BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal Secara lebih rinci, pengaturan simpang tak bersinyal dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Aturan Prioritas Ketentuan dari aturan lalu lintas pada simpang tak bersinyal lalu lintas sangat mempengaruhi pergerakan arus lalu lintas yang saling berpotongan terutama pada simpang yang merupakan perpotongan dari ruas – ruas jalan yang mempengaruhi kelas yang sama. 2. Rambu dan Marka Pada simpang tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka yang dapat dilihat pada perletakan di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal: rambu yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal : zebra cross) a. Rambu Yield (Yield Sign) Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti sama
sekali.
Sehingga,
pengendara
tidak
terlalu
terhambat
bila
dibandingkan dengan pengaturan rambu stop. Rambu yield juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi yang digunakan untuk mengatur laju kendaraan belok kiri pada lajur percepatan.
Gambar 2.1 Rambu yield
4
b. Rambu Stop Pengaturan simpang dengan menggunakan rambu stop digunakan apabila pengendara pada kaki simpang tersebut harus berhenti secara penuh sebelum memasuki simpang. Pengaturan rambu ini digunakan pada pertemuan antara jalan minor dan jalan mayor.
Gambar 2.2 Rambu stop
c. Kanalisasi Kanalisasi yang mempunyai maksud utama sebagai berikut (Alamsyah, 2005):
Pemisahan arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan, dan kecepatan membeloknya.
Pemisahan tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu lintas dengan menyediakan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.
Pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan mengarahkan
arus
sehingga
memudahkan
pengemudi
dan
memberikan kemudahan dalam pengoperasian kendaraan.
Pemisahan waktu dan jarak pergerakan, terutama pada belokan yang kompleks membutuhkan penyederhanaan gerakan secara bertahap.
5
Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu lintas pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sebuah jalan.
Gambar 2.3 Pulau lalu lintas l (Warpani, 2002) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengatur lalu lintas dengan pulau lalu lintas adalah sebagai se berikut (Underwood, 1990):
Beberapa pulau yang besar dianjurkan daripada pulau kecil dalam jumlah yang besar
Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya memiliki luas l daerah sebesar 8 m².
Apabila suatu pulau lintas hendak dipasang sinyal, zebra cross cross, atau rambu stop, paling tidak pulau tersebut memiliki panjang = 6 m, lebar = 1,2 m atau 1,8 m
Pulau lalu lintas setidaknya ditempatkan dan dirancang agar marka jalan dapat dapat terlihat jelas, sehingga perubahan arah pergerakan lalu lintas dapat dilakukan dengan lancar dan bertahap.
Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diberi jarak dari pinggir arus lalu lintas berbeda. Ataudapat juga dilengkapi dengan adanya marka pada bagian yang diperkeras.
Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu simpang hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak mendekati pulau lalu lintas yang bersangkutan.
6
2.2 Konflik Pergerakan pada Simpang Tujuan utama perencanaan simpang adalah untuk mengurangi konflik baik itu kendaraan bermotor maupun tidak bermotor dan memberikan fasilitas kemudahan, kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan yang melalui simpang. Alih gerak kendaraan yang berbahaya dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:
1. Berpencar (diverging)
2. Bergabung (merging)
3. Bersilang (weaving)
4. Berpotongan (crossing)
Gambar 2.4 Konflik pergerakan pada simpang
Karakteristik simpang tak bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai berikut:
Pada umumnya digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah pedalaman untuk simpang antara jalan setempat yang arus lalu lintasnya rendah.
Untuk melakukan perbaikan kecil pada geometrik simpang agar dapat mempertahankan tingkat kinerja lalu lintas yang di inginkan.
7
Dalam perencanaan simpang tak bersinyal disarankan sebagai berikut:
Sudut simpang harus mendekati 90 demi keamanan lalu lintas.
Harus disediakan fasilitas agar gerakan belok kiri dapat dilepaskan dengan konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan yang lain.
Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor.
Lajur membelok yang terpisah sebaiknya di rencanakan menjauhi garis utama lalu lintas, panjang lajur membelok harus mencukupi untuk mencegah antrian terjadi pada kondisi arus tinggi yang dapat menghambat pergerakan pada lajur terus.
Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10 m untuk memudahkan pejalan kaki menyebrang.
Jika jalan utama memiliki median, sebaiknya paling sedikit lebarnya 3 – 4 m, untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua menyebrang dalam 2 langkah
Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang jelas bagi gerakan yang berkonflik.
2.3 Tujuan Pengaturan Simpang Tujuan utama dari pengaturan lalu lintas umumnya adalah mengurangi konflik yang terjadi, menjaga keselamatan lalu lintas dengan memberikan petunjuk yang jelas dan terarah tanpa menimbulkan keraguan pada pengguna jalan tersebut. Pengaturan lalu lintas pada simpang dapat dicapai dengan menggunakan sinyal lalu lintas, marka dan rambu – rambu yang mengatur, mengarahkan dan memperingati serta pulau – pulau lalu lintas. Kemudian dari pengaturan simpang tersebut dapat ditentukan tujuan yang ingin dicapai yaitu: 1. Mengurangi maupun menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang berasal dari berbagai kondisi titik konflik.
8
2. Menjaga kapasitas simpang agar dalam operasinya dapat dicapai dari pemanfaatan simpang yang sesuai dengan rencana. 3. Memberikan petunjuk yang sederhana namun tampak jelas dan mengatur arus lalu lintas pada tempat yang sesuai 4. Mengurangi konflik antara pengguna kendaraan bermotor maupun tidak bermotor serta memberikan kemudahan dan keamanan bagi pemakai jalan yang melalui simpang.
2.4 Prosedur Analisis pada Simpang Tak Bersinyal Prosedur perhitungan yang digunakan adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Dimana perhitungan analisis kinerja pada simpang tak bersinyal digunakan: 1. Data Masukan 2. Perhitungan Kapasitas 3. Derajat Kejenuhan 4. Tundaan 5. Peluang Antrian Formulir – formulir yang akan digunakan untuk mengetahui kinerja pada simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut: 1. Formulir USIG-1 geometrik dan arus lalu lintas. 2. Formulir USIG-II analisis mengenai lebar pendekat dan tipe simpang, kapasitas dan perilaku lalu lintas. Berikut penjelasan lebih rinci terhadap perhitungan analisis kinerja pada simpang tidak bersinyal:
2.4.1 Data Masukan Pemasukan data yang dimaksud adalah hasil survei di lapangan, data – data yang diperlukan adalah sebagai berikut:
9
a. Kondisi Geometrik Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukkan ke dalam formulir USIG-I. Harus ada pembeda antar jalan mayor dan jalan minor dengan cara pemberian nama. Dalam menggambarkan sketsa pola geometrik yang baik suatu simpang sebaiknya diuraikan secara jelas dan rinci mengenai informasi tentang kerb, lebar jalan, lebar bahu dan median. Pada simpang pendekat jalan utama (mayor road) yaitu jalan yang dipertimbangkan terpenting b. Kondisi Lalu Lintas Kondisi lalu lintas yang dianalisa, perhitungan dilakukan atas dasar periode 15 menit dan dinyatakan ke dalam smp/jam dengan mengalikan arus dalam kend/jam dengan nilai ekivalensi mobil penumpang. Adapun nilai ekivalensi mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai ekivalensi mobil penumpang Jenis kendaraan
Emp untuk tipe kendaraan
Kendaraan Berat/Heavy Vehicle (HV)
1.3
Kendaraan Ringan/Light Vehicle (LV)
1.0
Sepeda Motor/Motorcycle (MC) Sumber: Departemen PU, 1997
0.5
Data masukkan kondisi lalu lintas terdiri dari tiga bagian antara lain menggambarkan situasi lalu lintas, sketsa arus lalu lintas dan variabelvariabel masukkan lalu lintas, yang dimasukkan kedalam fomulir USIGI sebagaimana diuraikan di bawah: 1) Periode dan soal (alternatif), dimasukkan pada sudut kanan atas formulir USIG I. 2) Sketsa arus lalu lintas menggambarkan berbagai gerakan dan arus lalu lintas. Arus sebaiknya diberikan dalam kendaraan/jam. Jika arus
10
diberikan dalam Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan faktor untuk konversi menjadi arus per jam harus juga dicatat dalam formulir USIG-I pada baris I, kolom 12. 3) Komposisi lalu lintas dicatat pada formulir USIG-I kolom 12. c. Kondisi Lingkungan Data kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk perhitungan yaitu berupa ukuran kota, tipe lingkungan, dan kelas hambatan samping 1) Ukuran Kota Masukkan perkiraan jumlah penduduk yang didapat dari seluruh daerah perkotaan dalam juta. Tolak ukur ukuran Kota berdasarkan jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Kelas ukuran kota Ukuran Kota
Jumlah Penduduk (juta)
Sangat kecil
< 0,1
Kecil
≥ 0,1 - 0,5 <
Sedang
≥ 0,5 - 1,0 <
Besar
≥ 1,0 - 3.0 <
Sangat besar
≥ 3,0
Sumber: Departemen PU, 1997 2) Tipe Lingkungan Jalan Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan dan aksebilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas. Tabel lingkungan jalan menurut tata guna lahan dan aksesibilitas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
11
Tabel 2.3 Tipe lingkungan jalan Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. Pemukiman
Tata guna lahan tempat tinggal dan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan
Akses terbatas
Tanpa jalan masuk atau jalan masuk terbatas (misalnya karena adanya penghalang fisik, jalan samping, dsb)
Sumber: Departemen PU, 1997
2.4.2 Perhitungan Kapasitas kemampuan suatu simpang untuk mengalirkan arus lalu lintas secara maksimum. Kapasitas simpang tak bersinyal dihitung dari rumus : C = Co x FW x FM x FCS x FRSU x FRT x FLT x FMI
(2.1)
Dimana : C = Kapasitas (smp/jam) Co = Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam) Fw = Faktor koreksi lebar masuk FM = Faktor koreksi median jalan utama FCS = Faktor koreksi ukuran kota FRSU = Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping FLT = Faktor koreksi persentase belok kiri FRT = Faktor koreksi persentase belok kanan FMI = Faktor koreksi rasio arus jalan minor a. Kapasitas Dasar (Co) Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe simpang. Nilai kapasitas dasar berdasarkan MKJI pada simpang tak bersinyal dapat dilihat pada Tabel 2.4
12
Tabel 2.4 Kapasitas dasar simpang tak bersinyal Tipe Simpang
Kapasitas Dasar (Co) smp/jam
322
2700
342
2900
324 atau 344
3200
422
2900
424 atau 444
3400
Sumber: Departemen PU, 1997 b. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (Fw) Penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari gambar, dan dimasukkan dalam formulir USIG-II. Variabel masukan adalah lebar rata – rata pendekat simpang W1 dan tipe simpang IT. Batas – batas waktu nilai yang diberikan dalam gambar adalah batas nilai untuk dasar empiris dari manual. Faktor penyesuaian lebar pendekat dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Faktor penyesuaian lebar pendekat
13
c. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM) Faktor penyesuaian median jalan utama bernilai 1 apabila simpang yang ditinjau tersebut tidak memiliki median jalan utama ataupun hanya memiliki lebar sebesar < 3 m.dengan menggunakan Tabel 2.5 berikut. Tabel 2.5 Faktor penyesuaian median jalan utama Uraian
Tipe M
Faktor koreksi median (FM)
Tidak ada median jalan utama
Tidak ada
1,0
Ada median jalan utama, lebar < 3m
Sempit
1,0
Ada median jalan utama, lebar > 3m
Lebar
1,2
Sumber: Departemen PU, 1997 d. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Fcs) Faktor penyesuaian ukuran kota dapat dilihat berdasarkan Jumlah Penduduk Kota (juta jiwa) ataupun berdasarkan Ukuran Kota (CS). Dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut: Tabel 2.6 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs) Ukuran Kota (Cs)
Jumlah Penduduk Kota
Faktor Penyesuaian Ukuran
(juta jiwa)
Kota (FCS)
< 0.1
0,82
Kecil
0,1 – 0,49
0,83
Sedang
0,5 – 0,99
0,94
Besar
1,0 – 3,0
1,00
> 3,0
1,05
Sangat kecil
Sangat besar
Sumber: Departemen PU, 1997 e. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping, dan Kendaraan Tidak Bermotor Menurut MKJI 1997, hambatan samping disebabkan oleh 4 jenis yaitu: 1. Pejalan Kaki
(bobot = 0.5) 14
2. Kendaraan parkir/ berhenti
(bobot = 1,0)
3. Kendaraan keluar/masuk
(bobot = 0,7)
4. Kendaraan bergerak lambat
(bobot = 0,4)
Frekwensi tiap kejadian hambatan samping dicacah dalam rentang 200 m ke kiri dan ke kanan potongan melintang yang diamati kapasitasnya, lalu dikalikan dengan bobotnya masing – masing yaitu pejalan kaki sebesar 0,5, kendaraan parkir/henti sebesar 1,0, kendaraan keluar/masuk sebesar 0,7 dan kendaraan bergerak lambat sebesar 0,4, yang dapat dilihat diatas besar bobot dari hambatan samping tersebut berdasarkan acuan dari MKJI. Penentuan kelas hambatan samping dan faktor penyesuaian hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8 dibawah ini: Tabel 2.7 Penentuan kelas hambatan samping Kelas Hambatan
Kode
Samping (SFC)
Jumlah berbobot
Kondisi khusus
kejadian per 200 m Per jam (dua sisi)
Sangat Rendah
VL
< 100
(Very Low) Rendah
L
samping tersedia 100 – 299
(Low) Sedang
M
H
300 – 499
VH (Very High)
Daerah industri : beberapa toko pada sisi jalan
500 – 899
(High) Tinggi sekali
Daerah permukiman : beberapa angkutan umum
(Medium) Tinggi
Daerah permukiman : jalan
Daerah komersial : aktivitas sisi jalan tinggi
> 900
Daerah komersial : aktivitas pasar sisi jalan
Sumber: Departemen PU, 1997
15
Tabel 2.8 Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF) Lingkungan Jalan
Hambatan Samping
Komersial (COM)
Pemukiman (RES)
Akses Terbatas (RA)
Rasio Kendaraan Tak Bermotor 0,00
0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25
Tinggi
0,93
0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Sedang
0,94
0,89 0,85 0,80 0,75 0,71
Rendah
0,95
0,90 0,86 0,81 0,76 0,72
Tinggi
0,96
0,91 0,86 0,81 0,78 0,72
Sedang
0,97
0,92 0,87 0,82 0,79 0,73
Rendah
0,98
0,93 0,88 0,83 0,80 0,74
Tinggi / Sedang / 1,00
0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
Rendah Sumber: Departemen PU, 1997 f. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT) Faktor penyesuaian belok kiri ditentukan berdasarkan Gambar 2.6 dimana yang menjadi variabel masukan adalah belok kiri (PLT). FLT = 1 – PLT x 0,16
(2.2)
Dimana : PLT = Rasio belok kiri pada pendekat FLT = Faktor penyesuaian belok kiri:
Gambar 2.6 Faktor penyesuaian belok kiri
16
g. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT) Faktor penyesuaian belok kanan ditentukan pada Gambar 2.7 dimana yang menjadi variabel adalah rasio belok kanan (PRT). Untuk simpang 4 lengan FRT = 1,0. Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau, dapat ditentukan dari Gambar 2.7 di bawah:
Gambar 2.7 Faktor penyesuaian belok kanan h. Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (FMI) Faktor penyesuaian terhadap rasio arus jalan simpang yang ditinjau dapat ditentukan dari Gambar 2.8 dan Tabel 2.9 di bawah ini:
Gambar 2.8 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor
17
Tabel 2.9 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor IT
FMI
PMI
422 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19
0,1 – 0,9
424 16,6 x PMI - 33,3 x PMI + 25,3 x PMI² - 8,6 X PMI + 1,95
0,1 – 0,3
444 1,11 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,11
0,3 – 0,9
322 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19
0,1 – 0,5
– 0,595 x PMI² + 0,595 x P MI + 0,74 342 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI +1,19 2,38 x PMI ² - 2,38 x PMI + 1,49
0,5 – 0,4 0,1 – 0,5 0,5 – 0,9
324 16,6 x PMI – 33,3 x PMI + 25,3 x PMI² - 8,6 x PMI + 1,95
0,1 – 0,3
344 1,11 x PMI² - 1,11 x PMI + 1,11
0,3 – 0,5
-0,555 x PMI² + 0,555 x PMI + 0,69
0,6 – 0,4
Sumber: Departemen PU, 1997 Keterangan: IT
= Tipe simpang
FMI = Faktor penyesuaian arus jalan minor PMI = Rasio arus jalan minor 2.4.3 Derajat Kejenuhan hasil arus lalu lintas terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat kejenuhan (DS) dihitung dengan menggunakan rumus berikut: DS =
TOT
(2.3)
Dimana: QTOT
= Arus total (smp/jam)
C
= Kapasitas (smp/jam)
2.4.4 Tundaan Tundaan (D) rata-rata adalah rata-rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk dalam pendekat.
18
a. Tundaan lalu lintas simpang (DTI) Tundaan lalu lintas simpang ditentukan dari kurva empiris antara DTI dan DS, lihat Gambar 2.9
Gambar 2.9 Tundaan lalu lintas simpang (DTI) Sumber: Departemen PU, (1997) b. Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata-rata semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan utama. DTMA ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS, Lihat Gambar 2.10
Gambar 2.10 Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA) Sumber: Departemen PU, (1997)
19
c. Tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI) Tundaan lalu lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan tundaan simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata. DTMI
= (QTOT x DTI – QMA x DTMA) / QMI ....................
2.4
Dimana: DTMI
= Tundaan untuk jalan minor (det/smp)
DTMA = Tundaan untuk jalan mayor (det/smp) QTOT
= Arus total (smp/jam)
QMA
= Arus total pada jalan mayor (smp/jam)
QMI
= Arus total pada jalan minor (smp/jam)
d. Tundaan geometrik simpang (DG) Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-rata seluruh kendaraan bermotor yang masuk simpang, DG dihitung dari rumus berikut: Untuk DS < 1, 0 ; DG = (1-DS) x (P T x 6 + (1-PT) x 3) + DS x 4 (det/ smp)Rumus
2.5
Untuk DS ≥ 1,0 : DG = 4 Dimana: DG
= Tundaan geometrik simpang (det/smp)
DS
= Derajat kejenuhan
PT
= Rasio belok total
e. Tundaan simpang (D) Tundaan simpang dihitung sebagai berikut : D = DG + DTI
................................................Ru
mus 2.6
Dimana:
20
DG
= Tundaan geometrik simpang (det/smp)
DTI
= Tundaan lalu lintas simpang (det/smp)
2.4.5 Peluang Antrian (QP%) Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari kurva hubungan antara peluang antrian (QP%) dengan derajat kejenuhan (DS), yang merupakan peluang antrian dengan lebih dari dua kendaraan di daerah pendekat yang mana saja, pada simpang tak bersinyal. Rentang nilai peluang antrian (QP%) ditentukan dari hubungan empiris antara peluang antrian (QP%) dan derajat kejenuhan (DS) sebagai variabel. Lihat Gambar 2.11
Gambar 2.11 Batas-batas antrian QP (%) terhadap derajat kejenuhan DS Sumber: Departemen PU, (1997) 2.4.6 Penilaian Kinerja Lalu Lintas Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) ini terutama direncanakan untuk memperkirakan kapasitas dan perilaku lalu lintas pada kondisi tertentu berkaitan dengan rencana geometrik jalan, lalu lintas dan lingkungan. Karena hasilnya biasanya tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa perbaikan dengan pengetahuan para ahli lalu lintas, terutama kondisi geometrik, 21
untuk memperoleh perilaku lalu lintas yang diinginkan berkaitan dengan kapasitas, tundaan dll. Sasaran yang dipilih diisikan dalam formulir USIG–II kolom 38. Cara yang tepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat kejenuhan (DS). Jika nilai DS yang diperoleh terlalu tinggi (>0,85), maka dapat merubah geometrik jalan berupa lebar pendekat dan sebagainya dan membuat perhitungan baru. Hal ini akan membutuhkan formulir yang baru dengan soal yang baru. Penilaian tentang perhitungan ini dimasukkan dalam formulir USIG-II, kolom 39. 2.4.7
Tingkat Pelayanan Simpang Tingkat pelayanan simpang adalah suatu ukuran kualitatif yang memberikan
gambaran dari pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas aspek dari tingkat pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan, tundaan kenyamanan, keamanan, dan lain - lain. Pada analisis kapasitas didefinisikan enam tingkat pelayanan, yang terbaik adalah pelayanan A, sedangkan tingkat pelayanan terburuk adalah F. Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian simpang, seperti pada Tabel 2.10 di bawah ini: Tabel 2.10 Kriteria tingkat pelayanan simpang Tundaan (detik/smp) ≤5
Tingkat Pelayanan
> 5,0 dan ≤ 10,0
B
> 10,0 dan ≤ 20,0
C
> 20,0 dan ≤ 30,0
D
> 30,0 dan ≤ 45,0
E
> 45,0 Sumber: Departemen Perhubungan, 2006
A
F
22