TINJAUAN PUSTAKA Susu Susu adalah sekresi kelenjar ambing dari hewan mammalia tidak ditambah atau dikurangi suatu zat apa pun ke dalamnya dan diperoleh dari pemerahan ternak yang sehat (Sudono, 1985). Pada umumnya susu terdiri atas tiga komponen utama, yaitu protein, lemak dan laktosa (Schmidt et al. 1988) ditambah air, vitamin dan mineral (Sudono, 1985). Sekresi susu terjadi selama masa laktasi yaitu selang antara masa beranak dan masa kering selama sepuluh bulan (Phillips 2002; Tyler dan Ensminger 1993). Setelah melahirkan, selama lima hari pertama sapi akan menghasilkan kolostrum. Pada awal laktasi produksi susu terus meningkat dengan cepat dan puncak produksi akan dicapai pada hari ke 30 sampai 60 (De Ross et al. 2004). Setelah puncak produksi dicapai selanjutnya produksi susu cenderung menurun sampai masa kering. Kemampuan untuk mempertahankan puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan menyebabkan seekor sapi memiliki total produksi yang tinggi (Phillips 2002; Tyler dan Ensminger 2006). Gambar 2 memperlihatkan variasi produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda.
Persistensi tinggi Persistensi sedang Persistensi
Gambar 2. Produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda (Tyler dan Ensminger 2006)
Sapi perah yang selama masa laktasinya mempunyai produksi susu yang rendah, puncak produksi dicapai lebih awal dan penurunan produksinya lebih cepat daripada sapi yang selama masa laktasinya mempunyai produksi susu yang tinggi ( Mukhtar 2006). Bertujuan untuk meningkatkan produksi susu selama laktasi, seleksi dilakukan selain dengan memilih sapi-sapi yang mempunyai produksi susu tertinggi juga mempunyai persistensi yang bagus (Mukhtar 2006). Komposisi Susu Komposisi susu terdiri atas: protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air. Komponen penyusun susu masing-masing individu sangat bervariasi tergantung spesies hewan (Boland 2000, Phillips 2002, Schmidt et al. 1988). Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh spesies, bangsa, kondisi kesehatan, kondisi nutrisi, tingkat laktasi dan umur yang berbeda (Fox 2003; Fox dan Mc Sweeney 1998; Wong et al. 1988). Protein. Protein dalam susu terdiri atas kasein dan whey. Kasein terdiri atas empat jenis polipeptida, yaitu αs1-, β-, αs2- dan κ-kasein (Eigel, et al. 1984; Wong et al. 1988). Whey terdiri atas β-1aktoglobulin, α-laktalbumin, serum albumin, glikomakropeptida dan protein antimikrobia yang berupa laktoferin, laktoperoksidase dan lisozim (Edwards 2009; Eigel, et al. 1984; Wong et al. 1988). Kandungan protein susu relatif tetap selama laktasi. Protein susu yang berupa kasein, β1actoglobulin dan α-laktalbumin disintesis di dalam kelenjar ambing yang dikontrol oleh gen, sedangkan sisanya (5%) di absorbsi dari darah (Fox 1989; Fox 2003; Tyler dan Ensminger 2006). Lemak. Lemak terdiri atas trigliserida, asam lemak tidak jenuh, fosfolipida, sterol, vitamin A, vitamin D, vitamin E dan vitamin K (Mac Gibbon dan Taylor 2006). Kandungan lemak dalam susu bervariasi antara 3 sampai 6%. Lemak susu terdispersi dalam bentuk globula yang membentuk emulsi antara lemak dengan air (Fox 2003; Mac Gibbon dan Taylor 2006). Sebagian lemak susu disintesis di dalam kelenjar ambing, yaitu 50% berasal dari asam lemak rantai pendek (C4-C14) berupa asetat dan beta hidroksi butirat yang dihasilkan oleh fermentasi selulosa di dalam rumen, sebagian lagi berasal dari asam lemak rantai panjang (C16-C18) dari makanan
dan cadangan lemak tubuh (Palmquist 2006; Tyler dan Ensminger 1993). Sumber pembentukan lemak susu ada tiga yaitu glukosa, triasilgliserol dari bahan makanan atau yang dibentuk oleh bakteri rumen dan asam lemak yang disintesis oleh kelenjar ambing (Tyler dan Ensminger 1993). Karbohidrat. Menurut Huppertz dan Kelly (2009), Fox (2003) dan Wong et al. (1988) karbohidrat utama dari susu adalah laktosa yang terdapat dalam bentuk alfa dan beta. Laktosa terlarut didalam susu sehingga mempengaruhi stabilitas titik beku, titik didih dan tekanan osmosis dari susu. Kadar laktosa dalam susu adalah 4.85.1% (Huppertz dan Kelly 2009; Phillips 2001; Tyler dan Ensminger 1993). Kadar laktosa relatif tetap, namun produksi laktosa meningkat sejalan dengan peningkatan produksi susu. Fluktuasi kadar laktosa terjadi sesuai dengan dinamika produksi susu selama laktasi (Phillips 2001). Mineral dan vitamin. Mineral utama yang terdapat dalam susu adalah kalsium, fosfor, potasium, magnesium dan sodium. Hanya 25% kalsium, 20% magnesium dan 44% fosfor terdapat dalam bentuk yang tidak larut, sedangkan mineral-mineral lainnya semuanya dalam bentuk larut. Kalsium dan magnesium dalam bentuk yang tidak larut bersenyawa dengan kaseinat, fosfat dan sitrat. Hal inilah yang memungkinkan air susu dapat mengandung kalsium dalam konsentrasi yang besar serta pada saat yang sama dapat mempertahankan tekanan osmosis secara normal dengan darah. Kemampuan bekerja sebagai bufer dari susu disebabkan oleh adanya sitrat, fosfat, bikarbonat dan protein (Fox 2003; Walstra et al. 2006 ). Vitamin yang terdapat dalam susu adalah vitamin A, B2 dan B12. Vitamin dalam susu diserap dari darah secara langsung sehingga peningkatan status vitamin dalam darah akan mempengaruhi konsentrasi vitamin dalam susu. Vitamin A terlarut dalam lemak sehingga kadar vitamin A dalam darah dipengaruhi oleh kadar lemak susu (Phillips 2001; Tyler dan Ensminger 1993). Air. Air yang terkandung didalam susu bervariasi antara 32-89%, dengan kandungan rata-rata 87%. Air berguna sebagai medium dispersi untuk total solid. Naik atau turunnya bahan padat total akan mengubah persentase air (Boland 2000; Fox 2003). Perubahan komposisi susu selama laktasi mencerminkan perubahan kualitas susu, keseimbangan energi dan tingkat konsumsi pakan. Pada minggu-minggu awal
laktasi, kadar lemak akan menurun secara cepat seiring peningkatan produksi susu. Setelah minggu keempat kadar lemak akan meningkat dengan perlahan. Penurunan kadar protein terjadi pada 12 minggu pertama laktasi, kemudian akan meningkat sampai masa laktasi berakhir. Kadar laktosa meningkat ketika susu mulai diproduksi menggantikan kolostrum, sepanjang masa laktasi konsentrasi laktosa dalam susu cenderung stabil. Penurunan laktosa dalam susu terjadi pada akhir masa laktasi ketika dilakukan pembatasan pakan. Hubungan antara konsentrasi protein, lemak dan laktosa dalam susu selama masa laktasi dapat dilihat pada Gambar 3. Konsentras i (g/kg) Laktos Protein Lemak
Laktasi
minggu
Gambar 3. Konsentrasi protein, lemak dan laktosa dalam susu selama masa laktasi (Phillips 2001) Protein Susu Susu sapi umumnya mengandung 3.5% protein dengan pembagian sekitar 80% untuk kasein dan 20% untuk whey (Farrell et al. 2004; Roginski 2003). Kasein didefinisikan sebagai fosfoprotein dari susu skim mentah presipitasi oleh pengasaman pada pH 4,6 dengan suhu
yang mengalami
20oC, sedangkan whey
merupakan fraksi yang tidak mengalami presipitasi oleh pengasaman pada pH 4,6 dengan suhu 20oC (Eigel et al. 1984).
Kasein terdiri atas empat jenis polipeptida, yaitu αs1- kasein (39–46% dari total kasein), β-kasein (25–35% dari total kasein), αs2-kasein (8–11% dari total kasein) dan κ-kasein (8–15% dari total kasein) (Eigel et al. 1984; Roginski 2003). Whey terdiri atas β-1aktoglobulin, α-laktalbumin, serum albumin, glikomakropeptida dan protein antimikrobia yang berupa immunoglobulin, laktoferin, laktoperoksidase dan lisozim (Adlerova 2009; de Wit 1998; Eigel et al. 1984; Wong et al. 1988). Kasein merupakan protein utama dalam susu dan termasuk dalam keluarga dari fosfoprotein yang disintesis oleh kelenjar ambing. Sintesis protein tersebut merupakan respon dari hormon laktogenik dan disekresikan dalam bentuk butiran (Farrell et al. 2004). Kasein dibedakan berdasarkan kecepatan perambatan pada elektroforesis menggunakan gel poliakrilamida atau gel starch alkali yang mengandung urea dengan atau tanpa mercaptoethanol (Eigel et al. 1984). Kasein telah banyak diidentifikasi pada tingkat protein dan memiliki perbedaan pada tingkat individu (Ng-Kwai-Hang 1998). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan susunan beberapa asam amino penyusun protein.
Perubahan
beberapa asam amino akan dapat merubah penampilan susu secara fisik dan kimia, tapi kemungkinan ini tidak berpengaruh terhadap perbedaan jumlah protein dalam susu (Lien et al. 1995; Ng-Kwai-Hang 1998). Karakteristik protein pada susu sapi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik protein susu sapi Protein
Berat Molekul (kD)
Konsentrasi % terhadap total Jumlah Asam dalam Susu (g/l) protein Amino Kasein 26.0 79.5 αS1-kasein 23.6 10.0 30.6 199 αS2-kasein 25.2 2.6 8.0 207 β-kasein 24.0 9.3 28.4 209 κ-kasein 19.0 3.3 10.1 169 Whey 6.3 19.3 β-laktoglobulin 18.3 3.2 9.8 162 α-laktalbumin 14.2 1.2 3.7 123 Serum albumin 66.3 0.4 1.2 582 Imunoglobulin 25-70 0.7 2.1 Laktoferin 80.0 0.2 0.6 700 Laktoperoksidase 70.0 0.03 612 Glikomakropeptida 6.7 1.2 64 Sumber: de Wit 1998, Eigel et al. 1984, Farrell et al. 2004 dan Korhonen et al. 1995.
Whey merupakan fraksi yang terlarut pada pH 4.6. Kandungan protein utama pada whey adalah
β-laktoglobulin, α-laktalbumin, serum albumin dan protein
antimikrobia dengan konsentrasi secara berurutan adalah 50, 20, 10 dan 20 % dari total whey (Edwards et al. 2009). Sebagian besar protein pada whey merupakan protein globular dengan struktur sekunder dan tersier sehingga mudah terdenaturasi pada pemanasan dengan suhu sekitar 60°C (Madureira et al, 2007; Permyakova et al. 2000). Sekitar 95% komponen protein susu disintesis dari asam amino dan 5% lainnya diserap dari darah. Komponen yang diserap dari darah yaitu serum albumin dan immunoglobulin (Edwards et al. 2009). Protein antimikrobia dalam susu berupa immunoglobulin, laktoferin, lisozim, laktoperoksidase dan glikomakropeptida yang merupakan komplek protein yang berfungsi sebagai imunitas untuk melawan berbagai macam penyakit (Adlerova 2009; Connely 2001). Konsentrasi protein antimikrobia dalam kolostrum sangat tinggi yaitu mencapai 100 g/l dan secara cepat turun menjadi 1 g/l selama kurang dari satu minggu setelah kelahiran (Roginski 2003; Walstra dan Jenness 1984). Gen β-Kasein Menurut Jann et al. (2004), Mercier dan Vilolte (1993), Rijnkels (2002) dan Rijnkels et al. (1997) β-kasein bersama keluarga gen kasein lainnya bertempat pada lokus yang sama yaitu di kromosom 6 (6q31). Kasein terdiri atas empat lokus saling berdekatan (haplotipe), dengan runutan genom s1-, -, s2-, dan -kasein dengan panjang 250 pb. Jarak antara -kasein dengan s1- kasein dan s2-kasein secara berurutan adalah 19.6 kb dan 70kb. Struktur lokus kasein pada sapi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Struktur lokus kasein pada sapi (Rijnkels 2002). β-kasein merupakan salah satu jenis dari fraksi kasein yang berpengaruh terhadap bentuk dan kestabilan butiran susu. β-kasein bersama dengan κ-kasein berperan dalam menentukan ukuran dan fungsi dari butiran susu (Ng-Kwai-Hang
1984; Yahyaoui et al. 2003). β-kasein bersifat paling hidrofobik dan mengandung residu prolin paling banyak jika dibandingkan dengan keluarga kasein yang lainnya. Pada suhu rendah sebagian fraksi β-kasein akan terlarut sehingga meningkatkan viskositas susu (Eigel et al. 1984; Farrell et al. 2004; Roginski 2003). Menurut Rijnkels et al. (1997) β-kasein
mengandung 209 asam amino
dengan berat molekul 24.000 Da. Gen β-kasein memiliki panjang 8498 pb dan terdiri atas 9 exon dan 8 intron. Struktur gen β-kasein disajikan pada Gambar 5. Perbandingan panjang sekuens exon dengan intron β-kasein adalah 1: 6.8. Panjang total exon adalah 1090 pb dan panjang total intron adalah 7408 pb. E1
Panjang Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5 Exon 6 Exon 7 Exon 8 Exon 9 Panjang exon
E2
E3E4
E5E6
E7
E8
Keterangan: untuk exon dan untuk intron Panjang 44 pb Intron 1 63 pb Intron 2 27 pb Intron 3 27 pb Intron 4 24 pb Intron 5 42 pb Intron 6 498 pb Intron 7 42 pb Intron 8 323 pb 1090 pb Panjang intron
E9
1934 pb 724 pb 112 pb 1895 pb 92 pb 1320 pb 601 pb 730 pb 7408 pb
Gambar 5 Struktur gen β-kasein (disusun berdasarkan sekuens gen β-kasein nomor akses gen bank X14711).
Keragaman Gen β-Kasein Keragaman gen β-kasein disebabkan oleh perbedaan susunan sekuens asam amino penyusun protein. Perbedaan susunan sekuens β-kasein terdapat pada asam amino ke-18, 25, 35, 36, 37, 67, 72, 88, 93, 106, 117, 122, 137 dan 138. Berdasarkan perbedaan sekuens asam aminonya terdapat 13 variasi alel β-kasein. Seluruh alel β-kasein telah diketahui sekuens asam aminonya kecuali untuk alel A4 (Farrell et al. 2004 dan Kamiñski et al. 2007). Perbedaan sekuens asam amino pada variasi β-kasein disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perubahan sekuens asam amino pada variasi β–kasein. Variasi Perubahan pada sekuens asam amino β-kasein 18 25 35 36 A2 Ser-P Arg Ser-P Glu A1 A3 A4 B C Ser D Lys E Lys F G H1 Cys H2 I Sumber: Farrell et al. 2004 dan Kamiñski et al. 2007.
37 Glu
67 Pro His
72 Glu
88 Leu
93 Gln
106 His
117 Gln
122 Ser
137 Leu
138 Pro
Gln Lys
His His
Arg
His His
Leu Leu Ile Glu
Leu Leu
Glu
57 β-kasein terdiri atas 13 alel yaitu : A1, A2, A3, A4, B, C, D, E, F, H1, H2, I, G (Tabel 1). Alel yang umum pada bangsa sapi adalah A1, A2 dan B. Alel A1 dan A2 paling sering ditemukan pada sapi, sedangkan alel B jarang dan Alel C langka pada sapi (Barroso et al. 1999; Kamiñski et al. 2007; Medrano dan Sharrow 1991). Menurut Kamiñski et al. (2007) alel A4 hanya ditemukan pada sapi asli Korea. Frekuensi alel β-kasein pada bangsa sapi FH dari berbagai negara yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Variasi gen β-kasein pada bangsa sapi FH di sejumlah negara Negara Jumlah Frekuensi alel beta-kasein Referensi ternak B A1 A2 USA 1 526 0.010–0.060 USA 2 6000 0.010–0.040 Hungaria 768 0.107 Jerman 229 0.026 Polandia 143 New 3761 Zealand Norwegia 306 0.010 Denmark 223 0.030–0.080 Sumber: Kamiñski et al. 2007.
0.310–0.660 0.310–0.490 0.418 0.472 0.402 0.465
0.240–0.620 0.490–0.620 0.470 0.496 0.598 0.510
Swaissgood 1992 Eenennam et al. 1991 Baranyi et al. 1997 Ehrmann et al. 1997 Kamiñski et al. 2006a Winkelman et al. 1997
0.400 0.550
0.490 0.390
Lien et al. 1993 Bech et al. 1990
Tabel 3 memperlihatkan bahwa frekuensi alel A2 pada sapi FH
di setiap
negara lebih tinggi jika dibandingkan dengan alel A1 dan alel B kecuali di negara USA 1 dan Denmark. Alel C memiliki frekuensi sangat rendah jika dibandingkan dengan alel lainnya. Frekuensi tertinggi alel A2, A1 dan B secara berurutan adalah 0.620, 0.660 dan 0.107. Menurut Bobe et al. (1999) genotipe gen pengontrol protein susu sangat berpengaruh terhadap komposisi protein dan parameter genetik lainnya. Varian genetik gen β-kasein memiliki pengaruh yang nyata terhadap uji harian untuk produksi susu dan komposisi susu pada sapi FH (Comin et al. 2009; Ng-Kwai-Hang et al.1986). Varian genotipe β-kasein secara nyata berhubungan dengan kadar protein, kadar lemak dan produksi susu pada sapi perah FH (Ng-Kwai-Hang et al.1984). Menurut Miluchová (2009) alel A gen β-kasein memiliki hubungan yang erat dengan produksi susu yang tinggi, sedangkan alel B berhubungan dengan kadar protein dan kadar kasein yang lebih tinggi. Lebih lanjut Ng-Kwai-Hang (1998) menyatakan bahwa alel A3 memiliki kaitan dengan produksi susu tertinggi jika dibandingkan dengan alel yang lainnya, sedangkan Ikonen (1998) menyatakan
58 bahwa alel A2 berhubungan dengan kadar protein serta produksi susu yang tinggi dan kadar lemak yang rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kučerová et al. (2006) yang menyatakan bahwa genotipe A1A1 menghasilkan produksi susu paling tinggi dan genotipe A2A3 menghasilkan kadar protein dan kadar lemak yang tertinggi. Gen Laktoferin Laktoferin merupakan glikoprotein pengikat zat besi rantai tunggal anggota kelompok gen transferin. Laktoferin terdapat dalam susu dan juga sekresi kelenjar eksokrin lainnya seperti semen, air liur dan cairan servik. Laktoferin disintesis oleh sel granulosit dan kelenjar epitel ambing sebagai respon terhadap infeksi seperti mastitis (Arnould et al 2009; Brock 2002; Gifford 2005). Konsentrasi laktoferin dalam kolostrum sangat tinggi
yaitu mencapai 100 g/l dan secara cepat turun
menjadi 1 g/l selama kurang dari satu minggu setelah kelahiran.
Konsentrasi
laktoferin pada susu sapi berkisar antara 0.02 sampai 0.35 g/l, tergantung pada periode laktasi (Roginski 2003, Walstra dan Jenness 1984), total sel somatik, konsentrasi lisosim dalam susu, musim dan umur ternak (Cheng et al. 2008; Hagiwara et al. 2003). Connely (2001) Baker dan Baker (2005) dan Molenaar et al. (1996) menyatakan bahwa laktoferin merupakan protein multi fungsi yang berperan membantu penyerapan zat besi di usus, pertumbuhan sel usus, melindungi dari serangan mikroba penyebab infeksi dan sebagai sistem kekebalan tubuh. Laktoferin mengatur proses inflamatori, respon sistem immun dan pertumbuhan sel (Baker dan Baker 2005; Schanbacher et al. 1993, Connely 2001). Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan kemampuan pengikat besi yang merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Connely 2001; Kutila et al. 2003; Pan 2007; González-Chávez 2009). Sifat bakterisidal laktoferin diduga dihasilkan oleh daerah kation pada lobus N dari laktoferin yang menyebabkan kerusakan pada membran luar bakteri (Connely 2001; Li et al. 2004, Pan 2007; Teng 2002). Keberadaan laktoferin di neutrofil dan pelepasannya selama radang, memperkuat dugaan bahwa laktoferin juga berperan
59 dalam pemusnahan fagosit dan imunitas (Kutila et al. 2003; Molenaar et al. 1996; Pan 2007). Laktoferin memiliki berat 82.600 Da dan secara spesifik dapat mengikat dua atom feri per molekulnya (Baker dan Baker 2005). Sekuens laktoferin yang bersifat antimikroba pada manusia terdiri dari 18 residu asam amino yang dibentuk dari ikatan disulfida antara residu sistein 20 dan 37 (Dionysius dan Milne 1997), sedangkan pada sapi 19 dan 36 (Schanbacher et al. 1993; Teng 2002). Sekuens lengkap mRNA laktoferin telah dilakukan oleh Schanbacher et al. (1993) dan didapatkan homologi yang tinggi antara laktoferin dengan transferin. Namun terdapat perbedaan wilayah deduksi sekuens asam amino antara laktoferin sapi dibandingkan dengan laktoferin manusia dan transferin, hal ini menunjukkan adanya fungsi yang berbeda di antara ketiganya.
Keterangan: untuk exon dan Panjang Exon 1 81 pb Exon 2 163 pb Exon 3 108 pb Exon 4 182 pb Exon 5 147 pb Exon 6 55 pb Exon 7 178 pb Exon 8 174 pb Exon 9 154 pb Exon 10 90 pb Exon 11 47 pb Exon 12 155 pb Exon 13 141 pb Exon 14 68 pb Exon 15 183 pb Exon 16 189 pb Exon 17 224 pb Panjang exon 2339 pb
untuk intron Panjang Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Intron 5 Intron 6 Intron 7 Intron 8 Intron 9 Intron 10 Intron 11 Intron 12 Intron 13 Intron 14 Intron 15 Intron 16 Panjang intron
32 49 292 478 941 1486 447 526 527 1092 630 12 918 495 79 60
pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb pb
8064 pb
Gambar 6 Struktur gen laktoferin (disusun berdasarkan sekuens gen nomor akses gen bank AB052164). .
laktoferin
60 Gen laktoferin terletak pada kromosom 22 (22q24). Struktur gen laktoferin terdiri atas 17 exon dan 16 intron (Seyfert et al. 1994; Seyfert et al. 1997). Total basa pada gen laktoferin sapi adalah 13647 pb. Panjang total exon, total intron dan daerah promotor gen laktoferin secara berurutan adalah 2339 pb, 8064 pb dan 1122 bp (Schanbacher et al. 1993; Seyfert et al. 1994; Seyfert et al. 1997). Struktur gen laktoferin disajikan pada Gambar 6. Keragaman Gen Laktoferrin Struktur gen laktoferin diidentifikasi oleh Seyfert
et al. (1994) yaitu
mempunyai 17 exon dan 16 intron dengan panjang total 13647 pasangan basa (pb). Lee et al. (1997) melaporkan adanya polimorfisme pada gen laktoferin pada kambing asli Korea yang disebabkan oleh adanya mutasi di 15 titik cDNA. Mutasi tersebut mengakibatkan adanya variasi sebanyak lima asam amino di bagian N-lobe dan satu asam amino dibagian C-lobe. Mutasi ini berhubungan langsung dengan kadar laktoferin dan kemampuannya sebagai antibakteri. Menurut Arnould et al. (2009) terdapat polimorfisme pada exon 2, exon, 4, exon 8, exon 9, exon 11, exon 15, intron 6, intron 8 dan daerah promoter yang berkaitan secara nyata dengan produksi susu, kadar laktoferin, kadar protein, kadar lemak dan skor sel somatik. Arnould et al. (2009) melaporkan adanya korelasi negatif antara jumlah sel somatik dengan konsentrasi laktoferin dalam susu. Menurut Arnould et al. 2009, Pawlik et al. (2009), Renaville (2009) serta Rupp dan Boichard (2003) kadar laktoferin sangat nyata dipengaruhi oleh genetik. Menurut Sender (2006), Wojdak-Maksymiec (2006) dan Zhao (2008) gen laktoferin memiliki tiga varian genotipe yaitu genotipe AA, AB dan BB. Menurut Sender (2006) frekuensi genotipe laktoferin varian AA paling tinggi (0.644) diikuti oleh AB (0.296) dan BB (0.04). Hal serupa dinyatakan oleh Zhao yang melaporkan bahwa pada ternak yang sehat frekuensi genotipe AA yang paling tinggi. Sedangkan Wojdak-Maksymiec (2006) melaporkan bahwa ternak dengan genotipe AB memiliki frekuensi tertinggi (0.597) diikuti oleh genotipe AA (0.379) dan BB (0.024). Sender (2006) dan Wojdak-Maksymiec (2006) melaporkan bahwa individu bergenotipe AB mempunyai nilai SCC paling tinggi jika dibandingkan individu bergenotipe BB dan AA. Zhao yang melakukan studi perbandingan pada ternak yang
61 menderita mastitis sub klinis dan ternak yang sehat melaporkan bahwa pada ternak yang sehat genotipe AA memiliki frekuensi tertinggi (0.5) dan genotipe BB memiliki frekuensi terendah (0.1), sebaliknya pada ternak yang sakit genotipe BB memiliki frekuensi tertinggi (0.62) dan genotipe AA memiliki frekuensi terendah (0.15). Beberapa studi juga melaporkan bahwa gen laktoferin dapat digunakan sebagai marker untuk konsentrasi sel somatik pada susu dan pada akhirnya juga dapat digunakan sebagai penanda dari resistensi terhadap mastitis pada sapi perah (Hagiwara et al. 2003; Hortet et al 1999; Li et al. 2004; Renaville 2009)