BASIC SEA SURVIVAL Oleh: Indratmo Jaring Prasojo, S.T.
Kemampuan bertahan diri seorang manusia dari lingkungan sekitar bisa berasal dari dirinya yang merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa atas disertakannya akal dalam penciptaan manusia atau bisa juga bertambah dari proses berlatih maupun kebiasaan bersentuhan dengan alam lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar tersebut bisa saja habitat asli maupun habitat asing. Jungle dan Sea Survival merupakan dua contoh mekanisme bertahan manusia terhadap lingkungan sekitar yang bukan merupakan habitat aslinya. Terdapat juga istilah Urban Survival, di sini manusia dengan segenap skill-nya dituntut mampu bertahan di lingkungan kota yang notabene merupakan habitat aslinya. Basic Sea Survival Training merupakan salah satu pelatihan yang harus dilalui oleh para pekerja di industri Oil and Gas, terutama yang berlokasi kerja di offshore. Pelatihan lain yang harus dilalui adalah Basic Fire Fighting dan First Aid Training. Tingkat resiko yang tinggi dan kesadaran akan keselamatan yang semakin berkembang serta peraturanperaturan internasional maupun regional yang berlaku menjadikan pelatihan-pelatihan tersebut adalah minimum requirements yang harus dipenuhi di samping pelatihan-pelatihan lain dengan level yang lebih tinggi. Lingkungan laut yang bukan merupakan habitat asli manusia memiliki karateristik yang musti dipahami dan dimengerti oleh manusia. Sang Pencipta memberikan akal kepada manusia bukan ditujukan untuk melawan kehendak alam, melainkan agar manusia dapat mengoptimalkan potensi yang ada di dirinya dalam rangka bersentuhan dengan alam. Man Over Board (terjatuh ke laut), platform collapse (anjungan runtuh), kebakaran di anjungan, kapal tenggelam, kecelakaan saat transfer pekerja dari jetty ke boat, dari boat ke boat landing di anjungan adalah serentetan resiko yang mungkin terjadi di laut lepas maupun muara-muara sungai di tepi laut. Secara umum kecelakaan di laut bisa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kriteria umum, yaitu kecelakaan yang controlled dan uncontrolled. Bila terjadi accident dan masih memiliki waktu cukup, personal on board dapat dievakuasi menggunakan alat-alat keselamatan yang tersedia baik di kapal maupun offshore platform (misal: sekoci, lifecraft).
Gambar 1. LifeCraft yang telah terkembang
Melompat ke laut merupakan tindakan yang terakhir dilakukan bila diperkirakan tidak memiliki waktu cukup untuk pindah ke peralatan-peralatan keamanan yang tersedia baik di platform maupun kapal atau lazim disebut dengan PFD (Personal Floatation Devices). Dalam meninggalkan tempat kecelakaan diperlukan teknik-teknik khusus untuk Page 1 of 5
meminimalisasi tejadinya kecelakaan yang fatal. Selain kewajiban menggunakan life jacket atau pelampung, usahakan melompat dengan ketinggian di bawah 5 meter. Bila berada di main atau upper deck usahakan untuk turun ke cellar atau sub cellar deck agar ketinggian lompat semakin berkurang. Teknik melompat ke permukaan air juga dipelajari dalam basic sea survival training. Seperti pelatihan-pelatihan fisik yang lain, dalam memulai basic sea survival training para trainees diwajibkan menggunakan wear pack dan equipments lainnya yang sesuai dan diawali dengan warming up.
Gambar 2. Warming Up
Gambar 3. Life Jacket Tipe 1
Terdapat 5 jenis tipe life jacket atau pelampung. Tipe I adalah pelampung yang digunakan untuk lokasi kerja di offshore, pelampung jenis ini akan menopang kepala korban sehingga dalam posisi bagaimanapun (misal: pingsan) kepala korban akan berada di atas permukaan air. Tipe II adalah pelampung untuk lokasi kerja di near shore. Tipe III adalah pelampung yang digunakan untuk mengapung dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan Tipe IV adalah pelampungpelampung yang di desain untuk kegiatan olahraga. Pelampung Tipe V adalah pelampung yang di desain khusus, salah satu bentuknya adalah seperti ban bekas yang banyak digunakan di kolam renang.
Gambar 4. Lompatan ke Permukaan Air
Gambar 5. Menjauhi Sumber Bahaya
Setelah turun dan mencapai level aman untuk melompat ke permukaan air, perhatikan lokasi tempat akan mendarat. Pastikan permukaan tempat yang akan dituju clear dari serpihan-serpihan maupun korban lain. Perhatikan juga arah angin dengan cara melihat bendera atau benda-benda ringan lainnya. Bila tidak ada gunakan sapu tangan atau basahi tangan dengan air kemudian angkat ke atas dan putar perlahan. Sisi tangan yang dingin pada saat posisi tersebut adalah posisi darimana arah angin bertiup. Jangan melompat sejajar dengan arah angin karena bisa saja api (bila accident-nya adalah kebakaran platform) menyambar setelah korban berada di permukaan air. Lakukan lompatan ke arah berlawanan dengan arah angin, ambil sudut sekitar 30o – 45o, hal ini sebagai antisipasi bila arus laut membawa korban ke arah sumber accident maka akan ada selisih jarak, sehingga korban tidak terbawa tepat ke sumber accident. Tutup hidung dan mulut menggunakan jari telunjuk dan jari tengah, masukkan jempol ke dalam bila kuku jempol dirasa bisa membahayakan wajah. Peluk dengan erat pelampung menggunakan tangan sebelah, yakinkan pelampung dipeluk seerat mungkin untuk menghindari cidera dagu saat mengalami hentakan dengan permukaan air. Pandang ke arah Page 2 of 5
horizontal dan melangkah ke depan dengan pasti. Sesaat setelah melangkah segera kunci dan posisikan kaki menyilang untuk melindungi bagian vital dari hentakan dengan permukaan air. Setelah terjun ke air dan mengapung dengan sempurna, putar badan 180o sehingga posisi badan menghadap ke arah sumber bahaya agar bisa melakukan antisipasi bila ada serpihan maupun bahaya yang bersumber dari sumber kecelakaan. Selanjutnya, berenang menjauhi kapal atau platform yang collapse. Arah renang adalah ke belakang bukan ke depan karena akan sangat sulit berenang ke arah depan saat menggunakan pelampung. Gunakan tenaga seefisien mungkin karena yang terpenting pada kondisi ini adalah bukan kekuatan individu korban, melainkan kebijakan dalam mengalokasikan dan menggunakan tenaga yang tersisa agar bisa mengulur waktu sebelum tim SAR (Searh and Rescue) datang atau lifecraft terkembang dengan sempurna. Pada kondisi di permukaan air terdapat 3 (tiga) bahaya utama, yaitu mati karena tenggelam, exposure kepada elemen alam (misal sinar matahari, meminum air laut, luka yang bisa mengundang binatang laut, dan dinginnya air laut yang bisa mengakibatkan hypothermia), bahaya ke-tiga adalah ter-expose kembali ke bahaya awal. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup seorang korban saat berada di laut adalah kekuatan fisik, berat badan, pakaian yang digunakan, dan penggunaan alat bantu apung. Lemak pada korban bisa berfungsi menghangatkan tubuh korban, pakaian yang tebal juga bisa menjadi penolong sementara, dan pengetahuan yang baik mengenai penggunaan alat bantu apung bisa menambah probabilities korban untuk bisa bertahan hidup sampai tim SAR datang ke lokasi. Setelah berada di lokasi aman dari bahaya, lakukan posisi HELP (Heat Escape Lessening Procedure) bila korban seorang diri. Posisi ini bertujuan untuk mengurangi kehilangan panas tubuh dari ketiak, dada dan selangkangan. Posisi HELP adalah seperti pada saat seseorang dalam posisi tidur/berbaring karena kedinginan. Bila jumlah korban lebih dari 3 (tiga), lakukan posisi HUDDLE, kaitkan tangan-tangan korban membentuk lingkaran penuh. Posisi ini berfungsi untuk bisa saling menghangatkan tubuh-tubuh korban, selain itu bila ada korban yang terluka atau dalam keadaan lebih lemah bisa diletakkan di tengah-tengah lingkaran. Putar tubuh 180o dan tetap pada posisi melingkar bila ada ancaman bahaya dari luar. Manfaat lain yang juga penting dari posisi HUDDLE ini adalah agar para korban bisa melakukan komunikasi satu dengan lainnya sehingga bisa memotivasi korban lain yang sudah mulai putus asa karena dalam kondisi seperti ini hal paling penting yang harus dimiliki korban adalah keinginan dan kemantapan hati untuk mau bertahan sampai bantuan datang.
Gambar 6. HELP Position
Gambar 7. HUDDLE Position
Hypothermia adalah salah satu ancaman yang bisa saja menyerang korban di permukaan laut. Seseoang dianggap mengalami hypothermia apabila temperatur tubuhnya berada di bawah 35o celcius. Hilang atau berkurangnya temperatur tubuh manusia berasal dari kepala (25%), selangkangan, ketiak dan dada. Air bisa menyebabkan hilangnya panas tubuh 20-26 kali lebih cepat ketimbang angin. Gejala-gejala hypothermia itu sendiri adalah menggigil (kedinginan), mati rasa, mengigau (mengeluarkan kata-kata yang tidak beraturan), amnesia, halusinasi, pembengkakan pada kaki dan tangan, dan cyanosis (bibir, ujung jari-jari kaki dan tangan menjadi biru). Sedangkan perawatan pada korban hypothermia adalah dengan memberikan tempat berteduh, tutupi tubuh korban menggunakan selimut, peluk tubuh korban (hangatkan dengan panas tubuh penolong), lepaskan pakaian basah yang melekat pada tubuh korban, lakukan monitor pada bagian-bagian vital, jangan memijat atau menggosok tubuh korban karena pada saat kondisi tersebut lapisan kulit korban menjadi fragile atau brittle (getas).
Page 3 of 5
Langkah selanjutnya yang musti dilakukan oleh korban-korban yang berada di permukaan laut adalah mencari lokasi lifecraft bila bantuan tidak kunjung datang. Lifecraft (seperti pada gambar 1) adalah peralatan standar yang tersedia di platform atau kapal. Pengoperasiannya bisa dilakukan manually atau dengan sistem hidrostatis. Bila keadaan masih terkontrol, turunkan lifecraft ke permukaan laut dari level ketinggian yang cukup. Tarik pemicu pada lifecraft sehingga bisa terkembang. Lifecraft bisa juga terlepas dan terkembang automatically dengan adanya mekanisme hidrostatis. Pada kedalaman 3-4 meter lifecraft yang terikat pada platform atau deck kapal akan terlepas sendiri kemudian mengapung ke permukaan dan terkembang hingga sempurna. Semua Personal On Board juga dituntut memiliki kemampuan membalik lifecraft yang terbalik. Berdiri tepat di atas tabung CO2 kemudian melebarkan kaki selebar bahu dan tarik tali yang berada di atas lifecraft yang dalam keadaan terbalik tersebut adalah salah satu metode untuk membalikkan posisi lifecraft ke posisi yang sebenarnya. Posisikan kaki dalam keadaan lurus dan perhatikan arah angin karena bisa membantu dalam proses pembalikkan lifecraft tersebut.
Gambar 8. Proses Pembalikkan Lifecraft
Gambar 9. Renang Berkelompok
Salah satu metode yang bisa digunakan untuk menuju ke posisi lifecraft atau tempat lain yang lebih aman adalah dengan cara melakukan renang berkelompok. Posisikan korban-korban dalam satu baris, korban terdepan berfungsi sebagai commander agar gerakkan mendayung menggunakan tangan bisa dilakukan dengan kompak. Sedangkan korban yang paling belakang berfungsi mengatur direction dari barisan tersebut. Dalam posisi ini, kaki korban dijepit ke badan korban yang berada di depannya sedangkan kedua tangan digunakan untuk mendayung. Posisi renang berkelompok seperti ini bisa juga berfungsi membawa korban yang cidera atau dalam keadaan paling lemah dengan memposisikan korban tersebut ditengah barisan. Setelah berada dekat dengan lifecraf korban segera berpegangan pada tali yang berada di sekeliling lifecraft. Korban dengan kondisi fisik terkuat naik pertama kali karena untuk naik ke dalam lifecraft diperlukan tenaga yang tidak sedikit, apalagi dalam posisi mengenakan pelampung. Posisikan badan sedekat mungkin (sampai menempel) ke lifecraft, kaitkan kaki di tangga yang terbuat dari tali kemudian dorong tubuh hingga dalam posisi berdiri dan lakukan roll depan untuk masuk ke dalam lifecraft. Singkirkan terlebih dahulu benda-benda yang menempel pada korban yang akan naik masuk agar tidak merusak lifecraft tersebut. Selanjutnya bantu korban-korban yang belum naik dengan memegang pakaian korban, bukan dengan memegang tangannya secara langsung. Setelah semua korban masuk ke dalam lifecraft, segera lakukan penunjukkan leader dari kelompok tersebut agar pengambilan keputusan selanjutnya bisa berjalan dengan baik. Selama berada di lifecraft terdapat 4 (empat) langkah yang dilakukan oleh kelompok tersebut yaitu Protection, Organization, Location, Comfort. Langkah pertama yang dilakukan adalah Protection. Segera pasang anchor sea agar lifecraft tidak terombang-ambing terlalu jauh oleh gelombang maupun arus laut. Periksa survival kit yang berada di dalam lifecraft, selanjutnya periksa dengan seksama seluruh bagian lifecraft sebagai antisipasi bila terjadi kebocoran. Gunakan dayung pada 2 sisi lifecraft untuk menjauh dari sumber bahaya. Bila posisi lifecraft sudah dalam kondisi aman, langkah selanjutnya adalah meng-organize kelompok tersebut. Lakukan pembagian tugas dengan menyerahkan tanggung jawab penggunaan survival kit kepada seluruh anggota kelompok. Berikan obat anti mabuk sebelum anggota kelompok merasa mabuk laut dengan waktu 8 jam sekali atau 3 kali dalam 24 jam. Bila ada anggota kelompok yang terlanjur akan muntah, gunakan plastik yang tersedia, jangan membuang muntahan di laut karena bisa mengundang binatang laut yang berbahaya, begitu juga dengan darah bila ada korban yang terluka. Leader menjelaskan cara penggunaan survival kit tersebut sekaligus mengatur jadwal jaga dan istirahat Page 4 of 5
anggota kelompok. Selain itu, Group Leader juga harus bisa melakukan pendekatan persuasif bila ada anggota kelompok yang mulai kehilangan kepercayaan diri dan kemauan untuk bertahan hidup. Location, langkah ini dilakukan untuk memberitahukan kepada regu penolong mengenai posisi lifecraft korban kecelakaan. Segera lepas EPIRB ke permukaan laut dengan mengikat terlebih dahulu tali EPIRB tersebut pada salah satu bagian lifecraft, yakinkan sebelum dilepas tombol dalam posisi On (menyala). Posisikan radar reflector dengan ketinggian lebih dari 1 meter dari permukaan laut sehingga bisa terdeteksi oleh kapal-kapal atau regu penyelamat. Bila mendengar suara mesin pesawat, helicopter, atau kendaraan lain segera nyalakan signal asap (bila siang hari) dan signal api (bila malam hari). Saat regu penyelamat atau kendaraan lain sudah dapat terlihat segera gunakan signal mirror (pada siang hari) ke arah kendaraan atau regu penyelamat tersebut. Prinsipnya, gunakan alat-alat pemberitahu lokasi tersebut seefektif dan seefisien mungkin. Hal tersebut berlaku juga untuk makanan dan minuman. Jangan mengonsumsi makanan atau minuman yang terdapat dalam survival kit sebelum 1 x 24 jam. Usahakan mencari sumber lain terlebih dahulu, misal dengan memancing dan mengumpulkan air tawar. Air tawar bisa berasal dari air hujan, embun, maupun proses penyulingan air laut dengan alat-alat yang tersedia atau gunakan plastik untuk menyuling manually. Setelah semua langkah-langkah dijalani dengan baik, selanjutnya adalah memikirkan tentang kenyamanan, Comfort. Keringkan lantai lifacraft menggunakan alat yang tersedia, jemur pakaian dan pelampung sehingga bisa digunakan sebagai alas tidur. Lakukan forum-forum diskusi atau sekedar bercerita antar anggota kelompok sehingga moral dan kemauan bertahan hidup anggota kelompok dapat tetap terjaga sampai dengan bantuan datang. Bila ada salah satu anggota kelompok yang meninggal, segera lakukan musyawarah untuk menentukan langkah apa yang musti dilakukan. Prinsip utamanya adalah mendahulukan atau memenangkan keinginan anggota kelompok yang masih hidup bila ada yang keberatan mayat korban tersebut tetap berada di dalam lifecraft. Bila keputusannya adalah dengan membuang mayat tersebut, lakukan pembungkusan mayat dengan seksama agar pada saat dibuang tidak mengundang binatang-binatang laut ke arah lifecraft sehingga akan membahayakan kelompok tersebut. Proses penyelamatan korban bisa dilakukan dengan berbagai cara, misal dengan kapal boat, kapal pesiar, kapal nelayan atau dengan helicopter. Pada saat penyelamatan dilakukan dengan helicopter, segera keluar dari lifecraft dengan tetap berpegangan pada tali agar tidak terpencar karena arus maupun gelombang laut. Pastikan tali penolong telah menyentuh air agar efek listrik statis hilang terlebih dahulu. Secara umum, kemungkinan bertahan seorang korban kecelakaan di laut adalah bersumber dari dirinya sendiri. Sikap mental yang positif untuk tetap berkemauan bertahan hidup dan pelatihan-pelatihan safety yang diikuti bisa menjadi modal signifikan agar bisa tetap bertahan dalam situasi dan kondisi apapun. Persiapkan segala sesuatu sebelum berangkat ke lokasi kerja dan selalu mematuhi aturan keselamatan yang berlaku di manapun serta tidak bertindak ceroboh merupakan tindakan preventif untuk meminimalisasi kejadian kecelakaan yang bisa berakibat fatal. --- End of Article –
Penulis: Indratmo Jaring Prasojo, S.T. Structure Engineer PT. Nippon Steel Construction Indonesia (NISCONI) Senipah Office, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia.
Page 5 of 5