HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kebudayaan Toraja Kerbau (Bos bubalus) adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedong atau karembau memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang) dan alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo dan rambu tuka masyarakat Toraja. Rambu tuka adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen dan pesta suka cita. Rambu tuka’ dilaksanakan di sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja), ritual ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur. Rambu solo merupakan upacara yang terkait dengan kematian. Ritual ini biasa dilaksanakan sore hari. Upacara yang umumnya berupa prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.
Gambar 1. Upacara Rambu Solo (Thiahn, 2011)
Upacara rambu solo seperti terlihat pada Gambar 2 adalah sebuah upacara pemakaman adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat pesta sebagai tanda penghormatan terhadap mendiang yang telah meninggal, ditandai dengan penyembelihan hewan kurban. Masing-masing golongan masyarakat memiliki kewajiban menyembelih hewan kurban yang berbeda. Bila bangsawan yang meninggal maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan pesta tersebut jauh lebih banyak daripada yang bukan bangsawan. Jumlah kerbau berkisar 24 hingga 100 ekor untuk keluarga bangsawan sedangkan masyarakat golongan menengah diharuskan menyembelih sekitar delapan ekor selanjutnya daging kerbau yang disembelih dibagikan kepada masyarakat yang hadir dalam pesta tersebut. Hanya kerbau belang jantan yang bernilai tinggi dan bisa dikorbankan sebagai persembahan dalam upacara adat pemakaman masyarakat Toraja. Kerbau ini dipercaya masyarakat Toraja sebagai kendaraan arwah menuju puya (surga). Semakin bagus kerbau belang dan semakin banyak jumlah yang dipotong, semakin baik dan aman pula kehidupan orang yang meninggal di akhirat. Proses penyembelihan ternak kerbau dalam upacara rambu solo terlihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Penyembelihan Ternak pada Upacara Rambu Solo (Thiahn, 2011)
15
Kerbau belang seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 merupakan spesies yang terdapat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan sehingga kerbau ini biasa disebut kerbau Tana Toraja. Kerbau belang memiliki kulit berwarna kombinasi merah muda atau albino dan hitam atau kelabu. Kerbau belang jantan umumnya dipelihara secara khusus karena bernilai tinggi. Perawatan kerbau belang betina juga diperhatikan tapi tidak lebih istimewa dari kerbau belang jantan karena berguna sebagai indukan.
Gambar 3. Tedong Bonga (Hamzah, 2010) Kerbau belang atau biasa disebut tedong bonga oleh masyarakat Toraja, merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Tana Toraja. Campbell et al. (2004) menyatakan bahwa proses-proses geologis dapat mengisolasi suatu populasi hewan tertentu sehingga banyak organisme yang terdapat dalam hot spot keanekaragaman biologis itu adalah spesies endemik, yang berarti tidak ditemukan di tempat lain. Dalam hal ini, Tana Toraja merupakan suatu hot spot keanekaragaman biologis (biodiversity hot spot), yakni suatu daerah yang relatif kecil dengan konsentrasi spesies yang luar biasa. Tedong yang dikorbankan pada sebuah upacara kematian bangsawan atau upacara kematian gabungan dari berbagai keluarga mencapai 60 ekor dengan 16
komposisi tingkatan tedong yang berbeda. Bo Do (2005) menyatakan bahwa secara umum orang Toraja menilai kerbau atau biasa disebut tedong adalah dari tanduk, postur, warna kulit dan rambut serta tanda-tanda di badan. Penilaian berdasarkan warna, tedong tingkat pertama (paling rendah) adalah kerbau albino yang disebut tedong bulan, tingkat kedua adalah tedong sambao’ yakni kerbau abu-abu atau kerbau dengan warna kulit normal, lalu tedong todi yang berwarna putih diantara tanduk, tedong pangloli yang memiliki ujung ekor berwarna putih dan mempunyai belang hitam pada bagian kepala dan tingkat tertinggi adalah tedong bonga yang berwarna putih dengan bercak hitam seperti bunga di seluruh tubuh (Peter et al., 2003).
Gambar 4. Tedong Bulan (Hamzah, 2010) Gambar 5 menampilkan tedong bulan atau kerbau albino. Seluruh tubuh kerbau ini berwarna albino tanpa ada kombinasi warna hitam seperti tedong bonga. Berbeda sekali dengan tedong bonga yang memiliki nilai tinggi, tedong bulan bernilai rendah dalam tradisi Toraja karena dianggap membawa sial.
17
Kecamatan Sanggalangi Dinas Pertanian Toraja Utara (2011) menyatakan bahwa Kecamatan Sanggalangi merupakan satu kecamatan dari dua puluh satu kecamatan di wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara sebagai pengembangan wilayah administrasi Tana Toraja yang baru. Luas wilayah Kecamatan Sanggalangi berkisar 39 km2 atau sekitar 5.006,1 ha. Kecamatan Sanggalangi terdiri atas satu kelurahan yakni Pa’paelean serta lima lembang (desa) yakni Lembang Buntu La’bo, Lembang La’bo, Lembang Tandung La’bo, Lembang Tallung Penanian dan Lembang Pata’padang. Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan memiliki luas dan kondisi lahan yang berpotensi sebagai tempat untuk berkembangnya ternak Kerbau Belang. Luas lahan di Kecamatan Sanggalangi ialah sebesar 3.900 ha, meliputi sawah, padang rumput, rawa dan hutan (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Hal ini sesuai dengan habitat hidup kerbau yang memerlukan air untuk berkubang. Berbagai jenis rumput dan hijauan untuk pakan kerbau juga tumbuh subur pada padang rumput sehingga ketersediaan hijauan makanan ternak terjaga. Penggunaan lahan untuk lahan sawah mencapai 744 ha sehingga limbah pertanian yang dapat digunakan untuk pakan ternak juga tersedia dengan baik. Dinas Pertanian Toraja Utara (2011) menyatakan bahwa Kecamatan Sanggalangi berada pada garis Bujur Timur (longitude) sebesar 119o,91953’ dan garis Lintang Selatan (latitude) 03o,00935’ serta berada sekitar 809 meter di atas permukaan laut (dpl). Luas lahan di Kecamatan Sanggalangi ialah sebesar 3900 ha. Penggunaan lahan yang dominan ialah lahan sawah dengan luas 744 ha atau sekitar 19,08% dari luas lahan Kecamatan Sanggalangi dan lahan kering dengan luas 3156 ha atau sekitar 80,92% dari luas lahan Kecamatan Sanggalangi. Kecamatan Sanggalangi memiliki suhu rata-rata 23 oC dengan suhu terendah 18 oC dan suhu tertinggi 29 oC dengan kelembaban udara rata-rata ialah sebesar 5975%, sedangkan suhu umum adalah 25 oC pada siang hari dan 19 oC pada malam hari (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Fahimuddin (1975) menjelaskan bahwa zona nyaman untuk ternak kerbau ialah berkisar antara 15,5-21,0 oC. Apabila suhu udara lebih dari 24oC, kerbau sudah mengalami stress dan batas kritis untuk mekanisme termoregulasi ialah 36,50 oC. Potensi suhu tersebut sangat mendukung ternak kerbau agar berkembang biak dengan baik. Kecamatan Sanggalangi memiliki 18
ketinggian 809 m dpl dan Lembang Tandung La’bo sebesar 825 m dpl (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Hal ini yang menyebabkan suhu di Kecamatan Sanggalangi tergolong rendah. Lingkungan optimum diperlukan ternak untuk hidup dan bereproduksi. Apabila suhu lingkungan terlalu tinggi diluar batas toleransi, maka ternak akan mengalami stress sehingga menurunkan produktivitas. Suhu optimum untuk kerbau berkisar 15,5-21 oC dengan curah hujan 500-2.000 mm/tahun (Joseph, 1996). Basuki (1998) menyatakan bahwa faktor suhu dan radiasi sinar matahari sangat berpengaruh terhadap termoregulasi kerbau yang memiliki sedikit kelenjar keringat pada kulit. Zulbadri dan Kusumaningrum (2005) menyatakan bahwa kerbau berkubang atau berendam dalam air sebagai upaya mengoptimalkan metabolisme tubuh. Joseph (1996) menambahkan bahwa ternak kerbau telah beradaptasi secara fisiologis terhadap lingkungan panas dengan tingkah laku seperti panting, berkubang dan berteduh. Curah hujan per tahun ialah berkisar antara 2.000-2.700 mm/tahun. Intensitas curah hujan secara umum hampir sama pada semua bulan. Kecepatan angin berkisar antara 10-85 km/jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Curah hujan yang semakin tinggi akan menambah cadangan air dalam tanah dan menambah debit air sungai bila kondisi alam tidak rusak. Cadangan air yang semakin tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan kerbau untuk minum dan mandi (berkubang) baik kondisi musim hujan maupun musim kemarau. Cuaca maupun iklim merupakan salah satu komponen lingkungan abiotik yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan seluruh mahluk hidup termasuk ternak yang dipelihara manusia. Ketinggian tempat dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ternak. Pengaruh langsung terkait dengan ketersediaan pakan hijauan dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi suhu yang rendah pada dataran tinggi memberikan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ternak kerbau. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan kerbau belang yang dilakukan oleh masyarakat terbagi atas dua sistem yakni sistem intensif dan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan yang paling banyak dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian ialah sistem 19
intensif. Alasan peternak menggunakan sistem intensif yakni kerbau belang harganya mahal dan membutuhkan perawatan yang baik. Selain itu, karena beternak kerbau masih merupakan usaha sampingan, peternak juga lebih mudah mengawasinya. Pemeliharaan kerbau dilakukan dengan cara mengandangkan kerbau seharian penuh (24 jam). Sistem pemeliharaan semi intensif seperti disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5. Sistem Pemeliharaan Intensif (Hamzah, 2010) Pemeliharaan secara semi intensif secara umum dilakukan oleh peternak yang memiliki banyak waktu luang dan beternak adalah pekerjaan utama. Kerbau belang biasanya digembalakan pada pagi hari hingga sore hari. Tempat bernaung atau berteduh kerbau belang pada saat siang hari atau pada saat kepanasan ialah di pohonpohon sekitar padang penggembalaan dan juga di bawah kolong rumah adat Tongkonan. Kerbau dimandikan pada saat siang dan sore hari sebelum dikandangkan kembali. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zulbadri dan Kusumaningrum (2005) bahwa padang penggembalaan merupakan area utama kerbau mencari makan dan tempat perkawinan secara alami. Kerbau dapat bernaung di bawah pohon atau di pinggir hutan. Sistem pemeliharaan semi intensif seperti disajikan pada Gambar 7.
20
Gambar 6. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif (Hamzah, 2010) Pakan merupakan aspek penting dalam usaha ternak kerbau belang karena menentukan kelangsungan hidup kerbau serta penampilan performa kerbau secara keseluruhan. Pakan ternak yang diberikan oleh peternak kepada kerbau terbagi atas dua, yakni hijauan rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Ketersediaan pakan ternak tersebut sangat berlimpah di Kecamatan Sanggalangi sehingga hal ini menjadi salah satu keuntungan bagi peternak kerbau. Namun, pemanfaatan limbah pertanian masih belum optimal. Hal ini ditandai dengan hampir tidak dijumpai pemberian pakan konsentrat di lokasi penelitian dan walaupun ada dengan jumlah sangat sedikit. Konsentrat yang diberikan berupa dedak padi yang dicampur dengan cacahan rumput gajah. Selain itu, terkadang juga ditambahkan madu dalam pakan untuk kerbau yang memiliki pola warna belang yang merata. Hijauan yang sering diberikan peternak dalam bentuk segar antara lain rumput lapang, rumput gajah, dan rumput alang-alang seperti yang disajikan pada Gambar 7. Hijauan pakan ternak di Kecamatan Sanggalangi tersedia cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan ternak karena lahan yang tersedia luas dan potensi iklim yang cukup baik sehingga hijauan tersedia sepanjang tahun.
21
Gambar 7. Pakan Hijauan Kerbau Belang (Hamzah, 2010) Pakan yang berasal dari limbah hasil pertanian antara lain jerami, daun jagung, dan daun ubi jalar. Ketersediaan jerami sangat memadai, karena luas area persawahan cukup luas sehingga limbah hasil persawahan juga cukup banyak. Seperti dinyatakan Triwulanningsih et al. (2004) bahwa kerbau mampu mencerna dengan cukup baik jerami padi yang tersedia melimpah pada musim panen dan dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Masyarakat Toraja juga terbiasa menanam ubi jalar di pekarangan maupun kebun, sehingga daun ubi jalar tersedia cukup melimpah. Jumlah pemberian pakan ternak tergantung dari sistem pemeliharaan ternak kerbau belang dan jumlah kerbau yang dipelihara. Peternak masih kurang memperhatikan faktor jenis kelamin dan umur kerbau (kerbau anak, dara, dan dewasa) dalam sistem pemberian pakan. Sistem pemeliharaan intensif membutuhkan jumlah pakan 40 kg/hari/ekor. Pemberian pakan dalam jumlah tersebut masih sangat variatif dalam kombinasi penggunaan hijauan rumput-rumputan maupun limbah hasil pertanian. Frekuensi pemberian pakan untuk pemeliharaan intensif sekitar 2-3 kali sehari. Sistem pemeliharaan semi intensif, ternak dikandangkan pada malam hari dan pada saat itu diberi pakan rumput atau limbah hasil pertanian dalam jumlah yang tidak terbatas (ad libitum). Peternak memanfaatkan lahan-lahan kosong seperti areal sawah, kebun maupun pinggir jalan yang banyak ditumbuhi rumput-rumputan. Pemberian hijauan dilakukan dengan sistem“cut and carry”. Selain itu, ketersediaan air cukup melimpah karena lokasi penelitian merupakan daerah pegunungan sehingga ketersediaan air terjamin. 22
Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Belang Hewan memiliki pertumbuhan yang khas karena akan berhenti tumbuh setelah mencapai ukuran tertentu yang disebut juga dengan pertumbuhan determinan. Perubahan ukuran tubuh juga memiliki sifat irreversibel yakni tidak dapat kembali seperti semula. Bertambahnya ukuran tubuh inilah yang disebut dengan pertumbuhan meliputi tinggi, berat, dan volume. Pertumbuhan ditandai dengan bertambahnya ukuran dan jumlah sel. Pertumbuhan pada hewan ada batasnya. Hewan tidak tumbuh lagi setelah mencapai umur tertentu. Pertumbuhan juga diikuti dengan proses perkembangan, yaitu proses biologis mahluk hidup menuju tingkat kedewasaan seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh gen, hormon, dan nutrisi pakan serta lingkungan. Kerbau mempunyai keistimewaan dibandingkan ternak ruminansia lainnya karena mampu hidup dalam kondisi wilayah yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Subandriyo (2006) menyatakan bahwa kerbau masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pakan yang tersedia relatif kurang baik. Pendapat tersebut juga sejalan dengan pernyataan Zakaria et al. (2003) bahwa ternak kerbau memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Kerbau dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pakan yang jelek. Namun, guna menunjang pertumbuhan Kerbau Belang yang optimal pada masing-masing jenis kelamin (jantan dan betina) dan umur (anak, dara, dan dewasa), pemeliharaan
intensif
merupakan
sistem
pemeliharaan
yang
baik
untuk
mengoptimalkan pertambahan bobot badan Kerbau Belang. Sistem pemeliharaan intensif juga memudahkan peternak untuk melakukan pengawasan. Rataan ukuran-ukuran tubuh Kerbau Belang meliputi panjang badan, lingkar dada dan estimasi bobot badan pada jenis kelamin dan umur yang berbeda disajikan pada Tabel 8, 9, dan 10. Secara umum, ukuran-ukuran tubuh Kerbau Belang jantan lebih tinggi daripada Kerbau Belang betina. Ukuran-ukuran tubuh juga meningkat seiring dengan bertambah umur. Peningkatan ukuran-ukuran tubuh tersebut masih terus terjadi hingga kelompok umur E (> 5 tahun).
23
Panjang Badan Umur dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap ukuran panjang badan kerbau belang (P<0,05). Rataan panjang badan kerbau belang meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya umur. Rataan panjang badan kerbau belang dengan umur lebih tua lebih besar dibanding rataan panjang badan kerbau belang yang berumur lebih muda dalam jenis kelamin yang sama atau berbeda. Rataan panjang badan kerbau belang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Panjang Badan Kerbau Belang pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda Jenis Kelamin Kelompok Umur
Jantan
Betina
Rataan (cm)
SE
Rataan (cm)
SE
A (<1 tahun)
110.72a
0.46
105.62f
0.53
B (1 tahun)
118.79b
0.76
116.02g
0.84
C (1-3 tahun)
131.04c
0.41
128.20h
0.65
D (3-5 tahun)
139.61d
0.53
137.97i
0.65
E (>5 tahun)
152.21e
0.46
153.02j
0.93
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Rataan panjang badan kerbau belang jantan kelompok umur A (152,2 cm) > D (139,6 cm) > C (131 cm) > B (118,8 cm) > A (110,7 cm). Rataan panjang badan kerbau belang betina kelompok umur E (153 cm) > D (137,3 cm) > C (128,2 cm) > B (116 cm) > A (105,6 cm). Setiap kelompok umur yang sama panjang badan kerbau belang jantan lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok umur E (>5 tahun) rataan panjang badan kerbau belang betina (153 cm) lebih besar dibandingkan dengan jantan (152,2 cm). Rataan panjang badan kerbau jantan dalam penelitian ini adalah 131,65 cm. Rataan panjang badan tersebut lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008), yakni 121 cm dan 118,5 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 82,30 cm, di Bali oleh Putra (1985) yakni 129 cm, di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 122,86 cm, dan di Sumatra 24
Utara oleh Sitorus (2008) yakni 129,50 cm. Namun, rataan tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian Kampas (2008) yang juga dilakukan di Sumatra Utara yakni 135 cm. Rataan panjang badan kerbau betina dalam penelitian ini adalah 124,07 cm. Rataan panjang badan tersebut lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau betina hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008) yakni 110 cm dan 123 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 103,47 cm, di Bali oleh Putra (1985) yakni 124 cm, di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 123,10 cm, dan di Sumatra Utara oleh Sitorus (2008) yakni 119,14 cm. Namun, rataan tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian Kampas (2008) yang juga dilakukan di Sumatra Utara yakni 134 cm. Rataan panjang badan kerbau jantan dan betina pada penelitian ini lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau hasil penelitian Lita (2009) di Kalimantan Timur, yakni 113,76 cm dan Ismawan (2000) di Jawa Barat, yakni 114,32 cm. Lita (2009) dan Ismawan (2000) dalam penelitiannya mengabaikan faktor jenis kelamin. Secara fisik, performa kerbau belang Toraja baik jantan maupun betina relatif lebih panjang dibandingkan dengan kerbau yang ada di Sumatra Utara, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Bali, dan NTB. Rataan panjang badan kerbau kelompok umur <1 tahun pada penelitian ini, jantan dan betina adalah 110,72 cm dan 105,62 cm. Nilai tersebut, pada kelompok umur yang sama, lebih besar daripada hasil penelitian Ismawan (2000) di Garut, Jawa Barat yakni 94,30 cm. Nilai tersebut juga lebih besar daripada hasil penelitian Herianti dan Pawarti (2009) di Pringsurat, Jawa Tengah yakni jantan dan betina masing-masing adalah 67,60 cm dan 72,42 cm. Namun, nilai tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian Putra (1985) yakni jantan dan betina masing-masing adalah 118 cm dan 114 cm. Kerbau pada kelompok umur < 1 tahun masih berada pada fase anak. Faktor genetik pada fase anak lebih dominan mempengaruhi ukuran-ukuran kerbau daripada faktor pakan dan lingkungan. Rajhan dan Pathak (1979) memperkuat dengan pernyataan bahwa mutu protein pakan ternak ruminansia adalah kurang penting 25
kecuali pada masa pertumbuhan (dewasa). Secara genetik, kerbau belang Toraja memiliki ukuran tubuh yang lebih panjang daripada kerbau rawa di Garut, Jawa Barat dan Pringsurat, Jawa Tengah. Kerbau rawa tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia. Adanya variasi ukuran-ukuran tubuh kerbau rawa di berbagai wilayah di Indonesia sangatlah wajar. Praharani dan Triwulanningsih (2008) menyatakan bahwa kerbau rawa atau lumpur mempunyai variasi ukuran tubuh yang cukup besar. Pertumbuhan ternak secara mendasar juga dipengaruhi oleh dua faktor utama yang saling terkait satu dengan yang lainnya, yakni faktor genetik dan lingkungan, termasuk didalamnya manajemen pemeliharaan secara menyeluruh. Noor (2004) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dikontrol oleh pasangan gen yang aksinya bersifat aditif dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkar Dada Umur dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap ukuran lingkar dada kerbau belang (P<0,05). Rataan lingkar dada kerbau belang meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya umur. Rataan lingkar dada kerbau belang dengan umur lebih tua akan selalu lebih besar dibanding rataan lingkar dada kerbau belang yang berumur lebih muda dalam jenis kelamin yang sama atau berbeda. Rataan lingkar dada kerbau belang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Lingkar Dada Kerbau Belang pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda Jenis Kelamin Kelompok Umur
Jantan
Betina
Rataan (cm)
SE
Rataan (cm)
SE
A (<1 tahun)
150.94a
0.48
145.89f
0.56
B (1 tahun)
165.00b
0.79
162.12g
0.88
C (1-3 tahun)
190.27c
0.43
187.46h
0.68
D (3-5 tahun)
196.52d
0.56
195.22i
0.68
E (>5 tahun)
205.55e
0.48
206.32j
0.96
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
26
Rataan lingkar dada kerbau belang jantan kelompok umur E (205,6 cm) > D (196,5 165 cm) > C (190,3 cm) > B (165 cm) > A (150,9 cm). Rataan lingkar dada kerbau belang betina E (206,3 cm) > D (195,2 cm) > C (187,5 cm) > B (162,1 cm) > A (145,9 cm). Lingkar dada kerbau belang pada tiap kelompok umur yang sama, jantan lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok umur E (>5 tahun) rataan lingkar dada kerbau belang betina (206,3 cm) lebih besar dibandingkan dengan jantan (205,6 cm). Apabila umur bertambah, bobot badan, lingkar dada juga semakin besar. Putra (1985) mengatakan hal tersebut disebabkan sebagian besar bobot badan dipikul oleh kaki depan dan bertautan antara badan (otot-otot di sekitar dada) dengan kaki depan. Otot-otot tersebut adalah musculus serratus ventralis dan musculus pectoralis. Bertambahnya bobot hewan menyebabkan bertambah kuatnya otot-otot penggantung tersebut sehingga bertambah besar pula lingkar dada. Rataan lingkar dada kerbau jantan dalam penelitian ini adalah 183,68 cm. Rataan lingkar dada tersebut lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008) yakni 166 cm dan 157,2 cm. Rataan lingkar dada tersebut juga lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 126,14 cm dan di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 177,45 cm. Rataan lingkar dada tersebut juga lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian Sitorus (2008) di Sumatra Utara yakni 182,16 cm. Namun, rataan lingkar dada tersebut lebih kecil daripada rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Sumatra Utara dan Kampas (2008) yakni dan 194 cm juga di Bali oleh Putra (1985) yakni 183,75 cm. Rataan lingkar dada kerbau betina dalam penelitian ini adalah 174,34 cm. Rataan lingkar dada tersebut lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau betina hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008) yakni 171 cm dan 169,50 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih tinggi daripada rataan lingkar dada kerbau betina hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 160,97 cm. Namun, rataan tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian di Bali oleh Putra (1985) yakni 178 cm dan di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 177,80 cm. Rataan tersebut juga lebih kecil 27
daripada hasil penelitian di Sumatra Utara oleh Sitorus (2008) dan Kampas (2008) yakni 176,60 cm dan 193 cm. Rataan lingkar dada kerbau belang Toraja jantan dan betina pada penelitian ini juga lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau hasil penelitian Lita (2009) di Kalimantan Timur yakni 158,38 cm Ismawan (2000) di Jawa Barat yakni 162,99 cm. Lita (2009) dan Ismawan (2000) dalam penelitiannya mengabaikan faktor jenis kelamin. Secara fisik, performa kerbau belang Toraja relatif lebih besar dibandingkan dengan kerbau yang ada di Banten, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan NTB. Ukuran tubuh kerbau yakni lingkar dada dapat memperlihatkan besar kecilnya kerbau tersebut. Sesuai pernyataan Kampas (2008), semakin besar kerbau yang dilihat secara fisik maka ukuran tubuh tersebut semakin besar. Rataan lingkar dada kerbau kelompok umur <1 tahun pada penelitian ini, jantan dan betina adalah 150,94 cm dan 145,89 cm. Nilai tersebut, pada kelompok umur yang sama, lebih besar daripada hasil penelitian Ismawan (2000) di Garut, Jawa Barat yakni 134,25 cm. Nilai tersebut juga lebih besar daripada hasil penelitian Herianti dan Pawarti (2009) di Pringsurat, Jawa Tengah yakni jantan dan betina masing-masing adalah 103,60 cm dan 109,92 cm. Namun, nilai tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian Putra (1985) yakni jantan dan betina masing-masing adalah 164 cm dan 160 cm. Secara genetik, kerbau belang Toraja memiliki performa yang lebih baik daripada kerbau rawa di Garut, Jawa Barat dan Pringsurat, Jawa Tengah tapi tidak lebih baik daripada kerbau rawa di Bali. Sesuai pendapat Praharani dan Triwulanningsih (2008) yang menyatakan bahwa kerbau yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar pada umur yang sama mencerminkan pertumbuhan yang lebih baik. Negara Indonesia berbentuk kepulauan memiliki kondisi wilayah yang berbeda satu sama lain sehingga manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak kerbau juga berbeda menyesuaikan kondisi lingkungan masing-masing wilayah. Hal ini pula yang menyebabkan adanya variasi ukuran-ukuran tubuh kerbau rawa di berbagai wilayah di Indonesia. Faktor lingkungan terutama iklim dapat menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan ternak. Iklim juga menentukan bahan pakan yang tersedia di wilayah tersebut.
28
Bobot Badan Umur dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap ukuran bobot badan kerbau belang (P<0,05). Rataan bobot badan kerbau belang meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya umur. Rataan bobot badan kerbau belang dengan umur lebih tua lebih besar dibanding rataan bobot badan Kerbau Belang yang berumur lebih muda dalam jenis kelamin yang sama atau berbeda. Rataan estimasi bobot badan Kerbau Belang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Estimasi Bobot Badan Kerbau Belang pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda Jenis Kelamin Kelompok Umur
Jantan
Betina
Rataan (kg)
SE
Rataan (kg)
SE
A (<1 tahun)
239.31a
3.69
214.47f
4.26
B (1 tahun)
302.57b
6.03
286.26g
6.74
C (1-3 tahun)
435.78c
3.30
415.01h
5.22
D (3-5 tahun)
491.07d
4.26
479.65i
5.22
E (>5 tahun)
580.02e
3.69
587.15j
7.38
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Rataan bobot badan kerbau belang jantan kelompok umur E (580 kg) > D (491,1 kg) > C (435,8 kg) > B (302,6 kg) > A (239,3 kg). Rataan bobot badan kerbau belang betina kelompok umur E (587,2 kg) > D (479,7 kg) > C (415 kg) > B (286,2 kg) > A (214,5 kg). Bobot badan kerbau belang jantan, pada tiap kelompok umur yang sama, selalu lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok umur E (>5 tahun) rataan bobot badan kerbau belang betina (587,2 kg) lebih besar dibandingkan dengan jantan (580 kg). Rataan estimasi bobot badan kerbau kelompok umur <1 tahun pada penelitian ini, jantan dan betina adalah 239,31 kg cm dan kg 214,47 kg. Nilai tersebut, pada kelompok umur yang sama, lebih besar daripada hasil penelitian Herianti dan Pawarti (2009) di Pringsurat, Jawa Tengah yakni jantan dan betina masing-masing adalah 134,76 kg dan 163,74 kg. Namun, nilai tersebut lebih kecil daripada hasil penelitian di Bali oleh Putra (1985) yakni jantan dan betina masing-masing 302 kg dan 277 kg. Secara genetik kerbau belang Toraja memiliki bobot badan yang lebih 29
besar daripada kerbau rawa di Pringsurat, Jawa Tengah tapi lebih kecil daripada kerbau rawa di Bali. Rataan estimasi bobot badan kerbau jantan dan betina pada penelitian ini adalah 421,9 kg dan 396.51 kg. Rataan tersebut lebih besar daripada rataan estimasi bobot badan kerbau hasil penelitian Lita (2009) di Kalimantan Timur yakni 287,12 kg. Penelitian Herianti dan Pawarti (2009) menyatakan estimasi bobot badan kerbau di Pringsurat, Jawa Tengah jantan dan betina masing-masing adalah 208,42 kg dan 317,41 kg. Hasil tesis Putra (1985) menyatakan rataan estimasi bobot badan kerbau di Bali yakni jantan dan betina masing-masing adalah 408,50 kg dan 369,25 kg. Rataan estimasi bobot badan kerbau Herianti dan Pawarti (2009) dan Putra (1985) baik jantan maupun betina lebih kecil daripada rataan estimasi bobot badan kerbau dalam penelitian ini. Estimasi bobot badan yang dilakukan pada penelitian ini dan penelitian Lita (2009) sama-sama menggunakan rumus regresi linear Putra (1985). Data bobot badan didapat dengan estimasi karena tidak memungkinkan dilakukan penimbangan di lokasi penelitian. Siregar et al. (1984) juga berpendapat bahwa penimbangan di lapangan seringkali tidak dapat dilakukan karena timbangan ternak tidak tersedia. Ukuran tubuh kerbau belang jantan dibanding dengan betina pada umur yang sama selalu lebih besar. Pertumbuhan kerbau jantan lebih cepat dibandingkan kerbau betina. Sesuai dengan pernyataan Gatenby (1986), pertumbuhan setelah penyapihan dipengaruhi oleh genotip. Jenis kelamin yakni jantan lebih cepat tumbuh dibandingkan betina. Pertumbuhan ukuran tubuh kerbau belang baik jantan maupun betina bertambah besar sesuai dengan bertambahnya umur. Laju pertumbuhan kerbau belang tertinggi terjadi pada kelompok umur C (1-3 tahun). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Lita (2009), laju pertumbuhan kerbau lebih tinggi pada umur 1-2 tahun, sedangkan pada umur 3>5 tahun laju pertumbuhannya rendah. Oleh karena itu peternak harus meningkatkan kualitas pakan dan memberikan kondisi yang nyaman pada kerbau belang berumur C (1-3 tahun). Tiap jenis kelamin hewan ternak yakni jantan dan betina memiliki hormon fungsional yang berbeda. Hormon tersebut akan aktif ketika hewan telah mencapai dewasa kelamin yakni pada umur tertentu. Masing-masing hormon fungsional kelamin tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan hewan ternak. Androgen 30
merupakan hormon kelamin yang mempengaruhi pertumbuhan karena berfungsi sebagai pengatur dan stimulan pertumbuhan. Androgen dihasilkan oleh sel-sel interstisial dan kelenjar adrenal. Salah satu dari steroid androgen adalah testosteron yang dihasilkan oleh testes pada jantan. Sekresi testosteron yang tinggi menyebabkan sekresi androgen yang tinggi pula. Sesuai dengan pernyataan Hafez dan Dyer (1969) bahwa hormon jenis kelamin jantan ini menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan dibanding dengan ternak betina terutama setelah munculnya sifatsifat kelamin sekunder pada ternak jantan. Namun, pada kelompok umur E (>5 tahun) ukuran-ukuran tubuh kerbau belang betina melampaui jantan sehingga dapat dikatakan bahwa betina memiliki pertumbuhan yang lebih lambat daripada jantan (masak lambat). Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
semakin
bertambahnya
umur
mengakibatkan ukuran tubuh bertambah besar. Namun, Lawrence dan Folwer (2002) menyatakan bahwa pola pertumbuhan sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tubuh meningkat cepat pada kehidupan awal kemudian menurun secara perlahan ketika ternak dewasa. Vaccaro dan Rivero (1985) menyatakan hal serupa, yakni pola pertumbuhan tertinggi terjadi pada awal kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai mencapai konstan saat ternak tua. Karena itu, kerbau belang harus disembelih pada umur yang tepat yakni pertumbuhannya telah mencapai nilai tertinggi, sebelum konstan atau bahkan menurun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok umur E (>5 tahun) merupakan waktu yang tepat untuk menyembelih kerbau belang karena pertumbuhannya telah mencapai optimal yakni rata-rata bobot badan jantan dan betina 580,02 kg dan 587,15 kg. Produktivitas kerbau belang Toraja khususnya di Sanggalangi sudah baik. Hal tersebut terlihat pada hasil dan pembahasan sebelumnya dimana kerbau belang Toraja memiliki ukuran-ukuran tubuh yang relatif lebih besar daripada kerbau rawa di wilayah lain seperti Banten, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan NTB. Hal ini mengindikasikan manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak kerbau belang di Toraja lebih baik, disamping faktor iklim Sanggalangi yang mendukung dan genetik kerbau belang yang berbeda dengan kerbau rawa pada umumnya di wilayah lain. Kebudayaan masyarakat Toraja juga mendukung peternakan kerbau
31
belang di Sanggalangi karena beternak kerbau belang selalu menguntungkan bagi peternak lokal. Terkait pakan, wilayah Sanggalangi memiliki limbah pertanian yang cukup melimpah. Namun, limbah pertanian tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak. Pemanfaatan limbah pertanian seperti dedak padi perlu ditingkatkan. Limbah pertanian merupakan pakan kosentrat yang baik untuk meningkatkan pertambahan bobot badan kerbau belang. Sesuai pendapat Soedarsono (1989) yang menyatakan bahwa penambahan dedak padi pada pakan kerbau akan meningkatkan konsumsi bahan kering, pertumbuhan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan walaupun Dilaga (1987) menyatakan bahwa kerbau yang digembalakan di padang rumput alam tanpa pemberian konsentrat masih memperlihatkan respon positif. Sistem pemeliharaan yang paling banyak dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian ialah sistem intensif. Dania dan Poerwoto (2006) menyatakan bahwa kerbau memerlukan berendam atau berkubang untuk membantu termoregulasi agar fisiologi tubuhnya dapat berjalan secara normal. Sistem pemeliharaan semi intensif (digembalakan) memberikan kesempatan kerbau belang untuk berkubang. Sistem pemeliharaan intensif tidak memberikan kesempatan kerbau belang untuk berkubang tapi kondisi lingkungan kandang memungkinkan kerbau belang terhindar dari sengatan matahari secara langsung (heat stress) karena memberikan keteduhan. Masing-masing sistem pemeliharaan (intensif dan semi intensif) memiliki keunggulan guna menunjang pertumbuhan kerbau belang yang optimal. Kecamatan Sanggalangi memiliki suhu rata-rata 23 oC, kelembaban udara rata-rata sebesar 59-75% dan curah hujan per tahun ialah berkisar antara 2000-2700 mm/tahun (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Kondisi tersebut masih memenuhi kenyamanan kerbau belang karena suhu optimum untuk kerbau berkisar antara 15-25 o
C dengan kelembaban 60-70% (Yurleni, 2000) dan curah hujan 500-2000 mm/tahun
(Joseph, 1996). Wajar jika pertumbuhan Kerbau Belang di Sanggalangi dinilai baik.
32