GBHN = Demokrasi Mayoritas Muchamad Ali Safa’at1
Dengan menggunakan teori Arend Lijphart (1999) tentang pola negara demokrasi, Tulisan Yudi Latif berjudul “Basis Sosial GBHN” (Kompas,12/2/2016) memberikan argumentasi tentang pentingnya GBHN. Argumentasi dasarnya, demokrasi permusyawaratan Indonesia adalah demokrasi konsensus. Di dalam negara kekeluargaan dengan demokrasi konsensus, kebijakan dasar pembangunan tidak diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan majoritarian. Sistem yang berjalan saat ini adalah bentuk demokrasi mayoritas. Oleh karena itu dibutuhkan GBHN yang dibentuk oleh MPR adalah wujud konsensus representasi seluruh kekuatan politik rakyat. Walaupun GBHN yang digagas tidak harus sama dengan masa lalu, namun konsep dan mekanisme kelembagaannya tetap sama, yaitu dibentuk oleh MPR dan tentu saja dipertanggungjawabkan kepada MPR. Tulisan ini mengkritisi pandangan Yudi Latif dari dua sisi. Pertama, menunjukkan bahwa sistem yang saat ini dijalankan memenuhi model demokrasi konsensus dengan menggunakan teori Lijphart. Kedua, pembentukan GBHN dengan segala konsekuensi struktural dan proseduralnya justru akan menjerumuskan ke model demokrasi mayoritas. Pilihan Model Demokrasi Model demokrasi yang dibuat Lijphart lahir dari penelitian di tiga puluh enam negara demokrasi. Penelitian ini berangkat dari adanya klasifikasi demokrasi modern menjadi dua model, yaitu The Westminster Model of Democracy atau Majoritarian
Model dan The Consensus Model of Democracy atau Proportional Model. Tentu saja pembagian itu tidak dapat menghindarkan diri dari simplifikasi. Satu negara dapat berada diantara kedua model ekstrem. Satu negara dapat memenuhi model demokrasi mayoritas di satu variabel, tetapi berada pada demokrasi konsensus pada variabel lain.
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Aspek yang diteliti meliputi dua dimensi yang memiliki pengaruh terhadap struktur dan dinamika negara demokrasi, yaitu dimensi eksekutif-kepartaian
(executives-parties
dimension)
dan
dimensi
federal-kesatuan
(federal-unitary
dimension). Dimensi eksekutif kepartaian memiliki lima variabel perbedaan karakteristik, yaitu (1) konsentrasi kekuasaan eksekutif pada kabinet mayoritas satu partai versus pembagian kekuasaan eksekutif pada koalisi multipartai yang luas; (2) dominasi eksekutif dalam hubungan dengan legislatif versus keseimbangan kekuasaan; (3) sistem dua partai versus multi partai; (4) sistem pemilihan mayoritas
versus perwakilan proporsional; dan (5) kompetisi bebas kelompok kepentingan versus sistem kelompok kepentingan “korporatis”. Lima variabel pembeda pada dimensi federal-unitary adalah; (1) negara kesatuan dan sentralisasi pemerintahan versus negara federal dan pemerintahan terdesentralisasi; (2) konsentrasi legislatif dalam perlemen unikameral versus pembagian kekuasaan legislatif dalam parlemen bikameral yang sama kuatnya; (3) konstitusi fleksibel versus konstitusi rigid; (4) supremasi parlemen versus supremasi konstitusi dan rejim judicial review oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi; dan (5) bank central tergantung pada eksekutif versus bank central independen. Dari dimensi eksekutif-kepartaian, model demokrasi mayoritas ditandai dengan (1) sistem parlementer; (2) pemilihan distrik yang disproporsional; (3) sistem 2 partai; (4) pemerintahan oleh satu partai mayoritas; dan (5) kelompok kepentingan pluralis. Pada dimensi federal-unitary, demokrasi mayoritas memiliki karakter (1) negara kesatuan dan sentralisasi; (2) parlemen unikameral; (3) konstitusi fleksibel; (4) supremasi parlemen; dan (5) bank central bergantung pada eksekutif. Perwujudan model demokrasi konsensus pada dimensi eksekutif-kepartaian adalah (1) sistem presidensial; (2) sistem pemilihan proporsional; (3) sistem multi partai; (4) pemerintahan koalisi; dan (5) kelompok kepentingan korporatis. Pada dimensi federal-unitary, demokrasi konsensus diwujudkan dengan adanya
(1)
negara federal dan pemerintahan terdesentralisasi; (2) parlemen bikameral yang sama kuat; (3) konstitusi rigid; (4) judicial review oleh MK; dan (5) independensi bank central.
Berbeda dengan Yudi Latif yang secara tersirat menyatakan bahwa demokrasi yang
berkembang
di
Indonesia
adalah
demokrasi
mayoritas,
justru
jika
menggunakan pendekatan Lijphart tampak jelas yang berkembang adalah demokrasi konsensus. Dari kesepuluh variabel yang ada, dapat dikatakan Indonesia hanya kurang dari sisi struktur parlemen yang sudah bikameral namun belum sama kuat. Selebihnya, Indonesia saat ini jelas mengembangkan model demokrasi konsensus. Pada dimensi eksekutif-kepartaian, model demokrasi konsensus di Indonesia ditandai dengan kabinet yang dibentuk presiden selalu merupakan koalisi beberapa partai, hubungan kekuasaan presiden dan DPR bersifat seimbang, sistem multi partai,
sistem
pemilu
proporsional,
dan
kelompok
kepentingan
kooperatif.
Sedangkan dari dimensi federal-unitary, model demokrasi konsensus Indonesia diwujudkan melalui otonomi daerah yang kuat dalam negara kesatuan, konstitusi bersifat rigid, adanya mekanisme judicial review oleh MK, dan bank central yang independen. Pilihan ini lahir dari kondisi sosial bangsa Indonesia yang heterogen atau plural. Tidak ada negara pada masyarakat yang plural menggunakan demokrasi mayoritas karena disamping menjadi tidak demokratis, juga berbahaya sebab minoritas tidak memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga terpinggirkan dan terdiskriminasi. Dalil Yudi Latif bahwa kekuasaan Presiden terlalu besar dalam perencanaan pembangunan nasional yang dituangkan dalam bentuk UU RPJPN, sehingga cenderung mendekati demokrasi mayoritas, tidak sesuai dengan kerangka teori Lijphart. Presiden memang memiliki 50% kekuasaan membentuk undang-undang, menjalankan, dan membuat anggaran, namun itu tidak menghilangkan karakter model demokrasi konsensus. Pembentukan UU dilakukan bersama DPR. Bahkan DPR juga memiliki fungsi pengawasan dan anggaran yang menciptakan keseimbangan hubungan dengan presiden. Keseimbangan hubungan yang lahir dari keseimbangan kekuasaan ini harus dilihat sebagai media yang memastikan pemerintahan hanya dapat dijalankan jika ada konsensus antara seluruh kekuatan politik rakyat. GBHN = Demokrasi Mayoritas
Alih-alih merupakan instrumen menuju demokrasi konsensus, adanya GBHN dengan segala konsekuensi kelembagaannya justru dapat menjerumuskan Indonesia ke
dalam
demokrasi
mayoritas
yang
bertentangan
dengan
demokrasi
permusyawaratan. Hal itu terutama sebagai konsekuensi kewenangan MPR membentuk, mengawasi, dan meminta pertanggungjawaban kepada presiden atas pelaksanaan GBHN. Walaupun sering dibedakan, MPR adalah parlemen. Setidaknya MPR merupakan lembaga perwakilan yang memiliki karakter dan kewenangan sebagai parlemen. Bahkan dari sisi keanggotaanpun MPR mewakili kekuatan-kekuatan politik, baik pada masa orde baru maupun saat ini. Oleh karena itu kembalinya GBHN sebagai ketetapan MPR akan menggeser model demokrasi konsensus ke model demokrasi mayoritas. Penyelenggaraan negara akan lebih ditentukan oleh mayoritas kekuatan politik yang ada di MPR, apalagi MPR bukan merupakan joint session seperti di Amerika. Pendapat ini mungkin dibantah dengan menyatakan pandangan semu bahwa di MPR tidak ada mayoritas minoritas, tetapi berdasarkan konsensus bersama, suatu musyawarah bulat. Pada saat menyusun GBHN memang pasti dapat dilakukan dengan musyawarah mufakat karena merupakan rumusan pedoman atau arahan dasar. Dominasi mayoritas kekuatan politik baru akan dapat dilihat ketika menguji apakah suatu tindakan atau kebijakan presiden melanggar GBHN yang membawa konsekuensi pemberhentian. Sebagai implikasinya, GBHN sebagai produk MPR akan memberikan dua pilihan yang telah terbukti secara historis. Pertama, menjadi institusi yang melanggengkan kekuasaan karena presiden mampu mengatur dan menguasai mayoritas anggota MPR seperti terjadi pada masa orde baru. Kedua, membuat pemerintahan tidak stabil karena presiden dapat diberhentikan kapanpun saat pertanggungjawabannya ditolak MPR yang sesungguhnya lebih karena presiden tidak dapat mengatur dan menguasai mayoritas anggota MPR seperti yang dialami pemerintahan Gus Dur. Selain itu, GBHN juga akan membuat Indonesia di beberapa variabel berdasarkan teori Lijphart menjadi demokrasi mayoritas, yaitu (1) sistem pemerintahan yang mendekati parlementer karena presiden bertanggungjawab
kepada MPR; (2) terjadi konsentrasi kekuasaan legislatif di satu lembaga, yaitu MPR; (3) terjadi supremasi parlemen, yaitu supremasi MPR sebagai pembentuk UUD dan pembentuk GBHN yang tidak dapat diuji oleh MK atau MA; dan (4) UUD 1945 akan bersifat fleksibel, yaitu mudah diubah melalui keputusan MPR sebagai parlemen yang tidak dapat diuji konstitusionalitasnya. Tentu saja tidak berarti GBHN tidak dibutuhkan. Setiap tindakan tentu membutuhkan arah yang hendak dituju dan pedoman dasar dalam menjalankannya. Arah dan pedoman dasar itu tentu harus kesepakatan bersama seluruh rakyat dan merupakan wujud kepentingan bersama, bukan kepentingan politik kelompok tertentu. Arah dan pedoman dasar itu adalah konstitusi kita, yaitu UUD 1945. Konstitusi kita saat ini juga telah dilengkapi dengan tafsiran akhir yang tertuang dalam putusan MK saat menguji konstitusionalitas suatu UU. Pelaksanaan operasional dituangkan dalam berbagai UU, termasuk UU RPJP, sebagai hasil dari konsensus antara presiden (termasuk juga kekuatan politik pendukung presiden) dengan kekuatan politik yang ada di DPR. DPR memiliki wewenang mengawasi pelaksanaan UU sehingga tidak semata-mata menurut keinginan presiden sendiri. MK berwenang menguji UU yang di dalamnya tentu juga memastikan bahwa apa yang hendak dituju dan cara pencapaiannya tidak berdasarkan kehendak mayoritas belaka, melainkan kehendak seluruh rakyat yang dirumuskan dalam konstitusi.