BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Transportasi Makro Perencanaan sistem transportasi pada dasarnya memperkirakan kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi makro terdapat 4 (empat) subsistem transportasi mikro yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Adapun keempat subsistem tersebut adalah: 1. Sistem kegiatan atau permintaan transportasi ( transport demand ) 2. Sistem jaringan atau sarana dan prasarana transportasi ( transport supply) 3. Sistem pergerakan lalu lintas ( traffic flow ) 4. Sistem kelembagaan atau institusi ( institutional framework )
Sistem Kegiatan/Kebutuhan Transportasi (demand)
Sistem Jaringan Penyedia Transportasi (supply)
Gambar 2.1 Keterkaitan Antar Subsistem Transportasi (Tamin, 2000) 2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi ( Transport Demand ) Sistem kegiatan terkait dengan tata guna lahan yang meliputi permukiman, pusat pendidikan, perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Masing-masing tata guna lahan tersebut, akan menghasilkan pola kegiatan berupa pergerakan orang
4
maupun barang. Besarnya pergerakan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kegiatan. Adapun model pergerakan yang dimaksud adalah : a. Bangkitan Pergerakan ( Trip Generation ) Bangkitan pergerakan adalah banyaknya kendaraan atau orang yang bepergian, yang timbul oleh suatu zone atau per satuan waktu. Jumlah lalu lintas tergantung pada kegiatan kota, karena penyebab lalu lintas ialah addanya kebutuhan manusia untuk melakukan kegiatan berhubungan dan menyangkut barang kebutuhannya. Setiap perjalanan pasti mempunyai asal yaitu zone yang menghasilkan pelakunya, dan tujuan, yaitu zone yang menarik pelaku perjalanan itu. Secara sederhana dapat dianggap bahwa pergerakan pada umumnya diawali dari tempat tinggal dan diakhiri di tempat tujuan. Pemodelan bangkitan pergerakan digunakan untuk memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan maupun jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Hasil dari perhitungan bangkitan dan tarikan pergerakan berupa jumlah kendaraan/jam. Sehingga dapat dihitung pula jumlah orang atau kendaraan yang keluar atau masuk dari suatu tempat. Dari kegiatan tertentu dalam suatu hari untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan tertentu. Bangkitan dan tarikan pergerakan dapat digambarkan pada Gambar 2.1
O
D
a. Trip Production
b. Trip Attraction
Gambar 2.2 Bangkitan Pergerakan
5
b. Distribusi Perjalanan ( Trip Distribution ) Distribusi perjalanan terjadi karena suatu tata guna lahan tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduknya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pemisah jarak yang dapat menimbulkan hambatan perjalanan (trip impedance) berupa nilai jarak, biaya dan waktu. c. Pemilihan Moda (Mode Choice) Pemilihan moda dipengaruhi oleh tingkat pelayanan angkutan umum yang meliputi : tarif, rute, kenyamanan, keamanan dan sebagainya. d. Pemilihan Rute Perjalanan ( Traffic Assignment / Route Choice ) Merupakan model yang menggambarkan dasar pemilihan rute dari daerah asal ke tujuan. Pemilihan rute dipengaruhi oleh tingkat pelayanan ruas-ruas jalan pada rute yang dilalui dan biaya operasional kendaraan yang dikeluarkan.
2.1.2 Sistem Jaringan Transportasi (Transport Supply ) Pergerakan manusia atau barang memerlukan sarana dan prasarana transportasi. Perangkat keras (hardware) sebagai sarana transportasi yang diperlukan adalah jaringan jalan yang telah ditetapkan pada masing – masing ruas jalan antara lain; bahu jalan, lebar jalan, tempat parkir, trotoar, tempat penyeberangan, halte dan terminal angkutan umum. Sementara itu, perangkat lunak (software) sebagai prasarana yang diperlukan adalah undang-undang dan peraturan lalu lintas yang terkait dengan lalu lintas. Keberadaan sarana transportasi didukung oleh adanya moda transportasi berupa kendaraan roda dua, roda empat, bus dan armada angkutan umum. Perangkat penunjang lainnya adalah median, lampu lalu lintas, marka serta rambu jalan.
2.1.3 Sistem Pergerakan Lalu Lintas ( Traffic Flow ) Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan pergerakan. Pergerakan tersebut dapat berupa pergerakan manusia maupun barang dalam bentuk pergerakan pejalan kaki maupun kendaraan, Sistem pergerakan
6
mempengaruhi sistem kegiatan dan jaringan yang ada dalam bentuk aksesbilitas dan mobilitas.
2.1.4 Sistem Kelembagaan atau Institusi ( Institutional Framework ) Sistem kelembagaan merupakan sistem yang dapat meningkatkan keterkaitan antar masing-masing subsistem pada transportasi makro. Di Indonesia, sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai berikut : - Sistem
kegiatan
ditangani
oleh
Badan
Perencanaan
Nasional
(BAPPENAS), - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Pemerintah Daerah (PEMDA) - Sistem jaringan ditangani oleh Departemen Perhubungan (darat, laut dan udara) dan Bina Marga. - Polisi Lalu Lintas (POLANTAS) dan Organisasi Angkutan Daerah (ORGANDA) Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan pergerakan manusia ataupun barang. Pada sistem kegiatan atau sistem kebutuhan transportasi, perubahan tata guna lahan dapat menimbulkan terjadinya bangkitan pergerakan. Pada sistem penyedia transportasi, ketersediaan fasilitas transportasi berupa jaringan jalan dan sarana angkutannya sangat menentukan kapasitas pelayanan jalan. Sistem pergerakan dapat menyebabkan adanya interaksi antara penyedia transportasi dengan kebutuhan transportasi berupa rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan. Adanya peningkatan rasio tersebut akan mempengaruhi tingkat pengguna jalan. Hal ini, akan menimbulkan adanya evaluasi dari pengguna jalan untuk mencari alternatif rute. Sistem kegiatan, sistem jaringan dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan pergerakan.
7
2.2 Kondisi Geometrik dan Kondisi Lapangan 1. Kondisi Geometrik Adapun beberapa hal yang terkait dengan kondisi geometrik jalan adalah sebagai berikut :
Median jalan merupakan daerah yang memisahkan arus lalu lintas pada suatu segmen jalan
Lebar jalur yaitu lebar jalur jalan yang dilewati arus lalu lintas dan tidak termasuk bahu
Lebar jalur efektif adalah lebar rata-rata yang tersedia pada pergerakan lalu lintas setelah dikurangi parkir tepi jalan sementara yang menghalangi jalan
Lebar bahu merupakan lebar bahu di sisi jalur jalan yang disediakan untuk kendaraan berhenti sementara, pejalan kaki dan kendaraan yang bergerak lambat
Lebar bahu efektif merupakan lebar bahu yang tersedia setelah dikurangi oleh adanya penghalang ( pohon, toko dan bangunan penghalang lainnya )
Trotoar adalah bagian jalan yang disediakan untuk pejalan kaki
Panjang jalan adalah panjang segmen jalan yang diamati sebagai daerah studi
Jalur gerak yaitu bagian jalan yang direncanakan khusus untuk kendaraan bemotor yang membebani jalan tersebut
Tipe jalan yaitu potongan melintang jalan ditentukan oleh adanya jumlah lajur dan arah pada suatu segmen jalan. Adapun jenis – jenis jalan meliputi : b.
Jalan dua lajur satu arah ( 2/1 )
c.
Jalan dua lajur dua arah tak terbagi ( 2/2 UD )
d.
Jalan empat lajur dua arah tak terbagi ( 4/2 UD )
e.
Jalan empat lajur dua arah terbagi ( 4/2 D )
f.
Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D)
Jumlah lajur ditentukan dari marka lajur atau dari lebar efektif jalur (We) untuk segmen jalan. Jumlah lajur suatu jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
8
Tabel 2.1 Jumlah lajur Lebar jalur efektif ( m ) 5 – 10,5
Jumlah lajur
10,5 - 16
4
2
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2. Kondisi lingkungan - Ukuran kota merupakan jumlah penduduk yang berada di dalam kota yang dinyatakan dalam satuan juta jiwa, dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kelas ukuran kota Ukuran kota ( juta jiwa ) < 0,1
Kelas Ukuran Kota (City Size) Sangat kecil
0,1-0,5
Kecil
0,5-1,0
Sedang
1,0 – 3,0
Besar
> 3,0
Sangat besar
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
- Hambatan samping adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan lalu lintas pinggir jalan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hambatan samping adalah :
Jumlah kendaraan yang berhenti dan parkir (bobot = 1,0 )
Jumlah kendaraan bermotor yang yang keluar dan masuk ke/dari lahan samping dan jalan sisi (bobot = 0,7 )
Jumlah pejalan yang berjalan dan menyeberang sepanjang segmen jalan (bobot = 0,5 )
Arus kendaraan yang bergerak lambat, seperti ; becak, delman, sepeda dan kendaraan lainnya (bobot = 0,4 )
Untuk mendapatkan jumlah berbobot kejadian, dilakukan dengan mengalikan masing-masingtipe kejadian dengan masing-masing faktor berbobotnya, kemudian jumlahkansemua tipe kejadian berbobot untuk mendapatkan jumlah berbobot kejadian.
9
2.3 Kinerja Ruas Jalan Perkotaan Kinerja merupakan suatu ukuran kuantitatif mengenai kondisi operasional dari fasilitas lalu lintas. Adapun beberapa parameter yang digunakan dalam menentukan kinerja ruas jalan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas Arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan per satuan waktu yang dinyatakan dalam smp/jam, kend/jam, LHRT (Laju Harian Rata-rata Tahunan). Nilai arus menentukan komposisi lalu lintas dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang untuk beberapa kendaraan sebagai berikut : - Kendaraan ringan (Light Vehicle) meliputi ; mobil penumpang, minibus, pick-up dan jeep - Kendaraan berat (Heavy Vehicle) meliputi ; truk besar dan bus - Sepeda motor (Motorcycle) Nilai ekivalen mobil penumpang (emp) ditampilkan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Nilai ekivalen mobil penumpang (emp) emp Arus lalu lintas total dua arah (kend/jam)
HV
Dua-lajur-tak terbagi (2/2 UD)
0 ≥1800
1,3 1,2
Empat-lajurtak-terbagi (4/2)
0 ≥3700
1,3 1,2
Tipe jalan :
MC Lebar jalur lalu lintas Wc (m) ≤6 ≥6 0,5 0,35
0,40 0,25 0,40 0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
10
2.3.2 Kapasitas Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat melintas dengan stabil pada suatu potongan melintang jalan pada kondisi tertentu. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), besarnya kapasitas jalan dapat dihitung dengan rumus : C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS.................................(2.1) Keterangan : C
= kapasitas sesungguhnya (smp/jam)
CO = kapasitas dasar (smp/jam) FCW = faktor penyesuaian lebar jalan FCSP = faktor penyesuaian pemisah arah FCSF = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kreb FCCS= faktor penyesuaian ukuran kota Jika kejadian dilapangan menyerupai kondisi ideal, maka semua faktor penyesuaian dianggap sama dengan satu sehingga kapasitas yang sesungguhnya menjadi sama dengan kapasitas dasar. a. Kapasitas dasar Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kasus dasar (ideal) tertentu, maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 sehingga besarnya kapasitas sama dengan kapasitas dasar. Nilai kapasitas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Kapasitas dasar ( C0 ) untuk jalan perkotaan Tipe jalan
Kapasitas dasar (smp/jam)
Keterangan
Empat lajur terbagi/ jalan satu arah
1650
Per lajur
Empat lajur tak terbagi
1500
Per lajur
Dua lajur tak terbagi
2900
Total dua arah
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
b. Faktor penyesuaian lebar jalan (FCW ) Kapasitas juga dipengaruhi oleh lebar jalur lalu lintas yang dinyatakan dengan faktor penyesuaian lebar jalan (FCW ) dapat dilihat pada Tabel 2.5.
11
Tabel 2.5 Faktor penyesuaian lebar jalan ( FCW) Tipe jalan
Empat lajur terbagi/jalan satu arah
Lebar jalan lalu lintas Efektif (m) Per lajur 3,0 3,25 3,50 3,75 4,00
Nilai FCW
0,92 0,96 1,00 1,04 1,08
Per lajur Empat lajur tak terbagi
Dua lajur tak terbagi
3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 Total dua arah 5 6 7 8 9 10 11
0,91 0,95 1,00 1,05 1,09 0,56 0,87 1,00 1,14 1,25 1,29 1,34
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
c. Faktor penyesuaian pemisah arah ( FCSP) Untuk faktor penyesuaian kapasitas pemisah kapasitas arah (FCSP) dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel ini hanya memberikan nilai untuk jalan dua-lajur dua-arah (2/2) dan empat-lajur dua-arah (4/2) tak terbagi. Sedangkan untuk jalan terbagi dan satu arah faktor penyesuaian arah bernilai 1,0. Tabel 2.6 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCSP) Pemisah arah SP%-% 50-50 60-40 70-30 80-20 Dua-lajur FCSP 1,00 0,94 0,88 0,82 2/2 Empat-lajur 1,00 0,97 0,94 0,91 4/2
90-10
100-0
0,76
0,70
0,88
0,85
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
d. Faktor penyesuaian hambatan samping Faktor hambatan samping disebabkan karena adanya aktivitas di pinggir jalan. Nilai faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibedakan berdasarkan jalan dengan bahu jalan dengan kreb.
12
Tabel 2.7 Faktor penyesesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCSF) pada jalan perkotaan Faktor penyesuaian hambatan Tipe jalan Kelas hambatan samping samping dan lebar bahu (FCSF) Lebar bahu (WS) ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 0,96
0,98
1,01
1,03
Rendah
0,94
0,97
1,00
1,02
Sedang
0,92
0,95
0,98
1,00
Tinggi
0,88
0,92
0,95
0,98
Sangat tinggi
0,84
0,88
0,92
0,96
Sangat rendah
0,96
0,99
1,01
1,03
Rendah
0,94
0,97
1,00
1,02
0,92
0,95
0,98
1,00
0,87
0,91
0,94
0,98
0,80
0,86
0,90
0,95
0,94
0,96
0,99
1,01
0,92
0,94
0,97
1,00
0,89
0,92
0,95
0,98
0,82
0,86
0,90
0,95
0,73
0,79
0,85
0,91
Sangat rendah
4/2 D
4/2 UD
Sedang Tinggi Sangat tinggi Sangat rendah
2/2 UD
Rendah
atau
Sedang
jalan
Tinggi
satu arah
Sangat tinggi
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
13
Tabel 2.8 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kereb penghalang (FCsF) pada jalan perkotaan Faktor penyesuaian untuk hambatan samping Tipe Jalan
4/2 D
4/2 UD
2/2 UD atau jalan satu arah
Kelas
dan jarak kereb-penghalang ( FCSF)
hambatan sampaing
Jarak kereb (WK) ≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
Sangat rendah
0,95
0,97
0,99
1,01
Rendah
0,94
0,96
0,98
1,00
Sedang
0,91
0,93
0,95
0,98
Tinggi
0,86
0,89
0,92
0,95
Sangat tinggi
0,81
0,85
0,88
0,92
Sangat rendah
0,95
0,97
0,99
1,01
Rendah
0,93
0,95
0,97
1,00
Sedang
0,90
0,92
0,95
0,97
Tinggi
0,84
0,87
0,90
0,93
Sangat tinggi
0,77
0,81
0,85
0,90
Sangat rendah
0,93
0,95
0,97
0,99
Rendah
0,90
0,92
0,95
0,97
Sedang
0,86
0,88
0,91
0,94
Tinggi
0,78
0,81
0,84
0,88
Sangat tinggi
0,68
0,72
0,77
0,82
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
14
Kelas hambatan sampingan pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.9 Tabel 2.9 Kelas hambatan sampingan pada jalan perkotaan Kelas hambatan Besarnya kejadian Kode
Sampingan
per 200m/jam
( SFC)
( dua sisi)
Kondisi khusus
Daerah permungkinan, VL
Sangat rendah
< 100
jalan dengan jalan samping Daerah permukiman;
L
Rendah
100-299
beberapa kendaraan umum dsb Daerah industri;
M
Sedang
300-499
beberapa toko di sisi jalan Daerah komersil,
H
Tinggi
500-899
aktivitas sisi jalan tinggi Daerah komersil
VH
Sangat tinggi
>900
dengan aktivitas pasar di pinggir jalan
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Sedangkan untuk nilai faktor berbobot untuk tipe hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tabel 2.10 Faktor berbobot tipe hambatan samping Tipe kejadian hambatan sampingan
Symbol
Bobot
Pejalan kaki yang berjalan dan menyebrang
PED
0,5
Kendaraan lambat
SMV
0,4
Kendaraan masuk dan keluar ke/dari lahan samping
EEV
0,7
Parkir dan kendaraan berhenti
PSV
1,0
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
15
e. Faktor penyesuaian ukuran kota Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota FCCS dapat dilihat pada Tabel 2.11. Tabel 2.11 Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kapasitas jalan perkotaan Ukuran kota FCcs ( Juta penduduk) <0,1
0,86
0,1-0,5
0,90
0,5-1,0
0,94
1,0-3,0
1,00
>3
1,04
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
2.3.3 Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) adalah rasio volume kendaraan terhadap kapasitas yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan prilaku lalu lintas pada suatu ruas jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak Persamaan derajat kejenuhan adalah DS=Q/C………………………………………………………(2.2)
Keterangan: DS : derajat kejenuhan Q
: Arus lalu Lintas (smp/jam)
C
: Kapasitas (smp/jam)
2.3.4 Kecepatan Kecepatan menentukan jarak ditempuh oleh pengemudi dalam waktu tertentu. Jadi kecepatan merupakan rasio jarak yang ditempuh per satuan waktu. Persamaan umum derajat kecepatan V=L/TT…………………………………………………….. (2.3)
16
Keterangan: V
: kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam)
L
: panjang segmen (km)
TT
: waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam)
Gambar 2.3 Grafik Hubungan antara Kecepatan Dengan Derajat Kejenuhan Klasifikasi utama dalam analisis kecepatan adalah: -
kecepatan sesaat (spot speed) adalah kecepatan sesaat kendaraan pada lokasi jalan tertentu.
-
kecepatan rata-rata ruang (space mean speed) adalah kecepatan rata-rata kendaraan pada lokasi jalan tertentu.
-
kecepatan rata-rata waktu (time mean speed) adalah distribusi kecepatan kendaraan pada suatu titik pengamatan dijalan.
-
kecepatan jalan (running speed) adalah hasil pembagian jarak yang di tempuh selama kendaraan dalam keadaan bergerak
-
kecepataan perjalanan (journey speed) adalah kecepatan efektif kendaraan menempuh rute tertentu.
17
Dalam pelaksanaan survei ini yang dicatat hanya kendaraan ringan sesuai jumlah sampel yang dibutuhkan. Oleh karena itu perlu dilakukan sampel data pilot survei pada lokasi studi.Besarnya sampel yang dibutuhkan dapat ditentukan sebagai berikut (Dajan,1986) 1. Melakukan survei pendahuluan 2. Berdasarkan besaran parameter data tersebut, dihitung _
Nilai rata-rata sampel (mean) X
Standar deviasi (sd) =
Xi
( Xi X )
n 2
n 1
Keterangan: = nilai rata- rata; Xi = nilai sampel ke I; n = jumlah sampel awal 3. Ketelitian 95% = 5% Z /2 = 1.96 (dari tabel distribusi normal) 4. Pada tingkat ketelitian 95% maka basaran
Acceptable sampling error (Se) = 5% dari sample mean
Acceptable standard error Se(x) = Se / 1,96
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka besarnya jumlah sampel yang representatif dihitung dengan persamaan:
n' n
sd 2
Se(X )2
…………………………………………………………(2.4)
n' n' 1 N
Dimana :
n'
= Jumlah sampel representatif untuk populasi tak hingga
n
= Jumlah sampel representatif untuk populasi yang hingga
N
= Jumlah populasi
Se(X )2 Sd
= Acceptable standard error dikuadratkan = Standar deviasi
18
Langkah-langkah perhitungan statistik diuraikan sebagai berikut : 1. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi salah satu variabel dari sampel pendahulunya. 2. Menghitung variannya. 3. Menghitung besarnya acceptable sampling error. 4. Menghitung besarnya acceptable standard error. 5. Menghitung besarnya n ( jumlah sampel representatif ).
Pada analisis kecepatan kendaraan, diperlukan data pilot survei yang besarnya ditentukan dengan persamaan n '
sd 2
Se(X )2
. Oleh sebab itu terlebih dahulu
dilakukan survei pendahuluan untuk menentukan besar jumlah sampel yang diperlukan pada daerah studi dengan spesifikasi ketelitian 95 %.
a. Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi kendaraan bermotor lain dijalan. Kecepataan arus bebas untuk kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria. Dasar dalam menentukan kinerja segmen jalan pada arus yang sama dengan nol. Persamaan umum untuk kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut: FV=(FV0+FVW)x FFVSF x FFVCS…………………………….. (2.5)
Keterangan : FV
: kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam)
FV0
: kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/Jam)
FVW
: penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif
FFVSF : faktor penyesuaian kondisi hambatan samping FFVCS : faktor penyesuaian ukuran kota
19
- Kecepatan arus bebas dasar (FV0) Untuk nilai kecepatan arus bebas dapat dilihat pada Tabel 2.12. Tabel 2.12 Kecepatan arus bebas dasar (FV0) Kecepatan arus bebas dasar (km/jam)
Tipe jalan
Kendaraan
Kendaraan
Sepeda
Semua
ringan
berat
Motor
kendaraan
(LV)
(HV)
(MC)
(rata-rata)
61
52
48
57
57
50
47
55
53
46
43
51
44
40
40
Enam lajur terbagi (6/2 D) atau tiga lajur satu arah (3/1) Empat
lajur
terbagi
(4/2D) atau dua lajur satu arah (2/1) Empat lajur tak terbagi (4/2 UD) Dua lajur tak terbagi (2/2UD)
42
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
-
Penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (FVW) Penyesuaian lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar jalur lalu lintas efektif (We), dapat dilihat pada Tabel 2.13. Pada jalan selain 2/2 UD pertambahan dan pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan selisih terhadap lebar lajur standar (3,5 meter), sedangkan pada jalan 2/2 UD untuk nilai We (2 arah) kurang dari 6 meter.
20
Tabel 2.13 Penyesuaian pengaruh lebar jalur lalu litas (FVw) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan Lebar jalus lalu lintas Tipe jalan
efektif (We) (Meter) Perlajur 3,00
Empat lajur terbagi
3,25
atau jalan satu arah
3,50 3,75 4,00 Perlajur 3,00
Empat lajur tak
3,25
terbagi
3,50 3,75 4,00 Total dua arah 5 6
Dua lajur tak terbagi
7 8 9 10 11
FVW (km/jam)
-4 -2 0 2 4
-4 -2 0 2 4
-9,5 -3 0 3 4 6 7
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
-
Faktor penyesuaian hambatan samping (FFVSF) Faktor penyesuaian hambatan samping (FFVSF) ditentukan berdasarkan jenis jalan, kelas hambatan samping, lebar bahu( jarak kereb ke penghalang) efektif. Faktor penyesuaian akibat pengaruh hambatan samping dan lebar bahu pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan apada jalan perkotaan terutama dengan bahu dapat dilihat pada Tabel 2.14
21
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian pengaruh hambatan sampingan dan lebar bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan Faktor penyesuaian untuk hambatan
Tipe
Kelas hambatan
samping dan lebar bahu
jalan
samping (SFC)
Lebar efektif rata-rata WS (m)
Empat lajur terbagi (4/2 D)
≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
Sangat rendah
1,02
1,03
1,03
1,04
Rendah
0,98
1,00
1,02
1,03
Sedang
0,94
0,97
1,00
1,02
Tinggi
0,89
0,93
0,96
0,99
Sangat tinggi
0,84
0,88
0,92
0,96
1,03
1,03
1,04
1,00
1,02
1,03
0,96
0,99
1,02
0,91
0,94
0,98
0,86
0,90
0,95
Empat lajur tak terbagi (4/2
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
1,02 0,98 0,93 0,87 0,80
UD) Dua lajur tak terbagi (2/2
Sangat rendah
1,00
1,01
1,01
1,01
Rendah
0,96
0,98
0,99
1,00
Sedang
0,90
0,93
0,96
0,99
Tinggi
0,82
0,86
0,90
0,95
Sangat tinggi
0,73
0,76
0,85
0,91
UD) Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
22
Table 2.15 Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan jarak kereb penghalang (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan Faktor penyesuaian untuk hambatan Kelas Tipe jalan
samping dan jarak kereb penghalang
hambatan samping (SFC)
Lebar efektif rata-rata Wk (m) ≤ 0,5
1,0
1,5
≥ 2,0
Sangat rendah
1,00
1,01
1,01
1,04
Empat lajur
Rendah
0,97
0,98
0,99
1,00
terbagi (4/2
Sedang
0,93
0,95
0,97
0,99
D)
Tinggi
0,87
0,90
0,93
0,96
Sangat tinggi
0,81
0,85
0,88
0,92
1,01
1,01
1,02
0,98
0,99
1,00
0,93
0,96
0,98
0,87
0,90
0,94
0,81
0,85
0,90
0,99
1,00
0,96
0,98
0,92
0,95
0,84
0,88
0,77
0,82
Sangat rendah Empat lajur
Rendah
tak terbagi
Sedang
(4/2 UD)
Tinggi Sangat tinggi
1,00 0,96 0,91 0,84 0,77
Sangat rendah
0,98
Dua lajur
Rendah
0,93
tak terbagi
Sedang
0,87
(2/2 UD)
Tinggi
0,78
Sangat tinggi
0,68
0,99 0,95 0,89 0,81 0,72
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
-
Faktor penyesuaian ukuran kota ( FFVCS) Manual kapasitas jalan Indonesia 1997 menyarankan reduksi terhadap kecepatan arus bebas dasar dari kota perpenduduk kurang dari 1 juta jiwa dan kenaikan terhadap kecepatan arus bebas dasar bagi kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa. Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota pada kapasitas jalan perkotaan dapat dilihat Tabel 2.16.
23
Table 2.16 Faktor penyesuaian untuk pengaruhi ukuran kota pada kapasitas jalan perkotaan Ukuran kota ( juta penduduk) < 0,1 0,1-0,5 0,5-1,0 1,0-3,0 >3
FFVCS 0.90 0.93 0.95 1.00 1.03
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
b. Hubungan antara Kecepatan dengan Arus Prinsip dasar analisis kapasitas jalan adalah kecepatan akan berkurang jika arus bertambah. Pengurangan kecepaan akibat penambahan arus adalah kecil pada arus yang lebih tinggi. Pada posisi di dekat kapasitas, pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar. Hubungan ini di tentukan secara kuantitatif pada kondisi standar memiliki kualifikasi dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika karakteristik jalan lebih baik dari kondisi standar (misalnya lebar jalur lebih lebar dari jalur normal), kapasitas menjadi lebih tinggi dan kurva bergeser ke sebelah kanan sehingga kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu atau sebaliknya.
Gambar 2.4 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus
24
Gambar 2.5 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus pada Kondisi Standar dan Non Standar
2.4 Tingkat Pelayanan Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut (Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari 6 (enam) tingkat. Tingkat-tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat pelayanan paling rendah. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, antara lain: volume, kapasitas, dan kecepatan.
25
Tabel 2.17 Hubungan Q/C ratio dengan tingkat pelayanan jalan perkotaan Tingkat Pelayanan
Q/C Ratio
(Level of service ) A
0,00 – 0,19
B
0,20 – 0,44
C
0,45 – 0,74
D
0,75 – 0 84
E
0,85 – 1,00
F Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (1997)
Penjelasan singkat mengenai tingkat pelayanan jalan adalah sebagai berikut : 1. Tingkat Pelayanan A Kondisi arus lalu lintasnya bebas antara satu kendaraan dengan kendaraan lainnya, besarnya kecepatan sepenuhnya ditentukan oleh keinginan pengemudi dan sesuai dengan batasan kecepatan yang telah ditentukan. 2. Tingkat Pelayanan B Kondisi arus lalu lintasnya stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kendaraan lainnya dan mulai dirasakan hambatan oleh kendaraan disekitarnya. 3. Tingkat Pelayanan C Kondisi arus lalu lintas masih dalam batas stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi dan hambatan dari kendaraan lain semakin besar. 4. Tingkat Pelayanan D Kondisi arus lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan yang timbul, dan kebebasan bergerak relatif kecil. 5. Tingkat Pelayanan E Volume lalu lintas sudah mendekati kapasitas ruas jalan, kecepatan kira-kira lebih rendah dari 40 km/jam, pergerakan lalu lintas kadang lambat.
26
6. Tingkat Pelayanan F Pada tingkat pelayanan ini arus lalu lintas berdad dalam keadaan dipaksakan, kecepatan relatif rendah, arus lalu lintas sering terhenti sehingga menimbulkan antrian kendaraan yang panjang.
Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.6 Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas yang dibandingkan dengan kecepatan operasi Sumber: Tamin (2000)
27