FUNGSI LEMBAGA SANIRI NEGERI DALAM PELESTARIAN HUKUM ADAT DI MALUKU TENGAH FUNCTION OF STATE SANIRI INSTITUTION IN CUSTOMARY LEGAL PRESERVATION OF CENTRAL MALUKU
Wahyudi, M. Syukri Akub, Andi Sofyan
Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi Wahyudi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 E-mail :
[email protected] HP : 082188355680
ABSTRAK Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbagi dalam daerah-daerah dengan tingkat kemajemukan yang hidup di setiap daerah, menjadi dasar konstitusi memberi perhatian lebih terhadap keanekaragaman budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Kewenangan Lembaga adat dalam penyelesaian sengketa adat pada masyarakat di Maluku Tengah, dan (2) Proses penegakan hukum pidana adat dalam penyelesaian konflik sosial di Maluku Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di Maluku Tengah.Jenis penelitian ini adalah bersifat Yuridis normatif dan Yuridis Empiris. Sampel yang diambil sebanyak 15 orang responden yaitu 5 orang badan saniri Negri Tulehu, 8 orang masyarakat adat Maluku dan 3 orang kepolisian Daerah Maluku Tengah. Pengumpulan data melalui observasi,wawancara dan dokumentasi. Data di analisis dengan analisis kualitatif dan disajikan secara deskriftif. Hasil penelitian. Kewenangan Lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa dimasyarakat hukum adat Maluku Tengah telah dilaksanakan dengan baik dengan adanya Perda No 4 tahun 2006 secara khusus mengatur tentang wewenang, tugas dan fungsi lembaga adat dalam menyelesaian sengketa adat di Masyarakat Hukum Adat Maluku Tengah, mempunyai dampak positif dalam Penyelesaian delik adat dan sengketa adat oleh Badan sanir negeri secara musyawarah dan mufakat. Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh badan saniri negeri ditaati oleh masyarakat dengan tingkat ketaatan yang tinggi. Dalam proses penyelesaian sengketa adat dan delik adat dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh Badan saniri masih tetap ada dan ditaati oleh masyarakat untuk menjaga, memelihara, mengayomi dan melestarikan adat istiadat,hukum adat dan budaya masyarakat. Berbagai pelanggaran delik adat yang selama kurung waktu 2008-2013 tercatat sebanyak 210 kasus.setiap tahun ditemukan pelanggaran delik adat masih dapat mencapai 15 hingga 44 kasus, sedangkan pelanggaran yang tergolong serius yakni yang menimbulkan kerugian immateril tercatat 5 hingga 17 kasus dalam setahun, sehingga proses penegakan hukum pidana adat dimaluku selama ini masih aktif diberlakukan sesuai dengan Peraturan Daerah No. 04 Tahun 2006 tentang Proses Pembentukan Badan Saniri Negeri. Kata kunci: Kewenangan, Lembaga Adat, Penegakan hukum
ABSTRACT The Republic of Indonesia which is divided into regions with levels of diversity that live in each area, the basis for the constitution to give more attention to cultural diversity. The research aimed at investigating (1) The customary institutions autthority in solving the customory conflict on the central Maluku Community (2) the customary criminal law enforcement process in solving the social conflict in central maluku. The research was conducted in central Maluku. This was a normative and Empirical Juridical research. Samples taken were as many as 15 respondents consisting of 5 member of Saniri bord of Negri Tulehu, 8 member of Maluku custumory community, and 3 policemen of Central Maluku. Data were collected through an observation, interviews and documentation. The data were analyzed by the qualitative analysis and presented descriptively. The research results indicates that the customary institution autority in solving the conflict in the customary legal community of Central Maluku have been carried out appropriately in accordance with the Regional Regulation namber 04 Year 2006 in settling the customary offenses and customary conflict is settled by the discussion and agreement. The decision and sanction determined by Saniri bord still exists and are obeyed by the community with the high obedience level. Various customary offenses violations are still found in the period of 2008-2013. Out of 210 registered cases every year, there are still 15-44 cases of the customary offenses violations found, whereas the violations categorized serious cases which cause the immaterial losses are recorded 5 up to 17 cases per annual,so that the customary criminal law enforcement process in Maluku, so far, has been actively applied in accordance with the Regional Regulation Number 04 Year 2006 concerning the state formation Process of Saniri. Keywords: Customary Institutions, authority, Law Enforcement role
PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbagi dalam daerah-daerah dengan tingkat kemajemukan yang hidup di setiap daerah, menjadi dasar konstitusi memberi perhatian lebih terhadap keanekaragaman budaya. Hal ini terlihat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, menentukan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradiosionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Maka dari itu, dibutuhkan sebuah pemerintahan daerah sebagai konsekuensi logis dari adanya perbedaan etnis, linguistik, agama dan institusi sosial sebagai kelompok masyarakat lokal di suatu wilayah. Fungsi pelayanan dan pengaturan umum di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan perlu didistribusikan secara sentral dan lokal agar benarbenar aspiratif terhadap kepentingan nasional. Partisipasi masyarakat diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat pada lapisan paling bawah, khususnya desa atau dengan nama lain. Terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 melalui penataan hukum nasional dengan memantapkan kerangka sistem hukum nasional, penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum dalam rangka peningkatan kualitas penegakan dan tertib hukum, pembinaan aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum yang memadai serta peningkatan kesadaran, kepatuhan, ketaatan hukum, disiplin nasional serta lebih dihormati dan dijunjung tingginya hak asasi manusia demi terwujudnya budaya hukum dalam rangka pembangunan dan pembaruan hukum. Menurut Widnyana (2007), disebut sistem hukum pidana adat, karena inti dari larangan dan keharusan yang terkadung di dalamnya merupakan delik adat yang bertujuan menjaga tata tertib dalam masyarakat, teristimewa yang berkaitan dengan fungsi lingkungan. Jika terdapat pelanggaran, maka diperlukan adanya reaksi yang berupa pengenaan sanksi adat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, pemulihan kembali keseimbangan (kosmis) yang terganggu tersebut, berupa pemenuhan kewajiban adat. Sebagai sistem hukum, hukum pidana adat juga memiliki komponen (a) substansi hukum (b) struktur hukum maupun (c) kultur hukum (Khozim, 2009). Daerah Maluku Tengah yang disebut Pemerintah Negeri, saat diberlakukannya Undang-undang No 32 Tahun 2004 dan kemudian direvisi menjadi Undang-undang No 12 Tahun 2008, maka lembaga-lembaga adat seperti badan Saniri Negeri memiliki pengakuan terhadap eksistensinya. Meski demikian jika ditinjau dalam prespektif sosial politik ada
beberapa hal yang secara fundamental cukup mempengaruhi pelaksanaan tugas, peran dan fungsi dari lembaga badan saniri, misalnya saja tentang rekrutmen keanggotaan dan pimpinan lembaga saniri. Menurut Arief (1997), pada hakikatnya kajian hukum adat dan hukum yang hidup merupakan upaya untuk lebih memahami sistem/keluarga hukum yang lain dari pada yang selama ini kita warisi dari zaman penjajahan, yaitu dari sistem/keluarga hukum kontinental atau civil law system. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya usaha untuk mengkaji serta menggali kembali Sistem Hukum Nasional, termasuk hukum pidana Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai hukum tradisional. Di kepulauan Maluku Tengah, hingga ini masih dikenal sistem hukum pidana adat yang dapat dikategorikan sebagal salah satu sub Sistem Hukum Nasional. Masyarakat di sana menyebutnya sebagai hukum adat sasi (tanda larangan). Hukum adat sasi adalah suatu aturan yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat adat untuk ditaati bersama. Apabila sasi ini dilanggar, maka anggota masyarakat yang bersangkutan akan dikenai sanksi atau hukuman yang sesuai dengan peraturan-peraturan sasi yang telah disepakati. Dari penelitian yang pernah dilakukan terhadap Badan Saniri Besar yang dilakukan oleh Pasalbessy (1988), disebutkan bahwa berfungsinya sistem hukum adat bagi kepentingan masyarakat dan pembangunan di wilayah di Maluku Tengah hingga saat ini disebabkan antara lain: a) Bagi masyarakat di Maluku Tengah, terdapat kepercayaan bahwa Sasi merupakan pemberian dari Sang Penguasa, karena itu perlu dijaga dari ancaman kerusakannya; b) Setiap masyarakat di dalam negeri (baca desa) berhak untuk menikmati hasil bumi di dalam wilayah petuanan (hak ulayat desa); c) Dapat melakukan pemeliharaan dan pelestarian fungsi lingkungan demi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat; d) Sebagai tindakan pencegahan terhadap timbulnya sengketa atas tanah antara sesama penduduk dalam negeri atau antara penduduk negeri (desa) yang berbatasan; dan e) Dapat merupakan tindakan pencegahan, teristimewa mengurangi kemungkinan timbulnya kejahatan berupa pencurian serta berbagai kerusakan hutan bakau maupun terumbuk karang di laut. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Lembaga Saniri Negeri dalam upaya pelestarian hukum adat pada di Maluku Tengah dan untuk mengetahui peranan Lembaga Saniri Negeri dan mekanisme penyelesaian sengketa adat di Maluku Tengah.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dipusatkan di Kepulauan Lease sebagai salah satu wilayah di Kabupaten Maluku Tengah. Penentuan lokasi didasarkan karena dari beberapa daerah di Kabupaten Maluku Tengah, Kepulauan Lease, merupakan salah satu wilayah yang sangat potensial dalam melaksanakan hukum pidana adat selama ini. Jenis Penilitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif analitis, dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan sanksi delik adat dalam rangka pembangunan dan pembaruan hukum pidana di Indonesia. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap pengembangan masyarakat hukum adat yang berkaitan dengan masyarakat adat Maluku Tengah. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis mempergunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh dilapangan melaluli wawancara secara langsung dari pihak-pihak yang terkait dilapangan, di antaranya Kepala Desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Adapun data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang relevan dengan materi kajian penelitian. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Maluku Tengah, Lembaga adat dan masyarakat umum Kabupaten Maluku Tengah. Dalam kaitan itu, maka penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive random sampling, yakni penentuan jumlah sampel dengan sistem penjatahan dimana sasarannya pada desa-desa yang masih aktif mempertahankan adat istiadat dan, melaksanakan hukum pidana adat dan budaya sasi. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian, baik data primer dan data sekunder akan diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas (Nasution, 2008). Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan kuantitatif dan selanjutnya data tersebut dideskripsikan dengan menelaah permasalahan yang ada, menggambarkan, menguraikan, hingga menjelaskan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini (Muhadjir, 2000).
HASIL Kewenangan Badan Saniri Negeri dalam upaya pelestarian hukum adat, sebagaimana diatur dalam hukum adat sasi yang termuat dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 200 tentang pedoman penataan badan saniri negeri. Dalam Pasal 1 disebutkan kedudukan Badan Saniri Negeri sebagai lembaga yang merupakan badan pengawasan dan penyelanggaraan pemerintahan desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. Sasi merupakan suatu kearifan lokal dan tradisi masyarakat negeri di Maluku Tengah, yang dibentuk dengan tujuan untuk menjaga dan melestarikan hasil-hasil potensi sumber daya alam. Pada tataran praktis, dalam Peraturan desa , fungsi Sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan untuk membentuk sikap dan perilaku masyarakat yang merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat dan melestarikan sumber daya alam. Dengan kata lain, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan hasil bumi mereka dengan pertimbangan 1) Hasil hutan dan laut yang diambil atau ditangkap harus di luar wilayah yang sementara disasi atau tidak dilarang; 2) Masyarakat hanya diberikan kesempatan untuk mengambil hasil hutan dan laut pada saat sasi semantara dibuka atau diperkenankan untuk diambil, yakni sesuai dengan Batas waktu yang ditentukan sejak sasi ditutup diberlakukan larangan antara tiga sampai enam bulan. Namun kenyatannya, di Kepulauan Lease, Maluku Tengah misalnya, dalam setahun dapat terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana adat antara 15 hingga 44 kasus, bahkan terhadap perlanggaran tertentu yang justru tergolong serius, kasusnya dapat mencapai 76 kasus selama kurun waktu 2008-2013. Untuk jelasnya pelanggaran delik adat tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1. Perlu dikemukakan bahwa data yang tertera dalam Tabel 1 di atas merupakan sebagian dari data yang ditemukan pada desa-desa sampel penelitian. Jadi tidak termasuk keseluruhan desa yang berada di dalam wilayah Maluku Tengah. Apa yang tergambar di dalam tabel ini menunjukkan bahwa pada desa-desa di kepulauan Lease Maluku Tengah, setiap tahunnya terdapat pelanggaran delik adat . PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas peran Badan Saniri Negeri dalam pelestarian Hukum Adat Sasi dalam menyelesaikan masalah hukum adat dan delik adat,
sangat bergantung pada perilaku adat yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga-lembaga adat yang ada. Selanjutnya, dimanifestasikan ke dalam aturan hukum, baik dalam bentuk norma abstrak (abstrac norms), berupa asas-asas hukum yang tidak tertulis, maupun dalam bentuk norma konkrit (actual norms), seperti dalam bentuk tertulis. Bentuk mana kemudian dikenal sebagai hukum sasi, yakni seperangkat aturan yang berisikan larangan dan keharusan untuk menjaga, memelihara, dan mengolah serta memanfaatkan fungsi lingkungan (darat dan laut) bagi kepentingan hidup bersama dan kewenangan lembaga adat yang termuat dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 2006 Tentang Pedoman penataan Saniri. Hubungan antara budaya dan hukum dalam masyarakat hukum adat Maluku Tengah telah diawali dari proses tercapainya kesepakatan-kesepakatan yang memperkuat tradisi masyarakat untuk menjaga kedamaian, pola hidup dan penyelesaian sengketa di dalam masyarakat. Kebudayaan dan tradisi tersebut mencerminkan nilai keadilan, kebersamaan serta asas keharmonisan yang memberi pedoman agar tidak saling mengembangkan rasa permusuhan atau ketegangan sosial, empati terhadap pihak yang lemah dan asas keseimbangan sosial (Wignjosoebroto, 2013). Badan Saniri (Raja, Kewang dan Kepala Soa), selain berfungsi sebagai lembaga pemerintahan negeri juga sebagai juga berwenang menyelesaikan sengketa adat dan masalah delik adat. Dalam hal ini tugas penting seorang Kepala Adat adalah untuk menyelesaikan dan mendamaikan apabila ada perselisihan antara masyarakat, memulihkan perdamaian adat dan keseimbangan masyarakat apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, dan berusaha untuk merukunkan para pihak yang bersengketa agar bisa hidup rukun seperti sediakala (Soekanto, 2004). Hal ini dapat dilihat dari penyelesaian konflik dalam masyarakat adat Maluku Tengah terutama Desa Sepa, Kecamatan Amahai. Dimana proses penyelesaian dengan cara menyelam kelaut tersebut selain diilhami dengan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, nilai budaya. Namun demikian, setiap penyelesaian konflik mempunyai kearifan lokal setiap daerah berbagai kelebihan dan juga kekurangan. Gagasan-gagasan kunci dalam penyelesian konflik yaitu adanya lembaga adat ini diangkat dan dilegitimasi dengan upacara adat untuk mengatur dan menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya dan kewenangan yang dipercayakan oleh masyarakat kepada mereka untuk memimpin dan mengatur dalam desa. Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masyarakat adat Maluku, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari sasi merupakan wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat Maluku dalam pengelolaan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai modal dasar. Sebab, pemanfaatan sumber daya alam secara tidak
bijaksana menyebabkan sumber daya alam menjadi berkurang atau menurun baik kualitasnya maupun kuantitasnya, bahkan pada akhirnya akan habis sama sekali (Irwansyah dkk., 2012). Maka dari itu, dengan adanya sasi, warga masyarakat adat tidak mengelola sumber daya alamnya secara sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada dapat berdaya guna dan lestari demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat (Muhamad, 2006). Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat adat Maluku merupakan modal dan model pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat daerah terutama maluku dan nasional, dimana Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.Untuk menghormati makna dan hakikat tersebut, maka dibutuhkan adanya perlindungan terhadap alam agar supaya tidak diganggu. Perlindungan di sini diartikan bahwa hutan dan daerah pesisir bukan semata-mata untuk dinikmati atau dimanfaatkan, tetapi juga perlu dikelola, dijaga, dan dilestarikan. Tindakan melindungi ini merupakan kesepakatan masyarakat secara bersama yang dilembagakan melalui pemerintah negeri/desa dan lembaga adat, seperti Rapat Badan Saniri Negeri yang berwenang menetapkan adanya hukum sasi bagi setiap orang di dalam negeri/desa untuk ditaati. Bagi barangsiapa yang tidak mentaati peraturan tersebut akan dikenakan sanksi. Disebutnya hukum sasi, yang dimaksudkan dengan istilah sasi adalah, perhitungan waktu sesuai dengan penanggalan bulan yang dihubungkan dengan jangka waktu diadakan larangan dan keharusan untuk menjaga dan memelihara tumbuhan dan hasil laut. Badan Siniri Negeri menurut prinsip adat adalah merupakan jantung dari kesatuan masyarakat adat suatu negeri, oleh karena saniri negeri memiliki keterkaitan yang utuh dari seluruh masyarakat negeri. Saniri Negeri merupakan inspirasi yang timbul dari masyarakat Maluku Tengah sendiri yang diwujudkan untuk menciptakan keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat dalam menegakan hukum adat pada dasarnya badan saniri dan kepala soa menjalankan peran yang mendidik,bahwa penegakan hukum didasarkan pada prinsip bahwa adanya hukum itu bukan untuk dilanggar melainkan suatu keharusan untuk ditaati. Kuatnya pandangan bahwa proses penegakan hukum pidana adat itu berkaitan dengan kondisi sosio-antropologis, karena bagaimanapun juga diakui bahwa penegakan hukum merupakan upaya untuk memanfaatkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai mana berfungsi sesuai dengan karakter dari suatu kelompok kebudayaan masyarakat tertentu. Karena itu, nilai-nilai yang berisikan sikap, ide, maupun pandangan tentang sesuatu yang
menurut mereka bermanfaat, akan dipercayai dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Lobubun, 2012). Nilai-nilai tersebut kemudian terbentuk menjadi asas-asas hukum adat dipatuhi oleh masyarakat dalam penerapannya. Bertolak dari pemikiran demikian, maka pembahasan terhadap proses penegakan hukum pidana adat mencakup antara lain: 1) Pandangan masyarakat terhadap hak atas tanah; 2) Sikap masyarakat untuk melindung Hutan, wilayah pesisir dan lautan; 3) Penentuan batasbatas pemilikan Tanah yang merupakan hak ulayat secara komunal; dan 4) Tatacara pemanfaatan sumber daya alam
dan laut sebagai pencerminan hidup bersama sebagai
masyarakat pesisir. Keempat hal di atas dapat disebut sebagai aspek nilai yang terkandung di dalam hukum pidana adat. Mengenai pandangan masyarakat terhadap pada umumnya masyarakat di Kepulauan Lease Maluku Tengah, melihatnya sebagai kehidupan bersahaja menurut mereka alam dipercayai sebagai pemberian para leluhur, karena itu merupakan bagian dari kehidupan pada masyarakat adat Maluku Tengah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kewenangan Lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa adat di Maluku Tengah telah dilaksanakan dengan baik dengan adanya Perda No 4 tahun 2006
secara khusus
mengatur tentang wewenang, tugas dan fungsi lembaga adat dalam menyelesaian sengketa adat di masyarakat hukum adat Maluku Tengah, mempunyai dampak positif dalam Penyelesaian delik adat dan sengketa adat oleh badan saniri negeri secara musyawarah dan mufakat. Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh badan saniri negeri ditaati oleh masyarakat dengan tingkat ketaatan yang tinggi. Dalam proses penyelesaian sengketa adat dan delik adat dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan Keputusan dan sanksi yang ditetapkan oleh Badan saniri
masih tetap ada dan ditaati oleh masyarakat untuk
menjaga, memelihara, mengayomi dan melestarikan adat istiadat,hukum adat dan budaya masyarakat. Berbagai pelanggaran delik adat yang selama kurung waktu 2008-2013 tercatat sebanyak 210 kasus.setiap tahun ditemukan pelanggaran delik adat masih dapat mencapai 15 hingga 44 kasus, sedangkan pelanggaran yang tergolong serius yakni yang menimbulkan kerugian immateril tercatat 5 hingga 17 kasus dalam setahun, sehingga proses penegakan hukum pidana adat dimaluku selama ini masih aktif diberlakukan sesuai dengan Peraturan Daerah No. 04 Tahun 2006 tentang Proses Pembentukan Badan Saniri Negeri Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah harus tetap menegakan hukum yang termuat dalam Perda yang sesuai dengan nilai budaya yang dianut dan kesadaran masyarakat maluku Tengah
terhadap aturan hukum pidana adat yang masih ada dan harus tetap dilestarikan dan adanya gejala melemah dari perilaku adat itu sendiri dalam masyarakat, akibat tergesernya pola kehidupan yang tradisionil ke arah kehidupan yang modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Arief Barda Nawawi. (1997). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana. Bnadung: Citra Aditya Bakti. Irwansyah dkk. (2012). Kajian Efektivitas Regulasi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kabupaten Takalar. Jurnal Penelitian Hukum Universitas Hasanuddin, 2(1): 1-18. Khozim Muh. (2009). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Bandung: Nusa Media. Muhadjir Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rake Sarasin. Muhamad Bushar. (2006). Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita. Lobubun Muslim (2012). Eksistensi Hak Atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Biak Numfor. Jurnal Penelitian Hukum Universitas Hasanuddin, 1(3): 544-558. Nasution Bahder Johan. (2008). Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. Pasalbessy. (1988). Kumpulan Materi Hukum Sasi dan Peraturan Kewang Dibeberapa Negeri Di Kepulauan Ambon dan Lease. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Soekanto Soerjono. (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Widnyana I Made. (2007). Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Eresco. Wignjosoebroto Soetandyo. (2013). Hukum dalam Masyarakat. Edisi Kedua. Yogyakarta: Graha Ilmu.
LAMPIRAN
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Pelanggaran Delik Adat Disebahagia Kepulauan Lease Maluku Tengah Untuk Kurun Waktu Tahun 2008-2013.
No 1.
Jenis pelanggaran yang pernah terjadi Menangkap ikan dengan bahan
Tahun kejadian
Jumlah
08
09
10
11
12
13
7
23
5
24
7
-
76
8
5
9
3
1
2
28
peledak/kimia 2.
Pencurian ikan dengan menggunakan racun/potas.
3.
Pencurian hasil kebun milik orang lain
5
2
7
3
9
-
26
4.
Memotong/merusak hutan/kayu bakau
3
5
1
2
3
6
20
5.
Mengambil karang/ kerikil/ pasir laut
4
5
3
1
2
5
20
6.
Mengotori laut dan muara sungai
-
-
-
2
1
-
3
7.
Memasang sero/ bubu
7
2
9
3
5
2
28
Sumber data: Desa sampel penelitian di daerah Maluku Tengah, 2014.