IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA DI DESA TUMPAAN BARU KECAMATAN TUMPAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN
OLEH:
LEYDI JUITA EMAN ABSTRAK Sebagaimana yang di paparkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas a). Pendapatan asli desa yang terdiri dari; hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotongroyong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; b). Bagi hasil pajak kabupaten/kota paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa; c). Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa; d. Bantuan keuangan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan Pemerintah; e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Kebijakan Pemerintah mengenai Anggaran Dana Desa (ADD) di Desa Tumpaan Baru Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembangunan belum memperhatikan aspirasi masyarakat dengan memenuhi sikap saling percaya dan terbuka. Dimana kegiatan penjaringan aspirasi masyarakat dilakukan di level dusun sehingga hanya perwakilan masyarakat saja yang bisa menyampaikan masalah dan kebutuhan yang dihadapi. Hanya sebagian kecil yang ada di Desa Tumpaan Baru yang telah memperhatikan aspirasi masyarakat dengan memenuhi sikap saling percaya dan terbuka Kata kunci: Implementasi, ADD Pendahuluan Kelahiran UU no 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan kepastian hukum terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/kota. Desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD yang diberikan ke desa merupakan hak desa. Sebelumnya, desa tidak memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD desa berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa secara otonom.ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 11, PP 72/2005). Di sejumlah daerah kabupaten/kota, sebutan untuk ADD menggunakan istilah yang berbeda. Hal ini dimungkinkan, mengingat keanekaragaman bahasa dan adat istiadat di Indonesia. UU No.6 tahun 2014 tentang desa telah memberikan hak bagi desa untuk mengelola pemerintahan yang otonom dengan didukung Alokasi Dana Desa (ADD) untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan di desa. Dengan memanfaatkan ADD, desa bisa berperan lebih aktif dalam menggerakkan pembangunan masyarakat desa. Namun, apakah masyarakat desa telah tahu dan sadar bahwa dengan diterapkannya kebijakan ADD ini mereka harus memahami hak-hak dan kewajiban mereka. Jika belum memahami hak dan
kewajibannya, maka dikhawatirkan mereka tidak akan menaruh perhatian. Jika pun ada perhatian, sangat mungkin akan terjadi banyak salah persepsi. Untuk menghindarinya, kebijakan mengenai ADD ini sangat penting didesiminasikan, sehingga mereka dengan kesadarannya yang baru setelah memahami hak-hak dan kewajibannya akan ”berdiri” & ”berbicara”. Mampu menimbulkan ”dorongan” bagi munculnya kesadaran dan sikap masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam seluruh kegiatan pembangunan desa. ADD merupakan hak desa sebagaimana pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki hak untuk memperoleh anggaran DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Pemerintah Pusat. Tujuan ADD itu sendiri adalah : 1. Untuk memperkuat kemampuan keuangan desa (APBDes), dengan demikian sumber APBDes terdiri dari PADes ditambah ADD. 2. Untuk unsur keleluasaan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta unsur kemasyarakatan desa. 3. Untuk mendorong terciptanya demokrasi desa. 4. Untuk meningkatkan pendapatan dan pemerataannya dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa Manfaat ADD Bagi Kabupaten/Kota yakni : pertama Kabupaten/Kota dapat menghemat tenaga untuk membiarkan desa mengelola otonominya, tanpa terus bergantung kepada Kabupaten/Kota. Kedua Kabupaten/kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan unsur untuk skala luas yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat untuk jangka panjang (Tim FPPD, 2005). Pengelolaan ADD harus menyatu di dalam pengelolaan APBDes, sehingga prinsip pengelolaan ADD sama persis dengan pengelolaan APBDes, yang harus mengikuti prinsip-prinsip good governance yakni Partisipatif, Transparan, Akuntabel, Kesetaraan. Persoalan sekarang yang dialami dalam perencanaan pembangunan desa khususnya dalam penyusunan Alokasi Dana Desa di Desa Tumpaan Baru yakni masalah seputar keterlibatan masyarakat, peran pemerintah desa, peran BPD. Bagaimana kebijakan ADD dalam implementasinya untuk mensejahterakan masyarakat desa. Didalamnya apakah ADD memberi ruang lebih luas kepada akses dan aspirasi masyarakat untuk melibatkan diri dalam pembangunan. Pada kenyataannya partisipasi masyarakat sangat lemah, terkadang penyusunan ADD dilakukan secara sepihak oleh pemerintah desa, ataupun kalau melibatkan masyarakat hanya sekedar formalitas saja untuk memenuhi peraturan yang ada. Hasilnya nanti, pembangunan yang direalisasikan menimbulkan masalah baru karena tidak mengakomodasi dan melibatkan masyarakat secara baik. Persoalan lain lagi dalam hal penggunaa dana ADD tersebut yang tidak transparan ataupun penggunaannya tidak seperti yang diharapkan untuk pembangunan kesejahteran masyarakat Perumusan Masalah Bagaimana Implementasi Kebijakan Pemerintah mengenai Anggaran Dana Desa (ADD) di Desa Tumpaan Baru Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Tujuan Penelitian Mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Kebijakan Pemerintah mengenai Anggaran Dana Desa (ADD) di Desa Tumpaan Baru Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan kepada lembaga terkait agar lebih mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. 2. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pengetahuan dalam kebijakan pembangunan desa. Implementasi Kebijakan Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan
sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster dalam Wahab, 2001). Implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Sebastier merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan. Menurut uraian di atas, jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapaitujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan Kebijakan Pemahaman umum mengenai implementasi kebijakan dapat diperoleh dari pernyataan bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Jika pemahaman ini diarahkan pada lokus dan fokus (perubahan) dimana kebijakan diterapkan akan sejalan dengan pandangan Van Meter dan van Horn yang dikutip oleh Parsons (1995: 461) dan Wibawa, dkk., (1994: 15) bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh (organisasi) pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Deskripsi sederhana tentang konsep implementasi dikemukakan oleh Lane bahwa implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni implementasi merupakan persamaan fungsi dari maksud, output dan outcome. Berdasarkan deskripsi tersebut, formula implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk, dan hasil dari akibat. Selanjutnya, implementasi merupakan persamaan fungsi dari kebijakan, formator, implementor, inisiator, dan waktu (Sabatier, 1986: 21-48). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu. . Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan van Horn (Grindle, 1980:6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Studi implementasi kebijakan dibagi ke dalam tiga generasi dengan fokus kajin dan para penganjurnya. Generasi pertama diwakili oleh studi Pressman dan Wildavsky yang terfokus pada bagaimana keputusan otoritas tunggal dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Hasilnya memberi pengakuan sifat atau kakikat implementasi yang kompleks. Generasi kedua terfokus pada deteminan keberhasilan implementasi kebijakan. Model konseptual model proses implementasi dikembangkan dan diuji pada berbagai area yang berbeda. Dua pendekatan yang mendominasi adalah pendekatan top-down dan pendekatan top- down. Studi yang representatif pada masa ini dibuat oleh Carl Van Horn dan Donald Van Meter serta Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier. Generasi ketiga terfokus pada sintesis dan
pengembangan pendekatan implementasi kebijakan dengan lokus (secara multilevel) dan fokus yang lebih kompleks sebagai proses dinamis. (Ann O’M Bowman dalam Rabin, 2005) Alasan mengapa implementasi kebijakan diperlukan mengacu pada pandangan para pakar bahwa setiap kebijakan yang telah dibuat harus diimplementasikan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan diperlukan karena berbagai alasan atau perspektif. Berdasarkan perspektif masalah kebijakan, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10), implementasi kebijakan diperlukan karena adanya masalah kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan. Edwards III memperkenalkan pendekatan masalah implementasi dengan mempertanyakan faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan. Berdasarkan pertanyaan retoris tersebut dirumuskan empat faktor sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut merupakan kriteria yang perlu ada dalam implementasi suatu kebijakan. Ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau program – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran. Alasan lain yang mendasari perlunya implementasi kebijakan dapat dipahami dari pernyataan Grindle (1980: 10) yang mengharapkan agar dapat ditunjukkan konfigurasi dan sinergi dari tiga variabel yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan, yakni hubungan segi tiga variabel kebijakan, organisasi, dan lingkungan kebijakan. Harapan itu perlu diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi terdapat kewenangan dan berbagai jenis sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan atau program. Sedangkan penciptaan situasi dan kondisi lingkungan kebijakan diperlukan agar dapat memberikan pengaruh, meskipun pengaruhnya seringkali bersifat positif atau negatif. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada ketiga aspek tersebut perlu pula dipertahankan kepatuhan kelompok sasaran kebijakan sebagai hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat. Implementasi kebijakan di-perlukan untuk melihat kepatuhan kelompok sasaran kebijakan. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif perilaku, kepatuhan kelompok sasaran merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Pemahaman ini sejalan dengan pandangan Ripley dan Franklin (1986: 12) bahwa untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan perlu didasarkan pada tiga aspek, yaitu: 1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi, sebagaimana diatur dalam undang-undang, 2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta 3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua program
terarah. Variabel-Variabel Yang Memperngaruhi Implementasi Kebijakan George Edward III (1984), memaparkan empat variabel yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : a. Communication (komunikasi) Komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas b. Resourcess (sumber daya) Sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia c. Dispotition or Attitude (sikap) Berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya d.Bureaucratic structure (struktur birokrasi) Suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembagalembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. Alokasi Dana Desa ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 11, PP 72/2005). Di sejumlah daerah kabupaten/kota, sebutan untuk ADD menggunakan istilah yang berbeda. Hal ini dimungkinkan, mengingat keanekaragaman bahasa dan adat istiadat di Indonesia. ADD merupakan hak desa sebagaimana pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki hak untuk memperoleh anggaran DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Pemerintah Pusat. Tujuan adanya ADD adalah untuk memperkuat kemampuan keuangan desa (APBDes), dengan demikian sumber APBDes terdiri dari PADes ditambah ADD, untuk memberi keleluasaan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa, untuk mendorong terciptanya demokrasi desa, untuk meningkatkan pendapatan dan pemerataannya dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarkat desa. PP No.72 Tahun 2005 pasal 64, mengamanatkan setiap desa harus menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) 5 tahunan. Dan selanjutnya RPJMDes dirinci menjadi RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahunan. Secara umum, tahapan yang biasa dilakukan dalam proses Peruntukkan ADD seharusnya dimusyawarahkan antara Pemerintah Desa dengan Masyarakat Desa serta pihak lainnya (BPD, Lembaga Kemasyarakatan, LSM, dll) untuk kemudian dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) tahun yang bersangkutan. Berdasar Peraturan Bupati Minahasa Selatan Nomor 02 tahun 2011 pasal 7 prinsipprinsip pengelolaan bantuan keuangan bagi desa bahwa pengelolaan bantuan keuangan bagi desa atau Alokasi Dana Desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Keseluruhan jumlah bantuan keuangan bagi desa yang diterima oleh desa pada tahun 2011, harus termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2011, seluruh kegiatan yang didanai oleh ADD direncanakan, dilaksnakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh unsur masayarakat desa. APBDes sendiri adalah hasil dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Nantinya penggunaan ADD dimusyawarahkan oleh Pemerinta Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa dan dituangkan dalam peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun yang bersangkutan. Berdasarkan mekanisme pengelolaan ADD ini, berarti meninjau partisipasi masyarakat dalam ADD harus dilihat dalam tahapan Muserembang, Pertemuan Pemerintah Desa dan BPD Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan perspektif pendekatan kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (dalam Moleong 2006:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong 2006:4) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Fokus Penelitian Fokus penelitiannya adalah studi partisipasi tokoh masyarakat dalam penyusunan Alokasi Dana Desa (ADD) di desa Tumpaan Baru Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan. Sasaran Penelitian Agar dapat mengumpulkan informasi dari obyek penelitian sesuai dengan fenomena yang diamati, dilakukan pemilihan kepada masyarakat secara purposive sebagai informan. Pemillihan didasarkan atas pertimbangan bahwa informan memiliki pemahaman terhadap fenomena penelitian. Berikut ini informan-informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Hukum Tua (Kepala Desa), Perangkat Desa, BPD, Tokoh Agama, Tokoh Politik, dan Masyarakat umum. Instrumen Penelitian Salah satu cirri utama penelitian kualitatif adalah manusia sangat berperan dalam keseluruhan proses penelitian, termasuk dalam pengumpulan data, bahkan peneliti itu sendirilah instrumennya (Moleong 2006:241). Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan Moleong (2006:198) adalah sebagai berikut: 1. Wawancara semi struktur Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. 2. Observasi. Observasi atau biasa dikenal dengan pengamatan adalah salah satu metode untuk melihat bagaimana suatu peristiwa, kejadian, hal-hal tertentu terjadi. Observasi menyajikan gambaran rinci tentang aktivitas program, proses dan peserta. Dalam penelitian ini menggunakan observasi partisipasi pasif yaitu peneliti dating di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Analisa Data Teknik analisa data ini menguraikan, menafsirkan dan mengganbarkan data yang terkumpul secara sistemik dan sistematik. Pengumpulandata Penyajian Data Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan:
Penarikan/verifikasi Hasil Penelitian & Pembahasan Proses Perencanaan ADD di Desa Tumpaan Baru Sebagai langkah awal, desa harus terlebih dahulu merencanakan penggunaan APBDes (dimana ADD masuk ke dalamnya) berdasarkan penggalian kebutuhan dari masyarakatnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan masa lalu, dimana program untuk desa direncanakan dan ditetapkan dari atas (oleh dinas/ instansi pemerintah kabupaten/ kota terkait), bukan berasal dari kebutuhan yang sebenarnya di desa. Sehingga, meskipun programnya baik tetapi sering tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh desa. PP No.72 Tahun 2005 pasal 64, mengamanatkan setiap desa harus menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) 5 tahunan. Dan selanjutnya RPJMDes dirinci menjadi RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahunan. Secara umum, tahapan yang biasa dilakukan dalam proses Peruntukkan ADD seharusnya dimusyawarahkan antara Pemerintah Desa dengan Masyarakat Desa serta pihak lainnya (BPD, Lembaga Kemasyarakatan, LSM, dll) untuk kemudian dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) tahun yang bersangkutan. 1. Tahap Perencanaan Pembangunan Desa ; Tujuan musyawarah perencanaan desa Keluaran/ Hasil Tahapan Pasca Pelaksanaan 2. Tahap Pembahasan Anggaran Desa Mengkonsultasikan RAPBDes ke masyarakat melalui BPD Penyusunan tanggapan,koreksi dan usulan perbaikan Perumusan dan penetapan persetujuan Penetapan pengesahan dan pengundangan (menjadi Perdes mengenai APBDes) Agar ADD dapat secara nyata berpihak ke masyarakat desa, minimal 70% dari ADD harus digunakan untuk pelaksanaan pembangunan baik fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Dan sisanya, maksimal 30%, untuk belanja rutin/ operasional. Khusus untuk Besaran Penghasilan tetap setiap bulan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan minimal setara dengan upah minimum regional Kabupaten/Kota yang dialokasikan di dalam APBD Kabupaten/Kota di luar ADD untuk setiap Desa, sedangkan tunjangan lainnya dibebankan pada APBDesa yang bersumber dari ADD. Berdasarkan kebutuhan nyata serta ketentuan tentang porsi pembagian tersebut (70% ; 30%), maka dana ini dapat digunakan sebesar-besarnya untuk pemberdayaan demi kesejahteraan Masyarakat desa. 3. Pengawasan ADD Pengawasan adalah kegiatan mengumpulkan informasi tentang perkembangan atau pelaksanaan sebuah kegiatan. Pengawasan biasanya dilakukan secara berkala selama proses berlangsungnya kegiatan terkait. Sedangkan evaluasi adalah kegiatan menilai secara keseluruhan apakah sebuah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau kegiatan yang telah disusun sebelumnya. Evaluasi biasanya dilakukan pada akhir suatu kegiatan Secara umum, pelaksanaan ADD diawasi oleh tim Pembina di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Alokasi pengeluaran dalam APBDes meliputi belanja pembangunan dan pos pengeluaran rutin. Belanja pembangunan meliputi (1) pos sarana pemerintahan desa; (2) pos prasarana perhubungan; (3) pos prasarana pemasaran; (4) pos prasarana sosial. Belanja rutin meliputi (1) pos belanja pegawai; (2) pos belanja barang; (3) pos biaya pemeliharaan; (4) pos biaya perjalanan dinas; (5) pos belanja lain-lain; (6) pos pengeluaran tak terduga. Kelembagaan desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lembaga, pihak, atau institusi yang berada di desa yang berasal dari unsur eksekutif, legislatif, dan masyakat yang terlibat dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan APBDes. Kelembagaan desa ini
meliputi (1) pemerintah desa, (2) badan permusyawaratan desa (BPD), (3) lembaga kemasyarakatan; dan (4) tokoh masyarakat, aktor, shareholders, atau person. Hal ini sejalan dengan pendapa Ari Dwipayana (2003), bahwa peta governance di desa terdiri dari (1) kepala desa dan perangkat desa mewakili negara; (2) badan permusyawaratan desa mewakili masyarakat politik; (3) isntitusi sosial, organisasi sosial, dan warga masyarakat mekaliki masyarakat sipili; dan (4) pelaku dan organisasi ekonomi mewakili masyarakat ekonomi. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa, kaur-kaur, dan kepala wilayah (kadus) (UU No. 32 Tahun 2004). Perananan pemerintah desa dalam menyusun dan melaksankan APBDes adalah pelaksanaan dari tugas, fungsi, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dimiliki pemerintah desa dalam hal pelaksanaan pembangunan di desa, khususnya yang berkaitan dengan penyusun dan pelaksanaan APBDes. Tinjauan Pelaksanaan Perencanaan Anggaran (Penyusunan ADD) Desa Tumpaan Baru menyelenggarakan Musrenbang Desa ditahun 2014, yang dihadiri oleh Kepala Dusun, organisasi masyarakat, BPD, Palmas, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan PKK, tokoh adat. Masyarakat yang diundang cukup antusias dalam mengikuti proses perencanaan pembangunan Mereka merasa lebih dihargai sebagai anggota masyarakat, karena dikutsertakan dalam proses perencanaan pembangunan. Bahwa sebenarnya untuk sebagian besar masyarakat mengharap dilibatkan di dalam proses perencanaan pembangunan, namun karena kurangnya sosialisasi tentang perencanaan pembangunan menyebabkan mereka tidak hadir dalam proses perencanaan pembangunan (musrenbang). Pemerintah Desa Tumpaan Baru berusaha untuk dapat melibatkan masyarakat dalam setiap tahap proses perencanaan pembangunan tahun ini. Kepala Desa menjelaskan bahwa proses perencanaan pembangunan yang diselenggarakan selama sehari sedapat mungkin bisa melibatkan masyarakat secara keseluruhan, namun karena kesibukan dan keterbatasan ruang maka tidak seluruhnya diundang, toh aspirasi mereka sudah ditampung dalam list daftar prioritas kegiatan lingkungan, saya yakin mereka memaklumi. Sesudah Musrembang, sebagaimana yang telah diatur bahwa rancangan rencana pembangunan desa akan dimasukan ke dalam Aanggaran Pembangunan dan Belanja Desa, dimana anggaran ADD akan masuk didalamnya sebagai salah satu sumber APBDes. Dengan demikian Alokasi Anggaran Desa adalah hasil dari perencanaan Musrembang. ADD masuk di desa Tumpaan sudah 3 (tiga) kali, masuk sejak tahun 2008, sebagai perinciannya : Tahun 2008 berjumlah Rp. 27.600.000, tahuhn 2009 = Rp. 24.600.000 tahun 2014 = Rp. 24.000.000. ADD di gunakan dari 100% total ADD yang ada di kurangi 30% untuk oprasional Pemerintah Desa, sisanya kembali di hitung 100% dan di bahagi antara lain : a. 30% Untuk Fisik b. 20% Untuk PKK. c. 20% Untuk BPD. d. 20% Untuk lembaga lain. e. 10% Untuk pemuda. Peran masyarakat dapat terlihat dalam peran dari tokoh masyarakat dalam hal partisipasinya dalam penusunan ADD yang melalui proses musyawarah pembangunan desa, kemudian penyusunan APBDes. Keterlibatan tokoh masyarakat sangat penting untuk menghasilkan rencana pembangunan dan APBDes selanjutnya menjadi ADD yang tepat sasaran. Persoalannya dalam hal niat baik pemerintah desa untuk antusias melibatkan masyarakat melalui tokoh masyarakatnya. Kemudian kemampuan Sumber Daya Manusianya dalam berpartisipasi pada perencanaan pembangunan. Menjadikan Alokasi Dana Desa (ADD) yang partisipatif.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) adalah peraturan desa yang memuat sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran desa dalam kurun waktu satu tahun. APB Desa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangungan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa. Saat ini hampir seluruh kegiatan pembangunan, pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan metoda pembangunan partisipatif, namun masing-masing kegiatan pembangunan terdapat perbedaan pada target sasaran masyarakat yang direncanakan untuk berperan serta dalam kegiatan perencanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan. Perbedaan tersebut terjadi pada tingkatan kedudukan fungsi dan peran para pelaku dimasyarakat. Misalnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat yang diikut sertakan untuk berperan serta dalam kegiatan perencanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan hanya para pelaku yang mempunyai kedudukan penting saja misalnya tokoh masyarakat, aparat desa atau kelurahan, berbeda dengan yang dilakukan pada program pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dimana setiap tahapan kegiatan dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan harus melibatkan warga masyarakat secara keseluruhan tanpa memandang usia, jenis kelamin, kedudukan di masyarakat, dan jenjang pendidikan. Partisipatif masyarakat sebagai proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pembinaan masyarakat. Partisipatif masyarakat dalam penyusunan kebijakan berada pada urutan yang sangat tinggi dalam agenda desentralisasi, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 18/1997,UU No.34/2000, UU No.49/1999, UU No. 10/2004, dan UU No.32/2004. Bahwa undang-undang harus menjamin partisipatif masyarakat.
Kesimpulan Menurut UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Kedua struktur pemerintah di level bawah ini, memegang peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tingkat paling bawah. Memahami proses pada seluruh tahapan pengelolaan APB Desa (penyusunan, pelaksanaan, pertanggungjawaban. Proses pengelolaan APB Desa yang didasarkan pada prinsip partisipatif, transparansi dan akuntabel akan memberikan aLingkungani dan nilai bahwa pemerintahan desa dijalan kan dengan baik. Adanya Alokasi Dana Desa yang memadai untuk menunjang sumber penerimaan APB Desa, diharapkan akan mampu mendorong roda pemerintahan di tingkat desa, termasuk untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang mampu ditangani di tingkat desa yang merupakan kewenangan desa. APB Desa yang baik dapat mendorong partisipatif warga lebih luas pada proses-proses perencanaan dan penganggaran pembangunan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi. Namun demikian, agar terwujud APB Desa yang baik perlu dilakukan penguatan Pemerintahan Desa (Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa) dalam mengelola keuangan desa, khususnya berkaitan dengan penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APB Desa, agar APB Desa atau ADD yang disusun berorientasi kepada peningkatan kesejahetraan
masyarakat desa dan memenuhi prinsip-prinsip good governance seperti transparansi, partisipatif, efektifitas dan akuntabel. Saran Dari temuan penelitian disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu penyempurnaan tahapan pelaksanaan perencanaan partisipatif agar dapat dilaksanakan secara simpel dan mudah dipahami baik oleh perangkat pemerintah desa dan kecamatan maupun masyarakat dan tokoh masyarakat dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip partisipatif. 2. Pemerintah Desa perlu mengoptimalkan kegiatan identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat mulai tingkat lingkungan supaya Desa mempunyai data tentang potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat serta Pemerintah Desa mengoptimalkan pemanfaatan data tersebut agar perencanaan pembangunan dapat mendekati kebutuhan masyarakat. 3. Perlu ada peningkatan pemahaman perangkat desa/kecamatan, tokoh masyarakat dan masyarakat umumnya mengenai mekanisme perencanaan pembangunan, pentingnya perencanaan pembangunan melalui kegiatan pelatihan atau penambahan wawasan, pendekatan yang aktif melalui kader pembangunan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipatif aktif dalam proses perencanaan pembangunan. 4. Kemampuan tokoh masyarakat terutama yang masuk dalam keanggotaan BPD perlu ditingkatkan untuk dapat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan desa yang akan menghasilkan Anggaran Dana Desa yang mengena saasaran dan bersifat partisipatif DAFTAR PUSTAKA Abe, Alexander,, 2001, Perencanaan daerah memperkuat prakarsa rakyat dalam otonomi daerah, Lapera Pustaka Utama, Abe, Alexander, 2002, Perencanaan Daerah Partisipatif, Penerbit Pondok Edukasi, Solo. Adi, Isbandi Rukminto, 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penelitian FE-UI, Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Gadjah Mada University Press, Hasibuan, Malayu, S.P.Drs, 1993, Manajemen: Dasar, PengeLingkunganian dan Masalah, CV. Haju Masagung, Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Universitas Indonesia UI Press, Ginanjar, 1997, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Moleong, Lexy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif , PT. Remaja Rosada Karya, Bandung. MubiyaLingkungano, 1984, Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM, Yogyakarta. Mikkelsen, Britha, 2006, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia,. Michael, Todaro, 1977, Pembangunan ekonomi di dunia Ketiga, Erlangga, Muhadjir, H. Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Milles, MB & Hubberman, AM, (1992) Analisis Data Kualitatif , Terjemahan oleh Tjetjep Rohidi , UI Percetakan Moelya, Tjokrowinoto, 1999, Restrukturisasi Ekonomi dan Birokrasi, Kreasi Wacana, Nasution, 1992, Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif, Tarsito, Bandung. Nazir, Muhamad, 1983, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Riyadi dan Bratakusumah, D.S, 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama,
ReksoPutranto, Soemadi, 1992, Manajemen Proyek Pemberdayaan, Lembaga Penerbitan FE-UI, Siagian, Sondang P, 1994, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, Singarimbun, Masri dan sofyan Effendi, 1986, Metode Penelitian Survey, Suntingan LP3ES. Daftar Bacaan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem perencanaan pembangunan Nasional. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah. Surat Edaran Bersama Mentri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Mentri dalam Negeri Nomor 0295/M.PPN/1/2005 dan 050/166/ 20 Januari 2005 diatur petunjuk teknis Musrenbang. Peraturan Bupati No. 11 Tahun 2007 Tentang tata cara penyusunan, penetapan, dan pelaporan Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Daerah Kabupaten Minahasa Selatan Tahun 2006-2014