DISKRESI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI KECAMATAN LEIHITU KABUPATEN MALUKU TENGAH DISKRESI IN IMPLEMENTATION POLICY ALLOCATION OF COUNTRYSIDE FUND IN SUBDISTRICT MIDDLE LEIHITU REGENCY MALUKU.
In Hutuely1,Alwi2, Hasniati2 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Abdul Azis Kataloka Ambon, 2 Bagian Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. 1
Alamat Korespondensi : In Hutuely Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Abdul Azis Kataloka (STIA ALAZKA) AMBON Ambon 97128 Tlp. Kantor: 081242571073 HP. 081343401441 Email:
[email protected]
1
Abstrak
Diskresi menjadi isu krusial dalam pelayanan publik seiring dengan adanya tuntutan kepada aparat birokrasi untuk dapat memberikan pelayanan publik yang lebih responsif, efektif, dan akuntabel. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada Desa Hila dan Desa Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik observai dan wawancara mendalam (indepth-interview) kepada key informan. Hasil peneltian dianalisis secar kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah masih kurang inisiatif dalam mengambil diskresi. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah antara lain sebagai berikut: a. Faktor sarana dan prasarana dalam menunjang implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) masih kurang memadai. b. Faktor kualitas dan kuantitas aparatur pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) masih berada pada tingkat yang kurang memadai khususnya apabila dilihat dari segi kualitasnya, c. Faktor prosedur pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD), menyangkut pemahaman masyarakat mengenai prosedur dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa berada pada tingkat kurang memahami. Kata Kunci : Diskresi, Implementasi, ADD.
Abstract Diskretion becomes a crucial issue in public service along with existence the demand to bureaucracy official to give a more responsive, effective, and accountable public service. The aims of the research were to analyze the practice of official discretion of Street Level Bureaucracy in the implementation of Village Fund Allocation Policy in Leihitu District of Central Maluku Regency and to analyze factors affecting the practice of officials discretion of Street Level Bureaucracy in the implementation of Village Fund Allocation Policy in Leihitu District of Central Maluku Regency. The Research was conducted in Hila Village and Kaitetu Village of Leihitu District, Central Maluku Regency. The methods of obtaining the data were observation technique and indepthinterview to key informants. The data were analyzed qualitatively. The result of the research indicate that the practice of official discretion of Street Level Bureaucracy in the implementation of Village Fund Allocation Policy in Leihitu District of Central Maluku Regency is still less initiative in taking discretion. The factors affecting the practice of official discretion of Street Level Bureaucracy in the implementation of Village Fund Allocation Policy in Leihitu district of Central Maluku Regency are as follows: (a) inadequate facilties and infrastructures in supporting Village Fund Allocation, (b) inadequate quantity and quality of official as the implementers of Village Fund Allocation especially the quality, (c) the lack of community’s understanding on the procedures and implementation of Village Allocation Fund Policy. Key words: discretion, implementation, ADD.
2
PENDAHULUAN Peran
birokrat
sebagai
pelaksana
pelayan
publik
seringkali
menghadapi
dilemma.Sebagaimana diketahui dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya terkait dengan berbagai aspek seperti jumlah dan variasi kelompok masyarakat yang dilayani, begitu juga dengan reaksi kelompok sasaran yang dilayani sedeikian cepat. Sementara pada sisi yang lain, pada umumnya birokrat garis depan merasa bahwa sumber daya yang tersedia tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan permintaan yang ditujukan kepadanya (Weatherley dkk, 1977). Street Level Bureaucracy sendiri adalah para pegawai pelayanan publik yang terlibat langsung dengan warga negara. Contohnya adalah pegawai, polisi, pekerja jawatan sosial, TU, pekerja medis, dan paramedis. Street Level Bureaucracy ini memiliki keleluasaan secara substansial untuk mengeksekusi kebijakan yang keputusannya berimplikasi langsung kepada warga negara. Dalam melakukan eksekusi kebijakan secara umum, Street Level Bureaucracy relatif otonom dari otoritas organisasi dalam membuat tafsiran mengenai eksekusi kebijakan dan juga memiliki kewenangan diskresi yakni keleluasaan dalam melakukan eksekusi kebijakan. Mereka yang bekerja dalam tataran Street Level Bureaucracy ini adalah ujung tombak kebijakan yang diputuskan oleh para elit. Dalam penelitian terdahulu, Nilviani (2011) yang meneliti tentang implementasi Program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) di Kota Parepare. Tujuan penelitian ini membahas tentang pelaksanaan komunikasi dalam implementasi program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) di Kota Parepare, ketersediaan sumber daya dalam implementasi program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) di Kota Parepare, sikap pelaksana dalam implementasi program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) di Kota Parepare, struktur organisasi dalam implementasi program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) di Kota Parepare, dan dukungan masyarakat dalam implementasi program Gerakan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) Di Kota Parepare. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah lebih menfokuskan diri pada diskresi tentang implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa. Silooy (2011) penelitian ini tentang Implementasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Di Kabupaten Jayawijaya. Penelitin ini bertujuan untuk mengetahui implementasi program kompensasi pengurangan subsidi BBM di Kabupaten Jayawijaya dan faktor-faktor yang menghambat implementasi program kompensasi pengurangan subsidi BBM di Kabupaten Jayawijaya. Perbedaan dengan penelitian penulis 3
adalah implementasi kebijakan yang dimaksud dalam penelitian Telly adalah faktor Komunikasi (communication), Sumber daya (Resources), Sikap (Attitude), dan Struktur Birokrasi (Bureucratic structure) sedangkan penelitian ini lebih menfokuskan pada diskresi dalam implementasi kebijakan. Diskresi apabila diterapkan dalam memberikan pelayanan publik, maka dapat melakukan berbagai penyesuaian sehingga aturan yang ada tetap bisa menjawab tuntutan, aspirasi, dan dinamika masyarakat. Tetapi, diskresi ini harus memenuhi syarat- syarat yakni diskresi yang dilakukan tetap pada koridor visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, diskresi dilakukan untuk kepentingan umum, diskresi dilakukan dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Contoh mudahnya adalah diskresi yang dilakukan polisi. Apabila lampu lalu lintas berwarna merah maka sesuai aturan semua kendaraan wajib berhenti. Namun dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya, seorang polisi dapat mengabaikan aturan tersebut dengan memperbolehkan semua kendaraan tetap berjalan walaupun lampu lalu lintas masih berwarna merah. Hal itu dilakukan dengan berbagai macam pertimbangan, misalnya untuk mengurangi suatu kemacetan lalu lintas. Sehingga, diskresi yang dilakukan oleh polisi menjadi penting dengan berbagai kreatifitas agar menjadikan lalu lintas berjalan aman dan tertib. Dengan memberikan kewenangan kepada Street Level Bureaucracy maka keputusan yang tepat dan cepat dapat diambil untuk memecahkan masalah yang timbul. Pendekatan seperti ini juga membuat para pejabat birokrasi pada tingkat bawah menjadi lebih kreatif, berani mengambil resiko, dan terlatih untuk menyelesaikan masalah. Dan pastinya, aturan tetap dijadikan pedoman tetapi tetap dijalankan fleksibel sesuai konteks dan tuntutan masyarakat. Aparat birokrasi terutama dalam Street Level Bureaucracy tidak terkungkung oleh orientasi teknis prosedural dalam memberikan pelayanan kepada publik. Aturan tidak dipahami secara kaku sehingga mampu berinisiatif dan menerjemahkan aturan sesuai dengan kondisi dan situasi lapangan demi pelayanan maksimal kepada masyarakat. Tulisan ini akan menganalisis praktek diskresi dan faktor-faktor yang mempengaruhi praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.
4
METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada dua Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, dengan pendekatan kualitatif dengan studi eksplorasi (exploration study). Fokus Penelitian Praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Informan Penelitian Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala-kepala Urusan, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan serta mampu menjelaskan kondisi sebenarnya tentang obyek yang diteliti. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yaitu data primer dengan wawancara langsung dengan informan. Sedangkan data sekunder yakni data didapat lewat dokumen-dokumen resmi. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara mendalam serta penelusuran lewat dokumen resmi. Teknik Analisis Data Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif Miles & Huberman (1988) dalam Sugiono (2007) dengan analisis reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya. HASIL PENELITIAN Praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Birokrasi merupakan sebuah organisasi besar yang memiliki fungsi yang luas serta aparat (pegawai) pada setiap tingkatan (level). Para pemegang jabatan-jabatan penting berada pada level yang tinggi (high), sedangkan yang selalu berhadapan langsung dengan masyarakat dalam hal pelayanan biasanya berada pada level bawah (low). Orang-orang yang berada dalam level bawah inilah yang biasa disebut dengan ’birokrasi dalam tingkat ’street level’. Street level sebagai garda terdepan dari pelayanan dan berhadapan langsung dengan publik, adalah pihak yang pertama kali yang bertemu dan bertatap muka dengan publik. Sehingga, seluruh keluh kesah, tanggapan , respon dan juga tindakan yang dilakukan publik yang tercermin pada tindakan individu didalamnya langsung mereka hadapi. Keadaan ini memang merupakan tugas mereka, akan tetapi terkadang birokrasi pada tingkat ’street level’ 5
tidak dapat menyelesaikan seluruh tugas yang ada.gambarkan melalui beberapa indikator untuk melihat kondisi ‘diskresi birokrasi’ berdasarkan sebuah penelitian pada sejumlah aparat desa di kedua desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah pada level bawah. Keterbatasan Akses Layanan/inisiatif layanan ketika pimpinan tidak ada Hasil pengamatan penulis didapatkan bahwa biasanya penundaan pelayanan masyarakat karena terkendala berkas harus ditandatangi oleh pimpinan atau karena yang tahu permasalahan adalah pimpinan. Kondisi ini dipertegas oleh BO (55 thn) bahwa: “Pada awalnya itu saya harus nego dengan Bapak Raja (kepala desa) bagaimana kendala ini kita mau pecahkan, kalaupun Bapak selaku Kepala Pemerintahan di desa ini untuk kita mau mensejahterakan kita punya masyarakat, marilah kita sama-sama membaikot ini sehingga tidak ada lagi keluhankeluhan dari pada masyarakat untuk kita mau mengembangkan mereka mempunyai kesejahteraan yang lebih layak di desa ini.” (Wawancara Senin, 17 Agustus 2013)
Hal yang sama dijelaskan oleh MNL, 51 thn (aparat desa) bahwa: “Ikut aturan, artinya dari pemerintah desa itu ada punya aturan desa ada, bekerja sesuai aturan sehingga katong (kami) bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah desa dan masyarakat sehingga untuk mendapatkan hasil sudah diatur oleh aturan desa.” (Wawancara, Sabtu, 17 Agustus 2013).
Jika memperhatikan hasil wawancara tersebut di atas, dapat dipahami bahwa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sering kali terjadi penundaaan pelayanan karena kebijakan akhirnya diputuskan oleh kepala desa sebagai pemimpin desa. Perbedaan dalam Memberikan Pelayanan. Budaya paternalisme, sistem yang menempatkan
pimpinan sebagai pihak yang
paling dominan, memiliki corak hubungan seperti ayah dengan anak. Pola hubungan dipandang secara hierarkis. Dalam konteks pelayanan publik, ada dua dimensi, pertama; antara aparat dengan masyarakat, kedua; antara pimpinan/atasan dengan staff/bawahan. Dalam budaya paternalisitik, memungkinkan aparat memberikan pelayanan yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Hasil wawancara dengan NM (47 thn) menjelaskan tentang pelayanan yang diberikan oleh aparat desa sebagai berikut: “Tidak ada perbedaan, seperti tadi yang beta (saya) sudah jelaskan bahwa pemerintah desa dengan dia punya aparat itu dalam melayani masyarakat itu tidak memilih kasih, melayani masyarakat itu adil dan bijaksana baik itu dari masyarakat tidak mampu maupun masyarakat yang mampu semuanya itu sama, itu karena sudah ada dalam peraturan negeri.” (Wawancara, Sabtu, 17 Agustus 2013).
Hasil wawancara dengan responden lain yaitu MNL (51 thn) menjelaskan bahwa pelayanan yang diberikan pada masyarakat sudah sesuai dengan aturan, berikut wawancara sebagai berikut: 6
petikan
“Ikut aturan, artinya dari pemerintah desa itu ada punya aturan desa ada, bekerja sesuai aturan sehingga katong(kami) bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah desa dan masyarakat sehingga untuk mendapatkan hasil sudah diatur oleh aturan desa.” (wawancara, Sabtu, 17 Agustus 2013)
Dari kedua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa aparat desa tidak membedabedakan pelayanan kepada masyarakat. Memahami Pengguna Jasa Publik dan situasi kerja Pemberian kewenangan untuk melakukan diskresi dalam birokrasi masih merupakan langkah yang belum dipahami substansinya dan tidak popular dalam jajaran birokrasi pelayanan. Hasil pengamatan penulis didapatkan bahwa
aparat sering minta bantuan pada
pimpinan dalam melaksanakan tugas seperti Penyusunan APBDesa, LPPD, dan LKPJ, pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan alokasi dana desa (ADD). Kondisi ini sama dengan penjelasan BO (55 thn) seperti petikan wawancara berikut ini: “Untuk seperti itu persoalannya itu pada kelompok-kelompok, kelompok-kelompok itu mempunyai kendala, misalnya kelompok kelautan yaitu adakalanya mereka mempunyai perahu yang sudah bocor sehingga tidak ada lagi pasokan untuk mereka mau menampal perahu atau membuat perahu yang baru kemudian misalnya jaring, jaring itu juga mereka mempunyai jaring yang seharusnya kami memberikan dana itu bisa mencapai 20 meter, mereka juga mempergunakan karena terbatas, tidak mencukupi target itu sehingga jaring mereka itu juga sudah rusak dan lain sebagainya. Kami asumsikan agar mereka,bisa, mari kita bekerja sama supaya bisa mengembangkan kamu mempunyai kelompok itu, sehingga kelompok itu dia bisa merasa sejahtera itu bagaimana, pengelolaan dana ADD itu bagaimana, marilah katorang (kita), coba katorang (kita)kembalikan supaya mereka-mereka yang belum mendaftar diri ini mereka bisa mempergunakan kembali.” (wawancara, Senin, 17 Agustus 2013)
Kondisi dapat dipahami karena sistem pemerintahan desa di kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah bercorak hubungan paternalistik pada dasarnya lebih bersifat informal, kebiasaan-kebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur birokrasi. Corak hubungan dipengaruhi oleh feodalisme seperti dengan menyebut kepala desa sebagai ’bapak raja’,. Dalam budaya paternalisitik, memungkinkan aparat memberikan pelayanan yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Pengolahan mentalitas dalam prosedur pelayanan Diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan pada pengguna jasa. Pertimbangannya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan/peraturan tidak mungkin merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak, sebagai akibat keterbatasan prediksi para aktor. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dijelaskan bahwa aparat lebih banyak memberikan pelayanan kepada publik didasarkan pada aturan formal. Di Desa Kaitetu misalnya pelayanan kepada masyarakat telah didasarkan pada aturan baku. Kondisi ini sama yang terjadi di Negeri Hila. Dan hanya sebagian kecil saja aparat yang menyesuaikan situasi dengan pelayanan yang ada. Misalnya sosialisasi pelaksanaan Alokasi 7
Dana Desa, aturan formalnya bahwa sosialisasi dengan penyuluhan tapi karena terkendala susah mengumpulkan masyarakat maka sosialisasi menjadi susuatu yang sangat sulit dilakukan. Kondisi inilah yang membutuhkan inisatif atau kreatifitas aparat dalam hubungaannya dengan sosialisasi lokasi dana desa. Hasil wawancara dengan SS (37 thn) dalam hubungannya dengan sikap aparat dalam memberikan pelayanan kepada masayarakat sebagai berikut: “Bagus ibu, aparat desa disini bagus, dong (mereka) netral, disini kan istilahnya ada pro kontra tapi dong (mereka) itu netral saja, ada bantuan apa, ada pembagian apa dong(mereka)bagi merata, biar masyarakat miskin dong(mereka)yang pegawai-pegawai semua dapat dong (mereka) bagi rata, jadi katong (kami) semua itu merasa seimbang bagitu, seng (tidak) ada yang dong (mereka) pilih-pilih kasih, jadi semua puas pada dong (mereka) punya cara. to cara terhadap dong pung(mereka punya) masyarakat jadi katong (kami) semua itu puas. (wawancara, Sabtu, 17 Agustus 2013 )
Hal senada dijelaskan oleh RN (56 thn)sebagai berikut: “Baik, sesuai dengan kebutuhan, contoh seperti sekdes, kaur pemerintahan jadi kalau ada masyarakat yang punya kebutuhan itu pelayanannya bagus dari aparat desa.” (wawancara, Jumat, 16 Agustus 2013)
Kedua penjelasan di atas, memberikan gambaran bahwa mental aparat dalam memberikan layanan kepada masyarakat sudah sesuai dengan harapan masyarakat. Indikator untuk melihat diskresi dalam birokrasi, meliputi serangkaian tindakan yang dilakukan aparat pelayanan berdasarkan pada inisiatif, kreativitas, dan tidak terlalu bersandar pada peraturan atau juklak secara kaku. Indikator tersebut meliputi hal-hal sbb: (a) tindakan yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ketika pimpinan tidak berada di tempat kerja; (b) tindakan atau langkah yang dilakukan ketika menemui kesulitan dalam menjalankan tugas; (c) pernah tidaknya menerapkan prosedur pelayanan yang berbeda dengan juklak. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah adalah sarana dan prasarana, kualitas dan kuantitas aparatur, prosedur mengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD), dan tingkat pendidikan. Sarana dan Prasarana Jumlah sarana dan prasarana yang telah disiapkan oleh pemerintah dalam mendukung kegiatan pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) masih tergolong kurang memadai. Kualitas dan Kuantitas Aparatur
8
Dari aspek kualitas, yakni dengan menggunakan tolok ukur kualifikasi yang dilihat dari tingkat pendidikan formal (diploma) maka tingkat kualitas sumber daya manusia aparatur di Kecamatan Leihitu masih kurang mamadai dan perlu ditingkatkan. Prosedur Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD)
Perlukannya kegiatan yang bersifat sosialisasi kepada masyarakat menyangkut berbagai prosedur dan tujuan Alokasi Dana Desa (ADD) dengan tujuan agar masyarakat memiliki kepekaan dan kesadaran yang tinggi untuk memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan pembangunan. PEMBAHASAN Dalam hubungannya dengan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah adalah pada saat menemukan kendala dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak pegawai yang menunda pekerjaan sambil menunggu pimpinan. Praktek diskresi ini dipengaruhi antara lain; sarana dan prasarana, kualitas dan kuantitas aparatur dan prosedur pengelolaan alokasi dana desa. Birokrasi sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik. Street Level Bureaucracy merupakan birokrasi pada tingkat bawah yang berhubungan langsung dengan masyarakat, khususnya dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Di dalam area ini, tentu para birokrat harus bisa menjaga keprofesionalitasan untuk melayani masyarakat. Di dalam konsep Street Level Bureaucracy ( Lipsky, 1980) tentu dikenal sebuah istilah diskresi. Diskresi bisa didefinisikan sebagai sebuah inovasi baru yang dibuat oleh birokrat kalangan bawah untuk mereformulasikan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat atau elit politik dengan tujuan yang baik. Hal ini pada dasarnya sama seperti pembuatan peraturan perundang-undangan. Kondisi birokrasi tersebut, pada setiap levelnya memerlukan indikator pengukur kinerja. Indikator yang digunakan, menurut Dwiyanto (2005), sebagai berikut: (a) Efisiensi; keberhasilan mendapatkan laba, memanfaatkan faktor produksi, rasionalitas ekonomis. Lebih objektif lagi meliputi; likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas; (b) Efektivitas; Tercapainya tujuan pendirian organisasi pelayanan publik. Erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, dan fungsi agen pembangunan; (c) Keadilan; mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan olrh organisasi, erat kaitannya dengan konsep ketercukupan dan kepantasan. Apakah kebutuhan dan nilai dalam masyarakat dapat 9
terpenuhi. Isu tentang pemerataan pembangunan, layanan pada kaum miskin dsb dapat dijawab dengan kriteria ini; (d) Daya tangkap ; bagian dari daya tangkap negara/pemerintah terhadap kebutuhan vital masyarakat. Ahli lain, Salim & Woodward (dalam Thoha, 2003) melihat kinerja berdasarkan: (a) pertimbangan-pertimbangan ekonomi; diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumberdaya yang seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik; (b) Efisiensi; menunjuk pada kondisi tercapainya keseimbangan antar input dan output pelayanan; (c) Efektivitas;
melihat tercapainya
pemenuhan tujuan dn target pelayanan yang telah ditetapkan; (d) Persamaan pelayanan; keadilan dalam bentuk pelayanan publik. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi keatas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Christensen (1995) mengemukakan argumennya bahwa elemen paling mendasar dalam melihat dinamika lingkungan politik lokal adalah karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Beberapa variabel penting dalam membentuk setting politik lokal diantaranya; jumlah penduduk, kepadatan, heterogenitas penduduk, karakter sosio-psikologis masyarakat, dan variasi ekonomi lokal. Variasi dari satu variabel terhadap variabel lokalitas lainnya akan dapat menjelaskan perbedaan politik lokal antar daerah. Seperti perbedaan dalam struktur pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, berbagai aktivitas kelompok kepentingan di masyarakat. Salah satu faktor penyebabnya yaitu budaya paternalistik dan feodalisme. Budaya paternalistik dan feodalisme yang tertanam sejak masa kerajaan mempengaruhi birokrasi Indonesia masa kini. Ciri-ciri birokrasi kerajaaan menurut Suwarno (1994) sebagai berikut: (1) Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; (2) Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; (4) ‘Gaji’ dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugrah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; (5) Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja. Corak hubungan paternalistik pada dasarnya lebih bersifat informal, sangat pribadi, serta kebiasaan-kebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur birokrasi (Blau dkk, 1987). Corak hubungan dipengaruhi oleh feodalisme, yang biasanya dibangun berdasarkan hubungan yang asimetris, eksklusifisme karena adanya pembedaan dalam hal usia, jabatan, peran, kedudukan, maupun status seseorang. Dalam budaya paternalisitik, memungkinkan aparat memberikan pelayanan yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
10
Faktor kultural, menurut Mas’oed (1994) juga memperkuat kondisi tersebut, cenderung kondusif mendorong korupsi, seperti adanya nilai/tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Tindakan itu menurut masyarakat eropa dan Amerika dianggap korupsi, sedangkan oleh masyarakat Asia, termasuk Indonesia tidak. Akar kultural masyarakat Indonesia yang nepotisme memberi dorongan bagi tindak korupsi, umumnya mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial. Budaya birokrasi model ini yang sudah tertanam lama di Indonesia, tentu saja sulit untuk dirubah. Era otonomi daerah yang menjadikan tumbuh suburnya penguasa-penguasa lokal, dan cenderung tidak menghiraukan pemerintah pusat menyuburkan praktek-praktek KKN tersebut. Sekali lagi bahwa, menurut penulis peran budaya masyarakat kita dan juga memepengaruhi budaya birokrasi kita yang menyebabkan kondisi ini. Pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada pengguna jasa (masyarakat pada umumnya) tidak maksimum disebabkan oleh berbagai hal, antara lain adalah rendahnya improvisasi, inisiatif dan juga keinginan menyelesaikan masalah sesegera mungkin. Saling lempar tugas serta tanggung jawab juga kerap terjadi. Semuanya akibat ketidaktahuan birokasi tentang bidang tugas dan penempatan tugas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. McGregor (1960) mengemukakan strategi kepemimpinan yang efektif dengan menggunakan konsep manajemen partisipasi. Konsep terkenal dengan menggunakan asumsiasumsi sifat dasar manusia. Teori X dan Teori Y ialah teori motivasi manusia yang digunakan bagi pengurusan sumber manusia, tingkah laku organisasi, komunikasi organisasi dan pembangunan organisasi. Ia menggambarkan dua model bertentangan mengenai motivasi tenaga kerja. Jika dihubungkan dengan praktek diskresi pegawai/aparat pada dua desa (negeri) di Kecamatan Leihitu dalam hubungannya dengan implementasi Alokasi Dana Desa (ADD), maka aparat yang selalu menunggu perintah atasan masuk dalam teori X Douglas McGregor yang menjelaskan bahwa aparat bekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan organisasi. Meskipun demikian, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa pegawai yang mempunyai inisiatif sendiri tanpa menunggu perintah dari atasan dan jika dihubungkan dengan dengan teori Douglas McGregor, maka kondisi ini masuk dalam Teori Y dimana Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja.
11
KESIMPULAN DAN SARAN Penerapan Praktek diskresi pegawai pada Street Level Bureaucracy dalam implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah masih kurang inisiatif yang indicator terlihat dari adanya keterbatasan akses layanan yang diberikan oleh aparat tingkat bawah karena ketergantungan dengan pimpinan (kepala desa), aparat desa dalam merespon kesulitan pelayanan yang dihadapi memilih tindakan dengan meminta petunjuk pimpinan atau menunda pelayanan sampai pimpinan datang, aparat lebih banyak memberikan layanan kepada publik didasarkan pada aturan baku atau formal dan hanya sebagian kecil aparat yang menyeseuaiakn situasi dengan pelayanan yang ada. Faktorfaktor yang mempengaruhi adalah Faktor sarana dan prasarana dalam menunjang implementasi Alokasi Dana Desa (ADD) masih kurang memadai, Faktor kualitas dan kuantitas aparatur pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) masih berada pada tingkat yang kurang memadai khususnya apabila dilihat dari segi kualitasnya, Faktor prosedur pengelolaan Alokasi Dana Desa, menyangkut pemahaman masyarakat mengenai prosedur dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa berada pada tingkat kurang memahami. Bagi Pimpinan memberikan pemahaman kepada birokrasi (khususnya pada tingkat street level) bahwa masyarakat adalah warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan maksimal. Tak kalah pentingnya adalah, keberanian dari birokrasi pada tingkat street level untuk melakukan diskresi (kebijaksanaan) dalam pekerjaannya. Memperhatikan pengadaan sarana dan prasarana kantor yang memadai sehingga aparat dapat memberikan pelayanan pada masyarakat dengan lancar, diadakan kegiatan yang bersifat sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan mengerti dan menjadi paham.
12
DAFTAR PUSTAKA Blau, Peter M. & Richard W. Scott. (1987). Formal Organization. San fransisco, Chandler Publishing Co. Christensen, Terry. (1995). Local Politics; Governing at the Grassroots. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company Dwiyanto, Agus. (2005). Mewujudkan Good Governance Melalui pelayanan Piblik. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Lipsky, M. (1980). Street-level bureaucracy: Dilemmas of the individual in public services. New York: Russell Sage Foundation McGregor, (1960). The Human Side Of Enterprise. Diakses 20 Oktober 2013. Available from: (http://www.occel-team.com/human_relations/hrels_03_mcgreegor.html.) Mas;oed, Mohtar.( 1994). Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Nilviani. (2011). Implementsi Program Gerakan pembangunan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin) Di Kota Parepare. Silooy,T.N. (2011). Implementasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Di Kabupaten Jayawijya. Sugiono. (2007). Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta : Bandung Suwarno,( 1994). Hamingkubuono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yokyakarta 1942-1974. Yokyakarta: Kanisius. Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta Wetherley, R. and M. Lipsky, (1977), Street-Level Bureaucrats and Institutional Innovation: Implementing Special Education Reform, Harvard Education Review.
13