ANALISIS PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2007-2009)
Frysa Praditha Purwaningtyas Dra. Irene Rini Demi Pengestuti, M.E.
ABSTRACT Good corporate governance mechanism is a step to enhance firm value. This study was conducted to obtain evidence regarding the effect of good corporate governance mechanisms (institutional ownership, management ownership, board of independent commissioners, audit committees and the size of the board of directors) firm value. Objects in this study were manufacturing companies listed in Indonesia Stock Exchange during the years 2007-2009. Based on purposive sampling, acquired 25 companies in the sample, so as long as 3 years observation there were 75 annual reports were analyzed. Tool is the statistical analysis used multiple regression, where the dependent variable is firm value (measured by Tobin's Q), and the independent variable is institutional ownership, management ownership, board of independent commissioners, audit committees and the size of the board of directors. The results of this study indicate that institutional ownership, management ownership and size of the board of directors affects firm value. However, an independent board and audit committee does not affect firm value. Key Words:
firm value, Tobin's Q, institutional ownership, management ownership, board of independent commissioners, audit committees and the size of the board of directors.
1
1.
PENDAHULUAN Isu corporate governance semakin berkembang ketika beberapa peristiwa ekonomi
penting terjadi. Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997, dilanjut dengan kejatuhan perusahaan besar seperti Enron dan Worldcom tahun 2002, serta adanya isu terbaru yaitu krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008. Peristiwa-peristiwa tersebut menyadarkan dunia akan pentingnya penerapan good corporate governance. Di Negara Indonesia, isu mengenai good corporate governance mengemuka setelah Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Sejak saat itulah, pemerintah maupun investor memberikan perhatian yang lebih dalam praktek corporate governance. Harus dipahami, bahwa kompetisi global bukanlah kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu Negara bergantung pada korporat masing-masing. Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar (Moeljono, 2005 dalam Kaihatu, 2006). Corporate governance yang lemah menjadi salah satu penyebab terjadinya peritiwaperistiwa penting tersebut. Ciri utama dari lemahnya corporate governance adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri di pihak manajer perusahaan (Darmawati dkk, 2004). Investor sebagai principal, mempercayakan dananya kepada perusahaan dan tidak bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan dan operasional perusahaan. Tetapi manajer sebagai agent, melakukan manipulasi demi kepentingannya sendiri, sehingga membuat investor kehilangan kepercayaan dan menyebabkan penarikan dana oleh investor atas dana yang telah ditanam sebelumnya. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kepentingan investor dari ekspropriasi yang dilakukan manajemen penting untuk dilakukan. Mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Sistem corporate governance yang baik akan memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan kreditur untuk memperoleh kembali atas investasi dengan wajar, tepat dan seefisien mungkin, serta memastikan bahwa manajemen bertindak sebaik yang dapat dilakukannya untuk kepentingan perusahaan (www. fcgi.com dalam Sukamulja, 2004). Zhuang, et al (2000) dalam Husnan (2001) menjelaskan bahwa sistem corporate governance tersebut terdiri dari (1) berbagai peraturan yang menjelaskan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah dan stakeholders yang lain, dan (2) berbagai mekanisme yang secara langsung ataupun tidak langsung menegakkan peraturan-peraturan
2
tersebut atau disebut dengan mekanisme corporate governance internal dan eksternal. Forum for Corporate Governance (2002) dalam Sukamulja (2004) menyatakan tujuan utama corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan atau stakeholders. Mekanisme corporate governance diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan yang terjadi antara agent dan principal, yang selanjutnya berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan. Tetapi pada tabel 1.1 mekanisme corporate governance tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan yang disebabkan karena masing-masing mekanisme corporate governance tidak menunjukkan hasil yang optimal. Tabel 1.1 Rata-Rata Tobin’s Q, KI, KM, DK, KA, dan UD Pada Perusahaan Manufaktur Tahun 2007-2009 2007 2008 1.2069 1.1013 Nilai Perusahaan (Tobin’s Q) 0.5769 0.6300 Kepemilikan Institusional (KI) 0.1020 0.1127 Kepemilikan Manajemen (KM) Dewan Komisaris Independen (DK) 0.4313 0.3713 0.0056 0.0056 Komite Audit (KA) 0.0496 0.0520 Ukuran Dewan Direksi (UD) Sumber: Data sekunder yang diolah, 2007-2009
2009 1.0187 0.4666 0.0968 0.3784 0.0056 0.0484
Permasalahan pertama adalah adanya kesenjangan antara harapan atau keinginan dengan kenyataan (fenomena gap). Secara teoritis mekanisme corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan, tetapi pada kenyataannya mekanisme corporate governance tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1, rata-rata nilai perusahaan mengalami penurunan pada tahun 2009 sebesar 1,0187 yaitu sebesar 0,0826 (1,1013-1,0187) dibanding tahun 2008 sebesar 1,1013. Rata-rata nilai perusahaan pada tahun 2007 ke tahun 2008 juga mengalami penurunan sebesar 0,1056 (1,2069-1,1013) yang disebabkan karena perusahaan kurang memperhatikan pentingnya keberadaan mekanisme corporate governance. Terlihat dari rata-rata kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, dewan komisaris independen dan dewan direksi pada tahun 2009 menurun dibandingkan tahun 2008, walaupun pada tahun 2007 mengalami peningkatan ke tahun 2008. Sedangkan rata-rata komite audit mengalami hasil yang konsisten sebesar 0,0056 pada tahun 2007-2009.
3
Permasalahan kedua adalah adanya kesenjangan atau perbedaan hasil penelitian dari peneliti-peneliti terdahulu (research gap). Penelitian variabel yang pertama yaitu tentang kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan antara lain penelitian Tarjo (2008) menunjukkan hubungan positif signifikan kontradiksi dengan penelitian Wulandari (2005) menunjukkan hubungan positif tidak signifikan. Penelitian variabel yang kedua yaitu tentang kepemilikan manajemen terhadap nilai perusahaan antara lain penelitian Jensen dan Meckling (1976) menunjukkan hubungan positif signifikan kontradiksi dengan penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006) menunjukkan hubungan negatif signifikan. Penelitian variabel yang ketiga yaitu tentang dewan komisaris independen terhadap nilai perusahaan antara lain penelitian Lastanti (2004) menunjukkan hubungan positif signifikan kontradiksi dengan penelitian Rachmawati dan Hanung (2007) menunjukkan hubungan tidak signifikan. Penelitian variabel yang keempat yaitu tentang komite audit terhadap nilai perusahaan antara lain penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006) menujukkan hubungan positif signifikan kontradiksi dengan penelitian Rachmawati dan Hanung (2007) menunjukkan hubungan tidak signifikan. Penelitian variabel yang kelima yaitu tentang ukuran dewan direksi terhadap nilai perusahaan antara lain penelitian Isshaq, et al (2009) menunjukkan hubungan positif signifikan kontradiksi dengan penelitian Wulandari (2005) menunjukkan hubungan positif tidak signifikan. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini mengambil judul: “Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2007-2009)”.
4
2.
TELAAH PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan, dapat menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam
perusahaan akan berperilaku, karena pada dasarnya antara agent dan principal memiliki kepentingan yang berbeda yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan (agent conflict). Pada dasarnya, konflik keagenan terjadi karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Adanya konflik kepentingan antara investor dan manajer menyebabkan munculnya agency cost yaitu biaya monitoring (monitoring cost) yang dikeluarkan oleh principal seperti auditing, penganggaran, sistem pengendalian dan kompensasi, biaya perikatan (bonding expenditure) yang dikeluarkan oleh agent dan kerugian residual berkaitan dengan divergensi kepentingan antara principal dan agent.
2.2
Good Corporate Governance Menurut Monks (2003) dalam Kaihatu (2006) good corporate governance (GCG)
merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar good corporate governance, yaitu akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), keterbukaan (transparency), kewajaran (fairness) dan kemandirian (independency).
2.3
Manfaat Good Corporate Governance Priambodo dan Suprayitno (2007) menjelaskan manfaat-manfaat dari penerapan good
corporate governance dalam suatu perusahaan antara lain mengurangi agency cost, meningkatkan nilai saham perusahaan dan citra perusahaan, melindungi hak dan kepentingan pemegang saham, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau manajemen puncak dan manajemen perusahaan, sekaligus meningkatkan mutu hubungan manajemen puncak dengan manajemen senior perusahaan
5
2.4
Nilai Perusahaan (Tobin’s Q) Nilai perusahaan adalah sebuah nilai yang menunjukkan cerminan dari ekuitas dan
nilai buku perusahaan, baik berupa nilai pasar ekuitas, nilai buku dari total utang dan nilai buku dari total ekuitas. Menurut Sukamulja (2004) salah satu rasio yang dinilai bisa memberikan informasi paling baik adalah Tobin’s Q, karena rasio ini bisa menjelaskan berbagai fenomena dalam kegiatan perusahaan, seperti misalnya terjadinya perbedaan crosssectional dalam pengambilan keputusan investasi serta hubungan antara kepemilikan saham manajemen dan nilai perusahaan (Onwioduokit, 2002). Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya unsur saham biasa. Brealey dan Myers (2000) dalam Sukamulja (2004) menyebutkan bahwa perusahaan dengan Tobin’s Q yang tinggi biasanya memiliki brand image perusahaan yang sangat kuat. Perusahaan sebagai entitas ekonomi tidak hanya menggunakan ekuitas dalam mendanai kegiatan operasionalnya, namun juga dari sumber lain seperti hutang, baik jangka panjang maupun jangka pendek.
2.5
Hubungan Good Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan Pelaksanaan good corporate governance yang baik dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku, akan membuat investor memberikan respon positif terhadap kinerja perusahaan, bahwa dana yang diinvestasikan dalam perusahaan yang bersangkutan akan dikelola dengan baik dan kepentingan investor publik akan aman. Kepercayaan investor publik pada manajemen perusahaan memberikan manfaat kepada perusahaan dalam bentuk pengurangan cost of capital (biaya modal). Kinerja perusahaan yang baik dengan biaya modal yang rendah akan mendorong para investor melakukan investasi di perusahaan tersebut. Banyaknya investor yang tertarik akan meningkatkan permintaan investasi, sehingga harga saham perusahaan akan meningkat yang merupakan rantai pertumbuhan perusahaan dan meningkatkan kemakmuran stakeholders yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan.
6
2.6
Mekanisme Good Corporate Governance
2.6.1
Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki
oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan pada umumnya dan manajer sebagai pengelola perusahaan pada khususnya. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen, karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, sehingga manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional, maka semakin kuat kontrol terhadap perusahaan sehingga meningkatkan nilai perusahaan. H1
: Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.6.2
Pengaruh Kepemilikan Manajemen Terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen
yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan. Kepemilikan saham manajemen akan membantu penyatuan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Semakin tinggi kepemilikan saham oleh manajemen, maka manajer akan merasa ikut memiliki perusahaan, sehingga akan berusaha semaksimal mungkin melakukan tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kemakmurannya dan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan yang berlebihan yang berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan. H2
: Kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.6.3
Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Nilai Perusahaan Board independent atau dewan komisaris independen adalah jumlah dewan komisaris
independen dalam perusahaan. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), tugas dewan komisaris adalah: (1) mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan, dan (2) memberikan nasihat kepada direksi. Menurut peraturan yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta mengenai komisaris independen, ditetapkan jumlah 7
komisaris independen proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurangkurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris (Lastanti, 2004). Semakin tinggi dewan komisaris independen, semakin baik dewan komisaris independen melakukan fungsi pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan akan meningkatkan nilai perusahaan. H3
: Dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.6.4
Pengaruh Komite Audit Terhadap Nilai Perusahaan Dalam lampiran surat keputusan dewan direksi PT. Bursa Efek Jakarta No. Kep-
315/BEJ/06-2000 poin 2f, peraturan tentang pembentukan komite audit disebutkan bahwa “Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris Perusahaan Tercatat yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh dewan komisaris Perusahaan Tercatat untuk membantu dewan komisaris Perusahaan Tercatat melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan Perusahaan Tercatat.” Komite audit juga berperan dalam mengawasi proses pelaporan keuangan perusahaan yang bertujuan mewujudkan laporan keuangan yang disusun melalui proses pemeriksaan dengan integritas dan obyektifitas dari auditor. Komite audit akan berperan efektif untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan dan membantu dewan komisaris memperoleh kepercayaan dari pemegang saham untuk memenuhi kewajiban penyampaian informasi. Dengan adanya keberadaan komite audit dalam suatu perusahaan, maka akan memberikan kontribusi dalam kualitas laporan keuangan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. H4
: Komite audit berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
2.6.5
Pengaruh Ukuran Dewan Direksi Terhadap Nilai Perusahaan Board size atau ukuran dewan direksi adalah jumlah dewan direksi dalam perusahaan.
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Direksi harus memastikan, bahwa perusahaan telah sepenuhnya menjalankan seluruh ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dewan direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan dalam dua hal yaitu untuk kepentingan 8
dan tujuan perusahaan, serta mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Semakin banyak dewan dalam perusahaan akan memberikan suatu bentuk pengawasan terhadap kinerja perusahaan yang semakin lebih baik, dengan kinerja perusahaan yang baik dan terkontrol, maka akan menghasilkan profitabilitas yang baik dan nantinya akan dapat meningkatkan harga saham perusahaan dan nilai perusahaan pun juga akan ikut meningkat. H5
: Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
9
3.
METODE PENELITIAN
3.1.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1
Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan yang diukur
menggunakan Tobin’s Q. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Lastanti, 2004):
Keterangan: Tobin’s Q
= Nilai perusahaan
EMV
= Nilai pasar ekuitas (Equity Market Value)
EBV
= Nilai buku dari total ekuitas (Equity Book Value)
D
= Total hutang
EMV (Equity Market Value) diperoleh dari hasil perkalian harga saham penutupan (closing price) akhir tahun dengan jumlah saham yang beredar pada akhir tahun.
3.1.2
Variabel Independen
1)
Kepemilikan institusional, diukur dari persentase kepemilikan saham oleh institusi (Lastanti, 2004).
2)
Kepemilikan manajemen, diukur dari persentase kepemilikan saham oleh manajemen (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
3)
Dewan komisaris independen, diukur dari persentase komisaris independen terhadap jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris (Lastanti, 2004).
4)
Komite audit, diukur dengan variabel dummy, dimana 1 untuk perusahaan yang memiliki komite audit dan 0 untuk perusahaan yang tidak memiliki komite audit (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
5)
Ukuran dewan direksi, diukur dengan jumlah anggota dewan direksi yang ada di dalam perusahaan (Suranta dan Machfoedz, 2003). 10
3.2.1
Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2009. Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: 1.
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2009.
2.
Perusahaan manufaktur yang mempublikasikan laporan keuangan secara konsisten pada tahun 2007-2009.
3.
Perusahaan manufaktur yang memiliki kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, dewan komisaris independen dan dewan direksi pada tahun 2007-2009.
3.3
Metode Analisis Data
3.3.1
Statistik Deskriptif Statistik deskriptif adalah penyajian data secara numerik. Statistik deskriptif
menyajikan ukuran-ukuran numerik yang sangat penting bagi data sampel. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan profil data sampel yang meliputi antara lain mean, maksimum, minimum dan standar deviasi.
3.3.2
Uji Asumsi Klasik
3.3.2.1 Uji Normalitas Data Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah di dalam model regresi, kedua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen mempunyai distribusi data normal atau mendekati normal (Ghozali, 2005). Alat yang digunakan dalam uji normalitas dalam penelitian ini dengan menggunakan One Sample Kolmogrov-Smirnov Test. Pengambilan keputusan mengenai normalitas adalah sebagai berikut: a.
Jika p < 0,05 maka distribusi data tidak normal.
b.
Jika p > 0,05 maka distribusi data normal.
11
3.3.2.2 Uji Multikolinieritas Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah di dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen yang ada. Dalam penelitian ini, untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas yaitu dengan melihat dari: (1) nilai Tolerance dan lawannya, (2) Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cutoff yang umum digunakan untuk menunjukkan tidak adanya multikolinieritas adalah nilai Tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10.
3.3.2.3 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah di dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak heteroskedastisitas.
3.3.2.4 Uji Autokorelasi Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah di dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). (Ghozali, 2005). Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW), di mana hasil pengujian ditentukan berdasarkan nilai Durbin-Watson (DW).
3.3.3
Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis statistik regresi berganda, yang terdiri
dari Adjusted R square untuk melihat persentase pengaruh variabel independen yang dimasukkan dalam penelitian terhadap variabel dependen, Uji F untuk menguji hipotesis antara lebih dari satu variabel independen terhadap satu variabel dependen, serta Uji t untuk menguji hipotesis antara satu variabel independen terhadap satu variabel dependen.
12
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Data
4.1.1
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Tabel 4.1 Descriptive Statistics Descriptive Statistics N
Q KI KM DK KA UD Valid N (listwise)
75 75 75 75 75 75 75
Minimum .3958 .0006 .0002 .1111 0 2
Maximum 2.4634 .9510 .9551 1.0000 1 11
Mean 1.108976 .557835 .103795 .393685 .56 5.00
Std. Deviation .4742585 .2540100 .1666093 .1436017 .500 2.365
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2007-2009 Dari tabel 4.1 dapat diketahui beberapa hal, yaitu: 1.
N atau jumlah data pada tiap variabel yang valid (sah untuk diproses) adalah 75 buah, karena data yang hilang (missing) adalah nol dan berarti semua data siap diproses.
2.
Mean atau rata-rata dari Tobin’s Q (Q) adalah 1,108976, artinya nilai Tobin’s Q ratarata dari keseluruhan sampel adalah 1,108976 dengan standar deviasi 0,4742585. Nilai minimum dari Tobin’s Q adalah 0,3958, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 0,3958. Nilai maksimum Tobin’s Q adalah 2,4634, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 2,4634.
3.
Mean atau rata-rata dari kepemilikan institusional (KI) adalah 0,557835, artinya nilai kepemilikan institusional rata-rata dari keseluruhan sampel adalah 0,557835 dengan standar deviasi 0,2540100. Nilai minimum dari kepemilikan institusional adalah 0,0006, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 0,0006. Nilai maksimum kepemilikan institusional adalah 0,9510, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 0,9510.
4.
Mean atau rata-rata dari kepemilikan manajemen (KM) adalah 0,103795, artinya nilai kepemilikan manajemen rata-rata dari keseluruhan sampel adalah 0,103795 dengan standar deviasi 0,1666093. Nilai minimum dari kepemilikan manajemen adalah 0,0002, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 0,0002. Nilai maksimum kepemilikan manajemen adalah 0,9551, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 0,9551. 13
5.
Mean atau rata-rata dari dewan komisaris independen (DK) adalah 0,393685, artinya nilai dewan komisaris independen rata-rata dari keseluruhan sampel adalah 0,393685 dengan standar deviasi 0,1436017. Nilai minimum dari dewan komisaris independen adalah 0,1111, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 0,1111. Nilai maksimum dewan komisaris independen adalah 1,0000, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 1,0000.
6.
Mean atau rata-rata dari komite audit (KA) adalah 0,56, artinya nilai komite audit rata-rata dari keseluruhan sampel adalah 0,56 dengan standar deviasi 0,500. Nilai minimum dari komite audit adalah 0, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 0. Nilai maksimum komite audit adalah 1, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 1.
7.
Mean atau rata-rata dari ukuran dewan direksi (UD) adalah 5,00, artinya nilai ukuran dewan direksi rata-rata dari keseluruhan sampel adalah 5,00 dengan standar deviasi 2,365. Nilai minimum dari ukuran dewan direksi adalah 2, artinya nilai terkecil dari keseluruhan sampel adalah 2. Nilai maksimum ukuran dewan direksi adalah 11, artinya nilai tertinggi dari keseluruhan sampel adalah 11.
4.1.2
Uji Asumsi Klasik
4.1.2.1 Uji Normalitas Pengujian normalitas residual dilakukan dengan menggunakan metode P-P Plot yang diperkuat dengan Uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengujian normalitas diperoleh sebagai berikut: Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas P-P Plot
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2007-2009 14
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa titik-titik residual model regresi terdistribusi normal karena titik-titik tersebut menyebar di sekitar garis diagonal dan penyebaran titik-titik tersebut searah mengikuti garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data terdistribusi normal dan model regresi layak untuk dipakai. Pengujian normalitas dalam penelitian ini juga diuji dengan menggunakan Uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov.
Uji K-S
dilakukan dengan menggunakan tingkat kepercayaan 0,05. Dalam tabel 4.2 berikut akan disajikan hasil output dari uji K-S. Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Unstandardiz ed Residual 75 .0000000 .36730288 .064 .064 -.045 .555 .918
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2007-2009 Pengujian normalitas residual menunjukan bahwa model regresi memiliki nilai residual terdistribusi normal. Hal ini ditunjukan dengan nilai probabilitas Uji Kolmogorov Smirnov berada diatas 0,05, dengan jumlah data yang menghasilkan nilai residual yang terdistribusi normal adalah sebanyak 75.
4.1.2.2 Uji Multikolinieritas Dalam penelitian ini, untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas yaitu dengan melihat dari: (1) nilai Tolerance dan lawannya, (2) Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cutoff yang umum digunakan untuk menunjukkan tidak adanya multikolinieritas adalah nilai Tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan nilai VIF ≥ 10. Hasil pengujian multikolinieritas diperoleh sebagai berikut:
15
Tabel 4.3 Hasil Uji Multikolinieritas Coefficientsa
Model 1
KI KM DK KA UD
Collinearity Statistics Tolerance VIF .933 1.072 .922 1.085 .858 1.165 .810 1.234 .718 1.394
a. Dependent Variable: Q
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2007-2009 Hasil perhitungan nilai Tolerance menunjukkan tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10. Hasil perhitungan nilai Variance Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa tidak ada satu variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinieritas antar variabel independen dalam model regresi.
4.1.2.3 Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedasitas dilakukan dengan menggunakan grafik Scatterplot. Grafik Scatterplot tampak pada gambar 4.2 berikut ini: Gambar 4.2 Hasil Uji Heteroskedatisitas-Scatterplot
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2007-2009 16
Seperti yang terlihat dalam gambar 4.2, dari grafik Scatterplot terlihat bahwa titiktitik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.
4.1.2.4 Uji Autokorelasi Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Uji Durbin-Watson (DW) tampak pada tabel 4.4 berikut ini: Tabel 4.4 Hasil Uji Autokorelasi (Durbin-Watson) Model Summaryb Model 1
R .633a
R Square .400
Adjusted R Square .357
Std. Error of the Estimate .3803782
DurbinWatson 2.041
a. Predictors: (Constant), UD, KI, KM, DK, KA b. Dependent Variable: Q
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2007-2009 Dari tabel 4.4 di atas maka dapat diketahui bahwa nilai DW yaitu 2,041 adalah lebih dari du dan kurang dari (4-du) atau lebih dari 1,770 dan kurang dari 2,230 yang berarti pada model tidak dapat autokorelasi.
4.1.3
Analisis Hipotesis Tabel 4.5 Hasil Uji Hipotesis Model Summary Model 1
R .633a
R Square .400
Adjusted R Square .357
Std. Error of the Estimate .3803782
a. Predictors: (Constant), UD, KI, KM, DK, KA
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2007-2009
17
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 6.661 9.983 16.644
df 5 69 74
Mean Square 1.332 .145
F 9.207
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), UD, KI, KM, DK, KA b. Dependent Variable: Q
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2007-2009
Coefficientsa
Model 1
(Constant) KI KM DK KA UD
Unstandardized Coefficients B Std. Error .228 .166 .448 .180 .856 .276 .620 .332 .040 .098 .055 .022
Standardized Coefficients Beta .240 .301 .188 .043 .275
t 1.374 2.486 3.098 1.866 .411 2.494
Sig. .174 .015 .003 .066 .682 .015
a. Dependent Variable: Q
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2007-2009 Dari tabel 4.5 diperoleh besarnya Adjusted R Square adalah 0,357, hal ini berarti 35,7 persen variabel kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, dewan komisaris independen, komite audit dan ukuran dewan direksi dapat menjelaskan variabel nilai perusahaan. Sedangkan sisanya sebesar 64,3 persen dijelaskan oleh faktor-faktor diluar model. Dari Uji Anova atau F test terdapat nilai F hitung sebesar 9,207 dengan probabilitas 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk menjelaskan variabel dependen nilai perusahaan. Dilihat pada tabel, dari lima variabel independen yang diuji, hanya tiga yang signifikan pada tingkat 0,05. Variabel yang menunjukkan nilai signifikan adalah KI (kepemilikan institusional) dengan nilai signifikansi 0,015, KM (kepemilikan manajemen) dengan nilai signifikansi 0,003 dan UD (ukuran dewan direksi) dengan nilai signifikansi 0,015. Variabel yang menunjukkan nilai signifikan adalah yaitu DK (dewan komisaris independen) dengan nilai signifikansi 0,066 dan KA (komite audit) dengan nilai signifikansi 0,682.
18
4.2
Interpretasi Hasil
4.2.1
Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Nilai Perusahaan Hipotesis 1 menduga adanya hubungan positif antara kepemilikan institusional
dengan nilai perusahaan. Hasil pengujian terhadap variabel kepemilikan institusional menunjukkan hasil yang positif dan signifikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hipotesis 1 dan dapat disimpulkan bahwa kepemilikan institusional yang diukur dari persentase kepemilikan saham oleh institusi berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hal ini berarti, semakin tinggi kepemilikan institusional, maka akan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Suranta dan Midiastuty (2003) yang menunjukkan bahwa nilai perusahaan meningkat jika institusi dapat menjadi alat monitoring yang efektif. Hal ini menunjukan bahwa kehadiran investor institusional dalam melaksanakan fungsi monitoring dalam perusahaan sudah optimal sehingga nilai perusahaan tetap terjaga dengan baik. Dengan adanya monitoring yang dilakukan oleh kepemilikan institusional terhadap manajemen perusahaan akan membuat pihak manajemen perusahaan lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan dan dapat mengurangi biaya keagenan. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan semakin kuat kontrol internal terhadap perusahaan. Investor institusional dengan kepemilikan saham dalam jumlah besar akan mempunyai dorongan yang cukup kuat untuk mengumpulkan informasi, mengawasi tindakan-tindakan manajemen dan mendorong kinerja yang lebih baik.
4.2.2
Pengaruh Kepemilikan Manajemen Terhadap Nilai Perusahaan Hipotesis 2 menduga adanya hubungan positif antara kepemilikan manajemen dengan
nilai perusahaan. Hasil pengujian terhadap variabel kepemilikan manajemen menunjukkan hasil yang positif dan signifikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hipotesis 2, dan dapat disimpulkan bahwa kepemilikan manajemen yang diukur dari persentase kepemilikan saham oleh manajemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hal ini berarti, semakin tinggi kepemilikan manajemen, maka akan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang menemukan bukti bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan manajemen terbukti dapat berperan dalam membatasi praktek manipulasi yang dilakukan pihak manajemen perusahaan yang mana dapat diterapkan dalam meningkatkan nilai perusahaan. Dengan adanya kepemilikan manajemen, manajer akan cenderung bertindak dalam kepentingan pemegang 19
saham karena mereka juga merupakan bagian dari pemegang saham, antara lain dengan tidak memanipulasi informasi yang ada dalam laporan keuangan sehingga nilai perusahaan dapat diciptakan dan manajer akan merasa ikut memiliki perusahaan, sehingga manajer berusaha semaksimal
mungkin
melakukan
tindakan-tindakan
yang
dapat
memaksimalkan
kebutuhannya yang berarti juga kebutuhan stakeholders yang lain serta dapat mempersatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham yang berdampak positif bagi nilai perusahaan.
4.2.3
Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Nilai Perusahaan Hipotesis 3 menduga adanya hubungan positif antara dewan komisaris independen
dengan nilai perusahaan. Hasil pengujian terhadap variabel dewan komisaris independen menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis 3, dan dapat disimpulkan bahwa komisaris independen yang diukur dari persentase komisaris independen terhadap jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukan tidak efektifnya fungsi monitoring dewan komisaris independen dalam mengurangi tingkat manipulasi yang disebabkan oleh perilaku menyimpang dari pihak manajemen. Hal ini mengindikasikan bahwa dewan komisaris independen tersebut dipertanyakan tingkat independensinya. Adapun kemungkinan bahwa dewan komisaris independen tidak dibentuk berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan, sehingga pengaruh variabel dewan komisaris independen terhadap nilai perusahaan tidak dapat terlihat dengan jelas. Dewan komisaris independen seharusnya dibentuk seperti persyaratan pembentukan komisaris independen pada Perusahaan Tercatat yang diatur dalam Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa, persyaratan menjadi komisaris independen pada Perusahaan Tercatat, yaitu: a.
Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Tercatat yang bersangkutan
b.
Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan
c.
Tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan
d.
Memahami peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
20
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dan Hanung (2007) yang menemukan bukti bahwa dewan komisaris independen tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Ini berarti, dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
4.2.4
Pengaruh Komite Audit Terhadap Nilai Perusahaan Hipotesis 4 menduga adanya hubungan positif antara komite audit dengan nilai
perusahaan. Hasil pengujian terhadap variabel komite audit menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis 4, dan dapat disimpulkan bahwa komite audit yang diukur dengan variabel dummy tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Terdapat beberapa penjelasan mengenai hasil pengujian terhadap variabel komite audit yang tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan dalam penelitian ini, salah satunya yaitu mungkin karena pembentukan komite audit dalam perusahaan sampel hanya berdasarkan pemenuhan kewajiban terhadap peraturan yang berlaku dan hanya untuk memenuhi regulasi serta menghindari sanksi saja, tetapi tidak dimaksudkan untuk menegakkan good corporate governance di dalam perusahaan. Adapun pembentukan komite audit oleh perusahaan mungkin tidak sesuai dengan karakteristik suatu komite audit seperti yang telah diatur, sebagai berikut: 1.
Kemungkinan disebabkan oleh adanya komposisi anggota komite audit yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu Keputusan Bapepam No: KEP-41/PM/2003 tanggal 22 Desember 2003 yang mengatur bahwa komite audit terdiri dari sekurangkurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang lainnya yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
2.
Kemungkinan disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pembentukan komite audit yang memiliki keahlian di bidang akuntansi dan keuangan hanya didasarkan kepada Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang menyebutkan bahwa anggota komite audit lainnya yang merupakan pihak eksternal yang independen dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan/ atau keuangan (Khomsiyah, Jasin, dan Aditya, 2005).
3.
Kemungkinan disebabkan karena independensi komite audit di Indonesia merupakan aspek yang sulit diketahui oleh pihak publik walaupun dalam peraturan yang ada mengatur tentang independensi komite audit. Menurut Peraturan Pencatatan Efek 21
Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang menyebutkan bahwa komite audit bukan merupakan karyawan kunci emiten atau perusahaan publik dalam satu tahun terakhir sebelum diangkat dewan komisaris, tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung, tidak mempunyai afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direksi, atau Pemegang Saham Utama emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai hubungan langsung maupun tidak yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik, tidak merangkap sebagai anggota komite audit pada emiten atau perusahaan publik lain pada periode yang sama (Khomsiyah, Jasin, dan Aditya, 2005). 4.
Kemungkinan disebabkan rendahnya pertemuan rutin komite audit sehingga masalahmasalah yang terkait dengan laporan keuangan perusahaan tidak dapat dibahas dengan eksternal auditor, internal auditor, dewan direksi dan dewan komisaris. Menurut Peraturan Keputusan Ketua Bapepam No: KEP-41/PM/2003 yang mengatakan bahwa komte audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) bulan (Khomsiyah, Jasin, dan Aditya, 2005). Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rachmawati dan Hanung (2007) yang menemukan bukti bahwa komite audit berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Ini berarti, semakin tinggi keberadaan komite audit justru akan semakin rendah nilai perusahaan.
4.2.5 Pengaruh Ukuran Dewan Direksi Terhadap Nilai Perusahaan Hipotesis 5 menduga adanya hubungan positif antara ukuran dewan direksi dengan nilai perusahaan. Hasil pengujian terhadap variabel ukuran dewan direksi menunjukkan hasil yang positif dan signifikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung hipotesis 5, dan dapat disimpulkan bahwa ukuran dewan direksi yang diukur dari jumlah anggota dewan direksi di dalam perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hal ini berarti, semakin tinggi ukuran dewan direksi maka akan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Isshaq, et al (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ukuran dewan direksi merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dengan anggota dewan direksi perusahaan sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini juga konsisten dengan penelitian Chaganti (1985) yang menyebutkan bahwa dengan ukuran dewan direksi yang besar dengan disesuaikan kondisi perusahaan dapat membantu dalam pelayanan perusahaan atau berdampak pada tata kelola perusahaan yang baik. 22
5.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan Penelitian ini menganalisis pengaruh mekanisme good corporate governance (terdiri
dari: kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, dewan komisaris independen, komite audit dan ukuran dewan direksi) terhadap nilai perusahaan. Penelitian dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2007-2009. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, dan didapatkan 75 laporan tahunan untuk dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepemilikan institusional (KI), kepemilikan manajemen (KM) dan ukuran dewan direksi (UD) menunjukkan nilai signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan dewan komisaris independen (DK) dan komite audit (KA) menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. 5.2
Keterbatasan
1.
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini hanya mampu menjelaskan sebesar 35,7 persen atas nilai perusahaan, sisanya 64,3 persen dijelaskan oleh faktorfaktor lain diluar model.
2.
Periode pengamatan yang dilakukan pendek pada tahun 2007-2009 dengan menggunakan 75 observasi.
3.
Penelitian ini menggunakan satu karakteristik untuk variabel komite audit yaitu dengan menggunakan variabel dummy (ada atau tidaknya komite audit di dalam perusahaan).
5.3
Saran
1.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk memperpanjang periode pengamatan, sehingga dapat diperoleh lebih banyak jumlah observasi.
2.
Bagi penelitian selanjutnya, melalui koefisien determinasi (Adjusted R Square) diperoleh 35,7 persen dan sisanya 64,3 persen dipengaruhi oleh variabel diluar peneliti, oleh karena itu penelitian selanjutnya disarankan untuk dapat menambah variabel-variabel, seperti: komposisi aktiva perusahaan, kesempatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan (Darmawati dkk, 2004), debt to equity (Husnan, 2001).
3.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan ROA dan ROE untuk mewakili proksi dari kinerja keuangan.
4.
Sebaiknya penelitian mendatang tidak hanya menggunakan sampel perusahaan manufaktur saja, tetapi juga menggunakan perusahaan dari sektor industri lain. 23
DAFTAR PUSTAKA
Chaganti, R. S. et al, 1985, “Corporate Board, Composition and Corporate Failures in The Retailing Industry”, Journal of Management Studies, Vol. 22, pp. 400-417. Darmawati, D., Khomsiyah, dan R. G. Rahayu, 2004, “Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi IV, Denpasar. Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal, 2003, Keputusan Ketua Bapepam No.KEP-41/PM/2003 Tanggal 22 Desember 2003, Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Ghozali, I., 2005, ”Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Husnan, S., 2001, ”Corporate Governance dan Keputusan Pendanaan: Perbandingan Kinerja Perusahaan Dengan Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Multinasional dan Bukan Multinasional”, Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen dan Ekonomi, Vol. 1, No. 1, h. 1-12. Indonesian Capital Market Directory, 2008. ______________________________, 2009. ______________________________, 2010. Isshaq, Z., G. A. Bokpin, dan J. M. Onumah, 2009, ”Corporate Governance, Ownership Structure, Cash Holdings, and Firm Value on The Ghana Stock Exchange”, The Journal of Risk Finance, Vol. 10, No. 5, pp. 488-499. Jensen, M. C. dan W. H. Meckling, 1976, “Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, Vol. 3, pp. 305-360. Kaihatu, T. S., 2006, “Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia”, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8, No. 1, h. 1-9.
24
Khomsiyah, A. Jasin, dan M. Aditya, 2005, “Karakteristik Komite Audit dan Pengungkapan Informasi”, Konferensi Nasional Akuntansi, pp. 1-17. Lastanti, H. S., 2004, “Hubungan Struktur Corporate Governance Dengan Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar”, Konferensi Nasional Akuntansi. Onwioduokit, E. A., 2002, ”Current World Financial Crisis: Lessons to be Learnt”, WABASeminar, Abijan. Priambodo, R. E. A dan E. Suprayitno, 2007, “Penerapan Good Corporate Governance Sebagai Landasan Kinerja Perbankan Nasional”, Usahawan, No. 05, Th. XXXVI. PT. Bursa Efek Jakarta, 2000, Surat Keputusan Dewan Direksi No. Kep-315/BEJ/06-2000 Poin 2f, Peraturan Tentang Pembentukan Komite Audit. PT. Bursa Efek Jakarta, 2004, Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep305/BEJ/07-2004, Peraturan Nomor I-A Tentang Pencatatan Saham Dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Tercatat. Rachmawati, A. dan H. Triatmoko, 2007, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar. Siallagan, H. dan M. Machfoedz, 2006, “Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang. Sukamulja, S., 2004, “Good Corporate Governance di Sektor Keuangan: Dampak GCG Terhadap Kinerja Perusahaan”, BENEFIT, Vol. 8, No. 1. Suranta, E. dan M. Machfoedz, 2003, “Analisis Struktur Kepemilikan, Nilai Perusahaan, Investasi dan Ukuran Dewan Direksi”, Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya. Suranta, E. dan P. P. Midiastuty, 2003, “Analisis Hubungan Struktur Kepemilikan Manajerial, Nilai Perusahaan dan Investasi dengan Model Persamaan Linear Simultan”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 6, No. 1, h. 54-68. Tarjo, 2008, ”Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Institusional dan Leverage Terhadap Manajemen Laba, Nilai Pemegang Saham serta Cost of Equity Capital”, Simposium Nasional Akuntansi XI, Pontianak.
25
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Wulandari, N., 2006, “Pengaruh Indikator Mekanisme Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan Publik di Indonesia”, Fokus Ekonomi, Vol. 1, No. 2, h. 120-136.
26