Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.
Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian secara umum terbagi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah persawahan yang pada umumnya ditanami tanaman bawang merah, jagung atau padi, wilayah perkebunan yang umumnya ditanami 67
tumbuhan penghasil kayu yang bernilai ekonomis seperti tanaman jati dan karet, dan wilayah pemukiman. Wilayah persawahan banyak dijumpai pada dataran rendah dan berada di dekat sumber air seperti aliran sungai, sedangkan wilayah perkebunan umumnya dijumpai pada daerah perbukitan. Sedangkan wilayah pemukiman umumnya berada di daerah dataran rendah, di dekat wilayah persawahan. Efesiensi tata guna lahan suatu wilayah sebaiknya mempertimbangkan faktor-faktor geologi daerah tersebut. Faktor geologi tidak lepas dari penentuan tata guna lahan suatu wilayah karena kondisi alam seperti tingkat kandungan air dan kebasahan lahan, tingkat ketahanan tanah, tingkat kestabilan lereng yang pada akhirnya juga akan berkaitan dengan bencana geologi (geohazard). Pertimbangan dari semua faktor tersebut akan dapat membantu kita untuk menentukan peruntukan lahan yang tepat dan pengelolaannya. Dalam studi khusus ini, untuk melakukan rekomendasi tata guna lahan menggunakan data lapangan dan data olahan digital untuk menghasilkan suatu peta rekomendasi tata guna lahan di daerah penelitian yang dikhususkan lagi untuk wilayah pemukiman. Data lapangan yang digunakan berupa data jenis litologi, karakteristiknya, dan persebarannya yang tergambarkan di dalam peta geologi (Lampiran - 2). Data lainnya yang teramati di lapangan berupa data geomorfologi seperti persebaran wilayah dataran aluvial dan titik-titik longsoran yang teramati, yang dapat dimasukkan perhitungan sebagai zona rawan longsor (Lampiran - 3). Sedangkan data olahan digital menggunakan data citra satelit LANDSAT 7 ETM+ tahun 2001 yang diolah kembali menggunakan perangkat lunak ER Mapper dan menghasilkan peta kebasahan lahan dan peta tutupan lahan. Data digital lain yang dipakai adalah peta topografi digital Bakosurtanal yang selanjutnya diolah menjadi peta kemiringan lereng. Seluruh data tersebut akan digunakan dan memiliki pengaruh masing-masing terhadap rekomendasi tata guna lahan daerah penelitian. Proses pengolahan data di atas hingga menjadi rekomendasi tata guna lahan dapat dilihat pada gambar 4.17.
68
DATA LAPANGAN
DATA DIGITAL
PETA
PETA
GEOLOGI
GEOMORFOLOGI
PETA TOPOGRAFI
CITRA
DIGITAL
LANDSAT 7
BAKOSURTANAL
EMT+
SKEMA PENGKELASAN VAN ZUIDAM (1985)
PETA
PETA
PETA
KEMIRINGAN
TUTUPAN
KEBASAHAN
LERENG
LAHAN
LAHAN
PROSES HIRARKI ANALITIK SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PETA REKOMENDASI TATA GUNA LAHAN
Gambar 4.17 Diagram alir proses pengolahan data rekomendasi tata guna lahan 4.2.1 Metode Proses Hirarki Analitik Pada penelitian ini untuk mendapatkan suatu peta rekomendasi tata guna lahan, seperti dijelaskan sebelumnya, dalam prosesnya menggunakan beberapa jenis data yang masing-masing data memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Penentuan bobot dan nilai maksimum dari semua faktor yang menjadi bahan pertimbangan pada penelitian ini menggunakan Metode Proses Hirarki Analitik (AHP) yang akan membandingkan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya dalam sebuah matriks perbandingan atau matriks pairwise comparison. Penentuan nilai matriks bergantung terhadap tingkat keberpengaruhan suatu faktor terhadap tata guna lahan. Tabel matriks perbandingan proses AHP pada daerah penelitian
69
beserta besar pengaruh satu faktor terhadap faktor yang lainnya disajikan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1 Matriks perbandingan faktor yang mempengaruhi tata guna lahan Kemiringan Lereng
Litologi
Morfologi
Kebasahan
Tutupan
Lahan
Lahan
Kemiringan Lereng
1,00000
3,00000
5,00000
5,00000
7,00000
Litologi
0,33333
1,00000
3,00000
5,00000
7,00000
Morfologi
0,20000
0,33333
1,00000
0,33333
3,00000
Kebasahan Lahan
0,20000
0,20000
3,00000
1,00000
3,00000
Tutupan Lahan
0,14286
0,14286
0,33333
0,33333
1,00000
TOTAL
1,87619
4,67619
12,33333
11,66667
21,00000
Hasil dari perhitungan matriks perbandingan selanjutnya diolah kembali dalam matriks normalisasi. Pengolahan data dalam matriks normalisasi ini bertujuan untuk mengetahui nilai dari bobot prioritas setiap faktor yang menjadi bahan pertimbangan. Matriks normalisasi ini didapat dari individu elemen dibagi total kolom pada matriks perbandingan. Penentuan bobot prioritas didapat daripenjumlahan tiap baris matriks dibagi dengan jumlah n matriks. Total bobot prioritas yang didapat adalah 1 atau 100% yang merupakan nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor faktor yang menentukan tata guna lahan. Tabel perhitungan dari matriks normalisasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas Kemiringan Lereng
Litologi
Morfologi
Kebasahan
Tutupan
Bobot
Lahan
Lahan
Prioritas
Kemiringan Lereng
0,53299492
0,64154786
0,40540541
0,428571429
0,333333333
0,468370591
Litologi
0,17766497
0,21384929
0,24324324
0,428571429
0,333333333
0,279332453
Morfologi
0,10659898
0,0712831
0,08108108
0,028571429
0,142857143
0,086078347
Kebasahan Lahan
0,10659898
0,04276986
0,24324324
0,085714286
0,142857143
0,124236703
Tutupan Lahan
0,07614213
0,0305499
0,02702703
0,028571429
0,047619048
0,041981907 1
TOTAL
Konsistensi perbandingan antar matriks diuji dengan melakukan pengujian rasio konsistensi. Pengujian ini dimulai dengan mengetahui princial eigen value maksimum. Hal tersebut didapatkan dengan prinsip perkalian matriks, yaitu baris dikali kolom. Hasil perkalian tersebut akan menghasilkan matriks nilai eigen. 70
Tahap selanjutnya adalah menentukan principal eigen dengan cara melakukan pembagian antara matriks nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang sama. Matriks principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom yang selanjutnya matriks tersebut dirata-ratakan. Nilai rata-rata ini merupakan principal eigen value maksimum (λmaks). Berikut ini adalah perhitungan principal eigen value maksimum. 1 0,33333 0,2 0,2 0,14286
3 5 5 1 3 5 0,33333 1 0,33333 0,2 3 1 0,14286 0,33333 0,33333
7 0,468370591 7 0,279332453 3 X 0,086078347 = 3 0,124236703 1 0,041981907
2,651817 1,608746 0,44022 0,657958 0,218903
2,651817 : 0,468370591 = 5,661791325 1,608746 : 0,279332453 = 5,759253212 0,44022 : 0,086078347 = 5,11417689 0,657958 : 0,124236703 = 5,296003982 0,218903 : 0,041981907 = 5,214224296 Ʃ = 27,04544971 λmaks = 27,04544971 : 5 = 5,409089941 Tahap
selanjutnya
adalah
penentuan
indeks
konsistensi
dengan
menggunakan rumus λmaks – n/n-1. Dengan didapatkannya indeks konsistensi maka akan didapat juga rasio konsistensi yang merupakan pembagian indeks konsistensi dengan Random Indeks. Untuk jumlah parameter yang digunakan 5 buah, maka nilai RI adalah 1,12. Indeks Konsistensi
= λmaks – n/n – 1 = 5,409089941 – 5/5 – 1 = 0,102272485
Rasio Konsistensi
= Indeks Konsistensi/Random Index = 0,102272485/1,12 = 0,091314719 hasil cukup konsisten
Hasil pengujian rasio konsistensi mendapatkan nilai 0,091314719 yang mempresentasikan nilai yang konsisten dari suatu matriks perbandingan. Menurut Saaty (1988) nilai rasio konsistensi dapat dikatakan konsisten jika memliliki nilai kurang dari 0,1. Dengan demikian nilai rasio konsistensi penelitian dapat 71
dikatakan memiliki nilai yang cukup konsisten dan nilai dari bobot prioritas setiap parameter dapat dipertanggungjawabkan. 4.2.2 Sistem Informasi Geografis Metode ini merupakan alat yang digunakan untuk memproses data-data yang dimiliki, termasuk di dalamnya hasil perhitungan dari metode AHP, yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah peta rekomendasi tata guna lahan daerah penelitian. Beberapa perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Mapper 10, ER Mapper 7.0 dan ArcGIS 9.3 yang digunakan untuk melakukan proses tumpang susun pada seluruh peta yang digunakan sebagai bahan penelitian. 4.2.3 Proses Pengolahan Data Pada proses pengolahan data ini data yang digunakan adalah data-data spasial yang berupa beberapa peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan pada proses pengolahan data ini berupa peta geologi dan peta geomorfologi yang keduanya dihasilkan dari kegiatan pemetaan dan pengamatan di lapangan, dan peta kemiringan lereng yang dihasilkan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan menggunakan peta dasar berupa peta topografi dari Bakosurtanal. Data lainnya yang digunakan adalah peta kebasahan lahan dan peta tutupan lahan yang merupakan hasil proses pengindraan jarak jauh (remote sensing) dari citra satelit. Proses remote sensing tersebut meliputi metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk menghasilkan peta tutupan lahan, dan metode Tasseled Cap untuk menghasilkan peta kebasahan lahan. Di dalam proses remote sensing ini terdapat faktor awan pada citra satelit yang akan mempengaruhi hasil dari tingkat tutupan vegetasi dan tingkat kebasahan lahan. Faktor tersebut sulit untuk dikoreksi secara langsung karena faktor awan tersebut sudah terekam dalam data mentah citra satelit, akan tetapi faktor kesalahan ini dapat diminimalisir ketika semua data yang menjadi faktor perhitungan sudah memiliki bobot prioritas masing-masing. Tahap akhir pada proses pengolahan data adalah mengkompilasikan semua peta-peta tematik yang dimiliki menggunakan metode weighted overlay pada 72
perangkat lungak ArcGIS 9.3 dengan memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan yang diperoleh dari proses metode AHP yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil akhir dari proses ini adalah peta rekomendasi tata guna lahan derah penelitian yang telah memperhitungkan seluruh faktor pengaruh, seperti telah dijelaskan pada diagram alir (Gambar 4.17). 4.2.3.1 Litologi Litologi merupakan faktor geologi yang sangat mempengaruhi dalam penentuan tata guna laha suatu wilayah karena tingkat kestabilan dan kekuatan tanah akan bergantung pada batuan dasarnya, dan karakteristik tanah juga akan berpengaruh terhadap jenis tanaman atau vegetasi yang akan menutupinya. Data litologi ini diambil dari peta geologi (Lampiran - 2) yang berisikan informasi tentang jenis batuan dan persebarannya di dalam daerah penelitian. Penilaian pada kelas litologi ini didasarkan atas jenis litologi dan karakteristik dari setiap satuan batuan. Satuan Batupasir-Batulempung memiliki nilai yang paling tinggi karena dianggap merupakan satuan batuan dengan litologi penyusunnya yang keras sehingga dianggap memiliki kestabilan tanah yang baik. Satuan Batugamping-Batulempung dibandingkan
dengan
memiliki Satuan
nilai
sedikit
lebih
Batupasir-Batulempung
rendah karena
mempertimbangkan litologi batugamping klastik yang bersifat lebih mudah mengalami pelarutan dan proses kimiawi dibandingkan dengan litologi batupasir. Satuan Batulempung diberi nilai sedang karena sifatnya yang cenderung lunak sehingga akan berpengaruh terhadap kestabilan dan ketahan tanah jika dipermukaannya diberi beban yang lebih, akan tetapi tanah hasil pelapukan batulempung masih dapat dimanfaatkan sebagai lahan persawahan. Nilai terkecil diberikan kepada Satuan Aluvial karena sifatnya yang masih berupa kumpulan sedimen lepas yang bersifat tidak stabil jika terkena aliran air dan jika diberi beban dipermukaannya.
73
4.2.3.2 Morfologi Relief
morfologi
permukaan
akan
sangat
menentukan
pemanfaatannya dalam tata guna lahan dan akan berkaitan dengan faktor ekonomi jika ingin membangun suatu infrastruktur tertentu. Data morfologi ini mengacu pada peta geomorfologi (Lampiran - 3) yang diperoleh dari pengamatan peta kontur dan pengamatan langsung di lapangan. Satuan Lembah Homoklin Karanganyar merupakan satuan geomorfologi dengan nilai yang paling tinggi karena reliefnya yang datar akan memudahkan dalam proses pembangunan wilayah dan pembangunan infrastruktur.
Satuan
Perbukitan Homoklin Ciruntuh
dan Satuan
Punggungan Sayap Antiklin Rambatan memiliki nilai sedang karena relief morfologinya yang cenderung kasar dan sedikit bergelombang. Satuan Punggungan Homoklin Pasir Bedil memiliki nilai sedikit dibawahnya, karena pada satuan ini terdapat perbedaan elevasi yang cukup besar dalam jarak yang relatif dekat, hal tersebut tentunya akan menyulitkan dalam pembangunan dan pengembangan lahan. Nilai terendah diberikan pada Satuan Dataran Aluvial yang dikarenakan satuan ini meliputi wilayah dataran banjir dan lokasinya yang berada di tepi aliran sungai besar. 4.2.3.3 Kemiringan Lereng Kemiringan lereng memiliki bobot paling besar diantar faktorfaktor lainnya, hal ini dikarenakan tingkat kemiringan lereng akan mempengaruhi stabilitas lereng, potensi bencana geologi berupa tanah longsor,
hingga
pengaruhnya
terhadap
tingkat
kesulitan
dalam
pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur. Van Zuidam (1985) telah membuat sebuah klasifikasi kemiringan lereng yang didefinisikan sebagai persen lereng, yaitu perbandingan antara tinggi lereng (jarak vertikal) terhadap jarak datar lereng (jarak horizontal).Peta kemiringan lereng ini dibuat menggunakan peta dasar yaitu peta topografi Bakosurtanal yang diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN). Metode ini 74
menggunakan data dari tiga titik yang diinterpolasikan hingga dapat menghitung besar dan arah dari kemiringan lereng. Hasil akhir dari proses ini berupa peta kemiringan lereng daerah penelitian (Gambar 4.18). Sistem pengkelasan kemiringan lereng mengikuti sistem pengkelasan yang dibuat oleh Van Zuidam (1985). Daerah penelitian hanya meliputi lima kelas dari keseluruhan tujuh kelas yang ada, yaitu daerah dengan kimiringan lereng dari 0% hingga 70%. Penilaian setiap kelas diurutkan dari kelas dengan kemiringan yang landai memiliki nilai paling baik hingga kelas dengan kemiringan sangat terjal memiliki nilai paling buruk.
Gambar 4.18 Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian 4.2.3.4 Tutupan Lahan Faktor tutupan lahan memiliki nilai pembobotan yang paling rendah karena menurut peneliti faktor ini memiliki pengaruh yang paling rendah dibandingkan dengan faktor lainnya. Sisi ekonomis merupakan pertimbangan faktor ini jika ingin dilakukannya pengembangan lahan dan pembangunan
infrastruktur.
Pengolahan
data
tutupan
lahan
ini
menggunakan data Citra Satelit Landsat ETM+ yang kemudian diproses menggunakan perangkat lunak ER Mapper 7.0 dengan metode NDVI. Metode tersebut NDVI memakai data olahan band 4 dari satelit Landsat 75
ETM+ yang memiliki kemampuan mendeteksi survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi (Saputra, 2010). Daerah penelitian memiliki empat kelas tutupan lahan yang dapat dilihat di dalam peta tutupan lahan daerah penelitian (Gambar 4.19), yaitu lahan rapat, lahan sedang, lahan jarang, dan lahan gundul. Lahan sedang merupakan kelas dengan nilai tertinggi, sedangkan lahan rapat walaupun diinterpretasikan memiliki tingakat kekuatan tanah yang lebih besar tetapi dengan memperhitungkan faktor ekonomi maka lahan ini dianggap memiliki nilai sedikit lebih rendah. Lahan jarang memiliki nilai lebih rendah dibandingkan lahan rapat dan lahan gundul merupakan kelas dengan nilai terendah.
Gambar 4.19 Peta Tutupan Lahan Daerah Penelitian 4.2.3.5 Kebasahan Lahan Faktor kebasahan lahan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penentuan rekomendasi tata guna lahan. Tingkat kebasahan lahan akan dikontrol oleh besar kadar air yang terkandung di permukaan tanah, dan akan mempengaruhi kestabilan dan kekuatan tanah, selain itu tingkat kebasahan juga akan berpengaruh terhadap proses pergerakan tanah. 76
Kebasahan lahan ini juga merupakan hasil olahan Citra Satelit ETM+ dengan menggunakan perangkat lunak ER Mapper 7.0 dengan metode Tasseled Cap. Pengolahaan data tersebut akan menghasilkan beberapa atribut data, dan atribut yang dipakai untuk menghasilkan index kebasahan lahan seperti yang dapat dilihat pada peta kebasahan lahan daerah penelitian (Gambar 4.20), adalah atribut wetness. Di dalam daerah penelitian ada lima kelas kebasahan lahan yaitu tingkat kebasahan lahan mengalir, merembes, basah, lembab, dan kering. Nilai kelas tertinggi diberikan pada kategori basah, karena dianggap memiliki kandungan air yang cukup untuk pemanfaatan lahan, akan tetapi tidak merendahkan tingkat ketahanan tanah. Daerah lembab dan merembes masing-masing memiliki nilai sedikit lebih rendah dari kelas lahan basah. Lahan kering memiliki nilai yang rendah karena setiap kegiatan pengembangan wilayah untuk apapun fungsinya, air merupakan salah satu hal mutlak yang harus tersedia. Lahan mengalir diberi nilai paling rendah karena lahan ini diinterpretasikan sebagai aliran sungai yang sulit untuk dilakukan pembangunan wilayah, tetapi mungkin dapat dijadikan sumber air pada tahapan pengelolaan lahan lebih lanjut.
Gambar 4.20 Peta Kebasahan Lahan Daerah Penelitian 77
4.2.3.6 Peta Tata Guna Lahan Bakosurtanal Penggunaan lahan yang sekarang telah ada sudah dipetakan dan tergamabar di dalam peta rupa bumi yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (1999) (Gambar 4.21). Di dalam peta tersebut terlihat ada dua fungsi lahan yang dominan yaitu lahan persawahan dan lahan perkebunan. Hasil dari penelitian ini yang merupakan peta rekomendasi tata guna lahan yang telah memperhitungkan faktor-faktor geologi yang ada akan digunakan untuk mengevaluasi tata guna lahan yang sudah ada ini. Pembahasan mengenai evaluasi tata guna lahan ini akan dibahas pada subbab selanjutnya mengenai rekomendasi tata guna lahan.
Gambar 4.21 Peta rupa bumi (BAKOSURTANAL, 1999) 4.2.4 Rekomedasi dan Evaluasi Tata Guna Lahan Hasil dari pembobotan dan proses yang telah dilakukan sebelumnya menghasilkan sebuah peta rekomendasi tata guna lahan (Gambar 4.22) yang telah memperhitungkan aspek-aspek geologi. Dari hasil pembuatan peta tersebut menghasilkan lima kategori lahan untuk dipertimbangkan dan disesuaikan dengan penggunaannya.
78
Gambar 4.22 Peta Rekomendasi Tata Guna Lahan Daerah Penelitian Tata guna lahan daerah penelitian yang sudah ada akan di evaluasi menggunakan peta hasil tumpang susun yang telah dihasilkan. Lahan kategori sangat baik merupakan daerah yang memenuhi semua faktor dengan nilai tertinggi yang menjadi bahan pertimbangan. Lahan ini umumya terdapat di daerah dengan relief datar, dengan litologi yang termasuk resisten yaitu perselingan batupasir dengan batulempung dan memiliki cadangan air yang cukup jika dilihat dari tingkat kebasahan lahannya. Lahan kategori baik memiliki karakteristik yang hampir sama dengan lahan kategori sangat baik. Keterdapatan lahan kategori sangat baik yang sangat sedikit membuat lahan kategori baik menjadi alternatif yang dapat digolongkan pada lahan yang baik dan memenuhi syarat untuk dapat dikembangkan. Aspek pendukung lainnya yang perlu diperhatikan dalam pengembangan wilayah untuk kawasan pemukiman adalah keterdapatan sumber air seperti sungai-sungai besar dan litologi yang dapat berperan sebagai akifer, yaitu litologi batupasir. Ditinjau dari semua aspek tersebut, maka lahan ini sangat baik jika dikembangkan sebagai daerah pemukiman. Lahan kategori cukup baik umumnya berada pada daerah dengan relief morfologi yang kasar dan relatif bergelombang sehingga beberapa tempat pada 79
kategori ini memiliki lereng yang tergolong cukup terjal. Beberapa wilayah yang termasuk kedalam kategori cukup baik ini berada pada morfologi landai dengan relief yang relatif datar, akan tetapi berada diatas litologi batulempung yang bersifat lunak dan berada pada daerah kebasahan lahan kategori mengalir. Daerah kategori cukup baik ini masih dapat dikembangkan untuk pemanfaatan wilayahnya, akan tetapi perlu pertimbangan lebih lanjut mengenai faktor kestabilan tanahnya. Daerah dengan litologi batulempung pada morfologi landai dan relief yang reltif datar dan pada daerah dengan kategori kebasahan lahan mengalir atau basah akan sangat rentan jika di atasnya dibangun suatu konstruksi yang cukup berat, karena batuan dasar yang lunak ditambah faktor kandungan air yang tinggi tidak akan mampu menahan beban yang besar. Sedangkan wilayah yang termasuk kategori cukup baik pada litologi batupasir-batulempung dan batugamping-batulempung pada proses pengembangannya perlu memperhatikan faktor lereng dan kebasahan lahan untuk mengantisipasi longsoran yang mungkin terjadi. Keterdapatan sumber air pada lahan kategori ini pada litologi batulempung berada pada aliran sungai besar, sedangkan litologi batugamping-batupasir dapat berperan sebagai akifer. Daerah dengan kategori kurang baik dan tidak baik umumnya berada pada daerah dengan relief bergelombang dan memiliki kemiringan lereng yang tergolong terjal hingga sangat terjal. Daerah ini sangat rentan terhadap terjadinya longsoran. Litologi yang tergolong resisten seperti batupasirpun dengan tingkat kemiringan lereng yang sangat terjal, dan di beberapa titik memiliki kebasahan lahan yang cukup tinggi akan sangat berbahaya jika diberikan beban di atasnya. Daerah ini sebaiknya dibiarkan sebagai kawasan terbuka, dan sebagai usaha meminimalisir bencana longsor dapat dilakukan penanaman vegetasi besar yang dapat menahan air dalam jumlah yang cukup besar juga. Penanaman vegetasi ini sebaiknya dilakukan mulai dari bagian bawah lereng menuju bagian puncak, hal ini ditujukan untuk memperkuat ketahanan tanah pada bagian bawah sehingga nantinya akan dapat menahan beban di atasnya.
80
Faktor terakhir yang menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan rekomendasi lahan pemukiman adalah zona rawan longsor yang terdapat di daerah penelitian. Hal ini dapat diwakilkan dari persebaran titik-titik longsoran yang teramati di lapangan (Lampiran - 3). Kawasan pemukiman seperti dijelaskan sebelumnya harus berada di kawasan yang stabil, dan terdapatnya longsoranlongsoran mengindikasikan ketidakstabilan lahan tersebut dan mengurangi aspek keamanan dari suatu lahan pemukiman. Dari hasil analisis di atas, dan dengan melihat persebaran pemukiman yang sudah ada pada peta tata guna lahan Bakosurtanal (Gambar 4.21) yaitu Desa Kamal, Desa Cisereuh, Desa Karanganyar, dan Desa Kemalasih maka dapat dilakukan evaluai kelayakan lahan pemukiman. Pada lahan kategori sangat baik dan baik terdapat tiga desa yang berada di atasnya, yaitu Desa Kamal, Desa Karanganyar, dan Desa Kemalasih. Desa Kamal dan Desa Kemalasih berada di atas satuan batuan Batupasir-Batulempung yang memiliki tingkat resistensi batuan yang paling tinggi diantara dua satuan batuan yang lainnya, berada di dalam satuan geomorfologi Lembah Homoklin Karanganyar yang memiliki morfologi dan relief yang landai, dan berada di dekat sumber air berupa aliran sungai besar yaitu Kali Rambatan dan Sungai Cisereuh. Dari ketiga aspek tersebut maka desa tersebut berada di daerah yang layak untuk wilayah pemukiman. Desa Cisereuh jika dilihat pada peta rekomendasi tata guna lahan berada pada lahan yang tergolong lahan kategori cukup baik. Hal ini disebabkan litologi pada daerah tersebut adalah batulempung yang memiliki karakteristik ketahanan batuan yang lebih lemah dibandingkan dengan litologi lainnya, dan sifat dari batuan tersebut yang lunak. Akan tetapi untuk pemanfaatan wilayah sebagai kawasan pemukiman, desa ini berada di dekat sumber air yaitu aliran Sungai Cisereuh. Dari karakteristik batuan tersebut dan parameter lainnya, kawasan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pemukiman, akan tetapi tidak terlalu baik karena litologi batulempung di bawahnya tidak dapat berperan sebagai akifer seperti pada litologi batupasir, sehingga sumber air hanya berasal dari Sungai
81
Cisereuh yang oleh warga alirannya sebagian dialihkan menggunakan kanal buatan untuk diarahkan ke Desa Cisereuh.
82