4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Daun Api-api (A. marina) Sampel daun Api-api yang diambil dari daerah Belanakan, kabupaten Subang, Jawa Barat dipreparasi untuk mempermudah proses penelitian. Sampel daun yang diambil selanjutnya dipilih yang baik dan dibersihkan dari kotorankotoran yang menempel. Sampel daun selanjutnya dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: bagian segar, bagian yang diawetkan dan bagian yang dikeringkan. Bagian segar digunakan untuk analisa proksimat, bagian
yang diawetkan digunakan
untuk analisa struktur jaringan dan bagian yang dikeringkan untuk pengujian aktivitas antioksidan. 4.1.1 Karakteristik Fisik daun Api-api (A. marina) Tahap pertama yang dilakukan setelah mempreparasi sampel daun adalah karakterisasi secara fisik (meliputi morfologi luar, morfometrik dan struktur jaringan daun) dan secara kimiawi. Bentuk morfologi luar daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil pengamatan karakteristik fisik daun Api-api disajikan pada Tabel 5.
A
Gambar 10 Bentuk daun Api-api, A = tampak atas, B = tampak bawah
B
39
Tabel 5 Karakteristik fisik daun Api-api No Karakteristik fisik
Keterangan
1
Warna daun
Bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan dengan beberapa bagian terlihat putih
2
Bentuk daun
Daun berbentuk oval dengan membundar, tepi daun rata
3
Permukaan daun
Daun memiliki tekstur halus pada bagian atas dan agak kasar pada bagian bawah
ujung
runcing
Sampel daun yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik fisik antara lain warna daun yang berbeda antara bagian permukaan atas dengan bagian bawah, dimana bagian permukaan daun berwarna hijau, semakin tua daun maka warnanya semakin hijau, sedangkan bagian bawah daun berwarna hijau kekuningan dan semakin tua berberapa bagian memutih. Ciri fisik lainnya adalah bentuk daun oval/bulat telur panjang dengan ujung yang membulat runcing. Daun Api-api memiliki permukaan daun yang berbeda antara bagian atas dengan bagian bawah, permukaan atas daun memiliki tekstur licin halus, sedangkan permukaan bawah memiliki tekstur yang lebih kasar. 4.1.2 Morfometrik daun Api-api (A. marina) Morfometrik daun Api-api meliputi panjang, lebar dan tebal daun. Hasil pengukuran morfometrik daun Api-api sebanyak 30 sampel dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Morfometrik daun Api-api Parameter
Rata – rata (mm)
Panjang daun
69,36 ± 5,12
Lebar daun
36,29 ± 3,39
Tebal daun
0,77 ± 0,11
Keterangan: Data diperoleh dari 30 sampel daun Api-api (A. marina)
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel daun Api-api yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang daun rata-rata sebesar 69,36 mm, lebar daun rata-
40
rata sebesar 36,29 mm dan tebal daun rata-rata sebesar 0,77 mm. Ukuran tersebut tidak jauh berbeda dengan ukuran daun Api-api yang diteliti oleh Noor et al. (2006), daun Api-api memiliki panjang 90 mm dan lebar 45 mm. Metusalach (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu biota dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, musim, suhu perairan, jenis makanan yang tersedia dan faktor lingkungan lainnya, sedangkan faktor internalnya yaitu umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan dan faktor biologis lainnya. 4.1.2 Struktur jaringan daun Api-api (A. marina ) Daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun (Tjitrosoepomo 2007). Pernyataan lain menerangkan bahwa daun termasuk organ pokok pada tubuh tumbuhan. Umumnya berbentuk pipih bilateral, berwarna hijau dan merupakan tempat terjadinya proses fotosintesis. Secara umum jaringan daun tersusun atas jaringan epidermis, palisade, bunga karang dan jaringan pengangkut (Nugroho et al. 2006). Berdasarkan jumlah daun yang ada di setiap aksis/tangkai daun, daun Apiapi termasuk daun tunggal. Hal ini karena pada tanaman mangrove Api-api, setiap aksis/tangkai daun hanya menyokong satu helai daun saja.
Menurut
Nugroho et al. (2006) daun tunggal adalah daun yang pada satu aksisnya (tangkai daunnya) hanya mendukung satu helaian daun dengan ciri khasnya adalah daun tidak terbentuk bersamaan dan gugur dari urutan tua ke muda. Daun Api-api juga tergolong daun tak lengkap, karena daun Api-api hanya memiliki tangkai dan helai daun (lamina) saja. Daun dikatakan lengkap jika daun memiliki pelepah daun (sheat), tangkai daun (petiole) dan helain daun (lamina), sedangkan daun tak lengkap adalah daun yang tidak memiliki salah satu atau bagian utama tersebut (Nugroho et al. 2006) Tjitrosoepomo (2007) menyatakan daun yang hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja; lazimnya disebut sebagai daun bertangkai. ditemukan.
Susunan daun yang demikian itulah yang paling banyak
41
A. Tangkai daun Api-api (petiole) Tangkai daun adalah bagian daun yang berbentuk silindris sebagai perantara antara upih atau batang dengan helaian daun. Tangkai daun memiliki sejumlah berkas pengangkut. Struktur anatomi tangkai daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 11. f
c a b
d h g
e
A
B
Gambar 11 Anatomi bagian tangkai daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 4 x 10), B (perbesaran 10 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = parenkim, c = sklerenkim, d = xilem, e = floem, f = parenkim sentral, g = epidermis bawah, h = kelenjar garam Potongan melintang tangkai daun Api-api memperlihatkan adanya jaringan epidermis, korteks, floem, xilem dan parenkim sentral. Tampak pada Gambar 11, sel sel epidermis pada sisi atas tangkai daun Api-api saling berhubungan dan secara keseluruhan terlihat lebih rata dibandingkan dengan rangkaian sel-sel epidermis bagian bawah tangkai daun. Sel epidermis atas tangkai daun Api-api terlihat lebih kecil dibandingkan dengan sel-sel di bawahnya, dinding tangensial atas relatif lebih tebal dibandingkan dinding tangensial bawahnya. Berbeda dengan sel epidermis atas, sel-sel epidermis bawah tangkai daun Api-api lebih memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dan sebagian terdiferensiasi menjadi trikoma dan kelenjar garam (extrude salt gland). Jaringan parenkim ditemukan setelah jaringan epidermis dan menuju ke arah pusat, sel parenkim terlihat semakin besar ukurannya dan semakin tidak beraturan bentuknya. Pada jaringan ini belum bisa dibedakan antara jaringan
42
hipodermis dan parenkim korteks. Tampak pada Gambar 11d beberapa sel pada jaringan parenkim korteks mengalami penebalan dinding sekunder dan berubah bentuk menjadi sel-sel sklerenkim yang terlihat berwarna lebih terang jika dilihat menggunakan mikroskop. Dinding sel sklerenkim terlihat berwarna merah bila diwarnai dengan larutan Safranin. Jaringan pengangkut dijumpai pada pusat jaringan dan pada kedua tepi jaringan tangkai daun Api-api. Jaringan pengangkut terdiri dari parenkim xilem dan sklerenkim floem. Sel sklerenkim xilem tersusun berdampingan mengarah ke parenkim sentral dan terlihat berdinding lebih tebal bila dibandingkan dinding sel di sekitarnya. Sel – sel parenkim xilem terlihat lebih besar dibandingkan sel-sel floem.
Terdapat dua berkas jaringan pengangkut pada bagian tepi jaringan
tangkai daun Api-api yang secara keseluruhan lebih kecil daripada jaringan pengangkut utama. B. Helaian daun Api-api (lamina) Helaian daun (lamina atau blade) merupakan bagian daun yang berbentuk pipih dorsoventral, berwarna hijau, berupa daging daun (interfenium) dan urat daun serta berguna untuk fotosintesis. Daun memiliki bentuk helaian, pangkal, tepi, ujung dan pertulangan yang beragam. Bentuk helaian daun sangat menentukan bentuk daun, sedangkan tangkai dan upih daun tidak ikut menentukan bentuk daun. Bentuk helaian daun dibagi menjadi empat seri atau pola pokok yaitu seri elips, seri bulat telur, seri bulat telur terbalik, dan seri garis (Nugroho et al. 2006). Berdasarkan perbandingan antara panjang dan lebar daun yang ada pada Tabel 6, helaian daun Api-api termasuk seri elips dengan bentuk jorong (ovalis; elipticus), hal ini karena perbandingan panjang dan lebar daun Api-api adalah 1,9 : 1. Helaian daun dikatakan berbentuk jorong jika perbandingan panjang dan lebar adalah 1,5 - 2 : 1 (Tjitrosoepomo 2007). Struktur anatomi helaian daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 12-15. Berdasarkan Gambar 12 hingga Gambar 15 diketahui bahwa helaian daun Api-api (A. marina) tersusun atas kutikula, jaringan epidermis atas, parenkim korteks, jaringan palisade, jaringan bunga karang, sklerenkim, jaringan pengangkut, epidermis bawah dan trikoma berupa kelenjar garam.
43
d
a
b
j
e g
f
h
c
A
B
Gambar 12 Anatomi bagian pangkal daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 10 x 10), B (perbesaran 20 x 10), a = kutikula, dan epidermis, b = palisade, c = bunga karang, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem, g = epidermis bawah, h = kelenjar garam. h = hipodermis
a
b
h
i
c
g
A
d
f
e
B
Gambar 13 Anatomi bagian tengah daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem, g= bunga karang, h= kelenjar garam, i = epidermis bawah.
44
a b c
d e f
A
B
Gambar 14 Anatomi bagian tepi daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula, dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = epidermis bawah, f = kelenjar garam
b a
e d c
f A
g
B
Gambar 15 Anatomi bagian ujung daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = korteks, f = epidermis bawah, g = kelenjar garam Daun Api-api bertipe dorsiventral, mengingat daun Api-api hanya memiliki jaringan palisade (tiang) pada sisi bagian atas daun saja.
Daun
dikatakan mempunyai tipe dorsiventral apabila jaringan palisade hanya terdapat pada sisi atas daun (Nugroho et al. 2006).
Daun yang bertipe dorsiventral
45
biasanya memiliki permukaan atas yang lebih berwarna (biasanya lebih berwarna hijau) dibandingkan bagian bawah, karena kandungan kloroplas lebih banyak pada jaringan palisade sehingga warna hijau lebih terlihat pada permukaan atas daun dibandingkan permukaan bawah daun.
Hal ini terbukti, daun Api-api
memiliki perbedaan penampakan bagian atas dan bawah, bagian atas berwarna hijau cerah sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Helaian daun Api-api memiliki dua lapis jaringan epidermis, yaitu epidermis atas dan epidermis bawah. Jaringan epidermis atas daun Api-api tersusun atas 1 lapis sel tipis yang dilapisi kutikula. Jaringan epidermis bawah disusun oleh 1 lapis sel tipis yang terdiferensiasi membentuk organ tambahan berupa kelenjar garam (salt extruding gland). Hipodermis daun Api-api disusun atas sel-sel yang lebih besar daripada sel penyusun, jaringan epidermis atas. Borkar et al. (2011) menyatakan hipodermis pada helaian daun Api-api berfungsi sebagai tempat penyimpan air Jaringan mesofil helaian daun Api-api yang terlihat pada Gambar 12 sampai Gambar 15 terdiri dari jaringan palisade dan jaringan bunga karang. Umumnya pada tumbuhan Dicotyledoneae, jaringan mesofil berdiferensiasi menjadi jaringan palisade dan bunga karang (Nugroho et al. 2006). Palisade pada daun Api-api disusun atas 2 sampai 3 lapis sel yang memanjang vertikal dibawah hipodermis. Jaringan bunga karang pada daun Api-api disusun oleh 2 sampai 3 sel tipis di bawah jaringan palisade dan tersusun secara tidak beraturan, sehingga membentuk rongga udara. Jaringan berkas pengangkut pada helaian daun Api-api dapat dilihat pada semua gambar anatomi bagian-bagian daun Api-api. Gambar 12 menunjukkan bahwa berkas pengangkut daun Api-api terdiri atas pembuluh xilem pada bagian dalam dan floem pada bagian luar.
Berkas
pengangkut pada daun Api-api termasuk dalam tipe kolateral terbuka, karena xilem dan floem terletak berdampingan dan dibatasi oleh kambium. Struktur yang membedakan anatomi daun Api-api dengan daun pada tanaman yang lain adalah adanya kelenjar garam.
Berdasarkan Gambar 12
sampai Gambar 15 dapat dilihat adanya struktur tambahan yang berada di bawah epidermis bawah yaitu kelenjar garam (salt extruding gland). Kelenjar garam merupakan organ yang berasal dari modifikasi sel epidermis bawah yang terjadi
46
akibat adaptasi terhadap kelebihan garam pada daun. Setiap kelenjar garam pada daun Api-api terdiri atas 2 sampai 4 kumpulan sel, 1 sel batang dan 8-12 sel ekskresi. Kelenjar garam yang ada pada daun Api-api juga mengalami adaptasi sesuai dengan habitatnya. Menurut Borkar et al. (2011) pada salinitas yang lebih rendah kelenjar garam akan lebih pendek sedangkan pada salinitas yang lebih tinggi kelenjar garam akan lebih panjang. Adanya kelenjar garam dan kemampuan kelenjar garam beradaptasi terhadap lingkungan yang memiliki salinitas berbeda membuat mangrove Api-api dapat hidup di habitat yang salinitasnya rendah maupun ekstrim. 4.1.3 Komposisi kimia daun Api-api (A. marina) Daun Api-api (A. marina) yang masih muda oleh sebagian masyarakat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dalam bentuk sayur urap. Sangatlah penting untuk diketahui kandungan gizi atau komposisi kimia yang terdapat di dalamnya agar lebih jelas. Komposisi kimia daun Api-api dapat diketahui melalui analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan cara untuk melihat kandungan atau komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar. Komposisi kimia daun Apiapi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi kimia daun Api-api (% berat basah) Komposisi kimia
Api-api (A. marina)
Kadar air
68,16
Ceriops decandra (Griff)* 52,51
Kadar protein
3,67
2,00
2,08
1,96
Kadar lemak
0,72
0,35
0,12
0,41
Kadar abu
4,45
1,82
1,38
1,25
Karbohidrat
23,00
19,06
22,14
22,29
Serat kasar
4,12
-
-
-
Keterangan: n = 2 (*) = Bunyapraphatsara et.al (2002)
Bruguiera parviflora (Roxb.)* 51,75
Rhizopora mucronata (Poir)* 46,63
47
1) Kadar air Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan (Winarno 2008) Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukkan (Winarno 2008). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api mengandung kadar air sebesar 68,16%. Kadar air daun Api-api lebih besar jika dibandingkan dengan kadar air daun mangrove lainnya. Secara umum nilai kadar air pada daun mangrove relatif kecil.
Hal ini mungkin disebabkan habitat
mangrove yang bersalinitas tinggi dan suhu habitat yang tinggi karena pengaruh transfer panas dari laut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Krzynowek dan Murphy (1987) bahwa kadar lemak dan kadar air untuk beberapa spesies berfluktuasi tergantung dengan musim dan lokasi pengambilan. 2) Kadar protein Potein berperan penting dalam proses metabolisme tanaman, hewan dan manusia. Protein berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf dan pengendalian pertumbuhan (Winarno 2008). Berdasarkan hasil analisa proksimat pada Tabel 7 kadar protein kasar daun Api-api sebesar 3,67%. Kandungan protein daun Api-api lebih besar jika dibandingkan dengan kadar protein daun mangrove lainnya. Hasil penelitian Wibowo et al. (2009) menunjukkan bahwa daun Api-api (Avicennia sp.) mengandung asam amino esensial yang cukup lengkap, yaitu sebanyak 9 asam amino esensial.
48
3) Kadar lemak Beberapa lemak berkerja sebagai bahan pembangun dalam pembentukan membran biologis yang ada di sekitar sel dan partikel subseluler. Lemak terdapat pada semua bahan pangan, namun jumlahnya seringkali kurang dari 2% (Belitz et al. 2009). Lemak dapat digolongkan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein, karena 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal.
Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu sebesar 4 kkal (Winarno 2008). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api memiliki kandungan lemak sebesar 0,72%. Kandungan lemak ini sangat rendah jika dibandingkan dengan senyawa yang lain, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar lemak daun mangrove lainnya. Menurut Yunizal et al. (1998) bahwa kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi jumlah kadar air dalam bahan maka kadar lemaknya akan semakin rendah. 4) Kadar abu Kadar abu menunjukkan estimasi kadar total mineral bahan pangan. Metode pengukuran kadar abu pada bahan pangan tertentu atau kelompok bahan pangan diterangkan dalam panduan resmi. Mineral-mineral yang terdapat dalam abu berbentuk metal oksida, sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan kelompok halida lainnya ( Fennema 1996 ). Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Dalam proses pembakaran, bahanbahan
organik
akan
terbakar,
tetapi
komponen
anorganiknya
tidak
(Winarno 2008) Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api memiliki kadar abu sebesar 4,45%. Kadar abu yang dimiliki daun Api-api jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu yang ada pada daun tanaman mangrove lainnya.
Perbedaan kadar abu/mineral pada tanaman dipengaruhi
banyak faktor, antara lain kesuburan tanah, genetika tanaman, dan lingkungan dimana tanaman itu tumbuh (Fennema 1996).
49
5) Kadar serat kasar Serat pada bahan pangan merupakan komponen jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat misalnya polimer lignin, beberapa gum dan mucilage ( Winarno 2008 ). Sumber serat terpenting adalah sereal dan legum, sedangkan pada sayur dan buah kandungan seratnya relatif lebih kecil (Belitz et al. 2009). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api memiliki kadar serat kasar yang cukup tinggi, yaitu 4,12%. Nilai ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan kadar serat kasar pada daun mangrove Canavalia maritima dan Canavalia catharthica. Hasil penelitian yang dilakukan Seena & Sridhar (2005)
menunjukkan
bahwa
kedua
daun
tanaman
mangrove
tersebut
mengandung kadar serat yang lebih rendah sebesar 2,23% dan 2,83%. 6) Karbohidrat Karbohidrat menyusun lebih dari 90% bahan kering dari tanaman. Jumlahnya sangat banyak, mudah didapat dan tidak mahal.
Karbohidrat
merupakan komponen umum dari bahan pangan, baik sebagai komponen alami atau sebagai bahan yang ditambahkan dalam pangan (Fennema 1996). Karbohidrat daun Api-api dihitung dengan metode by different, artinya kadar karbohidrat didapatkan dengan mengurangi total bahan dengan persentase setiap kandungan bahan selain karbohidrat. Hasil perhitungan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api mengandung karbohidrat sebesar 23,00%. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat yang ada pada daun tanaman terseterial yang lain, misalnya selada air.
Kandungan
karbohidrat pada daun selada air sebesar 1,90% (Permatasari 2011).
Kadar
karbohidrat daun Api-api jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada daun tanaman mangrove lainnya, kadar karbohidrat daun Api-api tidak jauh berbeda. Tingginya karbohidrat terlihat dari tingginya nilai kadar serat yang terukur, kadar serat daun Api-api lebih besar dibandingkan kadar serat pada daun tanaman mangrove lainnya. Hasil analisis struktur anatomi jaringan juga menunjukkan
50
bahwa pada jaringan daun banyak terdapat senyawa polisakarida yang tampak berwarna merah saat diberi pewarna Safranin.
4.2 Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya (Khopkar 2003).
Pendapat lainnya
menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen terpisah. Ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif (Winarno et al. 1973). Proses
ekstraksi
daun
Api-api
meliputi
pengeringan
sampel,
penghancuran/ penggilingan, maserasi, filtrasi dan evaporasi. Hasil akhir dari proses ekstraksi adalah ekstrak kasar berupa pasta kental dengan tingkat kepolaran dan warna yang berbeda- beda. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekstraksi tunggal dengan berbagai jenis pelarut yang berbeda kepolarannya. 4.2.1 Ekstrak kasar Hasil ekstraksi yang diperoleh memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan jenis pelarut yang digunakan. Ekstrak metanol berbentuk cairan berwarna hijau pekat, ekstrak etil asetat berbentuk pasta agak kental berwarna hijau kecoklatan, sedangkan ekstrak heksana berbentuk pasta pekat berwarna kuning tua. Perbedaaan hasil ekstraksi tidak hanya dari sisi warna dan bentuk, namun dari segi persentase rendemen juga terdapat perbedaan. Perbedaan persentase rendemen ekstrak daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 16.
51
Gambar 16 Rendemen ekstrak kasar daun Api-api Ekstraksi dengan metanol menghasilkan rendemen sebesar 9,61%, ekstraksi dengan etil asetat sebesar 1,28% dan ekstraksi dengan heksan menghasilkan rendemen 0,62%. Kepolaran senyawa aktif dari berbagai bahan berbeda-beda dan komponen aktif
hanya akan terekstrak oleh pelarut yang
tingkat kepolarannya sama dengan kepolaran komponen aktif tersebut. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al. (2008), rendemen ekstrak hasil maserasi dengan pelarut yang berbeda menghasilkan persentase rendemen yang berbeda pula.
Secara umum senyawa aktif yang
terkandung di dalam daun Api-api bersifat polar. Persentase rendemen ekstrak terbesar adalah rendemen ekstrak metanol yang merupakan pelarut polar. Metanol yang merupakan pelarut polar mampu mengekstrak banyak sekali komponen aktif suatu bahan, menurut Harborne (1987) pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino dan glikosida. Besarnya rendemen ekstrak metanol diduga dipengaruhi oleh keberadaan klorofil yang ikut terekstrak, klorofil merupakan komponen yang keberadaanya cukup besar pada daun, sedangkan metanol merupakan salah satu pelarut terbaik yang dapat mengekstrak klorofil. Wasmund et.al (2006) menyatakan bahwa klorofil merupakan zat warna hijau yang banyak terdapat pada daun. Klorofil dapat diekstrak dengan pelarut polar, seperti metanol, aseton, dan etanol.
52
4.2.2 Hasil uji aktivitas antioksidan Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam tubuh (Saurisari 2006). Percival (1998) menyatakan bahwa antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan menjadi lebih penting seiring dengan meningkatnya kehadiran radikal bebas. Aktivitas antioksidan suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai cara antara lain, metode Nitro Blue Tetrazolium (NBT), metode Tiosianat, metode carotene bleaching, dan metode DPPH. Umumnya dari sekian banyak metode uji aktivitas antioksidan, metode DPPH yang dipilih. Hal ini dikarenakan selain lebih mudah dan murah, efektivitas dan efisiensi waktu untuk mengetahui besarnya aktivitas antioksidan suatu bahan lebih cepat. Indikasi umum secara kualitatif suatu bahan dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan adalah kemampuan ekstrak bahan mengubah warna larutan DPPH yang berwarna ungu tua menjadi warna kuning yang dapat dilihat secara kasat mata.
Perubahan intensitas warna DPPH sebelum dan setelah ditambahkan
ekstrak bahan dapat diketahui dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Apabila telah didapatkan nilai absorbansi setiap sampel yang diukur, maka akan didapatkan persen (%) inhibisi dan IC50 (Inhibitor Concentration 50). Semakin kecil nilai IC50 yang dimiliki suatu bahan maka dapat dikatakan bahan tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang semakin kuat dan berlaku sebaliknya.
Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kecil konsentrasi yang
dibutuhkan untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas dan semakin sedikit bahan yang dibutuhkan.
Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Molyneux
(2004) yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC 50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Kontrol positif antioksidan yang digunakan dalam uji ini adalah antioksidan sintetik yaitu Butylated Hydroxy Toluene (BHT). Herawati & Akhlus (2006) menyatakan bahwa selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal, BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan. Perhitungan persen inhibisi
53
dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 5. Hubungan antara konsentrasi BHT, konsentrasi ekstrak daun Api-api dan persen inhibisi terhadap DPPH dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Gambar 17 Grafik hubungan antara konsentrasi BHT dan % inhibisi terhadap DPPH
Gambar 18 Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak daun Api-api dengan % inhibisi terhadap DPPH. Keterangan:
= Etil asetat
= Metanol
= Heksan
Hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa semua ekstrak daun Api-api dan BHT memiliki aktivitas antioksidan. Indikasi yang menunjukkan
54
kuat dan lemahnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak daun Api-api dan BHT tergantung dari besarnya persen inhibisi dan nilai IC50 yang diperoleh. Persen inhibisi merupakan persentase daya hambat suatu bahan terhadap aktivitas radikal berdasarkan besar konsentrasi bahan yang ditambahkan. Berdasarkan Gambar 17 dan 18 di atas aktivitas penghambatan radikal DPPH yang dimiliki BHT (kontrol positif) dan masing-masing ekstrak daun Api-api meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi yang diuji. Semakin besar konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang ditambahkan ke dalam larutan DPPH, persen inhibisi (penghambatan) semakin besar, mengingat semakin tinggi konsentrasi sampel yang ditambahkan, maka semakin banyak senyawa antioksidan yang mendonorkan elektron pada radikal bebas, sehingga semakin banyak molekul radikal bebas yang tidak reaktif dan stabil, sehingga aktivitas oksidasinya menurun. Kerja senyawa antioksidan adalah mendonorkan atom hidrogennya kepada radikal bebas yang kehilangan elektron.
Pendapat ini
diperkuat oleh Andayani et al. (2008) yang menyatakan bahwa pengujian aktivitas antioksidan pada berbagai konsentrasi, ternyata pada konsentrasi yang tertinggi menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi Berdasarkan grafik persen inhibisi pada Gambar 17 dan Gambar 18 terlihat perbedaan antara konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang diujikan. Konsentrasi BHT jauh lebih kecil dibandingkan konsentrasi ekstrak daun Api-api. Hal ini karena BHT merupakan senyawa antioksidan sintetik yang telah dimurnikan sedangkan ekstrak daun Api-api masih berbentuk ekstrak kasar. Antioksidan sintetik BHT bekerja dengan cara mendeaktivasi senyawa radikal. Butilated Hidroxy Toluene (BHT) memiliki aktivitas yang kuat terhadap radikal, BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu antioksidan alternatif (Herawati & Akhlus 2006).
Sangat disayangkan penggunaan
antioksidan sintetik BHT secara terus menerus dalam produk makanan dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen; penggunaanya mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa misalnya Rumania, Swedia dan Australia (Rita et al. 2009).
Hal inilah yang menjadi dasar acuan untuk mendorong para peneliti
menemukan bahan -bahan alami yang memiliki aktivitas antioksidan yang sama
55
atau hampir mendekati kemampuan BHT agar dapat menjadi senyawa antioksidan alternatif yang lebih aman. Mengukur besarnya aktivitas antioksidan dari BHT dan ekstrak kasar daun Api-api tidak cukup hanya dengan melihat persen inhibisinya saja, oleh karena itu setelah didapatkan persen inhibisi maka tahap selanjutnya adalah menghitung besarnya Inhibition Concentration 50 (IC50) dari larutan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api. Hasil perhitungan Inhibition Concentration 50 dari BHT dan ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api Jenis sampel
Persamaan Regresi
Nilai R2
Larutan BHT
y = 8,839x - 1,755
0,944
5,85
Ekstrak methanol
y = 0,153x + 10,59
0,992
257,58
Ekstrak etil asetat
y = 0,206x + 12,44
0,976
182,33
Ekstrak heksan
y = 0,050x - 0,183
0,967
1003,66
IC50 (ppm)
Molyneux (2004) menyatakan bahwa Inhibitor Concentration 50 (IC50) merupakan parameter kuantitatif yang dipakai untuk menunjukkan besarnya aktivitas antioksidan suatu bahan. IC 50 didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH. Berdasarkan hasil perhitungan IC50 yang ditampilkan pada Tabel 8 larutan BHT memiliki IC50 5,85 ppm, IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm, ekstrak etil asetat sebesar 182,33 ppm dan ekstrak heksan sebesar 1003,66 ppm. Berdasarkan data IC50 pada Tabel 8 diketahui bahwa larutan BHT memiliki nilai IC50 terkecil dibandingkan ketiga jenis ekstrak kasar daun Api-api. Nilai IC50 BHT sebesar 5,85 ppm, hal ini berarti hanya dibutuhkan larutan BHT sebanyak 5,85 ppm untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas (DPPH). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriandi (2011), nilai IC50 BHT yang diuji sebesar 4,91 ppm. Data tersebut menunjukkan
56
bahwa BHT merupakan antioksidan sangat kuat, karena nilai IC50 kurang dari 50 ppm. Penelitian yang dilakukan Herawati & Akhlus (2006) juga memperkuat pendapat bahwa BHT adalah senyawa antioksidan yang sangat kuat, karena BHT merupakan senyawa penangkap radikal yang lebih efektif dibandingkan dengan antioksidan yang digunakan dalam penelitian tersebut, karena lebih mampu menghambat peningkatan bilangan peroksida minyak sawit lebih baik dibandingkan β-karoten dan β-tokoferol. Tabel 8 juga menunjukkan kemampuan penghambatan yang dimiliki ekstrak daun Api-api berdasarkan jenis pelarut yang digunakan. Besarnya nilai IC50 yang dimiliki masing-masing ekstrak berbeda antara satu sama lain. Berdasarkan data pada Tabel 8 dan Gambar 18 diketahui ekstrak kasar daun Api-api
yang diekstrak dengan pelarut
etil
asetat
memiliki
aktivitas
penghambatan tertinggi dengan nilai IC50 terendah di antara yang lain yaitu sebesar 182,33 ppm. Ekstrak kasar daun Api-api yang diekstrak dengan metanol dan heksana berturut-turut memiliki nilai IC50 sebesar 257,58 ppm dan 1003,66 ppm. Tingginya aktivitas penghambatan radikal bebas ekstrak etil asetat yang ditandai dengan rendahnya nilai IC50 dikarenakan sifat etil asetat yang semi polar sehingga menyebabkan etil asetat dapat mengekstrak senyawa antioksidan yang bersifat polar maupun senyawa antioksidan yang bersifat nonpolar, sehingga terdapat beragam jenis senyawa antoksidan yang terekstrak walaupun rendemen ekstrak yang dihasilkan etil asetat lebih kecil. Menurut Tensiska et al. (2007) pelarut etil asetat bersifat semi polar, sehingga hasil ekstraksi mungkin mengandung lebih banyak komponen isoflavon baik nonpolar (aglikon) maupun polar (glikon).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tensiska et al. (2007)
menunjukkan bahwa dari dua parameter yang digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan ekstrak kasar isoflavon ampas tahu yaitu bilangan peroksida dan kadar diene terkonjugasi, ekstrak etil asetat memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan ekstrak etanol dan ekstrak heksan. Ekstrak kasar metanol memiliki rendemen ekstrak yang paling tinggi, namun hal ini tidak diimbangi dengan aktivitas antioksidannya. Berdasarkan data pada Tabel 8, nilai IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm. Hal ini mungkin
57
disebabkan oleh banyaknya komponen senyawa yang tidak memiliki aktivitas antioksidan yang ikut terekstrak sehingga hanya menambah jumlah ekstrak tetapi tidak meningkatkan aktivitas antioksidannya. Nilai IC50 ekstrak metanol masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan IC50 ekstrak kasar daun Api-api yang diekstrak dengan heksan yang hanya memiliki IC50 sebesar 1003,66 ppm. Aktivitas antioksidan ekstrak heksan sangat kecil mungkin dikarenakan komponen yang terekstrak bukanlah senyawa antioksidan yang kuat. Penelitian yang dilakukan Suratmo (2009) pada ekstrak daun sirih menunjukkan bahwa pada fraksi ekstrak n-heksana tidak menunjukkan aktivitas antioksidan, karena dimungkinkan hanya mengandung senyawa non-polar, misalnya minyak atsiri, lemak dan minyak Tabel 8 menunjukkan ketiga ekstrak kasar daun Api-api memiliki aktivitas antioksidan, namun jika dibandingkan dengan besarnya aktivitas antioksidan BHT, nilai tersebut sangat jauh berbeda. Aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat tergolong antioksidan lemah karena IC50 ekstrak etil asetat sebesar 182,33 ppm masuk dalam kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu 150 ppm-200 ppm. Aktivitas antioksidan ekstrak metanol tergolong antioksidan sangat lemah karena IC50 ekstrak methanol 257,58 ppm lebih besar dari kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu lebih besar dari selang 150 -200 ppm. Ekstrak heksan juga tergolong ke dalam kelompok antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50 sebesar 1003,66 ppm jauh melebihi kisaran kelompok antioksidan lemah (150-200 ppm). Menurut Blois (1958) suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 < 0.05 mg/L (50 ppm), kuat apabila nilai IC50 antara 0,05 mg/L0,10 mg/L (50 ppm-100 ppm), sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10mg/L-0,15 mg/L (100 ppm -150 ppm) dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15mg/L-0,20 mg/L (150 ppm-200 ppm). Kecilnya aktivitas antioksidan ketiga ekstrak daun Api-api karena ekstrak masih berbentuk ekstrak kasar, sehingga kemungkinan ada senyawa-senyawa non antioksidan yang ikut terekstrak yang tidak memiliki atau bahkan bersifat menghambat aktivitas antioksidan senyawa yang di dalam ekstrak. Tahap uji yang lebih mendalam yaitu proses purifikasi ekstrak diperlukan, sehingga yang
58
didapatkan adalah ekstrak yang benar-benar hanya mengandung senyawa antioksidan. 4.2.3 Senyawa bioaktif ekstrak kasar daun Api-api terpilih Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi selanjutnya diuji kandungan senyawa bioaktifnya, dalam hal ini ekstrak etil asetat yang diuji. Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesa, perubahan metabolisme, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harbone 1987).
Uji fitokimia dipilih karena dapat
mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptid (Kannan et al. 2009). Uji fitokimia ekstrak etil asetat meliputi uji alkaloid (Dragendorf, Meyer dan Wegner), uji steroid, uji flavonoid, uji saponin, uji fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia ekstrak etil asetat dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 19 Tabel 9 Hasil uji fitokimia ekstrak daun Api-api terpilih (ekstrak etil asetat) Uji
Hasil uji
Standar acuan ( perubahan warna atau endapan)
Alkaloid: a. Dragendorf b. Meyer c. Wegner
-
Endapan merah atau jingga Endapan putih kekuningan Endapan coklat
Steroid
+
Perubahan dari merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
+
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Saponin
-
Terbentuk busa
Fenol hidroquinon
-
Warna hijau atau hijau biru
Molisch
-
Warna ungu antara 2 lapisan
59
Tabel 9 lanjutan Benedict
+
Warna hijau/kuning/endapan merah bata
Biuret
-
Warna ungu
-
Warna biru
Ninhidrin Keterangan: Tanda (+) Tanda (-)
= terdeteksi = tidak terdeteksi
Prinsip uji fitokimia cukup sederhana, uji dilakukan dengan mereaksikan ekstrak etil asetat yang akan diuji dengan pereaksi-pereaksi yang sesuai untuk masing – masing komponen bioaktif yang ingin diketahui dan hasilnya akan segera diketahui.
Parameter umum yang biasanya menjadi acuan adalah
perubahan warna larutan dan terbentuknya endapan tertentu selama proses uji berlangsung. Hasil uji fitokimia pada menunjukkan ekstrak kasar daun Api-api yang telah diekstrak dengan etil asetat mengandung komponen bioaktif berupa flavonoid, steroid dan gula pereduksi. Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kasar daun Api-api terpilih dapat dilihat pada Gambar 19.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
Gambar 19 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun Api-api terpilih Keterangan:
a = Uji Dragendorf b = Uji Meyer c = Uji Wagner d = Uji Steroid e = Uji Flavonoid
f = Uji Fenol hidroquinon g = Uji Molisch h = Uji Benedict i = Uji Saponin j = Uji Ninhidrin
k = Uji Biuret
Berdasarkan hasil uji fitokimia yang ada pada Tabel 9 ekstrak etil asetat terdeteksi mengandung flavonoid, hal ini terlihat dengan adanya lapisan amil
60
alkohol berwarna merah jingga. Waji dan Sugrani (2009) menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan Cdan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron Oglikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflavon dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya. Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Belitz et al. (2009) menambahkan bahwa pada tanaman pangan, ratusan polifenol telah diidentifikasi dengan mengklasifikasikannya menurut jumlah cincin fenol dan jenis ikatannya. Dari semua jenis senyawa fenol, flavonoid menunjukkan keragaman yang paling besar. Besarnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak etil asetat dibandingkan dengan ekstrak daun Api-api yang lain kemungkin disebabkan oleh adanya komponen flavonoid di dalamnya. Menurut Percival (1998), senyawa fenolik seperti flavonoid dapat ditemukan hampir pada semua jenis tanaman, sekitar 3000 jenis flavonoid telah dijelaskan.
Dalam tanaman, flavonoid
bertindak sebagai pelindung terhadap tekanan yang berasal dari lingkungan, sedangkan pada manusia, flavonoid berfungsi sebagai pengatur respon biologis (biological response modifier).
Flavonoid telah menunjukkan aktivitas
antiinflamasi, anti alergenik, antiviral, anti penuaan, dan anti karsinogenik. Efek farmakologis flavonoid yang lebih luas dapat dikaitkan dengan karakter flavonoid sebagai antioksidan. Sebagai tambahan dari efek antioksidan, senyawa flavonoid dapat melindungi manusia dari serangan jantung melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase dan lipoksigenase pada sel platelet dan makrofag. Menurut Waji & Sugrani (2009) mekanisme penghambatan radikal bebas oleh flavonoid adalah ketika flavonoid bereaksi dengan radikal bebas, flavonoid mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tapi elektron tidak berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat
61
senyawa flavonoid radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi radikal yang reaktif. Menurut Prasad et al. (2009) flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa alami yang paling beragam dan tersebar luas merupakan senyawa fenol paling penting. Senyawa ini memiliki spektrum aktivitas kimiawi dan biologi yang luas termasuk aktivitas penangkapan radikal bebas. Meenakshi dan Gnanambigai (2009) menambahkan bahwa kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi grup hidroksil dan ciriciri struktur kimia lainnya pada flavonoid sangat berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan penangkapan radikal bebas Komponen bioaktif lainnya yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat adalah steroid dan gula pereduksi. Steroid dianalisa dengan reaksi Liebermann-Buchard. Adanya steroid pada ekstrak ditandai dengan perubahan warna larutan yang semula berwarna merah kemudian menjadi biru dan hijau. Steroid adalah bagian dari lemak yang dapat dimakan (edible fat) yang berisi sekumpulan triterpen siklik yang memiliki struktur yang saling berhubungan. Rangka steroid terbuat dari 4 cincin padat yaitu; A, B, C dan D. Tiga cincin pertama konformasinya dalam bentuk kursi sedangkan cincin D biasanya berbentuk planar (Belitz et al. 2009). Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu dan lain sebagainya), akan tetapi ternyata steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Sterol dan stanol (produk hidrogenasi sterol) yang terdapat pada tanaman dikenal sebagai fitosterol. Fitosterol menarik perhatian dari sudut pandang nutrisi dan fisiologis karena dapat menurunkan konsentrasi kolesterol dan low density lipoprotein (LDL) dalam plasma darah. Efek penghambatan absorbsi kolesterol yang signifikan dalam tubuh dapat diperoleh dengan mengkonsumsi fitosterol 1 gr/hari. Steroid yang mengandung gugus etiliden misalnya avenasterol, terbukti memiliki aktivitas oksidatif pada temperatur yang digunakan untuk deep frying karena pada kondisi ini radikal peroksil dapat memisahkan atom H dari gugusnya (Belitz et al. 2009). Penelitian lain membuktikan sejumlah produk triterpenoid/
62
steroid alami telah menunjukkan aktivitas antitumor yang potensial dengan menghambat enzim topoisomerase II.
Molekul inhibitor enzim ini tidak
berbentuk planar dan secara nyata tidak ikut menginterkalasi topoisomerase II dalam membentuk kompleks stabil yang dapat dipotong (Setzer 2008). Hasil penelitian Kurniawati et al. (2005) menunjukkan senyawa triterpenoid/ steroid terdapat dalam jumlah yang tinggi (sekitar 9 jenis triterpenoid ) pada tanaman pegagan sebagai bahan obat. Gula pereduksi diuji keberadaannya dengan menggunakan uji Benedict. Adanya gula pereduksi pada ekstrak etil asetat ditandai dengan terbentuknya endapan merah nbata pada larutan. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi (senyawa penerima elektron). Gula pereduksi akan dioksidasi pada gugus karbonilnya, dan senyawa pengoksidasi menjadi tereduksi (Lehninger 1982).
Sifat pereduksi dari suatu
molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008). Gula pereduksi juga menunjukkan aktivitas antioksidan yaitu dengan mereduksi tembaga (II) ( yang mengoksidasi aldosa menjadi aldonat) menjadi tembaga (I). Saat proses oksidasi kelompok aldehid dari aldosa menjadi garam kelompok asam karboksilat, agen oksidasi direduksi, oleh karena itu aldosa disebut gula pereduksi. Ketosa juga dikatakan sebagai gula pereduksi karena dibawah kondisi alkali uji Fehling, ketosa diisomerasi menjadi aldosa. Gula pereduksi yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat kemungkinan besar adalah gula aldosa, karena dengan pereaksi Benedict yang tidak alkali, pereaksi akan bereaksi dengan aldosa tetapi tidak dengan ketosa (Fennema 1996) Semua komponen bioaktif yang terdeteksi masih merupakan senyawa yang masih bercampur dengan senyawa-senyawa lain dan uji fitokimia yang dilakukan pada penelitan ini hanya secara kualitatif. Perlu dilakukan proses purifikasi dan uji secara kuantitatif, sehingga diketahui dengan jelas seberapa besar aktifitas dan jumlah kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak.
63
4.3 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Terpilih Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi diuji dengan mengaplikasikan ekstrak tersebut ke dalam emulsi minyak kelapa. Uji ini bertujuan untuk mengukur tingkat penghambatan ekstrak dalam menghambat atau memperlambat terbentuknya bilangan peroksida (peroxide value) yang terbentuk akibat proses oksidasi yang terjadi pada minyak selama masa inkubasi. Terbentuknya peroksida berkaitan dengan peristiwa oksidasi yang terjadi pada lemak atau minyak. Oksidasi minyak/lemak merupakan salah satu penyebab utama kerusakan pada makanan. Hal ini menjadi perhatian bagi industri makanan dari sisi ekonomis, karena oksidasi lemak memicu rusaknya citarasa dan bau pada makanan yang mengandung lemak dan biasa disebut sebagai ketengikan. Ketengikan membuat penerimaan terhadap makanan menurun, selain itu reaksi oksidasi menurunkan kualitas nutrisi makanan dan oksidasi pada produk tertentu dapat berpotensi menghasilkan racun. Proses oksidasi lipid pada kondisi tertentu dengan derajat yang dibatasi justru diharapkan terjadi, seperti pada penyimpanan keju dan beberapa makanan yang digoreng (Fennema 1996) Peroksida merupakan produk awal utama dari proses autooksidasi. Peroksida dapat diukur dengan teknik yang berdasarkan pada kemampuannya untuk membebaskan iodin dari potasium iodida (iodimetri) atau mengoksidasi ferrous menjadi ion ferric (metode tiosianat).
Bilangan peroksida biasanya
dinyatakan dalam miliequivalen oksigen/kilogram (Meq/Kg) lemak (Fennema 1996). Santoso et al. (2004) menyatakan penambahan zat antioksidan dalam emulsi minyak akan menghambat pembentukan peroksida. Hasil uji bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa yang ditambah dengan ekstrak kasar daun Api-api terpilih (ekstrak etil asetat) menunjukkan bahwa ekstrak dapat menghambat proses oksidasi yang terjadi pada emulsi minyak kelapa. Emulsi minyak kelapa (sampel 0 ppm) memiliki bilangan peroksida sebesar 2,72 Meq/ Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar daun Api-api terpilih pada konsentrasi 50 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 1,33 Meq/Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 100 ppm memiliki bilangan
64
peroksida sebesar 0,84 Meq/Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 200 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 0,64 Meq/Kg dan emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 300 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 0,42 Meq/Kg. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan, semakin rendah bilangan peroksida yang terbentuk, dan hal ini berarti semakin besar aktivitas antioksidannya. Rendahnya nilai bilangan peroksida yang terbentuk seiring tingginya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan karena semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan menyebabkan semakin banyak senyawa antioksidan yang menghambat aktivitas agen oksidasi. Hasil uji bilangan peroksida emulsi minyak kelapa dengan penambahan ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Diagram hubungan bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa dengan konsentrasi ekstrak daun Api-api Keterangan: Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf berbeda pada konsentrasi ekstrak yang digunakan menunjukkan beda nyata (p < 0,05)
Nilai bilangan peroksida pada emulsi minyak menunjukkan telah terjadi proses oksidasi selama emulsi minyak diinkubasi. Berdasarkan besarnya nilai bilangan peroksida yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa walaupun minyak telah teroksidasi, mutu minyak masih bagus. Menurut Syah (2005) bilangan peroksida maksimum 2 disarankan bagi minyak kelapa mentah berkualitas tinggi, sedangkan Codex memberi batas maksimum sampai nilai 10. Herawati &Akhlus (2006) juga menyebutkan bahwa batasan mutu bilangan peroksida pada minyak
65
RBD (refining, bleaching and deodorizing) adalah 2 Meq/kg. Nilai bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa (sampel) rendah meskipun telah diinkubasi selama 7 hari karena minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh yang tinggi, berupa asam lemak jenuh rantai sedang misalnya asam laurat (lauric acid) dan asam kaprat (capric acid).
Asam laurat di dalam minyak kelapa murni cukup
tinggi, mencapai 53%, selain itu, juga diketahui bahwa minyak kelapa murni juga mengandung capric acid
yang berantai sedang dengan jumlah karbon 10
(Rindengan & Novarianto 2005). Tingginya kadar asam lemak jenuh dalam minyak kelapa, membuat minyak kelapa memiliki kestabilan yang tinggi terhadap oksidasi atau bentuk-bentuk degradasi lainnya.
Lemak takjenuh atau
polyunsaturated yang mempunyai ikatan rangkap pada atom C-nya mudah sekali dioksidasi atau terserang peroksidasi lipid membentuk peroksida lipid. Makanan yang banyak mengandung lemak tak jenuh antara lain salad dan mayones akan mudah sekali terserang radikal bebas (Kumalaningsih 2007) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak etil asetat yang ditambahkan
ke dalam emulsi minyak kelapa memberikan
pengaruh nyata (α=0,05) terhadap jumlah bilangan peroksida yang terbentuk dalam emulsi minyak. Uji Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa konsentrasi sebesar 0 ppm berbeda nyata dengan semua sampel yang ditambahkan ekstrak daun Api-api. Emulsi minyak dengan konsentrasi ekstrak 300 ppm juga berbeda nyata dengan sampel yang lain.
Sampel emulsi dengan konsentrasi ekstrak
200 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi ekstrak 100 ppm dan 300 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun selada air sebesar 200 ppm tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi 100 ppm dan 300 ppm. Konsentrasi ekstrak 300 ppm merupakan konsentrasi yang memiliki aktivitas penghambatan terbaik terhadap pembentukan peroksida, karena mampu menghasilkan bilangan peroksida terkecil sebesar 0,42 Meq/Kg.