Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
EFEKTIVITAS FUNGSI LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN DI TINGKAT GAMPONG
Oleh : Wilsa dan M. Nurdin Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudra, Langsa-Provinsi Aceh. ABSTRAK Pasal 13 ayat (1)Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat mengatur tentang jenis-jenis sengketa/perselisihan adat yang terjadi di Gampong yaitu termasuk tindak pidana ringan yaitu: perselisihan dalarn rumah tangga; perselisihan antar warga; khalwat (mesum); pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); pencurian ringan; pencurian ternak peliharaan; persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; dan pencemaran lingkungan (skala ringan). Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara bertahap. Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain. Namun di beberapa gampong di Idi Kabupaten Aceh Timur penyelesaian tindak pidana ringan melalui peradilan adat di tingkat Gampong belumlah dilaksanakan secara efektif dan optimal masih banyak kasus-kasus tipiring dalam penyelesaiannya dengan mengikut sertakan aparat kepolisian sebagai pendamping dan lebih dari itu masih terdapat kasus tipiring yang begitu saja dilepaskan oleh Lembaga adat di gampong ke tangan Kepolisian Sektoral (POLSEK) setempat. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dan empiris. Kata Kunci : Efektivitas, Lembaga Adat Aceh, Tindak Pidana Ringan ABSTRACT Article 13 paragraph (1) Aceh Qanun No. 9 of 2008 concerning Indigenous Development Life and Customs regulates the types of disputes / disputes that occur in the Village customary ie including misdemeanor namely: dalarn domestic disputes; civil strife; khalwat (nasty); theft in the family (mild theft); lightweight theft; domesticated cattle theft; disputes in the market; light maltreatment; forest fire (on a small scale that harm indigenous communities); harassment, defamation, hasut, and defamation; and environmental pollution (light scale). Settlement of disputes / disputes and customs as referred to in paragraph (1) was completed in phases. Law enforcement officials provide
147
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
opportunities for dispute / disputes to be resolved first by custom in the Village or any other name. However, in some village in Idi East Aceh District settlement misdemeanor through customary justice at the level of the Village has not been carried out effectively and optimally many cases tipiring at their disposal by including the police as an escort and over, there are still cases of tipiring were so just released by the Institute for customs in the village into the hands of the Police Sector (POLSEK) local. This type of research used in this paper is a normative and empirical legal research. Keywords: Effectiveness, Lembaga Adat Aceh, light crime
pemerintahan daerah dan juga kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat khusus dan istimewa. Pengakuan negara atas kekhususan daerah Aceh ini sejak awal diberikan melaluiUndang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA). UUPA ini, tidak terlepas dari Nota Kesepahaman MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.iii Berbicara sengketa atau perselisihan, merupakan sebuah
PENDAHULUAN Dalam sistem hukum di Indonesia mengakui adanya hukum adat, hal ini diatur dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa dan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik, yang di atur dalam undang-undang”. Adatidan Hukum Adatii pada dasarnya adalah hukum pelengkap, dan merupakan bagian dari pada sistem hukum nasional, dalam hubungan satu dengan lainnya tunduk kepada peraturan perundangundangan dan juga tunduk kepada ketentuan hukum Adat. Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
148
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
fenomena sosial di dalam pergaulan di masyarakat yang dapat terjadi dimanapun di setiap daerah di Indonesia termasuk di Aceh. Terkait penyelesaian sengketa/perselisihan adat di Aceh, UUPA mengamanatkan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara musyawarah dan mediasi, ditempuh melalui lembaga adat. Menurut Ter Haar dalam buku Badruzzaman, “Lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.iv Dijelaskan dalam UUPA, Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga adat, meliputi: Majelis Adat Aceh; Imeum Mukim atau nama lain; Imeum Chik atau nama lain; Keuchik atau nama lain; Tuha Peut atau nama lain; Tuha Lapan atau nama lain; Imeum Meunasah atau nama lain; Keujreun Blang atau nama lain ; Panglima Laot atau nama
lain; Pawang Glee atau nama lain; Peutua Seuneubok atau nama lain; Haria Peukan atau nama lain ; dan Syahbanda atau nama lain.v Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan secara bertahap. Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.vi Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan penyelesaian secara adat di Laot.vii Terkait peran Gampong dalam penyelesaian sengketa/perselisihan adat tidak terlepas dari diberlakukan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebelum lahirnya UUPA. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang ini, maka diaturlah penyelenggaraan pemerintahan Gampong melalui Qanun Nomor 5 Tahun 2003. Menurut Abdurrahman, Gampong dalam konteks Qanun Nomor 5 Tahun 2003 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan (terendah), mempunyai pimpinan pemerintahan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat hukum dan merupakan
149
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
bagian dari struktur pemerintahan, Gampong memiliki hak dan kekuasaan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam lingkungannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gampong mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan viii syariat Islam. Penyelesaian sengketa/perselisihan secara adat di Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: Keuchik atau nama lain; Imeum Meunasah atau nama lain; Tuha Peut atau nama lain; Sekretaris Gampong atau nama lain; dan Ulama, Cendekiawan dan tokoh adat lainnya di Gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.ix Berdasarkan ketentuan dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat diatas, dapat dilihat mengatur sengketa/perselisihan yang dapat diselesaikan secara adat melalui lembaga adat di Gampong yaitu termasuk perkara perdata, pidana dan adat istiadat.x Terkait dengan perkara pidana yang diatur tersebut adalah yang termasuk kategori tindak pidana ringan seperti : perselisihan dalam rumah tangga; perselisihan antar warga; khalwat(meusum) ; pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); pencurian ringan; pencurian ternak peliharaan; penganiayaan
ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, pencemaran nama baik dan ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman);. Jika melihat tindak pidana ringan dalam KUHP sebagaimana penjelasan M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, dinyatakan bahwa: “tindak pidana ringan (Tipiring) ditentukan berdasarkan ancaman pidananya. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP yakni : a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara atau kurungan; b. Atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500,- dan c. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.”xi Jika ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP ini kemudian dikaitkan dengan ketentuan terkait penahanan pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang antara lain menyatakan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap pelaku tipiring yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan tidak dilakukan penahanan. Khusus di Aceh, asas perundang-undangan
150
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
Indonesia adalah lex spesialis derogat lex generalis, maka penyelesaian perkara tindak pidana ringan dilakukan secara hukum adat mengacu pada UUPA dan Qanun. Oleh karena itu, pelaksanaan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat di Gampong termasuk tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam KUHP adalah hanya diancam dengan hukuman denda(Peumat Jaroe) dan dilakukan di Meunasah.xii Namun, berdasarkan penelitian dilapangan di beberapa gampong di Idi Kabupaten Aceh Timur penyelesaian tindak pidana ringan melalui peradilan adat di tingkat Gampong belumlah dilaksanakan secara efektif dan optimal masih banyak kasus-kasus tipiring dalam penyelesaiannya dengan mengikut sertakan aparat kepolisian sebagai pendamping dan lebih dari itu masih terdapat kasus tipiring yang begitu saja dilepaskan oleh Lembaga adat di gampong ke tangan Kepolisian Sektoral (POLSEK) setempat. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh M Adli Abdullah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH Unsyiah) memberikan keterangannya melalui Serambi edisi Rabu, 18 Juni 2014 yaitu penegakan hukum adat dapat menggantikan tugas aparat penegak hukum formal (polisi dan jaksa) khusus untuk 18 jenis sengketa adat yang digolongkan dalam pelanggaran ringan sebagaimana diatur dalam Qanun
Nomor 9 Tahun 2008. Selain itu, berdasarkan kesepakatan bersama Polda, Gubernur dan MAA Tahun 2012, maka penyelesaian sengketa diselesaikan dulu di tingkat Gampong dan mukim serta adat laot. Namun Adli menyayangkan, realitas yang terjadi justru keberadaan peradilan adat di Aceh mulai memudar seiring perkembangan zaman.xiii Berdasarkan uraian diatas, sangat perting untuk meningkatkan mempertahankan dan keefetivitasan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat gampong. Beberapa masalah yang perlu dibahas dan dicari solusinya yaitu: Bagaimana efektivitas fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong?. Apa hambatan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong? Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong. Untuk mengetahui hambatan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Menurut Ammiruddin, penelitian normatif,
151
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
yaitu dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang muncul dari segi hukum dan sumbernya 3 berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum dan pandangan hukum sebagai dasar acuan.xiv Jenis penelitian ini juga berupa penelitian lapangan (penelitian kancah/ field reseach) yang dilakukan dalam medan yang sebenarnya untuk menemukan realitas yang terjadi mengenai masalah tertentu.xv
Dalam Pasal 14 ayat (2) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dijelaskan lembaga adat yang Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: Keuchik atau nama lain;xviiiImeum Meunasah atau nama lain;xixTuha Peut atau nama xx lain; Sekretaris Gampong atau nama lain; dan Ulama, Cendekiawan dan tokoh adat lainnya di Gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan. Mereka berperan menggadili dan menemukan normanorma hukum adat untuk keperluan penyelesaian sengketa itu sendiri yang tergambar dalam hukum adat Aceh dikenal Hadih Maja (pepatah adat) yaitu Adat Bak Peteu Meureuhom yang menjadi falsafah adat Aceh dan dalam penulisannya terdapat dua versi sebagai berikut: 1. Adat bak Poteu Meureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, Hukum ngon Adat Lagee Zat ngon Sifeut.xxi 2. Adat bak Poteu Meureuhom, Hukum bak ulama, kanun bak putroe phang, Reusam bak Bentara, Hukom ngon Adat lagee zat ngon sifeut.xxii Hadih Maja Adat bak Poteu Meureuhom mengandung makna simbolis atau perlambang mengenai isi dan pelaksanan Adat Aceh;xxiii 1. Dilihat dari sudut politik pemerintah, Hadih Maja menunjuk kepada perlambang
PEMBAHASAN Efektivitas fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong. Lembaga adat dalam masyarakat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Kajian yang berkaitan dengan lembaga adat selama ini membahas tentang eksistensi Iembaga adat pada masa kontemporerxviserta posisi mereka sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik dan juga sebagai pendukung pelaksanaan syariat Islam.xviiOleh karena itu, perlu adanya usaha untuk melihat peran masing-masing unsur lembaga adat dalam menyelesaikan konflik di masyarakat. Sehingga akan diketahui secara jelas karakteristik penyelesaian konflik yang digunakan oleh lembaga adat Aceh.
152
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
pembagian kekuasaan: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif serta lambang kearifan dan kebijaksanaan pelaksanaan Adat. 2. Dilihat dari nama-nama orang yang tercantum dalam Hadih Maja itu, maka makna simbolisnya adalah: a. Poteu Meureuhom merupakan perlambang pemegang kekuasaan Eksekutif dan kebesaran tanah Aceh. b. Syiah Kuala merupakan perlambang ulama sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. c. Putroe Phang merupakan perlambang cendikiawan pemegang kekuasaan Legislatif. d. Laksamana/Bentara merupakan perlambang keperkasaan dan kearifan dalam mengatur keragaman adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat. Secara yuridis, dikenal ada dua macam penyelesaian perkara dalam masalah hukum, yang pertama dikenal dengan penyelesaian litigasi, dan kedua yang dikenal dengan Non Litigasi. Maksud yang pertama adalah penyelesaian di depan pengadilan,xxiv seperti penyelesaian perkara di Peradilan Umum, Peradilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah, Peradilan Militer, d an Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan bentuk tersebut dikelola oleh negara, dan sering disebut
dengan nama government judicial system.xxv Tahun 1935 merupakan titik awal bagi pengadilan non litigasi yang diakui oleh koloni Belanda lewat Statblaad 1935 No. 102.Pengakuan ini didorong oleh bentuk politik balas budi yang diperankan oleh Belanda terhadap wilayah jajahannya. Kebijakan politik demikian ternyata juga memberi peluang positif terhadap bentuk peradilan yang tidak dikelola oleh negara. Dengan demikian, melalui kebijakan tersebut dapat ditegaskan bahwa Belanda telah mengakui keberadaan Peradilan Adat dan Peradilan Agama saat itu, meskipun pengakuan tersebut masih bersifat terbatas, seperti hakimhakim adat tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman. Bukan hanya Peradilan Desa yang diakui, tetapi juga Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja juga turut diakui.xxvi Istilah “Peradilan Adat‟ atau “Pengadilan Adat‟ tidak begitu lazim dipakai oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering digunakan adalah “sidang adat‟ atau “rapat adat‟ dalam ungkapan khas masing-masing komunitas. Menariknya, dalam adat tidak dikenal istilah “adil‟, sebab kata adil itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, pengadilan adat tidak mengenal keadilan, yang ada hanya ketika dilakukan penyelesaiaan suatu sengketa dalam masyarakat adat tidak ditujukan untuk menemukan
153
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
kampung).xxxiOleh karena itu,pelaksanaan Peradilan Adat ini melekat secara ex officio pada lembaga adat. Sebagai tindak lanjut untuk menfungsikan peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa di tengahtengah masyarakatAceh, maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan mengenai hal itu untuk memperkuat dan diakuinya secara hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut. Adapun peraturan perundangundangan dimaksud sebagai dasar hukum pelaksanaan Peradilan Adat di Aceh sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah IstimewaAceh. Undang-undang ini memang tidak menegaskan
keadilan, tetapi untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan xxvii hubungan kekeluargaan. Di Aceh sendiri, disebut dengan “peradilan atau “pengadilan adat‟.xxviii Penggunaan istilah tersebut untuk menunjukkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat khususnya masyarakat Aceh tentang suatu pranata sosial yang sangat berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dialami oleh masyarakat. Penggunaan istilah “Peradilan Adat‟ itu sendiri juga bukan karena dilihat dari kelembagaan, mekanisme dan fungsinya dalam menyelesaikan sengketa, melainkan karena secara lembaga adat, lembaga ini sama seperti dengan lembaga peradilan formal lainnya, hanya saja ada beberapa aspek yang berbeda seperti pada konsekuensi dan efek hasil.xxix Di Aceh, penyelesaian kasus dalam kehidupan masyarakat juga banyak diselesaikan melalui Peradilan Adat yang dilaksanakan di Meunasah.xxxDasar hukum pembentukan dan pemberdayaan Peradilan Adat di Aceh didukung oleh sejumlah peraturan perundangundangan sebagai payung hukum. Peraturan dan perundang-undangan tersebut tidak dinyatakan secara tegas dengan kalimat “Pengadilan Adat‟, tetapi hanya menggunakan kalimat “Lembaga Adat‟. Lembaga adat ini bisa diwujudkan melalui pengejawantahan pranatasosial sebagai “Pageu Gampong‟ (pagar
154
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
secaralangsung mengatur tentang Peradilan Adat di Aceh, namunmengatur hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Provinsi Aceh, seperti mengenai keistimewaan bidang agama; bidangpendidikan; bidang adat istiadat; dan peran ulama dalamsetiap kebijakan Pemerintah Daerah. Dari penegasan undangundangtersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwaAceh dapat menetapkan berbagai kebijakan untukmemberdayakan pelestarian dan pengembagan adat sertalembaga adat yang dijiwai oleh nilai syariat Islam. Selain itu, Aceh dapat pula membentuk lembaga adat dan mengakuilembaga adat yang ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing. 3. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam. Meskipun tidak secara tegasmengatur tentang Peradilan Adat, secara substansil, dijumpai sejumlah pasal yang mengaitkan peran dan eksistensilembaga adat dalam penyelesaian sengketa masyarakat, danlembaga Keuchik itu sendiri juga merupakan salah satulembaga adat yang memiliki otoritas sebagai “hakim‟ dalammenyelesaikan sengketa
serta dibantu oleh Tuha Peut danImeum Meunasah. 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh. Undang-undang ini mengatur secaratersendiri tentang lembaga adat dan kewenangannya,termasuk menyelesaikan persoalan sosial yang termuatdalam BAB XIII tentang Lembaga Adat. Bab ini dapatdikaitkan sebagai landasan eksistensial dan kewenanganPeradilan Adat di Aceh, karena dalam bab tersebutmengaturbahwa lembaga adat diberi kewenangan berpartisipasi dalampenyelenggaraan Pemerintah Aceh dalam mewujudkan danmenjagakeamanan, kerukunan dan ketertiban masyarakat. 5. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang PembinaanKehidupan Adat dan Adat Istiadat. Seperti halnya denganUndang-undang Nomor 11 Tahun 2006, Qanun ini juga menempatkan tentang eksistensi peradilan adat danpewenangannya dalam bab khusus, yaitu BAB VI tentangpenyelesaian sengketa/perselesihan, dan BAB VII tentang Bentuk-bentuk Sanksi Adat. Pasal-pasal yang relevan denganperadilan adat adalah Pasal 13, 14, 15, dan 16. Inti dari pasal-pasaltersebut
155
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
ditegaskan bahwa aparat penegak hukummemberikan kesempatan agar sengketa diselesaikan terlebihdahulu secara adat Gampong. 6. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Qanun ini juga memuat beberapa kaedah yang dapatdijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan Peradilan Adat,karena dapat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan penyelesaianmasalah-masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sangatjelas memberi kewenangan pelaksanaan Peradilan Adat di Aceh, walaupun bukan dalam bentuk menjalankan fungsi yudikatifdalam kehidupan xxxii bernegara.
Struktur Dan Peran Penyelenggara Peradilan Adat Tingkat Gampong Keuchik Sebagai Ketua Sidang Ulama, Tuha Peut
Imum Meunasah
Sebagai Anggota
Sebagai Anggota
Sekretaris Gampong Sebagai Panitera
Ulee Jurong Sebagai Penerima Laporan Awal
Para penyelenggara peradilan adat sebagaimana ditulis di atas tidak ditunjuk atau diangkat “secara resmi”, tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan Ulee Jurong maka mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat. Mereka “secara resmi” menjadi penyelenggara
Cendikiawan dan Tokoh Adat Sebagai Anggota
Ulee Jurong Sebagai Penerima Laporan Awal
peradilan adat justru dipercayai oleh masyarakat. Pada saat ini, keanggotaan peradilan adat terbatas pada kaum lelaki, tetapi juga harus melibatkan kaum perempuan. Mereka terlibat dalam proses penyelenggaraan peradilan adat melalui jalur Tuha Peuet dimana salah satu unsur Tuha Peuet harus ada wakil dari kaum perempuan.xxxiii
156
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
Tata Letak Sidang Peradilan Adat Gampong
Sekretaris Gampong (Panitera)
Imeum
Keuchik
(Anggota Sidang)(Ketua Sidang)
Tuha Peut
Ulama
(Anggota Sidang)
Cendikiawan, dan Tokoh Adat
Lainnya (Anggota Sidang)
Saksi
Para Pihak
Saksi
Pengunjung Sidang (Masyarakat Setempat dan Sanak Saudara Para Pihak) Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan prosedur penyelesaian perkara perdata. Hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih berat. Dengan demikian, prosedur penyelesaian kasus yang bersifat pidana biasanya diawali dengan
langkah-langkah berikut: a) Memberi pengamanan secepatnya melalui pemberian perlindungan, kepada kedua belah pihak, dengan jalan berikut ini: 1. Mengamankan pihak pelaku di suatu tempat yang dirahasiakan. Lembaga adat 157
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
2.
3.
4.
5.
6.
Gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah Keuchik, atau untuk sementara meninggalkan Gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan terlindung. Jika korban perempuan dan anak, maka pemangku adat juga harus memberikan perlindungan pada mereka dengan menempatkan korban di rumah salah satu pemangku adat sampai jangka waktu tertentu hingga perkara tersebut telah ada putusan dengan upaya damai atau korban dipastikan aman untuk pulang ke rumah. Jika laporan perkara diterima berupa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat meminta istri pemangku adat atau tokoh perempuan untuk melakukan penanganan awal perkara. Mengkondusifkan suasana damai, terutama pihak keluarga yang dirugikan; Perangkat Gampong berinisiatif dan proaktif menghubungi berbagai pihak; Siapapun yang melihat/mengetahui/menyaks ikan peristiwa pidana tersebut, tertangkap tangan, dapat segera
melaporkan/mengadu kepada Keuchik untuk segera mengambil langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian. Selanjutnya, pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung para pihak atau oleh salah satu pihak kepada Keuchik (tidak terikat prosedural waktu dan tempat), tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya pelanggaran. Situasi pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil tindakan preventif (supaya tidak cepat meluas/berkembang korban). Misalnya, perkelahian, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain-lain. b) Keuchik bersama perangkat Gampong, langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan, di luar persidangan musyawarah formal. Keuchik harus sudah dapat menemukan prinsip-prinsip keputusan berasaskan “damai” Keuchik atau “Ureung Tuha Gampong‟ lainnya, seperti Tuha Peuet atau tokoh lain bersama Keuchik, terus mengusut, menyelidiki dan menyidik sesuai dengan kemampuan dan keyakinan yang dimilikinya terhadap sebab-sebab terjadi sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak saksi lainnya yang
158
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut. c) Selama proses penyelesaian tersebut seperti yang tertera pada poin di atas, orang-orang tua dari keluarga para pihak harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka bersengketa. d) Membuka sidang penyelesaian di Meunasah. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap,barulah para pihak, wakil keluarga beserta pihak “ureung-ureung tuha” dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah (bila warga se Gampong) atau ke Mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar Gampong yang berlainan).
persidangan. e) Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masingmasing pihak secara formal dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap proses proses dan hasil perdamaian. f) Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan bijak oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat. g) Eksekusi (atau pelaksanaan) keputusan oleh Keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan sengketa. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, keputusan harus disertai dengan sebuah perjanjian tertulis yang didalamnya memuat pelaku tidak boleh melakukan kekerasan
1. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak atau kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka persidangan perkara tersebut harus ditutup untuk masyarakat luas. 2. Jika kasus tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat harus memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses
159
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
secara berulang, dan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di hadapan majelis adat. h) Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi, karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasukmengupayakan rujukan.xxxiv Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain oleh lembaga adat Gampong berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, hal itu didukung dengan dikeluarkannya Surat keputusan bersama antara Gubernur, Kapolda, Ketua Majelis Adat Aceh Nomor 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011 dan No.B/121/1/2012 tentang Kesepakatan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Peradilan Adat Gampong (selanjutnya disebut SKB). xxxv Dengan demikian meunasah mulai difungsikan kembali sebagai tempat musyawarah dan tempat menyelesaikan sengketa/perkara sebagai Peradilan Adat. Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian lapangan dengan cara observasi dan wawancara dengan lembaga adat di Gampong dilakukan di Gampong Alu Dua
Muka O, Gampong Aceh, Gampong Baro, Gampong Pulo Blang, dan Gampong Grong-grong di Idi Kabupaten Aceh Timur bahwa tindak pidana ringan selanjutnya disebut Tipiring yang sering terjadi adalah: pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, penganiayaan ringan, pelecehan, fitnah, dan hasut.xxxvi Tindak pidana yang terjadi tersebut sesuai dengan diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat di dalam Pasal 13 mengatur tentang jenis-jenis sengketa/perselisihan adat yang terjadi di Gampong yaitu termasuk tindak pidana ringan yaitu: perselisihan dalarn rumah tangga; perselisihan antar warga; khalwat (mesum); pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); pencurian ringan; pencurian ternak peliharaan; persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; dan pencemaran lingkungan (skala ringan). Skala ringan suatu tindak pidana juga disesuaikan dengan nominal yang di atur dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP adalah Kata-
160
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373,379,384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00(dua juta lima ratus ribu rupiah). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa dalam pelaksanaan penyelesaian secara Adat yang dilakukan melalui peradilan adat Gampong belum lah efektifxxxvii. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan secara mandiri dalam menyelesaikan secara adat melalui peradilan adat di Gampong sehingga dalam pelaksanaan masih membutuhkan pendampingan dari pihak Kepolisian masyarakat setempat (POLMAS). Kurangnya kemampuan lembaga adat di Gampong dalam menyelesaikan perselisihan/sengketa gampong secara mandiri adalah disebabkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang masih rendah dan ditambah kurang kepercayaan masyarakat yang berselisih terhadap hasil penyelesaian peradilan adat Aceh di tingkat Gampong. Akibat ketidakpercayaan masyarakat tersebut, sehingga pihak masyarakat yang berselisih / pihak korban terkadang cenderung tidak melaporkan kepada lembaga adat di Gampong terlebih dahulu ketika terjadi perselisihan dan langsung melaporkan di Kepolisian setempat (POLSEK). Kemudian ditambah lagi pihak Kepolisian setempat terkadang terlalu terburu-buru dalam hal memproses kasus Tipiring tersebut
secara formal, yang seharusnya terlebih dahulu membantu memberikan penjelasaan dan pemahaman kepada lemabaga adat dan masyarakat untuk melakukan penyelesaian melalui peradilan adat Gampong secara berjenjang/bertahap berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat dan Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel dari Majelis Adat Aceh (MAA). Hambatan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong. Adapun hambatan dalam meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong adalah sebagai berikut: 1. Hambatan yang berasal dari Lembaga Adat dan Pemerintah a. Kurangnya kepedulian, keseriusan dan rasa percaya diri lembaga adat dalam hal melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai penyelenggara Peradilan Adat dalam menyelesaikan perselisihan tipiring di tingkat Gampong. Kurangnya kepedulian, keseriusan dan rasa percaya diri inilah yang menyebabkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman
161
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
yang masih saja rendah. Sehingga terkadang menyerahkan langsung sepenuhnya kepada Kepolisian Sektoral setempat (POLSEK) untuk diselesaikan secara formal.
sulit dalam penyelesaian tipiring secara kekeluargaan. 3. Hambatan yang berasal dari Masyarakat Kurangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap solusi-solusi dan hasil putusan yang ditawarkan oleh lembaga adat melalui peradilan adat di tingkat Gampong.xli Kurang kepercayaan ini juga disebabkan pemikiran masyarakat yang hanya menganggap bahwa penanganan secara formal adalah satu-satunya solusi yang memberikan rasa keadilan bagi pihak korban, tanpa memikirkan bahwa penyelesaian secara kekeluargaan melalui pradilan adat mempunyai suatu hasil yang akan mengembalikan keadaan ketengangan diantara masyarakat yang berselisih menjadi keadaan seperti semula sebelum perselisihan terjadi. Dalam pengertian adanya rasa saling sukarela dan keikhlasan untuk menciptakan kembali keadaan damai dan tentram dalam kehidupan di masyarakat. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kepedulian, keseriusan dan rasa percaya diri lembaga adat dalam hal melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai penyelenggara Peradilan Adat
xxxviii
b. Kurangnya dukungan dari Wali Nanggroe dan MAA dalam hal memberikan pembinaan dan pelatihan khusus kepada lembaga adat untuk membina kehidupan adat dan adat istiadat di tingkat Gampong.xxxix c. Terbatasnya dana dari Pemerintah untuk mendukung pelaksanaan penyelesaian tipiring di tingkat Gampong. Masalah dana ini sangatlah berpengaruh, dana tersebut untuk mendukung kelancaran aktifitas penyelesaian melalui peradilan adat. Selama ini lembaga adat menjalankan fungsinya menyelesaikan melalui peradilan adat hanya bersifat suka rela dan keihlasan.xl 2. Hambatan yang berasal dari Kepolisian Kurangnya koordinasi antara lembaga adat dengan Kepolisian Sektoral setempat (POLSEK). Tindakan yang terburu-buru dari Kepolisian Sektoral setempat (POLSEK) dan ketidakseriusan pula dari lembaga adat setempat menjadi hambatan yang sangat
162
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
dalam menyelesaikan perselisihan tipiring di tingkat Gampong. 2. Meningkatkan peran Wali Nanggroe dan MAA untuk memberikan pembinaan dan pelatihan khusus kepada lembaga adat untuk membina kehidupan adat dan adat istiadat khusunya di tingkat Gampong. 3. Dukungan dana dari pemerintah demi kelancaran pelaksanaan penyelesaian tipiring melalui peradilan adat di tingkat Gampong. 4. Meningkatkan koordinasi yang baik antara lembaga adat dengan Kepolisian Sektoral setempat (POLSEK). Koordinasi antara lembaga adat / Penyelenggara Peradilan Adat Gampong (Keuchik dan Tuha Peut) dengan aparat Kepolisian sangat sejalan dengan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM).
(POLMAS) dan terkadang menyerahkan langsung kasus tipiring untuk diselesaikan pada Kepolisian Sektoral setempat (POLSEK) dan kurang kepercayaan masyarakat yang berselisih terhadap hasil penyelesaian peradilan adat Aceh di tingkat Gampong. Hambatan dalam meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong adalah berasal dari 1. Hambatan yang berasal dari Lembaga Adat dan Pemerintan, 2. Hambatan yang berasal dari Kepolisian, 3. Hambatan yang berasal dari Masyarakat. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kepedulian, keseriusan dan rasa percaya diri lembaga adat , 2. Meningkatkan peran Wali Nanggroe dan MAA untuk memberikan pembinaan dan pelatihan, 3. Dukungan dana dari pemerintah, 4. Meningkatkan koordinasi yang baik antara lembaga adat dengan Kepolisian Sektoral (POLSEK).
KESIMPULAN Efektivitas fungsi lembaga adat Aceh dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat Gampong belum tercapai, disebabkan kurangnya kemampuan secara mandiri akibat dari dikarenakan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang masih rendah dalam menyelesaikan secara adat melalui peradilan adat di Gampong sehingga dalam pelaksanaan masih membutuhkan pendampingan dari pihak Kepolisian masyarakat
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahaman, 2009, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,Banda Aceh Abdurrahman, 2008, Reusam Gampong, Majalah Jeumala,
163
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
Edisi No. XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Handayanigrat Handoko, Dkk, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, PT Bumi Aksara, Jakarta.
Ammiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Fuadi dan Liza Agnesta Krisna, 2014, Sosialisasi Peradilan Adat Di Gampong PeutowKecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur. Pengabdian pada masyarakat ini dibiayai olehdana DIPA Universitas Samudra Surat Perjanjian Pelaksana Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat Nomor : 389/UN54.6/PM/2014, Fakultas Hukum Universitas Samudra.
Amrin Ali, 2009, Fungsi Meunasah Sebagai Lembaga (Hukum) Adat danAktualisasinya di Aceh, Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, Banda Aceh. Anonimos, 2003, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia; Peluang danTantangan, (t.tp.: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Dukungan dari Patnershipfor Governance Reform.
Hendra nurtjahjo dan fokky fuad, 2010,Legal standing kesatuan masyarakat hukum adat, Salemba Humanika, Jakarta, hal10. Bushar Muhammad, 2002, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, cet II, Pradya Paramitha, Jakarta.
Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi BudayaAceh,MAA, Banda Aceh. BadruzzamanIsmail, 2008, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
HS. Brahmana, 2013, Hukum Acara Pidana, LKBH Fakultas Hukum Unsam Langsa. Kamaruddin, dkk. 2013,Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat, IAIN ArRaniry Aceh, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
164
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
M.
(Unsam) Meurandeh Langsa Aceh, Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum Vol. 48, no. 1, Juni.
Yahya Harahap,2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pustaka Kartini, Jakarta.
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Yayasan Fak. Psikologi UGM, Yogyakarta.
Mahdi, 2011, Eksistensi Peradilan Adat di Aceh, STAIN MalikussalehLhokseumawe, Jurnal Vol. 8, No.2, Desember.
Syahrizal, 2004, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia : Refleksi Terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan Aceh, Cetakan I, Nadia Foundation, Lhokseumawe-Provinsi Aceh.
Muhammad Hakim Nyak Pha, Pedoman Umum Adat Aceh, (Banda Aceh: LAKA Aceh, 1990), hal. 163-164, dalam Yusi Amdani, 2014, Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan DiLembaga Peradilan Adat Aceh Tingkat Gampong (Desa), Fakultas Hukum Universitas Samudra
http://aceh.tribunnews.com/2014/06/ 18/adli-efektifkan-moupengadilan-adat, diakses tanggal 12 April 2015
i
Kata Adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim dituruti dan dilakukan sejak dahulu kala.Kata adat ini sering disebut beriringan dengan istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat Istiadat berarti berarti tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integraasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Dalam prakteknya, istilah adat istiadat mengandung arti yang cukup luas, mencakup
165
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
semua hal dimana suatu masyarakat atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya.Ada pula yang menyebutkan bahwa adat ialah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyaraktnya. Lihat Syahrizal, 2004, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia : Refleksi Terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan Aceh, Cetakan I, Nadia Foundation, Lhokseumawe-Provinsi Aceh, hal. 63-64. ii Hukum adat dapat diartikan sebagai seluruh keputusan para pejabat hukum, baik hakim desa, kerapatan desa, hakim, pejabat agama dan pejabat desa yang memiliki kewajiban dan dipatuhi secara serta merta oleh masyarakat hukum adatnya.Keputusan tersebut memiliki nilai kerohanian, nilai – nilai kemasyarakat yang hidup dalam sebuah persekutuan hukum adat.Lihat Hendra nurtjahjo dan fokky fuad, 2010,Legal standing kesatuan masyarakat hukum adat, Salemba Humanika, Jakarta, hal10.Istilah hukum adat digunakan sebagai sinonim dari hukum tidak tertulis dalam peraturan legistatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan Negara, dewan propinsi dan sebagainya yang timbul karena putusan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota – kota maupun di desa-desa, semua ini merupakan adat atu hukum yang tidak tertulis menurut pasal 32 UUDS 1950. Bushar Muhammad, 2002, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, cet II, Pradya Paramitha,Jakarta, hal. 1. iii Fuadi dan Liza Agnesta Krisna, 2014, Sosialisasi Peradilan Adat Di Gampong PeutowKecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur. Pengabdian pada masyarakat ini dibiayai olehdana DIPA Universitas Samudra Surat Perjanjian Pelaksana Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat Nomor : 389/UN54.6/PM/2014, Fakultas Hukum Universitas Samudra, hal. 2 iv Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi BudayaAceh,MAA, Banda Aceh, hal. 150 v Lihat Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh vi Lihat Pasal 13ayat (2) dan (3) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat vii Lihat Pasal 14 ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat viii Abdurrahman, 2008, Reusam Gampong, Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, hal.13 ix Lihat Pasal 14 ayat (2) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. x Lihat Pasal 13 ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat xi M. Yahya Harahap,2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 422. xii Lihat Pasal 14 ayat (4) Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang berbunyi sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain. xiii http://aceh.tribunnews.com/2014/06/18/adli-efektifkan-mou-pengadilan-adat, diakses tanggal 12 April 2015 xiv Ammiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 118. xv Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Yayasan Fak. Psikologi UGM, Yogyakarta, , hal. 63. xvi Kamaruddin, dkk. 2013,Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat, IAIN ArRaniry Aceh, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei, hal 40 xvii Ibid. xviii Lihat Pasal 1 angka 7 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat xix Lihat Pasal 1 angka 21 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat xx Lihat pasal 1 angka 18 Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat xxi Muhammad Hakim Nyak Pha, Pedoman Umum Adat Aceh, (Banda Aceh: LAKA
166
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.2 No.3 Oktober 2016
Aceh, 1990), hal. 163-164, dalam Yusi Amdani, 2014, Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan DiLembaga Peradilan Adat Aceh Tingkat Gampong (Desa), Fakultas Hukum Universitas Samudra (Unsam) Meurandeh Langsa Aceh, Jurnal Ilmu Syari‟ah Dan Hukum Vol. 48, no. 1, Juni, hal. 235 xxii Ibid xxiii Ibid xxiv Abdurrahaman, 2009, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh,Banda Aceh, hal. 1. xxv Anonimos, 2003, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia; Peluang danTantangan, (t.tp.: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Dukungan dari Patnershipfor Governance Reform, hal. 5 xxvi Ibid. xxvii Ibid., hal. 9. xxviii Abdurrahaman, Peradilan Adat di Aceh sebagai Sarana Kerukunan Masyarakat, Op.Cit.,hal 2. xxix Ibid xxx Meunasah berfungsi menjalankan keputusan hukum/eksekusi atas keputusan damai yang telah ditetapkan oleh penyelenggara Peradilan Adat.Penyelenggaraan eksekusi ditetapkan didepan umum dihadiri oleh seluruh masyarakat gampong dan para pihak beserta keluarga dan orang-orang tua dari gampong tersebut.Amrin Ali, 2009, Fungsi Meunasah Sebagai Lembaga (Hukum) Adat danAktualisasinya di Aceh, Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, Banda Aceh, hal. 03. xxxi Pepatah Aceh yaitu Geupageu Lampong Ngon Kawat gepage nanggroe ngon adat:mengamankan kebun dengan kawat mengamankan negeri dengan adat, lihat dalam BadruzzamanIsmail, 2008, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, hal.iii. xxxii Mahdi, 2011, Eksistensi Peradilan Adat di Aceh, STAIN Malikussaleh Lhokseumawe,Jurnal Vol. 8, No.2, Desember, hal.195-197. xxxiii Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Op,Cit., hal.9 xxxiv Ibid, hal 16-19. xxxv HS. Brahmana, 2013, Hukum Acara Pidana, LKBH Fakultas Hukum Unsam Langsa, hal. 164. xxxvi Wawancara dengan Azhar Umar Keuchik Gampong Baro, Tarmizi Keuchik Gampong Alue Dua Muka O, Muhammad Salim Keuchik Gampong Pulo Blang, Mauziir Keuchik Gampong Grong-grong, Abdullah Zaini Sekretaris Gampong Aceh di Idi Kabupaten Aceh Timur, tanggal 29 Juni, 26 Juli, 26 Agustus, 30 Agustus dan 02 September 2016. xxxvii Efektif adalah dapat membawa hasil, berhasil guna. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 352. Efektifitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Handayanigrat Handoko, Dkk, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, PT Bumi Aksara, Jakarta. hal.7. xxxviii
Wawancara dengan Brika Dede Chandra, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Idi Rayeuk, di Idi Kabupaten Aceh Timur, tanggal 05 September 2016. xxxix Wawancara dengan Azhar Umar Keuchik Gampong Baro, Tarmizi Keuchik Gampong Alue Dua Muka O, Muhammad Salim Keuchik Gampong Pulo Blang, Mauziir Keuchik Gampong Grong-grong, Abdullah Zaini Sekretaris Gampong Aceh di Idi Kabupaten Aceh Timur, tanggal 29 Juni, 26 Juli, 26 Agustus, 30 Agustus dan 02 September 2016. xl Wawancara dengan Azhar Umar Keuchik Gampong Baro, Tarmizi Keuchik Gampong Alue Dua Muka O, Muhammad Salim Keuchik Gampong Pulo Blang, Mauziir Keuchik Gampong Grong-grong, Abdullah Zaini Sekretaris Gampong Aceh di Idi Kabupaten Aceh Timur, tanggal 29 Juni, 26 Juli, 26 Agustus, 30 Agustus dan 02 September 2016. xli Wawancara dengan Azhar Umar Keuchik Gampong Baro, Tarmizi Keuchik Gampong Alue Dua Muka O, Muhammad Salim Keuchik Gampong Pulo Blang, Mauziir Keuchik Gampong Grong-grong, Abdullah Zaini Sekretaris Gampong Aceh di Idi Kabupaten Aceh Timur, tanggal 29 Juni, 26 Juli, 26 Agustus, 30 Agustus dan 02 September 2016.
167