ataupun manifesto lainnya dalam kehidupan mereka. Pemikiran feminis liberal Berakar pada tradisi filosofi liberal di abad 16-17 yang berfokus pada idealitas persamaan dan kebebasan. Konsepsi liberal dari persamaan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa semua laki-laki mempunyai potensi yang rasional sehingga setiap hal yang tidak merata harus dijustifikasi dalam kerangka yang rasional. Sementara itu, konsepsi liberat dari kebebasan berarti bahwa setiap orang dikendalikan hanya oleh mereka sendiri dan hanya dibatasi oleh hal-hal tertentu saja, yang secara umum didefinisikan dalam hal ruang publik ataupun pribadi (private). Pemikiran Marxis Klasik Para feminis yang menganut pemikiran marxis klasik mengargumentasikan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, masyarakat manusia menemukan beragam cara untuk hidup, mencari makan, membuat tempat tinggal, pakaian dan lainnya dalam kerangka kehidupan materialistiknya. Di dalam memproduksi elemen-elemen material untuk hidupnya tersebut, manusia bekerja bersama-sama dan masuk ke dalam hubungan social satu sama lainnya. Bentuk-bentuk dan cara hubungan sosial dalam berproduksi ini dikatakan sebagai moda produksi (modes of production). Pada kondisi inilah, perempuan menjadi subordinasi dalam moda produksi tersebut yang bergerak dalam sistim pemilikan/pengusahaan pribadi (private property) Pemikiran Feminis Radikal Pemikiran feminis radikal muncul di tahun 1960an di Amerika dalam merespon pengalaman buruk kaum perempuan yang bekerja dalam perjuangan hak-hak sipil dan pergerakan anti perang. Paham Marxis tradisional menyatakan bahwa aspek Klas adalah faktor utama dalam masalah opresi kaum pekerja dan juga kaum perempuan. Argumentasi feminis radikal, yang juga bergerak dalam paradigm Marx, adalah membuat kesamaan gender sebagai yang sekunder terhadap kesamaan klas telah menghilangkan kepentingan dan aksi pihak perempuan. Feminis radikal menuntut bahwa subordinasi perempuan tidak tergantung pada bentuk dominasi seperti klas. Merek juga mengargumentasikan bahwa sistim yang patriarki, dimana adanya dominasi terhadap perempuan oleh laki-laki, adalah faktor utama yang ada dalam hampir seluruh bentuk masyarakat, meskipun tidak ada sistim klas. Subordinasi perempuan yang melekat dalam baik praktek-praktek hubungan sosial
ataupun jiwa masing-masing individu adalah suatu yang paling sulit berubah disbanding dengan sistim kelas. Feminis Sosialis Muncul di pertengahan tahun 1970an, mengargumentasikan bahwa sistim kelas dan subordinasi perempuan adalah sama pentingnya dan harus diselesaikan secara simultan. Feminis sosialis mendefinisikan ulang konsepsi feminis radikal terhadap patriarki, dimana menurut mereka adalah sebagai satu himpunan pola hubungan hirarkis berbasis materialis dimana pihak laki-laki mengontrol pihak perempuan dalam kehidupan keluarga ataupun dalam pekerjaan . Mereka menambahkan dimensi sejarah terhadap pemahaman konsep patriarki ini, yang memperlihatkan keragaman bentuk subordinasi sesuai dengan masanya dalam konteks klas, budaya, politik, ekonomi dan juga agama. Perspektif Ekofeminis Pemikiran ekofeminis dikenal juga dengan sebutan “the Women, Environment and Development perspective” yang melihat adanya hubungan alamiah antara perempuan dengan lingkungan sebagai satu kesatuan yang membentuk kehidupan. Sebagai hasil dari keterkaitan ini, perempuan mempunyai kepentingan yang besar untuk mengakhiri dominasi patriarki terjadi alam dan kehidupan mereka. Ekofeminis melihat dominasi patriarki terhadap perempuan sebagai prototype dari semua dominasi dan eksploitasi dalam berbagai bentuk hirarki, militaristic, kapitalistik dan industrialistik. Mereka menekankan bahwa secara alamiah eksploitasi terhadap alam, khususnya, telah bergerak bergandengan tangan dengan perempuan sepanjang sejarah perempuan dan sejarah dari lingkungan alam itu sendiri, dan ini adalah pertalian alamiah antara paham feminis dan ekologis. Ekofeminis melihat pengetahuan kaum perempuan sebagai sumber utama untuk menjaga keberlanjutan ekologis. Feminist Environmentalis Pandangan feminis environmentalis berargumentasi bahwa hubungan laki-laki dan perempuan dengan lingkungan perlu dipahami dalam konteks bentuk yang khusus dari interaksi mereka dengan lingkungan tersebut, misalnya dalam bentuk realitas material. Faktor-faktor seperti gender dan pembagian kerja, kelas, kasta, distribusi kekuasan dan pemilikan mempengaruhi dampak dari perubahan lingkungan terhadap masyarakat dan juga respon mereka terhadap perubahan tersebut. Sejak pengetahuan perempuan tentang alam terbentuk berdasar pengalamannya, faktorfaktor ini selanjutnya membentuk pengetahuan lebih luas tentang pengelolaan
lingkungan. Misalnya, perempuan membutuhkan dan menghasilkan pengetahuan khusus tentang meregenerasi sumberdaya alam dalam bercocok tanam, bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangganya. Feminis environmentalis mendorong pendekatan yang transformasional yang memerlukan satu set perubahan timbal balik yang rumit yang mencakup komposisi apa yang akan diproduksi, teknologi apa untuk memproduksinya, proses seperti apa untuk mendapat teknologi tersebut, sistim pengetahuan seperti apa yang dipakai dalam memilih, dan bagaimana distribusi gender dan klas dalam produksi dan pembagian kerja. Perspektif gender, linkungan dan pembangunan Perspektif ini mengambil akar pemikiran dari feminis environmentalis dan melihat pada keterkaitan timbal balik antara hubungan organisasional, struktur sosial dan metoda dan proses perencanaan pembangunan. Keterkaitan ini menggiring terbentuknya suatu strategi pengelolaan sumberdaya alam yang lebih partisipatif, berkelanjutan dan sensitive terhadap gender. Perspektif ini menekankan bahwa lakilaki dan perempuan berinteraksi dengan sumberdaya alam secara berbeda-beda dan gender adalah faktor kunci dalam pembagian kerja, hak-hak dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya alam. Konsekuensi pandangan ini selanjutnya adalah menuntut suatu transformasi tidak hanya dalam bentuk kesepakatan hubungan antara manusia dan alam, tetapi juga transformasi metoda yang actual yang sesuai bagi manusia dan alam. Pandangan ini jelas memperkaya pendekatan teoritis kaum feminis. Meskipun mereka juga mempermasalahkan isu subordinasi perempuan, mereka mengusung asumsi sendiri tentang sebab dan sumber dari subordinasi tersebut. Perbedaan ini merefleksikan kekayaan dari kehidupan perempuan dan kebutuhan mengintegrasi pengalaman dan pengetahuan perempuan tentang alam ini, dan bergerak maju ke arah teoritisasi yang lebih inklusif dan sensitif tentang baik subordinasi perempuan ataupun kekuatan mereka.
Diskusi 1. Kenapa mengkaji masalah gender menjadi demikian penting dalam kaitannya dengan pembangunan? 2. Bagaimana kira-kira pandangan kaum modernis dan kaum dependensi terhadap resiko pembangunan bila mengabaikan aspek gender dalam proses pembangunannya? dan bagaimana dampak pembangunan terhadap laki-laki dan perempuan yang diindikasikan berbeda, mengapa bisa terjadi demikian?
Bahan bacaan 1. So, Alvin dan Sumaryono. 1985..”Teori Pembangunan dan Perubahan Sosial. LP3ES: Jakarta 2. Fakih, Mansur, 2007. “Runtuhnya teori Pembangunan”, Obor: Jakarta
4 Perspektif Gender dalam Pembangunan Pengantar Dalam bab sebelumnya kita sudah meninjau perkembangan pemikiran feminis dalam pembangunan, kemudian secara khusus untuk membantu mahasiswa memahami keberadaan masalah Gender dalam sejumlah aspek pembangunan telah pula diurai dan dibahas dengan cukup detil perbedaan pandangan ataupun perspektif masing-masing. Selanjutnya dalam bab ini akan secara khusus di urai tiga perpektif utama yang berkembang berkaitan dengan upaya mencapai hasil pembangunan yang sebaik-baiknya. Perkembangan perspektif ini merupakan sari dari perkembangan pemikiran feminis yang setidaknya telah bergulir kedalam tiga kelompok perpespektif pembangunan besar berorientasi pada perempuan dan gender. Pemahaman terhadap perspektif gender dalam pembangunan ini sangat penting dalam upaya membangun kerangka kerja pembangunan yang berkeadilan gender, artinya tidak hanya memberikan manfaat pada pihak laki-laki, tetapi juga pada pihak perempuan. Secara spesifik, penguasaan terhadap perspektif gender ini akan: (a) Membantu kita memahami dan melakukan proses pembangunan sebagai proses berbasis gender (b) Membangun arah transformasi untuk mencapai hasil pembangunan yang lebih baik (c) Memberi arah konsepsi analisis dalam mengkaji kebijakan pembangunan, baik dari pemerintah ataupun dari badan-badan internasional, seperti IMF, World Bank, and the UN.
(d) Mengkritik pendekatan pembangunan selama ini yang terlalu diukur dalam nilai-nilai ekonomi seperti GNP dsb., yang mengabaikan kontribusi perempuan. (e) Membantu arah advokasi untuk membangun program-program pembangunan yang lebih sensitif gender.
Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa akan mampu: (1) Memahami perkembangan perspektif gender dalam pembangunan mulai dari periode sebelum Perang Dunia hingga sekarang (2) Memahami tiga perspektif utama dalam memberi arah pembangunan yang berkeadilan gender, yaitu Women in Development, Women and Development dan Gender and Development (3) Mampu menggunakan perspektif utama tersebut dalam mengkaji, mengkritik dan memberikan pemikiran baru terhadap upaya pembangunan yang berperspektif gender. Perspektif Pembangunan sebelum tahun 1970an Tahun 1930an Pendekatan historis tentang pembangunan adalah penting untuk memahami evolusi pemikiran dan kebijakan pembangunan. Inisiatif pembangunan di tahap-tahap awal, dimulai di tahun 1930an yang masih berada pada periode kolonialisme, dimana mulai secara besar-besar menyebarkan adopsi teknologi barat, kelembagaan dan kepercayaan. Para ahli pembangunan Barat mendefinisikan kesamaan makna antara westernisasi dengan modernisasi. Dalam paradigm modernisasi ini,m mereka meletakan proses modernisasi sebagai proses yang linier, dimana masyarakat tradisional didorong untuk menjadi masyarakat modern (yaitu Barat), baik dalam arti teknologi, kelembagaan dan nilai-nilainya. Tahun 1940an dan 1950an Selama tahun 1940an dan 1950an, para perencana pembangunan merancang proyek-proyek yang ditujukan untuk memodernisasi Negara-negara koloni di seluruh dunia. Banyak dari proyek-proyek tersebut gagal, tetapi tidak sedikitpun mengurangi kepercayaan para ahli pembangunan modernisasi ini. Ketika mulai terjadi kemerdekaan dari kolonialisme ini, seperti India ataupun Indonesia di tahun 1940an,
banyak pemerintahan Negara-negara yang merdeka ini mempekerjaan para ahli pembangunan Barat untuk menolong mereka memenuhi janji-janji politik mereka, yaitu janji akan membawa kemakmuran ekonomi seluruh rakyatnya. Formulas paradigma modernisasi ini melekat pada kepentingan Amerika sebagai kekuatan hegemonic paska perang dunia. Amerika menjadi model bagi Negara-negara dunia ketiga menuju era modern. Dominansi Amerika termasuk dalam hal hegemoni intelektual yang dimainkan melalui pemberian beasiswa-beasiswa, pengambilan kebijakan dan penelitian-penelitian di Negara berkembang.
Perspektif Perempuan dalam Pembangunan in Development)
(Women
Seperti telah disampaikan pada Bab 4, Ester Boserup's (1970) telah meneliti tentang dampak dari proyek-proyek pembangunan terhadap perempuan di Negara-negara berkembang. Boserup menemukan bahwa proyek-proyek tersebut umumnya mengabaikan perempuan dan banyak teknologi yang diintroduksi justru tidak menguntungkan kaum perempuan. Pelatihan-pelatihan teknologi baru itupun lebih banyak sesuai untuk kaum laki-laki, sehingga perempuan terpinggirkan dari proses pembangunan. Seperti halnya kritik terhadap modernisasi, temuan Boserup telah juga mengkritik pembangunan masa itu yang tidak secara otomatis terjadi “trickle down” ke pihak perempuan ataupun ke pihak yang kurang beruntung lainnya. Berdasar temuan inilah, mulai berkembang perspektif “Women in Development” (atau disingkat dengan WID) dikalangan kaum feminis dalam upaya mereka mempengaruhi kebijakan Negara-negara maju seperti Amerika dalam memberi bantuan ataupun mendorong pembangunan di Negara-negara berkembang. Upaya mereka ini menghasilkan Amandemen Percy di tahun 1973 yang menuntut kajian dampak sosial yang sensitif gender pada semua bentuk proyek-proyek pembangunan dengan tujuan untuk menemukan bentuk mengintegrasikan perempuan kedalam peningkatan ekonomi Negara-negara tersebut. Penekanan terhadap “kesempatan yang sama” yang didengungkan oleh kaum Feminis Liberal (lihat bab 3) telah masuk dalam agenda pembangunan di negara-negara berkembang. Hal ini berarti perspektif WID telah menggabungkan teori modernisasi dengan pandangan feminis liberal. Pendekatan WID yang menuntuk pengintegrasikan perempuan ke dalam proses pembanguan, secara perlahan-lahan menjadi perhatian banyak pemerintah dan lembaga donor. Sebagai konsekuensinya, banyak pemerintahan yang menetapkan satu departemen khusus untuk urusan perempuan. Contohnya di
Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, sampai tingkat daerah. Di lembaga-lembaga donor, semakin banyak mempekerjaan perempuan dan para ahli WID untuk membantu program-program pembangunan di Negara berkembang. Satu hal yang penting dengan berkembangnya perspektif WID ini telah mendorong perubahan terutama kebutuhan untuk memperbaiki ukuran statistif peran perempuan dengan lebih memberi kesempatan perempuan untuk pendidikan dan pekerjaan. Namun demikian, pendekatan WID juga mempunyai keterbatasan penting yang cenderung membatasi kapasitas transformasi pada banyak tingkatan. Karena pendekatan ini berpijak kuat pada teori modernisasi yang secara umum terlalu kuat meyakini bahwa model Barat dapat memberi jawaban kepada perubahan yang baik, dengan mengabaikan kemungkinan pemahaman dan pengetahuan local yang ada dan hidup dalam masyarakat Negara berkembang. Upaya mengintegrasi perempuan dalam pembangunan tidak demikian mudah diterapkan dalam masyarakat. Negara berkembang yang mempunyai sistim sosial budaya dan politik yang berbeda dengan Barat. Selama beberapa decade, lembaga pemerintahan bidang perempuan di banyak Negara berkembang ternyata tetap terkooptasi dalam bentuk system yang sudah mapan, sehingga seringkali mengakibatkan rendahnya pendanaan dan kekuatan politis dari lembaga pemerintahan bidang perempuan ini. Sehingga, yang terjadi adalah sejumlah pergerakan pengembangan peran perempuan diluar konteks pemerintahan, tetapi lebih banyak dilaksanakan oleh lembagan non-pemerintah (LSM/NGO). Lembaga-lembaga ini bermunculan pada akar rumput, bekerja dengan lembaga donor asing dalam berbagai aspek pembangunan di Negara-negara berkembang. Satu hal lagi, ternyata perspektif WID ini secara umum mengabaikan isu dampak ketidakmerataan global terhadap perempuan di Negara berkembang dan masalah ras ataupun klas dalam kehidupan perempuan. Perspektif teori lain sangat diperlukan untuk menyentuh isu yang fundamental ini.. Perspektif Perempuan dan Pembangunan Development)
(Women and
Sejumlah peneliti mencari jawaban terhadap masalah perempuan dalam pembangunan dari sudut pandang teori Marx yang dengan keras mengkritik modernisasi liberal melalui teori dependensia-nya (lihat bab 3). Hanya saja, teori alternative yang berkembang ini hanya mempunyai sedikit konsepsi yang menyatakan tentang perempuan dan kegagalannya untuk menjawab pentingnya modernisasi. Penganut Marxis telah secara umum menerima argument Engels bahwa subordinasi perempuan adalah suatu konsekuensi dari pembangunan
kapitalis berpola pemilikan pribadi/swasta dan bahwa suatu kesuksesan pertarungan antar klas, dan oleh karena itu berakhirnya sistim kapitalis diperlukan sebelum keadilan gender dapat diubah. Pemikir-pemikir Marxis telah menghabiskan enerji mereka kedalam perjuangan melawan kapitalis dibanding menyerang sistim yang patriarki yang mereka anggap sebagai bagian dari sistem kapitalis. Meskipun para penganut Marxis cukup senang dengan menghindari isu gender, sejumlah kaum feminis yang bekerja dalam lingkup paradigma Marxis terus mengembangkan perdebatan ini dan memasukkan apresiasi yang lebih dalam tentang pekerja reproduktif (domestic) dan peran klas dalam kehidupan perempuan yang menyediakan kerangka analisa pembangunan bagi perspektif feminis sosialis (lihat feminis sosialis di Bab 3). Dalam konteks teori pembangunan, kritik Marxis terhadap modernisasi dan kapitalisa di Negara berkembang dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana kemiskinan dan ketimpangan semakin luas terjadi. Alternatif pembangunan kemudian digiring oleh pencetus teori dependensia di awal tahun 1970an yang dapat dikategorikan sebagai gerakan radikal yang mengusung upaya melepas ikatan dengan Barat. Pemikiran radikal dari dependensia ini dalam berapa hal ternyata parallel dengan pemikiran kaum feminis radikal yang juga mengadvokasi pemisahan pada derajat tertentu dengan sumber kekuasaan dan dominasi. Mereka mempunyai argumentasi bahwa sistim patriarki eksis dalam masyarakat dan merupakan sumber utama yang mendasar dari ketidaksetaraan. Secara politis, mereka menyarankan kebutuhan untuk membangun model alternative kelembagaan sosial yang lebih member kesempatan perempuan untuk memenuhi kebutuhannya. Selama tahun 1970an, pendekatan ini telah banyak mempengaruhi pemikiran dan pergerakan kaum akademis dan aktivis di lembaga-lembaga non pemerintah, yang mendorong proyek-proyek khusus perempuan yang secara komplit terpisah dengan laki-laki. Mereka melihat bahwa mengintegrasikan perempuan kedalam pembangunan dalam sistim yang bersifat patriarki adalah tidak akan berhasil, karena perempuan tetap berada dalam sistim yang tersubordinasi. Untuk itu mereka banyak mengusung proyek-proyek yang bersifat “hanya perempuan”, yang secara hati-hati dikonstruksi untuk memproteksi kepentingan perempuan dari dominasi patriarki. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan Perspektif Women and Development (WAD). Paradigma WAD menekankan pada kekhasan pengetahuan, pekerjaan, tujuan dan tanggungjawab perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Oleh karena itu, perspektif WAD menuntut pengakuan terhadap kekhasan ini sehingga perempuan dapat berperan secara khusus dan tersendiri dalam proses pembangunan. Misalnya; karena diyakini bahwa perempuan di Afrika memegang peran penting dalam
produksi pertanian, maka pemberian kredit pertanian harus diberikan melalui mereka. Hal ini dikenal dengan slogan “give credit where credit is due”. Kampanye pendekatan ini mendorong perubahan kebijakan dalam banyak aspek pembangunan yang menempatkan perempuan sebagai kunci penggerak pembangunan. Meskipun perspektif WAD telah menawarkan koreksi penting terhadap perspektif WID, tetapi hal ini masuk terlalu awal untuk meyakini bahwa perubahan akan terjadi dalam mengurangi ketidaksetaran pada sistim yang lebih luas, sistim patriarki Negara yang masih dominasi laki-laki. Selama periode tahun 1970an, pergerakan sosial yang melawan sistim, argument paham dependensia dan perkembangan perhatian terhadap kemiskinan di Negara dunia ketiga telah makin mempengaruhi pemikiran pembangunan yang liberal. IMF dan Bank Dunia mulai ikut serta bergerak memerangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar kelompok paling bawah. Para ahli WID pun mengadopsi pendekatan WAD ini dengan meletakkan target groupnya pada perempuan dalam kebijakannya. Jadi, selama periode 70an ini, pemikir pembangunan ortodok dan radikal sepakat memerangi kemiskinan walau mereka melakukannya dengan cara yang mungkin berbeda.
Perspektif Gender and Development Pembangunan)
(Gender dan
Pada pertengahan tahun 1980an, politik konservatif mendominasi pemerintahan Negara-negara Barat dan lembaga-lembaga donor. Masalah kondisi ekonomi Negara-negara tidak berkembang mulai menggantikan perhatian mereka terhadap masalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Dibarengi dengan dua masalah besar, krisis minyak dan besarnya hutang international, membuat terjadinya resesi global yang menghantam keras kondisi ekonomi Negara-negara dunia ketiga. Saat pemikir dependensi menilai bahwa hutang sebagai komponen modal yang hanya menyedot kesejahteraan dari Negara miskin ke Negara kaya, lembaga-lembaga pembangunan internasional, khususnya IMF dan Bank Dunia, malahan mengambil langkah searah dengan pendekatan modernisasi, dimana menurut mereka, Negara dunia ketiga memerlukan suatu penyesuaian struktural (structural adjustment) untuk membangun diri sendiri. Program-program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programs) kemudian dirancang untuk mereduksi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan kekuatan pasar Negara-negara dunia ketiga untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi mereka. Berarti, sekali lagi, asumsi pemikir
pembangunan liberal mendominasi SAPs ini, termasuk asumsi bahwa kesejahteraan ekonomi secara agregat akan juga meneteskan manfaatnya ke kaum perempuan. Dalam konteks ini, penekanan telah diberikan pada upaya meningkat kontribusi ekonomi perempuan untuk meningkatkan keseluruhan efisiensi ekonomi dan menghasilkan keadilan pada perempuan (Moser, 1989). Beberapa spesialis pembangunan yang bekerja dalam aspek perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan telah mulai mempertanyakan asumsi bahwa program penyesuaian structural ini akan, dalam jangka panjang, memberi manfaat pada semua orang. Beberapa telah mengidentifikasi bahwa perempuan dan anakanak paling menderita dari kesalahan aksi jangka pendek yang dilakukan SAPs. Sejumlah feminis dan ahli teori pembangunan telah tidak meyakini pendekatan baik WID dan WAD, yang menekankan pada faktor-faktor fundamental yang menstrukturisasi dan memaintain ketidak merataan. Selanjutnya, para pemikir dan aktivis mulai beralih ke perspektif “Gender and Development (GAD) sebagai suatu alternatif baru setelah WID dan WAD. Kerangka kerja GAD pada dasarnya juga merujuk kepada “pendekatan pemberdayaan” ataupun “perencanaan yang sensitive gender”. Pendekatan ini awalnya muncul dari pengalaman-pengalaman organisasional di tingkat akar rumput, dan tulisan-tulisan kaum feminis di Negara berkembang, dan telah secara jelas di artikulasi oleh sekelompok perempuan yang disebut “Development Alternatives with Women for a New Era (DAWN)” in tahun 1980an. DAWN pertama kali dikenalkan ke public pada pertemuan NGO internasional di Nairobi tahun 1985, yang dihadiri oleh lebih 15000 aktivis perempuan yang diselenggarakan parallel dengan World Conference on Women. Menurut Sen dan Grown (1987), DAWN telah mengumandangkan suatu pendekatan pembangunan perempuan yang mengakui kepentingan masalah ketidaksetaraan gender dan global. Pendekatan GAD juga bangkit dari pengalaman dan analisa kaum feminis sosialis Barat yang tertarik pada masalah pembangunan (lihat Young et al, 1981 dan Moser, 1989). Perspektif GAD menyuarakan suatu sintesa isu-isu ekonomi politik yang materialistis dan isu feminis radikal terhadap ideology patriarki. Menyerap pemikiran perspektif feminis sosialis, pendekatan GAD berargumentasi bahwa status perempuan dalam masyarakat dipengaruhi kuat oleh kondisi material kehidupan mereka dan oleh posisi mereka dalam sistim ekonomi nasional, regional dan global. GAD juga mengakui bahwa perempuan juga dipengaruhi kuat oleh kekuatan alamiah dari patriarki dalam sistim kemasyarakatan mereka, baik di tingkat nasional, komunitas maupun rumah tangga. Lebih lanjut, kondisi materialistic perempuan dan pola kewenangan patriarki keduanya dimaknakan dan dijaga oleh norma-norma dan
nilai-nilai yang ada, yang membedakan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki dalam masyarakat (Sen dan Grown, 1987). Perspektif GAD mengadopsi pendekatan dua sisi dalam studi tentang perempuan dan pembangunan, menginvestigasi kondisi material perempuan dan posisi klasnya, serta struktur patriarki dan ide yagn memaknakan dan mempertahankan subordinasi perempuan. Perspektif GAD menfokuskan analisanya pada hubungan antara perempuan dan laki-laki, tidak pada perempuan sendiri. Perspektif GAD melihat bahwa hubungan dalam gender dilihat sebagai kunci penentu dari keberadaan posisi perempuan dalam masyarakat. Hubungan dalam gender bukanlah suatu sebagai refleksi yang kekal (immutable reflections) secara alamiah, tetapi merupakan pola perilaku sosial yang terkonstruksi, yang dapat berubah jika diinginkan. Pendekatan GAD yang berfokus pada hubungan timbal balik antar gender, klas, ras dan konstruksi sosial dari karakter mereka sendiri. Menurut Moser (1993) perempuan mengalami opresi yang berbeda-beda menurut ras, klas, sejarah colonial, budaya dan posisi mereka dalam struktur ekonomi internasional. GAD mengakui keragaman dampak dari praktek-praktek dan kebijakan pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki dan melihat perempuan seharusnya juga diperlakukan sebagai agen perubahan, bukan secara sederhana sebagai penerima manfaat dari pembangunan saja. Dalam perspektif GAD, dengan jelas dibedakan antara kepentingan perempuan (sebagai kategori biologi yang mengasumsikan homogeneity) dan kepentingan gender (sebagai satu bentuk konstruksi sosial tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dan praktekpraktek materialnya) Oleh karena itu, kepentingan gender dapat berarti praktikal ataupun strategic. Secara praktis, kebutuhan gender muncul secara konkrit misalnya kebutuhan terhadap makanan, tempat tinggal, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Secara strategic, kepentingan gender muncul dalam bentuk analisa subordinasi perempuan yang memerlukan perubahan secara struktural (gender relation, klas, dan ras) dari bentuk hubungan gender dalam konstruksi sosial masyarakat yang ada. Kepentingan strategi mengandung tujuan tercapainya sasaran kesetaraan gender. Dibanding dengan pendekatan WID dan WAD, pendekatan GAD lebih menyediakan jalan untuk menganalisa kebijakan dan upaya-upaya organisasional dalam menentukan yang mana yang akan bersama-sama mencapai kebutuhan praktikal jangka pendek dan membantu perubahan struktural dari subordinasi. Walau selama tahun 1980an, lembaga donor masih menerapkan aktivitas berbasis WID, perspektif GAD telah secara nyata membentuk perhatian dan aktivitas para NGO feminis yang pada gilirannya terbentuk oleh pengalamannya tersebut.
Materi untuk Aktivitas Diskusi di Kelas Materi 1: Persepsi yang berbeda (1) Perlihatkan gambar 1. berikut dan tanyakan apa yang terlihat (2) Perlihatkan gambar 2. berikut dan tanyakan apa yang terlihat (3) Berikan jawaban terhadap gambar 2 tersebut, kemudian perlihatkan gambar 3 dan tanya apa yang terlihat (4) Tanyakan apa komentar mereka terhadap proses menyatakan apa yang telah dilihat pada gambar 2 dan 3 tersebut. Materi 2: Peran perempuan dalam Pembangunan Buat kelompok berpasangan (atau paling tidak ada kombinasi) Diskusikan dua hal berikut: Part 1: Apa saja resiko bila mengabaikan gender dalam proses pembangunan? Part 2: Bagaimana dampak pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki yang diindikasikan berbeda dan mengapa bisa terjadi demikian? -- misal: • dalam modernisasi pertanian di pedesaan – bgm dampaknya terhadap lakilaki dan perempuan? • dalam perkembangan kegiatan ekonomi di perkotaan – bgm dampaknya? • dalam industrialisasi à bgm dampaknya?
Materi 3: Persepsi gender Topik pertanyaan diskusi: KENAPA MEREKA MISKIN? Diskusikan asumsi/hipotesis yang mungkin ada pada wanita dan pria berikut tentang pertanyaan tersebut: 1. Istri/suami dari seorang profesional yang sukses yang tidak bekerja di luar rumah 2. Seorang pria/wanita pensiunan pegawai 3. Seorang pria/wanita petani yang subsisten 4. Seorang pria/wanita eksekutif dari lembaga donor Berdasar asumsi tersebut, apa penjelasan yang mungkin ada pada mereka, kenapa mereka berfikir demikian tentang kemiskinan tersebut? Apakah ada penjelasan yang sama atau berbeda diantara mereka, bagaimana persamaan dan perbedaannya?
Apakah yang kita lihat dari perbedaan tersebut? siapa yang mungkin akan paling berpengaruh? And why? Sumber Bacaan a. World Bank, 2002, Pembangunan berperspektif Gender:Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia (terjemahan). Jakarta:Dian Rakyat b. Julia Cleves Mosse, 1996, Gender dan Pembangunan (terjemahan), Jakarta: Kerjasama Rifka Annisa Women Crisis Center dengan Pustaka Pelajar