BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Membran Membran secara umum didefenisikan sebagai penghalang antara dua fasa yang bersifat selektif sehingga memungkinkan suatu fasa/ komponen tertentu menembus lebih cepat dibandingkan fasa/ komponen lainnya. Proses pemisahan dengan membran mempunyai kemampuan memindahkan salah satu komponen berdasarkan sifat fisik dan kimia dari membran serta komponen yang dipisahkan. Perpindahan yang terjadi karena adanya gaya dorong (driving force) dalam umpan yang berupa beda tekanan (∆P), beda konsentrasi (∆C), beda potensial listrik (∆E) dan beda temperatur (∆T) serta selektifitas membran yang dinyatakan dengan rejeksi. Pada gambar
2.1
memperlihatkan
skema
proses
pemisahan
dengan
membran
(Mulder,1996).
Gambar 2.1 Skema pemisahan dengan menggunakan membrane
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori
Universitas Sumatera Utara
6
7
membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran berfungsi sebagai sarana pemisahan dan juga sebagai pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang dilewatkan pada membran tersebut.
2.1.1 Klasifikasi Membran Membran dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu (Mulder, 1996) : a.
Membran Polimer Membran polimer diklasifikasikan menjadi membran berpori dan membran tidak berpori. Membran berpori diaplikasikan pada mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, sedangkan
membran
nonpori
diaplikasikan
pada
pemisahan
gas
dan
pervaporation. Faktor utama untuk penentuan pemisahan material pada membran berpori adalah ukuran pori dan distribusi ukuran pori serta stabilitas kimia dan termal pada membran. Sedangkan pada membran nonpori yang digunakan untuk pemisahan gas/pervaporasi ditentukan oleh performansi membran yaitu pada selektifitas dan fluks. Pada umumnya menggunakan membran asimetrik.
b.
Membran Anorganik Pada membran anorganik stabilitas kimia dan termalnya berhubungan dengan material polimer. Pembagian tipe membran anorganik dibedakan menjadi 3, yaitu :
1.
Membran keramik
2.
Membran gelas
3.
Membran metalik
Membran keramik dibentuk dengan perpaduan sebuah logam dengan non logam sehingga membentuk oksida, nitrida, atau karbida. Membran gelas (silika, SiO2) menggunakan teknik demixed glasses. Sedangkan membran metalik ditentukan
Universitas Sumatera Utara
8 dengan sintering bubuk logam, namun penjelasan mengenai membran ini masih terbatas. c.
Membran Biologi Struktur dan fungsi dari membran biologi sangat berbeda dengan membran sintetik. Membran biologi atau membran sel mempunyai struktur yang sangat kompleks. Karakteristik beberapa membran sel mengandung struktur lipid bilayer.
Berdasarkan strukturnya, membran dibagi menjadi dua jenis yaitu membran simetris dan asimetris. Membran simetris tersusun atas satu macam lapisan (homogen) dengan ketebalan 100-200 μm. Membran jenis ini dapat menahan hampir semua partikel umpan dalam pori-porinya sehingga dapat tersumbat dan menurunkan permeabilitas dengan cepat. Membran asimetris terdiri dari lapisan tipis yang aktif dan beberapa lapisan pendukung yang berpori di bawahnya (heterogen). Ukuran dan kerapatan porinya tidak sama dari bagian atas ke bagian bawah. Ketebalan lapisan tipisnya adalah 0,1-0,5 μm dan lapisan pendukungnya 50-150 μm. Berdasarkan ada tidaknya pori, membran digolongkan kepada dua kelompok, yaitu : a.
Membran berpori (porous membrane) Membran ini digunakan untuk pemisahan partikel besar hingga makromolekul (mikrofiltrasi
dan
ultrafiltrasi).
Ukuran
pori
akan
menentukan
sifat
pemisahannya, dimana selektifitas yang tinggi dapat diperoleh jika ukuran pori lebih kecil daripada ukuran partikel yang akan dipisahkan b.
Membran tidak berpori (dense membrane) Membran ini digunakan dalam pemisahan gas dan pervaporasi yang mampu memisahkan campuran senyawa yang memiliki berat molekul relatif sama, misalnya dalam proses pemisahan gas yang dapat memisahkan campuran H2/N2, O2/N2, CO2/N2. Selektifitas pada membran ini terjadi akibat perbedaan kelarutan (solubility) atau difusifitas.
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2 Karakterisasi Membran Karakterisasi membran perlu dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai ukuran pori dan kristalinitas, struktur dan morfologi serta untuk mengetahui sifat pemisahan (kinerja) membran.
2.1.2.1 Permeabilitas Permeabilitas merupakan kecepatan permeasi diartikan sebagai volume yang melewati membran persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dengan gaya penggerak berupa tekanan. Permeabilitas membran dilihat dari fluks. Fluks adalah kecepatan aliran melewati membran dihitung dengan persamaan (1): 𝑉𝑉
𝐽𝐽 = 𝐴𝐴 .𝑡𝑡
(1)
Dalam hal ini: J adalah fluks cairan, V adalah volume permeat, t adalah waktu permeat dan A adalah luas permukaan membran. Grafik fluks terhadap tekanan akan menghasilkan garis lurus dan kemiringan (slope) merupakan konstanta permeabilitas sesuai dengan
persamaan (2).
J= Lp. ∆P
(2)
Lpmerupakan permeabilitas air dan ∆P merupakan perubahan tekanan. 2.1.2.2 Selektifitas Selektifitas menggambarkan kemampuan membran memisahkan satu jenis spesi dari yang lain.Selektifitas dinyatakan oleh 2 parameter, yaitu tolakan (R) dan faktor pemisahan (α). Parameter tolakan berlaku pada sistem pemisahan padat-cair, sedangkan faktor pemisahan ditentukan pada sistem pemisahan gas-gas dan cair-cair. Penentuan tolakan ditentukan oleh persamaan (3). Cp
R = �1 − Cb � x 100%
(3)
Universitas Sumatera Utara
10 Dalam hal ini, Cp adalah konsentrasi zat terlarut di dalam permeat dan Cb adalah rata-rata konsentrasi zat terlarut di dalam umpan (feed) dan retentat. Konsentrasi permeat dan retentat dapat diukur dengan spektrofotometri sinar tampak. Ukuran pori juga berperan dalam menentukan selektifitas membran. Membran yang memiliki ukuran pori kecil akan memberikan tolakan yang lebih besar daripada membran yang mempunyai ukuran pori lebih besar (Mulder, 1996).
2.1.2.3 Scanning Electron Microscopy (SEM) Informasi untuk mengetahui karakterisasi morfologi permukaan material dengan resolusi tinggi dapat digunakan dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Teknik Scanning Electron Microscopy merupakan teknik yang sederhana yang dapat digunakan untuk menampilkan morfologi permukaan dan penampang melintang pada membran. Porositas dan distribusi pori suatu membran secara kualitatif diperoleh dengan menganalisa foto SEM.
2.2 Selulosa Asetat sebagai Material Membran Material membran selulosa asetat adalah selulosa yaitu polisakarida yang tersusun atas satuan glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosida β-1,4 antar molekul glukosa penyusunnya. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan (Fessenden, 1989). Selulosa dan derivatnya mempunyai struktur rantai linier seperti batang dan molekulnya in-fleksibel. Sifatnya sangat hidrofilik namun tidak larut dalam air karena adanya sifat kristalin dan ikatan hidrogen antara gugus hidroksil. Struktur kimia selulosa asetat ditunjukkan dalam gambar 2.2. Selulosa asetat dibuat dari selulosa dengan asetilasi (reaksi dengan anhidrida, asam asetat, dan asam sulfat). Sifat fisika membran selulosa lainnya adalah derajat polimerisasinya dengan nilai optimum antara 100-200 atau 100-300, yang akan menghasilkan berat molekul sekitar 25.000-80.000. Keuntungan selulosa asetat dan derivatnya sebagai material membran : 1. Bersifat hidrofilik
Universitas Sumatera Utara
11 2. Membran selulosa asetat realtif mudah dibuat 3. Dari sumber yang dapat diperbaharui. Di samping keuntungan-keuntungan tersebut, kerugian membran selulosa asetat adalah: 1. Mengalami kompaksi atau fenomena memadat yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan material lainnya, yaitu secara bertahap akan kehilangan sifat-sifat membran (khususnya fluks permeasi) 2. Sangat mudah biodegradasi.
H
CH2OCOCH3
OCOCH3 H
O
H
OH
H H
O CH2OCOCH3
O
H
H
H3COCO
O
H
H
O H
OCOCH3
n
Gambar 2.2 Struktur selulosa asetat
2.3
Aseton
Aseton adalah senyawa yang berbentuk cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar. Aseton merupakan keton sederhana. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat, obat-obatan, dan senyawa kimia lainnya. Aseton mempunyai kerapatan 0,79 g/cm3 dimana larut dalam air dan mempunyai titik didih 56,2oC. Struktur kimia aseton ditunjukkan dalam gambar 2.3. Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil eter. Pembuatan membran
Universitas Sumatera Utara
12 selulosa asetat menggunakan pelarut aseton menghasilkan tipe membran yang mempunyai pori yang rapat (Smallwood, 1996).
O H3C
CH3
Gambar 2.3 Struktur Aseton
2.4 Modifikasi Membran Membran polimer masih sangat menarik untuk banyak aplikasi pemisahan karena pengolahan dan biaya yang murah tetapi kinerja pemisahan membran masih relatif rendah. Modifikasi membran dikembangkan untuk memperbaiki kinerja pemisahan dari membran tersebut, seperti hidrofilisitas, selektivitas permeabilitas, kekuatan mekanik, dan stabilitas termal dan kimia menjadi lebih baik (Souza, 2012). Penelitian terkait modifikasi membran polimer beserta aplikasinya telah banyak diteliti dan dilaporkan. Rupiasih, dkk (2011) melaporkan telah membuat dan mengkarakterisasi membran polisulfon berdasarkan pada perbedaan ketebalan membran dan meninjau aplikasinya sebagai penyaring air yang tercemar oleh asam humat. Masing-masing ketebalan membran yang diperoleh adalah 0,051 nm, 0,108 nm dan 0,163 nm dengan ukuran pori yang berbeda-beda. Ukuran pori yang diperoleh dari masing-masing ketebalan membran dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Hasil ketebalan dan ukuran pori membran polisulfon No
Ketebalan Membran (nm)
Ukuran Pori (µm)
1
0.051
0,03-0,19
2
0.108
0,03-0,06
3
0,163
0,03-0,05
Universitas Sumatera Utara
13 Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketebalan membran 0,051 nm memberikan hasil penyaringan lebih baik berdasarkan pada nilai fluks yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan dengan ketebalan membran 0,108 nm dan 0,163 nm. Peneliti menyimpulkan bahwa ketebalan membran polisulfon pada saat pencetakan (casting) berpengaruh terhadap ukuran dan sebaran pori yang terbentuk. Semakin tebal membran maka ukuran pori yang terbentuk semakin kecil dan sedikit. Sehingga nilai fluks pun akan semakin kecil namun nilai koefisien rejeksinya semakin besar. Akbar, dkk (2013) yang melakukan penelitian mengenai potensi lempung alam desa Palas, Pekan Baru sebagai porogen pengganti polietilen glikol pada pembuatan membran hibrid polisulfon-lempung. Dalam penelitian ini lempung berpotensi sebagai bahan aditif pada membran. Ini dibuktikan dengan besarnya rejeksi sebesar 98, 82% dan fluks 2,65 x 10-5 mL/ cm2.s. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan SiO2 pada lempung. Kim, et al (2013) juga melakukan penelitian pembuatan membran reverse osmosis dengan penambahan silika. Dari hasil penelitian dihasilkan fluks sebesar 34L/ m2.h dan rejeksi sebesar 97,7%. Kusworo (2012) melakukan modifikasi membran selulosa asetat dengan variasi penambahan polietilen glikol (PEG) dan variasi waktu penguapan pelarut. Waktu penguapan pelarut mempengaruhi pembentukan pori, semakin lama penguapan pelarut maka pori yang terbentuk lebih kecil dan menghasilkan rejeksi yang lebih besar. Dan semakin menigkatnya komposisi PEG menghasilkan pori yang lebih kecil dan menghasilkan pori yang lebih banyak sehingga fluks semakin besar. Juniarzadinata (2011) mengkaji struktur dan melakukan uji fluks terhadap membran polisulfon menggunakan teknik inversi fasa dengan perlakukan sonifikasi sebelum
pencentakan
(casting)
dilakukan.
Pembuatan
membran
polisulfon
diperlakukan pada variasi konsentrasi (10%, 12% dan 15%) ke dalam pelarut DMAc, selanjutnya larutan masing-masing disonikasi kembali selama 3 jam. Proses sonifikasi dalam proses pembuatan yang panjang memberikan pengaruh terhadap nilai fluks. Membran polisulfon dengan konsentrasi 10% memberikan nilai fluks terbaik karena berdasarkan hasil karakteristiknya membran memiliki ukuran pori
Universitas Sumatera Utara
14 yang kecil (1 – 1,4 µm) dan memiliki penampang melintang yang lebih rapat akibat pengaruh proses sonikasi pada membran. Penambahan TiO2 terhadap modifikasi membran telah dilaporkan Siskandar, (2011) dengan tujuan selain dapat meningkatkan nilai fluks begitu juga
dapat
meningkatkan sifat mekanik membran. Membran polisulfon dengan konsentrasi 12% ditambahkan aditif TiO2 dengan variasi konsentrasi TiO2 (0,5%, 1%, 3%, 5% dan 7%) dibuat menggunakan teknik inversi fasa dengan perlakuan sonikasi sebelum pencetakan (casting) dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran polisulfon dengan penambahan TiO2 sebesar 3% meningkatkan nilai fluks lebih baik dan penambahan TiO2 sebesar 5% meningkatkan sifat mekanik membran karena TiO2 membentuk matriks yang kuat dengan polisulfon. Pembuatan membran polisulfon dengan menambahkan bentonit sebagai filler (pengisi) menggunakan teknik inversi fasa dapat dilakukan. Riani(2014) membuat membran polisulfon dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% . Masingmasing konsentrasi membran ditambahkan bentonit alam sebagai filler ke dalam membran polisulfon variasi konsentrasi yaitu 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% untuk selanjutnya dilakukan filtrasi terhadap air gambut. Membran polisulfon dengan penambahan bentonit 15% memberikan nilai fluks tertinggi begitu juga analisa air gambut hasil filtrasi menunjukkan terjadinya penurunan kekeruhan, nilai TDS dan nilai pH. Penelitian membran polisulfon Akbar, dkk (2013) juga menggunakan lempung alam sebagai filler untuk membandingkan potensi lempung alam sebagai porogen alami dengan penggunaan polietilen glikol (PEG) sebagai porogen umum dalam membran polisulfon. Berikut ini tabel komposisi bahan penyusun dalam membran polisulfon untuk dikarakterisasi dan dilakukan uji fluks dan uji retensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran polisulfon dengan menggunakan lempung dan PEG ( PSfL-PEG) memberikan selektivitas sangat baik dengan persen rejeksinya 98,82% jika dibandingkan dengan membran PSfL atau membran PSf-PEG,
Universitas Sumatera Utara
15 di mana membran tersebut diperkirakan berada pada klasifikasi membran mikrofiltrasi (MF).
2.5 Bentonit Bentonit merupakan lempung yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 85-95%. Bentonit mempunyai kemampuan daya koloid yang kuat dan bila bercampur dengan air maka dapat mengembang dan cenderung bereaksi dengan senyawa organik. Smektit merupakan jenis aluminosilikat 2:1 yang memiliki kisi kristal dan terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan oktahedral alumina menyatu dengan dua lapisan silikat. (Jovicic, et al., 2010). Adapun rumus kimia dari monmorilonit yaitu : Al2O3.4SiO2 + xH2O. Secara geologi bentonit terjadi karena hasil dari pelapukan, hidrotermal, akibat transformasi dan sedimentasi.Bentonit memiliki komposisi kalsium oksida (CaO) sebanyak 0.23%, magnesium oksida (MgO) sebanyak 0.98%, aluminium oksida (Al2O3) sebanyak 13.45%, ferri oksida (Fe2O3) sebanyak 2.18%, silika (SiO2) sebanyak 74.9%, kalium oksida (K2O) sebanyak 1.72% dan air sebanyak 4%. Berdasarkan tipenya, bentonit dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Na-Bentonit Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih dan dalam keadaan basah berwarna coklat dan akan mengkilap apabila terkena sinar matahari. Suspensi koloidal mempunyai pH 8,5 sampai dengan 9,8. Na bentonit digunakan sebagai bahan perekat, pengisi, lampu bor sesuai dengan sifatnya yang mampu membentuk suspensi kental setelah bercampur dengan air. b. Ca-Bentonit Bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, namun secara alami setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik.Dalam
Universitas Sumatera Utara
16 kedaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah, coklat. Suspensi koloidal mempunyai pH 4 sampai 7. Ca bentonit banyak digunakan untuk sebagai bahan lampu bor setelah melalui pertukaran ion sehingga terjadi perubahan menjadi Na-bentonit dan diharapkan menjadi peningkatan sifat reologi dari suspensi mineral tersebut. Secara umum menurut Minto Supeno (2009) proses terjadinya bentonit di alam ada 4, yaitu : a. Terjadi karena proses pelapukan batuan Pembentukan bentonit sebagai hasil pelapukan batuan dapat disebabkan oleh adanya reaksi antara ion-ion hidogen yang terdapat di dalam air dan di dalam tanah dengan persenyawaan silikat dalam batuan. Mineral utama dalam pembentukan bentonit adalah plagioklas, kalium-feldspar, biotit, muskovit dan senyawa alumina dan ferromagnesian. b. Terjadi karena proses hidrotermal alam Dengan adanya unsur logam alkali dan alkali tanah, mineralmika, ferromagnesian, feldspar, dan plagioklas pada umumnya akan membentuk monmorilonit,
disebabkan
karena
adanya
unsur
magnesium.
Proses
hidrotermal mempengaruhi alterasi yang sangat lemah sehingga mineralmineral yang kaya magnesium cenderung membentuk mineral klorit. c. Terjadi karena proses transformasi Pada daerah danau, lautan, dan cekungan sedimentasi terjadi proses transformasi (pengubahan) abu vulkanis yang mempunyai komposisi gelas yang akan menjadi mineral lempung. Pada daerah gunung merapi akan terjadi transformasi apabila debu gunung merapi diendapkan dalam cekungan seperti danau dan air. d. Terjadi karena proses pengendapan batuan Secara kimiawi terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali) dan
terbentuk
pada
cekungan
sedimen
yang
bersifat
basa.Unsur
Universitas Sumatera Utara
17 pembentuknya yaitu karbonat, silika, fosfat, dan unsur lainnya yang bersenyawa dengan unsur aluminium dan magnesium.
2.5.1 Sifat-Sifat Fisis Bentonit Bentonit memiliki beberapa sifat fisis, diantaranya : a. Kapasitas pertukaran kation/cation exchange capacity Sifat ini menentukan jumlah kadar air yang diserap oleh bentonit di dalam kesetimbangan reaksi kimia. Struktur kisi-kisi montmorilonit ion dan kation mudah tertukar dan menarik air menyebabkan bentonit segar mengembang bila dimasukkan ke dalam air, semakin tinggi harga serapan maka mutu semakin baik. b. Daya serap Adanya ruang pori antar ikatan mineral lempung serta ketidaksetimbangan muatan listrik dalam ion-ionnya maka bentonit dapat digunakan sebagai galian penyerap pada berbagai keperluan. Daya serap bentonit dapat ditingkatkan dengan menambahkan larutan asam atau disebut dengan aktivasi. c. Luas permukaan Makin luas bentonit makin besar zat yang melekat, maka bentonit dapat dipakai sebagai galian pembawa dalam insektisida, pengisi kertas, plastik. Luas permukaan biasanya dinyatakan sebagai galian jumlah luas permukaan kristal/butir bentonit yang berbentuk tepung setiap gram berat (m2/g). d. Reologi Bentonit apabila dicampurkan dengan air dan dikocok maka akan menjadi agar-agar, namun apabila didiamkan akan mengeras seperti semen. Apabila kekentalan dan daya suspensinya baik maka bentonit ini baik untuk lumpur pemboran, industri cat, kertas. e. Sifat mengikat dan melapisi
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan bentonit mengikat bijih/logam dan melapisi, membuat bentonit dapat digunakan untuk pengikat pelet konsentrat/bijih dan perekat cetakan 18 logam. f. Sifat plastis Digunakan sebagai bahan galian pencampur keramik maupun dempul kayu. Dari sifat-sifat fisis dan kimia dari bentonit merupakan bagian yang penting pada setiap karakterisasi lempung baik sebagai katalis, pendukung katalis, maupun adsorben.
2.5.2 Bentonit Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Aceh yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah.Topografi alam Kabupaten Bener Meriah bercorak pergunungan dan perbukitan serta sedikit lembah.Secara geografis, Kabupaten Bener Meriah terletak pada 4o33’50’’ – 4o54’50’’ LU dan 96o40’75’’ – 97o17’50’’ BT serta berada pada ketinggian 100-2.500 m dpl. Berdasarkan hasil inventarisasi dan evaluasi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2010), geologi yang teramati di Kabupaten Bener Meriah teramati 8 formasi dari 28 formasi dan terdapat 23 lokasi bahan galian non logam berupa : andesit, bentonit, batu gamping, feldspar, granit, diorit, lempung, magnesit, batu mulia nephrit, serpentinit, sirtu dan tras. Bahan galian yang disarankan untuk dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah adalah andesit, bentonit, feldspar, granit, lempung, pasir kuarsa, sirtu dan tras.
2.6 Air Gambut Air gambut berdasarkan parameter baku mutu air tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air menjadi warna coklat dan bersifat asam, sehingga perlu pengolahan khusus sebelum siap untuk dikonsumsi. Senyawa organik tersebut adalah asam humus yang terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin(Nainggolan, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Air gambut di Indonesia secara kuantitatif sangat potensial untuk dikelola 19 sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih atau air minum, karena menurut kajian Pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan bahwa lahan gambut di Indonesia tersebar ±50% berada di pulau Kalimantan, 40% di pulau Sumatera dan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya. Air gambut tidak memenuhi persyaratan air bersih karena memiliki karakteristik : a. Berwarna kuning/merah kecoklatan. b. Tingkat keasaman tinggi, sehingga kurang enak diminum. c. Zat organik tinggi sehingga menimbulkan bau. Berdasarkan sifat-sifat air gambut tersebut diperlukan proses pengolahan air untuk mendapatkan kualitas air gambut menjadi air minum dan memenuhi standar baku mutu air bersih.
2.6.1 Karakteristik Air Gambut Air gambut merupakan ciri permukaan dari tanah bergambut dengan ciri mencolok karena warnanya merah kecoklatan mengandung zat organik tinggi, rasanya asam, pH 2-5 dan tingkat kesadahannya rendah (Asmadi, 2011). Air gambut berwarna coklat dan bersifat asam karena mengandung senyawa organik yaitu asam humus yang terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu : a. Asam humat Asam humat atau humus merupakan hasil akhir dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik. b. Asam fulvat Asam fulvat merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus, larut dalam air, sering dijumpai dalam air permukaan dengan berat molekul yang rendah yaitu 1000-10.000. Warnanya bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan.
Universitas Sumatera Utara
20 c. Humin Kompleks humin dianggap sebagai molekul yang paling besar dari senyawa humus karena rentang berat molekulnya mencapai 100.000 hingga 10.000.000. Karaktersitik humin adalah berwarna coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat resisten terhadap serangan mikroba.
2.6.2 Pengolahan Air Gambut Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk pengolahan air gambut antara lain:pengolahan air gambut dengan menggunakan protein biji kelor sebagai koagulan untuk penjernihan warna air gambut (Chaidir,Z et al.,1999). Pemisahan berbasis membran yang sering digunakan untuk pengolahan air gambut adalah membran reserve osmosis (RO). Pemanfaatan ini merupakan teknologi baru dalam mengolah air gambut menjadi air minum. Salah satu keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik dari proses konvensional. Berdasarkan kandungan warna pada air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami adalah dengan proses oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi-flokulasi dan proses elektrokoagulasi (Nainggolan, 2011).
2.7 Uji Kualitas Air Air yang berkualitas baik untuk air bersih maupun untuk air minum memiliki parameter fisika seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung total suspended solid (TSS) dan total dissolved solid (TDS).
2.7.1 Derajatkeasaman (pH) Derajat keasaman menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air normal yang
Universitas Sumatera Utara
21 memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.
2.7.2 Kekeruhan Air dikatakan berlumpur ketika air tersebut mengandung banyak partikel yang tersuspensi sehingga memberikan warna yang berlumpur dan kotor. Kekeruhan pada air akan menimbulkan dampak kurang memuaskan dalam penggunaan air. Untuk menentukan kekeruhan dapat digunakan turbidimeter. Turbidimeter adalah suatu alat analisis untuk mengetahui atau mengukur tingkat kekeruhan air.Turbidimeter memiliki sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang.Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan.Turbidimeter meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan.Pada turbidimeter cahaya masuk melalui sampel, kemudian sebagian diserap dan sebagian diteruskan.Cahaya yang diserap itulah yang merupakan tingkat kekeruhan. Maka jika semakin banyak cahaya yang diserap maka semakin keruh cairan tersebut (Khopkar,1990).
2.7.3 Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid=TSS) Zat padat tersuspensi adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Jumlah zat padat atau residu terdiri dari bahan terlarut dan tersuspensi yang ada di air. TSS juga berhubungan kuat dengan kekeruhan yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang dalam kolom air. TSS menyebabkan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. Bahan tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
22 berupa partikel suspensi dari tanah liat, lumpur, bahan organik
terurai, bakteri,
plankton, dan organisme lainnya. Adanya zat padat di air menyebabkan kualitas air tidak baik, dapat menimbulkan berbagai reaksi dan mengganggu estetika. TSS umumnya dapat dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan (Khopkar,1990).
2.7.4 Zat padat terlarut (Total Dissolved Solid=TDS) Zat padat terlarut menyatakan jumlah bahan yang terlarut dalam suatu larutan yang dinyatakan dalam mg/L. Interaksi antara pelarut air dengan zat padat, zat cair dan gas sehingga menghasilkan bahan terlarut dalam bentuk zat organik ataupun zat anorganik.Mineral logam dan gas merupakan zat anorganik yang mungkin terlarut dalam air. Zat tersebut dapat berhubungan dengan air di atmosfer, permukaan ataupun di dalam tanah.Zat organik bisa berasal dari pembusukan tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan gas organik. Penentuan jumlah zat padat terlarut dapat dilakukan dengan menguapkan sampel air yang telah disaring untuk menghilangkan padatan tersuspensi.Residu yang tersisa ditimbang dan merupakan jumlah zat padat terlarut dalam air.Kadar zat padat terlarut yang tinggi menunjukkan adanya kandungan ion-ion seperti K+, Na+dan Cl-.Ion-ion ini hanya menimbulkan bahaya dalam waktu singkat.Selain itu, jumlah zat padat terlarut yang tinggi juga dapat disebabkan adanya logam berat dalam air yang berbahaya bagi kesehatan. Beberapa gangguan dalam analisis TDS harus dihindari agar data lebih akurat dan tepat. Air yang mengandung kadar mineral tinggi seperti kalsium, magnesium, klorida dan sulfat dapat bersifat higroskopis sehingga memerlukan pemanasan yang lama, pendinginan dalam desikator yang baik. Garam-garam yang telah mengendap akibat penguapan dalam oven, maka penimbangan zat padat harus dilakukan dengan cepat (Khopkar,1990).
Universitas Sumatera Utara