FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN PUREE PISANG DAN INULIN
SKRIPSI
NI PUTU AYU LESTARI F24070019
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i
FORMULATION OF SYNBIOTIC YOGHURT MADE WITH BANANA PUREE AND INULIN Ni Putu Ayu Lestari, Ratih Dewanti-Hariyadi, and Dewi Desnilasari Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone +62 878 7090 8640, E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Recently, one of functional food which has become popular in the market is probiotic, prebiotic and or synbiotic yoghurt. Synbiotic yoghurt is fermented milk containing both probiotic and prebiotic. Many inovations in yoghurt production by food scientists were developed by adding local ingredients. Banana is abundant local comodity in West Java. Besides having high nutrient, banana also contains 0.5-1.4 g/100g inulin which is a good source of prebiotic. The purpose of this research was to make synbiotic yoghurt containing banana puree and inulin as a functional food using local comodity. In this research, the synbiotic yoghurt was made from banana puree added with Lactobacillus casei as probotic and commercial inulin as prebiotic. This research was divided into three steps, first step was to obtain an optimum ratio between skim milk and banana puree to produce an acceptable yoghurt by sensory evaluation (hedonic ranking test), second step was to obtain an optimum one by addition of commercial inulin to the previous formula based on sensory evaluation (hedonic rating test), and the third step was to determine chemical and microbiology quality of the synbiotic yoghurt. Result of the first step of the research, suggested that skim milk : banana puree ratio = 1:1 was the most preferred product by panelists. Addition of 2% inulin yoghurt resulted in the highest rank yoghurt likened by the panelists. Based on the chemical and microbiological analysis, the resulted synbiotic yoghurt complied standard requirement yoghurt in Indonesia (SNI 01.29812009). The synbiotic yoghurt contained BAL 3.6 x 109 cfu/ml probiotic lactic acid bacteria and approximately about 3.88 g/100g prebiotic. Based on proximate analysis, the fat content of this synbiotic yoghurt is less than 5% thus it can be classified as non fat yoghurt.
Keywords: Lactobacillus casei, synbiotic yoghurt, banana, inulin, synbiotic food
ii
Ni Putu Ayu Lestari. F24070019. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Dewi Desnilasari. 2011
RINGKASAN Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan dikembangankan oleh para industri pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt sinbiotik. Pengembangan produk inovasi yoghurt yang menggunakan susu sebagai bahan baku utama, dapat ditambahkan dengan bahan baku lain yang berasal dari pangan lokal. Salah satu komoditi lokal yang jumlahnya melimpah di Jawa Barat dan belum dimanfaatkan secara maksimal adalah pisang. Pisang merupakan buah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Selain itu, pisang juga mengandung sumber prebiotik yang baik yaitu inulin sebanyak ± 1g/100g pisang. Namun, kandungan inulin tersebut belum memenuhi standar prebiotik yaitu sekitar 1-3% pada produk yoghurt, sehingga diperlukan penambahan inulin komersil sebagai sumber prebiotik. Metode yang dilakukan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap I adalah optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan perbandingan susu skim dan puree pisang yang tepat berdasarkan uji organoleptik. Tahap II adalah optimasi inulin komersial dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan jumlah penambahan inulin komersial yang tepat dan disukai sebagai sumber prebiotik berdasarkan uji organoleptik. Tahap III adalah analisis mutu yoghurt sinbiotik formula terpilih. Penelitian tahap I dilakukan dengan membuat yoghurt sinbiotik menggunakan susu skim dan puree pisang Ambon sebagai bahan baku utama dengan perbandingan antara susu skim: puree pisang adalah (A) 1:0.5, (B) 1:1, dan (C) 1:2. Formula terpilih merupakan hasil penilaian kesukaan panelis berdasarkan uji organoleptik ranking hedonik. Berdasarkan uji ranking tersebut, formula yoghurt yang paling disukai menurut panelis dan dipilih sebagai formula terpilih tahap I adalah yoghurt dengan perbandingan antara susu skim : puree pisang sebanyak 1:1. Penelitian selanjutnya yang dilakukan adalah penelitian tahap II yaitu optimasi inulin dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Penelitian ini menggunakan formula terpilih tahap I yang ditambahkan inulin dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Terdapat empat formulasi penambahan inulin yaitu formula A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3% inulin). Hasil pada tahap II berdasarkan uji rating hedonik yaitu untuk semua atribut yang diujikan mencakup aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan mendapat penilaian oleh panelis dari netral sampai agak suka. Hasil penilaian panelis terhadap penambahan inulin sebanyak 0-3% pada yoghurt berdasarkan analisis sidik ragam adalah tidak berbeda nyata atau tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara organoleptik. Penambahan 0-3% inulin hanya berfungsi sebagai penambah sumber prebiotik pada produk yoghurt. Namun sampel yang mempunyai tingkat kesukaan paling tinggi menurut penilaian panelis dan dipilih menjadi formula terpilih tahap II secara keseluruhan berdasarkan jumlah kandungan inulinnya dan segi ekonomisnya adalah sampel C (2% inulin). Tahap terakhir pada penelitian ini adalah tahap III yaitu analisis mutu yoghurt sinbiotik formula terpilih. Berdasarkan hasil analisis mutu kimia, produk yoghurt sinbiotik mempunyai kandungan kadar air 84.46%; kadar abu 0.75%; kadar protein 2.79%; kadar lemak 0.2%; kadar karbohidrat 11.8%; dan kadar inulin 3.88 g/100g dengan pH 4.3; TAT 0.745, dan total padatan 15.36%. Sedangkan berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi, produk yoghurt sinbiotik mempunyai jumlah total bakteri asam lakat sebesar 3.6 x 109 cfu/ml. Jumlah ini tidak berubah secara signifikan jika disimpan selama 14 hari dalam suhu dingin yaitu 4°C. Pengujian cemaran mikroba
iii
yaitu cemaran koliform dan Salmonela dinyatakan negatif pada produk yoghurt yang dihasilkan baik pada hari ke-0 maupun hari ke-14. Cemaran koliform pada produk adalah <3 g MPN/100ml dan Salmonella adalah negatif salmonella/25 g yoghurt. Keseluruhan hasil uji mutu yang dilakukan tersebut telah sesuai dengan persyaratan SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt. Kadar probiotik dan prebiotik yang dimiliki oleh yoghurt sinbiotik telah memenuhi persyaratan sehingga produk dapat dikatakan sebagai produk pangan sinbiotik. Selain itu produk yoghurt sinbiotik ini juga dapat diklaim sebagai yoghurt non-fat karena kandungan lemaknya yang rendah yaitu kurang dari 0.5%.
iv
FORMULASI YOGHURT SINBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN PUREE PISANG DAN INULIN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
NI PUTU AYU LESTARI F24070019
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
v
Judul Skripsi : Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin Nama : Ni Putu Ayu Lestari NIM : F24070019
Menyetujui, Bogor, 14 Oktober 2011 Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc NIP. 19620920 198603 2 002
Dewi Desnilasari, S.Si NIP. 19811208 200801 2 008
Mengetahui, Plt. Ketua Departemen ITP
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si NIP. 19610802 198703 2 002
Tanggal Sidang : 19 September 2011
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan B2PTTG Lipi Subang serta belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 14 Oktober 2011 Yang membuat pernyataan
Ni Putu Ayu Lestari F24070019
vii
© Hak cipta milik Ni Putu Ayu Lestari, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ni Putu Ayu Lestari dilahirkan pada tanggal 25 Maret 1989 di kota Singaraja dan merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Made Suarjaya dan Ni Made Ardani. Penulis menempuh pendidikan di TK Adiyaksa Palangkaraya (1993-1995), pendidikan dasar di SDN Langkai 12 Palangkaraya (1995-2001), pendidikan menengah pertama di SMPN 2 Palangkaraya (2001-2004), pendidikan menengah atas di SMAN 2 Pahandut Palangkaraya (20042007). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan masuk Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2007. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di dalam kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan). Diantaranya adalah panitia LCTIP (2009), PLASMA (2009), BAUR (2009), dan KAPANGAN (2009), penulis juga mengikuti lomba kreativitas mahasiswa (pengembangan yoghurt ubi jalar ungu) dan berpartisipasi dalam organisasi KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma) sebagai Bendahara I (2009). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ―Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin‖ di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih DewantiHariyadi, M.Sc dan Dewi Desnilasari, S.Si.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas asungkerta dan waranugraha-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul ―Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang dan Inulin‖ dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Agustus 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Keluarga tercinta penulis: Bapak Made Suarjaya, Ibu Made Ardani, dan Adik Nyoman Budi Suryawan yang selalu memberi doa, kasih sayang, dukungan moral dan finansial serta nasihat untuk terus belajar dengan sebaik-baiknya. 2. Dosen Pembimbing Akademik I, ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc. yang saya hormati dan kagumi yang telah memberi banyak bimbingan dan arahan serta motivasi selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan tugas akhir. 3. Dosen Pembimbing Akademik II, ibu Dewi Desnilasari, S.Si. 4. Dosen Penguji ibu Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc. 5. Lembaga LIPI Subang yang telah memberikan topik penelitian dan bantuan dana penelitian sehingga penelitian ini tidak mengalami hambatan biaya dan berjalan dengan lancar. 6. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis sehingga penulis berhasil menjadi Sarjana Teknologi Pertanian dan dapat mengaplikasikan ilmunya menjadi bermanfaat. 7. Semua teknisi dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan: Mas Aldi, Mas Edi, Pak Rojak, Mba Ari, Pak Gatot, Ibu Rubiah, Ibu Antin, Ibu Endang atas bimbingan dan bantuan serta kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian. 8. Seluruh pustakawan PITP dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari sumber pustaka 9. Semua guru dari TK sampai SMA yang telah memberi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. 10. Adik ketemu gede sekaligus sahabat tercinta, Rizwana Syarifah yang selalu membantu dan memberi semangat kepada penulis. 11. Sahabat tersayang dan tak terlupakan Meiada Prabawani baik hati, juga Bertha Mahestarini dan Tiara Indah Kesuma atas canda dan tawa serta dukungan yang besar kepada penulis untuk selalu rajin dan tekun menyelesaikan skripsi serta Silvia Mawarti, Lutfhi Kartika, Cintya Ade, Vania, Norita, Kak Dewi, Diara Mutiarani, Antin, Fiqhi, Veni, Rida, Gita, Beta, Berlian, dan temanteman semua di kos Tri Dara atas kebersamaannya selama ini sehingga penulis merasa di lingkungan yang sangat nyaman. 12. Teman-teman satu bimbingan Melia Christian yang merupakan pendorong bagi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan penelitian, seminar, sidang, dan penulisan skripsi sehingga skripsi penulis dapat terbit tepat pada waktunya, juga Iman Indrajaya atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini. 13. Teman-teman ITP 44 Michael Devega dan Yohana Maria Leoni yang sudah membantu pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan penulis dengan baik, teman-teman di LAB Mikrobiologi : Nidya Pramitasari, Erlindawati, Andreas Romulo, Yusuf, Kak Sarah, Ashari; dan juga teman-teman LAB lainnya : Indri, Siska, Ronald Anugrah, Alya, Yesica, Ulfa, Anya, Khafid, Suriah, Dina, Ricky, Mba Mus, Puji, Desir, Irwan, Mumun, Adi, Dimas, Marisa, Trancy, Elisabeth, dan Amelinda. 14. Keluarga besar ITP 42, 43 khususnya Kak Septi, dan ITP 45.
x
15. Keluarga Besar KMHD : Bli Arya, Kadek Putra, Wenes, Sukma, Angie, Esta, dkk. 16. Semua pihak yang sudah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan. Bogor, 14 Oktober 2011
Ni Putu Ayu Lestari
xi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................. DAFTAR ISI ........................................................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1.1 LATAR BELAKANG ......................................................................................... 1.2 TUJUAN .............................................................................................................. II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 2.1 PANGAN FUNGSIONAL ................................................................................... 2.2 PROBIOTIK ........................................................................................................ 2.3 PREBIOTIK......................................................................................................... 2.4 SINBIOTIK .......................................................................................................... 2.5 YOGHURT .......................................................................................................... III. BAHAN DAN METODE ................................................................................................ 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................ 3.2 BAHAN DAN ALAT .......................................................................................... 3.3 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 3.3.1 Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................. 3.3.2 Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................. 3.3.3 Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik .............................................................. 3.4 METODE PENGUKURAN ................................................................................. 3.4.1 Analisis Sifat Kimia .................................................................................. 3.4.2 Analisis Mikrobiologi ............................................................................... 3.4.3 Uji Organoleptik ....................................................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 4.1 OPTIMASI PUREE PISANG DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK......................................................................................................... 4.1.1 Persiapan Kultur ....................................................................................... 4.1.2 Formulasi Yoghurt Sibiotik dengan Penambahan Puree Pisang .............. 4.2 OPTIMASI INULIN DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK .......... 4.3 ANALISIS MUTU YOGHURT SINBIOTIK...................................................... 4.3.1 Analisis Mutu Kimia ................................................................................. 4.3.2 Analisis Mutu Mikrobiologi ..................................................................... V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 5.2 Saran .................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. LAMPIRAN ............................................................................................................................
x xii xiii xiv xv 1 1 2 3 3 4 7 10 11 16 16 16 16 16 20 20 21 21 23 24 25 25 25 27 31 35 35 38 43 43 43 44 51
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis-Jenis Bakteri Probiotik ...................................................................................... Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Buah Pisang Ambon dalam 100 gram Buah yang Dapat Dimakan .......................................................................................................... Tabel 3. SNI 01.2981-2009 Tentang Yoghurt .......................................................................... Tabel 4. Hasil Analisis Mutu Kimia Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik ............................... Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik .................................. Tabel 6. Hasil Uji Koliform ..................................................................................................... Tabel 7. Hasil Uji Salmonella ..................................................................................................
Halaman 5 9 11 35 37 40 41
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur Inulin ...................................................................................................... Gambar 2. Perubahan Laktosa menjadi Asam Laktat ............................................................ Gambar 3. Pewarnaan Gram .................................................................................................. Gambar 4. Pemeliharaan Kultur ............................................................................................. Gambar 5. Pembuatan Kultur Starter ..................................................................................... Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Puree Pisang Ambon ................................................... Gambar 7. Formulasi Yoghurt Sinbiotik Menggunakan Puree Pisang Ambon ..................... Gambar 8. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Inulin .................................... Gambar 9. Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik ......................................................................... Gambar 10. Kultur Lactobacillus Casei Perbesaran 1000x...................................................... Gambar 11. Pengawetan kultur L. Casei dalam MRS Chalk Semi Solid dan MRS Broth ....... Gambar 12. Kultur Induk dan Kultur Starter............................................................................ Gambar 13. Yoghurt dengan Penambahan Puree Pisang ......................................................... Gambar 14. Histogram Uji Ranking Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... Gambar 15. Histogram Uji Ranking Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... Gambar 16. Histogram Uji Ranking Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... Gambar 17. Histogram Uji Ranking Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik ........................................................ Gambar 18. Histogram Uji Rating Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. Gambar 19. Histogram Uji Rating Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. Gambar 20. Histogram Uji Rating Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................. Gambar 21. Histogram Uji Rating Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .................................................................... Gambar 22. Jumlah Total BAL selama 15 hari ........................................................................ Gambar 23. Media Selektif Pertumbuhan Salmonella .............................................................
Halaman 7 12 17 18 18 19 19 20 21 25 26 26 27 28 29 30 31 32 33 33 34 39 41
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.
Perhitungan Total BAL pada Kultur Induk dan Starter ..................................... Contoh Form Uji Organoleptik Ranking Hedonik ............................................. Contoh Form Uji Organoleptik Rating Hedonik................................................ Hasil Uji Rangking Pada Tahap Optimasi Puree Pisang pada Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................................. Lampiran 5. Hasil Uji Rating Pada Tahap Optimasi Inulin Komersial pada Pembuatan Yoghurt Sinbiotik .............................................................................................. Lampiran 6. Hasil Analisis Proksimat Yoghurt Sinbiotik ...................................................... Lampiran 7. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat selama 15 Hari ........................................... Lampiran 8. Gambar Hasil Uji Total Bakteri Asam Laktat dari Hari ke-1 sampai ke-15 ...... Lampiran 9. Hasil Uji Koliform Hari Ke-1 dan Hari ke-15 ................................................... Lampiran 10. Hasil Uji Koliform pada Media BGLBB ...........................................................
Halaman 52 53 54 55 57 61 64 65 67 68
xv
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Menurut Badan POM (2005) pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional ini dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain itu, tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Salah satu pangan fungsional yang populer di kalangan masyarakat dan banyak dikembangankan oleh para ahli pangan adalah susu fermentasi dalam bentuk yoghurt. Hal tersebut terkait dengan bukti ilmiah bahwa yoghurt dipercaya mengandung nutrisi yang baik serta memiliki khasiat terhadap kesehatan manusia, terutama bagi saluran pencernaan dan sistem kekebalan tubuh karena mengandung bakteri baik didalamnya. Semakin meningkatnya pengetahuan gizi dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan, maka sekarang ini bentuk yoghurt yang banyak diminati adalah yoghurt sinbiotik yang mempunyai komponen fungsional ganda. Yoghurt sinbiotik adalah susu hasil fermentasi oleh mikroba probiotik dan diberi penambahan prebiotik sebagai makanan dari probiotik tersebut. Probiotik dan prebiotik merupakan komponen yang sudah terbukti dapat memberi manfaat kesehatan bagi manusia. Produk yoghurt biasa dibuat dengan menggunakan bahan baku utama yaitu susu sapi yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Dalam rangka mengembangkan produk inovasi yoghurt sinbiotik sebagai minuman fungsional, saat ini banyak dikembangkan yoghurt sinbiotik yang dibuat dari hasil fermentasi susu oleh bakteri probiotik dengan ditambahkan sumber prebiotik yang berasal dari bahan baku lokal. Salah satu bahan baku lokal yang dapat digunakan sebagai sumber prebiotik adalah pisang. Pisang merupakan buah yang memiliki rasa yang enak, dapat mengenyangkan, memiliki kandungan gizi yang tinggi, dan mengandung sumber prebiotik yang baik yaitu inulin. Pisang mengandung inulin sekitar ± 1 g/100g pisang. Inulin adalah salah satu prebiotik yang baik yang mempunyai peran sebagai serat pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dan dapat dimanfaatkan oleh bakteri baik di usus (Roberfroid, 2005). Pemanfaatan pisang sebagai bahan baku tambahan dalam pembuatan yoghurt dapat meningkatkan nilai guna pisang, karena pisang merupakan salah satu produk pertanian yang jumlahnya melimpah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan data FAO (2002) produksi pisang di dunia pada tahun 2001 mencapai 66.5 juta ton. Di Indonesia sendiri produksi pisang menempati peringkat tertinggi dibanding komoditi hasil pertanian yang lainnya. Pada tahun 2010 jumlah produksi pisang di Indonesia mencapai 5.814.576 ton dengan kontribusi terbesar dari daerah Jawa Barat (1.089.472 ton) (BPS, 2010). Namun pemanfaatan buah pisang ini pada umumnya hanya sebatas pembuatan tepung pisang, kripik pisang, dan konsumsi secara segar. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengembangan yoghurt sinbiotik yang mengandung probiotik sekalius prebiotik yang mempunyai nilai fungsional yang tinggi. Inovasi pengembangan yoghurt sinbiotik ini berupa penelitian pembuatan yoghurt sinbiotik berbasis pangan lokal dengan penggunaan puree pisang dan penambahan inulin komersial sebagai sumber prebiotik serta menggunakan kultur bakteri Lactobacillus casei sebagai sumber probiotik.
1
1.2 TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk membuat yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang dan inulin komersial sebagai sumber prebiotik.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PANGAN FUNGSIONAL Peran utama makanan adalah untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi individu. Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini menemukan bukti secara ilmiah bahwa beberapa makanan dan komponen makanan memiliki efek fisiologis dan psikologis yang menguntungkan disamping penyediaan kandungan nutrisi dasar. Oleh karena itu fokus penelitian telah bergeser lebih ke identifikasi komponen biologis aktif dalam makanan yang memiliki potensi untuk mengoptimalkan kesehatan fisik dan mental serta dapat mengurangi risiko penyakit. Banyak produk makanan tradisional, termasuk buah-buahan, sayuran, kedelai, gandum dan susu telah ditemukan mengandung komponen dengan manfaat kesehatan potensial. Pangan ini disebut pangan fungsional. Istilah pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang sekitar pertengahan tahun 1980an dengan nama FOSHU (Foods for Specified Health Use). FOSHU mengacu pada makanan yang mengandung bahan yang berfungsi untuk kesehatan dan secara resmi telah diklaim mempunyai efek fisiologis pada tubuh manusia. Tujuan mengonsumsi FOSHU dimaksudkan untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan terutama bagi orang-orang yang ingin mengontrol kondisi kesehatan, termasuk tekanan darah, kolesterol darah atau bagi orang yang ingin menjaga tubuhnya tetap sehat. Istilah FOSHU sekarang telah dikenal dengan nama functional food atau pangan fungsional (Hasler, 1995). Umumnya pangan fungsional dianggap sebagai bagian pangan yang memiliki fungsi diet dan memiliki komponen biologi aktif yang berguna untuk meningkatkan kesehatan atau mengurangi risiko penyakit. Pangan fungsional termasuk dalam konsep pangan yang tidak hanya penting bagi kehidupan tetapi juga sebagai sumber mental dan fisik, mendukung pencegahan dan mengurangi faktor risiko sakit untuk beberapa penyakit serta penambahan terhadap fungsi fisiologis tertentu. Banyak definisi tentang pangan fungsional yang telah dikemukakan, diantaranya menurut kosensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996 yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki kandungan komponen aktif sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung didalamnya (Hasler, 1995). Pangan fungsional juga didefinisikan oleh Functional Food Science in Europe (FUFOSE) sebagai pangan dalam bentuk makanan seharihari yang biasa dikonsumsi dengan jumlah rata-rata konsumsi pada umumnya, menunjukkan efek fisiologis bagi tubuh. Pangan fungsional tersebut dapat berasal dari makanan alami, makanan yang telah ditambahkan komponen fungsional, atau makanan hasil bioteknologi. Pangan fungsional dapat juga berasal dari makanan yang satu atau lebih sifat komponennya telah dimodifikasi, atau makanan yang satu atau lebih bioavailabilitasnya komponennya telah dimodifikasi, atau kombinasi dari keduanya. Pangan fungsional ini dapat dikonsumsi oleh seluruh populasi atau untuk kelompok tertentu, misalnya kelompok usia tertentu atau golongan penderita penyakit tertentu (Madsen, 2007). Menurut FAO (2004) definisi pangan fungsional adalah makanan yang mempunyai penampakan sama dengan makanan konvensional (minuman dan makanan), dikonsumsi sebagai bagian dari makanan sehari-hari yang mengandung komponen-komponen biologis aktif yang mempunyai manfaat fisiologis dan mempunyai potensi mengurangi risiko penyakit kronis disamping nilai gizi yang dikandunganya. Komponen biologis aktif yang dimaksud dapat berasal dari bahan baku makanan yang terdapat secara alami atau ditambahkan ke dalam makanan.
3
Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.5.52.0685 tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Komponen dalam pangan yang tergolong sebagai pangan fungsional berdasarkan BPOM (2005) adalah vitamin, mineral, gula, alkohol, asam lemak tidak jenuh, asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, lesitin dan inositol, karnitin dan skualen, isoflavon, fitosterol dan fitostanol, dan polifenol (teh). Badan POM (2005) membuat persyaratan suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan fungsional antara lain: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2) menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan; (3) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah Tim Mitra Bestari; (4) disajikan dan dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan dan minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen; (6) komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain. Muchtadi (2001) menyatakan bahwa pangan fungsional memiliki tiga fungsi dasar yaitu sensori (warna dan penampilan menarik serta cita rasa yang enak), nutrisional (bergizi tinggi), dan fisiologikal (memberi pengaruh fisiologis bagi tubuh). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan antara lain mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, meregulasi kondisi ritme fisik tubuh, memperlambat proses penuaan dan membantu proses penyembuhan. Saat ini jenis produk pangan fungsional telah banyak beredar di pasaran yang sebagian besarnya didominasi oleh produkproduk susu dan olahannya (Toma & Pokrotnieks, 2006). Salah satu yang paling populer saat ini di kalangan industri adalah yoghurt. Probiotik dan prebiotik merupakan bahan pangan yang termasuk ke dalam kategori pangan fungsional. Probiotik dikatakan termasuk pangan fungsional karena probiotik mempunyai manfaat menjaga fungsi saluran cerna dan meningkatkan kesehatan (Sanders, 1999). Golongan bakteri asam laktat terutama Lactobacilli dan Bifidobacteria merupakan bakteri probiotik yang banyak digunakan diberbagai negara (Tamime et al., 2005). Bakteri tersebut banyak digunakan dalam pembuatan yoghurt, dimana saat ini yoghurt merupakan salah satu jenis produk makanan yang dapat meningkatkan kesehatan manusia. Menurut Saxelin (2008) produk-produk probiotik yang beredar di pasaran dunia, 72% merupakan produk dalam bentuk yoghurt probiotik. Sedangkan prebiotik adalah makanan bagi probiotik yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dan meningkatkan kesehatan tubuh manusia (FAO, 2007). Beberapa jenis prebiotik yang paling banyak digunakan adalah inulin dan fruktooligosakarida (FOS). Menurut Sveje (2007), di pasaran dunia terdapat lebih dari 180 macam produk prebiotik yang telah ada.
2.2 PROBIOTIK Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang ditambahkan pada makanan untuk kebutuhan diet dan memberi efek kesehatan bagi inangnya dengan cara meningkatkan keseimbangan mikroflora usus (Fuller, 1989). Sedangkan menurut FAO/WHO (2002), probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 106108 cfu/ml dan diharapkan dapat berkembang menjadi 10 12 cfu/ml di dalam kolon. Jumlah probiotik hidup harus mampu melewati kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti terekspos asam lambung dan garam empedu, sehingga masih memiliki aktivitas. Produk yang mengandung probiotik dikategorikan sebagai pangan fungsional dan di Indonesia hal ini resmi dinyatakan dalam Peraturan
4
Pangan Fungsional dari BPOM tahun 2005, namun belum secara spesifik dinyatakan regulasi dan jumlah minimal kandungannya. Bakteri yang umum digunakan sebagai sumber probiotik sebagian besar berasal dari golongan bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri yang termasuk dalam bakteri probiotik dapat dilihat pada Tabel 1. Bakteri asam laktat dapat digolongkan sebagai probiotik jika memenuhi beberapa persyaratan antara lain (Salminen et al., 2004) : 1. Suatu probiotik harus non-patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu serta masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus 2. Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat serta terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus 3. Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara 4. Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan 5. Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan Tabel 1. Jenis-Jenis Bakteri Probiotik a Mikroflora
Lactobacili
Bifidobacteria
Spesies Lactobacillus acidophillus Lactobacillus rhamnosus Lactobacillus reuteri Lactobacillus casei Lactobacillus plantarum Lactobacillus johnsonii Bifidobacterium bifidum Bifidobacterium longum Bifidobacterium breve Bifidobacterium infantis a Tamime (2007) , bReid (1999)
Produsenb Rhodia, Inc (Madison Wis) Valio Dairy (Helsintei Finland) Biogaia Biologis Yakult (Tokyo) Probi AB (Lund Sweden) Nestle (Switzerland) Danisco Morinaga Milk Ind. Co Ltd (Zama City) Yakult (Tokyo) Procter & Gamble
Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi dalam tiga aspek, yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), serta dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus. Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan risiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen. Karena alasan tersebut, teknik probiotik diterapkan untuk meningkatkan kesehatan saluran pencernaan serta sistem imunitas tubuh (Winarno, 2003). Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan juga mendukung pernyataan bahwa probiotik dapat meningkatkan kesehatan diantaranya yaitu (1) probiotik dapat meningkatkan pencernaan laktosa karena dapat menghasilkan enzim pemecah laktosa (Kim & Gilliland, 1983), (2) mengurangi efek samping dari antibiotik dengan cara merangsang pengaktifan kembali bakteri baik pada usus yang telah terkena efek antibiotik (Lidbeck, 1995), (3) mencegah infeksi saluran usus dengan cara memproduksi asam-asam organik dan zat antibakteri (Gilliland & Speck, 1977), (4)
5
mencegah kanker (Reddy et al., 1983), (5) meningkatkan sistem imun (Hatcher & Lambrecht, 1993), dan (6) menurunkan kolesterol (Gilliland & Walker, 1990). Salah satu jenis bakteri yang tergolong probiotik dan banyak digunakan di industri pangan dalam pembuatan susu fermentasi adalah kultur Lactobacillus casei. Bakteri ini mempunyai morfologi berbentuk batang, berada dalam koloni tunggal maupun berantai, memiliki panjang 1.5-5.0 µm dan lebar 0.6-0.7 µm, gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora maupun kapsul, tidak memiliki flagela, anaerobik fakultatif, hidup dengan baik pada suhu optimum 15-410C, dan pH 3.5 atau lebih. Lactobacillus casei tahan terhadap kondisi asam dengan sebagian besar produk akhir metabolisme berupa asam laktat dan sudah terbukti prebiotik (Tamime & Robinson, 1989). Lactobacillus casei termasuk ke dalam kategori bakteri asam laktat homofermentatif yaitu memecah glukosa terutama menjadi asam laktat kira-kira 90%. Kemampuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri asam laktat heterofermentatif yang hanya dapat memecah glukosa menjadi asam laktat kurang dari 90% (Winarno & Fardiaz, 1984). Selain itu juga L. casei dapat menghasilkan sejumlah kecil asam sitrat, asam malat, asam asetat, asam suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin yang berperan dalam pembentukan flavor (Varnam & Sutherland, 1994). Menurut para peneliti di Jepang, L. casei dapat memproduksi L(+) asam laktat lebih dari 95%, sedangkan Lactobacillus bulgaricus memproduksi hampir 100% D(-) asam laktat. Asam laktat dalam bentuk L(+) lebih dapat digunakan di dalam tubuh dibandingkan dengan bentuk D(-). Beberapa jenis Lactobacillus casei sudah terbukti dan terindentifikasi termasuk probiotik (Crittenden et al., 2002). Lactobacillus casei mempunyai manfaat bagi kesehatan diantaranya : (1) mendukung respon sistem imun, (2) mendukung kesehatan sel dan meningkatkan bakteri menyehatkan di dalam usus, (3) dapat memodifikasi potensi aktivitas bakteri berbahaya seperti βglukoronidase dan nitroreduktase (Goldin & Gorbach, 1984), dan (4) meningkatkan kesehatan manusia (Takeshi, 2003). Konsumsi yoghurt dengan kandungan L. casei pada manusia memiliki potensi menurunkan risiko beberapa penyakit dan menunjang kesehatan tubuh, terutama yang banyak diteliti adalah bakteri L. casei galur Shirota diantaranya menurunkan risiko kanker kandung kemih (Ohashi et al., 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ishikawa et al. (2005) juga menunjukkan L.casei galur Shirota berpotensi mencegah kanker pada saluran kandung kemih pada studi in vivo. Penelitian terkait peran L. casei galur Shirota pada sistem imun dilakukan oleh Nagao et al. (2000) yang menunjukkan bahwa asupan L. casei dapat meningkatkan aktivitas sel Natural Killer (NK) pada manusia. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa aktivitas sel NK dapat ditingkatkan oleh L. casei galur Shirota pada manusia yang memiliki kebiasaan merokok (Morimoto et al., 2005). Selain itu penelitian oleh Yuniastuti (2004) tentang pengaruh pemberian susu fermentasi L. casei galur Shirota terhadap perubahan kadar fraksi lipid serum tikus hiperkolesterolemik, menyimpulkan bahwa pemberian susu fermentasi Lactobacillus casei galur Shirota pada dosis 2.5 ml/ekor/hari menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida dan kolesterol LDL serta meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan. Kultur bakteri L. casei pada produk-produk susu fermentasi dapat digunakan sebagai kultur tunggal maupun kultur campuran. Penggunaan kultur tunggal mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah dalam pemeliharaan, penggunaan, dan juga perhitungan total mikroba probiotik. Selain itu juga mudah dalam mendeteksi kontaminasi dan menentukan kondisi optimum inkubasi produk yoghurt. Begitu pula menurut hasil penelitian Oliveira et al. (2001) menyebutkan bahwa jumlah bakteri probiotik pada kultur tunggal akan lebih stabil dan terjaga viabilitasnya dibanding pada kultur campuran. Penggunaan kultur tunggal ini juga tidak kalah dengan penggunaan kultur campuran karena kultur yang digunakan adalah kultur yang sudah pasti probiotik yang bermanfaat bagi
6
kesehatan tubuh dan menurut Yulianis (2004) penggunaan L. casei pada produk fermentasi tergolong disukai konsumen dari segi tekstur, aroma dan rasa. Penelitian penggunaan kultur tunggal L. casei dalam pembuatan susu fermentasi telah banyak dilakukan, antara lain penelitian melihat jumlah total BAL pada susu fermentasi oleh Yulianis (2004) yang membuat susu fermentasi dari ampas tahu menggunakan kultur tunggal L. casei. Hasilnya adalah penambahan kultur sebanyak 5% sudah menghasilkan produk yang mengandung probiotik tinggi yaitu sekitar 3.9-7.5 109 cfu/ml dan produk yang dihasilkan disukai oleh panelis. Penelitian lain oleh Artanti (2009) yang melihat pertumbuhan L.casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasilnya adalah L. casei dapat tumbuh dengan baik di dua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei cenderung memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin yaitu sebesar 10.0 log cfu/ml.
2.3 PREBIOTIK Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak tercerna yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau lebih bakteri tertentu dalam usus besar, yang dapat memperbaiki kesehatan inang. Banyak pangan dengan oligosakarida atau polisakarida (termasuk serat pangan) yang diklaim mempunyai aktivitas prebiotik, meskipun tidak semua karbohidrat pangan adalah prebiotik (Roberfroid, 2005). Golongan fruktooligosakarida sudah terbukti sebagai prebiotik dan saat ini inulin dan oligofruktosa juga sudah diakui sebagai sumber prebiotik (Coussement, 2007). Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya asupan prebiotik tergantung kepada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO, 2007). Pada umumnya dosis konsumsi harian 5-8 g/hari dari FOS atau GOS memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Venter (2007) menyatakan bahwa peraturan Foodstuffs Cosmetics and Disinfectans Act (Act No 54 of 1972) di Afrika Selatan menyatakan bahwa jumlah dan sumber prebiotik yang harus tercantum pada label suatu produk dengan klaim prebiotik adalah minimal 3 gram prebiotik per penyajian harian. Indonesia mengatur regulasi prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlahnya belum dikeluarkan. Surono (2004) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk dewasa. Menurut Roberfroid (2005), inulin adalah salah satu jenis prebiotik yang baik digunakan dan kini legal diklasifikasikan sebagai bahan pangan yang diterima dan digunakan tanpa batas, dan dianggap sebagai model prebiotik. Inulin merupakan polisakarida (khususnya fruktan) yang terdiri dari fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik β-(2-1) dan terminal glukosa pada bagian ujungnya, dimana struktur kimianya dapat berbentuk lurus, bercabang, ataupun cyclic. Panjang rantai dari inulin hingga sekitar 60 dengan panjang rantai terbanyak adalah 9 (Tungland, 2002) dengan perbandingan antara glukosa dan fruktosa adalah 20 : 80. Pada umumnya native inulin (diekstrak dari umbi segar) mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan oligosakarida. Inulin mempunyai karakter tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna putih serta tahan panas (Roberfroid, 2005). Struktur kimia dari inulin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Stuktur Kimia Inulin
7
Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologisnya dan fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak, sedangkan sifat-sifat fisiologisnya digunakan sebagai sumber prebiotik. Sifat fisiologis inulin sebagai sumber prebiotik salah satunya digunakan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Inulin tergolong sebagai prebiotik karena mampu melewati saluran pencernaan atas dan mencapai usus besar, sehingga dianggap juga sebagai ―colonic foods‖ bagi mikroflora usus. Hasil penelitian menurut Roberfroid (2005) yang dilakukan secara in vitro dan in vivo menyatakan bahwa inulin dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas Bifidobacteria dan Lactobacilli yang merupakan mikroflora yang berperan dalam saluran cerna. Hasil fermentasi inulin di usus besar adalah asam lemak rantai pendek yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. Khususnya asam butirat, asam lemak rantai pendek ini berperan dalam mempertahankan mukosa usus melalui metabolisme, proliferasi, dan melakukan pembedaan dari tipe sel epitel yang berbeda (Roberfroid, 2005). Roberfroid (2005) menyatakan bahwa, inulin merupakan tanaman karbohidrat yang dapat bertahan di saluran pencernaan atas, untuk kemudian difermentasi di usus besar. Dengan meningkatkan biomassa fekal dan kandungan air dalam feses, inulin mampu memperbaiki ―bowel habits‖. Juga dengan karakternya dalam melindungi dan memperbaiki mukosa usus, inulin dapat mengurangi risiko penyakit saluran cerna di usus. Beberapa penelitian penggunaan inulin sebagai prebiotik banyak dilakukan pada produkproduk susu fermentasi terutama yoghurt. Artanti (2009) melakukan penelitian pembuatan yoghurt dengan L. casei pada dua jenis prebiotik yaitu inulin dan FOS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri L. casei tumbuh baik pada kedua jenis prebiotik tersebut, akan tetapi L. casei cenderung memberikan jumlah sel hidup yang lebih tinggi pada prebiotik inulin dibanding pada FOS yaitu sebesar 10 log cfu/ml. Hasil penelitian tersebut juga sama dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Donkor et al. (2007) yang menyebutkan bahwa inulin dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan aktivitas dari bakteri L. acidophilus dan L. casei selama penyimpanan. Penelitian lainnya yaitu tentang kualitas atribut yoghurt yang dibuat menggunakan bakteri L. casei dan berbagai jenis prebiotik oleh Aryana dan McGrew (2007). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa L. casei dengan penambahan inulin pada yoghurt menghasilkan pH, viskositas, warna, dan organogleptik produk yoghurt yang baik dimana jika disimpan pada suhu 4°C mempunyai jumlah total L. casei yang cenderung tetap tinggi selama 15 hari yaitu rata-rata 3.2 x 106 cfu/ml. Penggunaan inulin pada produk-produk olahan susu seperti yoghurt antara lain, yaitu: (1) dapat meningkatkan viskositas dan penggumpalan curd (Ibrahim et al., 2004); (2) dapat mengurangi sineresis; (3) dapat menghasilkan flavor dan tekstur yang lembut (Seydin et al., 2005); (4) dapat mempertahankan warna dan aw; (5) menghasilkan skor organoleptik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yoghurt tanpa penambahan inulin (Staffolo et al., 2004); (6) dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri asam laktat (Sadek et al., 2004); (7) menurunkan pH pada yoghurt (Hardi & Slacanac, 2000); dan (8) meningkatkan konsentrasi asam amino dan asam organik yang berperan penting dalam pengolahan yoghurt (Chen et al., 2004). Asupan prebiotik dari konsumsi harian tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan prebiotik yang berkhasiat menekan infeksi penyakit, sehingga konsumsi tambahan prebiotik komersial dari makanan sangat diperlukan. Menurut Franck dan De Leenheer (2005) pengunaan inulin sebanyak 13% pada produk yoghurt sudah memberi efek prebiotik dan penggunaan inulin hingga 15 g per hari tidak menyebabkan efek samping yang negatif. Manfaat mengonsumsi prebiotik dalam jumlah yang cukup menurut beberapa penelitian antara lain: (1) menghambat patogen melalui mekanisme langsung
8
atau tidak langsung dengan memblok sisi reseptor pelekatan patogen pada mukosa usus dan secara tidak langsung mendukung pertumbuhan probiotik (Roberfroid, 2005); (2) mencegah kanker usus; (3) meningkatkan penyerapan kalsium, manesium, dan besi karena fermentasi probiotik menjadi SCFA (short chain fatty acid); (4) meningkatkan jumlah bakteri baik pada usus; (5) membantu mencerna protein, mengurangi penyerapan lemak, dan membantu tubuh mengeluarkan racun (Jenkins et al., 1999); (6) menurunkan kolesterol dengan memicu pertumbuhan probiotik atau BAL yang memproduksi enzim atau pengikat kolesterol oleh membran (Surono, 2004); dan (7) meningkatkan imunitas dengan meningkatkan pertumbuhan probiotik yang berinteraksi dengan sistem imun (Roberfroid, 2005). Sumber inulin banyak terdapat di alam seperti pada bawang merah, Jerusalem artichoke, chicory, asparagus, bawang daun, bawang putih, globe artichoke, gandum, rye, barley, dandelion, dan salah satunya adalah pisang (Tungland, 2000). Pisang mengandung sekitar ± 1g/100g inulin (Roberfroid, 2005). Selain itu pisang mempuyai nilai gizi yang tinggi dan penting (seperti terlihat pada Tabel 2) karena mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin yang dapat digunakan sebagai bahan makanan bayi maupun untuk makanan tambahan bagi para remaja yang masih dalam pertumbuhan. Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang menonjol di Indonesia. Berdasarkan data FAO (2002) produksi pisang di dunia pada tahun 2001 mencapai 66,5 juta ton. Di Indonesia sendiri produksi pisang menempati peringkat tertinggi diikuti oleh jeruk pada urutan kedua dan nanas urutan ketiga. Pada tahun 2010 jumlah produksi pisang di Indonesia mencapai 5.814.576 ton dengan kontribusi terbesar dari daerah Jawa Barat (1.089.472 ton), diikuti oleh Jawa Timur (921.964 ton) dan Jawa Tengah (854.383 ton) (BPS, 2010). Pisang terbagi dalam dua jenis yaitu pisang meja dan pisang olahan. Jenis pisang yang termasuk dalam tipe pisang meja (banana) antara lain Ambon Putih, Ambon Hijau, pisang Mas, pisang Raja, pisang Susu, pisang Badak, pisang Seribu, dan pisang Angling. Jenis pisang meja adalah jenis pisang yang mengandung banyak gula sehingga pada umumnya rasanya lebih manis. Jenis pisang yang tergolong dalam pisang olahan (plantain) antara lain pisang Siam, pisang Nangka, pisang Kapas, pisang Kepok, pisang Gembor, pisang Menggala, dan pisang Tanduk. Jenis pisang olahan ini, kandungan karbohidratnya lebih banyak tersusun atas pati sehingga cocok untuk diolah menjadi tepung pisang (Prabawati, 2009). Tabel 2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Buah Pisang Ambon dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan Komponen Satuan Pisang Ambon Protein Gram 1.2 Lemak Gram 0.2 Karbohidrat Gram 25.8 Air Gram 72.0 Kalori Kal 99.0 Kalsium Mg 8.0 Phosfor Mg 28.0 Besi Mg 0.5 Vitamin A SI 146.0 Vitamin B Mg 0.1 Vitamin C Mg 3.0 BDD Persen 75.0 a) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)
9
Pengolahan buah pisang sejauh ini adalah sebagai tepung pisang, keripik pisang, dan dimakan segar. Salah satu alternatif pemanfaatan pisang yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengolah pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt. Karbohidrat yang terkandung di dalam pisang terutama dalam bentuk gula dapat digunakan oleh bakteri probiotik sebagai substrat sehingga penambahan pisang dalam produk yoghurt tidak akan menghambat proses fermentasi susu. Pisang yang cocok digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah dalam bentuk puree. Puree pisang adalah hancuran buah pisang tanpa mengalami penambahan air dan penyaringan. Biasanya untuk diolah menjadi puree, pisang yang digunakan adalah jenis pisang meja karena rasanya lebih manis (lebih banyak mengandung gula) dan teksturnya lebih lembut serta mengandung banyak air. Penambahan dalam bentuk puree ke dalam produk yoghurt akan menghasilkan aroma, rasa, dan tekstur yang bagus. Pengolahan pisang menjadi puree dapat dilakukan dengan cara diblansir selama 5-7 menit pada suhu kurang dari 100°C terlebih dahulu untuk mencegah reaksi pencoklatan pada saat diblender, kemudian dipotong-potong dan dihancurkan dengan menggunakan waring blender (Ferawati, 2009). Proses blansir yang diterapkan pada pembuatan puree merupakan salah satu upaya untuk membunuh mikroba awal yang terdapat dalam pisang, selain dapat bertujuan untuk melunakan jaringan buah pisang agar mudah dihancurkan dan mencegah reaksi pencoklatan. Menurut Luky (1996), dalam penelitiannya tentang uji kecukupan blansir menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk proses blansir puree pisang Ambon adalah selama 5-7 menit pada suhu kurang dari 100°C. Pisang sebagai bahan baku tambahan pada yoghurt dapat berfungsi sebagai penambah cita rasa sekaligus sebagai sumber prebiotik berupa karbohidrat komplek seperti FOS dan inulin yang dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri baik pada yoghurt.
2.4 SINBIOTIK Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik (Panesar et al., 2009) yang menguntungkan inang dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam saluran pencernaan dengan secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inangnya. Beberapa pendekatan yang dapat memberikan manfaat gizi bagi kesehatan diantaranya adalah meningkatkan pertahanan bakteri hidup dalam produk pangan sehingga memperpanjang umur simpan, meningkatkan jumlah bakteri mencapai kolon dalam keadaan hidup, memicu pertumbuhan bakteri dalam kolon, dan aktivasi metabolisme bakteri. Prebiotik, probiotik, dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial disamping manfaat gizinya, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu dalam saluran pencernaan manusia yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak saja untuk kerusakan di usus tetapi juga sistemik. Konsep sinbiotik banyak dikembangkan terutama di bidang pangan yaitu pangan sinbiotik. Salah satu jenis pangan sinbiotik yang populer adalah yoghurt sinbiotik yang terbuat dari hasil fermentasi susu oleh bakteri probiotik misalnya golongan Lactobacillus dan Bifidobacterium dengan ditambahkan sumber prebiotik seperti FOS, GOS, dan inulin. Beberapa penelitian tentang yoghurt sinbiotik telah banyak dilakukan diantaranya penelitian oleh Fung et al. (2009) menyebutkan bahwa mengonsumsi pangan sinbiotik dapat mengurangi penyakit Lactose intolerant, meningkatkan sistem imun, aktivitas antimikroba, dan karsinogenik, menurunkan tingkat kolesterol, mencegah infeksi lambung oleh Helicobacter pylory, dan menjaga kesehatan usus. Beragam manfaat yang sama dari mengonsumsi pangan sinbiotik juga telah banyak dilaporkan seperti meningkatkan penyerapan mineral dan kalsium sehingga dapat mencagah osteoporosis (Bosscher et al., 2006), menurunkan risiko terkena penyakit diare, menurunkan kolesterol (Renhe et al., 2008), dan mengurangi risiko obesitas (Delzenne & Cani, 2010).
10
2.5 YOGHURT Standar Nasional Indonesia (2009) mendefinisikan yoghurt sebagai produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan mengunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/ atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yoghurt yang berupa minuman cair ketal dengan rasa asam (dari akumulasi asam laktat) dan flavor yang khas (dari komponen asetaldehida, sejumlah kecil diasetil, aseton, asetoin) merupakan hasil dari aktivitas starter BAL melalui proses fermentasi susu. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt sesuai SNI 01.2981-2009, dapat dilihat pada Tabel 3. Yoghurt yang beredar saat ini dapat kita jumpai dalam berbagai bentuk dan aneka rasa. Tamime dan Robinson (1989) mengklasifikasikan yoghurt komersial ke dalam tiga kelompok, yaitu plain yoghurt atau natural yoghurt yaitu yoghurt tanpa penambahan flavor lain sehingga rasa asamnya sangat tajam, fruit yoghurt yaitu yoghurt dengan penambahan buah, dan flavoured yoghurt yaitu yoghurt yang diberi flavor sintetik dan zat pewarna. Sedangkan berdasarkan perbedaan metode pembuatannya, tipe yoghurt dibagi menjadi dua yaitu set yoghurt dan stirred yoghurt. Klasifikasi ini berdasarkan pada sistem pembuatan dan struktur fisik dari koagulumnya. Set yoghurt adalah produk dimana pada waktu inkubasi atau fermentasi susu berada di kemasan kecil dan karakteristik koagulumnya tidak berubah. Sedangkan pada stirred yoghurt, fermentasi susu dilakukan pada wadah yang besar dan setelah inkubasi produk hasil inkubasi dikemas dalam kemasan kecil sehingga memungkinkan koagulumnya rusak atau pecah sebelum pendinginan dan pengemasan selesai (Helferich & Westhoff, 1980). Tabel 3. SNI 01.2981-2009 Tentang Yoghurt No Kriteria Uji 1 Keadaan 1.1 Penampakan 1.2 Bau 1.3 Rasa 1.4 Konsistensi 2 Kadar lemak (b/b) 3 Total padatan (b/b) 4 Protein (Nx6,38)(b/b) 5 Kadar abu (b/b) 6 Keasaman (dihitung sebagai asam laktat)(b/b) 7 Cemaran mikroba 7.1 Bakteri coliform 7.2 Salmonella 8 Jumlah bakteri starter *sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)
Satuan
Yoghurt
% % % % %
Cairan kental-padat Normal/khas Asam/khas Homogen 0.5 Min. 8.2 2.7 Maks. 1.0 0.5-2.0
APM/g atau koloni/g Koloni/g
Maks. 10 Negatif/25g Min. 107
Secara garis besar proses pembuatan yoghurt terdiri atas 4 langkah dasar, yaitu : (1) pemanasan susu, (2) inokulasi kultur starter, (3) inkubasi, dan (4) pendinginan. Pemanasan bertujuan untuk menghancurkan dan menginaktivasi organisme yang tidak diinginkan yang dapat berkompetisi dengan bakteri yoghurt. Selain itu, pemanasan juga mempengaruhi protein dalam susu untuk mengikat air sehingga diperoleh curd yang lebih kompak dan suhu pemansan yang tinggi dapat membebaskan oksigen sehingga menciptakan kondisi anaerob selama fermentasi (Helferich & Westhoff, 1980).
11
Pemanasan susu dapat dilakukan dengan suhu pasteurisasi, baik secara LTLT (Low Temperature Long Time) dengan suhu pemanasan 650C selama 30 menit atau secara HTST (High Temparature Short Time) dengan suhu pemanasan 75°C selama 15-16 detik (Buckle et al., 1987). Sebelum proses pemanasan susu, umumnya dilakukan proses homogenisasi. Proses homogenisasi pada proses pembuatan yoghurt bertujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak, memperbaiki viskositas yoghurt, mencegah terjadinya sineresis (wheying off) (Tamime & Robinson, 1987) dan membuat lebih homogen. Perlakuan homogenisasi akan membuat campuran dari bahan-bahan yang digunakan menjadi lebih seragam sehingga nantinya tekstur yoghurt akan lebih lembut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Triyono (2011) yang menyatakan bahwa proses homogenisasi juga dapat membuat tekstur menjadi lebih homogen dan kekentalannya meningkat. Inokulasi kultur starter biasanya dilakukan sesuai suhu optimum kultur starter yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Kultur bakteri yang biasa dipergunakan dalam produksi yoghurt adalah Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus (Deeth & Tamime, 1981). Kedua bakteri tersebut mempunyai suhu optimum 42- 45°C. Sedangkan jika menggunakan kultur starter jenis lain misalnya Lactobacillus casei, akan mempunyai suhu optimum yang berbeda yaitu sekitar 37°C. Kultur yang digunakan dalam proses fermentasi susu tidak hanya jenis bakteri yang disebutkan di atas, namun jenis bakteri asam laktat (BAL) yang dapat mengubah laktosa pada susu menjadi asam laktat dapat digunakan sebagai kultur starter. Organisme yang tergolong bakteri asam laktat dibagi menjadi 20 genus, diantaranya Streptococcus (termasuk Lactococcus), pediococcus, Leuconoctoc, Lactobacillus, dan Bifidobacterium (Tamime & Robinson, 1989). Susu yang telah diinokulasi kultur starter kemudian diinkubasi sampai diperoleh keasaman yang diinginkan. Namun, proses fermentasi umumnya berlangsung selama 1 hari pada suhu 37 0C (Tamime & Robinson, 1989). Selama proses inkubasi berlangsung, terdapat tiga hal penting yang terjadi, yaitu : 1. Kultur memanfaatkan laktosa sebagai sumber energi. Mula-mula laktosa dihidrolisis oleh enzim D-galaktosidase dalam sel bakteri menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa ini dimetabolisme oleh sel bakteri membentuk asam piruvat, lalu diubah menjadi asam laktat. Secara sederhana, reaksi perubahan laktosa menjadi asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2 (Tamime & Robinson, 1989): Laktosa + Air Asam laktat C12H22O11 H2O 4C3H6O3 Gambar 2. Perubahan Laktosa menjadi Asam Laktat 2.
Akumulasi asam laktat menyebabkan keasaman pada susu meningkat yang mengakibatkan kompleks kalsium-kasein-fosfat dalam susu menjadi tidak stabil. Keasaman susu yang semakin tinggi sampai akhirnya pH turun mencapai 4.6-4.7 menyebabkan terbentuknya koagulum atau curd pada susu. 3. Selama proses fermentasi juga terjadi pembentukan kompleks flavor seperti asetaldehid, aseton, asetonin, dan diasetil. Menurut Rahman et al. (1992), starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yoghurt. Beberapa aspek penting dari kultur yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat, menghasilkan flavor yang khas, tekstur, dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriogfage, dan juga tahan terhadap antibiotik. Menurut Nuraida et al. (1995), kultur starter yoghurt yang aktif harus memenuhi karakteristik sebagai berikut : (a) harus mengandung jumlah sel yang maksimum, (b) harus bebas dari cemaran mikroba lain, dan (c) harus aktif di bawah kondisi fermentasi. Aktifitas mikroba dalam starter dapat menurun dengan cepat tergantung dari kecocokan spesies dan varietas (strain) mikroba terhadap kondisi tersebut. Perubahan dari fermentasi yang
12
normal dapat merupakan suatu indikasi adanya kerusakan. Kerusakan atau penurunan viabilitas dari starter dapat disebabkan oleh suhu inkubasi, keberadaan mikroba lain, pH, keasaman dan kandungan oksigen terlarut pada yoghurt (Dave & Shah, 1996). Kerusakan atau penurunan viabilias starter akan berpengaruh terhadap : (1) kekurangan pembentukan asam, (2) flavor yang tidak mencukupi atau menyimpang, dan (3) terbentuknya gas dan lendir (Rahman et al., 1992). Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan viabilitas dari kultur starter adalah dengan pemeliharaan kultur. Pemeliharaan kultur dapat dilakukan dengan metode pendinginan, pembekuan, dan pengeringan. Pada penelitian ini digunakan metode pendinginan untuk pemeliharaan kultur, karena metode ini cenderung mudah untuk dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. Tetapi metode ini memiliki kekurangan, yaitu kultur yang diawetkan/dipelihara tidak dapat disimpan dalam waktu lama, sehingga harus dilakukan penyegaran setiap satu minggu sampai satu bulan sekali. Viabilitas yang baik dari kultur starter pada produk yoghurt dapat ditunjang dari penggunaan bahan baku yoghurt. Bahan baku yang paling penting dalam pembuatan yoghurt adalah susu. Susu merupakan bahan baku penyuplai karbohidrat utama pada yoghurt untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan oleh bakteri. Karbohidrat jenis gula-gula sederhana menjadi asam laktat, alkohol, dan berbagai senyawa kimia menyediakan energi yang cepat untuk metabolisme. Susu merupakan media fermentasi yang serbaguna dan mengandung semua bahan-bahan yang diperlukan oleh tiap organisme yang secara nutrisi membutuhkannya seperti jenis lactobacillus terutama komponen laktosa dan kasein. Jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt dapat berupa susu skim ataupun susu murni. Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dalam susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin dalam lemak (Buckle et al., 1987). Susu skim dalam bentuk bubuk memiliki kandungan lemak sebesar 0.6%, protein 36.1% dan laktosa 52.9% (Tamime & Robinson, 1989). Laktosa yang terkandung tersebut merupakan fermentable sugar yang dapat dimanfaatkan oleh BAL untuk pertumbuhan sehingga susu skim merupakan salah satu media yang baik untuk pertumbuhan BAL. Tamime dan Robinson (1989) menyatakan bahwa penggunaan susu skim bubuk ternyata dapat meningkatkan kandungan total padatan dari susu yang berpengaruh nyata terhadap kekentalan, aroma dan total asam minuman fermentasi, dimana semakin tinggi total padatan akan semakin tinggi pula total asam yang akan dihasilkan. Penambahan susu skim bubuk juga dapat meningkatkan kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan kultur bakteri asam laktat. Kandungan protein yang semakin meningkat ini akan menaikkan total padatan susu yang kemudian akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi. Penambahan susu skim kira-kira sebanyak 10% agar terbentuk penggumpalan atau curd yang baik, karena jika ditambahkan sekitar 5-7% susu fermentasi yang dihasilkan akan encer (Selamat, 1992) dan menurut Setyaningsih (1992), penambahan susu skim 10% paling disukai oleh panelis memiliki nilai organoleptik paling tinggi. Selain itu Yulianis (2004) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa kombinasi penambahan susu skim yang terlalu tinggi yaitu sekitar 20% akan menghasilkan bentuk curd yang padat dan pecah. Hal ini diasumsikan karena penggumpalan yang terjadi terlalu banyak sehingga aroma asam yang dihasilkan juga berlebihan (over fermented). Keuntungan dari penggunaan susu bubuk skim adalah tingkat kemudahan memperoleh bahan baku, kepraktisan dalam pembuatannya, dan kemudahan dalam melakukan standarisasi susu dalam pembuatan yoghurt. Selain itu popularitas susu skim semakin meningkat disebabkan karena semakin
13
populernya konsumsi akan diet dan menjaga tubuh tetap langsing dengan mengurangi konsumsi lemak. Bahan yang juga digunakan dalam pembuatan yoghurt, selain susu adalah gula atau sukrosa. Gula dalam bentuk sukrosa akan memberikan tambahan substrat sebagai penyedia energi awal bagi bakteri untuk proses fermentasi sehingga menghasilkan homogenitas yoghurt yang baik. Selain itu menurut Buckle et al. (1987) penambahan gula dapat memberi rasa manis, menyempurnakan rasa asam serta cita rasa lain. Pembuatan yoghurt ini menggunakan penambahan gula sebanyak 5%. Penambahan gula sekitar 2% yang dilakukan oleh Selamat (1992) tidak menghasilkan homogenitas penggumpalan yang baik. Hal ini disebabkan karena terlalu sedikit sumber energi awal yang tersedia sebelum bakteri asam laktat mampu menggunakan laktosa didalam susu skim. Sebaliknya menurut Mc Gregor dan White (1987), konsentrasi gula yang terlalu pekatpun dapat menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat. Hal ini disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik terhadap sel bakteri yang berakibat menurunnya aktivitas dari bakteri tersebut. Yoghurt tergolong produk yang aman, namun dalam pengolahannya harus diperhatikan sanitasi dan proses pengolahan yang baik agar tidak terkontaminasi oleh cemaran mikroba yang tidak diinginkan. Standar Nasional Indonesia (2009) menyebutkan bakteri indikator sanitasi dalam produk yoghurt adalah koliform dan Salmonella. Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu, dan produk-produk susu. Adanya bakteri koliform di dalam makanan atau minuman menunjukkan adanya kemungkinan mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan/atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri koliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: (1) koliform fekal, misalnya Escherichia coli dan (2) koliform non fekal, misalnya Enterobacter aerogenes. E.coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sedangkan E. Aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman-tanaman yang telah mati. Salmonella adalah kelompok bakteri batang gram negatif, tidak berspora, yang dapat dibedakan dari flora normal usus berdasarkan kriteria biokimia dan antigen. Bakteri Salmonella spp. dapat tumbuh pada suhu antara 5°C-47°C dengan suhu optimum 35-37°C (Adam & Moss, 1995). Karakteristik pertumbuhan bakteri Salmonella dipengaruhi oleh variasi suhu, pH, dan kadar air. Bakteri ini dapat tumbuh pada tingkat pH antara 4.5-5.4 atau kisaran pH optimumnya sekitar 7, namun tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi Jay (2000) dan menurut Lund (2000) dengan suhu pasteurisasi mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella sebanyak 105 sel. Bakteri Salmonella yang mengkontaminsi produk yoghurt dapat berasal dari susu skim bubuk atau proses sanitasi yang tidak baik saat pengolahan yoghurt. Penelitian tentang yoghurt telah banyak dilakukan karena yoghurt merupakan salah satu jenis minuman fermentasi yang paling populer diantara jenis susu fermentasi yang lain (Tamime & Robinson, 2007). Yoghurt yang banyak dikembangakan untuk diteliti dan dikaji manfaatnya adalah yoghurt sinbiotik baik itu dalam bentuk set yoghurt maupun strirred yoghurt. Penelitian yoghurt sinbiotik dari segi kesehatan salah satunya dilakukan oleh Utami (2010) yang melihat pengaruh mengonsumsi yoghurt dapat memberi efek sebagai antidiare dan imunomodulator pada tikus percobaan. Selain dari segi kesehatan, juga dilakukan penelitian pengembangan pembuatan yoghurt dengan berbagai sumber probiotik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium serta sumber prebiotik ekstrak ubi jalar, sari kacang komak, sari kedelai, sari jagung, dan lain-lain. Salah satu penelitiannya adalah pembuatan yoghurt sinbiotik dengan kultur campuran probiotik dan sari kedelai sebagai sumber prebiotik (Supriadi, 2003). Penelitian yoghurt sinbiotik lainnya yaitu pengembangan yoghurt sinbiotik dengan penambahan buah untuk meningkatkan kesukaan konsumen terhadap produk-produk susu fermentasi.
14
Penelitian Kuntarso (2007) tentang penambahan buah nenas segar dalam bentuk cacahan dan puree dengan perbandingan puree buah banding susu skim yaitu 1:1 dapat meningkatkan penerimaan panelis dengan penilaian ―suka‖ terhadap low fat fruity bio yogurt. Selain itu secara visual, low fat fruity bio yogurt memiliki tekstur yang cukup kental, creamy, dan berwarna putih sedikit kekuningan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kailasapathy et al. (2007) tentang yoghurt sinbiotik dengan penambahan buah berry dan campuran buah. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa yoghurt yang mengandung 10g/100g dan 5g/100g tambahan buah berry dan buah berry campuran tidak mempengaruhi kelangsungan hidup L. acidophilus, selain itu juga memiliki penilaian organoleptik yang baik. Pembuatan yoghurt terus dikembangkan guna pemenuhan kebutuhan terhadap permintaan akan pangan yang berfungsi untuk kesehatan dan memiliki komponen fisiologis yang tinggi. Hal tersebut karena tujuan mengonsumsi yoghurt, selain untuk tujuan diet (dietetic purpose), sering dikonsumsi juga untuk tujuan kesehatan (therapeutic purpose). Dengan mengonsumsi yoghurt secara teratur dapat menyeimbangkan mikroflora usus, dimana bakteri-bakteri yang merugikan dapat ditekan jumlahnya dan sebaiknya usus akan didominasi oleh bakteri yang menguntungkan (Silvia, 2002). Fungsi lainnya mengonsumsi yoghurt antara lain meningkatkan pertumbuhan tubuh, mengatur saluran pencernaan, memperbaiki gerakan perut, mencegah kanker, menghambat pertumbuhan bakteri patogen, membantu penderita lactose intolerance dan sebagai anti diare (Astawan, 2002).
15
III. BAHAN DAN METODE 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium mikrobiologi pangan dan biokimia pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan adalah susu skim bubuk merek Sunlac dan gula pasir merek Gulaku yang diperoleh dari swalayan pasar Bogor, pisang Ambon dengan tingkat kematangan penuh (pisang Ambon siap konsumsi) yang dapat dilihat dari sudut-sudut pada buah yang sudah tidak ada lagi dan mempunyai indeks warna sekitar 6, berwarna kuning di seluruh jari buah serta tidak keras saat ditekan. Pisang ini diperoleh dari pasar-pasar di wilayah sekitar kampus IPB Darmaga, inulin komersial dari pasaran, glukosa, dan kultur bakteri Lactobacillus casei yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB. Media-media yang digunakan dalam uji mikrobiologi adalah MRS Broth, MRSA, BSA, HEA, XLDA, SCB, BGLBB, EMBA, dan larutan pengencer NaCl 0.85% serta bahan-bahan kimia untuk uji proksimat yang diperoleh dari stockroom Laboratorium Departemen ITP IPB. Alat-alat yang digunakan adalah water bath, pengaduk, gelas piala, cawan petri, cawan aluminium, jarum ose, bunsen, erlenmeyer, tabung durham, kapas, mikropipet, tips, sudip, desikator, inkubator (Yamato), homogenizer (Silverson L4R, Armfield FT 40, CAT REF FT40-15, Serial No 023297-001, Inspected BY PS), neraca analitik (Shimadzu AW 220), vorteks, otoklaf (Vision), mikroskop, refrigerator (Sharp), pH meter, buret, waring blender (National), gelas plastik, plastik bening tahan panas, serta peralatan lain untuk uji sifat fisik dan kimia seperti alat soxhlet (Soxtec Foss Tecator 2055), alat destilasi protein (Behr Labortech) serta uji peringkat dan uji hedonik.
3.3 METODE PENELITIAN Yoghurt sinbiotik pada penelitian ini dibuat dalam tiga tahap penelitian. Tahap I adalah optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan perbandingan susu skim dan puree pisang yang tepat secara uji organoleptik. Tahap II adalah optimasi inulin komersial dalam pembuatan yoghurt sinbiotik untuk mendapatkan jumlah penambahan inulin komersial yang tepat dan disukai sebagai sumber prebiotik secara uji organoleptik. Tahap III adalah analisis evaluasi mutu yoghurt sinbiotik.
3.3.1 Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik dilakukan dalam tiga tahap yaitu (1) persiapan kultur, (2) pembuatan puree pisang Ambon, dan (3) formulasi yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang. Untuk mendapatkan kultur starter yang baik, tahap persiapan kultur dilakukan dengan beberapa tahap pengerjaan yaitu (1) pengamatan morfologi sel dengan uji pewarnaan gram, (2) pemeliharaan kultur dengan metode pendinginan, dan (3) pembuatan kultur induk dan kultur starter.
16
3.3.1.1 Persiapan Kultur 1) Uji Pewarnaan Gram Pewarnaan gram dilakukan untuk mengetahui morfologi dan keseragaman kultur. Pewarnaan gram dilakukan dengan memberikan warna dengan bahan tertentu pada preparat basah yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati keseragaman terhadap ukuran, bentuk, dan cara pengelompokkan. Reaksi gram positif ditandai dengan warna sel ungu atau biru dan gram negatif berwarna merah muda. Berdasarkan keterangan sebelumnya, telah diketahui bahwa BAL adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Tahapan persiapan preparat basah yang akan diamati di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 3. Penyebaran 1 loop kultur bakteri di atas gelas objek ↓ Proses fiksasi gelas objek dengan nyala api yang kecil ↓ Penetesan pewarna ungu kristal dan biarkan selama 1 menit ↓ Pembilasan dengan air mengalir dan sisa air diserap dengan kertas serap ↓ Penetesan larutan lugol dan biarkan selama 1 menit ↓ Pembilasan dengan air ↓ Pembilasan dengan menggunakan alkohol 95% ↓ Pembilasan dengan air ↓ Penetesan pewarna safranin selama 10-20 detik ↓ Pembilasan dengan air dan sisa air diserap dengan kertas serap ↓ Pengamatan di bawah mikroskop Gambar 3. Pewarnaan Gram 2)
Pemeliharaan Kultur Pemeliharaan kultur dilakukan dengan metode pendinginan. Media yang digunakan dalam pemeliharaan kultur adalah MRSA semi solid dan MRS Broth. Pemeliharaan kultur dapat dilihat pada Gambar 4.
17
Pembuatan tusukan kultur pada media MRS chalk semi solid ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 1 hari ↓ Penyimpanan pada lemari es Penumbuhan kembali dilakukan dengan cara pengambilan1 loop kultur murni tersebut ↓ Inokulasikan pada media MRS Broth ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 1 hari Gambar 4. Pemeliharaan Kultur 3)
Pembuatan Kultur Induk dan Kultur Starter Kultur starter (kultur kerja) dibuat dari kultur murni. Sebelum dibuat menjadi kultur starter maka perlu dibuat kultur induk terlebih dahulu, kemudian baru dibuat kultur starter. Pada kultur induk media yang digunakan adalah susu skim, sedangkan pada pembuatan kultur starter media yang digunakan adalah susu skim dan puree pisang. Pembuatan kultur starter dapat dilihat pada Gambar 5. Penambahan 1% kultur murni ke dalam 200 ml larutan berisi susu skim 10% steril ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam ↓ Kultur induk Penambahan 5% kultur induk ke dalam 200 ml larutan berisi susu skim 10% dan puree pisang 10% ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam ↓ Kultur starter (kultur kerja) Gambar 5. Pembuatan Kultur Sarter 3.3.1.2 Pembuatan Puree Pisang Ambon Pisang yang dipilih sebagai bahan baku adalah pisang ambon. Pisang jenis ini mengandung gula yang tinggi yang diperlukan sebagai substrat oleh bakteri, memiliki daging buah yang lembut dan berkadar air yang tinggi sehingga mudah untuk diolah menjadi puree pisang, memberikan aroma dan karakteristik yang baik dibanding jenis pisang lain serta ketersediaannya yang melimpah dan harga yang terjangkau. Puree pisang Ambon sebagai bahan baku tambahan dalam proses pembuatan yoghurt sinbiotik dibuat dari pisang Ambon yang dihancurkan menggunakan waring blender (Ferawati, 2009). Berikut diagram alir pembuatan pureee pisang Ambon pada Gambar 6.
18
Pisang Ambon matang penuh ↓ Pencucian, pengupasan, dan pemanasan selama 7 menit ↓ Pemotongan dengan ukuran kira-kira 0.5-1 cm ↓ Penghancuran dengan waring blender ↓ Puree Pisang Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Puree Pisang Ambon 3.3.1.3 Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang Penelitian tahap I dilakukan dengan membuat yoghurt sinbiotik menggunakan susu skim dan puree pisang Ambon sebagai bahan baku utama dengan perbandingan antara susu skim : puree pisang adalah (A) 1:0.5, (B) 1:1, dan (C) 1:2. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mencari perbandingan antara susu skim dan puree pisang yang terbaik berdasarkan uji organoleptik ranking hedonik. Pembuatan yoghurt sinbiotik secara rinci dapat dilihat pada Gambar 7. Penyiapan larutan yang berisi susu skim 10% ↓ Penambahan glukosa 3% yang dilarutkan menggunakan air matang ↓ Penambahan puree pisang Ambon dengan perbandingan susu skim : puree pisang ambon 1:0.5 (A) atau 1:1 (B) atau 1:2 (C) ↓ Homogenisasi selama 3 menit ↓ Pemanasan dalam waterbath 65 °C selama 30 menit ↓ Pendinginan hingga suhu 37°C ↓ Inokulasi kultur strater tunggal L. casei sebanyak 5% ↓ Pengemasan dalam wadah kecil (cup) ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam ↓ Penyimpanan pada suhu dingin ↓ Pengujian organoleptik ranking hedonik Gambar 7. Formulasi Yoghurt Sinbiotik Menggunakan Puree Pisang Ambon
19
3.3.2 Optimasi Inulin Dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Penelitian tahap II dilakukan dengan menggunakan formula terpilih tahap I yang diberi perlakuan penambahan inulin dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Terdapat empat formulasi penambahan inulin yaitu sampel A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3% inulin). Proses pembuatan yoghurt dengan penambahan inulin hampir sama dengan pembuatan yoghurt pada tahap sebelumnya yang ditunjukkan pada Gambar 7, hanya saja ditambahkan inulin bersamaan dengan penambahan susu skim, puree pisang dan gula sebelum dilakukan proses pasteurisasi. Berikut disajikan pembuatan yoghurt sinbiotik dengan penambahan inulin pada Gambar 8. Penyiapan larutan yang berisi susu skim 10% ↓ Penambahan gula 5% yang dilarutkan menggunakan air matang ↓ Penambahan puree pisang Ambon : susu skim sebanyak 1:1 ↓ Penambahan inulin dengan konsentrasi (A) 0%, atau (B) 1%, atau (C) 2%, atau (D) 3% ↓ Homogenisasi selama 3 menit ↓ Pemanasan di dalam water bath 65 °C selama 30 menit ↓ Pendinginan hingga suhu 37°C ↓ Inokulasikan kultur strater tunggal L. casei 5% ↓ Pengemasan dalam wadah kecil (cup) ↓ Inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam ↓ Penyimpanan pada suhu dingin ↓ Pengujian organoleptik rating hedonik Gambar 8. Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Inulin
3.3.3 Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik Penelitian tahap III adalah analisis evaluasi mutu yoghurt formula terpilih tahap II. Analisis mutu yoghurt yang dilakukan meliputi analisis mutu kimia dan analisis mutu mikrobiologi. Analisis mutu kimia meliputi uji proksimat, pH, TAT, total padatan terlarut dan kadar inulin. Sedangkan Analisis mutu mikrobiologi meliputi jumlah total BAL produk serta cemaran mikrobanya yaitu koliform dan Salmonella. Berikut disajikan pengujian yoghurt sinbiotik pada Gambar 9.
20
Pembuatan produk yoghurt yang merupakan sampel terpilih pada penelitian tahap II ↓ Analisis mutu kimia yang meliputi pH, TAT, total padata, kadar inulin, dan analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat) ↓ Analisis mutu mikrobiologi meliputi perhitungan total BAL, koliform, dan Salmonella ↓ Penghitungan jumlah total bakteri asam laktat dilakukan pada yoghurt yang disimpan pada suhu dingin selama 14 hari dengan pengamatan setiap 3-4 hari sekali ↓ Penghitungan jumlah cemaran mikrobiologi yaitu koliform dan Salmonella pada hari ke-0 dan ke-14 Gambar 9. Analisis Mutu Yoghurt Sinbiotik
3.4 METODE PENGUKURAN 3.4.1 Analisis Mutu Kimia 3.4.1.1 Derajat keasaman (pH) Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu, kemudian distandarisasi dengan menggunakan dua larutan buffer, yaitu pH 4 dan pH 7, pH sampel di ukur dengan mencelupkan elektroda ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan setelah dicapai nilai yang tetap. 3.4.1.2 Total asam tertitrasi (AOAC, 1995) Pengukuran asam tertitrasi dilakukan dengan prinsip titrasi asam basa. Mula-mula yoghurt diencerkan yaitu dengan mengambil 10 ml yoghurt dan ditepatkan dalam labu takar 100ml. Kemudian sebanyak 10 ml contoh (yang telah diencerkan) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan tiga tetes indikator fenolftalein 1%. Contoh dikocok dan dititrrasi dengan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan jika warna berubah menjadi merah muda.
3.4.1.3 Kadar air (AOAC, 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 1000C selama 15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x gram) sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram).
21
3.4.1.4 Kadar abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan porselen lalu ditimbang dengan timbangan analitik (a gram). Sebanyak 2 gram sampel (w gram) ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot kosongnya. Sampel diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai tidak berasap. Kemudian dimasukkan kedalam tanur bersuhu 600 0C selama 4-6 jam, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (x gram).
3.4.1.5 Kadar protein (Metode Kjeldahl) (Latimer, Horwitz 2007) Sampel sebanyak ±100-250 mg dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, ditambah dengan 1±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2±0,1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H 3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml kemudian destilat ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu (titik akhir). Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran 2 bagian 0.2% metal merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol, sebelum digunakan HCl terlebih dahulu distandarisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan:
3.4.1.6 Kadar lemak (metode hidrolisis) (Latimer & Horwitz, 2007) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukur alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110°C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sejumlah sampel cair dengan bobot atau volume tertentu (B) diteteskan pada kapas bebas lemak yang dimasukkan dalam kertas saring. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut hexsana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C. Setelah dikeringkan sampai mencapai bobot yang tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang (C). Kadar lemak contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :
3.4.1.7 Kadar Karbohidrat (metode by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan protein dengan metode by difference.
22
3.4.1.8 Kadar Inulin (AOAC, 1995) Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi pembuatan larutan standar, ekstraksi sampel, dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah diekstraksi dan dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan kurva larutan standar. Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg. Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades lalu dikocok hingga homogen. Dari larutan tersebut dibuat larutan induk 1000 ppm, kemudian buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk disuntikkan pada HPLC. Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan tambahkan KOH 0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut didinginkan dan kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu encerkan hingga mengandung 1% fruktan. Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan enzim inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel (A), kemudian ditambah 15 g buffer asetat hingga memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang (B). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan ditambah enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30 menit. Biarkan dingin, lalu ditimbang (C). Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing diencerkan, ditambahkan internal standar (glukoheptosa) 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan pada HPLC. 3.4.1.8 Total padatan (AOAC, 1995) Penentuan total padatan didasarkan pada penetapan kadar air. Sebanyak 5 gram bahan ditimbang dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya, kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C sampai beratnya konstan.
3.4.2 Analisis Mutu Mikrobiologi 3.4.2.1 Viabilitas kultur starter atau total bal/bakteri asam laktat (BSN, 2009) Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) hingga pengenceran 10-8. Kemudian dipipet sebanyak 1 ml atau 0,1 ml sampel yang telah diencerkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan dari tingkat pengenceran 10 -7 dilakukan duplo), ditambahkan dengan 15-20 ml MRSA cair (media yang belum memadat) steril. Kemudian cawan petri digoyangkan secara mendatar agar sampel menyebar rata. Setelah agar membeku, diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 0C selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan metode SPC dan dinyatakan dalam satuan cfu/ml. 3.4.2.2 Pengukuran bakteri koliform (BSN, 2009) Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 9 ml larutan pengencer. Pengenceran dibuat -0 dari 10 -10-3 dengan menggunakan medium BGLBB dan tabung durham di dalam masing-
23
masing media BGLBB. Setelah seluruh sampel diencerkan pada empat tingkat pengenceran maka tabung diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 hari. Kemudian dihitung jumlah tabung positif yang ditandai dengan adanya pembentukan gas pada tabung durham. Kemudian hasil pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN kombinasi 3 seri, dihitung dan dinyatakan dalam cfu/ml. 3.4.2.3 Pengukuran bakteri Salmonella (BSN, 2009) Pengujian bakteri Salmonella dimulai dari tahap enrichment yaitu sampel 25 ml dimasukkan ke dalam media SCB lalu diinkubasi selama 37°C selama 1 hari. Setelah itu ambil satu ose kultur dari tahap enrichment dan goreskan masing-masing pada agar cawan HEA, BSA, dan XLDA dan dinkubasi pada suhu 37°C selama 1-2 hari. Amati adanya koloni Salmonella yaitu berupa koloni keruh atau bening dan tidak berwarna dengan atau tanpa bintik hitam di tengah. Apabila positif Salmonella maka dapat dilakukan uji lanjut dengan membuat goresan dan tusukan pada agar miring TSI dan tusukan pada agar tegak SIM.
3.4.3 Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 2009) Uji organoleptik akan dilakukan baik pada penelitian optimasi puree pisang dalam pembuatan yoghurt sinbiotik maupun pada penelitian optimasi inulin dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Pada penelitian optimasi puree pisang, ketiga jenis formulasi yang dihasilkan akan diranking oleh panelis berdasarkan urutan kesukaannya (ranking 1 untuk sampel yang paling disukai dan ranking 3 untuk sampel yang paling tidak disukai) dengan menggunakan panelis sebanyak 70 orang. Parameter yang dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Hasil uji ranking diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, yaitu dengan mencari rata-rata hasil uji ranking. Pada penelitian tahap optimasi inulin dilakukan uji rating hedonik. Keempat sampel yang dihasilkan pada tahap ini, akan dinilai oleh panelis berdasarkan tingkat kesukaannya dengan menggunakan uji rating hedonik. Skala hedonik yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tujuh skala numerik, yaitu sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), agak suka (5), suka (6), dan sangat suka (7). Panelis yang digunakan berjumlah 70 orang. Parameter yang dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Hasil uji rating hedonik diolah dengan menggunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji duncan. Penggunaan panelis sebanyak 70 orang panelis pada kedua uji hedonik menggunakan persyaratan dari American Standard Testing Material (ASTM).
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 OPTIMASI PUREE PISANG DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK 4.1.1 Persiapan Kultur Menurut Rahman et al. (1992), kultur starter merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yoghurt. Viabilitas kultur starter yang tinggi sangat diharapkan untuk proses fermentasi susu. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kultur starter yang baik dilakukan beberapa tahap pengerjaan persiapan kultur yaitu: (1) pengamatan morfologi sel dengan uji pewarnaan gram, (2) pemeliharaan kultur dengan metode pendinginan, dan (3) pembuatan kultur induk dan kultur starter. Kultur yang didapatkan adalah kultur L. casei cair dalam MRSB sebanyak 1 buah. Kultur tersebut diamati keseragaman dan bentuk morfologinya dengan uji pewarnaan gram. Hasil pengamatan kultur di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kultur Lactobacillus casei Perbesaran 1000x Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kultur L. casei secara seragam, keseluruhannya berbentuk batang dan sel-selnya berwarna ungu serta tidak terdapat kontaminasi dari bakteri gram negatif. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa kultur murni yang diperoleh dapat digunakan dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Pemeliharaan kultur dilakukan dengan metode pendinginan dengan cara membuat tusukan pada MRS chalk semi solid dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam, kemudian disimpan pada lemari es. Kultur disimpan pada media MRS chalk semi solid agar dapat berumur hingga 6 minggu. Untuk menumbuhkannya kembali, diambil satu loop kultur kemudian diinokulasi pada MRS broth dan inkubasi 37°C selama satu atau dua hari sampai terbentuknya kekeruhan pada MRS broth. Kultur murni pada MRS broth inilah yang dipergunakan dalam tahap selanjutnya, yaitu pembuatan kultur induk dan kultur starter. Berikut dapat dilihat gambar dari kultur pada MRS chalk semi solid dan MRS broth pada Gambar 11.
25
(a)
(b)
Gambar 11. Pengawetan Kultur dalam (a) MRS chalk semi solid dan (b) MRS broth Pembuatan produk yoghurt dengan kualitas yang baik sangat tergantung pada kultur yang digunakan. Kultur dalam pembuatan yoghurt menggunakan kultur biakan murni L. casei yang dibuat menjadi kultur starter yang siap ditambahkan kedalam susu dan bahan lainnya. Tujuan dibuatnya kultur starter adalah untuk menjaga viabilitas dari sel bakteri agar tetap tinggi dan memberikan waktu adaptasi terhadap lingkungan yang terdapat susu, gula, dan bahan baku lain seperti puree pisang sehingga jumlah bakteri asam laktat dapat mencapai 10 6-108 cfu /ml. Sebelum membuat kultur starter, terlebih dahulu dibuat kultur induk. Kultur induk dibuat dengan cara menambah sebanyak 1% kultur murni (dari MRS broth) ke dalam susu skim yang telah dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37°C selama satu 1 hari. Pembuatan kultur starter sama dengan cara pembutan kultur induk, namun menggunakan medium susu skim yang ditambah dengan glukosa 3% dan puree pisang sebanyak 1:1 dengan susu skim. Hal ini dimaksudkan untuk masa penyesuaian kultur agar tetap viabel terhadap bahan baku tambahan lain yaitu puree pisang. Selain itu penambahan glukosa sebanyak 3% bertujuan untuk menyediakan sumber energi awal yang mudah digunakan oleh bakteri sehingga memudahkan kultur melakukan penyesuaian terhadap media. Campuran susu skim, glukosa dan puree pisang tersebut kemudian dipasteurisasi dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 hari. Kultur induk dan kultur kerja yang telah dibuat dilakukan perhitungan jumlah total BAL. Jumlah total BAL pada kutur induk dan kultur starter berturut-turut adalah 7.4 x 108 dan 4.85 x 109 cfu/ml. Jumlah kultur yang lebih dari 106 cfu/ml ini sudah mampu menggumpalkan protein susu dengan baik dan mampu menghasilkan aroma asam khas yoghurt. Gambar dari kultur induk dan kultur starter dapat dilihat dari Gambar 12.
(a)
(b)
Gambar 12. (a) Kultur Induk dan (b) Kultur Kerja
26
4.1.2
Formulasi Yoghurt Sinbiotik dengan Penambahan Puree Pisang
Formulasi yoghurt sinbiotik dibuat dengan menambahkan puree pisang. Puree pisang yang digunakan adalah puree pisang Ambon. Alasan dipilihnya pisang Ambon dibanding pisang meja yang lainnya karena pisang Ambon memiliki kandungan gizi yang tinggi, terutama karbohidrat sebagai penyumbang gula. Pisang Mas, pisang Raja, dan pisang Susu juga termasuk pisang yang mempunyai kandungan gula yang tinggi. Akan tetapi jenis pisang ini teksturnya lebih keras dan kandungan airnya lebih rendah dibanding pisang Ambon sehingga lebih susah untuk dilakukan penghancuran menjadi puree dengan menggunakan blender. Pisang Ambon juga salah satu jenis pisang yang memiliki flavor yang kuat, mempunyai rasa yang manis, enak, dan beraroma kuat. Selain itu pisang Ambon mudah didapatkan di daerah Jawa barat dan kebanyakan berasal dari daerah Jawa Barat sehingga dari segi ketersediaan sangat mudah untuk didapat dan harganya terjangkau. Terdapat tiga formulasi yang dibuat pada yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang yaitu dengan perbandingan susu skim : puree pisang A (1:0.5), B (1:1), dan C (1:2). Gambar produk yoghurt yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Yoghurt dengan Penambahan Puree Pisang Ketiga jenis formulasi tersebut diranking oleh panelis berdasarkan urutan kesukaannya (ranking 1 untuk sampel yang paling disukai dan ranking 3 untuk sampel yang paling tidak disukai). Berdasarkan hasil uji rangking hedonik diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 14-17. Aroma Aroma merupakan salah satu parameter mutu yang penting pada yoghurt. Yoghurt yang dibuat dalam penelitian ini merupakan yoghurt yang ditambahkan bahan baku puree pisang sehingga aroma yang terbentuk pada yoghurt selain merupakan hasil pembentukan senyawa volatil oleh bakteri asam laktat, juga merupakan kontribusi dari senyawa volatil yang terdapat pada puree pisang. Menurut Tamime dan Robinson (1989), terdapat 4 kategori senyawa pendukung flavor yoghurt, yaitu: (1) asam tidak menguap, yaitu asam piruvat, asam laktat, dan asam oksalat; (2) asam yang mudah menguap, yaitu asam format, asam asetat, dan asam butirat; (3) senyawa karbonil, yaitu asetaldehid, aseton, asetoin, dan diasetil; dan (4) senyawa dari hasil degradasi laktosa, protein, dan lemak hasil pemanasan. Asam yang mudah menguap merupakan senyawa yang mempengaruhi aroma dari yoghurt terutama kelompok karbonil yang menurut penelitian Kaminarides et al. (2007) memberi dampak yang signifikan terhadap aroma yoghurt karena konsentrasinya relatif lebih tinggi. Kelompok senyawa karbonil yang paling berperan memberi aroma khas pada yoghurt adalah asetaldehid (Hamdan et al., 1971). Sedangkan komponen volatil yang berasal dari pisang yang juga memberi peran dalam membentuk flavor akhir pada yoghurt antara lain amil asetat, amil butirat, dan asetaldehid. Amil asetat adalah
27
Rata-rata penilaian uji ranking hedonik
komponen utama dari bau khas buah pisang. Komponen tersebut terutama terdapat banyak pada pisang matang penuh (Loesecke, 1950). Atribut aroma yang dihasilkan pada semua formula sudah menghasilkan aroma khas yoghurt dimana telah sesuai dengan ketentuan SNI 01.2981-2009. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut aroma mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.96 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua sampel yang lainnya. Skor penilaian tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan skor penilaian pada formula C yaitu sebesar 1.99. Akan tetapi berbeda halnya dengan formula A yang mempunyai skor penilaian yang sedikit jauh berbeda yaitu sebesar 2.06. Hal ini menyimpulkan bahwa konsumen menyukai penambahan puree pisang dalam pembuatan yoghurt. Menurut hasil survei penelitian Ningsih (2002) tentang pengembangan agribisnis pisang Ambon, menunjukkan bahwa pisang Ambon tergolong jenis pisang yang paling digemari oleh penduduk Indonesia sehingga penambahannya sebagai bahan baku yoghurt akan berdampak baik terhadap penilaian panelis.
2.10
A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2)
2.06
2.05 2.00
1.99 1.96
1.95 1.90 Aroma
1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai
Gambar 14. Histogram Uji Ranking Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Tekstur Atribut tekstur yang dihasilkan pada semua formula produk yoghurt berada pada kisaran kental-semi padat. Tekstur tersebut sesuai dengan persyaratan SNI 01.2981-2009. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 15 menunjukkan bahwa, rata-rata penilaian panelis terhadap atribut tekstur mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturutturut adalah formula A, formula B, dan formula C. Formula A dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:0.5 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.83 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya.
28
Rata-rata penilaian uji ranking hedonik
A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2)
2.19
2.20 1.99
2.10 2.00
1.83
1.90 1.80 1.70 1.60 A
B Tekstur
C
1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai
Gambar 15. Histogram Uji Ranking Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Tekstur pada yoghurt yang dihasilkan jika dilakukan proses pengadukan dan pencicipan, dapat dibedakan satu sama lain kepadatan dan kelembutannya. Pada formula A tekstur yang terbentuk lebih padat dan lembut dibandingkan pada formula B dan C. Sedangkan pada formula C teksturnya rapuh, tidak lembut (terdapat granula-granula), dan tidak homogen jika dibanding dengan formula A dan B. Hal tersebut menyimpulkan bahwa semakin banyak puree pisang yang ditambahkan maka menghasilkan tekstur yoghurt yang semakin kasar. Gambar 15 memperlihatkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur yoghurt berbanding terbalik dengan semakin banyaknya puree pisang yang ditambahkan pada yoghurt. Panelis lebih menyukai tekstur yoghurt yang padat dan lembut dibanding dengan tekstur yang kasar. Hal tersebut terlihat dari skor penilaian formula B dan C yang lebih tinggi (semakin tidak disukai) yaitu 1.99 dan 2.19 dibandingkan dengan formula A yaitu 1.83. Penambahan puree pisang yang lebih sedikit menghasilkan tekstur yang lebih bagus karena penambahan puree pisang dapat menyebabkan berkurangnya homogenitas adonan. Puree pisang yang ditambahkan memiliki ukuran granula yang lebih besar dibandingkan dengan susu skim sehingga menimbulkan kesan kasar saat di lidah. Selain itu komponen protein yang terdapat pada susu skim mengalami penggumpalan yang disebut curd yang teksturnya padat dan lembut, sedangkan puree pisang tidak mengalami penggumpalan. Oleh karena itulah semakin sedikit puree pisang yang ditambahkan maka tekstur yoghurt menjadi semakin padat dan lembut seperti pada formula A dimana sampel ini paling disukai oleh panelis. Sedangkan yoghurt yang ditambah puree pisang paling banyak menghasilkan tekstur yang tidak padat (rapuh) dan kasar karena kandungan puree pisangnya yang dominan seperti pada formula C dimana sampel ini paling tidak disukai oleh panelis. Rasa Atribut rasa yang terbentuk pada yoghurt dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kemampuan bakteri yang digunakan sebagai kultur untuk melakukan pemecahan laktosa. Bakteri L. casei mampu memecah laktosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil asam sitrat, malat, asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil, dan asetoin (Varnam & Sutherland, 1994). Selain pemecahan laktosa, pemecahan protein oleh bakteri juga menghasilkan cita rasa atau flavor yang enak pada yoghurt (Tamime & Robinson, 1989). Selain itu rasa juga dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
29
Rata-rata penilaian uji ranking hedonik
oleh Kuntarso (2007), penambahan buah-buahan dapat membuat penerimaan konsumen terhadap produk yoghurt semakin meningkat atau mempunyai tingkat kesukaan yang yang lebih tinggi jika dibanding dengan yoghurt tanpa penambahan buah (yoghurt plain). Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 16 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut rasa mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.87 yang berarti paling disukai oleh konsumen dibanding dua formula yang lainnya. Penambahan puree pisang yang tepat dapat menghasilkan rasa yang disukai karena penambahan puree pisang yang berlebihan dapat menyebabkan timbulnya rasa sepat. Menurut Loesecke (1950) rasa sepat pada pisang disebabkan karena kandungan tanin yang dapat menggumpalkan protein sehingga terjadi penyamakan pada bagian mukosa rongga mulut. A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2)
2.13 2.20
2.00
2.10 2.00
1.87
1.90 1.80 1.70 A
B Rasa
C
1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai
Gambar 16. Histogram Uji Ranking Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Keseluruhan Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Uji sensori keseluruhan atribut yoghurt perlu dilakukan untuk melihat penilaian panelis terhadap produk yoghurt sebagai suatu kesatuan. Hasil uji organoleptik rangking hedonik pada Gambar 17 menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap atribut secara keseluruhan mulai dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai berturut-turut adalah formula B, formula C, dan formula A. Formula B dengan penambahan susu skim:puree pisang sebesar 1:1 memiliki skor penilaian terendah yaitu sebesar 1.84 yang berarti paling disukai oleh panelis dibanding dua formula yang lainnya. Secara keseluruhan, yoghurt dengan penambahan puree pisang yang paling sedikit kurang disukai panelis dibanding formula yang ditambahkan puree pisang dengan konsentrasi yang lebih banyak. Hal ini menyimpulkan bahwa panelis menyukai penambahan puree pisang pada yoghurt dengan konsentrasi yang tepat.
30
Rata-rata penilaian uji ranking hedonik
A (Susu skim:puree = 1:0.5) B (Susu skim:puree = 1:1) C (Susu skim:puree = 1:2)
2.14 2.20
2.01
2.10 2.00
1.84
1.90 1.80 1.70 1.60 A
B Keseluruhan
C
1 = paling disukai 2 = biasa 3 = tidak disukai
Gambar 17. Histogram Uji Ranking Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Puree Pisang dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Hasil secara keseluruhan menyebutkan bahwa formula B memiliki ranking terbaik (skor terendah) atau paling disukai untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan dengan rata-rata penilaian berturut-turut adalah 1.96, 1.87, dan 1.84. Sedangkan untuk atribut tekstur, formula yang memiliki ranking terbaik adalah formula A. Akan tetapi formula A dipilih panelis memiliki ranking terburuk (skor terbesar) untuk atribut aroma, rasa, dan keseluruhan. Formula C sebagai peringkat kedua formula yang disukai panelis untuk atribut keseluruhan, jika dibandingkan dengan formula A, hanya memiliki kelemahan pada atribut tekstur. Sedangkan untuk atribut rasa, aroma, dan keseluruhan formula C dinilai lebih disukai oleh panelis dibanding formula A. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian panelis terhadap atribut keseluruhan lebih mempertimbangkan kesukaan terhadap atribut rasa dan aroma dari yoghurt dibandingkan atribut tekstur. Oleh karena itu formula yang terpilih sebagai formula yang paling disukai dan dipilih sebagai formula yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah formula B.
4.2 OPTIMASI INULIN DALAM PEMBUATAN YOGHURT SINBIOTIK Penelitian selanjutnya yang dilakukan adalah penelitian tahap II yaitu tahap optimasi inulin dalam pembuatan yoghurt sinbiotik. Tujuan tahapan ini adalah menambahkan inulin komersial sebagai penambah sumber prebiotik selain dari puree pisang dan melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap yoghurt yang ditambahkan inulin. Penelitian ini menggunakan formula terpilih tahap I yaitu yoghurt sampel B dengan penambahan puree pisang:susu skim sebanyak 1:1. Pada tahap ini dibuat yoghurt menjadi 4 formula yaitu sampel A (0% inulin), B (1% inulin), C (2% inulin), dan D (3% inulin). Proses pembuatan yoghurt pada tahap ini sama dengan pada tahap sebelumnya, hanya saja dilakukan proses penambahan inulin sebelum proses pasteurisasi. Penambahan inulin dilakukan sebelum proses pasteurisasi agar menghindari terjadi kontaminasi oleh inulin jika ditambahkan setelah proses pasteurisasi. Hal ini juga didukung bahwa menurut Roberfroid (2005), inulin tahan jika dipanaskan hingga proses pasteurisasi. Keempat sampel tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesukaannya oleh panelis dengan menggunakan uji rating hedonik. Panelis pada uji ini diminta untuk mengungkapkan tanggapannya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sampel yang disajikan dengan parameter yang dinilai antara lain atribut aroma, tekstur, rasa, dan overall. Berdasarkan hasil uji rating hedonik, diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Gambar 18-21.
31
Aroma
Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik
Hasil analisis sidik ragam uji hedonik atribut aroma pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan inulin yang diberikan pada yoghurt sebagai penambah sumber prebiotik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aroma yoghurt. Hal ini berarti penambahan inulin tidak mengubah aroma dari yoghurt hingga penambahan sebanyak 3%. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa salah satu karakeristik inulin adalah tidak berbau (Roberfroid, 2005). Akan tetapi berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa formula yoghurt tanpa penambahan inulin (formulal A) dinilai oleh panelis mempunyai aroma dengan tingkat kesukaan yang paling tinggi dengan skor penilaian 4.60. Sedangkan formula sampel B (1% inulin) dinilai oleh panelis sebagai formula yang memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah dengan skor penilaian 4.16. Skor yang diberikan oleh panelis menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen dengan nilai netral hingga agak suka.
4.60 4.60 4.31
4.40
4.37
4.16 4.20 4.00 3.80 A (inulin 0%) B (inulin 1 %) C (inulin 2%) Aroma
1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka
4 = netral 5 = agak suka 6 = suka
D (inulin 3%) 7 = sangat suka
Gambar 18. Histogram Uji Rating Atribut Aroma pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Tekstur Hasil analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur yoghurt (Lampiran 8) menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Artinya panelis menilai tekstur yoghurt pada semua formulasi penambahan inulin adalah sama. Formula yang dinilai memiliki tekstur dengan tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 19 adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.74. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor 4.31. Skor penilaian tersebut menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen yaitu dari netral hingga agak suka.
32
Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik
4.80 4.70 4.60 4.50 4.40 4.30 4.20 4.10 4.00
4.74
4.69
4.46 4.31
A (inulin 0%)
B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%) Tekstur 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 19. Histogram Uji Rating Atribut Tekstur pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Rasa
Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik
Rasa yang dihasilkan pada yoghurt dengan penambahan inulin konsentrasi 0-3% tidak menimbulkan perbedaan satu sama lain. Hal ini dilihat berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji hedonik terhadap rasa yoghurt (Lampiran 8) yang menunjukkan bahwa penambahan berbagai konsentrasi inulin yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap rasa yoghurt pada selang kepercayaan 95%. Penambahan inulin yang tidak memberikan efek berbeda nyata terhadap atribut rasa pada yoghurt menandakan bahwa penambahan inulin tidak memberi rasa yang negatif atau menyimpang terhadap penilaian konsumen. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa inulin memiliki karakteristik tidak berasa (Roberfroid, 2005). Formula yang dinilai memiliki rasa dengan tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan Gambar 20 adalah formula D (3% inulin) dengan skor penilaian 4.80. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor penilaian 4.34. Skor penilaian yang diberikan berkisar dari netral hingga agak suka, yang menunjukkan produk yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen.
4.80
4.76
4.71
4.80
4.70 4.60 4.50
4.34
4.40 4.30 4.20 4.10 A (inulin 0%)
B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%) Rasa 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 20. Histogram Uji Rating Atribut Rasa pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik
33
Rata-rata penilaian hasil uji rating hedonik
Keseluruhan Atribut terakhir yang dilihat adalah atribut secara keseluruhan. Hasil analisa sidik ragam uji hedonik terhadap keseluruan atribut yoghurt dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan inulin pada konsentrasi 0-3% pada yoghurt tidak berpengaruh nyata terhadap keseluruhan atribut yoghurt pada selang kepercayaan 95%. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Roberfroid (2005) yang menyatakan bahwa inulin mempunyai karakter tidak berasa, tidak berbau, dan berwarna putih sehingga jika ditambahkan pada produk yoghurt tidak memberi pengaruh yang signifikan secara organoleptik. Penambahan inulin dalam jumlah 1-3% ke dalam produk yoghurt lebih dimanfaatkan sifat fisiologisnya yaitu sebagai sumber prebiotik (Franck & De Leenheer, 2005). Formula yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan atribut keseluruhan pada Gambar 21 adalah formula C (2% inulin) dengan skor penilaian 4.69. Sedangkan formula yang memiliki tingkat kesukaan panelis yang paling rendah adalah formula B (1% inulin) dengan skor penilaian 4.27. Skor penilaian ini berkisar antara netral hingga agak suka yang menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan masih dapat diterima oleh konsumen.
4.69 4.70
4.67
4.59
4.60 4.50 4.40
4.27
4.30 4.20 4.10 4.00 A (inulin 0%)
B (inulin 1 %) C (inulin 2%) D (inulin 3%) Keseluruhan 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka Gambar 21. Histogram Uji Rating Atribut Keseluruhan pada Penelitian Optimasi Inulin dalam Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Semua atribut yang diujikan yaitu aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan mendapat penilaian dari panelis dengan nilai diantara 4 sampai 5 yang artinya menurut panelis, yoghurt sinbiotik yang dihasilkan bernilai netral hingga agak suka. Selain itu berdasarkan hasil analisis sidik ragam, untuk semua atribut yang diujikan seluruhnya tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan inulin tidak memberikan pengaruh negatif terhadap organoleptik produk yoghurt. Oleh karena itu, semua formula yoghurt dengan penambahan inulin (1, 2, dan 3%) dapat dipilih sebagai formula terpilih tahap II. Formula yang dipilih sebagai formula terpilih tahap II adalah formula C dengan penambahan inulin 2%. Alasan dipilih formula C adalah memiliki kandungan prebiotik yang lebih tinggi jika dibanding formula B (1% inulin). Selain itu formula B adalah formula dengan penambahan inulin dengan batas bawah suatu produk dikatakan prebiotik yaitu 1%. Hal ini tidak dapat menjamin bahwa pada produk akhir kandungan inulin masih sebesar 1% karena bisa saja terjadi fermentasi inulin oleh kultur pada saat inkubasi walaupun hal tersebut kecil peluangnya untuk terjadi. Sedangkan formula D dengan penambahan inulin 3% merupakan produk yang paling banyak penambahan inulinnya sehingga mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi dibanding formula yang lainnya. Oleh karena
34
itu dipilih yoghurt dengan penambahan inulin sebanyak 2%. Penambahan inulin sebanyak 2% sudah dapat memberikan efek prebiotik yang baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sadek et al., (2004), yang menyatakan bahwa penambahan 2% inulin ke dalam yoghurt dapat meningkatkan viabilitas dari bakteri asam laktat.
4.3 ANALISIS MUTU YOGHURT SINBIOTIK Pengujian mutu yoghurt sinbiotik yang dilakukan adalah analisis mutu kimia dan mutu mikrobiologi. Analisis mutu kimia meliputi pH, TAT, total padatan, kadar inulin dan uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Sedangkan analisis mutu mikrobiologi meliputi jumlah total BAL produk serta cemaran mikrobanya yaitu koliform dan Salmonella. Hasil uji tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI yoghurt tahun 2009.
4.3.1 Analisis Mutu Kimia Mutu kimia merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam pembuatan suatu produk. Pengukuran mutu kimia produk yoghurt sinbiotik meliputi pH, TAT, total padatan, kadar inulin dan analisis proksimat pada formula terbaik. Hasil analisis mutu kimia produk yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Mutu Kimia Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik pH (Derajat Keasaman) 4.3
TAT (% asam laktat) 0.74
TPT 15.36
Kadar inulin (g/100g) 3.88
4.3.1.1 Derajat Keasaman (pH) Nilai pH merupakan faktor penting dalam menentukan ketahanan bahan pangan terhadap kontaminasi mikroorganisme, karena peranan asam (pH) terhadap daya hambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Nilai pH ini merupakan salah satu ciri khas dari suatu produk fermentasi, terutama yoghurt. Nilai pH yang rendah pada produk yoghurt terbentuk karena adanya asam laktat sebagai hasil degradasi laktosa oleh bakteri asam laktat. Semakin banyak total asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat maka nilai pH semakin menurun. Produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan memiliki pH 4.3. Nilai ini sudah memenuhi pH yoghurt yang baik. Menurut Tamime dan Robinson (1989) yoghurt yang baik memiliki pH 3.8-4.6, bahkan Jay (2000) memberikan kisaran pH yoghurt yang lebih luas lagi yaitu antara 3.65-4.40. Penelitian tentang yoghurt dengan penambahan buah yang dilakukan oleh Kuntarso (2007) juga mempunyai kisaran pH yang sama yaitu 4.3, begitu pula dengan hasil penelitian Aryana dan McGrew (2007) yang membuat yoghurt dengan bakteri L. casei dan penambahan berbagai jenis inulin yang mempunyai pH antara 4.32-4.60. Nilai pH yang rendah yaitu < 4.5 sudah dapat menggumpalkan protein kasein pada susu dan membentuk tekstur yang baik. Hasil penelitian membuktikan bahwa yoghurt yang dihasilkan dengan nilai pH 4.3 sudah mampu menggumpalkan kasein dan membentuk tekstur yang baik, selain itu dengan tingkat keasaman tersebut sudah menghasilkan flavor yoghurt yang khas yaitu aroma asam susu fermentasi. Nilai pH yang cukup rendah pada produk yoghurt memiliki kemungkinan yang sangat kecil timbulnya pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu, yoghurt dengan pH 4.3 dapat mempertahankan viabilitas dari bakteri probiotik (Lankaputhra, 1996).
35
4.3.1.2 Total Asam Tertitrasi Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) didasarkan atas komponen asam yang ada, dan nilai tersebut sebanding dengan jumlah asam laktat. Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata total asam tertitrasi sampel terpilih yoghurt sinbiotik adalah sebesar 0,74%. Nilai ini menurut Silvia (2002) sudah cukup dalam menghasilkan tekstur yang lembut serta flavor asam yang cukup kuat. Selain itu hasil tersebut menurut SNI 01.2981-2009 tentang standar mutu yoghurt masih mempunyai nilai yang baik yaitu termasuk dalam kisaran 0.5-2% (b/b). Banyaknya asam laktat yang terbentuk dari hasil fermentasi susu dapat mempengaruhi pembentukkan tekstur pada yoghurt. Hal ini terbukti dari tekstur yang terbentuk pada yoghurt mengalami penggumpalan atau pembentukan gel yang baik. Yoghurt sinbiotik yang dibuat mempunyai tekstur padat dan telah memenuhi standar SNI 01.2981-2009. Pembentukkan gel yang baik pada yoghurt karena tersedianya cukup asam yang dapat menggumpalkan protein kasein yang berasal dari susu. 4.3.1.3 Total Padatan Mutu yoghurt juga ditentukan oleh kandungan total padatan pada yoghurt. Nilai total padatan dapat mempengaruhi tekstur yoghurt yang dihasilkan. Total padatan produk ditentukan berdasarkan kadar air dengan cara menguapkan air dari bahan atau hasil dari 100%-kadar air. Berdasarkan hasil analisis, yoghurt sinbiotik mempunyai total padatan sebesar 15.36%. Hasil ini sesuai dengan literatur menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa yoghurt yang baik memiliki nilai total padatan berkisar antara 14-18%. Nilai ini juga sudah memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009 yang menyebutkan bahwa total padatan produk yoghurt minimal 8.2%. Total padatan yang tinggi pada produk yoghurt diperoleh karena bahan baku yang digunakan adalah susu skim. Menurut Tamime dan Robinson (1989) penambahan susu skim bubuk dapat meningkatkan kandungan protein, selain sebagai sumber laktosa bagi kehidupan kultur bakteri asam laktat. Kandungan protein yang semakin meningkat akan menaikkan total padatan susu karena penggumpalan kasein yang terjadi semakin banyak. Penggumpalan kasein ini yang kemudian akan mempengaruhi kekentalan susu fermentasi dan meningkatkan total padatannya. Selain itu, penambahan pisang tidak dalam bentuk ekstrak melainkan dalam bentuk puree juga dapat menambah jumlah total padatan pada produk yoghurt. 4.3.1.4 Kadar Inulin Penentuan kadar inulin pada produk yoghurt sinbiotik penting dilakukan untuk mengetahui jumlah prebiotik yang terkadung dalam produk agar memenuhi persyaratan suatu produk dapat dikatakan berprebiotik. Penambahan inulin sebagai sumber prebiotik pada produk fermentasi menurut Frank (2005) yaitu sebesar 1-3% per kemasannya. Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan pada tahap II, formula yoghurt yang terpilih adalah yoghurt dengan penambahan 2% inulin. Hasil pengujian inulin menggunakan HPLC menunjukkan bahwa kadar inulin pada produk akhir yoghurt sinbiotik adalah sebesar 3.88g/100g. Jumlah ini sudah memenuhi persyaratan yoghurt berprebiotik. Namun jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah inulin komersial yang ditambahkan pada awal proses pengolahan produk yaitu 2g/100g. Hal ini disebabkan karena kadar inulin yang terdapat pada produk akhir tidak hanya berasal dari penambahan inulin komersial pada produk, tetapi juga berasal dari bahan baku pisang yang digunakan.
36
Proses fermentasi oleh bakteri asam laktat tidak menyebabkan banyak penurunan jumlah kadar inulin. Bakteri asam laktat melakukan seleksi prioritas dalam menggunakan gula yang terdapat dalam medium susu. Bakteri menggunakan substrat yang tergolong gula-gula sederhana terlebih dahulu sebelum menggunakan substrat yang lebih kompleks. Oleh karena itu, substrat berupa susu skim dan gula pada yoghurt digunakan terlebih dahulu oleh bakteri sebelum menggunakan inulin. Standar dan metode yang digunakan dalam pengukuran inulin juga turut mempengaruhi kadar inulin yang dihasilkan. Standar yang digunakan adalah fruktosa, sedangkan metode yang digunakan adalah penambahan enzim inulinase pada preparasi sampel agar inulin yang terdapat pada produk terhidrolisis menjadi fruktosa dan dapat dihitung kadarnya dengan kurva standar fruktosa. Hal tersebut menyebabkan kadar inulin yang terukur merupakan jumlah seluruh fruktosa yang terdapat pada produk yoghurt, baik fruktosa yang berasal dari hasil pemecahan inulin oleh enzim inulinase maupun yang berasal dari gula (fruktosa) yang ditambahkan saat pengolahan yoghurt. Oleh karena itulah kadar inulin yang terukur sedikit lebih besar dibanding inulin yang ditambahkan. 4.3.1.5 Analisis Proksimat Uji proksimat bertujuan untuk mengetahui komponen kimia pada suatu bahan pangan. Hasil analisis proksimat yang dihasilkan memberi gambaran secara umum tentang nilai gizi dari produk yoghurt sinbiotik. Uji proksimat pada penelitian ini dilakukan pada sampel yoghurt terbaik hasil dari formula terpilih tahap I dan II yang diperoleh dari uji ranking hedonik dan rating hedonik yaitu sampel dengan penambahan puree pisang 10% dan inulin 2%. Hasil uji tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu produk yoghurt dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil uji analisis proksimat sampel terpilih yoghurt sinbiotik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Formula Terpilih Yoghurt Sinbiotik (berdasarkan %bb). Komposisi Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat
Kandungan (%) 84.46 0.75 2.79 0.20 11.80
SNI 01.2981-2009 tentang yoghurt pada Tabel 1 menyebutkan bahwa kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak berturut-turut adalah maksimal 1.0%, minimal 2.7%, dan <0.5%. Berdasarkan hasil uji proksimat pada Tabel 5 terlihat bahwa kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak pada produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan. Kadar air pada produk berdasarkan hasil analisis proksimat adalah sebesar 84.46%. Nilai kadar air ini sudah tergolong baik untuk produk yoghurt walaupun kadar air bukan termasuk salah satu persyaratan produk yoghurt menurut SNI (2009). Nilai kadar air produk yoghurt yang tergolong baik, dapat dilihat dari sudah tercukupinya nilai total padatan dari produk yoghurt yang dihasilkan dimana dengan kadar air 84.46%, total padatannya sudah memenuhi persyaratan SNI yaitu sebesar 15.54% dan menghasilkan tekstur yoghurt yang padat. Kadar abu pada produk pangan dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam produk. Kandungan mineral yang terkandung dalam produk yoghurt dapat berasal dari bahan baku
37
pisang dan susu skim. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa kandungan mineral pada susu skim adalah sekitar 8%. Artinya penambahan susu skim sebanyak 10% akan menyumbang mineral sebanyak 0.8% pada produk yoghurt. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis proksimat yang tertera pada Tabel 5 yaitu sebesar 0.75%. Kadar protein pada produk adalah sebesar 2.79%. Kadar protein pada produk yoghurt banyak disumbangkan oleh susu skim sebagai bahan bakunya. Akan tetapi nilai ini sedikit lebih kecil dibandingkan dengan nilai kadar protein pada susu skim yaitu sebesar 3.7% (Buckle et al., 1987). Kadar protein pada yoghurt umumnya tidak terdapat perubahan yang signifikan hanya saja terjadi peningkatan daya cerna karena terjadi penguraian protein menjadi unit-unit yang sederhana. Hasil uji proksimat kadar lemak pada yoghurt sinbiotik yaitu sebesar 0.2%. Kadar lemak yang terkandung pada produk tergantung pada bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yoghurt. Kadar lemak yang diperoleh sangat rendah karena yoghurt dibuat menggunakan susu skim yang rendah lemak dan puree pisang yang juga mengandung lemak yang sangat kecil. Menurut Buckle et al. (1987) susu skim hanya mengandung sekitar 0.1% lemak, sehingga jika yoghurt yang dibuat hanya menggunakan susu skim akan memiliki kadar lemak yang rendah pula. Data ini dapat digunakan untuk mengklaim bahwa produk yoghurt yang dihasilkan digolongkan sebagai yoghurt non-fat (kadar lemak <0.5%). Hasil analisis proksimat yang terakhir adalah kadar karbohidrat. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat kadar karbohidratnya sebesar 11.8%. Nilai kadar karbohidrat ini sangat tergantung pada bahan-bahan lain yang ditambahkan pada yoghurt. Pada penelitian ini, sumber karbohidrat dapat berasal dari susu skim, selain itu bahan baku pisang sebagai buah yang ditambahkan ke dalam yoghurt tentunya berperan dalam meningkatkan kadar karbohidrat pada yoghurt.
4.3.2 Analisis Mutu Mikrobiologi 4.3.2.1 Total Bakteri Asam Laktat Probiotik menurut FAO/WHO (2002) adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Jumlah yang cukup yang dimaksud oleh FAO/WHO (2002) ini adalah 106-108 cfu/ml dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012 cfu/ml di dalam kolon. Oleh karena itulah penting untuk mengetahui jumlah total bakteri asam laktat pada sampel terpilih yoghurt sinbiotik dan mengetahui viabilitasnya selama penyimpanan. Pembuatan yoghurt sinbiotik ini hanya menggunakan kultur tunggal bakteri yang sudah terbukti probiotik yaitu Lactobacillus casei. Pengamatan terhadap total bakteri asam laktat (BAL) dari segi kuantitas dan viabilitas pada yoghurt, dilakukan selama 14 hari pada yoghurt yang disimpan di suhu dingin dan pengamatan dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Pengamatan dilakukan pada yoghurt yang disimpan pada suhu dingin karena suhu yang tepat untuk menyimpan produk-produk hasil fermentasi adalah suhu dingin. Alasan lain yaitu berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan, jumlah total BAL yang mampu bertahan hingga hari terakhir penyimpanan pada suhu dingin lebih banyak dari pada jumlah BAL yang mampu bertahan hingga hari terakhir penyimpanan suhu ruang. Hasil perhitungan total bakteri asam laktat yang terdapat dalam produk yoghurt sinbiotik formulasi terpilih berdasarkan Gambar 22 adalah sebanyak 3.6 x 10 9 cfu/ml. Jumlah tersebut sudah memenuhi persyaratan suatu produk dapat dikatakan probiotik menurut FAO/WHO (2002) yaitu 106-108 cfu/ml. Jumlah total BAL ini pada hari ke-0 hingga hari ke-5 pada produk yoghurt sinbiotik mengalami kenaikan yaitu mulai dari 3.6 x 10 9 hingga 8.6 x 109
38
Jumlah BAL (Logaritmik) cfu/ml
cfu/ml. Sedangkan dari hari ke-6 hingga hari ke-12 terjadi penurunan jumlah total BAL yaitu menurun hingga 3.7 x 109 cfu/ml dan mengalami kenaikan kembali pada hari terakhir yaitu hari ke-14 menjadi 4.1 x 109 cfu/ml. 9.8
10 9.9 9
9.6
9.9
9.6 9.7
9.6
8 7 6 5 0
3
5 7 10 Penyimpanan Hari Ke-
12
14
Gambar 22. Jumlah Total BAL selama 14 hari Peningkatan jumlah total BAL yang terlihat pada hasil penelitian tidak terlalu signifikan. Peningkatannya hingga hari ke-5 hanya sekitar 3.1% (kurang dari 1 siklus log). Pada penyimpanan suhu dingin, terdapat hambatan aktivitas mikroorganisme berupa temperatur yang rendah. Hal ini menyebabkan aktivitas bakteri tidak optimal dan pertumbuhannya menjadi lambat atau bahkan terhambat. Menurut Buckle et al. (1987), faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme salah satunya adalah suhu. Peningkatan jumlah total BAL selama disimpan hingga hari ke-5 disebabkan masih banyaknya substrat yang terdapat pada bahan baku seperti susu skim, gula, dan puree pisang yang dimetabolisme oleh bakteri. Terutama bahan baku susu skim yang mengandung lebih dari 50% laktosa yang merupakan karbohidrat utama dalam susu. Jumlah laktosa yang mencapai separuh komposisi susu skim mengakibatkan BAL memperoleh nutrisi yang cukup (Winarno, 1997). Menurut Sunarlim dan Usmiati (2006), pada waktu tertentu jumlah substrat dalam bahan baku untuk melakukan fermentasi masih tersedia cukup banyak sehingga bakteri masih bisa memperbanyak diri dengan lambat walaupun disimpan pada suhu dingin. Hasil penelitian yang sama juga didapat oleh Setiawan (2010) yang mendapatkan hasil bahwa bakteri L. casei yang ditumbuhkan pada produk dadih yang disimpan pada suhu dingin mengalami peningkatan yang tidak signifikan hingga hari ke-7 dan memiliki rata-rata jumlah total bakteri asam laktat sebanyak 2.2 x 1011 cfu/ml. Jumlah substrat atau laktosa sebagai sumber karbon utama semakin lama semakin menurun sehingga bakteri relatif tidak aktif memperbanyak diri dan bakteri sudah melewati fase logaritmik. Oleh karena itu terjadi penurunan total bakteri asam laktat (BAL) selama penyimpanan sehingga viabilitasnya menurun. Selain itu, faktor yang menyebabkan jumlah total BAL menurun adalah ketidakmampuan bakteri tersebut untuk melawan sifat toksik dari hasil metabolitnya yang menumpuk di lingkungan seperti jumlah asam laktat yang tinggi. Menurut Oberman (1985), jumlah BAL pada yoghurt sebesar 2.0 x 108-1.0 x 109, tetapi jumlah tersebut terus mengalami penurunan selama penyimpanan. Meskipun begitu penurunan total bakteri asam laktat tidak signifikan yaitu hanya sekitar 3.1%. Perubahan ini masih kurang dari satu siklus log, hal ini menunjukkan bahwa Lactobacillus
39
casei memiliki ketahanan yang baik pada kondisi asam. Hal serupa juga dikemukakan oleh Aryana dan McGrew (2007) tentang hasil penelitiannya yang melihat pertumbuhan L. casei dengan penambahan inulin pada yoghurt yang disimpan pada suhu 4°C yang menyatakan bahwa selama penyimpanan L. casei mengalami penurunan kurang dari 1 siklus log selama 2 minggu. Menurut Yamazaki et al. (1973) dikutip dalam Lee dan Wong (1998), Lactobacillus dan Bifidobacteria memiliki ketahanan yang baik pada pH yang rendah, begitu pula menurut Salminen dan Wright (1998), Lactobacillus casei dapat bertahan lebih lama dalam susu fermentasi. 4.3.2.2 Bakteri Koliform Uji total koliform perlu untuk dilakukan dalam produk yoghurt. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan mikroba koliform atau indikator sanitasi pada suatu produk. Jenis bakteri koliform ini yaitu bakteri Esherichia coli dan Enterobacter yang pada produk yoghurt dapat berasal dari susu, air, dan buah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan yoghurt. Uji koliform dilakukan dengan metode MPN yang bersifat kuantitatif. Pengamatan dilakukan dengan melihat tabung positif dengan mengamati timbulnya kekeruhan, atau terbentuknya gas di dalam tabung Durham dalam media BGLBB untuk mikroba pembentuk gas. Pada umumnya setiap pengenceran digunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih banyak tabung yang digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi alat gelas yang digunakan juga lebih banyak. Pada penelitian ini digunakan tiga seri tabung, karena produk yang diuji yaitu produk yoghurt yang telah diproduksi secara pasteurisasi dan tergolong kedalam pangan berasam tinggi sehingga kemungkinan terjadinya pertumbuhan koliform kecil dan mengandung sedikit koliform. Pengujian bakteri koliform pada yoghurt dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-14 yang disimpan pada suhu dingin. Uji kuantitatif yang dilakukan adalah uji penduga. Berikut data hasil pengujian koliform dari uji penduga dengan menggunakan media BGLBB pada produk yoghurt hari ke-0 dan hari ke-14 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji Koliform Hari ke0 14
Hasil Kuantitatif (MPN/g) <3.0 <3.0
Berdasarkan data uji penduga diperoleh bahwa seluruh tabung reaksi dengan 4 tingkat pengenceran tidak ditemukan adanya pembentukan gas pada tabung Durham, baik itu pada hari ke-0 produk yoghurt maupun dengan hari ke-14. Sehingga berdasarkan penggunaan tabel MPN seri 3 tabung diperoleh total koliform pada produk yoghurt sebesar <3 MPN/100ml. Menurut hasil tersebut maka dapat dikatakan produk yoghurt sinbiotik dengan penambahan puree pisang dan inulin ini memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009. Produk yang telah diolah dengan cara yang baik dan benar, memiliki kemungkinan kontaminasi oleh bakteri koliform yang rendah. Dengan adanya blansir pada bahan baku pisang dan proses pasteurisasi pada susu sudah dapat mematikan bakteri koliform. Hal ini didukung oleh pernyataan menurut Tamime dan Robinson (1989) yang menyatakan bahwa grup koliform tidak tahan pada pH rendah, penyimpanan suhu rendah dan tidak tahan dengan adanya zat hasil
40
metabolisme BAL seperti zat antimikroba dan asam laktat sehingga adanya bakteri koliform pada yoghurt sangat kecil. 4.3.2.3 Keberadaan Bakteri Salmonella Salmonella adalah salah satu kelompok bakteri enteropatogenik penyebab infeksi gastrointestinal dan keracunan makanan. Di dalam SNI 01.2981-2009 dinyatakan bahwa produk yoghurt paling tidak harus negatif Salmonella dalam 25 g setelah diuji secara kualitatif. Selain itu walaupun yoghurt tergolong makanan yang aman dikonsumsi, namun bahan baku susu yang digunakan dapat saja terkontaminasi oleh Salmonella jika pembuatan susu bubuknya menggunakan metode penyemprotan dan proses sanitasinya tidak baik. Susu skim yang beredar di pasaran jika sudah memenuhi persyaratan SNI 01.2970-2006 pasti mengandung negatif koloni Salmonella/100 g. Oleh karena itu perlu dilakukan uji Salmonella pada produk yoghurt. Uji Salmonella dilakukan secara kualitatif pada produk yoghurt hari ke-0 dan hari ke14 yang disimpan pada suhu dingin dengan melakukan tahap enrichment dan tahap seleksi. Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui apakah produk yoghurt sinbiotik yang dihasilkan mengandung Salmonella atau tidak. Berikut data hasil uji Salmonella pada hari ke-0 dan ke-14 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Salmonella Hari ke0 14
Hasil Kualitatif (MPN/g) Negatif/25g Negatif/25g
Hasil uji yang telah dilakukan terhadap produk yoghurt formula terpilih, menyatakan bahwa jumlah Salmonella pada hari ke-0 negatif Salmonella/25 g yoghurt. Begitu pula dengan jumlah Salmonella pada hari ke-14. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 23, dimana pada media HEA (media berwarna coklat) tidak terdapat koloni berwarna biru kehijauan, dengan atau tanpa warna hitam ditengahnya. Pada media XLDA (media berwarna merah) tidak terdapat koloni berwarna merah muda dengan atau tanpa warna hitam di tengahnya dan tidak tampak koloni yang besar, berwarna hitam mengkilap ditengahnya. Begitu pula pada media BSA (media berwarna abu-abu) tidak terdapat koloni berwarna coklat, abu-abu atau hitam berwarna kilau metalik. Menurut hasil uji inilah maka dapat dikatakan bahwa produk yoghurt yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan dan aman dari cemaran mikroba enteropatogenik.
(c) (a) (b) Gambar 23. Media Selektif Perumbuhan Salmonella Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri Salmonella karena produk ini telah diolah dengan baik dan benar, salah satunya penerapan proses pasteurisasi. Salmonella tidak tahan terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi. Menurut Jay (2000) Salmonella dapat dihancurkan pada proses pemanggangan pada suhu 71.1°C dan menurut Lund
41
(2000) dengan suhu pasteurisasi tersebut mampu menurunkan jumlah sel hidup Salmonella sebanyak 105 sel. Selain itu produk-produk yoghurt mempunyai pH yang rendah sehingga mikroba patogen tidak dapat tumbuh, serta terbentuknya asam-asam organik dan zat antimikroba yang berasal dari bakteri probiotik dapat membunuh mikroba-mikroba patogen (Tamime & Robinson, 1989). Produk yoghurt yang dihasilkan tidak mengandung bakteri indikator sanitasi koliform dan Salmonella yang menandakan bahwa proses pasteurisasi yang dilakukan sudah cukup untuk membunuh kedua jenis bakteri tersebut. Selain itu, tidak terjadi kontaminasi kembali setelah proses pengolahan sehingga produk tidak terkontaminasi bakteri indikator sanitasi hingga diakhir penyimpanan suhu dingin selama 14 hari.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pengembangan yoghurt sinbiotik dapat dilakukan dengan menggunakan penambahan bahan baku lokal yang jumlahnya melimpah sehingga dapat meningkatkan nilai gunanya selain menciptakan alternatif pangan fungsional baru yang disukai. Hal ini terbukti dari penambahan puree pisang pada produk yoghurt mendapat penilaian yang baik dari panelis. Formulasi penambahan puree pisang yang paling disukai oleh panelis adalah pemberian puree pisang 1:1 dengan susu skim. Formula terpilih ini kemudian dilakukan penambahan inulin komersial sebagai sumber prebiotik. Penambahan inulin komersial pada konsentrasi 1-3% tidak memberikan pengaruh nyata pada atribut aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan dari yoghurt sinbiotik. Penambahan inulin ini lebih berfungsi sebagai penambah sumber prebiotik pada yoghurt. Penambahan inulin pada yoghurt yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi berdasarkan penilaian panelis adalah penambahan 2% inulin dengan skor penilaian antara netral hingga agak suka. Formula penambahan inulin 2% pada yoghurt dipilih sebagai formula terpilih tahap II berdasarkan kandungan prebiotik dan dari segi ekonomisnya. Yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah diuji mutunya secara kimia dan mikrobiologi. Hasil uji mutu tersebut menunjukkan bahwa yoghurt sinbiotik yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan SNI 01.2981-2009. Produk ini juga sudah memenuhi kategorikan sebagai produk sinbiotik karena kandungan probiotik dan prebiotiknya telah terpenuhi. Yoghurt sinbiotik yang dihasilkan mempunyai kandungan probiotik dengan total BAL sebanyak 3.6 x 109 cfu/ml dimana total BAL tersebut mampu bertahan dengan jumlah penurunan kurang dari satu siklus log selama 14 hari dalam penyimpanan suhu dingin. Sedangkan kandungan prebiotik dari yoghurt sinbiotik yang dihasilkan sebanyak 3.88%. Selain itu dari hasil analisis proksimat, yang dapat dilihat adalah kadar lemaknya yang kurang dari 5%, sehingga dapat dikategorikan sebagai yoghurt tanpa lemak (non-fat).
5.2 Saran Penelitian lanjutan formulasi yoghurt sinbiotik berbasis puree pisang dan inulin ini perlu dilakukan diantaranya penelitian tentang umur simpan produk yoghurt serta melihat pengaruhnya terhadap penerimaan konsumen. Selain itu dapat juga dilakukan pengembangan produk yoghurt dengan menggunakan berbagai jenis probiotik yang lain atau menggunakan kultur campuran, agar dapat diketahui hasil produk yang lebih baik. Dalam pembuatannya dapat dilakukan penambahan bahan penstabil atau bahan pengental sebagai parameter baru dalam formulasi yoghurt sinbiotik untuk membuat puree pisang tetap homogen dan tidak mengendap selama penyimpanan sehingga dapat dihasilkan yoghurt dengan tekstur yang lebih baik. Dalam pengembangannya, dapat juga dilakukan penelitian tentang sumber-sumber prebiotik yang lain yang berasal dari pangan lokal yang dapat dikembangkan menjadi alternatif pangan fungsional baru.
43
DAFTAR PUSTAKA [BPOMRI] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Pengaturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. BPOMRI, Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Produktivitas Hortikultura Buah. http://www.bps.go.id [11 Juli 2011] [FAO] Food Agriculture Organization. 2007. FAO technical meeting prebiotics. AGNS-FAO, Italy. Adam MR dan Moss MO. 1995. Food Microbiology. The Royal society of Chemistry, Cambridge. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists. Washington D.C. Artanti A. 2009. Pengaruh Prebiotik Inulin dan Fruktooligosakarida (FOS) Terhadap Pertumbuhan Tiga Jenis Probiotik. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Aryana KJ dan McGrew P. 2007. Quality attributes of yogurt with Lactobacillus casei and various prebiotics. LWT 40: 1808-1814. Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 01.1298-2009 Yoghurt. Badan Standarisasi Nasional Jakarta. Bosscher D, Van Loo J, dan Franck A. 2006. Inulin and oligofructose: as functional ingredients to improve bone mineralization. Int Dairy J 16:1092–97. Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, dan Wooton. 1987. Ilmu Pangan, Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Chen MJ, Chen KN, Lin CW, dan Mao HM. 2004. Study on the optimal growth rates of probiotics in yogurt by genetic algorithms. Taiwan Nongye Huaxue Yu Shipin Kexue 42(4): 306-314. Coussement Paul AA. 2007. Supplement. Inulin and Oligofructose: Safe Intakes and Legal Status. Orafti. Aaandorenstraat 1,330 Tienen, Belgium. Crittenden R, Saarela M, Matto J, Ouwehand AO, Salminen S, Pelto L, Vaughan EE, De Vos WV, von Wright A, Fonden R, dan Mattila-Sandholm T. 2002. Lactobacillus paracasei subsp. paracasei F19: Survival, ecology and safety in the human intestinal tract. A survey of feeding studies within the PROBDEMO project. Microbial Ecology in Health and Disease 2(Suppl.): 22–26. Dave RI dan Shah NP. 1997. Viability of yoghurt and probiotic bacteria in yoghurts made from commercial starters cultures. International Dairy Journal 7: 31-41. Deeth HC dan Tamime AY. 1981. Yoghurt: nutritive and therapeutic aspects. J. Food Prot 44: 78-86.
44
Dello Staffolo M, Bertola N, Martino M, dan Bevilacqua A. 2004. Influence of dietary fiber addition on sensory and rheological properties of yogurt. International Dairy Journal 14(3): 263268. Delzenne MN dan Cani PD. 2010. Nutritional modulation of gut microbiota in the context of obesity and insulin resistance: potential interest of prebiotics. Int Dairy J 20: 277–80. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981. Kebijakan dan Program Pembangunan Pertanian. Deparetemen Kesehatan, Jakarta. Donkor ON, Nilmini SLI, Stolic P, Vasiljevic T, dan Shah NP. 2007. Survival and activity of selected probiotic organisms in set-type yoghurt during cold storage. International Dairy Journal 17: 657-665. FAO. 2004. Report of the regional consultation of the Asia-Pacific network for food and nutrition on functional foodss and their implications in the daily diet. RAP Publication 33: 61. FAO/WHO. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food. Report of joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotics in food. London Ontario, Canada. Ferawati. 2009. Formulasi Dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar Tepung Kedelai, Terigu, Singkong, dan Pisang Sebagai Alternatif Pangan Darurat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Franck A dan De Leenher L. 2005. Inulin in Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Steinbuchel A, Rhee SK (ed). WILEY-VCH, Weinheim. Fuller R. 1989. Probiotics in man and animals. Journal of Applied Bacteriology 66: 365-378. Functional Food Science in Europe. 1998. Functional Foods. British Journal of Nutrition 80(1):S1S193. Fung WY, Woo YP, Wan-Abdullah WN, Ahmad R, Easa AM, dan Liong MT. 2009. Benefits of probiotics: beyond gastrointestinal health. Milchwissenschaft 64:17–20. Gibson GR dan Roberfroid MR. 1995. Dietary modulation of the human colonic microbial: Introducing the concept of prebiotics. Journal of Nutrition 125(6): 1401-1412. Gilliland SE dan Speck ML. 1997. Antagonistic action of L. acidophilus towards intestinal bacteria enzyme activity. American Journal of Clinical Nutrition 39: 756-761. Gilliland SE dan Walker DK. 1990. Factors of condsider when selecting a culture of L. acidophilus as a dietary adjunct to produce a hypocholesterolemic effect on humans. Journal of Dairy Science 73: 905. Goldin BR dan Gorbach SL. 1984. The effect of milk and Lactobacillus feeding in human intestinal bacterial enzyme activity. American Journal of Clinical Nutrition 39: 756-761.
45
Hamdan IY, Kunsman JE Jr, dan Deane DD. 1971. Acetaldehyde production by combined yogurt cultures. J Dairy Sci 54(7): 1080–2. Hardi J dan Slacanac V. 2000. Examination of coagulation kinetics and rheological properties of fermented milk products: The influence of starter culture, milk fat content and addition of inulin. Mijekarstco 50(3): 217-226. Hasler CM. 1995. Functional Foods: The Western Perspective. A Paper Presented in the First International Conference on: East-West Perspective on Functional Foods, Singapore September 26-27. Hatcher GE dan Lambrecht RS. 1993. Augmentation of macrophage phagocytic activity by cell free extract of selected lactic acid producing bacteria. Journal of Dairy Science 76: 2485-2492. Helferich W dan D. Westhoff. 1980. All About Yogurt. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff, New Jersey. Ibrahim GA, Mehanna NS, El-Rab DAG, Abd El-Salam MH, Kholif AM, Abdou SM dan El-Shibiny S. 2004. Preparation and properties of set fermented milk containing inulin and different probiotics. In 9th Egyptian Conference for Dairy Science and Technology, Cairo, Egypt, October 9-11, 2004 (pp. 117-132). Cairo, Egypt: Egyptian Society of Dairy Science. Ishikawa, H., I. Akedo, T. Otani, T. Suzuki, T. Nakamura, I. Takeyama, S. Ishiguro, E. Miyaoka, T. Sobue, dan T. Kakizoe. 2005. Randomized trial of dietary fiber and Lactobacillus casei administration for prevention of colorectal tumors. Int. J. Cancer 116: 762-767. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6 th Edition. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland. Jenkins DJA, Kendall CWC dan Vuksan V. 1999. Inulin, oligofructose and intestinal function. Journal of Nutrition 129: 1431S-1433S. Kailasapathy K, Hamstorf I, dan Phillips M. 2007. Survival of Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium animalis ssp. lactis in stirred fruit yogurts. LWT 41(2008): 1317-1322. Kaminarides S, Stamou P, dan Massouras T. 2007. Comparison of the characteristics of set-type yoghurt made from ovine milk of different fat content. Int J Food Sci Technol 42(9): 1019– 28. Kim HS dan Gilliland S. 1983. L. acidophilus as dietary adjunct for milk to aid lactose digestion in humans. Journal of Nutrition 129: 1431S-1433S. Kuntarso A. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fatfruity Bio-Yoghurt (Lo-Bio F). Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Lankaputhra WEV, Shah NP, dan Britz ML. 1996. Survival of bifidobacteria during refrigerated storage in the presence of acid ang hydrogen peroxide. Milchwissenschaft 51: 65-70. Latimer GW, dan Horwitz W. 2007. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist International. Ed ke-18. AOAC International, Washington DC.
46
Lee dan Wong (1998). Stability of Lactic Acid Bacteria in Fermented Milk. Dalam: Salminen, S. Dan A.Von Wright (eds). Lactic Acid Bacteria: Microbiology an Functional Aspects. 2 ndedition. Marcel Dekker Inc., New York. Lidbeck A. 1995. Effect of oral supplementation with lactic acid bacteria during intake of antimicrobial agent. In International Dairy Lactic Acid Bacteria Conference, NZ. Loesecke HWVon. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc, New York. Luky. 1996. Perubahan Mutu Yoghurt dengan Penambahan Buah-Buahan selama Penyimpanan Dingin. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Lund M. 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food. Aspen Publishers, Inc, Maryland. Madsen C. 2007. Functional foods in Europe. Ann Nutr Metab 51:298-299 Maulidya A. 2007. Kajian Pembuatan Yoghurt Susu Jagung sebagai Minuman Probiotik Menggunakan Campuran Kultur Lactobacillus delbruekii subsp. Bulgaricus, Streptococcus salivarus subsp. Thermophillus dan Lactobacillus casei subsp. ramnosus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. McGregor JV dan White CH. 1987. Effect of sweeteners on major volatile compounds and flavour of yoghurt. J. Dairy sciences (70): 1824-1834. Meilgaard M, Civille, Gail Vance, Carr, dan Thomas B. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press LLC, USA. Morimoto K, Takeshita T, Nanno M, Tokudome S, dan Nakayama K. 2005. Modulation of natural killer cell activity by supplementation of fermented milk containing Lactobacillus casei in habitual smokers. Preventive Medicine 40: 589-594. Muchtadi D. 2001. Potensi Pangan Tradisional sebagai Pangang Fungsional dan Suplemen. Di dalam L. Nuraida dan RD Hariyadi. (eds). Pangan Tradisional. Pusat Kajian Makanan Tradisional. IPB. Nagao FM, Nakayama T, Muto, dan Okumura K. 2000. Effects of fermented milk drink containing Lactobacillus casei starin Shirota on the immune system in healthy human subjects. Biosci. Biotechnol. Biochem 64: 2706-2708. Ningsih Y. 2002. Analisis Kelayakan Investasi Pengembangan Agribisnis Pisang Ambon Lokal di Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Manajemen Bisnis, IPB, Bogor. Nuraida L, DR Adawiyah, dan Subarna. 1995. Pembuatan dan pengawetan kultur kering yoghurt. Bul. Tek. Dan Industri Pangan VI (3): 85-93. Oberman H. 1985. Fermented Milk. In : Microbiology of Fermented Milk, Challenges for Health Science. Y. Nakazawa dan A. Hosono (ed.). Elsevier Applied Science Publishers Ltd., London
47
Ohashi Y, Nakai S, Tsukamoto T, Masumori N, Akaza H, Miyanaga N, Kitamura T, Kawabe K, Kotake T, Kuroda M, Naito S, Koga H, Saito Y, Nomata K, Kitagawa M, dan Aso Y. 2002. Habitual intake if lactic acid bacteria and risk reduction of bladder cancer. Urologia Internationalis 68: 5134-5138. Oliveira MN, Sodini I, Remeuf F, dan Corrieu G. 2001. Effect of milk supplementation and culture composition on acidification, textural properties and microbiological stability of fermented milks containing probiotic bacteria. International Dairy Journal 11: 935-942. Panesar PS, Kaur G, Panesar R, dan Bera MB. 2009. Synbiotics: potential dietary supplements in functional foods. Food Science Central. www.foodsciencecentral.com/fsc/ixid15649 [10 Agustus 2011]. Prabawati S, Suyanti, dan Setyabudi DA. 2009. Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Buah Pisang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Rahman A, S Fardiaz, WP Rahayu, Suliantari, dan CC Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reddy GV, Friend BA, Shahani KM, dan Farmer RE. 1983. Ati-tumor activity of yogurt components. Journal of Food Protection 46(1): 8-11. Reid G. 1999. The scientific basis for probiotic strains of lactobacillus. Applied Environmental Microbiology 65(9): 3763–3766. Renhe IRT, Volp ACP, Barbosa KBF, dan Stringheta KBF. 2008. Prebi´oticos e os benef´ıcios de seu consumo na sa´ude. Rev Bras Nut Clin 23: 119–26. Roberfroid M. 2005. Inulin-type fructans : functional food ingredients. CRC Press, Florida. Sadek ZI, El-Shafei K, dan Murad HA. 2004. Utilization of xanthan gum and inulin as prebiotics for lactic acid bacteria. In 9th Egyptian Conference for Dairy Science and Technology, Cairo, Egypt, October 9-11, 2004, 9 (Research Papers 1) (pp. 269-283). Cairo, Egypt: Egyptian Society of Dairy Science. Salminen S dan A. Von Wright (eds). 1998. Lactic Acid Bacteria : Mikrobiology and Functional Aspects. 2nd edition. Marcel Dekker Inc., New York. Sanders ME. 1998. Development of consumer probiotics for the US market. Brit J Nut 80:213–8. Saxelin M. 2008. Probiotic formulation and applications, the current probiotic market, and changes in the marketplace: a European perspective. Clin Infect Dis 46:76–79. Selamat DP. 1992. Mutu Simpan Yakult Kedelai yang Difermentasi oleh Lactobacillus Casei Subsp Rhamnosus pada Suhu Ruang dan Suhu Lemari Es. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Setiawan B. 2010. Produksi Dadih Probiotik Menggunakan Lactobacillus casei, Lactobacillus plantarum, Bifidobacterium longum serta Pengaruhnya Selama Penyimpanan.
48
Setyaningsih L. 1992. Pengaruh Jenis Kultur Lactobacillus Casei Penambahan Susu Skim dan Glukosa Terhadap Mutu Yakult Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Seydin ZBG, Sarikus G, dan Okur OD. 2005. Effect of inulin and dairy-Lo as fat replacers on the quality of set type yogurt. Milchwissenschaft 60(1): 51-55. Silvia. 2002. Pembuatan Yogurt Kedelai (Soygurt) dengan Menggunakan Kultur Campuran Bifidobacterium Bifidum dan Streptococcus Thermophilius. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Supriadi Y. 2003. Pembuatan Soyghurt Sinbiotik dengan Menggunakan Kultur Campuran Bifidobacterium bifidum, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus casei galur Shirota. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Surnalim R dan S Usmiati. 2006. Sifat Morfologi dan Sensori Dadih Susu Sapi yang Difermentasi Menggunakan Lactobacillus plantarum dalam Kemasan yang Berbeda. Buletin Peternakan. Vol (30). November 2006. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta. Sveje N. 2007. Prebiotics and probiotics—Improving consumer health through food consumption. Nutracoss 28–31. Takeshi M. 2003. Health properties of milk fermented with Lactobacillus casei strain Shirota (LcS). In E. R. Farnworth (Ed), Handbook of fermented functionl foods (pp. 145-175). Boca Raton, FL: CRC Press LLC. Tamime AY dan RK Robinson. 1989. Yoghurt Science and Technology. Pergamon Press, Ltd., Canada. Tamime AY dan Robinson RK. 2007. Tamime and Robinson’s Yoghurt. Science and Technology. Ed-3. CRC Press, Cambridge. Tamime AY dan Robinson RK. 2007. Yoghurt science and technology. 3rd ed. Abington, Cambridge, England: Woodhead Publishing Ltd. LLC, NW, U.S.A.: CRC Press. 791 p. Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK., Mistry VV, dan Shah NP. 2005. Production and maintenance of viability of probiotic micro-organisms in dairy products. In A. Y. Tamime (Ed.), Probiotic dairy products (pp. 39–72). Oxford: Blackwell Publishing. Toma MM dan Pokrotnieks J. 2006. Probiotics as Functional Food: Microbiological and Medical Aspects. Acta Universitatis Latviensis (710): 117-129. Triyono A. 2011. Mempelajari Pengaruh Maltodekstrin dan Susu Skim terhadap Karakteristik Yoghurt Kacang Hijau (Phaseolu raditus L,). Makalah seminar. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna, LIPI, Subang.
49
Tungland BC, dan Meyer. 2002. Nondigestible oligo-and polysaccharides (dietary fiber): Their physiology and role in human health and food. Comprehensive Reviews in Food Sci. and Food Safety 3(2002):73-91. Utami SD. 2010. Pengaruh Yoghurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Lokal Terhadap Proliferasi Sel Limfosit, Kadar Malonaldehida, dan Aktivitas Superoksida Dismutase pada Tikus percobaan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Varnam AH dan Sutherland P. 1994. Milk and Milk Products: Technology Chemistry and Microbiology. Chapman and Hall, London. Venter
CS. Prebiotics for the improvement of human health. Diunduh dari: www.krepublishers.com/.http://kholisahnasution.multiply.com/JHE-SI-14-01-001-006Venter-C-S/JHE-SI-14-01-001-006-Venter-C-S-Text.pdf, [18 Februari 2011].
Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno FG, Wida WA, dan Weni. W. 2003. Mikroflora Usus dan Yoghurt. M-Brio Press, Bogor. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yulianis N. 2004. Pemanfaatan Tepung Ampas Tahu Dalam Pembuatan Minuman Fermentasi Probiotik dengan Starter Lactobacillus Casei. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 1. Jumlah Total BAL pada Kultur Induk dan Starter Kultur Induk
Kultur Starter
U1
U1
Pengenceran U2
U2
-8
5
8
42
44
10-7
82
66
443
484
-6
711
712
2592
10
10
Jumlah (cfu/ml)
7.4 x 10
8
4.85 x 10
2416 9
Contoh perhitungan : kultur induk
= 7.4 x 108 *Jumlah koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 25-250
52
Lampiran 2. Contoh Form Uji Organoleptik Ranking Hedonik Uji Rangking Hedonik Produk : Susu Fermentasi Nama :
Tanggal :
Petunjuk Urutkan tingkat kesukaan Anda terhadap tiga sampel minuman fermentasi di bawah ini berdasarkan atribut sensori yaitu aroma, rasa, tekstur, dan overall. Lakukan pencicipan sampel dengan mengambil sampel pada cup menggunakan sendok yang tersedia lalu letakan pada sendok Anda. Untuk pengujian terhadap atribut aroma, dekatkan sampel pada indra penciuman. Untuk pengujian terhadap atribut rasa dan tekstur letakkan sampel pada lidah Anda dan rasakan selama 10 detik. Berikan penilaian Anda dengan membandingkan ketiga sampel tersebut kemudian berilah nilai 1 untuk sampel yang paling Anda sukai hingga nilai 3 untuk sampel yang paling Anda tidak sukai. Anda diperbolehkan mencicip ulang sampel-sampel tersebut sebelum anda melakukan penilaian. Aroma Kode
Rasa Rangking
Tekstur Kode
Kode
Rangking
Overall Rangking
Kode
Rangking
Komentar:.................................................................................................................... ............................... .................................................................................................................................................................... .................................................................................................................................................................... ..............................................................................................................................
53
Lampiran 3. Contoh Form Uji Organoleptik Rating Hedonik UJI RATING HEDONIK Nama : Tanggal : No. Hp : Sampel : Yoghurt pisang sinbiotik Instruksi : 1. Lakukan pencicipan sampel satu persatu secara berurutan dari kiri ke kanan dengan mengambil sampel pada gelas menggunakan sendok yang tersedia lalu letakan pada sendok Anda. 2. Untuk pengujian terhadap atribut rasa dan tekstur letakkan sampel pada lidah Anda dan rasakan selama 10 detik. Untuk pengujian terhadap atribut aroma, dekatkan sampel pada indra penciuman. 3. Berikan penilaian Anda terhadap tekstur, aroma, rasa, dan overall sampel dengan menuliskan angka 1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka 2 = tidak suka 5 = agak suka 3 = agak tidak suka 6 = suka 4. Setelah selesai menilai, netralkan lidah Anda dengan meminum air mineral dan diamkan selama 5 detik. Demikian seterusnya hingga sampel terakhir. Kode
Tekstur
Aroma
Rasa
Overall
Komentar:……………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………… ……………….
54
Lampiran 4. Hasil Uji Rangking Pada Tahap Optimasi Puree Pisang pada Pembuatan Yoghurt Sinbiotik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Aroma 5% 10% 20% 2 1 3 2 1 3 3 2 1 1 2 3 3 2 1 3 1 2 3 2 1 1 2 3 3 2 1 2 1 3 3 2 1 1 3 2 3 1 2 2 3 1 1 3 2 1 2 3 2 1 3 1 2 3 3 2 1 3 1 2 1 2 3 1 2 3 1 3 2 2 3 1 1 2 3 2 3 1 1 3 2 1 3 2 2 1 3 2 3 1 2 3 1 2 3 1 3 2 1 2 3 1 2 1 3 1 2 3 3 2 1 1 3 2 3 1 2 1 2 3 2 3 1
Tekstur 5% 10% 20% 3 2 1 1 2 3 3 1 2 1 2 3 2 1 3 3 2 1 3 1 2 1 3 2 3 2 1 1 2 3 2 3 1 1 2 3 1 3 2 3 2 1 2 1 3 1 2 3 2 3 1 2 1 3 2 3 1 3 1 2 1 2 3 1 2 3 1 3 2 1 2 3 2 3 1 1 2 3 1 3 2 1 3 2 1 3 2 3 1 2 3 2 1 1 3 2 1 2 3 3 2 1 1 3 2 1 3 2 3 2 1 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 1
5% 3 2 2 3 3 3 3 3 2 1 2 1 1 3 2 1 3 2 2 3 1 1 2 1 2 1 1 2 2 2 2 2 2 3 1 1 1 3 3 1 2
Rasa 10% 1 1 3 1 2 1 2 2 3 2 3 2 2 1 1 2 1 1 3 2 2 2 3 3 3 3 3 3 1 3 3 1 1 2 3 2 3 2 1 2 1
20% 2 3 1 2 1 2 1 1 1 3 1 3 3 2 3 3 2 3 1 1 3 3 1 2 1 2 2 1 3 1 1 3 3 1 2 3 2 1 2 3 3
Keseluruhan 5% 10% 20% 3 1 2 1 2 3 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 2 1 2 3 1 3 2 1 1 2 3 2 3 1 1 2 3 3 1 2 3 1 2 1 2 3 1 2 3 3 1 2 1 2 3 3 2 1 3 1 2 1 2 3 1 2 3 2 3 1 1 3 2 2 3 1 1 3 2 1 3 2 2 3 1 2 1 3 2 3 1 2 3 1 3 1 2 2 1 3 3 2 1 1 3 2 1 2 3 3 2 1 2 1 3 2 1 3 1 2 3 2 3 1
55
No 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 Total Ratarata
Aroma 5% 10% 20% 3 2 1 1 2 3 1 2 3 3 1 2 3 2 1 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 2 1 3 2 1 2 1 3 3 1 2 2 1 3 1 2 3 3 2 1 1 2 3 1 2 3 3 1 2 1 2 3 3 1 2 3 1 2 1 3 2 2 3 1 2 3 1 3 2 1 1 3 2 2 1 3
Tekstur 5% 10% 20% 3 1 2 1 2 3 1 2 3 3 1 2 1 3 2 1 2 3 3 1 2 3 1 2 3 2 1 3 2 1 1 2 3 3 1 2 3 1 2 3 1 2 2 1 3 1 3 2 1 2 3 2 1 3 2 3 1 1 2 3 1 2 3 2 1 3 3 2 1 1 2 3 1 2 3 3 2 1 3 1 2 1 2 3 1 2 3
5% 3 3 1 3 3 1 3 3 3 3 1 3 2 3 2 2 3 2 2 1 1 2 3 3 3 3 3 1 2
Rasa 10% 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 1 1 1 3 2 1 3 2 2 1 2 1 1 1 2 2 3
20% 2 2 3 2 1 3 2 1 2 1 3 1 3 2 3 1 1 3 1 3 3 3 1 2 2 2 1 3 1
Keseluruhan 5% 10% 20% 3 1 2 3 1 2 1 2 3 3 1 2 3 2 1 1 2 3 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 2 1 2 1 3 3 1 2 2 1 3 3 1 2 2 1 3 1 3 2 3 2 1 2 1 3 2 3 1 1 2 3 1 2 3 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 2 1 1 2 3 1 3 2
144
137
139
128
139
153
149
131
140
150
129
141
2.06
1.96
1.99
1.83
1.99
2.19
2.13
1.87
2.00
2.14
1.84
2.01
Keterangan : 1 = Paling disukai 2 = Netral 3 = Paling tidak disukai
56
Lampiran 5. Hasil Uji Rating pada Tahap Optimasi Inulin Komersial pada Pembuatan Yoghurt Sinbiotik dengan Menggunakan ANOVA dan Uji lanjut Duncan. HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT OVERALL
57
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT TEKSTUR
58
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT AROMA
59
HASIL EVALUASI SENSORI ATRIBUT RASA
60
Lampiran 6. Hasil Analisis Proksimat Yoghurt Sinbiotik 1.
Kadar Air
Ulangan 1 (A)
Berat cawan (g) 4.3931
Berat awal sampel (g) 5.0147
Berat setelah di oven (g) 8.6277
Berat akhir sampel (g) 0.7801
Kadar air (%) 84.44
1 (B)
4.6071
5.0234
8.8495
0.7810
84.45
2 (A)
32.5251
2.2393
32.8727
0.3476
84.48
2 (B)
31.4585
2.3396
31.8223
0.3638
84.45
Rata-rata
84.46
Contoh perhitungan kadar air yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 84.44% 2.
Kadar Abu
1 (A)
Berat cawan (g) 19.7133
Berat awal sampel (g) 2.0504
Berat setelah di tanur (g) 19.7285
Berat abu (g) 0.0152
Kadar abu (%) 0.74
1 (B)
20.8423
2.0672
20.8579
0.0156
0.75
2 (A)
20.3831
2.0496
22.4170
0.0157
0.76
2 (B)
18.3222
2.0332
20.3401
0.0153
0.75
Ulangan
Rata-rata
0.75
Contoh perhitungan kadar abu yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.74%
61
3.
Kadar Protein
1 (A)
Berat sampel (g) 0.4337
Titrasi sampel (ml) 3.90
1 (B)
0.4420
2 (A) 2 (B)
Ulangan
0.090
Blanko (ml) 0.15
3.98
0.090
0.15
2.79
0.4453
4.01
0.090
0.15
2.79
0.4380
3.95
0.090
0.15
2.79
N HCl
K. Protein (%)
Rata-rata
2.78
2.79
Contoh perhitungan kadar protein yoghurt sinbiotik ulangan 1 (A) :
= 0.4359
= 2.78% 4.
Kadar Lemak
Ulangan
Berat sampel awal (g)
Berat cawan (g)
Berat setelah di oven (g)
1 (A)
2.1857
37.4156
37.4199
Berat sampel akhir (g) 0.0043
K. Lemak (%) 0.20
1 (B)
2.3795
38.5468
38.5499
0.0031
0.13
2 (A)
2.0421
37.9045
37.9089
0.0044
0.22
2 (B)
2.1063
39.1099
39.1145
0.0046
0.22
Rata-rata
0.20
Contoh perhitungan kadar lemak yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.20%
62
5.
Total Asam tertitrasi
1 (A)
V. contoh (ml) 10
V. NaOH (ml) 0.65
Ulangan
0.1228
Total Asam Tertitrasi (%) 0.7183
N NaOH
1 (B)
10
0.65
0.1228
0.7183
2 (A)
10
0.63
0.1228
0.6963
2 (B)
10
0.68
0.1228
0.7515
Rata-rata
0.7211
Contoh perhitungan TAT yoghurt sinbiotik ulangan 1(A) :
= 0.7183 %
63
Lampiran 7. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat selama 14 hari
Hari ke 0
10-7 350
26
354
46
3 5 7 10 12 14
10-8
10-9
jumlah BAL (cfu/ml) 3.6 x 109
67
8
72
26
84
9
85
1
416
55
412
68
612
82
7
620
25
9
356
44
3
351
30
7
410
56
15
424
56
10
7.9 x 109 8.5 x 109 6.1 x 109 5.3 x 109 3.7 x 109 4.1 x 109
64
Lampiran 8. Gambar Hasil Uji Total Bakteri Asam Laktat dari Hari ke-0 sampai ke-14 Hari ke-0 108
Hari ke-3 108
Hari ke-5 108
109
65
Hari ke-7 107
108
Hari ke-10 107
188
109
Hari ke-12 107
188
109
Hari ke-14 107
188
109
66
Lampiran 9. Hasil Uji Koliform Hari ke-0 dan Hari ke-14 Hari
Pengenceran
Ke-0
10-0 10-1 10-2 10-3 10-0 10-1 10-2 10-3
Ke-14
1 -
Koliform 2 -
3 -
Hasil Kuantitatif (MPN/g) < 3.0
< 3.0
67
Lampiran 10. Hasil Uji Koliform pada Media BGLBB
Hari ke-0
Hari ke-14
Keterangan: seluruh tabung negatif koliform
68