FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
Oleh : ALEX ABDI CHALIK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Juni 2011
Alex Abdi Chalik P062034084
ABSTRACT Alex Abdi Chalik. 2011. Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani as members. Solid waste is still considered as worthless goods, so that it is still causing many problems. The purpose of this study is to formulate a sustainable urban waste management policy. The study was conducted in DKI Jakarta. The research is devided into four stages of analyses which include the availability and needed of land for a solid waste treatment, waste treatment technology optimization analysis of environmentally friendly, multi-criteria evaluation and policy analysis. Indonesia has many waste management policy, but not synergize together and not yet operational. Solid Waste management in DKI Jakarta has led to efforts to minimize waste, and waste reduction programs integrated between recycling, composting, combustion (incineration) and waste disposal system with a system of sanitary landfills, and will be pursued to zero waste program. DKI Jakarta needs to improve management efficiency and improved quality of service to the community, one with separation of regulator and operator functions, but managed by one institution to improve its performance and to cover the financing gap, ideally to cooperate with the private sector. The result of regression analysis shows a significant effect of economic growth in waste generation and characteristics. Increased in prosperity will increase the amount of inorganic waste, and lower amount of organic waste. Increased inorganic waste will increase the calorie content which is more beneficial if done with incinerator waste to energy (WTE), while providing the understanding that the waste is a resource that can be utilized as an energy alternative to electricity. Production of electricity from WTE incinerator is influenced by the calorie content, and type of waste. WTE incinerators have the advantage in processing speed and the required land area, but WTE incinerator required high initial investment. The result of CBA analysis shows that WTE incinerator is more expensive, but it is the most cost effective in the long term (25 years). The variables have a very strong influence on the cost of processing waste is waste transportation costs. In the context of environmental, sanitary landfill waste treatment system, which is placed far away from services area, can lead to a much larger greenhouse gases and generate leachate. The existence of designated land use and changes that are uncontrolled by DKI Jakarta complicate the placement of garbage processing unit. WTE technology or HRC which indoor system is more acceptable to local communities, compared to the open SLF. Incinerator technology is more efficient for processing large scale with a capacity of more than 500 tons / day, with the optimal point on the capacity of 3000 tons / day, which is supported by segregation. Organic waste treatment system is most optimal at high-rate composting system (HRC). WTE processing unit and HRC, should be placed in administrative of DKI. The sensitivity analysis shows that if the government would buy in a good price the electricity production and energy from solid waste, will raise the level of feasibility WTE incinerator system. Implementation of WTE incinerator technology, need to involve the private sector. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC
RINGKASAN Alex Abdi Chalik. 2011. Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibawah bimbingan Bibiana W. Lay sebagai ketua dan Akhmad Fauzi dan Etty Riani sebagai anggota. Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi sentra kebijakan pemerintah yang mengikat. Padahal tanpa penanganan yang baik, sampah dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan, seperti berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan serta dapat menimbulkan konflik spasial seperti konflik lahan dan wilayah lainnya. Tujuan umum penelitian ini untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta; menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan; serta menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dari November 2005hingga akhir 2010. Penelitian dibagi menjadi empat tahapan yakni analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah, analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, multi kriteria evaluasi dan analisis kebijakan. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah system sanitary landfill (SLF), insinerator waste to energy (WTE) dan High rate composting (HRC). Perhitungan dilakukan dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program exel. Analisis Ketersediaan lahan dilakukan dengan mempergunakan data perubahan pemanfaatan lahan di DKI Jakarta. Penelitian ini juga membandingkan opsi-opsi teknologi sistem pengolahan sampah secara parsial maupun terintegrasi dengan melakukan perhitungan cost benefit analysis (CBA). Optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, dilakukan melalui tahapan pendefinisian obyek penelitian, mengidentifikasi dampak, menentukan dampak yang relevan secara ekonomi, mengkuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai, melakukan valuasi moneter dari dampak yang relevan, melihat discounting dari aliran cost dan benefit, uji NPV dan uji sensitifitas. Selanjutnya dilakukan multi kriteria evaluasi dengan bantuan program TOPSIS, untuk memilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta yang paling optimal antara sistem HRC, WTE incinerator, dan SLF, baik secara individual maupun terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik. Di samping itu juga dilakukan analisis dengan sistem dinamik untuk melihat kecenderungan jangka panjang, dengan bantuan program Vensim. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Usaha ini diharapkan mampu mengurangi volume pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir di TPA yang dapat menurunkan biaya transportasi dan pengolahan sampah. Selain itu juga memperkenalkan program zero waste melalui sistem pengolahan sampah terpadu dengan mengaplikasikan pengolahan sampah daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insenerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill. Hasil analisis
menunjukkan bahwa aplikasi teknologi yang dipergunakan tidak didasarkan pada kajian kelayakan baik aspek teknis, keuangan maupun lingkungan, sehingga sistem pengolahan yang dilakukan tidak dapat mencapai tingkat keberlanjutan. Penelitian memperlihatkan bahwa perlu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dengan cara memisahkan fungsi regulator dan operator. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh satu institusi akan lebih baik dari pada dilakukan oleh beberapa institusi dalam satu wilayah yang sama, untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, terjadinya saling lempar tanggung jawab, dan lebih mudah mengukur kinerjanya. Pada pengelolaan sampah perlu melibatkan sektor swasta sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam pengelolaan sampah dan dapat menutupi kesenjangan pembiayaan Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator WTE. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik. Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar 2.146 kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 MW, dan jika ada pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan komposting, akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar 3.044 kkal/kg sehingga produksi listrik untuk 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, perlu investasi awal (initial investment ) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan investasi Rp 3.575 milyar, sedangkan sanitary landfill Rp 983 Milyar, dan high rate composting Rp1.863 Milyar. Walau mahal, namun insinerator mempunyai keunggulan yakni pengolahannya cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, serta dapat mengolah sampah B3 yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri. Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp 346.610,- /ton sedangkan SLF Rp 419.200,- dan komposting Rp 294.940,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp 289.520,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual. Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill
menjadi lebih mahal dibanding sistem HRC maupun WTE yang ditempatkan di Wilayah DKI Jakarta. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan komposting bio fertilizer ataupun insinerator WTE Adanya penggunaan dan perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali, Di DKIJ menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km) biaya angkutan sampahnya mencapai Rp 6.000,-/ton/km, serta mencemari lingkungan mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO2, sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi 13.009 ton/th untuk timbulan sampah 3000 ton/hari. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Hal ini disebabkan frekwensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Selain itu pengolahan sampah dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah yag sangat menghawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija). Pengolahan sampah dengan teknologi insinerator, akan lebih effisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah organik dilakukan pengolahan dengan sistem high rate composting (HRC). Dalam rangka menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya unit pengolahan sampah ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, sehingga dapat meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Selain itu hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa semakin besar skala pengolahan sanpah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi insinerator WTE, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE. Dalam rangka mendorong keterlibatan sektor swasta pada pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE, diperlukan dukungan pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi bagi swasta dengan
bunga rendah (BI rate), mengingat intial investment yang tinggi dari aplikasi teknologi WTE Insinerator.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH PERKOTAAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: DKI JAKARTA)
Oleh : ALEX ABDI CHALIK P062054714
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Disertasi : Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta) Nama
: Alex Abdi Chalik
NIM
: P062034084
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Bibiana Widiati Lay, MSc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc.
Dr. Ir. Etty Riani, MS.
Anggota
Anggota
Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.Sc.
Tanggal ujian: 1 Juli 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr.
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih sebagai obyek penelitian dalam disertasi ini adalah Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan dengan mengambil studi kasus di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai yang dihadapi oleh pemerintah, baik di kota sedang, kota besar maupun di Kota Metro, seperti DKI Jakarta. Telah banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun persoalan pengolahan sampah tidak pernah dapat diselesaikan. Data menunjukkan bahwa hampir semua pemerintah kota mengalami kegagalan dalam melakukan pengelolaan sampah, terutama pada sistem pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Kondisi ini juga dialami oleh pemerintah DKI Jakarta, sehingga beberapa kali DKI Jakarta menghadapi berbagai keluhan dan protes dari masyarakat agar DKI segera menutup tempat pengolahan sampahnya yang diletakkan di luar wilayahnya. Di samping persoalan tersebut, terdapat sebagian masyarakat yang memiliki cara pandang keliru, yakni memandang sampah sebagai benda yang tidak memiliki manfaat. Cara pandang yang demikian ini menjadi pemicu timbulnya penyakit NIMBY (not in my back yard syndrome), sehingga sampah kurang maksimal dimanfaatkan dan harus dibuang menjauh dari halaman rumahnya, dan tidak perduli dengan dampak yang akan ditimbulkan dari cara yang salah dalam pembuangan sampah. Penelitian ini memperlihatkan bahwa sampah memiliki peran dalam menghasilkan produksi energi yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Selain itu sampah juga menjadi alternatif sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi secara langsung ataupun tidak langsung bagi terselesaikannya disertasi ini. Penulis dibantu oleh berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini, namun demikian kesalahan yang mungkin terjadi menjadi tanggung jawab penulis. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah pegolahan sampah di perkotaan dan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya penulis sampaikan kepada para pembimbing, Prof. Dr. Bibiana W. Lay, MSc, sebagai ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc. dan Dr. Ir. Etty Riani,
masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Tanpa arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan disertasi ini, sulit dibayangkan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan IPB, yaitu Rektor IPB, Dekan Pasca Sarjana, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sunber Daya Alam dan Lingkungan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkulihan di IPB. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan pada rekan-rekan satu angkatan PSL IPB atas dorongan dan kerjasamanya. Dengan dukungan dan dorongan rekan-rekan seangkatan, maka studi S-3 di PSL-IPB ini dapat penulis jalani dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam mendukung penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan untuk Almarhum Ir. Lukamanul Hakim, yang telah banyak memberikan data dan bantuan selama penulisan disertasi ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri (Erina Prihati, BA) dan ketiga anak (dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi) atas kasih dan dukunganya selama penulis menjalani hari-hari yang mengurangi waktu untuk berbagi bersama keluarga. Tanpa pengertian dan dukungan isteri dan anak-anak tercinta, tidak mungkin disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik berkat dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya, apabila di dalam penulisan disertasi ini terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Semoga Allah,Swt, melimpahkan rahmatNya, bagi semua pihak yang telah membantu penulis.
Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Banyuwangi Jawa Timur tanggal 18 Agustus 1955 sebagai anak ke 3 dari 5 bersaudara, pasangan H. Hasan Soleh dan Hj. Alwijah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1982. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1989 pada Program Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung dan Program Studi Magister Manajemen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha di Jakarta pada tahun 1988. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mulai bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1983, dari tahun 1985 - 1992 menjadi Deputy Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Jawa Timur, Pada tahun 1992 - 1995 menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Sulawesi Utara, Pada tahun 1995 - 1997 menjadi Project Manager Proyek Air Bersih Provinsi Bali, Pada tahun 1997 - 2000 menjadi Project Manager Perencanaan dan Pengendalian Program Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya di Jakarta, Pada tahun 2000-2001 menjadi Analis Kebijakan Bidang Air Limbah pada Kementerian Negara Pekerjaan Umum, Pada tahun 2001 - 2004 menjadi Project Manager Capacity Building in Urban Infrastructure Management, Direktorat
Jenderal
Cipta Karya, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pada tahun 2005 - 2006 ditetapkan sebagai pejabat fungsional Teknik Penyehatan Lingkungan di Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun 2006 - 2007 ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Air Limbah, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Pada tahun 2007 - 2010 sebagai Kepala Sub Direktorat Investasi Air Minum, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, Pada tahun 2010 – sekarang ditetapkan sebagai Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis, Direktorat Pengembangan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1983 penulis menikah dengan Erina Prihati, BA dan telah dikaruniai dua orang putri dan satu orang putra yakni dr. Arinda Putri Pitarini, Adrianto Putra Prasetyo, SE, M.Bus, dan drg. Arianita Putri Pratiwi.
Bogor, Juni 2011 Alex Abdi Chalik
DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel…………………………………………………………………………
iii
Daftar Gambar……………………………………………………………………….
vi
Daftar Lampiran………………………………………………...................................
viii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1.1. Latar Belakang…………………………………....……….............................. 1.2. Tujuan Penelitian…………………………...................................................... 1.3. Kerangka Pemikiran…………………………………..................................... 1.4. Perumusan Masalah………………………………………………………….. 1.5. Manfaat Penelitian …………………………………………………………. 1.6. Novelty (kebaruan)……………………………… …………………………...
1 1 6 7 8 11 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 2.1. Pengelola Sampah Perkotaan………………………………………………… 2.2. Teknologi Pengolahan Sampah………………………………………………. 2.3. Multi Kriteria Evaluasi (multy criteria evaluation)………………………….. 2.4. Cost-Benefit Analysis (CBA) ……………………………………………….. 2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan……………………………………... 2.6. Kebijakan ……………………………………………………………............
14 14 18 36 38 38 41
BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………………........... 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………………... 3.2. Rancangan Penelitian ……………………………………………….............. 3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah …………………………………………………... 3.2.2. Analisis Optimalisasi Teknologi Pengelolaan Sampah yang Ramah Lingkungan………………………………….……………..............….. 3.2.3. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) ...………………. 3.2.4. Analisis System Dynamic (sistim dinamik)…………………………..... 3.2.5. Analisis Kebijakan…………………………………………..................
45 45 45
BAB IV. HASIL PEMBAHASAN…………………………………………………. 4.1. Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian…….. 4.2. Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta ……………………………… 4.2.1. Komposisi Sampah………………………………………….................. 4.2.2. Karakteristik Sampah………………………………………………….. 4.2.3. Sampah B3 (Bahan berbahaya dan beracun)…………………………... 4.2.4. Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase dan Sungai……....... 4.3. Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah..... 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan…………………....... 4.3.2. Kebutuhan Lahan Sebagai Tempat Pengolahan Sampah……………… 4.4. Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat Terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah…………………………………………………………. 4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan sampah…………………………… 4.5.1. Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah....................
55 55 55 58 64 70 72 73 73 77
i
45 48 51 53 53
80 86 88
4.6. 4.7. 4.8.
4.5.2. Analisi Dampak Lingkungan ..................................................………… 95 4.5.2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sistem Pengolahan Sampah SLF..... 95 4.5.2.2. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah WTE............... 97 4.5.2.3. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah HRC ............... 98 4.5.2.4. Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi ………… 99 Analisis Sensitivitas (Sensitivity Analysis) ................................................................... 100 Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) .................................................... 102 102 Analisis sistem dinamik ……………………………………………………... 108
BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN………………………………………………… 5.1. Implementasi Kebijakan Pengolahan Sampah DKI Jakarta ………………… 5.1.1.Insinerator Skala Kecil…………………………………………………. 5.1.2.Komposting dan Daur Ulang……………………………….................... 5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah…………………………………… 5.2.1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah.......…………………………. 5.2.2. Parisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah………………………………………………………………… 5.2.3. Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah…………. 5.2.4. Institusi Pengelola Sampah……………………………………............. 5.2.5. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah dengan Swasta….....................................................................................
115 115 116 118 122 122 126 129 131 132
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………… 133 Kesimpulan…………………………………………………………………… 133 Saran………………………………………………………………….............. 136 DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………... 137
LAMPIRAN ………………………………………………………………………… 144
ii
DAFTAR TABEL
Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Halaman
Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill ...................................................... 21 107 Prakiraan kerusakan akibat emisi dari landfill ............................................................... 21 107 Distribusi terbentuknya gas yang di amati selama 48 bulan setelah penutupan sel........ 107 25 Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi ................... 25 107 Kadar biodegradable sampah organik ............................................................................ 26 107 Prakiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator ........................................................ 35 107 GWP untuk beberapa GRK terhadap CO2 ..................................................................... 36 107 PDRB per kapita Kota DKI Jakarta ............................................................................... 41 107 Tipologi kota berdasarkan ekonomi-lingkungan ........................................................... 42 107 Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri ................................................................................................... 43 107 Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah ............................ 48 107 Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun 2005 ................................ 57 107 Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 ..................................................... 57 107 Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah ......................................................... 58 107 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi ......................... 55 107 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah .................. 59 107 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah ......................... 59 107 Komposisi sampah dari pasar tradisional ...................................................................... 60 107 Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) moderen ...................................................... 60 107 Komposisi sampah dari perkantoran .............................................................................. 61 107 Komposisi sampah dari sekolah ..................................................................................... 61 107 Komposisi sampah industri ............................................................................................ 62 107 Komposisi sampah rata-rata di wilayah DKI Jakarta ..................................................... 63 107 Timbulan sampah di DKI Jakarta, tahun 2005(dalam m3) ............................................. 63 107 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKIJ ...................... 66 107 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT ........................................................................ 67 107 Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta ....................................................... 64 107 Karakteristik sampah rata-rata di DKIJ ......................................................................... 64 107 Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta ................................................................. 69 107 Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta .................................................................................................................... 71 107 Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah ...................................... 71 107 Jumlah penduduk dki jakarta hasil susenas 2008 ........................................................... 74 107 Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 .............................................. 76 107 Perubahan luas taman di DKI Jakarta ............................................................................ 79 107 Perubahan luas taman di DKI dari tahun 2004 - 2006 .................................................... 79 107 Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah ................................. 81 107 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta .................................................................................................................... 81 107 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik ........................................ 82 107 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik ..................................... 83 107 Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah ........................................... 94 107 iii
41. 42. 43. 44. 45.
Emisi transportasi sampah ke unit SLF .......................................................................... 97 107 Emisi GRK pengolahan sampah di unit SLF .................................................................. 97 107 Emisi trasnportasi sampah ke unit WTE......................................................................... 98 107 Emisi GRK pengolahan sampah ke unit WTE ............................................................. 95 107 Emisi transportasi sampah ke unit HRC ........................................................................ 99
46 47. 48.
Emisi pengelolaan sampah di unit HRC ......................................................................... 99 107 Produksi listrik pada unit WTE.......................................................................................100 Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengelolaan sampah ................ 107 100 Analisis sensivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% ....................................................102 107 Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 500 ton/hari……………………………………………………………………... 105 Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi pengolahan sampah kapasitas 3.000 ton/hari……………………………………………………………………….. 106 Kondisi insinerator skala kecil...................................................................... 120 Unit-unit komposting di Kota Jakarta…………………………………… 121
49. 50. 51. 52. 53. 54
Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting.................................................................................................
121
56
Keuntungan dan kerugian dalam pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta ............................................................................................................ Pertumbuhan PDRB perkapita DKI Jakarta .................................................
128 130
57
Gini rasio Provinsi DKI Jakarta ..................................................................
130
55
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Timbulan sampah DKI Jakarta ...................................................................................... 107 7 2. Bagan alir kerangka pemikiran ..................................................................................... 107 9 3. Bagan alir pola pikir penelitian ..................................................................................... 12 107 4. Sistem pengelolaan sampah ......................................................................................... 15 107 5. Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan ............................................ 16 107 6. Sistem pengolahan sampah terintegrasi ....................................................................... 16 107 7. Proses input dan output pada landfill ............................................................................ 19 107 8. Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill ................................................ 20 107 9. Tahapan perubahan gas pada landfill ............................................................................ 24 107 10. Grafik pembentukan gas selama lebih dari lima tahun untuk sampah organik 27 yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill .................................. 107 11. Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill .................... 28 107 12. Proses input dan output pada composting ..................................................................... 32 107 13. Proses input dan output pada incinerator ..................................................................... 35 107 14. Diagram Kuznet… ......................................................................................................... 39 107 15. Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan ................................................................................................................... 49 107 16. Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta…………………………... 54 17. Skematik diagram pengelolaan sampah DKI Jakarta .................................................... 56 107 18. Proyeksi jumlah penduduk DKI Jakarta ........................................................................ 75 107 19. Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta ........................................................................ 75 107 20. Perubahan penggunaan lahan DKI Jakarta 1972 - 2002 ............................................... 77 107 21. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik ............................................ 83 107 22. Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik ........................................ 84 107 23. Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun ..................... 85 107 24. Biaya pengolahan sampah ............................................................................................. 93 107 25. Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah ........................................... 94 107 26. Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi ......................................100 107 27. Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh ..............................................101 107 28. Analisis sensitivitas jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km ...............................................................................................................101 107 29. Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12% .................................................102 107 30. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari………………… 106 31. Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 3.000 ton/hari ....................... 107 32. Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta ………………………………..
108
33. Perkembangan PDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang …….......
109
34. Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang ………………………
109
35. Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah …………………………
110
36. Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivitas monte carlo.
111
37. Hasil monte carlo timbulan sampah …………………………………………
112
38. Hasil analisis monte carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita ……………
113
39. Hasil analisis monte carlo untuk unit cost pengolahan sampah ……………...
114
v
40. Sistem pengolahan sampah di DKI saat ini ………………..............................
124
41. Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi…………..
125
42. Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang... 43. Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah................................
125 127
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Analisis biaya investasi pengolahan sampah......................................................
144
2. Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 500 ton/hari.....................................
150
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 1.000 ton/hari...................
151
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 2.000 ton/hari...................
152
2. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek SLF kapasitas 3.000 ton/hari...................
153
3. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas 500 ton/hari................................................................................................................
154
3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
155
1.000 ton/hari...................................................................................................... 3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
156
2.000 ton/hari...................................................................................................... 3. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dan SLF residu kapasitas
157
3.000 ton/hari...................................................................................................... 4. Analisis NPV biaya proyek integrasi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 250 ton/hari...........................................................................
158
4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu sampah terpilah kapasitas 500 ton/hari................................................... 4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu
159 160
sampah terpilah kapasitas 1.000 ton/hari................................................ 4. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi WTE dengan SLF residu
161
sampah terpilah kapasitas 1.500 ton/hari................................................ 5. Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu-
162
sampah belum terpilah kapasitas 250 ton/hari................................................... 5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu
163
sampah belum terpilah kapasitas 500 ton/hari........................................ 5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu
164
sampah belum terpilah kapasitas 1.000 ton/hari..................................... 5. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan SLF residu sampah belum terpilah kapasitas 1.500 ton/hari.....................................
vii
165
6. Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke WTE kapasitas 250 ton/hari..........................................................................................
166
6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
167
WTE kapasitas 500 ton/hari........................................................................... 6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
168
WTE kapasitas 1.000 ton/hari........................................................................ 6. Lanjutan Analisis NPV biaya proyek integrasi teknologi HRC dengan residu ke
169
WTE kapasitas 1.500 ton/hari........................................................................ 7. Ringkasan Analisis NPV biaya sistem pengolahan samapah ............................
170
8. NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
171
kapasitas 250 ton/hari ........................................................................................ 8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
172
kapasitas 500 ton/hari .......................................................................... 8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
173
kapasitas 1.000 ton/hari ....................................................................... 8. Lanjutan NPV biaya proyek HRC dengan residu ke WTE (sampah belum terpilah)
174
kapasitas 1.500 ton/hari ....................................................................... 9. NPV Biaya proyek –WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah belum
175
terpilah) kapasitas 375 ton/hari........................................................................... 9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi pengolahan
176
sampah belum terpilah) kapasitas 750 ton/hari.............................. 9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi sampah
177
belum terpilah) kapasitas 1.500 ton/hari............................................................. 9. Lanjutan NPV biaya proyek WTE + SLF residu (integrasi teknologi Sampah
178
belum terpilah) kapasitas 2.250 ton/hari............................................................. 10. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km ..........
179
10. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF residu 45 km........................................................................................................................
180
11. Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km ..........
181
11. Lanjutan Analisis sensitivitas harga listrik Rp 300/kwh, jarak SLF residu 45 km
182
..................................................................................................................
viii
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara
berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini daerah perkotaan di Kawasan Asia mengeluarkan US$ 25 milyar per tahun untuk pengelolaan 760.000 ton sampah per hari. Pengelolaan sampah diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 50 milyar pada tahun 2025 dengan proyeksi jumlah sampah sebesar 1,8 juta ton per hari (Horenwig dan Thomas, 1999). Perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada saat ini menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan pelayanan publik. Hal ini diakibatkan oleh tekanan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, baik pertumbuhan alamiah maupun akibat terjadinya arus urbanisasi.
Selain itu juga akibat pertumbuhan industri,
perumahan, fasilitas sosial, kurangnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, kurangnya kemampuan penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan dan pengelolaan infrastruktur, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Menurut laporan dari World Bank (2004) tentang kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia sangat tertinggal dengan negara-negara lain di kawasan Asia, sebagai contoh dalam hal pelayanan fasilitas air bersih, baru 34% dari total penduduk perkotaan yang terlayani. Pada sektor sanitasi, situasi yang dihadapi jauh lebih buruk lagi bahkan sangat sulit, sehingga hanya 1,3% dari total penduduk Indonesia yang mendapatkan pelayanan air limbah melalui sistem perpipaan (off site sanitation). Hampir seluruh kota-kota di Indonesia menghadapi permasalahan dalam pengolahan dan pemusnahan sampah, sehingga mencemari lingkungan. Kondisi buruknya pelayanan sanitasi di Indonesia memberikan dampak ekonomi yang sangat substansial. Menurut evaluasi dari ADB (1998) dampak sosial (social cost) akibat tidak memadainya sanitasi mencapai US$ 4,7 juta per tahun, atau kurang lebih 2,4% dari GDP tahunan Indonesia. Dampak ini setara dengan hampir Rp.100.000,- per rumah tangga setiap bulan, untuk setiap rumah tangga di Indonesia. Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk memperbesar biaya pengobatan atau kehilangan produktivitas para pekerja (ADB, 1998).
2
Pada umumnya pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia menghadapi permasalahan-permasalahan sejak dari penempatan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan pengolahannya.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Cipta Karya (1988) terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan sampah perkotaan, antara lain: aspek teknis, operasional, partisipasi masyarakat, institusi, keuangan, dan aspek legal. Masalah pokok dalam aspek teknis operasional antara lain: (1) Peningkatan laju timbulan sampah yang kurang diantisipasi dengan peningkatan prasarana dan sarana persampahan; (2) Rendahnya tingkat pelayanan khususnya di pasar dan daerah kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung pada kesehatan masyarakat; (3) Usaha pengurangan volume dan pemanfaatan sampah masih belum memadai; (4) Pembuangan dan pengolahan akhir sampah masih belum memadai khususnya karena terletak pada lokasi yang kurang memenuhi syarat dan secara operasional dilakukan secara open dumping. Kondisi ini mengakibatkan terjadi beberapa kasus pencemaran lingkungan, seperti yang disebabkan oleh rembesan air lindi (leacheate), lalat, kebakaran dan asap. Selain itu aktivitas pemulung menyulitkan operasi pemadatan dan penutupan sampah. Dalam hal kebijakan, pengelolaan sampah juga menghadapi berbagai masalah. Masalah pokok dalam aspek kebijakan (pengaturan) antara lain: (1) Belum lengkapnya peraturan yang mengatur masalah persampahan; (2) Belum lengkapnya peraturan daerah yang secara pokok mengatur institusi, ketentuan umum kebersihan serta retribusi sampah; (3) Lemahnya pelaksanaan peraturan daerah (perda) termasuk pelaksanaan sangsi terhadap pelanggaran-pelanggaran. Pengelolaan sampah juga menghadapi masalah dalam hal institusi.
Masalah
pokok dalam aspek institusi antara lain adalah institusi pengelola masih banyak yang berbentuk Dinas Kebersihan yang memiliki kelemahan dalam pengelolaan anggaran operasi dan pemeliharaan.
Dinas kebersihan juga seringkali kurang dapat
mengembangkan sumber daya manusianya untuk lebih professional. Hal yang tidak kalah pentingnya yang dihadapi adalah masalah pembiayaan dan peran serta masyarakat. Masalah pokok dalam aspek pembiayaan antara lain adalah keterbatasan dana untuk biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan, sehingga sulit meningkatan kualitas maupun kuantitas pelayanan. Masalah pokok dalam aspek peran serta masyarakat adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat serta adanya pandangan masyarakat bahwa sampah sebagai bahan yang tidak berguna (garbage is garbage).
3
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) menghadapi masalah yang sama di dalam melakukan pengelolaan sampahnya.
Salah satu permasalahan yang sangat
menonjol adalah pengelolaan pada tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah (TPA) yang menimbulkan banyak masalah, terutama dalam hal luas wilayah, jumlah penduduk yang besar, dan masalah keterbatasan lahan yang memadai bagi TPA sampah. Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang DKI 2005 (1987) tentang kebutuhan TPA Sampah DKI sampai dengan tahun 2005.
Apabila di DKI Jakarta tidak dilakukan
perubahan terhadap sistem pengolahan sampah yang dilakukan saat ini, maka DKI memerlukan paling tidak luas lahan sebesar 500 hektar. DKI Jakarta merupakan kota terbesar dan terluas di Indonesia, sebagai kota metropolitan, DKI Jakarta memiliki luas area sebesar 66.000 hektar. Berdasarkan S.K. Gubernur DKI Jakarta No.1227 tahun 1989 luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berupa daratan seluas 661,52 km2 (66.152 ha). Namun demikian kurang lebih 80% dari total wilayah Kota Jakarta sudah terbangun. DKI Jakarta juga memiliki jumlah penduduk yang berkembang sangat cepat. Pada tahun 1999 penduduk DKI berjumlah 7.831.520 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2% per tahun;
namun pada akhir tahun 2005 penduduk DKI
mencapai 9.041.605 jiwa, dan pada perioda tahun 2005 – 2008 pertumbuhan penduduk DKI mengalami penurunan menjadi 1,06 % pertahun, hal ini diperkirakan dipengaruhi oleh program keluarga berencana (BPS DKI 2010).
Pertumbuhan penduduk dan
perkembangan wilayah Jakarta dengan segala aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan yang harus dihadapi.
Salah satu
persoalan yang hingga saat ini masih menjadi persoalan besar bagi DKI adalah permasalahan pengolahan sampah yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, ramah lingkungan dan dapat dioperasikan dengan baik, sehingga menjadi sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable)”. Tempat membuang akhir sampah DKI Jakarta saat ini berada di luar wilayah DKI Jakarta.
Kebijakan penempatan pengolahan sampah DKI Jakarta didasarkan kepada
Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta tahun 1996. Rencana induk tersebut menetapkan kebijakan untuk membangun di dua lokasi tempat pengolahan sampah secara sanitary landfill yang terletak di luar wilayah DKI Jakarta yaitu TPA Bantar Gebang di wilayah Kota Bekasi yang dibangun pada tahun 1990, dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang dibangun pada tahun 1993. TPA Bantar Gebang akan melayani buangan
4
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi, sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kota Tangerang. Penetapan lokasi TPA ditentukan berdasarkan RTRW dan Rencana Induk Pengelolaan Sampah DKI Jakarta serta Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Regional antara Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (JABOTABEK). Kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat tersebut diatur oleh Peraturan Bersama Nomor: 1/DP/004/PD/1976/3 tahun 1976, tanggal 8 Mei 1976 dan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor:
593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986, Jo. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.116.P/AGR/DA/26-1987, mengenai Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas 108 Ha yang Terletak di Desa Ciketing Udik, Desa Sumur Batu, Desa Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang Kabupaten Bekasi untuk Keperluan Pembuangan Sampah dengan Sistem Sanitary Landfill kepada Pemerintah DKI Jakarta, yang terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor. Pada saat ini DKI hanya memiliki TPA sampah Bantar Gebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta. TPA Bantar Gebang yang direncanakan secara sanitary landfill ini, pada kenyataannya dioperasikan secara open dumping. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, sehingga Warga Bantar Gebang menuntut untuk menghentikan pengoperasian dan penutupan TPA ini. Pengelolaan TPA Bantar Gebang menimbulkan berbagai masalah dan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan, baik berupa pencemaran air bawah tanah, pencemaran udara berupa asap yang ditimbulkan dari terbakarnya sampah, timbulnya bau busuk, timbulnya lalat, nyamuk dan tikus yang keseluruhannya memberikan dampak (externalitas negatif) pada masyarakat yang bertempat tinggal pada radius hingga 10 kilometer dari TPA Bantar Gebang (Chalik, 2000). Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi TPA ini akan segera dihentikan pengoperasiannya pada akhir tahun 2005, dan akan digantikan dengan sistem pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong, Kabupaten Bogor.
TPST Bojong yang hendak dioperasikan oleh pemerintah DKI Jakarta juga
menghadapi masalah yang sama dengan TPA Bantar Gebang yaitu adanya penolakan warga. Alasan tidak menerimanya warga karena pengoperasian TPST tersebut akan lebih
5
banyak memberikan kerugian bagi masyarakat setempat seperti yang dialami oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA Bantar Gebang. Mengingat DKI Jakarta hingga saat ini masih belum mempunyai alternatif TPA, dan TPST Bojong juga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan DKI Jakarta, maka dilakukan berbagai negosiasi oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga TPA Bantar Gebang yang menurut perjanjian seharusnya sudah ditutup tahun 2005, hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh DKI Jakarta sebagai tempat pembuangan akhir sampah DKI Jakarta. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, mengharuskan Pemerintah DKI Jakarta untuk memikirkan ulang kebijakan dalam menempatkan TPA Sampah di luar wilayahnya. Oleh karena itu pada tahun 1999 pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW 2005 yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Pada kebijakan tersebut, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampah, seperti dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya, proses pengangkutanya maupun pengolahannya di tempat pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing
kotamadya,
secara
keseluruhan
ditetapkan
sebagai
berikut.
Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan pengolahan sampah di DKI Jakarta, pemerintah DKI di masa yang akan datang cenderung untuk menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya.
6
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, DKI Jakarta akan menggunakan berbagai teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Pada
dasarnya DKI memiliki kemungkinan untuk mengolah sampahnya di dalam wilayahnya sendiri dengan menggunakan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan integrasi teknologi pengolahan sampah. Ada beberapa pilihan teknologi pengolahan sampah yang dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah perkotaan antara lain sanitary landfill, incinerator, pyrolisis dan composting, yang masing-masing memiliki kelemahan (cost) dan keunggulan (benefit). Pemakaian teknologi tersebut secara individual dapat lebih menguntungkan bagi suatu kota tertentu, namun kurang menguntungkan bagi kota lainnya. Hal ini bergantung pada kondisi sosio ekonomi, luas wilayah, ketersediaan sumber daya, serta besaran dan karakteristik timbulan sampahnya. Dalam hal ini semakin luas dan besar suatu kota, semangkin kompleks pula persoalan yang ditimbulkan dalam pengelolaan sampah. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian optimasi integrasi sistem pengolahan sampah yang paling menguntungkan bagi suatu kota, baik dari aspek lingkungan, aspek sosial maupun aspek ekonomi. 1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan pengolahan
sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta
2.
Menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan.
3.
Menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Guna mencapai tujuan penelitan tersebut di atas diperlukan kajian antara lain:
1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah. 2. Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 3. Pengembangan model kebijakan pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di DKI Jakarta.
7
1.3.
Kerangka Pemikiran Pada akhir tahun 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai hampir 10 juta
jiwa, dan dengan laju pertumbuhan 0,17%, maka diperkirakan pada akhir tahun 2011 jumlah penduduknya akan mencapai 11 juta jiwa. Penduduk DKI Jakarta setiap tahunnya menghasikan sampah yang semakin meningkat selaras dengan pertambahan dan aktifitas penduduk. Sebagai contoh, pada tahun 1976 timbulan sampah DKI Jakarta sebesar 13.000 M3/hari, pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.500 M3/hari dan tahun 1988 mencapai 26.320 M3/hari, dan pada tahun 2010 jumlah timbunan sampah DKI Jakarta yang terdata mencapai 6.700 ton per hari. Sampah-sampah ini berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman dan saluran-saluran. Timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 kurang lebih 6.000 ton/hari dengan perincian seperti tercantum pada Gambar 1. Sedang pada tahun 2010 yang berdasarkan estimasi jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 11.241.111 jiwa, timbulan sampah DKI Jakarta mencapai 6.700 ton/hari, dan komposisinya bahan organik kurang lebih 55 persen, jenis kertas 21 persen, plastik 13 persen, dan bahan lain 11 persen.
Timbulan Sampah di DKI Jakarta Tahun 2005 (Ton/Hari) 538 ton/hari 84 ton/hari
1.641 ton/hari 3.178 ton/hari
319 ton/hari Permukiman
Pasar
240 ton/hari Sekolah
Perkantoran
Industri
Lain-lain
Gambar 1 Timbulan sampah DKI Jakarta Pada saat ini pembuangan dan pengolahan sampah DKI Jakarta dilakukan secara open dumping di TPA Bantar Gebang yang berada dalam wilayah kotamadya Bekasi, Propinsi Jawa Barat. TPA ini terletak 13 Km di sebelah selatan Kota Bekasi, dan kirakira 2 Km dari Jalan Raya Bekasi Bogor, dan berjarak 40 Km dari pusat Kota Jakarta.
8
Pengolahan sampah yang dilakukan pada saat ini disamping menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, yang merugikan bagi masyarakat di Kecamatan Bantar Gebang, juga memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang cukup besar, karena jarak angkut sampah dari pusat wilayah pelayanan di DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang jauh. Tingginya biaya operasional mengakibatkan DKI tidak mampu menyediakan biaya operasi yang diperlukan secara memadai untuk mengoperasikan TPA Bantar Gebang secara sanitary landfill. Akibat pengoperasian TPA secara open dumping ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada masyarakat (social cost). Kerugian tersebut antara lain adalah terjadinya gangguan kesehatan seperti terjadinya iritasi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit diarhe serta hilangnya kenyamanan lingkungan akibat bau busuk yang menyengat di sepanjang waktu, yang diterima oleh masyarakat yang bermukim di sekitar TPA hingga radius 10 Km dari TPA Bantar Gebang. Masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika dilakukan pengelolaan dan pengolahan sampah secara terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat pengolahan sampah dapat dilakukan dengan berbagai teknologi seperti sanitary landfill, composting, incineration (pembakaran dengan temperatur tinggi) ataupun pyrolisis. Namun demikian penggunaan dari masing-masing teknologi tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial. Penggunaan satu teknologi yang dipilih mungkin saja menguntungkan bagi suatu kota, namun dapat pula kombinasi dari penggunaan ketiga teknologi tersebut lebih menguntungkan. Hal ini bergantung pada situasi dan kondisi dari masing-masing kota. Namun yang menjadi permasalahan seberapa besar volume sampah yang harus diolah oleh masing-masing teknologi tersebut secara berkelanjutan, masih harus dilakukan penelitian dengan menggunakan model optimasi teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan.
Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan pada diagram pola pikir
pada Gambar 2. 1.4.
Perumusan Masalah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan pada saat ini, kurang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, dampak sosial dan masih menggunakan paradigma “sampah adalah sampah” yang tidak memiliki nilai ekonomi.
Sistem
pengolahan sampah di TPA dilakukan tanpa melalui pengolahan, atau dilakukan secara open dumping dengan tujuan untuk mendapatkan biaya pengolahan yang serendah-
9
PERTUMBUHAN
AKTIVITAS PERKOTAAN
EKONOMI PRASARANA & SARANA PERKOTAAN
PERTUMBUHAN PENDUDUK
SAMPAH
DAMPAK
GAP
EKONOMI
LINGKUNGAN
Pencemaran Lingkungan
SOSIAL
Hilangnya Sumber Daya dan Menurunnya Produktivitas Masyarakat
Menurunnya Kesehatan Masyarakat
KONFLIK ANTAR STAKEHOLDERS MENURUNNYA PRODUKTIFITAS PENGURASAN SUMBER DAYA ALAM PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
1. Pengurangan timbulan sampah
3. Pengolahan dan Pembuangan Akhir Sampah
Partisipasi Masyarakat 2. Daur ulang sampah
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH
SANITARY LANDFILL
INCINERATION
COMPOSTING
TEKNOLOGI LAINNYA
Optimalisasi Penggunaan Teknologi Pengolahan Sampah KEBIJAKAN PENGOLAHAN SAMPAH YG RAMAH LINGKUNGAN
Gambar 2 Bagan alir kerangka pemikiran
rendahnya (ekonomis), tanpa memperhatikan dampak lingkungan, sehingga menimbulkan externalitas negatif (biaya sosial) yang sangat besar bagi masyarakat. Saat ini biaya pengolahan sampah cukup besar, hal ini terjadi karena tidak diberlakukannya pemilahan sampah,
minimnya penerapan usaha-usaha 3R (reduce,
reuse, recycling), serta minimnya partisipasi masyarakat. Ada beberapa faktor penyebab tingginya biaya operasi pengolahan sampah yang antara lain disebabkan oleh jumlah sampah yang begitu besar, jauhnya jarak tempuh ke tempat pengolahan sampah dari pusat kota, tipe teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, volume dan jenis sampah yang diolah.
10
Menurut kajian Direktorat Jenderal Cipta Karya (1996), sistem sanitary landfill sebagai single (tunggal) unit pengolahan dan pemusnahan sampah dapat lebih menguntungkan jika dibandingkan intermediate treatment yang menggunakan sistem incinerator. Untung tersebut akan dapat diperoleh apabila jarak tempuh pengangkutan sampahnya kurang dari 20 km. Namun demikian jika jarak TPA dengan sanitary landfill lebih dari 20 km, sistem ini menjadi tidak ekonomis, sehingga alternatif yang lebih baik untuk mengatasinya adalah menggunakan incinerator sebagai intermediate treatment yang dikombinasikan dengan sistem sanitary landfill. Penggunaan teknologi incinerator memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sanitary landfill atau composting, namun sistem ini memiliki keuntungan dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Sistem pengomposan sesungguhnya bisa lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kedua teknologi tersebut, namun sistem ini memiliki kendala dalam prosesnya, karena memerlukan waktu yang relatif lama (lebih kurang 41 hari). Selain itu masalah lainnya adalah sulitnya pemasaran kompos, sebagai akibat rendahnya demand pasar terhadap pupuk kompos. Hal tersebut akhirnya menurunkan minat dunia usaha untuk melakukan investasi skala besar, mengingat
produksi kompos dipandang kurang
menguntungkan dari skala ekonomi. Pada dasarnya ketiga sistem pengolahan tersebut tidak ada yang unggul secara mutlak, karena masing-masing memiliki keunggulan (benefit) dan kelemahan (cost). Kondisi ini memaksa kita untuk mencari pengolahan sampah skala kota misalnya dengan melakukan kombinasi (integrasi) dari berbagai teknologi. Dalam rangka menemukan kombinasi yang optimal untuk diaplikasikan dan menguntungkan baik dari aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial, maka perlu melakukan penelitian model optimasi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Pada model
optimasi ini dilakukan integrasi pengolahan sampah melalui berbagai teknologi pengolahan sampah, sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kebijakan pengolahan sampah di DKI. Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Identifikasi faktor-faktor utama yang menentukan dalam pengolahan sampah dengan berbagai kombinasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. 2. Merumuskan sistem pengolahan sampah, dengan berbagai variabel yang terkait dan berbagai batasan yang harus dipenuhi, dalam konteks lingkungan, sosial dan ekonomi. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan.
11
Penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : 1. Bagaimanakah
pemanfaatan
teknologi
pengolahan
sampah
yang
paling
menguntungkan untuk skala perkotaan? 2. Bagaimanakah sistem pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? 3. Bagaimanakah kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang berkelanjutan? Secara ringkas perumusan masalah ini dapat digambarkan dalam bagan alir pola pikir penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 3.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian perumusan model optimasi pengolahan sampah perkotaan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka melakukan pengolahan sampah perkotaan yang akan diterapkan untuk suatu kota, serta dapat memberikan sumbangan pada: 1. Ilmu pengetahuan
Sebagai referensi dalam pengembangan manajemen pengelolaan sampah perkotaan.
Sebagai referensi alternatif model pemanfaatan teknologi pengolahan sampah di perkotaan.
2. Pemerintah
Sebagai acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menentukan pilihan teknologi pengolahan sampah yang paling tepat untuk dipergunakan di wilayahnya.
Sebagai acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemilihan teknologi dalam pengolahan sampah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang.
3. Pemangku kepentingan (stakeholders)
Sebagai acuan yang dapat dipergunakan dalam menilai ketepatan kebijakan dalam penentuan sistem teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan di wilayah perkotaan.
Pemahaman permasalahan dalam pengolahan sampah perkotaan.
Membantu sektor swasta dalam memahami kelayakan investasi pengolahan sampah perkotaan.
12
Pertumbuhan penduduk
Demand terhadap Barang dan Jasa
Pertumbuhan Ekonomi
Industri
Perumahan
Perkantoran
Fasilitas
Peningkatan Pemanfaatan Lahan
Peningkatan Timbulan Sampah (Waste)
Memerlukan Sistem Pengolahan Sampah yang Berkelanjutan
Opsi Pengolahan Sampah
Sanitary Landfill
Analisis OLS Pertumbuhan Ekonomi dan Sampah
Composting
Analisis Sistem Dinamik
Insinerator
Analisis Manfaat dan Biaya (CBA)
Pengolahan Lainnya
Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan
Multy Criteria Evaluation
Analisis Kebijakan Pengolahan Sampah Berkelanjutan Feed back Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3 Bagan alir pola pikir penelitian
1.6.
Novelty (kebaruan) Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan berbagai
dimensi pengolahan sampah, dengan memandang sampah adalah sumber daya, dalam satu sistem analisis yang komprehensif, yang dilakukan dalam satu wilayah kota secara utuh, sehingga dapat menjadi landasan dalam memformulasikan kebijakan sistem pengolahan sampah yang berkelanjutan (sustainable), melalui pemanfaatan berbagai teknologi secara terintegrasi dengan memperhatikan aspek ekonomi, lingkungan dan
13
sosial. Penelitian ini menghasilkan formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan yang lebih ekonomis, ramah lingkungan, serta sistem yang dapat membantu pemerintah untuk mengatasi kelangkaan energi dan lahan. Di samping itu dalam jangka panjang relatif tidak akan menimbulkan masalah sosial, estetika dan gangguan kesehatan. Formulasi kebijakan ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pengelolaan sampah yang berkelanjutan sekaligus untuk mengatasi krisis energi, khususnya untuk wilayah perkotaan dengan luas lahan yang terbatas.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengelolaan Sampah Perkotaan Sampah merupakan sisa dari aktivitas manusia ataupun binatang, yang biasanya
bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi pembangunan (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1995). Menurut American Public Works Association (1975), sampah (solid waste) diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal yang tidak berguna, tidak diinginkan, atau barang-barang yang dibuang dari hasil kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) sampah (solid waste) adalah semua limbah yang timbul dari aktifitas manusia dan binatang yang biasanya berbentuk padat dan dibuang karena tidak berguna atau tidak diinginkan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan berkisar antara 1,5 hingga 4% per tahun. Pertumbuhan penduduk di perkotaan Indonesia dapat terjadi secara alami maupun akibat terjadinya urbanisasi yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat memberikan tekanan yang begitu berat bagi keberadaan infrastruktur perkotaan. Pertumbuhan penduduk menghasilkan pertambahan timbulan sampah, yang berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman, dan saluransaluran.
Pengelolaan sampah di daerah beriklim tropis yang mempunyai kelembaban
yang tinggi dan jumlah sampah organik yang begitu besar, seringkali menimbulkan persoalan yang rumit, sehingga persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan apabila dilakukan dengan cara pengelolaan yang tepat dan benar. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam pengelolaan sampah. Adapun persoalan yang umum dihadapi adalah timbulan sampah yang jumlahnya semakin hari semakin besar, sedangkan lahan yang layak untuk dipergunakan sebagai tempat pembuangan dan pengolahan sampah, terutama untuk kota metropolitan semakin terbatas. Kondisi tersebut mengakibatkan pengelolalan sampah di perkotaan menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti tercemarnya air tanah, polusi udara dan
15
terjadinya penurunan kualitas lingkungan permukiman. Oleh karena itu maka pemerintah kota dan kabupaten saat ini menghadapi kesulitan yang sangat serius, terutama dalam menemukan cara pengolahan dan pembuangan sampah yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada prinsipnya sistem pengelolaan sampah (solid waste management) terdiri dari empat komponen, yaitu 1. penempatan dan pengumpulan sampah (waste collection), 2. transportasi sampah (waste transportation); 3. pengolahan sampah (waste treatment) dan 4. pembuangan akhir (final disposal), sebagaimana bagan alir pada Gambar 4.
WASTE COLLECTION
WASTE TRANSPORTATION
WASTE TREATMENT
FINAL DISPOSAL
Gambar 4 Sistem pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah perkotaan mulai dari sumber timbulan sampah hingga pembuangan akhir (final disposal) dapat dibagi menjadi enam elemen fungsional antara lain: timbulan sampah, pemindahan, pewadahan (waste collection) serta pengelolaan sampah pada sumbernya (3R: reduce, reuse and recycling), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan (waste transportation), dan pembuangan akhir (final disposal). Elemen fungsional dan hubungan antar elemen dalam pengelolaan sampah secara terpadu dapat dilihat pada Gambar 5. Pengolahan sampah di TPA yang ada di kota-kota Indonesia terutama untuk kota metropolitan, hampir seluruhnya menghadapi permasalahan.
Adapun permasalahan
tersebut, yang paling utama terjadi pada aspek penyediaan dana yang memadai untuk mengoperasikan TPA secara sanitary landfill. Selain itu masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak dilakukannya pemilahan sampah dari sumbernya, sehingga menyulitkan dalam melakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam mengelola sampah. Kondisi tersebut mengakibatkan, hampir semua TPA yang dimiliki oleh pemerintah kota mencemari lingkungan, sehingga pada akhirnya mengabaikan social cost yang ditanggung oleh masyarakat.
Masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah kota adalah
penyediaan lahan untuk menampung timbulan sampah yang semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pengelolaan sampah secara terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan integrasi sistem pengolahan sampah, merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah perkotaan, baik
16
saat ini maupun di masa yang akan datang. Adapun sistem yang akan memberikan penyelesaian secara optimal tersebut dapat terdiri dari kombinasi aplikasi beberapa teknologi, yakni
incinerator, composting, recycling, dan sanitary landfill.
skematik sistem ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5 Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan
Gambar 6 Sistem pengolahan sampah terintegrasi
Secara
17
Menurut Kholil (2005), mengatakan bahwa : Penanganan sampah yang berorientasi pada TPA dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill , sudah tidak tepat lagi diterapkan untuk menangani sampah di kota-kota besar. Karena di samping keterbatasan lahan sistem tersebut memerlukan biaya operasional yang sangat mahal. Seiring dengan meningkatnya timbulan sampah dan semankin sulitnya mencari lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah (TPA), maka minimisasi sampah di sumbernya untuk mengurangi ketergantungan pada lahan menjadi prioritas utama kebijakan penanganan sampah kota. Sistem daur ulang sampah terpadu berbasis zero waste yang mengintegrasikan sistem 3R (reduce, reuse, recycle) dengan sistem insinerasi dapat menjadi pilihan yang tepat bagi penanganan sampah di kota-kota besar. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada integrated solid waste management (ISWM) terdapat empat tingkat hirarki yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan sampah perkotaan, yaitu: a.
Pengurangan Sampah (Source Reduction) Pengurangan sampah pada sumbernya, merupakan hirarki tertinggi dalam tata
urutan penanganan sampah perkotaan, karena hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi jumlah timbulan sampah, dan mengurangi biaya yang diperlukan dalam pengangkutan dan penanganan dampak lingkungan. Pengurangan sampah dapat terjadi melalui perencanaan, pembuatan dan pengemasan dari produk dengan kandungan bahan beracun yang minimal, minimalisasi jumlah atau penggunaan material yang memiliki waktu penggunaan yang panjang. b.
Pendaurulangan (Recycling) Hirarki kedua dalam ISWM adalah pendaurulangan (recycling) yang melibatkan:
1) pemisahan dan pengumpulan bahan buangan; 2) penyiapan bahan material buangan untuk digunakan ulang, pengolahan ulang dan 3) penggunaan ulang, proses ulang dan pembuatan ulang dari material buangan ini.
Pendaurulangan ini merupakan faktor
penting dalam membantu mengurangi kebutuhan sumberdaya dan jumlah buangan sampah yang dibuang ke dalam landfill. c.
Pengubahan Sampah (Waste Transformation) Hirarki ketiga dalam ISWM adalah pengubahan sampah (waste transformation).
Pengubahan sampah melibatkan proses fisik, kimia dan biologi,
Adapun bentuk
pengubahan sampah yang dapat dilakukan adalah: 1) memperbaiki efisiensi pengolahan
18
sampah; 2) pemulihan material yang dapat dipakai kembali; 3) pemulihan produk konversi seperti kompos dan energi dalam bentuk panas serta biogas untuk pembakaran (combustible biogas). d.
Landfilling Landfilling menempati urutan terakhir dalam hirarki ISWM, karena landfilling
umumnya merupakan cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Landfilling pada
umumnya dilakukan untuk: 1) sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat dipakai lagi; 2) sisa sampah, setelah dilakukan pemilahan di unit pemilahan; 3) sisa sampah setelah pemilahan.
2.2.
Teknologi Pengolahan Sampah Pada dasarnya cukup banyak pilihan teknologi dalam pengolahan sampah, antara
lain sanitary landfill, incinerator dan composting. Masing-masing teknologi ini masingmasing memiliki keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) dalam penggunaanya, baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi maupun dari aspek sosial. a.
Sanitary Landfill Lahan urug terkendali (sanitary landfill) adalah lokasi tempat sampah diisolasi
dari lingkungan, sehingga aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan masyarakat (Pelligrini dan Klein, 2000).
Sanitary landfill merupakan metoda yang biasa
dipergunakan dalam pembuangan sampah, dalam hal ini sampah yang sudah tidak terpakai lagi di hampar dan dipadatkan di atas tanah, untuk kemudian ditimbun dengan tanah penutup. Sanitary landfill dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pengolahan air lindi (leacheate), timbangan sampah, sumur pemantau kualitas air tanah, unit penangkap gas, dan beberapa fasilitas lainnya, seperti alat-alat berat dan fasilitas lainnya.
Metode
sanitary landfill tidak effektif untuk membuang dan mengolah sampah plastik, karena sampah plastik tidak mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme/bakteri decomposer. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah plastik yang dibuang di sanitary landfill akan menjadi lapisan yang menghalangi proses pengumpulan air lindi ke dalam pipa penangkap air lindi, yang dipasang di bawah unit sanitary landfill. Aktivitas biologis pada landfill biasanya mengikuti satu bentuk tertentu yaitu sampah mula-mula didekomposisi secara aerobik sampai kandungan oksigennya habis. Pada fase berikutnya mikroorganisme fakultatif dan anaerob mengambil peran, sehingga pada tahap ini
19
dekomposisi sampah akan menghasilkan gas metan yang tidak berbau dan tidak berwarna, dan pada saat tersebut terjadi kenaikan temperatur hingga 65,5o C. Hal yang sangat sulit untuk dipertahankan pada sanitary landfill adalah mempertahankan kondisi landfill agar selalu tetap dalam keadaan aerobik, atau dengan kata lain pada sanitary landfill keadaan anaerobik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pada proses anaerobik akan dihasilkan gas metan CH4, karbon dioksida CO2, ammonia NH3, sejumlah kecil hidrogen sulfida H2S, dan merkoptan CH5SH. Pengoperasian sanitary landfill memerlukan input berupa sampah dan sumber daya, baik sumber daya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbarukan, seperti lahan, bahan bakar dan beberapa material lainnya, untuk mengolah air lindi. Selama pengoperasian landfill, diperlukan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan alat-alat berat di lapangan, dan penggunaan energi listrik untuk mengoperasikan timbangan. Ketika masa penggunaan landfill sudah habis dan ditutup, energi masih diperlukan selama aktifitas pemantauan berlangsung. Pada landfill yang moderen, energi yang ditimbulkan dari landfill, dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk mengolah air lindi.
Output dari
landfill berupa emisi gas ke udara dan air lindi yang dapat mencemari tanah dan air. Pada landfill yang dilengkapi dengan penangkap gas, biasanya gas dimanfaatkan untuk menghasilkan panas, dan listrik, sedangkan effluent dari pengolahan air lindi dibuang ke badan air. Proses input dan output dalam landfill dapat dilihat pada Gambar 7. Emisi gas ke udara INPUT
OUTPUT
SAMPAH
Energi yang
LOKASI
diperoleh dari
LANDFILL
SUMBER
landfill
DAYA Emisi air lindi
Emisi air pengolahan
ke tanah dan air
lindi ke air
Gambar 7 Proses input dan output pada landfill
Input sumber daya yang diperlukan dalam proses sanitary landfill antara lain adalah: 1. bahan bakar minyak (fosil fuel) untuk menggerakkan peralatan-peralatan mekanik seperti dozer dan compactor ; 2. energi listrik untuk menggerakkan timbangan dan aerator untuk pengolahan air lindi, penerangan lingkungan dan gedung operasi; 3.
20
lahan yang diperlukan dengan luasan yang bergantung pada jumlah sampah yang dibuang dan masa pelayanan landfill; 4. sumber daya manusia. Adapun output yang dihasilkan dalam sanitary landfill antara lain adalah emisi ke udara, air dan tanah, energi yg dihasilkan dari gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik. Landfill yang dilengkapi dengan pengolahan air lindi, mempunyai emisi ke air dan tanah yang lebih rendah (berkurang). Gas yang terbentuk pada landfill memiliki tekanan yang lebih besar dari tekanan udara bebas (atmosfir), oleh karenanya maka gas yang terbentuk dalam landfill akan bergerak ke luar melalui lapisan tanah yang porous. Faktor lain yang mempengaruhi pergerakan gas landfill adalah terserapnya gas ke dalam cairan atau komponen padatan dan juga pembentukan atau kosumsi komponen gas melalui reaksi kimia atau aktifitas biologis. Besaran gas yang keluar dari landfill dapat dijelaskan melalui satu dimensi vertikal kontrol volume, dengan formula sebagaimana persamaan berikut dan pada Gambar 8.
α (1+β)
∂ CA ∂t
= - VZ
∂ CA ∂Z
+ DZ
∂2 CA ∂Z2
+G
Keterangan:
α : total porositas, cm3/cm3 (ft3/ft3) β CA VZ DZ
: faktor retardasi dihitung untuk penyerapan dan perubahan. : konsentrasi dari campuran gas A; g/cm3 (lb.mole/ft3) : Kecepatan perubahan dalam arah vertikal, cm/dt (ft/hari) : koefisien efektif dari difusi, cm2/dt (ft2/hari) G : Parameter potongan yang digunakan menghitung seluruh produksi gas, g/cm3.detik (lb.mole/ft3 hari) Z : kedalaman, m (ft)
Media porous dengan porousitas α
material yang terakumulasi di cairan dalam volume yang porous dan diatas permukaan media granuler
Volume Porous
Gambar 8 Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill
21
Emisi gas dari landfill bervariasi, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya sepanjang operasi dan pasca operasi landfill. Gas utama yang dihasilkan dalam landfill adalah carbon dioxide (CO2) dan gas metan (CH4) serta sedikit gas-gas lain seperti H2S, NOx dan SOx , bergantung pada komposisi sampah yang dibuang ke landfill. Persentase gas yang dihasilkan pada landfill menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada umumnya mempunyai besaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill Komponen
Persen (berdasarkan volume kering) 45 – 60 40 – 60 2–5 0,1 – 1,0 0 – 1,0 0,1 – 1,0 0 – 0,2 0 – 0,2 0,01 – 0,6
Methan Karbon dioksida Nitrogen Oksigen Sulfida, disulfida, markaptan, dll. Ammonia Hidrogen Karbon monoksida konstituen kecil Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Gas pada landfill akan lepas ke udara melalui permukaan atas maupun dari bagian samping landfill. Gas metan dan gas karbon dioksida yang dihasilkan berkontribusi terhadap perubahan temperatur bumi (global warming). Gas H2S yang dihasilkan, dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA (iritasi saluran pernapasan atas), sedangkan VOCs bersifat karsinogenik. Emisi ke udara lainnya adalah debu yang akan keluar pada saat terjadi proses pengoperasian landfill. Adapun perkiraan kerusakan yang ditimbulkan dalam proses pada instalasi sanitary landfill menurut European Commission , D.G. Environment (2000) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari landfill Emisi
Kerusakan Medium
CH4 CO2 VOCs Dioxins Debu Lindi
Dampak kesehatan kematian penyakit
Produksi Pertanian
Udara Udara Udara v Udara v Udara v Tanah dan v v Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000).
Kerusakan gedung
Dampak pada cuaca v v
Ekosistem v v v
v
22
Menurut Tchobanoglous et al. (1993) produksi gas yang dihasilkan dari landfill pada umumnya melewati 5 fase, yang terdiri dari : 1. Fase I (masa penyesuaian). Fase ini disebut masa penyesuaian awal, pada fase pertama ini komponen biodegradable diuraikan oleh mikroorganisme pada kondisi aerob, oleh karena terdapat sedikit oksigen yang terperangkap dalam landfill. 2. Fase II (masa transisi). Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam landfill dan kondisi anerob mulai terbentuk. Hal ini ditandai dengan terbentuknya gas nitrat dan sulfat, yang dapat menyediakan elektron akseptor pada reaksi konversi biologis, dan terjadi perubahan menjadi gas nitrogen dan hidrogen sulfide seperti yang terlihat pada reaksi di bawah ini. 2CH3CHOHCOOH + SO4 2- 2CH3COOH + S2- + H2O + CO2 4H2 + SO4 2- S 2- + 4H2O S 2- + 2H+ H2S 3. Fase III (masa asam). Pada fase ini mikroba yang aktif pada fase II mempercepat terbentuknya asam organik dan sedikit gas hidrogen. Fase ini melibatkan enzim yang menjadi mediator transformasi (hidrolisis), ikatan molekul yang lebih tinggi (seperti lipid, polisakarida, protein, dan asam nukleat ) menjadi ikatan molekul yang sesuai untuk digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bahan pembentuk sel. Tahap berikutnya adalah proses asidogenesis yang melibatkan mikroorganisme yang mengkonversi ikatan molekul dari proses pertama menjadi masa molekul sedang yang lebih rendah dengan peranan asam asetat (CH3COOH) dan sejumlah kecil konsentrasi dari fulvic acid dan asam organik lain yang komplek. Pada phase III gas utama yg terbentuk adalah CO2 dan sejumlah kecil gas hidrogen H2. Mikroorganisme yang berperan dalam proses ini terdiri dari bakteri fakultatif dan bakteri anaerob obligat, yang umumnya dikenal sebagai acidogen atau pembentuk asam . Pada kondisi ini pH lindi (leachate) akan menurun sampai 5 bahkan bisa lebih rendah, sebagai akibat kehadiran asam organik dan peningkatan volume gas CO2 di dalam landfill. Nilai biochemical oxygen demand (BOD5), chemical oxygen demand (COD) dan konduktifitas dari
23
leachate meningkat secara signifikan sebagai akibat melarutnya asam organik dalam leachate. Selain itu rendahnya pH juga mengakibatkan tingginya kelarutan zat anorganik, terutama logam-logam berat. 4. Fase IV (masa fermentasi methan). Pada fase ini, kedua kelompok mikroorganisme mengkonversi asam asetik dan gas hidrogen yang muncul sebagai akibat lebih dominannya pembentukan asam dalam phase asam ke CH4 dan CO2. Mikroorganisme yang berperan pada fase ini adalah mikroorganisme anaerob yang disebut methanogenic (pembentuk methan). Pada phase IV asam dan gas hidrogen yang dibentuk oleh pembentuk asam akan dikonversi menjadi CH4 dan CO2, sehingga pH dalam landfill meningkat menjadi 6,8 – 8, namun nilai BOD5 dan COD serta konduktifitasnya malah menurun. Pada pH yang lebih tinggi, hanya beberapa bahan anorganik yang masih ada dalam larutan, sehingga kandungan logam berat dalam leachate akan menurun. 5. Fase V (masa maturasi). Fase V terjadi setelah seluruh zat organik dikonversi menjadi CH4 dan CO2 pada fase IV. Pada fase V kecepatan pembentukan gas mengalami penurunan secara signifikan. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar nutrien yang tersedia telah hilang dalam leachate pada fase sebelumnya, dan substrat yang tersisa pada landfill mengalami degradasi yang lambat. Gas utama yang terbentuk pada fase V adalah CH4 dan CO2 dan diduga akan terbentuk gas nitrogen dan oksigen. Lama setiap fase dalam menghasilkan gas bervariasi, tergantung pada distribusi dari komponen zat organik dalam landfill, keberadaan zat hara, kandungan air dalam sampah, aliran ke dalam landfill, dan derajat pemadatan yang dilakukan. Pemadatan sampah pada landfill mengakibatkan rasio antara karbon/nitrogen dan keseimbangan nutrien kurang menguntungkan bagi pembentukan gas.
Pemadatan landfill akan
menurunkan kadar air, sehingga menurunkan biokonfersi pembentukan gas, untuk lebih jelasnya tahapan perubahan gas pada landfill dapat dilihat pada Gambar 9.
24
Komposisi dan Karakteristik, Generasi, Perpindahan dan Kontrol dari gas pada Landfill
Komposisi Gas, % dalam Volume
Fase
waktu
Gambar 9 Tahapan perubahan gas pada landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Volume produksi gas secara umum dapat dijelaskan pada reaksi kimia untuk dekomposisi anaerob dari sampah, dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Adapun distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel pada landfill dapat dilihat pada Tabel 3.
Zat Organik (sampah) + H2O
bakteri Zat organik terbiodegradasi + CH4 +CO2 +Gas lain
Volume gas yang terbentuk selama terjadi dekomposisi secara anaerob dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus umum, dengan memisalkan sampah organik sebagai CaHbOcNd. Adapun total volume gas yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : CaHbOcNd +
4a-b-2c-3d 4
H2O
4a-b-2c-3d 8
CH4 +
4a-b+2c+3d 8
CO2 + dNH3
25
Tabel 3 Distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel Interval waktu, sejak sel selesai (bulan)
Rata-rata, % volume Karbon dioksida CO2 88 76 65 52 53 52 46 50 51
Nitrogen N2 0-3 5,2 3-6 3,8 6-12 0,4 12-18 1,1 18-24 0,4 24-30 0,2 30-36 1,3 36-42 0,9 42-48 0,4 Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Methan CH4 5 21 29 40 47 48 51 47 48
Pada umumnya bahan organik yang ada dalam sampah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian , yakni: (1) Materi yang mudah untuk didekomposisi dengan cepat (tiga hingga lima tahun) dan (2) Materi yang lambat untuk didekomposisi (sampai dengan 50 tahun atau lebih). Adapun komponen zat organik yang cepat dan yang lambat dalam biodegradasi dapat dilihat pada Tabel 4 . Tabel 4 Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi Komponen zat organik Sampah makanan Kertas koran Kertas kantor Kardus Plastik Kain (textil) Karet Kulit Sampah halaman Kayu Organik lainnya Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Cepat dibiodegradasi X X X X
Lambat dibiodegradasi
X X X X X X X
X
Komponen zat organik yang mudah terurai dalam proses biodegradasi dapat diasumsikan
sebagai
C75H122O55N,
sehingga
apabila
kondisi
optimal,
dengan
menggunakan formula tersebut di atas, gas yang terbentuk jumlahnya 14 ft3/ lb atau 0,874 m3/kg sampah organik biodegradable yang terdekomposisi. Fraksi zat organik biodegradable tergantung pada besarnya kandungan lignin pada sampah.
Adapun
kandungan lignin dan fraksi biodegradable pada komponen sampah organik (Tchobanoglous et al. 1993) dapat dilihat pada Tabel 5.
26
Tabel 5 Kadar biodegradable sampah organik Komponen sampah organik Sampah makanan Kertas koran Kertas kantor Kardus Sampah taman Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Kandungan lignin dari % volatil padat 0,4 21,9 0,4 12,9 4,1
Adapun perhitungan fraksi biodegradable
Fraksi biodegradable % volatil padat 0,82 0,22 0,82 0,47 0,72
dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut (Tchobanoglous et al. 1993). Fraksi biodegradable = 0,83 - (0,028) x LC, dengan LC = % volatil padat Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dalam kondisi normal, kecepatan dekomposisi dapat diukur dari produksi gas yang terbentuk.
Selanjutnya dikatakan
bahwa pembentukan gas maksimal akan terjadi pada tahun pertama dan kedua, namun kemudian akan melambat dan terjadi terus sampai 25 tahun atau lebih. Keragaman dari kecepatan produksi gas dari proses dekomposisi secara anaerob terjadi pada lima tahun atau kurang dari lima tahun. Namun demikian untuk jenis sampah yang sangat cepat didegradasi, akan terjadi dekomposisi dan pembentukan gas secara cepat. Pada jenis sampah yang sangat lambat didegradasi, baru akan dihasilkan setelah 5 sampai 50 tahun, sejak di buang ke tempat pembuangan akhir. Adapun pembentukan gas dari sampah organik yang mudah didegradasikan (biodegradable – organic maximals) dapat dimodelkan seperti yang terlihat pada Gambar 10, sedangkan pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill dapat dilihat pada Gambar 11.
27
Produksi gas, ft3/th
Total
Gas yang diproduksi dari material yang cepat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun
Gas yang diproduksi dari material yang lambat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun
Tahun Gambar 10
Pembentukan gas selama lebih dari lima tahun pada sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill (Chobanoglous et al. 1993)
Jumlah produksi gas di tempat pembuangan akhir sampah dalam kurun waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Rotenberger dan Tabasaran (1987) dengan formula sebagai berikut:
28 Gt = Ge x (1 – e-kt) Keterangan: Gt: Jumlah gas yang dihasilkan dari semenjak sampah 1 ton dibuang sampai waktu t tahun (m3 gas/ton sampah). Ge: Jumlah gas metan yang dapat dihasilkan dari sampah 1 ton dalam kurun waktu lama (m3/det). k: Koefisien kecepatan urai yag diambil dari waktu paruh jumlah total karbon organik dalam limbah sampah (0,05 ≤ k ≤ 0,15), untuk landfill diambil 0,06 t: Lama waktu dalam tahun Ge = 1,868 x Co x (0,014 x T + 0,28) Keterangan: : Potensi produksi gas untuk satuan unit organik karbon (m3/kg) : Jumlah total organik karbon di dalam sampah (kg/ton sampah), tipikal 200 Kg/ton : Temperatur di lapisan dalam sampah di TPA (20 < °C ≤ 40), tipikel kondisi di Indonesia 40°C
1,868 Co T
Produksi gas dari landfill dengan kandungan air yang cukup untuk mendukung proses anaerobik dari fraksi zat organik dari sampah
Produksi gas, ft3/y
Produksi gas dari landfill yang sama, dengan kandungan air yang tidak cukup untuk mendukung proses anaerobik secara lengkap
Tahun
Gambar 11 Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Sampah yang dibuang ke TPA pada awalnya akan mengalami proses oksidasi karena bersentuhan dengan oksigen di udara. Keberadaan oksigen ini mengakibatkan
29
terjadinya penguraian secara aerobik, dan karbon organik akan diuraikan hingga menjadi CO2 yang terlepas ke udara bebas.
Selain proses oksidasi, karbon organik juga
mengalami proses anaerobik, sehingga dari proses tersebut akan dihasilkan gas metan, oleh karena itu maka pembentukan gas metan pada awalnya menggunakan koefisien 0,8 – 0,95. Mengingat tidak seluruh karbon organik dapat berubah menjadi gas metan, maka dipakai koefisien 0,06 atau dengan kata lain 35 – 40% elemen TOC akan melepaskan emisi ke udara sebagai gas metan. Proses pengangkutan sampah ke lokasi TPA dilakukan dengan mempergunakan alat angkut truk tertutup dengan kapasitas 8 ton, yang mempergunakan bahan bakar Solar. Aktivitas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dengan kondisi arus lalu lintas di wilayah perkotaan memerlukan bahan bakar solar 2,5 liter per kilometer.
Menurut
penelitian Department of Environment, Food and Rural Affairs (2001), setiap liter solar akan menimbulkan emisi gas CO2 sebesar 2,64 kg.
Adapun reaksi kimia proses
pembakaran hidrokarbon dapat dilihat pada persamaan berikut : 4C12H23 + 71O2 48CO2 + 46H2O
Berat emisi CO2 yang dihasilkan dari 1 liter solar dapat dihitung dengan menggunakan prinsip stoikiometri, seperti perhitungan berikut ini. Berat jenis solar pada suhu 150 C (ρ) = 0,815 x 103 gr/L 1 mol C12H23 = 167 gr 1 mol CO2 = 12x44 =528 gr Sehingga volume solar = 0,205 L 1 mol CO2 = 8x44 = 352 gr ρ = m/v Keterangan: ρ = massa jenis m = massa v = volume zat Jumlah CO2 yang dihasilkan dalam 1 liter solar (C12H23) adalah: = 528/0,205 = 2,6 kg/L
= 2.575 gr/L
30
b.
Composting (Pengomposan) Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami
pembusukan. Komposting merupakan proses biologis, namun proses dekomposisinya dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik. Kompos bisa dikatakan sejenis pupuk organik, namun kandungan unsur N (nitrogen), P (pospor) dan K (kalium) dalam kompos tidak setinggi kandungan dalam pupuk buatan (anorganik, kimiawi). Kelebihan dari kompos antara lain adalah sangat kaya unsur-unsur hara mikro, seperti zat besi (Fe), boron (B), belerang/sulphur (S), kapur /kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan hara mikro lain yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Unsur-unsur hara mikro tersebut pada
umumnya tidak terdapat dalam pupuk buatan. Kompos sangat baik dalam memperbaikai struktur tanah, mengingat kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation serta penyimpanan air. Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah kandungan humusnya, karena humus dalam kompos mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Humus yang menjadi asam humat atau jenis asam lainya dapat melarutkan zat besi (Fe) dan aluminium (Al), sehingga fosfat yang terikat pada besi dan aluminium akan lepas, sehingga dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan tergantung pada berbagai kondisi habitat terutama suhu dan mikroorganisme. Jasad renik yang terdapat pada proses pengomposan terdiri dari dua golongan yaitu mesofili yang hidup dalam suhu 1045°C dan termofili yang hidup pada suhu 45-65°C. Dalam proses degradasi zat organik oleh jasad renik, akan terjadi reaksi pembakaran unsur karbon (C) dan oksigen (O2) menjadi panas (kalor) dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida ini kemudian dilepas sebagai gas, sedangkan unsur N yang terurai akan ditangkap oleh jasad renik, yang ketika jasad renik ini mati, unsur N-nya akan tetap tinggal dalam kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Proses penguraian zat organik bergantung pada berbagai faktor, antara lain : 1. Rasio antara karbon dengan nitrogen (rasio C/N) 2. Derajat keasaman (pH) 6 – 8. 3. Homogenitas campuran. 4. Ukuran bahan, proses pengomposan akan berjalan lebih cepat jika memiliki ukuran yang lebih kecil. 5. Kelembaban dan aerasi, keberadaan oksigen dan air sangat diperlukan untuk mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi dari zat organik.
31
6. Suhu pengomposan optimal yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik adalah 35 – 55o C 7. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan, antara lain bakteri, dan jamur Actinonomyces yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Menurut Djuarnani et al. (2005), pengomposan merupakan penurunan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah yang berkisar antara 10 -12. Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah, memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka komposting merupakan teknologi yang sangat baik untuk digunakan mengurangi sampah organik, namun metode ini tidak sesuai untuk mengurangi sampah plastik. Menurut Yoseph (2005), penggunaan oksigen pada kompos dibedakan menjadi dua yaitu: a. Kompos dengan proses aerob yang dicirikan dengan timbulnya temperatur yang tinggi, tidak adanya bau,dan cepatnya proses dekomposisi; dan b. Kompos dengan proses anaerob, yang dicirikan dengan temperatur yang rendah, timbulnya bau, lambatnya proses dekomposisi, dan memerlukan perhatian yang minimal.
Selanjutnya dikatakan
bahwa berdasarkan teknologinya, komposting dapat dilakukan dengan : a. Windrows, dengan kecepatan dekomposisi antara 2 – 6 bulan, proses aerasi dengan membalik-balikkan sampah, dan memerlukan peralatan khusus untuk memutar . b. Aerated static pile, dengan kecepatan dekomposisi antara 6 – 12 minggu, dengan menggunakan mekanikel aerasi. c. In-vessel, ( high rate composting) dengan kecepatan dekomposisi yang lebih cepat, yaitu kurang dari satu minggu. Proses pengolahan dilakukan dengan menempatkan sampah pada tabung (chamber/vessel) yang selanjutnya diaduk secara mekanis, dilakukan proses aerasi, serta kontrol terhadap kandungan air, sehingga dari sini akan diperoleh proses dekomposisi sampah organik secara cepat. Pada proses composting terdapat input dan output. Adapun input dan output dalam composting dapat dilihat pada Gambar 12.
32
Emisi gas ke udara INPUT
OUTPUT
Sampah Pupuk Kompos
KOMPOSTING
Sumber Daya
Sisa Sampah
Emisi pengolahan lindi ke badan air
INPUT Emisi air lindi ke tanah dan air
Gambar 12 Proses input dan output pada komposting
c.
Waste to Energy (WTE) Incinerator Incinerator (insinerator) merupakan metoda yang sangat efektif untuk mengurangi
volume sampah sampai dengan 80 – 95 %, bergantung pada kandungan materi yang tidak dapat terbakar dalam sampah. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, dapat digunakan kembali untuk beberapa kepentingan seperti menghasilkan air panas atau generator listrik yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik dalam unit incinerator ini sendiri, maupun untuk penggunaan energi listrik oleh masyarakat luas. Menurut Brunner (1994) keuntungan penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah antara lain adalah: 1. Dapat menghilangkan komponen sampah yang berbahaya 2. Pengurangan volume dan berat dari sampah 3. Pengurangan sampah secara cepat, tanpa menunggu waktu yang lama seperti pada proses di sanitary landfill. 4. Proses insinerasi (pembakaran) dapat dilakukan di tempat (on site) tanpa mentransportasikan ke daerah yang jauh. 5. Emisi udara dapat dikontrol secara efektif sampai tingkat dampak minimum pada lingkungan atmosfir. 6. Limbah abu dapat dikelompokkan bukan sebagai limbah yang berbahaya.
33
7. Insinerasi memerlukan luas lahan yang relatif lebih kecil, sebagaimana yang diperlukan dalam sistem pengolahan lainnya. 8. Melalui pemulihan panas yang dihasilkan, maka biaya operasi dapat dikurangi atau bisa juga dilakukan penggunaan panas untuk energi listrik yang dapat dijual. Suatu sistem selain mempunyai keuntungan, juga mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan dari sistem ini yang perlu diperhatikan adalah: 1. Beberapa material seperti sampah yang sangat basah atau limbah tanah tidak dapat dibakar dalam incinerator. 2. Kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap unsur logam (inorganic material) dalam proses pembakaran seperti sampah yang mengandung logam berat (timah, kromium, merkuri, nikel, arsenik, dan lain-lain). 3. Incinerator memerlukan biaya investasi yang sangat mahal. 4. Memerlukan tenaga operator yang terdidik. 5. Memerlukan suplemen bahan bakar untuk pembakaran dan untuk menjaga temperatur pembakaran. Kelemahan lain pada sistem ini adalah pembakaran terhadap polyethylene, polyprophylane dan polystyrene akan menghasilkan gas karbondioksida. Pembakaran dari polyvinyl chloride akan menghasilkan gas yang beracun yakni hidrogen klorida (HCl). Gas hidrogen klorida ini selain dihasilkan dari pembakaran polyvinyl chloride, juga dapat dihasilkan dari pembakaran sampah domestik seperti kertas, kayu, rumput dan lain sebagainya.
Daya racun gas hidrogen klorida dapat muncul jika gas tersebut
tercampur dengan uap air, sehingga akan dihasilkan materi yang sangat korosif yaitu chloride acid. Efektifitas dari incinerator tergatung pada kontrol temperatur, waktu, gas oksigen, turbulensi pembakaran dan distribusi dari gas.
Pada temperatur rendah,
incinerator akan menghasilkan gas karbonmonoksida yang sangat berpotensi mencemari udara. Proses pembakaran senyawa yang mengandung unsur khlor dan karbon pada temperatur 200 - 800oC akan menghasilkan gas dioxin (Brunner, 1994).
Selanjutnya
dikatakan bahwa terdapat beberapa jenis model insinerator yaitu: a. Tungku pembakar (stoker furnace) Tungku ini terdiri dari ruang pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat, jeruji pembakaran, corong pengisian sampah, pembawa pembuang abu, dan ketel uap pemulihan panas. menerus,
Proses insinerasi sampah berlangsung secara terus
dengan temperatur dalam tungku 850 – 900oC, dengan tingkat
34 kehilangan panas antara 5 – 7%.
Pada tungku ini, sampah dibakar secara
langsung dalam kobaran api di atas jeruji pembakaran. Sampah diuraikan dan gas-gas yang dapat terbakar timbul dalam proses reaksi termal, termasuk gas karbon monoksida (CO), yang secara kontinyu dilepaskan dari proses pembakaran yang terjadi di reaktor dan kemudian ditransfer ke dalam ruang pembakaran sekunder. Panas yang ditimbulkan dipulihkan sebagai uap dengan ketel uap, kemudian digunakan sebagai penggerak tenaga listrik.
Emisi gas-gas yang
dikeluarkan diolah untuk memenuhi standar emisi melalui sistem pengolahan asap gas. b. Pembakar dengan fluida (fluidaized bed furnace) Tungku ini dibuat dengan kabin pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat yang dilengkapi dengan suatu sistem pasokan bahan bakar, corong pengisian sampah, pembuangan abu, sistem distribusi pasir yang dipanaskan secara fluida (heated fluidized sands), dan ketel uap pemulihan panas. Tungku ini merupakan konstruksi vertikal berbentuk silinder dan menggunakan supplai pasir yang dipanaskan secara fluida serta sistem pemulihan panas yang terletak pada dasar ruang pembakaran. Sistem ini memiliki daerah permukaan insinerasi yang luas yang ditunjang dengan butiran pasir panas yang dapat membakar sampah dengan temperatur antara 850 – 900oC dan tingkat kehilangan panas antar 5 – 7%, sehingga dapat membakar sampah dalam waktu yang sangat cepat.
Materi
sampah dioksidasi akan terbakar dengan sendirinya oleh pasir panas yang mengalir secara fluida.
Pasir yang dipanaskan secara fluida berpusar dan
dihembuskan oleh udara yang dialirkan dengan pompa dari bawah tungku. Panas akan mengalir dari pasir ke sampah, yang kemudian terbakar dan menjadi abu. Pasir dapat didaur ulang setelah menghilangkan abu dan residu.
Asap gas
bertemperatur tinggi dikeluarkan ke dalam ketel uap pemulih panas untuk menjadi listrik, dan dilepas dari cerobong melalui sistem pengolahan asap gas untuk memenuhi standar emisi. c. Tungku pembakar berputar (rotary kiln type furnace) Tungku ini terdiri dari reaktor silinder baja kuat yang terletak horizontal dan dapat membakar sampah secara langsung pada waktu sampah berpindah dari atas ke dasar. Tungku ini dilengkapi dengan ruang sekunder dan sistem pengolahan asap gas. Tungku ini dapat diatur temperaturnya dengan cara memberikan bahan
35
bakar tambahan yang dicampur dengan udara.
Pada proses pembakarannya,
reaktor ini dipanaskan hingga temperaturnya mencapai 850 – 900oC, sehingga cukup panas untuk membakar sampah yang dimasukkan ke dalam tungku secara kontinyu. Asap dan gas selanjutnya diolah melalui sistem kontrol emisi yang ada pada tungku hingga dapat memenuhi standar emisi. Proses input dan output pada incenerator dapat dilihat pada Gambar 13. Adapun perkiraan kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam proses pembakaran pada instalasi incinerator dapat dilihat pada Tabel 6. Emisi gas ke udara Melalui cerobong asap INPUT
OUTPUT
SAMPAH SUMBER
INSTALASI
Energi
INCINERATOR
Listrik
DAYA Sisa sampah yang
Abu sisa
tidak terbakar
pembakaran
Gambar 13 Proses input dan output pada incinerator Energi listrik yang dihasilkan dari WTE insinerator dapat diitung dengan formula sebagai berikut : E (kwh) = berat sampah masuk (kg/jam) x kandungan kalori sampah (kkal/kg)/ 860 kkal x effisiensi di ketel uap (18%) Tabel 6 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator Emisi
Kerusakan Medium
NOx SOx CO VOCs CO2 HCl, HF VOCs
Udara Udara Udara Udara Udara Udara Udara
Dioxins Logam berat Garam Dioxin Sisa sampah
Udara Air
Dampak kesehatan Kematian Penyakit
Produksi pertanian
Kerusakan Gedung
Dampak Pada cuaca v
Ekosistem
v
v
v
v v v
v v
Air v v Air Tanah Pengolahan di instalasi sanitary landfill dan Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000)
36
Menurut Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (Algas, 1997), gas yang dikategorikan ke dalam gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang berpengaruh, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap rumah kaca. Adapun gas tersebut adalah karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), hydroflurocarbon (HFC), karbonmonoksida (CO), nitrogenoksida (NOx) dan gas-gas organik non-metan yang bersifat volatile.
Indeks potensi pemanasan global (global warming potential:
GWP) menggunakan CO2 sebagai tolok ukurnya, yaitu membandingkan efek radiasi GRK di atmosfir terhadap CO2 dalam jumlah yang sama, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 GWP untuk beberapa GRK terhadap CO2 Gas CO2 CO CH4 NOx N2O Sumber: Algas (1997)
2.3.
Global Warming Potential (GWP) 1,0 3,0 24,5 290,0 320,0
Multi Kriteria Evalusi (Multy Criteria Evaluation) Metoda pengambilan keputusan secara praktis yang umumnya dilakukan di
lingkungan pemerintahan, biasanya mempergunakan metoda analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis). Pada metode ini beberapa alternatif pilihan diputuskan dengan membandingkan biaya yang dibutuhkan untuk masing-masing alternatif terhadap output yang dihasilkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya ketika terdapat
perbedaan output diantara pilihan alternatif tersebut, maka pengambilan keputusan pada umumnya akan dilakukan secara subyektif, dengan melihat biaya yang termurah (leastcost) untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Metoda lain yang
biasanya dipergunakan untuk pengambilan keputusan dari
beberapa pilihan alternatif dengan memperhatikan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang memiliki harga pasar ataupun yang tidak ada harga pasarnya, biasanya dilakukan dengan mempergunakan cost benefit analysis (CBA). Pada metode ini, pengambilan keputusan dari beberapa alternatif dilakukan dengan menggunakan teknik evaluasi multi kriteria, baik pada hal-hal yang dapat dinilai dengan uang ataupun variable yang tidak dapat dikuantifikasi dalam nilai uang. Multi kriteria evaluasi merupakan teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis pada non-parametrik. Teknik ini dalam pengambilan keputusannya melibatkan
37
multi kriteria, dengan menggunakan pembobotan.
Pengambilan keputusan dengan
mempergunakan multi kriteria evaluasi juga melibatkan alternatif/pilihan yang dapat diambil, oleh karenanya melalui teknik multi kriteria evaluasi ini akan dipilih alternatif terbaik dengan mempertimbangkan setiap kriteria dari alternatif tersebut. Pengambilan keputusan dengan mempergunakan teknik multi kriteria evaluasi secara matematis dapat dijelaskan sebagaimana metrik keputusan di bawah ini. Alternatif C1
C2
C3
C4
..
Cn
A1
W1
W2
W3
W4
..
Wn
A2
a11
a12
a13
a14
..
a1n
A3
a21
a22
a23
a24
..
a2n
A4 .. .. An
a31 .. .. am 1
a32 .. .. am 2
a33 .. .. am 3
a34 .. .. am 4
.. .. .. ..
a3n .. .. am n
Keterangan: An= alternatif ke n, Cn = kriteria ke n dan Wn = bobot dari kriteria ke n Penentuan prioritas berdasarkan metrik keputusan di atas dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, beberapa diantaranya adalah analitical hyrarchy process (AHP), TOPSIS, ELECTRE dan Promethe (Salo dan Hamalainen, 1955). Pada dasarnya terdapat dua pendekatan yang sederhana yang umum digunakan, yakni pendekatan weighted sum methode (WSM) dan weighted product methode (WPM) (Jablansky 1998). Penentuan prioritas dengan pendekatan WSM tersebut, secara matematis dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan matematis sebagai berikut :
Sedangkan penentuan prioritas dengan pendekatan WPM dapat dihitung dengan persamaan matematis sebagai berikut :
Keterangan : Pi adalah prioritas ke i aij adalah skor dari alternatif ke-i dengan kriteria J Wj adalah bobot dari kriteria j Ap, Aq adalah alternatif ke p, q dari sejumlah n alternatif
38
2.4.
Cost-Benefit Analysis (CBA) Cost Benefit Analysis, dipergunakan untuk pengambilan keputusan dan
menentukan kebijakan yang didasarkan pada informasi mengenai keuntungan dan kerugian terhadap pilihan beberapa keputusan.
Analisis ekonomi dan CBA pada
umumnya dapat memberikan pertimbangan bagi pengambil keputusan, untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat bernilai. Menurut Hanley dan Spash (1995) memasukkan nilai lingkungan dalam perhitungan bisnis dan politik sebagai masukan dalam pengambilan keputusan, merupakan tujuan utama dari CBA lingkungan. Dalam konteks penentuan optimasi pengolahan sampah, pada kenyataannya terdapat problematika untuk melakukan kuantifikasi dalam bentuk uang dari seluruh dampak yang ditimbulkan oleh masing-masing teknologi. Dalam beberapa hal, tidak seluruh dampak dapat dikuantifikasi, namun demikian seluruh dampak harus diinformasikan untuk pengambilan keputusan. Hal yang sangat penting dalam CBA adalah penilaian ekonomi sejauh mungkin dapat dilakukan untuk seluruh barang, pelayanan dan dampak lingkungan pada pilihan teknologi pengolahan sampah dalam pengambilan keputusan. Apabila pasar untuk barang dan jasa telah ada, maka nilainya dapat dikuantifikasi dengan harga pasar. Namun demikian masih cukup banyak barang lingkungan seperti udara yang bersih, tidak ada pasarnya dan tidak ada harga yang didapat dari hasil pengamatan, sehingga untuk menilainya harus menggunakan teknik lain. Penilaian terhadap barang lingkungan yang tidak ada harga dan pasarnya ini dapat dikatakan sangat rumit serta terkait dengan ketidakpastian yang sangat besar. Menurut Hanley dan Spash (1995), struktur metode CBA terdiri dari beberapa tahapan.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah pendefinisian proyek, identifikasi
dampak yang sesuai dengan ekonomi, mengkuantifikasi dampak fisik, perhitungan valuasi keuangan, diskonto, pembobotan dan analisis sensitivitas. 2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan Menurut Bartz dan Kelly (2005), terdapat teori kurva lingkungan dari Kuznets yang menghubungkan antara degradasi (penurunan) kualitas lingkungan hidup dengan pertumbuhan ekonomi.
Kurva Kuznet ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran
lingkungan mengalami kenaikan dan kemudian mengalami penurunan atau titik balik, selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Kurva Kuznet ini digambarkan dalam bentuk huruf U terbalik, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 14.
39
Degradasi Lingkungan
Titik balik
Degradasi Lingkungan
Income per Capita Lingkungan yg semakin memburuk
Lingkungan yg semakin membaik
Gambar 14 Diagram Kuznet (Bertz dan Kelly 2005)
Gambaran dari kurva Kuznet, bahwa pada tahap awal industrialisasi, masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi makanan dari pada bernafas dengan udara yang bersih (lingkungan yang bersih). Hal ini dapat dimengerti, karena pada masyarakat yang tahap pendapatannya rendah, masyarakat terlalu miskin untuk mampu membayar penurunan pencemaran lingkungan.
Kondisi tersebut memaksa akan diabaikannya keberadaan
peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup dan akan membuat peraturan perundangan lingkungan hidup menjadi terlalu lemah keberadaannya. Pada Kurva Kuznet juga terlihat bahwa pada saat pendapatan masyarakat mulai naik, industri akan menjadi lebih bersih dan marginal utilitas konsumsi (marginal utility of consumption) akan jatuh/menurun. Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat mulai menghargai lebih besar kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, selain itu adanya peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup juga akan mulai lebih efektif. Dalam kurva ditunjukkan bahwa pada rentang pendapatan menengah polusi mulai berhenti meningkat dan selanjutnya pada titik balik (turning point) akan menurun selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Fischer dan Dornbusch (1997), pendapatan nasional bruto (GNP) merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian pada suatu kurun waktu tertentu (kuartal ataupun tahunan).
GNP adalah ukuran pokok dari kegiatan
ekonomi. GNP tidak hanya digunakan sebagai ukuran berapa banyak barang dan jasa yang sedang diproduksi, tetapi juga sebagai ukuran kesejahteraan penduduk suatu negara.
40
Apabila terjadi kenaikan GNP biasanya diartikan sebagai adanya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya masih terdapat kekurangan dalam menilai GNP. Adapun kekurangan tersebut antara lain adalah ketiadaan pengurangan yang seharusnya dilakukan terhadap adanya output negatif dari GNP. Dalam konteks lingkungan seharusnya GNP harus dikoreksi dengan mengurangkan nilai dari polusi yang dihasilkan oleh pabrikpabrik dan kendaraan, yang kesemuanya merupakan output negatif. Namun demikian apabila terjadi perbaikan lingkungan, maka seharusnya terdapat tambahan dari output positif dari kondisi lingkungan yang lebih baik. Dalam konteks penelitian ini yang mengambil DKI sebagai daerah kajian tingkat kesejahteraan, perhitungan dilakukan berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB), yang merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi di dalam wilayah DKI. PDRB dapat memberikan gambaran tentang keadaan masa lalu, masa kini dan sasaran-sasaran yang akan dicapai di masa yang akan datang. Pada hakekatnya pembangunan ekonomi merupakan usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperbesar kesempatan kerja, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan kegiatan ekonomi, dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. PDRB DKI Jakarta dihitung berdasarkan harga konstan tahun 1993, yang memberikan gambaran tingkat pertumbuhan riil perekonomian DKI baik secara agregat maupun sektoral. Pertumbuhan perekonomian pada suatu masa apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa tersebut, akan merupakan cerminan dari tingkat perkembangan pendapatan per kapita penduduk. Pertumbuhan
perekonomian
juga
kesejahteraan/kemakmuran material.
merupakan
ukuran
relatif
tingkat
PDRB dari suatu daerah yang disajikan secara
berkala, wajar dan komprehensif akan dapat menggambarkan: a. indikator tingkat pertumbuhan perekonomian; b. indikator tingkat perkembangan pendapatan per kapita; c. indikator tingkat kemakmuran masyarakat; d. indikator tingkat inflasi; e. indikator dari struktur perekonomian suatu daerah. PDRB DKI dengan harga konstan tahun 1993 dapat dilihat pada Tabel 8.
41
Tabel 8 PDRB per kapita Kota DKI Jakarta Tahun
Harga Berlaku PDRB per kapita
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
5.867.834 6.617.340 7.722.748 8.871.546 11.664.943 16.696.695 19.767.326 22.425.675 31.120.094 35.166.152 38.903.701 43.329.781 49.920.846
Laju Pertumbuhan (%) 12,78 16,70 14,88 31,49 43,14 18,39 13,45 16,30 15,23 12,34 12,52
Harga Konstan 1993 PDRB Laju per Kapita Pertumbuhan (%) 5.867.834 6.248.111 6,48 6.686.735 7,02 7.156.214 7,02 7.228.685 5,11 5.998.290 -17,02 5.973.156 -0,42 6.107.614 2,25 7.307.159 3,64 7.503.946 3,99 7.752.949 4,62 8.057.326 5,24
Sumber : Diolah dari BPS, Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta (2005 dan 2006) Menurut Barton et al. (1994) yang melakukan penelitian pada kota-kota di beberapa negara dengan tingkat pendapatan menengah dan rendah didapatkan hasil bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi ligkungan. Hasil penelitian pada beberapa negara dengan tingkat pendapatan rendah, atau pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income), menegah ke atas (upper-middle income) dan pendapatan tinggi (high-income) dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut Cointreau et al. (1985), komposisi sampah berkaitan erat dengan tingkat ekonomi. Kondisi ini tergambar dengan jelas pada komposisi sampah yang bervariasi pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10.
2.6. Kebijakan Laswell dan Kaplan (1971), memberikan pengertian mengenai kebijakan sebagai “a program of goals, values and practices” yaitu suatu program pencapaian tujuan, nilainilai dan praktek-praktek yang terarah. Menurut James Anderson (1979) kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”.
42
Tabel 9 Tipologi kota berdasarkan ekonomi - lingkungan Masalah lingkungan perkotaan
Negara dengan tingkat pendapatan <650 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan <650-2,500 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan <2,500-6,500 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan >6,500 US$ per kapita
Akses pada pelayanan : Air minum dan sanitasi Pelayanan rendah Pelayanan yang rendah kualitas yang buruk untuk masyarakat miskin khususnya untuk rakyat miskin
Umumnya mendapatkan pelayanan air minum, sistem sewerage yang memadai
Bagus, perhatian pada substansi yang kecil
Drainase
Masuk akal
Bagus
Masuk akal
Bagus
Pelayanan yang rendah sering terjadi banjir
Tidak memadai, kadang terjadi banjir
Pengumpulan Sampah Pelayanan yang rendah Kurang memadai khususnya untuk rakyat miskin Pencemaran: Pencemaran Air
Kurang memadainya sanitasi dan air limbah domestik
Masalah yanag berat dari tidak diolahnya air limbah domestik yang dibuang
Beberapa masalah buruknya pengolahan air limbah dan pembuangan air limbah industri
Tingkat pengolahan yang tinggi. Perhatian pada harga amenitas dan zat beracun
Pencemaran Udara
Beberapa masalah di kota yang menggunakan batu bara, indoor exposure pada rakyat miskin
Beberapa masalah di beberapa kota akibat pemakaian batu bara dan kendaraan bermotor
Beberapa masalah pada beberapa negara dan penggunaan batu bara dan kendaraan bermotor
Masalah untuk beberapa kota dari emisi kendaraan bermotor Prioritas kesehatan
Pembuangan Sampah
Open dumping , limbah Sebagian besar landfill tidak tercampur trekontrol, limbah tercampur
Semi control landfill
Control landfill , insinerator, pemulihan sumber daya
Beberapa masalah Pertumbuhan kapasitas
Pergerakan dari remediasi ke pencegahan
Pengolahan limbah B3 Tidak ada kapasitas
Kehilangan sumber daya : Pengelolaan lahan
Bahaya lingkungan alamiah dan buatan manusia
Tidak terkontrolnya penggunaan dan pengembangan lahan, tekanan dari hunian liar
Beberapa masalah kapasitas rendah
Tidak efektifnya kontrol peng- Beberapa Zoning dilakukan gunaan lahan
Bencana yang berulang Bencana yang berulang dengan Resiko yang tinggi dari bahaya dengan kerusakan yang kerusakan sedang dan industri berat dan kematian kematian
Sumber: Barton et al. World Development Report, 1992
Zoning lingkungan pada lokasi regional
Kapasitas yang baik untuk emergensi
43
Tabel 10 Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri Negara Penghasilan Rendah
Negara Penghasilan Menengah
Negara Industri
0,4 – 0,6
0,5 – 0,9
0,7 – 1,8
250 - 500
170 - 330
100 – 200
40 - 80
40 – 60
20 – 40
1 – 10 1 – 10 1–5 1–5 1–5 1–5 1–5 40 – 85 1 – 40 5 – 35
15 – 40 1 – 10 1–5 1–6 – – 2 – 10 20 – 65 1 – 30 –
15 – 50 4 – 12 3 – 13 2 – 10 – – 2 – 10 20 – 50 1 – 20 10 – 85
Produksi sampah (kg/cap/day) Kepadapatan sampah (wet weight basis-kg/m3) Kelembaban (% wet weight at point of generation) Komposisi (% berat basah) - Kertas - Kaca - Metal - Plastik - Bulu, Karet - Kayu - Kain - Tumbuhan - Lainnya Ukuran Partkel, % lebih besar dari 50 mm
Sumber : Cointreau et al. (1985) Menurut Dunn (1981) sistem kebijakan merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu kebijakan publik (KP), pelaku kebijakan (PK) dan lingkungan kebijakan (LK). Menurut Mustopadidjaja (2008) kebijakan publik merupakan keputusan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Pada perumusan kebijakan publik, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali konsep sistem kebijakan (policy system).
Menurut Mustopadidja, sistem kebijakan adalah
tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan wahana dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan) yang mengakomondasikan kegiatan tehnis (technical prosess) maupun sosiopolitis (sociopolitical process) serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik. Selanjutnya dikatakan bahwa keempat factor dinamik tersebut adalah lingkungan kebijakan; pembuat dan pelaksana kebijakan; kebijakan itu sendiri dan kelompok sasaran kebijakan.
44
Menurut Maani dan Cavana (2000), dinamika proses kebijakan publik dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik, akan dapat dipahami , melalui metoda berfikir berdasarkan teori
gunung es (the iceberg fonomena) dan level of prespective serta
memahami perubahan lingkungan strategis yang sedang terjadi. Kondisi tersebut terjadi karena pada kebijakan publik, terdapat masukan kebijakan (input policy) yang mengalir dari lingkungan kebijakan. Menurut teori gunung es, informasi yang berasal dari berbagai media merupakan suatu peristiwa (events), yang memberikan informasi mengenai bagaimana peristiwa terjadi, bilamana dan apa dampak yang ditimbulkan dan menimpa siapa kejadian tersebut serta informasi nilai kerugiannya. Teori ini secara keseluruhan hanya merupakan event namun belum merupakan akar masalah itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka merumuskan tindakan yang akan diambil, selayaknya harus dilakukan penggalian informasi yang lebih dalam yaitu petern of behaviour (kecenderungan dari kejadian) serta pendalaman pemikiran untuk memahami bagaimana problem of event tersebut berhubungan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu maka dalam memahami struktur sistemnya (sistemic structure) yang merupakan permasalahan masyarakat yang mengemuka, maka systemic structure akan memberikan pengertian atau pemahaman mengenai mental model masalah sebagai akar masalah. Berdasarkan mental model tersebut akan dapat ditentukan kerangka intervensi strategis (desain kebijakan), yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang mengemuka di masyarakat tersebut.
45
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta (DKIJ). DKIJ merupakan kota
metropolitan dan kota terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 8,8 juta jiwa, dan luas wilayah 65.000 hektar. DKIJ memiliki permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sampah skala perkotaan,dimana pemerintah daerah DKIJ telah menetapkan kebijakan dalam pengolahan sampahnya dengan menggunakan kombinasi teknologi komposting, insinerator skala kecil serta sanitary landfill. Penelitian dilakukan sejak bulan November 2005 hingga akhir 2010. 3.2.
Rancangan Penelitian Penelitian Formulasi kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan ini
meliputi beberapa tahapan kajian sebagai berikut: Kajian 1. Analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk tempat pengolahan sampah Kajian 2. Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan Kajian 3. Multi kriteria evaluasi (multy criteria evaluation) Kajian 4. Analisis Sistem Dinamik (system dynamic) Kajian 5. Analisis kebijakan 3.2.1 Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah. Pada penelitian ini dilakukan analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan bagi penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah, yang dilakukan di masingmasing bagian wilayah DKI Jakarta. Pada kajian ini dianalisis ketersediaan lahan di masing-masing bagian wilayah DKI Jakarta, sebagai tempat pengolahan sampah dengan menggunakan teknologi high rate komposting (HRC), waste to energy (WTE) incinerator tipe fluidized bed furnace dan teknologi sanitary landfill (SLF), dengan menggunakan data-data pemanfaatan lahan di wilayah administratif DKI dari Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2006). Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan lahan dilakukan dengan melakukan perhitungan luasan kebutuhan lahan untuk masing-masing teknologi dalam jangka waktu 25 tahun. Indikasi kesesuaian lahan terhadap penggunaan
46
teknologi pengolahan sampah, dilakukan berdasarkan beberapa kriteria seperti luasan kebutuhan lahan yang diperlukan, tingkat kepadatan penduduk untuk melihat kelayakan sosial, serta kondisi air tanah dan pemanfaatan air tanah untuk air minum. Pada penelitian ini dilakukan berbagai hal, yakni: 1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk kajian ini antara lain adalah data-data sekunder tentang pemanfaatan lahan, jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk. Data-data ini diperoleh dari dinas/instansi terkait, antara lain dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pekerjaan Umum. Basis jumlah penduduk yang diambil dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk pada tahun 2008, yang diproyeksikan dalam 25 tahun ke depan. 2. Analisis ketersediaan lahan Pada tahapan ini dilakukan analisis ketersediaan lahan dengan cara mengevaluasi kecenderungan pemanfaatan lahan di wilayah DKI Jakarta bagi kebutuhan perumahan, industri, perkantoran, gudang, dan taman (ruang terbuka hijau), serta pemanfaatan lainnya (jalan, sungai, saluran dan utilitas perkotaan). Hasil analisis pemanfaatan lahan ini akan mendapatkan besaran luasan lahan terbuka yang belum terbangun, dan memungkinkan sebagai tempat pengolahan sampah dalam kurun waktu 25 tahun ke depan. 3. Analisis kebutuhan lahan Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah SLF, insinerator WTE dan HRC, dihitung dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program Exel. Perhitungan tersebut dilandasi kaidah-kaidah teknis dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah.
Perhitungan tersebut dilakukan
terhadap timbulan sampah dengan varian besaran sampah masuk 500 ton/hari, 1.000 ton/hari, 2.000 ton/hari dan 3.000 ton/hari. Kebutuhan lahan untuk SLF dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain : umur rencana operasional, yang dalam penelitian ditetapkan 25 tahun, total berat sampah selama masa operasi, berat jenis sampah setelah compaction (pemampatan) yang dalam penelitian ini diambil 0,6 ton/m3, berat jenis sampah setelah decomposition diambil 1,05 ton/m3, tinggi timbunan sampah untuk kapasitas sampah masuk masing-masing 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton/ hari yaitu 30 m, 36 m, 45m dan 48 m, serta tinggi bukit akhir yanag merupakan rasio antara berat jenis sampah compaction (0,6 ton/m3) dengan berat
47
jenis sampah decomposition (1,05ton/m3) terhadap tinggi timbunan, untuk kapasitas sampah masuk sebesar 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton/hari masing-masing 17,1 m, 20,6 m, 25,7 m, 27,4 m. Disamping itu kebutuhan lahan aktif SLF untuk kapasitas 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton/hari diperlukan 43 ha, 71,7 ha, 114,7 ha dan 161,3 ha, serta fasilitas pendukungnya seperti jalan lingkungan (intenal road) dan drainase diasumsikan 6,5% dari lahan aktif, kebutuhan buffer zone diasumsikan 50% dari lahan aktif, secara keseluruhan rasio penggunaan lahan (gross) per ton kapasitas untuk sampah masuk 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton/hari sebesar 1.290 m2/ton, 1.075 m2/ton, 880 m2/ton dan 806m2/ton. Sedangkan untuk WTE insinerator kebutuhan lahan diperlukan untuk fasilitasfasilaitas antara lain : reception area, burning area, power plant area, rejected material area, internal road dan drainase, parking area, buffer zone, yang secara keseluruhan untuk sampah yang belum terpilah memerlukan lahan untuk kapasitas masing-masing 500, 1.000, 2.000 dan 3.000 ton/hari memerlukan 47,9 m2/ton, 46,9 m2/ton, 37,3 m2/ton, dan 33,4 m2/ton. Teknologi HRC memerlukan lahan untuk fasilitas-fasilitas reception area, sorting area, shredding and cutting area, fertilizing area, dan rejected material area serta internal road dan parkir, buffer zone area, untuk masing-masing kapasitas 500, 1.000, 2.000, dan 3.000 ton/hari memerlukan lahan sebesar 99,2 m2/ton, 98,2 m2/ton, 88,3 m2/ton dan 85,9 ton/m2. Indikasi kesesuaian lahan untuk lokasi tempat pengolahan sampah, dilakukan dengan cara menilai beberapa parameter.
Parameter dan kriteria pendukung yang
dijadikan pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan sebagai tempat pengolahan sampah, dapat dilihat pada Tabel 11. 4. Kesesuain dengan Kebijakan Penataan Ruang Penempatan unit pengolahan sampah selain memperhatikan parameter dan kriteria sebagaimana diuraikan pada Tabel 11, juga harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang, baik kebijakan tata ruang nasional, (undang-undang penataan ruang nomor 26 tahun 2007), provinsi maupun kebijakan tata ruang kabupaten/kota.
5. Rekomendasi ketersediaan dan kesesuaian lahan. Hasil analisis tersebut di atas, selanjutnya diramu menjadi rekomendasi kebutuhan dan ketersediaan serta idikasi kesesuaian lahan bagi tempat pengolahan dan pembuangan sampah, dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah HRC, WTE incinerator dan SLF.
48
Tabel 11 Parameter dan kriteria pemilihan lokasi tempat pengolahan sampah Parameter Kondisi tanah (soil condition)
Peyediaan air minum perpipaan Konservasi lingkungan Jarak pada sumber air Banjir Jarak dari jalan raya Lokasi Wisata Jarak dari pusat pelayanan Luas lahan yg diperlukan Kepadatan Penduduk Sumber : Diolah dari berbagai sumber.
Kriteri Kesesuaian Tempat Pengolahan Sampah Ketinggian air tanah >1m dari permukaan tanah tidak pada lahan yang memiliki kandungan sumber daya alam yg dimanfaatkan. Cakupan pelayanan 100% Tidak dapat diletakkan pada wilayah yang dilindungi, hutan lindung, taman nasional, atau cagar alam. Lebih besar dari 500 m dari sumber air Tidak dalam wilayah banjir Maksimal 1 Km dari jalan raya Lebih besar 1 Km dari lokasi pariwisaata, cagar budaya Lebih besar dari 2 Km dari pusat permukiman terkecil Dapat untukmenampung sampah selama 25 tahun Untuk Samitary Landfill lebih kecil dari 50 jiwa/ha
3.2.2 Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Pada tahap ini dilakukan perhitungan cost benefit analysis(CBA), dengan tujuan untuk membandingkan opsi-opsi sistem pengolahan sampah secara parsial. Pada tahap ini dilihat hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah hingga biaya yang ditimbulkannya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 15.Pada dasarnya rangkaian dampak yang ditimbulkan pada pengolahan sampah, dimulai sejak masuknya sampah ke lokasi sanitary landfill, incinerator dan composting site. Pada pengolahan sampah akan dihasilkan emisi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas dari udara, tanah, dan kualitas air dengan bertambahnya konsentrasi polutan ke dalam media tersebut. Emisi polutan dapat mengenai (exposure) manusia, gedung, binatang, tanaman, dsb.yang dalam kuantitas tertentu dan lamanya kontaminasi dosis dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan, dan pada aspek lainnya. Dampak negatif ini pada akhirnya menjadi beban yang harus ditanggung oleh masyarakat (social cost), secara skematis hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Dalam rangka mendapatkan optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Langkah pertama: Mendefinisikan obyek penelitian. Pada langkah pertama dilakukan beberapa hal yakni: (a) Relokasi dari sumber daya yang sedang diusulkan.Dalam penelitian ini dipergunakan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah WTE incinerator , dan high rate composting (HRC), sebagai kelengkapan sistem pengolahan yang sebelumnya hanya dilakukan dengan sanitary landfill, maka terdapat
49
relokasi sumber daya untuk pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas WTE insinerator dan HRC; (b) Pertimbangan terhadap keuntungan dan kerugian. Pendefinisian ini dimaksudkan untuk memperjelas batasan dari obyek penelitian yang akan dilakukan penilaiannya dan untuk memberikan batasan dari obyek penelitian yang akan dinilai.
Faktor emisi
Sampah
Udara, Tanah, Kualitas Air
x
Satuan biaya
Biaya sosial
Emisi
Eksposur
Dosis
Dampak
Gambar 15 Hubungan alur dampak lingkungan dari pembuangan sampah sampai biaya yang ditimbulkan 2. Langkah kedua: Identifikasi dampak Pada langkah ke dua, setelah obyek penelitian yang akan dinilai, lingkup dan batasannya ditetapkan, maka langkahberikutnya adalah melakukan identifikasi seluruh dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan/ pengoperasiannya, yang meliputi penggunaan sumberdaya, dampak tenaga kerja, dampak pergerakan lalulintas, dampak terhadap harga kepemilikan, dampak kualitas landscape, dan eksternalitas lainnya.
3. Langkah ketiga: Menentukan dampak yang relevan secara ekonomi. Pada dasarnya hampir setiap masyarakat tertarik untuk memaksimalkan kepuasannya (utilitasnya) terhadap kelompok yang lainnya. Kepuasan ini bergantung kepada beberapa variabel, yakni
tingkat konsumsi dari barang yang ada pasarnya
maupun barang yang tidak memilliki pasar. Dalam penelitian ini CBA digunakan untuk memilih pemanfaatan teknologi pengolahan sampah SLF, WTE insinerator, HRC, baik yang dioperasikan secara individual maupun terintegrasi dari ketiga teknologi tersebut, untuk menentukan pilihan yang terbaik (paling efisien) dari daftar alternatif sistem pengolahan sampah (portofolio).
50
4. Langkah keempat: Kuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai. Pada tahap ini dilakukan penentuan besaran fisik dari biaya dan manfaat yang ada pada obyek penelitian, serta mengidentifikasi sesuatu yang akan terjadi pada saatnya nanti, seperti perubahan terhadap kondisi lingkungan yang dapat merugikan masyarakat tertentu di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida CO2 dan gas metan CH4 yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dari pemanfatan teknologi SLF, WTE insinerator, HRC, serta kombinasinya dengan sampah yang tidak terpilah, dan yang terpilah antara sampah organik dan anorganik. 5. Langkah kelima: Valuasi moneter dari dampak yang relevan Pada tahap ini dilakukan penakaran dampak dengan menggunakan ukuran yang biasa dipergunakan.Pada penelitian ini simplifikasi dilakukan dengan hanya menghitung emisi gas yang ditimbulkan dari teknologi pengolahan sampah yang dipergunakan, dengan melakukan kuantifikasi timbulnya gas rumah kaca (GRK) dominan yaitu gas karbon dioksida CO2 dan gas metan CH4. Perhitungan keuntungan maupun kerugian riil di masa yang akan datang harus dihitung dengan memperhatikan faktor tingkat inflasi. 6.
Langkah keenam: Discounting dari aliran cost dan benefit Pada tahap ini dilakukan perhitungan seluruh cost (kerugian) ataupun benefit
(keuntungan), yang dihitung dengan menggunakan nilai uang. Nilai present value (PV) harus dikonversikan dalam nilai saat ini, adapun formula yang digunakan adalah sebagai berikut: PV (Xt) = Xt (( 1 + i ) -t) atau PV (Xt) = Xt ( 1/( 1 + i ) t) Keterangan : PV : harga pada saat ini (present value) Xt : harga X pada tahun t i : interest (bunga bank yang berlaku), dalam perhitungan ini diambil 7% Nilai dalam kurung merupakan discount factor yang nilainya antara +1 dan 0. 6. Langkah ketujuh : Menggunakan uji net present value Tujuan utama dari CBA adalah membantu memilih proyek dan memilih kebijakan yang paling efisien dalam konteks penggunaan sumber daya. Kriteria yang dipergunakan adalah dengan melihat nilainet present value(NPV), yaitu melihat nilai total dari PV
51
keuntungan (benefit) dibandingkan dengan nilai total dari PV kerugian (cost). Apabila nilai PV keuntungan lebih besar dari nilai PV kerugian maka kegiatan tersebut lebih effisien dalam menggunakan sumber daya. NPV dapat dihitung dengan menggunakan formula : NPV = ∑Bt(1 + I ) –t - ∑Ct( 1 + I ) –t 7. Langkah kedelapan: Analisis sensitifitas Pada tahap ini dilakukan perhitungan analisis sensitifitas, dalam rangka melihat parameter yang paling sensitif terhadap NPV. Uji sensitifitas dilakukan karena terdapat “ketidakpastian” dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan datang. Parameter yang dipergunakan terhadap NPV dalam penelitian ini antara lain: 1. Discount rate, 2. Harga jual/ beli dari energi listrik yang dihasilkan, 3. Jarak angkut sisa pembakaran sampah 3.2.3 Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evaluation) Pada tahap ini dilakukan analisis dengan metoda multi kriteria evaluasi untuk menentukan alternatif terbaik dalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah.Pada tahapan penelitian ini dipilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKIJ.Sistem tersebut adalah pemanfaatan teknologi pengolahan sampah High rate composting (HRC), WTE incinerator, dan system sanitary landfill (SLF), baik yang dilakukan secara individual maupun dengan teknologi terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik.Adapun langkah yang dilakukan untuk tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
Langkah 1: penetapan alternatif teknologi pengolahan sampah, yang dioperasikan secara individual dan terintegrasi, sehingga didapat lima alternatif pilihan sistem pengolahan sampah.
Langkah 2: menetapkan kriteria pemilihan teknologi pengolahan sampah dan penetapan bobot untuk masing-masing kriteria.
Langkah 3: melakukan pemilihan alternatif sistem
pengolahan sampah
berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan bantuan program MCE TOPSIS.
52
Penentuan nilai akhir dari multi kriteria didasarkan pada pembentukan dan perhitungan matrik keputusan yang kemudian diolah dengan bantuan program TOPSIS (Technique Ordering Preference Similarity Ideal Situation). Tahap pertama dalam TOPSIS
adalah
penentuan
matriks
keputusan
dalam
bentuk
Dimana D adalah decision matriks, X11 atau Xij adalah alemen matriks yaitu nilai atau angka setiap pilihan dan kriteria, sedangkan Ʌ (lamda) adalah engine vector yakni vector baris
atau
kolom
angka
yang
merupakan
persamaan
kuadrat
yang
akan
mentransformasikan matrik biasa menjadi matrik yang ternormalisasi, dan M adalah matriks identitas yang merupakan matrik penolong untuk membantu mentransformasi matrik di atas. Matriks keputusan ini kemudian dilakukan normalisasi sehingga diperoleh normalize rating yakni :
Dimana rij adalah rating dari kolom baris ke i kolom ke j, xij adalah komponen matrik baris ke i dan kolom ke j. Normalized rating ini kemudian di bobot menjadi:
Dimana Vij adalah bobot yang ternormalisasi dengan Wj adalah bobot. Langkah selanjutnya dalam penentua prioritas adalah penentuan solusi ideal dan solusi non ideal yang dihitung berdasarkan formula:
Dimana A* adalah situasi ideal dan A- adalah situasi non-ideal dan J adalah manfaat yang diperoleh dari setiap alternatif.
53
Langkah berikutnya dari TOPSIS adalah penentuan jarak Euclidian dari situasi ideal dan non-ideal yang ditulis dalam persamaan:
Dimana S* adalah jarak ideal dan
adalah jarak non-ideal dan vijbobot yang
ternormalisasi. Langkah terakhir kemudian menentukan rankin yang didasarkan pada rasio jarak ideal dan non ideal yakni:
Dimana 0
3.2.4. Analisis System Dynamic (sistem dinamik) Analisis system dynamic digunakan untuk melihat interakasi antar berbagai komponen dalam pengelolaan sampah yakni variabel social (pertumbuhan penduduk), variabel ekonomi (PDRB), variabel lingkungan (sampah), dan teknologi (SLF, WTE, dan HRC). Hasil dari sistim dinamik dapat memprediksi volume sampah dan unit cost yang dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan volume sampah tersebut. Analisis system dynamic dilakukan melalui program Vensim dengan komponen sebagaimana pada diagram Gambar 16. 3.2.5. Analisis Kebijakan Pada tahap ini dilakukan formulasi kebijakan yang direkomendasikan dalam pengolahan sampah perkotaan dengan mengambil kasus DKIJ. Langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
Langkah 1:melakukan evaluasi implementasi kebijakan pengolahan sampah di DKIJdalam pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan teknologi komposting dan insenirator skala kecil.
54
Langkah 2: melakukan formulasi kebijakan berdasarkan hasil kajian pada langkah sebelumnya, untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan.
Gambar 16 Diagram system dynamic untuk sampah di Jakarta
55
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi Penelitian Kota Jakarta sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah, ditetapkan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dan merupakan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Disamping sebagai pusat
pemerintahan Jakarta juga memiliki peran sebagai kota perniagaan, perdagangan dan budaya yang terletak antara 6o12’ Lintang Selatan, 106 o48’ Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter di atas permukaan laut. Daerah perkotaan memiliki kemiringan dari bagian selatan ke bagian utara, ke arah laut dengan kemiringan kurang dari 1/1000. Di sebelah utara membentang pantai dari barat ke timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya sembilan buah sungai dan dua buah kanal, sungai terbesar yang melintasi kota Jakarta adalah Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Kota Jakarta di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan wilayah propinsi Jawa Barat, di sebelah barat dengan Propinsi Banten, dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu udara maksimum pada siang hari kurang lebih 33,8oC, dan pada malam hari kurang lebih 23,1oC.
Curah hujan DKI mencapai 2.105,5 mm dengan tingkat kelembaban udara
mencapai 78,4% dan kecepatan angin rata-rata mencapai 3,4 m/dt. Daerah di sebelah selatan dan timur Jakarta terdapat rawa dan situ dengan total luas mencapai 100,52 Ha, sehingga cocok digunakan sebagai daerah resapan air. DKI Jakarta mempunyai iklim yang sejuk, sehingga wilayah ini lebih cocok dipergunakan sebagai wilayah permukiman. Wilayah administrasi propinsi DKI Jakarta di bagi menjadi lima bagian wilayah yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Kotamadya Jakarta Timur serta wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Penelitian ini
hanya mengambil lokasi di wilayah kotamadya, sehingga di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yang terpisah dari ke lima bagian wilayah DKI Jakarta tidak dilakukan penelitian. 4.2
Manajemen Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Secara umum pengelolaan sampah di DKI Jakarta dilaksanakan oleh Dinas
Kebersihan DKI Jakarta. Khusus untuk pengelolaan sampah yang berasal dari sungai
56
berada di bawah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, dan sampah yang berasal dari taman-taman dikelola oleh Dinas Pertamanan. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan dan diangkut sampai ke tempat penampungan sementara (TPS), yang dikoordinasikan dengan Dinas Kebersihan untuk melaksanakan pembuangan hingga ke tempat pengolahan dan pembuangan akhir (TPA). Koordinasi dan pengelolaan sampahsampah tersebut diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1281 tahun 1988 tentang Pengelolaan Sampah DKI Jakarta.
Adanya kebijakan tersebut,
mengakibatkan pengelolaan sampah di DKI Jakarta mengalami berbagai masalah baik aspek teknis, sosial (peran serta masyarakat).
Selain itu juga menghadapi masalah
kurangnya alokasi dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan.
Secara skematik
pengelolaan sampah sejak dari sumber hingga pengolahan dan pembuangan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dapat dilihat pada Gambar 17. SUMBER DAN
MANAJEMEN DAN PEMBUANGAN
VOLUME Sampah Rumah Tangga 52 %
Komunitas Dan Pasar Lokal
Pasar Tradisional 17 %
Pemulung
Organik Non-Organik
Non-Organik & Kertas
Lapak
Daur Ulang Sampah Skala Kecil
Pemasaran Produk
Pengumpulan
Industri Daur Ulang
25,578 m3/hari
Pasar Komersil 15 %
Industri 15 %
Manajemen Oleh DKI 21.741 m2/hari
Sektor Swasta Di Jalan Protokol
Organik & Non-Organik
Penampungan Sementara Atau Akhir
Pengangkutan Dari Sungai (DKI) 400 m2/hari
Jalan 1%
1.400 m3/hari
Buangan Sampah ke Sungai
1,000 m3/hari Teluk Jakarta
Gambar 17 Skematik diagram pengelolaan sampah DKI jakarta berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta
57
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005), memperlihatkan bahwa timbulan sampah yang dihasilkan per kapita per hari adalah sebesar 2,97 liter/ kapita/hari, atau setara dengan 0,64 kg/kapita/hari, dengan berat jenis sampah 0,21 kg/liter.
Secara terinci timbulan dan berat jenis sampah dari berbagai
sumber sampah dapat di lihat pada Tabel 12, Tabel 13 dan Tabel 14. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahyono (2004) yang mengatakan bahwa pada tahun 1995, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 0,8 kg per kapita per hari, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2020, diperkirakan produk sampah mencapai 2,1 kg per kapita per hari. sampah telah menjadi masalah besar di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, maka jika tidak dilakukan pengelolaan terhadap sampah, maka pada tahun 2020, volume sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat lima kali lipat.
Kondisi ini memperlihatkan
bahwa jumlah timbunan sampah semakin lama semakin meningkat jumlahnya, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu maka pengelolaan sampah perlu ditangani secara terpadu.
Tabel 12 Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survey tahun 2005 Sumber Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/ Fasum Industri
Timbulan Sampah Di Sumber 1,36 9,82 0,40 3,36 2,76
Satuan
Jumlah Sumber
liter/orang/hari liter/pedagang/hari liter/murid/hari liter/pekerja/hari liter/buruh/hari TOTAL
7.456.931 76.350 2.386.687 2.535.680 688.098
Satuan
jiwa pedagang murid pegawai
Total Produksi Sampah ( m3/ hari) 10.141 750 955 8.520
buruh
Sumber : Dinas Kebersihan DKI (Januari 2005)
Tabel 13 Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 Timbulan Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/ Fasum Industri Total Timbulan Sampah Sumber : Dinas Kebersihan DKI (Januari 2005)
liter/jiwa/hari 1,36 0,10 0,13 1,14 0,25 2,97
Kg/Jiwa/Hari 0,339 0,031 0,034 0,175 0,057 0,64
1.899 22.265
58
Tabel 14 Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah Berat jenis sampah ( Kg/liter)
Sumber Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/ Fasum Industri Total Sampah Sumber : Data Perhitungan Dinas Kebersihan DKI, Januari 2005
0,25 0,30 0,27 0,15 0,23 0,22
4.2.1. Komposisi Sampah a.
Sampah Permukiman Sampah permukiman umumnya berupa sampah yang berasal dari halaman rumah,
dari dapur baik berupa sisa-sisa pengolahan makanan, bekas pembungkus, sampah bekas alat rumah tangga, sampah daun tanaman, kulit buah, dan kaleng bekas kemasan bahan makanan. organik
Jenis sampah permukiman sebagian besar (± 62,6%) merupakan sampah dan sisanya adalah sampah anorganik sekitar 37,4%.
Hasil survey yang
dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) memperlihatkan bahwa 16,37% sampah rumah tangga didaur ulang, dan sisanya kurang lebih 83,63% dibuang ke TPS dan TPA. Komposisi timbulan sampah di wilayah permukiman bervariasi, tergantung pada tingkat pendapatan. Komposisi sampah di wilayah permukiman dengan tingkat pendapatan tinggi, menengah dan rendah masing-masing dapat dilihat pada Tabel 15, Tabel 16 dan Tabel 17. Tabel 15 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan tinggi No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll). An organic Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll).
Total Sumber : Hasil Survai DJCK, Januari 2005
% total 65,45
% di daur ulang 0,00
% dibuang 65,45
13,00 12,02 0,02 0,33
9,17 6,15 0,02 0,33
3,83 5,87 0,00 0,00
1,00 2,10 0,00 1,28 4,52 100
1,00 2,10 0,00 0,00 0,00 18,77
0,00 0,00 0,00 1,28 4,52 81,23
59
Tabel 16 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan menengah No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll).
Total Sumber : Hasil Survai DJCK Januari 2005
% total 61,55
% di daur ulang 0,00
% dibuang 61,55
11,04 13,66 0,12 0,24 0,10 0,90 0,83 3,00 1,14 7,41 100
4,55 3.02 0,12 0,24 0,10 0,90 0,83 3,00 0,00 0,00 12,76
6,49 10,64 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,14 7,41 87,24
Tabel 17 Komposisi timbulan sampah di permukiman strata pendapatan rendah No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll). An organic Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll).
Total Sumber : Hasil Penelitian DJCK (Januari 2005)
b.
% total 60,70
% di daur ulang 0,00
% dibuang 60,70
15,00 14,00 0.09 1,56 0,33 0,99 1,15 0,60 1,24 4,38 100
5,52 11,6 0,09 1,56 0,33 0,99 1,15 0,60 0,00 0,00 21,84
9,48 3,4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,24 4,38 78,16
Sampah Pasar Tradisional dan Pertokoan Moderen. Sampah pasar tradisional didominasi oleh sampah organik. Hal ini sesuai dengan
hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta, (2005) yang memperlihatkan bahwa jumlah sampah organik mencapai 83,69% dan sampah anorganik 26,31%, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 0,12%. Komposisi sampah yang berasal dari pasar moderen memiliki komposisi yang berbeda dengan pasar tradisional. Sampah yang berasal dari pasar (pertokoan modern), memiliki kandungan sampah anorganik yang lebih besar dari sampah yang dihasilkan dari sampah pasar tradisional yaitu 54,52%, sedangkan sampah organiknya 45,48%. Komposisi sampah yang berasal dari pasar tradisional dan pasar modern dapat dilihat pada Table 18 dan Tabel 19 .
60
Tabel 18 Komposisi sampah dari pasar tradisional No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll).
% total 83,69
% di daur ulang 0
% dibuang 83,69
5,15 9,66 0,12
3,06 5,06 0.12
0,14 0,29
0.14 0.29
5,15 4,60 0 0 0 0
0,12 0,82 100
0 0 8,57
0,12 0,82 91.43
Total Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005)
Tabel 19 Komposisi sampah dari pasar (pertokoan) modern No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
c.
Komponen
% total
% di daur ulang
% dibuang
45,48
0
45,68
26,06 12,10 4,03 1,49
16,72 8,74 4,03 1,49
9,34 3,36 0 0
0,82 7,24
0,82 7,24
0 0
0 0 46,28
0,15 2,61 53,72
Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/Kulit Tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah Bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll).
0,15 2,61 Total 100 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005.
Sampah Perkantoran dan Sekolah Sampah yang ditimbulkan dari aktivitas perkantoran dan sekolah memiliki
komposisi dan karakteristik yang berbeda dengan sampah yang berasal dari daerah perumahan dan pasar.
Hasil survey dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
menunjukkan bahwa sampah perkantoran didominasi oleh sampah anorganik yaitu sebesar 90,16%, sedangkan sisanya 9,84% berupa sampah organik. Sampah dari sekolah terdiri dari 28,17% sampah organik dan 71,83% sampah anorganik. Komposisi sampah yang berasal dari perkantoran dan sekolah dapat dilihat pada Tabel 20 dan Tabel 21.
61
Tabel 20 Komposisi sampah dari perkantoran Komponen
% total
% di daur ulang
% dibuang
9,84
0
9,84
58,42 14,69
20,03 6,88
38,39 7,81
0,28 2,02 5,68 0,63 3,65 4,79
0,28 2,02 5,68 0,63 0 0
0 0 0 0 3,65 4,79
100 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005)
35,52
64,48
No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll). Total
Tabel 21 Komposisi sampah dari sekolah Komponen
No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
% total
% di daur ulang
% dibuang
28,17
0
28,17
34,93 26,21 1,69
11,83 17,2 1,69
23,10 9,01 0
0,28 1,05 2,82
0.28 1,05 2,82
0 0 0
0.9 3,94
0 0
0.9 3,94
100
34,87
65,13
Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal : Gelas/kaca : Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll). Total
Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005.
d.
Sampah Industri Sampah industri merupakan sampah yang dihasilkan dari aktivitas proses industri.
Jenis sampah industri tergantung pada bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi, serta kebutuhan bagi para pekerja dalam
industri.
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005), pada salah satu industri kain di Daerah Cempaka Putih, dapat dilihat pada Tabel 22. Secara umum komposisi sampah industri memiliki kandungan sampah organik yang kecil yaitu 1,77% yang umumnya berasal dari aktivitas karyawan yang bekerja pada industri tersebut, sedangkan sampah anorganiknya mencapai 98,23%, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 0,18%.
62
Tabel 22 Komposisi sampah industri No
Komponen
1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
% total
Organik (sisa makanan, daun, dll). 1,77 An Organik Kertas 20,68 Plastik 16,93 Kayu 4,01 Kain/tekstil 42,46 Karet/Kulit Tiruan 6,49 Logam/metal 2,48 Gelas/kaca 1 Sampah Bongkahan Sampah B3 0,18 Lain-lain (batu, pasir, dll). 4 Total 100 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005)
% di daur ulang
% dibuang
0
1,77
14,18 13,53 4,01 42,46 6,49 2,48 1
6,50 3,40 0 0 0 0 0
0 0 84,15
0,18 4 15,85
Tingginya sampah anorganik pada sampah industri merupakan hal yang sangat perlu diwaspadai, mengingat sampah anorganik yang berasal dari kegiatan industri pada umumnya sulit terurai, bahkan di dalamnya terdapat limbah yang masuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (Abou et al. 2002 dan Napitupulu, 2009). Kondisi ini sesuai dengan hasil kajian dari Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta (2005) yang mengatakan bahwa pada sampah industri terdapat sampah B3 dan logam (Tabel 22). Di lain pihak bahan berbahaya dan beracun merupakan bahan-bahan yang umumnya bersifat karsinogenik, teratogenik, mutagenic dan bersifat merusak jaringan dan sel-sel tubuh mahluk hidup (Klaassen, Doul and Amdur 1986), Hal ini sesuai dengan pendapat Ahalya, Ramachandra dan Kanamadi (2004) bahwa sampah industri yang mengandung logam akan dapat membahayakan organisme yang terpapar oleh sampah tersebut, sehingga keberadaan sampah B3 dan logam harus sangat diperhatikan. e.
Komposisi Sampah Rata-rata Hasil survey Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) tentang komposisi rata-rata
timbulan sampah di wilayah Propinsi DKI Jakarta memperlihatkan bahwa komposisi timbulan sampah rata-rata didominasi sampah organik (kurang lebih 55,37%). Sampah lainnya yakni sebanyak 44,63% adalah sampah anorganik, termasuk di dalamnya sampah B3 sebesar 1,52%.
Adanyanya sampah B3 harus diperhatikan dengan seksama
mengingat sampah B3 akan sangat membahayakan kehidupan dan dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sakitnya manusia yang terpapar oleh limbah B3 tersebut (Klaassen et al. 1986 dan Manahan 2005). Komposisi sampah rata-rata DKI dapat dilihat
63
pada Tabel 23, sedangkan peningkatan timbulan sampah dari masing-masing wilayah DKI pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 23 Komposisi sampah rata-rata di Wilayah DKI Jakarta Komponen
No 1 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10
Organik (sisa makanan, daun, dll). An organik Kertas Plastik Kayu Kain/tekstil Karet/kulit tiruan Logam/metal Gelas/kaca Sampah bongkahan Sampah B3 Lain-lain (batu, pasir, dll). Total
% total
% di daur ulang
% dibuang
55,37
0
55,37
20,57 13,25 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 1,52 4,65
7,32 6,85 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 0 0
13,15 6,40 0 0 0 0 0 0 1,52 4,65
19,95
80,05
100 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005
Tabel 24 Timbulan sampah di DKI Jakarta , tahun 2005(dalam m3) Kotamadya Timbulan per hari Jakarta Selatan 5.512 Jakarta Timur 5.523 Jakarta Pusat 5.399 Jakarta Barat 5.500 Jakarta Utara 4.390 Jumlah 26.264 Tahun 2004 27.966 Tahun 2003 25.687 Tahun 2002 25.912 Tahun 2001 25.600 Tahun 2000 25.650 Tahun 1999 25.771 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2005)
Terangkut per hari 5.437 5.408 5.272 4.987 4.342 25.446 25.925 24.675 24.162 22.196 22.500 22.772
Sisa 75 115 67 513 48 818 2.041 1.012 1.750 3.002 3.150 2.999
Komponen sampah organik yang berasal permukiman strata pendapatan tinggi mencapai 65,45% (Tabel 15), pada strata pendapatan menengah 61,55% (Tabel 16), pada strata pendapatan rendah 60,70% (Tabel 17), dari pasar tradisional 83,69% (Tabel 18), pertokoan modern 45,48% (Tabel 19). Pada dasarnya sampah organik merupakan bahan yang baik untuk pembuatan kompos.
Mengingat kompos merupakan bahan-bahan
organik yang telah mengalami proses pembusukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya (Murbandono 2005). Menurut Djuarnani et al. (2005), kompos dihasilkan dari proses fermentasi atau dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organik. Namun bahan organik yang cukup tinggi yang
64
berasal dari kegiatan permukiman dan pasar tersebut belum didaur ulang (dibuat kompos) seperti yang terlihat pada Tabel 15 – 19 serta dari kegiatan lain (Tabel 20 – 24). Adanya pengolahan sampah organik menjadi kompos, pada dasarnya bukan hanya sekedar menghilangkan masalah sampah, namun juga membantu kesuburan tanah yang saat ini menjadi masalah, mengingat kompos merupakan partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah (Delgado & Follent 2002). Selain itu komos sangat baik untuk tanaman, karena selain hal tersebut di atas, kompos juga mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, belerang dan magnesium (Harada et al. 1993). Hal ini sesuai dengan pendapat Tuomela et al. (2000) yang mengatakan bahwa tujuan dari pengomposan adalah merubah bahan organik menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangani, disimpan, dan diaplikasikan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan efek negatif pada lingkungan. Dengan demikian maka pengomposan bahan organik yang berasal dari berbagai kegiatan akan sangat membantu dalam menghadapi masalah sampah, sekaligus membantu menyuburkan tanah, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan nilai ekonomi sampah, sekaligus memperbaiki lingkungan. 4.2.2. Karakteristik Sampah Karakteristik sampah memegang peranan penting dalam proses pengolahan dan aplikasi teknologi pengolahan sampah, baik pengolahan sampah dengan insinerator, komposting, phyrolisis ataupun sanitary landfill. komposting
Adapun yang dimaksud dengan
pada penelitian ini adalah proses pembusukan atau fermentasi atau
dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organic; dengan prinsip menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah, sehingga (10-12), sehingga memungkinkan diserap oleh tanaman (Talashilkar et al. 1999). Adapun phyrolisis adalah proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang, untuk dapat menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (asap o
cair) (Paris et al. 2005). Proses phyrolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300 C dalam waktu 4-7 jam (Demirbas, 2005), namun sangat tergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya (Qadeer & Akhtar 2005; Machida et al. 2005). Phyrolisis sampah menjadi arang cukup menguntungkan, karena arang yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi/bahan bakar (Matsuzawa et al 2007), selain itu juga
65
dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina & Pari 2002). Apabila arang tersebut ditingkatkan mutunya dengan diaktivasi menjadi arang aktif, dapat berperan sebagai adsorben dan katalis, bahkan dapat dikembangkan sebagai soil conditioner pada budidaya tanaman holtikultura (Gusmailina et al. 2001; Smith et al. 2004). Pengolahan sampah dengan sanitary landfill merupakan teknologi yang berusaha mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Namun demikian tidak dapat dibiarkan terus menerus karena dalam waktu yang lama menurut Tchobanoglous et al. (1993) di lokasi pengolahan sampah akan terjadi pencemaran. Terjadinya pencemaran ini akan mengganggu lingkungan dan kesehatan, karena di sekitar sanitary landfill bukan saja akan didapatkan gas metan, namun juga bahan pencemar lain baik dalam bentuk bahan pencemar organic, maupun bahan pencemar anorganik, termasuk di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun. Sampah organik yang dibiarkan cukup lama pada suatu lokasi dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam bibit penyakit (Setiawan 2001).
Selain sampah organik, sampah anorganik yang
umumnya mengandung bahan berbahaya dan beracun juga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan (Abou et al. 2002) dan terjadinya gangguan kesehatan (Klaassen and Amdur 1986 serta Ahalya et al. 2004). Pengolahan sampah dengan menggunakan insinerator (pembakaran), biayanya berbeda-beda tergantung pada jenis sampahnya.
Sampah yang kandungan kalorinya
rendah, memerlukan biaya operasi yang lebih mahal dibanding sampah yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Kondisi kebalikannya terjadi pada sampah yang terlalu kering. Sampah yang terlalu kering jika diolah dengan proses komposting memerlukan penanganan
khusus.
Karakteristik
sampah
yang
perlu
diperhatikan
dalam
mengaplikasikan teknologi pengolahan sampah adalah : a. Nilai kalori yang dinyatakan dalam kkal/kg sampah yang merupakan kandungan nilai panas dari sampah itu sendiri. b. Kadar air yang terkandung dalam sampah yang dinyatakan dalam % (persen) beratnya. c. Kadar abu yang merupakan sisa dari proses pembakaran yang dinyatakan dalam % (persen) Hasil penelitian Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) tentang nilai kalor, kadar air dan kadar abu dari berbagai sampel jenis sampah di Wilayah DKI Jakarta, dapat dilihat pada Tabel 25. Nilai kalor, kadar air dan kadar abu berdasarkan nilai pendekatan perhitungan BPPT dapat dilihat pada Tabel 25. Perkiraan karakateristik rata-rata sampah
66
di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 26, dan karakateristik sampah rata-rata di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 25 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber sampah di DKI Sumber Sampah
Hasil Analisis Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Pasar Modern 18 8,56 Pemukiman 36,27 4,76 Perkantoran 19 7,25 Industri 3 5,25 Pasar Tradisional 70.4 5,56 Sekolahan 20.8 5,15 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta (2005)
Nilai Kalor (Kkal/kg) 2.301 1.785 1.875 3.804 1.904 1.609
Di dalam penelitian ini sampah yang diteliti masih tercampur atau dengan kata lain belum dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dengan nilai kalori 2.146 kkal/kg sampah.
Perhitungan kadar abu sisa pembakaran dengan mempergunakan
insinerator WTE adalah 8,44 %.
Ada indikasi terdapat kecenderungan terjadinya
perubahan komposisi sampah di masa mendatang selaras dengan kenaikan tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin dari peningkatan PDRB per tahun di wilayah DKI Jakarta, akan mengakibatkan terjadinya kenaikan komposisi sampah anorganik. Dengan pemanfaatan teknologi WTE incinerator, sampah akan dibakar dan selanjutnya panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan listrik melalui ketel uap yang menggerakkan turbin pembangkit listrik. Apabila diasumsikan ada pemilahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah, maka nilai kalori yang dipergunakan dalam menghitung produksi listrik yang dihasilkan dalam proses pengolahan sampah insinerator WTE adalah sebesar 3.044 kkal/kg. Hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 25 memperlihatkan bahwa nilai kalor sampah Jakarta dari berbagai sumber timbulan sampah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengolahan dengan proses pembakaran (insinerator).
Berdasarkan data karakteristrik
sampah dari berbagai sumber timbulan sampah, maka komposisi sampah yang paling baik untuk dilakukan proses pembakaran adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern, serta sampah yang berasal dari industri terutama dari industri dengan input material yang memiliki kandungan kalori tinggi seperti industri kain (konveksi).
67
Tabel 26 Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber dengan perhitungan berdasarkan nilai pendekatan dari BPPT
Sumber Sampah
Nilai Kalor (Kkal/Kg) Industri 3840 Pasar modern 1984 Perkantoran 2466 Pasar 1447 Sekolah 2898 Pemukiman Pendapatan Tinggi 1775 Pemukiman Pendapatan Menengah 1773 Pemukiman Pendapatan Rendah 1945 Rata – Rata 2261 Sumber : Dinas kebersihan Provinsi DKI Jakarta,2005
Perhitungan Karakteristik Kadar Air Kadar Abu (%) (%) 31 26.94 46 26.17 38 41.62 59 10.09 42 24.75 48 27.36 51 21.78 50 20.30 46 24.88
Tabel 27 Prakiraan karakteristik rata-rata sampah di Jakarta Karakteristik Sampah Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu Kemungkinan Insinerasi
Karakteristik Sampah Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu Kemungkinan Insinerasi
Industri
Pasar Modern
Perkantoran
Pasar
3.804 27,13 5,03% Sangat baik
1.646 39,91 7,22% baik
1.786 27,85 5,53% Sangat baik
1.184 59,88 9,27% kurang baik
Sekolah 2.090 39,72 6,38% Sangat baik
Permukiman dengan Pendapatan Tinggi Sedang Rendah 2.795 49,55 8,55% Sangat baik
2.332 51,71 8,49% Sangat baik
2.149 48,61 8,35% Sangat baik
Tabel 28 Karakteristik sampah rata-rata di DKI Karakteristik Sampah Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu Kemungkinan Insinerasi
Rata-rata Komposisi 2.146 40,69 8,44% Sangat baik
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) Sampah dari pasar tradisional merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran, karena jika dibandingkan dengan sumber timbulan sampah lainnya, sampah tersebut mempunyai kandungan kadar air yang tinggi dan nilai kalor yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Djuarnani et al. (2005) yang mengatakan bahwa sampah pasar mengandung air dalam kisaran 30-60%,
68
namun pada umumnya rata-rata kadar air sampah organik pasar mencapai 58,20%. Oleh karena itu maka pengolahan yang paling baik untuk sampah pasar adalah komposting. Komposting sampah pasar di DKI Jakarta hendaknya dapat dilaksanakan, mengingat setiap hari pasar tradisional akan menghasilkan sampah, dan hingga saat ini hanya sebagian kecil sampah yang terangkut, karena menurut Haug (1980), sampah yang tidak terangkutnya terangkut akan diuraikan secara anaerobik, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan bau busuk sebagai akibat terbentuknya gas NH , H S, dan sulfur organik. 3
2
Bau busuk ini tidak saja mengganggu estetika namun juga dapat berdampak negative terhadap kesehatan manusia yang berada di sekitar sampah yang terurai secara anaerobic tersebut.
Komposisi dan karakteristik timbulan sampah rumah tangga, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakternya pada 20 tahun yang lalu. Apabila dilihat dari prasyarat penerapan teknologi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran, maka perubahan karakteristik sampah DKI memiliki kecenderungan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan kandungan nilai kalor dan penurunan kadar air yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan komponen sampah organik dan terjadinya kenaikan pada komponen sampah anorganik seperti kertas dan plastik. Berdasarkan hal itu, maka saat ini karaketristik sampah rumah tangga dapat dikategorikan dalam sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan proses insinerasi/pembakaran. Hasil kajian Direktorat Pengkajian Sistem Industri Jasa BPPT (1994), memperlihatkan bahwa persyaratan karakteristik sampah yang memenuhi persyaratan untuk diolah dengan sistem pembakaran (insenirator), seperti yang dilakukan di Singapura serta negara lain yang telah menerapkan sistem insinerasi adalah: Nilai kalor
: 955 s/d 2.150 kkal/kg;
Kadar air
: 35 s/d 55 %;
Kadar abu
: 10 s/d 30 %.
Perubahan komposisi timbulan sampah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 24. Penerapan instalasi pengolahan sampah dengan sistem pembakaran sampah skala besar yang disertai dengan pemanfaatan panas yang dihasilkannya untuk pembangkit energi listrik (waste to energy, WTE) merupakan salah satu pilihan dalam pengolahan intermediate. Namun demikian diperlukan pertimbangan lebih lanjut mengenai biaya investasi awal yang mahal (capital expenditure/ CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan
69
(operation expenditure/ OPEX), serta dampak yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah dengan sistem insinerator tersebut. Tabel 29 Perubahan karakteristik sampah DKI Jakarta No. I II
Komponen ( %) Organik Anorganik Plastik Kertas Styrofoam Karet Kayu Bulu Kain Kaca Logam Lain-lain
1981
1986
Tahun 1987
79.7
74.7
72.0
65.1
52.7
3.7 7.8 0.0 0.5 3.7 N.A 2.4 0.5 1.4 0.3
5.4 8.3 0.0 0.6 3.8 N.A 3.2 1.8 1.4 0.8
5.4 8.3 0.0 3.2 3.2 N.A 3.2 1.8 2.1 0.8
11.1 10.1 0.0 0.6 3.1 N.A 2.5 1.6 1.9 4.0
12.6 20.1 1.9 0.9 2.6 0.8 2.6 1.2 1.1 3.5
1997
2001
Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber : BPPT (1981), Dinas kebersihan DKI (1986,1997), Hasil Penelitian JICA (1987,2001)
Pada konteks pengolahan sampah dengan reduksi jumlah/volume/berat sampah, maka proses insinerator menjadi pilihan yang paling effektif, mengingat pengurangan volume/berat sampah dengan insinerator mencapai 90 %. Data tersebut memperlihatkan bahwa insinerator WTE merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan untuk mereduksi jumlah sampah dalam waktu yang singkat.
Selain itu berdasarkan
komposisi dari bahan yang tidak dapat terbakar dalam komposisi timbulan sampah di Jakarta, maka laju pengurangan sampah dengan menggunakan sistem ini dapat mencapai 91, 56 % dalam waktu yang relatif singkat. Insinerator WTE ini merupakan pilihan yang lebih ramah lingkungan, mengingat suhu pembakarannya lebih dari 800•C. Dalam hal ini pada insinerator kecil yang suhu pembakarannya kurang dari 800•C (umumnya 200400•C), berpotensi menghasilkan senyawa dioksin dan furan (Bramono 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyatmoko (1999) yang mengatakan bahwa emisi dioksin dan furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA serta Connell dan Miller (1995) yang mengatakan bahwa dioksin dan furan tidak diproduksi secara sengaja, tapi dihasilkan sebagai produk samping pada proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Smit (2004) yang menyatakan bahwa senyawa dioksin dan furan akan terbentuk bila terdapat kondisi suhu pembakaran antara 200–800 oC, namun suhu pembakaran paling ideal untuk menghasilkan dioksin dan
70 furan adalah 200 - 400 oC. Adapun yang dimaksud dengan senyawa dioksin dan furan adalah senyawa organoklor yang terdiri atas klor dan fenil (gugus cincin benzena). Senyawa ini mempunyai daya urai baik di tanah, udara, dan air yang sangat lambat (Gorman dan Tynan 2003). Namun pada insinerator WTE yang pembakarannya sangat tinggi pembentukan senyawa dioksin dan furan akan relatif sangat berkurang, oleh karena itu maka pemanfaatan insinerator WTE relatif lebih ramah lingkungan. 4.2.3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) Sampah B3 pada umumnya berasal dari berbagai sumber seperti industri, rumah sakit, pertambangan, transportasi, petanian dan perkebunan serta rumah tangga. dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan bahwa industri merupakan sumber terbesar penghasil limbah B3. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah umumnya lebih tinggi disbanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan lebih mudah penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999). Saat ini masih banyak industri yang lokasinya tersebar, sehingga agak sulit untuk dilakukan pengawasan. Jumlah industri yang berada di wilayah DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel 30. Sampah B3 yang berasal dari aktivitas rumah sakit dapat berupa sampah medis dan sampah non medis. Sampah medis ditimbulkan dari kegiatan medis yang tergolong sebagai limbah B3, yang berpotensi membahayakan baik bagi komunitas rumah sakit ataupun masyarakat jika penanganan dari limbah ini tidak memenuhi persyaratan. Hal ini sesuai dengan pendapat Abou et al. (2002) yang mengatakan bahwa pada limbah rumah sakit terdapat limbah B3 yang berasal dari obat-obatan dan bahkan terdapat limbah radioaktif, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus. Khusus untuk limbah radioaktif harus ditangani lebih serius karena bahan radioaktif dapat melepaskan sinarnya ke lingkungan secara rutin sehingga dapat membahayakan kehidupan (Simmonds, Lawson, dan Mayall, 1995). Limbah non-medis adalah limbah domestik yang ditimbulkan dari aktivitas pelayanan administrasi di rumah sakit. Limbah non-medis dari rumah sakit, dapat dibuang dan diolah bersama-sama
71
dengan limbah domestik dari sumber lainnya. Secara umum limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 30 Jumlah perusahaan industri besar dan sedang menurut klasifikasi industri di DKI Jakarta Klasifikasi Industri
2000 Jumlah % Perusahaan pertumbuhan 205 6,22
Makanan dan Minuman Tekstil, Pakaian Jadi dan 913 11,34 Kulit Kayu, Bambu, Rotan, 139 10,31 Furnitur Kertas, Percetakan, Penerbit, 220 5,77 Reproduksi Media Rekaman Kimia dan Barang-barang 353 9,97 dari bahan kimia Barang Galian bukan Logam, Daur Ulang Barang 41 7,89 Bukan Logam Logam Dasar 38 0,00 Barang dari Logam, Mesin dan Peralatannya, Daur 322 -1,23 Ulang Barang Logam Industri Pengolahan Lainnya 45 -13,46 Jumlah 2.276 7,26 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2002)
2001 Jumlah % Perusahaan pertumbuhan 220 7,32
2002 Jumlah Perusahaan 214
% pertumbuhan - 2,73
861
- 5,70
853
- 0,93
123
-11,51
115
- 0,07
224
1,82
236
5,36
367
3,97
344
- 6,27
33
-19,51
32
- 3,03
29
- 23,68
34
17,24
325
0,93
298
- 8,31
41 2.223
- 8,89 - 2,32
40 2.166
- 2,44 - 2,56
Tabel 31 Kegiatan rumah sakit yang berpotensi menghasilkan sampah No 1 2
Unit/kegiatan Kantor /administrasi Unit obstetric dan ruang perawatan obstetric
3
Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan.
4
Unit laboratorium, ruang mayat, pathologi dan autopsi Unit isolasi
5
Jenis Sampah Kertas Pakaian, sponge, placenta, ampul, termasuk kapsul perak nitrat, Jarum syringe , masker sekali pakai, popok sekali pakai, sanitary napkin, blood lancet disposeble diaper dan underpard, sarung tangan sekali pakai. Dressing,sponge jaringan tubuh,termasuk amputasi, ampul bekas,masker sekali pakai, jarum dan syringe drapes cabs. Dispossable blood lancet, kantong emisis sekali pakai, levin tubes catheter, drainase set, kantong colosiomy, underpads, sarung. Gelas terkontaminasi termasuk pipet petri dish, wadah specimen, slide specimen, jaringan tubuh, organ, tulang.
Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal dan sputum, dressing, dan bandages, masker sekali pakai, sisa makanan perlengkapan makan. 6 Unit perawatan Ampul, jarum sekali pakai, dan syringe kertas dan lain-lain. 7 Unit pelayanan Karton kertas bungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan, buangan. 8 Unit gizi/dapur Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makan, sayur dan lain-lain. 9 Halaman Sisa pembungkus daun ranting, debu. Sumber: Oviatt V.R. disposal of solid waste, hospital (1968)
Berdasarkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari limbah rumah sakit oleh Departemen Kesehatan RI, limbah medis dikelompokkan dalam :
72
a. Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas dan pisau bedah; b. Limbah infeksius, yaitu limbah yang berkaitan dengan pasien penyakit menular yang memerlukan isolasi dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular; c. Limbah jaringan tubuh, yang meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh. Limbah tersebut biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi; d. Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik; e. Limbah farmasi, yang terdiri dari obat-obatan kadaluwarsa, obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang tidak diperlukan lagi atau limbah dari proses produksi obat; f. Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinary, laboratorium, proses sterilisasi atau riset. Limbah kimia dibedakan dengan buangan kimia yang termasuk dalam limbah farmasi dan sitotoksik; g. Limbah radioaktif, yaitu bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida. 4.2.4. Sampah Pantai dan Sampah dari Sistem Drainase serta Sungai Wilayah DKI Jakarta yang memiliki garis pantai sepanjang ±30 km, mengalami persoalan dengan timbulan sampah di sepanjang pantai. Terjadinya timbulan sampah, baik yang terbawa arus aliran air sungai maupun arus laut, menimbulkan pencemaran yang cukup serius di Teluk Jakarta. Jumlah timbulan sampah di Teluk Jakarta ini bervariasi, dan belum ada penelitian atau survey yang mendalam mengenai timbulan sampah di Teluk Jakarta. Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara, telah menangani sampah pantai dengan menggunakan perahu fiber kecil dan satu buah tongkang dengan kapasitas 40 ton.
Perahu-perahu kecil tersebut mengangkat sampah dari pantai dan
mengumpulkannya dalam tongkang. Sampah yang telah terkumpul dalam tongkang, diangkut ke Pelabuhan Muara Angke, kemudian dipindahkan ke truk, untuk selanjutnya dibuang ke TPA Bantargebang. Sampah di wilayah DKI Jakarta juga ditimbulkan dari sistem jaringan drainase dan sungai yang mengalir di wilayah Jakarta, yaitu sampah yang bersumber dari : a) . Sungai atau kali dan saluran makro drainase; b). Saluran sub makro dan mikro drainase,
73
dan c). Sampah yang mengalir dari sungai yang membawa sampah yang berasal dari luar wilayah DKI Jakarta.
Hasil penelitian Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta
memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah/ volume sampah yang dihasilkan dari sistem drainase dan sungai rata-rata 921 m3/hari. 4.3 Analisis Kebutuhann dan Ketersediaan Lahan Tempat Pengolahan Sampah. Kebutuhan dan ketersediaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI Jakarta, bergantung kepada pertumbuhan dan tingkat kepadatan penduduk serta pemanfaatan lahan, dan ruang terbuka yang belum terbangun. Analisis dilakukan dengan melakukan perhitungan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan (land use ) yang dikaitkan dengan kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta, serta pertimbangan kesesuaian tempat pengolahan sampah dengan standar teknis pemilihan lokasi pengolahan sampah. Dalam aspek ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk lokasi pengolahan dan pembuangan sampah, hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah dibutuhkannya ruang yang disediakan bukan hanya semata untuk TPA-nya, namun juga harus menyediakan lahan sesuai dengan zonasi dari kawasan TPA itu sendiri sebagaimana diatur Ditjen Penataan Ruang (2008) dalam Pedoman Pemanfaatan kawasan sekitar TPA sampah. Dalam hal ini selain wilayahnya tersedia dan sesuai, TPA sampah juga harus mempunyai zona penyangga dan zona budidaya terbatas. Zona penyangga yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari TPA terhadap masyarakat sehingga akan menjaga keselamatan, kesehatan dan kenyamanan masyarakat, mengingat di TPA sampah dapat terjadi resapan air lindi, ledakan gas metan dan bahaya penyebaran vektor penyakit. 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk dan Pemanfaatan Lahan Pertumbuhan penduduk di wilayah DKI Jakarta pada perioda tahun 1960 – 1990 mengalami laju pertumbuhan yang sangat cepat, namun setelah tahun 1990 laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, pada perioda tahun 2000 – 2005 laju pertumbuhan penduduk DKI sebesar 1,13% per tahun, dan dalam perioda tahun 2005 – 2009 laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta hanya 1,06% per tahun (BPS DKI, 2010). Penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI jakarta ini diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan program keluarga berencana (BPS DKI, 2010), namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Jepan International Corporation Asistence (JICA, 2008)
74
menyampaikan bahwa penurunan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta dipengaruhi oleh cepatnya pembangunan permukiman dan industri skala besar yang dibarengi dengan pembangunan prasarana jalan toll, yang menghubungkan wilayah DKI Jakarta dengan wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Berdasarkan data dari BPS Propinsi DKI Jakarta, penduduk DKI Jakarta pada tahun 1980 berjumlah 6.503.449 jiwa, sedangkan pada tahun 2008 telah berkembang menjadi 9.126.758 jiwa. Pertumbuhan penduduk dan aktifitas sosial dan ekonomi masyarakat mengakibatkan terjadinya peningkatan timbulan sampah dari tahun ke tahun, selaras dengan jumlah dan aktifitas penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Jumlah penduduk DKI Jakarta hasil Susenas 2008 Kotamadya Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Total 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999
Penduduk (jiwa) 849.740 1.459.360 2.202.672 2.141.773 2.428.213 9.126.758 9.064.591 8.979.716 8.842.346 7.471.866 7.456.931 7.461.472 7.423.379 7.578.701 7.831.520
Kepadatan (Km2) 17.729 9.400 15.198 12.125 12.774 13.800 13.700 13.574 12.666 11.295 11.272 11.279 11.221 11.454 11.836
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2009
Proyeksi pertumbuhan penduduk yang dihitung dengan mempergunakan metoda geometrik : Pn = Po (1 + r)n dengan Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n, dan Po = jumlah penduduk pada saat tahun awal proyeksi, yaitu jumlah penduduk tahun 2008 = 9.146.181 jiwa, dan r = rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk = 1,06%/tahun. Dengan mempergunakan formula tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2033 akan berjumlah 11.877.979 jiwa. Adapun jumlah timbulan sampahnya akan mencapai 7.602 ton/hari. Proyeksi jumlah penduduk dan timbulan sampah DKI dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19.
75
jiwa 12,500,000 12,000,000 11,500,000 11,000,000
jumlah penduduk (jiwa)
10,500,000 10,000,000 9,500,000 9,000,000 8,500,000 8,000,000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030 2032 2034 2036 tahun
Gambar 18 Proyeksi jumlah penduduk DKI ton/tahun 8000 7500 jumlah sampah ton/hari 7000
6500 6000 5500 5000 2000
2005
2010
2015
2020
2025
Gambar 19 Proyeksi timbulan sampah DKI Jakarta
2030 2035 tahun
76
Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan perumahan, fasilitas komersial, serta fasilitas sosial lainnya,
yang pada
gilirannya akan merubah fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun, termasuk di dalamnya pembangunan permukiman baik yang dikembangkan oleh pengembang maupun masyarakat. Perubahan fungsi lahan yang begitu cepat di Wilayah DKI disamping diakibatkan oleh pembangunan perumahan dan fasilitas lainnya juga didorong oleh lemahnya pengendalian pemanfaatan lahan oleh pemerintah daerah DKI . Hal ini terlihat dari alokasi ruang terbuka hijau (RTH) yang ditetapkan dalam RTRW DKI tahun 1987 yang menetapkan bahwa RTH sebesar 14%. Kondisi RTH ini tidak sesuai dengan kebijakan yang ada, dalam hal ini pada tahun 2006 RTH di DKI hanya tersisa 1,52% dari luas wilayah DKI, atau sebesar 1.007,49 Ha, atau 10,07 km2, dari keseluruhan luas wilayah DKI Jakarta. Karakteristik penggunaan lahan di masing-masing wilayah kotamadya dapat dilihat pada Tabel 33. Adapun perubahan penggunaan lahan di DKI Jakarta dari tahun 1972 sampai dengan tahun 2002 dapat dilihat pada Gambar 20, dan proyeksi timbulan sampah DKI hingga tahun 2033 dapat dilihat pada Gambar 19. Tabel 33 Jenis-jenis penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006
Sumber : Jakarta Dalam Angka (2007) dan RTRW DKI Jakarta (2010)
77
Gambar 20 Perubahan Pemggunaan Lahan di DKI Tahun 1972-2002 4.3.2. Kebutuhan Lahan sebagai Tempat Pengolahan Sampah Kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah bergantung pada jumlah timbulan sampah dan teknologi yang dipergunakan dalam
pengolahan sampah.
Kebutuhan lahan tempat pengolahan sampah di perkotaan seperti DKI Jakarta, pada umumnya menjadi masalah tersendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Satori (2002) yang mengatakan bahwa persoalan sampah di perkotaan tidak hanya sekedar masalah pencemaran lingkungan saja, sebagai akibat tidak terangkutnya sampah ke TPA, namun juga karena sulitnya mencari lahan yang dapat digunakan untuk membangun TPA. Selanjutnya dikatakan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh harga tanah yang cenderung sangat mahal, dan selalu berhadapan dengan reaksi masyarakat yang cenderung negatif. Hasil perhitungan keperluas luas lahan untuk teknologi pengolahan sampah dengan sistem SLF, dengan timbulan sampah 3.000 ton/hari adalah 241 Ha.
Hasil
proyeksi timbulan sampah ke depan, memperlihatkan bahwa pada tahun 2033 dengan jumlah sampah sebesar 7.602 ton/hari, diperlukan luas lahan untuk sistem SLF sebesar 610 ha.
Luasan ini dapat dibagi menjadi dua lokasi, dengan masing-masing unit SLF
memerlukan luas lahan 305 ha. Pada sistem pengolahan insinerator WTE, diperlukan lahan 25,3 ha, yang dapat ditempatkan di masing-masing bagian wilayah DKI, dengan
78
masing-masing luas 6,33 ha. Sistem HRC memerlukan luas lahan 52 ha, yang dapat ditempatkan dalam masing-masing wilayah kotamadya DKI dengan luas masing-masing 13 ha. Pada sistem pengolahan integrasi teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF, dengan sampah yang telah terpisahkan antara sampah organik dan anorganik, sampai dengan tahun 2033 dengan timbulan sampah sebesar 7.602 ton/hari, DKI hanya memerlukan luas lahan sebesar 4 x 8 ha = 32 ha, yang dapat didistribusikan pada empat bagian wilayah DKI dengan masing-masing luas lahan 8 ha. Kebutuhan luas lahan (berdasarkan perhitungan) untuk pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE yang memerlukan 25,3 ha, atau 6,33 ha untuk masingmasing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dipenuhi. Kondisi yang sama juga terjadi pada sistem HRC adalah 52 ha, atau 13 ha untuk masing masing bagian wilayah DKI, masih memungkinkan untuk dilakukan. Kombinasi teknologi antara sistem HRC dan insinerator WTE, yang memerlukan luas lahan 10 ha di masing-masing wilayah DKI juga masih memungkinkan. Kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan dan pembuangan sampah di DKI berkaitan erat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI serta pemenuhan terhadap kriteria teknis penempatan masing-masing teknologi pengolahan sampah . Sebenarnya Pemda DKI Jakarta telah merencanakan sejak awal untuk meletakkan lokasi pengolahan sampah dengan sistem SLF di luar wilayah DKI. Namun pengolahan antara dengan mempergunakan teknologi komposting dan insinerator direncanakan untuk ditempatkan di dalam Wilayah DKI, tepatnya di masing-masing bagian wilayahnya. Di samping luas lahan yang dibutuhkan dan ketersediaan lahan, hal yang harus dipertimbangkan untuk membangun tempat pengolahan dan pembuangan sampah adalah pemenuhan terhadap ketentuan dalam Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa :”Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa :” Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.” Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (duapuluh) persen dari luas wilayah kota. Berdasarkan data pemanfaatan lahan di DKI Jakarta hingga akhir tahun 2006, maka ruang terbuka hijau (taman) di wilayah DKI Jakarta hanya tersisa 1,52% dari luas wilayah DKI Jakarta, sedangkan selebihnya merupakan lahan yang telah dimanfaatkan
79
untuk fasilitas perumahan 64,2%, industri 5,4%, perkantoran dan gudang 11,3%, serta lainnya yang berupa jalan, sungai, saluran dan lain-lain 17,6%. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2007) mengenai luas tanah dan penggunaanya di masing-masing wilayah DKI Jakarta, kecenderungan alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau (taman) dari tahun 1999 hingga akhir tahun 2004mengalami peningkatan, penurunan besaran luas ruang terbuka hijau di DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel 34. Tabel 34 Perubahan luas taman di DKI Jakarta Tahun
Luas Taman (ha)
% terhadap luas wilayah DKI Jakarta
1997
1.435,50
2,17
1999
1.328,00
2,01
2000
1.314,23
1,99
2001
1.270,11
1,92
2002
1.009,56
1,53
2003
800,91
1,21
2004
914,69
1,38
2006
1.007,49
1,52
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta (2005,2007) Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2003, terjadi alih fungsi lahan (taman) rata-rata
sebesar 0,2%/tahun, namun
demikian dalam tahun 2003 - 2006 ruang terbuka hijau (taman) mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,08%/tahun. Perubahan luas ruang terbuka hijau (taman) di wilayah DKI Jakarta dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di masing-masing bagian wilayah DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel 35. Tabel 35 Perubahan luas taman di DKI dari tahun 2004-2006 Kotamadya/kabupaten Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep. Seribu Perubahan total
Taman (ha) tahun 2004 2006 190,91 190,91 217,77 262,14 170,04 248,6 209,41 189,23 126,56 116,61 0 0 2918,69 3013,49
Perubahan luas ha 0 44,37 78,56 -20,18 -9,95 0 92,8
Sumber : Diolah dari BPS DKI Jakarta, 2005, 2007. Dengan luasan lahan ruang terbuka hijau yang dimiliki pada saat ini, dan kecenderungan naiknya jumlah timbulan sampah maka dapat disimpulkan bahwa DKI mengalami kesulitan untuk meletakkan pengolahan dan pembuangan sampah dengan teknologi SLF di dalam wilayahnya, oleh karenanya teknologi pengolahan sampah yang selayaknya dipergunakan adalah teknologi yang dapat dengan cepat mereduksi volume
80
sampah seperti teknologi WTE Insinerator atau HRC atau integrasi dari kedua teknologi tersebut.
4.4. Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat terhadap Timbulan dan Komposisi Sampah Pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta memberikan dampak kepada pertumbuhan sektor ekonomi, yang ditunjukkan dengan kenaikan PDRB yang berkorelasi dengan kenaikan timbulan sampah.
Hubungan antara kenaikan jumlah
penduduk dengan kenaikan tingkat kesejahteraan dan volume sampah ditunjukkan pada Tabel 36. Data tersebut memperlihatkan bahwa kenaikan jumlah penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat sangat mempengaruhi penambahan jumlah timbulan sampah. Pada penelitian ini untuk melihat pengaruh jumlah penduduk dan PDRB (variabel bebas) terhadap volume timbulan sampah (variabel terikat) di DKI Jakarta, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS), dan dengan bantuan program Eviews 4.1. Adapun hasil dari analisis pengaruh jumlah penduduk dan PDRB terhadap volume timbulan sampah dapat dilihat pada Tabel 37. Hasil perhitungan seperti yang tertera pada persamaan di bawah, didapat nilai Rsquared (R2) sebesar 0,7245.
Hal ini mengandung arti bahwa hasil perhitungan
menunjukkan bahwa variabel independen (jumlah penduduk dan PDRB) mampu menjelaskan variasi timbulan volume sampah sebesar 72,45%. Adapun sisanya sebesar 27,55% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi ini. LOG(VTS) = 5,6154 + 0,6014 LOG(JP) + 0,0540 LOG(PDRB) Std. Error
(0,3385)
(0,0255)
t-stat
(1,777)*
(2,117)**
2
R
= 0,7245
R2Adjt = 0,6983 F-stat
= 27,6177
Keterangan
: ** signifikan pada α =5% * signifikan pada α = 10%
Sumber
: Data diolah
81
Tabel 36 Hubungan antara pertumbuhan penduduk, ekonomi dan sampah Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Penduduk 6.184.842 6.329.191 6.472.492 6.760.910 6.864.667 7.003.267 7.108.359 7.206.853 7.309.389 7.319.622 7.515.392 7.547.245 7.625.794 7.712.512 7.818.573 7.831.520 7.578.701 7.423.379 7.461.472 7.456.931 7.471.866 8.860.381 8.961.680 9.057.993
PDRB/kapita berlaku (juta rupiah) 1.343.185 1.425.741 1.545.013 1.938.266 2.149.755 2.576.033 2.879.698 3.283.313 3.759.804 5.870.527 6.613.900 7.716.579 7.658.319 11.664.943 16.696.694 19.767.326 22.613.756 21.308.135 24.599.803 38.694.930 42.922.400 48.966.320 55.981.200 62.490.340
Volume Sampah m3/th 6.548.100,00 6.570.000,00 6.826.300,00 7.338.300,00 7.750.410,00 7.909.915,00 7.991.310,00 8.720.945,00 8.720.945,00 8.768.395,00 9.385.975,00 9.425.760,00 10.074.365,00 10.792.320,00 10.272.925,00 9.406.415,00 9.362.250,00 9.344.000,00 9.457.880,00 9.375.755,00 10.207.590,00 9.586.360,00 9.652.060,00 10.093.710,00
Sumber : BPS , Dinas Kebersihan DKI Tabel 37. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di DKI Jakarta Variable C LOG(JP) LOG(PDRB) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. 5.615466 5.007317 1.121452 0.2748 0.601376 0.338462 1.776789 0.0901 0.053988 0.025502 2.116977 0.0464 0.724537 Mean dependent var 15.99192 0.698302 S.D. dependent var 0.144119 0.079160 Akaike info criterion -2.118212 0.131594 Schwarz criterion -1.970955 28.41854 F-statistic 27.61765 0.543185 Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 37 memperlihatkan bahwa nilai F-statistik yang diperoleh besarnya 27,6177, lebih besar dari F0,01(2,21) = 5,78. Hal ini mengandung arti bahwa jumlah penduduk dan PDRB secara bersama-sama (serentak) mempengaruhi volume timbulan sampah di DKI Jakarta dengan tingkat keyakinan 99%. Tabel 37 juga memperlihatkan bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh yang lebih dominan jika dibandingkan dengan
82
PDRB dalam meningkatkan volume sampah di DKI Jakarta, dengan nilai 0,6014 dibandingkan nilai 0,0540. Hasil uji t-statistik (uji secara parsial), terlihat bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap volume timbulan sampah adalah jumlah penduduk, pada tingkat = 10%, sedangkan variabel PDRB signifikan pada tingkat = 5%. Pada jumlah sampel (n) = 24, variabel bebas (k) = 2, maka derajat bebas untuk nilai t-statistik (n-k-1) atau sama dengan 21. Pada variabel jumlah penduduk mempunyai t-hitung sebesar 1,777 lebih besar dari t-Tabel α = 0,10 sebesar 1,721.
Hal ini
mempunyai makna bahwa variabel jumlah penduduk berpengaruh signifikan (pada α = 0,10) terhadap volume timbunan sampah di DKI Jakarta. Hasil t-hitung variabel PDRB sebesar 2,177, lebih besar dibanding nilai t-Tabel pada α = 0,05 sebesar 2,080.
Hal tersebut mempunyai arti bahwa variabel PDRB
berpengaruh signifikan terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta . Hasil estimasi pada Tabel 36, menunjukkan bahwa koefisien jumlah penduduk menunjukkan elastisitas dari jumlah penduduk terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta, dengan nilai elastisitas sebesar 0,6014. Hal ini mengandung makna bahwa apabila jumlah penduduk meningkat sebesar 1%, maka volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,6014%. Koefisien PDRB menunjukkan elastisitas PDRB terhadap volume timbulan sampah di DKI Jakarta, dengan elastisitas sebesar 0,054. Hal ini mengandung arti bahwa apabila PDRB meningkat sebesar 1%, maka volume timbulan sampah meningkat sebesar 0,054%.
Analisis mengenai hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat DKI
Jakarta yang ditunjukkan dengan hubungan antara PDRB dengan timbulan sampah organik, ditunjukkan pada Tabel 38, sedangkan hubungan antara PDRB dengan timbulan sampah anorganik dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 38 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah organik Variable C PDRB R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error t-Statistic 6136256. 169949.5 36.10634 -0.004568 0.006708 -0.680866 0.020637 Mean dependent var -0.023880 S.D. dependent var 609161.8 Akaike info criterion 8.16E+12 Schwarz criterion -352.6865 F-statistic 0.456831 Prob(F-statistic)
Sumber : Hasil perhitungan
Prob. 0.0000 0.5031 6057377. 602016.3 29.55721 29.65538 0.463578 0.503060
83
Tabel 39 Hasil model regresi antara PDRB terhadap sampah anorganik Variable C PDRB R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error t-Statistic 2118610. 139619.6 15.17415 0.041881 0.005511 7.599282 0.724135 Mean dependent var 0.711595 S.D. dependent var 500448.3 Akaike info criterion 5.51E+12 Schwarz criterion -347.9686 F-statistic 0.443474 Prob(F-statistic)
Prob. 0.0000 0.0000 2841872. 931876.0 29.16405 29.26222 57.74908 0.000000
Sumber : Hasil perhitungan Secara grafis hubungan antara PDRB dengan volume sampah organik dapat dilihat pada Gambar 21.
Pada Gambar 20 terlihat bahwa kenaikan kesejahteraan
penduduk akan menurunkan volume sampah organik. Kondisi sebaliknya terjadi apabila terjadi kenaikan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan kenaikan PDRB, dalam hal ini terjadinya kenaikan PDRB akan meningkatkan volume sampah anorganik, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 22. Rp.
%
tahun
Gambar 21 Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah organik
Tabel 38 memperlihatkan hubungan atau asosiasi antara PDRB terhadap sampah organik, yang berhubungan terbalik. Hal ini ditandai dengan tanda negatif (-) pada kolom koefisien pada PDRB. Tanda negatif (-) tersebut memberikan makna bahwa apabila PDRB meningkat maka sampah organik akan mengalami penurunan seperti ditunjukkan pada Gambar 21.
84
Rp.
%
tahun
Gambar 22 Grafik hubungan antara PDRB terhadap sampah anorganik
Hasil perhitungan mendapatkan angka koefisien PDRB sebesar 0.004568. Hal ini mengandung arti apabila (PDRB) atau pendapatannya meningkat Rp 1.000.000,- maka volume sampah organik akan turun menjadi 4.568 m3.
Kondisi ini akan sangat
membahayakan mengingat sampah anorganik seperti plastik jika dibiarkan (tidak diolah) akan sangat menurunkan kesuburan tanah, mengingat sampah plastik akan menghalangi difusi udara, sehingga tidak memungkinkan tumbuh dan berkembangnya jasad renik yang membantu menguraikan bahan organik menjadi bahan anorganik.
Selain itu plastik
sangat tahan urai, sehingga kondisi tidak subur tersebut akan berlangsung terus menerus. Selain itu, apabila plastik tersebut dibakar disekitar rumah juga akan menghasilkan dioksin dan furan, seperti dinyatakan oleh Lemieux dalam Sumaiku (2004) bahwa pembakaran sampah plastik di pekarangan dengan suhu rendah akan dihasilkan dioksin dan furan. Bahkan menurut Suminar (2003) tingginya sampah anorganik di Indonesia, mengakibatkan tingginya pencemaran udara oleh dioksin dan furan.
Selanjutnya
dikatakan bahwa hasil estimasi total emisi dioksin/furan pada tahun 2000 saja diperkirakan sudah mencapai 21.126 g TEQ (toxic equivalent). Hal ini mengandung arti bahwa apabila sampah tersebut tidak diolah dengan baik maka selain mengurangi estetika, adanya rembesan air lindi dan adanya vector, juga akan sangat membahayakan kesehatan, mengingat akan dihasilkan senyawa dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik.
85
Tabel 39 memperlihatkan hubungan/asosiasi antara PDRB terhadap sampah anorganik yang berhubungan searah. Hubungan antara ke duanya ditandai dengan tanda positif (+) pada kolom koefisien PDRB. Tanda positif (+) tersebut memberikan arti bahwa apabila PDRB meningkat, maka sampah anorganik akan meningkat, seperti yang terlihat pada Gambar 22. Angka pada koefisien PDRB sebesar 0.041881. Hal ini mengandung arti, bahwa apabila PDRB atau pendapatannya meningkat Rp 1.000.000,- maka volume sampah anorganiknya akan meningkat menjadi 41.881 m3. m3/th
PDRB Rp/kapita
Gambar 23 Grafik hubungan antara PDRB terhadap total volume sampah per tahun Gambar 23 menunjukkan bahwa secara umum hubungan antara PDRB (Rp/kapita) terhadap volume sampah di DKI Jakarta adalah searah. Hal ini mengandung arti bahwa secara keseluruhan, apabila terjadi peningkatan PDRB, maka volume sampah di DKI Jakarta juga akan meningkat, sehingga ancaman terjadinya pencemaran lingkungan juga semakin meningkat. Dalam konteks pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat mempunyai hubungan yang positif dengan
teknologi
pengolahan sampah. Dalam hal ini adanya kenaikan kesejahteraan masyarakat yang
86
mengarah pada naiknya jumlah sampah anorganik, dapat memberikan keuntungan bagi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan menggunakan WTE insinerator, mengingat kandungan kalori dari sampah anorganik lebih tinggi dibanding sampah organik.
4.5. Analisis Optimasi Teknologi Pengolahan Sampah Analisis optimasi teknologi pengolahan sampah diperlukan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan penentuan aplikasi teknologi yang sesuai, paling effisien dan effektif. Selain itu hasil analisis optimasi juga dapat memilih teknologi pengolahan yang memberikan dampak lingkungan minimal, untuk dapat diaplikasikan dalam sistem pengolahan sampah di wilayah DKI. Jumlah timbulan sampah dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan, dan timbulan sampah saat ini mencapai 6.000 ton/hari, sehingga jika tidak dilakukan upaya-upaya pengurangan sampah di sumber timbulan sampah dalam jangka waktu 25 tahun ke depan, maka timbulan sampah DKI akan menjadi 7.602 ton/hari. Timbulan sampah tersebut terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik, serta sampah B3 yang dihasilkan dari berbagai sumber. Pada penelitian ini analisis optimasi pengolahan sampah dilakukan dengan mempergunakan skenario sistem pengolahan dengan mempergunakan teknologi pengolahan secara individual dan terintegrasi dari teknologi high rate komposting (HRC), waste to energy incinerator (WTE) dengan tipe fluidized bed furnace (pembakaran dengan fluida), dan sanitary landfill (SLF).
4.5.1. Skenario Optimasi Teknologi Sistem Pengolahan Sampah Analisis optimasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dilakukan dengan skenario sbb : 1.
Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi teknologi pengolahan sampah secara individual untuk teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF.
2.
Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.
3.
Menghitung keuntungan dan kerugian aplikasi integrasi teknologi pengolahan sampah
HRC, insinerator WTE dan SLF, dengan kondisi sampah telah
dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.
87
4.
Masing-masing teknologi dihitung keuntungan dan kerugiannya untuk kapasitas pengolahan sampah 500 ton/ hari, 1000 ton/ hari, 2.000 ton/ hari, dan 3.000 ton/ hari, untuk melihat tingkat efisiensi dari masing-masing teknologi terhadap perubahan kapasitas pengolahan, baik dari sisi keuangan, lingkungan maupun sosial.
5.
Perhitungan CBA dilakukan dengan menggunakan acuan kondisi sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta, yang memiliki luas wilayah 660 km2, dengan timbulan sampah sebesar 6.000 ton per hari, dan komposisi sampah yang terdiri dari 50% sampah organik dan 50% anorganik.
DKI Jakarta
mengoperasikan sistem pengolahan sampah sanitary landfill yang terletak di Bantargebang yang berada di wilayah administratif kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat yang terletak ± 40 km dari pusat Kota Jakarta. Jarak yang dipergunakan dalam perhitungan adalah 45 km yaitu jumlah jarak dari tempat penampungan sementara, ditambah dengan jarak akses jalan masuk serta jalan lingkungan hingga ke sel penimbunan .
Sistem pengolahan sampah WTE insinerator
menggunakan tipe pembakar dengan fluida (fluidized bed furnish), sedangkan teknologi komposting dipergunakan teknologi high rate composting (HRC) yang terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah ini dilakukan dengan asumsi bahwa sistem pengolahan sampah secara individual dengan kapasitas 500 ton/hari, 1000 ton/hari, 2000 ton/hari dan 3000 ton per hari. Fariasi kapasitas pengolahan untuk masing-masing
teknologi
pengolahan
sampah
ini
dimaksudkan
untuk
mengetahui tingkat efisiensi pengolahan terhadap perubahan kapasitas pengolahan sampah, dengan demikian dapatlah dibandingkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing teknologi pengolahan sampah yang digunakan di perkotaan. Selain itu juga untuk memahami karakter perubahan pengolahan sampah dari masing-masing teknologi pengolahan sampah. 6.
Perhitungan keuntungan dan kerugian sistem pengolahan sampah didasarkan pada karakteristik dari masing-masing teknologi sistem pengolahan sampah dan timbulan sampah sesuai dengan kota kajian yaitu dalam
kota besar/metro,
dengan rincian sebagai berikut : a. Sistem sanitary landfill, menggunakan lahan di luar wilayah administratif DKI yang memiliki jarak angkut (haulage) dari tempat penampungan
88
sementara (TPS) sampah, hingga ke titik sel SLF 45 km. Selain itu umur rencana operasi SLF 25 tahun, berat jenis sampah setelah penempatan (compaction) 0,6 ton/m3, berat jenis sampah setelah dekomposisi 1,05 ton/m3, rasio tanah penutup 15% dari volume sampah. Tinggi timbunan sampah bergantung pada volume, luas lahan dan daya dukung tanah. Tinggi timbunan untuk kapasitas 500 ton/hari umumnya 30 meter, untuk kapasitas 1.000 ton/hari 36 meter, untuk kapasitas 2.000 ton/hari 45 meter, dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari 48 meter. Hasil perhitungan kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan luas lahan 64,5 ha, dan untuk kapasitas 1.000 ton/hari diperlukan 107,5 ha, untuk kapasitas 2.000 ton/hari perlu 172 ha dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari perlu 241,9 ha. Kebutuhan lahan tersebut termasuk untuk kebutuhan lahan aktif SLF, untuk kebutuhan jalan internal, untuk drainase serta untuk zona penyangga. Biaya pengangkutan sampah sesuai dengan data kontrak antar Dinas Kebersihan DKI dengan swasta tahun 2010, dengan truk tertutup sebesar Rp 6.000,-/ton/km. b. Sistem insinerator WTE, terletak di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sampah sementara (TPS). Jarak angkut ke unit pengolahan sampah insinerator WTE adalah 10 km. Lokasi fasilitas TPA untuk abu sisa hasil pembakaran (insinerator) dan pemanfaatan energi (ketel uap) berjarak 25 km dari lokasi unit pengolahan sampah insinerator WTE. Keberadaan unit pengolahan sampah insinerator WTE masih memungkinkan diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, mengingat kebutuhan lahan untuk kapasitas 500 ton/hari seluas 2,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 1000 ton/hari seluas 4,1 ha, kapasitas 2000 ton/hari seluas 6,5 ha dan kapasitas 3000 ton/hari memerlukan luas lahan 8,6 ha. Nilai kalori dari sampah yang tidak dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, memiliki kandungan kalori rata-rata 2.146 kkal kg sampah. Pada sampah yang dipisahkan dan dilakukan pengomposan, terjadi peningkatan kandungan kalori rata-rata 3.044 kkal/kg, dengan effisiensi pembangkit listrik 18 %, temperatur pada ketel uap antara 380 – 400 oC dengan tingkat pegurangan sampah 95% dan sisa pembakaran berupa abu sebesar 8,44%. Energi listrik (hasil perhitungan) yang dihasilkan melalui sistem pengolahan
89
sampah WTE, untuk kapasitas 500 ton sampah adalah 7 Mw (mega watt), dan 13Mw untuk kapasitas 1.000 ton/hari, 26 Mw untuk kapasitas 2.000 ton/hari, dan 39 Mw untuk kapasitas 3000 ton/hari. Produksi listrik dapat dijual ke PLN dengan tarif Rp 300,-/kwh, sebagai pendapatan extra dari sistem insinerator WTE. Biaya pengangkutan sampah Rp 6.000,-/ton/km dengan biaya angkut sisa pembakaran untuk dibuang ke TPA sebesar Rp 3.600,-/ton/km. c. Sistem pengolahan sampah dengan high rate composting (HRC) diletakkan di dalam wilayah administratif DKI Jakarta, yang diletakkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah atau TPS. Selain itu berjarak rata-rata 10 km dari sumber timbulan sampah atau tempat penampungan sementara (TPS). Sisa sampah yang tidak dapat diproses, pada sampah yang belum dipisahkan antara sampah organik dan anorganik mencapai 50%. Sisa sampah ini selanjutnya dibuang ke TPA dengan jarak 25 km dari unit komposting. Adapun biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan HRC sebesar Rp 6.000,-/ton/km dan Rp 5.400,-/ton/km untuk sisa sampah yang tidak terolah. Harga kompos rata-rata untuk saat ini adalah Rp 400,-/kg. d. Benefit and cost analysis dilakukan dengan menghitung biaya investasi (capital expenditure/ CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan (operational expenditure/OPEX) selama periode design yang dihitung selama 25 tahun operasi. Disamping itu juga dihitung dampak lingkungan yang ditimbulkan dari setiap opsi pengelohan sampah yang ditekankan pada timbulan gas rumah kaca ( global warming gases), untuk gas karbon dioksida (CO2) dan gas metana CH4 yang dikonversikan dalam global warming potencial dalam CO2. Dampak lain yang dihitung adalah dampak sosial dari setiap opsi pengolahan sampah.
Perhitungan tersebut dilakukan dengan beberapa
varian kapasitas, mulai dari 500 ton/hari sampai dengan 3.000 ton/hari beban sampah yang diolah, dengan sistem pemilahan sampah dan tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah.
Perhitungan BCA
dilakukan untuk membandingkan sistem pengolahan sampah secara terintegrasi yaitu sistem komposting bio fertilizer, incenirator waste to energy (WTE) dan sanitary landfill, untuk melihat keuntungan dan kerugian dari kedua sistem tersebut.
90
e. Komponen investasi pengolahan sampah, meliputi biaya pengadaan lahan dan biaya konstruksi (civil works). Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah terdiri dari lahan untuk keperluan jalan akses menuju lokasi instalasi pengolahan
sampah
(sanitary
landfill,
waste
to
energy,
ataupun
composting)., meliputi :
Kebutuhan lahan akses jalan masuk. Kebutuhan lahan untuk akses jalan masuk bergantung pada volume atau kapasitas pengolahan sampah. Makin besar kapasitas olahan sampah yang diproses, makin tinggi frekwensi angkutan yang masuk ke instalasi, dan makin lebar jalan yang dibutuhkan termasuk sistem drainase.
Kebutuhan lahan dan biaya konstruksi untuk sistem sanitary landfill Kebutuhan lahan untuk pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill tergantung pada kapasitas sampah masuk; masa perencanaan; umur rencana opersional (diambil 25 tahun); tinggi timbunan sampah; akses internal dan sistem drainase; zona penyangga (buffer zone) 50% lahan aktif; fasilitas penunjang (unit penimbang sampah, kantor operasional, workshop alat berat, gudang dsb.
Biaya untuk membangun konstruksi sistem sanitary landfill terdiri dari biaya untuk konstruksi lahan aktif baik pekerjaan sipil (civil works); instalasi mekanikal dan elektrikal (mechanical and electrical); konstruksi jalan internal dan drainase (operational roads); konstruksi zona penyangga (buffer zone); konstruksi jalan masuk (acces road); fasilitas
penunjang (kantor opersional,
unit
penimbang, pagar
pengaman, gudang, bengkel, dll)
Kebutuhan lahan untuk sistem insinirator (waste to energy incinerator) Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah waste to energy, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah. Adapun kelengkapan komponen yang diperlukan untuk sistem ini antara lain adalah lahan penerimaan, sampah tak terbakar (reject waste) dan abu hasil pembakaran. Selain itu juga diperlukan unit pembakaran sampah; unit pembangkit listrik; dan zona penyangga (buffer zone) yang diambil 100% dari area effektif; fasilitas penunjang (kantor, timbangan sampah, workshop, gudang parkir, dll).
91
Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem waste to energy terdiri dari biaya pembangunan gedung pengolahan; biaya instalasi mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan internal dan drainase; lahan parkir; biaya zona penyangga dan biaya pembangunan jalan akses masuk menuju WTE.
Kebutuhan lahan untuk sistem high rate composting (HRC) Kebutuhan lahan untuk sistem pengolahan sampah HRC, tergantung pada kapasitas sampah yang diolah (input produksi). Adapun lahan yang diperlukan untuk sistem ini adalah lahan penerima; lahan pemilah; lahan pencacah/penyaringan; lahan sampah tidak terpakai; lahan proses komposting; lahan untuk fasilitas penunjang parkir internal, gudang, dll. Biaya konstruksi untuk sistem pengolahan sampah dengan sistem HRC, terdiri dari komponen-komponen biaya gedung; biaya mekanikal dan elektrikal; biaya konstruksi jalan operasional dan fasilitas parkir; biaya zona penyangga; biaya konstruksi jalan akses menunju instalasi HRC.
Biaya operasi dan pemeliharaan (OP) sistem pengolahan sampah Biaya OP dipergunakan untuk membiayai perawatan peralatan dan biaya pengoperasian terdiri dari biaya pegawai; biaya kantor dan administrasi; biaya listrik; biaya bahan kimia/biologis; biaya peralatan; biaya pemeliharaan infrastruktur dan unit- unit instalasi.
Produksi listrik unit pengolahan sampah insinerator WTE, dijual kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pendapatan dari unit Insinerator WTE.
Analisis biaya untuk unit pengolahan per ton kapasitas selama 25 tahun, yang diproyeksikan dari tahun 2008 hingga tahun 2033, tidak termasuk biaya-biaya untuk transportasi pengangkutan sampah menuju unit pengolahan dan pengangkutan residu dari hasil proses pengolahan, untuk masing-masing teknologi pengolahan sampah yang dioperasikan secara individual dengan dan tanpa pemilahan sampah di sumbernya; dihitung berdasarkan biaya sekarang (present value) dari biaya investasi ( capital expenditure –CAPEX ) dan nilai sekarang biaya operasi/ pemeliharaan, ( operation and maintenance expenditure – OPEX ). Perhitungan didasarkan pada tingkat bunga sebesar 7%, menunjukkan bahwa: “ biaya pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE merupakan biaya pengolahan sampah termahal. Hal sebaliknya terjadi pada pengolahan sampah dengan teknologi HRC yang biaya pengolahannya termurah, dalam hal ini, untuk
92
kapasitas pengolahan 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp 133.880,-/ton. Biaya untuk kapasitas 1.000 ton/hari adalah Rp 127.870,-/ton. Biaya untuk kapasitas 2.000 ton/hari Rp 121.190,-/ton, dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya Rp 120.530,-/ton. Pada teknologi WTE insinerator memerlukan biaya pengolahan sebesarRp 284.000,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 245.490,/ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 226.280,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 213.200,-/ton jika dibandingkan dengan unit pengolahan
sampah dengan sistem sanitary landfill
dengan kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya Rp 183,370,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 158.440,-/ton, untuk kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 140.630,-/ton dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 136.780,-/ton. Secara individu biaya sistem pengolahan termurah adalah pengolahan dengan HRC yakni untuk kapasitas 500 ton/hari diperlukan biaya Rp 310.660,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari diperlukan biaya pengolahan Rp 304.650,-/ton, untuk kapasitas 2000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 297.970,-/ton dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 297.310,-/ton. Hasil perhitunghan tersebut memperlihatkan bahwa WTE secara sistem untuk kapasitas di atas 1.000 ton/hari, memiliki biaya yang semakin murah (cost efficient). Hal ini diakibatkan karena rendahnya biaya transportasi untuk residu yang ditimbulkan dari sistem insenirator, dan pendapatan dari energi listrik yang dihasilkan. Pada dasarnya adanya transportasi dari wilayah DKI Jakarta ke TPA Bantar Gebang tidak hanya menimbulkan kerugian dari aspek biaya transportasi, namun ada kerugian lain yang dapat ditimbulkan akibat adanya transportasi tersebut. Dalam hal ini pada kegiatan transportasi akan dilakukan pembakaran BBM. Pada proses pembakaran ini akan dihasilkan CO2 yang pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Di lain pihak adanya pembakaran BBM pun juga akan menghasilkan dioksin dan furan (Suminar, 2003). Selain dioksin dan furan dari pembakaran BBM fosil seperti bensin dan solar juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Terdapatnya dioksin, furan dan logam berat Pb di atmosfir ini dapat berdampak negative pada manusia. Oleh karenanya maka sangat wajar jika adanya pencemaran juga akan berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah
93
kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Dengan demikian maka dengan menurunnya transportasi bukan saja akan mengurangi biaya transportasi, namun juga akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kesehatan masyarakat. Pengolahan sampah yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 23, dengan timbulan sampah yang tidak dilakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, di sumber timbulan sampah memerlukan biaya yang lebih murah. Hasil perhitungan biaya pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi untuk kapasitas 500 ton/hari memerlukan biaya sebesar Rp 262770,-/ton, kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan Rp 245.430,-/ton, kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan Rp 223.370,-/ton, dan untuk kapasitas 3.000 ton/hari memerlukan biaya Rp 212.850,-/ton. Pengolahan sampah menjadi lebih murah ketika dilakukan proses pemilahan sampah di sumber timbulan sampah, dan dilakukan pengolahan sampah dengan mengkombinasikan pengolahan sampah sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah dengan pengolahan high rate composting (HRC) dan pengolahan insinerator WTE yang menunjukkan nilai uang sekarang (present value), untuk kapasitas 500 ton/ton memerlukan biaya Rp 220.960,-/ton, untuk kapasitas 1.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 222.760,-/ton, untuk kapasitas 2.000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan Rp 206.740,-/ton dan untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan biaya pengolahan sebesar Rp 198.870,-/ton.
Komparasi unit pengolahan sampah secara
individual tanpa pemilahan sampah di sumber timbulan sampah dan kombinasi pengolahan sampah antara pengolahan HRC dengan insinerator WTE dapat dilihat pada Table 40 dan secara grafis dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan perhitungan CBA secara terinci dapat dilihat pada Lampiran (1 – 11).
Unit Cost pengolahan sampah (Rp/ton)
Rp300.000
Rp250.000
Rp200.000
Rp150.000
Rp100.000
Rp50.000
Rp0
500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day) SLF
WTE
Gambar 24 Biaya pengolahan sampah
HRC
Komb Tek 1
Komb Tek 2
94
Tabel 40 Analisis biaya dan manfaat teknologi pengolahan sampah TEKNOLOGI INDIVIDUAL TANPA PEMILAHAN DI SUMBER
SLF
WTE INSINERATOR
HRC
Data sampah : Sampah masuk Plant : Kondisi sampah:
Ton/Day
500
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:
269
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 439 685
PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM:
802 1.032 0
(Rp. Milyar) 1.389 2.461 2.063 4.127 0 0
3.591 6.190 0
1.242 229 45
(Rp. Milyar) 2.148 3.960 459 917 89 179
5.596 1.376 268
586 229 544
1.834
3.453
6.588
9.781
1.516
2.696
7.240
1.359
2.666
5.214
7.804
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
183,37 235,83 0,00
(Rpx 000/ton) 158,78 140,63 235,83 235,83 0,00 0,00
136,78 235,83 0,00
284,00 52,41 10,21
245,49 52,41 10,21
(Rpx 000/ton) 226,28 213,20 52,41 52,41 10,21 10,21
133,88 52,41 124,37
(Rpx 000/ton) 127,87 121,19 52,41 52,41 124,37 124,37
120,53 52,41 124,37
TOTAL SYSTEM :
419,20
394,61
372,61 346,61 308,11 288,89
310,66
304,65
297,31
376,46
3.000
500
983
754
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 1.415 2.566
5.056
3.000
500
3.576
415
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 738 1.282 (Rp. Milyar) 1.119 2.121 459 917 1.088 2.176
3.164 1.376 3.265
275,81
297,97
3.000
1.863
KOMBINASI TEKNOLOGI
COMB.2
COMB.1
HRC & WTE
HRC & WTE
Data sampah : Sampah masuk Plant : Kondisi sampah:
Ton/Day
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM:
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
500
500
2.669
619
1.198
904 229 24
(Rp. Milyar) 1.663 2.871 459 917 48 96
4.004 1.376 144
1.157
2.170
3.885
206,57 52,41 5,50
(Rpx 000/ton) 190,09 164,08 52,41 52,41 5,50 5,50
236,61
1.988
3000
603
251,86
TOTAL SYSTEM :
1000 2000 Sampah Sudah terpilah (Rp. Milyar)
212,07
1000 2000 Sampah Belum terpilah (Rp. Milyar) 1.208
2.019
2.705
1.171 287 42
(Rp. Milyar) 2.120 3.761 573 1.146 84 168
5.283 1.720 253
5.524
1.499
2.778
5.076
7.255
152,52 52,41 5,50
203,30 52,41 7,07
(Rpx 000/ton) 185,95 163,89 52,41 52,41 7,07 7,07
153,38 52,41 7,07
201,35
262,77
245,43
223,37
Sumber : Hasil perhitungan
Unit Cost sistem persampahan (Rp/Ton)
Rp440.000 Rp420.000 Rp400.000 Rp380.000 Rp360.000 Rp340.000 Rp320.000 Rp300.000 Rp280.000 Rp260.000 Rp240.000 Rp220.000 Rp200.000 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN ( Ton/ Day) WTE
SLF
HRC
3000
Komb Tek 1
Komb Tek 2
Gambar 25 Biaya yang diperlukan dalam proses pengolahan sampah
212,85
95
Dari kurva pada Gambar 25 terlihat bahwa secara individual biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, menunjukkan bahwa : 1. Unit pengolahan insinerator WTE menempati posisi termahal jika dibandingkan dengan unit pengolahan dengan sanitary landfill ataupun HRC. 2. Biaya pengolahan per ton kapasitas pengolahan selama 25 tahun, mengalami penurunan atau semakin efisien dengan kenaikan kapasitas pengolahan ton/hari. 3. Penurunan biaya unit pengolahan per ton kapasitas selama operasi 25 tahun untuk insinerator WTE mengalami penurunan yang tajam dengan kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke kapasitas 1.000 ton/hari, sebesar 16%. Penurunan biayanya dari 1.000 ton/hari ke 2.000 ton/hari sebesar 7,3%, dan penurunan 7% dari kenaikan kapasitas 2.000 ton/hari menjadi 3000 ton/hari. Pada teknologi SLF penurunan biaya cukup tajam untuk kenaikan kapasitas pengolahan dari 500 ton/hari ke 1000 ton/hari, yakni sebesar 13,3% dan 12% dari kapasitas 1.000 ton ke 2.000 ton/hari. 4. Secara keseluruhan tingkat effisiensi unit pengolahan terjadi pada kapasitas pengolahan lebih besar dari 500 ton/hari.
4.5.2. Analisis Dampak Lingkungan Analisis dampak lingkungan dilakukan untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah, baik secara individual maupun terintegrasi baik untuk input sampah yang sudah terpilah antara sampah organik dan anorganik, maupun yang masih belum dilakukan pemilahan. Analisis ini dilakukan hanya untuk komponen pencemaran gas rumah kaca yaitu gas CO2 dan gas metan CH4.
4.5.2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sistem Pengolahan Sampah Sanitary Landfill Pemanfaatan teknologi SLF memberikan dampak lingkungan, salah satunya adalah emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah. Analisis dilakukan dengan pembatasan perghitungan emisi gas CO2 dan gas metan CH4 yang dikonversikan dalam CO2, dengan mempergunakan indeks global worming potential (GWP) yang dirumuskan oleh Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS, 1997). Estimasi pembentukan gas sebagai fungsi dari waktu dapat dihitung
96
dengan mempergunakan model matematis sebagaimana dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (1987) sebagai berikut: Gt = 1,868 Co (0,014 T + 0,28) (1 – 10 –kt) dalam m3 gas/ton sampah, Keterangan: Gt : volume gas yang terbentuk semenjak sampah 1 (satu) ton dibuang sampai waktu t tahun dalam m3 gas/ton sampah, Co : jumlah total karbon organik dalam sampah ( kg/ton sampah), ( nilai tipikel Co = 200 kg/ton). T : temperatur di lapisan dalam sampah di SLF dalam oC ( nilai tipikal untuk kondisi SLF di Indonesia = 40oC) k : konstanta degradasi ( tipikal untuk landfill antara 0,05 – 0,15), t : waktu dalam tahun. Volume gas CO2 dan gas CH4 yang terbentuk, selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan berat ton/tahun dengan menggunakan faktor konversi berat spesfiknya, yakni untuk CO2 sebesar 0,1235 lb/ft3 atau 1,97835 kg/m3 dan CH4 sebesar 0,0448 lb/ft3 atau 0,7177 kg/m3. Menurut Chobanoglous et al. (1993) komposisi pembentukan gas landfill rata-rata adalah 46,1 % CO2 dan 48,4 % CH4, sedangkan gas-gas lain jumlahnya 5,5 %. Apabila pada perhitungan ini dipergunakan komposisi volume gas yang dihasilkan dari penelitian yang dikemukakan oleh Chobanoglous et al. (1993), maka dapat dihitung terbentuknya volume dan berat gas CO2 dan CH4 dalam proses pengolahan sampah dengan teknologi sanitary landfill. Pada proses dekomposisi zat organic, disamping timbulnya gas CO2 dan gas metan CH4, juga akan dilepaskan emisi gas rumah kaca yang berasal dari pemakaian bahan bakar solar untuk transportasi sampah dari tempat penampungan sampah sementara hingga ke unit pengolahan sampah SLF yang berjarak 45 km, sesuai dengan reaksi sbb: Bahan Bakar + Udara Panas + Karbon Dioksida + Nitrogen Perhitungan jumlah gas CO2 yang ditimbulkan akibat dari penggunaan bahan bakar solar, sebagaimana dikemukakan oleh DEFRA (2001) (Nurroh, 2010) mengenai analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO2 disebutkan bahwa setiap liter pemakaian solar sebagai bahan bakar sistem transportasi akan menimbulkan 2,6 kg CO2. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk satu liter bahan bakar bensin menimbulkan 2,33 kg CO2. Atas dasar penelitian tersebut, maka dapat dihitung jumlah emisi gas CO2 yang dikeluarkan akibat pengangkutan sampah ke lokasi pengolahan sampah sanitary landfill. Jumlah emisi gas CO2 dan CH4 yang dikonversikan ke dalam satuan gas CO2, baik dari angkutan sampah dan proses pengolahan di sanitary landfill merupakan jumlah
97
emisi GRK yang ditimbulkan dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, dapat dilihat pada Tabel 41 dan Tabel 42. Tabel 41 Emisi transportasi sampah ke unit SLF
Jarak sumber ke lokasi SLF Kapasitas Angkut Jumlah Trip Penggunaan solar Penggunaan solar Emisi Solar CO2 TOTAL EMISI CO2 Sumber : Hasil Perhitungan
Kapasitas Angkut
Satuan Ton/Hr km Ton Trip/Hr lt/Trip lt/Th Kg/lt Ton/Th
500 45 8 63 36 821.250 2,64 2.168
1000 45 8 125 36 1.642.500 2,64 4.336
2000 3000 45 45 8 8 250 375 36 36 3.285.000 4.927.500 2,64 2,64 8.672 13.009
Tabel 42 Emisi GRK pengolahan sampah di unit SLF kapasitas Jumlah sampah selama operasi SLF Tipikal Karbon Organik Co Temperatur (T ) Vol Gas Organik Ge=1,868 Co(0,014 T + 0,28) Vol Gas Total Gt =Ge(1-10-kt ) Vol Gas Total Vol Gas CO2 46,1% Berat Gas CO2 Vol Gas CH4 48,4% Berat Gas CH4 Ekuvalent CO2 Emisi GRK per Tahun
Satuan Ton/Hr ton/tahun kg/ton o C m3 m3/ton m3/th m3/th ton/th m3/th ton/th ton CO2 ton/tahun CO2
Kapasitas SLF 500 182,500 200 40 314 304 55,461,753 25,567,868 50,624.38 26,843,488.22 19,327.31 473,519 524,144
1000
2000
365,000 200 40 314 304 110,923,505 51,135,736 101,248.76 53,686,976.43 38,654.62 947,038 1,048,287
730,000 200 40 314 304 221,847,010 102,271,472 202,497.51 107,373,952.86 77,309.25 1,894,077 2,096,574
3000 1,095,000 200 40 314 304 332,770,515 153,407,207 303,746.27 161,060,929.29 115,963.87 2,841,115 3,144,861
Sumber: Hasil perhitungan
4.5.2.2. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah Waste to Energy Incinerator Proses pengolahan sampah di insinerator WTE menimbulkan gas CO2 akibat dari proses pembakaran zat organik, sebagaimana reaksi berikut: Zat organik + O2 CO2 + H2O Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jhonke (2004), setiap pembakaran satu ton sampah perkotaan akan menghasilkan 0,7 – 1,2 ton CO2. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dihitung emisi gas CO2 yang ditimbulkan dalam pemanfaatan teknologi Insinerator, sebagaimana tercantum pada Tabel 43 dan Tabel 44.
98
Tabel 43 Emisi transportasi sampah ke unit WTE. KAPASITAS TRANSPORTASI
KAPASITAS TRANSPORTASI RESIDU
kapasitas Jarak sumber ke lokasi WTE Kapasitas Angkut Jumlah Trip Penggunaan solar Penggunaan solar Emisi Solar CO2
Satuan Ton/Hr km Ton Trip/Hr lt/Trip lt/Th Kg/lt
500 10 8 63 8 182.500 2,64
1000 10 8 125 8 365.000 2,64
2000 10 8 250 8 730.000 2,64
3000 10 8 375 8 1.095.000 2,64
25 25 8 3 20 22.813 2,64
50 25 8 6 20 45.625 2,64
100 25 8 13 20 91.250 2,64
150 25 8 19 20 136.875 2,64
EMISI Transp CO2 ke unit WTE
Ton/Th
482
964
1.927
2.891
60
120
241
361
Jumlah emisi CO2 dari Tranportasi
Ton/Th
542
1.084
2.168
3.252
Sumber : Perhitungan
Tabel 44 Emisi GRK pengolahan sampah di unit WTE
Kapasitas Emisi CO2 proses pembakaran Emisi CO2 Emisi CO2 WTE Insinerator
Satuan ton/hari ton/ton sampah ton/hari ton/tahun
Sampah belum terpilah 500 1.000 2.000 3.000 1,2 1,2 1,2 1,2 600 1.200 2.400 3.600 216.000 432.000 864.000 1.296.000
Sumber : Perhitungan
4.5.2.3. Emisi Gas Rumah Kaca Sistem Pengolahan Sampah High Rate Composting (HRC) Proses pengolahan sampah dengan teknologi high rate composting juga menimbulkan Gas CO2 yang berasal dari proses degradasi zat organik secara aerobik. Proses yang terjadi dalam HRC dapat dikatakan identik dengan proses pada SLF, hanya saja proses dekomposisi zat organik dalam proses HRC berlangsung dalam kondisi aerobik yang tekontrol dan dalam waktu yang relatif singkat yakni ± 2 minggu. Oleh karenanya perhitungan timbulan gas CO2 dapat dihitung dengan mempergunakan pendekatan formula sebagaimana yang dikemukakan oleh Rottenberger dan Tabasaran (2000) yaitu: Ge = 1,868 Co (0,014 T + 0,28) , Keterangan: Ge: volume gas yang terbentuk (m3), Co: karbon organik ( kg/ton) sampah, ( tipikel 200 kg/ton) T : temperatur dalam oC,( tipikel 50 oC untuk kondisi HRC). Hasil perhitungan emisi gas CO2 pada proses HRC dapat dilihat pada Tabel 45 dan 46.
99
Tabel 45 Emisi transportasi sampah ke unit HRC 3. Emisi Gas CO2 akibat Transportasi sampah ke Unit HRC. Satuan
KAPASITAS TRANSPORTASI
kapasitas Jarak sumber ke lokasi Bio Fert Kapasitas Angkut Jumlah Trip Penggunaan solar Penggunaan solar Emisi Solar CO2
Ton/Hr km Ton Trip/Hr lt/Trip lt/Th Kg/lt
500 10 8 63 8 182.500 2,64
1000 10 8 125 8 365.000 2,64
2000 10 8 250 8 730.000 2,64
3000 10 8 375 8 1.095.000 2,64
TOTAL EMISI CO2 Jumlah emisi CO2 dari Transportasi Sumber : Perhitungan
Ton/Th Ton/Th
482 964
964 1.927
1.927 3.854
2.891 5.782
Tabel 46 Emisi pengolahan sampah di unit HRC Emisi Gas CO2 pada proses HRC kapasitas Jumlah sampah selama operasi HRC Tipikal Karbon Organik Co Temperatur (T ) Vol Gas Organik Ge=1,868 Co(0,014 T + 0,28) Berat Spesifik Gas CO2 Total Berat Emisi Gas CO2 pada HRK Sumber : Perhitungan
Satuan Ton/Hr ton/tahun kg/ton o C m3/ton kg/m3 ton/th
Kapasitas HRC 500 1000 2000 3000 182.500 365.000 730.000 1.095.000 200 200 200 200 40 40 40 40 314 314 314 314 1,9783465 1,9783465 1,9783465 1,9783465 310.426 620.853 1.241.705 1.862.558
4.5.2.4. Emisi Sistem Pengolahan Sampah Teknologi Terintegrasi Pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi secara terintegrasi antara HRC, insinerator WTE dan SLF sebagaimana terlihat pada Gambar 24, memberikan keuntungan baik dalam aspek keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada aspek lingkungan, emisi yang ditimbulkan dari pemanfaatan integrasi teknologi akan memberikan dampak yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah secara parsial, baik sampah dengan kondisi yang terpisahkan ataupun yang tidak terpisahkan antara sampah organik dan anorganik. Pemisahan sampah organik dan anorganik di sumber timbulan sampah memberikan dampak yang jauh lebih baik dalam berbagai aspek. Pemilahan sampah di sumbernya akan meningkatkan effisiensi pada pengolahan sampah, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain : a. Naiknya produksi kompos hingga 80%, dan menurunnya biaya transport reject material hingga 80 %. b. Naiknya kandungan kalori dari 2.146 kka/kg menjadi 3.044 kkal/kg, yang dapat menaikkan produksi listrik di unit incinerator WTE rata-rata sebesar 42%, dan menaikkan pendapatan dari penjualan listrik yang dihasilkan WTE
100
hingga 42%, sebagaimana pada
ditampilkan pada Tabel 47 dan dapat
menurunkan emisi GRK, hingga 50%, sebagaimana terlihat pada Tabel 48 dan kurva Gambar 26. Tabel 47 Produksi listrik pada unit WTE Kapasitas WTE Produksi Listrik Mw dg kondisi sampah insinerator Tercampur Terpilah ton/hari 2.146 kkal/kg 3.044 kkal/kg kenaikan % 500 9,4 13,3 41 1000 19 26,6 40 2000 37 53,1 44 3000 56 79,6 42 Jumlah 167 Rata-rata 42 Sumber: Hasil Perhitungan
Tabel 48 Emisi GRK dari setiap sistem pada berbagai kapasitas pengolahan sampah Kapasitas ton/tahun 500 1,000 2,000 3,000 HRC 125,824 251,648 503,297 754,945 WTE 216,530 433,060 866,120 1,299,180 SLF 526,312 1,052,623 2,105,246 3,157,870 Integrasi Teknologi Sampah tercampur 159,422 315,950 631,901 947,851 Integrasi Teknologi Sampah terpilah 134,173 265,478 530,956 796,434 Emisi Ton/th
Sumber : Hasil perhitungan 10,000,000
Emisi (Ton/th)
1,000,000
100,000
10,000
1,000 500
1,000
2,000
3,000
Kapasitas Pengolahan (Ton/hari) HRC
WTE
SLF
Integrasi Teknologi Sampah tercampur
Integrasi Teknologi Sampah terpilah
Gambar 26 Penurunan emisi GRK pada pemanfaatan integrasi teknologi 4.6. Analisis Sensitifitas (Sensitivity Analysis) Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat parameter yang paling sensitif terhadap nilai net present value (NPV). Salah satu alasan dilakukannya uji sensitivitas ini adalah karena terdapat ketidakpastian dalam melakukan prediksi kondisi fisik yang terjadi di masa yang akan datang. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pengolahan sampah, seperti adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga beli listrik dari energi terbarukan, termasuk di dalamnya WTE.
Pada pehitungan ini dilakukan
101
perhitungan harga listrik yang dinaikkan menjadi Rp 700,-/kwh, dan lokasi SLF untuk sisa pembakaran insinerator jaraknya 45 km, serta terjadinya Kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun. Hasil yang didapat terhadap perubahan harga listrik dari Rp 300,-/kwh menjadi Rp 700,-/kwh dapat dilihat pada kurva Gambar 27. Kurva tersebut menunjukkan bahwa secara individual teknologi insinerator WTE menjadi pilihan termurah dalam pengolahan sampah. Selain itu juga memperlihatkan bahwa semakin besar kapasitas pengolahan sampah, akan semakin efisien, karena produksi listrik yang dihasilkan semakin besar. Analisis sensitivitas terhadap perubahan jarak pembuangan sisa pembakaran ke SLF dengan jarak 45 km dapat dilihat pada Gambar 28. Pada gambar tersebut terlihat bahwa dengan harga listrik Rp 300,-/kwh dan dengan kenaikan ongkos transportasi sisa pembakaran, secara individu WTE masih merupakan pilihan teknologi yang cost efficient dibandingkan dengan SLF dan HRC. Kondisi ini diuntungkan karena sisa pembakaran hanya sebesar 5% dari jumlah sampah yang masuk ke unit WTE, sedangkan pada teknologi HRC menyisakan 10% reject material untuk sampah yang telah dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, dan SLF merupakan teknologi termahal dengan jarak angkut sampah mencapai 45 km, dari sumber timbulan sampah.
Unit Cost pengolahan sampah (Rp/ton)
Rp300.000
Rp250.000
Rp200.000
Rp150.000
Rp100.000
Rp50.000
Rp0 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day) SLF
WTE
BIO FERT
COMB 1
COMB 2
Gambar 27 Analisis sensitivitas kenaikan tarif listrik Rp 700,-/kwh Rp440.000
Unit Cost sistem persampahan(Rp/Ton)
Rp420.000 Rp400.000 Rp380.000 Rp360.000 Rp340.000 Rp320.000 Rp300.000 Rp280.000 Rp260.000 Rp240.000 Rp220.000 Rp200.000 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN ( Ton/ Day) WTE
SLF
BIO FERT
COMB 1
COMB 2
Gambar 28 Analisis sensitivitas Jarak SLF untuk sisa pengolahan WTE dan komposting berjarak 45 km
102
Analisis sensitivitas terhadap kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun, dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49 Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12%
Sumber : Hasil perhitungan Secara grafis analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga dapat dilihat pada Gambar 29. Rp300,00
biaya (Rpx1.000/ton)
Rp250,00
Rp200,00
Rp150,00
Rp100,00
Rp50,00
Rp0,00 500 ton/hari
1000 ton/hari
2000 ton/hari
3000 ton/hari
kapasitas pengolahan (ton /hari)
SLF
HRC
WTE Insi
Kombi 1
Kombi 2
Gambar 29 Analisis sensitivitas kenaikan tingkat suku bunga 12%
Dengan kenaikan tingkat suku bunga dari 7% menjadi 12%/tahun mernunjukkan bahwa teknologi HRC secara individual menjadi pilihan teknologi dengan harga termurah, sedangkan WTE Insinerator masih menunjukkan alternatif teknologi yang masih lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan teknologi SLF, khususnya untuk kapasitas pengolahan 3.000 ton/hari. 4.7. Multi Kriteria Evaluasi (Multy Criteria Evluation) Komparasi pemanfaatan teknologi pengolahan sampah secara parsial dan terintegrasi
dilakukan
dengan
menggunakan
multi
kriteria
evaluasi
dengan
mempergunakan output analisis yang telah dilakukan dalam cost benefit analysis dan
103
output dari dampak lingkungan serta kondisi sosial.
Selain itu juga memanfaatkan
persepsi masyarakat terhadap pilihan alternatif teknologi pengolahan sampah, dengan kriteria sebagai berikut : 1. Minimalisasi biaya pengolahan sampah (minimaizing tretment cost) Kriteria ini diukur dengan seberapa besar biaya yang diperlukan untuk mengolah sampah per ton per satuan waktu. Semakin rendah biaya yang diperlukan untuk mengolah sampah, semakin baik atau semakin optimal sistem pengolahan yang dilakukan.
Adanya pertimbangan bahwa biaya pengolahan sampah saat ini
menjadi permasalahan bagi pemerintah DKI, dan penyediaan dana harus memadai bagi operasi dan pemeliharaan, maka kriteria ini menempati prioritas tertinggi dengan bobot 35% 2. Luas lahan yang diperlukan Kriteria ini dipergunakan mengingat DKI menghadapi persoalan dalam penyediaan dan kesesuaian lahan sebagai tempat pengolahan sampah. Semakin effisien, atau semakin kecil luas lahan yang diperlukan dalam aplikasi teknologi pengolaahan
sampah,
semakin
baik
dan
mudah
bagi
DKI
untuk
merealisasikannya. Kondisi kebalikannya, semakin luas lahan yang diperlukan dalam aplikasi teknologi pengolahan sampah semakin sulit untuk direalisasikan, mengingat tingginya biaya yang diperlukan untuk melakukan pembebasan lahan. Ketersediaan dan kesesuaian lahan tempat pengolahan sampah juga menjadi persoalan bagi DKI, mengingat sulitnya menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayah DKI, dan mahalnya harga lahan, menjadi pertimbangan dengan prioritas tinggi, dan kriteria ini diberi bobot 25%. 3. Minimalisasi polusi (minimaizing pollution) Kriteria ini dimaksudkan untuk mengukur penurunan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari teknologi yang dipergunakan dalam pengolahan sampah. Pada umumnya, makin besar penurunan pencemaran yang diakibatkan oleh aplikasi teknologi, makin optimal teknologi pengolahan sampah yang diaplikasikan. Pengukuran terhadap dampak polusi ini diukur dari potensi timbulan gas rumah kaca (green house gases), yaitu karbon dioksida CO2 dan gas metan CH4 yang keduanya dikonversi terhadap gas CO2. Kriteria ini memiliki bobot yang sama dengan persepsi masyarakat terhadap penerimaan masyarakat atas fasilitas
104
pengolahan sampah, oleh karena itu maka kriteria ini diberi bobot sama dengan dampak sosial yaitu 20%. 4. Dampak Sosial Sistem insinerator merupakan sistem yang tertutup, sehingga memberikan dampak yang kecil pada penolakan masyarakat terhadap keberadaan sistem pengolahan sampah dengan sistem insinerator. Pada insinerator dengan proses pembakaran yang cepat, sistem ini dapat melakukan kontrol yang baik terhadap dampak lingkungan, termasuk penanganan abu dan asap yang ditimbulkan dari proses pembakaran yang terjadi. Sistem sanitary landfill merupakan sistem yang terbuka, walaupun telah dilengkapi dengan buffer zone, namun sistem ini masih menimbulkan dampak lingkungan yang dapat mengganggu masyarakat yang sulit untuk dihindari.
Adapun dampak lingkungan yang ditimbulkan antara lain adalah timbulnya bau yang tidak sedap, baik yang ditimbulkan akibat terjadinya proses anaerob terhadap sampah yang telah tertanam ataupun yang masih belum tertanam, maupun bau yang ditimbulkan dari air lindi (leacheate) yang diolah di dalam treatment plant. Bau yang ditimbulkan yang terbawa angin ke arah permukiman, mengakibatkan timbulnya protes dan bahkan penolakan terhadap keberadaan lokasi sanitary landfill. Di samping hal tersebut, sistem sanitary landfill dalam pengoperasiannya mempergunakan peralatan berat yang menimbulkan suara yang dapat mengganggu masyarakat. Sistem komposting memerlukan waktu yang panjang, yakni minimal dua minggu untuk melakukan proses dekomposisi zat organik secara aerob. Namun demikian proses ini juga terkadang menimbulkan bau akibat stok sampah yang telah mengalami proses dekomposisi secara anaerob. Hasil pengolahan mempergunakan kriteria dan bobot dari masing-masing variabel tersebut, dengan bantuan program software TOPSIS, memperlihatkan hasil bahwa untuk pengolahan sampah dengan kapasitas 500 ton/hari dan 3000 ton/hari, diperoleh urutan prioritas sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 50 dan Tabel 51, serta Gambar 30 dan Gambar 31.
105
Tabel 50
Hasil TOPSIS multi kapasitas 500 ton/hari
kriteria evaluasi untuk pengolahan sampah
106
Gambar 30 Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 500 ton/hari Tabel 51 Hasil TOPSIS multi kriteria evaluasi untuk pengolahan sampah kapasitas 3.000 ton/hari
107
Gambar 31 Pilihan prioritas analisis multi kriteria evaluasi 3.000 ton/hari
108
4.8. Analisis sistem dinamik Hasil dari analisis sistem dinamik menghasilkan beberapa prediksi antara lain pertumbuhan penduduk,
timbulan sampah dan berbagai komponen lainnya. Analisis
sistem dinamik dilakukan untuk periode waktu 50 tahun. Analisis pertumbuhan penduduk DKI untuk kurun waktu 50 tahun mendatang dapat di lihat pada Gambar 32. Penduduk 20
juta
15
10
5
0 0
5
10
15
20
25 30 Time (Year)
35
40
45
50
Penduduk : baseline
Gambar 32 Prediksi pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
Gambar 32 memperkirakan perkembangan penduduk DKI Jakarta dalam kurun waktu 50 tahun mendatang yang dimungkinkan mencapai anagka lebih dari 18 juta jiwa, dari sekitar 9 juta jiwa yang ada saat ini. Sementara Gambar 33 menunjukkan perkembangan PDRB per kapita dan laju perubahan PDRB per kapita. PDRB per kapita diperkirakan akan bergerak dari sekitar US$ 7,000 per kapita saat ini menjadi sekitar US$ 13,000 per kapita pada kurun waktu 50 tahun mendatang. Penambahan ini ditunjang oleh prediksi perubahan laju PDRB yang bergerak dari sekitar US$ 80 per kapita per tahun sampai sekitar US$ 150 per kapita per tahun.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya perkembangan peduduk dan faktor ekonomi akan meningkatkan volume sampah. Gambar 34, adalah hasil interkasi sistim dinamik antara variabel ekonomi dan penduduk yang memperkirakan timbulan sampah 50 tahun yang akan datang yang diprediksi mencapai 10.000 ton per hari.
109 PDRB
DPDRB
20,000
200
16,500
170
13,000
140
9,500
110
6,000
80 0
5
10
15
20
25 30 Time (Year)
35
40
45
50
PDRB : baseline
1
8
15
22 29 Time (Year)
36
43
DPDRB : sensitivity
Gambar 33 Perkembangan PDRB dan laju (deferensial) DPDRB per kapita dalam 50 tahun yang akan datang
Sampah 10
ribu ton
9
8
7
6 0
5
10
15
20
25 30 Time (Year)
35
40
Sampah : baseline
Gambar 34 Prediksi timbulan sampah 50 tahun yang akan datang
45
50
50
110
unit cst 0.002
0.0017
0.0015
0.0012
0.001 1 unit cst : baserun
8
15
22 29 Time (Year)
36
43
50
unit cst : sensitivity
Gambar 35 Perkembangan unit cost dalam pengolahan sampah
Salah satu analisis hasil sistem dinamik adalah prediksi unit cost pengolahan sampah yakni biaya pengolahan per ton sampah yang akan dihadapi Jakarta. Sebagaimana terlihat dari hasil analisis sistim dinamik unit cost pengolahan sampah ke depan akan menurun seiring dengan perubahan sistem pengolahan sampah dan perkembangan teknologi yang digunakan. Hal ini karena adanya perubahan sampah yang diolah dari teknologi SLF ke teknologi HRC dan WTE Insinerator. Secara terbobot unit cost akan mengalami penurunan dari sekitar Rp 1,7 juta per ton sampai sekitar Rp 600 ribu per ton.
Analisis sistem dinamik memungkinkan dilakukannya analisis sensitivitas untuk mengetahui perkembangan perubahan parameter secara random terhadap variabelvariable sosio ekonomi dan lingkungan yakni penduduk, PDRB dan sampah. Analisis sensitivas dilakukan dengan melakukan simulasi Monte Carlo dimana sistem dinamik melakukan iterasi ketidakpastian sebanyak 200 kali dengan perubahan parameter laju
111
pertumbuhan penduduk dan laju perubahan ekonomi (laju PDRB). Hasil analisis Monte Carlo tersebut dapat dilihat pada beberapa Gambar 36 -39.
sensitivity 50% 75%
95%
100%
Penduduk 40
30
20
10
0
1
13.25
25.5 Time (Year)
37.75
50
Gambar 36 Hasil perkembangan penduduk berdasarkan analisis sensitivas monte carlo
Sebagaimana terlihat pada Gambar 36 bahwa berdasarkan hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa pada akhir periode simulasi, batas tertinggi ketidakpastian (100%) perubahan laju penduduk secara random akan menghasilkan perkembangan penduduk DKI sekitar 27 juta jiwa, semantara batas bawah (lower bound) ketidakpastian yakni 50% akan menghasilkan jumlah penduduk maksimum sekitar 19 juta jiwa. Hasil ini akan berkorelasi pula dengan perkembangan volume timbulan sampah. Hasil analisis Monte carlo menunjukkan perubahan seperti terlihat pada Gambar 37.
112
sensitivity 50% 75%
95%
100%
Sampah 20
15
10
5
0
1
13.25
25.5 Time (Year)
37.75
50
Gambar 37 Hasil monte carlo timbulan sampah
Dari Gambar 37 terlihat bahwa batas maksimum ketidak pastian (100%) akan menghasilkan timbunan sampah sekitar13 ribu ton per hari sementara batas bawah (50%) akan menghasilkan 11 ribu ton per hari. Perkembangan PDRB akibat adanya ketidakpastian (shock terhadap sistem ekonomi) juga akan menghasilkan beberapa perubahan. Hasil analisis Monte Carlo menghasilkan perubahan PDRB sebagai berikut. Dari Gambar 38 terlihat bahwa spread yang lebar terjadi pada skenario ketidak pastian minimum (perubahan 50%) yang ditunjukan oleh area warna kuning dengan kisaran minimum PDRB per kapita US$ 9,000 dan maksimum sekitar US$18,000. Pada
113
aspek ketidak pastian 100% (random total), PDRB per kaita maksimum akan dicapai sekitar US$ 22000 per kapita per tahun.
sensitivity 50% 75%
95%
100%
PDRB 40,000
30,000
20,000
10,000
0
1
13.25
25.5 Time (Year)
37.75
50
Gambar 38 Hasil analisis Monte Carlo untuk pertumbuhan PDRB per kapita
Konsekuensi perubahan terhadap parameter yang ditunjukkan oleh analisis monte carlo juga mengakibatkan perubahan terhadap unit cost pengolahan sampah secara terbobot. Hasil analisis selama periode 50 tahun menunjukkan bahwa spread (rentang) ketidak pastian 50% akan menghasilkan penurunan unit cost antara Rp 1.000.000,- per ton sampai sekitar Rp 600.000,- per ton sementara spread terkecil diperoleh pada aspek ketidak pastian 100% yakni antara Rp 900.000,- per ton sampai Rp 600.000,- per ton.
114
sensitivity 50% 75%
95%
100%
unit cst 0.002
0.0015
0.001
0.0005
0
1
13.25
25.5 Time (Year)
37.75
Gambar 39 Hasil analisis Monte Carlo untuk unit costs pengolahan sampah
50
115
BAB V ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Implementasi Kebijakam Pengolahan Sampah DKI Jakarta Kebijakan Pengolahan sampah DKI diawali dengan terjadinya perubahan sistem pemerintahan daerah, yakni sejak era reformasi
pada tahun 1999, dengan
diberlakukannya Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka pada tahun 1999 Pemerintah DKI melakukan peninjauan ulang terhadap RTRW- DKI 2005, yaitu dengan menetapkan RTRW DKI 2010 yang ditetapkan dengan peraturan daerah DKI Jakarta Nomor: 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010. Dalam RTRW 2010, DKI menetapkan perubahan dalam pengelolaan sampahnya, yang dijelaskan dalam paragrap 7 pasal 24 tentang Sistem Prasarana Wilayah, yang menetapkan bahwa: (a) Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan teknologi yang berwawasan lingkungan hidup; (b) Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai target penanganan 90% dari jumlah total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya,
proses
pengangkutanya
maupun
pengolahannya
di
tempat
pembuangan akhir (TPA); (c) Pengelolaan sarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah; (d) Pengembangan prasarana sampah bahan buangan bahan berbahaya dan beracun (B3) serta pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat. Pada pasal 71 tentang pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut. Pengembangan penggunaan teknologi pengolahan sampah diantaranya penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani. Pada kebijakan yang dirumuskan mengenai pengolahan sampah di DKI Jakarta, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah DKI di masa yang akan datang akan menempatkan pengolahan sampah di dalam wilayahnya dengan menggunakan berbagai
116
teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, yang dapat diterima oleh masyarakat luas serta memerlukan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dalam pengolahan sampahnya, maka DKI mengaplikasikan beberapa teknologi, antara lain pengolahan sampah dengan pembakaran yaitu dengan membangun unit-unit insinerator skala kecil di berbagai wilayahnya, dan mendorong beberapa produksi kompos di berbagai wilayah
5.1.1. Insinerator Skala Kecil Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan pengolahan sampah dengan mempergunakan insinerator, maka DKI Jakarta telah membangun 21 insinerator skala kecil yang diletakkan di masing-masing bagian wilayah DKI. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (2005) terhadap operasi dan pemeliharaan insinerator skala kecil ini, menunjukkan bahwa dari keseluruhan unit insinerator skala kecil tersebut, terdapat enam unit insinerator yang beroperasi sedangkan lainnya sudah tidak berfungsi. Kapasitas dan jam operasi dari insinerator skala kecil ini bervariasi dari 200 kg/jam sampai 500 kg/jam dengan lama operasi antara 3 - 14 jam. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan survey JCI, pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa total kapasitas pengolahan sampah dari insinerator skala kecil diperkirakan mencapai 21,9 ton/hari. Insinerator skala kecil ini dilengkapi dengan sistem perlindungan pencemaran lingkungan berupa cyclone, yang dimaksudkan untuk mereduksi partikulat, namun demikian sistem ini tidak akan mampu menanggulangi timbulnya gas NOx, SOx, CO, HC dan dioxin. Adanya gas NOx, SOx, CO, HC dan dioxin yang dapat dihasilkan dari incinerator skala kecil perlu sangat diwaspadai (Talashilkar et al., 1999), karena merupakan gas rumah kaca yang akan menyumbang terjadinya pemanasan global. Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo et al. (2003) yang mengatakan bahwa pada efek rumah kaca (ERK) gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Dan tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan kembali ke angkasa luar, namun sebagian gelombang akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Hal ini mengakibatkan suhu bumi menjadi lebih hangat.
Apabila efek rumah kaca
tersebut berlebihan, maka pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
117
Khusus tentang dioksin yang dihasilkan dari incinerator kecil (UNEP 2003), juga harus sangat diwaspadai, karena dioksin bersifat karsinogenik (Klaassen et al., 1986). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matsushita (2003);
NIEHS (2001) yang
mendapatkan hasil bahwa dioksin dan furan berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup, karena dapat memicu kanker, alergi, dan merusak susunan saraf. Selanjutnya dikatakan bahwa dioksin dan furan juga dapat mengganggu sistem endokrin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan mahluk hidup serta pada janin, sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
Lokasi, kapasitas dan kondisi operasional dari insinerator-insinerator kecil dapat dilihat pada Tabel 52. Dari hasil evaluasi DJCK dikemukakan bahwa kebanyakan dari unit-unit insinerator skala kecil tersebut beroperasi dengan tidak layak atau sudah tidak berfungsi lagi, yang disebabkan oleh: a.
Beberapa unit insinerator dibangun untuk mengolah sampah-sampah yang tidak cocok, termasuk sampah basah dari pasar dan zat pencemar tahan api. Kondisi ini menyebabkan tingginya konsumsi bahan bakar, yang menurut hasil evaluasi dari Dinas kebersihan DKI Jakarta (2005), disebutkan bahwa diperlukan bahan bakar kerosen antara 50 – 80 liter per hari dengan lama operasi antara 6-14 jam per hari. Rata-rata kebutuhan bahan bakar berkisar 15-30 liter per kg sampah.
b.
Banyak unit insinerator yang dioperasikan secara manual seperti pemasukan sampah ke insinerator dan penanganan abu. Kondisi ini dinilai tidak nyaman dan sulit untuk dioperasikan oleh para operator.
c.
Pengoperasian unit insinerator ini mahal dan secara ekonomi tidak efisien, sehingga sulit untuk mempertahankan fasilitas ini.
d.
Asap yang dikeluarkan dari insinerator mengganggu masyarakat, yang disebabkan oleh kurang tingginya cerobong asap. Hasil evaluasi oleh Direktorat jenderal Cipta Karya (2005) menunjukkan bahwa
pengoperasian insinerator skala kecil memerlukan 15 liter kerosen per kg sampah. Hal ini mengandung arti bahwa untuk mengolah sampah dengan kapasitas 3.000 ton/hari jika dilakukan dengan insenerator skala kecil, akan diperlukan 45.000.000 liter kerosen per hari, yang setara dengan Rp 135 milyar,- /hari dengan harga kerosen Rp 3000,-/liter. Besaran biaya ini sangat tidak efisien jika dibandingkan dengan pengolahan sampah
118
dengan mempergunakan sistem insinerator skala besar dengan kapasitas 3000 ton/hari, mengingat biaya tersebut setara besarnya dengan biaya opersi WTE selama satu tahun untuk kapsitas 3000 ton/hari.
5.1.2. Komposting dan Daur Ulang Pengomposan sampah di DKI telah dimulai sejak tahun 1991. Pada tahun 2000 kapasitas pengomposan di wilayah DKI telah mencapai kapasitas 24,2 ton/hari yang berasal dari 14 fasilitas pengomposan di Kota Jakarta. Pada dasarnya pengomposan dan daur ulang merupakan pengelolaan sampah yang cukup baik dan sudah dilakukan di DKI, namun pengelolaan sampah dengan cara tersebut di DKI Jakarta relatif belum efektif. Menurut Satori (2002) belum efektifnya proses pendaurulangan sampah seperti sampah pasar tradisional, baik sampah organik maupun anorganik, antara lain disebabkan belum adanya rancangan usaha (business plan) sistem daur ulang sebagai sebuah industri dengan memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; belum adanya sistem jaringan pemasaran produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya koneksitas (linkage) antara produsenkonsumen, produsen-produsen, dan antara konsumen-konsumen; kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan dan alternatif usaha terakhir, karena tidak ada peluang lain. Penyebab lainnya adalah masih terbatasnya anggaran yang disediakan, terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi lingkungan maupun ekonomi yang sangat minim; serta karena kegiatan tersebut belum sinergi dan belum terintegrasi dalam sistem manajemen sampah. Adapun lokasi dan kondisi dari tempat-tempat komposting dapat dilihat pada Tabel 53 . Metode komposting yang dipakai di DKI adalah sistem windrow yang dimodifikasi. Persoalan yang dihadapi dalam pengomposan sampah di DKI diakibatkan karena tidak tercapainya keseimbangan antara supply dan demand kompos. Kurangnya volume penjualan kompos di pasar, mengakibatkan menurunnya jumlah produksi kompos. Masalah-masalah yang timbul pada unit komposting antara lain: a. Mahalnya biaya operasional sehubungan dengan pengadaan bak terbuka untuk membantu proses pembusukan. b. Membutuhkan luas tanah yang cukup besar.
119
c. Perlunya status hukum atas tanah yang dipergunakan usaha pengomposan merupakan masalah yang sensitif dan sulit. d. Tidak adanya panduan lingkungan untuk komposting, mengakibatkan tempattempat pengolahan kompos berjalan tanpa memperhatikan aspek perlindungan lingkungan. e. Mempersiapkan sampah yang sesuai untuk dikomposting sangat sulit, karena bahan-bahan yang tidak dapat dikomposting seperti metal, plastik dan kaca belum terpisahkan dengan baik. f. Rendahnya permintaan pasar untuk kompos organik. g. Proses komposting yang tidak terkontrol dengan kualitas rendah dan kadangkadang dengan kandungan metal yang tinggi. h. Komposting yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan masalah-masalah lingkungan seperti bau yang menyengat dan terjadinya perkembang biakan hama, organisme patogen yang terkandung dalam sampah organik. i. Program usaha daur ulang dan produksi kompos (UDPK) untuk mempromosikan unit komposting, kurang mendapatkan respon dari masyarakat dan dunia usaha. Kurangnya partisipasi masyarakat dan kemampuan manajerial dari pemerintah kotamadya menyebabkan gagalnya program UDPK.
Karakteristik sampah terutama nilai kalor dan kadar air, merupakan parameter utama yang paling penting dalam menentukan apakah insinerator WTE dapat diterapkan atau tidak. Komponen-komponen yang dapat terbakar dalam sampah kota terdiri dari komponen organik, kertas, plastik, kain, tekstil, dan kayu.
Berdasarkan keenam
komponen tersebut, komponen organik yang terdiri dari sisa makanan, sayur-sayuran, daun, rumput, dan lain-lain merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor terendah, sedangkan plastik merupakan komponen yang mempunyai nilai kalor tertinggi. Proses daur ulang sampah non organik akan mengurangi komponen sampah yang mempunyai nilai kalor tinggi, sehingga sisa dari proses tersebut akan mempunyai nilai kalor per kilogram lebih rendah. Kondisi sebaliknya juga terjadi jika sampah organik dipisahkan dan dikomposkan, mengingat sisa proses tersebut akan cenderung mempunyai nilai kalor yang tinggi. Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah dilakukan proses daur ulang dapat dilihat pada Tabel 54.
120
Tabel 52 Kondisi insinerator skala kecil Kota Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Lokasi 1. Rawasari Selatan Kec. Cempaka Putih 2. Dipo Gunung Sahari Utara Kec. Sawah Besar 3. Dipo Tanjung Selor Kec. Gambir 4. Jl. Galur Selatan 1)
250 kg/jam
Kap.Produksi ton/ Hari -
200 kg/jam
-
-
-
200 kg/jam
0,6
5. Jl. Jati Petamburan I RW 04 Petamburan I
250 kg/jam
-
6. Jl. Jati Pinggir, Petamburan I
500 kg/jam
-
7. Ps. Nangka RW. 10 Utan Panjang 8. Dipo Siaga, Kec. Ps. Minggu
500 kg/jam
-
250 kg/jam
-
9. Asrama DK, Lentang Agung 2)
250 kg/jam
2,0
10. Jl. Taman Tebet Barat Raya Tebet Barat 11. Metropolitan Kencana RW. 10 Pondok Pinang 12. Asrama DK, Tegal Alur 3)
500 kg/jam
-
500 kg/jam
-
250 kg/jam
3,25
13. Asrama DK, Pegadungan, Cengkareng Barat 14. Perum Citra, Pegadungan
500 kg/jam
-
500 kg/jam
-
15. Asrama DK, Sunter Jl. Gabus, Sunter Jaya 4)
500 kg/jam
6,5
16. Asrama DK, Semper Jl. Semper Barat 5)
500 kg/jam
7,0
17. Jl. BGR, Kepala Gading Barat
500 kg/jam
-
18. Jl. Pademangan III Pademangan Timur 19. Asrama DK, Pondok Bambu 6)
500 kg/jam
-
250 kg/jam
2,5
20. Jl. Pendidikan RW.04, Cijantung 21. Jl. H. Naman RT.2/2 Pd. Kelapa
500 kg/jam
-
500 kg/jam
-
Total Sumber: Dinas Kebersihan DKI,2005
Kapasitas
21,85
Kondisi Sudah tidak beroperasi sejak Juli 2001 Sudah tidak beroperasi sejak 1997 Sudah tidak beroperasi sejak 1997 Beroperasi 18:00-21:00 6 hari seminggu Sudah tidak beroperasi sejak Juni 2001 Dalam Tahap Pembangunan Dalam Tahap Pembangunan Sudah tidak beroperasi sejak Desember 1999 Beroperasi 8:00-16:00 6 hari seminggu Dalam Tahap Pembangunan Dalam Tahap Pembangunan Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu Dalam Tahap Pembangunan Dalam Tahap Pembangunan Beroperasi 6:00-19:00 6 hari seminggu Beroperasi 6:00-20:00 6 hari seminggu Dalam Tahap Pembangunan Dalam Tahap Pembangunan Beroperasi 7:00-15:00 6 hari seminggu Dalam Tahap Pembangunan Dalam Tahap Pembangunan
121
Tabel 54 menunjukkan bahwa jika hanya dilakukan daur ulang terhadap sampah dengan kandungan organik yang tinggi, maka nilai kalor sampah sisa akan lebih rendah dari nilai kalor sampah awal. Hal ini disebabkan sebagian komponen yang mengandung nilai kalor tinggi hilang. Apabila pengurangan sampah dilakukan dengan proses daur ulang dan komposting, maupun komposting saja, maka nilai kalor sampah akan naik hampir dua kali lipat. Berdasarkan hal tersebut, maka jika daur ulang komponen non organik akan dilakukan sebesar-besarnya, maka sisa sampah terbesar adalah komponen organik saja, sehingga nilai kalor sampah sisa akan menjadi sangat rendah, yakni kurang lebih 900 kkal/kg. Mengingat kandungan kalorinya rendah, maka pengolahan dengan menggunakan insinerator tidak layak untuk digunakan. Tabel 53 Unit-unit komposting di Kota Jakarta No.
Lokasi Unit-Unit Komposting
Sistem Komposting
1.
Pondok Indah Golf, Jakarta Selatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
Harga Jual (Rp./kg)
Pengomposan dengan 1.500 menggunakan cacing 2. Kompos sampah kota + bio300 aktivator (mikro-biologi) 3. Cakung, Rumah Jagal, Campuran kompos dari 240 Jakarta Timur sampah rumah jagal, serbuk gergaji, tanah dan lain-lain. 4. Universitas Trisakti, Jakarta Kotoran ayam, kotoran 700 kambing, rumput, kotoran manusia dan bio-aktivor 5. Cakung, Jakarta Timur Campuran kompos dari 500-600 sampah rumah jagal, rumput, kotoran sapi dan lain-lain. 6. Jl. Swadharma Raya, Campuran kompos dari 1.600 Jakarta Selatan sampah rumah tangga, kotoran kuda, serbuk gergaji, sampah kayu. 7. Pasar Tradisional Pluit, Sampah tanaman dan buah1.700 Jakarta Utara buahan dari pasar tradisional Pluit 8. Pondok Kopi, Jakarta Timur Kompos dari rumah jagal, 350 sampah permen, serbuk gergaji dan lain-lain. 9. Banjarsari, Cilandak, Pengomposan dengan 1.500-2.000 Jakarta Selatan menggunakan cacing 10-14 Hanya total kapasitas dari 5 unit komposting yang tersedia Jumlah total produksi kompos Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005
Kapasitas Produksi (ton/day) 0,130 0,700 16,700
0,300
1,500
0,030
0,003
0,017
0,017 4,803 24,200
Tabel 54 Perubahan nilai kalor sampah pasar setelah proses daur ulang dan komposting Karakteristik Sampah Nilai Kalor (Kcal/kg)
Awal
Daur Ulang Saja
1778
1711
Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2005
Kompos dan daur ulang 3111
Kompos Saja 3044
122
Kajian
yang
dilakukan
oleh
Direktorat
Jenderal
Cipta
Karya
(2003)
memperlihatkan bahwa walaupun composting merupakan sasaran utama sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2010 dalam jangka pendek. Namun hingga saat ini diindikasikan bahwa tidak mungkin melakukan perubahan budaya yang diperlukan untuk mendukung hal itu dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat (jangka pendek). Pada dasarnya komposting merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam rangka mengimplementasikan program 3R (reduce, reuse, dan recycle) atau lebih dikenal dengan program 3R, yang orientasinya agar tercapai program zero waste. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebassari (2000) yang mengatakan bahwa zero waste merupakan konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R yaitu reduse, reuse, recycle dengan pengelolaan sedekat mungkin dengan sumbernya.
Pengembangan
teknologi pengelolaan sampah ini selain lebih bersahabat dengan lingkungan, juga akan memberi nilai tambah secara ekonomi (Wibowo dan Djajawinata 2003).
Namun
demikian sampai saat ini, kelayakan metode reduce and reuse di Jakarta belum terbukti dapat diaplikasikan dalam skala yang berarti.
Pengalaman percontohan di Daerah
Menteng pun juga relative kurang memuaskan, karena baru menunjukkan adanya potensi penggunaan kompos. Pengalaman percontohan di Daerah Menteng menunjukkan bahwa Jakarta tidak dapat menganggap bahwa composting dengan skala kecil dapat diandalkan sebagai solusi utama dalam reduksi sampah, untuk jangka waktu minimal lima tahun ke depan. Oleh karenanya diperlukan upaya untuk mengubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya sampah domestik.
Selain itu juga diperlukan
perubahan mindset dari masyarakat luas untuk memandang kompos sebagai produk yang bermanfaat, baik bagi ekonomi maupun lingkungan.
5.2. Formulasi Kebijakan Pengolahan Sampah 5.2.1. Aplikasi Teknologi Pengolahan Sampah Hasil analisis CBA mendapatkan hasil bahwa sistem pengolahan sampah yang selayaknya dikembangkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, dalam rangka mengatasi persoalan pengolahan sampah yang terkait dengan keterbatasan lahan serta untuk mendapatkan sisitem pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat adalah
pengolahan sampah dengan mengaplikasikan integrasi teknologi
insinerator WTE dan HRC yang ditempatkan di dalam wilayah DKI, sedekat mungkin
123
dengan sumber timbulan sampah.
Adapun pertimbangan dari pemilihan teknologi
tersebut adalah sebagai berikut : a. Teknologi insinerator skala kecil mengeluarkan biaya yang sangat mahal, sehingga memberikan beban yang berat bagi keuangan Pemda DKI, dalam menyediakan biaya operasi dan pemeliharaan. Selain itu juga menimbulkan dampak lingkungan dan berpotensi untuk menurunkan kesehatan masyarakat, sehingga diduga akan menghadapi penolakan masyarakat. Teknologi yang harus dioperasikan oleh Pemda DKI adalah insinerator WTE, dengan kapasitas 3.000 ton/hari, mengingat sistem ini yang paling cost efficient dan relative ramah lingkungan . Pemanfaatan teknologi ini dimungkinkan dengan terjadinya perubahan komposisi sampah seiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan tingkat kesejahteraan ini akan merubah komposisi sampah dengan kandungan sampah anorganik yang semakin meningkat. Peningkatan kandungan sampah anorganik juga akan meningkatkan kandungan kalori sampah, yang memberikan keuntungan bagi DKI dalam mengaplikasikan teknologi insinerator WTE dalam pengolahan sampahnya. b. Berdasarkan besarnya volume timbulan sampah dalam 25 tahun ke depan, maka kebijakan pemeintah DKI Jakarta harus diarahkan pada pemanfaatan teknologi yang dapat mengatasi permasalahan kelangkaan lahan sebagai tempat pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Selain itu juga harus mampu melakukan reduksi volume sampah secara cepat, dalam skala besar untuk menurunkan biaya pengangkutan sampah ke lokasi TPA. Di samping itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa aplikasi teknologi insinerator WTE skala besar, akan lebih menguntungkan jika diintegrasikan dengan teknologi high rate composting (HRC). Hal ini disebabkan residu yang dihasilkan dari proses HRC menjadi input WTE dengan kandungan kalori yang tinggi, sehingga kandungan kalori sampah sebagai input pada proses WTE semakin tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan produksi listrik yang lebih besar. Pada sistem ini sanitary landfill (SLF) hanya difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir hasil pengolahan sampah dari sistem WTE insinerator yang berupa abu yang telah stabil dan aman bagi lingkungan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat di sekitar lokasi landfill, karena tidak menimbulkan bau yang mengganggu. Kenaikan produksi listrik akibat naiknya kandungan kalori sampah, akan memberikan pendapatan ekstra yang lebih tinggi yang memberikan keuntungan untuk menutupi ongkos operasi dan pemeliharaan insinerator WTE.
124
c.
Adanya aplikasinya teknologi terintegrasi HRC dan insinerator WTE, maka sanitary landfill (SLF) pada masa yang akan datang hanya akan menerima residu dari hasil pembakaran berupa abu, yang lebih ramah lingkungan dan lebih dapat diterima oleh masyarakat sekitar SLF. Pada sisem ini juga tidak akan menimbulkan bau yang tidak sedap yang selama ini dirasakan oleh masyarakat yang bermukim disekitar SLF. Sistem ini juga akan menghilangkan acaman pencemaran air tanah akibat dari produksi lindi yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah oganik. Dengan pertimbangan tersebut, maka kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah DKI dalam pengolahan sampah adalah penerapan aplikasi teknologi pengolahan sampah terintegrsai antara teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF, yang akan mampu mengolah seluruh timbulan sampah DKI Jakarta hingga 25 tahun ke depan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 40. Pemanfaatan teknologi pengolahan sampah insinerator WTE selaras dengan Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang pada pasal 4 disebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.
7000
6000
5000
3000
ton/hari
d.
2977
4000
3000
2000
2977 3000
1000 21,85
24,2 0
0 2005
Composting
3R
Organik
Incinerator Anorganik
Gambar 40 Sistem pengolahan sampah di DKI saat ini
SLF
125
Gambar 41 Sistem pengolahan sampah dengan aplikasi teknologi terintegrasi
Gambar 42 Sistem pengolahan sampah dengan teknologi terintegrasi masa mendatang
126
5.2.2. Partisipasi Aktif Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Pengolahan Sampah UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan bahwa Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara berwawasan lingkungan, dan tata cara pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah. Keberhasilan pengolahan sampah sangat ditentukan oleh adanya partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha. Implementasi teknologi pengolahan sampah akan lebih berhasilguna dan lebih tepatguna jika masyarakat melakukan pemilahan sampah, serta melaksanakan program pengurangan (reduce), reuse (penggunaan kembali), dan recycling (pemanfaatan kembali) sedekat mungkin dari sumber timbulan sampah.
Pemilahan sampah pada
sumbernya akan memberikan dampak positif terutama dalam pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi HRC dan insinerator WTE. Sampah organik yang terpilah dari sampah anorganik akan memberikan kualitas yang baik pada produksi kompos yang terbebaskan dari kandungan logam berat dan bahan berbahaya lainnya.
Selain itu
pemilahan sampah anorganik akan memberikan kemudahan proses penggunaan kembali ataupun pemanfaatan kembali sampah anorganik. Pemerintah DKI harus mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan pengurangan (reduce), pemanfaatan kembali (reuse) dan pengolahan kembali (recycling), sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pada dasarnya Pemerintah DKI
Jakarta telah lama mencanangkan kebijakan
pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No : 1281 tahun 1988 tentang Pola Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Dalam lampiran keputusan tersebut ditekankan bahwa pada pengumpulan sampah di lokasi sumber sampah dilakukan pemisahan menurut jenisnya yaitu yang dapat didaur ulang (sampah anorganik) dan yang tidak dapat didaur ulang ( sampah organik). Selain itu juga dinyatakan bahwa petugas pengumpul sampah mengambil sampah sesuai dengan jenis dan jadwal yang telah ditentukan. Namun demikian kebijakan ini pada kenyataanya tidak dapat direalisasikan, mengingat tidak adanya mekanisme insentif (reward) dan disinsentif ( punishment), sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 21 UU No 18 tahun 2008, sehingga tidak memberikan
perbedaan perlakuan antara masyarakat/ kelompok masyarakat yang melakukan pemilahan sampah sesuai dengan kebijakan tersebut dengan masyarakat/kelompok masyarakat yang tidak mematuhi kebijakan tersebut. Selain hal tersebut, keberhasilan
127
pengelolaan sampah juga sangat bergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana persampahan, baik dalam skala kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya, yang berdasarkan UU No.18 tahun 2008 pasal 13 wajib disediakan oleh pengelola. Peran pemangku kepentingan dalam sistem pengolahan sampah tersebut ditunjukkan pada bagan Gambar 43. Pemilihan Sampah Skala Lingkungan
Organik 3.000 ton/hari sampah 6000 ton/hari
Pengumpulan Pengolahan Skala Kawasan HRC 3.000 ton/hari
Kompos 900 ton/hari
Anorganik 3.000 ton/hari
3R : 900 ton/hari
Peran serta masyarakat
Transportasi
Pengolahan Skala Kota
Listrik 55 Mw
Reject 300 ton/hari Input WTE 2400 ton/hari (3.044 kkal/kg)
Pengolahan Akhir (SLF) Skala Regional
WTE 2.400 ton/hari
Reject 2.100 tonn/hari
Abu 8,44% ton/hari
SLF 202,56 ton/hari
Peran Dunia Usaha Peran Pemerintah sebagai regulator
Gambar 43 Peran pemangku kepentingan dalam pengolahan sampah
Implementasi integrasi pemanfaatan teknologi HRC, WTE, dan SLF dalam sistem pengolahan sampah memerlukan keterlibatan sektor swasta. Dalam hal ini private sector didorong untuk melakukan investasi maupun pengoperasian unit pengolahan sampah dengan teknologi tinggi, sehingga memerlukan perawatan dan pengoperasian dengan sumber daya manusia yang handal. Selain itu juga dituntut untuk dapat meningkatkan effisiensi dalam pembiayaan serta pemenuhan kinerja secara effektif. Keterlibatan sektor swasta dapat dilakukan melalui pola kerjasama antar pemerintah dengan swasta (public private partnership- PPP), dalam bentuk build operate and transfer (BOT), concession (konsesi) ataupun dalam bentuk business to bussiness ( B to B). Kerjasama antara pemerintah dengan swasta mendorong terjadinya keterbukan, effisiensi, effektifitas dan keberlanjutan sistem pengolahan sampah. Kajian studi kelayakan yang lebih mendalam diperlukan guna menentukan pola kerjasama yang tepat antara pemerintah dengan swasta (KPS), untuk mengetahui resiko
128
(risk analysis) yang kemungkinan terjadi selama kerjasama berlangsung. Selain itu juga untuk menentukan seberapa besar dukungan dan jaminan pemerintah yang diperlukan guna menciptakan kondisi yang menarik bagi keterlibatan sektor swasta.
Indikasi
keuntungan dan kerugian bentuk KPS dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta ini, dari sisi pemerintah dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Keuntungan dan kerugian dalam pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta No Bentuk Kerjasama 1 Build Operate and Transfer (BOT) pada Unit Pengolahan Sampah
2
3
BOT Konsesi
Keuntungan Pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Badan layanan Umum (BLU) masih memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan dibagian yg tidak masuk dalam kerjasama dg swasta, umumnya dibagian yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Model ini lebih menarik bagi swasta. Pemerintah tidak mengeluarkan biaya dalam pembangunan sarana dan prasarana persampahan, seluruh biaya dibebankan pada swasta
Kerugian Pemerintah harus menyediakan pembiayaan dibagian yang menjadi tanggung jawabnya
Pemerintah tidak memiliki kewenangan di Seluruh bagian wilayah yang dikonsesikan . Model ini kurang diminati oleh swasta Investasi swasta lebih besar membuat kurang layaknya proyek KPS B to B Kerjasama dapat dilakukan Cenderung kurangnya dengan waktu yang lebih cepat competitiveness dalam jika dibandingkan dengan memilih badan usaha BOT atau Konsesi. kerjasama Model ini lebih disukai oleh swasta, terutama swasta yang memiliki insiatif untuk melakukan kerjasama di bagian tertentu dari sistem pengelolaan sampah. Sumber : Analisis penulis Kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur
telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
129
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Di dalam pasal 4 ayat (1) butir e. dijelaskan bahwa jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha mencakup : infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan. 5.2.3. Keberlanjutan Pemanfaatan Teknologi Pengolahan Sampah Keberlanjutan sistem pengolahan sampah dengan pemanfaatan teknologi non konvensional yaitu pemanfaatan teknologi HRC dan incinerator WTE skala besar dan SLF, bergantung kepada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil analisis sebagaimana dijelaskan oleh Bertz dan Kelly (2005) mengenai kurva lingkungan dari Kuznet, menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sangat berpengaruh terhadap terjadinya tingkat degradasi lingkungan. Kurva ini juga menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun tingkat degradasi lingkungan atau dengan kata lain dengan tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi permintaan/ tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik akan semakin meningkat, dan masyarakat memiliki kemauan yang lebih tinggi untuk membayar. Dalam konteks pengolahan sampah, pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang lebih baik memerlukan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar biaya operasi dan pemeliharaan pemanfaatan teknologi tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barton et al. (1994) pada kota-kota di beberapa negara menunjukkan bahwa jika tingkat pendapatan masyarakat rata-rata per jiwa telah mencapai US $ 6,500 maka sangat memungkinkan untuk pemanfaatan teknologi pengolahan sampah dengan sistem insinertor dan sanitary landfill. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Contreau et al. (1985), memperlihatkan bahwa dengan tingkat pendapatan masyarakat sebesar itu,
maka komposisi timbulan sampah perkotaan, sampah
anorganiknya akan lebih besar atau sama dengan 50% dari total timbulan sampah perkotaan. Hal ini mengandung arti bahwa sampah memiliki kandungan kalori yang tinggi serta kadar air yang rendah. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik sampahnya, maka teknologi yang memungkinkan untuk diaplikasikan adalah teknologi insinerator WTE. Selain itu adanya listrik yang akan dihasilkan pada teknologi insinerator WTE, menjadi harapan masa depan mengingat energi alternatif merupakan sasaran energi masa depan yang sangat dibutuhkan dunia (Simmons 2001).
130
Tingkat kesejahteraan masyarakat di DKI Jakarta yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata PDRB/kapita pada tahun 2007 telah mencapai Rp 62.490.340,-/kapita, setara dengan US $ 6,900/kapita (dengan nilai Rp 9.000,-/US $). Trend tingkat kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta dari tahun ke tahun menunjukkan tingkat kenaikan yang positif yaitu rata-rata sebesar 12,7%/ tahun, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 56. Data terakhir yang dikemukakan oleh BPS DKI Jakarta memperlihatkan bahwa nilai PDRB/kapita DKI pada tahun 2009 telah mencapai Rp 199.390.680,- dan pada tahun 2010 sebesar Rp 201.558.150,-/ kapita. Hal ini mengandung arti bahwa dengan tingkat kesejahteraan sebesar itu dan dengan kecenderungan yang semakin meningkat, maka dapat diindikasikan bahwa DKI Jakarta layak untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE dan SLF secara terintegrasi. Tabel 56 Pertumbuhan PDRB per kapita DKI Jakarta Pertumbuhan PDRB/kapita DKI Jakarta Tahun PDRB/kapita Rp US $ % pertumbuhan 2003 38.694.930 4299 2004 42.922.400 4769 10,9 2005 48.966.320 5441 14,1 2006 55.981.200 6220 14,3 2007 62.490.340 6943 11,6 rata-rata 12,7 Sumber : Hasil Perhitungan Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1995), dan data BPS DKI Jakarta (2010) , koefisien Gini (Gini ratio) untuk DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57 Gini rasio Provinsi DKI Jakarta 1980 0,3532
1981 0,354
Gini Rasio Provinsi DKI Jakarta 1984 1987 1990 2007 0,294 0,94 0,305 0,34
2008 0,33
2009 0,36
Sumber : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, BPS
Gini rasio menunjukkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, yakni semakin merata suatu distribusi pendapatan, maka nilai koefisien gininya mendekati nol. Namun makin tidak meratanya suatu distribusi pendapatan, maka besaran koefisien akan mendekati satu.
Berdasarkan patokan yang umum digunakan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki tingkat ketimpangan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien gini lebih kecil dari 0,4, kecuali pada tahun 1987 yang memiliki nilai rasio 0,94 karena
131
terjadinya devaluasi nilai rupiah terhadap US$. Dengan demikian maka DKI Jakarta telah memenuhi syarat untuk mengaplikasikan teknologi HRC, insinerator WTE, dan SLF. 5.2.4. Institusi Pengelola Sampah Pengelolaan sampah di DKI Jakarta diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan, namun sampah taman menjadi tanggung jawab dari Dinas Pertamanan, dan sampah dari sungai menjadi tanggung jawab dari Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu Pemda DKI juga bekerjasama dengan swasta dalam melaksanakan kebersihan di wilayah tertentu dan melakukan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA Bantargebang.
Koordinasi dari
ketiga penyelenggara pengelola sampah tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1281 tahun 1988 tentang Pengelolaan Sampah
DKI Jakarta, namun
implementasinya masih menyisakan permasalahan dalam hal batas kewenangan dan tanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah.
Pada dasarnya
keberadaan beberapa institusi yang berperan dalam bidang dan ruang yang sama seringkali menimbulkan konflik kepentingan dan tanggung jawab. Hal ini juga terindikasi terjadi pada ketiga institusi pengelola sampah.
Adapun permasalahan utama yang
mengakibatkan terjadinya konflik adalah akibat pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan dan ke TPA Bantargebang yang tidak mencapai 100%. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta yang volume rata-rata mencapai 1.000 m3/hari.
Dalam rangka menghindari terjadinya saling melempar
tanggung jawab, atau yang dikenal dengan not in my term of office (NIMTO) syndrome, dan untuk mengukur kinerja institusi pelaksana, maka institusi pengelola sampah di DKI Jakarta diserahkan pada satu institusi khusus sebagai penyelenggara, baik dalam bentuk unit pelaksana teknis daerah (UPTD) atau badan layanan umum daerah (BLUD). Kedua institusi ini diberi kewenangan untuk mengelola persampahan, atau melibatkan pihak swasta dengan sistem kontrak kinerja yang disepakati, baik untuk pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir, sedangkan Dinas Kebersihan berperan sebagai regulator (pembuat kebijakan). Pengaturan tersebut akan memungkinkan terjadinya pemisahan antara fungsi regulator dan operator, sehingga penilaian kinerja kebersihan dapat dilakukan secara terbuka oleh masing-masing pihak. Selain itu masyarakat luaspun dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja baik operator maupun regulator, dan juga memberikan masukan bagi terselenggaranya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
132
5.2.5. Dukungan Kebijakan Pemerintah dalam Kerjasama antar Pemerintah dengan Swasta Pengelolaan sampah di DKI Jakarta memerlukan keterlibatan sektor swasta, baik dalam pengumpulan, pengangkutan, pengolahan serta operasi dan pemeliharaan. Adanya keterlibatan swasta dalam sistem pengelolaan sampah ini diperlukan kebijakan yang tepat, sehingga kerjasama tersebut dapat lebih menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, agar swasta tertarik berperan serta. Prinsip-prinsip good governance harus ditegakkan, terutama dalam aspek keterbukaan ( transparansi), efisien, efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perencanaan yang partisipatif. Selain hal tersebut, adanya dukungan pemerintah untuk dapat memberikan akses pendanaan dengan bunga murah (BI rate) serta jaminan pemerintah (government support) atas keamanan investasi yang ditanamkan oleh swasta juga akan sangat menentukan masuknya sektor swasta ke dalam pengolahan sampah. Kebijakan pemerintah diarahkan untuk memberikan insentif bagi sektor swasta dalam memanfaatkan sampah sebagai sumber energi listrik (energi yang terbarukan) melalui aplikasi teknologi insinerator WTE. Keberadaan jaminan pemerintah (commitment) akan pasokan sampah dengan volume yang disepakati, penetapan harga beli enegi listrik yang menarik yang dihasilkan dari sistem insinerator WTE, serta adanya keringanan pajak atas import peralatan dan penjualan energi terbarukan merupakan faktor-faktor yang menentukan bagi masuknya sektor swasta untuk turut berperanserta dalam pengolahan sampah di DKI Jakarta.
133
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kebijakan nasional yang terkait dengan sampah yang ada saat ini yakni Undangundang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolan Persampahan, dan Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperbaharui dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih terjadi fragmentasi dalam implementasisnya tertutama menyangkut tata kelola dan sistem pengelolaan sampah, meskipun secara konseptual kebijakan perundangundangan tersebut sangat baik namun dalam tataran opersional masih menemui banyak kendala. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Program reduksi sampah yang diperkenalkan saat ini adalah sistem terpadu antara daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insinerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill, bahkan di masa yang akan datang dapat menerapkan program zero waste. Namun untuk mengaplikasikan teknologi tersebut belum didasarkan pada kajian kelayakan teknis, keuangan maupun lingkungan, sehingga sistem pengolahannya belum berkelanjutan. Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, perlu pemisahan fungsi regulator dan operator. Dan untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, saling lempar tanggung jawab, dan untuk lebih memudahkan dalam mengukur kinerjanya, maka pengelolaan sampah, idealnya dilakukan hanya oleh satu institusi. Dalam rangka lebih meningkatkan kinerjanya dan menutupi kesenjangan pembiayaan, pada pengelolaan sampah dapat melibatkan swasta. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator waste to energy (WTE), sekaligus memberikan pemahaman bahwa sampah merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik.
134
Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, makin tinggi kandungan kalori makin tinggi produksi listriknya. Kandungan kalori sampah DKI yang tercampur adalah 2.146 kkal/kg, sehingga dari 500 ton/hari sampah akan dihasilkan listrik 9,4 Mw. Apabila sampah dipilah antara sampah organik dan anorganik, dan dilakukan pengolahan yang terintegrasi WTE dan komposting, maka kandungan kalori meningkat menjadi 3.044 kkal/kg, sehingga produksi listrik dari 500 ton/hari menjadi 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, investasi awalnya (intial investment) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3.000 ton/hari perlu investasi Rp 3.575 milyar, berbeda dengan sanitary landfill yang hanya memerlukan Rp 983 Milyar, dan high rate composting Rp1.863 Milyar. Keunggulan insinerator terletak pada pengolahan yang cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, dapat mengolah sampah B3 dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri. Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp 346.610,/ton sedangkan SLF Rp 419.200,- dan komposting Rp 294.940,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi.
Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp
289.520,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual. Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah.
Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya
pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill menjadi lebih mahal dibanding sistem WTE yang ditempatkan di Wilayah DKI. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan High Rate Composting ataupun insinerator WTE
135
Adanya penggunaan dan perubahan peruntukkan lahan yang tidak terkendali, Di DKI Jakarta menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km), disamping memerlukan biaya yang mahal untuk biaya angkutan sampah (Rp 6.000,-/ton/km), juga mencemari lingkungan, mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO2 sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2.168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi 13.009 ton/tahun untuk timbulan sampah 3.000 ton/hari. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE atau HRC yang tertutup (in door) lebih dapat diterima masyarakat sekitar, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Pengolahan dengan sanitary landfill menghasilkan Leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah, padahal saat ini hanya 50% penduduk DKI yang mendapat pelayanan air minum dari sisitim perpipaan PDAM. Teknologi insinerator lebih efisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas lebih dari 500 ton/hari, namun titik optimalnya terjadi pada kapasitas 3.000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan antara sampah organik dan anorganik, dan pengolahan sampah organik paling optimal jika diolah dengan sistem high rate composting (HRC). Unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya ditempatkan di wilayah DKI, sehingga biaya angkut menjadi minimal. Makin besar skala pengolahan, akan makin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jika pemerintah membeli produksi listrik yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang lebih tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah sistem insinerator WTE, sehingga memungkinkan swasta berperan dalam penyediaan pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE. Keterlibatan sektor swasta dalam pengolahan sampah dengan teknologi WTE insinerator, perlu didukung pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi bagi swasta dengan bunga rendah (BI rate), mengingat aplikasi teknologi insinerator WTE memerlukan intial investment yang tinggi.
136
Saran 1. Adanya kecenderungan volume sampah yang terus meningkat, maka perlu didorong kebijakan waste reduction policy yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat (industri, rumah tangga dan pemerintah). 2. Insinerator WTE dapat menjadi alternatif teknologi yang sesuai untuk mengatasi masalah kekurangan lahan dan keuangan Kota Jakarta, mengingat volume sampah dapat dikurangi hingga ± 95%, dan secara finansial dalam jangka panjang WTE merupakan teknologi yang paling cost efficient. 3. Kebijakan yang mendorong 3R (reduce, reuse, recycle) harus terus didorong melalui penggunaan economic incentives sebagaimana diamanatkan dalam UU 18 tahun 2008. 4. Kebijakan dalam pengolahan sampah melalui pilihan teknologi harus dilihat secara komprehensif dan tidak hanya melihat dari sisi initital investment semata. 5. Perlu dilakukan penelitian pengendalian lingkungan yang saat ini sulit diukur dalam CBA seperti emisi gas CO2, methan CH4 dan gas lainnya. 6. Pemilahan sampah sejak dari sumber timbulan sampah merupakan faktor penentu dalam pengolahan sampah, sehingga harus segera diberlakukan di wilayah perkotaan. 7. Rencana detail tata ruang perkotaan harus memasukkan alokasi ruang untuk unit pengolahan sampah, dengan memperhatikan luasan kebutuhan lahan, yang memenuhi kelayakan lingkungan, teknis, dan sosial. 8. Pengelolaan sampah secara regional harus didorong untuk mengatasi kelangkaan ketersediaan lahan bagi tempat pemerosesan akhir sampah, untuk itu perlu kerjasama regional antar pemerintah kota kabupaten ataupun antar provinsi, seperti : kerjasama DKI Jakarta dengan kota-kota sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur/ JABODETABEKCUR; Kota Surabaya dengan kota/kabupaten sekitarnya seperti Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Lamongan (GERBANGKERTOSUSILA), Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung, Sumedang, Cimahi, dan lain lain. 9. Perlu dilakukan analisis yang komprehensif untuk memilih teknologi pengolahan sampah yang cost efficient.
137
DAFTAR PUSTAKA
Abou N M, El-Fadel M, Ayoub G, El-Taha M and Al-Awar F. 2002. An optimisation model for regional integrated solid waste management I. Model formulation. Waste Management & Research, 20(1): 37-45 [ADB] Asian Development Bank. 1998. To Wards a national environmental sanitation program for Indonesia, Volume 1, Main Taxt, Jakarta. Ahalya N, Ramachandra TV, Kanamadi RD. 2004. Biosorption of heavy metals. Bangalore: Indian Institute of Science. [ALGAS] Asian Least Cost Greenhouse Gas Abetment Strategy, [PPLH IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB, [PPE ITB] Pusat Penelitian Energi ITB, Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia, Pelangi Indonesia. 1997. Mengurangi emisi gas rumah kaca. Allenby BR. 1999. Industrial ecology. Policy framework and implementation. PrenticeHall Inc. New Jersey. USA. Anderson J. 1979. Public policy making. New York. Holt Rinehart and Winston. [APWA] American Public Works Association. 1975. Solid waste collection practice. Institute for Solid Waste of the American Public Works Association. Chicago, Illinois. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 1998. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2002. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2005. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2006. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2009. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010. Jakarta dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta Barton C, Janis B, Josef L, Jochen E. 1994. Toward environmental strategies for cities, The World Bank, Washington DC.
138
Bartz S, Kelly D L. 2005. Kuznet diagram environmental analysis. Economic growth and the environment: Teory and facts. Resource and energy economics, Vol. 30, No. 2 : 115-149. Bebasari S. 2000. Pengaruh sistem pengumpulan sampah terhadap partisipasi masyarakat. Tesis magister. Universitas Indonesia, Jakarta. Bingemer H G, Crutzen P J. 1987. The Production of methane from solid wastes. Max Plank Institute for Chemistry, Mainz, Federal Republic of Germany. Journal of Geophysical Research, vol. 92: 2181-2187. Bramono SE. 2004. Sampah sebagai sumber energi: Tantangan bagi dunia persampahan Indonesia. Pokja AMPL. Percik: 5: 16-17
Brunner R Calvin. 1994. Hazardous waste incineration, McGraw-Hill International Edition, New York [CPIS] Center for Policy and Implementation Studies. 1922. Buku Panduan teknik pembuatan kompos dari sampah, teori dan aplikasi, Jakarta. Chalik A Alex. 2000. Evaluasi kebijakan pengolahan sampah DKI Jakarta pada TPA sampah Bantar Gebang. Tesis Magister. Institut Teknologi Bandung. ITB Bandung. Cointreau S Johnson. 1982. Financial arrengement for viable solid waste management system in developing countries. World Bank, Washington DC. Cointreau S Johnson. 1985. Integrated resource recovery, recycling from municipal refuse : a state of the art review and annotated bibliography. UNDP and World Bank. Washington DC. Delgado JA, Follent RF. 2002. Carbon and nutrient cycles. Journal of Soil and Water Conservation 57:455-458 Demirbas A, Pehlivan E, and Altun T. 2006. Potential evolution of Turkish agricultural residues as bio-gas, bio-char and bio-oil sources. International Journal of Hidrogen Energy 31:613-620 Demirbas A. 2005. Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate conditions. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 73:39-43. [DEFRA] Department of Environment Food and Rural Affair 2001. Report on emission of carbondioxide from fuel consumption. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 1999. Informasi pengelolaan kebersihan Tahun 1998/1999. Jakarta.
139
Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan tahunan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. [DJCK] Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1996. Evaluasi pengelolaan sampah perkotaan. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1997. Jakarta solid waste management. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jendral Cipta Karya . 2003. Laporan tahunan bidang Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. [DJCK] Direktorat Jendral Cipta Karya. 2005. Laporan tahunan bidang Cipta Karya, Deapartemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Direktorat Pengkajian Sistem Industri Jasa BPPT. 1994. Pengolahan sampah dengan insinerator. Jakarta. Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS. 2005. Cara cepat membuat kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta. [DKP] Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. 2005. Western Java environmental management project, Solid waste management for Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Dunn N William. 1981. Pengantar analisi kebijakan publik. Gajah Mada University Press.Yogyakarta. [EC] European Commission, DG Environment. 2000. A Study on the economic valuation of environmental externalities from landfill disposal and incineration of waste, final main report. 5-33. Field CB, Field KM. 2002. Environmental economics, an Introduction, Mc Graw-Hill, Irwin. Fischer S, Dornbusch R. 1997. Macro economic for open economies.The Driden Press, London. Gomes, Nascimento, Rodrigues. 2007. Development of local carbon dioxide emission inventory based on energy demand and waste production, technical paper. Air and Waste Management Association. Gujarati, Damodar. 1978. Basic Econometrics, McGraw-Hill,Inc, New York. Gorman S, Tynan E. 2003. Environment strategy notes: Persistent organics pollutants- a legacy of environmental harm and threats to health. No. 6 May 2003. http://www.worldbank.org/pops. Dikunjungi 28/5/2011.
140
Gusmailina G, Pari, dan Komarayati S. 2001. The Utilization technology on charcoal as a soil conditioning [Project Report]. Forest Products Research Centre. Bogor. Hanley N, Spash CL . 1995. Cost benefit analysis and the environment. Department of Economics University of Stirling, Scotland. Hara T, Shima H, Yoshida Y, and Matsuhashi R. 2005. Model analysis of an interindustrial and inter-regional waste recycling system in Japan, Journal of Energy. Harada Y, Haga K , Tosada and Koshino M. 1993. Quality of compost produced from animal waste. Japan Agriculture Research Quarterly. 26:238-246. Haug RT. 1980. Compost engineering principles and practices. Ann Arbor Science. Michigan. Horenwig D, Thomas L.1999. What a waste, Solid waste management in Asia, The World Bank, Washington DC, USA. [IBRD] International Bank for Reconstruction and Development, Bank Dunia, 2004. Kondisi infrastruktur di Indonesia, Majalah Insinyur Indonesia, edisi Juni 2004, Jakarta. Jablansky J. 1998. Mathematical programming modelling and optimization system. CEJORE No 6. Pp : 279-288. Joksha. 2000. Estimation of landfill gas emission from landfill of The Central Asia. SaintPetersburg State Polytechnic University, Russian Federation. [JICA] Japan International Corporation Agency. 1987. Study on solid waste management system improvement project in the city of Jakarta in Indonesia. Jakarta. Johnke B. 2004. Emissions from Waste Incineration, IPCC/OECD/IEA. Joseph B. 2005. Environmental Studies, The McGraw-Hill, New Delhi Junaidi. 2005. Panduan pembuatan pupuk organik. Jakarta : PT. Agro Media Pustaka. Kholil. 2005. Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan sampah terpadu berbasis nirlimbah (zero waste), Studi kasus di Jakarta Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. Klaassen CD, Doul J and Amdur MO. 1986. Toxicology. The Basic science of poisons. Third edition. Macmillan Publishing Company. New York. 974 hlm.
141
Laswell, Harold D, Kaplan A. 1971. A Preview of policy scinces. The American Elsevier Pub. Co Publishing [LPEM] Lembaga Penyelidikan Ekonomi Dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1995. Indikator-indikator Makroekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Maani, Cavana. 2000. System Thinking and Modelling : Understanding change and complexity. Printice Hall. New York. Machida M, Aikawa M, and Tatsumoto H. 2005. Prediction of simultaneous adsorption of Cu(II) and Pb(II) onto activated carbon by conventional Langmuir type aquations. Journal of Hazardous Materials 120:271-275. Manahan S E. 2005. Environmental chemistry. Eigth Edition. New York: Taylor & Francis. CRC Press, Boca Raton. Matsuzawa Y, Mae K, Hasegawa I, Suzuki K, Fujiyoshi H, Ito M , and Ayabe M. 2007. Characterization of carbonized municipal waste as substitute for coal fuel. Fuel 86:264-272 Murbandono L. 2005. Membuat kompos. Edisi Revisi. Jakarta : Penebar Swadaya. Mustopadidjaja. 2002. Manajemen proses kebijakan publik, formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja. Lembaga Administrasi Negara. Napitupulu A. 2009. Pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Nurroh S. 2010. Isu pemanasan global untuk memperkuat posisi tawar, Analisis pengaruh hutan tropis dalam menurunkan emisi CO2 . Kementerian Lingkungan Hidup RI. Oviatt V R.1968 . Environmental health and safety in health care facilities. Cambridge University Press, London. Paris O, Zollfrank C, and Zickler GA. 2005. Decomposition and carbonization of wood biopolymer microstructural study of softwood pyrolisis. Carbon 43:53-66. Pelligrini, Klein. 2000. Solid waste landfills, decission maker’s guide to solid waste landfills, summary. The World Bank. Washington D C. USA. [PEMDA DKIJ] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1987. Rencana umum tata ruang daerah DKI Jakarta tahun-2005. [PEMDA DKIJ] Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1999. Rencana tata ruang wilayah, Daerah DKI Jakarta tahun-2015.
142
Petrick PK. 1984. Managing solid waste in developing countries, Metropolitan waste management planning in developing countries. John Wiley and Sons Ltd, Chichester. Qadeer R, Akhtar S . 2005. Kinetics study of lead ion adsorption on activated carbon. Turk Journal Chemistry 29:95-99. Ritzkowski M, Stegmann R. 2007. Controlling greenhouse gas emissions through landfill in situ aeration.Institute of Waste Resources Management, Hamburg University of Technology, Hamburg, Germany. Rottenberger G, Tabasaran O. 1987. Grudlage zur planung von entgazungsanlagen mullhandbuch. Erich Schmidt Verlag, Berlin. Salo AA, Hamalainen RP . 1955. Preference programming through approximate ratio comparisons. Theory and methodology. European journal of operational research. 82: 458-475. Satori M. 24 Januari 2002. Daur ulang, solusi atasi sampah kota. Harian Pikiran Rakyat: 5 (kolom 2-4). Simmons. 2001. Creating an all energi future. Aberdeen Renewable Technology Conference. Simmons and Company International. Simmonds JR, Lawson G, Mayall A. 1995. Radiation protection: Methodology for assessing the radiological consequences of routine release of radionuclides to the environment, European Commission. Smith RSJ, Hodges CS, Cordell CE. 2004. Charcoal root rot and black root rot. http:www.forestpests.org/ver.2/X1.1.html. [23 Juni 2005]. Smit R. 2004. Dioxin emission from motor vehichels in Australia – Technical Report No. 2. Australian Government Departement of the Environment and Heritage. http://www.deh.gov.au/industry/chemicals/dioxins/report2/dioxinemissionfromroadtraffic.html Dikunjungi 28 Mei 2011 Sumaiku Y. 2004. Apa akibatnya dari pembakaran sampah di pekarangan rumah tangga dan pembakaran/kebakaran hutan terhadap kesehatan. http://www1.bpk.penabur.or.id/kps-jkt/sehat/sampah.htm Dikunjungi 28 Mei 2011. Syahril S, Resosudarmo BP , Tomo HS. 2002. Study on air quality in Jakarta, Indonesia: Future trends, Health impacts, Economic value and Policy options. ADB. Suprihatin, Indrasti, Romli. 2003. Working Paper No. 03, Potensi penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengomposan sampah di wilayah Jabodetabek, PPLH-IPB.
143
Suminar SA. 2003. Estimasi emisi dioksin dan furan. Hasil penelitian disampaikan pada Enabling activities to facilitate early action on the implementation of the stockholm convention on persistent organic pollutants (POPs) in Indonesia. Workshop hasil inventarisasi POPs. UNIDO. KLH. Jakarta.
Talashilkar SC, Bhangarath PP, and Metha VB. 1999. Changes in chemical properties during composting of organic residues as influenced by earthworm activity. Journal of the Indian Society of Soil Science 47:50-53. Tchobanoglous G, Theisen H, Vigil AS. 1993. Integrated solid waste management, Mcgraw Hill International Editions. New York. Tuomela M, Vikman M, Hatakka A, Itavaara M. 2000. Biodegradation of lignin in a compost environment: a review. Bioresource technology 72:169-183. Volesky B. 2000. Biosorption of heavy metals. Volesky (editor). CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida Wahyono S. 12 Januari 2004. Teknologi pengomposan untuk atasi sampah. Kompas:11 (kolom 6-8). Wibowo A, Djajawinata D. 2003. Penanganan sampah perkotaan terpadu. http:// kkppi.go.id/papbook/pananganan%20sampah%20perkotaan%20terpadu.pdf. [10 Mei 2005]. Dikunjungi 28 Mei 2011. Widyatmoko H. 1999. Masalah pencemaran dioksin. http://www.partaihijau.or.id/fiveartikel 1.html [2/9/2004]. Dikunjungi 28 MEI 2011.
144
145
Lampiran 1. Lanjutan Analisis Biaya Investasi Pengolahan Sampah
`
3. KEB. LAHAN HRC
o Rasio Keb. Lahan KOMPOSTING
Kebutuhan lahan (Sanpah Blm. Terpilah) satuan
Kebutuhan lahan (Sampah Terpilah)
Kebutuhan lahan (Sanpah Belum Terpilah)
Input 500 T/hr
Input 1000 T/hr
Input 2000 T/hr
Input 3000 T/hr
Input 250 T/hr
Input 500 T/hr
Input 1000 T/hr
Input 1500 T/hr
Input 250 T/hr
Input 500 T/hr
Input 1000 T/hr
Input 1500 T/hr
Cap :250 T/hr
Cap : 500 T/hr
Cap : 1000 T/hr
Cap : 1500 T/hr
Input 225 T/hr
Cap : 450 T/hr
Cap : 900 T/hr
Cap : 1350 T/hr
Cap : 125 T/hr
Cap : 250 T/hr
Cap : 500 T/hr
Cap : 750 T/hr
10
10
10
10
7
7
7
7
10
10
10
10
m2/ton cap.
10
10
8
7
2
2
2
2
12
10
8
Shredding/Crushing Area
m2/ton cap.
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Fertilizing area
m2/ton cap.
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
Rejected mat.area
m2/ton cap.
5,1
5,1
5,1
5,1
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
Total area efective
m2/ton cap.
Internal road/parking
m2/ton cap.
9,0
8,0
7,0
6,0
9,0
8,0
7,0
6,0
9,0
8,0
7,0
6,0
lahan net
50%
50%
40%
40%
50%
50%
50%
50%
50%
50%
50%
50%
Area Buffer zone :
m2/ton cap.
30,1
30,1
23,2
22,8
22,5
22,5
22,5
22,5
29,0
28,0
27,0
26,0
Total area Req.
m2/ton cap.
99,2
98,2
88,3
85,9
76,4
75,4
74,4
73,4
95,9
91,9
87,9
83,9
Reception Area
m2/ton cap.
Sorting Area
Rasio Buffer zone :
60,1
60,1
58,1
57,1
44,9
44,9
KEB LAHAN HRC(Sampah Blm. Terpilah) satuan
o Kebutuhan Lahan HRC
500
1000
2000
44,9
44,9
57,9
55,9
KEB LAHAN HRC (Sampah Terpilah) 3000
250
500
1000
6
53,9
51,9
KEB LAHAN W TE (Sampah Belum Terpilah) 250
1500
500
1000
1500
250
500
1000
1500
225
450
900
1350
125
250
500
750
Reception Area
m2
5.000
10.000
20.000
30.000
1.575
3.150
6.300
9.450
1.250
2.500
5.000
7.500
Sorting Area
m2
5.000
10.000
16.000
21.000
450
900
1.800
2.700
1.500
2.500
4.000
4.500
Shredding/Crushing Area
m2
2.500
5.000
10.000
15.000
1.125
2.250
4.500
6.750
625
1.250
2.500
3.750
Fertilizing area
m2
7.500
15.000
30.000
45.000
6.750
13.500
27.000
40.500
3.750
7.500
15.000
22.500
Rejected mat.area
m2
1.275
2.550
5.100
7.650
203
405
810
1.215
113
225
450
675
Total area efective (net)
m2
21.275
42.550
81.100
118.650
10.103
20.205
40.410
60.615
7.238
13.975
26.950
38.925
Internal road/parking
m2
4.500
8.000
14.000
18.000
2.025
3.600
6.300
8.100
1.125
2.000
3.500
4.500
Area Buffer zone :
m2
15.025
30.050
46.480
68.520
5.051
10.103
20.205
30.308
3.619
6.988
13.475
19.463
Total area Req.(gross)
m2
40.800
80.600
141.580
205.170
17.179
33.908
66.915
99.023
11.981
22.963
43.925
62.888
B. BIAYA INVESTASI LAHAN (CAPEX) B1. KONDISI TATA RUANG KOTA KATAGORI KOTA JUMLAH PENDUDUK DI WIL ADM PRODUKSI LUAS DAERAH URBAN DI WIL ADM KONDISI DILUAR WIL ADM DAERAH URBAN DI DLM + LUAR WIL ADM
>
KOTA METROPOLITAN 6.000.000 JIWA 6.000 Ton/hari 650 KM2 PERKOTAAN 1.250 KM2
B2. INVESTASI LAHAN (CAPEX) 1. INVESTASI LAHAN SLF o Lahan Jalan Akses Keb.Jalan akses ke lokasi SLF Keb. ROW Jalan akses ke lokasi SLF Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses Perkiraan harga tanah Jalan akses Investasi Lahan Jalan Akses o Lahan SLF Jarak sumber ke lokasi SLF Keb. Pembebasan lahan SLF Perkiraan harga tanah di lokasi SLF Investasi Lahan SLF
Satuan M M m2 Rp/m2 Rp(x000)
Cap 500 5.000 16 80.000 500.000 40.000.000
Cap 1000 6.000 21 126.000 500.000 63.000.000
Cap 2000 7.000 26 182.000 500.000 91.000.000
Cap 3000 10.000 30 300.000 500.000 150.000.000
km m2 Rp/m2 Rp(x000)
45 645.032 200.000 129.006.410
45 1.075.053 200.000 215.010.684
45 1.720.085 200.000 344.017.094
45 2.418.870 200.000 483.774.038
2. INVESTASI LAHAN WTE INSINERATOR Sanpah Belum Terpilah
o Lahan Jalan Akses Keb.Jalan akses ke lokasi WTE Keb. ROW Jalan akses ke lokasi WTE Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses Perkiraan harga tanah Jalan akses Investasi Lahan Jalan Akses o Lahan WTE PLANT Jarak sumber ke lokasi WTE Plant Keb. Pembebasan lahan WTE Perkiraan harga tanah di lokasi WTE Investasi Lahan WTE o Jarak WTE ke SLF (regional)
Satuan
Cap 500
Cap 1000
Pemilahan di Sumber
Cap 2000
Cap 3000
Cap 250
Cap 500
Sampah Belum terpilah
Cap 1000
Cap 1500
Cap 375
Cap 750
Cap 1500
Cap 2250
M
3.000
3.000
4.000
4.000
2.000
3.000
3.000
3.000
3.000
3.000
3.500
M
16
21
21
30
16
21
21
21
16
21
21
25
48.000
63.000
84.000
120.000
32.000
63.000
63.000
63.000
48.000
63.000
73.500
87.500
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
105.600.000
138.600.000
184.800.000
264.000.000
70.400.000
138.600.000
138.600.000
138.600.000
105.600.000
138.600.000
161.700.000
192.500.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
m2 Rp/m2 Rp(x000) km m2 Rp/m2 Rp(x000)
3.500
10
23.950
46.900
74.640
100.125
10.475
20.450
38.900
47.888
13.173
25.795
49.390
61.091
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
45.505.000
89.110.000
141.816.000
190.237.500
19.902.500
38.855.000
73.910.000
90.986.250
25.027.750
49.010.500
93.841.000
116.073.375
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
km
3. INVESTASI LAHAN HRC o Lahan Jalan Akses Keb.Jalan akses ke PLANT Keb. ROW Jalan akses ke lokasi WTE Keb. Pembebasan lahan Jalan Akses Perkiraan harga tanah Jalan akses Investasi Lahan Jalan Akses o Lahan KOMPOSTER Jarak sumber ke lokasi KOMPOSTER Keb. Pembebasan lahan KOMPOSTER Perkiraan harga tanah di lokasi KOMPOS Investasi Lahan KOMPOSTING o Jarak KOMPOSTER ke SLF (regional) o Jarak KOMPOSTER ke WTE Plant
Satuan
Sampah Belum terpilah Cap 1000 Cap 2000
Cap 500
Cap 3000
Pemilahan di Sumber Cap 450 Cap 900
Cap 225
Cap 1350
Sampah Belum terpilah Cap 750 Cap 1500
Cap 375
Cap 2250
M
3.000
3.000
4.000
4.000
2.000
3.000
3.000
3.000
2.000
3.000
3.000
M
16
21
21
30
16
21
21
21
16
21
21
21
48.000
63.000
84.000
120.000
32.000
63.000
63.000
63.000
32.000
63.000
63.000
63.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
105.600.000
138.600.000
184.800.000
264.000.000
70.400.000
138.600.000
138.600.000
138.600.000
70.400.000
138.600.000
138.600.000
138.600.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
m2 Rp/m2 Rp(x000) km m2 Rp/m2 Rp(x000)
3.000
10
40.800
80.600
141.580
205.170
17.179
33.908
66.915
99.023
11.981
22.963
43.925
62.888
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
1.900.000
77.520.000
153.140.000
269.002.000
389.823.000
32.639.625
64.424.250
127.138.500
188.142.750
22.764.375
43.628.750
83.457.500
119.486.250
km
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
km
0
0
0
0
5
5
5
5
5
5
5
5
146
Lampiran 1. Lanjutan Analisis Biaya Investasi Pengolahan Sampah
C. BIAYA KONSTRUKSI (CAPEX ) 1. KONSTRUKSI SLF o Konst SLF. Konst.Lahan aktif SLF (CW & M/E) Konst. int.Road & drainage Konst. Buffer zone Total Biaya Konstruksi
satuan
Asumsi Biaya konstruksi Cap 500
Cap 1000
Cap 2000
Cap 3000
Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000)
215.010.684 15.373.264 19.450.000 249.833.948
358.351.140 25.622.106 19.450.000 403.423.246
573.361.823 40.995.370 11.370.000 625.727.194
806.290.064 57.649.740 9.125.000 873.064.804
Rp (x 000)
44.000.000
69.300.000
100.100.000
165.000.000
o Konst Jalan Akses SLF Konst. Road & drainage
2. KONSTRUKSI WTE . satuan
o Konst Plant WTE. Biaya Building Biaya M&E Biaya konst. int.Road & parking Biaya Buffer zone Total Biaya Konstruksi
Biaya konstruksi (Sampah Blm.Terpilah) Input 500 Input 1000 Input 2000 Input 3000
Input 250
Cap 500
Cap 250
Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000)
145.875.000 427.500.000 2.250.000 972.500 576.597.500
Rp (x 000)
26.400.000
Cap 1000
Cap 2000
Cap 3000
Biaya konstruksi (Sampah Terpilah) Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr Cap 500
Cap 1000
Cap 1500
291.750.000 568.500.000 821.250.000 61.687.500 123.375.000 239.250.000 343.125.000 855.000.000 1.615.000.000 2.223.000.000 213.750.000 427.500.000 807.500.000 1.111.500.000 4.000.000 7.000.000 9.000.000 1.125.000 2.000.000 3.500.000 4.500.000 1.945.000 2.274.000 2.737.500 411.250 822.500 1.595.000 1.601.250 1.152.695.000 2.192.774.000 3.055.987.500 276.973.750 553.697.500 1.051.845.000 1.460.726.250
Biaya konstruksi (Sampah Belum Terpilah) Input 250 Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr Cap 375
Cap 750
Cap 1500
Cap 2250
80.231.250 160.462.500 312.675.000 451.687.500 235.125.000 470.250.000 888.250.000 1.222.650.000 1.237.500 2.200.000 3.850.000 4.950.000 534.875 1.069.750 2.084.500 2.107.875 317.128.625 633.982.250 1.206.859.500 1.681.395.375
o Konst Jalan Akses WTE Konst. Road & drainage
34.650.000
46.200.000
66.000.000
17.600.000
34.650.000
34.650.000
34.650.000
26.400.000
34.650.000
40.425.000
48.125.000
3. KONST HRC satuan
o Konst Plant HRC Biaya Building Biaya M&E Biaya konst. int.Road & parking Biaya Buffer zone Total Biaya Konstruksi
Input 500 Cap 250
Biaya konstruksi (Tdk Terpilah) Input 1000 Input 2000 Input 3000 Cap 500
Cap 1000
Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000) Rp(x000)
63.825.000 138.287.500 2.250.000 1.502.500 205.865.000
127.650.000 276.575.000 4.000.000 3.005.000 411.230.000
243.300.000 355.950.000 527.150.000 771.225.000 7.000.000 9.000.000 4.648.000 6.852.000 782.098.000 1.143.027.000
Cap 1500
Rp (x 000)
26.400.000
34.650.000
Input 250 Cap 225
Biaya konstruksi (Terpilah) Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr Cap 450
30.307.500 60.615.000 65.666.250 131.332.500 1.012.500 1.800.000 505.125 1.010.250 97.491.375 194.757.750
Input 250
Biaya konstruksi (Belum Terpilah) Input 500 Input 1000 Input 1500 T/hr
Cap 900
Cap 1350
Cap 125
121.230.000 262.665.000 3.150.000 2.020.500 389.065.500
181.845.000 393.997.500 4.050.000 3.030.750 582.923.250
21.712.500 41.925.000 47.043.750 90.837.500 562.500 1.000.000 361.875 698.750 69.680.625 134.461.250
Cap 250
34.650.000
34.650.000
Cap 500
Cap 750
80.850.000 175.175.000 1.750.000 1.347.500 259.122.500
116.775.000 253.012.500 2.250.000 1.946.250 373.983.750
34.650.000
34.650.000
o Konst Jalan Akses WTE Konst. Road & drainage
46.200.000
66.000.000
17.600.000
34.650.000
17.600.000
34.650.000
147
148
149
150
Lampiran 2. Analisis NPV Biaya Proyek SLF Kapasitas 1.000 ton/hari (lanjutan) project data : Sampah masuk (Tidak terpilah)
1.000 Ton/day
SLF Cap. Cost data : Inflation rate Land cost SLF : Const. SLF : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Transportation cost (sewa): Extra-income :
Site data: Land Aquisition : Site data: Akses road to SLF : Average distance to SLF facility: Residual data : Construction Stage : o Stage 1 o Stage 2 o Stage 3 o Stage 4
1.000 Ton/Day 7% 215.010.684 403.423.246 63.000.000 69.300.000 85.000 8.250 6.000 0
per tahun Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/ton/km Rp/ton
CAPEX No
YEARS
SLF Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
215.010.684
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
161.369.298
63.000.000
Const. 69.300.000
113.164.394
4.859.842
158.718.917
6.816.179
222.611.492
9.560.044
13.408.457
156.112.067
18.806.054
Total
CapEx
439.379.982 0 0 0 0 118.024.236 0 0 0 0 165.535.097 0 0 0 0 232.171.536 0 0 0 0 13.408.457 0 0 0 0 156.112.067
O/M
0 29.750.000 31.832.500 34.060.775 36.445.029 38.996.181 41.725.914 44.646.728 47.771.999 51.116.039 54.694.162 58.522.753 62.619.346 67.002.700 71.692.889 76.711.391 82.081.188 87.826.872 93.974.753 100.552.985 107.591.694 115.123.113 123.181.731 131.804.452 141.030.763 150.902.917
Over Head
2.887.500 3.089.625 3.305.899 3.537.312 3.784.923 4.049.868 4.333.359 4.636.694 4.961.263 5.308.551 5.680.150 6.077.760 6.503.203 6.958.427 7.445.517 7.966.704 8.524.373 9.121.079 9.759.554 10.442.723 11.173.714 11.955.874 12.792.785 13.688.280 14.646.460
Tot, OpEx
107,5 Ha 6.000 45 No residu 4 2008 2013 2018 2023
TOTAL Capex- Opex
m km Stage year year year year
TOTAL Cost SLF
Extra Income
Transport. Cost
0 32.637.500 34.922.125 37.366.674 39.982.341 42.781.105 45.775.782 48.980.087 52.408.693 56.077.301 60.002.713 64.202.902 68.697.106 73.505.903 78.651.316 84.156.908 90.047.892 96.351.244 103.095.831 110.312.540 118.034.417 126.296.827 135.137.605 144.597.237 154.719.043 165.549.376
439.379.982 32.637.500 34.922.125 37.366.674 39.982.341 160.805.341 45.775.782 48.980.087 52.408.693 56.077.301 225.537.809 64.202.902 68.697.106 73.505.903 78.651.316 316.328.445 90.047.892 96.351.244 103.095.831 110.312.540 131.442.874 126.296.827 135.137.605 144.597.237 154.719.043 321.661.443
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
439.379.982 32.637.500 34.922.125 37.366.674 39.982.341 160.805.341 45.775.782 48.980.087 52.408.693 56.077.301 225.537.809 64.202.902 68.697.106 73.505.903 78.651.316 316.328.445 90.047.892 96.351.244 103.095.831 110.312.540 131.442.874 126.296.827 135.137.605 144.597.237 154.719.043 321.661.443
0 94.500.000 101.115.000 108.193.050 115.766.564 123.870.223 132.541.139 141.819.018 151.746.350 162.368.594 173.734.396 185.895.803 198.908.509 212.832.105 227.730.353 243.671.477 260.728.481 278.979.474 298.508.037 319.403.600 341.761.852 365.685.182 391.283.144 418.672.965 447.980.072 479.338.677
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
939.960.889 676.689.205 546.998.112
1.477.127.008 712.671.412 396.744.053
2.417.087.897 1.389.360.618 943.742.165
0 0 0
2.417.087.897 1.389.360.618 943.742.165
4.276.936.110 2.063.498.996 1.148.749.536
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
107,4 77,3 62,5
168,8 81,4 45,3
276,2 158,8 107,9
0,0 0,0 0,0
276,2 158,8 107,9
488,8 235,8 131,3
151
152
Lampiran 2. Analisis NPV Biaya Proyek SLF Kapasitas 3.000 ton/hari (lanjutan) project data : Sampah masuk (Tidak terpilah)
3.000 Ton/day
SLF Cap. Cost data : Inflation rate Land cost SLF : Const. SLF : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Transportation cost (sewa): Extra-income :
Site data: Land Aquisition : Site data: Akses road to SLF : Average distance to SLF facility: Residual data : Construction Stage : o Stage 1 o Stage 2 o Stage 3 o Stage 4
3.000 Ton/Day 7% 483.774.038 873.064.804 150.000.000 165.000.000 85.000 6.300 6.000 0
per tahun Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/ton/km Rp/ton
241,9 Ha 10.000 45 No residu 4 2008 2013 2018 2023
m km Stage year year year year
(Rpx000)
CAPEX No
YEARS
SLF Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
483.774.038
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
349.225.921
150.000.000
Const. 165.000.000
244.903.710
11.571.052
343.490.123
16.228.999
481.762.666
22.762.010
31.924.897
337.848.531
44.776.319
Total
CapEx
982.999.960 0 0 0 0 256.474.762 0 0 0 0 359.719.121 0 0 0 0 504.524.676 0 0 0 0 31.924.897 0 0 0 0 337.848.531
O/M
89.250.000 95.497.500 102.182.325 109.335.088 116.988.544 125.177.742 133.940.184 143.315.997 153.348.117 164.082.485 175.568.259 187.858.037 201.008.099 215.078.666 230.134.173 246.243.565 263.480.615 281.924.258 301.658.956 322.775.083 345.369.338 369.545.192 395.413.355 423.092.290 452.708.751
Over Head
6.615.000 7.078.050 7.573.514 8.103.659 8.670.916 9.277.880 9.927.331 10.622.244 11.365.802 12.161.408 13.012.706 13.923.596 14.898.247 15.941.125 17.057.003 18.250.994 19.528.563 20.895.563 22.358.252 23.923.330 25.597.963 27.389.820 29.307.108 31.358.605 33.553.707
Tot, OpEx
TOTAL Capex- Opex
TOTAL Cost SLF
Extra Income
Transport. Cost
Residu. Cost
Biaya Total
0 95.865.000 102.575.550 109.755.839 117.438.747 125.659.459 134.455.622 143.867.515 153.938.241 164.713.918 176.243.892 188.580.965 201.781.632 215.906.347 231.019.791 247.191.176 264.494.559 283.009.178 302.819.820 324.017.208 346.698.412 370.967.301 396.935.012 424.720.463 454.450.895 486.262.458
982.999.960 95.865.000 102.575.550 109.755.839 117.438.747 382.134.222 134.455.622 143.867.515 153.938.241 164.713.918 535.963.014 188.580.965 201.781.632 215.906.347 231.019.791 751.715.853 264.494.559 283.009.178 302.819.820 324.017.208 378.623.309 370.967.301 396.935.012 424.720.463 454.450.895 824.110.989
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
982.999.960 95.865.000 102.575.550 109.755.839 117.438.747 382.134.222 134.455.622 143.867.515 153.938.241 164.713.918 535.963.014 188.580.965 201.781.632 215.906.347 231.019.791 751.715.853 264.494.559 283.009.178 302.819.820 324.017.208 378.623.309 370.967.301 396.935.012 424.720.463 454.450.895 824.110.989
0 283.500.000 303.345.000 324.579.150 347.299.691 371.610.669 397.623.416 425.457.055 455.239.049 487.105.782 521.203.187 557.687.410 596.725.528 638.496.315 683.191.058 731.014.432 782.185.442 836.938.423 895.524.112 958.210.800 1.025.285.556 1.097.055.545 1.173.849.433 1.256.018.894 1.343.940.216 1.438.016.031
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
982.999.960 379.365.000 405.920.550 434.334.989 464.738.438 753.744.890 532.079.037 569.324.570 609.177.290 651.819.700 1.057.166.201 746.268.375 798.507.161 854.402.662 914.210.848 1.482.730.284 1.046.680.000 1.119.947.600 1.198.343.933 1.282.228.008 1.403.908.865 1.468.022.846 1.570.784.445 1.680.739.357 1.798.391.111 2.262.127.020
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
2.071.249.940 1.497.277.716 1.214.025.221
4.338.714.076 2.093.305.092 1.165.342.585
6.409.964.016 3.590.582.808 2.379.367.807
0 0 0
6.409.964.016 3.590.582.808 2.379.367.807
12.830.808.330 6.190.496.987 3.446.248.609
0 0 0
19.240.772.346 9.781.079.795 5.825.616.416
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
78,9 57,0 46,2
165,3 79,7 44,4
244,2 136,8 90,6
0,0 0,0 0,0
244,2 136,8 90,6
488,8 235,8 131,3
0,0 0,0 0,0
372,6
733,0 221,9
153
Lampiran 3. Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi WTE dan SLF untuk Residu dengan Kapasitas 500 ton/hari (Tanpa Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (tidak terpilah)
500 Ton/day (Kandungan kalori 2.146 kkal/kg)
Kapasitas Insenirator : Produksi Listrik : (Effisiensi 18%)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
500 Ton/Day 9,4 Mw
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 45.505.000 Rp (x 000) 576.597.500 Rp (x 000) 105.600.000 Rp (x 000) 26.400.000 Rp (x 000) 215.000 Rp/ton 30.000 Rp/ton 300 Rp/kwh 6.000 Rp/ton/km
23.950,0 m2 3.000 m 10 km 25 km 8,44% 42,2 Ton/hari 158.784 Rp/ton 3.000 Rp/ton/km 1 Tahap (Rpx1.000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
45.505.000
Konst
Lahan
576.597.500
OPEX Jalan Akses Konst
105.600.000
26.400.000
106.005.099
4.853.532
208.528.074
9.547.633
-246.975.322
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex 754.102.500 0 0 0 0 0 0 0 0 0 110.858.631 0 0 0 0 0 0 0 0 0 218.075.706 0 0 0 0 -246.975.322
O/P
Over head
Total Opex
TOTAL Capex- Pendapatan Extra Opex
Biaya Total WTE
Biaya Biaya Residu Transpot ke Biaya Trans ke Biaya SLF SLF WTE
0 42.875.000 45.876.250 49.087.588 52.523.719 56.200.379 60.134.405 64.343.814 68.847.881 73.667.232 78.823.939 84.341.614 90.245.527 96.562.714 103.322.104 110.554.652 118.293.477 126.574.021 135.434.202 144.914.596 155.058.618 165.912.721 177.526.612 189.953.475 203.250.218 217.477.733
754.102.500 42.875.000 45.876.250 49.087.588 52.523.719 56.200.379 60.134.405 64.343.814 68.847.881 73.667.232 189.682.570 84.341.614 90.245.527 96.562.714 103.322.104 110.554.652 118.293.477 126.574.021 135.434.202 144.914.596 373.134.324 165.912.721 177.526.612 189.953.475 203.250.218 -29.497.589
21.125.682 22.604.480 24.186.794 25.879.869 27.691.460 29.629.862 31.703.952 33.923.229 36.297.855 38.838.705 41.557.414 44.466.433 47.579.084 50.909.620 54.473.293 58.286.423 62.366.473 66.732.126 71.403.375 76.401.611 81.749.724 87.472.205 93.595.259 100.146.927 107.157.212
754.102.500 21.749.318 23.271.770 24.900.794 26.643.850 28.508.919 30.504.543 32.639.861 34.924.652 37.369.377 150.843.865 42.784.200 45.779.094 48.983.631 52.412.485 56.081.359 60.007.054 64.207.548 68.702.076 73.511.221 296.732.713 84.162.997 90.054.407 96.358.216 103.103.291 -136.654.801
0 10.500.000 11.235.000 12.021.450 12.862.952 13.763.358 14.726.793 15.757.669 16.860.706 18.040.955 19.303.822 20.655.089 22.100.945 23.648.012 25.303.373 27.074.609 28.969.831 30.997.719 33.167.560 35.489.289 37.973.539 40.631.687 43.475.905 46.519.218 49.775.564 53.259.853
824.769.417 767.576.928 712.388.670
1.940.461.754 936.217.137 521.191.919
2.765.231.170 1.703.794.065 1.233.580.589
975.240.813 493.590.705 287.622.135
1.809.112.727 1.242.494.341 976.775.112
189 175 163
444 214 119
632 389 282
223 113 66
414 284 223
37.625.000 40.258.750 43.076.863 46.092.243 49.318.700 52.771.009 56.464.979 60.417.528 64.646.755 69.172.028 74.014.070 79.195.055 84.738.709 90.670.418 97.017.347 103.808.562 111.075.161 118.850.422 127.169.952 136.071.849 145.596.878 155.788.659 166.693.866 178.362.436 190.847.807
5.250.000 5.617.500 6.010.725 6.431.476 6.881.679 7.363.397 7.878.834 8.430.353 9.020.477 9.651.911 10.327.545 11.050.473 11.824.006 12.651.686 13.537.304 14.484.916 15.498.860 16.583.780 17.744.644 18.986.770 20.315.843 21.737.952 23.259.609 24.887.782 26.629.927
Total Biaya residual
Biaya Total
0 3.452.991 3.694.700 3.953.329 4.230.062 4.526.166 4.842.998 5.182.008 5.544.749 5.932.881 6.348.183 6.792.555 7.268.034 7.776.797 8.321.172 8.903.654 9.526.910 10.193.794 10.907.360 11.670.875 12.487.836 13.361.985 14.297.323 15.298.136 16.369.006 17.514.836
754.102.500 35.702.309 38.201.470 40.875.573 43.736.863 46.798.444 50.074.335 53.579.538 57.330.106 61.343.213 176.495.869 70.231.845 75.148.074 80.408.439 86.037.030 92.059.622 98.503.795 105.399.061 112.776.995 120.671.385 347.194.088 138.156.669 147.827.635 158.175.570 169.247.860 -65.880.112
475.215.123 229.277.666 127.638.837
156.277.468 75.399.396 41.974.831
2.440.605.318 1.547.171.403 1.146.388.780
109 52 29
36 17 10
354
1.107.750 1.185.293 1.268.263 1.357.041 1.452.034 1.553.677 1.662.434 1.778.804 1.903.321 2.036.553 2.179.112 2.331.650 2.494.865 2.669.506 2.856.371 3.056.317 3.270.259 3.499.178 3.744.120 4.006.208 4.286.643 4.586.708 4.907.778 5.251.322 5.618.914
2.345.241 2.509.408 2.685.066 2.873.021 3.074.132 3.289.321 3.519.574 3.765.944 4.029.560 4.311.629 4.613.443 4.936.385 5.281.931 5.651.667 6.047.283 6.470.593 6.923.535 7.408.182 7.926.755 8.481.628 9.075.342 9.710.615 10.390.359 11.117.684 11.895.922
558 262
154
Lampiran 3. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi WTE dan SLF Untuk residu drengan Kapasitas 1.000 ton/hari (Tanpa Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (tidak terpilah)
1.000 Ton/day (Organic & An Organic - low cal.)
Kapasitas Insenirator : Produksi Listrik : (Effisiensi 18%)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
1.000 Ton/Day 19 Mw (Cal = 2146 ) eff 18%
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 89.110.000 1.152.695.000 138.600.000 34.650.000 190.000 22.500 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
46.900,0 m2 3.000 m 10 km 25 km 8,44% 84,4 158.784 3.000 1
Ton/hari Rp/ton Rp/ton/km Tahap (Rpx1.000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
89.110.000
Konst
Lahan
1.152.695.000
OPEX Jalan Akses Konst
138.600.000
34.650.000
211.918.274
6.370.261
416.875.321
12.531.268
-483.638.523
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex 1.415.055.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 218.288.535 0 0 0 0 0 0 0 0 0 429.406.589 0 0 0 0 -483.638.523
O/P 0 66.500.000 71.155.000 76.135.850 81.465.360 87.167.935 93.269.690 99.798.568 106.784.468 114.259.381 122.257.538 130.815.565 139.972.655 149.770.741 160.254.693 171.472.521 183.475.597 196.318.889 210.061.212 224.765.496 240.499.081 257.334.017 275.347.398 294.621.716 315.245.236 337.312.402
Over head
Total Opex
TOTAL Capex- Pendapatan Extra Opex
Biaya Total WTE
Biaya Biaya Residu Transpot ke Biaya Trans ke Biaya SLF SLF WTE
0 74.375.000 79.581.250 85.151.938 91.112.573 97.490.453 104.314.785 111.616.820 119.429.997 127.790.097 136.735.404 146.306.882 156.548.364 167.506.749 179.232.222 191.778.477 205.202.971 219.567.179 234.936.881 251.382.463 268.979.235 287.807.782 307.954.327 329.511.129 352.576.909 377.257.292
1.415.055.000 74.375.000 79.581.250 85.151.938 91.112.573 97.490.453 104.314.785 111.616.820 119.429.997 127.790.097 355.023.939 146.306.882 156.548.364 167.506.749 179.232.222 191.778.477 205.202.971 219.567.179 234.936.881 251.382.463 698.385.824 287.807.782 307.954.327 329.511.129 352.576.909 -106.381.230
42.251.364 45.208.960 48.373.587 51.759.738 55.382.920 59.259.724 63.407.905 67.846.458 72.595.710 77.677.410 83.114.829 88.932.867 95.158.167 101.819.239 108.946.586 116.572.847 124.732.946 133.464.252 142.806.750 152.803.223 163.499.448 174.944.409 187.190.518 200.293.854 214.314.424
1.415.055.000 32.123.636 34.372.290 36.778.350 39.352.835 42.107.533 45.055.061 48.208.915 51.583.539 55.194.387 277.346.529 63.192.053 67.615.497 72.348.582 77.412.983 82.831.892 88.630.124 94.834.233 101.472.629 108.575.713 545.582.601 124.308.334 133.009.917 142.320.611 152.283.054 -320.695.655
0 21.000.000 22.470.000 24.042.900 25.725.903 27.526.716 29.453.586 31.515.337 33.721.411 36.081.910 38.607.643 41.310.179 44.201.891 47.296.023 50.606.745 54.149.217 57.939.662 61.995.439 66.335.119 70.978.578 75.947.078 81.263.374 86.951.810 93.038.437 99.551.127 106.519.706
1.557.169.945 1.446.615.556 1.340.539.322
3.366.107.124 1.624.050.135 904.108.431
4.923.277.068 3.070.665.691 2.244.647.754
1.950.481.625 987.181.410 575.244.269
3.011.040.181 2.148.066.243 1.731.036.799
178 165 153
385 186 103
563 351 257
223 113 66
344 245 198
7.875.000 8.426.250 9.016.088 9.647.214 10.322.519 11.045.095 11.818.252 12.645.529 13.530.716 14.477.866 15.491.317 16.575.709 17.736.009 18.977.529 20.305.956 21.727.373 23.248.290 24.875.670 26.616.967 28.480.154 30.473.765 32.606.929 34.889.414 37.331.673 39.944.890
Total Biaya residual
Biaya Total
0 6.905.981 7.389.400 7.906.658 8.460.124 9.052.333 9.685.996 10.364.016 11.089.497 11.865.762 12.696.365 13.585.111 14.536.069 15.553.593 16.642.345 17.807.309 19.053.821 20.387.588 21.814.719 23.341.750 24.975.672 26.723.969 28.594.647 30.596.272 32.738.011 35.029.672
1.415.055.000 60.029.617 64.231.690 68.727.909 73.538.862 78.686.583 84.194.643 90.088.268 96.394.447 103.142.058 328.650.538 118.087.343 126.353.457 135.198.199 144.662.073 154.788.418 165.623.607 177.217.259 189.622.468 202.896.040 646.505.352 232.295.677 248.556.374 265.955.320 284.572.193 -179.146.277
950.430.247 458.555.332 255.277.675
312.554.936 150.798.791 83.949.661
4.274.025.363 2.757.420.366 2.070.264.135
109 52 29
36 17 10
315
2.215.500 2.370.585 2.536.526 2.714.083 2.904.069 3.107.353 3.324.868 3.557.609 3.806.641 4.073.106 4.358.224 4.663.300 4.989.730 5.339.012 5.712.742 6.112.634 6.540.519 6.998.355 7.488.240 8.012.417 8.573.286 9.173.416 9.815.555 10.502.644 11.237.829
4.690.481 5.018.815 5.370.132 5.746.041 6.148.264 6.578.643 7.039.148 7.531.888 8.059.120 8.623.259 9.226.887 9.872.769 10.563.863 11.303.333 12.094.567 12.941.186 13.847.069 14.816.364 15.853.510 16.963.255 18.150.683 19.421.231 20.780.717 22.235.367 23.791.843
488 237
155
Lampiran 3. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi WTE dan SLF untuk residu dengan Kapasitas 2.000 ton/hari (Tanpa Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (tidak terpilah)
2.000 Ton/day (Organic & An Organic - low cal.)
Kapasitas Insenirator : Produksi Listrik : (Effisiensi 18%)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
2.000 Ton/Day 37 Mw (Cal = 2146 ) eff 18%
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 141.816.000 2.192.774.000 184.800.000 46.200.000 185.000 21.000 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
74.640,0 m2 4.000 m 10 km 25 km 8,44% 168,8 158.784 3.000 1
Ton/hari Rp/ton Rp/ton/km Tahap (Rpx1.000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
141.816.000
Konst
Lahan
2.192.774.000
OPEX Jalan Akses Konst
184.800.000
46.200.000
403.132.556
8.493.682
793.022.755
16.708.357
-769.696.787
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex 2.565.590.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 411.626.238 0 0 0 0 0 0 0 0 0 809.731.112 0 0 0 0 -769.696.787
O/P 0 129.500.000 138.565.000 148.264.550 158.643.069 169.748.083 181.630.449 194.344.581 207.948.701 222.505.110 238.080.468 254.746.101 272.578.328 291.658.811 312.074.928 333.920.172 357.294.585 382.305.205 409.066.570 437.701.230 468.340.316 501.124.138 536.202.828 573.737.025 613.898.617 656.871.520
Over head
Total Opex
TOTAL Capex- Pendapatan Extra Opex
Biaya Total WTE
Biaya Biaya Residu Transpot ke Biaya Trans ke Biaya SLF SLF WTE
0 144.200.000 154.294.000 165.094.580 176.651.201 189.016.785 202.247.960 216.405.317 231.553.689 247.762.447 265.105.818 283.663.226 303.519.652 324.766.027 347.499.649 371.824.624 397.852.348 425.702.013 455.501.153 487.386.234 521.503.271 558.008.499 597.069.094 638.863.931 683.584.406 731.435.315
2.565.590.000 144.200.000 154.294.000 165.094.580 176.651.201 189.016.785 202.247.960 216.405.317 231.553.689 247.762.447 676.732.056 283.663.226 303.519.652 324.766.027 347.499.649 371.824.624 397.852.348 425.702.013 455.501.153 487.386.234 1.331.234.383 558.008.499 597.069.094 638.863.931 683.584.406 -38.261.473
0 84.502.729 90.417.920 96.747.174 103.519.476 110.765.840 118.519.448 126.815.810 135.692.916 145.191.421 155.354.820 166.229.657 177.865.733 190.316.335 203.638.478 217.893.172 233.145.694 249.465.892 266.928.505 285.613.500 305.606.445 326.998.896 349.888.819 374.381.036 400.587.709 428.628.848
2.565.590.000 59.697.271 63.876.080 68.347.406 73.131.724 78.250.945 83.728.511 89.589.507 95.860.772 102.571.027 521.377.236 117.433.568 125.653.918 134.449.692 143.861.171 153.931.453 164.706.654 176.236.120 188.572.649 201.772.734 1.025.627.938 231.009.603 247.180.275 264.482.895 282.996.697 -466.890.321
0 42.000.000 44.940.000 48.085.800 51.451.806 55.053.432 58.907.173 63.030.675 67.442.822 72.163.820 77.215.287 82.620.357 88.403.782 94.592.047 101.213.490 108.298.434 115.879.325 123.990.877 132.670.239 141.957.156 151.894.156 162.526.747 173.903.620 186.076.873 199.102.254 213.039.412
2.920.626.233 2.656.330.666 2.443.561.363
6.526.287.694 3.148.746.615 1.752.906.700
9.446.913.926 5.805.077.282 4.196.468.063
3.824.473.775 1.845.198.897 1.027.221.909
5.622.440.152 3.959.878.385 3.169.246.154
167 152 140
373 180 100
540 332 240
219 105 59
321 226 181
14.700.000 15.729.000 16.830.030 18.008.132 19.268.701 20.617.510 22.060.736 23.604.988 25.257.337 27.025.350 28.917.125 30.941.324 33.107.216 35.424.722 37.904.452 40.557.764 43.396.807 46.434.584 49.685.004 53.162.955 56.884.362 60.866.267 65.126.906 69.685.789 74.563.794
Total Biaya residual
Biaya Total
0 13.811.963 14.778.800 15.813.316 16.920.248 18.104.666 19.371.992 20.728.032 22.178.994 23.731.524 25.392.730 27.170.222 29.072.137 31.107.187 33.284.690 35.614.618 38.107.641 40.775.176 43.629.438 46.683.499 49.951.344 53.447.938 57.189.294 61.192.544 65.476.023 70.059.344
2.565.590.000 115.509.234 123.594.881 132.246.522 141.503.779 151.409.043 162.007.676 173.348.214 185.482.589 198.466.370 623.985.253 227.224.147 243.129.837 260.148.926 278.359.351 297.844.505 318.693.620 341.002.174 364.872.326 390.413.389 1.227.473.438 446.984.289 478.273.189 511.752.312 547.574.974 -183.791.565
1.900.860.493 917.110.665 510.555.350
625.109.871 301.597.583 167.899.322
8.148.410.516 5.178.586.632 3.847.700.826
109 52 29
36 17 10
296
4.431.000 4.741.170 5.073.052 5.428.166 5.808.137 6.214.707 6.649.736 7.115.218 7.613.283 8.146.213 8.716.448 9.326.599 9.979.461 10.678.023 11.425.485 12.225.269 13.081.038 13.996.710 14.976.480 16.024.834 17.146.572 18.346.832 19.631.110 21.005.288 22.475.658
9.380.963 10.037.630 10.740.264 11.492.083 12.296.529 13.157.286 14.078.296 15.063.776 16.118.241 17.246.518 18.453.774 19.745.538 21.127.726 22.606.667 24.189.133 25.882.372 27.694.139 29.632.728 31.707.019 33.926.511 36.301.366 38.842.462 41.561.434 44.470.735 47.583.686
466 220
156
Lampiran 3. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi WTE dan SLF untuk residu dengan Kapasitas 3.000 ton/hari (Tanpa Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (tidak terpilah)
3.000 Ton/day (Organic & An Organic - low cal.)
Kapasitas Insenirator : Produksi Listrik : (Effisiensi 18%)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
3.000 Ton/Day 56 Mw (Cal = 2146 ) eff 18%
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 190.237.500 Rp (x 000) 3.055.987.500 Rp (x 000) 264.000.000 Rp (x 000) 66.000.000 Rp (x 000) 185.000 Rp/ton 18.000 Rp/ton 300 Rp/kwh 6.000 Rp/ton/km
100.125,0 m2 4.000 m 10 km 25 km 8,44% 253,2 Ton/hari 158.784 Rp/ton 3.000 Rp/ton/km 1 Tahap (Rpx1.000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
190.237.500
Konst
Lahan
3.055.987.500
OPEX Jalan Akses Konst
264.000.000
66.000.000
561.830.837
12.133.831
1.105.206.294
23.869.082
-1.032.501.217
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex 3.576.225.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 573.964.668 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.129.075.376 0 0 0 0 -1.032.501.217
O/P
Over head
Total Opex
TOTAL Capex- Pendapatan Extra Opex
Biaya Total WTE
Biaya Biaya Residu Transpot ke Biaya Trans ke Biaya SLF SLF WTE
0 213.150.000 228.070.500 244.035.435 261.117.915 279.396.170 298.953.901 319.880.674 342.272.322 366.231.384 391.867.581 419.298.312 448.649.194 480.054.637 513.658.462 549.614.554 588.087.573 629.253.703 673.301.462 720.432.565 770.862.844 824.823.243 882.560.870 944.340.131 1.010.443.940 1.081.175.016
3.576.225.000 213.150.000 228.070.500 244.035.435 261.117.915 279.396.170 298.953.901 319.880.674 342.272.322 366.231.384 965.832.249 419.298.312 448.649.194 480.054.637 513.658.462 549.614.554 588.087.573 629.253.703 673.301.462 720.432.565 1.899.938.220 824.823.243 882.560.870 944.340.131 1.010.443.940 48.673.799
126.754.093 135.626.880 145.120.761 155.279.214 166.148.759 177.779.173 190.223.715 203.539.375 217.787.131 233.032.230 249.344.486 266.798.600 285.474.502 305.457.717 326.839.758 349.718.541 374.198.838 400.392.757 428.420.250 458.409.668 490.498.344 524.833.228 561.571.554 600.881.563 642.943.273
3.576.225.000 86.395.907 92.443.620 98.914.674 105.838.701 113.247.410 121.174.729 129.656.960 138.732.947 148.444.253 732.800.019 169.953.826 181.850.593 194.580.135 208.200.744 222.774.797 238.369.032 255.054.865 272.908.705 292.012.314 1.441.528.552 334.324.899 357.727.642 382.768.577 409.562.377 -594.269.473
0 63.000.000 67.410.000 72.128.700 77.177.709 82.580.149 88.360.759 94.546.012 101.164.233 108.245.729 115.822.930 123.930.536 132.605.673 141.888.070 151.820.235 162.447.651 173.818.987 185.986.316 199.005.358 212.935.733 227.841.235 243.790.121 260.855.430 279.115.310 298.653.381 319.559.118
4.095.656.799 3.709.847.257 3.408.338.141
9.646.867.004 4.654.336.623 2.591.068.399
13.742.523.802 8.364.183.881 5.999.406.540
5.851.444.875 2.961.544.230 1.725.732.807
8.005.813.141 5.596.385.535 4.458.573.676
156 141 130
367 177 99
524 319 229
223 113 66
305 213 170
194.250.000 207.847.500 222.396.825 237.964.603 254.622.125 272.445.674 291.516.871 311.923.052 333.757.665 357.120.702 382.119.151 408.867.492 437.488.216 468.112.391 500.880.259 535.941.877 573.457.808 613.599.855 656.551.845 702.510.474 751.686.207 804.304.241 860.605.538 920.847.926 985.307.281
18.900.000 20.223.000 21.638.610 23.153.313 24.774.045 26.508.228 28.363.804 30.349.270 32.473.719 34.746.879 37.179.161 39.781.702 42.566.421 45.546.071 48.734.295 52.145.696 55.795.895 59.701.607 63.880.720 68.352.370 73.137.036 78.256.629 83.734.593 89.596.014 95.867.735
Total Biaya residual
Biaya Total
0 20.717.944 22.168.200 23.719.974 25.380.373 27.156.999 29.057.989 31.092.048 33.268.491 35.597.286 38.089.096 40.755.332 43.608.206 46.660.780 49.927.035 53.421.927 57.161.462 61.162.764 65.444.158 70.025.249 74.927.016 80.171.907 85.783.941 91.788.817 98.214.034 105.089.016
3.576.225.000 170.113.851 182.021.821 194.763.348 208.396.783 222.984.558 238.593.477 255.295.020 273.165.671 292.287.268 886.712.045 334.639.693 358.064.472 383.128.985 409.948.014 438.644.375 469.349.481 502.203.945 537.358.221 574.973.297 1.744.296.803 658.286.927 704.367.012 753.672.703 806.429.792 -169.621.339
2.851.290.740 1.375.665.997 765.833.024
937.664.807 452.396.374 251.848.984
11.794.768.687 7.424.447.906 5.476.255.684
109 52 29
36 17 10
283
6.646.500 7.111.755 7.609.578 8.142.248 8.712.206 9.322.060 9.974.604 10.672.827 11.419.924 12.219.319 13.074.671 13.989.899 14.969.191 16.017.035 17.138.227 18.337.903 19.621.556 20.995.065 22.464.720 24.037.250 25.719.858 27.520.248 29.446.665 31.507.932 33.713.487
14.071.444 15.056.445 16.110.397 17.238.124 18.444.793 19.735.929 21.117.444 22.595.665 24.177.361 25.869.776 27.680.661 29.618.307 31.691.589 33.910.000 36.283.700 38.823.559 41.541.208 44.449.092 47.560.529 50.889.766 54.452.050 58.263.693 62.342.151 66.706.102 71.375.529
449 209
157
Lampiran 4. Analisis NPV Biaya Proyek Inteegrasi WTE dengan SLF residu -Sampah Terpilah Kapasitas 250 ton/hari (Dengan Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (Sdh terpilah) Incenerator Cap. Power production
250 Ton/day (Kandungan Kalori 3.044 kkal/kg)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
275 Ton/Day 7,3 Mw
(Effisiensi 18%)
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 19.902.500 276.973.750 70.400.000 17.600.000 185.000 30.000 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
kontrak DKI th 2010 bak tertutup
10.475 m2 2.000 m 10 km 25 km 8,44% 21,1 158.784 3.000 1
Ton/hari Rp/ton Rp/ton/km Tahap (Rpx1.000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
19.902.500
OPEX
Jalan Akses Konst
Konst
Lahan
276.973.750
70.400.000
17.600.000
35.644.346
3.235.688
70.117.824
6.365.088
-108.019.478
Total Capex 384.876.250 0 0 0 0 0 0 0 0 0 38.880.034 0 0 0 0 0 0 0 0 0 76.482.912 0 0 0 0 -108.019.478
O/P 0 17.806.250 19.052.688 20.386.376 21.813.422 23.340.361 24.974.187 26.722.380 28.592.946 30.594.453 32.736.064 35.027.589 37.479.520 40.103.086 42.910.303 45.914.024 49.128.005 52.566.966 56.246.653 60.183.919 64.396.793 68.904.569 73.727.889 78.888.841 84.411.060 90.319.834
Over head
2.887.500 3.089.625 3.305.899 3.537.312 3.784.923 4.049.868 4.333.359 4.636.694 4.961.263 5.308.551 5.680.150 6.077.760 6.503.203 6.958.427 7.445.517 7.966.704 8.524.373 9.121.079 9.759.554 10.442.723 11.173.714 11.955.874 12.792.785 13.688.280 14.646.460
Total Opex
TOTAL Capex-Opex
Pendapatan Extra
Biaya Biaya Residu Biaya Total Transpot ke Biaya Trans Total Biaya Biaya SLF WTE ke SLF residual WTE
0 20.693.750 22.142.313 23.692.274 25.350.734 27.125.285 29.024.055 31.055.739 33.229.640 35.555.715 38.044.615 40.707.738 43.557.280 46.606.290 49.868.730 53.359.541 57.094.709 61.091.339 65.367.732 69.943.474 74.839.517 80.078.283 85.683.763 91.681.626 98.099.340 104.966.294
384.876.250 20.693.750 22.142.313 23.692.274 25.350.734 27.125.285 29.024.055 31.055.739 33.229.640 35.555.715 76.924.650 40.707.738 43.557.280 46.606.290 49.868.730 53.359.541 57.094.709 61.091.339 65.367.732 69.943.474 151.322.429 80.078.283 85.683.763 91.681.626 98.099.340 -3.053.184
16.481.182 17.634.865 18.869.306 20.190.157 21.603.468 23.115.711 24.733.810 26.465.177 28.317.740 30.299.981 32.420.980 34.690.449 37.118.780 39.717.095 42.497.291 45.472.102 48.655.149 52.061.009 55.705.280 59.604.649 63.776.975 68.241.363 73.018.258 78.129.537 83.598.604
384.876.250 4.212.568 4.507.448 4.822.969 5.160.577 5.521.817 5.908.344 6.321.928 6.764.463 7.237.976 46.624.668 8.286.758 8.866.831 9.487.510 10.151.635 10.862.250 11.622.607 12.436.190 13.306.723 14.238.194 91.717.779 16.301.308 17.442.400 18.663.368 19.969.803 -86.651.789
0 5.250.000 5.617.500 6.010.725 6.431.476 6.881.679 7.363.397 7.878.834 8.430.353 9.020.477 9.651.911 10.327.545 11.050.473 11.824.006 12.651.686 13.537.304 14.484.916 15.498.860 16.583.780 17.744.644 18.986.770 20.315.843 21.737.952 23.259.609 24.887.782 26.629.927
553.875 592.646 634.131 678.521 726.017 776.838 831.217 889.402 951.660 1.018.277 1.089.556 1.165.825 1.247.433 1.334.753 1.428.186 1.528.159 1.635.130 1.749.589 1.872.060 2.003.104 2.143.321 2.293.354 2.453.889 2.625.661 2.809.457
1.172.620 1.254.704 1.342.533 1.436.510 1.537.066 1.644.661 1.759.787 1.882.972 2.014.780 2.155.815 2.306.722 2.468.192 2.640.966 2.825.833 3.023.642 3.235.297 3.461.767 3.704.091 3.963.377 4.240.814 4.537.671 4.855.308 5.195.179 5.558.842 5.947.961
Biaya Total
0 1.726.495 1.847.350 1.976.665 2.115.031 2.263.083 2.421.499 2.591.004 2.772.374 2.966.440 3.174.091 3.396.278 3.634.017 3.888.398 4.160.586 4.451.827 4.763.455 5.096.897 5.453.680 5.835.437 6.243.918 6.680.992 7.148.662 7.649.068 8.184.503 8.757.418
384.876.250 11.189.063 11.972.298 12.810.358 13.707.083 14.666.579 15.693.240 16.791.767 17.967.190 19.224.894 59.450.670 22.010.581 23.551.321 25.199.914 26.963.908 28.851.381 30.870.978 33.031.947 35.344.183 37.818.276 116.948.467 43.298.144 46.329.014 49.572.045 53.042.088 -51.264.444
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
394.510.805 378.040.211 356.222.548
936.569.806 451.868.067 251.554.875
1.331.080.610 829.908.278 607.777.423
760.833.256 385.074.351 224.388.154
585.165.653 470.025.707 407.430.858
237.607.562 114.638.833 63.819.419
78.138.734 37.699.698 20.987.415
900.911.948 622.364.237 492.237.692
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
180 173 163
428 207 115
608 379 278
348 176 103
268 215 186
109 52 29
36 17 10
259
412 225
158
Lampiran 4. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Inteegrasi WTE dengan SLF residu -Sampah Terpilah Kapasitas 500 ton/hari (Dengan Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (Sdh terpilah) Incenerator Cap. Power production
500 Ton/day (An Organic only- High calorie)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
550 Ton/Day 14,6 Mw (Cal = 3044 ); eff 18%
(Effisiensi 18%)
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 38.855.000 553.697.500 138.600.000 34.650.000 165.000 22.500 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
kontrak DKI th 2010 bak tertutup
20.450 m2 3.000 m 10 km 25 km 8,44% 42,2 158.784 3.000 1
Ton/Day Rp/ton Rp/ton/km Stage (Rpx000)
No
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
553.697.500
138.600.000
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Const
CAPEX ACSESS ROAD Lahan Const
38.855.000
71.256.519
6.370.261
140.172.358
12.531.268
-210.882.895
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
34.650.000
OPEX Total Capex
765.802.500 0 0 0 0 0 0 0 0 0 77.626.780 0 0 0 0 0 0 0 0 0 152.703.626 0 0 0 0 -210.882.895
O/M
0 31.762.500 33.985.875 36.364.886 38.910.428 41.634.158 44.548.549 47.666.948 51.003.634 54.573.889 58.394.061 62.481.645 66.855.360 71.535.235 76.542.702 81.900.691 87.633.739 93.768.101 100.331.868 107.355.099 114.869.956 122.910.853 131.514.612 140.720.635 150.571.080 161.111.055
Over head
TOTAL CapexOpex
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost WTE
Transport. Cost to WTE
0 36.093.750 38.620.313 41.323.734 44.216.396 47.311.543 50.623.352 54.166.986 57.958.675 62.015.782 66.356.887 71.001.869 75.972.000 81.290.040 86.980.343 93.068.967 99.583.795 106.554.660 114.013.487 121.994.431 130.534.041 139.671.424 149.448.423 159.909.813 171.103.500 183.080.745
765.802.500 36.093.750 38.620.313 41.323.734 44.216.396 47.311.543 50.623.352 54.166.986 57.958.675 62.015.782 143.983.667 71.001.869 75.972.000 81.290.040 86.980.343 93.068.967 99.583.795 106.554.660 114.013.487 121.994.431 283.237.666 139.671.424 149.448.423 159.909.813 171.103.500 -27.802.151
32.962.364 35.269.730 37.738.611 40.380.314 43.206.936 46.231.421 49.467.621 52.930.354 56.635.479 60.599.963 64.841.960 69.380.897 74.237.560 79.434.189 84.994.582 90.944.203 97.310.297 104.122.018 111.410.560 119.209.299 127.553.950 136.482.726 146.036.517 156.259.073 167.197.208
765.802.500 3.131.386 3.350.583 3.585.123 3.836.082 4.104.608 4.391.930 4.699.365 5.028.321 5.380.303 83.383.705 6.159.909 6.591.103 7.052.480 7.546.154 8.074.384 8.639.591 9.244.363 9.891.468 10.583.871 164.028.368 12.117.474 12.965.697 13.873.296 14.844.427 -194.999.359
0 10.500.000 11.235.000 12.021.450 12.862.952 13.763.358 14.726.793 15.757.669 16.860.706 18.040.955 19.303.822 20.655.089 22.100.945 23.648.012 25.303.373 27.074.609 28.969.831 30.997.719 33.167.560 35.489.289 37.973.539 40.631.687 43.475.905 46.519.218 49.775.564 53.259.853
787.950.024 753.150.035 709.126.524
1.633.551.986 788.141.977 438.758.503
2.421.502.011 1.541.292.012 1.147.885.028
1.521.666.513 770.148.703 448.776.307
929.672.096 821.526.870 747.191.896
180 172 162
373 180 100
553 352 262
348 176 103
212 188 171
4.331.250 4.634.438 4.958.848 5.305.967 5.677.385 6.074.802 6.500.038 6.955.041 7.441.894 7.962.826 8.520.224 9.116.640 9.754.805 10.437.641 11.168.276 11.950.055 12.786.559 13.681.618 14.639.332 15.664.085 16.760.571 17.933.811 19.189.178 20.532.420 21.969.689
Biaya Residu Transport cost to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
0 3.452.991 3.694.700 3.953.329 4.230.062 4.526.166 4.842.998 5.182.008 5.544.749 5.932.881 6.348.183 6.792.555 7.268.034 7.776.797 8.321.172 8.903.654 9.526.910 10.193.794 10.907.360 11.670.875 12.487.836 13.361.985 14.297.323 15.298.136 16.369.006 17.514.836
765.802.500 17.084.376 18.280.283 19.559.902 20.929.096 22.394.132 23.961.721 25.639.042 27.433.775 29.354.139 109.035.709 33.607.554 35.960.083 38.477.288 41.170.699 44.052.648 47.136.333 50.435.876 53.966.388 57.744.035 214.489.743 66.111.145 70.738.925 75.690.650 80.988.996 -124.224.670
475.215.123 229.277.666 127.638.837
156.277.468 75.399.396 41.974.831
1.561.164.687 1.126.203.931 916.805.564
109 52 29
36 17 10
357 234 210
1.107.750 1.185.293 1.268.263 1.357.041 1.452.034 1.553.677 1.662.434 1.778.804 1.903.321 2.036.553 2.179.112 2.331.650 2.494.865 2.669.506 2.856.371 3.056.317 3.270.259 3.499.178 3.744.120 4.006.208 4.286.643 4.586.708 4.907.778 5.251.322 5.618.914
2.345.241 2.509.408 2.685.066 2.873.021 3.074.132 3.289.321 3.519.574 3.765.944 4.029.560 4.311.629 4.613.443 4.936.385 5.281.931 5.651.667 6.047.283 6.470.593 6.923.535 7.408.182 7.926.755 8.481.628 9.075.342 9.710.615 10.390.359 11.117.684 11.895.922
(Rpx000) 2% 7% 12% (Rpx000/ton) 2% 7% 12%
159
Lampiran 4. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Inteegrasi WTE dengan SLF residu -Sampah Terpilah Kapasitas 1.000 ton/hari (Dengan Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (Sdh terpilah) Incenerator Cap. Power production
1.000 Ton/day (An Organic only- High calorie)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
1.100 Ton/Day 29,2 Mw (Cal = 3044 ); eff 18%
(Effisiensi 18%)
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 73.910.000 1.051.845.000 138.600.000 34.650.000 160.000 21.000 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
kontrak DKI th 2010 bak tertutup
38.900 m2 3.000 m 10 km 25 km 8,44% 84,4 158.784 3.000 1
Ton/Day Rp/ton Rp/ton/km Stage (Rpx000)
CAPEX No
Tahun
WTE. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
73.910.000
OPEX
Jalan Akses Konst
Konst
Lahan
1.051.845.000
138.600.000
34.650.000
135.364.189
6.370.261
266.281.848
12.531.268
-401.141.546
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex 1.299.005.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 141.734.450 0 0 0 0 0 0 0 0 0 278.813.116 0 0 0 0 -401.141.546
O/P 0 61.600.000 65.912.000 70.525.840 75.462.649 80.745.034 86.397.187 92.444.990 98.916.139 105.840.269 113.249.087 121.176.524 129.658.880 138.735.002 148.446.452 158.837.704 169.956.343 181.853.287 194.583.017 208.203.828 222.778.096 238.372.563 255.058.642 272.912.747 292.016.640 312.457.804
Over head
TOTAL Capex-Opex
Total Opex
Pendapatan Extra
Biaya Biaya Residu Biaya Total Transpot ke Biaya Trans Biaya SLF Total Biaya WTE ke SLF residual WTE
0 69.685.000 74.562.950 79.782.357 85.367.121 91.342.820 97.736.817 104.578.395 111.898.882 119.731.804 128.113.030 137.080.942 146.676.608 156.943.971 167.930.049 179.685.152 192.263.113 205.721.531 220.122.038 235.530.581 252.017.721 269.658.962 288.535.089 308.732.545 330.343.824 353.467.891
1.299.005.000 69.685.000 74.562.950 79.782.357 85.367.121 91.342.820 97.736.817 104.578.395 111.898.882 119.731.804 269.847.481 137.080.942 146.676.608 156.943.971 167.930.049 179.685.152 192.263.113 205.721.531 220.122.038 235.530.581 530.830.838 269.658.962 288.535.089 308.732.545 330.343.824 -47.673.655
65.924.729 70.539.460 75.477.222 80.760.628 86.413.872 92.462.843 98.935.242 105.860.709 113.270.958 121.199.925 129.683.920 138.761.794 148.475.120 158.868.378 169.989.165 181.888.407 194.620.595 208.244.037 222.821.119 238.418.598 255.107.899 272.965.452 292.073.034 312.518.146 334.394.417
1.299.005.000 3.760.271 4.023.490 4.305.134 4.606.494 4.928.948 5.273.975 5.643.153 6.038.174 6.460.846 148.647.555 7.397.022 7.914.814 8.468.851 9.061.670 9.695.987 10.374.706 11.100.936 11.878.001 12.709.461 292.412.240 14.551.062 15.569.637 16.659.511 17.825.677 -382.068.072
0 21.000.000 22.470.000 24.042.900 25.725.903 27.526.716 29.453.586 31.515.337 33.721.411 36.081.910 38.607.643 41.310.179 44.201.891 47.296.023 50.606.745 54.149.217 57.939.662 61.995.439 66.335.119 70.978.578 75.947.078 81.263.374 86.951.810 93.038.437 99.551.127 106.519.706
1.331.766.367 1.279.622.631 1.205.309.716
3.153.844.368 1.521.639.444 847.096.417
4.485.610.735 2.801.262.075 2.052.406.133
3.043.333.026 1.540.297.406 897.552.614
1.501.950.906 1.361.731.790 1.251.019.870
152 146 138
360 174 97
513 320 235
348 176 103
172 156 143
8.085.000 8.650.950 9.256.517 9.904.473 10.597.786 11.339.631 12.133.405 12.982.743 13.891.535 14.863.943 15.904.419 17.017.728 18.208.969 19.483.597 20.847.449 22.306.770 23.868.244 25.539.021 27.326.752 29.239.625 31.286.399 33.476.447 35.819.798 38.327.184 41.010.087
Biaya Total
0 6.905.981 7.389.400 7.906.658 8.460.124 9.052.333 9.685.996 10.364.016 11.089.497 11.865.762 12.696.365 13.585.111 14.536.069 15.553.593 16.642.345 17.807.309 19.053.821 20.387.588 21.814.719 23.341.750 24.975.672 26.723.969 28.594.647 30.596.272 32.738.011 35.029.672
1.299.005.000 31.666.252 33.882.890 36.254.692 38.792.521 41.507.997 44.413.557 47.522.506 50.849.082 54.408.517 199.951.564 62.292.312 66.652.773 71.318.467 76.310.760 81.652.513 87.368.189 93.483.963 100.027.840 107.029.789 393.334.990 122.538.405 131.116.094 140.294.220 150.114.816 -240.518.694
950.430.247 458.555.332 255.277.675
312.554.936 150.798.791 83.949.661
2.764.936.088 1.971.085.913 1.590.247.206
109 52 29
36 17 10
316 205 182
2.215.500 2.370.585 2.536.526 2.714.083 2.904.069 3.107.353 3.324.868 3.557.609 3.806.641 4.073.106 4.358.224 4.663.300 4.989.730 5.339.012 5.712.742 6.112.634 6.540.519 6.998.355 7.488.240 8.012.417 8.573.286 9.173.416 9.815.555 10.502.644 11.237.829
4.690.481 5.018.815 5.370.132 5.746.041 6.148.264 6.578.643 7.039.148 7.531.888 8.059.120 8.623.259 9.226.887 9.872.769 10.563.863 11.303.333 12.094.567 12.941.186 13.847.069 14.816.364 15.853.510 16.963.255 18.150.683 19.421.231 20.780.717 22.235.367 23.791.843
160
Lampiran 4. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Inteegrasi WTE dengan SLF residu -Sampah Terpilah Kapasitas 1.500ton/hari (Dengan Pemilahan di Sumber) Data Proyek : Sampah masuk (Sdh terpilah) Incenerator Cap. Power production
1.500 Ton/day ( Kandungan Kalori 3.044 kkal/kg)
Data Lokasi : Pembeasan Lahan : Jarak ke Unit Instalasi : Jalan Akses ke WTE : Jarak Rata-rata ke Unit WTE : Jarak ke unit SLF Data residu : Kadar Abu : Jumlah Residu : Residu ke SLF (sewa) Biaya Transport residu (sewa): Tahapan konstruksi :
1.650 Ton/Day 43,8 Mw
(Effisiensi 18%)
Data CAPEX : Tingkat Inflasi : Biaya Lahan WTE : Biaya Konstruksi WTE.Plant : Biaya Lahan Jalan Akses : Biaya Konstr Jalan Akases : Biaya O/P : Biaya O/H : Pendapatan Extra Listrik : Biaya Transportasi Sampah (sewa):
7% 90.986.250 1.460.726.250 138.600.000 34.650.000 160.000 18.000 300 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
kontrak DKI th 2010 bak tertutup
47.888 m2 3.000 m 10 km 25 km 8,44% 126,6 158.784 3.000 1
Ton/Day Rp/ton Rp/ton/km Stage (Rpx000)
CAPEX No
WTE. Plant
Tahun Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
90.986.250
OPEX
Jalan Akses Lahan Konst
Konst 1.460.726.250
138.600.000
34.650.000
187.983.994
6.370.261
369.792.969
12.531.268
-493.821.743
TOTAL COST :
Total Capex
1.724.962.500 0 0 0 0 0 0 0 0 0 194.354.255 0 0 0 0 0 0 0 0 0 382.324.237 0 0 0 0 -493.821.743
O/P
0 92.400.000 98.868.000 105.788.760 113.193.973 121.117.551 129.595.780 138.667.485 148.374.208 158.760.403 169.873.631 181.764.785 194.488.320 208.102.503 222.669.678 238.256.555 254.934.514 272.779.930 291.874.525 312.305.742 334.167.144 357.558.844 382.587.963 409.369.121 438.024.959 468.686.706
Over head
TOTAL Capex-Opex
Total Opex
Pendapatan Extra
Biaya Biaya Total Transpot ke WTE WTE
0 102.795.000 109.990.650 117.689.996 125.928.295 134.743.276 144.175.305 154.267.577 165.066.307 176.620.948 188.984.415 202.213.324 216.368.256 231.514.034 247.720.017 265.060.418 283.614.647 303.467.673 324.710.410 347.440.138 371.760.948 397.784.214 425.629.109 455.423.147 487.302.767 521.413.961
1.724.962.500 102.795.000 109.990.650 117.689.996 125.928.295 134.743.276 144.175.305 154.267.577 165.066.307 176.620.948 383.338.670 202.213.324 216.368.256 231.514.034 247.720.017 265.060.418 283.614.647 303.467.673 324.710.410 347.440.138 754.085.185 397.784.214 425.629.109 455.423.147 487.302.767 27.592.218
98.887.093 105.809.190 113.215.833 121.140.942 129.620.808 138.694.264 148.402.863 158.791.063 169.906.437 181.799.888 194.525.880 208.142.692 222.712.680 238.302.568 254.983.747 272.832.610 291.930.892 312.366.055 334.231.679 357.627.896 382.661.849 409.448.178 438.109.551 468.777.220 501.591.625
1.724.962.500 3.907.907 4.181.460 4.474.162 4.787.354 5.122.468 5.481.041 5.864.714 6.275.244 6.714.511 201.538.782 7.687.444 8.225.565 8.801.354 9.417.449 10.076.670 10.782.037 11.536.780 12.344.355 13.208.459 396.457.289 15.122.365 16.180.931 17.313.596 18.525.548 -473.999.407
0 31.500.000 33.705.000 36.064.350 38.588.855 41.290.074 44.180.380 47.273.006 50.582.117 54.122.865 57.911.465 61.965.268 66.302.836 70.944.035 75.910.118 81.223.826 86.909.494 92.993.158 99.502.679 106.467.867 113.920.617 121.895.061 130.427.715 139.557.655 149.326.691 159.779.559
1.804.602.292 1.711.753.221 1.605.469.159
4.652.356.057 2.244.628.352 1.249.584.218
6.456.958.349 3.956.381.573 2.855.053.377
4.564.999.539 2.310.446.109 1.346.328.922
1.981.468.605 1.797.086.144 1.652.973.982
137 130 122
354 171 95
492 301 218
348 176 103
151 137 126
10.395.000 11.122.650 11.901.236 12.734.322 13.625.725 14.579.525 15.600.092 16.692.098 17.860.545 19.110.784 20.448.538 21.879.936 23.411.532 25.050.339 26.803.862 28.680.133 30.687.742 32.835.884 35.134.396 37.593.804 40.225.370 43.041.146 46.054.026 49.277.808 52.727.254
Biaya Residu Biaya Trans ke SLF
Biaya SLF
Total Biaya residual
Biaya Total
0 10.358.972 11.084.100 11.859.987 12.690.186 13.578.499 14.528.994 15.546.024 16.634.246 17.798.643 19.044.548 20.377.666 21.804.103 23.330.390 24.963.517 26.710.963 28.580.731 30.581.382 32.722.079 35.012.624 37.463.508 40.085.954 42.891.970 45.894.408 49.107.017 52.544.508
1.724.962.500 45.766.879 48.970.560 52.398.499 56.066.394 59.991.042 64.190.415 68.683.744 73.491.606 78.636.019 278.494.795 90.030.378 96.332.504 103.075.779 110.291.084 118.011.460 126.272.262 135.111.320 144.569.113 154.688.951 547.841.414 177.103.379 189.500.616 202.765.659 216.959.255 -261.675.340
1.425.645.370 687.832.999 382.916.512
468.832.403 226.198.187 125.924.492
3.875.946.379 2.711.117.329 2.161.814.986
109 52 29
36 17 10
295 188 165
3.323.250 3.555.878 3.804.789 4.071.124 4.356.103 4.661.030 4.987.302 5.336.413 5.709.962 6.109.660 6.537.336 6.994.949 7.484.596 8.008.517 8.569.114 9.168.952 9.810.778 10.497.533 11.232.360 12.018.625 12.859.929 13.760.124 14.723.333 15.753.966 16.856.743
7.035.722 7.528.223 8.055.198 8.619.062 9.222.397 9.867.964 10.558.722 11.297.832 12.088.681 12.934.888 13.840.330 14.809.154 15.845.794 16.955.000 18.141.850 19.411.779 20.770.604 22.224.546 23.780.264 25.444.883 27.226.025 29.131.846 31.171.076 33.353.051 35.687.765
(Rpx000)
NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
2% 7% 12% (Rpx000/ton) 2% 7% 12%
Kapasitas WTE insinerator ton/hari 500 1000 2000 3000
Produksi Listrik Mw dg kondisi sampah Tercampur Terpilah 2.146 kkal/kg 3.044 kkal/kg kenaikan % 9,4 13,3 41 19 26,6 40 37 53,1 44 56 79,6 42 Jumlah 167 Rata-rata 42 Sumber: Hasil Perhitungan
161
Lampiran 5. Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi teknologi HRC dengan SLF residu Kapasitas 500 ton/hari ( Tanpa Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Tercampur an organic)
500 Ton/day (TANPA PEMILAHAN)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to SLF facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
250 Ton/day 17,5 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 77.520.000 205.865.000 105.600.000 26.400.000 145.000 22.500 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
23.950,0 m2 3.000 m 10 km 35 km 50% 250 3.600 158.784 1
Tidak ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
CAPEX No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
HRC. Plant
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
Const.
77.520.000
205.865.000
Lahan
105.600.000
26.400.000
34.062.697
19.414.129
67.006.480
38.190.531
-420.734.578
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex
O/M
415.385.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 53.476.826 0 0 0 0 0 0 0 0 0 105.197.010 0 0 0 0 -420.734.578
0 12.687.500 13.575.625 14.525.919 15.542.733 16.630.724 17.794.875 19.040.516 20.373.352 21.799.487 23.325.451 24.958.233 26.705.309 28.574.681 30.574.908 32.715.152 35.005.213 37.455.578 40.077.468 42.882.891 45.884.693 49.096.622 52.533.385 56.210.722 60.145.473 64.355.656
Over head
TOTAL CAPEX TOTAL Cost Extra Income OPEX HRC
Total Opex
Transport. COST
0 14.656.250 15.682.188 16.779.941 17.954.536 19.211.354 20.556.149 21.995.079 23.534.735 25.182.166 26.944.918 28.831.062 30.849.236 33.008.683 35.319.291 37.791.641 40.437.056 43.267.650 46.296.385 49.537.132 53.004.732 56.715.063 60.685.117 64.933.076 69.478.391 74.341.878
415.385.000 14.656.250 15.682.188 16.779.941 17.954.536 19.211.354 20.556.149 21.995.079 23.534.735 25.182.166 80.421.744 28.831.062 30.849.236 33.008.683 35.319.291 37.791.641 40.437.056 43.267.650 46.296.385 49.537.132 158.201.742 56.715.063 60.685.117 64.933.076 69.478.391 -346.392.700
4.620.000 4.943.400 5.289.438 5.659.699 6.055.878 6.479.789 6.933.374 7.418.710 7.938.020 8.493.682 9.088.239 9.724.416 10.405.125 11.133.484 11.912.828 12.746.726 13.638.997 14.593.726 15.615.287 16.708.357 17.877.942 19.129.398 20.468.456 21.901.248 23.434.335
415.385.000 10.036.250 10.738.788 11.490.503 12.294.838 13.155.476 14.076.360 15.061.705 16.116.024 17.244.146 71.928.062 19.742.823 21.124.820 22.603.558 24.185.807 25.878.813 27.690.330 29.628.653 31.702.659 33.921.845 141.493.385 38.837.121 41.555.719 44.464.619 47.577.143 -369.827.035
0 10.500.000 11.235.000 12.021.450 12.862.952 13.763.358 14.726.793 15.757.669 16.860.706 18.040.955 19.303.822 20.655.089 22.100.945 23.648.012 25.303.373 27.074.609 28.969.831 30.997.719 33.167.560 35.489.289 37.973.539 40.631.687 43.475.905 46.519.218 49.775.564 53.259.853
268.233.806 366.574.592 373.892.448
663.321.110 320.033.409 178.162.544
931.554.915 686.608.001 552.054.992
213.276.547 107.943.925 62.900.419
722.460.261 585.725.828 495.893.903
61 84 85
152 73 41
213 157 126
49 25 14
165 134 113
1.968.750 2.106.563 2.254.022 2.411.803 2.580.630 2.761.274 2.954.563 3.161.382 3.382.679 3.619.467 3.872.829 4.143.927 4.434.002 4.744.382 5.076.489 5.431.843 5.812.072 6.218.917 6.654.242 7.120.039 7.618.441 8.151.732 8.722.353 9.332.918 9.986.222
Biaya Residu Transport cost to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
0 24.918.600 26.662.902 28.529.305 30.526.356 32.663.201 34.949.626 37.396.099 40.013.826 42.814.794 45.811.830 49.018.658 52.449.964 56.121.461 60.049.964 64.253.461 68.751.203 73.563.788 78.713.253 84.223.180 90.118.803 96.427.119 103.177.018 110.399.409 118.127.367 126.396.283
415.385.000 45.454.850 48.636.690 52.041.258 55.684.146 59.582.036 63.752.779 68.215.473 72.990.556 78.099.895 137.043.714 89.416.570 95.675.730 102.373.031 109.539.143 117.206.883 125.411.365 134.190.160 143.583.472 153.634.315 269.585.727 175.895.927 188.208.642 201.383.247 215.480.074 -190.170.899
475.215.123 229.277.666 127.638.837
1.127.780.531 544.121.757 302.912.489
2.325.455.915 1.359.125.251 926.445.229
109 52 29
258 124 69
311
11.025.000 11.796.750 12.622.523 13.506.099 14.451.526 15.463.133 16.545.552 17.703.741 18.943.003 20.269.013 21.687.844 23.205.993 24.830.412 26.568.541 28.428.339 30.418.323 32.547.605 34.825.938 37.263.753 39.872.216 42.663.271 45.649.700 48.845.179 52.264.342 55.922.846
13.893.600 14.866.152 15.906.783 17.020.257 18.211.675 19.486.493 20.850.547 22.310.086 23.871.792 25.542.817 27.330.814 29.243.971 31.291.049 33.481.422 35.825.122 38.332.881 41.016.182 43.887.315 46.959.427 50.246.587 53.763.848 57.527.317 61.554.230 65.863.026 70.473.438
532 212
162
Lampiran 5. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi teknologi HRC dengan SLF residu Kapasitas 500 tom/hari ( Tanpa Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Tercampur an organic)
1.000 Ton/day (TANPA PEMILAHAN)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to SLF facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
500 Ton/day 35,0 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 153.140.000 Rp (x 000) 411.230.000 Rp (x 000) 138.600.000 Rp (x 000) 34.650.000 Rp (x 000) 135.000 Rp/ton 18.000 Rp/ton 400 Rp/kg 6.000 Rp/ton/km
80.600,0 m2 3.000 m 10 km 35 km 50% Tidak ada pemilahan di sumber 500 Ton/day 3.600 Rp/ton/km 158.784 Rp/ton 1 Stage (Rpx000)
CAPEX No
Tahun
HRC. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
153.140.000
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Const.
Lahan
411.230.000
138.600.000
34.650.000
68.042.662
25.481.045
133.850.216
50.125.072
-831.157.035
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex
O/M
737.620.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 93.523.707 0 0 0 0 0 0 0 0 0 183.975.287 0 0 0 0 -831.157.035
0 23.625.000 25.278.750 27.048.263 28.941.641 30.967.556 33.135.285 35.454.755 37.936.587 40.592.148 43.433.599 46.473.951 49.727.127 53.208.026 56.932.588 60.917.869 65.182.120 69.744.869 74.627.009 79.850.900 85.440.463 91.421.295 97.820.786 104.668.241 111.995.018 119.834.669
Over head
TOTAL CAPEX TOTAL Cost Extra Income OPEX HRC
Total Opex
Biaya Residu Transport. Transport cost Total residual SLF cost COST to SLF
0 26.775.000 28.649.250 30.654.698 32.800.526 35.096.563 37.553.323 40.182.055 42.994.799 46.004.435 49.224.745 52.670.478 56.357.411 60.302.430 64.523.600 69.040.252 73.873.070 79.044.184 84.577.277 90.497.687 96.832.525 103.610.801 110.863.558 118.624.007 126.927.687 135.812.625
737.620.000 26.775.000 28.649.250 30.654.698 32.800.526 35.096.563 37.553.323 40.182.055 42.994.799 46.004.435 142.748.452 52.670.478 56.357.411 60.302.430 64.523.600 69.040.252 73.873.070 79.044.184 84.577.277 90.497.687 280.807.812 103.610.801 110.863.558 118.624.007 126.927.687 -695.344.409
4.620.000 4.943.400 5.289.438 5.659.699 6.055.878 6.479.789 6.933.374 7.418.710 7.938.020 8.493.682 9.088.239 9.724.416 10.405.125 11.133.484 11.912.828 12.746.726 13.638.997 14.593.726 15.615.287 16.708.357 17.877.942 19.129.398 20.468.456 21.901.248 23.434.335
737.620.000 22.155.000 23.705.850 25.365.260 27.140.828 29.040.686 31.073.534 33.248.681 35.576.089 38.066.415 134.254.771 43.582.238 46.632.995 49.897.305 53.390.116 57.127.424 61.126.344 65.405.188 69.983.551 74.882.400 264.099.455 85.732.859 91.734.159 98.155.551 105.026.439 -718.778.745
0 21.000.000 22.470.000 24.042.900 25.725.903 27.526.716 29.453.586 31.515.337 33.721.411 36.081.910 38.607.643 41.310.179 44.201.891 47.296.023 50.606.745 54.149.217 57.939.662 61.995.439 66.335.119 70.978.578 75.947.078 81.263.374 86.951.810 93.038.437 99.551.127 106.519.706
423.074.743 635.107.870 658.850.758
1.211.798.564 584.658.049 325.479.035
1.634.873.307 1.219.765.918 984.329.793
213.276.547 107.943.925 62.900.419
1.425.778.653 1.118.883.745 928.168.704
48 73 75
138 67 37
187 139 112
24 12 7
163 128 106
3.150.000 3.370.500 3.606.435 3.858.885 4.129.007 4.418.038 4.727.301 5.058.212 5.412.286 5.791.147 6.196.527 6.630.284 7.094.404 7.591.012 8.122.383 8.690.949 9.299.316 9.950.268 10.646.787 11.392.062 12.189.506 13.042.771 13.955.765 14.932.669 15.977.956
Biaya Total
cost
0 49.837.200 53.325.804 57.058.610 61.052.713 65.326.403 69.899.251 74.792.199 80.027.653 85.629.588 91.623.659 98.037.316 104.899.928 112.242.923 120.099.927 128.506.922 137.502.407 147.127.575 157.426.505 168.446.361 180.237.606 192.854.238 206.354.035 220.798.818 236.254.735 252.792.566
737.620.000 92.992.200 99.501.654 106.466.770 113.919.444 121.893.805 130.426.371 139.556.217 149.325.152 159.777.913 264.486.074 182.929.732 195.734.814 209.436.251 224.096.788 239.783.563 256.568.413 274.528.202 293.745.176 314.307.338 520.284.139 359.850.471 385.040.004 411.992.805 440.832.301 -359.466.472
950.430.247 458.555.332 255.277.675
2.255.561.061 1.088.243.515 605.824.978
4.631.769.961 2.665.682.592 1.789.271.357
109 52 29
258 124 69
305
22.050.000 23.593.500 25.245.045 27.012.198 28.903.052 30.926.266 33.091.104 35.407.482 37.886.005 40.538.026 43.375.687 46.411.986 49.660.825 53.137.082 56.856.678 60.836.645 65.095.211 69.651.875 74.527.507 79.744.432 85.326.542 91.299.400 97.690.358 104.528.683 111.845.691
27.787.200 29.732.304 31.813.565 34.040.515 36.423.351 38.972.985 41.701.094 44.620.171 47.743.583 51.085.634 54.661.628 58.487.942 62.582.098 66.962.845 71.650.244 76.665.761 82.032.365 87.774.630 93.918.854 100.493.174 107.527.696 115.054.635 123.108.459 131.726.051 140.946.875
529 204
163
Lampiran 5. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi teknologi HRC dengan SLF residu Kapasitas 2.000 ton/hari ( Tanpa Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Tercampur an organic)
2.000 Ton/day (TANPA PEMILAHAN)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to SLF facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
1.000 Ton/day 70,0 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 269.002.000 782.098.000 184.800.000 46.200.000 130.000 16.500 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
141.580,0 m2 4.000 m 10 km 35 km 50% 1000 3.600 158.784 1
Tidak ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
CAPEX No
Tahun
HRC. Plant Lahan
OPEX
ACSESS ROAD Lahan Const.
Const.
Total Capex
O/M
Over head
TOTAL CAPEX TOTAL Cost Extra Income OPEX HRC
Total Opex
Transport. COST
Biaya Residu Transport cost to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
269.002.000
782.098.000
184.800.000
46.200.000
129.406.975
33.974.726
254.563.106
66.833.429
-1.459.990.235
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
1.282.100.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 163.381.701 0 0 0 0 0 0 0 0 0 321.396.535 0 0 0 0 -1.459.990.235
0 45.500.000 48.685.000 52.092.950 55.739.457 59.641.218 63.816.104 68.283.231 73.063.057 78.177.471 83.649.894 89.505.387 95.770.764 102.474.717 109.647.948 117.323.304 125.535.935 134.323.451 143.726.092 153.786.919 164.552.003 176.070.643 188.395.588 201.583.279 215.694.109 230.792.696
0 51.275.000 54.864.250 58.704.748 62.814.080 67.211.065 71.915.840 76.949.949 82.336.445 88.099.996 94.266.996 100.865.686 107.926.284 115.481.124 123.564.802 132.214.339 141.469.342 151.372.196 161.968.250 173.306.027 185.437.449 198.418.071 212.307.336 227.168.849 243.070.669 260.085.616
1.282.100.000 51.275.000 54.864.250 58.704.748 62.814.080 67.211.065 71.915.840 76.949.949 82.336.445 88.099.996 257.648.697 100.865.686 107.926.284 115.481.124 123.564.802 132.214.339 141.469.342 151.372.196 161.968.250 173.306.027 506.833.984 198.418.071 212.307.336 227.168.849 243.070.669 -1.199.904.620
4.620.000 4.943.400 5.289.438 5.659.699 6.055.878 6.479.789 6.933.374 7.418.710 7.938.020 8.493.682 9.088.239 9.724.416 10.405.125 11.133.484 11.912.828 12.746.726 13.638.997 14.593.726 15.615.287 16.708.357 17.877.942 19.129.398 20.468.456 21.901.248 23.434.335
1.282.100.000 46.655.000 49.920.850 53.415.310 57.154.381 61.155.188 65.436.051 70.016.575 74.917.735 80.161.976 249.155.015 91.777.447 98.201.868 105.075.999 112.431.318 120.301.511 128.722.617 137.733.200 147.374.524 157.690.740 490.125.627 180.540.129 193.177.938 206.700.393 221.169.421 -1.223.338.955
0 42.000.000 44.940.000 48.085.800 51.451.806 55.053.432 58.907.173 63.030.675 67.442.822 72.163.820 77.215.287 82.620.357 88.403.782 94.592.047 101.213.490 108.298.434 115.879.325 123.990.877 132.670.239 141.957.156 151.894.156 162.526.747 173.903.620 186.076.873 199.102.254 213.039.412
727.952.388 1.102.063.499 1.144.768.947
2.320.633.852 1.119.639.270 623.302.989
3.048.586.240 2.221.702.769 1.768.071.936
213.276.547 107.943.925 62.900.419
2.839.491.586 2.120.820.596 1.711.910.848
42 63 65
133 64 36
174 127 101
12 6 4
162 121 98
5.775.000 6.179.250 6.611.798 7.074.623 7.569.847 8.099.736 8.666.718 9.273.388 9.922.525 10.617.102 11.360.299 12.155.520 13.006.406 13.916.855 14.891.035 15.933.407 17.048.746 18.242.158 19.519.109 20.885.447 22.347.428 23.911.748 25.585.570 27.376.560 29.292.919
0 99.674.400 106.651.608 114.117.221 122.105.426 130.652.806 139.798.502 149.584.397 160.055.305 171.259.177 183.247.319 196.074.631 209.799.855 224.485.845 240.199.854 257.013.844 275.004.813 294.255.150 314.853.011 336.892.722 360.475.212 385.708.477 412.708.070 441.597.635 472.509.470 505.585.133
1.282.100.000 188.329.400 201.512.458 215.618.330 230.711.613 246.861.426 264.141.726 282.631.647 302.415.862 323.584.972 509.617.621 370.472.435 396.405.505 424.153.891 453.844.663 485.613.789 519.606.755 555.979.227 594.897.773 636.540.618 1.002.494.995 728.775.353 779.789.628 834.374.902 892.781.145 -504.714.410
1.900.860.493 917.110.665 510.555.350
4.511.122.123 2.176.487.029 1.211.649.955
9.251.474.202 5.214.418.290 3.434.116.153
109 52 29
258 124 69
298
44.100.000 47.187.000 50.490.090 54.024.396 57.806.104 61.852.531 66.182.209 70.814.963 75.772.011 81.076.051 86.751.375 92.823.971 99.321.649 106.274.165 113.713.356 121.673.291 130.190.421 139.303.751 149.055.013 159.488.864 170.653.085 182.598.801 195.380.717 209.057.367 223.691.383
55.574.400 59.464.608 63.627.131 68.081.030 72.846.702 77.945.971 83.402.189 89.240.342 95.487.166 102.171.268 109.323.256 116.975.884 125.164.196 133.925.690 143.300.488 153.331.522 164.064.729 175.549.260 187.837.708 200.986.348 215.055.392 230.109.270 246.216.919 263.452.103 281.893.750
529 196
164
Lampiran 5. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi teknologi HRC dengan SLF residu Kapasitas 3.000 ton/hari ( Tanpa Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Tercampur an organic)
3.000 Ton/day (TANPA PEMILAHAN)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to SLF facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
1.500 Ton/day 105,0 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 389.823.000 1.143.027.000 264.000.000 66.000.000 130.000 15.000 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
205.170,0 m2 4.000 m 10 km 35 km 50% 1500 3.600 158.784 1
Tidak ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
CAPEX No
Tahun
HRC. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
389.823.000
OPEX
ACSESS ROAD Lahan Const.
Const. 1.143.027.000
264.000.000
66.000.000
189.126.767
48.535.323
372.040.976
95.476.327
-2.115.738.074
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000)
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton)
2% 7% 12%
2% 7% 12%
Total Capex
O/M
1.862.850.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 237.662.090 0 0 0 0 0 0 0 0 0 467.517.303 0 0 0 0 -2.115.738.074
0 68.250.000 73.027.500 78.139.425 83.609.185 89.461.828 95.724.156 102.424.847 109.594.586 117.266.207 125.474.841 134.258.080 143.656.146 153.712.076 164.471.921 175.984.956 188.303.903 201.485.176 215.589.138 230.680.378 246.828.004 264.105.965 282.593.382 302.374.919 323.541.163 346.189.045
Over head
TOTAL CAPEX TOTAL Cost Extra Income OPEX HRC
Total Opex
Transport. COST
0 76.125.000 81.453.750 87.155.513 93.256.398 99.784.346 106.769.250 114.243.098 122.240.115 130.796.923 139.952.708 149.749.397 160.231.855 171.448.085 183.449.451 196.290.912 210.031.276 224.733.465 240.464.808 257.297.344 275.308.159 294.579.730 315.200.311 337.264.333 360.872.836 386.133.934
1.862.850.000 76.125.000 81.453.750 87.155.513 93.256.398 99.784.346 106.769.250 114.243.098 122.240.115 130.796.923 377.614.797 149.749.397 160.231.855 171.448.085 183.449.451 196.290.912 210.031.276 224.733.465 240.464.808 257.297.344 742.825.461 294.579.730 315.200.311 337.264.333 360.872.836 -1.729.604.140
4.620.000 4.943.400 5.289.438 5.659.699 6.055.878 6.479.789 6.933.374 7.418.710 7.938.020 8.493.682 9.088.239 9.724.416 10.405.125 11.133.484 11.912.828 12.746.726 13.638.997 14.593.726 15.615.287 16.708.357 17.877.942 19.129.398 20.468.456 21.901.248 23.434.335
1.862.850.000 71.505.000 76.510.350 81.866.075 87.596.700 93.728.469 100.289.462 107.309.724 114.821.404 122.858.903 369.121.116 140.661.158 150.507.439 161.042.960 172.315.967 184.378.084 197.284.550 211.094.469 225.871.082 241.682.057 726.117.104 276.701.787 296.070.913 316.795.876 338.971.588 -1.753.038.475
0 63.000.000 67.410.000 72.128.700 77.177.709 82.580.149 88.360.759 94.546.012 101.164.233 108.245.729 115.822.930 123.930.536 132.605.673 141.888.070 151.820.235 162.447.651 173.818.987 185.986.316 199.005.358 212.935.733 227.841.235 243.790.121 260.855.430 279.115.310 298.653.381 319.559.118
1.061.601.729 1.602.483.841 1.663.734.044
3.445.309.644 1.662.263.080 925.381.571
4.506.911.373 3.264.746.921 2.589.115.615
213.276.547 107.943.925 62.900.419
4.297.816.719 3.163.864.748 2.532.954.527
40 61 63
131 63 35
172 124 99
8 4 2
164 121 96
7.875.000 8.426.250 9.016.088 9.647.214 10.322.519 11.045.095 11.818.252 12.645.529 13.530.716 14.477.866 15.491.317 16.575.709 17.736.009 18.977.529 20.305.956 21.727.373 23.248.290 24.875.670 26.616.967 28.480.154 30.473.765 32.606.929 34.889.414 37.331.673 39.944.890
Biaya Residu Transport cost to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
0 149.511.600 159.977.412 171.175.831 183.158.139 195.979.209 209.697.753 224.376.596 240.082.958 256.888.765 274.870.978 294.111.947 314.699.783 336.728.768 360.299.782 385.520.766 412.507.220 441.382.726 472.279.516 505.339.082 540.712.818 578.562.715 619.062.106 662.396.453 708.764.205 758.377.699
1.862.850.000 284.016.600 303.897.762 325.170.605 347.932.548 372.287.826 398.347.974 426.232.332 456.068.595 487.993.397 759.815.025 558.703.640 597.812.895 639.659.798 684.435.983 732.346.502 783.610.757 838.463.511 897.155.956 959.956.873 1.494.671.157 1.099.054.624 1.175.988.448 1.258.307.639 1.346.389.174 -675.101.658
2.851.290.740 1.375.665.997 765.833.024
6.766.683.184 3.264.730.544 1.817.474.933
13.915.790.643 7.804.261.289 5.116.262.484
109 52 29
258 124 69
530 297 195
66.150.000 70.780.500 75.735.135 81.036.594 86.709.156 92.778.797 99.273.313 106.222.445 113.658.016 121.614.077 130.127.062 139.235.957 148.982.474 159.411.247 170.570.034 182.509.936 195.285.632 208.955.626 223.582.520 239.233.296 255.979.627 273.898.201 293.071.075 313.586.050 335.537.074
83.361.600 89.196.912 95.440.696 102.121.545 109.270.053 116.918.956 125.103.283 133.860.513 143.230.749 153.256.901 163.984.885 175.463.827 187.746.294 200.888.535 214.950.732 229.997.284 246.097.094 263.323.890 281.756.562 301.479.522 322.583.088 345.163.904 369.325.378 395.178.154 422.840.625
165
Lampiran 6. Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi Teknologi HRC dengan Residu Ke WTE Kapasitas 250 ton/hari ( Dengan Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Sdh terpilah)
250 Ton/day (Organic only) 225 Ton/day 68 ton/day
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 32.639.625 97.491.375 70.400.000 17.600.000 120.000 24.000 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
17.179 m2 2.000 m 10 km 5 km 10% 25 1.800 0 1
ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
CAPEX No
Tahun Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
HRC. Plant Const.
32.639.625
97.491.375
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
70.400.000
17.600.000
16.131.052
12.942.753
31.732.222
25.460.354
Total Capex 218.131.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 29.073.805 0 0 0 0 0 0 0 0 0 57.192.576 0 0 0 0 0
O/M 0 9.450.000 10.111.500 10.819.305 11.576.656 12.387.022 13.254.114 14.181.902 15.174.635 16.236.859 17.373.440 18.589.580 19.890.851 21.283.211 22.773.035 24.367.148 26.072.848 27.897.947 29.850.804 31.940.360 34.176.185 36.568.518 39.128.314 41.867.296 44.798.007 47.933.868
Over head
1.890.000 2.022.300 2.163.861 2.315.331 2.477.404 2.650.823 2.836.380 3.034.927 3.247.372 3.474.688 3.717.916 3.978.170 4.256.642 4.554.607 4.873.430 5.214.570 5.579.589 5.970.161 6.388.072 6.835.237 7.313.704 7.825.663 8.373.459 8.959.601 9.586.774
TOTAL CAPEX OPEX
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost Transport. Transport HRC COST cost to WTE
0 11.340.000 12.133.800 12.983.166 13.891.988 14.864.427 15.904.937 17.018.282 18.209.562 19.484.231 20.848.127 22.307.496 23.869.021 25.539.853 27.327.642 29.240.577 31.287.418 33.477.537 35.820.964 38.328.432 41.011.422 43.882.222 46.953.977 50.240.756 53.757.609 57.520.641
218.131.000 11.340.000 12.133.800 12.983.166 13.891.988 14.864.427 15.904.937 17.018.282 18.209.562 19.484.231 49.921.933 22.307.496 23.869.021 25.539.853 27.327.642 29.240.577 31.287.418 33.477.537 35.820.964 38.328.432 98.203.998 43.882.222 46.953.977 50.240.756 53.757.609 57.520.641
8.910.000 9.533.700 10.201.059 10.915.133 11.679.192 12.496.736 13.371.507 14.307.513 15.309.039 16.380.672 17.527.319 18.754.231 20.067.027 21.471.719 22.974.739 24.582.971 26.303.779 28.145.044 30.115.197 32.223.260 34.478.889 36.892.411 39.474.880 42.238.121 45.194.790
218.131.000 2.430.000 2.600.100 2.782.107 2.976.854 3.185.234 3.408.201 3.646.775 3.902.049 4.175.192 33.541.261 4.780.178 5.114.790 5.472.826 5.855.923 6.265.838 6.704.447 7.173.758 7.675.921 8.213.235 65.980.738 9.403.333 10.061.567 10.765.876 11.519.488 12.325.852
0 5.250.000 5.617.500 6.010.725 6.431.476 6.881.679 7.363.397 7.878.834 8.430.353 9.020.477 9.651.911 10.327.545 11.050.473 11.824.006 12.651.686 13.537.304 14.484.916 15.498.860 16.583.780 17.744.644 18.986.770 20.315.843 21.737.952 23.259.609 24.887.782 26.629.927
78.750 84.263 90.161 96.472 103.225 110.451 118.183 126.455 135.307 144.779 154.913 165.757 177.360 189.775 203.060 217.274 232.483 248.757 266.170 284.802 304.738 326.069 348.894 373.317 399.449
Biaya Residu Biaya Total
Total residual cost
WTE cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 78.750 84.263 90.161 96.472 103.225 110.451 118.183 126.455 135.307 144.779 154.913 165.757 177.360 189.775 203.060 217.274 232.483 248.757 266.170 284.802 304.738 326.069 348.894 373.317 399.449
218.131.000 7.758.750 8.301.863 8.882.993 9.504.802 10.170.139 10.882.048 11.643.792 12.458.857 13.330.977 43.337.951 15.262.636 16.331.020 17.474.191 18.697.385 20.006.202 21.406.636 22.905.100 24.508.458 26.224.050 85.252.309 30.023.914 32.125.588 34.374.380 36.780.586 39.355.227
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
274.971.187 231.486.259 208.411.568
513.232.333 247.619.879 137.849.944
788.203.520 479.106.138 346.261.513
411.319.056 208.177.570 121.307.951
384.949.544 284.547.661 237.950.842
237.607.562 114.638.833 63.819.419
3.564.113 1.719.582 957.291
626.121.219 400.906.077 302.727.552
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
126 106 95
235 113 63
360 219 158
188 95 55
176 130 109
109 52 29
2 1 0
183
166
286 138
Lampiran 6. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi Teknologi HRC dengan Residu Ke WTE Kapasitas 500 ton/hari ( Dengan Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Sdh terpilah)
500 Ton/day (Organic only)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
450 Ton/day 135 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 64.424.250 194.757.750 138.600.000 34.650.000 105.000 19.500 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
33.908 m2 3.000 m 10 km 5 km 10% 50 1.800 0 1
ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
No
Tahun
HRC. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
CAPEX ACSESS ROAD Lahan Const.
64.424.250
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
Const. 194.757.750
138.600.000
34.650.000
32.224.876
25.481.045
63.391.209
50.125.072
OPEX Total Capex 432.432.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 57.705.921 0 0 0 0 0 0 0 0 0 113.516.281 0 0 0 0 0
O/M 0 16.537.500 17.695.125 18.933.784 20.259.149 21.677.289 23.194.699 24.818.328 26.555.611 28.414.504 30.403.519 32.531.766 34.808.989 37.245.618 39.852.812 42.642.509 45.627.484 48.821.408 52.238.907 55.895.630 59.808.324 63.994.907 68.474.550 73.267.769 78.396.513 83.884.268
Over head
3.071.250 3.286.238 3.516.274 3.762.413 4.025.782 4.307.587 4.609.118 4.931.756 5.276.979 5.646.368 6.041.614 6.464.527 6.917.043 7.401.236 7.919.323 8.473.676 9.066.833 9.701.511 10.380.617 11.107.260 11.884.768 12.716.702 13.606.871 14.559.352 15.578.507
TOTAL CAPEX OPEX
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost HRC
Transport. COST
0 19.608.750 20.981.363 22.450.058 24.021.562 25.703.071 27.502.286 29.427.446 31.487.368 33.691.483 36.049.887 38.573.379 41.273.516 44.162.662 47.254.048 50.561.832 54.101.160 57.888.241 61.940.418 66.276.247 70.915.584 75.879.675 81.191.252 86.874.640 92.955.865 99.462.775
432.432.000 19.608.750 20.981.363 22.450.058 24.021.562 25.703.071 27.502.286 29.427.446 31.487.368 33.691.483 93.755.808 38.573.379 41.273.516 44.162.662 47.254.048 50.561.832 54.101.160 57.888.241 61.940.418 66.276.247 184.431.865 75.879.675 81.191.252 86.874.640 92.955.865 99.462.775
8.910.000 9.533.700 10.201.059 10.915.133 11.679.192 12.496.736 13.371.507 14.307.513 15.309.039 16.380.672 17.527.319 18.754.231 20.067.027 21.471.719 22.974.739 24.582.971 26.303.779 28.145.044 30.115.197 32.223.260 34.478.889 36.892.411 39.474.880 42.238.121 45.194.790
432.432.000 10.698.750 11.447.663 12.248.999 13.106.429 14.023.879 15.005.550 16.055.939 17.179.855 18.382.444 77.375.136 21.046.061 22.519.285 24.095.635 25.782.329 27.587.092 29.518.189 31.584.462 33.795.374 36.161.050 152.208.604 41.400.787 44.298.842 47.399.761 50.717.744 54.267.986
0 10.500.000 11.235.000 12.021.450 12.862.952 13.763.358 14.726.793 15.757.669 16.860.706 18.040.955 19.303.822 20.655.089 22.100.945 23.648.012 25.303.373 27.074.609 28.969.831 30.997.719 33.167.560 35.489.289 37.973.539 40.631.687 43.475.905 46.519.218 49.775.564 53.259.853
Biaya Residu Transport cost to WTE
157.500 168.525 180.322 192.944 206.450 220.902 236.365 252.911 270.614 289.557 309.826 331.514 354.720 379.551 406.119 434.547 464.966 497.513 532.339 569.603 609.475 652.139 697.788 746.633 798.898
Biaya Total
Total residual cost
WTE cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 157.500 168.525 180.322 192.944 206.450 220.902 236.365 252.911 270.614 289.557 309.826 331.514 354.720 379.551 406.119 434.547 464.966 497.513 532.339 569.603 609.475 652.139 697.788 746.633 798.898
432.432.000 21.356.250 22.851.188 24.450.771 26.162.325 27.993.687 29.953.245 32.049.973 34.293.471 36.694.014 96.968.515 42.010.976 44.951.745 48.098.367 51.465.252 55.067.820 58.922.567 63.047.147 67.460.447 72.182.679 190.751.747 82.641.949 88.426.885 94.616.767 101.239.941 108.326.737
(Rpx000) 2%
545.258.977
887.464.243
1.432.723.220
411.319.056
1.029.469.244
475.215.123
7.128.227
1.511.812.594
7% 12%
458.973.391 413.196.096
428.176.042 238.365.529
887.149.432 651.561.625
208.177.570 121.307.951
692.590.956 543.250.954
229.277.666 127.638.837
3.439.165 1.914.583
925.307.787 672.804.374
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
125 105 94
203 98 54
327 203 149
94 48 28
235 158 124
109 52 29
2 1 0
346 211 171
167
Lampiran 6. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi Teknologi HRC dengan Residu Ke WTE Kapasitas 1.000 ton/hari ( Dengan Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Sdh terpilah)
1.000 Ton/day (Organic only)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
900 Ton/day 270 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 127.138.500 389.065.500 138.600.000 34.650.000 105.000 15.000 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
66.915 m2 3.000 m 10 km 5 km 10% 100 1.800 0 1
ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
No
Tahun
HRC. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
CAPEX ACSESS ROAD Lahan Const.
127.138.500
Const. 389.065.500
138.600.000
34.650.000
64.375.295
25.481.045
126.635.948
50.125.072
OPEX Total Capex
O/M
689.454.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 89.856.339 0 0 0 0 0 0 0 0 0 176.761.020 0 0 0 0 0
0 33.075.000 35.390.250 37.867.568 40.518.297 43.354.578 46.389.398 49.636.656 53.111.222 56.829.008 60.807.038 65.063.531 69.617.978 74.491.237 79.705.623 85.285.017 91.254.968 97.642.816 104.477.813 111.791.260 119.616.648 127.989.814 136.949.101 146.535.538 156.793.025 167.768.537
Over head
4.725.000 5.055.750 5.409.653 5.788.328 6.193.511 6.627.057 7.090.951 7.587.317 8.118.430 8.686.720 9.294.790 9.945.425 10.641.605 11.386.518 12.183.574 13.036.424 13.948.974 14.925.402 15.970.180 17.088.093 18.284.259 19.564.157 20.933.648 22.399.004 23.966.934
TOTAL CAPEX OPEX
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost HRC
Transport. COST
0 37.800.000 40.446.000 43.277.220 46.306.625 49.548.089 53.016.455 56.727.607 60.698.540 64.947.438 69.493.758 74.358.321 79.563.404 85.132.842 91.092.141 97.468.591 104.291.392 111.591.790 119.403.215 127.761.440 136.704.741 146.274.073 156.513.258 167.469.186 179.192.029 191.735.471
689.454.000 37.800.000 40.446.000 43.277.220 46.306.625 49.548.089 53.016.455 56.727.607 60.698.540 64.947.438 159.350.098 74.358.321 79.563.404 85.132.842 91.092.141 97.468.591 104.291.392 111.591.790 119.403.215 127.761.440 313.465.761 146.274.073 156.513.258 167.469.186 179.192.029 191.735.471
8.910.000 9.533.700 10.201.059 10.915.133 11.679.192 12.496.736 13.371.507 14.307.513 15.309.039 16.380.672 17.527.319 18.754.231 20.067.027 21.471.719 22.974.739 24.582.971 26.303.779 28.145.044 30.115.197 32.223.260 34.478.889 36.892.411 39.474.880 42.238.121 45.194.790
689.454.000 28.890.000 30.912.300 33.076.161 35.391.492 37.868.897 40.519.719 43.356.100 46.391.027 49.638.399 142.969.426 56.831.003 60.809.173 65.065.815 69.620.422 74.493.852 79.708.421 85.288.011 91.258.171 97.646.243 281.242.501 111.795.184 119.620.847 127.994.306 136.953.908 146.540.681
0 21.000.000 22.470.000 24.042.900 25.725.903 27.526.716 29.453.586 31.515.337 33.721.411 36.081.910 38.607.643 41.310.179 44.201.891 47.296.023 50.606.745 54.149.217 57.939.662 61.995.439 66.335.119 70.978.578 75.947.078 81.263.374 86.951.810 93.038.437 99.551.127 106.519.706
Biaya Residu Transport cost to SLF
315.000 337.050 360.644 385.889 412.901 441.804 472.730 505.821 541.229 579.115 619.653 663.028 709.440 759.101 812.238 869.095 929.932 995.027 1.064.679 1.139.206 1.218.951 1.304.277 1.395.577 1.493.267 1.597.796
Biaya Total
Total residual cost
SLF cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 315.000 337.050 360.644 385.889 412.901 441.804 472.730 505.821 541.229 579.115 619.653 663.028 709.440 759.101 812.238 869.095 929.932 995.027 1.064.679 1.139.206 1.218.951 1.304.277 1.395.577 1.493.267 1.597.796
689.454.000 50.205.000 53.719.350 57.479.705 61.503.284 65.808.514 70.415.110 75.344.167 80.618.259 86.261.537 182.156.184 98.760.834 105.674.092 113.071.279 120.986.268 129.455.307 138.517.179 148.213.381 158.588.318 169.689.500 358.328.785 194.277.508 207.876.934 222.428.319 237.998.302 254.658.183
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
864.826.073 729.729.732 657.776.410
1.710.774.444 825.399.598 459.499.815
2.575.600.517 1.555.129.330 1.117.276.225
411.319.056 208.177.570 121.307.951
2.172.346.541 1.360.570.853 1.008.965.554
950.430.247 458.555.332 255.277.675
14.256.454 6.878.330 3.829.165
3.137.033.241 1.826.004.516 1.268.072.394
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
99 83 75
196 94 53
294 178 128
47 24 14
248 155 115
109 52 29
2 1 0
359 209 145
168
Lampiran 6. Lanjutan Analisis NPV Biaya Proyek Integrasi Teknologi HRC dengan Residu Ke WTE Kapasitas 1.500 ton/hari ( Dengan Pemilahan di Sumber ) project data : Sampah masuk (Sdh terpilah)
1.500 Ton/day (Organic only)
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data :
1.350 Ton/day 405 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant :
7% 188.142.750 Rp (x 000) 582.923.250 Rp (x 000)
Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
138.600.000 34.650.000 105.000 16.500 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): SLF residu (sewa) Construction Stage :
99.023 m2 3.000 m 10 km 5 km 10% 150 1.800 0 1
ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Stage (Rpx000)
No
Tahun
HRC. Plant Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
CAPEX ACSESS ROAD Lahan Const.
188.142.750
Const. 582.923.250
138.600.000
34.650.000
96.451.256
25.481.045
189.734.219
50.125.072
OPEX Total Capex
O/M
944.316.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 121.932.300 0 0 0 0 0 0 0 0 0 239.859.290 0 0 0 0 0
0 49.612.500 53.085.375 56.801.351 60.777.446 65.031.867 69.584.098 74.454.985 79.666.834 85.243.512 91.210.558 97.595.297 104.426.967 111.736.855 119.558.435 127.927.526 136.882.452 146.464.224 156.716.720 167.686.890 179.424.972 191.984.720 205.423.651 219.803.306 235.189.538 251.652.805
Over head
7.796.250 8.341.988 8.925.927 9.550.741 10.219.293 10.934.644 11.700.069 12.519.074 13.395.409 14.333.088 15.336.404 16.409.952 17.558.649 18.787.754 20.102.897 21.510.100 23.015.807 24.626.913 26.350.797 28.195.353 30.169.027 32.280.859 34.540.520 36.958.356 39.545.441
TOTAL CAPEX OPEX
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost HRC
Transport. COST
0 57.408.750 61.427.363 65.727.278 70.328.187 75.251.160 80.518.742 86.155.054 92.185.907 98.638.921 105.543.645 112.931.700 120.836.920 129.295.504 138.346.189 148.030.422 158.392.552 169.480.031 181.343.633 194.037.687 207.620.325 222.153.748 237.704.510 254.343.826 272.147.894 291.198.246
944.316.000 57.408.750 61.427.363 65.727.278 70.328.187 75.251.160 80.518.742 86.155.054 92.185.907 98.638.921 227.475.946 112.931.700 120.836.920 129.295.504 138.346.189 148.030.422 158.392.552 169.480.031 181.343.633 194.037.687 447.479.615 222.153.748 237.704.510 254.343.826 272.147.894 291.198.246
8.910.000 9.533.700 10.201.059 10.915.133 11.679.192 12.496.736 13.371.507 14.307.513 15.309.039 16.380.672 17.527.319 18.754.231 20.067.027 21.471.719 22.974.739 24.582.971 26.303.779 28.145.044 30.115.197 32.223.260 34.478.889 36.892.411 39.474.880 42.238.121 45.194.790
944.316.000 48.498.750 51.893.663 55.526.219 59.413.054 63.571.968 68.022.006 72.783.546 77.878.394 83.329.882 211.095.274 95.404.382 102.082.689 109.228.477 116.874.470 125.055.683 133.809.581 143.176.252 153.198.589 163.922.490 415.256.355 187.674.859 200.812.099 214.868.946 229.909.773 246.003.457
0 31.500.000 33.705.000 36.064.350 38.588.855 41.290.074 44.180.380 47.273.006 50.582.117 54.122.865 57.911.465 61.965.268 66.302.836 70.944.035 75.910.118 81.223.826 86.909.494 92.993.158 99.502.679 106.467.867 113.920.617 121.895.061 130.427.715 139.557.655 149.326.691 159.779.559
Biaya Residu Transport cost to SLF
472.500 505.575 540.965 578.833 619.351 662.706 709.095 758.732 811.843 868.672 929.479 994.543 1.064.161 1.138.652 1.218.357 1.303.642 1.394.897 1.492.540 1.597.018 1.708.809 1.828.426 1.956.416 2.093.365 2.239.900 2.396.693
Biaya Total
Total residual cost
SLF cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 472.500 505.575 540.965 578.833 619.351 662.706 709.095 758.732 811.843 868.672 929.479 994.543 1.064.161 1.138.652 1.218.357 1.303.642 1.394.897 1.492.540 1.597.018 1.708.809 1.828.426 1.956.416 2.093.365 2.239.900 2.396.693
944.316.000 80.471.250 86.104.238 92.131.534 98.580.742 105.481.393 112.865.091 120.765.647 129.219.243 138.264.590 269.875.411 158.299.129 169.380.068 181.236.672 193.923.239 207.497.866 222.022.717 237.564.307 254.193.809 271.987.375 530.885.782 311.398.346 333.196.230 356.519.966 381.476.364 408.179.709
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
1.182.119.002 998.396.633 900.393.191
2.598.238.687 1.253.575.640 697.865.343
3.780.357.688 2.251.972.273 1.598.258.535
411.319.056 208.177.570 121.307.951
3.377.103.712 2.057.413.796 1.489.947.864
1.425.645.370 687.832.999 382.916.512
21.384.681 10.317.495 5.743.748
4.824.133.763 2.755.564.289 1.878.608.124
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
90 76 69
198 96 53
288 172 122
31 16 9
257 157 114
109 52 29
2 1 0
368 210 143
169
Lampiran 7. Ringkasan Analisis NPV Biaya Sistem Pengolahan Sampah TEKNOLOGI INDIVIDUAL TANPA PEMILAHAN DI SUMBER
SLF
KOMBINASI TEKNOLOGI
WTE INSINERATOR
HRC
COMB.2 HRC & WTE
COMB.1 HRC & WTE
Data sampah : Sampah masuk Plant : Ton/Day Kondisi sampah:
500
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:
269
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 439 685
3.000
500
983
754
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 1.415 2.566
3.000
500
3.576
415
1.000 2.000 Tidak terpilah (Rp. Milyar) 738 1.282
3.000
500
1.863
1000 2000 3000 Sampah Sudah terpilah (Rp. Milyar) 603 1.198 1.988 2.669
619
1000 2000 Sampah Belum terpilah (Rp. Milyar) 1.208 2.019
3000
2.705
PV Capex - Opex untuk DF = Inf. rate = 7% o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM:
802 1.032 0
(Rp. Milyar) 1.389 2.461 2.063 4.127 0 0
3.591 6.190 0
1.242 229 75
(Rp. Milyar) 2.148 3.960 459 917 151 302
5.596 1.376 452
586 229 544
(Rp. Milyar) 1.119 2.121 459 917 1.088 2.176
3.164 1.376 3.265
755 229 39
3.854 1.376 237
1.113 287 65
2.005 573 130
(Rp. Milyar) 3.531 1.146 261
4.937 1.720 391
1.834
3.453
6.588
9.781
1.547 2.757 5.179
7.424
1.359
2.666
5.214
7.804
1.023 2.052 3.797 5.467
1.465
2.708
4.938
7.048
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
183,37 235,83 0,00
(Rpx 000/ton) 158,78 140,63 235,83 235,83 0,00 0,00
136,78 235,83 0,00
(Rpx 000/ton) 284,00 245,49 226,28 213,20 52,41 52,41 52,41 52,41 17,23 17,23 17,23 17,23
133,88 52,41 124,37
(Rpx 000/ton) 127,87 121,19 52,41 52,41 124,37 124,37
120,53 52,41 124,37
(Rpx 000/ton) 172,47 173,04 155,56 146,84 52,41 52,41 52,41 52,41 9,01 9,01 9,01 9,01
194,51 52,41 10,58
(Rpx 000/ton) 177,17 155,11 52,41 52,41 10,58 10,58
144,59 52,41 10,58
TOTAL SYSTEM :
419,20 394,61 376,46 372,61 353,64 315,13 295,92 282,84 310,66 304,65 297,97
Cap. SLF 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
Tidak terpilah WTE HRC Rp133.880 Rp283.999 Rp245.493 Rp127.872 Rp226.279 Rp121.190 Rp213.196 Rp120.528
Terpilah Komb Tek 1 Komb Tek 2 Rp172.474 Rp194.509 Rp173.042 Rp177.167 Rp155.560 Rp155.107 Rp146.838 Rp144.590
Cap. 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
SLF Rp419.203 Rp394.613 Rp376.460 Rp372.613
Tidak terpilah WTE Rp353.639 Rp315.134 Rp295.919 Rp282.836
HRC Rp310.657 Rp304.649 Rp297.967 Rp297.305
(Rp. Milyar) 1.514 2.722 459 917 79 158
500
297,31 220,96 222,76 206,74 198,87 257,50 240,16
218,10
207,58
Terpilah Komb Tek 1 Komb Tek 2 Rp220.958 Rp257.497 Rp222.758 Rp240.155 Rp206.737 Rp218.096 Rp198.865 Rp207.579
170
Lampiran 8. NPV Biaya Proyek HRC + Residu ke WTE (Sampah Blm. Terpisah) project data : Sampah masuk (Blm. terpilah)
250 Ton/day 125 Ton/day 9 ton/day
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): WTE residu Construction Stage :
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 22.764.375 Rp (x 000) 69.680.625 Rp (x 000) 70.400.000 Rp (x 000) 17.600.000 Rp (x 000) 145.000 Rp/ton 22.500 Rp/ton 400 Rp/kg 6.000 Rp/ton/km
11.981 m2 2.000 m 10 km 5 km 50% Bim ada pemilahan di sumber 125 Ton/day 1.800 Rp/ton/km 0 Rp/ton Invest WTE 1 Stage (Rpx000)
CAPEX No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
FERT. Plant Lahan Const. 22.764.375
69.680.625
OPEX
ACSESS ROAD Lahan Const. 70.400.000
17.600.000
11.529.449
12.942.753
22.680.171
25.460.354
Total Capex 180.445.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24.472.202 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48.140.525 0 0 0 0 0
O/M 0 6.343.750 6.787.813 7.262.959 7.771.367 8.315.362 8.897.438 9.520.258 10.186.676 10.899.744 11.662.726 12.479.116 13.352.655 14.287.340 15.287.454 16.357.576 17.502.606 18.727.789 20.038.734 21.441.445 22.942.347 24.548.311 26.266.693 28.105.361 30.072.736 32.177.828
Over head
984.375 1.053.281 1.127.011 1.205.902 1.290.315 1.380.637 1.477.281 1.580.691 1.691.340 1.809.733 1.936.415 2.071.964 2.217.001 2.372.191 2.538.245 2.715.922 2.906.036 3.109.459 3.327.121 3.560.019 3.809.221 4.075.866 4.361.177 4.666.459 4.993.111
TOTAL TOTAL Biaya Transport. Extra Income CAPEX OPEX HRC COST
Total Opex 0 7.328.125 7.841.094 8.389.970 8.977.268 9.605.677 10.278.074 10.997.540 11.767.367 12.591.083 13.472.459 14.415.531 15.424.618 16.504.341 17.659.645 18.895.821 20.218.528 21.633.825 23.148.193 24.768.566 26.502.366 28.357.531 30.342.559 32.466.538 34.739.195 37.170.939
180.445.000 7.328.125 7.841.094 8.389.970 8.977.268 9.605.677 10.278.074 10.997.540 11.767.367 12.591.083 37.944.661 14.415.531 15.424.618 16.504.341 17.659.645 18.895.821 20.218.528 21.633.825 23.148.193 24.768.566 74.642.891 28.357.531 30.342.559 32.466.538 34.739.195 37.170.939
1.155.000 1.235.850 1.322.360 1.414.925 1.513.969 1.619.947 1.733.344 1.854.678 1.984.505 2.123.420 2.272.060 2.431.104 2.601.281 2.783.371 2.978.207 3.186.681 3.409.749 3.648.432 3.903.822 4.177.089 4.469.486 4.782.350 5.117.114 5.475.312 5.858.584
180.445.000 6.173.125 6.605.244 7.067.611 7.562.344 8.091.708 8.658.127 9.264.196 9.912.690 10.606.578 35.821.240 12.143.471 12.993.514 13.903.060 14.876.274 15.917.614 17.031.847 18.224.076 19.499.761 20.864.744 70.465.801 23.888.046 25.560.209 27.349.424 29.263.883 31.312.355
0 5.250.000 5.617.500 6.010.725 6.431.476 6.881.679 7.363.397 7.878.834 8.430.353 9.020.477 9.651.911 10.327.545 11.050.473 11.824.006 12.651.686 13.537.304 14.484.916 15.498.860 16.583.780 17.744.644 18.986.770 20.315.843 21.737.952 23.259.609 24.887.782 26.629.927
Biaya Residu Transport cost to WTE 393.750 421.313 450.804 482.361 516.126 552.255 590.913 632.276 676.536 723.893 774.566 828.785 886.800 948.876 1.015.298 1.086.369 1.162.414 1.243.783 1.330.848 1.424.008 1.523.688 1.630.346 1.744.471 1.866.584 1.997.244
Total residual Biaya Total cost
WTE cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 393.750 421.313 450.804 482.361 516.126 552.255 590.913 632.276 676.536 723.893 774.566 828.785 886.800 948.876 1.015.298 1.086.369 1.162.414 1.243.783 1.330.848 1.424.008 1.523.688 1.630.346 1.744.471 1.866.584 1.997.244
180.445.000 11.816.875 12.644.056 13.529.140 14.476.180 15.489.513 16.573.778 17.733.943 18.975.319 20.303.591 46.197.044 23.245.582 24.872.772 26.613.866 28.476.837 30.470.216 32.603.131 34.885.350 37.327.324 39.940.237 90.876.579 45.727.578 48.928.508 52.353.504 56.018.249 59.939.526
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
228.350.904 191.893.320 172.602.649
331.660.555 160.016.705 89.081.272
560.011.459 351.910.025 261.683.921
53.319.137 26.985.981 15.725.105
507.737.795 326.689.482 247.643.648
237.607.562 114.638.833 63.819.419
17.820.567 8.597.912 4.786.456
763.165.924 449.926.227 316.249.524
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
104 88 79
152 73 41
256 161 120
24 12 7
232 149 113
109 52 29
8 4 2
206
349 145
171
Lampiran 8. Lanjutan NPV Biaya Proyek HRC + Residu ke WTE (Sampah Blm. Terpisah) project data : Sampah masuk (Blm. terpilah)
500 Ton/day
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): WTE residu Construction Stage :
250 Ton/day 18 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 43.628.750 134.461.250 138.600.000 34.650.000 135.000 18.000 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
22.963 m2 3.000 m 10 km 5 km 50% 250 1.800 0 1
Bim ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Invest WTE Stage (Rpx000)
CAPEX No
YEARS
FERT. Plant Const.
Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
43.628.750
134.461.250
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
138.600.000
34.650.000
22.248.137
25.481.045
43.765.453
50.125.072
Total Capex 351.340.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 47.729.182 0 0 0 0 0 0 0 0 0 93.890.525 0 0 0 0 0
O/M 0 11.812.500 12.639.375 13.524.131 14.470.820 15.483.778 16.567.642 17.727.377 18.968.294 20.296.074 21.716.799 23.236.975 24.863.564 26.604.013 28.466.294 30.458.935 32.591.060 34.872.434 37.313.505 39.925.450 42.720.232 45.710.648 48.910.393 52.334.121 55.997.509 59.917.335
Over head
1.575.000 1.685.250 1.803.218 1.929.443 2.064.504 2.209.019 2.363.650 2.529.106 2.706.143 2.895.573 3.098.263 3.315.142 3.547.202 3.795.506 4.061.191 4.345.475 4.649.658 4.975.134 5.323.393 5.696.031 6.094.753 6.521.386 6.977.883 7.466.335 7.988.978
TOTAL TOTAL Biaya Extra Income CAPEX OPEX HRC
Total Opex
Biaya Residu Transport. Transport Total residual WTE cost COST cost to WTE cost
0 13.387.500 14.324.625 15.327.349 16.400.263 17.548.282 18.776.661 20.091.028 21.497.400 23.002.217 24.612.373 26.335.239 28.178.706 30.151.215 32.261.800 34.520.126 36.936.535 39.522.092 42.288.639 45.248.843 48.416.262 51.805.401 55.431.779 59.312.003 63.463.844 67.906.313
351.340.000 13.387.500 14.324.625 15.327.349 16.400.263 17.548.282 18.776.661 20.091.028 21.497.400 23.002.217 72.341.555 26.335.239 28.178.706 30.151.215 32.261.800 34.520.126 36.936.535 39.522.092 42.288.639 45.248.843 142.306.787 51.805.401 55.431.779 59.312.003 63.463.844 67.906.313
1.155.000 1.235.850 1.322.360 1.414.925 1.513.969 1.619.947 1.733.344 1.854.678 1.984.505 2.123.420 2.272.060 2.431.104 2.601.281 2.783.371 2.978.207 3.186.681 3.409.749 3.648.432 3.903.822 4.177.089 4.469.486 4.782.350 5.117.114 5.475.312 5.858.584
351.340.000 12.232.500 13.088.775 14.004.989 14.985.338 16.034.312 17.156.714 18.357.684 19.642.722 21.017.712 70.218.134 24.063.179 25.747.602 27.549.934 29.478.429 31.541.919 33.749.853 36.112.343 38.640.207 41.345.022 138.129.698 47.335.915 50.649.429 54.194.889 57.988.532 62.047.729
0 10.500.000 11.235.000 12.021.450 12.862.952 13.763.358 14.726.793 15.757.669 16.860.706 18.040.955 19.303.822 20.655.089 22.100.945 23.648.012 25.303.373 27.074.609 28.969.831 30.997.719 33.167.560 35.489.289 37.973.539 40.631.687 43.475.905 46.519.218 49.775.564 53.259.853
787.500 842.625 901.609 964.721 1.032.252 1.104.509 1.181.825 1.264.553 1.353.072 1.447.787 1.549.132 1.657.571 1.773.601 1.897.753 2.030.596 2.172.737 2.324.829 2.487.567 2.661.697 2.848.015 3.047.377 3.260.693 3.488.941 3.733.167 3.994.489
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Biaya Total
0 787.500 842.625 901.609 964.721 1.032.252 1.104.509 1.181.825 1.264.553 1.353.072 1.447.787 1.549.132 1.657.571 1.773.601 1.897.753 2.030.596 2.172.737 2.324.829 2.487.567 2.661.697 2.848.015 3.047.377 3.260.693 3.488.941 3.733.167 3.994.489
351.340.000 23.520.000 25.166.400 26.928.048 28.813.011 30.829.922 32.988.017 35.297.178 37.767.980 40.411.739 90.969.743 46.267.400 49.506.118 52.971.546 56.679.554 60.647.123 64.892.422 69.434.891 74.295.334 79.496.007 178.951.252 91.014.979 97.386.027 104.203.049 111.497.262 119.302.071
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
444.784.495 373.706.721 336.107.898
605.899.282 292.329.024 162.739.518
1.050.683.777 666.035.745 498.847.416
53.319.137 26.985.981 15.725.105
998.410.114 640.815.202 484.807.144
475.215.123 229.277.666 127.638.837
35.641.134 17.195.825 9.572.913
1.509.266.371 887.288.693 622.018.894
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
102 85 77
138 67 37
240 152 114
12 6 4
228 146 111
109 52 29
8 4 2
345 203 142
172
Lampiran 8. Lanjutan NPV of PROJECT COST - HRC + Residu ke WTE (Sampah Blm. Terpisah) Sampah masuk (Blm. terpilah) project data : Sampah masuk (Blm. terpilah)
1.000 Ton/day
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): WTE residu Construction Stage :
500 Ton/day 35 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 83.457.500 259.122.500 138.600.000 34.650.000 130.000 16.500 400 6.000
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kg Rp/ton/km
43.925 m2 3.000 m 10 km 5 km 50% 500 1.800 0 1
Bim ada pemilahan di sumber Ton/day Rp/ton/km Rp/ton Invest WTE Stage (Rpx000)
CAPEX No
YEARS
FERT. Plant Const.
Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
83.457.500
259.122.500
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
138.600.000
34.650.000
42.874.753
25.481.045
84.341.129
50.125.072
Total Capex 515.830.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 68.355.798 0 0 0 0 0 0 0 0 0 134.466.201 0 0 0 0 0
O/M 0 22.750.000 24.342.500 26.046.475 27.869.728 29.820.609 31.908.052 34.141.616 36.531.529 39.088.736 41.824.947 44.752.693 47.885.382 51.237.359 54.823.974 58.661.652 62.767.968 67.161.725 71.863.046 76.893.459 82.276.001 88.035.322 94.197.794 100.791.640 107.847.054 115.396.348
Over head
2.887.500 3.089.625 3.305.899 3.537.312 3.784.923 4.049.868 4.333.359 4.636.694 4.961.263 5.308.551 5.680.150 6.077.760 6.503.203 6.958.427 7.445.517 7.966.704 8.524.373 9.121.079 9.759.554 10.442.723 11.173.714 11.955.874 12.792.785 13.688.280 14.646.460
TOTAL TOTAL Biaya Extra Income CAPEX OPEX HRC
Total Opex
Transport. Transport COST cost to WTE
0 25.637.500 27.432.125 29.352.374 31.407.040 33.605.533 35.957.920 38.474.974 41.168.223 44.049.998 47.133.498 50.432.843 53.963.142 57.740.562 61.782.401 66.107.169 70.734.671 75.686.098 80.984.125 86.653.014 92.718.725 99.209.035 106.153.668 113.584.425 121.535.334 130.042.808
515.830.000 25.637.500 27.432.125 29.352.374 31.407.040 33.605.533 35.957.920 38.474.974 41.168.223 44.049.998 115.489.296 50.432.843 53.963.142 57.740.562 61.782.401 66.107.169 70.734.671 75.686.098 80.984.125 86.653.014 227.184.925 99.209.035 106.153.668 113.584.425 121.535.334 130.042.808
1.155.000 1.235.850 1.322.360 1.414.925 1.513.969 1.619.947 1.733.344 1.854.678 1.984.505 2.123.420 2.272.060 2.431.104 2.601.281 2.783.371 2.978.207 3.186.681 3.409.749 3.648.432 3.903.822 4.177.089 4.469.486 4.782.350 5.117.114 5.475.312 5.858.584
515.830.000 24.482.500 26.196.275 28.030.014 29.992.115 32.091.563 34.337.973 36.741.631 39.313.545 42.065.493 113.365.876 48.160.783 51.532.038 55.139.281 58.999.030 63.128.962 67.547.990 72.276.349 77.335.693 82.749.192 223.007.836 94.739.550 101.371.318 108.467.311 116.060.022 124.184.224
0 21.000.000 22.470.000 24.042.900 25.725.903 27.526.716 29.453.586 31.515.337 33.721.411 36.081.910 38.607.643 41.310.179 44.201.891 47.296.023 50.606.745 54.149.217 57.939.662 61.995.439 66.335.119 70.978.578 75.947.078 81.263.374 86.951.810 93.038.437 99.551.127 106.519.706
1.575.000 1.685.250 1.803.218 1.929.443 2.064.504 2.209.019 2.363.650 2.529.106 2.706.143 2.895.573 3.098.263 3.315.142 3.547.202 3.795.506 4.061.191 4.345.475 4.649.658 4.975.134 5.323.393 5.696.031 6.094.753 6.521.386 6.977.883 7.466.335 7.988.978
Biaya Residu Biaya Total
Total residual cost
WTE cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1.575.000 1.685.250 1.803.218 1.929.443 2.064.504 2.209.019 2.363.650 2.529.106 2.706.143 2.895.573 3.098.263 3.315.142 3.547.202 3.795.506 4.061.191 4.345.475 4.649.658 4.975.134 5.323.393 5.696.031 6.094.753 6.521.386 6.977.883 7.466.335 7.988.978
515.830.000 47.057.500 50.351.525 53.876.132 57.647.461 61.682.783 66.000.578 70.620.619 75.564.062 80.853.546 154.869.092 92.569.225 99.049.071 105.982.506 113.401.281 121.339.371 129.833.127 138.921.446 148.645.947 159.051.163 304.650.945 182.097.677 194.844.514 208.483.630 223.077.484 238.692.908
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
649.409.275 547.034.807 492.659.298
1.160.316.926 559.819.635 311.651.495
1.809.726.202 1.106.854.441 804.310.792
53.319.137 26.985.981 15.725.105
1.757.452.538 1.081.633.898 790.270.520
950.430.247 458.555.332 255.277.675
71.282.268 34.391.650 19.145.826
2.779.165.053 1.574.580.880 1.064.694.021
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
74 63 56
133 64 36
207 126 92
6 3 2
201 124 90
109 52 29
8 4 2
180
318 122
173
Lampiran 8. Lanjutan NPV Biaya Proyek HRC + Residu ke WTE (Sampah Blm. Terpisah) Sampah masuk (Blm. terpilah) project data : Sampah masuk (Blm. terpilah)
1.500 Ton/day
Plant Cap. Fertilizer production
Site data: Land Aquisition : Site distance: Akses road to Fert. plant : Av. distance to composting facility: Distance to WTE facility Residual data : Rejected rate Residu quantity Transportation cost residu (sewa): WTE residu Construction Stage :
750 Ton/day 53 ton/day
Cost data : Inflation rate Land cost BIO FERT. : Const. BIO FERT.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Bio Fertizer) : Transportation cost sampah (sewa):
7% 119.486.250 Rp (x 000) 373.983.750 Rp (x 000) 138.600.000 Rp (x 000) 34.650.000 Rp (x 000) 130.000 Rp/ton 15.000 Rp/ton 400 Rp/kg 6.000 Rp/ton/km
62.888 m2 3.000 m 10 km 5 km 50% Bim ada pemilahan di sumber 750 Ton/day 1.800 Rp/ton/km 0 Rp/ton Invest WTE 1 Stage (Rpx000)
CAPEX No
YEARS
FERT. Plant Const.
Lahan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033
119.486.250
OPEX
ACSESS ROAD Const.
Lahan
373.983.750 138.600.000
34.650.000
61.879.848
25.481.045
121.727.028
50.125.072
Total Capex 666.720.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 87.360.893 0 0 0 0 0 0 0 0 0 171.852.099 0 0 0 0 0
TOTAL COST : NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF NPV Tot-COST at DF
(Rpx000) 2% 7% 12%
837.292.055 706.111.866 636.306.447
UNIT COST : NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF NPV Unit-COST at DF
(Rpx000/ton) 2% 7% 12%
64 54 48
O/M 0 34.125.000 36.513.750 39.069.713 41.804.592 44.730.914 47.862.078 51.212.423 54.797.293 58.633.103 62.737.421 67.129.040 71.828.073 76.856.038 82.235.961 87.992.478 94.151.951 100.742.588 107.794.569 115.340.189 123.414.002 132.052.982 141.296.691 151.187.459 161.770.582 173.094.522
Over head
3.937.500 4.213.125 4.508.044 4.823.607 5.161.259 5.522.547 5.909.126 6.322.765 6.765.358 7.238.933 7.745.658 8.287.855 8.868.004 9.488.765 10.152.978 10.863.687 11.624.145 12.437.835 13.308.483 14.240.077 15.236.883 16.303.464 17.444.707 18.665.836 19.972.445
TOTAL TOTAL Biaya Transport. Extra Income CAPEX OPEX HRC COST
Total Opex 0 38.062.500 40.726.875 43.577.756 46.628.199 49.892.173 53.384.625 57.121.549 61.120.057 65.398.461 69.976.354 74.874.699 80.115.927 85.724.042 91.724.725 98.145.456 105.015.638 112.366.733 120.232.404 128.648.672 137.654.079 147.289.865 157.600.155 168.632.166 180.436.418 193.066.967
666.720.000 38.062.500 40.726.875 43.577.756 46.628.199 49.892.173 53.384.625 57.121.549 61.120.057 65.398.461 157.337.247 74.874.699 80.115.927 85.724.042 91.724.725 98.145.456 105.015.638 112.366.733 120.232.404 128.648.672 309.506.179 147.289.865 157.600.155 168.632.166 180.436.418 193.066.967
1.155.000 1.235.850 1.322.360 1.414.925 1.513.969 1.619.947 1.733.344 1.854.678 1.984.505 2.123.420 2.272.060 2.431.104 2.601.281 2.783.371 2.978.207 3.186.681 3.409.749 3.648.432 3.903.822 4.177.089 4.469.486 4.782.350 5.117.114 5.475.312 5.858.584
1.722.654.822 2.559.946.877 831.131.540 1.537.243.406 462.690.785 1.098.997.233
53.319.137 26.985.981 15.725.105
131 63 35
195 117 84
4 2 1
666.720.000 36.907.500 39.491.025 42.255.397 45.213.275 48.378.204 51.764.678 55.388.205 59.265.380 63.413.956 155.213.826 72.602.639 77.684.823 83.122.761 88.941.354 95.167.249 101.828.957 108.956.984 116.583.972 124.744.850 305.329.089 142.820.379 152.817.806 163.515.052 174.961.106 187.208.383
Transport cost to WTE
0 31.500.000 2.362.500 33.705.000 2.527.875 36.064.350 2.704.826 38.588.855 2.894.164 41.290.074 3.096.756 44.180.380 3.313.528 47.273.006 3.545.475 50.582.117 3.793.659 54.122.865 4.059.215 57.911.465 4.343.360 61.965.268 4.647.395 66.302.836 4.972.713 70.944.035 5.320.803 75.910.118 5.693.259 81.223.826 6.091.787 86.909.494 6.518.212 92.993.158 6.974.487 99.502.679 7.462.701 106.467.867 7.985.090 113.920.617 8.544.046 121.895.061 9.142.130 130.427.715 9.782.079 139.557.655 10.466.824 149.326.691 11.199.502 159.779.559 11.983.467
2.507.673.214 1.425.645.370 1.512.022.862 687.832.999 1.084.956.960 382.916.512
191 115 83
Biaya Residu
109 52 29
Biaya Total
Total residual cost
WTE cost
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 2.362.500 2.527.875 2.704.826 2.894.164 3.096.756 3.313.528 3.545.475 3.793.659 4.059.215 4.343.360 4.647.395 4.972.713 5.320.803 5.693.259 6.091.787 6.518.212 6.974.487 7.462.701 7.985.090 8.544.046 9.142.130 9.782.079 10.466.824 11.199.502 11.983.467
666.720.000 70.770.000 75.723.900 81.024.573 86.696.293 92.765.034 99.258.586 106.206.687 113.641.155 121.596.036 217.468.651 139.215.302 148.960.373 159.387.599 170.544.731 182.482.862 195.256.662 208.924.628 223.549.352 239.197.807 427.793.753 273.857.569 293.027.599 313.539.531 335.487.298 358.971.409
106.923.403 51.587.475 28.718.738
4.040.241.987 2.251.443.336 1.496.592.211
8 4 2
172
308 114
174
Lampiran 9. NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah) project data : Sampah masuk (Blm. terpilah) Incenerator Cap. Power production Eff 18% Cost data : Inflation rate Land cost WTE : Const. WTE.Plant : Land cost Akses road : Const. Akses road : O/M cost : O/H cost : Extra-income (Power Electricity) : Transportation cost sampah (sewa):
375 Ton/day 375 Ton/Day 7,0 Mw (Cal = 2146/kg ) 7% 25.027.750 317.128.625 70.400.000 26.400.000 215.000 30.000 300 6.000
Site data: Land Aquisition : 13.173 Site distance: Akses road to WTE : 3.000 Average distance to WTE facility: 10 Distance to SLF facility 25 Residual data : Ash rate 8,44% Residu quantity 31,65 SLF residu (sewa) 158.784 Transportation cost residu ( sewa) 3.000 : Construction Stage : 1
Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp (x 000) Rp/ton Rp/ton Rp/kwh Rp/ton/km
m2 m km km
Ton/Day Rp/ton Rp/ton/km Stage (Rpx000)
No
Tahun
WTE. Plant Lahan 25.027.750
ACSESS ROAD Const
Lahan
317.128.625
70.400.000
Biaya Residu
OPEX
CAPEX Const 26.400.000
Total Capex
O/M
Over head
TOTAL CapexExtra Income Opex
Total Opex
TOTAL Cost WTE
Transport. Cost Transport cost to WTE to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
0
2008
438.956.375
0
0
438.956.375
438.956.375
0
0
438.956.375
1
2009
0
28.218.750
3.937.500
32.156.250
32.156.250
15.844.262
16.311.988
7.875.000
830.813
1.758.931
2.589.743
26.776.731
2
2010
0
30.194.063
4.213.125
34.407.188
34.407.188
16.953.360
17.453.828
8.426.250
888.969
1.882.056
2.771.025
28.651.103
3
2011
0
32.307.647
4.508.044
36.815.691
36.815.691
18.140.095
18.675.595
9.016.088
951.197
2.013.800
2.964.997
30.656.680
4
2012
0
34.569.182
4.823.607
39.392.789
39.392.789
19.409.902
19.982.887
9.647.214
1.017.781
2.154.766
3.172.547
32.802.647
5
2013
0
36.989.025
5.161.259
42.150.284
42.150.284
20.768.595
21.381.689
10.322.519
1.089.026
2.305.599
3.394.625
35.098.833
6
2014
0
39.578.257
5.522.547
45.100.804
45.100.804
22.222.397
22.878.408
11.045.095
1.165.258
2.466.991
3.632.249
37.555.751
7
2015
0
42.348.735
5.909.126
48.257.860
48.257.860
23.777.964
24.479.896
11.818.252
1.246.826
2.639.680
3.886.506
40.184.654
8
2016
0
45.313.146
6.322.765
51.635.911
51.635.911
25.442.422
26.193.489
12.645.529
1.334.103
2.824.458
4.158.561
42.997.579
9
2017
0
48.485.066
6.765.358
55.250.424
55.250.424
27.223.391
28.027.033
13.530.716
1.427.491
3.022.170
4.449.661
46.007.410
10
2018
45.665.495
51.879.021
7.238.933
59.117.954
104.783.449
29.129.029
75.654.421
14.477.866
1.527.415
3.233.722
4.761.137
94.893.424
11
2019
0
55.510.552
7.745.658
63.256.211
63.256.211
31.168.061
32.088.150
15.491.317
1.634.334
3.460.083
5.094.417
52.673.884
12
2020
0
59.396.291
8.287.855
67.684.146
67.684.146
33.349.825
34.334.321
16.575.709
1.748.737
3.702.288
5.451.026
56.361.055
13
2021
0
63.554.031
8.868.004
72.422.036
72.422.036
35.684.313
36.737.723
17.736.009
1.871.149
3.961.449
5.832.597
60.306.329
14
2022
0
68.002.814
9.488.765
77.491.578
77.491.578
38.182.215
39.309.364
18.977.529
2.002.129
4.238.750
6.240.879
64.527.772
15
2023
0
72.763.011
10.152.978
82.915.989
82.915.989
40.854.970
42.061.019
20.305.956
2.142.278
4.535.462
6.677.741
69.044.716
16
2024
0
77.856.421
10.863.687
88.720.108
88.720.108
43.714.818
45.005.290
21.727.373
2.292.238
4.852.945
7.145.183
73.877.847
17
2025
0
83.306.371
11.624.145
94.930.516
94.930.516
46.774.855
48.155.661
23.248.290
2.452.695
5.192.651
7.645.346
79.049.296
18
2026
0
89.137.817
12.437.835
101.575.652
101.575.652
50.049.095
51.526.557
24.875.670
2.624.383
5.556.137
8.180.520
19
2027
0
95.377.464
13.308.483
108.685.947
108.685.947
53.552.531
55.133.416
26.616.967
2.808.090
5.945.066
8.753.156
90.503.539
20
2028
89.830.941
102.053.886
14.240.077
116.293.964
206.124.905
57.301.208
148.823.696
28.480.154
3.004.656
6.361.221
9.365.877
186.669.727
21
2029
0
109.197.658
15.236.883
124.434.541
124.434.541
61.312.293
63.122.248
30.473.765
3.214.982
6.806.506
10.021.488
103.617.502
22
2030
0
116.841.495
16.303.464
133.144.959
133.144.959
65.604.154
67.540.805
32.606.929
3.440.031
7.282.962
10.722.993
110.870.727
23
2031
0
125.020.399
17.444.707
142.465.106
142.465.106
70.196.444
72.268.662
34.889.414
3.680.833
7.792.769
11.473.602
118.631.677
24
2032
0
133.771.827
18.665.836
152.437.663
152.437.663
75.110.195
77.327.468
37.331.673
3.938.491
8.338.263
12.276.754
126.935.895
25
2033
-135.836.427
143.135.855
19.972.445
163.108.300
27.271.873
80.367.909
-53.096.036
39.944.890
4.214.186
8.921.941
13.136.127
-15.020
, 40.811.963
80.283.308
-135.836.427
TOTAL COST :
4.853.532
9.547.633
84.582.746
(Rpx000)
NPV Tot-COST at DF
2%
445.171.705
1.455.346.315
1.900.518.020
731.430.609
1.183.429.187
356.411.342
117.208.101
1.657.048.630
NPV Tot-COST at DF
7%
430.239.878
702.162.853
1.132.402.731
370.193.029
786.427.937
171.958.250
56.549.547
1.014.935.734
NPV Tot-COST at DF
12%
406.233.551
390.893.939
797.127.491
215.716.601
604.523.383
95.729.128
31.481.123
731.733.634
NPV Unit-COST at DF
2%
136
444
579
223
361
109
36
505
NPV Unit-COST at DF
7%
131
214
345
113
240
52
17
309
NPV Unit-COST at DF
12%
124
119
243
66
184
29
10
223
UNIT COST :
(Rpx000/ton)
175
Lampiran 9. Lanjutan NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah) project data : Sampah masuk (Sdh terpilah)
750 Ton/day (An Organic only- High calorie)
Site data:
Incenerator Cap.
750 Ton/Day
Land Aquisition :
Power production
14,0 Mw (Cal = 2146 )
Site distance:
Cost data :
25.795 m2
Akses road to WTE :
Inflation rate
7%
Land cost WTE :
49.010.500 Rp (x 000)
10 km
Distance to SLF facility
25 km
Const. WTE.Plant :
633.982.250 Rp (x 000)
Residual data :
Land cost Akses road :
138.600.000 Rp (x 000)
Ash rate
Const. Akses road :
34.650.000 Rp (x 000)
O/M cost
:
190.000 Rp/ton
O/H cost
:
22.500 Rp/ton
Extra-income (Power Electricity) :
8,44%
Residu quantity
63,3 Ton/Day
SLF residu (sewa)
158.784 Rp/ton
Transportation cost residu ( sewa) :
300 Rp/kwh
Transportation cost sampah (sewa):
3.000 m
Average distance to WTE facility:
Construction Stage :
3.000 Rp/ton/km 1 Stage
6.000 Rp/ton/km (Rpx000)
No
WTE. Plant
Tahun Lahan
49.010.500
OPEX
CAPEX ACSESS ROAD Const
Lahan
633.982.250
138.600.000
Const
O/M
Over head
Total Opex
RESIDUAL COST TOTAL Cost Transport. Cost Transport cost Total residual WTE to WTE SLF cost to SLF cost
Biaya Total
0
2008
856.242.750
0
0
856.242.750
856.242.750
0
0
856.242.750
1
2009
0
49.875.000
5.906.250
55.781.250
55.781.250
31.688.523
24.092.727
15.750.000
1.661.625
3.517.861
5.179.486
45.022.213
2
2010
0
53.366.250
6.319.688
59.685.938
59.685.938
33.906.720
25.779.218
16.852.500
1.777.939
3.764.111
5.542.050
48.173.768
3
2011
0
57.101.888
6.762.066
63.863.953
63.863.953
36.280.190
27.583.763
18.032.175
1.902.394
4.027.599
5.929.994
51.545.931
4
2012
0
61.099.020
7.235.410
68.334.430
68.334.430
38.819.804
29.514.626
19.294.427
2.035.562
4.309.531
6.345.093
55.154.147
5
2013
0
65.375.951
7.741.889
73.117.840
73.117.840
41.537.190
31.580.650
20.645.037
2.178.051
4.611.198
6.789.250
59.014.937
6
2014
0
69.952.268
8.283.821
78.236.089
78.236.089
44.444.793
33.791.296
22.090.190
2.330.515
4.933.982
7.264.497
63.145.983
7
2015
0
74.848.926
8.863.689
83.712.615
83.712.615
47.555.929
36.156.686
23.636.503
2.493.651
5.279.361
7.773.012
67.566.201
8
2016
0
80.088.351
9.484.147
89.572.498
89.572.498
50.884.844
38.687.654
25.291.058
2.668.207
5.648.916
8.317.123
72.295.835
9
2017
0
85.694.536
10.148.037
95.842.573
95.842.573
54.446.783
41.395.790
27.061.432
2.854.981
6.044.340
8.899.321
77.356.544
10
2018
87.958.797
91.693.153
10.858.400
102.551.553
190.510.350
58.258.058
132.252.292
28.955.733
3.054.830
6.467.444
9.522.274
170.730.299
11
2019
0
98.111.674
11.618.488
109.730.162
109.730.162
62.336.122
47.394.040
30.982.634
3.268.668
6.920.165
10.188.833
88.565.507
12
2020
0
104.979.491
12.431.782
117.411.273
117.411.273
66.699.650
50.711.623
33.151.418
3.497.475
7.404.577
10.902.051
94.765.093
13
2021
0
112.328.055
13.302.007
125.630.062
125.630.062
71.368.626
54.261.437
35.472.018
3.742.298
7.922.897
11.665.195
101.398.649
14
2022
0
120.191.019
14.233.147
134.424.166
134.424.166
76.364.429
58.059.737
37.955.059
4.004.259
8.477.500
12.481.759
108.496.554
15
2023
0
128.604.391
15.229.467
143.833.858
143.833.858
81.709.939
62.123.919
40.611.913
4.284.557
9.070.925
13.355.482
116.091.313
16
2024
0
137.606.698
16.295.530
153.902.228
153.902.228
87.429.635
66.472.593
43.454.747
4.584.476
9.705.890
14.290.365
124.217.705
17
2025
0
147.239.167
17.436.217
164.675.384
164.675.384
93.549.710
71.125.674
46.496.579
4.905.389 10.385.302
15.290.691
132.912.945
18
2026
0
157.545.909
18.656.752
176.202.661
176.202.661
100.098.189
76.104.472
49.751.340
5.248.766 11.112.273
16.361.039
142.216.851
19
2027
0
168.574.122
19.962.725
188.536.847
188.536.847
107.105.063
81.431.785
53.233.933
5.616.180 11.890.132
17.506.312
152.172.030
20
2028
173.028.266
180.374.311
21.360.116
201.734.427
374.762.693
114.602.417
260.160.276
56.960.309
6.009.313 12.722.441
18.731.754
335.852.339
21
2029
0
193.000.513
22.855.324
215.855.836
215.855.836
122.624.586
93.231.250
60.947.530
6.429.964 13.613.012
20.042.977
174.221.757
22
2030
0
206.510.548
24.455.197
230.965.745
230.965.745
131.208.307
99.757.438
65.213.857
6.880.062 14.565.923
21.445.985
186.417.280
23
2031
0
220.966.287
26.167.060
247.133.347
247.133.347
140.392.889
106.740.459
69.778.827
7.361.666 15.585.538
22.947.204
199.466.490
24
2032
0
236.433.927
27.998.755
264.432.681
264.432.681
150.220.391
114.212.291
74.663.345
7.876.983 16.676.526
24.553.508
213.429.144
25
2033
-266.001.187
252.984.302
29.958.667
282.942.969
16.941.782
160.735.818
-143.794.036
79.889.780
8.428.372 17.843.882
26.272.254
-37.632.003
81.588.536
160.496.998
-266.001.187
TOTAL COST :
34.650.000
Total Capex
TOTAL CapexExtra Income Opex
6.370.261
12.531.268
(Rpx000)
NPV Tot-COST at DF
2%
865.398.752
2.524.580.343 3.389.979.095
1.462.861.219 1.955.801.429
712.822.685
234.416.202
2.903.040.316
NPV Tot-COST at DF
7%
837.999.845
1.218.037.602 2.056.037.447
740.386.057 1.364.087.860
343.916.499
113.099.093
1.821.103.453
NPV Tot-COST at DF
12%
791.833.339
678.081.324 1.469.914.663
431.433.202 1.084.706.447
191.458.256
62.962.246
1.339.126.949
NPV Unit-COST at DF
2%
132
385
517
223
298
109
36
442
NPV Unit-COST at DF
7%
128
186
313
113
208
52
17
278
NPV Unit-COST at DF
12%
121
103
224
66
165
29
10
204
UNIT COST :
(Rpx000/ton)
176
Lampiran 9. Lanjutan NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah) project data : Sampah masuk
1.500 Ton/hari
Site data:
Incenerator Cap.
1.500 Ton/Day
Land Aquisition :
Power production
28,1 Mw (Cal = 2146 )
49.390 m2
Site distance:
Cost data :
Akses road to WTE :
Inflation rate
7%
Land cost WTE :
93.841.000 Rp (x 000)
Const. WTE.Plant :
1.206.859.500 Rp (x 000)
Land cost Akses road : :
185.000 Rp/ton
O/H cost
:
21.000 Rp/ton
Extra-income (Power Electricity) :
8,44%
Residu quantity
126,6 Ton/Day
SLF residu (sewa)
158.784 Rp/ton
Transportation cost residu ( sewa) :
300 Rp/kwh
Transportation cost sampah (sewa):
25 km
Ash rate
40.425.000 Rp (x 000)
O/M cost
10 km
Distance to SLF facility Residual data :
161.700.000 Rp (x 000)
Const. Akses road :
3.500 m
Average distance to WTE facility:
Construction Stage :
3.000 Rp/ton/km 1 Stage
6.000 Rp/ton/km (Rpx000)
No
Tahun
WTE. Plant Lahan 93.841.000
Const
Lahan
1.206.859.500
Const
O/M
Over head
Total Opex
Transport. Cost Transport cost to WTE to SLF
SLF cost
Total residual cost
Biaya Total
2008
1.502.825.500
0
1.502.825.500
0
0
1.502.825.500
2009
0
97.125.000
11.025.000
108.150.000
108.150.000
63.377.047
44.772.953
31.500.000
3.323.250
7.035.722
10.358.972
86.631.926
2
2010
0
103.923.750
11.796.750
115.720.500
115.720.500
67.813.440
47.907.060
33.705.000
3.555.878
7.528.223
11.084.100
92.696.160
3
2011
0
111.198.413
12.622.523
123.820.935
123.820.935
72.560.381
51.260.554
36.064.350
3.804.789
8.055.198
11.859.987
99.184.892
4
2012
0
118.982.301
13.506.099
132.488.400
132.488.400
77.639.607
54.848.793
38.588.855
4.071.124
8.619.062
12.690.186
106.127.834
5
2013
0
127.311.062
14.451.526
141.762.588
141.762.588
83.074.380
58.688.209
41.290.074
4.356.103
9.222.397
13.578.499
113.556.782
6
2014
0
136.222.837
15.463.133
151.685.970
151.685.970
88.889.586
62.796.383
44.180.380
4.661.030
9.867.964
14.528.994
121.505.757
7
2015
0
145.758.435
16.545.552
162.303.988
162.303.988
95.111.857
67.192.130
47.273.006
4.987.302
10.558.722
15.546.024
130.011.160
8
2016
0
155.961.526
17.703.741
173.665.267
173.665.267
101.769.687
71.895.579
50.582.117
5.336.413
11.297.832
16.634.246
139.111.941
9
2017
0
166.878.833
18.943.003
185.821.835
185.821.835
108.893.565
76.928.270
54.122.865
5.709.962
12.088.681
17.798.643
148.849.777
10
2018
162.745.309
178.560.351
20.269.013
198.829.364
361.574.673
116.516.115
245.058.558
57.911.465
6.109.660
12.934.888
19.044.548
322.014.571
11
2019
0
191.059.576
21.687.844
212.747.419
212.747.419
124.672.243
88.075.176
61.965.268
6.537.336
13.840.330
20.377.666
170.418.110
12
2020
0
204.433.746
23.205.993
227.639.739
227.639.739
133.399.300
94.240.439
66.302.836
6.994.949
14.809.154
21.804.103
182.347.378
13
2021
0
218.744.108
24.830.412
243.574.520
243.574.520
142.737.251
100.837.269
70.944.035
7.484.596
15.845.794
23.330.390
195.111.694
14
2022
0
234.056.196
26.568.541
260.624.737
260.624.737
152.728.859
107.895.878
75.910.118
8.008.517
16.955.000
24.963.517
208.769.513
15
2023
0
250.440.129
28.428.339
278.868.468
278.868.468
163.419.879
115.448.590
81.223.826
8.569.114
18.141.850
26.710.963
223.383.379
16
2024
0
267.970.938
30.418.323
298.389.261
298.389.261
174.859.270
123.529.991
86.909.494
9.168.952
19.411.779
28.580.731
239.020.215
17
2025
0
286.728.904
32.547.605
319.276.509
319.276.509
187.099.419
132.177.090
92.993.158
9.810.778
20.770.604
30.581.382
255.751.630
18
2026
0
306.799.927
34.825.938
341.625.865
341.625.865
200.196.379
141.429.487
99.502.679
10.497.533
22.224.546
32.722.079
273.654.245
19
2027
0
328.275.922
37.263.753
365.539.676
365.539.676
214.210.125
151.329.551
106.467.867
11.232.360
23.780.264
35.012.624
292.810.042
20
2028
320.144.655
351.255.237
39.872.216
391.127.453
711.272.108
229.204.834
482.067.275
113.920.617
12.018.625
25.444.883
37.463.508
633.451.400
21
2029
0
375.843.103
42.663.271
418.506.375
418.506.375
245.249.172
173.257.202
121.895.061
12.859.929
27.226.025
40.085.954
335.238.217
22
2030
0
402.152.121
45.649.700
447.801.821
447.801.821
262.416.614
185.385.207
130.427.715
13.760.124
29.131.846
42.891.970
358.704.892
23
2031
0
430.302.769
48.845.179
479.147.948
479.147.948
280.785.777
198.362.171
139.557.655
14.723.333
31.171.076
45.894.408
383.814.234
24
2032
0
460.423.963
52.264.342
512.688.305
512.688.305
300.440.782
212.247.523
149.326.691
15.753.966
33.353.051
49.107.017
410.681.231
25
2033
-509.315.706
492.653.640
55.922.846
548.576.486
39.260.780
321.471.636
-282.210.857
159.779.559
16.856.743
35.687.765
52.544.508
-69.886.790
-509.315.706
TOTAL COST :
7.431.971
14.619.813
0 1.502.825.500
TOTAL Cost WTE
1
305.524.843
40.425.000
Total Capex
TOTAL CapexExtra Income Opex
0
155.313.338
161.700.000
Biaya Residu
OPEX
CAPEX ACSESS ROAD
(Rpx000)
NPV Tot-COST at DF
2%
1.511.115.556
4.894.715.770
6.405.831.326
2.925.722.438
3.537.475.995
1.425.645.370
468.832.403
5.431.953.769
NPV Tot-COST at DF
7%
1.471.446.192
2.361.559.962
3.833.006.153
1.480.772.115
2.449.106.981
687.832.999
226.198.187
3.363.138.166
NPV Tot-COST at DF
12%
1.391.476.661
1.314.680.025
2.706.156.686
862.866.404
1.935.740.255
382.916.512
125.924.492
2.444.581.259
NPV Unit-COST at DF
2%
115
373
488
223
270
109
36
414
NPV Unit-COST at DF
7%
112
180
292
113
187
52
17
256
NPV Unit-COST at DF
12%
106
100
206
66
147
29
10
186
UNIT COST :
(Rpx000/ton)
177
Lampiran 9. Lanjutan NPV Biaya Proyek - WTE + SLF residu (Integrasi Teknologi Sampah Blm Terpilah) project data : Sampah masuk
2.250 Ton/hari
Site data:
Incenerator Cap.
2.250 Ton/Day
Land Aquisition :
Power production
42,1 Mw (Cal = 2146 )
61.091 m2
Site distance:
Cost data :
Akses road to WTE :
Inflation rate
7%
Land cost WTE :
116.073.375 Rp (x 000)
Const. WTE.Plant :
1.681.395.375 Rp (x 000)
Land cost Akses road : :
185.000 Rp/ton
O/H cost
:
18.000 Rp/ton
Extra-income (Power Electricity) :
8,44%
Residu quantity
189,9 Ton/Day
SLF residu (sewa)
158.784 Rp/ton
Transportation cost residu ( sewa) :
300 Rp/kwh
Transportation cost sampah (sewa):
25 km
Ash rate
48.125.000 Rp (x 000)
O/M cost
10 km
Distance to SLF facility Residual data :
192.500.000 Rp (x 000)
Const. Akses road :
3.500 m
Average distance to WTE facility:
Construction Stage :
3.000 Rp/ton/km 1 Stage
6.000 Rp/ton/km (Rpx000)
No
Tahun
WTE. Plant Lahan 116.073.375
Const
Lahan
1.681.395.375
Const
O/M
Over head
TOTAL CapexOpex
Total Opex
Extra Income
TOTAL Cost WTE
Transport. Cost Transport cost to WTE to SLF
SLF cost
Total residual cost
TOTAL COST
2008
2.038.093.750
0
0
2.038.093.750
2.038.093.750
0
0
2.038.093.750
1
2009
0
145.687.500
14.175.000
159.862.500
159.862.500
95.065.570
64.796.930
47.250.000
4.984.875
10.553.583
15.538.458
127.585.388
2
2010
0
155.885.625
15.167.250
171.052.875
171.052.875
101.720.160
69.332.715
50.557.500
5.333.816
11.292.334
16.626.150
136.516.366
3
2011
0
166.797.619
16.228.958
183.026.576
183.026.576
108.840.571
74.186.005
54.096.525
5.707.183
12.082.797
17.789.981
146.072.511
4
2012
0
178.473.452
17.364.985
195.838.437
195.838.437
116.459.411
79.379.026
57.883.282
6.106.686
12.928.593
19.035.280
156.297.587
5
2013
0
190.966.594
18.580.533
209.547.127
209.547.127
124.611.570
84.935.558
61.935.111
6.534.154
13.833.595
20.367.749
167.238.418
6
2014
0
204.334.255
19.881.171
224.215.426
224.215.426
133.334.379
90.881.047
66.270.569
6.991.545
14.801.946
21.793.492
178.945.107
7
2015
0
218.637.653
21.272.853
239.910.506
239.910.506
142.667.786
97.242.720
70.909.509
7.480.953
15.838.083
23.319.036
191.471.265
8
2016
0
233.942.289
22.761.952
256.704.241
256.704.241
152.654.531
104.049.710
75.873.175
8.004.620
16.946.748
24.951.368
204.874.253
9
2017
0
250.318.249
24.355.289
274.673.538
274.673.538
163.340.348
111.333.190
81.184.297
8.564.943
18.133.021
26.697.964
219.215.451
10
2018
225.229.962
267.840.527
26.060.159
293.900.686
519.130.648
174.774.173
344.356.475
86.867.198
9.164.489
19.402.332
28.566.822
459.790.495
11
2019
0
286.589.363
27.884.370
314.473.734
314.473.734
187.008.365
127.465.369
92.947.902
9.806.004
20.760.496
30.566.499
250.979.770
12
2020
0
306.650.619
29.836.276
336.486.895
336.486.895
200.098.950
136.387.945
99.454.255
10.492.424
22.213.730
32.706.154
268.548.354
13
2021
0
328.116.162
31.924.816
360.040.978
360.040.978
214.105.877
145.935.101
106.416.053
11.226.894
23.768.691
34.995.585
287.346.739
14
2022
0
351.084.293
34.159.553
385.243.846
385.243.846
229.093.288
156.150.558
113.865.176
12.012.776
25.432.500
37.445.276
307.461.011
15
2023
0
375.660.194
36.550.722
412.210.916
412.210.916
245.129.818
167.081.097
121.835.739
12.853.670
27.212.775
40.066.445
328.983.281
16
2024
0
401.956.408
39.109.272
441.065.680
441.065.680
262.288.905
178.776.774
130.364.240
13.753.427
29.117.669
42.871.096
352.012.111
17
2025
0
430.093.356
41.846.921
471.940.277
471.940.277
280.649.129
191.291.148
139.489.737
14.716.167
31.155.906
45.872.073
376.652.959
18
2026
0
460.199.891
44.776.206
504.976.097
504.976.097
300.294.568
204.681.529
149.254.019
15.746.299
33.336.819
49.083.118
403.018.666
19
2027
0
492.413.883
47.910.540
540.324.423
540.324.423
321.315.188
219.009.236
159.701.800
16.848.540
35.670.397
52.518.937
431.229.972
20
2028
443.061.426
526.882.855
51.264.278
578.147.133
1.021.208.559
343.807.251
677.401.308
170.880.926
18.027.938
38.167.324
56.195.262
904.477.496
21
2029
0
563.764.655
54.852.777
618.617.432
618.617.432
367.873.758
250.743.674
182.842.591
19.289.893
40.839.037
60.128.930
493.715.195
22
2030
0
603.228.181
58.692.472
661.920.653
661.920.653
393.624.921
268.295.731
195.641.572
20.640.186
43.697.770
64.337.956
528.275.259
23
2031
0
645.454.154
62.800.945
708.255.098
708.255.098
421.178.666
287.076.433
209.336.482
22.084.999
46.756.614
68.841.612
565.254.527
24
2032
0
690.635.944
67.197.011
757.832.955
757.832.955
450.661.172
307.171.783
223.990.036
23.630.949
50.029.577
73.660.525
604.822.344
25
2033
-629.980.424
738.980.461
71.900.802
810.881.262
180.900.838
482.207.455
-301.306.617
239.669.339
25.285.115
53.531.647
78.816.762
17.179.484
425.656.887
-629.980.424
TOTAL COST :
48.125.000
Total Capex
0
216.382.377
192.500.000
Biaya Residu
OPEX
CAPEX ACSESS ROAD
8.847.585
17.404.539
(Rpx000)
NPV Tot-COST at DF
2%
2.095.133.224
7.235.150.253
9.330.283.477
4.388.583.656
5.027.750.480
2.138.468.055
703.248.605
7.869.467.140
NPV Tot-COST at DF
7%
2.010.290.989
3.490.752.467
5.501.043.457
2.221.158.172
3.425.194.698
1.031.749.498
339.297.280
4.796.241.476
NPV Tot-COST at DF
12%
1.892.397.306
1.943.301.299
3.835.698.605
1.294.299.605
2.680.073.958
574.374.768
188.886.738
3.443.335.464
NPV Unit-COST at DF
2%
106
367
474
223
255
109
36
400
NPV Unit-COST at DF
7%
102
177
279
113
174
52
17
244
NPV Unit-COST at DF
12%
96
99
195
66
136
29
10
175
UNIT COST :
(Rpx000/ton)
178
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas ( Harga listrik Rp 700/kwh, jarak SLF Residu 45 km) TANPA PEMILAHAN DI SUMBER
SLF
DENGAN PEMILAHAN DI SUMBER
WTE 1
COMPOSTING 1.
COMB.1 COMPOST & WTE
COMB.2
COMPOST & WTE
Data sampah : Sampah masuk Plant : Kondisi sampah:
Ton/Day
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
3.000
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
500 129,01 249,83 105,60 44,00 92.000
1.000 215,01 403,42 138,60 69,30 85.000
2.000 344,02 625,73 184,80 100,10 85.000
3.000 483,77 873,06 264,00 165,00 85.000
500 45,51 576,60 105,60 26,40 215.000
1.000 89,11 1.152,70 138,60 34,65 190.000
64,5 5.000 45 0
107,5 6.000 45 0
172,0 7.000 45 0
241,9 10.000 45 0
2,4 3.000 10 45
4,7 3.000 10 45
3.000
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
2.000 141,82 2.192,77 184,80 46,20 185.000
3.000 190,24 3.055,99 264,00 66,00 185.000
250 77,52 205,87 105,60 26,40 145.000
500 153,14 411,23 138,60 34,65 135.000
7,5 4.000 10 45
10,0 4.000 10 45
4,1 3.000 10 45
8,1 3.000 10 45
3.000
500
1000 2000 Sudah terpilah
1.000 269,00 782,10 184,80 46,20 130.000
1.500 389,82 1.143,03 264,00 66,00 130.000
475 53 374 141 35 152.500
950 103 748 277 69 135.000
14,2 4.000 10 45
20,5 4.000 10 45
2,8 2.000 10 45
5,4 3.000 10 45
3000
500
1000 2000 Sudah terpilah
3000
1900 201 1.441 277 69 132.500
2850 279 2.044 277 69 132.500
500 55 402 141 35 152.500
1000 107 804 277 69 135.000
2000 208 1.546 277 69 132.500
3000 288 2.190 277 69 132.500
10,6 3.000 10 45
14,7 3.000 10 45
2,9 2.000 10 45
5,6 3.000 10 45
11,0 3.000 10 45
15,2 3.000 10 45
Project Investment data : Plant Capacity Land cost : Const. cost : Land cost jalan Akses : Const. Cost Jalan Akses : O/M cost :
Ton/Day Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar Rp/ton
Project Site data : Land Aquisition : Akses road Req to Plant : Av distance to Plant Av distance to SLF
Ha m km km
Extra Revenue : Extra-product Electricity: Extra product Fertilizer : Price (extra product.) :
No No 0
Yes No Rp 700/kwh
No Yes Rp 400 /kg
Yes Yes Idem
Yes Yes Idem
6.000 0 3.000
6.000 0 3.600
6.000 0 3.300
6.000
0 6.000
Transportation data : (sewa) Sumber ke Plant : Transportation residu ke WTE : Transportation residu ke SLF :
Rp/ton/km Rp/ton/km Rp/ton/km
Residual data : type residu : Residu rate Residu quantity Ke SLF SLF Residu (tipping fee) Land Aquisition (SLF residu) :
Seluruh Sampah kota 100% SLF no need 0 0
% Ton/Day Rp/ton Ha
0
Ha
65
108
Ash 5%
1500
46,1
32,3
120,9
5,9
150
6,1
11,7
16,1
242
5,6
10,1
16,1
22,1
36,3
61,8
100,2
141,5
8,7
15,3
26,4
37,0
3,1
269
(Rp. Milyar) 439 685
983
754
(Rp. Milyar) 1.415 2.566
3.576
415
(Rp. Milyar) 738 1.282
1.863
603
(Rp. Milyar) 1.198 1.988
2.669
633
(Rp. Milyar) 1.257 2.101
2.824
PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
802 1.032 0
(Rp. Milyar) 1.389 2.461 2.063 4.127 0 0
3.591 6.190 0
627 229 95
(Rp. Milyar) 918 1.500 459 917 190 379
1.906 1.376 0
586 229 613
(Rp. Milyar) 1.119 2.121 459 917 1.226 2.452
3.164 1.376 3.677
752 229 81
(Rp. Milyar) 1.534 2.785 459 917 162 325
3.964 1.376 487
1.069 241 33
(Rp. Milyar) 1.991 3.524 481 963 65 130
4.974 1.444 196
TOTAL SYSTEM:
1.834
3.453
6.588
9.781
951
1.566
3.850
1.428
2.803
5.490
8.217
1.063
2.155
4.027
5.827
1.342
2.538
4.617
6.614
PV UNIT COST at DF = Inf.rate = 7% : o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
183,37 235,83 0,00
(Rpx 000/ton) 158,78 140,63 235,83 235,83 0,00 0,00
136,78 235,83 0,00
143,41 52,41 21,66
104,91 52,41 21,66
(Rpx 000/ton) 85,69 72,61 52,41 52,41 21,66 21,66
133,88 52,41 140,09
(Rpx 000/ton) 127,87 121,19 52,41 52,41 140,09 140,09
120,53 52,41 140,09
171,91 52,41 18,55
(Rpx 000/ton) 175,30 159,14 52,41 52,41 18,55 18,55
151,03 52,41 18,55
231,62 52,41 6,81
(Rpx 000/ton) 216,09 191,34 52,41 52,41 6,81 6,81
180,36 52,41 6,81
TOTAL SYSTEM :
419,20
394,61
372,61
217,48
178,97
313,03
242,87
246,25
221,98
290,83
275,31 250,55 239,57
Cap. 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
SLF Rp183.374 Rp158.784 Rp140.631 Rp136.784
Tidak terpilah WTE Rp143.412 Rp104.907 Rp85.692 Rp72.609
BIO FERT Rp133.880 Rp127.872 Rp121.190 Rp120.528
Terpilah COMB 1 COMB 2 Rp231.620 Rp171.910 Rp216.095 Rp175.298 Rp191.337 Rp159.139 Rp180.358 Rp151.025
12,1
500
0,2
172
376,46
250
Ash 5,0% 50 100 158.784 0,4 0,7
3,2
2.796
150
Ash & Rejected material 9,2% 92,2 184,4 158.784 9,9 15,9
0
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT:
50
Rejected material 50% 1000 158.784 53,8 86,0
100 158.784 5,4 8,6
TOTAL LAND REQUIREMENT
25
2.400
159,76
146,67
326,38
320,37
Cap. 500 T/Day 1000 T/Day 2000 T/Day 3000 T/Day
SLF Rp419.203 Rp394.613 Rp376.460 Rp372.613
Tidak terpilah WTE Rp217.476 Rp178.970 Rp159.756 Rp146.673
BIO FERT Rp326.379 Rp320.371 Rp313.689 Rp313.027
313,69
230,09
276,6
25
22,3
0,9
Terpilah COMB 1 COMB 2 Rp290.834 Rp242.866 Rp275.309 Rp246.254 Rp250.552 Rp230.094 Rp239.572 Rp221.981
179
Lampiran 10. Lanjutan Analisis Sensitivitas ( harga listrik Rp 700,-/kwh, dan jarak SLF residu WTE 45 km) UNIT COST PENGOLAHAN SAMPAH .
UNIT Cost (Rp/TON)
Rp250.000
Rp200.000
SLF
Rp150.000
WTE BIO FERT Rp100.000
COMB 1 COMB 2
Rp50.000
Rp0 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day)
UNIT COST SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH.
Unit Cost sistem pengolahan sampah (Rp/Ton)
Rp440.000 Rp420.000 Rp400.000
Rp380.000 Rp360.000 Rp340.000
WTE
Rp320.000
SLF
Rp300.000
BIO FERT
Rp280.000
COMB 1
Rp260.000
COMB 2
Rp240.000
Rp220.000 Rp200.000 Rp180.000 Rp160.000 Rp140.000
Rp120.000 Rp100.000 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN ( Ton/ Day)
180
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas harga listrik Rp 300,-/kwh dan Jarak SLF residu WTE 45 km TANPA PEMILAHAN DI SUMBER
SLF
WTE 1
COMPOSTING 1.
Data sampah : Sampah masuk Plant : Kondisi sampah:
Ton/Day
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
3.000
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
3.000
500
1.000 2.000 Tidak terpilah
Project Investment data : Plant Capacity Land cost : Const. cost : Land cost jalan Akses : Const. Cost Jalan Akses O/M cost :
Ton/Day Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar Rp. Milyar Rp/ton
:
500 129,01 249,83 105,60 44,00 92.000
1.000 215,01 403,42 138,60 69,30 85.000
2.000 344,02 625,73 184,80 100,10 85.000
3.000 483,77 873,06 264,00 165,00 85.000
500 45,51 576,60 105,60 26,40 215.000
1.000 89,11 1.152,70 138,60 34,65 190.000
2.000 141,82 2.192,77 184,80 46,20 185.000
3.000 190,24 3.055,99 264,00 66,00 185.000
250 77,52 205,87 105,60 26,40 145.000
500 153,14 411,23 138,60 34,65 135.000
1.000 269,00 782,10 184,80 46,20 130.000
64,5 5.000 45 0
107,5 6.000 45 0
172,0 7.000 45 0
241,9 10.000 45 0
2,4 3.000 10 45
4,7 3.000 10 45
7,5 4.000 10 45
10,0 4.000 10 45
4,1 3.000 10 45
8,1 3.000 10 45
14,2 4.000 10 45
Project Site data : Land Aquisition : Akses road Req to Plant : Av distance to Plant Av distance to SLF
Ha m km km
Extra Revenue : No No 0
Extra-product Electricity: Extra product Fertilizer : Price (extra product.) :
Transportation data : Sumber ke Plant : Transportation residu Transportation residu
Rp/ton/km Rp/ton/km Rp/ton/km
ke WTE : ke SLF :
Residu rate Residu quantity Ke SLF SLF Residu (tipping fee) Land Aquisition (SLF residu) :
TOTAL LAND REQUIREMENT
INITIAL INVESTMENT FOR PLANT: PV Capex - Opex at DF = Inf. rate = 7% o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU : TOTAL SYSTEM:
TOTAL SYSTEM :
No Yes Rp 400 /kg
(sewa) 0 6.000
Residual data : type residu :
PV UNIT COST at o PENGOLAHAN : o TRANSPORTASI : o RESIDU :
Yes No Rp 300/kwh
DF = Inf.rate = 7%
% Ton/Day Rp/ton Ha
0
Ha
65
269
Seluruh Sampah kota 100% SLF no need 0 0
6.000 0 3.000
6.000 0 3.600
Ash 5%
0
3,2
5,4
8,6
12,1
32,3
Rejected material 50% 500 1000 158.784 53,8 86,0
10,1
16,1
22,1
36,3
61,8
3.576
415
738
25
50
100
150
250
158.784
108
172
242
5,6
(Rp. Milyar) 439
685
983
754
(Rp. Milyar) 1.415 2.566
5.596 1.376 0
586 229 613
100,2
(Rp. Milyar) 1.282
802 1.032 0
(Rp. Milyar) 1.389 2.461 2.063 4.127 0 0
3.591 6.190 0
1.242 229 95
(Rp. Milyar) 2.148 3.960 459 917 190 379
1.834
3.453
6.588
9.781
1.567
2.796
5.256
7.541
1.428
2.803
183,37 235,83 0,00
(Rpx 000/ton) 158,78 140,63 235,83 235,83 0,00 0,00
136,78 235,83 0,00
284,00 52,41 21,66
245,49 52,41 21,66
(Rpx 000/ton) 226,28 52,41 21,66
213,20 52,41 21,66
133,88 52,41 140,09
(Rpx 000/ton) 127,87 121,19 52,41 52,41 140,09 140,09
372,61
358,06
319,56
300,34
287,26
326,38
:
419,20
394,61
376,46
(Rp. Milyar) 1.119 2.121 459 917 1.226 2.452
320,37
5.490
313,69
181
Lampiran 11. Lanjutan analisis sensitivitas harga listrik Rp 300,-/kwh dan jarak SLF residu WTE 45 km GRAFIK : UNIT COST PENGOLAHAN SAMPAH .
UNIT Cost (Rp/TON)
Rp300.000
Rp250.000
Rp200.000
SLF WTE
Rp150.000
BIO FERT COMB 1 COMB 2
Rp100.000
Rp50.000
Rp0 500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN (Ton /Day)
GRAFIK : UNIT COST SYSTEM PERSAMPAHAN
Rp440.000
Unit Cost (Rp/Ton)
Rp420.000
Rp400.000
WTE
Rp380.000
SLF
Rp360.000
BIO FERT COMB 1
Rp340.000
COMB 2 Rp320.000
Rp300.000 Rp280.000 Rp260.000 Rp240.000 Rp220.000 Rp200.000
500 T/Day
1000 T/Day
2000 T/Day
3000 T/Day
KAPASITAS PENGOLAHAN ( Ton/ Day)
182