37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakteristik dari bahan baku sangat menentukan kualitas dari produk enbal ikan layang yang dihasilkan.
Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian
terhadap sifat bahan baku ikan layang segar, tepung ikan dan tepung enbal. Analisis yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia. 4.1.1 Ikan Layang Analisis kimia terhadap daging ikan layang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein dan lemak), TVB, dan TPC. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan, komposisi kimia awal daging ikan sebelum dilakukan pengolahan.
Hal ini mengingat bahwa
tingkat kesegaran dan komposisi kimia ikan akan sangat mempengaruhi mutu dan masa simpan enbal ikan. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan – perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan kerusakan pada ikan. Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa dan teksturnya (Nurjanah dan Abdullah 2010). Komposisi kimia ikan layang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik daging ikan layang Komposisi
Ikan layang
Air (%) Protein ( % ) Lemak ( % ) Abu (%) TVB (mg N/100g ) TPC (CFU/g)
72,67±0,18 22,96±0,12 0,83±0,03 2,00±0,05 13±1,41 ≤2,5x102
Tabel 5 menggambarkan ikan layang sebagai bahan baku mempunyai kualitas yang bagus.
Berdasarkan hasil komposisi kimia ikan layang yang
dihasilkan dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa ikan layang yang akan digunakan untuk penelitian tergolong ikan yang berprotein tinggi dengan kadar protein 22,96%. Kandungan protein pada ikan layang ini lebih tinggi dari kadar protein beberapa ikan pelagis lainnya yaitu ikan kembung dan ikan lemuru.
38
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Desniar et al. (2009), kadar protein ikan kembung sebesar 22.01% dan kadar protein pada ikan lemuru sebesar 20.36%
berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Hanifah
dan
Murdinah (1982). Kandungan protein pada ikan merupakan sumber asam amino dan juga dapat meningkatkan kekuatan gel pada daging ikan lumat (Suzuki 1981). Kandungan protein pada ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Faktor – faktor tersebut diantaranya genetik, umur, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, dan keadaan iklim (Haard 1995). Air merupakan komponen penyusun terbesar pada tubuh ikan.
Pada
penelitian ini, kandungan air pada ikan layang sebesar 72,67% dimana kadar air pada penelitian ini lebih besar dari ikan lemuru pada penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Murdinah (1982) sebesar 69,86% dan lebih kecil dari ikan kembung pada Desniar et al. (2009) sebesar 73,91%.
Hal ini dikarenakan
menurut Nybaken (1992), kandungan air dalam tubuh ikan mengalami peningkatan dengan meningkatnya kecepatan renang dan meningkatnya kedalaman. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral suatu bahan. Beberapa unsur mineral memiliki banyak manfaat bagi fungsi biologis tubuh manusia sedangkan yang lain seperti logam berat yang tidak mudah terurai dapat menjadi racun (Whithney dan Rolfes 2008). Hasil analisis kadar abu ikan layang sebesar 2,00%. Adanya perbedaan mineral pada makanan laut sangat berkaitan erat dengan perbedaan musim dan faktor biologis, area penangkapan, metode penangkapan, sumber makanan dan kondisi lingkungan (Erkan dan Ozden 2007). Lemak merupakan zat makanan yang sangat penting bagi manusia dan merupakan sumber energi yang dapat menyediakan energi sekitar 2,25 kali lebih banyak dari pada yang diberikan oleh karbohidrat (pati, gula) atau protein (Muchtadi 2009). Pada penelitian ini, kandungan lemak ikan layang sebesar 0,83%. Kandungan lemak ikan bervariasi sepanjang tahun, biasanya pada musim migrasi dan memijah kandungan lemak menurun dan akan naik lagi pada musim makanan banyak (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Departemen Kelautan dan Perikanan 2008).
39
Metode pengujian non sensoris yang umum digunakan untuk menentukan kesegaran ikan yaitu dengan mengukur total basah yang menguap (total volatil bases, TVB).
Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan nilai TVB
dikelompokan menjadi empat yaitu ikan sangat segar dengan kadar TVB 10 mgN/100g atau lebih kecil, ikan segar dengan keadaan TVB 10-20 mgN/100 g, ikan yang berada pada garis batas kesegaran ikan yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVB 20-30 mgN/100g dan terakhir ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVB lebih besar dari 30 mgN/100 g (Ferber 1965 diacu dalam Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Hasil analisis TVB ikan layang sebesar 13 mgN/100 g, berarti ikan masih berada pada tingkatan ikan segar. Jumlah mikroorganisme akan sangat menentukan mutu dari produk pangan. Jumlah mikroorganisme yang rendah menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dikatakan bermutu baik, segar dan aman dikonsumsi.
Pada penelitian ini
dilakukan analisis TPC pada ikan layang dengan total bakteri ≤2.5x102 CFU/g. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan standar jumlah total bakteri untuk ikan segar (SNI 01-2729-1992) yaitu 5 x105 CFU/g, sehingga ikan layang hasil tangkapan ini dapat dikategorikan menjadi ikan layang segar. 4.1.2 Tepung ikan layang Tepung ikan merupakan bahan pangan sumber protein dan asam amino berkualitas tinggi tergantung jenis ikan yang digunakan.
Pada prinsipnya
pembuatan tepung ikan adalah suatu proses pengeringan yang bertujuan untuk mendapatkan tepung berkadar air hingga 10% sehingga produk tetap stabil dan terbebas dari pertumbuhan bakteri dan penguraian enzim (Buckle et al. 2007). Tahap pembuatan tepung ikan adalah sebagai berikut: ikan dicuci sampai bersih yang bertujuan untuk menghilangkan lender-lendir dan kotoran yang ada. Pada tahap penyiangan, ikan layang difillet dan diambil dagingnya. Pencucian daging ikan dilakukan sampai bersih bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang masih menempel pada ikan.
Ikan ditiriskan, kemudian dilakukan
pelumatan dengan meat separator dan kemudian dikukus. Pengukusan dilakukan pada ikan layang selama 30 menit setelah air mendidih, agar daging ikan terkoagulasi dan mengubah sifat protein semakin baik. Hal ini menurut penelitian
40
oleh Dwiyitno (1995) untuk mendapatkan protein ikan tertinggi dengan lama pengukusan setelah air mendidih yaitu selama 20, 30 dan 40 menit yaitu pada lama pengukusan 30 menit dengan kadar protein sebesar 63%. Tahap selanjutnya ikan yang telah dikukus tersebut, dikeringkan dengan menggunakan oven selama 24 jam dengan suhu 50 ⁰C. Pengeringan ini bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga pertumbuhan mikroorganisme dapat dicegah sehingga menghasilkan tepung ikan yang baik dan bergizi tinggi. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan serta dapat
menghambat reaksi kimia, yaitu reaksi hidrolisis, reaksi
Maillard, dan reaksi enzimatis (Kusnandar 2010). Ikan kemudian dihaluskan menggunakan blender kering dan diayak dengan saringan 60 mesh.
Pengecilan ukuran ini, bertujuan untuk mempermudah
pencampuran pada proses pembuatan enbal ikan layang cetak. Kandungan kadar air, protein, abu, lemak dan TPC tepung ikan layang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi kimia tepung ikan layang Komposisi Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) TPC (CFU/gr)
Kandungan 4,46±0,007 3,98±0,03 78,62±0,35 2,64±0,007 <2,5x102
Berdasarkan Tabel 6, hasil komposisi kimia pada tepung ikan layang masih diatas nilai standar tepung ikan menurut standar FAO. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sedangkan bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno 2008). Kadar air tepung ikan layang sebesar 4,46% lebih kecil bila dibandingkan dengan standar FAO sebesar 10%. Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar abu yang terkandung dalam tepung ikan maksimal 4%. Kadar abu tepung ikan pada penelitian ini sebesar 3,98% sehingga kadar abu tepung ikan layang yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar mutu tepung ikan sesuai dengan SNI 01-2715- 1995.
41
Kandungan protein tepung ikan layang pada penelitian ini sebesar 78,62% lebih besar bila dibandingkan dengan kandungan protein tepung ikan yang di syaratkan oleh BSN (1996) yaitu sebesar 45-65%. Menurut Badan Standar Nasional tentang standar mutu tepung ikan, kadar lemak yang terkandung dalam tepung ikan berkisar antara 8-12%. Kadar lemak tepung ikan yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 2,64% sehingga tergolong tepung ikan dengan kadar lemak yang rendah. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (Adawyah 2011). Nilai TPC tepung ikan layang yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar <2,5x102 CFU/g dan masih dibawah ambang batas kandungan TPC pada produk perikanan yaitu 1,0x105 CFU/g sehingga tepung ikan yang dihasilkan masih dikatakan baik untuk selanjutnya di tambahkan pada produk enbal. 4.1.3 Tepung enbal Tepung enbal merupakan sebutan oleh masyarakat Kepulauan Kei untuk singkong yang sudah diolah dan dijadikan tepung singkong.
Singkong
berkembang secara luas diseluruh dunia dan terutama diproses untuk berbagai makanan olahan dan tepung (Sriroth et al. 2000). Tepung enbal yang dihasilkan berasal dari singkong putih yang diparut dan di press untuk mengeluarkan air sehingga mendapatkan komponen gizi yang baik. Karakteristik tepung enbal secara lengkap disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi gizi tepung enbal Komposisi
Kandungan (% bb)
Kadar air Abu Protein Lemak HCN (mg/100g)
44,13±0,04 0,55±0,04 1,74±0,24 0,91±0,03 0,50±0,003
Nilai HCN bahan baku tepung enbal yaitu sebesar 0.50 mg/100g. Berdasarkan standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992. Kandungan asam sianida yang terkandung dalam tepung singkong sebesar 40 mg/kg sehingga hasil HCN pada tepung enbal masih dibawah ambang batas.
42
4.2 Nilai Organoleptik Enbal Ikan Layang Pengujian organoleptik terhadap enbal ikan layang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap enbal ikan layang yang dihasilkan. Penilaian tersebut meliputi enbal kontrol (0%) dan enbal ikan layang dengan konsentrasi penambahan tepung ikan 5%, 10%, 15% dan 20%. Parameter yang diuji adalah rasa, aroma, kerenyahan, warna dan tekstur.
Berdasarkan uji
organoleptik dengan skala hedonik ini akan dipilih satu perlakuan terpilih. Hasil score sheet dan hasil penerimaan panelis dapat dilihat pada Lampiran 1. 1)
Warna Warna merupakan salah satu komponen yang sangat berperan dalam
menentukan penerimaan suatu produk. Makanan yang enak, bergizi dan tekstur yang menarik tidak akan diterima konsumen bila tidak memiliki warna yang menarik atau telah menyimpang dari warna yang sebenarnya. Penerimaan warna suatu bahan pangan bevariasi tergantung dari faktor alam, geografis dan aspek sosial budaya masyarakat penerima (Winarno 2008). 5.00
Nilai hedonik rata-rata
4.50
4.33 d 3.73abc
4.00
3.30ab
3.50
3.07a
3.13a
15%
20%
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0%
5%
10%
Konsentrasi tepung ikan
Gambar 8 Histogram warna enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Gambar 8 memperlihatkan bahwa penilaian panelis terhadap nilai warna berkisar antara
3,07- 4,33 yang berarti terletak antara netral dan suka. Enbal
kontrol 0% menunjukkan nilai hedonik tertinggi sedangkan enbal ikan layang
43
dengan konsentrasi 15% menunjukkan nilai hedonik yang paling rendah. Perbedaan nilai ini terkait erat dengan penambahan tepung ikan layang dan warna produk setelah dipanggang.
Hasil uji lanjut dengan multiple comparison
(Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan 5, 10, 15 dan 20% tidak saling berbedanyata terhadap nilai warna enbal ikan, namun memberikan pengaruh nyata terhadap warna enbal kontrol (0%). Pada penelitian ini, enbal kontrol atau tanpa penambahan tepung ikan layang menunjukan warna yang putih bersih, dibandingkan dengan formulasi penambahan tepung ikan layang yang memberikan warna agak kecoklatan. Warna
coklat
ini
terjadi
karena
adanya
proses
reaksi
mailard.
Sun et al. (2010) menyatakan bahwa reaksi mailard merupakan interaksi nonenzimatis antara gula pereduksi dengan asam amino, peptida atau protein, produk intermediet yang mengalami reaksi pencoklatan dengan memberikan kontribusi nyata terhadap warna, aroma dan rasa serta potensi antioksidan dari pangan yang diolah dan disimpan. Penurunan warna juga terjadi pada makanan yang digoreng dengan suhu tinggi karena terjadi pembentukan caramel dan reaksi mailard browning (Ngadi et al. 2007). Laju reaksi mailard tergantung pada lingkungan kimia seperti bahan kimia, komposisi makanan, aktifitas air pH dan suhu reaksi. 2)
Rasa Rasa merupakan parameter yang banyak melibatkan panca indera pengecap.
Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Berdasarkan Gambar 9, nilai rata-rata penilaian panelis terhadap atribut rasa berkisar antara 3,10-4,20 yang berarti terletak pada kisaran netral sampai suka. Nilai organoleptik untuk rasa tertinggi adalah pada enbal kontrol 0% sedangkan terendah pada konsentrasi penambahan tepung ikan 20%.
Berdasarkan uji lanjut dengan multiple
comparison (Lampiran 2), menunjukkan bahwa masing-masing konsentrasi penambahan tepung ikan tidak berbedanyata terhadap nilai rasa enbal ikan namun perlakuan penambahan tepung ikan 5% tidak berbeda nyata terhadap nilai rasa enbal kontrol.
Nilai hedonik rata-rata
44
5.00
4.20cd
4.00
3.63abc
3.53ab
5%
10%
3.17a
3.10a
15%
20%
3.00 2.00 1.00 0.00 0%
Konsentrasi tepung ikan
Gambar 9 Histogram rasa enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Hal ini dikarenakan panelis merupakan masyarakat yang ada di Kepulauan Kei yang belum terbiasa makan enbal dengan rasa ikan.
Seiring dengan
bertambahnya konsentrasi tepung ikan layang maka rasa ikan yang dihasilkan pada produk enbal lebih terasa. 3)
Kerenyahan Kerenyahan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar 10, hasil uji organoleptik pada atribut kerenyahan berkisar antara 3,37-4,43 yang berarti terletak antara netral dan suka. Nilai hedonik kerenyahan tertinggi yaitu konsentrasi tepung enbal 0% tanpa penambahan tepung ikan, sedangkan konsentrasi penambahan tepung ikan 15% menunjukkan nilai kerenyahan yang paling rendah. Berdasarkan
hasil
uji
lanjut
Multiple
Comparison
(Lampiran
2)
menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan pada masing-masing konsentrasi tidak berbeda nyata terhadap nila tekstur enbal ikan namun penambahan tepung ikan 10% tidak berbeda nyata dengan nilai tekstur enbal kontrol. Hal ini diduga pada proses pencampuran baik tepung enbal maupun tepung ikan tidak tercampur secara merata atau homogen sehingga pada proses pencetakan dan pemanggangan dihasilkan adonan yang tidak merata.
45
Nilai hedonik rata-rata
5.00
4.43cd
4.00
3.83ab
3.90abc
5%
10%
3.63a
3.37a
3.00 2.00 1.00 0.00 0%
15%
20%
konsentrasi tepung ikan
Gambar 10 Histogram kerenyahan enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Penambahan
tepung
ikan
pada
masing-masing
konsentrasi
akan
mengurangi tingkat kerenyahan enbal ikan layang yang dihasilkan sehingga diduga penerimaan panelis terhadap rasa pun berkurang karena pengaruh kerenyahan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh King (2002), menunjukkan bahwa rasio ikan dan pati juga mempengaruhi tingkat pengembangan dan kerenyahan kerupuk
ikan.
Yu (1991a) menyatakan bahwa dengan meningkatnya rasio
penambahan ikan maka kualitas kerenyahan kerupuk ikan akan menurun karena protein ikan berinteraksi dengan granula pati sehingga pada proses penggorengan atau pemanasan akan menghambat pengembangan dan kerenyahan kerupuk. 4)
Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam
menentukan suatu kualitas produk. Tekstur enbal dengan penambahan berbagai konsentrasi tepung ikan layang akan sangat menentukan tekstur akhir enbal ikan dan berpengaruh pada penerimaan konsumen terhadap produk.
Berdasarkan
Gambar 11, kisaran rata-rata nilai tekstur terletak antara 3,40 sampai 4,00 yang berarti berada pada kisaran netral sampai suka.
Enbal kontrol 0% memiliki
tekstur yang lebih disukai panelis sedangkan enbal ikan layang dengan konsentrasi penambahan tepung ikan 15% memiliki nilai hedonik yang paling kecil.
46
4.00
4,00bcd
Nilai hedonik rata-rata
3.90 3.80
3,73abc
3.70
3,63ab
3.60
3,50a
3.50
3,40a
3.40 3.30 3.20 3.10 0%
5%
10%
15%
20%
Konsentrasi tepung ikan
Gambar 11 Histogram tekstur enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut dengan Multiple Comparison (Lampiran 2), enbal kontrol tidak berbeda nyata dengan konsentrasi penambahan tepung ikan 5% dan 20% namun memberikan pengaruh nyata pada konsentrasi penambahan tepung ikan layang 10% dan 15%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan layang berpengaruh terhadap daya terima panelis terhadap tekstur enbal. Penambahan tepung ikan layang dengan konsentrasi 5% memberikan nilai tekstur yang agak keras bila dibandingkan dengan enbal ikan 10 dan 15% sedangkan enbal dengan penambahan tepung ikan 20% memberikan nilai tekstur yang kurang kompak sehingga produk enbal ikan yang dihasilkan mudah patah. Menurut Yu (1991a, b), King (2002), dan Huda et al. (2009) Penambahan ikan segar atau tepung ikan mempengaruhi tingkat pengembangan kerupuk pada saat digoreng sehingga mengakibatkan tekstur dari kerupuk mudah patah. 5)
Aroma Aroma merupakan salah satu faktor yang menjadi daya tarik tersendiri yang
dirasakan oleh indera penciuman dimana memiliki kepekaan tinggi dibandingkan dengan indera pencicip. Aroma enbal ikan berasal dari bahan baku tepung ikan. Berdasarkan Gambar 12, penilaian parameter aroma menunjukkan rata-rata nilai tertinggi untuk aroma adalah 4,00 untuk enbal kontrol 0% dan terendah 3,23
47
untuk konsentrasi enbal ikan 20%. Hal ini berarti kisaran nilai organoleptik
Nilai hedonik rata-rata
terletak antara netral sampai suka. 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
4,00bcd
0%
3,40abc
3,30ab
3,28a
3,23a
5%
10%
15%
20%
Konsentrasi tepung ikan
Gambar 12 Histogram aroma enbal ikan layang. (Angka –angka histogram yang diikuti huruf superscrip yang berbeda pada kolom menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Aroma enbal dipengaruhi juga penambahan tepung ikan. Berdasarkan uji lanjut multiple comparison (Lampiran 2) menunjukkan bahwa enbal kontrol memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan konsentrasi penambahan tepung ikan 15 dan 20% namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi penambahan tepung ikan 5 dan 10%. Hal ini disebabkan karena penambahan tepung ikan dengan konsentrasi 15 dan 20% memberikan aroma ikan yang terlalu besar bila dibandingkan dengan konsentrasi 5 dan 10%. Hal ini menunjukkan konsentrasi tepung ikan 15% dan 20% menghasilkan penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma.
Penurunan konsentrasi
perbandingan tepung ikan dapat meningkatkan kesukaan panelis terhadap atribut aroma.
4.3 Analisis Kimia Enbal Ikan Layang Analisis enbal ikan layang secara kimia adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan serat kasar. Nilai proksimat dan serat kasar enbal dengan konsentrasi penambahan tepung ikan layang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis ragam serta uji lanjut Duncan (Lampiran 3-7).
48
Tabel 8 Kadar proksimat dan serat enbal ikan layang Komposisi kimia enbal ikan layang (%) Enbal ikan
Kadar air
Abu
A (0%) B(5%) C (10%) D (15%) E (20%)
10,12bc 9,93a 9,99ab 10,46d 10,22c
0,84a 1,26b 1,50c 1,54c 2,16d
Protein 2,87a 10,29b 14,29c 20,16d 25,33e
Lemak 0,09a 0,50b 0,92c 1,10d 1,55e
Serat kasar 4,64b 6,95d 6,12c 6,09c 4,24a
Keterangan: Angka-angka dalam baris yang sama diikuti huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d,e) menunjukan beda nyata (p<0.05) 1)
Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang mempengaruhi
kulitas bahan pangan.
Peningkatan jumlah air dapat mempengaruhi laju
kerusakan bahan pangan akibat kerusakan oleh proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Hasil uji Duncan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar air enbal kontrol (0%) sangat berbeda nyata terhadap kadar air enbal ikan 5% dan 15%, tetapi antara enbal ikan 10% dan 20% tidak berbeda nyata. Hal ini diduga pada proses pemanggangan terjadi penguapan uap air karena proses pemanasan yang berlangsung mengakibatkan terjadinya penguapan sehingga terjadinya penurunan kadar air. Faktor peningkatan kadar air juga disebabkan oleh teknik pengemasan produk enbal ikan yang masih secara tradisional sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan uap air lingkungan ke produk enbal yang dihasilkan. Kadar air enbal kontrol dan enbal ikan layang pada Tabel 8 bila dibandingkan dengan standar kadar air kerupuk ikan menurut SNI 01-2713-1999 sebesar 12% maka kadar air enbal ikan layang masih memenuhi standar SNI tersebut. 2)
Kadar abu Kadar abu termasuk dalam data dasar zat gizi sebagai salah satu komponen
proksimat dalam pangan. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Mineral dalam abu berada dalam bentuk logam oksida, fosfat, nitrat, sulfat, klorida dan halida lainnya (Fennema 1996). Hasil uji Duncan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar abu enbal kontrol 0% berbeda nyata dengan kadar abu semua perlakuan penambahan tepung ikan sedangkan kadar abu
49
masing-masing konsentrasi penambahan tepung ikan juga berbeda nyata kecuali untuk penambahan tepung ikan 10 dan 15% tidak berbeda nyata.
Hal ini
disebabkan pada masing-masing produk berbeda konsentrasi penambahan tepung ikan sehingga memberikan nilai kadar abu yang berbeda pula. Peningkatan kadar abu disebabkan oleh adanya penambahan tepung ikan layang pada produk enbal dimana bahan baku ikan layang memiliki kandungan mineral yang lengkap. Menurut Thiansilakul et al. (2007) bahan baku ikan layang memiliki kandungan mineral yang lengkap meliputi Fe, Cu, Mn, Cd, Mg, P, K, Ca, S dan Na. King (2002) melaporkan bahwa kadar abu meningkat secara linear seiring dengan penambahan ikan pada produk kerupuk. 3)
Kadar protein Kadar protein pada enbal juga mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya konsentrasi tepung ikan.
Hasil uji Duncan pada Tabel 8
menunjukkan bahwa kadar protein masing-masing perlakuan baik enbal kontrol maupun enbal dengan penambahan tepung ikan layang sangat berbeda nyata. Hal ini dikarenakan enbal kontrol memiliki kandungan protein yang sangat rendah dimana enbal kontrol yang bahan bakunya 100% tepung enbal mengandung pati dan karbohidrat yang tinggi dengan zat gizi lainnya yang rendah. Penambahan konsentrasi tepung ikan layang memberikan peningkatan kadar protein pada produk enbal ikan yang dihasilkan. Hal ini didukung dengan bahan baku ikan layang yang merupakan sumber protein yang tinggi dimana pada tahap karakterisasi bahan baku, diketahui kadar protein tepung ikan layang sangat tinggi yaitu sebesar 78,62% (bb) sehingga mempengaruhi kandungan protein produk enbal yang dihasilkan. Menurut hasil penelitian El-Sherif (2001), penambahan konsentrat protein ikan 5% saja dapat memberikan daya terima panelis yang baik sehingga memberikan penambahan nilai gizi pada produk biskuit ikan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yu (1991b), Peranginangin et al. (1997), Huda et al. (2000) dan King (2002) tentang produk kerupuk bahwa kandungan protein kerupuk meningkat dengan peningkatan proporsi ikan. 4)
Kadar lemak Lemak memiliki sifat fungsional yang berguna dalam pengolahan pangan
diantaranya mempengaruhi warna, flavor, tekstur kelembutan emulsifikasi dan
50
medium pindah panas dalam proses pemasakan (Kusnandar 2010). Hasil uji Duncan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar lemak masing-masing konsentrasi baik enbal kontrol maupun konsentrasi penambahan tepung ikan layang 5%, 10%, 15% dan 20% saling berbeda nyata. Lemak enbal ikan semakin meningkat seiring bertambahnya konsentrasi penambahan tepung ikan layang. Meningkatnya proporsi ikan tidak hanya meningkatkan kadar protein tetapi juga kadar lemak. Menurut Yu (1991b), Peranginangin et al. (1997) dan King (2002), peningkatan kadar lemak tergantung pada jenis ikan, semakin tinggi rasio daging ikan yang digunakan maka semakin tinggi lemak kerupuk ikan. 5)
Kadar serat Ditinjau dari segi kemampuan untuk dapat dicerna dalam system
pencernaan manusia, karbohidrat terbagi atas karbohidrat yang dapat dicerna seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, pati, glikogen dekstrin serta yang tidak dapat dicerna yaitu berupa polisakarida penguat tekstur.
Kelompok polisakarida
penguat tekstur banyak mengandung serat yang dapat mempengaruhi proses pencernaan. Serat dibagi menjadi 2 jenis yaitu serat kasar yang disusun oleh selulosa, lignin, dan sebagian kecil hemiselulosa serta serat makanan (dietary fiber)
terdiri
dari
selulosa,
hemiselulosa,
lignin
dan
substansi
pekat
(Muchtadi 2005). Hasil uji Duncan pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar serat kasar enbal ikan pada masing-masing konsentrasi berbeda sangat nyata terhadap enbal kontrol (0%), tetapi kadar serat kasar enbal ikan penambahan tepung ikan 10% dan 15% tidak saling berbeda nyata. Hal ini disebabkan adanya penggunaan tepung enbal yang berasal dari singkong yang merupakan sumber serat pangan sehingga terjadi peningkatan serat pada produk yang dihasilkan dimana disebabkan oleh adanya pengaruh panas selama proses pemanggangan yang menghasilkan komponenkomponen hasil reaksi mailard yang termasuk dalam kelompok serat pangan. Kadar total serat kasar enbal kontrol maupun enbal ikan layang yang dihasilkan dalam penelitian ini (4,24-6,95%). Serat merupakan senyawa yang sangat penting dalam bahan makanan karena memiliki pengaruh terhadap penyakit tertentu, disamping dapat digunakan sebagai bahan yang efektif untuk
51
meningkatkan sifat fungsional produk, seperti daya mengikat air, pembentuk gel dan sebagainya.
4.4
Penentuan Formulasi Enbal Ikan Layang Terpilih Berdasarkan Uji Buyes Metode Buyes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk
melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terpilih dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal (Marimin 2004).
Uji
pembobotan dilakukan untuk memboboti masing-masing atribut organoleptik berupa warna, rasa, kerenyahan, tekstur dan aroma sehingga memiliki nilai bobot tersendiri dan menghasilkan nilai perangkingan yang akan kita gunakan untuk mendapatkan perlakuan terpilih. Penentuan formulasi enbal ikan layang terpilih yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya menggunakan uji Buyes (Lampiran 8). Parameter yang digunakan pada pembobotan adalah parameter organoleptik rasa, kerenyahan, tekstur, aroma dan warna.
Nilai kepentingan yang digunakan
berturut-turut adalah warna dan tekstur dengan nilai bobot 26; kerenyahan nilai bobot 21; rasa nilai bobot 16; dan aroma 11 sehingga keseluruhan semua nilai organoleptik sebesar 100%.
Nilai bobot aroma memiliki kepentingan paling
rendah. Warna dan tekstur dijadikan atribut organoleptik yang paling penting karena memberikan kesan pertama produk pada konsumen (Winarno 2008). Nilai bobot yang akan menentukan ranking tiap perlakuan disajikan pada Gambar 13. 4.18 3.49
Nilai bobot
5
3.51
3.73
3.37
4 3 2 1 0 0%
5%
10%
15%
20%
Konsentrasi penambahan tepung
Gambar 13 Histogram bobot prioritas penentuan formulasi konsentrasi penambahan tepung ikan (0%, 5%, 10%, 15% dan 20%).
52
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai ranking tertinggi adalah formulasi 0% atau enbal kontrol dengan nilai ranking sebesar 4,18.
Pada
formulasi konsentrasi penambahan tepung ikan layang diketahui nilai bobot tertinggi yaitu terdapat pada formulasi konsentrasi penambahan tepung ikan layang 15% dengan nilai ranking sebesar 3,73. Formulasi 20% memiliki nilai ranking yang paling kecil yaitu 3,37.
Nilai bobot ini dapat dilihat bahwa
konsentrasi penambahan tepung ikan 15% menempati ranking 1 dengan kadar protein sebesar 20,16% dan lemak sebesar 1,10%.
Konsentrasi penambahan
tepung ikan 15% menjadi perlakuan terpilih yang akan diaplikasikan pada penelitian tahap III.
4.5
Karakteristik Kimia, Fisik dan Mikrobiologi Produk Enbal Ikan Terpilih Pada tahap ini dilakukan karakterisasi secara kimia terhadap produk enbal
ikan layang terpilih (15%) dan enbal kontrol yang bertujuan untuk mengetahui komposisi gizi dalam produk tersebut berupa karakterisasi karbohidrat, HCN, asam amino, asam lemak dan total energi. Karakterisasi secara fisik pengukuran kerenyahan enbal dilakukan menggunakan alat texture profile analysis (TPA) dan mikrobiologi yaitu TPC dan kapang 4.5.1 Karakterisasi kimia, fisik dan mikrobiologi Pengujian terhadap kandungan komposisi kimia, fisik dan mikrobiologi pada enbal kontrol dan enbal ikan terpilih sangat berkaitan erat dengan kandungan gizi yang terdapat dalam bahan pangan dan menjadi salah satu daya tarik penerimaan konsumen. Hasil analisis kimia, fisik dan mikrobiologi enbal kontrol dan enbal ikan terpilih dapat dilihat pada Tabel 9. Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang harganya relatif murah dan umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan.
53
Tabel 9 Karakterisasi kimia, fisik dan mikrobiologi enbal kontrol dan enbal terpilih Parmeter Kimia Karbohidrat (%) HCN (ppm) Jumlah energi(kal/g) TBA (mg malonaldehid/kg) Fisik Uji kerenyahan(gf)
Kontrol 68,68 0,50 3738,67 0,79
10589,5
Perlakuan terpilih 65,85 1,72 4089,33 0,87
2794,1
Mikrobiologi TPC(CFU/g) Kapang(CFU/g)
6,9x102
4,33x103
<1,0x102
<1,0x102
Hasil analisis terhadap kandungan karbohidrat menunjukkan bahwa enbal kontrol atau tanpa penambahan tepung ikan kandungan karbohidrat sebesar 68,68%, lebih besar bila dibandingkan dengan enbal yang ditambahkan tepung ikan (65,85%). Hal ini disebabkan kandungan utama ubi kayu adalah karbohidrat yang merupakan komponen terpenting dalam sumber kalori. Karbohidrat ubi kayu
mengandung pati sebanyak 64-75%, sedangkan patinya mengandung
amilosa sebanyak 17-20% (Hafsah 2003). Hal yang sama juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul et al. (2009) pada kerupuk ikan bahwa semakin bertambahnya ikan maka kandungan karbohidratnya semakin berkurang dengan nilai kandungan karbohidrat berkisar antara 59,74–73,43%. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Huda et al. (2007) bahwa kerupuk ikan komersial memiliki kisaran kandungan karbohidrat sebesar 65-80%. Tinggi rendahnya karbohidrat adalah merupakan suatu alasan penting untuk mensubstitusi tepung pati dengan ikan yang bertujuan untuk menyediakan nutrisi yang lebih pada makanan. Analisis terhadap kandungan HCN menunjukkan bahwa enbal kontrol atau tanpa penambahan tepung ikan kandungan HCN sebesar 0,50 mg/kg sedangkan enbal yang ditambahkan tepung ikan mengandung HCN 1,72 mg/kg.
54
Peningkatan kandungan HCN diduga karena di dalam enbal ikan terdapat protein dan senyawa sianida yang terikat dalam ikatan sianogenik glikosida dalam bentuk sianohidrin sehingga pada proses pemanasan, zat sianohidrin ini mudah terurai menjadi sianida bebas namun tidak beracun. Sianohidrin dalam suasana alkalis menurut Bradburry dan Holloway (1988), mudah terurai menjadi sianida bebas. Kandungan HCN enbal kontrol maupun enbal ikan masih relatif aman bagi kesehatan manusia dan masih sangat rendah. Menurut Standar Nasional Indonesia No 01-7152-2006 tentang bahan tambahan pangan dan persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan, kandungan asam sianida yang diperbolehkan pada makanan dari singkong maksimal 50 mg/kg. Asam sianida dibatasi sampai batas tersebut karena jika dikonsumsi melebihi batas maksimal maka tubuh langsung akan memberikan reaksi seperti mulai terasa nyeri pada kepala, mual, muntah, sesak nafas dan jika tidak ditangani dengan baik maka akan menyebabkan kematian. Kandungan HCN dalam bahan pangan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan beberapa usaha tradisional yaitu dengan perendaman, perebusan, ekstraksi pati dalam air, fermentasi, penyangraian, pengukusan dan pengeringan (Winarno 1992). Manusia membutuhkan energi untuk menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada dalam makanan.
Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu
bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier 2009). Kandungan energi makanan ditentukan dengan kalorimeter langsung menggunakan alat calorimeter bom (bomb calorimeter). Energi enbal ikan lebih tinggi (4089,33 kal/g) dari pada enbal kontrol (3786,67 kal/g). Hal ini disebabkan oleh kadar protein dan lemak enbal ikan lebih tinggi dari enbal kontrol karena adanya penambahan tepung ikan layang. Enbal ikan layang memiliki kandungan gizi berupa protein, lemak dan karbohidrat yang sangat tinggi sehingga merupakan sumber energi yang baik dan dapat memberikan sumbangan energi bagi masyarakat. Kebutuhan energi anak-anak, laki-laki dan perempuan dalam mengkonsumsi enbal disajikan pada Lampiran 9.
55
Karbohidrat, protein, dan lemak adalah sumber energi yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk melakukan kerja. Metabolisme optimal dari zat-zat gizi tergantung dari ketersediaan zat gizi lainnya, yaitu vitamin dan mineral (Depkes, 1997). Uji thiobarbiturid acid (TBA) secara umum digunakan untuk mengukur kerusakan lemak pada jaringan makanan dan pada dasarnya mengamati hasil akhir reaksi oksidasi lemak (malonaldehid), yaitu dengan mereaksikan senyawa tersebut dengan asam 2-thiobarbiturat sehingga dihasilkan warna merah. Intensitas warna merah tersebut menunjukkan tingkat ketengikan makanan yang diperiksa (Syarief dan Halid 1993). Hasil pengukuran TBA enbal kontrol dan enbal ikan layang terpilih dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai TBA produk enbal ikan terpilih sebesar 0,87 mg malonaldehid/kg sampel dan lebih besar dari TBA enbal kontrol sebesar 0,79 mg malonaldehid/kg sampel. Rendahnya nilai TBA enbal kontrol diduga karena bahan dasar produk enbal adalah umbi ubi kayu dengan kadar lemak yang relatif kecil sehingga bila lemaknya rendah maka TBA-nya pun kecil. Adapun nilai TBA minimal yang masih dapat diterima adalah kurang dari 2 mg malonaldehid/kg sampel (Tokur et al. 2006). Berdasarkan nilai tersebut maka kedua jenis enbal tersebut diatas baik tanpa maupun dengan penambahan tepung ikan layang layak untuk dikonsumsi dan tidak mengalami ketengikan. Nilai kerenyahan diukur menggunakan Texture Analyser dengan melihat puncak pertama yang signifikan pada kurva dan nilai kekerasan dilihat dari puncak maksimum pada kurva (Varela et al. 2008). Hasil pengukuran dengan tekstur analyzer menunjukkan bahwa nilai kerenyahan berbanding terbalik dengan nilai kekerasan. Kerenyahan merupakan salah satu faktor penentu mutu produk. Renyah diartikan sebagai keras tapi mudah patah, kompak tapi rapuh, dan tidak lunak (Saklar et al. 1999). Suara yang dikeluarkan ketika menggigit makanan yang renyah merupakan sesuatu yang penting untuk memberikan nilai kerenyahan sebagai
suatu
dengan kerenyahan.
sensasi
dengan
menghubungkan
kekerasan
suara
56
Enbal kontrol memiliki nilai rata-rata nilai kerenyahan 10589,5 gf dan enbal ikan layang terpilih sebesar 2794,1 gf.
Enbal ikan dengan nilai kerenyahan
terendah memiliki tekstur yang lebih renyah dibandingkan dengan enbal kontrol. Kerenyahan yang terasa pada enbal ikan karena dipengaruhi oleh konsentrasi tepung ikan layang yang ditambahkan.
Konsentrasi yang terlalu
rendah akan mengakibatkan produk enbal ikan agak keras dan kurang renyah sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan menghasilkan produk enbal ikan yang mudah patah. Hal ini juga diakibatkan pada saat proses pemanggangan, terjadi kenaikan suhu, terbentuknya uap air yang disebabkan oleh gelatinisasi pati dan koagulasi protein mengakibatkan permukaan produk yang dihasilkan kering dan renyah. Karakterisasi mikrobiologi pada produk enbal meliputi analisis TPC dan kapang. Pada produk enbal kontrol, kandungan TPC awal memiliki nilai sebesar 2,84 log CFU/g (6,9 x 102 CFU/g) dan enbal ikan ikan terpilih sebesar 3,64 log CFU/g (4,33 x 103 CFU/g) sedangkan nilai kapang pada produk enbal kontrol maupun enbal ikan sama yaitu < 1,0 x 102 CFU/g. Hal ini berarti produk enbal yang dihasilkan baik enbal kontrol maupun enbal ikan layang terpilih di nilai dari segi mutu masih baik dan layak untuk dikonsumsi karena masih memenuhi syarat mutu di bawah standar ambang batas mutu produk biskuit yaitu maksimum 1,0 x 106 CFU/g
sesuai Standar SNI
01-2973-1992 untuk
produk biskuit. 4.5.2 Profil asam amino enbal Asam amino yang penting yang ada di alam berjumlah 20. Asam amino terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya disintesis oleh tubuh. Sembilan diantaranya adalah asam amino esensial (tidak dapat disintesa), semi esensial dan non esensial (asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh). Asam amino semi esensial merupakan asam amino yang dapat menjamin proses kehidupan jaringan orang dewasa tetapi tidak cukup untuk keperluan pertumbuhan anak-anak. Sintesis protein yang terjadi di dalam tubuh agar dapat berjalan lancar (misalnya untuk menjamin pertumbuhan pada anak-anak) atau untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dalam tubuh orang dewasa maka diperlukan asam amino esensial yang harus terdapat dalam makanan karena tubuh
57
tidak dapat mensintesisnya (Muchtadi 2009). Jika tidak terdapat dalam makanan, asam amino non-esensial dapat dibuat sendiri oleh tubuh sepanjang bahan dasarnya tersedia cukup, yaitu asam lemak dan sumber nitrogen. Komposisi asam amino enbal selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Pengukuran kandungan asam amino pada penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui nilai mutu protein yang terdapat dalam enbal dan enbal yang ditambahkan tepung ikan.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kandungan total asam amino enbal ikan (18,27 g/100 g sampel) lebih tinggi dibandingkan enbal control (0,95 g/100 g sampel). Asam amino tertinggi pada enbal ikan adalah asam glutamat yaitu 2,83 g/100 g sampel yang diikuti dengan asam aspartat sebagai asam amino kedua terbanyak. Analisis asam amino pada enbal kontrol
juga menunjukkan hasil yang serupa dimana asam glutamat
merupakan asam amino tertinggi (0,20 g/100 g sampel) dan diikuti dengan leusin (0,10 g/100 g sampel). Tabel 10 Komposisi asam amino enbal kontrol dan enbal ikan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Parameter
Valin* Leusin* Isoleusin * Lisin* Treonin* Metionin* Fenilalanin* Glisin** Arginin** Serin** Tirosin** Histidin** Alanin Asam glutamat Asam aspartat Total
Asam amino (g /100 g sampel) Enbal kontrol
Enbal ikan
0,04±0 0,10±0,01 0,04±0 0,10±0,01 0,03±0,01 0,04±0,02 0,06±0,01 0,03±0 0,06±0 0,05±0,02 0,03±0,01 0,04±0,01 0,05±0,01 0,20±0,01 0,09±0,01
1,11±0,04 1,50±0,04 1,00±0,02 1,84±0,11 0,87±0,03 0,62±0,02 0,91±0,05 0,85±0,03 1,1±0,06 0,74±0,05 0,54±0,03 1,39±0,07 1,10±0,03 2,83±0,10 1,87±0,06
0,95
18,27
Keterangan : (*) esensial (**) semi esensial
Menurut Neiva et al. (2011) kandungan asam amino tertinggi kerupuk ikan juga terdapat pada asam glutamat (303,33 mg/ g protein) dan asam aspartat
58
(120,00 g/100 g sampel).
Berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh
Ibrahim (2009), tentang biskuit yang ditambahkan konsentrat protein ikan air tawar (nila) 5%, hanya memiliki nilai asam glutamat sebesar 1,57 g/100 g sampel. Berdasarkan hasil penelitian kadar asam glutamat dan asam aspartat pada enbal ikan layang bersumber dari bahan baku ikan layang. Kandungan asam glutamat pada konsentrat protein ikan layang menurut Thiansilakul et al. (2007) yaitu sebesar 3,47 g/100 g sampel. Tingginya kandungan asam glutamat, baik enbal ikan maupun enbal kontrol memberikan sumbangsih rasa gurih pada enbal ikan bila dibandingkan dengan ikan air tawar. Asam glutamat merupakan asam amino yang dapat memberikan rasa gurih (Kusnandar 2010). Gugus hidrogen pada asam glutamat dapat disubstitusi dengan sodium sehingga membentuk monosodium glutamat (MSG) yang memiliki intensitas rasa gurih yang lebih kuat sehingga banyak digunakan sebagai flavor enhancer.
Monosodium glutamat dikelompokkan sebagai bahan
tambahan
pangan yang sering ditambahkan dalam proses pengolahan pangan untuk memperkuat citarasa. Enbal ikan layang yang dihasilkan mengandung 15 asam amino yang terdiri dari 7 asam amino esensial, 5 asam amino semi esensial dan 3 asam amino non esensial.
Asam amino esensial yang terdapat pada enbal ikan
yaitu valin (1,11 g/100 g sampel), leusin (1,50 g/100 g sampel), isoleusin (1,00 g/100 g sampel), lisin (1,84 g/100 g sampel), treonin (0,87 g/100 g sampel), metionin (0,62 g/100 g sampel) dan fenilalanin (0,91 g/100 g sampel). Total asam amino esensial pada enbal ikan layang (7,85 g/100 g sampel) lebih tinggi dibandingkan asam amino esensial enbal kontrol (0,4 g/100 g sampel). Asam amino esensial tertinggi pada enbal ikan layang adalah lisin, sedangkan pada enbal kontrol adalah leusin dan lisin.
Asupan lisin di Negara berkembang
menjadi persyaratan untuk anak-anak. Pengembangan produk yang kaya akan lisin, seperti kerupuk serta berbagai produk makanan yang dikonsumsi di seluruh dunia diharapkan dapat membuat strategi yang sukses untuk menyediakan produk makanan sehat, rendah kalori dan mengandung protein bernilai tinggi (Neiva et al. 2011).
59
Berdasarkan hasil perhitungan skor asam amino yang diperoleh dari perbandingan jumlah asam amino pada enbal dengan asam amino protein standar menggunakan referensi FAO/WHO/UNU (1983), diketahui bahwa asam amino pembatas pada enbal ikan adalah metionin (Lampiran 10). Setiap bahan pangan yang mengandung protein memiliki asam amino pembatas, yaitu asam amino yang berada pada jumlah paling sedikit. Dua protein yang memiliki jenis asam amino yang berbeda dikonsumsi bersama-sama maka kekurangan asam amino dari satu protein dapat ditutupi oleh asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain sehingga kedua protein tersebut saling mendukung
sehingga
(Almatsier 2009).
mutu
gizi
dari
campuran
menjadi
lebih
tinggi
Pada penelitian ini skor asam amino metionin enbal ikan
sebesar 3,10 g/100 g sampel lebih tinggi dibandingkan enbal kontrol yaitu sebesar 0,20%. Metionin merupakan asam amino esensial yang terdapat pada protein hewani (2-4%) dan protein nabati (1-2%). Metionin merupakan asam amino netral yang mengandung atom sulfur dan sangat mudah rusak oleh adanya oksigen dan perlakuan panas. Pada struktur protein, metionin terlibat dalam pembentukan ikatan hidrofobik (Kusnandar 2010). Berdasarkan total kandungan asam amino, total asam amino esensial serta skor asam amino esensial dapat disimpulkan bahwa nilai mutu gizi protein pada enbal ikan lebih baik dibandingkan enbal kontrol. 4.5.3 Profil asam lemak enbal Asam lemak merupakan komponen rantai panjang yang menyusun lipid. Pengukuran asam lemak pada penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan asam lemak antara enbal ikan dan enbal kontrol serta komponen asam lemak yang terkandung di dalamnya. Enbal ikan layang mengandung 6 asam lemak jenuh dan 7 asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh yang tertinggi yaitu asam palmitat sebesar 102,66 mg/100 g sampel dan diikuti oleh asam stearat sebesar 41,27 mg/100 g sampel. Asam palmitat dan asam stearat mengandung asam lemak jenuh rantai panjang dan dapat ditemui hampir di semua lipida hewani. Penelitian yang dilakukan oleh Harikedua (1992) pada ikan layang yang
60
mengalami perebusan didapatkan memiliki kandungan asam palmitat yang tinggi dari semua asam jenis asam lemak jenuh. Kandungan asam lemak tak jenuh enbal ikan dari 7 asam lemak tak jenuh, terdapat 2 asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yaitu asam palmitoleat (13,10 mg/100 g sampel) dan asam oleat (74,52 mg/100 g sampel) serta golongan asam
lemak
tak
jenuh
jamak
(PUFA)
yaitu
asam
linoleat
(17,08 mg/100 g sampel), asam arakhidonat (7,44 mg/100 g sampel), EPA (12,56 mg/100 g sampel) dan DHA (49,40 mg/100 g sampel). Komposisi asam lemak enbal selengkapnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Komposisi asam lemak enbal kontrol dan enbal ikan Persentase Asam Lemak enbal (mg/100 g sampel) Enbal ikan Enbal kontrol
Parameter Asam lemak jenuh Asam kaprilat, C8:0 Asam kaprat, C10:0 Asam laurat, C12:0 Asam miristat,C14:0 Asam pentadekanoat, C15:0
003,66 003,08 017,12 018 ttd
02,48 02,35 14,61 04,80 ttd
Asam palmitat, C16:0 Asam stearat, C18:0 Asam arakhidat, C 20:0 Asam dodekanoat, C22:0
102,66 0 41,27 ttd ttd
14,70 02,82 ttd ttd
Asam lemak tak jenuh Asam miristoleat, C14:1 Asam palmitoleat, C16:10 Asam oleat, C18:1 Asam 11-eicosanoat, C20:1 Asam linoleat, C18:2 Asam α linolenat, C18:3 Asam arakhidonat, C20:4 EPA, C20:5n3 DHA, C22:6n3 Ket: ttd = tidak terdeteksi
ttd 013,10 0 74,52 ttd 017,8 009,42 007,44 012,56 049,40
ttd ttd 20,92 ttd 09,99 04,96 ttd ttd ttd
Komposisi nilai kandungan asam lemak tak jenuh enbal ikan lebih tinggi dari pada enbal kontrol namun nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan kerupuk
ikan
yang
digoreng
pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Neiva et al. 2011 yaitu sebesar (55,24 g). Hal ini diduga karena penyerapan
61
minyak lebih besar terjadi pada saat kerupuk ikan digoreng dan sangat berbeda nilainya dengan kerupuk ikan yang hanya di panggang dalam microwave. Omega-3 PUFA merupakan jenis asam lemak esensial dan merupakan prekusor sekelompok senyawa eikosanoid (karena diperoleh dari asam lemak 20karbon) yang mirip hormon, yaitu prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leokotrien (FAO 2008). Asam lemak Omega-3 adalah senyawa esensial yang tidak dapat disintesis oleh manusia dan harus disediakan dalam makanan. Besarnya kandungan asam lemak esensial yang terdapat pada enbal ikan merupakan suatu hal yang penting karena menunjukkan besarnya asupan asam lemak tersebut ke dalam tubuh bagi orang yang mengkonsumsinya. Kandungan EPA dan DHA juga memberikan manfaat yang besar karena merupakan kelompok long chain polyunsaturated fatty acid (LCPUFA) yang mempunyai peran penting dalam perkembangan otak dan fungsi penglihatan. EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks cerebral otak dan untuk pertumbuhan normal organ lainnya (Felix dan Velazquez 2002). Sumber utama makanan dari EPA dan DHA adalah minyak ikan misalnya ikan salmon, makarel, sarden, serta kacang-kacangan dan minyak tumbuhan tertentu, sedangkan canola, kenari, kedelai, dan minyak biji rami mengandung asam linoleat (Kris-Etherton et al. 2003). Saat ini, pada Dunia Barat minyak ikan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan EPA dan DHA (Kolanowski & Laufenberg 2006). Masalah tersebut dapat diatasi dengan memperkaya produk makanan dengan sumber Omega-3 PUFA (Barrow et al. 2009). 4.6
Penentuan Faktor Kritis Penentuan umur simpan produk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
mempengaruhi penurunan mutu produk pangan.
Floros dan Gnanasekharan
(1993) menyatakan bahwa terdapat enam faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan
62
terbentuknya racun. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi. Pada tahap awal, dilakukan penentuan faktor kritis yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu enbal kontrol dan enbal ikan layang terpilih selama penyimpanan. Percobaan penentuan faktor kritis dilakukan pada suhu ruang berkisar antara 30
-
35 ⁰C. Metode analisis yang digunakan untuk
mengukur perubahan mutu produk selama penyimpanan meliputi uji TPC (secara mikrobiologi), kadar air (secara kimiawi), dan organoleptik. 1)
Nilai TPC Pertumbuhan mikroba merupakan salah satu penyebab kerusakan makanan
selama penyimpanan.
Pola pertumbuhan mikroba produk enbal pada
Log (CFU/g)
penyimpanan suhu ruangan dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
y = 0.005x + 2.657 R² = 0.005
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Gambar 14 Nilai TPC enbal kontrol pada penyimpanan suhu ruang. Jumlah total mikroba selama penyimpanan dalam suhu ruang pada enbal kontrol tidak mengalami peningkatan.
Jumlah mikroba awal enbal kontrol
sebesar 2,84 log CFU/g (6,09 x 102 CFU/g) dan tidak mengalami peningkatan sampai pada penyimpanan suhu ruang hari ke-30 dengan nilai TPC sebesar 3,08 log CFU/g (1,2 x 103 CFU/g).
63
7.00 6.00 y = 0.232x + 4.432 R² = 0.766
Log (CFU/g)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Gambar 15 Nilai TPC enbal ikan layang terpilih pada penyimpanan suhu ruang. Jumlah total mikroba selama penyimpanan suhu ruang mengalami peningkatan. Jumlah mikroba awal enbal ikan layang sebesar 3,64 log CFU/g (4,33x103 CFU/g) dan selanjutnya mengalami peningkatan selama penyimpanan. Pada
pengamatan
sampai
hari
ke-9
jumlah
total
mikroba
mencapai
5,75 log CFU/g (5,90x105 CFU/g) kemudian meningkat pada hari ke-15 mencapai 5,99 log CFU/g
dan pada hari ke 18, jumlah total mikroba mencapai
6,28 log CFU/g (1,90x106 CFU/g). Pada hari ke-18, total mikroba telah melebihi batas cemaran mikroba yang disyaratkan dalam SNI 01-2973-1992 tentang syarat TPC untuk mutu biskuit, yaitu sebesar 1,0x106 CFU/g. Berdasarkan Gambar 14 dan Gambar 15, enbal kontrol tidak memiliki koefisien korelasi grafik lama penyimpanan terhadap total mikroba yang kecil dilihat dari nilai R, bila dibandingkan dengan enbal ikan layang terpilih sebesar 0,766.
dengan nilai korelasi
Hal ini menunjukkan bahwa nilai TPC enbal ikan memiliki
korelasi baik untuk dijadikan parameter penentuan umur simpan enbal ikan layang. 2)
Nilai kadar air Air memiliki peranan penting dalam sistem pangan seperti mempengaruhi
kesegaran, stabilitas, dan keawetan pangan (Kusnandar 2010). Hasil pengukuran nilai kadar air enbal kontrol dan enbal ikan layang dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Kadar air (%)
64
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
y = -0.100x + 11.66 R² = 0.173
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Kadar air (%)
Gambar 16 Nilai kadar air enbal kontrol pada penyimpanan suhu ruang. 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
y = -0.183x + 10.76 R² = 0.513 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Gambar 17 Nilai kadar air enbal ikan layang pada penyimpanan suhu ruang. Perubahan nilai kadar air selama penyimpanan enbal kontrol dan enbal ikan layang sangat berubah-ubah.
Pada hari ke-0 nilai kadar air enbal ikan
sebesar 9,42% kemudian pada hari ke-3 mengalami kenaikan 10,27% dan terus berlangsung fluktuatif naik dan turun sampai pengamatan hari ke -30. Perubahan nilai kadar air yang sama juga terjadi pada penyimpanan enbal kontrol (Gambar 16), yang terjadi kenaikan nilai kadar air enbal. Peningkatan kandungan air ini diduga pada saat penyimpanan terjadi penyerapan uap air dari lingkungan karena kemasan yang digunakan masih dikemas secara tradisional. Kerusakan mutu produk kering terutama dihubungkan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson 2001). Berdasarkan hasil plot data, diperoleh persamaan regresi dengan nilai koefisien korelasi untuk enbal kontrol 0,173 yang menunjukkan tidak adanya
65
hubungan yang spesifik antara pengaruh lama penyimpanan pada suhu ruang dengan perubahan nilai kadar air sedangkan persamaan regresi dengan nilai koefisien korelasi untuk enbal ikan layang terpilih diperoleh persamaan regresi dengan nilai koefisien korelasi untuk enbal kontrol 0,513. Nilai kadar air tidak dapat dijadikan parameter untuk penentuan umur simpan produk enbal ikan. 3)
Uji organoleptik Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui batas penerimaan panelis
terhadap produk enbal kontrol dan enbal ikan selama penyimpanan suhu ruang. Parameter organoleptik yang diuji adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan kerenyahan.
Batas penolakan panelis ditunjukkan oleh nilai sensori 4 yang
berarti agak tidak suka. Nilai hedonik masing-masing parameter sensori disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Pada hari ke-0 rata-rata skor nilai hedonik enbal kontrol pada masingmasing parameter berturut-turut : warna 8,01 (kisaran suka-amat sangat suka), aroma 7,93 (kisaran suka-amat sangat suka), rasa 8,10 (kisaran suka-amat sangat suka), tekstur 8,11 (kisaran suka-amat sangat suka) dan kerenyahan 7,53 (kisaran
Nilai organoleptik
suka-sangat suka). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Batas penolakan 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Gambar 18 Skor sensori pada penentuan faktor kritis enbal kontrol. (
) Pada pengamatan hari berikutnya, terjadi penurunan nilai sensori pada
penyimpanan hari ke-30. Nilai hedonik untuk warna menjadi 5,09 (kisaran netralagak suka), aroma 5,30 (kisaran agak tidak suka-netral), rasa 6,23 (kisaran agak
66
suka-suka), tekstur 6,71 (kisaran agak tidak suka-suka) dan kerenyahan 6,48 (kisaran agak tidak suka-suka). 9
Nilai organoleptik
8 7 6 5 4 3
Batas penolakan
2 1 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari
Gambar 19 Skor sensori pada penentuan faktor kritis enbal ikan layang. (
)
Pengujian skor nilai hedonik untuk enbal ikan layang terpilih pada masingmasing parameter berturut-turut : warna 7,98 (kisaran suka-amat sangat suka), aroma 7,90 (kisaran suka-amat sangat suka), rasa 8,03 (kisaran suka-amat sangat suka), tekstur 7,99 (kisaran suka-amat sangat suka) dan kerenyahan 8,41 (kisaran suka-amat sangat suka).
Pada pengamatan hari berikutnya, terjadi fluktuasi
kenaikan maupun penurunan nilai sensori sampai pada penyimpanan hari ke-30. Berdasarkan pengamatan sampai hari ke-30 dapat disimpulkan bahwa nilai hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan kerenyahan masih berada di atas batas penerimaan panelis. Hasil pengamatan dari 3 faktor yang menentukan penurunan mutu pada enbal kontrol maupun enbal ikan maka faktor total mikroba (TPC) adalah yang lebih cepat menyebabkan penurunan mutu yang ditunjukkan oleh kenaikan total mikroba melebihi batas yang ditetapkan dalam SNI. Parameter TPC dijadikan faktor kritis yang sangat berpengaruh pada penurunan kualitas enbal ikan dan digunakan dalam pendugaan umur simpan enbal ikan.
67
4.7
Pendugaan Umur Simpan Umur simpan mengandung pengertian tentang waktu antara saat produk
mulai dikemas sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi (Hine 1997).
Berdasarkan hasil penentuan faktor kritis, faktor total
mikroba (TPC) lebih berperan dalam penurunan mutu pada enbal ikan layang dibandingkan dengan uji kadar air dan organoleptik yang cenderung mengalami perubahan serta memiliki nilai yang sangat kecil. Persamaan yang digunakan pada model Arrhenius ada 2 jenis yaitu persamaan ordo nol dan persamaan ordo satu.
Persamaan ordo yang akan
digunakan dalam penentuan umur simpan dipilih berdasarkan data hasil pengamatan pada parameter yang memiliki nilai koefisien korelasi (R2) yang mendekati nilai satu (grafik hampir lurus sempurna). 4.7.1 Penentuan ordo reaksi Berdasarkan hasil penentuan faktor kritis, pada penelitian ini digunakan faktor total mikroba (nilai TPC) untuk pendugaan umur simpan pada 3 perlakuan suhu penyimpanan yaitu 30 oC, 35 oC dan 45 oC. Hasil perhitungan pertumbuhan mikroba pada enbal kontrol dan enbal ikan layang yang dikemas dalam kemasan polyethylene, dibuat dalam bentuk grafik hubungan antara nilai TPC dengan hari pengamatan.
Kemunduran mutu produk dapat dilihat dari konstanta laju reaksi
(k) pada setiap suhu penyimpanan yang diperoleh dari persamaan ordo. Penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat persamaan matematika dari persamaan grafik yang menghubungkan nilai TPC dan waktu pengamatan pada enbal kontrol dan enbal ikan layang (Lampiran 11). Berdasarkan grafik tersebut diperoleh persamaan regresi dengan nilai K yang akan digunakan untuk menentukan umur simpan enbal kontrol dan enbal ikan dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Tabulasi nilai K dari persamaan regresi dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.
68
Tabel 12 Nilai K dan ln K pada tiga suhu penyimpanan enbal control Suhu
y = 0,0901x + 2,3583 y = 0,0639x + 2,3495 y = 0,0015x + 2,4225
30 35 45
K atau Slope
Ln K
0,8253
0,0901
-2,4068
0,9480
0,0639
-2,7504
308
0,003
0,0035
0,0015
-6,5023
318
0,003
Persamaan Regresi R2
T 1/T (Kelvin) 303 0,003
Tabel 13 Nilai K dan ln K pada tiga suhu penyimpanan enbal ikan layang
30
Persamaan Regresi y=-0,13x+ 5,2264
0,7518
K atau Slope 0,1300
35
y=0,0747x+5,0775
45
y=0,0865x+5,0127
Suhu
-2,0402
T (Kelvin) 303
0,0033
0,9245 0,0747
-2,5943
308
0,0032
0,9761 0,0865
-2,4476 318
0,0031
R2
Ln K
1/T
Berdasarkan hasil regresi antara nilai K pada sumbu Y dan suhu (T) pada sumbu X serta hasil regresi antara nilai Ln K pada sumbu Y dan 1/T pada sumbu X maka diperoleh plot data ordo nol dan ordo satu (Lampiran 12), sehingga diperoleh persamaan regresi yang akan digunakan untuk menentukan umur simpan enbal kontrol dan enbal ikan dengan menggunakan persamaan Arrhenius. 4.7.2 Pendugaan umur simpan dengan persamaan Arrhenius Pada saat menyimpan makanan, suhu ruangan penyimpanan sebaiknya tetap stabil, tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah mulai dari tingkat produksi maupun pada saat distribusi sebelum produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Umur simpan produk perlu diketahui, pada suhu tertentu dan pada
keadaan suhu penyimpanan yang dibuat tetap dengan menduga laju
penurunan mutu berdasarkan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius yang digunakan untuk menduga umur simpan produk menggambarkan hubungan nilai k terhadap suhu penyimpanan produk dengan persamaan berikut : k = koe-(Ea/RT) atau ln k = ln ko-(Ea/R) 1/T Berdasarkan persamaan regresi pada kedua Gambar ordo tersebut,
maka
diperoleh persamaan ordo nol yang akan dilanjutkan untuk penentuan umur simpan dengan persamaan
Y= -0,006x+1.895 dengan nilai R2= 0, 9983
69
(pada enbal kontrol ) dan Y= -0.0023x+0.814 dengan R2= 0, 369 (pada enbal ikan layang) dengan penjabaran perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14, maka dapat ditentukan persamaan penurunan mutu pada suhu 30 ⁰C atau 303 Kelvin sebagai berikut: K (enbal kontrol)
—
= = 1,3099904
—
K (enbal ikan layang) = = 2.2569
Berdasarkan persamaan di atas dapat ditentukan perkiraan umur simpan berdasarkan parameter TPC pada produk enbal kontrol dan enbal ikan layang adalah misalnya pada suhu penyimpanan 30 oC Perkiraan umur simpan Enbal kontrol = (2,5836 log CFU/g- 3,08 log CFU/g )/(6,65242 unit mutu per minggu) =2,1 minggu Perkiraan umur simpan Enbal ikan = (4,9013log CFU/g -6,28 log CFU/g) / (2,2569 unit mutu per minggu) = 2,1 minggu Umur simpan enbal kontrol dan ikan berdasarkan parameter TPC pada berbagai suhu penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 14 dan 15. Tabel 14 Umur simpan enbal kontrol pada berbagai suhu SuhuoC 30 35 45
T (Kelvin) 303 308 318
K 6,65242 6,652419 6,652423
Umur enbal (hari) 15 14 14
Umur enbal (minggu) 2,1 2 2
Tabel 15 Umur simpan enbal ikan pada berbagai suhu Suhu oC 30 35 45
T (Kelvin) 303 308 318
K 2,2569 2,256934 2,256934
Umur enbal (hari) 15 15 14
Umur enbal (minggu) 2,1 2,1 2
70
Berdasarkan Tabel 14 dan 15, dapat diduga umur simpan enbal ikan pada penyimpanan 30 ⁰C selama 2,1 minggu (15 hari), penyimpanan pada 35 ⁰C umur simpan selama 2,1 minggu (15 hari) dan penyimpanan pada 45 ⁰C diduga umur simpan selama 2 minggu (14 hari). Masa simpan enbal ikan yang sedikit lebih panjang bila dibandingkan dengan enbal kontrol disebabkan karena enbal yang ditambahkan tepung ikan yang memiliki nilai mutu dan gizi yang baik sehingga memberikan daya awet yang lebih baik dibandingkan dengan enbal kontrol. Rendahnya masa simpan produk enbal ikan tersebut juga disebabkan oleh faktor kemasan yang belum di kemas dengan baik pada proses penyimpanan didukung pula dengan suhu penyimpanan merupakan suhu pertumbuhan bakteri optimum, maka bakteri dengan cepat berkembang biak sehingga menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Menurut Herawati (2008) beberapa proses penanganan produk pangan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan mutu adalah perlakuan panas tinggi, pembekuan, pengemasan dan pencampuran.