G
edung-gedung yang menjulang tinggi kini kujadikan sebagai sahabat. Sebelumnya aku seringkali memaki-maki mereka. Mereka begitu tampak megah berdiri di tengah-tengah masyarakat lemah. Seperti sedang menyombongkan diri dari semua hal yang terlihat kecil di sekitarnya. Seperti aku ini, kecil, dekil, dan labil. Tapi ternyata gedung-gedung ini tak seangkuh yang kubayangkan, tak sesombong yang kukira. Barangkali aku salah, aku kira hanya orangorang yang berada di dalamnya saja yang mungkin demikian congkak. Pada salah satu gedung-gedung tinggi ini aku duduk di tepian lantai paling atas. Mengayun-ayunkan kedua kakiku, seperti sedang melayang. Seperti dekat dengan Tuhan. Kunikmati warna langit jingga yang mulai memudar. Sebentar lagi akan kudengar pujian dari masjid-masjid yang
tak kalah kokoh berdiri diantara gedung-gedung ini. Ah! Ini membuatku rindu pada bapak dan emak di rumah. * Bapak sama emak itu selalu begitu. Ada saja yang diperdebatkan setiap kali senja mulai memudar atau kalau tidak ketika suara azan Maghrib mulai terdengar. Kalau sudah begitu aku akan masuk kamar, tutup pintu, dan puter musik keras-keras. Biar! Biarlah suara azan kusaingi dengan musikmusik dangdut kesukaanku. Biarlah gendang telingaku rusak dari pada harus mendengar percekcokan bapak dan emak dengan tema perdebatan yang sama setiap harinya. Emak memasuki kamarku, hal sama yang selalu dilakukan emak ketika kalah debat dengan bapak. Emak mematikan musik dangdut yang kuputar, kemudian memintaku agar memasang telinga dengan baik, lantas emak mulai menyurahkan isi hatinya padaku. “Bapakmu itu dari dulu ndak bisa berubah.
Sudah emak bilang jangan main judi terus, kok malah ngamuk-ngamuk. Katanya, ‘hari ini pasti beruntung! Hari ini pasti beruntung!’ Boro-boro beruntung, yang ada malah jadi buntung. Kamu mbok ya nyoba bilangin ke bapakmu, Nduk!” selalu seperti itu. Kalimatnya sama, intonasinya sama, dan diakhiri dengan perintah yang sama. Entah sudah berapa kali kupenuhi perintah emak buat merayu bapak agar tak bermain judi lagi, yang ada malah aku mendapat berjubal wejangan ajaib dari bapak, seperti ‘kamu belajar aja yang rajin, biar besok ndak dapet jodoh yang saklek,’ seketika itu aku akan mengernyitkan dahi lantaran tak mengerti omongan bapak. Di mana korelasinya, belajar yang rajin bisa dapat jodoh yang tak saklek? Bukan! Bukan! Aku justru lebih tak mengerti mengapa bapak menyelipkan kata jodoh di wejangannya . Umurku masih berapa? * Bapak sama emak itu selalu begitu. Sore bertengkar, waktunya makan malam tak ada yang mau peduli, harus aku yang siapkan semuanya sendiri. Menjelang mau tidur pasti mereka sudah mesra lagi. Kalau sudah begitu aku disuruh masuk kamar dan mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Maunya apa? * Pagi tiba. Bapak dan emak kembali berdebat, pasti aku lagi yang kena sasaran. “Sana bangunin bapakmu, minta duit sama bapakmu,” suruh emak ketus. Aku membangunkan bapak yang masih mendengkur, meski sedikit takut karena pasti mengganggu tidurnya, tapi kubangunkan juga demi mendapatkan duit tiga ribu rupiah untuk membeli jajan di kantin plus ongkos naik angkot. Emak menunggui di ruang makan. Emak pasti mendengar bapak mengomeliku. “Minta sama emakmu saja, duitnya lebih banyak dari bapak!” Aku kembali pada emak. Cuma bisa mengangkat bahu. Emak manyun, gilirannya menghadapi bapak ketika aku tak mendapat apa yang seharusnya menjadi hakku. “Pak, bangun! Kalau ndak mau ngasih duit, anterin tuh, Sari ke sekolah, kasihan kalau harus jalan kaki. Jauh,” pembelaan emak masih bisa kudengar dari ruang makan. Aku masih menyantap sarapanku yang belum habis dengan menu nasi sambal dan kerupuk. Meski tak istimewa tapi aku menyukainya. Ini menja-
di makanan favoritku. * Bapak mengantarku ke sekolah. Matanya masih seperti mata panda, mengantuk. Digulungnya sekali lagi sarung yang dipakainya. Bapak memakai singlet. Sepanjang perjalanan bapak mengomeliku. Lagi-lagi keluar wejangan ajaib dari bapak, “Nduk, kamu kalau sekolah yang rajin, biar besok ndak susah nyari rupiah.” Aku hanya manggut-manggut di belakangnya, kali ini aku mengerti. * Sejak pagi menuju siang. Siang menuju malam, properti beserta isinya di atas meja makan tak berubah, hanya jumlahnya saja yang berkurang. Bapak mulai merutuki emak. Emak pasti bakal meladeni. Emak memang tak pernah mau kalah sama bapak. “Dari tadi pagi lauknya sama terus, masih ada ya istri jaman sekarang yang ndak kreatif, ndak bisa masak apa?” Sindir bapak dengan tetap menyantap makanan yang ada. “Gimana mau kreatif kalau duit belanjanya segitu-gitu saja,” tanggap emak dengan santai. “Pan udah aku kasih, Mak!” Bapak tak mau kalah. “Ngasihnya tak seberapa saja ngomong dikeras-kerasin. Ini duit yang Mas kasih cuma cukup buat beli kopi sama gula. Nanti kalau ndak ada kopi, marah-marah lagi.” Sebelum aku disuruh masuk kamar dan mengunci kamarku, aku lebih dulu melakukannya. Biarlah bapak dan emak berdebat ria dan setelah itu biarlah mereka kembali bermesra ceria. Biarlah semauanya mereka bagaimana. * Sepagi ini tak kudapati bapak dan emak berada di rumah, padahal ini hari libur, harusnya mereka berada di rumah. Ah, mungkin bapak sedang melihat adu ayam, mungkin juga emak sedang mencari pinjaman duit buat saku sekolahku besok. Tik! Tok! Tik! Tok! Sampai sesiang ini juga belum pada pulang. Makkk, aku lapar, Mak. Aku mendengar suara motor butut bapak, kuintip dari balik pintu. Bapak datang bersama emak. Mereka tak juga masuk, masih mesra di teras rumah. Aku enggan bergabung dengan mereka, takut kalau keberadaanku di sana mengganggu kemesraan mereka yang hanya sekilat dua kilat terjadi. Ah, semoga saja setelah ini tak ada lagi
percekcokan di antara mereka. Sembari menunggu emak dan bapak masuk, entah kenapa aku berniat membuatkan mereka kopi dan teh. Kopi pahit untuk bapak, teh tawar untuk emak. Bukan karena mereka tak suka yang manis-manis, tapi karena tempat gula sudah tak lagi dikerubungi semut. Gulanya habis! * “Nduk, kemari. Bapak belikan sesuatu untukmu,” suara bapak kudengar dari ruang makan tepat setibanya emak yang tiba-tiba nongol di depanku. “Ayok ikut emak keluar, emak belikan sesuatu untukmu, Nduk,” Emak mengajakku ke teras, mau memperlihatkan sesuatu padaku. Aku meninggalkan dua cangkir yang berisi minuman berbeda tadi, penasaran sama apa yang akan diberikan padaku, karena kuintip tadi, mereka tak bawa apa-apa. Aku tersenyum. Aku senang. Aku dibelikan sepeda, tak baru tapi masih terlihat ayu. Aku tak peduli siapa yang membelikanku ini, terlepas dari pengakuan bapak atau emak yang membelikan sepeda ini, yang pasti besok pagi aku tak lagi membuat kericuhan ketika berangkat sekolah. Tak perlu membangunkan bapak untuk mengantarku atau tak perlu meminta duit untuk ongkos. Kopi pahit dan teh tawar yang tadi kubuat, kupersembahkan untuk bapak dan emak sebagai bentuk terima kasih. * Satu bulan sudah kunikmati sepeda ini. Bukan tak ada masalah, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tiap kali kugenjot pedalnya, aku seperti mendengar seseorang membisikiku, ‘dit... kredit... dit... kredit ....’ Ah, iya sepeda ini pasti belum lunas. Aku melihat seseorang di depan rumahku. Rumahku tertutup rapat, padahal jam pulang sekolah begini, emak pasti di rumah. Aku tak meneruskan genjotanku meskipun rumahku tinggal beberapa langkah lagi. Aku bersembunyi di balik warung yang ada di dekat rumahku. Aku tau betul siapa yang datang.
Emak pasti sengaja tak membukakan pintu. Emak pasti sedang berdiam diri di kamar tanpa suara sedikitpun sampai rentenir itu benar-benar pergi. Ah, emakkk, aku pingin membantumu melunasi utangutang yang melilit keluarga kita. “Sari!” Aduh ...! Suara bapak lantang kudengar. “Ngapain ngintip-ngintip kayak maling begitu?” Aku melihat rentenir itu menengok ke arahku dan bapak. Telat! Ah, bapak ini tiak bisa melihat situasi. Percuma dari tadi aku mengendap-endap seperti ini. “Pak, kapan bayar sepedanya? Ini sudah satu bulan, kalau tak bisa melunasi, sepeda ini aku tarik lagi.” Deg! Hatiku seperti dihujam berjuta pisau tajam. Bagaimana tidak, baru satu bulan kunikmati indahnya bersepeda, sudah mau diambil saja. Aku pasrah, berserah. Aku tak mau berdebat apa lagi sampai melihat bapak berkelahi hebat karena tak terima dengan perlakuan rentenir itu. Aku tau bapak, bapak pasti akan menghabisinya. Aku memutuskan masuk rumah setelah menyerahkan sepeda itu. Emak kebingungan melihatku datang dengan cucuran air mata. Emak keluar. Aku masih mendengar bapak memaki rentenir itu. “Bawa saja, Pak, kami ndak butuh,” kata emak yang menghampiri bapak. Ah, emak, bisa-bisanya bilang tak butuh. Bapak dan emak duduk di ruang makan. Lagi-lagi mereka berdebat ria, lebih meriah dari biasanya. Kudengar suara pecahan piring yang sengaja dihempaskan. Aku tak memutar musik dangdut, aku hanya terus melanjutkan tangisanku. Kebahagiaanku baru saja lenyap hanya karena sepeda bekas pemberian bapak dan emak tak bisa lagi kunikmati. * Terik matahari membakar semangatku, bakarannya tak membuat semangatku membara tapi justru membuatnya hilang. Aku lelah, aku bosan dengan duniaku di rumah. Bapak, emak, dan semua percekcokan yang tak ada habisnya. Aku terperangkap di dalamnya. Berjalan keluar dari perkampungan yang keruh oleh sampah-sampah menumpuk. Aku menyusuri sepanjang jalan trotoar. Tiga hari berdamai dengan kehidupan di jalanan, bertemu dengan orang-orang baru yang nasibnya sama
sepertiku, bahkan lebih drama dari kehidupanku. Berbagi kisah, bertukar cerita, dan mempelajari halhal yang biasa mereka lakukan. Seperti bagaimana mendapatkan duit dari dalam tas-tas bermerek, bagaimana bisa mendapatkan makan enak tapi tak bayar, dan satu lagi, gaya mereka ketika mengisap sesuatu di dalam kaleng kecil yang membuat tubuh mereka sempoyongan. Dari semua hal yang mereka tunjukkan kepadaku, aku sebatas mengerti bagaimana gaya hidup mereka, bagaimana cara mereka mempertahankan hidup, dan aku tak sekalipun ingin mengikuti, karena bagiku semua orang punya caranya sendiri untuk mempertahankan hidup. Bapak dan emak bilang, sekalipun aku tak memiliki harta, aku harus memiliki harga diri. Mencuri, mengelabuhi, dan hal lainnya yang tak pernah diajarkan oleh bapak dan emak kepadaku, aku tak akan melakukannya. Aku akan segera pulang. ***