3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh, Kota Sabang, Nangroe Aceh Darussalam (Lampiran 1).
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah
(Gambar 5): 1) Memetakan alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Weh dan dilakukan monitoring hasil tangkapan untuk menentukan komposisi jenis hasil tangkapan. 2) Menghitung rata-rata biomassa ikan dan menentukan Maximum Sustainablity Yield (MSY) berdasarkan tingkat kematian alami (natural mortality) dan kematian akibat penangkapan (fishing mortality). Langkah ini merupakan bagian dari opsi pengaturan secara teknis. 3) Melakukan analisis kelayakan usaha terhadap masing-masing alat tangkap sehingga dapat diketahui jenis alat tangkap yang dapat memberi keberlanjutan secara ekonomi bagi nelayan. Analisis sebagai bagian dari prinsip pendekatan ekosistem bahwa perlu ada jaminan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan dalam memanfaatkan perikanan. 4) Menentukan area prioritas berdasarkan kondisi ekologis yang dapat dijadikan kawasan konservasi, sebagai bagian dari opsi pengaturan secara spasial. 5) Melakukan analisis kelembagaan untuk melihat apakah kegiatan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dapat dilakukan atau tidak di Kota Sabang.
19
Gambar 5. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
20
3.1 Alat dan Bahan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat 3 jenis data primer yang dikumpulkan yaitu alat tangkap dan hasil tangkapan, biomassa ikan dan kondisi kelembagaan. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengambilan 3 jenis data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Bahan dan Alat Penelitian No 1
2
3
Jenis Data -Hasil tangkapan masingmasing alat tangkap -Informasi trip perahu masing-masing alat tangkap dalam satu tahun -Informasi kelayakan usaha Jenis, jumlah dan ukuran ikan karang
Metode Monitoring hasil tangkapan (fish landing monitoring)
Alat / Bahan 1. Kamera 2. Form data monitoring hasil tangkapan dan alat tulis
Sensus visual ikan
Informasi kelembagaan
Diskusi terarah
1. Perahu 2. Alat penyelaman 3. Roll meter 4. Form isian data ikan karang dan alat tulis 1. Kuisioner dan alat tulis
3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan mulai Januari hingga Agustus 2009. Tahapan yang dilakukan adalah persiapan pengambilan data pada bulan Januari 2009, pengambilan data biomassa ikan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2009, pengambilan data alat tangkap dan hasil tangkapan pada bulan April sampai dengan Mei 2009 dan pengambilan data kelembagaan yang dilakukan pada bulan Agustus 2009.
3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Monitoring hasil tangkapan Monitoring hasil tangkapan dilakukan pada 5 lokasi yang mewakili wilayah utara, barat, selatan dan timur Pulau Weh. Lokasi-lokasi tersebut antara lain Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Pasiran, Lhok Pria Laot, Lhok Kenekai, dan Lhok Paya. Teknik sampling pengambilan data hasil tangkapan adalah purposive sampling nelayan yang mendarat di 5 wilayah tersebut selama 14 hari. Selain dilakukan pencatatan pada hasil tangkapan, dikumpulkan juga
21
informasi berupa jumlah trip masing-masing alat tangkap setiap bulan dalam setahun, biaya operasional penangkapan, dan modal yang dikeluarkan dalam pembuatan alat tangkap serta umur perahu dan masing-masing alat tangkap yang dipakai.
3.3.2 Sensus visual ikan Sensus ikan secara visual adalah pengindentifikasian dan penghitungan ikan yang diobservasi pada suatu area tertentu. Sensus ikan secara visual dapat digunakan untuk mengestimasi jenis, jumlah, dan juga ukuran ikan. Langkah-langkah
dalam
metode
sensus
visual
adalah
(Wildlife
Conservation Society, 2008) : 1) Lokasi survei ditentukan dengan menggunakan GPS. 2) Satu buah transek pada kedalaman yang sama (antara reef crest dan reef slope; 6 meter). 3) Jenis ikan dan jumlah ikan yang ditemukan dicatat berdasarkan kelompok panjang ikan dalam form isian sensus visual ikan. 4) Pencatatan ikan dilakukan pada - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (5 x 50 m) untuk ikan > 10 cm. - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 6 x (2 x 50 m) untuk ikan < 10 cm.
Fish size >10cm Fish size <10cm
2.5 m 1m 50 m
50 m
Gambar 6. Ilustrasi Metode Sensual Visual (Wildlife Conservation Society, 2008)
22
3.3.3 Data spasial Data spasial yang digunakan adalah data sekunder dari Wildlife Conservation Society (WCS). Data spasial yang dikumpulkan merupakan data GIS dalam bentuk shape file fitur-fitur konservasi.
3.3.4 Data kelembagaan Pengumpulan data kelembagaan dilakukan untuk melihat kondisi kelembagaan Pemerintah Kota Sabang dalam mengimplementasikan indikatorindikator pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan.
Teknik
pengambilan data untuk analisis kelembagaan adalah dengan purposive sampling yaitu pengambilan contoh pada staf lembaga pemerintah yang telah ditentukan sebelumnya. Pengisian form pengukuran kelembagaan dilakukan secara diskusi terfokus bersama dengan 2 staf Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKPP), Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) dan Badan Pengendalian Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (BAPEDALKEP) Kota Sabang.
3.4 Analisis Data 3.4.1 Persamaan panjang-berat ikan Persamaan panjang berat digunakan untuk mengestimasi berat ikan berdasarkan panjang ikan. Persamaan yang dipakai dalam penghitungan berat ikan adalah:
W = aLb dimana; W
: Berat estimasi ikan
L
: Panjang ikan
a, b
: Konstanta panjang – berat.
Konstanta panjang berat masing-masing jenis ikan diperoleh dari fish base online pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly, 2000).
3.4.2 Biomassa ikan Setelah seluruh panjang ikan hasil survei visual sensus dikonversi dari panjang menjadi berat maka dihitung berat total masing-masing ikan yang
23
ditemukan setiap transek. Total berat masing-masing ikan tiap transek tersebut tersebut dibagi luasan survei (250 m2 untuk ikan > 10 cm dan 100 m2 untuk ikan < 10cm) sehingga diperoleh biomassa masing-masing jenis ikan dalam satuan kg/m2.
Biomassa ikan dalam satuan kg/m2 tersebut konversi menjadi kg/ha
dengan dikalikan 10.000 (1 ha = 10.000 m2).
3.4.3 Maximum sustainable yield Penghitungan MSY didasarkan pada persamaan sebagai berikut (Garcia et al., 1989) sebagai berikut: _
BM2 MSY = 2M − F dimana; B
: Biomassa rata-rata
M
: Kematian alamiah (natural mortality)
F
: Kematian akibat tangkapan (fishing mortality).
Referensi kematian alamiah masing-masing jenis ikan diperoleh dari data yang ada di fish base online pada situs www.fishbase.org (Froese and Pauly, 2000). Sebaran tingkat kematian alami disajikan pada Gambar 10. Boxplot nilai M menyebar dengan nilai pemusatan 0,66 (Q1=0,43 dan Q3=0,875), yang menunjukkan kurva sebaran nilai M berpusat dibagian kiri atau miring ke kanan. Kematian akibat penangkapan (F) dapat diperoleh dari persamaan tingkat eksploitasi:
E=
F F +M
dimana; E
: Tingkat eksploitasi
F
: Kematian akibat tangkapan (fishing mortality)
M
: Kematian alamiah (natural mortality).
Nilai E menurut Gulland (1971) dan Samoilys (1997) menyebutkan bahwa MSY pada suatu kawasan perikanan terjadi pada E = 0,5, namun Samoilys (1997) juga menyebutkan bahwa sebagian peneliti lainnya menyebutkan nilai E optimal dapat terjadi pada E mendekati 0,2.
Pada penelitian ini akan disimulasikan
24
dengan nilai E mulai dari 0,1 hingga 0,5. Penghitungan MSY dilakukan pada beberapa spesies yang memiliki pertimbangan ekologi dan pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekologi didasarkan pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources –
Redlist (IUCN Redlist). Pertimbangan ekonomi didasarkan pada jenis-jenis ikan ekonomis yang ditangkap oleh nelayan Pulau Weh.
Boxplot of M 1.6 1.4 1.2
M
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2
Gambar 7. Boxplot Tingkat Kematian Alami Ikan Karang
3.4.4 Analisis kelayakan usaha penangkapan Analisis kelayakan usaha penangkapan dilakukan untuk menghitung keuntungan bersih dari masing-masing alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Weh.
Data untuk analisis kelayakan usaha diperoleh dari monitoring hasil
tangkapan ikan untuk mengetahui biaya masing-masing alat tangkap. Penghitungan total keuntungan bersih selama satu tahun masing-masing alat tangkap dilakukan dengan persamaan (Fauzi dan Anna, 2005): N
TV = ∑ KBi i =1
dimana; TV
: Total keuntungan dalam 1 tahun
KBi
: Keuntungan bersih tiap trip
25
N
: Total trip dalam 1 tahun.
Nilai keuntungan bersih tiap trip diperoleh dengan persamaan-persamaan yang dimodifikasi dari persamaan present value seperti dalam Fauzi dan Anna (2000):
KBi = Y − Bo − Bp − Bt ................................................................ (1)
Bo =
1 n ∑ Boi ........................................................................... (2) n i =1
Bp =
1 N
Bt =
12
∑ Bp i =1
i
....................................................................... (3)
1 g Bmi ∑ .......................................................................... (4) N i =1 t i
dimana; KBi
: Keuntungan bersih setiap trip perahu
Y
: Penghasilan rata-rata kotor
Bo
: Biaya operasi rata-rata per satuan trip
Boi
: Biaya operasi tiap trip pada pengambilan data ke i
Bp
: Biaya pengelolaan rata-rata persatuan trip
Bt
: Biaya depresi alat per satuan trip
Bpi
: Biaya operasional setiap bulan
Bmi
: Biaya modal komponen ke i masing-masing alat tangkap
N
: Total trip dalam 1 tahun
n
: Jumlah trip selama waktu survei
ti
: Umur komponen ke i masing-masing alat tangkap
g
: Jumah Total jumlah komponen masing-masing alat tangkap.
Berdasarkan analisis kelayakan usaha akan diketahui alat tangkap ikan ekonomis yang dapat dioperasikan di Pulau Weh.
3.4.5 Optimasi alat tangkap Analisis untuk menentukan jumlah alat tangkap optimal di Pulau Weh menggunakan metode Linear Goal Programming dengan model sebagai berikut.
26
Fungsi tujuan: min Z =
l
m
∑∑ P (dB k = 0 i −1
n
Fungsi kendala:
∑a j =1
ij
k
i
+ dAi )
X j + dBi − dAi = bi
dimana; Pk
: Urutan prioritas
dBi
: Deviasi ke bawah
dAi
: Deviasi ke atas
aij
: Koefisien
Xj
: Variabel keputusan.
Variabel keputusan yang dipakai dalam fungsi kendala ini adalah: 1) MSY sumberdaya ikan karang. 2) Rata-rata hasil tangkapan masing-masing alat tangkap dalam 1 tahun. Analisis Linear Goal Programming (LGP) dilakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan karena nilai MSY masing-masing spesies memiliki variasi yang cukup tinggi sehingga fungsi hasil tangkapan tidak dapat terpenuhi secara optimal. Pada tahap 1, dihitung perbandingan hasil tangkapan rata-rata ikan dengan nilai biomassa ikan. Setelah dilakukan penapisan hasil perbandingan, spesies dengan nilai perbandingan kurang dari 10 maka spesies tersebut dikeluarkan dari model fungsi LGP. Spesies yang dikeluarkan dari model pada tahap 1 sebanyak 9 spesies, sehingga model LGP dilakukan pada 75 spesies. Pada tahap 2 dilakukan penghitungan jumlah optimum alat tangkap berdasarkan 2 kelompok yaitu (a) spesies yang memiliki nilai perbandingan diatas 10 dan (b) spesies yang memiliki nilai perbandingan diatas 100.
Penapisan ini menyisakan 45 spesies yang
dimasukkan pada model tahap 2.
3.4.6 Analisis Marxan untuk menentukan area prioritas Metode yang dipakai dalam menentukan area prioritas adalah metode Analisis Marxan.
Analisis Marxan merupakan pemodelan spasial ekosistem
dengan basis sistem informasi geografis (Geselbracht et al., 2005 serta Barmawi dan Darmawan, 2007). Langkah-langkah dalam Analisis Marxan adalah:
27
1) Menentukan parameter ekologi yang akan dijadikan target spasial dan parameter yang akan dijadikan sebagai biaya. Parameter biaya yang dimaksud adalah parameter yang dianggap sebagai parameter yang memberikan dampak negatif bagi kegiatan konservasi laut. 2) Membuat Area of Interest (AOI). AOI merupakan batas terluar kawasan yang akan dikaji. 3) Membuat satuan perencanaan dalam bentuk heksagonal di dalam AOI. Luas masing – masing satuan perencanaan adalah 1 hektar (Gambar 8).
Gambar 8. Area of Interest dalam Analisis Marxan 4) Memasukan parameter – parameter target dan biaya ke dalam satuan perencanaan.
Parameter target dan nilai masing-masing target konservasi
disajikan pada Tabel 3: Tabel 3. Fitur Target Konservasi dan Nilainya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Fitur Target Konservasi Daerah pemijahan ikan kerapu Kondisi terumbu karang baik Biomassa ikan sangat tinggi Kelimpahan ikan sangat tinggi Ekosistem mangrove Kondisi terumbu karang sedang Biomassa ikan tinggi Kelimpahan ikan tinggi Daerah pemijahan ikan lain
Nilai 100 80 80 80 80 60 60 60 60
28
No Nama Fitur Target Konservasi 10 Daerah dengan diversitas terumbu karang sangat tinggi 11 Daerah tempat tuna berkumpul 12 Daerah cetacean 13 Lokasi yang pemijahan ikan Carangidae 14 Daerah dengan diversitas terumbu karang tinggi Parameter biaya dalam Analisis Marxan adalah:
Nilai 50 40 40 40 40
1) Perkampungan/pendaratan perahu 2) Muara sungai 3) Pelabuhan 4) Daerah penangkapan ikan utama.
5) Membuat konfigurasi file pendukung dari parameter yang telah dimasukkan dalam satuan perencanaan. 6) Membuat berbagai macam skenario untuk memilih area prioritas. 7) Mensimulasikan skenario untuk menentukan satuan perencanaan terpilih sebagai area prioritas. Area prioritas yang terpilih merupakan area prioritas dengan skenario yang sesuai dan nilai total biaya terendah. Nilai total biaya dihitung dengan rumus (Huggins, 2006): TB = BSP + BKK + PKA ................................................................. (6) BKK = 10 P + 4 DPI + 2 K + 1 MS .................................................. (7) dimana; TB
: Total biaya,
BSP
: Biaya satuan perencanaan yang dikeluarkan,
BKK : Biaya kegiatan berdampak negatif terhadap konservasi, PKA
: Panjang keliling area.
P
: Pelabuhan
DPI
: Daerah penangkapan ikan
K
: Kampung/Pendaratan Perahu
MS
: Muara Sungai.
Selain pertimbangan nilai total biaya, pertimbangan lainnya adalah memilih area prioritas adalah nilai cluster. Nilai cluster berpengaruh terhadap kedekatan total area terpilih. Semakin rendah nilai cluster semakin rata penyebaran area yang
29
terpilih. Nilai cluster terbaik untuk di daerah Aceh adalah 10 pada skala 0 sampai 10.000 atau 0,001 pada skala 0 sampai 1 (Herdiana et al., 2008).
3.4.7 Analisis kelembagaan Analisis kelembagaan menggunakan metode Institutional Development
Framework (IDF). IDF merupakan alat yang dapat dipakai untuk melakukan evaluasi kelembagaan yang sederhana dengan pendekatan partisipatif (Manulang, 1999). Unsur – unsur pada metode ini terdiri dari Matriks IDF, Indeks IDF dan Grafik Prioritas.
Gambar 9. Contoh Matrik IDF (Manulang, 1999) 3.4.7.1 Matriks Institutional Development Framework Matriks IDF terdiri dari beberapa kolom; 1. Indikator Kelembagaan Indikator kelembagaan merupakan kolom pertama dalam matriks IDF yang berisi komponen-komponen kunci yang akan diberi bobot dan dinilai. 2. Bobot Bobot yang dimaksud merupakan tingkat kepentingan Pemerintah Kota Sabang terhadap komponen kunci yang ada. Nilai bobot berkisar 1 sampai 4 (Tabel 4).
30
Tabel 4. Nilai Bobot Berdasarkan Tingkat Kepentingan Tingkat kepentingan Sangat penting Penting
Prioritas
Nilai Bobot 4
Menentukan hidup-mati organisasi; sangat vital Memerlukan perhatian khusus; tidak dapat diabaikan
3
Cukup penting Tidak menjadi prioritas Tidak penting Mungkin menjadi penting dalam jangka panjang Sumber: Manulang (1999)
2 1
3. Tingkat Perkembangan Kelembagaan Tingkat perkembangan kelembagaan merupakan penilaian kuantitatif terhadap kondisi Pemerintah Kota Sabang berhubungan dengan kondisi yang ada saat ini. Nilai tingkat perkembangan kelembagaan berkisar antara 0,25 – 4 yang dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Perkembangan Organisasi Tingkat Perkembangan Kelembagaan Awal Berkembang Pemantapan Dewasa
Tahap perkembangan
Nilai
Permulaan suatu organisasi Pertumbuhan organisasi Perluasan dan konsolidasi Organisasi sudah stabil dan berkelanjutan
0,25, 0,50, 0,75, atau 1,0 1,25, 1,50, 1,75, atau 2,0 2,25, 2,50, 2,75, atau 3,0 3,25, 3,50, 3,75, atau 4,0
Sumber: Manulang (1999)
3.4.7.2 Indeks Institutional Development Framework Setelah masing-masing komponen kunci pada matrik IDF diisi, maka dihitung skor masing-masing komponen kunci dan nilai Z; n
U (i ) = X (i ) × Y (i ) dan Z = ∑ U (i ) i =1
dimana: X(i) : Bobot masing-masing komponen kunci. Y(i) : Tingkat perkembangan kelembagaan masing-masing komponen kunci. U(i) : Nilai skor masing-masing komponen kunci.
31
Setelah itu dihitung nilai Indeks IDFnya:
IDF = Z
B
Dimana IDF : Nilai indeks IDF. Z
: Penjumlahan seluruh skor komponen kunci
B
: Penjumlahan seluruh bobot komponen kunci
3.4.7.3 Grafik Prioritas
Grafik prioritas merupakan grafik nilai bobot dan tingkat perkembangan organisasi pada sumbu XY.
Grafik ini dibagi menjadi 4 kuadran untuk
menggambarkan kondisi masing-masing komponen kunci (Gambar 10). :Prioritas
:Kinerja
Gambar 10. Grafik XY Prioritas pada Analisis Kelembagaan (Manulang, 1999)
Penyebaran komponen kunci pada sumbu XY (Manulang, 1999): 1) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran I menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi dan kinerja yang tinggi; 2) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran II menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas kepentingan tinggi tetapi kinerja organisasi berada pada tingkat perkembangan yang rendah;
32
3) Komponen yang terletak dalam kuadran III menunjukkan prioritas kepentingan rendah dan kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut berada pada tingkat perkembangan yang rendah; 4) Komponen kunci yang terletak dalam kuadran IV menunjukkan komponenkomponen kunci yang memiliki prioritas atau bobot kepentingan tinggi dan kinerja organisasi untuk komponen kunci tersebut berada pada tingkat perkembangan yang rendah. Komponen kunci yang terletak pada kuadran II merupakan komponen utama untuk dibuat rekomendasi dan strategi agar komponen kunci pada kuadran II tersebut memiliki kinerja yang baik sesuai prioritas yang ditetapkan. Selain dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis kelembagaan pemerintah, juga dilakukan pembahasan kondisi kelembangaan yang ada di masyarakat nelayan.
Pembahasan kondisi kelembagaan masyarakat nelayan
dilakukan secara deskriptif berdasarkan laporan-laporan tentang kondisi kelembagaan masyarakat di Pulau Weh. Hal ini dilakukan untuk melihat peranan kelembagaan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Pulau Weh.