V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil
5.1.1 Habitat A Tipe habitat hutan musim Tipe habitat hutan musim terletak pada ketinggian 79 mdpl. Rata-rata suhu harian di tipe habitat ini berkisar 25,8 °C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat hutan musim dibentuk oleh tujuh jenis pohon yang termasuk dalam enam famili (Gambar 5).
Keterangan: A. Unidentified B. Melanolepis multiglandulosa C. Canthium monstrosum D. Garuga floribunda
E. Cordia suaviolens F. Albizia lebbeck G. Saurauia sp.
Gambar 5 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan musim Diameter
rata-rata
jenis
pohon
sebesar
10,84
cm.
Melanolepsis
multiglandulosa merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter yang lebih besar dibanding dengan jenis pohon lainnya. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 2,47 cm. Albizia lebbeck merupakan jenis pohon yang mempunyai bebas
26
cabang paling tinggi. Secara umum tipe habitat hutan musim mengalami gangguan dan telah terfragmentasi. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka dan pada bagian lantai hutan hanya ditumbuhi oleh semak-semak yang penutupannya agak jarang. Sebagian besar jenis pohon yang ada terkonsentrasi pada satu tempat dengan jarak antar jenis pohon agak rapat, sedangkan tempat lainnya lebih terbuka dan hanya ditempati satu jenis pohon.
Tipe habitat ini lebih terbuka akibat
pengambilan kayu dari jenis-jenis pohon yang ada, sehingga sebagian besar areal tipe hutan musim tidak utuh dan mengalami kerusakan serta banyak terdapat jalan setapak yang merupakan akses masyarakat menuju ladang yang terdapat pada bagian tengah tipe habitat ini. Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 30 jenis burung yang tergolong dalam 21 famili. Brinji emas (Ixos affinis) merupakan jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu sebanyak
69 individu.
Pada tipe habitat ini, terdapat sepuluh
kelompok guild dengan kategori guild pemakan serangga dan nektar merupakan guild yang paling banyak dijumpai dari segi jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang dengan jumlah jenis sebanyak enam jenis (Lampiran 2). B Tipe habitat daerah rawa Tipe habitat daerah rawa terletak pada ketinggian 2 mdpl.
Rata-rata suhu
harian berkisar pada 29 °C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat daerah rawa disusun oleh tujuh individu pohon yang berasal dari enam jenis pohon yang termasuk dalam empat famili (Gambar 6). Tipe habitat ini di satu sisi berdekatan dengan permukiman manusia berupa rumah masyarakat maupun sekolah, serta tempat aktivitas masyarakat berupa ladang dan kolam ikan. Pada sisi lain tipe habitat ini berbatasan langsung dengan tipe habitat hutan musim, pada saat penelitian tipe habitat hutan musim mengalami kerusakan akibat perambahan.
Lokasi yang diamati pada tipe habitat ini, luas
arealnya berupa air yang tergenang berkurang akibat bertepatan dengan musim kemarau. Pada bagian tengahnya ditutupi oleh vegetasi berumput yang tinggi dan palem (Palmae).
27
Famili Palmae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang lebih dari satu individu. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,89 cm. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 3,57 cm. Metroxylon sagu merupakan jenis pohon yang mempunyai diamater dan bebas cabang yang paling besar dan tinggi dibanding dengan enam jenis pohon lainnya. Kondisi vegetasi pada tipe habitat ini lebih terbuka. Pada tipe habitat daerah rawa dijumpai jenis burung sebanyak 32 jenis yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling banyak dijumpai yaitu burung tepekong jambul (Hemiprocne longipenis), sedangkan pada tipe habitat ini terdapat sembilan kategori guild.
Dengan kelompok guild yang dominan yaitu pemakan
serangga sambil terbang baik dari segi jumlah jenis maupun dari segi jumlah individu (Lampiran 2).
Keterangan A. Metroxylon sagu B. Eurya sp. C. Metroxylon sagu D. Morinda citrifolia
E. Anthocephalus chinensis F. Lasianthus sp. G. Ficus sp. 1
Gambar 6 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat daerah rawa
28
C Tipe habitat hutan mangrove Tipe habitat ini terletak pada daerah muara sungai. Sebagian besar arealnya selalu terendam air, kecuali areal yang berbatasan dengan laut. Pada bagian yang berbatasan laut, ketika laut mengalami pasang, seluruh arealnya akan terendam air demikian pula sebaliknya areal akan kering ketika air laut surut, sehingga hanya menyisakan areal yang berlumpur.
Areal yang berlumpur merupakan salah satu
sumber makanan bagi jenis-jenis burung air penetap maupun migran. Suhu rata-rata pada tipe habitat ini berkisar 27 °C (Lampiran 5). Profil tumbuhan pada tipe habitat hutan mangrove hanya disusun oleh dua jenis yang berasal dari satu famili, yaitu Rhizophoraceae (Gambar 7). Pada tipe habitat ini terdapat sembilan individu pohon. Diameter rata-rata jenis pohon sebesar 10,26 cm. Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter terbesar. Sedangkan tinggi cabang rata-rata sebesar 2,48 cm, Rhizophora apiculata merupakan jenis pohon yang mempunyai bebas cabang yang paling tinggi. Jenis-jenis pohon yang ada relatif lebih rapat. Tajuknya rapat dan saling bersentuhan dan beberapa diantaranya tajuknya berlapis-lapis. Tipe habitat ini merupakan jalur masyarakat menuju laut.
Jalur ini dilalui secara rutin oleh sebagian besar masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan di sekitar tipe habitat ini. Masyarakat setiap hari (pagi dan sore hari) mengunakan sungai yang berada pada tengah areal tipe habitat hutan mangrove sebagai jalan menuju ke laut.
29
Keterangan A. Bruguiera gymnorhiza B. Rhizophora apiculata C. Bruguiera gymnorhiza D. Rhizophora apiculata E. Bruguiera gymnorhiza
F. G. H. I.
Bruguiera gymnorhiza Bruguiera gymnorhiza Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata
Gambar 7 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan mangrove Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 39 jenis burung yang berasal dari 28 famili, dengan jenis burung dominan yaitu burung madu sriganti (Nectarinia jugularis). Pada tipe habitat ini terdapat 11 kategori guild. Dengan kategori guild pemakan serangga sambil terbang merupakan kategori terbanyak berdasarkan jumlah individunya, sedangkan berdasarkan jumlah jenis didominasi oleh burung pemakan invertebrata dan vertebrata (Lampiran 2).
30
D Tipe habitat hutan tropis Tipe habitat ini berada pada ketinggian 901 mdpl dengan suhu harian rata-rata berkisar 21 °C. Diameter rata-rata pohon pada tipe habitat ini sebesar 22,05 cm (Lampiran 5). Buchanania arborescens merupakan jenis pohon yang mempunyai diameter yang lebih besar dibanding dengan jenis pohon lainnya. Sedangkan tinggi bebas cabang rata-rata sebesar 9,75 cm. Ardisia sp. merupakan jenis pohon yang mempunyai tinggi bebas cabang yang lebih tinggi (Lampiran 5). Pada tipe habitat ini, jarak antar pohon lebih rapat dengan tajuk yang lebat dan berlapis-lapis.
Pada bagian lantai hutan banyak terdapat anakan dari jenis-jenis
pohon yang ada dengan kondisi tanah yang lembab. Profil tumbuhan pada tipe habitat ini, disusun oleh 15 individu pohon dari enam jenis yang berasal dari lima famili. Famili Myrsinaceae merupakan famili yang mempunyai jumlah individu yang paling banyak, yaitu sebanyak lima individu (Gambar 8). Pada tipe habitat ini dijumpai 42 jenis burung yang termasuk dalam 23 famili. Jenis burung yang paling sering dijumpai yaitu burung kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons). Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak sembilan kategori guild. Berdasarkan jumlah individu, kategori guild pemakan serangga dan buah-buahan merupakan kategori yang paling banyak, sedangkan berdasarkan jumlah jenisnya, didominasi oleh kategori guild pemakan serangga sambil terbang (Lampiran 2). Pada tipe habitat terdapat beberapa jalan setapak yang merupakan akses masyarakat menuju ladang. Pada beberapa tempat terdapat bagian hutan yang dibuka menjadi ladang oleh masyarakat. Namun jumlah jalan setapak maupun lahan yang hutan yang dibuka oleh masyarakat, jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tipe habitat lainnya yang diamati. Pada bagian tengah tipe habitat ini terdapat permukiman masyarakat berupa dusun dengan jumlah populasi yang kecil sekitar 17 kepala keluarga.
31
Keterangan A. Ardisia sp. B. Lithocarpus celebicus C. Prunus sp. D. Acalypa caturus E. Ardisia sp.
F. G. H. I. J.
Buchanania arborescens Acalypa caturus Buchanania arborescens Ardisia sp. Buchanania arborescens
K. L. M. N. O.
Ardisia sp. Acalypa caturus Buchanania arborescens Ardisia elliptica Acalypa caturus
Gambar 8 Diagram profil dan tampak atas tipe habitat hutan tropis 5.1.2
Komunitas Burung
5.1.2.1 Keanekaragaman Jenis A Komposisi jenis Hasil penelitian menunjukkan, dijumpai sebanyak 77 jenis burung di Pulau Peleng. Jenis burung tersebut tergolong ke dalam 36 famili. Dari 77 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 20 jenis (26%) diantaranya jenis endemik Sulawesi, sembilan jenis (12%) merupakan jenis migran, sedangkan sisanya sebanyak 48 jenis (62%) merupakan jenis penetap (Tabel 2).
Dari
36 famili tersebut, famili
Columbidae merupakan famili dengan anggota terbanyak (10 jenis; 13%), diikuti famili Ardeidae (6 jenis; 8%), Cuculidae, Accipitridae dan Psittacidae (5 jenis; 6%),
32
Alcedinidae (4 jenis; 5%), Anatidae dan Campephagidae (3 jenis; 4%). Sebanyak delapan famili hanya terdiri dari dua jenis (3%) dan 20 famili hanya terdiri dari satu jenis (1%) (Tabel 3). Tabel 2 Komposisi jenis burung di Pulau Peleng No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Famili
Jenis
Phalacrocoracidae Phalacrocorax sulcirostris Ardeidae Ardea sumatrana Ixobrychus sinensis Ixobrychus cinnamomeus Ardea purpurea Bubulcus ibis Butorides striatus Accipitridae Haliastur indus Spilornis rufipectus Avizeda jerdoni Haliaeetus leucogaster Spizaetus lanceolatus Falconidae Falco moluccensis Anatidae Dendrocygna arcuata Anas querquedula Aythya australis Turnicidae Turnix suscitator Rallidae Amaurornis phoenicurus Gallirallus torquatus Scolopacidae Numenius madagascariensis Actitis hypoleucos Columbidae Ducula aenea Ptilinopus melanospila Calcophaps stephani Treron vernans Ducula bicolor Macropygia amboinensis Ducula forsteni Treron griseicauda Ptilinopus superbus Ptilinopus subgularis Psittacidae Loriculus exilis
Tipe habitat A* B*** C** √ √ √ √ √ √ √
√
√ √
√ √ √
D*
√ √
√ √ √ √
√
√ √
√ √ √
√ √
√ √ √ √ √ √
√ √
√ √ √
√
√
√ √ √ √ √ √
Status P P P P P P M P E P P E P P M M P P P M,VU M P P P P P P E P P E E, NT
33
Tabel 2 Lanjutan No 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Famili
Cuculidae
Caprimulgidae Apodidae Hemiprocnidae Alcedinidae
Meropidae Pittidae Hirundinidae Campephagidae
Pycnonotidae Dicruridae Oriolidae Corvidae Turdidae Acanthizidae Sylvidae Muscicapidae Monarchidae Pachycephalidae Artamidae Sturnidae
Jenis Prioniturus platurus Trichoglossus ornatus Alisterus amboinensis Loriculus amabilis Centropus bengalensis Chrysococcyx minutillus Eudynamis melanorhynca Phaenicophaeus calyorhynchus Cacomantis sepulcralis Eurostopodus macrotis Collocalia vanikorensis Hemiprocne longipenis Halcyon chloris Alcedo meninting Halcyon sancta Halcyon melanorhyncha Merops ornatus Pitta erythrogaster Hirundo tahitica Lalage leucopygialis Coracina tenuirostris Coracina schistacea Ixos affinis Dicrurus hottentottus Oriolus chinensis Corvus enca Corvus unicolor Heinrichia calligyna Gerygone sulphurea Acrocephalus orientalis Muscicapa griseisticta Culicicapa helianthea Hypothymis azurea Rhipidura teysmanni Pachycephala pectoralis Artamus leucorhynchus Aplonis panayensis
Tipe habitat A*
√
B***
√ √
C** √
√
√ √ √ √ √ √
D* √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √
√ √
√
√ √
√ √ √ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√ √ √
√
√ √
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √ √ √ √ √
Status E E P E P P E E P E P P P P M E M P P E P E E P P P E, CR E P M M P P E P P P
34
Tabel 2 Lanjutan No 70 71 72 73 74 75 76 77
Famili
Nectariniidae Dicaedidae Zosteropidae Passeridae Estrilidae
Tipe habitat
Jenis
A*
Basilornis galeatus Nectarinia jugularis Nectarinia aspasia Dicaeum celebicum Zosterops atrifrons Passer montanus Lonchura molucca Lonchura malacca
√ √ √ √ √ √
B*** C** √
D* √ √
√
√
√ √
√ √
√
√
√
√
Status E, NT P P E P P P P
Keterangan: A=tipe habitat hutan musim; B=tipe habitat daerah rawa; C=tipe habitat hutan mangrove; D=tipe habitat hutan tropis. *= metode IPA count; **=metode concentration counts; ***=metode transek jalur. E=endemik Sulawesi; P=penetap; M=migran. CR=Critically Endangered; NT=Near Threatened; Vu =Vulnerable.
Berdasarkan jumlah individu perfamili, jenis-jenis burung di Pulau peleng didominasi oleh famili Pycnonotidae (10%), Zosteropidae (8,7%), Columbidae (8,3%), Nectariniidae (7,8%) dan Hemiprocnidae (7,5%), sedangkan famili lainnya mempunyai persentase kurang dari 7,5%. Famili Timalidae merupakan famili yang persentasenya terkecil dari famili yang ada yaitu sebesar (0,2%) (Tabel 3). Tabel 3 Persentase jenis dan jumlah individu perfamili No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Famili Columbidae Ardeidae Psittacidae Cuculidae Accipitridae Alcenidae Campephagidae Anatidae Sturnidae Scolopacidae Rallidae Nectariniidae
Jenis 10 6 5 5 5 4 3 3 2 2 2 2
Jumlah % Individu
%
13 8 6 6 6 5 4 4 3 3 3 3
8,3 0,9 5,6 3 1,6 3,3 2,6 0,7 0,8 0,7 0,4 7,8
80 9 54 29 15 32 25 7 24 7 4 75
35
Tabel 3 Lanjutan No
Famili
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Muscicapidae Monarchidae Estrilidae Corvidae Zosteropidae Turnicidae Timalidae Sylvidae Pycnonotidae Pittidae Phalacrocoracidae Passeridae Acanthizidae Pachycephalidae Oriolidae Meropidae Hirundinidae Hemiprocnidae Falconidae Dicruridae Dicaedidae Caprimulgidae Artamidae Apodidae
Jumlah
Jenis 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
77
Jumlah % Individu
%
3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1,6 4 1,6 4,5 8,7 0,5 0,2 0,8 10 1,2 0,4 0,8 1,6 0,9 2,1 1 1,7 7,5 0,4 3,6 2,9 0,5 2,4 3,7
15 39 15 43 84 5 2 8 97 12 4 8 15 9 20 10 16 72 4 35 28 5 23 36
966
Dari seluruh jenis burung yang ditemukan, 15 jenis diantaranya merupakan jenis burung yang dilindungi peraturan perundangan Indonesia, dua jenis dikategorikan NT (Near
Threatened) oleh IUCN (International Union for
Conservation of Nature) yaitu serindit paruh merah dan raja perling sula, satu jenis kategori VU (Vulnerable) yaitu gajahan timur dan satu jenis kategori CR (Critically Endangered), yaitu gagak banggai. Selain itu sebanyak 11 jenis tercantum dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang digolongkan dalam Appendix II yaitu Avizeda jerdoni, Haliastur
36
indus,
Haliaeetus
leucogaster,
Spizaetus
lanceolatus,
Spilornis
rufipectus,
Prioniturus platurus, Alisterus amboinensis, Trichoglossus ornatus, Loriculus amabilis, Loriculus exilis dan Falco moluccensis (Tabel 4). Tabel 4 Status keterancaman, perdagangan dan perlindungan jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Famili Accipitridae
Psittacidae
Alcedinidae Nectariniidae Corvidae Ardeidae Falconidae Pittidae Scolopacidae Sturnidae
Nama ilmiah Avizeda jerdoni Haliastur indus Haliaeetus leucogaster Spizaetus lanceolatus Spilornis rufipectus Prioniturus platurus Alisterus amboinensis Trichoglossus ornatus Loriculus amabilis Loriculus exilis Halcyon sancta Halcyon chloris Nectarinia aspasia Nectarinia jugularis Corvus unicolor Bubulcus ibis Falco moluccensis Pitta erythrogaster Numenius madagascariensis Basilornis galeatus
PP No 7 D D D D D
D D D D D D
CITES II II II II II II II II II II
IUCN
NT
CR D D D D
II VU NT
Keterangan: PP no 7: PP No.7 tahun 1999 (D : Dilindungi) ; CITES 2006 (II: APPENDIX II) ; IUCN 2009 ( NT : Near threatened, VU: Vulnerable, CR: Critically Endangered)
B Komposisi guild Pada pulau Peleng terdapat 13 kategori kelompok guild. Berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan di Pulau Peleng, kategori pemakan invertebrata dan vertebrata mempunyai jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan kategori guild lainnya (14 jenis), dominasi berikutnya ditunjukkan oleh pemakan serangga sambil melayang (12 jenis). Sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan pemakan
37
buah kecil di lantai hutan, merupakan kategori yang mempunyai jumlah jenis paling sedikit, hanya ditemukan satu jenis (Gambar 9). 16 14
Jumlah jenis
12 10 8 6 4 2 0 CAIN
FCI
IF
AF
CI
OM
IN
BGI TFGI SFGI
SE
LGI
TF
Kategori guild
Keterangan:
FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN: Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI: Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore.
Gambar 9 Kategori guild berdasarkan jumlah jenis burung yang ditemukan Berdasarkan jumlah individu, didominasi kategori pemakan serangga dan buahbuahan
dengan jumlah individu sebanyak 231 individu dan pemakan serangga
sambil terbang (227 individu). Rata-rata jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kategori pemakan buah kecil di lantai hutan (5 individu) (Gambar 10).
Dari
hasil tersebut komposisi dominasi berdasarkan rata-rata jumlah individu berbeda dengan dominasi berdasarkan jumlah jenis. Berdasarkan jumlah jenis, pemakan invertebrata dan vertebrata yang mempunyai jumlah jenis sebanyak 14 (18,18%), sementara jumlah individunya hanya mencapai 35 (3,62%). Pemakan serangga dan buah-buahan, walau hanya mempunyai jumlah jenis sebanyak 11 (14,29%) tetapi mempunyai persentase jumlah individu sebesar 231 (23,91%). Sedangkan kategori
38
pemakan buah kecil di lantai hutan merupakan kategori yang mempunyai jumlah terkecil baik dari segi jumlah jenis 1 (1,30%) maupun jumlah individu 5 (0,52%).
250
Jumlah Individu
200 150 100 50 0 IF
FCI
IN
AF
CI
TFGI CAIN BGI
SE
OM SFGI LGI
TF
Kategori guild
Keterangan:
FCI: Fly Catching Insectivore, OM: Omnivore, CAIN: Carnivore Insectivore, IN: Insectivore Nectarivore, IF: Insectivore Frugivore, AF: Arboreal Frugivore, CI: Carnivore Insectivore, TFGI: Tree Foliage Gleaning Insectivore, TF: Terestrial Frugivore, SE: Seed Eater, SFGI: Shrub Foliage Gleaning Insectivore, LGI: Litter Gleaning Insectivore, BGI: Bark Gleaning Insectivore.
Gambar 10 Kategori guild berdasarkan jumlah individu burung yang ditemukan C Indeks keanekaragaman jenis Hasil analisis data (Tabel 5) menunjukkan adanya perbedaan nilai indeks keanekaragaman pada semua tipe habitat di lokasi penelitian. Tipe habitat yang mempunyai jumlah jenis yang tinggi cenderung mempunyai nilai keanekaragaman yang tinggi.
Namun dari hasil analisis ini, hanya dua tipe habitat yang dapat
dibandingkan, yaitu tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, sedangkan dua tipe habitat lainnya tidak dapat dibandingkan karena metode pengambilan datanya berbeda. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,41) dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim dengan jumlah jenis burung sebanyak 39 jenis.
Tipe habitat hutan musim
39
mempunyai indeks
keanekaragaman yang lebih rendah (2,87) dan mempunyai
jumlah jenis yang rendah (30 jenis). Namun dari hasil uji t diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara nyata (P>0,005). Tabel 5 Indeks keanekaragaman (H’) jenis burung pada empat tipe habitat di Pulau Peleng Tipe habitat Hutan musim Daerah rawa Hutan mangrove Hutan tropis
Jumlah jenis 30 32 39 42
H' 2,87 3,08 3,42 3,41
D Indeks kesamaan jenis Indeks kesamaan jenis menunjukkan tingkat kemiripan jenis penyusun suatu komunitas dengan komunitas lainnya (Tabel 6). Hasil analisis menunjukkan jenisjenis burung antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis mempunyai nilai indeks kesamaan jenis sebesar 37%. Dari empat tipe habitat yang diteliti, tipe habitat daerah rawa dan hutan mangrove tidak dimasukkan dalam analisis ini, karena metode pengambilan datanya berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis burung pada tipe habitat hutan musim dan hutan tropis mempunyai perbedaan jenis yang cukup besar. Tabel 6 Matriks indeks kesamaan jenis (%) antara tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis Tipe Habitat Hutan musim Hutan tropis
Hutan musim -
Hutan tropis 37 -
E Indeks kemerataan Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan tipe habitat hutan tropis mempunyai indeks kemerataan yang tinggi yaitu sebesar 0,87, dibandingkan dengan kemerataan pada tipe habitat hutan musim (0,84), sedangkan dua tipe habitat lainnya tidak dapat dibandingkan karena metode pengambilan datanya berbeda (Tabel 7).
40
Tabel 7 Indeks kemerataan jenis (E) burung di Pulau Peleng Tipe habitat Hutan musim Daerah rawa Hutan mangrove Hutan tropis
Jumlah jenis 30 32 39 42
Kelimpahan relatif 361 107 187 311
E 0,84 0,89 0,93 0,91
Dari Tabel 7 terlihat bahwa tipe habitat hutan musim mempunyai kelimpahan relatif yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis, namun memiliki nilai indeks kemerataan lebih rendah dibandingkan dengan tipe habitat hutan tropis.
Sedangkan pada tipe habitat hutan tropis yang mempunyai nilai
kemerataan yang tinggi, namun kelimpahan relatif pada tipe habitat tersebut termasuk cukup rendah. Hal tersebut, diakibatkan oleh terdapat beberapa jenis yang sangat dominan pada tipe habitat yang mempunyai indeks kemerataan yang rendah. Demikian pula sebaliknya pada tipe habitat yang mempunyai kemerataan yang tinggi, tidak mempunyai
jenis burung yang dominan.
Beberapa jenis burung yang
mempunyai kelimpahan relatif yang sangat besar dibandingkan populasi jenis burung lainnya pada tipe habitat hutan musim, yaitu burung brinji emas (Ixos affinis), kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons) dan tepekong jambul (Hemiprocne longipenis). 5.1.2.2 Pola penyebaran jenis burung Secara keseluruhan pola penyebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan, sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%).
41
Pola sebaran yang bersifat mengelompok ini ditandai dengan jumlah individu jenis–jenis burung
yang tinggi dibeberapa tempat, sedangkan ditempat lainnya
sedikit atau tidak ada sama sekali. Hal ini menunjukkan sebagian besar jenis burung yang didapatkan merupakan jenis burung yang hidupnya suka mengelompok. 5.1.3 Gagak Banggai A Pola penyebaran spasial dan preferensi habitat Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Morisita, diketahui gagak banggai menyebar secara berkelompok (Ip>0) di Pulau Peleng. berdasarkan hasil pengamatan
Sedangkan
di lapangan, diketahui gagak banggai hanya
ditemukan pada tipe habitat hutan tropis (Tabel 8). Pada tipe habitat lainnya gagak banggai tidak dijumpai, sehingga dapat dipastikan bahwa pada penelitian ini gagak banggai hanya memilih tipe habitat hutan tropis sebagai habitatnya. Tabel 8 Jumlah individu gagak banggai pada empat tipe habitat di Pulau Peleng No 1 2 3 4
Tipe Habitat Hutan Musim Daerah Rawa Hutan Mangrove Hutan Tropis Jumlah
Jumlah 0 0 0 15 15
B Asosiasi interspesifik gagak banggai dengan gagak hutan Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat terdapat asosiasi antara gagak banggai dengan gagak hutan (Lampiran 6). Dari hasil penelitian diketahui gagak banggai menempati tipe habitat yang tidak dihuni oleh gagak hutan (Tabel 9).
42
Tabel 9 Keberadaan jenis gagak banggai dan gagak hutan di empat tipe habitat di Pulau Peleng No 1 2 3 4
5.2
Tipe Habitat Hutan Musim Daerah rawa Hutan mangrove Hutan tropis Total
Jenis burung Gagak banggai Gagak hutan 0 13 0 2 0 13 15 0 15 28
Asosiasi Negatif Negatif Negatif Negatif
Pembahasan
5.2.1 Komunitas Burung 5.2.1.1 Komposisi jenis Sebanyak 77 jenis burung ditemukan di Pulau Peleng. Jumlah jenis burung ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mallo et al. (2006) yang menemukan sebanyak 109 jenis burung. Terdapat 52 jenis burung yang tidak ditemukan kembali pada penelitian ini, namun terdapat pula 20 jenis burung yang belum pernah tercatat pada penelitian sebelumnya (Lampiran 3). Dengan hasil penelitian ini, daftar jenis-jenis burung di Pulau Peleng bertambah menjadi 129 jenis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyaknya tipe habitat yang diamati. Pada penelitian ini dilakukan pada empat tipe habitat, sedangkan survei sebelumnya di lakukan pada lima tipe habitat dengan memasukkan areal persawahan sebagai objek pengamatan. Pada penelitian ini tipe habitat sawah tidak dimasukkan sebagai objek penelitian, karena tidak termasuk kategori tipe habitat alami. Menurut Welty (1988) keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis burung. Karena habitat beragam akan menyediakan sumberdaya yang cukup, baik sebagai tempat untuk mencari makan, berlindung dan berkembang biak. Selain dari faktor perbedaan jumlah tipe habitat yang diamati, juga diduga disebabkan oleh faktor perbedaan waktu penelitian maupun perbedaan kondisi lingkungannya. Dari 77 jenis burung yang ditemukan terdapat 15 jenis atau 20% diantaranya merupakan jenis burung yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999. Dua jenis diantaranya merupakan jenis yang masuk kategori NT (Near
Threatened)
43
berdasarkan kriteria IUCN (International Union for Conservation of Nature), dua jenis masuk kategori VU (Vulnerable) dan satu jenis masuk dalam kategori CR (Critically Endangered). Dan sebanyak 11 jenis tercatat dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Semua jenis yang tercatat dalam CITES masuk dalam kategori Appendix II. Apendix II merupakan kategori jenis yang statusnya belum terancam punah, tetapi apabila dieksploitasi berlebihan akan terancam punah. Dari seluruh jenis yang masuk dalam kategori Redlist IUCN, terdapat dua jenis yang masuk kategori Critically Endangered (satu jenis) dan Near Threatened (satu jenis) yang belum dilindungi oleh pemerintah. Kedua jenis tersebut merupakan jenis burung endemik Kepulauan Banggai, yang juga burung penetap di Pulau Peleng. Tidak dimasukkannya kedua jenis tersebut perdagangan
kedua
jenis
burung
tersebut
dalam CITES, mengakibatkan belum
diatur,
sehingga
dapat
diperjualbelikan secara bebas. Hal tersebut dapat mengakibatkan kepunahan kedua jenis burung tersebut. Saat ini kedua jenis burung tersebut berada dalam tekanan akibat dari pembukaan lahan di Pulau Peleng. Burung raja perling sula yang pada survei sebelumnya (Mallo et al. 2006), masih dapat dijumpai pada areal dekat dengan permukiman, namun pada penelitian ini sangat sulit ditemukan kembali, kecuali pada hutan musim yang agak jauh dari permukiman dengan jumlah populasi yang kecil. Sedangkan burung gagak banggai yang penyebarannya hanya terbatas pada bagian barat Pulau Peleng, juga semakin terdesak keberadaannya akibat pembukaan lahan untuk permukiman maupun perkebunan. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemukan jenis burung. Pada tipe habitat ini dijumpai sebanyak 42 jenis burung. Sedangkan tipe habitat hutan musim merupakan tipe habitat dengan jumlah jenis burung yang paling kurang ditemukan, yaitu hanya sebanyak 30 jenis. Tingginya jumlah jenis burung pada tipe habitat hutan tropis diduga disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
44
1. Luas tipe habitat. Jumlah jenis burung serta keanekaragamannya akan semakin meningkat sesuai dengan luas habitat (Wiens 1992; Galli et al. 1976). Di lokasi penelitian, tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang relatif lebih luas dengan kualitas yang masih baik, kualitas habitat tersebut dapat dilihat pada tingkat gangguan manusia yang relatif masih kecil pada tipe habitat ini. 2. Struktur dan keanekaragaman jenis vegetasi.
Dilihat dari profil tumbuhannya,
semua jenis pohon yang ada pada tipe habitat hutan tropis memiliki jenis pohon yang tinggi, tajuk-tajuk yang tinggi dan penutupan tajuk yang berlapis-lapis. Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat pada suatu habitat. Hal ini disebabkan karena komposisi jenis vegetasi yang beragam cenderung mempunyai kemampuan untuk menarik lebih banyak burung. Selain itu, makin kompleks dan beragam serta penutupan tajuk pohon yang rapat pada suatu tipe habitat dapat menyebabkan meningkatnya jenis dan populasi burung (Tomoff 1974). Faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah jenis burung yang dijumpai pada tipe habitat hutan musim, diakibatkan oleh kondisi habitat yang lebih dekat dengan permukiman, maupun dekat dengan tempat aktivitas manusia yang cukup intensif dalam mengolah lahan maupun mengambil kayu bakar, sehingga menyebabkan habitat burung semakin berkurang dan terfragmentasi. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi jenis burung pada tipe habitat hutan musim, yang didominasi oleh jenisjenis burung yang sangat adaptif terhadap kehadiran manusia yaitu brinji emas, kacamata dahi hitam, burung madu sriganti dan burung madu hitam.
Menurut
Prawiradilaga (1990), penurunan keanekaragaman burung berkaitan erat dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama sumber daya lahan dan sumber daya hayati.
Perubahan dalam suatu landskap sebagai akibat
pengaruh manajemen manusia selalu mempunyai konsekuensi terhadap komposisi dan kelimpahan jenis-jenis burung. Perubahan kondisi habitat akibat fragmentasi seperti peningkatan nest predation, nest parasite, serta peningkatan aktivitas predator di sekitar daerah tepi
45
akan mempengaruhi komunitas burung pada area yang mengalami fragmentasi. (Watson et al. 2005). Menurut Herket (1994), fragmentasi habitat merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan komunitas burung.
Dampak fragmentasi
terhadap jenis burung adalah dapat mengurangi jumlah individu, ukuran populasi dan perubahan pola pergerakan (Dixon et al. 2007). Penurunan kualitas, modifikasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman yang berarti bagi jenis-jenis burung. Saat ini diketahui sekitar 50 % burung di dunia terancam punah karena menurunnya kualitas dan hilangnya habitat (Shannaz et al. 1995). Pada lokasi penelitian, terdapat 13 jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat. Sembilan jenis hanya ditemukan pada tiga tipe habitat, sembilan jenis hanya ditemukan pada dua tipe habitat. Sedangkan sisanya, sebanyak 46 jenis burung hanya dijumpai pada satu tipe habitat saja. Jenis–jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat, dimungkinkan karena jenis burung tersebut memiliki penyebaran yang luas sehingga mudah beradaptasi dengan tipe habitat yang berbeda. Menurut Adhikerana (1997) penyebaran burung dalam suatu area berhubungan erat dengan tipe-tipe habitatnya. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
kehadiran jenis burung pada satu
habitat tertentu, disebabkan oleh hasil pemilihan (seleksi) karena habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Ketersediaan makanan dalam habitat yang ditempati, merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran jenis burung (Krebs 1978). Dari 13 jenis burung yang terdapat pada semua tipe habitat di lokasi penelitian, empat jenis diantaranya merupakan jenis dominan dengan jumlah populasi besar yang lebih dari 50 individu, yaitu: brinji emas (97 individu), kacamata dahi hitam (84) dan tepekong jambul (72). Ketiga jenis burung tersebut merupakan burung pemakan serangga. Banyaknya jumlah populasi keempat jenis tersebut dibandingkan dengan jenis-jenis burung yang lain, lebih disebabkan oleh pola hidup dan sumber makanan yang melimpah bagi keempat jenis burung tersebut, walaupun pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan data makanan, tetapi dari kelompok guild yang didominasi oleh kelompok pemakan serangga, dapat diketahui bahwa sumber makanan berupa serangga lebih banyak dibandingkan sumber makanan lainnya.
46
Menurut Wong (1986), besarnya jumlah individu pada suatu guild, berkorelasi dengan sumberdaya yang dibutuhkan oleh guild tersebut. Selain itu, hal tersebut juga ditunjang oleh kondisi vegetasi yang umumnya belum berbunga atau berbuah, sehingga sumber makanan yang tersedia hanyalah serangga. Keempat jenis burung tersebut walau menempati seluruh tipe habitat yang ada, namun hanya dominan pada tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, sedangkan pada dua tipe habitat lainnya tidak termasuk jenis burung yang dominan. Hal tersebut disebabkan tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat daerah rawa merupakan tipe habitat lahan basah, sehingga jenis–jenis serangga yang tersedia merupakan jenis-jenis serangga yang terbang di udara. Jenis yang dominan pada habitat tersebut hanya jenis burung yang sumber makanannya berasal dari serangga yang terbang di udara, yaitu tepekong jambul. Secara keseluruhan, berdasarkan jumlah jenis perfamili, secara umum didominasi oleh famili Columbidae, yang mempunyai jumlah jenis sebanyak 10 jenis dan famili Ardeidae yang mempunyai jumlah jenis sebanyak enam jenis (Tabel 3). Keberadaan kedua famili tersebut disebabkan antara lain karena tipe habitat yang ada di Pulau Peleng, mendukung kebutuhan hidup famili tersebut baik sebagai tempat mencari makan, berlindung maupun berkembang biak.
Jenis-jenis dari famili
Columbidae lebih banyak dijumpai di tipe habitat hutan tropis yaitu sebanyak tujuh jenis, sedangkan pada tipe habitat lainnya, hanya dijumpai kurang dari empat jenis. Pada semua tipe habitat hanya terdapat dua jenis yang dapat dijumpai pada semua tipe habitat yang diamati, yaitu Ducula aenea dan Ptilinopus melanospila. Famili Ardeidae merupakan famili yang masuk kategori burung air. Di lokasi penelitian, jenis-jenis dari famili ini dijumpai pada dua tipe habitat yaitu tipe habitat daerah rawa dan tipe habitat hutan mangrove, yang merupakan tipe habitat yang berair. Pada masing-masing tipe habitat ditemukan tiga jenis burung yang berbeda. Jenis-jenis burung yang termasuk dalam famili Columbidae merupakan kelompok burung yang umum ditemukan di pulau-pulau.
Beberapa penelitian
lainnya juga menunjukkan dominasi famili Columbidae di pulau-pulau, diantaranya Kepulauan Karimunjawa (Rahayuningsih 2009), Pulau Pasoso (Mallo 1999), Pulau
47
Togean (Ramlah 2009), Pulau Seram (Widodo 2006), Pulau Komodo (Imansyah et al. 2002) dan Pulau Banggai (Mallo & Putra 2008b). Menurut Holmes dan Phillips (1996), famili Columbidae merupakan famili burung yang dapat hidup di berbagai habitat dan merupakan komponen utama hutanhutan di Sulawesi. Mempunyai daya jelajah yang luas, mempunyai daya adaptasi yang baik pada lingkungan panas dan dapat bertahan di pulau-pulau kecil. Menurut Beehler et al. (2002) famili Columbidae memiliki penyebaran yang luas tersebar di seluruh dunia, keanekaragamannya tertinggi dan pola warna menyesuaikan dengan habitat yang disukai. Kebanyakan jenis dari famili Columbidae, bersifat nomaden, menyesuaikan diri dengan kelimpahan makanan musiman di berbagai lokasi. Persentase rata-rata jumlah individu perfamili, secara umum didominasi oleh famili Pycnonotidae dan Zosteropidae. Pada penelitian ini famili Pycnonotidae hanya dijumpai satu jenis yaitu Ixos affinis, namun dari hasil survei sebelumnya diketahui terdapat satu jenis lainnya yang tidak ditemukan kembali pada penelitian ini yaitu cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster).
Sedangkan famili Zosteropidae, hanya
dijumpai satu jenis yaitu kacamata dahi hitam (Zosterops atrifrons). Jenis burung ini mengantikan jenis dari famili Zosteropidae (Zosterops chloris) lainnya, yang umum mendominasi pulau dan daratan utama Sulawesi. Meskipun anggota kedua famili tersebut hanya terdiri satu jenis, tetapi kedua jenis tersebut sangat mendominasi di Pulau Peleng. Dominasi famili Pycnonotidae dan Zosteropidae, selain disebabkan oleh perilaku yang adaptif terhadap perubahan habitat maupun terhadap kehadiran manusia, juga disebabkan faktor pola penyebaran kedua famili ini yang luas. Brinji emas (Ixos affinis) menghuni semua habitat yang pohonnya banyak, termasuk hutan, semak dan lahan budidaya. Tersebar dari permukaan laut sampai ketinggian 1830 mdpl. Sedangkan Zosterops atrifrons menghuni hutan primer dan sekunder, hutan yang rusak berat, tepi hutan, semak dan lahan budidaya. Tersebar dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 mdpl (Coates et al. 2000).
48
5.2.1.2 Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis burung pada setiap tipe habitat menunjukkan adanya perbedaan. Menurut Johnsing dan Joshua (1994) struktur komunitas dan kekayaan jenis burung berbeda antara suatu habitat dengan habitat lainnya. Berdasarkan hasil analisis data terhadap dua tipe habitat, menunjukkan tipe habitat hutan tropis memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi daripada tipe habitat hutan musim. Tipe habitat hutan tropis mempunyai jumlah jenis yang tinggi dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1998), bahwa umumnya keanekaragaman mengarah kepada keanekaragaman jenis, yang pengukurannya melalui jumlah jenis dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Keanekaragaman merupakan sifat yang khas dari komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort 1981). Selain berkaitan dengan jumlah jenis burung pada suatu tipe habitat, tingginya keanekaragaman jenis burung pada suatu tipe habitat juga dipengaruhi oleh kemerataan jenis dari tipe habitat tersebut. Tipe habitat hutan tropis mempunyai indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis yang tinggi dibandingkan dengan tipe habitat hutan musim (Tabel 7). Menurut Kartono (2006) keanekaragaman jenis terkait dengan kekayaan jenis dan kemerataan kelimpahan jenis. Nilai kemerataan (E) yang tinggi menunjukkan tidak ada jenis burung secara tunggal yang dominan (Wiens 1992).
Rahayuningsih (2009) menyatakan bahwa nilai kemerataan yang
tinggi menunjukkan bahwa kelimpahan individu jenis burung pada suatu tempat hampir merata, tidak ada dominasi jenis burung yang sangat menonjol. Hal yang sama
dikemukakan
oleh
Gray
(1981),
bahwa
tinggi
rendahnya
indeks
keanekaragaman komunitas, tergantung pada banyaknya jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Jika jumlah jenis banyak dan jumlah individu masingmasing jenis hampir merata maka indeks keanekaragaman akan semakin tinggi. Tingginya keanekaragaman jenis burung pada tipe habitat hutan tropis, disebabkan oleh faktor ketersediaan makanan dan kompleksitas vegetasi. Pada tipe habitat hutan tropis sumber makanan bervariasi, serangga merupakan sumber
49
makanan yang melimpah selain buah dan nektar.
Walau belum masuk musim
berbunga dan berbuah namun, beberapa jenis tumbuhan mulai berbunga dan berbuah. Menurut Dempster (1975), keanekaragaman satwa dipengaruhi oleh komposisi jenis tumbuhan yang ada yang merupakan sumber makanan bagi satwa.
Dari faktor
vegetasi, tipe habitat hutan tropis mempunyai sifat-sifat vegetasi yang mendukung kehidupan burung, berupa keanekaragaman jenisnya, kerapatan populasi dan kerapatan tajuk-tajuknya.
Keanekaragaman jenis burung berhubungan dengan
banyaknya lapisan tajuk tumbuhan di suatu ekosistem (Helvoort 1981). Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa keanekaragaman jenis burung di suatu tipe habitat, dipengaruhi oleh faktor kompleksitas vegetasi dalam suatu habitat (Karr & Roth, 1971), tingkat kepadatan pohon (Chettri et al. 2005), volume vegetasi (Mills et al.1991), struktur tajuk (Pearson 1975; Patterson et al. 1995; Isacch et al. 2005), komposisi vegetasi (Lalolo et al. 2002) dan ketersediaan makanan (Marsden & Pilgrim 2003).
Selain faktor tersebut, tipe habitat hutan tropis relatif kurang
mendapat gangguan dari manusia, sehingga kualitas habitat masih baik. Berdasarkan
hasil
uji
t
dapat
diketahui,
bahwa
walaupun
indeks
keanekaragaman jenis menunjukkan terdapat perbedaan diantara semua tipe habitat yang diteliti, namun dari hasil uji statistik diketahui perbedaan tersebut tidak berbeda secara signifikan. 5.2.1.3 Komposisi guild Secara keseluruhan kelompok guild pemakan serangga, merupakan kelompok yang mendominasi pada seluruh tipe habitat yang diteliti, baik dari segi jumlah jenis maupun jumlah kelimpahan individu. Tipe habitat hutan mangrove merupakan tipe habitat yang mempunyai kelompok guild yang lebih banyak, namun jumlah jenis dan kelimpahan individu dari masing-masing kategori guild tersebut relatif lebih kecil. Jumlah jenis terbanyak dari kelompok guild yang ada di tipe habitat hutan mangrove, didominasi oleh jenis burung pemakan serangga sambil terbang dan pemakan vertebrata dan invertebrata.
50
Wong (1986) menyatakan bahwa jumlah individu di dalam sebuah guild menggambarkan ketersediaan sumberdaya yang mendukungnya, sedangkan jumlah jenis mengambarkan sejauh mana sumberdaya dapat dibagi dengan baik.
Oleh
karena itu semakin banyak kategori guild di dalam suatu tipe habitat menunjukkan banyaknya ketersediaan sumberdaya yang mendukung kehidupan burung di dalamnya dan juga menunjukan kualitas lingkungan yang baik (Bishop & Myers 2005). Menurut del Rio (2001) kepadatan guild di suatu daerah berhubungan dengan ketersediaan sumber daya. Secara alami, sumber makanan berupa serangga merupakan sumber makanan yang tersedia sepanjang waktu, berbeda halnya dengan sumber makanan berupa buah dan nektar yang dipengaruhi oleh waktu (musim berbuah). Menurut Wong (1986), kelimpahan serangga lebih stabil dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga populasi burung pemakan serangga relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemakan buah atau nektar. 5.2.1.4 Kesamaan jenis Analisis data menunjukkan tipe habitat hutan musim dan tipe habitat hutan tropis, memiliki kesamaan jenis sebesar 36%. Dari 53 jenis yang terdapat di kedua tipe habitat tersebut, sebanyak 11 jenis (21%) hanya terdapat di tipe habitat hutan musim dan sebanyak 23 jenis (43%) hanya terdapat di tipe habitat hutan tropis, sedangkan sisanya sebanyak 19 jenis (36%) terdapat di dua tipe habitat tersebut. Nilai indeks kesamaan jenis menunjukkan, bahwa burung yang ada di tipe habitat hutan musim dapat pula ditemukan di tipe habitat hutan tropis. Jenis-jenis burung yang ditemukan pada kedua tipe habitat, merupakan jenis-jenis burung yang mempunyai pola penyebaran yang luas dan adaptif terhadap gangguan maupun aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis burung ini dapat menempati hampir semua habitat yang ada. Sedangkan jenis-jenis burung yang hanya terdapat pada salah satu tipe habitat, lebih disebabkan jenis-jenis burung tersebut peka terhadap gangguan, sehingga cenderung hanya menempati habitat yang masih baik dan belum terganggu. Tipe habitat hutan tropis merupakan tipe habitat yang masih baik dan relatif belum
51
terganggu. Pada tipe habitat ini dapat dijumpai banyak jenis burung yang tidak dijumpai pada tipe habitat hutan musim. Tipe habitat hutan tropis memiliki struktur vegetasi berupa kepadatan dan tutupan tajuk yang baik dan komposisi vegetasi yang beragam yang merupakan faktor pendukung kehidupan burung (Dicson et al. 1979). 5.2.1.5 Pola penyebaran Secara keseluruhan pola penyebaran jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya mengelompok (Ip>0). Pada tipe habitat hutan musim, seluruh jenis burung yang ditemukan mempunyai pola penyebaran mengelompok. Pada tipe habitat hutan mangrove, dari 33 jenis burung yang ditemukan sebanyak 31 jenis (94%) menyebar secara berkelompok dan dua jenis (6%) menyebar secara acak. Pada tipe habitat hutan tropis dari 34 jenis yang dianalisis, 32 jenis (94%) mempunyai pola penyebaran berkelompok, sedangkan dua jenis lainnya mempunyai pola penyebaran acak (6%).
Pola sebaran yang bersifat mengelompok, ditandai
dengan jumlah individu burung yang tinggi di beberapa tempat, sedangkan di tempat lainnya sedikit.
Menurut Indriyanto (2006), pola penyebaran berkelompok pada
suatu populasi yang umum terjadi di alam, hal ini berlaku bagi tumbuhan maupun hewan. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar jenis burung yang ditemukan merupakan jenis burung yang pola hidupnya
mengelompok.
Selain itu, diduga
disebabkan banyaknya ketersediaan sumber daya makanan dan kondisi tipe habitat yang cocok bagi kehidupan jenis-jenis burung tersebut.
Menurut Ludwig dan
Reynolds (1988), pola sebaran acak dari individu-individu populasi suatu jenis menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalam lingkungan hidup jenis itu dan atau adanya perilaku non selektif dari jenis yang bersangkutan dalam lingkungan hidupnya.
Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari
persaingan makanan diantara individu, sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput, sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat jenis yang bergerombol (gregorius) atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga terjadi pengelompokan di tempat terdapat makanan dan lainnya.
52
5.2.2 Gagak Banggai Gagak banggai merupakan jenis burung endemik di Kepulauan Banggai (Gambar 2). Burung ini diketahui hanya berdasarkan dua spesimen yang dikoleksi oleh Rothschild dan Hartert dari suatu tempat yang tidak diketahui dengan pasti letaknya di Kepulauan Banggai selama rentang waktu tahun 1884-1885 (Coates et al. 2000).
Laporan atau informasi mengenai keberadaan gagak banggai selama ini,
hampir tidak ada sama sekali, sehingga keberadaannya di habitat aslinya diragukan, bahkan diduga telah punah. Saat ini, Birdlife memasukkan jenis burung ini dalam kategori kritis (Critically endangered). Jenis yang masuk kategori kritis merupakan jenis yang dalam waktu 10 tahun menghadapi resiko kepunahan sebesar 50%.
Informasi keberadaan gagak
banggai di habitat aslinya dapat diketahui dengan ditemukannya sepasang gagak banggai dari Pulau Peleng tahun 2007 (Mallo & Putra 2007). Tahun berikutnya kembali dilakukan survei habitat dari gagak banggai yang dijumpai sebelumnya untuk mengetahui habitat yang digunakan dan penyebaran gagak banggai. Dari hasil survei tersebut diketahui gagak banggai tidak dijumpai di Pulau Banggai (Mallo & Putra 2008a). 5.2.2.1 Asosiasi intraspesifik gagak banggai dan gagak hutan Di Pulau Peleng burung gagak banggai tidak hidup sendiri, namun membentuk komunitas yang terdiri atas banyak jenis burung lainnya. Pada lokasi penelitian, selain gagak banggai juga terdapat jenis lain dari genus yang sama yaitu gagak hutan (Corvus enca). Dari empat tipe habitat yang diteliti, tiga tipe habitat diantaranya ditempati oleh gagak hutan yaitu tipe habitat hutan musim, tipe habitat hutan mangrove dan tipe habitat daerah rawa. Sedangkan satu tipe habitat lainnya yaitu tipe habitat hutan tropis ditempati oleh gagak banggai. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara gagak banggai dan gagak hutan.
Gagak banggai
menempati tipe habitat yang tidak dihuni oleh gagak hutan, demikian pula sebaliknya gagak hutan menempati tipe habitat yang tidak dihuni gagak banggai.
53
Walaupun ada kecenderungan pada penelitian ini, gagak hutan dan gagak banggai saling menempati daerah yang tidak dihuni oleh salah satu dari kedua jenis tersebut, tetapi pada tempat lain di Pulau Peleng dilaporkan gagak banggai menempati satu habitat secara bersamaan dengan gagak hutan. Gagak banggai yang mempunyai daya adaptasi yang rendah, berada di tipe habitat yang masih lebat dan gagak hutan yang mempunyai daya adaptasi yang tinggi cenderung beradaptasi dengan lingkungan yang terbuka, bahkan di sekitar permukiman masih dapat dijumpai gagak hutan. Gagak banggai cenderung menempati habitat hutan yang masih lebat, disebabkan gagak banggai merupakan jenis burung yang sensitif dengan kehadiran manusia dan cenderung tergantung pada hutan yang lebat (Mallo & Putra 2007). Gagak banggai membutuhkan habitat hutan yang lebat untuk menghindari manusia maupun elang sebagai predatornya. Pada seluruh lokasi penelitian terdapat lima jenis elang dan pada hutan tropis dijumpai sebanyak tiga jenis. Jumlah tersebut kurang dari hasil penelitian sebelumnya yang menjumpai 16 jenis elang pada seluruh tipe habitat di Pulau Peleng (Mallo et al. 2006). Selain itu gagak banggai sangat membutuhkan hutan yang lebat sebagai tempat berkembangbiaknya, gagak banggai memilih pohon yang tinggi (tinggi bebas cabang terendah 19 m) dan lebat sebagai tempat bersarangnya (Mallo & Putra 2007). Pohon yang rimbun dan tinggi tersebut berfungsi menjaga anak gagak banggai dari predator; telur dan anak gagak banggai sukar terlihat karena terlindungi oleh rimbunnya pohon. Menurut Alikodra (1990), habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Lebih lanjut Alikodra menyatakan, bahwa struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung yang berperan sebagai tempat persembunyian (hiding cover).
Bagi satwaliar yang dimangsa,
kerapatan vegetasi berfungsi
memudahkan untuk mengenali pemangsa dan sekaligus memudahkan untuk melakukan persembunyian.
54
5.2.2.2 Preferensi Habitat Hasil analisis data menunjukkan, bahwa gagak banggai hanya memilih tipe habitat hutan tropis sebagai habitatnya, namun pemilihan tersebut, bukan berarti gagak banggai menyukai sepenuhnya tipe habitat tersebut sebagai habitatnya, namun karena tipe habitat tersebut merupakan satu-satunya habitat yang masih mempunyai hutan yang lebat. Mallo dan Putra (2007), melaporkan gagak banggai dapat dijumpai pada daerah dataran rendah. Diduga konversi lahan pada dataran rendah menjadi tempat permukiman dan perkebunan, menjadikan gagak banggai berpindah ke tipe habitat lain. Konversi lahan secara drastis telah mengubah habitat, menjadikan habitat menjadi menyempit dan terfragmentasi, menyebabkan penurunan fungsi habitat sebagai pelindung untuk gagak banggai, serta intensitas aktifitas manusia semakin tinggi. Hal tersebut mengakibatkan gagak banggai terdesak hidupnya pada daerah dataran yang agak tinggi, namun konversi lahan yang terus terjadi menyebabkan gagak banggai terdesak ke arah dataran yang lebih tinggi lagi. Saat ini gagak banggai hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis yang berada pada ketinggian 1000 mdpl.
Menurut Waltert et al. (2004) perubahan vegetasi akan berdampak pada
kondisi habitat secara keseluruhan. Habitat yang terbentuk akibat penggunaan lahan, sangat mempengaruhi komunitas burung yang menempatinya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau pindah ke tempat lain (Indriyanto 2006). Pemilihan tipe habitat hutan tropis sebagai satu-satunya tipe habitat dijumpai gagak banggai, disebabkan tipe habitat hutan tropis memiliki jumlah jenis tumbuhan yang banyak dengan kerapatan yang tinggi.
Menurut Blake dan Hoppes (1986)
burung memilih habitatnya berdasarkan pada vegetasi. Selain itu, pada tipe habitat ini aktivitas manusia juga masih kurang. Kurangnya aktivitas manusia pada tipe habitat ini, dikarenakan tipe habitat ini berada pada dataran tinggi dengan kondisi daerah yang cukup curam sehingga sulit dijangkau oleh manusia. Menurut MacKinnon et al. (1997) medan yang sangat sulit di daerah hutan pegunungan untuk
55
dapat dirambah oleh manusia, menyebabkan untuk sementara menjadi kawasan yang baik bagi jenis-jenis burung. Kondisi yang berbeda terdapat pada ketiga tipe habitat lainnya yang diteliti. Pada tipe habitat musim, aktivitas manusia sangat tinggi akibat dibukanya jalan raya, pembukaan jalan raya tersebut juga mengakibatkan fragmentasi habitat. Pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan dan sebagai kayu bakar dengan mengambil kayu yang berdiameter besar, juga mengakibatkan hutan musim hanya memiliki pohon yang berdiameter kecil dan habitat menjadi lebih terbuka. Kondisi tersebut bisa menjadi ancaman, karena gagak banggai dapat dengan mudah dimangsa oleh elang sebagai predatornya. Kondisi pada tipe habitat daerah rawa, tidak berbeda dengan kondisi tipe habitat hutan musim.
Pada tipe habitat ini intensitas manusia sangat tinggi,
dikarenakan tipe habitat ini berdekatan dengan kebun maupun permukiman masyarakat. Selain itu, tipe habitat ini kondisinya sangat terbuka akibat adanya rawa. Pada tipe habitat hutan mangrove, meskipun mempunyai diameter tumbuhan agak besar dan vegetasinya lebih rapat dibandingkan tipe habitat hutan musim dan daerah rawa, namun gagak banggai tidak memilih tipe habitat ini sebagai habitatnya. Diduga tingginya aktivitas manusia di tipe habitat ini menjadikan tipe habitat ini tidak dipilih. Tipe habitat ini merupakan jalur transportasi nelayan menuju ke laut dan merupakan tempat pengambilan ketam oleh masyarakat. Selain itu tipe habitat ini tidak terlalu berjauhan dengan jalan raya dan permukiman. Pemilihan tipe habitat hutan tropis juga disebabkan karena tipe habitat ini, fungsinya sebagai tempat perlindungan masih sangat baik, sehingga faktor utama pemilihan tipe habitat hutan tropis lebih dikarenakan fungsi habitat sebagai tempat berlindung. Sedangkan fungsi habitat sebagai tempat mencari makan hanya sebagai faktor pendukung saja, karena gagak banggai merupakan jenis burung pemakan segalanya (omnivore), sehingga gagak banggai dapat mendapatkan makanannya dimana saja. Menurut Verner (1981) bahwa jenis-jenis burung menyeleksi suatu habitat tertentu yang sesuai bagi dirinya dan hal ini meliputi beberapa sumber seperti
56
makanan, tempat bersarang, tempat bernyanyi, tempat berlindung, ketersediaan air, bahan-bahan untuk pembuatan sarang, tempat mengintai mangsa dan sifat daerah atau vegetasi. 5.2.2.3 Pola Penyebaran Hasil analisis
menunjukkan gagak banggai hidup berkelompok di Pulau
Peleng. Hal ini ditandai dengan jumlah individu gagak banggai yang tinggi tipe habitat hutan tropis, sedangkan pada tipe habitat lainnya tidak ada sama sekali. Di alam, secara alami gagak banggai hidup berpasangan. Hutan tropis merupakan satusatunya tipe habitat yang relatif belum terganggau dibanding tiga tipe habitat lainnya. Gagak banggai cenderung menyukai tipe habitat yang belum terganggu dan jauh dari aktivitas manusia. Menurut Peterson (1980) penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidupnya, kompetisi dan beberapa faktor lainnya. Kondisi tipe habitat selain tipe habitat hutan tropis, telah rusak dan terfragmentasi, sehingga populasi gagak banggai hanya terkosentrasi pada tipe habitat hutan tropis yang masih baik. Menurut Tarumingkeng (1994), pola penyebaran merupakan strategi individu maupun kelompok organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi habitat yang meliputi kualitas dan kuantitas sangat menentukan penyebaran populasi satwaliar. Pemilihan habitat ini, sesuai dengan pendapat Krebs (1978), yang menyebutkan bahwa tidak adanya jenis tertentu di suatu tempat dapat disebabkan oleh perilaku seleksi (habitat selection). 5.2.3 Implikasi Konservasi Pulau Peleng merupakan tempat ibukota baru bagi Kabupaten Banggai Kepulauan, sehingga pembangunan infrastruktur di daerah ini sangat pesat, terutama pada daerah dataran rendah.
Pembangunan tersebut mengakibatkan perubahan
habitat secara drastis sehingga terjadi pengurangan luas maupun kualitas habitat. Hasil penelitian ini, menunjukkan telah terjadi perubahan komposisi maupun pengurangan jenis burung di daerah dataran rendah akibat pembangunan tersebut.
57
Tipe habitat hutan musim merupakan tipe habitat yang mendapat gangguan paling berat. Akibat gangguan tersebut tipe habitat ini semakin menyempit dan terfragmentasi, sehingga komposisi jenis burung pada tipe habitat ini berubah. Jenisjenis burung yang sensitif terhadap perubahan habitat dan kehadiran manusia berpindah ke habitat yang lain, digantikan oleh jenis-jenis burung yang sangat adaptif terhadap perubahan habitat dan gangguan manusia. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa fungsi habitat sebagai tempat berlindung, merupakan salah satu faktor penting bagi jenis-jenis burung yang mempunyai perilaku yang kurang adaptif terhadap gangguan. Habitat yang masih baik, berfungsi sebagai tempat berlindung ketika terjadi ancaman terhadap jenis-jenis burung yang ada. Kondisi berbeda terjadi pada tipe habitat hutan mangrove yang juga terletak pada daerah dataran rendah, namun pada tipe habitat ini masih dihuni oleh jenis-jenis burung yang sensitif terhadap gangguan. Hal tersebut, dikarenakan pada tipe habitat ini diameter tumbuhannya besar dan vegetasinya masih rapat, sehingga fungsi habitat sebagai tempat berlindung masih baik. Dengan demikian untuk kelestarian jenis-jenis burung pada daerah dataran rendah perlu dicadangkan daerah khusus bagi perlidungan bagi jenis-jenis burung yang ada. Dari seluruh jenis burung yang ada, terdapat dua jenis burung yang penting untuk diperhatikan, yaitu gagak banggai dan burung raja perling sula yang merupakan burung endemik di Kepulauan Banggai. Menurut kriteria IUCN raja perling sula masuk kategori rentan (Vulnerable) dan gagak banggai masuk kategori kritis (Critically endangered). Kedua jenis tersebut merupakan jenis endemik di Banggai Kepulauan. Kriteria kritis (Critically endangered) yaitu suatu jenis yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Dalam praktiknya, yang dimasukkan ke dalam golongan ini adalah jenis yang dalam 10 tahun atau tiga generasi memiliki resiko kepunahan lebih besar dari 50%. Sedangkan kriteria rentan (Vulnerable) yaitu suatu jenis dengan resiko punah dalam jangka menengah dan beresiko menjadi genting. Dalam praktiknya yang dimasukkan ke dalam golongan ini adalah jenis yang dalam 100 tahun memiliki risiko kepunahan lebih besar dari 10% (Indrawan et al. 2007).
58
Meskipun telah dimasukkan ke dalam kategori tersebut, namun kedua jenis tersebut tidak termasuk dalam kategori CITES dan tidak termasuk jenis satwa yang dilindungi. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui kedua jenis burung tersebut mendapat tekanan di habitatnya. Gagak banggai tersebar secara berkelompok dan hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis, sedangkan raja perling sula telah sulit ditemukan di habitat hutan musim yang merupakan tipe habitat utamanya. Sehingga dengan kondisi demikian, diperkirakan kepunahannya di Pulau Peleng akan semakin cepat jika tidak ada tindakan pelestariannya. Gagak banggai hanya dijumpai pada tipe habitat hutan tropis, diduga akibat dari konversi lahan, baik untuk permukiman, perkantoran maupun sebagai ladang masyarakat. Aksi konservasi untuk kedua jenis tersebut sangat diperlukan mengingat secara alami jenis endemik yang berada di kepulauan merupakan jenis yang sangat rentan terhadap kepunahan, serta sepanjang sejarah tingkat kepunahan tertinggi terjadi di kepulauan (Indrawan et al. 2007). Salah satu cara untuk mempertahankan kedua jenis tersebut serta berbagai jenis burung lainnya, yaitu dengan penetapan kawasan konservasi di Pulau Peleng, diutamakan pada tipe habitat hutan tropis yang menjadi habitat terakhir bagi kedua jenis burung tersebut.