BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Fekunditas Fekunditas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas ikan. Fekunditas adalah jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk betina atau jumlah telur yang dikeluarkan pada waktu pemijahan (Nikolsky 1969 dalam Rose dkk 2001). Pada penelitian ini pengamatan fekunditas dilakukan dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan dengan proses stripping dari masing-masing induk. Ikan S.decora yang digunakan memiliki berat rata-rata 396,00 g dan ratarata penurunan bobot setelah stripping sebesar 18,98%. S.notatus yang digunakan memiliki berat rata-rata 507,50 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 24,53%, S.multipunctatus memiliki berat rata-rata 20,25 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 4,74% dan Synodontis nigriventris memiliki berat rata-rata 10,25 g dengan rata-rata penurunan bobot setelah stripping sebesar 24,20%.
Gambar 6. Rata-rata Fekunditas Telur Ikan Synodontis
24
25
Fekunditas tertinggi dihasilkan S.notatus dengan rata-rata 11.701 butir dan fekunditas terendah dihasilkan S.multipunctatus dengan rata-rata 38 butir, dapat dilihat pada Gambar 6. Penurunan bobot tertinggi yang diperoleh S.notatus dengan rata-rata sebesar 24,53% dan menghasilkan telur sebanyak 11.701 butir sedangkan S.multipunctatus memiliki rata-rata penurunan bobot terendah sebesar 4,74% dan menghasilkan telur sebanyak 38 butir. Hal ini sesuai dengan pendapat Woynarovich & Horvart (1980) yang menyatakan bahwa jumlah telur dipengaruhi oleh bobot tubuh induk. Jumlah fekunditas akan semakin tinggi jika penurunan bobot tubuh induk setelah memijah semakin tinggi dan diameter telur yang dihasilkan semakin kecil. Faktor lain yang mempengaruhi adalah perbedaan jumlah telur antara masing-masing spesies yang bergantung pada kemampuan individu untuk menghasilkan telur (Nikolsky 1969 dalam Rose dkk 2001).
Tabel 1. Rata-rata Diameter Telur Spesies
Rata-rata Diameter Telur (mm)
Synodontis decora
1,80 ± 0,01
Synodontis notatus
1,62 ± 0,01
Synodontis multipunctatus
2,09 ± 0,01
Synodontis nigiventris
1,25 ± 0,01
Pada pengamatan diketahui rata-rata diameter telur tertinggi didapatkan S.multipunctatus sebesar 2,09 ± 0,01 mm sedangkan rata-rata diameter telur terendah didapatkan S.nigriventris sebesar 1,25 ± 0,01 mm, dapat dilihat pada Tabel 1. S.multipunctatus menghasilkan fekunditas terendah dengan rata-rata 38 butir dan S.notatus menghasilkan fekunditas tertinggi dengan rata-rata 11.701 butir. Hal ini sesuai dengan pendapat Wotton (1990) dalam Fitrianti (2011) yang menyatakan ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanya mempunyai fekunditas yang tinggi dibandingkan dengan ikan yang memiliki diameter yang lebih besar.
26
4.2
Kesesuaian Pemijahan Kesesuaian pemijahan dilakukan dengan pengukuran antara kepala sperma
dan lubang mikrofil telur. Pada pengamatan mikrofil telur digunakan larutan untuk mempermudah pengamatan. Larutan yang digunakan adalah campuran antara asam asetat glasial, etanol
dan formalin dengan perbandingan 1:3:6.
Diameter kepala sperma dan dan lubang mikrofil diamati menggunakan mikroskop mȕnster dengan perbesaran 100x. Pengolahan foto hasil pengamatan dilakukan dengan bantuan software Image J.
Tabel 2. Ukuran Kepala Sperma dan Lubang Mikrofil Synodontis nigriventris
Synodontis decora
Synodontis notatus
Synodontis multipunctatus
Preparat Kepala sperma (μm)
Lubang mikrofil (μm)
Lubang mikrofil (μm)
Lubang mikrofil (μm)
Lubang mikrofil (μm)
1
1,9
2,1
2,3
2,0
2,4
2
2,1
2,0
2,1
2,2
2,3
3
2,0
1,9
2,3
2,1
2,4
4
2,0
2,0
2,1
2,1
2,3
Rata-rata
1,95
2,00
2,20
2,10
2,35
SD
0,08
0,52
0,12
0,08
0,05
Selisih
-
0,05
0,25
0,15
0,40
Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil tertinggi di dapatkan pada S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀ selisih ukuran antara ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil sebesar 0,05 μm, S.notatus♀ x S.nigriventris♂ memiliki selisih sebesar 0,15 μm dan perbedaan selisih ukuran tertinggi S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 0,40 μm, dapat dilihat pada Tabel 2. Proses hibridisasi diduga dapat dilakukan karena ukuran kepala sperma yang lebih kecil dibandingkan ukuran lubang mikrofil telur. Hal ini sesuai dengan Ginzburg
27
(1972) yang menyatakan bahwa beberapa spesies ikan teleostei ukuran kepala sperma berkisar antara 2-3 μm. Ikan Salmo salar memiliki ukuran kepala sperma sebesar 3,5-4 μm dengan diameter lubang mikrofil 3-4 μm. Salmo trutta memiliki ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil sebesar 3 μm dan Carrasius carrasius memiliki ukuran kepala sperma sebesar 3,2 μm dan diameter lubang mikrofil telur sebesar 3,5-4 μm. 4.3
Derajat Pembuahan Telur Hibridisasi dapat dilakukan dengan pemijahan secara buatan. Fertilitas
atau pembuahan adalah penggabungan antara inti sperma dan inti sel telur sehingga membentuk zigot yang kemudian mengalami pembelahan. Hal ini dapat terjadi apabila sperma berhasil menembus mikrofil telur dan bersatu dengan inti telur (Lagler 1972). Derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan penanganan manusia. Telur-telur yang diletakkan di air akan cepat mengembang dan mempercepat proses penutupan mikrofil. Waktu yang diperlukan oleh spermatozoa untuk membuahi sel telur sangat singkat (Woynarovich dan Horvath 1980). Pada penelitian ini telur yang diamati sebanyak 100 butir yang diambil secara acak dari total telur yang dihasilkan masing-masing ulangan perlakuan. Derajat pembuahan telur dihitung dengan melakukan pengamatan pada telur yang telah dibuahi. Perbedaan antara telur yang dibuahi dan tidak dibuahi dapat dilihat dari warna yang muncul. Telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih keruh sedangkan telur yang dibuahi berwarna bening. Pengamatan menunjukan bahwa pemijahan pada S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀
menghasilkan derajat
pembuahan
yang tertinggi
diikuti
S.notatus♀ x S.nigriventris♂ dengan derajat pembuahan 53,75% dan derajat pembuahan terendah S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 25%, dapat dilihat pada Gambar 7.
28
Gambar 7. Rata-rata Derajat Pembuahan Telur Ikan
Derajat pembuahan memiliki perbedaan nyata antara tiap persilangan. Derajat pembuahan tertinggi diperoleh S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ (89,00%) dan derajat pembuahan terendah diperoleh S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ (25,00%), dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Derajat Pembuahan Telur Per Perlakuan Perlakuan
Hibridisasi
Rata-rata Derajat Pembuahan (%)
A
S.decora ♀ x S.nigriventris ♂
40,00 ± 8,52 b
B
S.notatus ♀ x S.nigriventris ♂
53,75 ± 2,99 c
C
S.multipunctatus ♀ x S.nigriventris ♂
25,00 ± 8,98 a
D
S.nigriventris ♀ x S.nigriventris ♂
89,00 ± 3.74 d
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95%
29
Derajat pembuahan tertinggi diperoleh S.nigriventris ♀ x S.nigriventris ♂ (89,00%) diikuti S.notatus♀ x S.nigriventris ♂ (53,75%) dan derajat pembuahan terendah diperoleh S.multipunctatus♀ x S.nigriventris ♂ (25,00%). Perbedaan derajat pembuahan diduga akibat kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil yang berbeda. Ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil antara S.nigriventris♂ dan S.nigriventris♀ memiliki selisih ukuran terkecil sebesar 0,05 μm, S.notatus♀ dan S.nigriventris♂ memiliki selisih sebesar 0,15 μm dan perbedaan selisih ukuran tertinggi S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 0,40 μm. Tingginya derajat pembuahan pada S.nigriventris♂ dan S.nigriventris♀ diduga karena selisih ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil terendah sehingga mencapai kesesuaian pemijahan yang lebih baik dibandingkan pasangan hibridisasi lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Chervas (1994) dalam Said (2011) yang menyatakan terdapat beberapa faktor lain yang menentukan derajat pembuahan antara lain faktor genetik, morfologis dan fisiologis. Faktor morfologis yaitu kesesuaian lubang mikrofil dan diameter kepala sperma sedangkan faktor fisiologis yaitu kualitas sperma ikan jantan. Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil telur sebagai faktor morfologis mendukung tinggi rendahnya derajat pembuahan. Kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil ikan diduga menentukan keberhasilan pembuahan telur. Semakin dekat ukuran kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil maka semakin tinggi peluang keberhasilan fertilisasi. Kesesuaian tertinggi diperoleh S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ dengan selisih ukuran 0,05 μm yang menghasilkan derajat pembuahan tertinggi (89,00%). Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniasih dan Gustiano (2007) yang menyatakan bahwa keberhasilan pada pembuahan ikan ditentukan oleh keberhasilan penetrasi sperma terhadap mikrofil telur. Derajat
pembuahan
tertinggi
diperoleh
antara
S.nigriventris♀
x
S.nigriventris♂ yaitu pemijahan antara spesies yang sama, rendahnya derajat pembuahan pada hasil hibridisasi lain diduga akibat perbedaan kesesuaian antara kepala sperma dan lubang mikrofil. Hal ini juga terjadi pada penelitian Lenomand
30
et al (1999) yang melakukan hibridisasi dengan 10 kombinasi perkawinan antar spesies pada ikan lele asli Indonesia (Clarias batrachus, C.meladerma, C.nieuhofil dan C.teijsmanni) dengan lele afrika (C.gariepinus) hanya C.meladerma x C.gariepinus, C.meladerma x C.nieuhofil dan C.meladerma x C.teijsmanni yang dapat menghasilkan keturunan. Kegagalan terjadi akibat ukuran mikrofil telur yang lebih kecil dibandingkan diameter sperma dari spesies jantan yang digunakan. 4.4
Kualitas Larva Kualitas larva dibagi berdasarkan larva yang menetas normal dan
abnormal. Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal ini penting dalam perubahan-perubahan morfologi hewan (Gusrina 2012). Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena dua proses, pertama adalah kerja mekanik, embrio sering mengubah posisi karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam cangkangnya. Dengan pergerakan-pergerakan tersebut bagian telur lembek dan tipis akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Kedua adalah kerja enzimatik, yaitu enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharink embrio. Semakin aktif embrio bergerak akan semakin cepat penetasan terjadi. Aktifitas embrio dan pembentukan chorionase dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar (Lagler et al 1962). Pada periode inkubasi terjadi proses-proses embriogenesis di dalam telur yaitu pembentukan organ-organ tubuh sehingga embrio berdiferensasi menjadi lebih panjang/besar daripada lingkaran kuning telurnya. Perbedaan lama periode inkubasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal antara lain suhu dan cahaya (Effendie 1997). Lama periode inkubasi masing-masing telur hasil hibridisasi berbeda berkisar antara 26-32 jam setelah dilakukan pembuahan. Lama periode inkubasi S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ dan S.notatus♀ x S.nigriventris♂ berkisar antara
31
26 – 28 jam sedangkan S.decora♀ x S.nigriventris♂ berkisar antara 30 – 32 jam dan S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ berkisar antara 33-36 jam. Menurut Said (2011), perbedaan lama periode inkubasi dapat disebabkan perbedaan kualitas telur atau kemampuan tumbuh embrio. Kualitas telur yang mempengaruhi antara lain ketebalan chorion, ketahanan chorion dan efektifitas enzim pelunakan chorion yang berbeda-beda pada setiap spesies. Pada penelitian ini adanya perbedaan dalam lama periode inkubasi diduga berasal dari faktor internal yaitu perbedaan dari masing-masing pasangan hibridisasi seperti laju pertumbuhan embrio yang berbeda sehingga waktu yang dibutuhkan untuk inkubasi untuk masing-masing pasangan uji berbeda. Embrio yang menetas menjadi larva kemudian diamati untuk menghitung rata-rata derajat penetasan. Kualitas larva abnormal adalah ikan yang menetas dengan salah satu bagian tubuh yang cacat, ditunjukan pada Gambar 8. Gambar tersebut menunjukan bagian ekor larva pada perlakuan S.decora ♀ x S.nigriventris dengan bentuk tulang bagian badan ke bagian ekor yang kaku menyerupai bentuk kail. Selama pengamatan bagian tubuh larva abnormal tidak dapat bergerak secara fleksibel seperti larva normal. Larva abnormal juga ditemukan pada perlakuan S.notatus♀ x S.nigriventris♂ dan S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂
Gambar 8. Larva Abnormal Perlakuan S.decora ♀ x S.nigriventris
32
Perhitungan derajat penetasan dibagi menjadi dua. Pertama adalah perhitungan derajat penetasan keseluruhan dimana semua telur yang menetas dihitung. Kedua adalah perhitungan derajat penetasan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dengan kondisi tubuh normal dan perhitungan derajat penetasan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dengan kondisi tubuh abnormal. Derajat penetasan total dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas menjadi larva dengan jumlah telur yang dibuahi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa derajat penetasan tertinggi di peroleh pada S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀ sebesar 84,79% diikuti S.notatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 64,19% dan terendah pada S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar. 43,00%, dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rata-rata Kualitas Larva Total Ikan Synodontis
Hasil pengamatan menunjukan bahwa sperma S.nigriventris memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk membuahi telur S.notatus dibandingkan
33
S.decora dan S.multipunctatus. Hal ini sesuai dengan penelitian Said (2011) melakukan hibridisasi interspesies ikan pelangi, hasil penelitian menunjukan bahwa Melanotaeniai maccullochi x Melanotaeniai maccullochi sebagai kontrol mampu menetaskan telur-telurnya sebesar 88,32% yang lebih tinggi dari derajat penetasan larva hibrid M.herbertaxelrodi♂ x M.maccullochi♀ sebesar 33,22% (Said 2011).
Tabel 4 Rata-rata Derajat Penetasan Telur per Perlakuan Rata-rata Perlakuan
Hibridisasi Derajat Pembuahan (%)
A
S.decora♀ x S.nigriventris♂
55,00 ± 14 ab
B
S.notatus♀ x S.nigriventris♂
64,19 ± 8
C
S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂
43,00 ± 13 a
D
S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂
84,79 ± 4
ab
c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95% Penetasan tertinggi diperoleh S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ sebesar 84,79%. Derajat penetasan hasil hibridisasi tertinggi diperoleh antara S.notatus♀ x S.nigriventris♂ (64,19%) yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan S.decora♀ x
S.nigriventris♂
(55,00%)
dan
derajat
penetasan
diperoleh
terendah
S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ (43,00%), dapat dilihat pada Tabel 4. Rendahnya penetasan telur diduga karena adanya perbedaan sumber telur maupun sperma mempengaruhi perkembangan embrio yang terbentuk dan efektivitas kerja enzim pelunakan chorion, sehingga nilai derajat penetasan akan berbeda. Perbedaan derajat penetasan dapat diakibatkan kandungan atau komposisi telur yang berbeda pada setiap spesies sehingga memiliki respon yang berbeda terhadap sperma S.nigriventris.
34
Perlakuan hibridisasi dengan kualitas larva ikan normal (tanpa cacat fisik) tertinggi diperoleh S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀, dapat dilihat pada Gambar 10. Jika dihubungkan dengan kesesuaian ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil maka dapat disimpulkan bahwa semakin berdekatan ukuran kesesuaian maka akan meningkatkan derajat penetasan larva normal.
Gambar 10. Rata-rata Kualitas Larva Ikan Synodontis Normal
Perbedaan kualitas larva diduga disebabkan perbedaan kecocokan antara materi genetik yang dibawa oleh sperma dan materi genetik yang terdapat pada telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djuhanda (1981) yang menyatakan pada bagian kepala terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel. Pada nukleus terdapat informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Fungsi spermatozoa menurut yaitu gamet jantan mempunyai spesifikasi untuk mencari gamet betina dari spesies-spesiesnya, mempenetrasi dan menghantarkan material genetik haploidnya kepada sel telur yang di penetrasi. Gamet betina
35
menunggu gamet jantan untuk melakukan penetrasi, menerima material genetik, menggabungkan material inti gamet jantan yang mempenetrasinya untuk membentuk inti diploid dan memulai perkembangan untuk menghasilkan individu baru. Kualitas larva abnormal dihitung dengan membandingkan jumlah telur yang menetas menjadi larva abnormal dengan jumlah telur yang dibuahi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa derajat penetasan tertinggi yang menghasilkan larva abnormal tertinggi adalah S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂, dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Rata-rata Kualitas Larva Ikan Synodontis Abnormal
Terjadinya larva cacat secara fisik dapat disebabkan berbagai faktor, dalam penelitian ini diduga abnormalitas disebabkan perbedaan ukuran antara kepala sperma dan lubang mikrofil telur sehingga semakin sesuai ukuran keduanya maka peluang terjadinya abnormal pada larva akan menurun. Menurut Chevasus (1983) bahwa hasil hibridisasi sangat bervariasi mulai dari
36
ketidakmampuan spesies untuk melakukan kawin silang, sampai menghasilkan larva yang akan menjadi anak ikan yang fertil. Hasil yang diperoleh tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana hubungan kekerabatan spesies yang disilangkan. Faktor lain yang diduga menyebabkan abnormalitas adalah perbedaan bentuk dan ukuran atau komposisi gen-gennya. Hal ini sesuai pendapat Goldstein (1967) dalam Japet (2011) yang menyatakan bahwa jumlah kromosom dalam satu set tiap spesies pada keadaan normal adalah tetap. Jumlah kromosom satu spesies yang sama dengan spesies lain dapat memiliki perbedaan bentuk, ukuran dan komposisi gen-gennya. Makin jauh hubungan kekerabatan suatu organisme, makin besar kemungkinan perbedaan jumlah, bentuk dan susunan kromosomnya (Ville dan Dethier 1971 dalam Sucipto 2012). Hasil penelitian menyatakan bahwa kromosom ikan nila merah berjumlah 44 buah baik pada spesies Oreochromi mossambicus, O.niloticusm dan O.aurens (Ahmad dkk 1995 dalam Sucipto 2012). 4.5
Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup berkaitan dengan mortalitas yang menunjukan
banyaknya ikan yang mati selama percobaan (Winberg et al dalam Edmonson dkk 1971). Embrio yang menetas kemudian akan tumbuh menjadi larva. Pada stadium larva ketahanan hidup berada pada masa kritis. Menurut Gusrina (2012) salah satu sifat unggul yang dapat muncul dari ikan hasil hibridisasi adalah kelangsungan hidup yang tinggi. Kelangsungan hidup larva bergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada stadium larva ketahanan hidupnya sangat kritis. Kelangsungan hidup larva tersebut tergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (Said 2011). Benih ikan yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Umumnya ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari induknya (Moav 1968). 4.5.1
Kelangsungan Hidup Total Kelangsungan hidup total merupakan keseluruhan jumlah ikan yang
menetas baik dalam kondisi normal maupun abnormal. Perhitungan kelangsungan
37
hidup dilakukan sejak larva berusia 1 hari hingga 30 hari. Jumlah masing-masing ikan uji disamakan yaitu 20 ekor larva untuk setiap ulangannya. Larva di dapatkan dengan pengambilan acak dari telur yang telah dibuahi. Kelangsungan hidup tertinggi diperoleh ikan hasil persilangan S.notatus♀ x S.nigriventris♂ dan S. S.decora♀ x S.nigriventris♂ sebesar 83,75% diikuti hasil hibridisasi S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ dan terendah diikuti S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ (71,25%), dapat dilihat pada Gambar 12. Hal ini menunjukan bahwa larva hasil hibridisasi memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang lebih baik terhadap lingkungan dibandingkan kontrol.
Gambar 12. Rata-rata Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup tertinggi diperoleh hibridisasi antara S.decora♀ x S.nigriventris♂ dan S.notatus♀ x S.nigriventris♂ yang tidak berbeda nyata antara keduanya namun berbeda nyata terhadap S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ yang menunjukan nilai rata-rata yang lebih rendah. Kelangsungan hidup terendah diperoleh S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂, dapat dilihat pada Tabel 5. Hal ini
38
menunjukan bahwa ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gilangsari (2000) dan Ath thar dkk (2011). Gilangsari (2000) menyatakan ikan hibrid memiliki kelangsungan hidup ikan hibrid Pangasius nasutatus x Pangasius hypothalamus sebesar 93,2% lebih tinggi dibandingkan P.hypotalamus x P.hypotalamus sebesar 88%. Ath thar dkk (2011) menyatakan hal yang sama bahwa kelangsungan hidup hibridisasi ikan mas Kuningan x Subang lebih tinggi dibandingkan Kuningan x Kuningan dan Subang x Subang.
Tabel 5. Rata-rata Kelangsungan Hidup per Perlakuan Hibridisasi
Rata-rata Kelangsungan Hidup (%)
S.decora ♀ x S.nigriventris ♂
83,75 ± 2,5 c
S.notatus ♀ x S.nigriventris ♂
83,75 ± 2,5 c
S.multipunctatus ♀ x S.nigriventris ♂
76,25 ± 4.8 ab
S.nigriventris ♀ x S.nigriventris ♂
71,21 ± 2.5 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada kolom menunjukan adanya perbedaan nyata menurut uji Duncan taraf kepercayaan 95%
4.5.2
Kelangsungan Hidup Normal Kelangsungan hidup larva yang menetas normal dihitung hari pertama
menetas dan pengamatan dilakukan hingga hari ketiga puluh. Larva yang menetas normal memiliki kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan kelangsungan hidup larva abnormal. Larva yang menetas normal dapat diketahui dengan pemangamatan bentuk fisik yaitu bentuk tubuh yang proporsional dan tidak mengalami perubahan bentuk tubuh yang menyimpang dari bentuk tubuh induk. Kelangsungan hidup pada larva normal tertinggi diperoleh S.notatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 91,96%, diikuti S.decora♀ x S.nigriventris♂ sebesar 88,21%, S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 86,19% dan S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ sebesar 71,25%. Kelangsungan hidup diakhir penelitian
39
menunjukan bahwa hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi hal ini sesuai dengan pendapat Moav (1968) yang menyatakan bahwa pada umumnya ikan hasil hibridisasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dari
induknya.
Hibridisasi
intraspesifik
termasuk
kedalam
outbreeding.
Outbreeding adalah perkawinan antara individu-individu yang tidak sekerabat (berbeda induknya), yang akan menghasilkan heterosigositas yang akan menguatkan individu-individunya terhadap perubahan lingkungan yang biasa disebut juga mempunyai fitnes yang tinggi. Fitnes yaitu kemampuan relatif pada organisma untuk bertahan hidup dan pemindahan gen untuk generasi berikutnya. Individu yang mempunyai heterosigositas yang tinggi akan mempunyai fitness yang tinggi.
Kelangsungan Hidup Larva Normal (%) Kelangsungan Hidup (%)
120.00
S.decora♀ x S.nigriventris♂
100.00 80.00
S.notatus♀ x S.nigriventris♂
60.00
S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂
40.00
S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀
20.00 0.00 0
5
10
15 20 Hari Ke-
25
30
Gambar 13. Kelangsungan Hidup Normal
Kelangsungan hidup ikan rendah terjadi pada masa-masa kritis. Masamasa kritis ikan terjadi pada saat kuning telur yang terdapat di dalam tubuhnya habis terserap dan benih harus mencari makanan dari luar. Benih ikan yang tidak segera mendapatkan pakan dari luar yang sesuai akan mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Kelangsungan hidup dipengaruhi dua faktor yaitu faktor dari dalam ikan itu sendiri dan faktor dari luar atau lingkungan. Faktor dari dalam ikan
40
meliputi umur ikan, ukuran dan kemampuan beradaptasi. Faktor lingkungan meliputi kondisi fisik, kimia dan biologi perairan, ketersediaan makanan dan kompetisi antar ikan untuk mendapatkan makanan jika jumlah makanan yang tersedia tidak mencukupi (Royce 1973). Pada penelitian ini faktor lingkungan berada pada kondisi yang terkontrol maka diduga perbedaan kelangsungan hidup pada larva ikan normal diakibatkan oleh faktor dari dalam ikan itu sendiri seperti kemampuan ikan untuk beradaptasi dengan lingkungan. 4.5.3
Kelangsungan Hidup Abnormal Kelangsungan hidup embrio yang menetas secara abnormal dihitung sejak
hari pertama menetas dan dilakukan hingga hari ketiga puluh. Cacat yang terjadi pada larva umumnya berupa pembengkokan tulang ekor. Cacat pada kedua bagian tubuh tersebut membuat gerakan larva menjadi terbatas. Larva yang mengalami cacat seluruhnya mati sebelum pengamatan hingga hari ketiga puluh.
Tabel 6. Jumlah Larva Abnormal per Perlakuan Hibridisasi
Jumlah Larva
S.decora ♀ x S.nigriventris ♂
4
S.notatus ♀ x S.nigriventris ♂
7
S.multipunctatus ♀ x S.nigriventris ♂
9
S.nigriventris♀ x S.nigriventris ♂
0
Jumlah larva abnormal tertinggi didapatkan S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ sebanyak 9 ekor, dapat dilihat pada Tabel 6. Larva abnormal ditemukan disemua perlakuan. Bidwell et al. (1985) dalam Andias (2008) mengemukakan bahwa larva yang abnormal dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (korion) yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk
41
keluar. Setelah korion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat. Pada S.decora♀ x S.nigriventris♂ larva abnormal mati pada hari ketiga. Pada hasil persilangan lain seluruh larva abnormal mati secara total pada hari kelima, dapat dilihat pada Gambar 14. Pada perlakuan S.nigriventris♀ x S.nigriventris ♂ tidak ditemukan larva abnormal.
Kelangsungan Hidup Larva Abnormal (%) Kelangsungan Hidup (%)
120.00 S.decora♀ x S.nigriventris♂
100.00
S.notatus♀ x S.nigriventris♂
80.00 60.00
S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂
40.00 S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀
20.00 0.00 1
2
3 4 Hari Ke-
5
6
Gambar 14. Kelangsungan Hidup Larva Abnormal 4.6
Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi
kesehatan individu, populasi dan lingkungan. Pertumbuhan juga merupakan faktor penting dalam keberhasilan usaha budidaya perikanan. Pertumbuhan yang lambat akan menyebabkan lamanya waktu pemeliharaan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, lamanya waktu pemeliharaan juga akan meningkatkan resiko-resiko dalam pemeliharaan, seperti terserang penyakit, kematian massal, dan sebagainya (Lesmana 2010). Pengukuran pertumbuhan mutlak dilakukan dengan melakukan penimbangan bobot larva pada hari pertama dan hari ketiga puluh.
42
Gambar 15. Rata-rata Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan
tertinggi
diperoleh
hasil
hibridisasi
S.notatus♀
x
S.nigriventris♂ dengan rata-rata sebesar 1,4 g diikuti S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ sebesar 1,16 g, kemudian S.decora♀ x S.nigriventris♂ sebesar 0,74 g, dapat dilihat pada Gambar 15. Pertumbuhan terendah diperoleh hasil hibridisasi antara S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ sebesar 0,71 g. Pertumbuhan mutlak yang lebih tinggi pada ikan hasil hibridisasi dibandingkan ikan hasil pemijahan S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂. Hal ini sesuai dengan pendapat Kiprichnikov (1981) yang menyatakan ikan hibrida akan lebih unggul dari pada tetuanya dalam hal pertumbuhan dan sesuai dengan pendapat Gilangsari (2000) yang menyatakan ikan hasil hibridisasi antara Pangasius hypotalamus♀ x Pangasius nasutus♂ memiliki bobot rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan induknya
43
Tabel 7. Pertumbuhan Mutlak per Perlakuan Hibridisasi
Pertambahan Bobot (gram)
S.decora♀ x S.nigriventris♂
0,74 ±0,04
S.notatus♀ x S.nigriventris♂
1,40 ±0,04
S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂
1,16 ±0,03
S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂
0,71 ±0,12
Ikan hasil hibridisasi S.decora♀ x S.nigriventris♂, S.notatus♀ x S.nigriventris♂ dan S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ memiliki pertumbuhan yang lebih seragam yang ditunjukan dengan standar deviasi dengan angka yang lebih kecil (0,03-0,04) dibandingkan ikan hasil pemijahan S.nigriventris♀ x S.nigriventris♂ (0,12), dapat dilihat pada Tabel 7. Standar defiasi pertumbuhan yang rendah pada ikan hasil hibridisasi menunjukan ikan memiliki ukuran yang seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendie (1979) yang menyatakan ikan hibrida memiliki keuntungan yaitu memperoleh keturunan dengan pertumbuhan yang seragam. 4.7
Karakter Fenotipe Kualitatif Fenotipe adalah karakteristik yang dapat diukur atau sifat nyata yang
dipunyai oleh organisme. Fenotipe merupakan hasil interaksi antara genotipe dan lingkungan serta merupakan bentuk luar atau sifat-sifat yang tampak. Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat diukur nilai atau derajatnya. Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dilihat ada atau tidaknya suatu karakter. Hukum hukum mendel II menyatakan apabila dua individu mempunyai dua pasang sifat atau lebih maka sepasang sifat diturunkan secara bebas. Keturunan F1 merupakan individu baru dengan genotip gabungan dari induk dengan alel dominan yang selalu terekspresikan (nampak secara visual) dan alel resesif (tidak tampak secara visual tetapi akan diwariskan pada turunannya). Pada F2 pada perkawinan F1 dengan sesama akan dihasilkan perbandingan fenotif 12:4
44
untuk 2 sifat dominan (Afifudin 2003). Jika diasumsikan warna gelap merupakan warna dominan maka S.decora yang memiliki warna coklat tua kehitaman memiliki genotip CC dan corak bintik bulat berwarna hitam pada bagian tubuh memiliki genotip HH maka S.nigriventris yang memiliki warna coklat muda dengan corak garis coklat pada memiliki genotip cchh, maka akan dihasilkan 100% F1 dengan genotip CcHh dan fenotip coklat tua dengan corak bintik berwarna hitam pada bagian ekor.
(a)
(b)
Gambar 16. Ikan Hibrid S.decora♀ x S.nigriventris♂
Pada pengamatan yang dilakukan, ikan hibrid S.decora♀ x S.nigriventris♂ umumnya mewarisi kenampakan tubuh yang lebih mendekati indukan S.decora♀ seperti corak pada bagian kepala dengan lingkaran hitam kecil yang menyebar dan lingkaran hitam besar yang tersebar pada bagian tubuh, dapat dilihat pada Gambar 16b. Namun ditemukan jenis warna lain yaitu coklat terang, dapat dilihat pada Gambar 16a. Perbandingan antara warna dasar coklat muda dan coklat tua adalah 1:3. Hal ini juga terjadi pada persilangan S.notatus♀ x S.nigriventris♂. Terjadinya perbedaan warna atau FI yang tidak 100% mengeluarkan fenotip dengan warna dan corak dominan diduga disebabkan adanya penyimpangan hukum mendel yaitu atavisme. Atavisme diakibatkan terjadinya interaksi yang menyimpang dari
45
beberapa gen. Atavisme dapat dideteksi jika terdapat keturunan F1 yang tidak menyerupai sifat dominan induknya (Ferdinad dkk 2009). S.notatus♀ memiliki warna dasar tubuh abu dengan bagian ventral keputihan. Ikan hibrid S.notatus♀ x S.nigriventris♂ menghasilkan 2 warna yang berbeda yaitu coklat terang, dapat dilihat pada Gambar 17a dan warna dasar tubuh abu gelap, dapat dilihat pada Gambar 17b.
(a) (b) Gambar 17. Ikan Hibrid S.notatus♀ x S.nigriventris♂
S.multipunctatus♀ memiliki warna dasar abu-abu muda dengan corak ekor berbintik. Warna dasar bintik adalah hitam bulat. Punggung dan sirip dada berwarna hitam. Jika diasumsikan warna gelap merupakan warna dominan maka S.multipunctatus yang memiliki warna abu-abu muda memiliki genotip aa dan corak bintik pada bagian ekor berwarna hitam memiliki genotip HH maka S.nigriventris yang memiliki warna coklat muda dengan corak bintik coklat pada bagian ekor memiliki genotip AAhh, maka akan dihasilkan 100% F1 dengan genotip AaHh dan fenotip coklat tua dengan corak bintik berwarna hitam pada bagian ekor. Pada hasil pengamatan ikan hibrid S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂ menghasilkan 2 corak ekor yang berbeda. Jenis pertama adalah
46
corak garis hitam, dapat dilihat pada Gambar 18a dan jenis kedua adalah sirip berbintik coklat, dapat dilihat pada Gambar 18b.
(a)
(b)
Gambar 18. Ikan Hibrid S.multipunctatus♀ x S.nigriventris♂
Perbedaan pada ikan hibrid diturunkan induk melalui gen yang dibawa sperma dan telur. Johansen (1991) dalam Ferdinand dkk (2009) menyatakan bahwa gen adalah unit terkecil dari suatu makhluk hidup yang mengandung substansi hereditas. Gen terdiri sari protein dan asam nukleat (DNA dan RNA) dan terdapat pada kromosom. Kromosom pada satu spesies yang sama dengan spesies lain dapat memiliki perbedaan bentuk, ukuran dan komposisi gen-gennya. Makin jauh hubungan kekerabatan suatu organisme, makin besar kemungkinan perbedaan jumlah, bentuk dan susunan kromosomnya (Ville dan Dethier 1971 dalam Sucipto 2009). Keturunan dengan warna beragam menunjukkan materi genetik yang dimiliki induk betina maupun induk jantan memiliki berperan dalam pewarisan warna dan corak terhadap keturunannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gomelsky et al. (1996) dalam Sumantadinata dkk (2002) menyatakan bahwa segregasi warna pada keturunan normal tergantung pada kedua induknya, sehingga sukar dalam menentukan nilai kontribusi dari masing-masing induk terhadap keturunannya.
47
Tabel 8. Hasil Penelitian Pengamatan Fekunditas (butir) Derajat Pembuahan (%)
A 8.163 40,00 55,00 48,13 6,88 83,75 88,21 0,00 0,74
Kualitas Larva (%) Kelangsungan Hidup (%)
Total Normal Abnormal Total Normal Abnormal
Pertumbuhan Mutlak (g) Keterangan: A. S.decora♀ x S.nigriventris♂, B. S.notatus♀ x S.nigriventris♂,
C. S.multifuctatus♀ x S.nigriventris♂, D. S.nigriventris♂ x S.nigriventris♀.
Perlakuan B C 11.701 38 53,75 25,00 64,19 43,00 59,07 30,00 5,12 13,00 83,75 76,25 91,96 86,19 0,00 0,00 1,40 1,16
D 8.594 89,00 84,79 84,79 0,00 71,25 71,25 0,00 0,71