Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
MASJID SEBAGAI LEMBAGA ADAT PADA MASYARAKAT NEGERI HILA KECAMATAN LEIHITU KABUPATEN MALUKU TENGAH Oleh : Baco Sarluf, S.A.g.,M.Fil.I Abstract Since entered Indonesia in the 7th century AD Islam plays a major role in the formation of cultural diversity. One example is a main concern in this study is about the art of architecture is applied to each of the mosque. The mosque has undergone many renovations remarkable in every epoch at each place. However, one thing that never goes out of the mosque anywhere is emptiness aspect, which is sourced from the principle of tawhid. This aspect has removed God symbolized a trend of any sort. Hila community in the country, to date, still has faith in the sanctity of certain parts in the mosque, such as pole alif, finches roof of the mosque, the temple pillars, pulpit, and so on. Sacralization to those parts of the mosque builders continued in the cult 12. They are considered as a group of people who have more ability, working and put the parts of the mosque in the mosque. Therefore, the position of their implications for the formation of manners for the determination of certain places in the mosque. With that perspective, the mosque has functioned not only as a means of worship, but also as a traditional institution. Keywords: mosque, sacralization, traditional institutions
BAB I
signifikan dalam menampilkan Islam sebagai
PENDAHULUAN
salah satu bentuk dari sekian peradaban dan kebudayaan dunia saat ini.1
A. Latar Belakang Masalah Dari aspek teologisnya, Islam merupakan sebuah sistem nilai sekaligus ajaran yang Ilahiyah
dan
transenden.
Dari
aspek
sosiologisnya, Islam telah mengejawantah dalam berbagai fenomena peradaban, kultural dan menjadi
realitas
sosial
dalam
kehidupan
manusia. Dialektika antara Islam yang abadi dengan
realitas
kehidupan
manusia
yang
berubah-ubah berlangsung dalam sejarah secara terus menerus. Sejak awal kemunculannya, Islam telah tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Dampak dari dialektika tersebut, memang harus diakui, sangat
Sejalan dengan apa yang dijelaskan di atas, Clifford Geertz menyatakan bahwa agama bukan hanya masalah spirit, melainkan juga merupakan hubungan yang intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Dalam bentuknya yang pertama, agama menjadi pola bagi tindakan manusia (pattern for behaviour).
Di
sini
agama
menampakan
perannya sebagai pedoman dalam mengarahkan tindakan manusia. Dalam yang kedua, agama 1Muhammad Harfin Zuhdi, Tradisi Merari : Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, http: //lombokbaratkab.go.id/tradisi-merari-akulturasi-islamdan-budaya-lokal.html
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 39
Baco Sarluf
adalah pola dari tindakan manusia (pattern of
mana saja adalah aspek kekosongan, yang
behaviour). Agama dianggap sebagai hasil dari
bersumber dari prinsip tauhid. Aspek ini telah
pengetahuan dan pengalaman manusia, yang
menghilangkan
tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan
mensimbolisasikan Tuhan dalam bentuk apa
mitis. Agama dalam perspektif ini seringkali
pun.
dipahami
sistem
Masyarakat di negeri Hila, sampai saat
kebudayaan, yang tingkat efektifitas fungsi
ini, masih memiliki keyakinan akan kesakralan
ajarannya kadang tidak kalah dengan agama
bagian-bagian tertentu di dalam masjid, seperti
formal.2
tiang alif, pipit atap masjid, tiang ka’bah (empat
ke-7
sebagai
bagian
dari
kecenderungan
Semanjak masuk ke Indonesia pada abad
tiang tengah dalam bangunan masjid) mimbar,
M.
dsb.
Islam
pembentukan keanekaragaman
berperan
besar
dan
perkembangan
Pensakralan
ini
berlanjut
pada
pengkultusan para tukang 12. Mereka dianggap
Berbagai
sebagai sekelompok orang yang mempunyai
warna Islam –-dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda,
kemampuan lebih, mengerjakan dan meletakan
Sasak, Bugis, dan lainnya—memberi corak
bagian-bagian masjid tersebut di dalam masjid.
tertentu dalam keragaman, yang akibatnya
Karena itu, posisi mereka berimplikasi pada
berwajah
ambigu.3
kebudayaannya.
dalam
Salah satu contoh yang
menjadi perhatian pokok dalam penelitian ini
terbentuknya
tata
krama
bagi
penentuan
tempat-tempat tertentu di dalam masjid.4
adalah mengenai seni arsitektur yang diterapkan pada setiap pembangunan masjid. Masjid telah
B. Rumusan Masalah
mengalami banyak renovasi yang luar biasa pada
Dari latar belakang di atas, maka yang
setiap kurun jaman pada setiap tempat. Tetapi,
menjadi permasalahan pokok dalam penelitian
satu hal yang tidak pernah hilang dari masjid di
ini adalah “Bagaimana masjid sebagai lembaga adat
Penjelasan lebih jauh, lihat : Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, (Malang : UINMalang Press, 2009), h. 75. Perlu ditekankan bahwa hubungan Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lain, menurut Ismail R. Al-Faruqi, haruslah ditempatkan dalam konteksnya masing-masing sebagai sub-kebudayaan seluruh muslim. Adapun kebudayaan Arab atau ‘urubah telah mengambil posisi yang berbeda. Ia berdiri dengan Islam dalam suatu hubungannya yang khusus. Memang, pada saat kemunculannya, Islam dengan segara menolak beberapa unsur ‘urubah yang dianggap bertentangan. Tetapi, unsur-unsur yang lainnya diterima dan menjadi bentuk Islam, visi baru, kebudayaan dan etos barunya. ‘Urubah berkedudukan sebagai kandungan bagi Islam. Itu berarti, Islam eksis dalam bentuk dan berwajah ‘urubah. Dengan Islam, ‘urubah berubah secara radikal, tetapi semakin tak terpisahkan dari Islam. Lihat, Ismail R. AlFaruqi, Islam and Culture. Diterjemahkan oleh Yustiono dengan judul Islam dan Kebudayaan (Bandung : Mizan, 1989), h. 15 3 Muhammad Harfin Zuhdi, Tradisi Merari : Akulturasi Islam dan Budaya Lokal. 2
40 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
pada masyarakat di negeri Hila? Untuk
mempermudah pembahasan selanjutnya, dari permasalahan pokok di atas penulis memecah masalah menjadi dua, sebagai berikut : (1). Bagaimana kedudukan masjid sebagai lembaga adat pada masyarakat Hil. (2). Mengapa masjid dan
bagian-bagian
tertentunya
disakralkan
masyarakat di negeri Hila. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 4H.M. Sattu Allang (ett all) Makna Pembuatan Tiang Alif Pada Masjid Hila Kaitetu dan PengaruhnyaPada Masyarakat, (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ambon, 1999), h. 4
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
kedudukan masjid sebagai lembaga adat pada
dalam pembuatan dan pemasangannya. Hal ini
masyarakat
membawa umat kepada,
negeri
Hila
dan
juga
untuk
mengungkap makna di balik masjid serta bagian-
khurafat dan tahayu.
bagiannya yang disakralkan.
M. Nour Tawainella mengatakan, dalam makalahnya yang berjudul Kupasan Budaya
D. Kegunaan Penelitian Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan merupakan
kontribusi
pemikiran
bagi
pandangan keagamaan umat Islam, khususnya di Maluku, mengenai hubungan Islam dengan kebudayaan daerah. Secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pegangan bagi para penyiar agama Islam (para da’i) di dalam mengembangkan tugasnya.
berjudul Makna Pembuatan Tiang Alif Pada Masjid Hila Kaitetu dan Pengaruhnya Pada H.M.
Sattu
bahwa
tiang
Alang,
dkk.
alif
dalam
pandangangan masyarakat merupakan sesuatu yang sangat disakralkan. orang
memanifestasikan sistem budaya, salah satu bentuknya adalah membuat stratifikasi sosial yang berwujud dalam suasana dan tempat tertentu di dalam masjid, yang dikenal dengan istilah adat “Banua Masjid” yakni tempat tertentu di dalam masjid yang diperuntukkan
tersebut. Apabila dilanggar akan mendatangkan musibah bagi kampung. Penelitian bagaimana
ini
berupaya
kedudukan
dan
menjelaskan fungsi
masjid
menurut pandangan masyarakat di negeri Hila. F. Metode Penelitian Untuk mengadakan pendekatan terhadap
Dampak dari sakralisasi itu adalah, tidak sembarang
Islam Maluku, bahwa upaya masyarakat Maluku
Masyarakat awam dilarang menempati posisi
Dalam laporan hasil penelitiannya yang
memperlihatkan
Islam Di Maluku Pada Temu Kaji Ilmiah Budaya
khusus untuk raja dan turunan penyiar agama.
E. Tinjauan Pustaka
Masyarakat
perbuatan syirik,
boleh
melaksanakan
obyek yang akan diteliti, penulis menggunakan pendekatan
secara
teologis.
Metode
ini
pembuatannya, melainkan kepada beberapa
digunakan berkaitan dengan suatu kepercayaan
orang tertentu yang dipandang masyarakat
dari orang atau sekelompok orang/masyarakat.
sebagai ahlinya. Dari kepercayaan masyarakat
Eka Darmaputra, sebagai dikutip oleh Imam
ini kemudian melahirkan tata krama tertentu
Prayogo dkk, mengatakan bahwa pendekatan
kepada mereka, misalnya dalam menentukan
secara teologis dimaksudkan sebagai suatu
tempat-tempat tertentu di dalam saf salat
upaya merumuskan iman dalam konteks ruang
berjamaah.
dan
Penelitian yang sama, dilakukan oleh Amin Sopaliu,
dalam
merupakan
tertentu. suatu
Teologi
pengkajian,
itu
sendiri
penghayatan
menjelaskan,
(internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi)
berdasarkan pada suatu tinjauan akidah Islam,
nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan
bahwa
masalah-masalah kemanusiaan.5
praktek
skripsinya
waktu
pensakralan
masyarakat
terhadap bagian-bagian masjid telah menjadi tradisi yang dipercayai dapat mendatangkan malapetaka dan bencana bila terdapat kesalahan
5Imam Suprayogo, (et. all), Metodologi Penelitian Sosial Agama (cet. I , Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 58
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 41
Baco Sarluf
Berdasarkan pada obyek yang akan
penelitian deskriptif, sebagai yang dijelaskan
fokus pada satu pokok masalah tertentu.8 Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara terhadap tokoh-tokoh adat dan masyarakat yang dipandang mempunyai pemahaman yang baik terhadap adat masyarakat di negeri Hila. (b) Observasi adalah pengamatan secara
oleh Jacob Vredenbreght, adalah suatu penelitian
langsung di lapangan terhadap obyek yang
yang akan menguraikan atau menggambarkan
akan diteliti. Observasi juga dilakukan pada
diteliti,
penulis
mengambil
inisiatif
untuk
menempuh penelitian lapangan (field research), yang kemudian dari persoalan-persoalan yang terkait dengan penelitian ini penulis akan membahasnya secara diskriptif.6 Sedangkan
suatu kolektifitas, dengan syarat bahwa uraian
saat
atau gambaran itu terjamin kevaliditasannya.7
gambaran yang jelas.
Penulis,
dalam
penelitian
ini,
menggunakan data primer dan data sekunder.
penelitian
untuk
mendapatkan
(c). Dokumentasi adalah data-data kepustakaan atau juga dari sumber- sumber lain yang
Yang pertama merupakan data utama, diperoleh
dianggap relevan dengan tujuan penelitian.
melalui wawancara dari sejumlah informan
Dari data-data yang telah terkumpul akan
kunci. Yang kedua merupakan data pendukung,
dianalisa secara deskriptif-kualitatif. Yang dalam
berupa dokumen atau arsip, diperoleh melalui
hal ini adalah penjelasan-penjelasan dengan
pemeriksaan atas sejumlah arsip kantor negeri,
tidak menggunakan angka-angka secara statistik
sumber-sumber pendukung lain yang dianggap
atau angka-angka lain.
relevan dengan penelitian ini serta segala aktifitas masyarakat negeri Hila yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Sumber-sumber data dalam penelitian ini meliputi data lapangan (field research) yang dilengkapi dengan data kepustakaan (library research) seperti buku, makalah, hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen. Ada beberapa tehnik yang penulis gunakan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan: (a) Wawancara, dilakukan terhadap sejumlah informan, dengan secara tak berstruktur (unstruktured interview) yakni, dengan tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu
BAB II SEKILAS PANDANG TENTANG MASJID A. Struktur dan Karakter Masjid Dewasa ini masjid telah tersebar di seluruh dunia. Lebih dari 250 negara telah memiliki ratusan bahkan sampai ribuan masjid. Dengan
melihat
pada
luasnya
daerah
penyebaran Islam dengan memakan waktu yang panjang sudah tentu masjid telah mengalami banyak sekali perkembangan dalam modifikasi bentuk dan arsitekturnya mengikuti jaman dan tempat di mana ia dibangun. Tetapi, satu hal yang tidak pernah hilang adalah masjid masih tetap menjaga unsur pokoknya yang tidak pernah berubah sebagai identitas sejatinya dari
6Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik) (Jakarta : Bina Aksara, 1986), h. 115. 7Jacob Vredenbreght, Metode dan Tehnik Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1978), h. 31.
42 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
8Kontjarangrat, Metode-Metode Dalam Penelitian Masyarakat (Jakarta : LIPI, 1997), h. 162-164.
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
ajaran Islam, yaitu prinsip pokok tauhid (Tuhan Yang
Esa).9
kaligrafi,
kebanyakan,
mengekspresikan
dicurahkan
kekuatan
untuk
wahyu
itu.
Karakteristik pokok seni Islam adalah
Sedangkan arabesk merupakan pengembangan
kekosongan, karena itu di dalam masjid tidak
rasa keindahan yang bebas dari mitos alam, dan
dibenarkan dan harus dibersihkan dari arca atau
dilakukan dengan mengembangkan pola-pola
gambar. Tetapi dengan karakteristik ini pula
abstrak yang diambil dari pengolahan motif
terpancarlah
bunga-bungaan,
sinar
perasaan
dari
adanya
daun-daunan
dan
poligon-
kehadiran Tuhan. Tuhan itu berada di mana saja,
poligon.11 Bersama dengan kaligrafi dan arabesk,
akan tetapi Ia tidak kelihatan. Adalah merupakan
cahaya
suatu pelanggaran besar (kesyirikan) bila kita
menyatakan rasa akan kehadiran Tuhan. Hal ini
memberi
nampak, misalnya,
tempat
kepada
Tuhan
atau
melukiskan-Nya.10
Cahaya
Alasan pokok yang mendasari ide anti
merupakan
dari
sarana
ketiga
untuk
pada masjid Telemsan.
lampu-lampu
perak
yang
dipancarkan kepada kaca-kaca yang berwarna-
gambar ini adalah karena magisme dapat
warni,
mampu
menghadirkan
mengalangi manusia untuk mencapai keadilan
hadirnya dunia lain.12
kesan
akan
berdasarkan persamaan sesama manusia. Tetapi
Masjid Nabawiy di Madinah sangat
dari sebalik itu, Islam sama sekali tidak
sederhana. Dinding-dindingnya terbuat dari batu
menutupi jalan bagi lahirnya ekspresi kesenian,
dan tanah. Atapnya dari pelepah-pelepah kurma
dengan
bagi
yang disusun. Luas bangunannya sekitar 30 x 35
umatnya untuk melahirkan seni kaligrafi dan
m.13 Di dalam masjid ada suatu bagian yang
arabesk.
paham
ditinggikan, yang terkenal dalam sejarah dengan
ketuhanan yang abstrak (dalam arti Tuhan yang
nama Suffah. Bagian ini ditempati oleh sahabat-
tidak bisa dilukiskan), dengan menekankan
sahabat nabi saw. yang miskin dari kalangan
penyataan diri Tuhan melalui wahyu. Maka
Muhajirin. Mereka kemudian dikenal dengan
jalan
memberi
Kaligrafi
kelonggaran
mengekspresikan
gelar ahlu al-shuffah.14 9Roger
Garaudy menjelaskan:“Di mana saja letak geografis atau arah monumen Islam setelah dengan cermat ia mengamati bentuk dan esensi kesenian Islam. “Kita merasakan pengaruh spiritual yang sama terhadapnya. Bagi saya, dari masjid agung di Kordoba sampai peti-peti kecil yang terdapat dalam masjid-masjid di Telemsan, di karawiyin (Fez) atau masjid Touloun di Kairo, atau di antara masjid-masjid raksasa di Istambul; lampu-lampu sorga di masjid Isfahan atau menara yang sederhana dan berbelok-belok di Samarra, dari kuburan Timurlaut di Samarkand sampai kuburan yang indah di Taj Mahal di India, dari Istana Al-hambra di Granada sampai istana Ali Kopou dan Chehel Sutun di Isfahan, saya selalu mendapatkan perasaan bahwa semua itu telah didirikan oleh seorang insan, yang dipanggil oleh satu Tuhan. Seni Islam menerangkan suatu pandangan dunia yang menetapkan arahnya dan temanya, kalimat-kalimatnya dan tekniknya.” Roger Garaudy, Promesses De L’Islam. Diterjemahkan oleh HM. Rasjidi dengan judul ‘Janji-Janji Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984 h. 136 10Ibid. h. 137
Adapun masjid Al-Haram, sampai dengan meninggalnya khalifah Abubakar ra., hanyalah berupa tanah lapang, yang berjarak beberapa meter saja dari ka’bah. Sekarang ketiga masjid bersejarah ini – masjid Quba, masjid Nabawiy, dan Masjid Al-Haram – sudah mengalami perubahan besar yang boleh dikata sudah tidak 11Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (cet II.Bandung : Mizan, 1988), h. 102-103 12Garaudy, Janji-Janji Islam...., h. 136 13Sarwono, Masjid Jantung Masyarakat: Rahasia dan Manfaat Memakmurkan Masjid (Jogjakarta : ‘Izaan Pustaka, 2003), h. 80 14Al-Kandhahlawi, Fadhilah al-Qur’an (Raiwind : Idarah Diniyat, 1998), h. 22
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 43
Baco Sarluf
ada
lagi
bekas-bekasnya
sebagaimana
mengkongkritkan kesatuan masyarakat Islam
keadaannya pada masa lalu. Sekarang masjid
yang universal. Dengan strukturnya, masjid
Quba bertembok batu, sisi empat perseginya
memenuhi fungsinya. Masjid tidak menyerupai
diperpanjang 40 meter dan tingginya mencapai 6
gereja Kristen atau suatu candi Yunani, karena
meter. Dibuatkan pula menara yang tingginya
masjid tidak dipakai untuk tempat meyimpan
lebih dari 10 meter. Di sebelah kanan masjid
badan seorang suci yang sudah mati (Ka’bah
terdapat pintu masuk yang lebernya 10 meter
berarti kubus dari tembok batu, dan tidak berisi
mengikuti
atap.
apa pun) atau perhiasan untuk melaksanakan
Demikian pula masjid Nabawi, sudah diperluas
upacara ibadat. Berlainan dengan candi Yunani
seluas kota Madinah pada masa Nabi saw.
atau gereja Kristen yang berbentuk panjang,
dahulu. Jumlah menaranya pun 10 buah. Adapun
masjid melebar ke kanan dan ke kiri untuk
masjid Al-Haram sekarang ini sudah mampu
memungkinkan semua pengunjung menghadap
menampung
kiblat16
lebar
masjid
ratusan
dan
ribu
diberi
jamaah
sahalat.
Menaranya juga berjumlah 10 buah. Dewasa ini masjid-masjid yang terdapat
C. Makna dan Fungsi Masjid
di berbagai negara di dunia saat ini, masing-
Kata masjid merupakan kata asli bahasa
masing telah memperlihatkan ciri yang berbeda-
Arab. Dalam ilmu saraf (ilmu tata bahasa) kata
beda pada bentuk dan struktur. Yang paling
masjid merupakan bentuk kata isim makan, yang
menonjol, dalam hal ini, adalah kubah dan
kira-kira
menaranya.15 Secara umum dapatlah dikatakan
keterangan tempat dalam tata bahasa Indonesia.
bahwa struktur dan fungsi struktur itu adalah
Kata masjid sendiri berasal dari akar kata-kata sajada-yasjudu, sujuudan, yang berarti, وضع جبهته
sama.
sederajat
dengan
istilah
kata
bahwa
=( باالرض متعبداmeletakan dahi di tanah untuk
strukturnya yang pokok memperingatkan kita
menghambakan diri kepada Allah).17 Gedung
pada
untuk
yang diperuntukkan masjid tidak disakralkan.
membersihkan diri dengan wuduk, atap-atap di
Yang perlu ialah menggunakan niat untuk itu.
pinggir atau arkade untuk berlindung dari panas
Kultus tidak ada dalam Islam. Inilah salah satu
matahari, ada lagi mihrab, yang menghadap ke
ciri pembeda Islam dari agama-agama lain. Tiap
Makkah, tempat imam memimpin shalat. Axis
yang bersifat kudus itu ada hubungannya dengan
tiap masjid, di mana saja tempat masjid itu juga
sifat profan dalam Islam.18
Roger
Garaudy
rumah
nabi:
menjelaskan ada
tempat
bertemu ke arah ka’bah. Tembok muka di kanan
Jadi, dalam Islam manusia tidak beda-
kiri mihrab, yang merupakan garis pertama dari
bedakan berdasarkan atribut-atribut duniawi.
barisan-barisan jemaat merupakan satu bagian
Tetapi dari sebalik itu, karena inti agama adalah
dari
yang
iman, dan tidak akan beragama dengan baik
melingkungi ka’bah sampai batas terakhir. Arah
kecuali jika seseorang telah memiliki kualitas
lingkaran
yang
tak
tiap masjid menunjukan
terbatas
pusat alam
dan 16Garaudy,
Janji-Janji Islam.....,, h. 137 Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia (Suarabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 610 18Gazalba, Masjid Pusat Ibadah...., h. 119 - 120 17Munawwir,
15Penjelasan tentang ciri-ciri suatu masjid pada berbagai negara, lihat Gazalba, Op Cit., h. 299-314
44 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
iman yang baik, maka perlu kiranya Nabi saw. mengadakan semacam seleksi secara batiniah dengan cara mengukur seseorang berdasarkan kualitas imannya.Melalui masjid dan amalanamalan masjid, terutama shalat lima waktu secara berjamaah, Nabi saw., juga atas petunjuk dari
Allah
swt.,
mulai
melakukan seleksi
tersebut. Dalam QS. Al-Taubah (9) : 17 – 18, Allah swt berfirman: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orangorang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” D. Pengelolaan Masjid Masjid di tangan Nabi Muhammad saw. telah difungsikan sedemikian rupa sehingga meluas, bahkan, melebihi fungsi sebuah negara modern
sekarang
ini.
Ketika
tonggak
kepemimpinan umat masih berada semuanya di tangan Nabi saw., yang juga dilanjutkan oleh para Khulafa’ al-Rasyidin, masjid dipandang, disamping sebagai wadah berhimpunnya umat untuk melaksanakan ibadah, sekaligus sebagai wadah
penyelenggaraan
soal-soal
kemasyarakatan. Jadi, Nabi saw. yang memimpin shalat
berjamaah
juga
menjadi
pemimpin
sebagai kepala negara dan pada saat-saat tertentu Nabi saw juga terjun langsung di medan perang dan menjadi panglima. Nabi saw. mengatur keseluruhan persoalan agama dan
Sikap menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan diteruskan pula oleh para khulafaurrasyidin, bahkan sampai pada khalifahkhalifah dari dinasti Bani Umayah. Khalifah pertama Abubakar Shiddiq biasanya mengerjakan urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan umat (negara) di ruang depan masjid. Begitu pula dengan gubernurgubernur pada wilayah-wilayah propinsi, apabila hendak menyampaikan sesuatu persoalan kepada rakyatnya, adalah melalui mimbar masjid.19 BAB III GAMBARAN UMUM NEGERI HILA Hila merupakan salah satu dari empat belas negeri yang ada di kecamatan Leihitu, kabupaten Maluku Tengah. Secara geografis kecamatan ini memang sepenuhnya berada di pulau Ambon, tetapi secara administratif ia masih berada di bawah kekuasaan kabupaten Maluku Tengah, yang ibu kota propinsinya terletak di pulau Seram. Luas wilayah negeri Hila lebih kurang 20.000 hektar. Sebelah utara berbatasan dengan selat Seram, sebelah selatan dengan negeri Hative Besar, sebelah Barat dengan negeri Kaitetu dan sebelah Timur dengan negeri Wakal.20 Dari luas wilayah itu separohnya berupa dataran tinggi (pegunungan) yang digunakan sebagai sumber mata pencaharian dan separohnya lagi adalah dataran rendah yang digunakan sebagai perkampungan penduduk. Pemerintahan negeri Hila terdiri dari 1 negeri induk dan 3 petuanan (Waitomu, Tahoku, dan Mamua) dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa yang terdiri dari beberapa macam suku pendatang.
umat itu di dalam masjid. 19Ibid.,
h. 281 - 290 Data : Kantor Negeri Hila, 2006
20Sumber
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 45
Baco Sarluf
Hila
bahasa
negeri-negeri yang ada di Maluku Tengah,
daerahnya hila berasal dari kata “lihi”, yang
tergolong ke dalam negeri adat. Faktor-faktor
berarti, hela dia bawa turun ; maksudnya adalah
pendukungnya dapat disebutkan di antaranya
ajak mereka turun ke Pantai. Karena memang
ialah karena negeri Hila juga
awalnya penduduk aslinya berdiam di gunung
belakang sejarah kebudayaan dan peradaban
Masapa dan
berarti
hela.
Dalam
Sanalu.21
memiliki latar
yang telah terakumulasi dan menjadi normatif
Dengan didukung oleh keadaan cuaca
bagi sistem nilai masyarakatnya. Tradisi-tradisi
yang beriklim tropis dan ketinggian dataran
dan adat istiadatnya yang telah berkembang
rendah yang cuma 4 meter dari permukaan laut,
selama ini merupakan campuran antara unsur-
sangatlah
unsur kebudayaan Islam Sunny, Syia’ah dan juga
pantas
bila
dikatakan
umumnya masyarakat negeri
Hila
bahwa bekerja
animisme.
sebagai petani. Tetapi juga karena negeri Hila memilki perairan laut yang cukup luas, maka ada
BAB IV
pula yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
PANDANGAN MASYARAKAT HILA
Sistem pemerintahan negeri Hila, dan semua negeri yang ada saat ini di seluruh Maluku, adalah merupakan lanjutan dari bentuk dan sistem yang telah ada dan berkembang jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa penjajah di daerah ini.22 Negeri Hila, sebagai umumnya 21S.
Laisouw, Tokoh Adat, “Wawancara” : Negeri Hila Kecamatan Leihitu tanggal 12 November 2005 22Oleh Pattikayhatu dkk. perkembangan itu telah dimulai semenjak jaman kuno (lebih kurang abad I – 1500 M). Pada saat itu, umumnya masyarakat membentuk kelompok-kelompok tersendiri, yang kemudian berkembang menjadi suatu kampung, di wilayah-wilayah pedalaman dan pegunungan. Alasan utama untuk memilih wilayah-wilayah tersebut sebagai basis pemukiman sematamata agar terlindung dari serangan kelompok-kelompok lain, karena sesama kelompok hidup sebagai musuh bagi kelompok lain. Kampung-kampung yang dibangun itu didasarkan pada sistem masyarakat hukum genealogis yang susunannya menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Kampung-kampung yang pada awalnya berbentuk kelompok-kelompok itu, lama-kelamaan berkembang menjadi struktur politik yang nyata, dan perkembangan itu berlanjut terus, sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang oleh van Leur disebut dengan istilah “Patrician Republikan” di bawah satu kuasa rezim aristokrasi. Struktur ini, misalnya dapat dijumpai di Maluku Tengah, Kepulauan Banda, Kepulauan Lease, dan sekitarnya. Karena semakin bertambah jumlah penduduk, maka terbentuklah beberapa mata-rumah, yang dalam istilah dearah dikenal dengan nama rumahtau atau lumatau. Lihat, Z.A. Pattikayhatu, Sejarah Daerah Maluku. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Maluku, 1993), h. 18
46 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
TERHADAP MASJID A. Sejarah Masjid Negeri Hila Dan Bentuk Kepengurusannya Setelah kembali dari perantauannya menuntut ilmu agama di tanah jawa Hasan Soleman, sebagai
pewaris
ke-5
kekuasaan
pemerintahan negeri Hila, membangun masjid pada tahun 1676 M. Masjid yang dibangunnya ini masih sangat sederhana. Ia terbuat dari papan, beratap daun rumbia dan berbentuk panggung. Ukurannya juga sangat kecil yaitu 5 X 4 M. Pada tahun 1700 M. masjid ini dibongkar untuk kemudian dibangun baru dengan menggunakan bahan beton. Amin Sopaliu menjelaskan bahwa pada tahun ini pula, setelah selesai dibangun, untuk pertama kalinya masjid Hila dibuatkan tiang alifnya.23 Masjid yang dibangun kemudian ini pun ukurannya sudah agak lebih besar yaitu 15 X 25 M. Dan untuk mengenang jasa sang ulama yang 23Hasil Wawancara dengan Amin Sopaliu, Tokoh Pemuda, pada tanggal 3 Februari 2007, di Negeri Hila
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
sekaligus pahlawan ini, masjid ini diberi nama dengan
Hasan
pembangunannya
Soleman. dipimpin
Pekerjaan
langsung
Tentang
Posisi-posisi
jabatan-jabatan
adat di dalam masjid lihat gambar. Khatib,
oleh
sebelum melaksakan khotbahnya, berada di
tukang ahli sebanyak 12 orang. Dalam sistem
luar masjid. Setelah dipanggil oleh moding
adat di negeri Hila keduabelas orang ini,
barulah dia masuk dan diantar untuk naik ke
kemudian, lebih dikenal dengan nama tukang 12. Jabatan tukang 12 ini diwarisi secara turun – temurun.
Beberapa
benda
bersejarah
masih tersimpan dengan baik di dalam masjid Hasan Soleman. Di belakang pintu depan masjid tergantung dua beduk besar, beduk masjid tua gunung Sanalu dan beduk Ulihalawang. Kedua beduk ini dipergunakan secara bergantian, baik untuk memberitahu umat tentang telah tiba waktu shalat (shalat 5 waktu dan shalat Jum’at).
mimbar. B. Pengertian Masjid dan Fungsinya Secara Adat bagi Masyarakat Hila Pada masa Nabi Muhammad saw., para Khulafaurrasyidin kekuasaan
dinasti
dan
juga
Umaiyah,
pada
masa
masjid
telah
digunakan bukan hanya sebagai sarana ibadah
Di atas mimbar diletakkan 4 buah bendera milik
tetapi juga sebagai sarana pembinaan umat.
Empat Perdana tanah Hitu. Bendera dengan
Sebenarnya letak keberhasilan menjalankan
warna merah muda milik perdana Jamilu, warna
fungsi masjid ada pada kekuasaan yang dipegang
Hitam milik Perdana Hasameten, warna kuning
oleh seseorang. Jika kekuasaan agama maupun
milik Perdana Totohatu dan warna biru milik
negara ada pada satu orang masjid dapat
perdana Pati Tuban.
dipandang bukan hanya sarana ibadah tetapi
struktur
Masjid di Hila memiliki
kepengurusannya
yang
tersendiri
juga sekaligus lembaga negara. Tetapi jika
terlepas dari kekuasaan raja. Secara adat, orang
fungsi-fungsi ini telah terbagi ke dalam tangan
Hila mengakui penguasa tertinggi di masjid yang disebut dengan Silehata. Kepemimpinan yang secara presidium ini terdiri dari empat orang: Tulukabessy,
Akihaly,
Tuhemahu
dan
Silawanapessy. Mereka bertugas mensahkan seseorang yang baru ditunjuk untuk menduduki
beberapa orang, masjid pun akan terbagi fungsinya, dalam arti yang tinggal hanya fungsi ibadah saja. Fungsi sosial-kemasyarakatannya hilang, karena berada pada tangan orang lain. Dalam masyarakat negeri Hila fungsi-
jabatan-jabatan imam, khatib, moding dan
fungsi, sebagai yang dijelaskan di atas, terbagi-
tukang
untuk
bagi juga ke tangan beberapa orang. Tetapi,
menduduki jabatan imam, khatib, moding, dsb.
suatu hal yang menarik adalah adat telah
merupakan hak sepenuhnya dari rumahtau-
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
rumahtau yang dikaui secara adat. Jabatan-
masjid, sehingga membentuk cara pandang
jabatan ini diwarisi secara turun-temurun.24
mereka terhadap masjid serta juga menentukan
12.
Penunjukan
seseorang
mereka untuk mengambil berbagai sikap dan 24Hasil wawancara dengan Husein Lating. Tokoh Adat dari Rumahtau Lating, pada tanggal 3 Febrauari 2007, di negeri Hila.
prilaku yang kemudian dianggap sebagai adat. Jabatan-jabatan adat sudah mempunyai tempat-
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 47
Baco Sarluf
tempat
berhak
bertukar tempat duduk. Raja, misalnya, tidak
menduduki tempat-tempat tersebut hanya para
boleh duduk di tempat tukang 12, atau tukang 12
pemangku adat saja. Orang lain, bukannya tidak
tidak boleh duduk di tempat khatib. Hal ini
berhak tetapi, tidak boleh sama sekali untuk
nampak sekali pada hari-hari besar seperti, hari
menempatinya. Melanggar ketentuan adat ini,
Jum’at dan dua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul
diyakini,
malapetaka
Adha). Jika orang yang bersangkutan tidak hadir
kepada orang yang melenggar, bahkan bisa
di masjid, tempat itu dibiarkan kosong. Jadi, pada
membawa kepada kematiannya – Sabar Lating
saat sedang dilaksanakan khotbah, sering ada
mengistilahkannya
umur.
tempat yang dibiarkan kosong, berhubung
Malapetaka juga bisa merembet kepada ahli
karena orang tersebut tidak datang. Nanti pada
keluarga orang itu walaupun berada di negeri
saat jamaah akan berdiri untuk melaksanakan
lain. Para pemangku adat ini kalau ke masjid
shalat barulah tempat itu diisi oleh siapa saja.
sudah
khusus
akan
tahu
di
di
masjid.25
mendatangkan
dengan
mana
Yang
cabu
seharusnya
duduk.
Disamping itu, mereka juga tidak boleh saling
C.
Makna dan Fungsi Bagian-Bagian Masjid yang
Dalam masyarakat Hila masjid dapat dipandang sebagai alam kecil dan sekaligus alam besar. Dikatakan bahwa masjid sebagai alam kecil karena orang Hila memandang bangunan masjid ibarat tubuh manusia dan bagian-bagiannya merupakan anggota tubuh manusia. Sabar Lating menjelaskan bahwa masjid adalah simbol dari manusia dan juga simbol dari alam semesta (dunia). Dikatakan simbol dari diri manusia karena bangunan masjid merupakan lambang dari tubuh manusia dan bagianbagiannya merupakan lambang dari anggota-anggota tubuhnya.. Misalnya, Tiang alif pada kubahnya itu adalah merupakan alif nisai manusia (kemaluan laki-laki). Lingkaran piring dengan lubang di tengahnya dimana ditancapkan tiang alif adalah lambang dari kemaluan perempuan. Jadi, dengan ditancapkannya tiang alif ke dalam piringnya itu adalah merupakan simbol dari pertemuan antara lelaki dan perempuan pada saat melaksanakan persetubuhan. Pintu depan masjid merupakan pintu rahim, memasuki pintu masjid sama dengan memasuki pintu rahim. Gerakan-gerakan dalam salat seperti, berdiri, takbir, ruku’ sujud dan duduk, dijelaskan Sabar Lating diibaratkan sama dengan gerakangerakan janin dalam rahim ibu. Karena itu, memasuki masjid tidak sama dengan memasuki rumah tempat tinggal, ada tertib-tertibnya yang harus dipatuhi. Dalam hadits Qudsi, kata beliau pula, Nabi saw. ada menjelaskan bahwa berbicara dunia atau yang tidak ada hubungan dengan agama di dalam masjid, maka selama 40 tahun amal ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah. Adapun sebagai alam besar karena masjid adalah tempat berlindung dari bencana alam. Beliau mencontohkan, bila terjadi bencana banjir atau tsunami, maka orang-orang akan mencari perlindungan di dalam masjid. Hasil wawancara dengan Bapak Sabar Lating, Kepala Rumahtau Lating, tanggal 05 Februari 2007 di Negeri Hila 25
48 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
disakralkan
serta
Proses
Pembuatannya Secara Adat. Pada masyarakat negeri Hila masjid dan bagian-bagiannya berdasarkan
dipandang
pada
makna-makna
dengan yang
bersumber dari pemahaman adat sehingga berlanjut pada penggunaannya yang berlebihlebihan.
Berikut
ini
akan
didiskripsikan
pandangan masyarakat Hila terhadap beberapa bagian masjid yang dianggap sakral tersebut, serta landasan keyakinan mereka pada saat proses pembuatannya. 1. Tiang Ka’bah Yang dimaksud dengan tiang ka’bah adalah empat buah tiang utama penyangga bangunan masjid yang letaknya di tengah-tengah ruang dalam masjid. Tiang ini tetapdibua walaupun masjid sangat kecil. Keempat tiang ini masing-masing diberi nama: Hanan, Manan, Burhan dan Dayyan, dan selanjutnya dijaga oleh empat
malaikat
dan
empat
orang
khulafa’urrasyidin. Keempat malaikat itu ialah
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
Jibrail, Mikail Israfil dan Izrail. Dan empat
masyarakat Hila adalah alam rahim, karena itu
khulafa’urrasyidin ialah Abubakar r.a., Umar r.a,
mimbar senantiasa diberi hijab dengan sebuah
Utsman r.a. dan Ali r.a.26
kelambu yang menutupi bagian depannya.
Pembuatan tiang ini didahului dengan musyawarah adat antara
Khatib yang sedang berkhotbah ibarat sedang
empat penguasa
berada di alam rahim. Mimbar harus dilindungi
masjid - yang diberi gelar 4 Silehata – dan 12
dengan tutup kelambu. “Karena di situ ada
tukang masjid. Diantara yang dibicarakan di
rahasia rumah tangga,” jelas Sabar Lating.
dalam
musyawarah
itu
adalah
mengenai
Pembuatan mimbar juga oleh tukang 12.
penentuan hari dan bulan dilaksanakannya
Kalaupun ada orang yang menyanggupinya maka
pekerjaan tersebut serta segala keperluan lain
harus atas izin dan restu dari tukang. Dalam
yang berakaitan dengannya. Menurut Sabar
pembuatannya tidak boleh menggunakan paku
Lating hari dan bulan yang diambil adalah hari-
sebagai
hari dan bulan-bulan ganjil. Hari-hari ganjil
memakai sambungan secara sok.28
adalah Ahad, Selasa, Kamis dan Sabtu, dan bulan-
4. Tiang Alif
bulan ganjil adalah Muharam, Rabi’ul Awwal,
sambungan.
Cukup
hanya
dengan
Bagian masjid yang paling dianggap
Jumadil Awal, dst.
sakral oleh masyarakat Hila, dan pada umumnya
2. Atap Pipit
masyarakat Maluku, adalah tiang alif. Menurut
Atap pipit, dalam bahasa daerah Hila,
Bapak
Sabar
Lating,
sebagaimana
telah
berarti atap awal. Dinamakan demikian karena
dijelaskan di atas, kehormatan suatu negeri adat
sebelum masjid ditutup dengan atap seng atau
terletak
yang lainnya, terlebih dulu harus diletakkan atap
merupakan lambang dan pelaksanaan adat dari
pipit. Jadi atap ini berada di bawah atap seng dan
negeri tersebut. Dan, esensi masjid terletak pada
terletak di sepanjang 4 ujung tepi atap seng.
tiang alifnya, masjid tanpa tiang alif bukan
Lebarnya hanya sekitar 50 cm, tetapi panjangnya
masjid namanya, tetapi rumah biasa.29 Jadi,
adalah sepanjang atap seng (bangunan masjid)
masjidlah yang menentukan keabsahan suatu
dan harus utuh, tidak boleh ada sambungan.
adat. Tetapi masjid pun tidak akan ada artinya
Atap pipit dikerjakan oleh salah seorang dari
pada
masjidnya.
melainkan harus pada
Karena
masjid
tiang alifnya. Jadi,
12 tukang dan dikerjakan di rumah Soa Masapal.
sesungguhnya kunci utama kehormatan negeri
Atap ini juga diyakini bisa mendatangkan
adat itu ada pada tiang alifnya. Seluruh
manfaat bila dikerjakan oleh ‘ahli’nya dan bisa
eksistensi adat dan pelaksanaannya sepenuhnya
mendatangkan mudharat buat orang sekampung
bergantung kepada adanya tiang alif. Dari segi
bila salah orang dan salah
bekerja.27
etimologis tiang alif terdiri dari dua kata, yaitu
3. Mimbar Mimbar,
tiang dan alif. Dari kamus kita dapati arti bahwa sebagai
tempat
khatib
tiang adalah tonggak panjang untuk menyokong
menyampaikan khotbahnya, dalam pandangan
atau menyangga (atap, lantai, jembatan, dsb).
26Hasil wawancara dengan Sabar Lating, Kepala Dati Lating, tanggal 5 Februari 2007, di negeri Hila 27Hasil wawancara dengan Sabar Lating, Kepala Dati Lating, tanggal 5 Februari 2007, di negeri Hila
29 Hasil Wawancara dengan Sabar Lating, Kepala dati Lating, tanggal 5 Februari 2007, di negeri Hila
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 49
Baco Sarluf
Tiang juga dapat berarti sesuatu yang menjadi pokok kekuatan, penghidupan,
sudah menjadi lain. Nampaknya, di sini perasaan
Sedang
dan keyakinan telah menentukan cara pandang
kata alif merupakan huruf pertama dalam sistem
masyarakat terhadap tiang tersebut. Bapak
alphabeth huruf-huruf hijaiyah.
Sabar Lating menjelaskan :
Dipandang
sepintas
dsb.30
lalu
tiang
alif
Dalam proses penciptaan alam ini yang
nampaknya hanya sekedar ungkapan rasa seni
pertama kali diciptakan Allah adalah titik, dari
umat Islam pada masjid. Dengan tiang ini masjid
titik
nampak unik dari bangunan-bangunan lain.
menjadikannya sebagai penopang ‘arsy (kursi)-
Apalagi, pada umumnya tiang alif, dibuat dengan
Nya. . . Tiang ini dinamakan tiang alif karena
berbagai ukiran dan motif bunga-bungaan.
dengan alif kita mengenal Allah. 32
terbentuklah
alif.
Dengan
alif,
Allah
Ditambah cat yang berwarna-warni, seperti
Kata Sabar Lating pula bahwa alif adalah
kuning keemas-emasan, silver yang mengkilat
huruf pertama, maka tanpa huruf ini tak akan
atau juga campuran berbagai macam cat, masjid
ada huruf-huruf yang lain. Huruf-huruf yang lain,
nampaknya sebagai bangunan yang menyimpan
merupakan bentuk-bentuk yang berkembang
berbagai
menjadi
(bersumber) dari alif. Dari huruf terbentuklah
pemandangan umum di Maluku bahwa setiap
kalimat, dan dari kalimat terbentuklah bahasa.
macam
pesona.
Sudah
masjid pasti mempunyai tiang
ini.31
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tiang alif adalah sepotong kayu atau tonggak kayu
Dengan bahasa orang dapat menyampaikan ilmu dan pengajaran. Dari penjelasan di atas kita dapat
yang diletakkan di puncak masjid yang berfungsi
mengambil
sebagai tanda rumah ibadah umat Islam.
merupakan lambang atau simbol dari alif yang
Tetapi
kata
alif
memiliki
gambaran
bahwa
tiang
alif
makna
menopang ‘arsy Allah. Azan yang dilakukan tidak
tersendiri bagi masyarakat Hila, juga tiang yang
dibawah tiang alif sudah tentu tidak sampai ke
diletakkan di puncak masjid. Sehingga tiang alif
hadirat Ilahi. Pengertian dan fungsi tiang alif
bukan lagi bermakna sama dengan tiang pada
sebagai yang dijelaskan di atas sejalan dengan
umumnya, yaitu sepotong kayu yang berfungsi
apa yang dijelaskan oleh Amin Sopaliu bahwa
sebagai penyangga atau penopang sesuatu
pembuatan tiang alif pada masjid, dimaksudkan
beban. Bertentangan dari kenyataan, setiap tiang
sebagai simbol atau sasaran dalam hubungan
pasti letaknya dibawah sesuatu karena fungsinya
manusia secara vertikal dengan Yang Suci
sebagai penopang sesuatu itu. Tiang alif justru
(Allah).33 Kenapa tiang alif harus berada pada
terletak di puncak masjid. Dengan demikian,
ujung atau puncak masjid? Hal ini dijawab oleh
fungsinya bukan lagi sebagai penopang tetapi
Sattu Alang dkk, dalam hasil analisa mereka, sebagai berikut:
30Hasan Alwi (et. all), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 1189 31Tiang alif terbuat dari sepotong kayu yang panjangnya lebih kurang 3 meter dengan diameter pada pokoknya berkisar antara 25 cm – 30 cm. dan ujungnya lebih kurang berdiameter 10 cm. Tiang ini kemudian diletakkan pada puncak kubah, sehingga orang Maluku menamakannya juga ujung masjid
50 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
32Hasil wawancara dengan Bapak Sabar Lating, Kepala Rumahtau Lating, Negeri Hila, pada tanggal 05 Februari 2007, di negeri Hila 33Hasil Wawancara dengan Amin Sopaliu, Tokoh Pemuda, pada tanggal 10 Februari 2007, di Negeri Hila
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
Ini
menandaskan
Allah
sebagai telah dijelaskan misalnya, pada saat
merupakan Penguasa Tunggal terhadap seluruh
pelaksanaan salat Jum’at, dua salat ‘id (salat ‘Idul
alam. Karena kuasa-Nya yang begitu tinggi, maka
Fitri dan ‘Idul Adha), serta pada pelaksanaan
simbolnya memperlihatkan bahwa Allah ada
penyembelihan hewan qurban. Oleh karena
pada tempat yang tinggi. Dengan diletakannya
adanya campur tangan adat dalam pelaksanaan
tiang
tertinggi,
amal-amal agama timbullah berbagai macam
dimaksudkan agar komunikasi atau pengaduan
amalan yang berlebih-lebihan, dalam pandangan
diri para hamba yang hina sebagai makhluk
Islam dikenal dengan istilah bid’ah dan khurafat.
dapat dihubungkan ke hadhirat Tuhan. Yang
Maka, nampak sekali masjid telah dijadikan
Maha Qudus dan Suci. Justru itulah tiang alif
sebagai lembaga adat.
alif
pada
bahwa
ujung
yang
menempati posisi sentral dan harus disucikan dalam proses pembuatan penempatannya. 34
BAB V
Dengan kedudukan tiang alif yang begitu sentral
dalam
pemahaman
dan
keyakinan
masyarakat negeri Hila, sudah tentu dalam pembuatannya mereka memerlukan serangkaian proses
adat
yang
sudah
baku.
Dan
pelaksanaannya juga tidak diserahkan kepada sembarang orang melainkan kepada beberapa orang yang dianggap ahlinya yaitu yang terkenal dengan
nama
pembuatan
tukang
tiang
alif
12.
Pelaksanaan
didahului
dengan
musyawarah adat sesama mereka, yang dihadiri juga oleh raja.
Pimpinan musyawarah adalah
kepala tukang, yang digelari dengan Tukang Ela (tukang besar). Diantara persoalan yang dibahas dalam musyawarah itu adalah tentang hari apa pekerjaan akan dilaksanakan serta kayu apa yang akan dijadikan sebagi tiang alif. Dengan
demikian,
masyarakat
Hila
membangun masjid sebagai sarana pelaksanaan ibadah juga sebagai sarana pelaksanaan adat. Agaknya adat telah berperan sebegitu jauh dalam kehidupan masyarakat Hila sehingga adatlah yang mengatur agama. Hal itu terlihat,
PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai kesimpulan, dapatlah penulis merumuskan beberapa pokok pikiran dari penelitian ini, sebagai berikut: 1. Masyarakat negeri Hila membangun masjid, di samping sebagai sarana ibadah juga sebagai sarana pelaksanaan adat. Adapun adat-adat itu sendiri merupakan warisan dari paham animis yang tidak sempat dikikis habis oleh para penyiar Islam dulu. 2. Masjid dan bagian-bagiannya yang disakralkan itu ternyata merupakan simbolisasi diri manusia. Jadi, dengan mensakralkan masjid, secara
tidak
langsung,
mereka hendak
mensakralkan diri manusia. 3. Sebagai akibat dari pensakralan tersebut timbullah seperangkat norma dan aturan, yang kemudian dijadikan adat. Hanya saja adat-adat tersebut telah masuk ke dalam wilayah kepercayaan dan keyakinan. B. Saran Beberapa saran yang penulis anggap
34Sattu
Alang, Makna Pembuatan Tiang Alif Pada Masjid Hila. Laporan Penelitiann Pada STAIN Ambon: 1999, h. 55
penting bagi pengembangan agama (Islam) dan umatnya ke depan adalah bahwa hendaklah para
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 51
Baco Sarluf
da’i, pendidik, tokoh-tokoh pemerhati masalahmasalah sosial memperhatikan persoalan ini dengan
secara
cermat
dan
kemudian
memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang benar kepada agamanya. Penelitian ini belum terlalu mendalam mengungkap masyarakat
bentuk-bentuk secara
mendalam.
pemahaman Hal
ini
disebabkan karena sikap tertutup dari beberapa tokoh adat untuk memberikan informasi kepada penulis. Pemahaman-pemahaman yang sengaja tidak buka itu dianggap sebagai ilmu makrifat yang sangat dirahasiakan. Tidak diberikan kecuali kepada orang yang dari keluarganya. Kepeda peneliti-peneliti selanjutnya agar dapat menukik lebih dalam lagi kepada persoalan ini. DAFTAR PUSTAKA Alang, Sattu, H.M (et. All), Makna Pembuatan Tiang Alif Pada Masjid Hila Kaitetu dan Pengaruhnya Pada Masyarakat. Laporan Penelitian pada STAIN Ambon : 1999 Al-Kandhalawi, Zakaria, Muhammad, Fadhilah Al-Qur’an. Raiwind : Idarah Diniyat, 1998 Al-Naisabury, Ahmad Al-Wahidiy, Ali bin, AlImam Abi al-Hasan, Al-Asbab AlNuzul. Kairo: Darul Hadits, t.th. Alwi, Hasan (et. All), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga, Jakarta ; Balai Pustaka, 2002 Arikunto, Suhartini, Prosedur Penelitian, Jakarta : Bina Aksara, 1986 Garaudy, Roger, Promesses De L’Islam. Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan judul Janji-Janji Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1984
52 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Pustaka AlHusna, 1989 Haar, Ter, R., Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan Subekti Poespunata dan Pradnja Paramita. Jakarta : Wolter, 1960 Hitti,
Philip K., Dunia Arab. Terjemahan Usuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing. Bandung : Vorkink – van Hoeve, t.th.
Kementerian Agama Terjemahnya.
RI.,
Al
Qur’an
dan
Kontjarat, Metode-Metode Dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta : LIPI, 1997 Leur, van J.C., Indonesian Tarde and Society. Bandung : Sumur Bandung, 1960 Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan, 1987 MZ., Labib, Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji. Jakarta : CV. Bintang Pelajar, tt Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jilid I, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978 Nottingham, K., Elizabeth, Religion and Society. Diterjemahkan oleh Abdul Muis Naharong dengan judul Agama dan Masyarakat (Suatu Pengantar Sosiologi Agama). Jakarta : Rajawali, 1985 Nour, Kupasan Budaya Islam Maluku Tengah, disampaikan pada temu kaji ilmiah budaya Islam Maluku Forum Kajian Qalfir HMI Cabang Ambon tanggal 27 – 30 Januari 1994 Ohorella, M.G., Manusia Maluku: Kebudayaan dan Kepribadian Alifuru serta Pembangunan, disampaikan pada seminra nasional tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam rangka wisuda
Masjid Sebagai Lembaga Adat Pada Masyarakat Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
sarjana V dan diesnatalis IAIN Alauddin di Ambon tanggal 7 sampai dengan 8 Oktober 1994 Pattikayhatu, J.A, (et. All), Sejarah Daerah Maluku. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Maluku, 1993 Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang : UIN-Malang Press, 2009 Salim, Hadiyah, Qishahul Anbiya. Bandung : Alma’arif, 1985 Sarwono, Ahmad, Masjid Jantung Masyarakat: Rahasia dan Manfaat Memakmurkan Masjid. Jogjakarta : Izzan Pustaka, 2003 Shihab, Quraish, M., Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati, 2002
Sopaliu, Amin, Makna Pembuatan Tiang Alif Pada Masjid Hila dan Pengaruhnya Pada Masyarakat. Skripsi, Ambon, STAIN Ambon, 2005 Suprayogo, Imam (et. All), Metodologi Penelitian Sosiologi Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001 Susanto, Hary, P.S., Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta : Kanisius, 1987 Vredenbreght, Jacob, Metode dan Tehnik Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1978 Zuhdi, Harfin, Muhammad, Tradisi Merari : Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, http: //lombokbaratkab.go.id/tradisi-merariakulturasi-islam-dan-budaya-lokal.html
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 53