G. Geulis
G. Geulis
G. Geulis
BAB
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan. Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung.
Untuk
mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut,
dipindahkan
empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti (UNWIM). Selanjutnyan “Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26 kecamatan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 1
Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan (RUTRK) Perguruan Tinggi Jatinangor Tahun 2000 – 2010, kawasan pendidikan tinggi Jatinangor adalah kawasan yang meliputi delapan desa dari duabelas desa yang termasuk Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang yaitu: 1. Desa Cikeruh
5. Desa Sayang
2. Desa Hegarmanah
6. Desa Cipacing
3. Desa Cilayung
7. Desa Jatiroke
4. Desa Cibeusi
8. Desa Cileles,
serta dua desa yang termasuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, yaitu: 1. Desa Cileunyi Wetan 2. Desa Cileunyi Kulon. Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya
sivitas
akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Adapun kegiatan perkuliahan berturut-turut dimulai pada tahun 1982, 1987, 1989, dan 1991. Perubahan fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 2
Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota. Hal ini menyebabkan belum diterapkannya konsep tata ruang kota yang ada secara konsisten, meskipun kawasan Jatinangor telah memiliki beberapa rencana tata ruang sejak tahun 1987. Kebijakan Penataan ruang terbaru adalah Rencana Detail Tata Ruang Pusat Kecamatan Cikeruh 1995-2005, kemudian Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pendidikan Jatinangor 1999- 2010. Menurut Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Jatinangor (2002),
rencana-rencana tata ruang yang ada mempunyai kesamaan dalam
fungsi utama yaitu sebagai lokasi perguruan tinggi dan pusat rekreasi. Untuk fungsi umum, ada sedikit perbedaan yaitu dalam pelayanan sosial, terminal, jasa dan distribusi, pusat pemasaran barang dan jasa, pusat pelayanan kesehatan, kegiatan industri, permukiman dan
perkantoran. Disamping itu terdapat
beberapa perbedaan prinsip seperti penetapan jalan tol, TPA, sumber air baku, pemakaian air tanah, sumber pelayanan listrik, telepon dan lain-lain. Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan
lahan
yang
tidak
terkendali
dengan
dalih
pembangunan
mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta udara terasa panas. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 3
terhadap agama,
degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal
(Bapeda, 2002). Data pada tahun 2004 menunjukkan bahwa selain etnis Sunda, etnis lainnya mempunyai jumlah yang signifikan yaitu sekitar 18% dari total 83.206 penduduk yang tinggal di Jatinangor. Beberapa kelurahan yang berbatasan langsung dengan kawasan pendidikan bahkan mempunyai etnis non Sunda kurang lebih 20% antara lain Kelurahan Cintamulya, Cibeusi, Hegarmanah serta Cikeruh. Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah, pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda) tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap Jatinangor. Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian (petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi. Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 4
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek. Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar. Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang. Besar tumpukan sampah di Kecamatan Jatinangor yang bersumber dari perumahan, industri, fasilitas perdagangan, fasilitas perkantoran dan fasilitas pendidikan yang mencakup sekolah-sekolah dan dan perguruan tinggi mencapai 96 m3/hari. Menurut proyeksi pada tahun 2005 meningkat menjadi 116,31 m3/hari, tahun 2010 sebesar 135,52 m3/hari, tahun 2015 menjadi
157,78
m3/hari, serta pada tahun 2020 mencapai 182,76 m3/hari. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 5
Ketersediaan air di Kawasan Jatinangor memiliki karakteristik yang berbeda antara air tanah tengah dan air tanah dangkal. Potensi air tanah dangkal di Jatinagor sebesar 18.890.649 m3/tahun, pengambilannya sebesar 2.619.933,5 m3tahuni Untuk air tanah tengah sebesar 2.000.000 m3/tahun, sedangkan pengambilannya sebesar 4.600.000 m3/tahun. Dari data tersebut terjadi ketidakseimbangan dalam pengambilan air tanah tengan yang dilakukan oleh kegiatan industri pada kedalaman 40 s.d 150 meter di dalam tanah. Pengambilan air tahan tengah secara berlebihan mengakibatkan penurunan muka air tanah di Jatinangor sebesar 3.5 meter per tahun (Diponegoro, 2004). Hal ini didukung oleh pencatatan hidrografi di PT Coca Cola yang menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan muka air tanah sebesar 20 meter selama enam bulan terakhir (www.pikiranrakyat.com) Dari aspek transportasi, Jalan Raya Jatinangor merupakan jalan arteri primer yang memiliki intensitas kegiatan di sepanjang jalan yang banyak membangkitkan pergerakan. Karakterisrik pergerakan ideal di Jalan Raya Jatinangor adalah pergerakan kendaraan yang relatif cepat dan bebas hambatan. Namur sepanjang jalan dari Kampus IPDN s.d UNPAD banyak pejalan kaki, serta banyaknya angkutan umum yang menunggu dan menaik-turunkan penumpang sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara sosiologis maupun geografis, kawasan Jatingangor merupakan kawasan pinggiran (periphery), yaitu kawasan yang dilihat aspek jaraknya jauh dari pusat kota bahkan ada di perbatasan dengan wilayah juridiksi kabupaten lain. Sementara itu, dari aspek hubungan politik personal ataupun kelompok, kawasan ini cukup jauh dari kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Oleh karena itu, sejumlah permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa Jatinangor seolah-olah tidak bertuan karena memang secara sadar ataupun tidak, kawasan ini terkategorikan kawasan pinggiran. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 6
perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan. Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1
Tahun
2008
Tentang
Pedoman
Perencanaan
Kawasan
Perkotaan
mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan.
1.2
Perumusan Masalah Kawasan Pendidikan Tinggi berubah
menjadi
kawasan
Jatinangor secara planologis telah
terbangun
(urbanized
area),
mengalami
perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya. Untuk menetapkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan tidak cukup hanya dengan menetapkan dari aspek fisik saja tetapi diperlukan kajian bagaimana kelayakan kawasan Jatinangor dari aspek lain seperti kependudukan, ekonomi, kelembagaan/
pemerintahan,
lingkungan
serta
aspek
tata
ruang
dan
pengembangan wilayahnya. 1.3
Maksud, Tujuan dan Sasaran Maksud dilakukannya studi
ini adalah untuk mengidentifikasi dan
menganalisis tingkat kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan, sedangkan tujuannya adalah : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 7
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan dari aspek aspek sosia ekonomi, kelembagaan, lingkungan, serta aspek tata ruang.. 2. Memberikan rekomendasi secara umum tenteng kebutuhan-kebutuhan kawasan Jatinangor untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai kawasan perkotaan. 3. Merumuskan saran-saran studi lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka persiapan untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan. Adapun sasaran dari kegiatan studi ini yaitu : 1. Terdeliniasi kawasan perkotaan dengan perumusan fungsi kawasan sesuai dalam karakteristik dan arahan kebijakan yang telah ditetapkan pada perencanaan yang lebih . 2. Terumuskannya tipologi kota dan memetakan standar kebutuhan kota sesuai tipologinya. 3. Terumuskannya suatu strategi untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang mampu mendorong pengembangan kawasan perkotaan yang diharapkan. 4. Terumuskannya model lembaga pengelola perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan. 1.4 Keluaran Sesuai dengan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup maka keluaran yang diharapkan dari Penyusunan Study Kelayakan Kawasan Perkotaan Jatinangor adalah: Tersusunnya dokumen study kelayakan (feasibility study) kawasan perkotaan Jatinangor dari aspek sosial budaya, ekonomi, kelembagaan, lingkungan serta tata ruang. 1.5 Manfaat Studi Manfaat dari studi ini adalah:
Pemerintah Kabupaten Sumedang
memiliki bahan masukan untuk
menetapkan strategi dan kebijakan perencanaan dan pengembangan Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung.
Pemerintah Kabupaten Sumedang mempunyai bahan acuan guna penetapan program pengembangan kawasan perkotaan di Kawasan Jatinangor.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 8
1.6
Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumedang Tahun 2009-2013;
1.7
Sistematika Pembahasan Adapun sistematika dari laporan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan ini adalah sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, maksud, tujuan, serta sasaran. Selain itu, juga berisi keluaran, manfaat studi serta sistematika pembahasan.
Bab 2
Kajian Teori dan Normatif Bab ini berisi teori-teori dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan studi kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor. Aspek normatif yang diacu antara lain terdiri dari PP No 34 Tahun 2009, Permendagri No 1 Tahun 2008 serta Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 tentang standar pelayanan minimal perkotaan.
Bab 3
Metode Penelitian Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam kajian, ruang lingkup studi, sumber data serta operasionalisasi indicator yang digunakan dalam menilai kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor, Teknik pengumpulan dan Analisis Data, organisasi pelaksana dan jangka waktu penelitian
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 9
Bab 4
Arahan Kebijakan Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan mengenai Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025, Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang
Bab 5
Analisis Kelayakan Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang Karakteriktik dan Potensi Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung, Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan, Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan, Arahan Pengembangan Kawasan Perkotaan
.Bab 6
Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Modelmodel Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di Kabupaten Sumedang, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor”
Bab 7
Kebijakan Dan Strategi Kawasan Perkotaan Bab ini menjabarkan kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan perkotaan pada kawasan perkotaan Jatinangor setelah ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.
Bab 8
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Perkotaan Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian
dan
rekomendasi-rekomendasi
yang
diusulkan
dalam
menindaklanjuti penetapan kawasan perkotaan Jatinangor
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab I - 10
BAB
II
KAJIAN TEORI DAN NORMATIF 2.1 Konsep Perkotaan Hoselitz (dikutip oleh Widiarto: 1995) berpendapat bahwa pertumbuhan kota yang senantiasa diharapkan adalah pertumbuhan yang
“generative” dan bukan “parasitic’.
Sebagai pertumbuhan yang generatif, kegiatan di kota tersebut harus dapat memberi kesempatan kerja baru bagi masyarakat di sekitarnya, dan mampu menarik kawasan sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh berkembang bersama-sama. Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, tampaknya Jatinangor belum dapat berperan seperti apa yang digambarkan Hoselitz tersebut, padahal jika kota tumbuh sebagai parasit akan berakibat terjadinya disorganisasi sosial. Fenemena yang terjadi di kawasan ini nampaknya menjadi indikasi penguatan apa yang dikatakan dalam teori ini. Terjadi gentrifikasi sosial, yakni tergesernya penduduk asli oleh pendatang merupakan indikasi bahwa kota tidak tumbuh secara generatif, dimana kesempatan usaha dan kerja yang ada banyak dinikmati oleh orang luar. Sementara itu disorganisasi sosial pada kawasan ini diindikasikan dengan melonggarnya norma-norma sosial. Kajian sosial oleh Bappeda (2002) memperlihatkan bahwa secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal. Jatinangor
walaupun
dalam
konsep
Tata
Ruang
Bandung
Raya
(MBUDP/Metropolitan Bandung Urban Development Project) telah ditetapkan sebagai kota “counter magnet” yang kegiatannya didominasi oleh perguruan tinggi, namun kenyataannya tetap sebagai daerah pinggiran/ Periphery. Terhadap kenyataan ini John Friedmann (1964) menganalisis aspek-aspek tata ruang, lokasi serta persoalan-persoalan kebijakan dan perencanaan pengembangan wilayah. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 1
Di daerah perencanaan biasanya terdapat daerah inti (centre) dan daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah pinggiran sering disebut daerah pedalaman atau daerah sekitarnya. Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar metropolis atau megapolis, dikategorikan sebagai daerah daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya merupakan sub sistem-sub sistem yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah-daerah pinggiran berada dalam satu hubungan ketergantungan substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersamasama membentuk sistem spasial yang lengkap. Daerah inti pada umumnya dikategorikan sebagai daerah metropolitan (metropolitan region), dan poros pembangunan (development axes). Sedangkan daerah pinggiran dapat dikategorikan sebagai daerah perbatasan (frontier region), dan daerah tertekan (depresed region). Jadi jika dilihat dari kacamata analisis Friedman di atas, Jatinangor merupakan daerah pinggiran yang kekuatannya hanya kecil karena hanya merupakan sub-sistem pemerintahan dan ekonomi, yang pusatnya berada di Kota Bandung. Oleh karena itu walaupun masalah sudah begitu kompleks, namun lembaga-lembaga formal yang ada tidak mempunyai kekuatan sendiri untuk menata dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Akses terhadap sumber-sumber kekuatan dan kekuasaan juga relatif kecil. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2009, jika dua daerah mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan keduabelah pihak, maka pemerintah yang ada di atasnya harus dapat menjadi mediator. Dalam banyak kasus, akhirnya pihak-pihak yang berkepentingan membentuk lembaga pengelola atau disebut juga sekretariat bersama (sekber) yang bertugas untuk merumuskan penyelesaian masalah. Namun eksekusinya biasanya diserahkan kepada masing-masing pihak, kecuali jika ada proyek khusus yang menangani masalah yang bersangkutan, misalnya MBUDP yang memberikan bantuan infrastruktur dasar seperti drainase induk, sanitasi (sewerage), jalan, dsb. Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Dep. PU (2007) menunjukkan ke arah fenomena tersebut. Pembangunan Regional Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kartamantul (Jogyakarta, Sleman, Bantul), Gerbangkartasusila (Gersik, Jombang, Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 2
Majakerta, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan sebagainya pada dasarnya bertujuan untuk mereduksi konflik-konflik perbatasan. Dalam kasus tersebut selalu dibentuk lembaga atau sekretaiat bersama yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari daerah yang berkonflik. Kajian Puslitbang Permukiman (2006) tentang Pengembangan Lembaga Lokal dalam Pembangunan Perumahan menunjukkan bahwa ada Lembaga Pemerintahan Desa (Kabupaten Sleman dan Kabupaten bandung) yang diberi kewenangan untuk memberikan izin konversi lahan untuk perumahan dengan skala yang kecil (di bawah 10 rumah). Hal ini disebabkan tidak mampunya lembaga yang berkompeten untuk menangani seluruh permasalahan yang dihadapi, sehingga dipandang perlu untuk memberdayakan lembaga pemerintahan desa. Fenomena ini mengindikasikan dimungkinkannya suatu lembaga diberikan kewenangan yang lebih untuk mengurusi masalah-masalah yang dipandang urgen untuk dicarikan secara cepat solusinya. Alternatif lain yang hampir sama antara lain
mengangkat camat di daerah
perkotaan sebagai manajer kota (city manager). Kebijakan (“what”) tentang arah pengembangan kota tingkat kecamatan tetap diatur dan diputuskan pada tingkat kabupaten dalam bentuk Peraturan Daerah dan atau Peraturan Bupati, sedangkan camat sebagai manajer kota lebih banyak menjalankan (“how”), dari kebijakan yang telah ditetapkan pada tingkat kabupaten. (Sadu Wasistiono, 2007). Bentuk lain dari penyelesaian konflik antar wilayah, tetapi ke arah pengembangan ekonomi adalah konsep Local Economic Development (LED) dan Pengembangan Lembah Silikon (Silicon Valley) di Amerika Serikat. LED yang mengedepankan kekuatan lembaga yang ada (lembaga-lembaga ilmiah, pemerintahan, swasta), dan memanfaatkan potensi lokal yang ada untuk mengembangkan ekonomi rakyat dapat menjadi lembaga yang berpengaruh untuk dapat menekan kekuatan inti yang ada di Pusat. LED dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat sekitarnya, sekaligus menyelesaikan konflik lintas wilayah. Hal ini pula sebenarnya pemikiran yang mengilhami berkembangnya Lembah Silikon di Amerika, dimana masyarakat sekitar lembah memanfaatkan secara bersama-sama hasil penelitian lembaga riset dan perusahaan swasta yang ada di lembah, dengan cara yang legal dan terorganisasi dengan baik.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 3
Dari telaah pustaka di atas, kiranya perlu dikaji lebih dalam bahwa penangan kawasan Jatinangor memerlukan sebuah lembaga. Saat ini sudah ada lembaga yang memikirkan masalah tersebut, namun tidak mempunyai kekuatan politik dan finansial untuk melakukan tindakan operasional. Di sisi lain terdapat lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai kekuatan moril dan ilmiah pada kawasan ini, namun tidak mempunyai domain mengurusi masalah perkotaan. Terdapat lembaga yang legal mengurusi masalah perkotaan, namun hanya sebatas administrasi dan pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan kombinasi kekuatan-kekuatan tersebut untuk membentuk lembaga yang berpengaruh. Model-model pembangunan regional antar kota, lembah silikon, LED, atau kajian lembaga lokal untuk pembangunan perumahan di atas dapat menjadi referensi kajian ini. Mengikuti amanat Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009, dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, bahwa dalam pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan:
hasil studi kelayakan
rencana induk pembangunan perkotaan baru
rencana pembebasan lahan Untuk itu pada studi ini akan dilakukan kajian yang dipersyaratkan oleh kedua
peraturan di atas, yakni studi kelayakan yang ditinjau dari beberapa aspek. Kajian lebih lanjut pada bagian ini akan menelaah difinisi dan kriteria kelayakan untuk menilai tingkat kekotaan suatu kawasan Di dalam Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu: geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan dan sebagainya. Dalam pengembangan wilayah termasuk pengembangan kawasan
perkotaan
setidaknya
perlu
ditopang
oleh
6
pilar
analisis,
(http://staff.blog.unnes.ac.id/oktavilia atau http://www.slideshare.net/oktavilia): (1) analisis biogeofisik; (2) analisis ekonomi; (3) analisis sosiobudaya; (4) analisis kelembagaan; (5) analisis lokasi; Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 4
yaitu
(6) analisis lingkungan Lebih lanjut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008, tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan bahwa perencanaan kawasan perkotaan baru diprioritaskan untuk:
memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi
menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan
menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan. Persyaratan penetapan lokasi perencanaan kawasan perkotaan baru meliputi:
sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten
termuat dalam RPJMD
memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi perkotaan dan bukan kawasan yang rawan bencana alam
terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis maupun yang direncanakan beririgasi teknis
memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan;
tidak mengakibatkan terjadinya pembangunan yang tidak terkendali. dengan kawasan perkotaan disekitarnya
mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya
mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar dan merupakan satu kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan perkotaan dalam satu daerah kabupaten. Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah
dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru. Kawasan perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih kabupaten yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan
kerjasama
antar
daerah
dapat
dibentuk
Badan
Pengelola
Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing bupati. Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sesuai dengan jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru. Keanggotaan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 5
Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan unsur pengembang. Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati. Keanggotaan, struktur organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan Bersama Bupati. Badan
Pengelola
Pembangunan
Kawasan
Perkotaan
Baru
melaporkan
pelaksanaan tugasnya secara berkala dan atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bupati dan terbuka bagi masyarakat.Bupati melaksanakan evaluasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan baru. 2.2 Visi dan Misi Perkotaan A. Visi Dan Misi Pengembangan Perkotaan Visi dan misi pengembangan perkotaan didasarkan pada Peraturan Menteri PU no. 494/PRT/M/2005. Secara rinci visi dan misi pengembangan perkotaan adalah sebagai berikut: Visi Untuk mencapai kehidupan perkotaan yang aman, damai, dan sejahtera, perlu dirumuskan visi tentang kondisi kota yang ingin dicapai di masa depan. Kota-kota di masa depan adalah kota yang dapat memberikan kehidupan yang sejahtera, nyaman dan aman bagi warganya, yang layak huni bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Secara umum kriteria kota yang ingin dicapai, yaitu : 1. Tempat dimana anak-anak, orang tua, dan bahkan para penyandang cacat dapat berjalan-jalan, dan bermain-main bersama; 2. Tempat dimana kebersamaan dan canda dapat memecahkan permasalahan yang muncul dalam lingkungan bertetangga;
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 6
3. Tempat dimana kita tidak hanya melindungi kawasan bersejarah, tetapi juga ruang terbuka hijau dan hutanhutan kota memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan dan keindahan permukiman; 4. Tempat dimana tingginya kualitas hidup dapat menarik kegiatan usaha dan tenaga kerja yang berbakat dan dengan demikian menghidupkan perekonomian kota; 5. Tempat dimana kita dapat menghabiskan lebih banyak waktu bagi keluarga dan bukan memboroskannya karena terjebak dalam kemacetan lalu-lintas; 6. Tempat dimana seluruh masyarakatnya dapat menyelenggarakan aktivitasnya seharihari dengan aman dan tenang, yang terbebas dari kriminalitas serta kerusahankerusahan sosial, dan ancaman terorisme. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka visi pengembangan pembangunan perkotaan nasional dapat dijabarkan sebagai berikut: ”Terwujudnya kawasan perkotaan yang layak huni,berkeadilan sosial sejahtera, berbudaya, produktif, dan berkembang secara berkelanjutan serta saling memperkuat, dilaksanakan oleh para petaruh (stakeholders) secara partisipatif, responsif, transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pengembangan wilayah”. Perwujudan visi akan lebih optimal apabila terdapat kerjasama yang sinergis antar stakeholders dari seluruh kegiata-kegiatan. Dalam kerjasama ini pemerintah bertindak sebagai enabler dan masyarakat sebagai doer. Untuk itu dibutuhkan perumusan misi sebagai terjemahan dari visi atau kondisi yang diharapkan untuk mengidentifikasi arah kebijakan yang akan ditempuh. Misi Upaya penacapaian Visi tersebut diatas dilakukan beberapa misi berikut ini : 1. Mengembangkan Kota yang layak huni a.
Lingkungan kota yang nyaman Tingkat kepadatan penduduk yang optimal (efisiensi pelayanan, sesuai dengan daya dukung kota) Ketersediaan prasarana dan sarana dasar dengan kulaitas yang memadai. Memiliki tingkat pelayanan dan jumlah fasilitas umum yang memadai. Memiliki penataan kawasan dan bangunan yang serasi dan terpelihara.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 7
Lingkungan sosial budaya yang mendukung keharmonisan kehidupan masyarakat. b. Lingkungan Kota yang aman Tingkat polusi udara yang rendah dan terkontrol; Tingkat pencemaran air dan tanah yang rendah dan terkontrol; Keamanan (tingkat kriminalitas yang rendah) dan ketertiban kota yang terjaga; Tingkat pelayanan dan fasilitas kebakaran yang baik (berfungsi dan mencukupi); Stabilitas sosial, ekonomi, politik. 2. Mengembangkan kota yang sejahtera Tersedianya segala kebutuhan (sarana, prasarana, pelayanan dan permukiman) yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing- masing (orang tua, anak-anak, diffable people, dst); Tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak adanya kesejangan pendapatan yang besar antar seluruh lapisan masyarakat. 3. Mengembangkan lingkungan yang berkeadilan sosial, sejahtera dan berbudaya. Kesamaan dan keadilan dalam pelindungan hukum; Setiap individu, kelompok masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap kesempatan berperan serta dan mengaktualisasikan aspirasinya dalam kehiduan kota; Setiap individu atau kelompok masyarakat memilki akses yang sama terhadap kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha; Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal. 4. Mengembangkan pembangunan kota yang berkelanjutan Pengembangan kota yang berkelanjutan secara umum terwujud apabila ekonomi kota berkembang, berdaya saing global, pendapatan mayarakat dan pemeritah bertambah dan tetap dapat mempertahankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini antara lain mencakup; a. Aspek ekonomi
Daya saing kota; faktor – faktor penentu daya saing adalah keunggulan sumber daya dan kemampuan pengelolaan kota. Dalam hal ini pengefektifan keterkaitan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 8
kota dan desa menjadi sangat penting alam upaya meningkatkan daya saing kota dan mencegah menurunnya ekonomi perdesaan;
Pengembangan ekonomi kota; 1. Pengembangan produk unggulan kota melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif; 2. Menggali potensi kota melalui pelibatan seluruh stakeholder dalam pembangunan 3. Mengembangkan inovasi untuk mempertahankan kualitas produk dan jasa; 4. Pengelolaan sektor informal agar mandiri dan sinergis dengan sektor informal ; 5. Pemecahan masalah pengangguran dan semi pengangguran;
Kemampuan kota unutk siaga dan siap mengatasi bencana dan bankit dari bencana.
b. Aspek sosial budaya Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial , dan juga mengurangi gangguan- gangguan sosial. Upaya mencapai masyarakat madani dilaksanakan melalui;
Pemeliharaan keanekaragaman budaya Kesamaan hak bagi setiap individu ataupun kelompok masyarakat untuk memenuhi aspirasi budayanya;
Peningkatan peran serta masyarakat dalam kehidupan perkotaan;
Penyelesaian masalah ’dislokasi’ penduduk perkotaan berkaitan dengan masalah lahan.
c.
Aspek lingkungan
Pengelolaan sumber daya secara efsien dan berkelanjutan;
Pembangunan kota dilakukan dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Pengendalian dampak lingkungan dengan tetap menjaga kulaitas lingkungan.
Pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan
Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 9
5. Mengembangkan pola pengelolaan kota berdasar tata pemerintah yang baik. a. Pengembangan serta peningkatan mekanisme pelibatan masyarakat dan dunia usaha; antara lain melalui forum diskusi dan koordinasi, pengembangan pola- pola kemitraan , dan sebagainya. b. Pengembangan struktur kelembagaan pengelolaan kota; penyesuaian struktur dan kewenangan kelembagaan dalam rangka paradigma pembangunan perkotaan yang baru yaitu transparan, partisipatif, terdesentralisir serta efsien dan efektif. c. Pengembangan sistem informasi; untuk medukung pola pengelolaan perkotaan dengan penerapan tata pemerintaha yang baik maka diperlukan sistem informasi yang interaktif dari pemerintah,masyarakat dan dunia usaha yang mudah diakses dan dimengerti semua pihak terkait; d. Pengembangan potensi pendanaan; upaya- upaya peningkatan kemampuan kota unutk memperoleh dana bagi pengelolaan dan pembangunannya antara lain melalui peningkatan daya tarik bagi investor, pengeloalaan atau manajemen perusahaan daerah serta peningkatan penerapan konsep kewirausahaan dalam pengelolaan pembangunan kota. 6. Mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa. a. Keterkaitan desa- kota
Pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan soaial ekonomi antara kota dan desa ( Wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan;
Pembangunan kota hendakya dipadukan dengan perkembangan daerah perdesaan di pinggirnya, karena daerah pinggiran tersebut juga terkena dampak pembangunan dan urbanisasi. b.
Peningkatan kemampuan perdesaan dalam pembangunan.
Keterkaitan antar kota
Pengembangan sistem perkotaan dengan memperhatikan pemantaan fungsi, peran dan hirarki kota sesuai dengan potensi dan kedudukannya dalam pengembangan wilayah;
Pengembangan kebijakan perkotaan sebagai upaya mencegah terjadinya ketimpangan antar wilayah dan antar kota, terutama antara kota-kota besar yang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 10
sangat potensial terintegrasi dalam sistem perekonomian global, dengan kotakota menengah dan kecil lainnya. 2.3
Landasan Kebijakan Pengembangan Perkotaan Landasan kebijakan ini adalah suatu kondisi dasar yang ingin dicapai (policy driver) dalam pembangunan perkotaan. Landasan kebijakan tersebut adalah : 1) Terlaksananya desentralisasi secara efektif dan efisien, dilandasi dengan penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance). 2) Terciptanya pola pembangunan yang berkelanjutan termasuk pola pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian sumber daya alam. 3) Terwujudnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan meliputi penyedian lapangan kerja, akses pada perumahan dan modal/ sumber-sumber keuangan, serta akses pelayanan dasar yang adil dan merata. 4) Terwujudnya kesadaran dan upaya-upaya penanganan masalah sosial budaya. 5) Terwujudnya bentuk-bentuk dukungan kota pada pembangunan nasional. Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan pada dasarnya diarahkan kepada sasaran pelaksanaan Pembangunan Perkotaan agar dapat : a. Mengevaluasi pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan yang selama ini dilakukan; b. Mengkaji dan menganalisis program Pembangunan Perkotaan yang lalu dan yang akan datang; c. Menyesuaikan antara pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan di pusat dan daerah; d. Sehingga dapat menilai efektifitas pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan dengan cermat sesuai ketentuan yang berlaku, agar memberikan hasil yang optimal bagi negara dan masyarakat. Dengan tersedianya kriteria dan ukuran-ukuran atau indikator-indikator kinerja pembangunan perkotaan dalam pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan, akan dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan secara efesien dan efektif, dan peningkatan produktifitas secara umum bagi terwujudnya Pembinaan dan Pengendalian Prasarana dan Sarana Dasar Perkotaan yang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 11
produktif, handal dan bermanfaat, dalam pengembangan wilayah dan ekonomi dalam Pembangunan Perkotaan. Namun demikian, Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), apabila adanya kerjasama antara Departemen Pekerjaan Umum dengan Dinas Pekerjaan Umum di Propinsipropinsi wilayah kajian baik dipusat maupun didaerah. Peran serta masyarakat untuk ikut dalam Pengembangan Indikator kinerja Pembangunan Perkotaan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan secara lebih transparan sesuai kriteria dan ukuran-ukuran dalam menilai dan mengevaluasi serta mengetahui untuk mengetahui kinerja penyedian, pengelolaan, dan penyampaian pelayanan prasarana dan sarana suatu kota sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan : a.
Perubahan Paradigma Pembangunan
Otonomi daerah : menggeser kekuasaan regulasi, program, anggaran dan kewenangan untuk kebijakan dari Departemen Sektoral di Pusat ke Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pembangunan dari pendekatan sektoral ke pendekatan kewilayahan dengan pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatoris.
b.
Semangat dan Orientasi Pembangunan Masyarakat madani, manajemen modern dan terbuka Ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak, unggul dan adaptif terhadap globalisasi
c.
Semangat Privatisasi Ada trend yang menuntut bahwa pengusahaan dan pembangunan tidak lagi dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi lebih banyak dilakukan atas dasar korporasi di daerah, dengan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai “Enabler” dan masyarakat dan swasta sebagai pelaku utama.
d.
Paradigma Baru Pembangunan 1. Paradigma Lama Pembangunan (Dahulu)
Top Down (Sentralistik)
Pemerintah
menyiapkan,
melaksanakan,
mengendalikan
Pemerintah/Kota pasif. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 12
dan
Kebijakan pembangunan tertutup, diketahui sekelompok orang dan Pemerintah/Kota pasif .
Tidak melalui mekanisme yang seharusnya
partisipasif 2.
Paradigma Baru
Bottom Up (Desentralistik)
Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat menyiapkan, melaksanakan dan mengendalikan/mengevaluasi
Kebijakan pembangunan transparan, rasional dan evaluatif serta partisipatif
3.
Sesuai dengan mekanisme penyusunan berpartisipatif
Dampak Otonomi Daerah (OTDA) pada pengembangan indikator efektifitas pelaksanaan program pembangunan perkotan. Adanya OTDAmenjadikan pengambil keputusan di daerah harus:
Lebih proaktif dalam meberi arah dan peluang bagi dunia usaha untuk kiprah (lokal action)
Menentukan pendekatan pegembangan indikator efektivitas pelaksanaan program pembangunan perkotaan sebagai suatu incorporated dimana masing-masing stakeholder peduli
4.
Sosialisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan. a. Sosialisasi
Mengupayakan agar prinsip keterbukaan dalam pengembangan Indikator pembangunan
Secara aktif mengupayakan agar proses Pengembangan Indikator Kinerja
Pembangunan
Perkotaan
dapat
sampai
kepada
yang
berkepentingan (stakeholder)
Mengupayakan agar proses keikutsertaan masyarakat dalam semua tingkat proses Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan makin lama makin terwujud, sehingga dalam tahap implementasinya
sudah
dipahami
alasan-alasan
dilakukannya
kegiatan-kegiatan yang ada. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 13
b. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Indikator Kinerja Pembangunan Perkotaan Pemanfaatan (1) Bantuan pemikiran/pertimbangan (2) Penyelenggaraan kegiatan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan (3) Bantuan teknis Pengendalian (1) Pengawasan pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan (2) Pemberian informasi / pelaksanaan program Pembangunan Perkotaan menjelaskan atas hak masyarakat (3) Menjaga konsistensi dengan daerah secara komprehensif (4) Peningkatan peran serta masyarakat menjadi salah satu prioritas. Fungsi dan peranan pemerintah sudah harus bergeser dari peranan sebagai ”provider” dengan tingkat otoritas yang besar ke arah peranan sebagai ”enabler” sebagai pendorong bagi tumbuhnya peran serta masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian program Pembangunan Perkotaan yang direncanakan akan dapat tepat pada sasaran, lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya serta lebih sustainable bagi kepentingan masyarakat dan negara, serta, Departemen Pekerjaan Umum Khususnya. Pengalaman selama ini masih menunjukan bahwa antara program Pembangunan Perkotaan dipusat dan di daerah yang ada dirasa belum optimal dan tepat sasaran. Sering terjadi ketidaksinkronan dalam kebijakan Pembangunan Perkotaan itu sendiri. Untuk
itulah
pengembangan
indikator
efektifitas
pelaksanaan
program
Pembangunan Perkotaan perlu dilakukan, untuk selanjutnya dapat memberikan bahan masukan teknis bagi perumusan indikator untuk keperluan penentuan kinerja Pembangunan Perkotaan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 14
2.3 Tipologi Kota Penetapan tipologi didasarkan pada: a. Asumsi bahwa tingkat perkembangan suatu kota dapat dicerminkan oleh jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut (berdasarkan kondisi empiris, semakin tinggi jumlah penduduk suatu kota, ketersediaan prasaranaperkotaan, semakin kental sifat kekotaan dari kota tersebut); b. Fungsi utama kota ditentukan berdasarkan kelengkapan prasarana yang dimiliki suatu kota yang dapat berfungsi sebagai outlet aliran barang atau orang, dan fungsi kota yang telah ditetapkan dalam PP 47 tahun 1997. c. Dominasi kegiatan wilayah kota ditentukan menurut peranan subsektor yang ada dalam perhitungan PDRB kabupaten/kota terhadap kontribusinya dalam pembentukan nilai PDRB regional (Provinsi). Pengelompokan kota berdasarkan kesamaan dapat diartikan menyatukan tipe- tipe kota dalam tipologi. Penentuan tipologi kota dapat dilakukan sesuai dengan skala kota (magnitute) karakter kota, maupun fungsi kota. Pengelompokan kota berdasarkan skala (magtitute) dapat dilihat dari berbagai segi, antar lain dari luas kota atau jumlah penduduk, besar kawasan pusat kota, dan sebagainya. Sedangkan pengelompokan berdasar karakter kota dapat didasarkan pada sifat kota sebagai daerah pesisir, daerah daratan ( secara letak geografis), atau didasarkan pada fungsi (sesuai PP 47/1997), dimana kota dilihat dari kelengkapan prasarana dalam upaya mendukung pergerakan ekonomi wilayah, dimana kota dapat diklasifikasikan sebagai PKW, PKL, PKN. Dalam penentuan dan pengukuran kinerja pembangunan perkotaan, salah satu aspek yang dinilai harus dapat dilakukan dalam kelas yang sama. Dalam artian, bahwa penilaian terhadap skala kota tidak dapat dibedakan kota dengan skala pelayanan nasional dengan kota skala pelayanan lokal, demikian sebaliknya. Oleh karena itu dalam mengukur indikator yang digunakan akan tergantung dengan skala kota (baik ditinjau dari fungsi dan karakter). Penentuan tipologi kota dalam penilaian kota skala yang paling signifikan apabila diuji adalah skala kota terhadap penduduk yang dilayaninya. Kota ditinjau dari skalanya dapat dibedakan menjadi;
Kota Metro;
Kota Besar;
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 15
Kota Sedang;
Kota Kecil. Pada UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pasal …. dan penjelasannya
Tipologi kota berdasarkan jumlah penduduk, dapat dirinci sebagai berikut: 1. Kawasan Perkotaan Kecil yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 20.000 hingga 100.000 jiwa; 2. Kawasan Perkotaan Sedang yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa; 3. Kawasan Perkotaan Besar yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa; 4. Kawasan Perkotaan Metropolitan yaitu Kawasan Perkotaan atau kota dengan penduduk > 1.000.000 jiwa. 2.4
Indikator Perkotaan 2.4.1 Konsep Dasar Indikator Perkotaan A. Pengertian dan Fungsi Indikator perkotaan Indikator
perkotaan
adalah
ukuran
kuantitatif
maupun
kualitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran pengembangan perkotaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta dipergunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja pengembangan perkotaan. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari dari sebuah kota dapat menunjukan perubahan, terutama untuk menuju sasaran yang telah ditentukan. Secara umum indikator perkotaan memiliki beberapa fungsi, yaitu: a. Memperjelas tentang aspek yang akan diukur b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak tertentu untuk menghindari kesalahan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan serta dapat pengukur kinerja secara menyeluruh. c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi
guna peningkatkan
efektivitas dan effisiensi di masa datang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 16
B. Penetapan kriteria indikator perkotaan Penetapan kriteria indikator perkotaan (urban indicator) dengan mempertimbangkan: a) Comprehensiveness berbagai faset kinerja perkotaan. Indikator harus mampu digunakan sebagai alat analisis yang lengkap dan menyeluruh diberbagai aspek pelayanan kota. b) Applicability dan simplicity kriteria. Kriteria indikator harus
bisa diterapkan
disemua wilayah Indonesia oleh semua pelaku. Oleh karena itu pertimbangan kesederhanaan pada alat ukur sangat perlu dikedepankan. c) Universalitas kriteria. Mengingat keragaman wilayah Indonesia maka kriteria indikator harus bisa diterapkan disemua wilayah secara umum tanpa kecuali. d) Fleksibilitas dan kemungkinan untuk disesuaikan dari waktu ke waktu termasuk penyesuaian prioritas kajian. C. Syarat-syarat Indikator Perkotaan Penentuan indikator kinerja harus mempertimbangkan beberapa sendi sendi, agar indikator yang ada dapat diaplikasikan secara tepat dan bermanfaat. Syaratsyarat indikator kinerja antara lain: a) Jelas. Artinya dapat dipahami oleh banyak aktor b) Spesifik. Artinya untuk memperoleh penilaian yang tidak menimbulkan salah persepsi c) Dapat diukur. Artinya indikator harus dapat diukur baik
secara kuantitaif
maupun secara kualitatif d) Relevan. Artinya indikator dapat menangani dan menilai
segala hal yang
berhubungan dengan kinerja e) Fleksibel.
Artinya
indikator
yang
ditentukan
mengakomodasikan perubahan yang terjadi
harus
cukup
mampu
didalam penilaiaian dan tuntutan
lingkungan sekitar f) Sensitif. Artinya dapat mengakomodasikan perubahan yang ada, sehingga tidak menimbulkan kesalahan penilaian berkaitan dengan perubahan lingkungan g) Obyektif. Artinya indikator harus dapat diukur oleh berbagai pihak dan menghasilkan nilai yang relatif sama
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 17
h) Efektif. Hal ini terutama berkaitan dengan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penilaian kinerja AB III - 3 Selain itu dalam pengukuran kinerja harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan tepat waktu, mudah diimplementasikan,
serta dapat didefinisikan dengan jelas.
Kecepatan merupakan hal penting dalam pengumpulan dan pendistribusian data. Tugas pengumpalan data pada penilaian kinerja merupakan kegiatan utama. Seringkali penilaian kinerja dianggap sederhana,
sehingga pada tahap pengumpulan data, banyak terjadi
kesalahan dan kurangnya validitas data. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan validitas pengukuran perlu dilakukan bersama dengan stakeholder kota yang menjadi obyek penilaian kinerja. 2.4.2 Lingkup Obyek Penilaian Indikator Perkotaan Pada dasarnya penilaian kinerja pengembangan perkotaan ini menilai bagaimana operasional pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan penyediaan/pembangunan perkotaan kepada masyarakat yang berada pada wilayah administratif dari kota tersebut. Secara umum pendekatan ini memang menjadi salah satu pembatasan dalam penilaian kinerja pemerintahan, dikarenakan secara umum pertumbuhan kota sudah barang tentu akan berdampak pada area disekitar kota (urban periphery). Pendekatan ini dilakukan dengan dasar bahwa pelayanan minimal yang harus disampaikan oleh pemerintah
Kota minimal dapat
mencakup seluruh wilayah administrasi. Penilaian kinerja kota di dalam kegiatan ini lebih ditekankan pada lingkup batas administrasi. 2. 4.3. Kriteria Penilaian Indikator Pengembangan Perkotaan Yang Ada. A. Indikator Perkotaan (Urban Indikator) menurut UNHCS Selain indikator good urban governance, UNHCS juga mengembangkan sistem indikator yang terdiri atas 23 indikator kunci dan 9 daftar data kulitatif. Pengembangn indikator ini didasarkan pada Habitat agenda dan Resolution 15/6 and 17/1 UNHCS. Indikator dan data tersebut merupakan data minimum yang diperlukan untuk mengukur sejauh mana komitmen dan konsistensi dalam pengembangan kota dan pemukiman.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 18
Indikator yang dimaksud diklasifikasi ke dalam 5 bab dan disubklasifikasikan menjadi 20 area kunci dari Istanbul +5 Universal Reporting Format. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut : Tabel 2.1 Daftar Indikator Kota sebagai respon terhadap 20 Habitat genda Key Areas Of Commitment
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 19
Indikator-indikator dalam Urban Indicator versi UNHCS ini memerlukan data yang cukup banyak dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Data tersebut dibagi dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh dari hasil konsultasi dengan kelompok pakar dalam skala kecil untuk memberikan penilaian yang merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan : (a) Pakar dengan kualifikasi tinggi di masing-masing Negara yang menjadi narasumber untuk melakukan penilaian mengenai indikator-indikator tersebut. (b) Pakar tersebut harus berkomunikasi langsung dengan UNHCS dan pekerjaannya harus dikaji dan dikomentari melalui beberapa tahapan. Dalam hal ini, kompleksitas perolehan data yang memenuhi persyaratan sangat tinggi. Untuk semua data, prinsip utamanya adalah bahwa data tersebut adalah data terbaik yang ada, termutakhir dan sepenuhnya terdokumentasi. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penialian terhadap indikatorindikator
tersebut tidak dilakukan secara
terfragmentasi mengingat adanya hubungan sistematik antar indikator untuk memperoleh gambaran total mengenai setiap sektor dan setiap kota yang dinilai kinerjanya. Permasalahan yang dihadapi di sini adalah bahwa data-data tersebut dimiliki oleh dinas-dinas pemerintah yang berbeda-beda khususnya per sektor. Untuk mengantisipasi adanya inkonsistensi pendataan, perlu koordinasi in timely manner.
Untuk data pada
aspek-aspek yang relatif stabil dalam arti tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahin ke tahun, data lama dapat digunakan dengan dilengkapi proses ekstrapolasi. Sementara data yang menyangkut aspek yang berubah secara
cepat, diharuskan
menggunakan data yang terbaru. Indikator Perkotaan untuk manajemen Lingkungan Menurut UNHCS Dalam skala internasional, UNHCS bekerja sama dengan World Bank, mengembangkan satu perangkat indikator perkotaan untuk membantu negara-negara menghadapi Konferensi Habitat II tahun 1996. indikator-indikator yang dimaksud, dirangkum pada Tabel 2.2.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 20
Tabel 2.2 Indikator Perkotaan Untuk Manajemen Lingkungan menurut UNHCS
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 21
B. Indikator perkotaan (urban indikators) menurut Asian Development Bank Lebih spesifik daripada UNHCS, yang indikatornya berlaku untuk kota-kota dalam skala internasional, Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 meluncurkan sekaligus melakukan pengukuran kinerja 18 kota di Asia. Pengukuran kinerja ini dilakukan dengan mengangkat isu kemiskinan perkotan di negara-negara di Asia sebagai isu utama. ADB menekankan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya diindikasikan oleh pendaatan yang rendah semata, melainkan juga menyangkut
aspek human capital
development, gender equity, social protection, good governance, lack of discrimination dan geograic location. Pengukuran kinerja tersebut didasarkan pada 140 indikator kota yang dikelompokkan ke dalam 13 divisi utama, yaitu : (a) Populasi, migrasi dan urbanisasi : Menggambarkan karakteristik kependudukan suatu kota melalui indikator-indikator seperti jumlah penduduk (bertempat tinggal dan bekerja), angka migrasi, komposisi penduduk menurut umur, jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga rata-rata dan jumlah rumah tangga yang tingal di pemukiman ilegal. (b) Kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan : Menggambarkan kondisi perekonomian suatu kota melalui indikator-indikator seperti distribusi pendapatan,
kemiskinan, tenaga kerja anak, tenaga kerja informal, dan
penganguran (c) Kesehatan dan pendidikan Menggambarkan kondisi kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu kota dilihat dari indikator seperti jumlah orang per tempat tidur rumah sakit, angka kematian bayi. Hasil pengukuran dirangkum dalam Cities Data Book for Asian and Pasific Region. Sementara ringkasannya dipaparkan oleh Peter Hall dalam Urban Indicators for Asia’s Cities : From Theory to Practise, 2000
angka harapan hidup, angka kematian
diakibatkan oleh penyakit menular, tingkat keluarga berencana, angka buta huruf untuk orang dewasa, tingkat pnerimaan murid sekolah, jumlah siswa yang lulus perguruan tinggi, rata-rata tingkat pendidikan akhir dan jumlah murid per kelas.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 22
(d) Produktivitas dan daya saing kota : Menggambarkan perkembangan perekonomian kota melalui penilaian terhadap indikator-indikator seperti PDRB per kapita, struktur mata pencaharian, pengeluaran rumah
tangga pada item utama, tingkat investasi menurut sector
(infrastruktur,
perumahan dan layanan publik lainnnya), tingkat pariwisata, daftar investasi utama, biaya hidup sehari dan jumlah corporate headquarters. (e) Teknologi dan Connectivity : Masih berkaitan dengan perkembangan perekonomian perkotaan yang dinilai dari tingkat pengeluaran pemerintah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, tingkat penggunaan telepon (lokal, interlokal, internasional dan mobile) serta tingkat koneksi internet (jumlah dan pertumbuhan). (f) Perumahan : Merepresentasikan pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Namun dalam hal ini, ukuran dan kualitas rumah tidak perlu dipentingkan, melainkan lebih menekankan pada guna lahan dan harga lahan. Oleh karena itu, indikator-indikator yang digunakan antara lain tipe hunian, tipe kepemmilikan, harga jual dan sewa rumah, pembiayaan kepemilikan rumah, tingkat produksi
perumahan, perlakuan terhadap
pemukiman liar, pengeluaran pemerintah dan jumlah penduduk yang tidak memiliki rumah. (g) Lahan kota : Menggambarkan sejauh mana tingkat penggunaan lahan perkotaan, apakah banyak lahan tidur atau tidak serta apakah hal itu berkaitan dengan tingkat permintaan terhadap lahan atau tidak, dan seterusnya. (h) Pelayanan Umum : Terdiri atas air, listrik, saluran air kotor/limbah, telepon dan sarana pengumpulan sampah (TPA/TPS). Indikator yang digunakan antara lain jumlah koneksi, investasi per kapita, pengeluaran untuk operasional dan pemeliharaan, cost recovery, tingkat produtivitas karyawan dalam melayani publik, penyedia, tingkat kekurangan dan gangguan dalam pelayanan, tingkat konsumsi serta tarif berlaku.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 23
(i) Lingkungan Perkotaan : Dinilai dengfan indikator seperti volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan sampah, pengolahan limbah/air kotor, tingkat polusi udara, tingkat penggunaan energi, tingkat kebisingan dan tingkat kerusakan akibat bencana alam. (j) Transportasi Perkotaan : Kelompok indikator ini pada dasarnya mengukur lalu lintas barang dan jasa. Termasuk di dalamnya, indicator-indikator seperti moda yang digunakan dari rumah ke tempat kerja, waktu melakukan perjalan (median), tingkat kepemilikan kendaraan, tingkat aktivitas pelabuhan dan udara, serta jumlah barang yang diangkut menurut jenis kendaraan. Selain itu, pengukuran ini dilakukan pula terhadap aspek kebijakan seperti tingkat pengeluaran pemerintah untuk pembangunan jalan, tingkat kemacetan, cost recoovery from fees dan tingkat kecelakaan lalu lintas. (k) Budaya : Hanya diukur dari jumlah pengunjung pada setiap atraksi utama yang diselenggarakan oleh kota. (l) Keuangan Pemerintah Daerah : Kelompok ini mengukur berbagai jenis indikator input dan output, antara lain sumber pendapatan daerah, pengeluaran rutin pemerintah daerah, tingkat efisiensi penarikan pajak, debt service charge, employment, tingkat upah dan sejauh mana komputerisasi dilakukan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. (m) Pemerintahan dan Manajemen Perkotaan : Kelompok yang terakhir ini relatif besar dan sangat heterogen, yaitu termasuk data-data mengenai fungsi pemerintah daerah, tingkat partisipasi, kebebasan dari pemerintah pusat, anggota dewan, representasi, aplikasi perencanaan, berbagai indeks yang secara langsung berkaitan dengan kualitas hidup (kepuasan pelanggan, persepsi kota sebagai tempat hidup, tingkat kejahatan) serta indeks-indeks mengenai akses terhadap informs perkotaan, hubungan antara administrasi kota dengan masyarakat dan eksistensi unit distrik yang terdesentralisasi. Sayangnya, dalam pengukuran di lapangan, indikator mengenai kulaitas hidup sulit diperoleh dan tidak memungkinkan untuk melakukan survei terhadap persepsi secara langsung.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 24
Metoda pengukuran ADB secara umum jauh lebih mudah dan feasible dalam hal perolehan data daripada metoda pengukuran
yang dikemukakan oleh UNDP dan
UNHCS sebelumnya. Dalam hal ini, ADB lebih banyak menggunakan data kuantitatif dan menekankan pada proses pengolahan data statistik yang pada umumnya dimiliki oleh instansi-instansi di negara-negara di Asia. Formulasi Lingkup dan Kriteria Penilaian per-Kotaan Indikator penilaian kinerja pembangunan perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu: 1. Aspek Penduduk Indikator yang digunakan: -
Tingkat pertumbuhan penduduk;
-
Tingkat migrasi; dan
-
Tingkat kepadatan penduduk.
2. Aspek Produktifitas Perkotaan Indikator yang digunakan:
Tingkat kemiskinan;
Tingkat pengangguran;
Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;
Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;
Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan
Tingkat ketergantungan penduduk.
3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan Indikator yang digunakan:
Tingkat kematian ibu;
Tingkat kematian bayi;
Angka Prevelensi Penyakit Diare;
Rata-rata usia harapan hidup warga;
Ketersediaan fasilitas Puskesmas;
Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan
Ketersediaan apotek;
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 25
Angka melek huruf;
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).
4. Aspek Permukiman dan Lingkungan Indikator yang digunakan:
Rasio penduduk kumuh per penduduk total;
Persentase permukiman kumuh;
Luasan permukiman kumuh;
Rasio Ruang Terbuka Hijau;
Pengaduan polusi/pencemaran;
Jumla kejadian kebakaran; dan
Tindak kejahatan per 1000 penduduk.
5. Aspek Ekonomi Indikator yang digunakan:
Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB)
Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB
Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir
Analisis ICOR
Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita
Rata-rata pendapatan penduduk perkapita
Disparitas Pendapatan Antarsektor
Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Elastisitas kesempatan Kerja
Tingkat Kemiskinan
6. Aspek Budaya Indikator yang digunakan:
Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 26
Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)
Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif)
7. Aspek Sosial Kependudukan, Indikator yang digunakan:
Kepadatan Penduduk Kota
Kepadatan Penduduk Kelurahan
Angka Migrasi
Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk
Tingkat kematian bayi
Rata-rata usia harapan hidup warga
Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)
Ketersediaan jumlah tenaga medis
Ketersediaan Apotek
8. Aspek Spasial Indikator yang digunakan:
Konversi Lahan
Ketersediaan Ruang Publik
Keberadaan lingkungan kumuh
9. Aspek Prasarana 1) Sektor Air Bersih Aset, meliputi : a. Sumber Air b. Kualitas Air c. Kebocoran Air d. Pelayanan Cakupan Pelayanan Cakupan Pelanggan Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik) Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 27
Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) Tingkat penggunaan air Tarif Air 2). Sektor Transportasi Aset, meliputi : a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan c. Kondisi Jalan d. Terminal Angkutan Darat e. Terminal Udara 3). Sektor Sanitasi Aset, meliputi : a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) 4). Sektor Persampahan Aset, meliputi : a. Pengumpulan b. Pengangkutan c. Kapasitas Pembuangan d. Metoda Pembuangan e. Kepemilikan Lahan TPA f. Pelayanan, meliputi : -
Cakupan Pelayanan
-
Retribusi Sampah
-
Kerjasama dengan Masyarakat
10. Aspek Pengelolaan Pemerintah a. Pewujudan Rencana Tindakan b. Ketergantungan Dengan Pemerintah Pusat c. Kepuasan Masyarakat d. Akses Informasi Publik e. Aspek Pengelolaan Prasarana air bersih Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 28
f. Aspek Pengelolaan Prasarana Persampahan g. Aspek Pengelolaan Prasarana Air Limbah h. Aspek Pengelolaan Prasarana Drainase i. Aspek Pengelolaan Prasarana Jalan dan Transportasi C.
Standar Pelayanan Minimal (Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 Didalam upaya untuk menilai kualitas pelayanan suatu prasarana dan sarana perkotaan ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu tentang pelayanan yang minimal harus diberikan oleh prasarana dan sarana perkotaan tersebut. Di negara kita, khususnya di lingkungan kimpraswil, kajian tentang standar pelayanan minimal yang harus diberikan untuk masing-masing sektor prasrana dan sarana perkotaan telah ditetapkan standarnya. Kajian tentang Standar Pelayanan Minimal Prasarana dan Sarana Perkotaan ini didasarkan pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Di bawah ini akan dikaji Standar Pelayanan Minimal untuk sektor Air Bersih, Drainase, Air Kotor, Persampahan dan Jalan dan Angkutan Kota, yaitu; A. Sektor Air Bersih Standar Pelayanan Minimal Air Bersih yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut : 1. Indikator Pelayanan: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan/orang dan tingkat kualitas air minum 2. Cakupan Pelayanan: 55-75% penduduk terlayani 3. Tingkat Pelayanan: 60-220 lt/org/hari, untuk permukiman dikawasan perkotaan, 3050 lt/org/hari, untuk lingkungan perumahan pedesaan 4. Kualitas Pelayanan: Memenuhi standar air bersih
Beberapa ukuran penilaian
kualitas pelayanan dari sumber yang lain adalah:
Kadar garam dalam air bersih: 1000-3000 ppm slightly saline
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 29
3000-10000 ppm moderately saline 10000-35000 ppm very saline lebih dari 35000 ppm brine Ph Air Bersih normal: 6 – 8 Kekerasan air karena mengandung calcium dan magnesium: 0 – 60 ppm soft 61 – 120 ppm moderately hard 121 – 180 ppm hard lebih dari 180 ppm very hard Faktor biologis yang terkait dengan kualitas air : BOD (Biochemical Oxygen Demand) Kualitas umum air : tidak berbau, berasa, berwarna dan tidak mengandung sesuatu yang menyebabkan menurunnya kualitas air. Kemenerusan pelayanan (jam pelayanan): jam/hari B.
Drainase Standar Pelayanan Minimal Drainase yang diatur dalam Kepmen Kompraswil
No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut : 1. Indikator Pelayanan : Luas genangan banjir tertangani di daerah perkotaan dan kualitas penangangan 2. Cakupan Pelayanan : Tidak ada genangan banjir di daerah kota / perkotaan > 10 Ha 3. Tingkat Pelayanan: Di lokasi genangan dengan tinggi genangan rata-rata > 30 cm; lama genangan > 2 jam; frekuensi kejadian banjir > 2 kali setahun 4. Kualitas Pelayanan: Tidak terjadi lagi genangan banjir, bila terjadi genangan; tinggi genangan rata-rata < 30 cm, lama genangan < 2 jam; frekuensi kejadian banjir < 2 kali setahun. Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk drainase juga
menyediakan
informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni :
Genangan < 10 Ha, penanganan drainase mikro
Genangan > 10 Ha, penanganan drainase makro Kriteria Disain/Perencanaan meliputi:
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 30
Saluran Primer/ Makro drainase untuk kawasan strategis, perdagangan, industri, permukiman untuk penanganan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
Saluran sekunder untuk penanganan genangan > 10 Ha, PUH 10-25 tahun
Saluran Tersier, untuk penanganan genangan < 10 Ha, PUH 2-5 tahun
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah:
Penanganan kualitas limbah, apabila saluran drainase terpadu dengan saluran limbah rumah tangga. Dalam hal ini pengenceran air limbah kotor diperlukan untuk
dapat
dibuang secara langsung ataupun dengan diolah terlebih dahulu.
Debit saluran pengglontor yang direncanakan harus mampu mendorong limbah air kotor yang ada di jaringan bersangkutan.
C. Air Kotor/ Limbah Standar Pelayanan Minimal Air Kotor/ Limbah yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1. Indikator Pelayanan: Tingkat penyediaan sarana sanitasi terhadap jumlah penduduk kota/ perkotaan dan kualitas penanganan 2. Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk kota/perkotaan 3. Tingkat Pelayanan:
Sarana sanitasi individual dan komunal (sistem onsite):
Toilet RT/ Jambang/MCK,
Septik Tank, Truk tinja, IPLT
Sistem off-site: Modular/full Sewerage System terdiri dari jaringan sewer dan IPAL
4. Kualitas Pelayanan: Sistem On-site: -
Separasi antara grey water (mandi, cucian) terhadap black water (kakus)
-
Penyaluran black water yang baik ke septik tank, tanpa ada kebocoran dan baru
-
Tidak ada rembesan langsung/ pencemaran air tinja dari septik tank ke air tanah
-
Efisien removal BOD dan SS > = 85%
-
Tidak ada komplain terhadap permintaan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja, pengolahan lumpur tinja selanjutnya di IPLT
Sistem Off-site: - Tidak ada separasi antara grey water terhadap black water, tetapi disain sewerage dapat bersatu dengan storm sewer Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 31
- Tidak ada blokade dan/ atau kebocoran sewerage - Efisiensi removal BOD, SS IPAL > 90% dan E-Coli > = 99% Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/limbah juga menyediakan informasi tentang Indikasi Penanganan dan kriteria desain yakni: Indikasi Penanganan -
System on-site lebih diarahkan untuk kota sedang kecil dengan kepadatan rata-rata = 200 jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah > 2 m dan potensi cost recovery yang belum mendukung untuk full sewerage system
-
Sistem off-site lebih diarahkan untuk kota metro besar dengan kepadatan rata-rata > = 200 jiwa/ha, dengan taraf muka air tanah < 2m, dan potensi cost-recovery yang mendukung untuk full sewerage system.
Kriteria Desain/ Perencanaan -
Debit air buangan= 70 - 80% konsumsi air bersih
-
Pengendapan lumpur tinja 0,2-0,3 lr/or/hari
-
Sarana sanitasi individual untuk satu KK
-
Sarana sanitasi komunal untuk lebih dari satu KK
-
MCK ditempat umum u/100-250 ribu orang
-
Truk tinja @3 m3 u/10.000 KK
-
Modul IPLT disiapkan untuk 100.000 jiwa: kolam lumpur, oxydation dite / ponds, sludge thickener, digester dan sludge drying bed; keb lahan = 2ha / 100.000 jiwa
-
Sistem off-site sesuai dengan rekomendasi FS dan hasil DED, perhitungan debit air, jaringan dan dimensi sewer, dan sistem IPAL.
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan drainase adalah: Debit yang dihasilkan serta kualitas limbahnya. Indikator debit yang dihasilkan berpengaruh langsung terhadap usaha pengadaan saluran pengglontor. Indikator kualitas limbah berkaitan dengan tingkat pengenceran limbah air kotor yang diperlukan untuk dapat dibuang langsung atau harus diolah terlebih dahulu. Indikator limbah rumah tangga meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB) dan bahan ikutan yang berupa padatan. Sedang indikator limbah industri
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 32
meliputi biological oxygen demand (BOD), carbon oxygen demand (COB), logam berat dan bahan ikutan yang berupa padatan. D. Persampahan Standar Pelayanan Minimal Persampahan yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut: 1.
Indikator Pelayanan: Tingkat penangganan bangkitan sampah terhadap jumlah penduduk kota/perkotaan dan kualitas penanganan
2.
Cakupan Pelayanan: 80% dari jumlah penduduk
kota/perkotaan dilayani oleh Sistem
DK/PDK dan sisanya 20% dapat ditangani secara saniter (on-site system) 3.
Tingkat Pelayanan: Prioritas penanganan system persampahan: 100% untuk kawasan pusat kota / CBD dan pasar 100% untuk kawasan permukiman dengan kepadatan > 100 jiwa/ha Rata-rata 80% untuk kawasan permukiman perkotaan 100% untuk penanganan limbah industri 100% untuk penanganan limbah B3/ medical waste
4.
Kualitas Pelayanan: -
Penanganan sampah on-site dilakukan secara saniter: individual cora-posting, separasi sampah
-
untuk diambil pemulung
-
Penanganan sampah oleh sistem DK/PDK dilakukan secara terintegrasi (PewadahanPengumpulan-Pengangkutan/Transfer-Penanganan Akhir).
-
Tempat/kapasitas pewadahan tersedia
-
Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan secara reguler
-
Tidak ada penanganan akhir sampah secara open dumping
-
Tidak ada pembuangan sampah secara liar
-
Tingkat composting dan daur ulang sampah minimal 10%
-
Penanganan akhir sampah setidaknya dengan controlled landfill
-
Konsep 3R sudah diterapkan di industri
-
Medical waste ditangani secara swakelola oleh RS
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 33
Pedoman Standar Pelayanan Minimal untuk Air Kotor/ Limbah juga menyediakan informasi tentang indikasi penanganan dan criteria desain yakni: Indikasi Penanganan: Pembakaran sampah on-site harus dihindari. Kriteria Desain/ Perencanaan: -
Bangkitan sampah 2,5-3 lt atau 0,5-0,6 kg/org/hari, Bin sampah 50 lt/ 200 m sidewalk
-
jalan protokol atau 50 lt/ 100 m ditempat keramaian umum.
-
Gerobak 1 m3/200 KK
-
Kontainer 1 m3/200 KK
-
Transfer Depo 25-200 m2 untuk 400-4000 KK
-
Truk sampah 6 m3/700 KK 8 m3/1000 KK
-
Arm Roll Truck + kontainer 8 m3/1000 KK
-
Compactor truck 8 m3/ 1200 KK
-
Steet Sweeper
-
Ritasi pengankutan 2-5 rit/hari
-
1 TPA/ 100.000 penduduk, membutuhkan peralatan berat: 1 buldozer, 1 wheel loader, dan 1 excavator
-
Composting: individual, vermi kompos, UDPK
-
Daur ulang diarahkan untuk perkuatan jaringan konsumen, pemulung, lapak dan industri daur ulang
-
Opsi penanganan medical waste incinerator
Beberapa hal lain yang dapat dipakai untuk mengindikasikan tingkat pelayanan persampahan adalah: -
pengangkutan dan penanganan limbah akhir limbah B3 (berbau, beracun dan berbahaya) dilakukan secara terpisah
-
pembuangan sampah dari rumah tangga atau tempat lain sudah dipisahkan minimal dalam dua kategori: bisa diolah lagi dan tidak bisa diolah lagi.
E. Jaringan Jalan dan Angkutan Kota Standar Pelayanan Minimal Jalan dan Angkutan Kota yang diatur dalam Kepmen Kompraswil No 534/KPTS/M/2001 mencakup berbagai hal sebagai berikut: Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 34
Jalan Kota: 1. Indikator Pelayanan: Panjang jalan/ jumlah penduduk; 2. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh); 3. Luas jalan/luas kota, Cakupan Pelayanan: Panjang jalan 0,6 km/1.000 penduduk; 4. Ratio luas jalan 5% dari luas wilayah 5. Tingkat Pelayanan: Kecepatan rata-rata 15 s.d 20 km/jam 6. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan mudah Jalan Lingkungan 1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah 2. Cakupan Pelayanan: Panjang 40-60 m/Ha dengan lebar 2-5 m Jalan Setapak 1. Indikator Pelayanan: Rasio panjang jalan dengan luas wilayah 2. Cakupan Pelayanan: Panjang 50-11 m/Ha dengan lebar 0,8-2 m Dalam perkembangan pembangunan kota menuju kota yang merupakan suatu kebutuhan penting,
sehat, jalan untuk sepeda
mengingat bercampurnya sepeda dan kendaran
bermotor lainnya dapat membahayakan keselamatan pengguna sepeda. Oleh karena itu indikator untuk jalan kota dapat ditambahkan sebagai berikut: Total panjang jalan untuk sepeda / luas kota (km/km2) Pedoman Standar Pelayanan Minimal di atas tidaklah mencakup Pelayanan untuk Angkutan Kota. Di bawah ini disajikan Standard Pelayanan Minimal untuk Angkutan Kota yang disarikan dari berbagai sumber. 1. Indikator Pelayanan: Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum per 1000 penduduk Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas yang ada (kongesti) Rasio panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota dengan panjang jalan kota 2. Cakupan Pelayanan: Jumlah kursi pada seluruh angkutan umum/penduduk kota X 1000 Panjang jalan yang dilayani oleh angkutan kota/panjang jalan kota 3. Tingkat Pelayanan: Rasio volume lalu lintas dengan kapasitas jalan tidak melebihi dari 0.80
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 35
4. Kualitas Pelayanan: Akses ke semua bagian kota dengan menggunakan angkutan umum relatif mudah Badan Pusat Statistik memberikan kriteria penilaian suatu kawasan menjadi kota sebagai berikut: a. Kegiatan utama bukan pertanian : rumah tangga pertanian kurang dari 25% b. Kepadatan penduduk > 5000/jiwa/km2 c. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas berikut:
1.
SD dan sederajad
9.
Pesawat Telepon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu
2.
SLTP dan sederajad
10. Pasar dengan bangunan
3.
SLTA dan sederajad
11. Kelompok Pertokoan (Pusat Perdagangan)
4.
Gedung Bioskop
12. Bank
5.
Rumah Sakit
13. Pabrik
6.
Rumah Sakit Bersalin
14. Restoran/Rumah Makan
7.
Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan
15. Listrik Umum (PLN/Non PLN)
8.
Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat
16. Unit penyewaan alat-alat untuk keperluan pesta, dll.
Kriteria lain diberikan oleh National Urban Development Study (NUDS II), yaitu bahwa kawasan perkotaan harus memperhatian aspek-aspek adalah sebagai berikut: 1.
Luas wilayah
9.
2.
Jumlah penduduk
10. Puskesmas
3.
Sumber mata pencaharian penduduk
11. Kantor Pos
4.
Subsektor sumber mata pencaharian penduduk
12. Bangunan 13. Pertanian (ekonomi
5.
SMP
14. Jumlah rumah tangga
6.
SMA
15. Pasar permanen
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Poliklinik
Bab II - 36
7.
Akademi/Universitas
16. Pasar non permanen
8.
Rumah Sakit
17. Pertokoan
Berdasarkan
Kepmen
Kimpraswil
No.
327/KPTS/2002,
kawasan
perkotaan
diklasifikasikan sebagai berikut: 1.
Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa.
2.
Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa.
3.
Kawasan Perkotaan Besar, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa.
4.
Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab II - 37
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Untuk mengevaluasi kelayakan Kawasan Jatinganor sebagai kawasan perkotaan maka digunakan metode penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Menurut Kidder (dalam Riduwan, 2005): Penelitian evaluasi dapat dinyatakan juga sebagai evaluasi, tetapi dalam hal lain juga dapat dinyatakan sebagai penelitian. Sebagai evaluasi dalam hal ini merupakan bagian dari proses pembuatan keputusan, yaitu membandingkan suatu kejadian, kegiatan, produk dengan standar dan program yang telah ditetapkan. Evaluasi sebagai penelitian berarti akan berfungsi untuk menjelaskan fenomena. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) peneliti merupakan instrumen kunci dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiono, 2005). Sedangkan menurut Cronbach yang dikutip Rahayaan (2005) : Pendekatan metode penelitian kualitatif dapat menggambarkan secara menyeluruh mengenai hasil evaluasi, serta pemahaman terhadap program dengan situasi lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fleksibel, karena terfokus kepada obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Selain itu pendekatan kualitatif yang berdasar naturalistik memungkinkan peneliti berinteraksi dalam suasana yang lebih humanis, dinamis dan intensif. Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih lengkap, lebih mendalam, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 1
3.2 Ruang Lingkup Studi : A. Lingkup Wilayah Studi Lingkup wilayah studi adalah Kecamatan Jatinangor sebagai fokus utama adalah Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung sebagai wilayah yang sebagian besar desanya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor. Lingkup wilayah dapat dikembangkan pada Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Jatinangor yang dimungkinkan sebagai pengembangan kawasan perkotaan ke depan (Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Sukasari dan Kecamatan Pamulihan). B. Lingkup Pelaksanaan Studi Tahapan kegiatan dalam penyusunan studi kelayakan kawasan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan adalah : 1. Pengumpulan Data dan Analisis Data Data yang dikumpulkan dan analisa data baik primer maupun skunder yang sahih yang dan dapat dipercaya untuk digunakan dalam tahap analisa data. a. Tahap Persiapan Pada tahap pendahuluan dilakukan persiapan pelaksanaan yang menyangkut program kegiatan, penyusunan instrumen pendataan (kuesioner, peralatan, bahan, dan tenaga) b. Tahap pengumpulan dan kompilasi data Pada prinsipnya kegiatan pada Pengumpulan dan kompilasi data adalah sebagai berikut:
Persiapan Survey -
Pembuatan cheklist pengumpulan data dan instrumen pengumpul data (kuesioner, lembar wawancara, dll) yang memuat kebutuhan data yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.
-
Pembuatan program kerja yang akan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan survey.
-
Penyiapan personil (surveyor)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 2
Pelaksanaan Survey Dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kegiatan utama, yakni: a. Survey instansional, merupakan pengumpulan data skunder yang biasanya data-data sudah diolah dalam bentuk deskripsi, tabel, peta dan diagram. b. Survey lapangan, merupan pengumpulan data langsung di lapangan (kawasan studi) dalam rangka menemukenali dan mengidentifikasi karakteristik kawasan studi. Kegiatan ini dapat berupa observasi lapangan, wawancara langsung dengan masyarakat atau tokoh masyarakat, penyebaran kuesioner, dan lain sebagainya. c. Data-data yang dibutuhkan dalam kegiatan penyusunan studi kelayakan ini secara garis besar meliputi : 1. Data kondisi fisik dasar. 2. Data kondisi sosial-budaya. 3. Data kondisi ekonomi. 4. Data kondisi lingkungan. 5. Data kondisi kelembagaan. 6. Data kondisi tata ruang.
c. Tahap analisa dan justifikasi potensi dan permasalahan Dalam penyusunan studi kelayakan kawasan perkotaan ini, analisa yang dilakukan meliputi : 1. Analisis kelayakan sosial budaya 2. Analisis kelayakan ekonomi 3. Analisis kelayakan kelembagaan 4. Analisis kelayakan lingkungan 5. Analisis kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah d. Tahap penyusunan skenario (alternatif konsep), kesimpulan dan rekomendasi Sebagai hasil akhir dari studi ini adalah tersusunnya skenario (alternatif konsep) kawasan perkotaan jatingaor yangtermuat dalam suatu laporan yang sekurang-kurangnya memuat :
Konsep kawasan perkotaan Jatinangor
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 3
Kesimpulan dan rekomendasi terhadap kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor yang meliputi : a. Kelayakan sosial budaya b. Kelayakan ekonomi c. Kelayakan lingkungan d. Kelayakan kelembagaan e. Kelayakan tata ruang/pengembangan wilayah
2. Metode Analisa Metode analisa merupakan penguraian secara rinci atas berbagai masalah dari seluruh aspek yang dikaji, kemudian mencari alternatif solusinya secara terinci. 3. Metode Sintesa Metode sintesa adalah mengaitkan (mensntesakan) problem dan solusi hasil analisa yang ada untuk mendapatkan alternatif rancangan yang optimal, terpadu dan komprehensif. 3.3
Sumber Data Dalam penelitian kualitatif ini, sumber data dipilih secara purposive sampling dan bersifat snowball sampling. Purposive sampling ialah teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2005). Menurut Sugiono (2005) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar.
3.4 Operasionalisasi Indikator perkotaan (urban indicators) yang digunakan (versi Asian Development Bank dan Standar Pelayanan Perkotaan PU dan Kimpraswil) Indikator perkotaan untuk mengukur sejauhmana kondisi Kawasan Perkotaan Jatinangor memenuhi kriteria sebagai kawasan perkotaan. Indikator yang digunakan indicator yang dikembangkan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000 dan pada beberapa aspek terutama sarana dan prasarana perkotaan digabungakan dengan didasarkan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 4
pada Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum yang merupakan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001.
Indikator penilaian pembangunan
perkotaan terdiri dari 2 (dua) indeks, yaitu Indeks Pembangunan Kota dan Indeks Kualitas Hidup, serta beberapa aspek,yaitu: 1. Aspek Penduduk Indikator yang digunakan:
Tingkat pertumbuhan penduduk;
Tingkat migrasi; dan
Tingkat kepadatan penduduk.
2. Aspek Produktifitas Perkotaan Indikator yang digunakan:
Tingkat kemiskinan;
Tingkat pengangguran;
Tingkat pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional;
Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa;
Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB; dan
Tingkat ketergantungan penduduk.
3. Aspek Kesehatan dan Pendidikan Indikator yang digunakan:
Tingkat kematian ibu;
Tingkat kematian bayi;
Angka Prevelensi Penyakit Diare;
Rata-rata usia harapan hidup warga;
Ketersediaan fasilitas Puskesmas;
Ketersediaan fasilitas Rumah Sakit; dan
Ketersediaan apotek;
Angka melek huruf;
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD);
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP); dan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 5
Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU).
4. Aspek Permukiman dan Lingkungan Indikator yang digunakan: Rasio penduduk kumuh per penduduk total; Persentase permukiman kumuh; Luasan permukiman kumuh; Rasio Ruang Terbuka Hijau; Pengaduan polusi/pencemaran; Jumla kejadian kebakaran; dan Tindak kejahatan per 1000 penduduk. 5. Aspek Ekonomi Indikator yang digunakan: Pertumbuhan Ekonomi (Kenaikan PDRB) Kontribusi Sektor Perdagangan dan Jasa terhadap PDRB Pertumbuhan Sektor Perdagangan dan Jasa 5 tahun terakhir Analisis ICOR Laju Produktifitas Perkapita / Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Rata-rata pendapatan penduduk perkapita Disparitas Pendapatan Antarsektor Kemandirian Kota (Keuangan Daerah/Pendapatan Daerah) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Elastisitas kesempatan Kerja Tingkat Kemiskinan 6. Aspek Budaya Indikator yang digunakan: Potensi Fisik (Kuantitas dan kualitas potensi fisik bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah) Potensi Non Fisik (Potensi asset budaya non-fisik berupa peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budaya, ritual, adat, kebiasaan)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 6
Potensi Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif) 7. Aspek Sosial Kependudukan, Indikator yang digunakan:
Kepadatan Penduduk Kota
Kepadatan Penduduk Kelurahan
Angka Migrasi
Frekuensi penyakit infeksi per 1000 penduduk
Tingkat kematian bayi
Rata-rata usia harapan hidup warga
Ketersediaan fasilitas kesehatan (berkait luasan daerah pelayanan)
Ketersediaan jumlah tenaga medis
Ketersediaan Apotek
8. Aspek Spasial Indikator yang digunakan:
Konversi Lahan
Ketersediaan Ruang Publik
Keberadaan lingkungan kumuh
9. Aspek Prasarana 1) Sektor Air Bersih Aset, meliputi : a. Sumber Air b. Kualitas Air c. Kebocoran Air d. Pelayanan Cakupan Pelayanan Cakupan Pelanggan Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik) Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) Tingkat penggunaan air Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 7
Tarif Air 2. Sektor Transportasi Aset, meliputi : a. Panjang Jalan Sesuai Fungsi b. Panjang Jalan Sesuai Kewenangan c. Kondisi Jalan d. Terminal Angkutan Darat e. Terminal Udara 3). Sektor Sanitasi Aset, meliputi : a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) 4). Sektor Persampahan Aset, meliputi : a. Pengumpulan b. Pengangkutan c. Kapasitas Pembuangan d. Metoda Pembuangan e. Kepemilikan Lahan TPA f. Pelayanan, meliputi : -
Cakupan Pelayanan
-
Retribusi Sampah
-
Kerjasama dengan Masyarakat Asumsi yang digunakan di dalam pembobotan adalah setiap variabel atau kriteria
mempunyai bobot yang berbeda sesuai peran dan urgensinya dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Kategori penilaian berdasarkan skala tertentu dan ditetapkan menurut kategori baik, sedang maupun kurang. Hal tersebut berdasarkan pada jumlah skor tertentu yang representatif, yaitu kategori penilaian menjadi dasar pilihan tindakan untuk untuk mengukur tingkat tingkat kelayakan kawasan perkotaan. Secara rinci gambaran indicator
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 8
dan bobot penilaian dapat dilihat pada tabel berikut (untuk Kawasan Perkotaan Jatinangor sesuai dengan lingkup wilayah digunakan indikator Kota Sedang):
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 9
Tabel 3.1 Indikator Pengukuran Kelayakan Kawasan Perkotaan Sedang No 1
2
3
4
Aspek Penduduk
Produktivitas Perkotaan
Kesehatan dan Pendidikan
Permukiman dan Lingkungan
Indikator Tingkat Pertumbuhan penduduk Tingkat Migrasi Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB Tingkat ketergantungan penduduk Tingkat kematian ibu Tingkat kematian bayi Angka Prevalensi Penyakit Diare Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit/jiwa) ketersediaan fasilitas rumah sakit (unit/jiwa Ketersediaan apotik (unit/jiwa) Angka melek huruf Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD) (unit/jiwa Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP) (unit/jiwa) ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU) (unit/jiwa) Rasio penduduk kumuh per penduduk total Persentase Permukiman Kumuh (unit) Luasan Permukiman Kumuh Rasio ruang terbuka hijau Pengaduan polusi/pencemaran Jumlah kejadian kebakaran Tindak kejahatan per 1000 penduduk
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bobot 10
10
10
10
3 2 5 2 1
Baik Parameter <1% > 1.5 % > 75 jiwa/ha < 20 % <5%
Nilai 3 3 3 3 3
Sedang Parameter 1-2% 1 - 1.5 % 50-75 jiwa/ha 20 - 30 % 5 - 10 %
Nilai 2 2 2 2 2
Buruk Parameter >2% <1% < 50 jiwa/ha > 30 % > 10 %
Nilai 1 1 1 1 1
2 2
Tinggi >4%
3 3
Sedang 2-4%
2 2
Rendah <2%
1 1
2 1 1 1 1 0.5 1 1 1 0.5
> 40 % Rendah Rendah Rendah Rendah > 55 Tahun memadai memadai memadai > 90 %
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
20 - 40 % Sedang Sedang Sedang Sedang 45 - 55 thn cukup cukup cukup 80 - 90 %
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
< 20 % Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi < 45 Tahun kurang kurang kurang < 80 %
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43
memadai < 1% <1% <1% > 40 % Tidak Rendah Rendah
3 3 3 3 3 3 3 3
cukup 1-2% 1-2% 1-2% 40 - 30 % Ada sedang sedang
2 2 2 2 2 2 2 2
kurang >2% >2% >2% < 30 % Ada Tinggi Tinggi
1 1 1 1 1 1 1 1
@
Bab III - 10
No
Aspek
5 5.1
Pelayanan Kota Air
5.2
5.3
Sanitasi
Sampah
Indikator Kapasitas produksi (l/det) Jenis sumber air Rasio sambungan rumah Rasio kebutuhan Tingkat kebocoran rata-rata per tahun Tingkat pelayanan Konsumsi air per pelanggan (domestic) Konsumsi air bersih konsumsi lain (non domestik) Tinggkat penggunaan air Sistem distribusi Kondisi pengolahan setempat(on site system) 1. Jumlah rumah yang menggunakan septic tank (%) 2. Jumlah penduduk terlayani fasilitas komunal (MCK umum) (%) Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr) Cakupan penduduk terlayani Cakupan layanan (ha) Sarana pengangkutan sampah - Pick up sampah (unit) - Truk sampah (unit) - Arm-roll sampah (unit) - Compactor truck (unit) - Status tanah TPA - Jarak ke pembuangan terdekat Metoda pembuangan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bobot
10
@
10
Nilai
Sedang Parameter
Nilai
Buruk Parameter
Nilai
1 1 1 1 1 1 1
> 150 air tanah > 50 % > 60 % < 20 % > 60 % > 80 %
3 3 3 3 3 3 3
130 - 150 air permukaan 30 -50 % 40 - 60 % 20 - 25 % 40 - 60 % 75 - 80 %
2 2 2 2 2 2 2
< 130 air hujan < 30 % < 40 % > 25 % < 40 % < 75 %
1 1 1 1 1 1 1
1 1
< 20 % > 80 % Gabungan dengan reservoir
3 3 3
20 - 25 % 40 - 80 % Perpompaan
2 2 2
> 25 % < 40 % Gravitasi
1 1 1
5
> 60 %
3
40 - 60 %
2
<40 %
1
5
< 30 %
3
30 - 50 %
2
> 50 %
1
1 1 1
> 75 % > 60 % > 50 %
3 3 3
50 - 75% 40 - 60 % 25 - 50 %
2 2 2
< 50 % < 40 % < 25 %
1 1 1
1 1 1 1 1 1
> 20 > 10 > 10 > 10 Milik Pemkot > 1 km
3 3 3 3 3 3
15- 20 5 - 10 5 - 10 5 - 10
2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1
1
Metode sanitary land fill
3
< 15 <5 <5 <5 sewa < 0.5 km Metode open Dumping
1
10
Baik Parameter
Bab III - 11
0.5 - 1 km Metode controlled land fill
2
1
No 5.4
6 7
8
Aspek Drainase
Listrik dan Telpon Transportasi Perkotaan
Pemerintahan Kota
Indikator Topografi kota Rasio panjang saluran primer Tinggi genangan Lama genangan Frekuensi genangan Kerugian material genangan Luas genangan dari area urban Cakupan pelayanan Cakupan pelanggan listrik Cakupan pelanggan telpon Rasio panjang jalan per 100 penduduk V/C Ratio rata-rata Panjang jalan sesuai kewenangan Kerusakan jalan Kecepatan tempuh rata-rata Panjang jalan mantap Integrasi antar kota Kontribusi pendapatan dari pajak kemandirian kota (keuangan daerah/pendapatan daerah) ketersediaan dokumen perencanaan pembangunan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bobot
10
5
10
5
@ 1 1 1 1 1 1 2 2 2.5 2.5
Baik Parameter Dataran > 30 % < 0.25 m < 1 jam Tidak ada Tidak ada <5% > 80 % > 75 % > 40 % > 0.4/1000 km/jiwa
1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.67
> 20 % < 10 % > 60 km/jam > 85 %
Nilai 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Sedang Parameter 20 -30 % 0.25 - 0.5 m 1-2 jam 1-2/tahun 5-15 % >60-80% 50 - 75 % 20 -40 % 0.2 - 0.4/1000 km/jiwa 10 -20 % 10 - 25 % 30 - 60 km/jam 75 - 85 %
> 50 %
3 3 3 3 3 3
1.67
> 75 %
3
1.67
Ada
3
Bab III - 12
Nilai 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Buruk Parameter Perbukitan < 20 % > 0.5 m < 2 jam > 2x/tahun ada > 20 % < 40 % < 50 % < 20 % < 0.2/1000 km/jiwa
Nilai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
< 10 % > 25 % < 30 km/jam < 75 %
25-50 %
2 2 2 2 2 2
< 25 %
1 1 1 1 1 1
25 - 75 %
2
< 25 %
1
2
Tidak
1
3.5 Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan atas kriteria kawasan perkotaan ditinjau dari kondisi demografi, arus migrasi, aktifitas penduduk, fasilitas perkotaan, pemerintahan, lingkungan serta aspek lain yang merupakan fokus pengamatan. Data yang diperoleh sebagian besar menggunakan data dokumen dengan teknik dokumentasi yang berasal dari berbagai sumber. Untuk memvalidasi data tersebut dilakukan teknik observasi dan wawancara dengan pejabat struktural instansi terkait yang memahami yang dilaksanakan secara gabungan (triangulasi). Data yang diperlukan dalam studi ini adalah data kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan atas yang dibedakan atas : a.
Data Primer, diperoleh dengan penelitian lapangan, dilakukan dengan jalan melihat, mengamati, mencatat serta mewawancarai secara langsung pejabat politik, aparatur daerah, kecamatan, kelurahan serta desa, masyarakat dan kelompok sasaran lainnya.
b.
Data Sekunder, dikumpulkan untuk melengkapi data primer, baik yang tersedia di BPS setempat, Sekretariat Daerah, Bappeda, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten, Monografi
Kecamatan,
Desa/Kelurahan
dan
instansi
lain
yang
mempunyai
informasinya berkaitan dengan topik penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh dengan penelitian terhadap dokumen, laporan, brosur, surat kabar dan bahan kepustakaan lainnya. Adapun teknik pengumpulan data yang dipilih dalam riset lapangan adalah: a. Observasi, suatu teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian. b. Wawancara, mengumpulkan data dengan komunikasi langsung berdasarkan kerangka atau pedoman yang telah disusun sebelumnya dengan pihak yang berkompeten dan berwenang terhadap masalah yang diteliti c. Kuesioner, penyebaran angket atau daftar pertanyaan yang telah tersedia yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang obyektif dan merupakan salah satu pengumpulan data yang diketahui dan dipahami oleh responden sehingga hasilnya obyektif
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 13
d. Studi Literatur, mengumpulkan data dengan mempelajari, menelaah dan menganalisa literatur, dokumen, peraturan serta menelaah dan menganalisa literatur, dokumen, peraturan serta referensi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti. 3.6 Pengolah dan Analisis Data Data kualitatif akan dianalisa melalui pendekatan isi dan kedalaman menterjemahkan suatu fenomena dalam menganalisa kriteria kawasan perkotaan Jatinangor yang dapat membantu pihak-pihak terkait dalam menangani kawasan Jatinangor serta dapat membantu masyarakat berperan dalam pengelolaan kawasan Jatinangor Dari daftar struktur pertanyaan terbuka, kemudian dilengkapi dengan kompilasi hasil wawancara secara mendalam, kemudian dengan pengamatan di lapangan kemudian variabel itu akan dikompilasi melalui file terstruktur. Sedangkan data kuantitatif akan dikategorikan, diklasifikasikan dan diolah sebagai dasar pengukuran dan analisis untuk memberikan penjelasan dan penilaian terhadap tingkat kelayakan 3.7 Organisasi Pelaksana Studi dilakukan oleh 4 (empat) orang tenaga ahli dengan rincian sebagai berikut : 1) 1 orang tenaga ahli di bidang Bidang Otonomi Daerah (Guru besar) sebagai Ketua Tim. 2) 1 orang ahli dalam bidang sosial ekonomi sebagai Sekretaris Tim 3) 1 orang ahli dalam bidang tata ruang, sebagai Anggota Tim. 4) 1 orang ahli dalam bidang lingkungan hidup, sebagai Anggota Tim. 3.8
Jangka Waktu Penelitian Penelitian ini memerlukan waktu selama
(tiga) bulan atau 12 (dua belas)
minggu, terhitung sejak ditandatanganinya naskah kerjasama penelitian.
Alokasi
penggunaan waktu, sebagai berikut :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab III - 14
KEGIATAN NO.
PELAKSANAAN Sept
1.
Ekspose
2.
Penyusunan design penelitian
3.
Pengumpulan & Pengolahan data & informasi
4.
Penelitian & Penulisan laporan sementara
5.
Lokakarya Laporan Sementara
6.
Penulisan Laporan Akhir
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Okt
Nop
Des
KET
Bab III - 15
BAB
IV
ARAHAN KEBIJAKAN KAWASAN PERKOTAAN 4.1 Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025 Berdasarkan PP No 34 tahun 2009 tentang Pedomana Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Pasal 16 menyebutkan bahwa : Substansi rencana pembangunan Kawasan Perkotaan tertuang dalam dokumen : a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten/kota; b. rencana tata ruang Kawasan Perkotaan; c. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota; dan d. rencana kerja pembangunan daerah kabupaten/kota. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Sumedang 2005-2025 dituangkan dalam Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008, substansi yang
yang
terkait dengan
kegiatan studi ini adalah meliputi : A. Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang Berdasarkan kondisi sampai dengan saat ini dan tantangan yang akan dihadapi dalam 20 tahun mendatang serta dengan mempertimbangkan modal dasar yang dimiliki dan berbagai masukan dari berbagai pihak pada saat proses penyusunan RPJPD, maka visi pembangunan Kabupaten Sumedang Tahun 2005-2025 adalah “KABUPATEN SUMEDANG SEJAHTERA, AGAMIS DAN DEMOKRATIS PADA TAHUN 2025”. Visi tersebut dapat diringkas menjadi “SUMEDANG SEHATI”, yang dapat diartikan sebagai kabupaten yang makin kokoh dan berdaya juang tinggi dalam membangun daerahnya dengan dilandasi orientasi masyarakat berupa : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 1
1. Perilaku yang berpegang pada prinsip sauyunan, sareundeuk saigel, sabobot sapihanean. Maknanya adalah dalam lingkungan kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat, senantiasa mengedepankan kepuasaan dalam layanan pemerintahan dan pembangunan di berbagai bidang melalui pola kemitraan, permusyawarahan, transparansi, saling percaya serta senantiasa proporsional dalam mendistribusikan hak dan kewajiban diantara stakeholder pemerintahan guna mewujudkan kemajuan pembangunan daerah yang dikehendaki masyarakat daerah. 2. Masyarakat yang telah mengedepankan nilai-nilai kesetiakawanan sosial dalam mengelola permasalahan dan kebutuhan masyarakat daerah. 3. Masyarakat
yang
makin
kokoh
dalam
mewujudkan
tanggungjawab
untuk
meredistribusikan kemakmuran daerah, antara kelompok ekonomi lemah (kaum dhuafa) atau miskin secara materi namun potensial untuk menopang kemajuan kelompok ekonomi kuat (kaum agnia) yang terus menunjukkan kesetiakawanan sosio-ekonominya untuk mengarahkan kaum ekonomi lemah menjadi produktif. 4. Meningkatnya pelayanan publik. Kabupaten Sumedang yang sejahtera ditandai dengan kondisi kehidupan masyarakat Sumedang yang memenuhi standar kelayakan dalam pemenuhan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan dan bermatapencaharian layak serta jaminan keamanan dengan senantiasa mempertimbangkan kelestarian daya dukung lingkungan yang berkelanjutan. Kondisi ideal di bidang pendidikan ditunjukkan dari : 1. Meningkatnya tingkat pendidikan formal masyarakat yang dilihat dari target pendidikan dasar telah tuntas dan memasuki tahapan pendidikan menengah. 2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pendidikan di daerah yang berkualitas dan menjangkau seluruh masyarakat yang makim mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 3. Meningkatnya penguasaan keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan mampu mengimplementasikan dalam perikehidupan masyarakat daerah yang makin produktif. 4. Terwujudnya pendidikan yang berdayaguna dan berhasilguna untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ideal di bidang kesehatan ditunjukkan dari :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 2
1. Terciptanya kondisi lingkungan sehat sesuai standar kesehatan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan sosial. 2. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang tinggi dengan tidak memilahkan lokasi perdesaan dan perkotaan. 3. Terwujudnya sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang berkeadilan dan berdaya saing. 4. Terwujudnya stabilitas kehidupan sosial yang mendukung terciptanya perikehidupan masyarakat daerah yang makin tercermin dalam perilaku silih asah, silih asih dan silih asuh. 5. Terwujudnya keluarga sebagai basis persemaian nilai-nilai budaya, pendidikan dan kesehatan. Kondisi ideal di bidang mata pencaharian layak dan berkesinambungan ditunjukkan dari : 1. Meningkatnya keterkaitan antara sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier dalam suatu sistem yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing serta keterkaitan pembangunan ekonomi antar wilayah baik di kawasan perdesan maupun perkotaan. 2. Makin kokohnya perekonomian daerah yang berdaya saing secara regional, nasional dan internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan komparatif, kompetitif dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi agribisnis, pariwisata dan industri. 3. Meningkatnya akses yang lebih berkeadilan terhadap sumberdaya ekonomi bagi seluruh masyarakat Sumedang. 4. Terjaminnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat Sumedang dengan tingkat harga yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 5. Meningkatnya perlindungan dan regulasi pemerintah terhadap pelaku sosio ekonomi daerah dalam mendukung iklim investasi yang kondusif. 6. Meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat yang ditopang oleh makin produktifnya pendayagunaan potensi agribisnis, pariwisata dan industri daerah. 7. Meningkatnya laju Pertuimbuhan Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto yang berdampak terhadap penurunan kemiskinan. 8. Meningkatnya pendayagunaan dan pemanfaatan potensi agribisnis, pariwisata dan industri daerah yang selaras dengan kearifan sosial. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 3
9. Meningkatnya ketersediaan dan kontribusi infrastruktur perekonomian daerah serta infrastruktur transportasi, energi, komunikasi, sumberdaya air yang handal dan sejalan dengan kebutuhan pembangunan skala regional dan nasional. 10. Meningkatnya kerjasama antar domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur yang memadai. 11. Terwujudnya
pembangunan
pemeliharaan
infrastruktur
yang
sejalan
dengan
keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 12. Terwujudnya keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi dan berkelanjutan antara kawasan lindung dan budidaya serta antara kawasan perkotaan dan perdesaan. 13. Meningkatnya penyediaan lapangan pekerjaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing secara berkesinambungan berbasis pada keunggulan potensi daerah guna mendukung pembangunan. Kabupaten Sumedang yang agamis ditandai dengan kondisi lingkungan kehidupan sosial yang makin dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa sesuai keyakinan masyarakat yang diakui dalam sistem keagamaan nasional, kondisi ideal kehidupan agamis ditunjukkan dari : 1. Meningkatkan jatidiri dan karakter masyarakat yang makin beriman dan bertakwa dalam keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin kelangsungannya oleh pemerintah. 2. Menguatnya kemitraan dan tanggungjawab dalam pembangunan pendidikan keagamaan serta sarana dan prasarana keagamaan di daerah. 3. Menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh silaturahmi antar dan inter umat beragama untuk menguatkan pengamalan agama dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kabupaten Sumedang yang demokratis ditandai dengan kondisi lingkungan kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat yang makin dijiwai oleh supremasi dan kesadaran hukum, tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik, partisipasi masyarakat berlandaskan kesetaraan gender yang makin dewasa dalam proses penetapan dan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan daerah serta pewarisan nilai nilai kejuangan bangsa dan kearifan lokal masyarakat. Kondisi ideal kehidupan demokratis ditunjukkan dari : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 4
1. Terwujudnya penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah serta tugas pembantuan yang proporsional. 2. Meningkatnya aksesibilitas, transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah. 3. Meningkatnya penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah Daerah. 4. Meningkatnya profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi yang makin mantap. 5. Terwujudnya kemitraan yang serasi antara legislatif dengan eksekutif. 6. Terselenggaranya otonomi desa yang makin efektif. 7. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik. Dengan visi di atas, menjadikan corak masyarakat dan daerah Kabupaten Sumedang yang ingin diwujudkan pada tahun 2025 mendatang adalah daerah yang dihuni oleh masyarakat yang makin sejahtera, yang senantiasa bersikap arif dan berkemampuan produktif dan mempertimbangkan kesinambungan lingkungan hidup daerahnya, serta makin mengindahkan prasyarat terbangunannya tatanan masyarakat berkesadaran hukum tinggi guna mewujudkan sistem sosial dan politik yang demokratis. Untuk memperkuat kondisi sejahtera dan demokratis tersebut, maka diperlukan pula kelangsungan kehidupan agama yang akan menyeimbangkan kebutuhan ragawi dan ukhrowi, yang dibangun oleh penghormatan yang makin baik terhadap kesalehan sosial dan keragaman dalam keyakinan beragama dalam satu kesatuan sistem keagamaan nasional yang dilindungi Undang Undang Dasar 1945. Guna mewujudkan visi pembangunan daerah Kabupaten Sumedang jangka panjang diperlukan pemahaman terhadap pergeseran paradigma dalam tata kelola pemerintahan daerah dalam mengelola fungsi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang kian variatif. Peletakkan tanggungjawab yang sepenuhnya terhadap para penyelenggara pemerintahan daerah, diyakini tidak mungkin lagi mewujudkan masyarakat yang sejahtera, agamis dan demokratis karena antar komponen tata kelola pemerintahan memiliki batas batas potensi keperansertaan, kontribusi serta keterbatasan. Harus menjadi kecenderungan positif bahwa mewujudkan masyarakat maju, yang ditandai kecerdasan (IQ, SQ, EQ), Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 5
demokratisasi dan ketaatan dalam keyakinan agama dan kepercayaan dalam kehidupan sosial, akan mampu berjalan efektif manakala masyarakat dan potensi sosio ekonominya menjadi pencipta kemakmuran dan pemerintah daerah menjadi fungsi pemicu, penyeimbang serta pemberi jaminan kepastian hukum. Dengan meletakan paradigrama pemerintahan berlandasan keseimbangan potensi elemen dalam tata kelola pemerintahan, maka fungsi stabilisasi, fungsi pertumbuhan ekonomi serta distribusi hasil pembangunan, akan menjadi segitiga agenda yang resiprokal antara pemerintah, dunia usaha serta komponen masyarakat daerah di Kabupaten Sumedang dengan tetap memperhatikan kelangsungan hidup di daerah. B. Misi Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang Upaya perwujudan visi pembangunan jangka panjang Kabupaten Sumedang 20052025 tersebut akan dicapai melalui 5 (lima) misi pembangunan sebagai berikut : 1. Misi Pertama, Mewujudkan masyarakat madani yang berpendidikan, berbudaya dan berpola hidup sehat, adalah membangun masyarakat Sumedang yang berbudaya mulia dan mandiri yang memiliki akses terhadap pendidikan formal yang berkualitas, dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan mendorong kesetaraan gender, memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi yang didasari ilmu pengetahuan dan teknologi berdaya saing, mengutamakan pola hidup sehat sejahtera secara jasmani, rohani dan sosial sehingga berada dalam kondisi stabil yang mendukung terciptanya kehidupan masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, kesalehan sosial dengan mencerminkan pola perilaku silih asah, silih asih, silih asuh sehingga tercipta keluarga yang dapat menjadi tempat persemaian nilai budaya, pendidikan dan kesehatan. 2. Misi Kedua, Mewujudkan perekonomian daerah yang tangguh dan berkelanjutan yang berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri, adalah mengembangkan dan memperkuat keterkaitan antar sektor perekonomian daerah yang berdaya saing secara regional dan internasional, dengan berbasis pada upaya mengembangkan keunggulan komparatif, kompetitif, dan kooperatif dalam mendayagunakan potensi sosio ekonomi lokal terutama dalam agribisnis, pariwisata dan industri yang mengindahkan kearifan budaya lokal dan keseimbangan lingkungan hidup. Perkembangan ekonomi daerah didukung oleh kerjasama antara domain kepemerintahan dalam penyediaan infrastruktur Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 6
yang memadai, pemeliharaan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi antara kawasan lindung dan budidaya serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, penciptaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang berkualitas dan berdayasaing serta perlindungan regulasi pemerintahan terhadap pelaku sosio ekonomi daerah guna mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif. 3. Misi Ketiga, Mewujudkan masyarakat daerah yang berakhlak mulia, yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang makin toleran sesuai dengan falsafah Pancasila, adalah meningkatnya jatidiri dan karakter masyarakat yang makin beriman dalam keragaman keyakinan beragama dan beribadat yang dijamin kelangsungannya oleh pemerintah, memperkuat kemitraan dan tanggung jawab dalam pembangunan pendidikan keagamaan dan sarana dan prasarana keagamaan di daerah, menguatnya kesalehan sosial masyarakat dan aparatur pemerintah serta memperkokoh silaturahmi antar umat beragama dan intern umat beragama untuk menguatkan pengamalan agama dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4. Misi Keempat, Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, adalah mewujudkan penyelenggaraan akuntabilitas Pemerintahan daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah serta tugas pembantuan yang proporsional,
meningkatkan aksesibilitas,
transparansi, pengawasan masyarakat dalam penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah, meningkatkan penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang makin efisien dan efektif dan peningkatan pelayanan prima pada setiap unit kerja di lingkungan Pemerintah daerah, meningkatkan profesionalisme aparatur dan efisiensi birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi yang makin mantap, merwujudkan kemitraan yang serasi antara legislatif dengan eksekutif, menyelenggarakan otonomi desa yang makin efektif, serta merwujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat yang lebih baik. 5. Misi Kelima, Mewujudkan masyarakat yang demokratis dalam kesetaraan gender berlandaskan hukum dan hak asasi manusia, adalah mewujudkan penyelenggaraan kelembagaan demokrasi daerah, baik pada supra struktur maupun infrastruktur politik serta meningkatkan budaya hukum dan HAM, meningkatkan peran dan partisipasi Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 7
masyarakat dalam penyusunan kebijakan, mewujudkan kemitraan dengan media dalam bentuk penyampaian kepentingan masyarakat daerah serta meningkatkan penegakan hukum secara adil dalam kesetaraan gender dan menghormati hak asasi manusia. C. Arah Pembangunan Jangka Panjang Pembangunan jangka panjang daerah membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan merupakan pilihan yang paling memungkinkan mendapatkan dukungan sumber daya daerah yang tersedia pada kurun waktu lima tahunan. Namun demikian, untuk menstrukturkan penuangan fokus prioritas pada setiap sasaran pokok pembangunan jangka panjang daerah, setiap misi yang telah dan ingin dicapai ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan dengan keberlanjutan, penataan peningkatan, pemantapan dan mempertahankan keunggulan program pembangunan pada setiap tahapan dan tahapan berikutnya yang satu sama lain saling menguatkan dan dapat berjalan secara simultan. Pada setiap pentahapan tersebut dijelaskan bagaimana kedudukan kawasan pendidikan Jatinangor dan kawasan industri Cimanggung untuk jangka waktu perencanaan 20 tahun yaitu dari tahun 2005–2025 yang meliputi RPJMD ke-1 (2005-2008), ke-2 (2009-2013), ke-3 (2014-2018) dan ke-4 (2019-2025). Secara umum, jika mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 01 tahun 2008 yang pada intinya menyatakan bahwa perencanaan pembangunan kawasan perkotaan harus tercantum dalam RPJP sudah bisa diakomodasi RPJP 2005-2025 Kabupaten Sumedang. Ini mengindikasikan bahwa pengembangan kawasan perkotaan untuk kawasan Jatinangor dan Cimanggung sudah direncanakan secara sistematis, walaupun secara tegas disebutkan dalam RPJP Kabupaten tersebut bahwa pengembangan kawasan Jatinangor untuk kawasan Perguruan Tinggi, dan Cimanggung sebagai Kawasan Industri. Selain itu pula, dalam RPJP 2005-2025 kawasan Jatinangor dikelompokkan ke dalam wilayah pertumbuhan (WP) Tanjungsari. WP Tanjungsari ini terdiri dari Kecamatan Tanjungsari, Jatinangor, Rancakalong, Pamulihan,
Sukasari dan Cimanggung dengan
pusatnya di Tanjungsari. Seperti termaktub dalam RTRW Jawa Barat, Penetapan kawasan (Jatinangor) sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 8
•
Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat sesuai dengan yang telah direncanakan
•
Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor Dalam arah kebijakan pembangunan Kabupaten Sumedang juga disebukan bahwa
tujuan dari Pengembangan Kawasan adalah untu: •
Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia
•
Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
•
Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja di dalam dan luar negeri. Jika
dirinci
kedalam
pentahapan
periodisasi
jangka
menengah,
arah
pengembangan kawasan Jatinangor bisa dijelaskan berikut ini: I. RPJMD ke-1 (2005-2008) Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJMD Ke-1 diarahkan untuk melanjutkan hasil hasil pembangunan daerah di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Sumedang yang sejahtera, agamis dan demokratis yang semakin terasakan dampaknya bagi masyarakat daerah serta terus memberikan kontribusi terhadap kualitas pembangunan regional Jawa Barat dan nasional. Sumedang yang sejahtera ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup yang semakin berkualitas serta berkurangnya kesenjangan antar perdesaan dan perkotaan.
Kondisi itu dicapai dengan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim investasi daerah yang kondusif, termasuk membaiknya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur terus didorong melalui peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan investasi daerah yang transparan serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan perijinan investasi daerah terutama untuk sektor transportasi, perdagangan, agribisnis, industri kecil serta kepariwisataan. Pembangunan infrastruktur diarahkan bagi percepatan pertumbuhan perekonomian daerah antara lain melalui penajaman upaya persiapan pembangunan jalan Tol Cisumdawu, bendungan Jatigede, zona industri Jatinangor-Cimanggung dan Ujungjaya, Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 9
rencana induk pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang serta bandara internasional Kertajati di Majalengka. Dari tahapan dan prioritas pada RPJMD ke-1 ini, terdapat fokus yang menjadi panduan untuk dapat dituntaskan pada kurun perencanaan tahap ini
yang terkait dengan
kawasan Jatinangor yaitu yang terkait dengan misi: Mewujudkan perekonomian daerah yang tangguh dan berkelanjutan yang berbasis pada agribisnis, pariwisata dan industri. Dalam tahapan dan prioritas point ke-7 disebutkan: Peningkatan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, provinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol Cisumdawu serta rencana induk pusat pemerintahan) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, di point ke-14 di misi yang sama, juga disebutkan bahwa arah dan prioritas yang dilakukan pada RPJMD-1 ini adalah Pengembangan industri yang sinergis dan berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung potensi ekonomi daerah. II. RPJMD ke-2 (2009-2013) Arah pembangunan jangka panjang tahap kedua ini terdiri dari upaya-upaya untuk meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-1 yang dapat memperkuat capaian RPJMD ke-2. Di dalamnya, terdapat upaya pemantapan infrastruktur ekonomi dan sosial pada daerah daerah yang dijadikan sentra pengembangan industri manufaktur dan perdagangan daerah serta sektor jasa lainnya. Selain itu, ditunjang pula dengan upaya penguatan dalam fasilitasi kelembagaan-kelembagaan keuangan yang menopang aktivitas usaha mikro dan kecil serta akses pelaku usaha terhadapnya. Seperti di tahap pertama, juga dilakukan upaya untuk melanjutkan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 10
yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan ini juga ditunjang dengan upaya penguatan pengendalian tata ruang daerah yang makin sinergi dengan tata ruang regional. Upaya penataan moda transfortasi daerah untuk menopang pembangunan antar wilayah juga diperkirakan akan terkait dengan upaya penataan kawasan Jatinangor sebagai kawasan yang akan dikembangkan. dalam tahap ini, upaya pemantapan sinergisitas antara Industi Besar dengan Industri Kecil Menengah (IKM) sehingga tercipta penguatan masingmasing skala usaha juga akan terkait dengan daerah sekitar kawasan Jatinangor. Upaya peningkatan kerja sama antar daerah dan peningkatan penegasan batas daerah juga merupakan salah satu fokus pembangunan di tahap kedua ini. Langkah ini sangat penting bagi proses pengembangan kawasan. Diharapkan dengan upaya ini, ke depannya tidak terjadi perselisihan antar wilayah dikarenakan batas wilayah. III. RPJMD ke-3 (2014-2018) Sasaran pembangunan di tahap ketiga ini juga bertujuan untuk meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-2 yang dapat memperkuat capaian RPJMD ke-3. Secara spesifik terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor, upaya pengembangan kemitraan dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan daerah melalui corporate social responsibility (CSR) pada para pelaku usaha daerah akan terkait dengan upaya pengembangan kawasan Jatinangor. Penggunaan yang makin meluas pada ekonomi terbarukan yang semakin pro kesinambungan lingkungan hidup juga akan terkait dengan upaya pengembangan kawasan Jatinangor, yang mana dalam hal ini tertuju pada pengembangan kawasan sektor usaha di sekitar Jatinangor. Selain itu, upaya penegakkan tata kelola ruang daerah dan pemberian insentif sosial guna kelestarian lingkungan hidup di permukiman juga diharapkan mampu memberikan keseimbangan pemeliharaan dan pelestrarian lingkungan. Pengembangan
infrastruktur
lingkungan
dan
moda
transformasi
yang
menghubungkan semua pusat pusat perekonomian daerah yang makin terintegrasi dengan moda transformasi regional dan nasional juga merupakan isu yang terkait erat dengan pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor. Sasaran berikutnya yaitu upaya lebih memantapkan keterpaduan antara Industri Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 11
Besar dengan IKM dalam pemanfaatan potensi ekonomi daerah dan keterkaitan antar rantai bisnis juga merupakan isu terkait dengan pengembangan kawasan, yang nota bene kawasan Jatinangor juga akan dikembangkan sebagai kawasan industri. Di tahap ketiga ini, upaya untuk memantapkan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi sasaran pembangunan. Upaya peningkatan layanan prime di daerah perbatasan dan penguatan SDM aparatur daerah diwilayah perbatasan juga merupakan sasaran strategis di tahap ketiga ini. Kedua hal diatas sangat terkait erat dengan pengembangan kawasan Jatinangor sebagai daerah yang merupakan berada di sisi luar dan bersinggungan dengan kabupaten lain. IV.
RPJMD ke-4 (2019-2025) Di tahap terakhir ini, tahap 4, sasaran pembangunan jangka panjang pada umumnya
adalah berisikan langka-langkah untuk meneruskan fokus pembangunan daerah yang belum tercapai pada RPJMD ke-3 yang dapat memperkuat capaian RPJMD ke-4. Ada sasaran strategis yang akan dilakukan di tahap ini, yaitu pengembangan sistem insentif daerah dalam penyelenggaraan kemitraan pembangunan di sektor swasta, terutama pada bidang pendidikan, kesehatan. Ini tentu hal penting yang harus dipertimbangkan dalam proses pengembangan kawasan Jatinangor. Selain itu, juga didukung dengan upaya pengembangan tatanan sistem pemerintahan daerah yang menjadi supporting sistem bagi aktivitas ekonomi kreatif. Dalam tahap ini juga, upaya pemantapan ketersediaan rencana tata ruang kecamatan dan kawasan strategis kabupaten, propinsi dan nasional (antara lain kawasan perguruan tinggi Jatinangor, kawasan waduk Jatigede, kawasan industri dan kawasan koridor jalan tol) termasuk kawasan perbatasan dengan kabupaten tetangga, merevisi rencana tata ruang yang telah ada, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia tetap menjadi fokus pembangunan jangka panjang tahap ke 4. Di tahap ini, juga dilakukan upaya pematangan reformasi birokrasi yang menopang Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 12
pelayanan
berorientasi customer satisfaction. Ini sangat penting guna mendukung
karakteristik masyarakat perkotaan yang diharapkan terkait dengan upaya pengembangan kawasan Jatinangor. 4.2
Identifikasi Arahan Kawasan Perkotaan Jatinangor pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang Dalam Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat ada beberapa kawasan yang akan
dikembangkan sebagai kawasan andalan. Secara umum, penetapan beberapa wilayah di Propinsi Jawa Barat sebagai kawasan andalan adalah untuk mendorong : •
Terwujudnya suatu kawasan yang mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mendukung struktur ruang Jawa Barat sesuai dengan yang telah direncanakan
•
Sinergisasi keselarasan pengembangan antarwilayah dan antarsektor Dalam hal ini, sebagian dari kecamatan Kabupaten Sumedang termasuk dalam
kawasan andalan Cekungan Bandung, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan Jatinangor. Terkait dengan ini, berikut dijelaskan posisi Kabupaten Sumedang dalam pengembangan kawasan andalan di Propinsi Jawa Barat. TABEL 4.1 Posisi Sumedang Dalam Kawasan Andalan Di Jawa Barat (Sumber : RTRWP Jawa Barat 2010) Kawasan Andalan
Sektor Unggulan
Cekungan Bandung Industri, perdagangan, jasa dsk (Sumedang) Pertanian hortikultura Pariwisata, Perkebunan
Arahan Kawasan pusat pengembangan SDM dlm rangka mendukung industri, agribisnis, pariwisata, jasa dan SDM.
Arahan pengembangan kawasan andalan Cekungan Bandung adalah sebagai pusat pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung industri, agribisnis, pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia Tujuan pengembangan kawasan adalah : •
Mengembangkan pusat kualitas sumberdaya manusia
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 13
•
Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
•
Meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengantisipasi peluang kerja di dalam dan luar negeri.
Sasaran pengembangan kawasan : •
Termanfaatkannya lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dengan melakukan sinergisasi antar lembaga tersebut melalui pembentukan forum komunikasi lembaga terkait.
•
Meningkatnya kemampuan sumberdaya manusia daerah Cekungan Bandung dalam pembuatan cenderamata khas daerah. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan.
•
Meningkatnya prasarana komunikasi dan media dengan mendorong jasa telepon dan internet dalam kegiatan bisnis dan menyediakan prasarana pendukung dan komunikasi lainnya.
Rencana Tata Ruang Kawasan Andalan Perguruan Tinggi Jatinangor Terkait dengan pengembangan kawasan Jatinangor, berikut adalah Rencana Tata Ruang Kawasan Andalah Perguruan Tinggi Jatinangor. •
Wilayah perencanaan : Kecamatan Jatinangor 8 desa
•
Konsep rencana/ Arahan Pengembangembangan:
•
Meningkatkan akses dari dan ke luar Jatinangor
•
Menghindari arus regional masuk bagian kawasan Perguruan Tinggi untuk mendukung kawasan yang lebih terintegrasi
•
Aktivitas yang ada diselaraskan dengan fungsi perguruan tinggi
Linieritas arah perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Sumedang dalam konteks lingkup
regional
dijelaskan
dalam
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
tabel
di
bawah
ini:
Bab IV - 14
TABEL 4.2 Arahan Pengembangan Wilayah Kabupaten Sumedang Dalam Lingkup Regional Rencana 1 RTRW Jawa Barat
Wilayah Perencanaan 2 Propinsi Jawa Barat
Konsep Rencana / Arahan Pengembangan 3 PKN : Bandung dan Cirebon Kota Sumedang : PKL Kawasan lindung 45% dari luas total Jawa Barat Mengendalikan alih fungsi lahan sawah irigasi teknis Kabupaten Sumedang termasuk dalam Kawasan Andalan Cekungan Bandung, dengan salah satu tugasnya adalah sebagai kawasan andalan Perguruan Tinggi di Kecamatan Jatinangor.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Evaluasi Implementasi
4 Kota Sumedang telah berfungsi sebagai PKL Luas kawasan lindung Kabupaten Sumedang sekitar 23% Terjadi alihfungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (-1,64%/ thn) Pada kawasan andalan Jatinangor telah berdiri Perguruan tinggi yang 4 yaitu STPDN, UNWIM, UNPAD dan IKOPIN. Kawasan ini telah berkembangan menjadi kawasan perguruan tinggi dengan dilengkapi permukiman mahasiswa dan fasilitas penunjang pendidikan tinggi berlokasi di sekitar kampus dan koridor jalan Negara
Bab IV - 15
Arahan Pengembangan Dalam RTRW Kab. Sumedang 2012 5 Kawsan lindung 45% melalui beberapa tahapan realisasi Mempertahankan sawah irigasi teknis yang ada Peningkatan infrastruktur penghubung dengan kabupaten lain Pengembangan Buffer Zone di sekitar kawasan lindung Penataan kawasan andalan Jatinangor sebagai salah satu kawasan tertentu di wilayah Sumedang
1 Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Metropolitan Bandung
2 Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Cinajur dan Kabupaten Garut
3 4 5 Wilayah Kabupaten Sumedang Sejalan dengan ergabungnya 3 Perbedaan orientasi pergerakan yang termasuk dalam kawasan kecamatan dalam wilayah ke-3 kecamatan dengan BMA, yaitu Kecamatan Metropolitan Bandung, maka kecamatan lain dalam wilayah Tanjungsari, Cimanggung dan kecenderungan perkembangan Kabupaten Sumedang perlu Jatinangor. Kota-kota kecamatan ke-3 kecamatan tersebut diakomodir serta diupayakan ini direncanakan untuk menjadi menjadi kawasan perkotaan pemanfaatan peluang dari kondisi counter magnet dari lebih cepat dibandingkan tersebut. Misalkan ditangkapnya perkembangan Kota Bandung kecamatan lainnya di peluang pengembangan akibat dalam fungsi-fungsi tertentu. Sumedang limpahan kegiatan dari kota Kecamatan Jatinangor Orientasi pergerakan penduduk Bandung. dikembangkan untuk ke-3 kecamatan tersebut menampung limpahan fungsi adalah menuju Kota dan pendidikan tinggi Kabupaten Bandung Kecamatan Tanjungsari untuk menampung kebutuhan perumahan Kecamatan Cimanggung serta sebagian Kecamatan Jatinangor yang berdekatan direncanakan untuk menampung kegiatan industri dan perumahan. Skenario penyediaan air baku dari Gua Waled yang ada di Kecamatan Jatinangor juga direncanakan dalam rencana ini.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 16
1 2 Kawasan Andalan Kecamatan Perguruan Tinggi Jatinangor 8 desa Jatinangor
3 Meningkatkan akses dari dan ke luar Jatinangor Menghindari arus regional masuk bagian kawasan Perguruan Tinggi untuk mendukung kawasan yang lebih terintegrasi Aktivitas yang ada diselaraskan dengan fungsi perguruan tinggi
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
4 Perguruan tinggi yang 4 yaitu STPDN, UNWIM, UNPAD dan IKOPIN Perkembangan permukiman mahasiswa dan fasilitas penunjang pendidikan tinggi di sekitar kampus dan koridor jalan negara Pembangunan ke arah utara dibatasi
Bab IV - 17
5 Pemisahan jalur regional dan jalur lokal perguruan tinggi dengan dibangun jalan elak Pengembangan kecamatan Jatinangor sebagai kawasan khusus
Dalam RUTR Kabupaten Sumedang, ada beberapa kawasan yang akan dikembangkan di Kabupaten Sumedang. Adapun kawasan yang dikembangkan adalah sebagai berikut: •
Wilayah pengembangan Kota Jatinangor yang mana sebagai kawasan tumbuh cepat
•
Wilayah pengembangan kawasan pendidikan tinggi
•
Wilayah pengembangan kawasan kegiatan pemerintahan Kabupaten
•
Wilayah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan
•
Wilayah pembangunan kawasan bendungan Jatigede
•
Wilayah pengembangan kegiatan pertanian Arahan kawasan perkotaan Jatinangor dan Cimanggung sebagai
kawasan perkotaan secara eksplisit di cantumkan pada arahan pengembangan kawasan sebagaimana tercantum dalam revisi RTRW Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 18
Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Gambar 4.1 Kawasan Perkotaan di Kabupaten Sumedang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 19
Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Gambar 4.2 Pusat Pertumbuhan wilayah di Kabupaten Sumedang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 20
Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Gambar 4.3. Kawasan Perkotaan yang direncanakan di Kabupaten Sumedang
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab IV - 21
BAB
V
ANALISIS KELAYAKAN KAWASAN PERKOTAAN 5.1 Karakteriktik dan Potensi Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung Wilayah atau kawasan perkotaan dipahami sebagai daerah yang berkembang sedemikian rupa menjadi daerah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri serta pelayanan sosial (Nurmandi, 2006). Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung sebagaimana yang cirri dan karakteristik di atas telah diarahkan sebagai kawasan perkotaan pada RTRW Kabupaten Sumedang (2002-2012 ). Kriteria Kawasan Perkotaan Berdasarkan PP No 34 Tahun 2009 Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa : Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, sengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Sementara kriteria kawasan perkotaan berdasarkan Permendagri No 1 Tahun
2008 pasal 2 meliputi: a.
Memiliki karakteristik kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75 % mata pencaharian penduduknya terutama di bidang industri, perdagangan, dan jasa; dan
b.
Memiliki karakteristik sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa didukung prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi dengan pelayanan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. Mengacu pada kriteria di atas maka Kawasan Perkotaan Jatinangor-Cimanggung
yang dapat dianggap layak dan memenuhi sebagaimana digambarkan pada Tabel 5.1 berikut
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 1
Tabel 5.1 Karakteristik dan Persentase Kegiatan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Penduduk terutama di Bidang Bukan pertanian Jenis Mata Pencaharian No
Desa
Pertanian
Non Pertanian
Petani/buruh Tani 1
2
PNS/TNI/POLRI Swasta Pedagang
3
4
5
6
Total
Petani (%)
Non pertanian (%)
9
10
11
Buruh Pensiunan 7
8
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
158
304
3036 595
1492
5585
2.83
97.17
2
Sayang
173
174
906 427
885
2565
6.74
93.26
3
Mekargalih
85
885
174 509
1415
3068
2.77
97.23
4
Cintamulya
130
61
833 232
1415
2671
4.87
95.13
5
Cisempur
304
53
553 171
2013
3094
9.83
90.17
6
Jatimukti
397
43
559 185
1027
2211
17.96
82.04
7
Jatiroke
373
81
775 213
743
2185
17.07
82.93
8
Hegarmanah
170
201
1916 331
553
3171
5.36
94.64
9
Cikeruh
117
317
1034 343
364
2175
5.38
94.62
10
Cibeusi
117
304
3036 331
553
4341
2.70
97.30
11
Cileles
325
76
313 160
756
1630
19.94
80.06
12
Cilayung
362
32
453 204
521
1572
23.03
76.97
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 2
1
2
3
4
5
6
9
10
162
2654
89.71
10.29
709
1312
21.11
78.89
593
1488
46.84
53.16
7
8
11
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Cimanggung
2381
11
64 36
2
Mangunarga
277
45
75
3
Sawahdadap
697
44
53 101
4
Sukadana
201
60
22
38
1009
1330
15.11
84.89
5
Cihanjuang
594
75
3950
109
2817
7545
7.87
92.13
6
Sindangpakuon
133
51
125
76
1021
1406
9.46
90.54
7
Sindanggalih
1364
15
159
123
199
1860
73.33
26.67
8
Tegalmanggung
2133
6
293
75
51
2558
83.39
16.61
9
Sindulang
2462
7
43
35
25
2572
95.72
4.28
10
Cikahuripan
719
12
70
92
301
1194
60.22
39.78
Pasirnanjung
1615
12
9
251
62
1949
82.86
17.14
11
206
Sumber : Database Kecamatan (Jatinangor dan Cimanggung) Tahun 2008
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 3
Berdasarkan karakteristik mata pencaharian penduduk di atas, secara sederhana desa-desa yang dikategorikan telah memiliki ciri perkotaan seluruhnya pada desa-desa di Kecamatan Jatinangor. Sementara desa-desa di Kecamatan Cimanggung meliputi 4 desa dan 1 desa potensial bercirikan perkotaan mengingat pada desa tersebut sebagian besar mata pencaharian petani adalah sebagai buruh atau petani penggarap. Kepemilikan lahan pertanian justru dimiliki penduduk pendatang yang tidak memiliki keahlian bertani, sehingga kemungkinan alih fungsi lahan menjadi semakin besar. Pada desa-desa tersebut merupakan bagian dari zona industri Jatinangor-Cimanggung karena berlokasinya beberapa jenis industri Desa-desa pada kecamatan tersebut merupakan kawasan yang diarahkan menjadi kawasan perkotaan, sehingga diperlukan suatu pengembangan yang sinergi dan terarah untuk
menciptakan
suatu
kawasan
yang
memiliki
interst
untuk
berkembang.
Pengembangan kawasan perkotaan ini diarahkan dengan mengacu dari peraturan dan rencana yang sudah ada. Dengan demikian, dapat direncanakan tata ruang dan pengembangan kawasan perkotaan sesuai dengan yang diharapkan. Kawasan perkotaan terbentuk berdasarkan fungsi-fungsi desa-desa yang membentuk kawasan perkotaan yang akan dikembangkan, sehingga terdapat keterkaitan antar kawasan perkotaan yang mendukung kegiatan yang terdapat di dalamnya. Keterkaitan antar desa tersebut terjalin dengan adanya interaksi dan saling membutuhkan satu desa dengan desa lainnya lainnya. 5.2 Pengukuran Indikator Kawasan Perkotaan pada Aspek Sosial, Ekonomi, Tata Ruang dan Lingkungan Indikator perkotaan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II dan Bab III dilakukan berdasarkan tipologi kawasan perkotaan.
Kawasan Perkotaan Jatinagor
Cimanggung berdasarkan tipologi perkotaan dikategorikan pada Kawasan Perkotaan Sedang. Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 pasal 41 ayat (2) dan penjelasannya kawasan perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut:
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 4
Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani paling sedikit 50.000 (lima puluh ribu) jiwa dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) jiwa.
Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 (seratus ribu) jiwa dan kurang dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
Kawasan perkotaaan besar adalah perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani paling sedikit 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
Kawasan metropolitan yang saling memiliki hubungan fungsional dapat membentuk kawasan megapolitan.
Dengan demikian, kawasan megapolitan mengandung
pengertian kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem Berdasarkan kriteria tipologi kawasan perkotaan di atas maka kawasan perkotaan Jatinangor dikategorikan pada tipologi kawasan perkotaan sedang sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 5
Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor No
Nama Desa
Jumlah Penduduk (Jiwa)
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
13919
2
Sayang
8312
3
Mekargalih
6344
4
Cintamulya
9394
5
Cisempur
5728
6
Jatimukti
4630
7
Jatiroke
5900
8
Hegarmanah
8354
9
Cikeruh
11123
10
Cibeusi
10505
11
Cileleus
5054
12
Cilayung
4800
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
5685
2
Sawahdadap
5494
3
Sukadana
5143
4
Cihanjuang
9872
5
Sindangpakuon
7817
Total
128074
Sumber : Database Kecamatan Jatinangor dan Cimaggung Tahun 2008
Berdasarkan gambaran di atas maka indikator penilaian kelayakan kawasan perkotaan Jatinangor menggunakan indikator perkotaan kota sedang sebagaimana dapat dilihat pada Tabel dibawah ini :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 6
Tabel 5.3 Pengukuran Kondisi Eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor berdasarkan Indikator Perkotaan Sedang No 1
2
3
Aspek Penduduk
Produktivitas Perkotaan
Kesehatan dan Pendidikan
Indikator Tingkat Pertumbuhan penduduk Tingkat Migrasi Tingkat Kepadatan penduduk (jiwa/ha) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Pertumbuhan PDRB Kota per pertumbuhan nasional Pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa Kontribusi sektor perdagangan dan jasa terhadap PDRB Tingkat ketergantungan penduduk Tingkat kematian ibu Tingkat kematian bayi Angka Prevalensi Penyakit Diare Rata-rata usia harapan hidup warga (thn) Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit/jiwa) ketersediaan fasilitas rumah sakit (unit/jiwa Ketersediaan apotik (unit/jiwa) Angka melek huruf Ketersediaan fasilitas pendidikan (SD) (unit/jiwa Ketersediaan fasilitas pendidikan (SMP) (unit/jiwa) ketersediaan fasilitas pendidikan (SMU) (unit/jiwa)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bobot 10
@ 3 2 5 2 1 2
Baik Parameter <1% > 1.5 % < 50 jiwa/ha < 20 % <5% Tinggi
Nilai 3 3 3 3 3
Sedang Parameter 1-2% 1 - 1.5 % 50-75 jiwa/ha 20 - 30 % 5 - 10 %
3
Sedang
2 2 2 2
Buruk Parameter >2% <1% > 75 jiwa/ha > 30 % > 10 %
Nilai 1 1 1 1 1
2
Rendah
1
Nilai 2
Nilai
10
1 1.7 2 0.3 2 2
2
>4%
3
2-4%
2
<2%
1
2 1 1 1 1 0.5
> 40 % Rendah Rendah Rendah Rendah > 55 Tahun
3 3 3 3 3 3
20 - 40 % Sedang Sedang Sedang Sedang 45 - 55 thn
2 2 2 2 2 2
< 20 % Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi < 45 Tahun
1 1 1 1 1 1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1 1 0.5
memadai memadai > 90 %
3 3 3
cukup cukup 80 - 90 %
2 2 2
kurang kurang < 80 %
1 1 1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1
memadai
3
cukup
2
kurang
1
1.3 0.7
0.7 0.5 0.3 0.3
10
Bab V - 7
0.7 0.5 1 1
1
No
Aspek
4
Permukiman dan Lingkungan
5 5.1
5.2
5.3
Pelayanan Kota Air
Sanitasi
Sampah
Indikator Rasio penduduk kumuh per penduduk total Persentase Permukiman Kumuh (unit) Luasan Permukiman Kumuh Rasio ruang terbuka hijau Pengaduan polusi/pencemaran Jumlah kejadian kebakaran Tindak kejahatan per 1000 penduduk Kapasitas produksi (l/det) Jenis sumber air Rasio sambungan rumah Rasio kebutuhan Tingkat kebocoran rata-rata per tahun Tingkat pelayanan Konsumsi air per pelanggan (domestic) Konsumsi air bersih konsumsi lain (non domestik) Tinggkat penggunaan air Sistem distribusi
Kondisi pengolahan setempat(on site system) 1. Jumlah rumah yang menggunakan septic tank (%) 2. Jumlah penduduk terlayani fasilitas komunal (MCK umum) (%) Cakupan pengangkutan sampah (m3/hr) Cakupan penduduk terlayani Cakupan layanan (ha) Sarana pengangkutan sampah - Pick up sampah (unit)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bobot
10
10
10
10
@ Parameter
Nilai
Baik Parameter
Sedang Nilai
1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43
< 1% <1% <1% > 40 % Tidak Rendah Rendah
3 3 3 3 3 3 3
1-2% 1-2% 1-2% 40 - 30 % Ada sedang sedang
2 2 2 2 2 2 2
>2% >2% >2% < 30 % Ada Tinggi Tinggi
1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
> 150 air tanah > 50 % > 60 % < 20 % > 60 % > 80 %
3 3 3 3 3 3 3
130 - 150 air permukaan 30 -50 % 40 - 60 % 20 - 25 % 40 - 60 % 75 - 80 %
2 2 2 2 2 2 2
< 130 air hujan < 30 % < 40 % > 25 % < 40 % < 75 %
1 1 1 1 1 1 1
1 1
3 3
20 - 25 % 40 - 80 %
2 2
> 25 % < 40 %
1 1
1
< 20 % > 80 % Gabungan dengan reservoir
3
Perpompaan
2
Gravitasi
1
5
> 60 %
3
40 - 60 %
2
<40 %
1
5
5 1 1 1
< 30 % > 75 % > 60 % > 50 %
3 3 3 3
30 - 50 % 50 - 75% 40 - 60 % 25 - 50 %
2 2 2 2
> 50 % < 50 % < 40 % < 25 %
1 1 1 1
0.3 0.3 0.3
1
0.3
1
> 20
3
15- 20
2
< 15
Bab V - 8
Buruk Parameter
Nilai Nilai
0.5 0.95 1.43 1.43
1 0.3
No
5.4
6 7
8
Aspek
Drainase
Listrik dan Telpon Transportasi Perkotaan
Pemerintahan Kota
Indikator
Bobot
@
- Truk sampah (unit) - Arm-roll sampah (unit) - Compactor truck (unit) - Status tanah TPA - Jarak ke pembuangan terdekat
1 1 1 1 1
Metoda pembuangan
1
Topografi kota Rasio panjang saluran primer Tinggi genangan Lama genangan Frekuensi genangan Kerugian material genangan Luas genangan dari area urban Cakupan pelayanan Cakupan pelanggan listrik Cakupan pelanggan telpon Rasio panjang jalan per 100 penduduk V/C Ratio rata-rata Panjang jalan sesuai kewenangan Kerusakan jalan Kecepatan tempuh rata-rata Panjang jalan mantap Integrasi antar kota kemandirian kota (keuangan daerah/pendapatan daerah) ketersediaan dokumen perencanaan pembangunan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
10
5
10
1 1 1 1 1 1 2 2 2.5 2.5 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43
Baik Parameter > 10 > 10 > 10 Milik Pemkot > 1 km Metode sanitary land fill Dataran > 30 % < 0.25 m < 1 jam Tidak ada Tidak ada <5% > 80 % > 75 % > 40 % > 0.4/1000 km/jiwa
Nilai 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Sedang Parameter 5 - 10 5 - 10 5 - 10 0.5 - 1 km Metode controlled land fill Campuran 20 -30 % 0.25 - 0.5 m 1-2 jam 1-2/tahun 5-15 % >60-80% 50 - 75 % 20 -40 % 0.2 - 0.4/1000 km/jiwa
Nilai 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Buruk Parameter <5 <5 <5 sewa < 0.5 km Metode open dumping Perbukitan < 20 % > 0.5 m < 2 jam > 2x/tahun ada > 20 % < 40 % < 50 % < 20 % < 0.2/1000 km/jiwa
Nilai Nilai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.3 0.3 0.7 0.3 0.3 0.3 1.3 1.3 2.5 1.7 1.43
1
> 20 % < 10 % > 60 km/jam > 85 %
3 3 3 3 3
10 -20 % 10 - 25 % 30 - 60 km/jam 75 - 85 %
2 2 2 2 2
< 10 % > 25 % < 30 km/jam < 75 %
1 1 1 1 1
1.67
> 75 %
3
2
< 25 %
1
1.67
Ada
3
25 - 75 % Ada/Tidak lengkap
2
Tidak
1
Bab V - 9
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
1.0 0.5 1.0 1.0
Berdasarkan hasil pengukuran maka dapat diringkas hasil penilaian sebagai berikut : Tabel 5.4. Hasil Penilaian terhadap kondisi eksisting Kawasan Perkotaan Jatinangor No I
Aspek
Nilai Total
Hasil Penilaian
Ketersediaan data (%)
% terhadap Nilai Total
Kategori
Sosial dan Ekonomi 1
Penduduk
10
2.7
66.7
27
Na
2
Produktivitas Perkotaan
10
8.3
100
83
Baik
3
Kesehatan dan Pendidikan
10
6
81.8
60
Sedang
II
Spasial dan Lingkungan
4
Pemukiman dan Lingkungan
10
4.29
57.14
42.9
Sedang
III
Pelayanan Kota/prasarana
5
Air
10
1.33
20
13.3
Buruk
6
Sanitasi
10
5
100
50
Sedang
7
Sampah
10
3.3
100
33
Buruk
8
Drainase
10
4.3
75
43
Sedang
9
Listrik dan Telpon
5
4.2
100
84
Baik
10
Transportasi Kota
10
4.8
71.4
48
Sedang
Pemerintah Kota
5
0
0
0
Na
49.22
Sedang (Layak Bersyarat)
IV 11
Total
100
49.22
Sumber : Hasil Analisis; Na = Not applicable (data tidak tersedia) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penilaian didasarkan terhadap 11 aspek yang meliputi aspek penduduk, produktivitas perkotaan, kesehatan dan pendidikan, pemukiman dan lingkungan, pelayanan kota/prasaranan (air bersih, sanitasi, sampah, drainase, listrik dan telpon, transportasi kota dan pemerintah kota). Hasil penilaian dan pengukuran pada aspek-aspek tersebut diperoleh hasil sebesar 49.22. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa kawasan Jatinangor-Cimanggung layak bersyarat sebagai kawasan perkotaan terutama dalam memenuhi aspek-aspek yang masih belum memenuhi kriteria dan standar yang diharapkan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 10
A. Aspek Sosial Ekonomi Pada bidang sosial dan ekonomi ada 3 aspek utama yang diukur meliputi aspek penduduk, produktivitas perkotaan serta aspek kesehatan dan pendidikan. Pengukuran tidak dapat dilakukan secara optimal mengingat ketersediaan data yang relatif rendah (cenderung tidak tersedia) pada beberapa indikator dari masing-masing aspek tersebut. Pada aspek penduduk tidak diperoleh data tingkat pertumbuhan migrasi. Pertumbuhan migrasi yang cepat akan menimbulkan tekanan pada infrastruktur dan suumberdaya. Pertumbuhan migrasi di kawasan Jatinagor-Cimanggung terutama kawasan pendidikan tinggi dan industri relatif besar. Jumlah civitas akademika yang tinggal di Jatinangor turut diperhitungkan sebagai penduduk kecamatan ini walaupun mereka hanya merupakan penduduk sementara (terutama para mahasiswa apabila telah selesai masa kuliahnya akan kembali ke tempat asalnya). Demikian pula pendatang yang bekerja di zona industri Jatinangor-Cimanggung semakin meningkatkan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan perkotaan Jatinangor. Indikator pertumbuhan kepadatan penduduk menjadi satu sub bagian aspek penduduk yang cukup penting untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran tingkat kepadatan adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas area permukiman. Perkotaan sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi akan selalu menjadi faktor penarik para pendatang untuk melakukan segala bentuk aktivitas ekonomi. Petumbuhan kepadatan yang tinggi berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, tingginya tekanan terhadap lahan dan rendahnya kesehatan. Kawasan perkotaan Jatinangor memiliki kepadatan relatif tinggi dibanding dengan kawasan lain di Kabupaten Sumedang.
Kepadatan penduduk bersih menunjukkan
kemacetan dan tekanan segala pelayanan yang terkait dengan kelangsungan hidup penduduk. Nilai yang terlalu tinggi-padat berimbas pada masalah kesehatan dan tekanan terhadap transportasi dan jasa. Namun jika terlalu rendah, penyediaan jasa akan menjadi mahal. Permukiman lama yang berlokasi dekat pusat kegiatan ekonomi dan jaringan jalan utama tumbuh dan berkembang sangat cepat dengan makin bertambahnya rumah-rumah baru, terutama di desa Cibeusi, Cikeruh, Sayang, dan Hegarmanah pada koridor jalan utama.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 11
Pertumbuhan rumah baru ini menyebabkan kondisi permukiman menjadi padat dan memiliki prasarana maupun sarana lingkungan yang sangat kurang. Rumah sewa dan kos-kos tumbuh di lokasi-lokasi dekat kegiatan utama perguruan tinggi dan kegiatan industri tersebar ada di jaringan jalan utama dengan radius dari jalan utama 300 meter. Rumah kos-kos ini tumbuh sangat padat padat tidak teratur dan prasarana maupun sarana lingkungan juga sangat kurang. Untuk kos-kosan mahasiwa menyebar di Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeruh, dan Hegarmanah serta sebagian kecil di Desa Cileles. Jumlah sampai tahun 2003 lebih dari 700 rumah kos-kosan dengan lebih dari 8.000 kamar. Setiap tahun tidak kurang dari 3 rumah untuk kos-kosan dibangun. Rumah sewa atau kos-kosan untuk para pekerja menyebar di Desa Mekargalih, Cintamulya, Cipacing dan Cisempur di kecamatan Jatinangor serta pada beberapa desa di zona industri Kecamatan Cimanggung seperti Sukadana, Cihanjuang, Sawahdadap, Mangunarga dan Sindangpakuwon dengan pola pertumbuhan yang hampir sama dengan kos-kosan untuk mahasiswa. Sumbangan nilai terbesar pada bidang sosial ekonomi dari aspek produktivitas perkotaan sebesar 8.3 atau sekitar 83 % dari nilai maksimal. Kondisi ini didukung oleh tingkat kemiskinan dan pengangguran yang relatif rendah, tingkat pertumbuhan PDRB terhadap PDRB Kabupaten, pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa, serta kontribusi perdagangan dan jasa terhadap PDRB relatif tinggi (perhitungan terlampir). Pertumbuhan PDRB merupakan indikator yang mencerminkan produktivitas perkotaan. Tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi menunjukkan kegagalan pembangunan ekonomi di perkotaan. Perkotaan ditopang sektor ekonomi perdagangan sektor perdagangan dan jasa, karena sektor ini dianggap memberikan nilai tambah (pendapatan) yang lebih tinggi daripada sektor pertanian.
Perkembangan perkotaan akan dibarengi dengan semakin
tingginya jumlah penduduk yang bekerja di sektor non pertanian. B. Aspek Tata Spasial Pada aspek spasial (ruang), difokuskan pada pembahasan tentang permasalah pemukiman kumuh di perkotaan. Semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, terutama disebabkan oleh tingginya arus migrasi dan urbanisasi penduduk. Dengan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 12
adanya tingkat perpindahan penduduk yang cepat maka akan mempercepat laju pertumbuhan penduduk perkotaan.
Besarnya arus urbanisasi ini dapat disebabkan oleh adanya faktor lain , yaitu daya tarik perkotaan sebagai penyedia lapangan kerja, fasilitas dan utilitas publik (pull factor) dan adanya tekanan kawasan perdesaan yang mempunyai keterbatasan lapangan kerja, faslilitas dan utilitas publik (push factor) mengingat kawasan perkotaan selain sebagai kawasan pendidikan tinggi juga merupakan zona industri. Pada pengukuran aspek aspek spasial, indikator yang diukur meliputi : rasio penduduk kumuh, persentase pemukiman kumuh serta luasan permukiman kumuh namun data tidak tersedia secara lengkap. Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Kawasan kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai kawasan kumuh, penduduk tinggal di kawasan yang sangat berdekatan sehingga sangat sulit untuk dilewati kendaraan seperti ambulans dan pemadam kebakaran. Kurangnya pelayanan pembuangan sampah juga mengakibatkan sampah yang bertumpuktumpuk. Peningkatan kawasan kumuh juga berkembang seiring dengan meningkatnya populasi penduduk. Beberapa indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah sebuah kawasan tergolong kumuh atau tidak adalah diantaranya dengan melihat :
tingkat kepadatan
kawasan, kepemilikan lahan dan bangunan serta kualitas sarana dan prasarana yang ada dalam kawasan tersebut. C. Aspek Lingkungan Pembangunan perkotaan harus mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan untuk mewujudkan perkotaan yang berkelanjutan.
Pada aspek lingkungan, indikator yang
diukur meliputi : rasio ruang tebuka hijau, pengaduan polusi atau pencemaran, jumlah kejadian kebakaran dan tindak kejahatan per 1000 penduduk. Penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau ditujukan untuk fungsi-fungsi wilayah tangkapan air atau memiliki nilai penyerapan air (run in) sebesar mungkin dengan nilai Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 13
koefisien lebih dari 0.5.
Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang diijinkan merupakan
kegiatan-kegiatan alam dengan pertimbangan nilai koefisien penyerapan air ke dalam tanah sebesar mungkin. Kepastian tentang kebutuhan yang disyaratkan untuk membangun Ruang Terbuka Hijau belum ditetapkan secara definitif, Undang-undang tentang Tata Ruang menyebutkan minimal 30% sementara peraturan menteri dalam negeri menyebutkan minimal 20%. Namun untuk lebih jelasnya maka acuan dibawah ini dapat dipertimbangkan, yakni :
Berdasarkan proses netralisasi CO2, RTH membutuhkan kurang lebih 36% dari luas area kota.
Berdasarkan kebutuhan air, RTH yang dibutuhkan setara dengan 24% ruang kota.
Berdasarkan jumlah penduduk berkisar antara 1.200 orang/Ha sampai 50 orang/Ha.
Berdasarkan luas kota, berkisar antara 10% - 30% tergantung dari lokasi. Secara geografis wilayah untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau berada pada
ketinggian di atas 750 meter di atas permukaan laut(dpl) saat ini digunakan untuk kegiatan Pertanian Palawija, Bumi Perkemahan, Padang Olah Raga Golf, perkampungan Cilayung, Cileles, Jatiroke, Cisempur, dan Jatimukti dan Bantaran Sungai yang sebagian berupa bangunan rumah dan pekarangan. Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk konservasi air diarahkan dengan kebijakan : 1. Areal Wisata Kiara Payung tetap berfungsi sebagai wisata perkemahan dengan mengembangkan areal menjadi lebih alami untuk menjalankan fungsi resapan air. Areal Wisata Kiara Payung yang masuk dalam wilayah administratif Jatinangor seluas 25 Ha. 2. Areal Rekerasi Golf tetap dipertahankan dengan melarang untuk menambah bangunan-bangunan penunjang perhotelan, rekreasi golf dan apapun sehingga fungsi resapan akan dapat dipertahankan atau sangat dianjurkan untuk menata kawasannya dengan tanaman dan pepohonan yang meningkatkan fungsi resapan air. Areal rekreasi golf Bandung Giri Gahana seluas 125 Ha. 3. Gunung Geulis dibatasi dengan ketinggian lebih dari 750 meter dpl dialih fungsikan dari tanaman pertanian palawija menjadi tanaman tahunan yang lebih banyak berfungsi sebagai areal resapan air seperti hutan bambu atau lainnya. Disamping itu Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 14
Gunung Geulis dengan fungsinya yang sekarang tetap diarahkan sebagai areal wisata Gunung Geulis. Diperkirakan areal Gunung Geulis yang berfungsi sebagai resapan air dan wisata seluas 315 Ha. 4. Areal sempadan sungai dari sungai-sungai yang ada di Jatinangor diarahkan sebagai areal konservasi aliran sungai dengan lebar koridor ½ Lebar Sungai dari ukuran terlebar ditambah 1 meter. Daftar lebar sungai dilihat pada data sungai di lembaga berwenang. Pemanfaatan ruang koridor kiri – kanan sungai tetap untuk ruang terbuka hijau dengan jalan inpeksi yang bahan material jalan yang tidak mengganggu fungsi resapan air. Koridor kiri – kanan sungai seluas 88 Ha. Secara bertahap pemanfaatan ruang di koridor sungai yang tidak sesuai harus dialihkan. 5. Taman Kota atau Hutan Kota adalah ruang publik yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan areal resapan air, direncanakan ada di tiap-tiap satuan lingkungan permukiman. Luas tiap lingkungan permukiman disesuaikan, saat ini areal taman kota masih digunakan sebagai areal pertanian atau permukiman lama. Secara bertahap diarahkan untuk mengubah fungsi asal menjadi fungsi taman kota sebagai ruang publik. Ruang publik taman kota diperkirakan luasnya 53 Ha, terbagi menjadi 14 Taman Kota. Pada pemanfaatan taman kota termasuk di dalamnya pemakaman. Pada indikator pengaduan polusi/pencemaran menunjukkan tingkat kenyamanan perkotaan terkait dengan kualitas lingkungan perkotaan.
Pada kawasan perkotaan
Jatinangor, pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyiapkan zona industri di Cimanggung dan beberapa desa di Jatinangor seperti mekargalih, Cintamulya dan Cisempur. Hal ini tentu akan berdampak pada peluang untuk terjadi polusi atau pencemaran yang berasal dari pabrik.
Apabila pabrik tidak melakukan pengolah limbah sebagaimana
dipersyarakatkan tentu akan berdampak pada lingkungan sekitarnya yang dekat dengan lingkungan pemukiman. Hal ini tentu akan menimbulkan komplain masyarakat. Tindak kejahatan dan kejadian kebakaran di kawasan perkotaan menunjukkan tingkat keamanan perkotaan. Pada kawasan perkotaan Jatinangor relatif rendah. D. Pelayanan Perkotaan atau Prasarana Perkotaan Baik buruknya wajah suatu kawasan perkotaan bisa dilihat dari ketersediaan dan pengelolaan sarana dan prasarana (infrastruktur ) yang ada di kota tersebut, semakin Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 15
lengkap, tertata, terawat dan terpelihara menunjukan bahwa pengelolaan infrastruktur dilakukan, secara baik, namun sebaliknya jika infrastruktur yang ada tidak tertata dan terpelihara secara baik menunjukan bahwa pengelolaannya tidak dilakukan secara baik. Pengukuran pada bidang ini difokuskan pada aspek prasarana perkotaan. Dengan demikian dimungkinkan pemanfaatan keluaran dari penilaian ini untuk bahan identifikasi fasilitasi dan tindakan dalam penyelenggaraan infrastruktur/prasarana perkotaan. Penilaian terhadap aspek pelayanan kota meliputi 6 aspek yaitu aspek air, sanitasi, sampah, drainase dan transportasi serta listrik dan telpon. Hasil penilaian kelayakan pada aspek ini cenderung masih belum baik. 1. Sampah Kondisi yang masih memprihatinkan terutama pada pengelolaan atau pelayanan sampah. Cakupan penduduk yang terlayani sistem persampahan masih sangat rendah. Pelayanan publik pada sektor ini sangat terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah di Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Cimanggung. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah ketersediaan TPSS (tempat pembuangan sampah sementara) dan TPAS (tempat pembuangan akhir sampah) ataupun berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait dengan permasalahan sampah. Pengelolaan sampah dan kebersihan pada umumnya dilakukan sendiri-sendiri baik di lingkungan PT, industri maupun rumah tangga. Desa-desa di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung (terutama yang masuk pada kawasan perkotaan Jatinangor) menempatkan lokasi tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) belum sesuai dengan tata ruang yang ada. Hal ini diindikasikan dengan munculnya tempat pembuangan sampah liar (illegal) yang biasanya berada di lahan-lahan kosong, lahan tidur (tidak dimanfaatkan), bantaran sungai dll. Tempat pembuangan Akhir yang dimiliki oleh Pemkab berada 60 Km dari Jatinangor sehingga pembuangan akhir oleh jasa pengangkut dibuang ke TPAS milik Pemkab Bandung
Salah satu penyebab utama dari kondisi di atas adalah ketidakmampuan pemerintah desa dan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan karena ketidakmampuan dalam menyediakan TPS (tempat pembuangan sementara), kontainer dan keterbatasan armanda Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 16
pengangkut sampah dll, karena keterbatasan alokasi anggaran dalam APBD untuk pengelolaan sampah.dengan segala keterbatasan tersebut tentu saja cakupan pelayanan persampahan menjadi tidak maksimal. 2. Drainase Permasalahan utama bidang drainase adalah masih tingginya genangan baik luasan maupun frekuensinya di kawasan perkotaan Jatinangor serta minimnya sarana drainase. Pada jalur utama kawasan perkotaan Crossing utilitas atau tumpang tindih pemanfaatan saluran menjadi permasalahan tersendiri bagi sektor drainase antara lain dengan utilitas lain seperti pipa air minum, pipa air limbah kabel telekomunikasi dll. Hingga saat ini pada kawasan perkotaan Jatinangor belum mempunyai sistem drainase yang memadai. Permukaan tanah yang rata pada beberapa bagian tertentu tidak menjadi masalah tetapi pada bagian lain terjadi genangan. Pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran yang ada serta pengawasan pembangunan yang tidak ketat saluran drainase tidak terbentuk, rusak malah beberapa disumbat atau dihilangkan. Sungai yang ada sebagai satu-satunya sistem drainase alami juga tidak terpelihara sehingga sedimentasi dan pendangkalan, penyempitan saluran sampai penghilangan sungai-sungai kecil terjadi terus-menerus. Kondisi ini terjadi pada sebagian besar desa di Kecamatan Cimanggung yang akan menjadi bagian kawasan perkotaan Jatinangor Fungsi drainase yang dimaksud sebagai fasilitas pengatus jalan juga kadang berfungsi ganda sebagai saluran irigasi yang pada akhirnya menimbulkan masalah tersendiri perbedaan sistem, dimensi dan konstruksi. 3. Air Bersih Permasalahan lain pada aspek pelayanan kota adalah penyediaan air bersih. Masalah kualitas, kuantitas dan ketersedian air bersih di kawasan perkotaan Jatinangor menjadi masalah yang menuntut perhatian yang ekstra karena terkait dengan pertumbuhan penduduk dan proses urbanisasi dimana sampai dengan saat ini masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan tingkat pelayanan yang masih cukup besar.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 17
Sumber air baku yang semakin terbatas akibat konversi lahan yang terus meningkat sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutama air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas dan kualitas. Air minum perpipaan yang dikelola PDAM sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di Kawasan Perkotaan Jatinangor. Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah, belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan syarat yang diharapkan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi. Bagi penduduk yang bermukim di sekitar lokasi pabrik, memiliki ketergantungan air bersih yang tinggi, karena sumber air bersih masih di pasok oleh pabrik. Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, masih rendah karena pemerintah daerah belum siap dalam bermitra dengan swasta, belum terdapat aturan yang cukup mantap dan komprehensif bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum.
4. Sanitasi atau pengelolaan limbah Pengelolaan air limbah setempat berpengaruh pada kualitas lingkungan yang ada. Permasalahan pada aspek sanitasi disebabkan pengolahan masih didominasi on site sistem pengolahan setempat).
Fasilitas pembuangan air limbah yang berada di daerah persil
pelayanan nya (batas tanah yang dimiliki). Idealnya system penangan untuk kota sedang dan kecil diterapkan melalui 2 cara yaitu “on-site” tanpa IPLT (Instalasi pengolahan limbah terpadu) dan “On-Site” dengan IPLT.
Kedua sistem ini menggunakan truk tinja untuk
penyedotan lumpur septik dari tangki septik. Sistem On-Site tanpa IPLT diterapkan apabila : a) Penduduk kota < 100.000 jiwa dan bukan merupakan ibukota kabupaten b) Jumlah tangki septic < 5000 unit dimana lumpur septic dibuang ke IPLT terdekat. Sistem On-Site dengan IPLT diterapkan apabila : c) Penduduk kota > 100.000 Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 18
d) Jumlah tangki septic > 5000 unit dengan volume pengurasan lumpur 2-3 m3/hari. e) Ibukota kabupaten/Kota Pada kawasan perkotaan Jatinangor pembuangan air bekas cucian ke jaringan drainase yang semestinya diperuntukan untuk pembuangan dan peresapan air hujan, karena kapasitas jaringan drainasie tidak lagi sesuai dengan dimensi yang ada maka dampak yang pada akhirnya muncul adalah luapan air dari dari jaringan drainase, genangan di badan jalan dan berjangkitnya berbagai macam penyakit seperti diare, demam berdarah dll. Pencemaran terkait dengan limbah domestik berpotensi tercemarnya air dengan bakteri e-coly karena pesatnya perkembangan permukiman yang kadang sulit untuk dikendalikan, Salah satu permasalahan air limbah di kawasan perkotaan Jatinangor adalah pembangunan septiktank keluarga pada beberapa lokasi yang tidak lagi memenuhi syarat teknis yang disyaratkan dalam rangka pengelolaan kesehatan lingkungan yang semestinya berjarak minimal 10 m dari sumur tidak lagi bisa dipenuhi karena keterbatasan lahan perkotaan. Pencemaran limbah industri mempunyai dampak yang lebih buruk terhadap lingkungan sekitar sehingga harus diolah secara sepesifik. Limbah cair industri dikelola oleh masing-masing masing industri sesuai persyaratan yang ditetapkan peraturan lingkungan. Beberapa kasus terjadi pihak industri membuang limbah cair yang tidak diolah atau hasil olahannya tidak memenuhi syarat, pada tengah malam atau pada saat hujan besar dan pada saat musim hujan dimana arus air sungai cukup besar. Atau pada saat hujan turun, limbasan air hujan yang berasal dari tampungan limbah industri menggenangi atau membanjiri pemukiman warga.
5. Transportasi Pada aspek transportasi, pelayanan belum optimal.
Dukungan pelayanan
transportasi yang relatif rendah diperparah banyaknya kondisi jalan lingkungan yang dalam kondisi rusak. Kecepatan tempuh rata-rata relatif rendah juga disebabkan oleh kemacetan yang sering terjadi pada kawasan-kawasan tertentu. Jatinangor berada pada gerbang timur Kota Bandung yang menjadi titik persimpangan pergerakan regional. Pengembangan sistem transportasi bukan hanya untuk Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 19
kepentingan Jatinangor tetapi mencakup pengembangan sistem pergerakan Bandung Timur bahkan regional antar kota. Konflik pada sistem transportasi menjadi pengganggu utama pada kinerja seluruh aktivitas terutama perguruan tinggi dan lokasi disekitar pabrik.
Prasarana transportasi
menyimpang dari penggunaan dan fungsi hirarki jalan. Disamping itu, kualitas dan kuantitas jalan yang tidak memenuhi standar sesuai dengan fungsinya. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membangun prasarana baru sangat kecil, sehingga hanya bisa melakukan pemeliharaan dan peningkatan saja.
D. Aspek Kelembagaan Pelayanan pemerintahan adalah pelayanan untuk kebutuhan catatan sipil dan kependudukan bagi masyarakat selama ini dilakukan dan dibutuhkan masyarakat, berupa pelayanan kebutuhan catatan sipil seperti Kartu Tanda Penduduk(KTP), Akte Kelahiran, Sertifikat Kepemilikan Tanah, Ijin mendirikan Bangunan(IMB), Rekomendasi Kegiatan Usaha, dan lain-lain. Pelayanan ini dilayani oleh Pemerintah sesuai dengan jenjang dan pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintah. Dalam rangkaian pelayanan yang diberikan pemerintah tersebut terkait organisasi masyarakat yang dianggap pemerintah seperti desa, dusun, RW, dan RT. Di kawawan perkotaan Jatinangor sendiri kelembagaan yang melayani kebutuhan masyarakat terdiri dari Kecamatan, Polisi Sektor, Komando Rayon Militer, dan Cabang Dinas meskipun belum semua cabang dinas ada. Dalam pelayanan catatan sipil ini dibutuhkan sarana pelayanan berupa kantor atau tempat pelayanan. Pelayanan Pemerintahan yang disebutkan di atas tehadap kebutuhan catatan sipil dan kependudukan terutama dilayani oleh pemerintah kecamatan, pemerintahan desa., Organisasi Rukun Warga, dan Organisasi Rukun Tetangga(RT), saat ini memiliki prasarana kantor pelayanan masing-masing kecuali RT yang dilayani di rumah Ketua RT dan pelayanan di luar jam kerja. Sedangkan pelayanan RW bervariasi ada yang memiliki kantor pelayanan RW dan banyak yang tidak memiliki, pelayanan ini sama dengan pelayanan RT. Pemerintahan Desa memberikan pelayanan seperti selayaknya organisasi pemerintah dan semua Pemerintahan Desa memiliki kantor pelayanan Pemerintahan Desa, meskipun beberapa desa tidak membuka pelayanannya setiap saat pada jam kerja. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 20
Pemerintah Kecamatan merupakan kepanjangan tangan Kepala Pemerintah Daerah (Bupati) untuk pelayanan tingkat kecamatan, jenis pelayanan selama ini berjumlah sembilan kewenangan pemerintah kecamatan yaitu : KTP, Akte Kelahiran, Sertifikat Tanah, IMB dibawah 100 meter persegi dan di luar JaLan Negara, Perijinan Wisata/Keramaian, Perijinan Gangguan(IG), Kebijakan pelayanan catatan sipil dalam tata ruang ditujukan untuk membangun kondisi kondusif terjadi kemudahan pelayanan oleh lembaga pelayanan catatan sipil dan kemudahan mengakses pelayanan catatan sipil oleh masyarakat dalam tata ruang ditempuh kebijakan sebagai berikut : 1.
Mengarahkan ruang untuk membentuk struktur ruang yang memiliki hirarki pelayanan dengan radius pelayanan yang seimbang dan memiliki aksesibilitas pelayanan tinggi.
2.
Lokasi pusat pelayanan catatan sipil tingkat kecamatan berlokasi di jalan arteri sekunder, sehingga mudah diakses oleh seluruh bagian wilayah pelayanan secara adil.
3.
Pusat pelayanan pemerintahan desa berada di jalan kolektor sekunder dan berada di tengah wilayah pelayanan yang mudah diakses oleh masyarakat desa yang dilayaninya
4.
Pusat pelayanan organisasi rukun tetangga dengan upaya masyarakat setempat diarahkan untuk berada di jalan lingkungan di tengah unit permukiman dengan prinsip radius komunikasi yang mudah. Organisasi RT di atur sedemikian sehingga silaturahmi antar warga lebih lancar.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 21
Disamping indikator perkotaan yang dikembangkan ADB tersebut, ada alternatif lain mengukur standar perkotaan tipe sedang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (saat ini masih dalam bentuk rancangan Permendagri) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut: Tabel 5.5 Matrik Standar Pelayanan Perkotaan Untuk Kawasan Perkotaan Sedang No 1 A. B.
Fungsi
Jenis Pelayanan
PERMUKIMAN PERKOTAAN Air Bersih Jaringan Perpipaan Air bersih Drainase dan Sistem Drainase penangulangan banjir
Standar Pelayanan
Penilaian
65%
Terbatas
Drainase sistem tertutup untuk jaringan jalan arteri dan kolektor kota
sebagian
C.
Persampahan
TPA dengan sistem pembuangan tertutup
85%
Belum ada
D.
Air Limbah
60%
Belum tersedia
E.
Sarana dan Prasarana Transportasi
Sistem pembuangan air limbah domestik secara terpusat Darat Terminal penumpang Sarana angkutan umum Pemisahan Lalu Lintas Internal dan Eksternal Kota Sistem Pengaturan Lalu lintas Pedestrian Parkir Umum (Off Street) Halte Penerangan Jalan SPBU Jaringan listrik bawah tanah Jaringan telepon bawah tanah Telepon Umum Based tranmission System(BTS) Stasiun Relay Kantor Pos Kotak Surat
Terminal C angkutan umum tersedia
Belum Ada Belum
tersedia
Terbatas
tersedia Pelataran Parkir
Terbatas Terbatas
tersedia tersedia tersedia 100%
Terbatas Tersedia Tersedia Belum
100%
Terbatas
tersedia tersedia
Terbatas Tersedia
tersedia tersedia tersedia
Ada Tersedia Terbatas
F.
Energi
H.
Komunikasi dan Telekomunikasi
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 22
No
Fungsi
Jenis Pelayanan
Standar Pelayanan
Penilaian
tersedia
Tersedia
tersedia
Tersedia
tersedia
Tersedia/ Terbatas
tersedia
Belum
tersedia
Belum
tersedia tersedia
Tersedia Tersedia
tersedia tersedia
Tersedia Tersedia
tersedia
Tersedia
tersedia
Tersedia
Pos Yandu BKIA/ Klinik Bersalin Puskesma Pembantu/ Balai pengobatan Lingkungan Peskesman/ Balai pengobataan
tersedia tersedia tersedia
Tersedia Tersedia Tersedia
tersedia
Tersedia
Tempat Praktek Dokter Apotek/ Rumah Obat Rumah Sakit (RS) Balai Pertemuan Tempat Rekreasi Gedung Olahraga
tersedia tersedia RS kelas B1 tersedia tersedia Gedung Olahraga Tipe B
Tersedia Tersedia Belum Tersedia Tertentu -
I.
Ruang Terbuka Hijau
2 A.
PELAYANAN JASA PEMERINTAHAN Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pertanahan Peizinan Berupa Pelayanan Pemberian
B. C.
Lingkungan Hidup
D.
Penanggulangan bencana
E. 3 A.
B.
C.
Ketentraman dan Ketertiban PELAYANAN SOSIAL Pendidikan
Kesehatan
Rekreasi dan Olah raga
Taman kota/ Hutan Kota /Jenis RTHKP lainnya
Sarana monitoring polusi Pos pemadam kebakaran Hidran umum
Pendidikan Dasar Sekolah Dasar Umum Sekolah Menengah Pertama Umum dan atau Sederajat Pendidikan Menengah SMU dan atau Sederajat Pendidikan Tinggi Akademi atua Program Diploma
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 23
No
Fungsi
Jenis Pelayanan
Standar Pelayanan
Penilaian
D.
Sarana Peribadan Sesuai dengan Penganut Agama
tersedia
Tersedia
E.
Tempat Pemakaman Umum PUSAT KEGIATAN EKONOMI
tersedia
Tersedia
4 A. B. C.
Pusat Perdagangan dan Jasa Jasa Kauangan Pusat Pelayanan Kepariwisataan
Pusat perdagangan (pasar) Penginapan Pelayanan Kepariwisataan
Pusat perbelanjaan
Ada
Cabang Bank Umum Hotel Bintang Pusat Informasi Pariwisata
Ada Ada Belum
Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilihat bahwa tidak semua standar kebutuhan dan pelayanan yang dipersyaratkan sebagai kota sedang dapat dipenuhi kawasan perkotaan Jatinangor. Sebagian sarana dan prasarana masih tersedia dalam kondisi yang terbatas, bahkan pada beberapa item standar belum dipenuhi. Dengan demikian meskipun kawasan Jatinangor-Cimanggung telah memiliki ciri perkotaaan namun agar dapat berkembang menjadi kota yang layak huni, nyaman dan berkelanjutan membutuhkan beberapa pesyaratan yang menjadi prioritas untuk dipenuhi terutama yang terkait dengan aspek pelayanan perkotaan (prasarana perkotaan) 5.3 Deliniasi atau Batasan Kawasan Perkotaan Berdasarkan hasil kajian terhadap arahan kawasan perkotaan pada berbagai kebijakan dan pemenuhan kriteria yang telah dilakukan, maka deliniasi kawasan perkotaan di wilayah studi diusulkan beberapa alternatif berikut : A. Kawasan perkotaan Jatinangor-Cimanggung (alternatif 1) Alternatif ini terdiri 2 (dua) bagian utama kawasan perkotaan yang saling terkait yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan kegiatan dan Desa-desa pada sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona industri. 1. Kawasan Perkotaan di kecamatan Jatinangor Kawasan perkotaan Jatinangor terletak di seluruh desa Kecamatan Jatinangor. Hal ini karena, kegiatan perkotaan pada desa-desa di Jatinangor sudah terlihat, serta terdapat lahan yang berpotensi untuk pengembangan kegiatan perkotaan. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 24
Jatinangor sebagai wilayah kecamatan mempunyai luas 2.650 Ha dengan jumlah 12 meliputi : Desa Cibeusi, Cikeruh, Cipacing, Hegarmanah, Sayang, Cintamulya, Megargalih, Cisempur, Jatiroke, Jatimukti, Cileles,dan Cilayung dengan perbatasan adminitratif kecamatan yaitu :
Bagian Barat dengan Kecamatan Cileunyi Wetan, yang dibatasi oleh Sungai Cibeusi
Bagian Timur dengan Kecamatan Tanjungsari, yang dibatasi oleh Sungai Cikeruh dan Puncak Gunung Geulis
Bagian Utara dengan Kecamatan Sukasari dengan batas alam tidak jelas tetapi secara sosial di lapangan didapatkan kesepakatan batasan.
Bagian Selatan dengan Kecamatan Rancaekek, yang secara umum dibatasi oleh beberapa selokan dan Jalan Raya Rancaekek. Meskipun tidak jelas tetapi secara sosial di lapangan terjadi kesepakatan batas daerah administratif. Fungsi Jatinangor sebagai Kawasan Perguruan Tinggi sangat dikenal luas dengan
kegiatan empat perguruan tinggi yang menampung lebih dari 30.000 Mahasiswa, belum termasuk Akademi Informatika dan Komputer Al Maksoem sebagai salah salah satu perguruan tinggi di Jatinangor tetapi tidak berada pada kawasan perguruan tinggi. Luas kawasan Perguruan tinggi yang ditempati oleh empat perguruan tinggi 525 Ha. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dengan luas 285 Ha belum seluruhnya difungsikan sebagai sarana dan prasarana perguruan tinggi, sebagain besar (200 Ha) masih berupa lahan kosong yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian yang digarap oleh penduduk sekitar atau sebagai tempat praktek pertanian praja. Sedangkan Unversitas Pajajaran(Unpad) seluas 175 Ha memang dimanfaatkan seluruhnya untuk bangunan tetapi sebagian untuk laboratorium pertanian, perteknakan, perikanan dan lainnya. Sehingga Unpad meskipun bagian dari kawasan Perguruan Tinggi tetapi pemanfaatan ruang sebagian besar pertanian dan ruang terbuka hijau. Demikian juga Universitas Winaya Mukti (Unwim) yang luasnya 51 Ha, baru sebagian lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan akademi, sisanya berupa ruang terbuka dengan pemanfaatan ruang untuk pertanian yang digarap oleh penduduk.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 25
Hanya Institut Manajemen Ikopin(IMI) yang luasnya 17 Ha hampir termanfaatkan seluruhnya untuk kegiatan akademi perguruan tinggi. Masih satu hamparan dengan dalam Kawasan Perguruan Tinggi terdapat lahan yang rencana akan digunakan untuk kegiatan Pendidikan dan Latihan Pegawai Negeri Jawa Barat(Diklat Propinsi Jawa Barat) kurang lebih lahan 10 Ha dan sekarang pemanfaatan ruangnya sebagai ruang terbuka hijau. Kawasan Industri, yang dimaksud pemanfaatan ruang untuk hal tersebut lebih ditujukan untuk menyebut sejumlah lahan seluas 76,5 Ha yang tersebar tidak satu hamparan tetapi berada di Koridor Jalan Raya Rancakek masuk Desa Cipacing, Sayang, Cintamulya dan Cisempur. Jumlah industri 16 Industri dengan jumlah tenaga kerja hampir 32.000 Orang. Koridor Jalan Raya Rancaekek sendiri merupakan lahan dengan pemanfaatan ruang campuran, tetapi didominasi kegiatan industri. Sepanjang Koridor tersebut didapat pemanfaatan lain yaitu pertanian, perdagangan dan permukiman sendiri. Lebih menonjol fungsi perdagangan. Kawasan permukiman merupakan pemanfaatan ruang dominan hampir merata di seluruh wilayah Jatinangor. Kawasan permukiman bersatu dengan pertanian sehingga sulit dipisah secara tegas, karena sejarah pertumbuhan wilayah pertanian(Kawasan Pedesaan) yang tumbuh menjadi Kawasan Perkotaan. Pemanfaatan fungsi pertanian dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu : 1. Kawasan Permukiman dengan ciri pertanian atau pedesaan berada menyebar di Desa Cilayung, Cileles, Jatiroke, Jatimukti dan Cisempur. 2. Kawasan Permukiman dengan ciri campuran dengan tumbuhnya permukiman baru berupa fungsi-fungsi permukiman sebagai rumah sewa dan kos-kosan. Koskos/Pondokan mahasiswa di Desa-desa Cibeusi, Sayang, Cikeuruh, dan Hegarmanah. Permukiman dengan ciri pondokan/kos-kosan pekerja industri berada menyebar di Desa-desa Cipacing, Mekargalih, Cintamulya dan Cisempur. 3. Kawasan Permukiman dengan ciri permukiman pengrajin terutama menyebar di Cipacing, sebagian Cibeusi dan Sayang maupun Cilayung.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 26
Kawasan Pertanian merupakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertanian menyebar hampir di seluruh desa-desa di Jatinangor. Sebagaimana disebutkan di atas hal ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan Jatinangor yang semula sebagai wilayah pertanian dan perkebunan(sebelum tahun 1970) kemudian terjadi pergeseran lahan menjadi industri di wilayah selatan atau Koridor Jalan Raya Rancaekek dan kegiatan perguruan tinggi di bagian utara dan penunjangnya di Koridor Jalan Raya Jatinangor. Kondisi pemanfaatan ruang untuk pertanian dan juga permukiman lama atau perkampungan menjadi tidak bisa dipisahkan secara tegas, sehingga data pemanfaatan ruang tahun 1991, 1999 dan tahun 2001 menjadi seperti tidak masuk akal ketika jumlah luas atau proporsi pemanfaatan ruang untuk permukiman menjadi berkurang padahal kemungkinan data permukiman dan pertanian bisa tergabung pengukurannya. Pemanfaatan Ruang yang lain yang sangat menonjol dari sisi kegiatannya adalah pemanfaatan ruang wisata perkemahan dan olah raga golf yang dilengkapi fasilitas hotel dan restoran. Kegiatan perkemahan di Bumi Perkemahan Kiara Payung dikelola oleh kwarda Pramuka Jawa Barat, dengan luas lahan yang masuk wilayah administrasi kecamatan Jatinangor kurang lebih 25 Ha, sebagian lagi masuk wilayah administrasi Kecamatan Sukasari. 2. Kecamatan Cimanggung Desa-desa di Kecamatan Cimanggung merupakan kawasan yang berbatasan dengan Desa-desa di Kecamatan Jatinangor yang akan dikembangkan ke arah zona industri terutama pada koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka, perdagangan, dan jasa yang sudah barang tentu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan penyerapan tenaga kerja setempat. Dalam dekade dua puluh tahun terahir ini, kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah bagian barat (Jatinangor, Cimanggung) telah berubah dengan cepat dari kawasan pedesaan menjadi kawasan kota-kota satelit sebagai penyangga Kota Metropolitan Bandung. Jika alternatif ini yang dipilih (batas deliniasi lihat gambar 5.1) maka kelebihan dan kelemahannya adalah sebagai berikut :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 27
Kelebihan :
Luasan cakupan wilayah pengelolaan kawasan perkotaan yang tidak terlalu luas akan memudahkan dalam pengelolaan dan penataan fungsi-fungsi kawasan perkotaan (span of control terbatas)
Kawasan kecamatan Jatinangor merupakan arahan kawasan pendidikan tinggi, merupakan fungsi kawasan yang telah jelas sesuai dengan RTRW provinsi maupun RTRW Kabupaten sehingga memudahkan pengelola kawasan perkotaan dalam menata fungsi-fungsi yang dibutuhkan dalam menunjang pengelolaan kawasan pendidikan tinggi yang lebih baik.
Kawasan Jatinangor dan Cimanggung merupakan kawasan zona industri sebagaimana ditetapkan pada RPJP Kabupaten Sumedang.
Penetapan kawasan industri
berimplikasi pada kawasan yang relatif cepat berkembang.
Integrasi penyediaan sarana dan prasarana kawasan perkotaan lebih mudah
Luasan wilayah kawasan perkotaan yang kecil, potensi konflik sosial ekonomi penduduk akan semakin kecil.
Kelemahan :
Kawasan relatif terbatas untuk pengembangan kawasan ke depan terutama dalam mendukung pengembangan kawasan pemukiman penduduk dan aktivitas perkotaan.
Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi terbatas. Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih terbatas maka daya tampung ruang menjadi sedikit.
Dengan daya tampung ruang yang terbatas maka penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin sulit diakomodasi sesuai dengan ketentuan (minimal 30 %).
B. Kawasan
Perkotaan
Jatinangor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari
(Alternatif 2) Meskipun wilayah Jatinangor dan Cimanggung merupakan fokus utama wilayah kawasan perkotaan Jatinangor karena telah memiliki ciri perkotaan dan memenuhi standar-standar perkotaan sedang, namun dalam pengembangan wilayah ke depan tidak Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 28
terelakkan pengembangan kawasan perkotaaan dapat melingkupi daerah-daerah yang berbatasan di sekitarnya. Arah pengembangan pada wilayah terdekat kawasan perkotaan Jatinangor yang memiliki akses baik mengikuti jalan arteri sepanjang koridor Bandung – Cirebon. Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari merupakan bagian yang berpotensi dalam mendukung pengembangan kegiatan Perkotaan Jatinangor. Pada alternatif 2 ini kawasan perkotaan terdiri 4 (empat) bagian utama kawasan perkotaan yang saling terkait yaitu Kecamatan Jatinangor sebagai pusat pengembangan kegiatan, desa-desa pada sebagian Kecamatan Cimanggung yang merupakan zona industri, desa-desa pada sebagian Kecamatan Tanjungsari yang diarahkan sebagai pusat pemukiman dan desa-desa pada sebagian Kecamatan Sukasari.
Berikut gambaran
kecamatan yang merupakan perluasan kawasan perkotaan pada alternatif 2. 1. Kecamatan Tanjung Sari.
Kecamatan ini berbatasan dengan kecamatan Jatinangor di barat daya, kecamatan Cimanggu di selatan, kecamatan Pamulihan di timur, kecamatan Sukasari di barat laut serta wilayah Kabupaten Subang di sebelah utara. Sebelum pemekaran, wilayah Kecamatan Sukasari dan sebagian wilayah Kecamatan Pamulihan adalah bagian dari Kecamatan Tanjungsari. Kecamatan Tanjungsari memiliki beberapa produk andalan. Tanjungsari adalah salah satu daerah penghasil susu sapi di Jawa Barat, selain Lembang dan Pangalengan. Selain itu, daerah Tanjungsari sebelah utara (Desa Cijambu dan sekitarnya) merupakan daerah penghasil sayur-mayur. Buah-buahan dan umbi-umbian juga merupakan produk Tanjungsari yang cukup dikenal. Di kecamatan ini juga terdapat banyak tempat-tempat yang memiliki panorama indah. Tanjungsari berada di dekat kawasan pendidikan Jatinangor. Kecamatan Tanjungsari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan perumahan atau pemukiman. 2. Kecamatan Sukasari Kecamatan Sukasari dapat dijadikan bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor sebagai bagian pengembangan wilayah perkotaan untuk menampung kebutuhan perumahan atau pemukiman. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 29
Jika alternatif 2 ini (batas deliniasi lihat gambar 5.2) yang dipilih tentu akan memiliki kelebihan dan kelemahan antara lain : Kelebihan:
Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.
Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.
Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi terbatas.
Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka
penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya. Kelemahan :
Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan perkotaan
Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi penduduk akan semakin besar.
Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.
C. Kawasan Perkotaan Jatinagor-Cimanggung-Tanjungsari-Sukasari-Pamulihan
(Alternatif 3) Pada alternatif 3 ini, kawasan perkotaan Jatinangor meliputi 5 kecamatan sebagaimana yang direkomendasikan dalam RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012 revisi. Tambahan perluasan kawasan perkotaan meliputi beberapa desa di Kecamatan Pamulihan. Kecamatan Pamulihan merupakan merupakan kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung.
Beberapa desa pada
kecamatan ini berpotensi menjadi bagian kawasan perkotaan yang menjadi penyangga
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 30
bagi pengembangan bagian kawasan perkotaan lainnya khususnya Kecamatan Tanjungsari yang relatif telah berkembang lebih dahulu (Gambar 5.3). Jika alternatif ini dipilih sebagai kawasan perkotaan maka maka kelebihan dan kelemahannya : Kelebihan:
Wilayah untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih luas, sehingga pengelola lebih leluasa dalam mendistribusikan fungsi-fungsi kawasan perkotaan.
Ketersediaan ruang yang lebih luas akan meningkatkan daya tampung aktivitas perkotaan dan memungkinkan banyak pilihan alternatif lokasi bagi investasi.
Kawasan Perkotaan Jatinangor dengan kondisi permukaan tanah yang bergelombang mengakibatkan wilayah efektif pengembangan untuk kawasan perkotaan menjadi terbatas.
Dengan cakupan wilayah kawasan perkotaan yang lebih luas maka
penyediaan ruang terbuka hijau menjadi semakin besar luasannya. Kelemahan :
Cakupan kawasan yang lebih luas, menyulitkan di dalam koordinasi kelembagaan antar kecamatan serta dalam mengintegrasikan sarana dan prasarana kawasan perkotaan
Luasan wilayah kawasan perkotaan yang besar, maka potensi konflik sosial ekonomi penduduk akan semakin besar.
Distribusi penyediaan fasilitas umum (sosial dan ekonomi) cukup berat karena sebaran lokasinya yang luas dan kebutuhan anggaran yang besar.
A. Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan Berdasarkan RTRW Kabupaten Sumedang, Jatinangor sebagai PKL-1 (pusat Kegiatan Lokal), Cimanggung, Tanjungsari dan Sukasari sebagai sebagai PTK (Pusat Kegiatan Tingkat Kecamatan. PKL merupakan Kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi yang mempunyai pelayanan satu kabupaten atau beberapa kecamatan, dengan kriteria penentuan ditetapkan dengan kriteria:
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 31
a. pusat jasa keuangan/ bank yang melayani satu kabupaten atau melayani beberapa kecamatan, b. pusat pengelolaan/pengumpul barang untuk beberapa kecamatan, c. simpul transportasi untuk satu kabupaten atau untuk beberapa kecamatan, d. bersifat khusus karena mendorong perkembangan sektor strategis atau kegiatan khusus lainnya di wilayah kabupaten. Berdasarkan fungsi PKL tersebut, Jatinangor
dan Cimanggung
memiliki
keterkaitan yang kuat, Jainangor berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa dengan skala pelayanan lokal di tingkat Kabupaten Sumedang atau beberapa Kecamatan di sekitarnya serta pintu masuk bagian barat ke Kabupaten Sumedang dari Bandung sedangkan Cimanggung merupakan Pusat Kegitan Tingkat Kecamatan berfungsi sebagai zona industri terutama di jalur koridor jalan raya Bandung-Rancaekek-Cicalengka meliputi beberapa desa (Sukadana, Sawahdadap, Cihanjuang, Mangunarga dan Sindang Pakuwon) dan juga beberapa desa di Kecamatan Jatinangor (Cintamulya, Megargalih, Cisempur). Kecamatan Jatinangor juga sesuai dengan RTRW Provinsi dan Kabupaten Sumedang ditetapkan sebagai kawasan tertentu yang memiliki pertumbuhan cepat untuk mendorong pengembangan kawasan sekitarnya. Sebagai pengembangan wilayah kawasan perkotaan beberapa desa di Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari dapat dikembangkan menjadi bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor terutama diarahkan untuk mendukung pengembangan kebutuhan kawasan permukiman bagi civitas akademika perguruan tinggi. Disamping itu, 3 kecamatan di wilayah Kabupaten Sumedang yang termasuk dalam kawasan Bandung Metropolitan Area, yaitu Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung dan Jatinangor. Kota-kota kecamatan ini direncanakan untuk menjadi counter magnet dari perkembangan Kota Bandung dalam fungsi-fungsi tertentu. Kecamatan Jatinangor dikembangkan untuk menampung limpahan fungsi pendidikan tinggi.
Kecamatan
Tanjungsari untuk menampung kebutuhan perumahan. Kecamatan Cimanggung serta sebagian Kecamatan Jatinangor yang berdekatan direncanakan untuk menampung kegiatan industri dan perumahan. Sejalan dengan bergabungnya 3 kecamatan dalam wilayah Metropolitan Bandung, maka kecenderungan perkembangan ke-3 kecamatan tersebut Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
menjadi Bab V - 32
kawasan perkotaan lebih cepat dibandingkan kecamatan lainnya di Sumedang. Orientasi pergerakan penduduk ke-3 kecamatan tersebut adalah menuju Kota dan Kabupaten Bandung.
Kemudian rencana pembangunan tol Cisumdawu yaitu pembangunan jalan bebas hambatan yang membentang dari Cileunyi, Sumedang, dan Dawuan dengan jarak 52 km, secara kewilayahan melalui 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Majalengka terdiri atas 12 kecamatan dan puluhan desa, namun lintasan terpanjang berada pada Kabupaten Sumedang. Jika disimak berdasarkan sudut pandang pengembangan wilayah, tol Cisumdawu diharapkan mampu mendongkrak perekonomian Jawa Barat Timur termasuk Jatinagor yang direncanakan sebagai salah satu pintu gerbang akses masuk tol menuju Cirebon dan Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati Majalengka. Jatinangor akan menjadi kawasan potensial yang dalam membangkitkan pelayanan kebutuhan terhadap penggunaan tol tersebut seperti penyediaan feeder road. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sistem pusat kegiatan kawasan perkotaan dalam pada kawasan perkotaan Jatinangor terbagi menjadi 3 sub bagian kawasan perkotaan yaitu sub kawasan perkotaan Jatinagor sebagai Kota Inti, sub kawasan perkotaan Tanjungsari dan Sukasari sebagai pendukung (kota satelit) dan sub kawasan perkotaan Cimanggung (kota satelit) yang memiliki peran dan fungsi masing-masing yang saling terkait. Tiap sub kawasan perkotaan tersebut memiliki pusat kegiatan perkotaan dan sub pusat kegiatan perkotaan. Penentuan struktur kawasan perkotan berdasarkan kondisi eksisting dan kajian yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Untuk mengetahui struktur kawasan perkotaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.6 Hierarki dan Fungsi Kawasan Perkotaan Jatinangor No.
Bagian Kawasan Perkotaan
Cakupan Desa
Hierarki/Pusat Kegiatan Perkotaan
1
Sub Kawasan Perkotaan Bagian Barat
Kecamatan Jatinangor (Cikeruh, Cipacing, Cintamulya, Megargalih, Cisem-pur, Cileles, Jatiroke, Jatimukti, Cilayung, Hegar-manah, Sayang, Cipacing)
Kota inti
2
Sub. Kawasan Perkotaan Bagian Timur
Kecamatan Tanjungsari (Tanjungsari, gudang, Jatisari, Gunungmanik, Margaluyu, Margajaya, Cinanjung, Raharja dan Kutamandiri) dan Sukasari (Sukarapih, Sukasari dan Mekarsari) serta
Kawasan Penyangga
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Fungsi Perkotaan
Kawasan Pendidikan Tinggi Pusat Perdagangan dan Jasa Kawasan industri Puseur Budaya Sunda Budaya Iptek Pusat Perdagangan (Agribisnis) dan Jasa Kawasan permukiman Kawasan Pariwisata Puseur Budaya Sunda Bab V - 33
No.
3
Bagian Kawasan Perkotaan
Sub Kawasan Perkotaan Bagian Tenggara
Cakupan Desa Kecamatan Pamulihan (Ciptasari, Citali, Pamulihan, Haurgombong, Cigendel, Mekarbakti dan Cilembu) Kecamatan Cimanggung (Sindang Pakuwon, Cimanggung, Sawahdadap, Cihanjuang, Sukadana, Sindanggalih, Mangunarga, Cikahuripan, Pasirnanjung)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Hierarki/Pusat Kegiatan Perkotaan
Kawasan Penyangga
Fungsi Perkotaan
Kawasan industri Pusat perdagangan dan jasa Kawasan Pemukiman mendukung industri Puseur Budaya Sunda
Bab V - 34
Gambar 5.1.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 1)
Bab V - 35
Gambar 5.2. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 2) Bab V - 36
Gambar 5.3. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Peta Deliniasi Kawasan Perkotaan Jatinangor (Alternatif 3) Bab V - 37
B. Penamaan Kawasan Perkotaan Jatinangor Nama yang popular di kalangan masyarakat untuk kawasan perkotaan tersebut yaitu “ Kawasan Perkotaan Jatinangor”. Nama Jatinangor digunakan sebagai pengganti nama Kecamatan Cikeruh pada tahun 2000. Soal nama kawasan memang masih perlu dibahas bersama para pemangku kepentingan. Tetapi nama Jatinangor sudah terkenal di seluruh Indonesia karena di lokasi tersebut terdapat berbagai lembaga pendidikan berskala nasional. Beberapa alasan lain yang menjadi dasar penamaan kawasan perkotaan sebagai Kawasan Perkotaan Jatinangor :
Sebagian besar luasan kawasan yang menjadi bagian kawasan perkotaan berada di lingkungan adminisrasi Kecamatan Jatinangor (seluruh desa di Kecamatan Jatinangor menjadi bagian dari kawasan perkotaan Jatinangor)
Jatinagor merupakan
daerah yang telah dikenal bukan hanya pada lingkup lokal
Kabupaten tapi juga pada lingkup Provinsi dan Nasional (karena merupakan pusat kegiatan pendidikan tinggi).
Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet
sudah sering berdatangan ke kawasan tersebut untuk menghadiri acara atau meresmikan sesuatu yang berskala nasional 5.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Ekonomi Kawasan Perkotaan Pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan Jatinangor selama ini dipacu oleh kegiatan perguruan tinggi meskipun perguruan tinggi bukan kegiatan dominan satu-satunya sebagai kegiatan basis yang diandalkan, namun keberadaan perguruan tinggi telah mendorong kegiatan perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan perguruan tinggi. Kegiatan lain yang juga dominan lain yang juga mendorong munculnya kegiatan perdagangan dan jasa adalah kegiatan industri dan kegiatan kerajinan (handicraft). Kegiatan pertanian sebagai basis ekonomi sampai saat ini belum hilang meskipun sudah terdesak oleh kegiatan lain dengan semakin berkurangnya lahan pertanian. Persoalan ekonomi kota saat ini berkaitan dengan ruang terutama menyangkut hal sebagai berikut :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 38
1.
Munculnya kegiatan pasar kaget yang semakin besar pada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu. Di Unpad setiap minggu pagi, di gerbang-gerbang industri seperti Kahatek, Wiska, dan lainnya.
2.
Pelaku pasar kaget atau pedagang pada umumnya berasal dari luar Jatinangor bagian sebagian di tempat asalnya bukan pedagang kaki lima atau memiliki toko. Pedagang ini berpindah-pindah sesuai hari dan pasar dari para pekerja industri.
3.
Pedagang kaki lima penunjang yang melayani mahasiwa maupun pekerja industri menempati lahan yang memungkinkan di koridor Jalan Raya Jatinangor maupun jalan Raya Rancaekek
4.
Tumbuh dan berkembang kegiatan perdagangan dan jasa merubah fungsi bangunan dari rumah menjadi toko, dan terbangunnya lahan kosong menjadi bangunan berfugsi perdagangan di sepanjang koridor tersebut dan tempat yang cocok untuk kegiatan perdagangan dan jasa
5.
Kegiatan produksi kerajinan terus bertahan dengan beradaptasi pada kondisi ekonomi yang terjadi, pola produksi kerajinan berkembang dengan membuat imitasi dari produks terbaru. Kecuali produks-produks yang sudah membentuk imaj baik pada konsumen seperti bedil angin dan gedek/geribik.
6.
Kegiatan pertanian dari lahan pertanian produktif yang selama ini beralih ke lahanlahan kosong milik perguruan tinggi, industri maupun milik penduduk di luar Bandung dan para petani yang bekerja sebagian besar berasal dari sekitar Jatinangor.
7.
Kegiatan pertanian yang masih cukup bisa bertahan ada di desa-desa Cileles, Cilayung, Jatimukti, Jatiroke dan sebagian Cisempur dan sawah dadap pada kawasan industri Cimanggung
8.
Dengan kecenderungan industri terus berkembang maka peluang tenaga kerja lebih besar meskipun ada kemungkinan yang dibutuhka tenaga kerja wanita.
9.
Tingkat pengangguran angkatan kerja masih cukup tinggi sampai hampi 20 % dan peluang kerja industri lebih diperuntukkan untuk tenaga kerja wanita. Kondisi ini mendorong angkatan kerja muda laki-laki berorientasi ke luar Jatinangor, ke sektor perdagangan dan jasa, serta ke jasa transportasi atau ojeg.
10. Diperkirakan ke depan angkatan kerja akan tetap proposional dengan kondisi yang ada dengan jumlah yang berbeda, Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 39
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kawasan perkotaan memiliki fungsi kegiatan perkotaan yang sesuai dengan kebijakan dan potensi yang dimikinya terutama mendukung aktivitas jasa dan perdagangan sebagai karakteristik utama yang mendukung kawasan perkotaan.
Untuk
mengukur kebutuhan ruang yang terkait dengan pelayanan jasa
perkotaan dapat dapat diproyeksi dari proyeksi penduduk kota inti kawasan perkotaan Jatinangor A. Distribusi Penduduk Distribusi penduduk di kawasan perkotaan inti dalam kurun waktu sampai dengan tahun 2015 adalah 172145 jiwa. Persebaran jumlah penduduk ini masih terkonsentrasi di Kawasan Perkotaan di Kecamatan Jatinangor dengan jumlah penduduk jiwa 97491 tahun 2015. Namun demikian, dengan diarahkannya pengembangan kawasan perkotaan ke wilayah Tanjunsari dan Sukasari, maka terdapat distribusi penduduk yang tersebar di kawasan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5.7. Proyeksi Penduduk Kawasan Perkotaan Jatinangor 2008-2015 Desa 2008 KECAMATAN JATIANGOR CIPACING SAYANG MEKARGALIH CINTAMULYA CISEMPUR JATIMUKTI JATIROKE HEGARMANAH CIKERUH CIBEUSI CILELES CILAYUNG
12800 8312 5939 7197 6484 4501 4429 9883 8970 10505 4824 4440
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
15020 9754 6969 8445 7609 5282 5197 11597 10526 12327 5661 5210
15105 9809 7009 8493 7652 5312 5227 11663 10586 12397 5693 5240
15570 10111 7224 8754 7887 5475 5387 12021 10911 12778 5868 5401
16445 10679 7630 9247 8331 5783 5690 12698 11525 13497 6198 5704
17302 11236 8028 9728 8765 6084 5987 13359 12125 14200 6521 6002
17928 11642 8319 10081 9082 6304 6204 13843 12564 14714 6757 6219
18577 12064 8620 10445 9411 6533 6428 14344 13019 15247 7001 6444
5946 5190 4901 8889 13655 142177
6078 5305 5010 9086 13959 143622
6213 5423 5121 9288 14268 147700
6351 5543 5235 9494 14585 154634
6492 5666 5351 9705 14909 161460
6636 5792 5470 9920 15240 166714
6783 5920 5591 10140 15578 172145
KECAMATAN CIMANGGUNG MANGUNARGA 5817 SAWAHDADAP 5077 SUKADANA 4795 CIHANJUANG 8696 SINDANGPAKUON 13359 TOTAL 126028 Sumber : Hasil Analisis
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 40
B. Kebutuhan Fasilitas Sarana Perniagaan Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk tersebut kemudian diproyeksikan kebutuhan fasilitas jasa perdagangan dan ruang pada kawasan perkotaan seperti yang dapat di lihat pada berikut : Tabel 5.8. Proyeksi Kebutuhan Sarana Perniagaan di Kawasan Perkotaan Jatinangor Tahun 2015
No
Desa
Kecamatan Jatinangor 1 Cikeruh
Sarana dan Ruang Perniagaan
Jumlah Penduduk (jiwa)
Warung
13,019
52
5200
5
Luas (m2)
Toko
Luas (m2)
Pusat Belanja
Luas (m2)
Pusat Belanja Dan Niga
Luas (m2)
6,000
0
0
0
0
2
Cibeusi
15,247
61
6100
6
7,200
1
13500
0
0
3
Hegarmanah
14,344
57
5700
6
7,200
0
0
0
0
4
Cintamulya
10,445
42
4,200
4
4,800
0
0
0
0
5
Jatimukti
6,533
26
2600
3
3,600
0
0
0
0
6
Cisempur
9,411
38
3800
4
4,800
0
0
0
0
7
Jatiroke
6,428
26
2600
3
3,600
0
0
0
0
8
Cileles
7,001
28
2800
3
3,600
0
0
0
0
9
Cilayung
6,444
26
2600
3
3,600
0
0
0
0
10
Cipacing
18,577
74
7400
7
8,400
1
13500
0
0
11
Sayang
12,064
48
4800
5
6,000
0
0
0
0
12
Mekargalih
8,620
34
3400
3
3,600
0
0
0
0
Kecamatan Cimanggung
0
1
Mangunarga
6,783
27
2700
3
3,600
0
0
0
0
2
Sawahdadap
5,920
24
2400
2
2,400
0
0
0
0
3
Sukadana
5,591
22
2200
2
2,400
0
0
0
0
4
Cihanjuang
10,140
41
4100
4
4,800
0
0
0
0
5
Sindangpakuwon
15,578
62
6200
6
7,200
1
13500
0
0
172,145
689
68,900
69
82,800
6
81,00 0
1
36,000
Jumlah
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 41
Berdasarkan proyeksi tersebut dapat diperkirakan kebutuhan fasilitas dan ruang menyangkut sarana perniagaan pendukung perkotaan. Pengembangan ekonomi dengan kondisi dan permasalahan yang ada serta kebutuhan pengembangannya maka sampai dengan tahun 2015 mendatang kebijakan dapat diarahkan ke hal sebagai berikut : 1. Menunjang sarana dan prasarana untuk kebutuhan pengembangan sektor ekonomi basis dan penunjangnya yang menyerap tenaga kerja 2. Khusus untuk kegiatan ekonomi handicraft dipadukan dengan pengembangan wisata serta tetap mempertahankan dan mengembangkan pola marketing yang ada. Kebutuhan sarana dan prasarana pengembangan kerajinan dikembangkan melalui kerja sama khusus dengan perguruan tinggi 3. Perkembangan kegiatan ekonomi penunjang diarahkan dengan membangun kawasan khusus perdagangan dan jasa penunjang perguruan tinggi dan industri. 4. Mengakomodasi perkembangan pedagang kaki lima lokal sebagai proses sementara lapangan kerja diarahkan dengan menyediakan tempat untuk perdagangan dan jasa yang sifatnya pedagang kaki lima, lebih dikhususkan pedagang kaki lima penduduk lokal. Bagi pedagang kaki lima yang bukan dari penduduk lokal diatur sedemikian dengan bekerja sama dengan pemerintahan Kabupaten, Provinsi maupun pemerintahan pusat. 5. Penataan koridor penggunaan lahan campuran diarahkan untuk menampung perkembangan kegiatan penunjang perguruan tinggi dan industri disamping kawasan khusus yang disiapkan. 6. Koridor penggunaan lahan campuran dengan titik simpul kegiatan saung budaya dijadikan pusat perdagangan dan jasa penunjang kegiatan perguruan tinggi 7. Pusat lingkungan permukiman di bagian kawasan industri diarahkan untuk menjadi pusat perdagangan dan jasa yang menunjang kegiatan kebutuhan pekerja industri. 8. Sektor kegiatan ekonomi yang dikembangkan adalah bersifat yang mendorong penyerapan tenaga kerja lokal dan ramah lingkungan seperti : industri hemat air, kerajinan, dan produks perguruan tinggi. 9. Melihat perkembangan industri dan kegiatan perguruan tinggi, diperkirakan perdagangan dan jasa akan terus tertarik untuk berkembang terutama perdagangan jasa yang bersifat informal atau pedagang kaki lima. Oleh karena khusus pedagang kaki lima diakomodasi pada tempat-
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 42
tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu. Misalnya pada waktu sore dan malam hari di halaman kantor yang kegiatan pada siang hari dan pada sore dan malam hari tutup. 10. Perkembangan perdagangan skala modal besar seperti supermarket atau pun mini market diarahkan sesuai ruang pelayanan 11. Sektor pertanian yang masih menjadi mata pencarian sebagian penduduk Jatinangor, tetap dipertahankan dan dilindungi dengan peluang bahwa pemanfaatan ruang yang berfungsi konservasi diantaranya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian baik pertanian untuk tanaman tahunan maupun tanaman musiman. 12. Sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan, proses pergeseran lahan pertanian menjadi fungsi lain yang non-pertanian masih akan berlangsung selama beberapa tahun ke depan, oleh karena itu lahan tersebut diarahkan digarap oleh petani Jatinangor. 5.5 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan Pasal 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional”. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan juga bahwa kata “berkelanjutan” mengandung arti yaitu kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. Pentingnya pengembangan suatu wilayah dengan memperhatikan keberlanjutannya, tidak hanya untuk wilayah dengan luasan yang besar tetapi juga untuk wilayah kota yang pada umumnya berbentuk suatu konsentrasi dari penduduk yang heterogen dalam suatu lahan tertentu dengan berbagai aktivitas yang menyertainya yang bersifat non pertanian. Adanya
karakter-karakter
pembentuk
kota
ini
mengakibatkan dalam
dinamisasi
kehidupannya kota akan mengalami berbagai macam kebutuhan dan kepentingan. Sangat perlu disadari bahwa studi terakhir menunjukkan dalam kurun waktu 1980-2000 jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan telah meningkat dari 22,3% menjadi 42% (Gardiner & Mayling, 2006) hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan suatu kota harus dapat memperhatkan keberlanjutan dari kota tersebut.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 43
Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi penerus untuk mencukupi kebutuhannya “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (WCED,1987). Kota yang berkelanjutan adalah suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi secara sukses dalam pertarungan ekonomi global dan mampu pula mempertahankan vitalitas budaya serta keserasian lingkungan. Keberlanjutan pada hakikatnya adalah suatu etik, suatu perangkat prinsip-prinsip dan pandangan ke masa depan. Tata ruang sebagai instrumen spasial dalam pembangunan kota, merupakan alat yang tepat untuk mengkoordinasikan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kota lestari.
Mengembangkan kota lestari sendiri berarti pembangunan
manusia kota yang berinisiatif dan bekerja sama dalam melakukan perubahan dan gerakan bersama. Terdapat beberapa syarat yang terkait dengan pembangunan kota yang berkelanjutan, yaitu:
Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi di perkotaan secara ekologis, benar;
Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya tak-terbarukan (non-renewable resources);.
Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran, dan
Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan perkotaan (carrying capacity) Berkaitan dengan syarat-syarat tersebut maka salah satu komponen dan aset penting
dalam kota berkelanjutan adalah keberadaan ruang terbuka hijau pada kota tersebut. Ruang terbuka hijau merupakan ruang yang direncanakan yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Selain itu ruang terbuka juga merupakan wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakat di wilayah tersebut. Karena itu, ruang terbuka mempunyai kontribusi yang akan diberikan kepada manusia berupa dampak positif. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 44
Ketentuan mengenai pentingnya penyediaan ruang hijau pada kawasan perkotaan diamanatkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu dalam segi perencanaan ruang tertuang pada pasal 28,29, dan 30. Secara umum ketiga pasal tersebut menyatakan untuk keberlanjutan suatu kota maka dipersyaratkan suatu kota memiliki luas RTH minimal 30% dari luas kota. Terhadap kebutuhan 30% dari luas kota tersebut, UU Penataan Ruang juga telah membagi bahwa pemerintah kota memiliki tanggung jawab untuk menyediakan 20% dari ruang terbuka hijau yang bersifat publik sementara 10%-nya disedikan oleh privat. Adanya ketentuan-ketentuan ini telah memperlihatkan bahwa penataan ruang pada dasarnya telah mendorong kota untuk dapat berkelanjutan melalui penyediaan ruang terbuka hijau baik yang menjadi tanggung jawab pemerintah maupun swasta dan/atau masyarakat. Terkait dengan kebutuhan ruang terbuka hijau pada Kawasan Perkotaan Jatinangor maka kebutuhan ruang terbuka hijau kedepan dapat diproyeksi sebagaimana ditampilkan pada tabel 5.8 berikut :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 45
Tabel 5.9. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MINIMUM (Hektar) DESA CIPACING
TAHUN 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
10.67
12.52
12.59
12.97
13.70
14.42
14.94
15.48
SAYANG
6.93
8.13
8.17
8.43
8.90
9.36
9.70
10.05
MEKARGALIH
4.95
5.81
5.84
6.02
6.36
6.69
6.93
7.18
CINTAMULYA
6.00
7.04
7.08
7.30
7.71
8.11
8.40
8.70
CISEMPUR
5.40
6.34
6.38
6.57
6.94
7.30
7.57
7.84
JATIMUKTI
3.75
4.40
4.43
4.56
4.82
5.07
5.25
5.44
JATIROKE
3.69
4.33
4.36
4.49
4.74
4.99
5.17
5.36
HEGARMANAH
8.24
9.66
9.72
10.02
10.58
11.13
11.54
11.95
CIKERUH
7.48
8.77
8.82
9.09
9.60
10.10
10.47
10.85
CIBEUSI
8.75
10.27
10.33
10.65
11.25
11.83
12.26
12.71
CILELES
4.02
4.72
4.74
4.89
5.16
5.43
5.63
5.83
CILAYUNG
3.70
4.34
4.37
4.50
4.75
5.00
5.18
5.37
MANGUNARGA
4.85
4.96
5.07
5.18
5.29
5.41
5.53
5.65
SAWAHDADAP
4.23
4.32
4.42
4.52
4.62
4.72
4.83
4.93
SUKADANA
4.00
4.08
4.18
4.27
4.36
4.46
4.56
4.66
CIHANJUANG
7.25
7.41
7.57
7.74
7.91
8.09
8.27
8.45
11.13
11.38
11.63
11.89
12.15
12.42
12.70
12.98
105.02
118.48
119.69
123.08
128.86
134.55
138.93
143.45
SINDANGPAKUON TOTAL
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 46
Tabel 5.10. PROYEKSI KEBUTUHAN RTH MAXIMUM (Hektar) DESA
TAHUN 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
CIPACING
256.00
300.40
302.11
311.39
328.91
346.05
358.57
371.55
SAYANG
166.24
195.07
196.18
202.21
213.58
224.71
232.85
241.27
MEKARGALIH
118.78
139.38
140.17
144.48
152.61
160.56
166.37
172.39
CINTAMULYA
143.94
168.90
169.86
175.09
184.93
194.57
201.61
208.91
CISEMPUR
129.68
152.17
153.04
157.74
166.61
175.29
181.64
188.21
JATIMUKTI
90.02
105.63
106.23
109.50
115.66
121.68
126.09
130.65
JATIROKE
88.58
103.94
104.53
107.75
113.81
119.74
124.07
128.56
HEGARMANAH
197.66
231.94
233.26
240.43
253.95
267.18
276.85
286.88
CIKERUH
179.40
210.51
211.71
218.22
230.49
242.50
251.28
260.37
CIBEUSI
210.10
246.54
247.94
255.56
269.93
284.00
294.28
304.93
CILELES
96.48
113.21
113.86
117.36
123.96
130.42
135.14
140.03
CILAYUNG
88.80
104.20
104.79
108.01
114.09
120.03
124.38
128.88
MANGUNARGA
116.34
118.92
121.56
124.26
127.02
129.84
132.72
135.66
SAWAHDADAP
101.54
103.79
106.10
108.45
110.86
113.32
115.83
118.41
95.90
98.03
100.20
102.43
104.70
107.03
109.40
111.83
CIHANJUANG
173.92
177.78
181.73
185.76
189.88
194.10
198.40
202.81
SINDANGPAKUON
267.18
273.11
279.17
285.37
291.70
298.18
304.79
311.56
2,520.56
2,843.53
2,872.44
2,954.01
3,092.68
3,229.19
3,334.27
3,442.91
SUKADANA
TOTAL
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 47
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 48
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab V - 49
BAB
VI
KELEMBAGAAN PENGELOLA KAWASAN PERKOTAAN 6.1. Pengelolaan Kawasan Perkotaan Pada dasarnya pemerintah dibentuk
untuk melayani masyarakat. Bentuk
organisasi pemerintah dan derivasinya mengikuti perkembangan masyarakat yang dilayaninya. Pada masyarakat kota kecil di kecamatan maupun kawasan perkotaan skala kecil yang merupakan gabungan dari bagian desa-desa yang berdekatan dalam satu kabupaten, selama ini belum memperoleh pelayanan yang memadai dari pemerintah kabupaten. Selain karena skala kepentingannya relatif kecil dibandingkan keseluruhan kepentingan masyarakat kabupaten, juga karena belum ada peraturan perundangundangan yang memberikan kewenangan untuk mengelolanya secara khusus. Perubahan paradigma otonomi dari keseragaman menjadi paradigma keanekaragaman dalam kesatuan, memberi kesempatan yang luas kepada daerah otonom kabupaten/kota untuk mengatur bentuk dan isi otonomi sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan masyarakatnya. Termasuk pengaturan mengenai kecamatan yang ada didalamnya. Kebutuhan masyarakat pada satu sisi dan peluang kebebasan mengatur urusan pemerintahannya sendiri pada sisi lain, belum dapat dipertemukan karena terkendala tidak adanya dasar hukum yang mengatur mengenai kota-kota kecamatan serta kawasan dalam wilayah kabupaten yang berciri perkotaan skala kecil. Kendala tersebut secara minimal kemudian diharapkan akan dapat diatasi setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan. Melalui PP tersebut, daerah kabupaten dapat mengambil inisiatif untuk mengelola kawasan perkotaan diwilayahnya secara lebih professional, sehingga pelayanan kepada masyarakat diharapkan dapat lebih meningkat.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 1
6.2. Model-model Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” di Kabupaten Sumedang Berdasarkan hasil kajian diperoleh gambaran bahwa
seluruh wilayah
Kecamatan Jatinangor yang mencakup 12 desa, sebagian teritorial Kecamatan Cimanggung (5 desa), satu desa di Kecamatan Tanjungsari serta satu desa di Kecamatan Sukasari layak dikembangkan menjadi satu kawasan perkotaan. Pasal 1 butir ketiga PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “ Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”. Mengingat kegiatan pemerintahan bersifat sah dan tertulis, maka cakupan kawasan perkotaan Jatinangor perlu ditetapkan secara resmi dalam sebuah peraturan perundangundangan. Pada Pasal 3 ayat (1) yang berkaitan dengan Pasal 2 huruf (b) PP Nomor 34 tahun 2009 menyatakan bahwa pembentukan kawasan perkotaan yang berbentuk bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan diatur dengan peraturan daerah kabupaten. Oleh karena itu, langkah strategis pertama yang perlu dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Sumedang dalam mengelola kawasan perkotaan Jatinangor adalah menetapkan sebuah peraturan daerah tentang pembentukan kawasan perkotaan Jatinangor. Kawasan perkotaan semacam itu perlu dikelola oleh sebuah lembaga tersendiri karena cakupan ciri-ciri perkotaannya bersifat lintas-kecamatan. Apabila ciri perkotaannya hanya mencakup satu kota kecamatan, maka pengelolaan kotanya dapat dilakukan oleh camat yang karena jabatannya (ex-officio) diangkat sebagai manajer kota. Untuk kepentingan tersebut, camat dapat diberi delegasi wewenang tambahan dari bupati. Pada Pasal 1 butir no 8 PP Nomor 34 Tahun 2009 dikemukakan bahwa : “ Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disebut Lembaga Pengelola adalah lembaga yang dibentuk dengan peraturan daerah untuk mengoptimalkan sumbersumber yang dimiliki dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan Kawasan Perkotaan”. Kawasan perkotaan dengan cakupan wilayahnya merupakan bagian dari territorial beberapa kecamatan yang berdekatan, perlu dikelola secara intensif, baik oleh pemerintah daerah dengan membentuk sebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 2
maupun oleh sebuah Lembaga Pengelola dengan keanggotaannya terdiri kelompok nonpegawai negeri, nonpartisan serta dari kalangan masyarakat dan dunia usaha. Lembaga ini sifatnya non-pemerintah daerah tetapi bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : “ Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten dikelola oleh pemerintah kabupaten atau Lembaga Pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten”. Dari ketentuan di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ada dua model pengelola kawasan perkotaan dalam wilayah kabupaten yakni : a) Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk mengelola kawasan perkotaan; b) Model pengelolaan oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-pemerintah daerah. Ad.a. Model pengelolaan oleh Unit pemerintah daerah yang dibentuk khusus untuk mengelola kawasan perkotaan Untuk mengelola kawasan perkotaan yang cakupan wilayahnya meliputi empat kecamatan yang berdekatan seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, maka Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat membentuk unit pemerintah daerah setara eselon IIIa sebagai sebuah SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) guna mengkoordinasikan perencanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat perkotaan di kawasan tersebut. SKPD ini dapat diberi nama Unit, Satuan atau Kantor Pengelolaan Kawasan Perkotaan “Jatinangor”. SKPD ini dibentuk dengan Peraturan Daerah (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34 Tahun 2009). Pembentukan Peraturan Daerahnya dapat digabung dengan pembentukan SKPD lainnya atau dibuat Peraturan Daerah secara khusus. Sebagai sebuah SKPD, unit ini mempunyai kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, pembiayaan dan pertanggungjawaban yang setara dengan eselon IIIa lainnya. Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit Pemerintah Daerah Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Unit Pemerintah Daerah memiliki kelebihan dan kekurangan dibanding model lainnya. Kelebihannya yaitu : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 3
a) mudah dalam hubungan kerja dengan bupati dan DPRD maupun SKPD lainnya karena juga merupakan sebuah SKPD; b) garis komando dan garis pertanggungjawabannya lebih jelas; c) memudahkan dalam memperoleh anggaran melalui APBD Kabupaten Sumedang. Adapun kelemahan model ini yaitu: a) sangat birokratis karena diisi oleh PNS yang terikat pada struktur dan prosedur yang kaku; b) kurang demokratis dan kurang melibatkan pemangku kepentingan; c) kurang luwes dalam menggali sumber-sumber pembiayaan di luar dana APBD Kabupaten Sumedang; d) hubungan kerja dalam pelaksanaan pembangunan wilayah dapat berbenturan dengan wewenang camat karena sama-sama eselon IIIa. Ad.b. Model Pengelolaan Oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-pemerintah daerah Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 memberikan alternatif lain dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten, di luar pengelolaan oleh sebuah SKPD khusus. Bentuknya adalah Lembaga Pengelola Kawasan “Jatinangor” yang bersifat non- pemerintah daerah. Lembaga ini dibentuk dengan peraturan daerah Kabupaten Sumedang (lihat Pasal 8 ayat 1 PP Nomor 34 Tahun 2009). Model ini dapat dikategorikan sebagai lembaga pemerintahan semu (quasi government) atau lembaga daerah non-pemerintah daerah atau yang secara lebih meluas disebut sebagai Quasi Autonomous Nongovernmental Organization (QUANGO). Disebut demikian karena lembaga ini menjalankan sebagian fungsi daerah dan diberi anggaran dari APBD tetapi bukan organ pemerintah daerah. Pada tingkat nasional terdapat pula model seperti ini dengan nama lembaga negara non pemerintah misalnya KPU, KPPU, KPK dan lembaga-lembaga lainnya yang sejenis. Kelebihan dan Kekurangan Model Pengelolaan Kawasan Perkotaan oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat non-pemerintah daerah. Sebagai sebuah model baru dalam pengelolaan kawasan perkotaan yang cakupan wilayahnya meliputi beberapa bagian dari kecamatan yang bersandingan, model ini memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan. Kelebihannya yaitu : Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 4
a) dalam hal pembiayaan, selain memperoleh dana dari APBD Kabupaten Sumedang, lembaga ini lebih luwes dalam mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pihak swasta; b) lebih luwes dalam proses penyusunan perencanaan karena melibatkan para pemangku kepentingan; c) lebih demokratis. Adapun kelemahan model ini yaitu : a) hubungan kerja dengan para camat yang masuk dalam kawasan perkotaan akan sulit, apabila para camatnya masih sangat birokratis dan menggunakan paradigma lama; b) dukungan dana dari APBD akan terbatas karena bukan merupakan sebuah SKPD, sehingga skala prioritasnya berada di bawah; c) apabila tidak didukung oleh Sekretariat Lembaga Pengelola yang andal, maka lembaga ini akan mandeg. Berdasarkan perbandingan kedua model di atas, maka pengelolaan kawasan perkotaan “Jatinangor” nampaknya lebih cocok menggunakan model kedua yakni dikelola oleh Lembaga pengelola kawasan perkotaan yang bersifat nonpemerintah daerah. Rincian lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” yang bersifat non-pemerintah daerah yaitu sebagai berikut. 6.3
Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” 1) Pembentukan Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009, Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan dibentuk dengan peraturan daerah. Sesuai ketentuan yang termuat pada UU Nomor 10 Tahun 2004, penyusunan peraturan daerah didahului dengan naskah akademis yang kemudian dilakukan konsultasi publik. Selanjutnya dibahas secara intensif antara pemerintah daerah dengan DPRD. Melalui proses yang demokratis serta melibatkan para pemangku kepentingan, peraturan daerah tentang pembentukan lembaga pengelolaan kawasan perkotaan akan memperoleh dukungan dari masyarakat. Pembentukan Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor” mengikuti ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas. Inisiatif pembentukan peraturan daerah berasal dari Pemerintah Kabupaten Sumedang, yang selanjutnya dibahas dengan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 5
DPRD Kabupaten Sumedang. Ditetapkan demikian karena yang secara teknis mengetahui
dan
memahami
seluk
beluk
perkembangan
masyarakat
dan
pemerintahannya adalah pemerintah daerah. 2)
Susunan Organisasi Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa anggota
lembaga pengelola kawasan perkotaan paling sedikit berjumlah 5 (lima) orang dan paling banyak berjumlah 7 (tujuh) orang.
Untuk pengelola kawasan perkotaan “
Jatinangor” karena skala kotanya belum terlampau besar, maka disarankan pada tahap pertama jumlah pengelolanya cukup lima orang. Pada tahap selanjutnya apabila perkembangan kota sudah semakin maju dan kompleks, jumlah anggota pengelola dapat ditambah menjadi tujuh orang. Dari lima orang anggota, salah satunya dipilih oleh para anggota menjadi koordinator. Pengelola kawasan perkotaan menjalankan organisasi secara kolektif, sehingga keputusan tertinggi berada pada rapat seluruh anggota, serta tidak dimonopoli oleh koordinator. Kelima orang pengelola kawasan perkotaan tersebut dapat dinamakan dewan, karena sifatnya yang kolegial. Pengaturan mengenai susunan organisasi dan tatakerjanya ditetapkan secara rinci dalam peraturan daerah pembentukan lembaga pengelola kawasan perkotaan. Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009, keanggotaan Lembaga Perkotaan terdiri atas : a) Pakar/ahli di bidang pengelolaan Kawasan Perkotaan; dan atau b) Unsur masyarakat pemerhati Kawasan Perkotaan. Untuk memenuhi syarat sebagai organisasi nonpemerintah yang bersifat nonpartisan, maka pada Pasal 3 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2009 diatur ketentuan bahwa anggota Lembaga Pengelola Perkotaan tidak berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia, dan anggota partai politik. Tetapi mengingat orang yang mengerti dan memahami masalah perkotaan di Indonesia jumlahnya tidak banyak, maka ketentuan Pasal 9 ayat (3) kemudian diperlonggar dengan penjelasan Pasal dan ayat tersebut dengan ketentuan bahwa : “ Pegawai negeri sipil yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk pejabat fungsional antara lain peneliti, guru, dosen, widyaiswara dan perencana”.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 6
Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur mekanisme pengisian keanggotaan Lembaga Pengelola Perkotaan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk merekrut anggota LPP yakni : a) Dilakukan penawaran secara terbuka kepada publik melalui media massa dengan segala persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya, termasuk kategori keahliannya, waktu kerjanya (penuhwaktu/fulltime atau paruhwaktu/parttime), syarat domisili, sistem pemberian imbalannya dan lain sebagainya. Kemudian dilakukan fit and proper test untuk mengetahui kecocokan dan kemampuan calon anggota LPP. Setelah seleksi selesai mereka dianggkat dengan Keputusan Bupati Sumedang. b) Dipilih melalui suatu “beauty contest”, dihadapkan panel para ahli yang terdiri dari ahli perkotaan, ahli pemerintahan serta ahli ekonomi. Calon anggota LPP diminta untuk menyusun visi dan misi. Mekanisme pemilihan ini secara implisit sejalan dengan bunyi Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009. c) Ditunjuk langsung oleh bupati, berdasarkan kriteria persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya. Masa jabatan anggota LPP adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) periode masa jabatan berikutnya. Tetapi di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur mekanisme penggantian antarwaktu apabila ada seorang atau beberapa orang anggota LPP berhalangan tetap (meninggal, sakit permanen, menghilang), pindah tugas ke tempat lain, mengundurkan diri karena berbagai alasan ataupun melakukan pelanggaran ketentuan yang mengikat anggota LPP. Oleh karena itu, disarankan agar mekanisme pengisian anggota LPP, mekanisme kerjanya, mekanisme pengelolaan keuangan, ketentuan masa jabatan dan penggantian antarwaktu
sebelum
masa
jabatannya
berakhir
serta
mekanisme
pertanggungjawabannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Dalam menjalankan tugasnya, Lembaga Pengelola dibantu oleh sekretariat Lembaga Pengelola yang dibentuk oleh bupati (lihat ketentuan Pasal 10 ayat 1 PP Nomor 34 Tahun 2009). Sekretariat Lembaga Pengelola diisi oleh PNS. Hal ini secara implisit dapat ditangkap dari bunyi Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) PP Nomor 34 Tahun 2009. Mengingat pandangan pegawai negeri sipil masih sangat strukturalis, pertanyaan pertama adalah berapa eselon untuk Sekretaris LPP? Eselonering suatu jabatan sebenarnya dapat diukur dan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya serta Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 7
kedudukan protokolernya dalam suatu acara. Mengingat fungsi sekretariat LPP bersifat “back office” saja, maka eselon sekretaris LPP disarankan IVa. Sebaiknya sekretaris LPP diisi oleh PNS yang memiliki latarbelakang pendidikan mengenai perkotaan dan memahami manajemen, sehingga dapat mengkoordinasikan berbagai masalah yang ditanganinya. Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sekretaris LPP perlu dilengkapi paling sedikit 3 (tiga) sub bagian yang masing-masing memiliki eselon Va. Ketiga sub bagian tersebut yaitu sub bagian yang mengurus ketatausahaan meliputi suratmenyurat, keuangan, dan logistik bagi kepentingan LPP, sub bagian yang mengurus inventarisasi sumberdaya badan usaha swasta dan masyarakat, serta sub bagian yang mengurus aspirasi masyarakat serta informasi kawasan perkotaan. Secara resmi, struktur organisasi dan eselonering sekretariat LPP ditetapkan oleh menteri dalam negeri dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan pemberdayaan aparatur Negara. (Lihat pada Pasal 10 ayat 5 PP Nomor 34 Tahun 2009). Tetapi mengingat sampai saat ini peraturan yang dimaksud belum terbit, maka Pemerintah Kabupaten Sumedang dapat melakukan terobosan mendahuluinya, sekaligus menjadi ujicoba pelaksanaan PP Nomor 34 Tahun 2009. Melalui ujicoba tersebut akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan PP tersebut, sehingga terbuka peluang untuk memperbaikinya. Bentuk dan susunan organisasi LPP :Jatinangor” yang disarankan melalui penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
DEWAN PENGURUS (5 orang)
SEKRETARIS
SUB BAGIAN KETATAUSAHAAN
SUB BAGIAN INVENTARISASI SUMBER DAYA MASYARAKAT DAN SWASTA
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
SUB BAGIAN ASPIRASI MASYARAKAT DAN INFORMASI KAWASAN PERKOTAAN Bab VI - 8
Gambar 1. Bagan Susunan Organisasi Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan “Jatinangor”.
3) Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok LPP sudah diatur pada Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009 yakni : “mengelola Kawasan Perkotaan dan mengoptimalkan peran serta masyarakat serta badan usaha swasta”. Kata “mengelola” di sini berarti LPP menjalankan fungsi manajemen, yang mencakup mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta pelaporannya. Kata “peran serta” di sini berarti LPP hanya mengelola berbagai aktivitas masyarakat dalam mengurus kawasan perkotaan yang bersifat sukarela dan volunteer. Sedangkan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetap dikelola oleh pemerintah daerah. Selanjutnya pada Pasal 8 ayat (3) dikemukakan mengenai fungsi LPP yakni : a) Penggalian dan pendayagunaan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat; b) Penjaringan aspirasi masyarakat dan badan usaha swasta Kawasan Perkotaan; c) Pengembangan informasi Kawasan Perkotaan; d) Pemberian pertimbangan kepada bupati dalam kebijakan operasional, implementasi kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat, dan e) Perumusan dan pemberian rekomendasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, serta isu-isu strategis Kawasan Perkotaan. Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa LPP mempunyai fungsi menggali dan mendayagunakan sumber daya badan usaha swasta dan masyarakat yang ada di kawasan perkotaan, tetapi yang bersifat sukarela. Sebab yang bersifat wajib seperti pajak dan retribusi merupakan kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Peluang untuk menggali potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha masih terbuka lebar sepanjang anggota LPP kreatif. Prinsip dasar partisipasi adalah adanya kesukarelaan, keterlibatan secara emosional serta memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya tersebut. Pada sisi lain, perlu dihindarkan Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 9
pembebanan yang memaksa, sehingga menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi masuknya investor ke wilayah Kabupaten Sumedang. 4)
Kewenangan Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sebuah organisasi baik
pemerintah, semipemerintah ataupun swasta, memerlukan kewenangan (authority), yakni “kekuasaan yang saha untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”. Oleh karena itu, kewenangan seringkali juga disebut sebagai kekuasaan yang sah (legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power). Di dalam PP Nomor 34 Tahun 2009 tidak diatur secara rinci mengenai kewenangan dari LPP. Hal tersebut dalam implementasinya justru akan menimbulkan masalah besar, karena akan bertabrakan dengan kewenangan yang sudah ada dan dijalankan oleh instansi pemerintah lainnya. Pada prinsipnya, seluruh kewenangan pemerintahan sudah terbagi habis pada unit-unit pemerintahan yang ada. Oleh karena itu, apabila muncul entitas baru yang ikut menjalankan fungsi pemerintahan, perlu dilakukan pengaturan ulang mengenai pembagian urusan pemerintahan dan kewenangan yang melekat didalamnya. Pengaturan secara rinci mengenai kewenangan yang dijalankan oleh LPP, diatur dalam Peraturan Bupati mengenai LPP sebagai tindak lanjut ketentuan yang termuat pada Pasal 13 PP Nomor 34 Tahun 2009. Kewenangan tersebut mencakup : a)
Kewenangan untuk memutuskan sesuatu sesuai tugas dan fungsi LPP berkaitan dengan penggalian sumberdaya masyarakat dan badan usaha swasta, misalnya dalam menarik sumbangan dari pihak swasta, mencari sponsor untuk kegiatan dan lain sebagainya.
b)
Kewenangan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi tentang kawasan perkotaan;
c)
Kewenangan merumuskan rancangan kebijakan mengenai kawasan perkotaan untuk disampaikan kepada Bupati Sumedang.
d)
Kewenangan lainnya yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi LPP, misalnya dalam menggalang partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan perkotaan, pemeliharaan fasilitas dan utilitas kota.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 10
5)
Hubungan kerja secara internal Hubungan kerja secara internal yang dimaksudkan adalah antar anggota LPP
serta antara LPP dengan Sekretariat LPP. Hubungan antar anggota LPP bersifat sejajar satu sama lainnya, karena kepemimpinan LPP bersifat kolegial. Kalaupun akan diangkat ketua, posisinya adalah sekedar sebagai “juru bicara”. (spokeman). Berbagai keputusan yang bersifat strategis harus diputuskan melalui rapat paripurna. Mekanisme pengambilan keputusan perlu diatur secara rinci dalam Peraturan Bupati Sumedang. Sekretariat LPP berkedudukan sebagai unsur staf dari LPP, dengan tugas dan fungsi memberikan dukungan administrasi kepada LPP. Oleh karena itu secara teknis operasional, sekretariat LPP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada LPP. Sedangkan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah melalui asisten yang membidangi ekonomi dan pembangunan. Hubungan kerja ini diatur pada Pasal 10 ayat (4) PP Nomor 34 Tahun 2009. 6)
Hubungan Kerja dengan Instansi terkait :
a)
Dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang LPP “Jatinangor” nantinya dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang
melalui peraturan daerah. Meskipun bentuknya adalah lembaga pemerintahan semu, LPP
tetap
bertanggung
jawab
kepada
pemerintah
daerah.
Mekanisme
pertanggungjawabannya perlu diatur secara rinci dalam peraturan bupati, dengan prinsip dasar bertanggungjawab kepada Bupati Sumedang sebagai pejabat publik yang dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat untuk memimpin kabupaten. Hal tersebut juga sudah diatur pada Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 34 Tahun 2009. Pada sisi lain, pemerintah daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi LPP. Selain karena pembentukannya dilakukan oleh pemerintah daerah, sebagian sumber pembiayaan LPP juga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang. Pembinaan dan pengendaliannya diwujudkan dalam bentuk penyampaian laporan dari LPP kepada Bupati Sumedang, baik dalam bentuk laporan triwulanan, laporan tahunan maupun laporan lainnya yang berkaitan dengan hal ikhwal pengelolaan kawasan perkotaan yang dianggap perlu dilaporkan. Hal tersebut sudah diatur pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP Nomor 34 Tahun 2009. Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 11
b) Hubungan Kerja Dengan Kecamatan dan
Instansi Vertikal Tingkat
Kecamatan Kawasan perkotaan “Jatinangor” wilayahnya mencakup lintas empat kecamatan, sehingga hubungan kerja paling intensif adalah dengan pihak pemerintah kecamatan. Dalam hal ini diperlukan pembagian tugas, wewenang dan kewajiban yang jelas antara kecamatan dengan LPP “Jatinangor” agar tidak timbul tumpangtindih, konflik ataupun kekosongan pengurusan, sehingga kepentingan dan kebutuhan masyarakat kawasan perkotaan tidak terlayani dengan baik. Penyelarasan kecamatan dengan LPP “ Jatinangor” mencakup : a) Jadual kegiatan yang melibatkan desa dan masyarakat yang sama; b) Bentuk dan jenis kegiatan dengan obyek desa dan masyarakat yang sama; c) Pihak swasta yang akan diminta partisipasinya; LPP “Jatinangor” dibentuk bukan untuk mengambil alih sebagian kewenangan ataupun menjadi pesaing kecamatan, melainkan mengisi kekurangan kecamatan dalam mengelola wilayah atau bagian wilayahnya yang berciri perkotaan. Oleh karena itu, LPP :Jatinangor” tidak boleh menjalankan berbagai fungsi pemerintahan yang selama ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan. 7) Sumber pembiayaan LPP “Jatinangor” dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan tugas mengelola kawasan perkotaan “Jatinangor”
sebagai bagian tidak terpisahkan dari
wilayah Kabupaten Sumedang. Sehingga wajar apabila sebagian sumber biaya untuk menjalankan roda lembaga berasal dari APBD Kabupaten Sumedang. Hal tersebut juga sudah ditegaskan pada Pasal 11 PP Nomor 34 Tahun 2009 bahwa : “ Pendanaan Lembaga Pengelola bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber pendanaan lainnya yang sah”. Besarnya dana APBD Kabupaten Sumedang yang akan diberikan kepada LPP “Jatinangor” akan sangat tergantung pada kesepakatan politik antara Bupati dengan DPRD serta kemampuan LPP “Jatinangor” untuk meyakinkan pihak-pihak terkait mengenai program dan kegiatan yang akan dijalankan. Dari ketentuan Pasal 11 sebagaimana dikemukakan di atas, terbuka peluang bagi LPP “Jatinangor” untuk mencari sumber-sumber lain di luar dana dari APBD Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 12
Kabupaten Sumedang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.. LPP jelas tidak memiliki kewenangan memungut pajak dan retribusi, karena LPP bukan lembaga pemerintah yang diberi kewenangan untuk hal tersebut. Oleh karena itu harus ada pembatasan yang jelas mengenai sumber dana yang akan diberikan kepada LPP “Jatinangor”. Semangat yang nampak dari PP Nomor 34 Tahun 2009 adalah agar LPP lebih banyak menggalang dana dari nonpemerintah melalui partisipasi masyarakat maupun pihak perusahaan swasta. Beberapa potensi yang dapat digarap LPP “Jatinangor” antara lain dari: 1) Dana CSR (corporate social responsibility) dari berbagai perusahaan yang ada di kawasan perkotaan; 2) Iuran warga kawasan perkotaan untuk kepentingan kebersihan dan keindahan kota; 3) Sponsor dari perusahaan untuk berbagai kegiatan yang bertujuan memperindah kota; 4) Sumbangan dari berbagai pihak yang sah dan tidak mengikat.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VI - 13
BAB
VII
STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN
Dalam perumusannya, kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan mengacu pada prioritas-prioritas program pembangunan pada lingkup Kabupaten, Provinsi maupun Nasional. Secara khusus kebijakan dan strategi
dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam penetapan dan pengembangan kawasan perkotaan, terutama permasalahan yang timbul sebagai akibat masih kurangnya perhatian terhadap pelayanan prasarana perkotaan; serta permasalahan internal kota, terutama masalah kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, serta keamanan dan ketertiban kota. Semua permasalahan tersebut akan ditangani dengan berlandaskan pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan pengembangan untuk kawasan perkotaan Jatinangor di antaranya adalah sebagai berikut: I.
Membentuk kelembagaan yang mengkoordinasikan kegiatan terkait pengembangan kawasan perkotaan. Strategi untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya adalah: 1. Pembentukan kelembagaan koordinasi kawasan perkotaan Jatinangor 2. Penyusunan struktur dan pembagian tugas pengembangan kawasan perkotaan 3. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia
II. Pengembangan infrastruktur dasar perkotaan dan perhubungan (jaringan jalan, dsb). Adapun strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 1
1. Pembangunan dan peningkatan jaringan utilitas seperti persampahan, listrik, telekomunikasi, air bersih, sistem limbah padat dan cair, sistem drainase dengan strategi sebagai berikut : a)
Persampahan Sistem pengelolaan sampah digunakan teknologi komposting semaksimal mungkin, dan pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang untuk semua jenis sampah dalam pengembangan kapisitas masyarakat untuk pengelolaan sampah dengan prinsip 3R (Reuse, recycle, dan reduse) melalui kegiatan Community Base Development (CBD) Menetapkan lembaga yang memiliki kewenangan terhadap pengelolaan dan pelayanan kebersihan, serta pengelola dan jasa kebersihan yang ada terlibat dalam lembaga pengelola dan pelayanan kebersihan ini. Atau melibatan organisasi
dan
kelembagaan
swasta
dalam
pengelolaan
infrastruktur
persampahan Menetapkan restribusi khusus dalam pelayanan sampah untuk pembiayaan peningkatan pelayanan sampah. Lokasi pengelolaan sampah oleh lembaga terpusat di kawasan penelitian sampah perguruan tinggi. Melakukan kampanye kesadaran sampah dan pemisahan sampah berdasarkan jenisnya kemudian memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat atau lembaga yang melakukannya secara periodik bekerja sama dengan perguruan tinggi Penarikan sampah dilakukan secara hirarkis dari rumah tangga ke Tempat Penyimpanan Sampah Sementara(TPSS), kemudian ditarik ke Tempat Pengolahan Sampah(TPS). b)
Pembuangan air limbah
Menetapkan kewenangan pengelolaan limbah pada lembaga tertentu dan lebih baik tergabung dengan pengelolaan sampah padat, pengelola bersama
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 2
masyarakat melakukan kontrol terhadap pelanggaran pembuangan limbah cair yang dilakukan oleh industri dan mengajukan ke pengadilan.
Pengelolaan limbah yang berlandaskan “polluters pay” bahwa setiap orang/badan yang mempunyai andil dalam mencemari lingkungan harus berkontribusi
untuk
memberikan
kompensasi
terhadap
pengelolaan
lingkungan (misal melalui pajak lingkungan)
Limbah cair yang berasal dari septiktank rumah tangga diarahkan agar dikelola secara komunal atau kelompok yang dikelola oleh lembaga pengelola limbah. Terutama untuk melayani penduduk perkotaan yang tidak terjangkau oleh jaringan pipa air limbah baik induk, maupun lateral
Lembaga pengelola limbah mengkoordinir penyedia jasa penyedotan limbah domestik agar bisa terjaga kualitas pelayanan dan memudahkan masyarakat mengadu terhadap pelayanan yang buruk dari penyedia jasa.
Air buangan dari septiktank diupayakan diolah menjadi sumber air baku, karena teknologi pengelohan tersebut sudah tersedia.
Alternatif lain sebagaimana pengelolaan sampah, hasil pengolahan air limbah domestik pun juga masih mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Salahsatu hasil pengolahan berupa sludge (lumpur tinja) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk taman-taman kota, tanaman hias ataupun bahkan dimanfaatkan untuk pertanian.
Perlu diupayakan adanya deregulasi yang memberikan kemudahan dan merangsang kemauan masyarakat untuk menyambung pipa septik tank rumah tangga ke jaringan pipa air limbah. Bentuk regulasi yang dapat disiapkan adalah terkait kewajiban masyarakat melakukan penyambungan didasarkan atas kewajiban dan peran sertanya dalam pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan,tidak terbatas hanya masalah pengolahan instalasinya saja.
c)
Drainase
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 3
Penetapan fungsi drainase meliputi upaya mencegah terjadinya luapan air hujan yang berakibat banjir, mengakibatkan munculnya genangan di badan jalan dll melalui pembangunan, peningkatan dan rehabilitas drainase, meliputi perencanaan, penetapan kebijakan.
Penetapan jaringan drainase yang meliputi jaringan drainase primer dan sekunder yang di dasarkan atas besaran jumlah air hujan dan cathment area daerah penangkapan air hujan
Menguatkan fungsi dan peranan sungai-sungai dan saluran alam menjadi sistem drainase utama dengan menjadikan sungai sebagai kawasan lindung.
Sistem prasarana transportasi terpadu dengan sistem drainase buatan, dan sistem drainase buatan ini menjadi bagian dari keseluruhan sistem drainase.
Melakukan upaya-upaya penyelamatan saluran drainase dengan pengerukan sungai, penertiban sempadan sungai, penetapan saluran drainase jalan sesuai standar, pengaturan pembangunan yang berkaitan dengan saluran–saluran drainase dan penegakan aturan pembangunan yang ketat.
Melakukan upaya penyadaran penting drainase kota, termasuk disiplin membuang sampah yang merusak sistem drainase.
Sistem drainase dikembangkan terpadu dengan pengelolaan sumber air baku yang mengarah pada pemanfaatan air permukaan menjadi sumber air baku untuk kebutuhan air bersih dan juga sebagai persiapan membangun sistem “zero waste”
d)
Air Bersih
Kampanye kesadaran untuk memanfaatkan air bersih sebaik mungkin dan memanfaatkan air buangan maupun air permukaan sebagai sumber air baku, demikian juga persiapan ke arah pengelolaan air dengan teknologi “zero waste”
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 4
Menguatkan pengelolaan air untuk berbagai kebutuhan dengan dilengkapi perangkat hukum yang memadai.
Pengembangan sumber-sumber air baku diarahkan untuk bekerja sama dengan wilayah lain untuk sumber-sumber mata air, tetapi tidak ditekankan sebagai sumber utama.
Sumber mata air Gua Walet dipertahankan sebagai sumber air baku dengan memberikan share pada penataan lingkungan dan perlindungan lingkungan, memberi share pada desa setempat sebagai pendapatan desa sehingga desa bisa menjaga sumber dayanya.
Memanfaatkan air hujan semaksimal mungkin sebagai sumber air baku dengan berbagai teknologi yang memungkinkan. Terutama mengarahkan industri untuk memanfaatkan sumber air hujan untuk sebagian besar kebutuhan air.
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang implemetatif lansung untuk pemanfaatan air permukaan secara tepat guna.
Mengatur penggunaan sumber air baku untuk kebutuhan air bersih berbagai kegiatan sesuai dengan sifatnya.
Pelayanan PDAM diprioritaskan untuk melayani kebutuhan air untuk kebutuhan domestik dan kegiatan ekonomi potensial di wilayah yang tidak memungkinkan menggunakan sumber lain.
Penggunaan sumber air tanah dangkal untuk kebutuhan domestik diarahkan dikelola secara kelompok agar penggunaan air bertanggung jawab dan terkontrol.
Kebutuhan air untuk kegiatan perdagangan dan jasa atau produktif diarahkan untuk memakai sumber air tanah dalam secara berkelompok dengan pengelola PDAM
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 5
PDAM untuk melayani kebutuhan-kebutuhan air pelanggan disamping dengan menggunakan sumber yang ada juga menggunakan berbagai sumber air secara inovatif dengan teknologi yang tepat. Sumber air hujan, air permukaan, dan air tanah dalam menjadi hal untuk dikelola oleh PDAM sebagai lembaga pelayanan kebutuhan air bersih.
Para pengguna air diarahkan untuk share dalam pemeliharaan lingkungan konservasi air, dengan kesepakatan yang dituangkan pada peraturan.
Kewajiban PDAM untuk menyediakan hidrant umum bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
e)
Sistem Energi
Sistem jaringan listrik sistem dialihkan secara bertahap dengan teknologi jaringan listrik di bawah tanah terpadu dengan jaringan telepon maupun utilitas lain.
Lahan yang berada di bawah jaringan listrik tegangan tinggi dimanfaatkan untuk penggunaan yang efisien seperti ruang terbuka hijau dengan tanaman pendek atau jaringan jalan. Dihindari untuk dimanfaatkan ruang permukiman atau kegiatan manusia lainnya.
Lokasi Gardu Induk dipadukan dengan ruang terbuka hijau dan memiliki radius bebas bangunan minimal sepanjang 3 meter.
SPBU dilokasi di jalan-jalan arteri sekunder dengan jumlah yang memadai. Skala pelayanan SPBU diatur sesuai ketentuan selama ini.
Pergudangan Gas Elpiji diatur sedemikian sehingga aman bagi warga jika terjadi kecelakaan. Radius ruang terbuka dari bangunan gudang/penyimpanan elpiji minimal 10 meter.
Pelayanan elpiji dilakukan dengan diantar langsung kepada pembeli tidak dilakukan dengan menjual di warung-warung atau toko-toko umum.
f)
Sistem Telekomunikasi
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 6
Sistem telekomunikasi dikembangkan dengan berbagai jenis telekomunikasi dan berbagai teknologi untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat.
Pengembangan komunikasi televisi dan radio lokal dengan teknologi terjangkau untuk memenuhi komunikasi lokal antar warga.
Komunikasi lokal dikembangkan untuk mendukung terpenuhinya kepuasan masyarakat terhadap berbagai pelayanan.
Komunikasi iklan diatur sedemikian sehingga berkembang keuntungan yang adil antara pemasang iklan dengan pengelola kota sehingga pelayanan kota menjadi semakin meningkat.
Sistem jaringan telepon kabel diarahkan secara bertahap dari jaringan tiang di atas tanah menjadi jaringan di bawah tanah terpadu dengan jaringan kabel listrik dan lainnya.
Tower atau sarana antene relay maupun pancar untuk berbagai jenis telekomunikasi seperti telepon selullar, Televisi, Radio diatur dan disesuaikan dengan tata ruang yang disepakati. Pada prinsipnya Tower tersebut harus menempati lokasi geografis tinggi dan terbuka maka lokasi seperti Gunung Geulis dan Kaki Gunung Manglayang disiapkan berbagai titik untuk tempat Tower.
Tower yang sudah ada secara bertahap untuk dipindahkan kemudian radius tower diamankan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai tidak permanen seperti permukiman atau kegiatan yang menyita waktu sepanjang hari.
Pemenuhan kebutuhan dilakukan bertahap dengan perkiraan kebutuhan sesuai perhitungan masing-masing lembaga pelayanan.
g)
Transpotasi/Jaringan Jalan
Memenuhi standar kualitas dan kuantitas jalan sesuai fungsinya, terutama untuk yang berfungsi sebagai arteri primer.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 7
Jalan kolektor dalam sistem primer membangun jalan baru sesuai dengan standar untuk mengganti jalan lama yang berfungsi kolektor, sementara jalan lama jika jalan baru sudah ada dialihkan fungsinya menjadi jalan berfungsi lokal.
Jalan yang berfungsi sebagai arteri primer, dikuatkan jalan yang ada sekarang ditambah jalan tol yaitu Jalan Raya Jatinangor, Jalan Raya Rancaekek, dan Rencana Jalan Tol Cileunyi – Dawuan.
Jalan Lokal(dalam sistem primer) atau kolektor sekunder dikembangkan dari jalan lama maupun membangun jalan baru yang menghubungkan antar pusatpusat lingkungan dan lingkungan ke jalan kolektor atau arteri sekunder.
2. Pembangunan sarana perdagangan untuk meningkatkan kegiatan perekonomian 3. Pembangunan permukiman yang layak huni dan memenuhi kesejahteraan dan keadilan III. Meningkatkan kebijakan insentif penanaman modal (investasi). Adapun strategi yang dilakukan guna mendukung kebijakan tersebut diantaranya : 1. Meningkatkan akses dari dan ke kawasan perkotaan 2. Meningkatkan peran kelembagaan yang profesional dan mempermudah investasi dalam dan luar negeri. V. Percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pengembangan sistem prasarana 2. Strategi pengembangan kegiatan perekonomian II.
Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan pendidikan tinggi. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pengembangan sistem jaringan aksesibilitas terpadu dengan berorientasi pada kepentingan akademis dan masyarakat 2. Strategi pengembangan sistem sarana dan prasarana pelayanan yang mendukung kebutuhan khusus civitas akademika
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 8
3. Strategi pemanfaatan kawasan perguruan tinggi dalam mendukung fungsi resapan air dengan pemanfaatan ruang detailnya dominan kawasan ruang terbuka hijau . 4. Strategi pengembangan kegiatan ekonomi dan jasa penunjang terbatas berskala lokal yang hanya melayani kampus III.
Pemantapan peran dan fungsi kota dalam pengembangan kawasan industri. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pengembangan sistem prasarana yang mendukung kebutuhan industri 2. Strategi pembatasan pemanfaatan ruang kota sebagai kawasan industri yang tidak haus terhadap kebutuhan air atau dapat menunjukkan teknologi baru untuk pengadaan air yang tidak merusak cadangan air yang ada (missal mendaur ulang limbah) 3. Pengembangan industri berorientasi manufaktur dengan persyaratan khusus ramah lingkungan. 4. Pemberian insentif kepada investor
IV.
Peningkatan kapasitas manajemen pembangunan perkotaan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan 2. Pengembangan sistem prasarana 3. Pemanfaatan ruang kota 4. Pengembangan kawasan prioritas
IV. Membangun dan meningkatkan sistem transportasi darat yang memiliki interaksi dalam aksesibilitas kegiatan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan tersebut diantaranya adalah:
V.
a.
Pembangunan dan peningkatan jaringan jalan pada kawasan permukiman
b.
Penambahan rute dan penambahan sarana angkutan barang
c.
Pembangunan terminal sesuai dengan arahan pengembangan kawasan perkotaan
Pengembangan sektor andalan jasa-perdagangan, dan industri. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 9
1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan 2. Strategi pengembangan sistem prasarana VI.
Pengendalian lingkungan hidup dan kelestarian hutan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pemanfaatan ruang kota 2. Strategi pengembangan kawasan prioritas
VII. Mewujudkan Kawasan Perkotaan Jatinangor sebagai pusat budaya iptek. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pengembangan dan peningkatan asset budaya dalam kerangka mendukung Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda 2. Strategi peningkatan dan pelestarian nilai-nilai lama yang dapat dikembangkan diimbangi dengan menggali nilai-nilai baru yang lebih inovatif 3. Strategi pemanfaatan iptek dalam mendukung pelestarian dan peningkatan budaya yang telah berkembang di lingkungan kawasan perkotaan Jatinangor VIII. Pengembangan perumahan, permukiman dan fasilitas penunjangnya. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah: 1. Strategi pengembangan sistem prasarana 2. Strategi pemanfaatan ruang kota 3. Strategi pengembangan kawasan prioritas IX.
Pelibatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah : 1.
Melibatkan masyarakat dalam tiap tahap pembangun kegiatan perkotaan
2.
Memfasilitasi kegiatan perkotaan yang diadakan oleh masyarakat
3.
Menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya kegotongroyongan dalam kegiatan perkotaan
X.
Revitalisasi Kota dan kawasan bersejarah. Adapun strategi yang mendukung kebijakan ini diantaranya adalah:
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 10
1. Strategi pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan perkotaan 2. Strategi pengembangan sistem prasarana 3. Strategi pemanfaatan ruang kota 4. Strategi pengembangan kawasan prioritas
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Bab VII - 11
CAKUPAN DESA/KELURAHAN PUSAT-PUSAT DI KABUPATEN SUMEDANG
No. 1.
2.
Pusat JATINANGOR (12 dari 12 Desa/Kel)
CIMANGGUNG (9 dari 11 Desa/Kel)
Desa/Kel. Tercakup
Pop.2009
1.
Cikeruh
7,543
2.
Hegarmanah
8,584
3.
Cibeusi
4.
No. 6.
Pusat
Desa/Kel. Tercakup
Pop.2009
No. 16.
RANCAKALONG
1.
Nagarawangi
4,814
(5 dari 10 Desa/Kel)
2.
Cibunar
3,134
11,232
3.
Rancakalong
4,493
Cipacing
13,764
4.
Pangadegan
5,312
5.
Sayang
7,359
5.
Sukahayu
4,290
6.
Mekargalih
5,528
7.
Cintamulya
6,288
8.
Jatimukti
4,392
9.
Cisempur
10.
Desa/Kel. Tercakup
Pop.2009
CISITU
1.
Situmekar
3,294
(3 dari 10 Desa/Kel)
2.
Linggajaya
3,814
3.
Cisitu
2,437 9,545
17.
22,043 7.
Pusat
DARMARAJA
1.
Darmajaya
3,549
(9 dari 16 Desa/Kel)
2.
Darmaraja
3,973
SUMEDANG UTARA
1.
Kotakaler
11,702
3.
Sukaratu
2,960
(13 dari 13 Desa/Kel)
2.
Situ
15,549
4.
Jatibungur
1,717
6,160
3.
Talun
5,719
5.
Neglasari
2,463
Jatiroke
5,514
4.
Padasuka
3,637
6.
Cieunteung
4,461
11.
Cileles
4,877
5.
Mulyasari
3,743
7.
Tarunajaya
3,521
12.
Cilayung
4,587
6.
Girimukti
5,977
8.
Cikeusi
2,421
85,828
7.
Mekarjaya
5,586
9.
Karangpakuan
3,624
1.
Sindang Pakuwon
7,934
8.
Margamukti
4,664
2.
Cimanggung
9,947
9.
Sirnamulya
4,415
3.
Sindanggalih
9,055
10.
Kebonjati
3,669
4.
Cihanjuang
11,010
11.
Jatihurip
8,239
5.
Sukadana
5,643
12.
Jatimulya
6,059
6.
Swahdadap
6,136
13.
Rancamulya
6,051
28,689 18.
CIBUGEL
1.
Cibugel
3,185
(2 dari 7 Desa/Kel)
2.
Jayamekar
4,058 7,243
19.
WADO
1.
Wado
7,295
(4 dari 11 Desa/Kel)
2.
Cikareo Utara
4,561
7.
3.
4.
PAMULIHAN (7 dari 11 Desa/Kel)
TANJUNGSARI (9 dari 12 Desa/Kel)
Mangunagra
6,274
8.
Cikahuripan
7,633
9.
Pasirnanjung
6,538
8.
SUMEDANG SELATAN (12 DARI 14 Desa/Kel)
85,010
3.
Cikareo Selatan
4,545
4.
Cisurat
3,987
1.
Pasanggrahanbaru
12,414
2.
Kotakulon
11,352
70,170
3.
Regol Wetan
8,266
1.
Ciptasari
5,463
4.
Cipameungpeuk
5,828
2.
Citali
4,414
5.
Sukagalih
2,945
3.
Pamulihan
7,898
6.
Baginda
4,508
4.
Haurngombong
4,700
7.
Gunasari
5,518
5.
Cigendel
7,939
8.
Sukajaya
6,501
6.
Mekarbakti
5,599
9.
Margamekar
3,873
7.
Cilembu
4,294
10.
Ciherang
6,601
40,307
11.
Mekarrahayu
2,565
1.
Tanjungsari
5,689
2.
Gudang
5,403
3.
Jatisari
5,928
4.
Gunungmanik
7,886
5.
Margaluyu
5,045
6.
Margajaya
8,549
7.
Cinanjung
9,127
8.
Raharja
6,216
9.
Kutamandiri
7,901 61,744
12.
Margalaksana
20,388
20.
JATINUNGGAL
1.
Tarikolot
4,093
(3 dari 9 Desa/Kel)
2.
Sarimekar
6,216
3.
Sirnasari
4,534 14,843
21.
JATIGEDE
1.
Cijeunjing
2,481
(2 dari 12 Desa/Kel)
2.
Kadujaya
1,618 4,099
22.
4,585
TOMO
1.
Tomo
3,823
(2 dari 9 Desa/Kel)
2.
Tolengas
5,218
74,956 9.
GANEAS
1.
Ganeas
4,498
8,996
12.
23.
4,498
(1 dari 7 Desa/Kel)
10.
9,041 UJUNGJAYA
1.
Ujungjaya
6,994
(1 dari 9 Desa/Kel) 24.
6,994
CONGGEANG
1.
Conggeang Wetan
2,160
(5 dari 12 Desa/Kel)
2.
Conggeang Kulon
3,536
CISARUA
1.
Cisarua
4,905
(2 dari 7 Desa/Kel)
2.
Kebon Kalapa
4,575
3.
Narimbang
3,424
9,480
4.
Cibeureuyeuh
1,266
3,767
5.
Cacaban
1,886
PASEH (4 dari 10 Desa/Kel)
1. 2.
Paseh Kidul Paseh Kaler
4,806
12,272
5.
SUKASARI (3 dari 7 Desa/Kel)
CIMALAKA (8 dari 14 Desa/Kel)
1.
Buahdua
3,737
(4 dari 14 Desa/Kel)
2.
Panyindangan
1,934
17,038
3.
Nagrak
2,238
4,356
4.
Cilangkap
3,009
Sukasari
5,781
3.
Legok Kidul
3,871
2.
Sukarapih
6,511
4.
Legok Kaler
4,594
3.
Mekarsari
3,919 16,211
11.
BUAHDUA
1.
1.
Cimalaka
4,254
2.
Licin
4,397
3.
Serang
1,985
4.
Galudra
3,094
5.
Cimuja
2,460
6.
Mandalaherang Cibeureum Kulon Cibeureum Wetan
5,217
7. 8.
13.
TANJUNGKERTA
1.
Sukamantri
4,356
(1 dari 11 Desa/Kel) 14.
TANJUNGMEDAR
1.
Jingkang
3,606 3,606
(1 dari 9 Desa/Kel) SITURAJA
1.
Situraja
3,472
(6 dari 14 Desa/Kel)
2.
Situraja Utara
4,099
3.
Malaka
2,642
4.
Mekarmulya
2,981
4,019
5.
Jatimekar
3,067
29,266
6.
Cijati
2,832
3,840
15.
#
25.
19,093
10,918 26.
SURIAN (1 dari 8 Desa/Kel)
Sumber: Hasil Rencana
1.
Surian
2,819 2,819
LAPORAN AKHIR
STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR KAWASAN PERKOTAAN
BAPPEDA KABUPATEN SUMEDANG 2009
SEBAGAI
LAPORAN AKHIR
STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAN BAPPEDA SUMEDANG 2009
DAFTAR PUSTAKA I.
Buku 1. B.F. Hoseliz. 1995. Generative and Parasitic cities, Economic Development and Cultural Change, Vol 3. Pp. 276-94. 2. Kajian Puslitbang Permukiman. 2007. Studi mengenai Konflik Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan oleh Puslitbang Permukiman Departemen PU, Bamdung 3. Kajian Puslitbang Permukiman. 2006. Pengembangan Lembaga Lokal dalam Pembangunan Perumahan. Departemen PU, Bandung 4. Sadu Wasisitiono, Ismail N, dan M. Fahrurozi. 2009. Kecamatan Dari Masa ke Masa. Fokusmedia. Bandung
Perkembangan Organisasi
5. UNHCS. 1996. Indicators Programme : Monitoring Human Settlements Vol 1. Introduction, Vol 2 Urban Indicators, Worksheet, Vol 3 Housing Indicators Worksheet. 6. Victoria de Villa and Matthew S.W. 2002. Urban Indicators for Managing Cities : Cities Data Book Asian Development Bank. http://www.adb.org/Documents/Books/Cities_Data_Book/default.asp. 12 Oktober 2009. 7. William Alonso and John Friedmann, eds. 1964. Regional Development and Planning: A Reader. Cambridge: The M.I.T. Press.. Out of print. An Urban Affairs Library Selection II.
Peraturan 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
1
Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten SumedangPeraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Sumedang Tahun 20052025; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sumedang Tahun 20092013. 7. Peraturan Menteri PU No. 494/PRT/M/2005 tentang kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KNSP Kota) 8. Keputusan Menteri permukiman dan Prasarna Wilayah No 534/PRT/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dan Pekerjaan Umum
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
2
LAMPIRAN
1. Pertumbuhan PDRB 2. Instrumen 3. Rekapitulasi Data (instrumen desa) 4. Penjaringan Aspirasi Masyarakat
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
0
Tingkat Perkembangan PDRB Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun
PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta)
Perkembangan (%)
PDRB ADH Konstan (Rp. Juta)
Perkembangan (%)
2008
117,006,008
11.34
62,275,724
4.37
2009
138,144,567
18.07
65,444,945
4.90
2010
158,994,004
15.09
68,828,839
4.95
2011
178,850,597
12.49
72,406,076
5.04
2012
199,127,727
11.34
76,011,095
5.05
2013
235,102,574
18.07
79,795,603
5.06
2014
270,585,376
15.09
83,768,539
5.07
2015
299947087.1
12.49
88,031,532
5.08
CIMANGGUNG Tahun
PDRB ADH Berlaku (Rp. Juta)
2008
102158942.3
2009
119,670,369
2010
137,516,203
2011
154,257,666
2012
171,412,361
2013
200,794,763
2014
230,738,265
2015
258,828,745
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Perkembangan (%)
PDRB ADH Konstan (Rp. Juta)
11.12 17.14 14.91 12.17 11.12 17.14 14.91 12.17
1
Perkembangan (%)
54,857,134
4.82
57,489,874
4.80
60,309,989
4.91
63,260,085
4.95
66,354,487
4.82
69,553,435
4.80
72,891,490
4.91
76,467,117
4.89
Proyeksi Struktur Ekonomi di Kecamatan Cimanggung sd Tahun 2015 No.
PDRB (Jutaan Rupiah)
Lapangan Usaha 2003
1 2 3 4 5
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
4,623,611
5,246,488
6,408,540
7,344,496
8,206,733
86,206,976
10,098,402
11,604,325
13,017,056
14,464,658
16,944,096
19,470,883
21,841,302
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih
41,134,539
45,358,635
52,527,535
60,286,691
67,467,987
766,951,243
89,841,708
103,239,345
115,807,883
128,686,653
150,745,289
173,225,168
194,313,903
1,138,839
1,375,037
1,639,698
1,955,269
2,395,605
21,233,591
2,487,332
2,858,255
3,206,224
3,562,782
4,173,491
4,795,862
5,379,719
956,332
1,061,275
1,266,597
1,454,247
1,604,709
17,830,758
2,088,719
2,400,199
2,692,404
2,991,821
3,504,659
4,027,291
4,517,581
4,114,170
4,652,417
5,663,413
6,570,530
7,328,391
76,708,476
8,985,735
10,325,732
11,582,804
12,870,906
15,077,153
17,325,532
19,434,773
388,984
438,067
599,436
710,133
799,686
7,252,586
849,578
976,271
1,095,124
1,216,910
1,425,505
1,638,084
1,837,507
1,034,368
1,175,527
1,347,078
1,493,291
1,663,460
19,285,735
2,259,157
2,596,054
2,912,102
3,235,951
3,790,637
4,355,915
4,886,212
8 9
Jasa-jasa
7
2005
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Persh.
6
2004
Total
1,400,919
1,577,600
1,869,272
2,142,734
2,468,456
26,120,059
3,059,739
3,516,022
3,944,069
4,382,681
5,133,932
5,899,530
6,617,749
54,791,762
60,885,046
71,321,569
81,957,391
91,935,027
102,158,942
119,670,369
137,516,203
154,257,666
171,412,361
200,794,763
230,738,265
258,828,745
Sumber : Hasil Analisis
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
2
INSTRUMEN
STUDI KELAYAKAN KAWASAN JATINANGOR (KECAMATAN JATINANGOR DAN KECAMATAN CIMANGGUNG) SEBAGAI KAWASAN PERKOTAAAN
BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG Jl. Empang No 1 Sumedang-Jawa Barat 45311 Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
3
BADAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG
Kuesioner ini disusun untuk keperluan Pengkajian Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaaan Kuesioner ini ditujukan kepada Kepala Desa atau perangkat desa yang ditugaskan. Pada pertanyaan/pernyataan yang disusun, Bapak/Ibu/Saudara dapat mengisi sesuai dengan kondisi desa. No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
4355
5490
5615
8158
9394
I. Aspek Penduduk 1.
Jumlah Penduduk (jiwa)
2.
Luas desa (ha)
3.
Penduduk yang bermigrasi
320.24 Ha
-
Datang/masuk ke desa
5
-
Keluar/pergi dari desa
1
3
10
15
1
1
13
23
II. Aspek Produktivitas 4.
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
476
390
303
335
185
5.
Jumlah Pengangguran (jiwa)
213
195
156
127
95
6.
Jumlah penduduk Usia 0-14 tahun
958
1262
1373
1653
1801
Usia > 55 tahun
827
1098
1125
1378
1719
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
4
No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
III. Aspek Kesehatan dan Pendidikan 7.
Tingkat Kematian Ibu (Jiwa)
6
17
11
8
9
8.
Tingkat Kematian Bayi (Jiwa)
1
1
2
1
4
9.
Angka Prevalensi Penyakit Diare (%)
1
2
2
1
4
10
Penyakit infeksi lainnya : (5 teratas yang paling sering dialami penduduk desa) 1. ISPA……………………… 2. GONDOK………………………. 1 3. ………………………………. 4. ………………………………. 5. ……………………………….
1
1 1
1
1
1
1
1
4
4
4
4
4
11.
12.
Jumlah tenaga medis : - Dokter - Bidan desa - Mantri - Perawat - Lain-lain - ……………………. - …………………….. - …………………….. Rata-rata usia harapan hidup warga (tahun)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
5
2 1
No.
Uraian
Tahun 2005
13.
2006
2007
2008
2009
Ketersediaan fasilitas puskesmas (unit) -
Puskesmas …………….. unit; Cakupan daerah yang dilayani ………… RT/RW Pustu ………………….. unit; Cakupan daerh yang dilayani ……………..RT/RW Polindes/Puskesdes 1.. unit; Cakupan daerh yang dilayani 33/9……..RT/RW termasuk desa tetangga Lain-lain sebutkan : - ………………………………….. - ………………………………….
14.
Ketersediaan Apotek/Toko Obat …………………(unit)
15.
Penduduk yang tidak huruf (jiwa)
16.
Tingkat Pendidikan Masyarakat : -
Melek Huruf /Buta 50
Tidak/ Belum pernah sekolah Tidak/ Belum Tamat SD SD/MI/Paket A SLTP/MTs/Paket B SLTA/MA /Paket C Akademi/ Diploma Universitas Lain-lain .......................
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
50
35
32
28
63
58
50
47
40
325
310
290
225
273
1570
1640
1657
1686
1686
1360
1368
1392
1507
1507
1150
1100
1031
950
950
73
85
91
96
111
8
10
16
20
20
6
No.
Uraian
Tahun 2005
17.
18.
2006
2007
2008
Ketersediaan Fasilitas Pendidikan Dasar (perkembangan dari tahun 2005 sd. Tahun 2009) -
TK/RA
-
SD
-
MI
-
Lain-lain (non formal) - ………………………. - ……………………….
Ketersedian Fasilitas Pendidikan Menengah (perkembangan jumlahnya dari tahun 2005 sd. Tahun 2009) -
MTs
-
SMP
-
SMU/SMK
-
Lain-lain (non formal) - …………………………. - ………………………….
IV. Aspek Pemukiman dan Lingkungan 19.
Jumlah Pemukiman kumuh (unit)
20.
Luas pemukiman kumuh (ha)
21.
Ruang terbuka hijau (ha)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
7
2009
No.
Uraian
Tahun 2005
22.
2006
2007
2008
2009
Tingkat pulusi/pencemaran (beri tanda sesuai kondisi desa)
Ada/tinggi, sebutkan jenisnya : ………………………………………………………………. Ada/sedang, sebutkan jenisnya : ………………………………………………………………. Ada/rendah sebutkan jenisnya : ………………………………………………………………. Tidak ada, sebutkan jenisnya : ……………………………………………………………….
23.
Jumlah kejadian kebakaran (… kali/tahun)
24.
Tindak kejahatan yang pernah terjadi di desa (sebutkan banyak kejadian pada setiap jenis dari tahun 2005 jika memungkinkan) : Jenis kejahatan/kriminal yang terjadi : 1. …………………………………. 2. ………………………………….. 3. ………………………………….. 4. ………………………………….. 5. …………………………………… 6. ………………………………….. 7. ………………………………….. 8. …………………………………..
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
8
No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
V. Aspek Ekonomi 25.
Mata pencaharian penduduk : - PNS - TNI - Polri - Swasta - Petani - Pedagang - Buruh - ………………… - …………………
26.
Ketersediaan sarana penunjang perekonomian (jumlah yang ada di desa) -
Hotel Restoran Pasar Terminal Pertokoan Depot air isi ulang Bioskop
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
9
2008
2009
No.
Uraian
Tahun 2005
-
2006
2007
Bank Jasa Boga Tempat wisata Kolam renang
VI. Aspek Budaya 27. Potensi Fisik Bangunan cagar budaya, situs, benda arkeologis dan kawasan bersejarah (jika ada sebutkan) 1. ……………………………………… 2. ………………………………………. 3. ………………………………………. 4. ………………………………………. 28. Potensi Non Fisik Peninggalan atau warisan budaya meliputi seni budy, ritual, adat dan kebiasaan (jika ada sebutkan): 1. ……………………………………… 2. ………………………………………. 3. ………………………………………. 4. ………………………………………. 5. ………………………………………. 6. ……………………………………….
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
10
2008
2009
No.
Uraian
Tahun 2005
30.
2006
2007
Pemanfaatan Lahan (ha) -
32.
2009
Kelembagaan (Kelompok atau institusi sosial di tingkat masyarakat yang melakukan pengelolaan asset budaya secara aktif) 1. ……………………………………… 2. ………………………………………. 3. ……………………………………….
VII. Aspek Spasial 31.
2008
Perumahan/permukiman Pertanian Perkantoran Perdagangan dan jasa Industri Fasilitas umum dan fasilitas sosial Perguruan Tinggi Ruang campuran Kawasan lindung
Ketersediaan ruang publik (m2) - Lapangan olah raga - Taman bermain - Taman Kota - Jalur hijau
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
11
No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
VIII. Prasarana 33.
Sektor Air Bersih a. Sumber Air (sebutkan darimana saja air bersih diperoleh warga desa ) :………………… b. Kualitas Air : …………………………………………………………………………….. c. Kebocoran Air : ………………………………………………………………………….. d. Pelayanan : ………………………………………………………………………………. Cakupan Pelayanan : Cakupan Pelanggan : Konsumsi air bersih per pelanggan rumah tangga (domestik) : Konsumsi air bersih konsumsi lain (non-domestik) : Tingkat penggunaan air : e. Tarif Air :
34.
Sektor Transportasi a. Panjang Jalan Utama ………………………. Lebar jalan …………………m b. Panjang Jalan Lingkungan………………….. Lebar jalan …………………m c. Panjang jalan setapak : ………………………. Lebar jalan …………………m c. Kondisi Jalan : d. Kecepatan rata-rata (waktu tempuh); e. Angkutan Kota/desa (yang melalui desa) :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
12
2008
2009
No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
35.
Listrik dan Telpon - Rumah tangga yang telah memiliki sambungan dengan jaringan listrik PLN : - Rumah tangga yang telah memiliki sambungan telpon :
36.
Sanitasi (pilih sesuai kondisi desa) a. Kondisi pengolahan setempat (on-site system) oleh desa b. Kondisi Pengolahan terpusat (off-site system) oleh kecamatan atau dinas kebersihan c. Lain-lain sebutkan ……………………………………..
37.
Persampahan a. Pengumpulan :………………………. b. Pengangkutan : …………………….. c. Kapasitas Pembuangan : …………………… d. Metoda Pembuangan : e. Kepemilikan lahan TPS (Tempat Pembuangan sementara) : f. Kepemilikan Lahan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) : f. Pelayanan, meliputi : Cakupan Pelayanan : Retribusi Sampah : Kerjasama dengan Masyarakat :
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
13
2008
2009
No.
Uraian
Tahun 2005
37.
2006
2007
2008
2009
Drainase (saluran pembuangan) - Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan utama :……………….….. m, lebar…………..m - Panjang saluran pembuangan air (buatan) pada sepanjang jalan lingkungan :…………………….m, lebar …………m - Panjang saluran alam (jika ada) …………… m, lebar………………. m - Sungai yang terdapat di (melalui) desa sungai :………………… Panjang …………….m, Lebar ……………….m - Ketinggian air sungai dari permukaan : …………………….cm - Lama air tergenang di lingkungan desa jika hujan (pada permukaan jalan atau lainnya): - Ketinggian air tergenang : ………………… cm - Frekuensi air tergenang dalam 1 tahun : ………………….. - Upaya pemeliharaan dan pengawasan terhadap saluran air yang dilakukan desa/masyarakat : - ……………………………………. - …………………………………….. - …………………………………….. Desa ………………………. Kepala Desa
(…………………………….) Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
14
Tabel.
No
Desa
KECAMATAN JATINANGOR 1 Cipacing 2 Sayang 3 Mekargalih 4 Cintamulya 5 Cisempur 6 Jatimukti 7 Jatiroke 8 Hegarmanah 9 Cikeruh 10 Cibeusi 11 Cileleus 12 Cilayung KECAMATAN CIMANGGUNG 1 Mangunarga 2 Sawahdadap 3 Sukadana 4 Cihanjuang 5 Sindangpakuon 6 Sindanggalih -
2005 Masuk Keluar
Tahun/Jiwa 2007 Masuk Keluar
2006 Masuk Keluar
28 43
17 31
27 22
16 39
26 25
15 39
5
1
0
1
3
1
21 2 30 17
5 4 90 48
18 3 30 23
13 4 59 36
34 5 41 21
8 6 106 72
-
-
-
3
-
-
2008 Masuk Keluar 24 65 4 10 14 26 6 126 45 10
-
1
3
2
2009 Masuk Keluar
15 63 9 13 9 14 10 133 99 15 5
2 -
14 95 1 15 8 33 8 113 65 10 5
24 51 2 23 14 20 12 139 114 17 6
-
8
40
6
16
2
10
8
26
6
21
18
11
29
5
42
6
41
2
58
9 10
287
15
-
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
-
250
9
356
7
214
15
10
Tabel. Sebaran Penduduk
No
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
Jumlah Pengangguran (jiwa)
Jumlah penduduk usia ketergantungan (jiwa)
Tahun
Tahun
Tahun
Desa
2005
2006
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008 2009
2005
2006
2007
2008
2009
Kecamatan Jatinangor 1
Cipacing
3192
3335
3464
3608
3758
793
831
866
92
940
3784
3941
4105
4276
4454
2
Sayang
780
945
1033
1360
1360
309
404
410
417
428
1161
1260
1573
1741
1966
3
Mekargalih
1388
1388
520
611
722
4
Cintamulya
476
390
303
335
185
213
195
156
127
95
1785
2360
2498
3031
5
Cisempur
6
Jatimukti
2434
2538
2557
2569
1343
7
Jatiroke
1627
1627
1627
1627
1627
8
Hegarmanah
1802
1922
2047
2216
2216
9
Cikeruh
1149
1149
1149
1149
1149
10
Cibeusi
11
Cileleus
1455
1455
505
12
Cilayung
2272
2272
683
686
6325 3520
1967 1657
1459
2751
1460
2979
2973
1465 3152
2016
2380
1567
4255
4347
4436
4548
4630
1105
1112
1122
1153
1265
3390
3571
3713
3953
4113
3276
-
-
1224
1237
1317
Kecamatan Cimanggung 1
Mangunarga
2
Sawahdadap
3
Sukadana
4
Cihanjuang
5
Sindangpakuon
6
Sidanggalih
326
359
486
421
386
296
328
342
252
192
3294
3623
4252
4426
4638
116
116
218
262
318
621
569
982
582
1039
1229
1497
1188
1344
1435
1515
1515
-
-
-
-
-
2043
2051
575
575
-
-
-
-
-
5718
5843
-
871
800
757
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
-
5516
16
5527
5688
Tabel
No
Tingkat kematian ibu
Tingkat kematian Bayi
Angka Prevalensi Penyakit Diare
Tahun
Tahun
Tahun
Desa 2005
2006
2007
2008
-
-
-
2009
2005
2006
-
-
2007
2008
2
1
4
1
2009
2005
2006
2007
2008
2009
3 -
-
-
-
-
3 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
-
2
Sayang
3
Mekargalih
4
Cintamulya
5
Cisempur
-
6
Jatimukti
-
7
Jatiroke
0.10%
8
Hegarmanah
21
9
Cikeruh
-
-
-
-
-
-
10
Cibeusi
-
-
-
-
-
-
11
Cileleus
-
-
-
-
-
-
-
-
1 -
12
Cilayung
-
-
-
-
-
-
-
-
2 -
2 -
1 -
6
3 -
17 -
-
11
-
4 -
1
-
-
0.10%
0.10%
0.10%
23
26
16
3 -
9
1
2
-
1
5 -
1 -
-
-
-
2 -
1
1
-
1
4
1
2
2
1
4
1
1
5%
10%
7%
5%
15%
0.30%
0.30%
0.30%
0.30%
0.30%
20 (%?)
18
15
16
12
2.5
1.5
0.5
0.5
0.5
-
-
-
-
-
1
0.10% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 0.20% 12
1
1
2
1
2
-
-
2
-
4
-
-
-
-
-
-
-
2
2 -
-
-
-
-
3
3
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
18
15
2
Sawahdadap
3
Sukadana
-
-
4
Cihanjuang
-
-
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalih
-
-
14
12
10
4
1 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
5
3
2 -
-
-
-
-
-
-
-
20%
20%
10%
10%
10%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17
Tabel. Penyakit infeksi paling sering diderita No
Desa
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
-
-
-
-
-
-
-
-
-
(0; 1)
(1: 1)
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
2
Sayang
3
Mekargalih
4
Cintamulya
ISPA (0), Gondok (1)
5
Cisempur
iSPA, MAAG, Diare, Kulit dan rematik
6
Jatimukti
7
Jatiroke
Diare, muntaber, tipus, malaria dan paru2
8
Hegarmanah
Demam(15)
9
Cikeruh
ISPA dan TBC
10
Cibeusi
11
Cileleus
12
Cilayung
Demam berdarah, penyakit kulit, diare, paru-paru dan demam -
(0:0)
(2:1)
-
-
-
21
18
17
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
ISPA
Inluensa, ISPA, Diare, TB dan Variecella
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
Jantung, Lever, Paru-paru, Stroke, Diabetes
2
Sawahdadap
3
Sukadana
Jantung, Struk,Darah Tinggi
4
Cihanjuang
ISPA, Gatal,Diare
-
-
-
-
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalih
-
-
-
-
-
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
18
Tabel …… Jumlah Tenaga Medis No
Desa
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
(1,2,2,2)
(1,2,2,3)
(2,3,2,4)
(2,4,2,6)
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
dokter(1), bidan(2), mantri(2), Perawat(6)
2
Sayang
dokter(1), bidan(2), mantri(1), Perawat(3), refleksi(1), paraji(1)
3
Mekargalih
dokter(0), bidan(0), mantri (0)
(0,1,0)
(4,1,1)
(4,1,1)
(4,1,1)
4
Cintamulya
Bidan (1), Perawat (4)
(1; 4)
(1; 4)
(1; 4)
(1; 4)
5
Cisempur
dokter (0), Bidan(0), Mantri(0), Perawat(0)
6
Jatimukti
Bidan desa (1)
1
1
1
7
Jatiroke
bidan desa (1)
1
1
1
8
Hegarmanah
dokter(4), Bidan(1), mantri(1), perawatan (5), paraji (2)
(4,1,1,7,2)
(4,1,1,9,2)
(4,1,1,12,2)
(4,1,1,12,2)
9
Cikeruh
dokter (1), Bidan(1), Mantri(1)
(1; 1; 1)
(2;1;1)
(2;1;1)
(3;1;1)
10
Cibeusi
dokter(0), bidan(0), mantri (0), perawat(0)
11
Cileleus
Bidan desa (0), mantri (0)
12
Cilayung
Bidan desa (1)
(2,2,1,2,4,1) (4,2,1,3,4,1) (4,3,1,4,4,1) (4,3,1,2,6,4,1)
(1,1,1,1) 1
(2,1,1,8) (1,1) 1
1
1
1
(1,1,0,0,1)
(1,1,0,0,1)
(1,1,0,0,1)
(1,1,0,0,1)
1
1
1
1
(1,1,3)
(1,1,3)
(1,1,3)
(1,1,3)
(2,5,2,3)
(2,5,3,3)
(2,5,4,3)
2,5,4,3)
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
dokter (1), Bidan Desa (1), Mantri (0), Perawat (0), Dukun Terlatih (1)
2
Sawahdadap
3
Sukadana
Bidan Desa (1)
4
Cihanjuang
Bidan Desa (1).Mantri (1), Perawat (3)
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalih
Bidan Desa,Mantri, Perawat, Dukun Bayi(Paraji), (2,5,2,2)
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
19
Tabel ….. No
Desa
Ketersediaan Fasilitas Puskesmas Puskesmas Pustu Polindes/Puskedes
cakupannya
Apotik
lain-lain
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
-
1
1
68/18 RT/RW
-
2
Sayang
-
-
1
53/13 RT/RW
3
Mekargalih
-
-
-
klinik 24 jam 4 bh
2
4
Cintamulya
1
33 /9 RT/RW
-
5
Cisempur
-
1
-
31/10
6
Jatimukti
-
-
1
26/7 RT/RW
3
7
Jatiroke
-
-
-
30 RT/5 RW
-
8
Hegarmanah
1
-
53/14 RT/RW
9
Cikeruh
-
-
-
-
10
Cibeusi
-
-
1
53 RT
-
2
11
Cileleus
-
1
-
35/9 RT/RW
-
-
12
Cilayung
-
-
1
klinik 24 jam
3
-
klinik Arrohmad
1 -
-
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
-
-
1
9/RW
2
Sawahdadap
-
-
-
-
3
Sukadana
-
-
1
28/8 Rt/Rw
pos yandu
-
4
Cihanjuang
-
-
1
49/15 Rt/Rw
-
-
5
Sindangpakuon
-
-
-
-
-
6
Sindanggalih
1
1
1
68/15 RT/RW
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Balai pengobatan/Poliklinik (3), Tempat Dokter Praktek (1)
1
-
Tempat Bersalin (3unit)
20
5
Tabel …… No
Desa
Penduduk Buta Huruf
Tingkat Pendidikan masyarakat Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD/MI/PKT A
SLTP/MTs/PKT B
SLTA/MA/PKT C
Akdi/diploma
Univer
1625
1105
2417
465
487
1330
1555
Lain2
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
2
Sayang
3
Mekargalih
4
Cintamulya
5
Cisempur
6
Jatimukti
7
Jatiroke
8
Hegarmanah
9
Cikeruh
10
Cibeusi
11 12
-
-
-
960
-
-
1355
1345
2215
-
-
1684
1352
1256
28
249 -
40
273
1686
1507
950
652
124
703
508
349
44 -
141
98
895
899
130
25
78
198
69
11
395
342
488
348
226
425
455
13
6593
2037
2953
2119
237
127
-
7
634
996
1998
5272
517
751
Cileleus
-
380
73
493
872
676
37
88 -
Cilayung
-
526
1870
1523
576
174
90
41
30
778
996
1290
1392
1362
98
72
102
284
532
706
800
32
11 -
-
1487
2440
4451
131 -
-
15
12
15
27 -
-
53 -
149
111
20 21
6 -
-
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
2
Sawahdadap
3
Sukadana
4
Cihanjuang
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalih
69
297
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
208
21
Tabel ………… No
Desa
Fasilitas Pendidikan Dasar TK/RA
SD MI
Lain2
Fasilitas Pendidikan Menengah SMP MTs
SMU/SMK
Lain-lain
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
4
5
-
1
-
1
-
2
Sayang
12
4
7
-
1
1
kur jahit (2), kur komp (3)
3
Mekargalih
3
1
3
-
-
-
-
4
Cintamulya
3
2
1
5
Cisempur
1
2
6
1
-
-
6
Jatimukti
-
2
-
MDA (5)
-
-
-
7
Jatiroke
3
2
-
-
1
-
1
8
Hegarmanah
2
4
-
2
1
2
9
Cikeruh
3
4
2
-
-
1
10
Cibeusi
3
1
1
paud(2)
2
1
1
Paket C (1)
11
Cileleus
1
1
1
-
-
1
1
Pesantren (2)
12
Cilayung
2
1
2
Paud (1)
1
-
-
2
2
Pend.Keagamaan (7)
-
-
-
Paud (3)
-
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
2
Sawahdadap
3
Sukadana
1
2
-
4
Cihanjuang
7
5
-
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalih
-
-
-
-
-
-
-
1
2
-
3
3
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
7
TPA(6) Paud(2)
2
7
22
2
-
Tabel ……
No
Jumlah pemukiman kumuh (unit)
Luas Pemukiman kumuh (ha)
Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
Tahun
Tahun
Desa
2005 KECAMATAN JATINANGOR 1 Cipacing 70 2 Sayang 120 3 Mekargalih 4 Cintamulya 5 Cisempur 6 Jatimukti 873 7 Jatiroke 8 Hegarmanah 94 9 Cikeruh 10 Cibeusi 11 Cileleus 12 Cilayung KECAMATAN CIMANGGUNG 1 Mangunarga 61 2 Sawahdadap 3 Sukadana 28 4 Cihanjuang 5 Sindangpakuon 6 Sindanggalih 35
2006
2007
70 -
2008
64 -
2009
60
2005
54
2006
20
65 10000m2 44 975 979 981 987 40 1294 90 86 84 82 0.329 1417 -
-
-
-
-
75
58
55
14
12
9
-
30
30
43 1640m2 6 -
31
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
2007
187
2008
16
2009
15
15
900m2 700m2 600m2 -
0.25 0.2324 40 40 40 40 186 0.315 0.301 0.294 0.287 60 1,6 ha
1 -
-
30 -
-
2005
2006
2007
2008
2009
30 42 46 ha ha 35 35 -
27
27
27
30 ha 35 -
33 ha 35 -
28 -
30
280
800m2 600m2 200m2 1,57 ha
1 500m2 200m2 200m2 -
-
-
23
15
10
35 -
265
2.5 ha
2,5 ha
2.5
15
15
15
12
-
268
15 -
-
20 263
271 3 ha
-
12
12
12
Tabel ……
No
KECAMATAN JATINANGOR 1 Cipacing 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sayang Mekargalih Cintamulya Cisempur Jatimukti Jatiroke Hegarmanah Cikeruh Cibeusi Cileleus Cilayung
Jumlah kejadian kebakaran (kali/tahun) Tahun
Tingkat Polusi/Pencemaran
Desa Tinggi/Jenis
Sedang/Jenis
Rendah/Jenis
2005
2006
2007
2008
2009
-
kendaraan pabrik asap industri
-
-
-
-
-
-
polusi udara serapan limbah industri
-
-
1 -
2 -
-
-
-
sampah dan asap kendaraan -
-
1
-
-
-
-
polusi udara hasil pembakaran batu bara
-
-
-
-
-
-
-
2 -
1 -
pencemaran lingk asap batu bara polusi udara -
Asap kendaraan
Kotoran ternak sapi -
KECAMATAN CIMANGGUNG 1 Mangunarga 2 Sawahdadap 3 Sukadana Debu dari perusahaan 4 Cihanjuang 5 Sindangpakuon 6 Sindanggalih -
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
24
Tindak Kejahatan yang Pernah Terjadi No
Desa
Tahun 2005
KECAMATAN JATINANGOR 1. Cipacing Curanmor curanmor(3), pencurian di rumah (3), asusila(1), bunuh diri(0), 2. Sayang narkoba(3), perjudian(1), perkelahian(1), penipuan(1) 3. Mekargalih Pencurian 4.
Cintamulya
5. 6. 7.
Cisempur Jatimukti Jatiroke
8.
Hegarmanah
9. 10. 11. 12.
Cikeruh Cibeusi Cileleus Cilayung
2006
2007
2008
2009
-
-
-
-
(5,0,2,0,2,1,2,1) (8,0,3,0,3,1,1,4) (6,0,5,1,4,2,2,3) 1
1 Curanmor (8), pencurian HP (12)
Pencri(6), Pembnhn(), penipuan(6) Pencurian motor (4) curanmor, pencurian hewan ternak, pencurian tabung gas, penipuan dan pencopetan Pembongakaran (1), curanmor (0) curanmor Pencurian ternak (1)
(9,2,4,1,4,1,2,2)
(7,0,4)
(7,0,5) Penc mobil
(8,0,5)
(10,1,6)
(1,0)
(0,1)
(0,2)
(9,2) 5
1
1
1
1
Curanmor
4
3
3
2
Pencurian, Perkelahian Pemuda (2,1 ) -
(3,0) -
(2,2) -
(1,0) -
(2,1) -
-
-
-
-
-
KECAMATAN CIMANGGUNG 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mangunarga Sawahdadap Sukadana Cihanjuang Sindangpakuon Sindanggalih
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
25
Tabel…… Mata Pencaharian Penduduk No
Desa
PNS 2005
2006
TNI
2007
2008
2009
253
259
270
103
105
105
2005
2006
20
21
POLRI
2007
2008
2009
160
185
210
24
26
26
2005
2006
30
34
Swasta
2007
2008
2009
45
49
54
37
39
48
2005
2006
693
703
Petani
2007
2008
2009
1454
1620
1810
715
719
723
2005
2006
97
99
2007
2008
2009
126
119
110
100
103
105
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
2
Sayang
3
Mekargalih
4
Cintamulya
5
Cisempur
6
Jatimukti
7
Jatiroke
8
Hegarmanah
87
99
59 21
130
26
130
30
130
35
35
56
67
130
130
4 15
15
15
18
20
6
6
10 12
12
12
12
14
10
10
881 2015
2095
3156
3262
3780
464
524
10 115
98
75
75
75
54
50
30
32
35
37
39
9
10
11
12
15
470
471
473
475
480
481
485
488
490
493
4
5
7
7
7
5
5
5
6
6
18
18
18
18
18
160
165
175
180
185
745
758
767
787
791
15
18
25
31
31
12
12
14
16
16
721
741
734
738
731
157
159
171
166
166
97
101
103
107
112
438
441
413
427
438
217
235
248
255
258
4
5
412
412
94
94
9
Cikeruh
10
Cibeusi
11
Cileleus
50
3
4
400
441
12
Cilayung
47
-
1
375
830
2600
2600
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
63
66
73
2
Sawahdadap
3
Sukadana
-
-
-
4
Cihanjuang
-
-
-
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalig
85
-
90
75
22
23
45
49
55
7
7
9
11
84
27
27
13
21
75
10
13
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
13
-
-
2
4
-
3
4
-
6
5
-
1147
7
19
15
15
6
8
-
2
26
1539
1861
2000
2600
66
69
75
81
95
1
4
6
11
421
514
617
781
788
3950
3950
1334
1334
3
3
734
765
2
2
351
395
459
Tabel …… MATA PENCAHARIAN PENDUDUK No
Desa
PNS 2005
2006
87
99
Pedagang 2007
2005
2006
390
399
Buruh
2007
2008
2009
595
605
625
419
422
427
2005
2006
330
419
Dokter
2007
2008
2009
1600
1625
1785
427
430
438
Pensiunan
2005
2006
2007
2008
2009
2005
2006
2007
2008
2009
3
3
3
3
3
73
76
79
84
87
KECAMATAN JATINANGOR 1
Cipacing
2
Sayang
3
Mekargalih
4
Cintamulya
5
Cisempur
6
Jatimukti
7
Jatiroke
8
Hegarmanah
253 103
193 21
26
130
30
130
130
455
497
504
625
715
206
231
336 97
78
50
50
50
78
78
48
49
51
54
58
310
313
315
317
321
405
405
405
410
410
405
405
405
410
410
79
76
68
63
51
1375
1381
1437
1438
1451
233
246
265
287
323
118
123
127
127
131
153
153
63
63
9
Cikeruh
10
Cibeusi
11
Cileleus
200
408
12
Cilayung
550
1800
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
KECAMATAN CIMANGGUNG 1
Mangunarga
63
66
73
2
Sawahdadap
3
Sukadana
-
-
-
4
Cihanjuang
-
-
-
5
Sindangpakuon
6
Sindanggalig
654
687
725
980
1085
606
636
676
710
740
102
241
202
303
109
71
88
98
103
109
109
109
2817
2817
567
750
1323
1379
451
462
527
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
1233
1252
1301
-
-
27
-
-
-
-
-
-
-
-
NOTULENSI DISKUSI PUBLIK RENCANA STUDI KELAYAKAN KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR
Jatinangor, 13 Oktober 2009
Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan terlebih dahulu disampaikan Laporan Panitia Pengelenggara, Sambutan Camat Jatinangor, Sambutan dari Ketua DPRD Kabupaten Sumedang, dan penyampaian sepintas pandangan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumedang terkait Studi Kelayakan Kawasan Perkotaan Jatinangor dan Sambutan Bupati Sumedang.
Pelaksanaan diskusi publik dipandu oleh Drs. Herman Suryatman, M.Si. (Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Bappeda Kab. Sumedang).
Sekilas Pandang dari Perwakilan Masyarakat Jatinangor yang disampaikan oleh Bapak Warson (Kepala Desa Jatinangor).
Jatinangor adalah penyumbang PAD terbesar bagi Kabupaten Sumedang.
Segenap komponen pemerintahan desa akan mendukung upaya yang dilakukan pemerintah terhadap Jatinangor selama 2 tujuan utamanya dapat diperjuangkan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Pubik dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
SESI TANYA JAWAB:
Bp. Dudi Supriadi: Politicall Will pemerintah sudah ada, tinggal Politicall Action;
Kalau melihat Tata Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor bukan merupakan kawasan perkotaan.
Jatinangor merupaka PKL Perdesaan.
Perencanaan di Jatinangor sangat kacau.
Bapak
Odang
(Tokoh
kesehatan lingkungan,
Masyarakat sampah
Cipacing): Masalah pemeliharaan
(limbah) dan air bersih agar
lebih
diperhatikan dalam studi ini.
Masalah keamanan juga harus dipersiapkan sedini mungkin.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
28
Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kedepan agar dikembangkan desa wisata budaya di Jatinangor.
Atep Somantri : esensi diskusi publik pada kesempatan hari ini pada dasarnya belum sampai kepada kesimpulan. Kawasan Jatinangor kami pandang layak menjadi kawasan perkotaan.
Bapak Endin: Pelayanan pemerintah kepada masyarakat Jatinangor sangat minim. Padahal Jatinangor merupakan penyumbang PAD terbesar. Yang diperlukan saat ini adalah bukti nyata itikad Pemerintah Kabupaten Sumedang untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Jatinangor.
Dede Rohanda (Cintamulya): program saat ini terkesan dipaksakan karena mengantisipasi berbagai isu yang terkait dengan Jatinangor.
Konsistensi dari agenda yang dilaksanakan pada hari ini bagaimana.
Tatang (LPM Hegarmanah) : secara nomen klatur saat ini di Jatinangor masih desa belum kelurahan, tapi pada dasarnya kami mendukung pengembangan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan.
Bapak Aoh (Kabag Tapem): Kawasan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan merupakan desakan kehendak masyarakat. Semangat ini murni merupakan usulan dari masyarakat (Buttom Up).
Perlu ada dukungan politik
dari semua pihak, sehingga
semangat
pembentukan Jatinangor menjadi kawasan perkotaan tidak dikecilkan.
Bapak Edi Askari (DPRD): segenap stakeholder harus dilibatkan. Output dari kegiatan
ini
diharapkan
memunculkan
beberapa
rekomendasi
bagi
Pemerintah daerah untuk pengembilan kebijakan selanjutnya. Sekiranya hasil studi menyatakan Jatinangor layak menjadi kawasan perkotaan, karakteristik seperti apa yang tepat bagi Jatinangor.
Bapak Ismet : Apakah peserta diskusi publik sudah terwakili pada acara ini sehingga segenap komponen masyarakat memahami.
Hendrik Kurniawan (DPRD): Pada dasarnya masyarakat tidak peduli dengan bentuk pemerintahan/pengelolaan kawasan yang seperti apa, tapi yang penting
adalah
bagaimana
kualitas
pelayanan
kepada
masyarakat
ditingkatkan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Semangat mewujudkan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan jangan melenceng dari 2 esensi utama yang telah disebutkan diatas.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
29
TANGGAPAN NARASUMBER
Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang: Menurut pola ruang pada Tata Ruang Provinsi Jawa Barat, Jatinangor merupakan Kawasan Strategis.
Pada akhirnya seandainya Jatinagor dinyatakan layak menjadi kawasan perkotaan, selanjutnya pasti akan ditetapkan dan diatur melalui peraturan Daerah, tapi terlebih dahulu harus ada studi kelayakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kegiatan yang dilaksanakan pada hari ini bukan merupakan program yang muncul tiba-tiba, tapi merupakan rangkaian dari upaya perjuangan masyarakat Jatinangor pada waktu-waktu sebelumnya.
Komitmen yang dibuat pemerintah harus dibarengi dengan kesiapan masyarakat.
Prof. Sadu: Tidak seluruh wilayah Jatinagor masuk kedalam kawasan perkotaan, dan tidak semua kawasan wilayah Cimanggung masuk kedalam kawasan perkotaan.
Pertemuan ini baru pada tahapan mengeksplorasi berbagai masukan dari segenap komponen masyarakat, sedangkan pembentukan badan pengelola kawasan perkotaan merupakan tahapan selanjutnya setelah mengkaji dan menganalisa data yang ada dikaitkan dengan berbagai alternatif solusi yang dimunculkan.
Untuk menuju daerah otonom masih jauh, sekarang bagaimana caranya kawasan perkotaan ini dapat dimanaj lebih optimal.
Konsep kawasan perkotaan jatinangor akan menjadi percontohan kebijakan nasional.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
30
NOTULENSI MUSYAWARAH PERENCANAAN KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR Jatinangor, 14 Desember 2009
Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dibuka langsung oleh Bapak Wakil Bupati Sumedang.
Acara dihadiri oleh Anggota DPRD Kabupaten Sumedang terutama dari Dapil I, Pimpinan OPD se Kabupaten Sumedang, tokoh masyarakat, tokoh prmuda dan organisasi masyarakat di Jatinangor
LaPORAN paNITIA DISAMPAIKAN OLEH Kabid Pemsos Bappeda Kabupaten Sumedang
Sambutan dari DPRD Kabupaten Sumedang disampaikan oleh Bapak Otong Dartum (Anggota DPRD dari Dapil I): DPRD Kabupaten Sumedang siap mendukung tindak lanjut musyawarah perencanaan Kawasan Perkotaan Jatinangor dari sisi politik.
Sambutan Bupati Sumedang disampaikan oleh Bapak Wakil Bupati Sumedang SESI PAPARAN NARASUMBER:
Paparan pertama disampaikan oleh Prof.Dr. Sadu Wasistiono terkait hasil studi yang telah dilaksanakan terkait Kawasan Perkotaan Jatinangor.
Paparan kedua disampaikan oleh Ir. Ober Tua Butarbutar
Paparan ketiga disampaikan oleh Bapak H. Idam Rahmat (Kepala Bidang Pemerintahan Bappeda Provinsi Jawa Barat)
Kawasan Jatingangor dilihat dari tata ruang provinsi Jawa Barat merupakan kawasan spesifik, sehingga dalam perkembangannya harus memperlihatkan ciri-ciri spesifik sebagaimana dimaksud.
Rencana
pengaktifan
jalur
kereta
apai
akan
turut
mempengaruhi
perkembangan kawasan Jatinangor.
Pengembangan daerah di jawa akan lebih relefan diterapkan konsep pengembangan fungsional daripada pengembangan administratif.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
31
SESI DISKUSI:
D. Rahmat (tokoh masyarakat): Usulan Namanya tetap jatinangor hanya ditambahkan Kota Mandiri Jatinangor
Jatinangor diharapkan jadi tujuan objek wisata berbasis budaya lokal
Bapak Ismet Suparmat: Jatinangor menjadi korban produk perundangundangan yang ada.
Hari ini merupakan hari yang ditunggu2 masyarakat Jatinangor karena akan menentukan langkah kedepan.
Ingin adanya konsistensi perencanaan
Berkenaan dengan alternatif : nama kawasan perkotaan jatinangor, lingkup cukup 2 kecamatan dulu.
Peran provinsi Jabar merlu lebih proaktif dalam mendorong pembentukan kawasan perkotaan Jatinangor.
LPM Desa Hegarmanah: ada ketidak konsistenan dari pihak pemerintah
Perlu ada koordinasi lontas sektor
Perlu ada berbagai upaya antisipasi terkait rencana pengembangan kawasan Jatinangor.
Kadarrohim (Desa Sayang): Harus ada kejelasan kapan target minimal kawasan Jatinangor dapat terwujud.
Rencana kedepan, mungkinkah Jatinangor jadi daerah otonom baru?
Bapak Saepudin (DPRD Kab. Sumedang): perjalanan Jatinangor selama ini sangat memperihatinkan bagi masyarakat Jatinangor, sehingga muncul berbagai isu daerah otonom.
Tujuannya
bagaimana
kesejahteraan
masyarakat
Jatinangor
dapat
ditingkatkan, infrastruktur harus ditingkatkan.
Etos kerja harus ditingkatkan.
Sebagian masyarakat Jatinangor masih mengelola pertanian.
Masalah lingkungan harus menjadi perhatian .
Masalah tenaga kerja hendaknya juga dapat ditanggulangi dengan adanya konsep pengembangan kawasan perkotaan.
Komitmen dunia usaha harus difasilitasi pemerintah dalam upaya turut mengembangkan kawasan perkotaan Jatinangor.
DPRD siap memfasilitasi pembentukan PERDA terkait pengembangan kawasan Perkotaan Jatinangor.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
32
Tim Ahli: dari sisi tata ruang konsistensi keberadaan kawasan Jatinangor sebagai kawasan Pendidikan sudah jelas.
Data sebagai bahan kajian diperoleh dari pendataan langsung maupun dari data-data sekunder yang diambil dari instansi atau lembaga terkait.
Pa Ober Tua Butarbutar: kawasan perkotaan harus dapat mempertimbangkan kondisi desa-desa di sekitarnya.
Perlu ada penyusunan Rencana Detail Kawasan Perkotaan Jatinangor
Sebagian besar fungsi pengendalian ruang adalah ada di DPRD
Bappeda harus memfasilitasi dan mengoordinasikan integritas perencanaan di Kabupaten Sumedang.
Pa Idam Rahmat: Pemprov mulai tahun depan akan mengawal secara intensif terkait kawasan perkotaan Jatinangor ini.
Selain itu terkait Jatinangor, pemprov akan memperhatikan perkembangan sekitar daerah perbatasan.
Awali dengan konsolidasi Renstra SKPD di Kabupaten Sumedang.
Harus ada wakil-wakil khusus yang mengawal upaya akselerasi pembentukan kawasan perkotaan Jatinangor pada musyawarah-musyawarah perencanaan, baik pra musrenbang musrenbang wilayah priangan maupun musrenbang provinsi dan Nasional.
Keseriusan Pemda Sumedang dalam mengembangkan kawasan perkotaan Jatinangor akan terlihat pada RKPD 2010.
SESI FGD (BIDANG PEMERINTAHAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH)
Diskusi dipandu oleh Pa Warson
Hasil kajian dinyatakan bahwa Kawasan Jatinangor layak untuk dikembangkan menjadi Kawasan Perkotaan (type sedang)
Peran serta masyarakat termasuk berbagai sumbangan pemikiran segenap komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya kawasan Perkotaan Jatinangor.
Pa Jayadi (warga Sukasari): Lingkup kawasan alternatif I hanya Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, sementara Alternatif II melibatkan Jatinangor, Cimanggung, sebagian Tanjungsari dan sebagian Sukasari.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
33
Banyak potensi di Kecamatan Sukasari mulai dari Bumi perkemahan, tempat diklat, tapi mengapa desa Sindangsari di Kec. Sukasari yang berbatasan dengan Cibeusi tidak masuk kedalam rencana kawasan.
Pengelola LPP sebaiknya merepresentasikan cakupan wilayah, sementara untuk koordinator bisa dari Jatinangor.
Pembagian kewenangan LPP harus Jelas, untuk sementara dalam tahap penyesuaian sebaiknya dikelola oleh birokrat baru kemudian diserahkan ke LPP sepenuhnya.
Bp. H. Deden : secara umum kami menerima hasil kajian, namun yang menjadi perhatian adalah cakupan wilayahnya.
Dengan terwujudnya kawasan perkotaan, sebagiknya ada wilayah tertentu sebagai pusat perkantoran yang terintegrasi.
Perlu dikembangkan ruang publik yang terbuka.
Menurut PP 34 psl 7 ayat 2............... supaya lebih terbuka dimana masyarakat lebih leluasa memberikan masukan sebaiknya yang dibentuk adalah LEMBAGA PENGELOLA. Masalahnya bagaimana cara memilih orangorangnya yang diterima masyarakat, mempunyai integritas, dan mencintai kawasan tersebut.
Komitmen disiplin waktu harus benar-benar ditegakkan dan harus diberikan keteladanan dari pemimpin.
Pa Nia (Cimanggung): Nama yang akan dipakai harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ada baiknya nama Cimanggung dapat terwakili.
Dalam membentuk organisasi pemerintahan jangan asal-asalan.
Keberadaan Pemerintahan Desa (SDM pemerintah desa) harus lebih dimantapkan sebelum kawasan perkotaan benar-benar terbentuk.
Perlu dipertimbangkan seandainya kawasan perkotaan melibatkan 5 desa di Cimanggung, bagaimana upaya memfasilitasi 6 desa lainnya yang tidak masuk kawasan seandainya muncul ”kecemburuan”.
Sudah mampukan pemda Sumedang mewujudkan Kawasan Perkotaan baik dari segi APBD, regulasi
Adang Rukmana (Ketua BPD Kutamandiri-Tanjungsari): bagaimana Tupoksi Lembaga Pengelola sehingga tidak tumpang-tindih dengan kewenangan kecamatan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
34
Tanjungsari agar masuk ke dalam kawasan perkotaan Jatinangor.
Kutamandiri (Tanjungsari) yang letaknya di tengah, tapi tidak masuk kedalam kawasan perkotaan.
Tokoh Masyarakat Sukasari: minta kejelasan batas wilayah, saat ini batas sebagian desa di Sukasari dengan desa di Jatinangor ada yang belum jelas.
Jatinangor saat ini adalah kota yang dipaksakan sehingga pertumbuhan kawasan pendidikan tidak seimbang dengan pertumbuhan industri.
Di Sindangsari ada tempat diklat, LAN, Bumi perkemahan yang sangat terkenal tapi mengapa tidak masuk kedalam rencana wilayah kawasan perkotaan.
Untuk nama sangat cocok menggunakan Jatinangor.
Perguruan tinggi di Jatinangor harus menciptakan SDM terampil yang siap pakai.
Pa Warson: pembentukan wilayah suatu kawasan jangan sampai terhalang oleh wilayah lain yang tidak masuk kedalam kawasan.
Pembentukan Kawasan tidak akan merubah sisi administratif wilayah Kecamatan masing-masing.
Payung hukum di 2010 harus sudah terbentuk dalam bentuk Perda.
Pa Mahri: ”Palias Laas ku Mangsa” & Sumedang Kota Budaya
Fenomena yang ada di masyarakat sekarang ini tidak bisa dicegah. Kondisi saat ini merupakan salah satu kelalaian birokrat Sumedang.
Yang dibutuhkan saat ini adalah pemerintahan yang bersih, berwibawa, fleksibel dan kapabel.
Pertambahan penduduk saat ini melahirkan konsekwensi harus adanya perluasan wilayah kawasan.
Kondisi wilayah kawasan saat ini sangat heterogen.
Upaya harus dilakukan secara bertahap tetapi target harus jelas
Pa Rohim (Jatinangor): Lembaga yang akan jadi Pengelola harus lembaga husus
Pengelola harus betul-betul warga kawasan, jangan ada warga susupan sebagai sayarat minimal
Harus ada yang mengawal mulai dari eksekutif sampai ke legislatif
Layanan kepada masyarakat harus lebih baik daripada sebelum adanya kawasan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
35
Pa Edi Wahyudin (BPD Jatisari-Tanjungsari): Menurut pertimbangan kami, masih banyak desa-desa yang layak masuk kawasan perkotaan.
Dilihat dari transportasi dan berbagai gambaran masalah yang ada secara umum hampir sama dengan Jatinangor.
Apakah ststus desa-desa yang masuk kawasan perkotaan menjadi berubah?
Pa Atep (Ormas Paguyuban Masy. Jatinangor): kawasan yang akan dibentuk adalah kawasan perkotaan dalam lingkup Kabupaten Sumedang.
Keterlibatan beberapa desa di Luar Jatinangor tentu akan memunculkan konflik di kecamatan tersebut.
Tanpa kajianpun Jatinagor layak jadi kawasan perkotaan.
Forum Masyarakat Perkotaan selama ini tidak disebut-sebut, padahal merupakan unsur penting selain LPP.
Pa Nia: Desa Cikahuripan layak masuk kawasan perkotaan karena ada kompleks industri. Desa yang masuk kawasan sebaiknya jadi kelurahan.
Harus ada validasi data
Harus ada pemisahan kewenangan antara pemerintah kecamatan dan LPP.
Payung hukum LPP harus jelas.
Partisipasi
semua
stakeholders
harus
terakomodir
melalui
peraturan
perundangan yang berlaku.
Hasil pembahasan ini harus di sosialisasikan ke masing-masing wilayah.
Pa Warson: perlu ada dukungan tokoh-tokoh masyarakat lintas kecamatan untuk mendukung dan mengawal percepatan pembentukan kawasan perkotaan.
Kawasan perkotaan tidak bertentangan dengan UU tapi justru dilindung UU.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
36
REKAPITULASI PERMASALAHAN DAN USULAN/SARAN PESERTA MUSYAWARAH PERENCANAAN KAWASAN PERKOTAAN JATINANGOR BIDANG SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
NO
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
USULAN SOLUSI
1
Penduduk Jatinangor yang mayoritas petani akan terkena dampak negatif pengembangan kawasan perkotaan Jatinangor
Antisipasi kebijakan yang dapat melindungi masyarakat petani Jatinangor
2
Masalah pengelolaan sampah
Perlu menetapkan TPA, penanganan sampah, teknologi daur ulang
3
Ada kawasan kritis bekas perkebunan di bagian utara Jatinangor termasuk desa Cileles , potensial menjadi penyebab banjir di Jatinangor
Konservasi , penghijauan kembali lahan kritis
4
Kekurangan air bersih
5
Pengangguran masyarakat lokal
6
Desa Sindang Sari Manglayang timur akan kena dampak sebagai areal wisata seperti Dago nya Bandung
Antisipasi kebijakan di bidang pariwisata
7
Kekuarangan air bagi kegiatan pertanian akibat akibat eksploitasi besar-besaran bagi pasokan ke kawasan perkotaan Jatinangor
Perlu mencari dan memanfaatkan sumber-sumber air di tempat lain
8
Hilangnya kepribadian, krisis multi dimensi, penjajahan kultur lokal
Perlu Langkah-langkah operasional untuk pelestarian budaya local dan budayawan diberdayakan
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
a. Konservasi daerah tangkapan air b. Pemanfaatan sumber air selain di kawasan utara c. Pembuatan sumur artesis d. Pembuatan sumur resapan Perlu regulasi tentang proporsi rekruitmen tenaga kerja lokal dan pendatang
38
NO 9
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
USULAN SOLUSI
Usaha-usaha kecil/warung sepanjang jalan di Jatinagor menjadi mati/kalah bersaing oleh toko-toko swalayan
Perlu kebijakan yang dapat melindungi pengusaha-pengusaha kecil dan pembatasan berkembangnya toko-toko swalayan/pasar modern
10
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
11
Perkembangan kota ke arah kota yang semrawut
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
Pemilihan pemimpin Kawasan Perkotaan Jatinangor yang memiliki sifat kepemimpinan, perlu persyaratan cageur, bageur, bener, pinter; sidik, amanah, fatonah, tabligh)
Ketertiban dan keindahan kota libatkan peran serta masyarakat
39
WAWANCARA TOKOH MASYARAKAT
Nara Sumber: Drs. Nandang/Penggiat Forum Jatinangor 1.
Apakah
perkembangan/perencanaan
Jatinangor
dari
tahun
ke
tahun
sudah
mengakomodasi asprirasi masyarakat? Munculnya permintaan Jatinangor untuk dijadikan sebagai kawasan perkotaan ataupun sebagai Kota administratif (dulu) semuanya berasal dari usulan/keinginan masyarakat. Selama ini ’pergerakan’ masyarakat Jatinangor memang berasal dari bawah (grass root, red) yang sama sekali tidak digerakkan oleh kekuatan ’atas’ ataupun dikendalikan oleh kalangan tertentu. Keinginan masyarakat jatinangor memang didasari oleh aspirasi dan keinginan murni masyarakat Jatinangor. Keinginan menjadikan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan sebetulnya mempunyai sejarah panjang dan bukan hanya timbul pada saat ini saja. Pada pertemuan di IKOPIN (public hearing mengenai Pembentukan Kawasan Perkotaan Jatinangor yang diselenggarakan Bappeda Kab. Sumedang tanggal 13 Oktober 2009) terlihat bahwa pertemuan dihadiri oleh penduduk asli dan terlihat bahwa keinginan mereka sudah begitu kuat untuk melakukan perubahan di Jatinangor.Pertanyaan ini dapat terjawab apabila melihat bagaimana antusiasme masyarakat Jatinangor terhadap kajian yang dilakukan oleh IPDN, tidak ada lagi keraguan bahwa selama ini perkembangan Jatinangor selalu didasari oleh keinginan/suara rakyat.Forum Jatinangor mempunyai rekaman data-data otentik tentang aspirasi masyarakat terhadap pembangunan Jatinangor dan apa yang seharusnya dirasakan oleh penduduk asli.
2.
Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat
Munculnya Forum Jatinangor merupakan bukti bahwa masyarakat Jatinangor mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan/pembangunan wilayah Jatinangor. Kami menyadari bahwa sejak jatinangor dijadikan sebagai kawasan pendidikan, secara perlahan namun pasti Jatinangor mengalami perubahan yang sangat berarti.Di satu sisi terlihat Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
40
perkembangan fisik yang jauh berbeda dengan Jatinangor masa lalu namun di sisi lain kehadiran PT di jatinangor tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat Jatinangor sebagai penduduk asli. Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara penduduk asli dengan pendatang yang diakibatkan karena SDM penduduk asli yang masih rendah. Oleh karena itu Forum jatinangor dibentuk sebagai upaya untuk menjembatani penduduk asli agar dapat memperoleh dampak posistif terhadap pembangunan Jatinangor.Forum Jatinagor merupakan institusi yang digagas oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan (terutama sosial-budaya-ekonomi)masyarakat Jatinangor. Institusi ini berupaya untuk menyerap aspirasi masyarakat
agar suara masyarakat mempunyai
kekuatan tawar (bargaining position, red) yang kuat. Kalaupun kemudian forum Jatinangor tidak begitu berperan aktif di akhir-akhir tahun ini, itu menunjukan bahwa masyarakat Jatinangor sudah semakin berdaya dan mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk menggalang aspirasi masyarakat secara langsung.
3.
Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota yang diharapkan?
Tidak banyak permintaan masyarakat terhadap pemerintah, karena masyarakat Jatinangor memahami keterbatasan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Sumedang, masyarakat Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari Pemkab Sumedang terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan Masyarakat. Dan apabila PemKab Sumedang tidak mempunyai kemampuan untuk itu maka Masyarakat jatinangor hanya minta difasilitasi sesuai kewenangan yang dimiliki Pemerintah agar Masyarakat lebih berdaya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh Jatinangor. Hadirnya PP No 34 Tahun 2009 menjadi momentum yang tepat bagi PemKab Sumedang sekaligus sarana bagi masyarakat Jatinangor untuk mewujudkan keinginan yang telah lama diharapkan. Apabila aturan ini bisa dimanfaatkan dengan baik makan akan menghasilkan solusi yang sama-sama menguntungkan
bagi
Sumedang.Sebetulnya
masyarakat masyarakat
Jatinangor Jatinangor
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
maupun tidak
Pemerintah begitu
perduli
kabupaten dengan 41
format/kelembagaan yang akan nanti dihasilkan dari kajian ini, yang penting bagi mereka adalah, masyarakat Jajtinangor dapat menikmati pembangunan yang giat dilakukan di jatinangor, masyarakat Jatinangor tidak terpinggirkan dan hanya jadi penonton dari gegap gempita pembangunan di Jatinangor. Harapan utama dari pembentukan kawasan Perkotaan jatinangor adalah: Peningkatan pelayanan publik (air, sampah, drainage) dan tata kawasan Jatinangor yang semakin semrawut. Dan yang lebih penting adalah peningkatan kesejahteraan Masyarakat jatinangor agar tidak terpinggirkan dan mendapat keuntungan positif dari pembangunan yang dilakukan di Jatinangor. 4.
Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?
Apabila dulu, masyarakat Jatinangor dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, maka dapat dilihat sekarang bahwa hal itu sudah berubah. Kawasan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan telah mengubah pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Banyak penduduk asli jatinangor yang tergusur ke daerah pinggiran karena pembangunan fisik yang hebat di Jatinangor, mereka adalah penduduk yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi perkembangan Jatinangor. Di masa depan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi semoga Masyarakat Jatinangor mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk mengimbangi setiap kemajuan/pembangunan di Jatinangor. 5.
Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi dan pengaruhnya
Apabila pengrajin Cipacing masa lalu masih menjual produk di lokasi usaha, maka sekarang pengrajin Cipacing memperluas wilayah pemasaran sampai ke Pulau Bali. Dan ada juga yang sudah memanfaatkan kemajuan Iptek dengan melakukan order melalui pesanan telepon. Itu semua disebabkan karena pengaruh kehadiran PT dan pendatang serta budaya mahasiswa yang akrab dengan kemajuan zaman di Jatinangor yang secara perlahan memberi dampak positif terhadap iklim usaha di Jatinangor. 6.
Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
42
Ini yang masih harus ditingkatkan karena tingkat pendidikan masyarakat penduduk jatinangor relatif masih rendah, masyarakat yang berpendidikan tinggi adalah masyarakat usia muda yang mempunyai orang tua yang mengerti terhadap pendidikan. Sekarang sudah banyak terlihat masyarakat Jatinangor usia muda mempunyai pekerjaan di luar pekerjaan agraris maupun pekerjaan tidak terdidik (mayoritas sebagai ojeg), namun itu masih perlu ditingkatkan agar masyarakat Jatinangor mampu bersaing sebagaimana masyarakat pendatang.
Nara Sumber: Drs. Ismet/Mantan Ketua DPRD Kab Sumedang 2009-2014 1.
Apakah
perkembangan/perencanaan
Jatinangor
dari
tahun
ke
tahun
sudah
mengakomodasi asprirasi masyarakat? Iya, Masyarakat Jatinangor mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain, apakah dalam bentuk lembaga resmi seperti forum Jatinangor atau dalam bentuk hubungan informal sebagai upaya untuk saling berbagi dan bertukan informasi terhadap perkembangan Jatinangor. Dibandingkan dengan daerah lain, hubungan masyarakat Jatinangor jauh lebih kental dan dekat karena mempunyai keinginan yang sama. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang datang ke rumah (pada saat wawancara juga terlihat beberapa orang yang datang ke rumah nara sumber dan dipersilahkan menunggu sampai wawancara usai)untuk sekedar bertanya dan berdiskusi tentang berbagai hal.Apabila dulu, hubungan antar masyarakat diwadahi oleh Forum jatinangor, maka sekarang masyarakat Jatinangor sudah lebih maju dan mandiri sehingga forum lebih banyak dilakukan secara informal tapi dengan hubungan yang jauh lebih erat, karena merasa senasib sepenanggungan. 2.
Selama ini langkah apa yang dilakukan untuk merangkul masyarakat
Sebagai salah satu wakil masyarakat yang ’ditua kan’ pintu rumah selalu terbuka lebar dan selalu memberikan waktu untuk masyarakat apabila ada yang ingin bertanya atau hanya sekedar silaturahmi. Aspirasi masyarakat Jatinangor selalu dibawa ke forum yang resmi agar mendapat perhatian yang lebih luas. Di luar itu, masyarakat sendiri secara mandiri Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
43
melakukan beberapa upaya sebagai bentuk penyampaian aspirasi masyarakat di tingkat daerah bahkan sampai ke tingkat nasional. 3.
Apa harapan masyarakat dari pembentukan kawasan Perkotaan Jatinangor?/fungsi kota yang diharapkan?
Masyarakat Jatinangor hanya ingin mendapat perhatian yang lebih layak dari pemerintah. Walau masih ada ketidakmengertian masyarakat terhadap arti ’Kawasan Perkotaan’ karena masih banyak yang beranggapan bahwa Jatinangor akan menjadi Kota otonom (banyak masyarakat yang memanggil Pak Ismet sebagai walikota,red) tapi pada dasarnya Masyarakat jatinangor ingin merasakan dampak pembangunan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.Dari dua belas desa di kecamatan jatinangor diharapkan semuanya masuk ke kawasan perkotaan karena perjuangan ini merupakan perjuangan bersama seluruh masyarakat Jatinangor. 4.
Bagaimana harapan terhadap perubahan perilaku masyarakat?
Apabila studi tentang Kawasan perkotaan Jatinangor disetujui, diharapkan masyarakat akan jauh lebih perduli dan semakin meningkatkan pasrtispasinya terhadap pembangunan di Jatinangor. Karena apabila ini disetujui maka maju dan tidaknya Jatinangor sangat ditentukan oleh masyarakat Jatinangor sendiri. 5.
Sejarah pertumbuhan kerajinan cipacing,kawasan industri, munculnya perguruan tinggi dan pengaruhnya
Pada awalnya, masyarakat hanya mendapatkan keuntungan dari menyediakan fasilitas pendukung mahasiswa (pondokan, warung nasi, ojeg, toko kelontong dan rental komputer) itu pun dalam kondisi yang sangat sederhana, ada juga penduduk asli yang pindah ke pinggiran karena tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan jatinangor. Oleh karena itu masyarakat jajtinangor berharap bahwa pembangunan akan lebih membawa kesejahteraan kepada penduduk asli dan tidak kalah oleh pendatang. 6.
Bagaimana kemampuan penduduk menguasai lapangan kerja yang berbasis Iptek?
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
44
Masih perlu peningkatan karena belum banyak penduduk asli yang mengerti Iptek dan memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Walaupun sekarang ini banyak kemajuan yang dialami oleh penduduk asli, tapi belum merata. Dan ini yang perlu dilakukan yaitu peningkatan kualitas SDM Jatinangor di bidang pendidikan.
Studi Kelayakan Kawasan Jatinangor sebagai Kawasan Perkotaan
45